pengajianramadhan ppm.2009.edited

35
1 Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (1) : Peneguhan Kejuangan Tajdid yang Kokoh dan Islami Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA/Ketua PW Muhammadiyah Sumbar (2000-2005) Pengantar Redaksi: PP Muhammadiyah di Yogyakarta dan Jakarta mengadakan pengajian Ramadhan 1423 H. Pengajian itu dilaksanakan dua tahap. Pertama, di Yogyakarta, 2-5 Ramadhan dengan tema,” Peneguhan Kejuangan Muhammadiyah Menuju Organisasi Tajdid yang Kokoh dan Islami.” Kedua di Jakarta, 11-13 Ramadhan bertajuk, “Islam, Terorisme dan Globalisme.” Di antara 300 peserta seluruh Indonesia, dari Sumbar ikut Ketua PWM Shofwan Karim, Ketua PDM Padang, Drs. H. Darmadi Malin Marajo, Ketua Majelis Pengembangan Kader Sumber Daya Insani (MPK-SDI), Letkol. Mar. Drs. H. Mufsal Salam dan Anggota Lembaga Hikmah Drs. Apris Yaman. Tulisan ini merupakan catatan pengajian tersebut yang terdiri atas beberapa edisi. Selamat mengikuti. (Red.) Selanjutnya tulisan ini diedit ulang oleh penulis, 28 Ramadhan 1430 H-19 September 2009. SK) Tradisi pengajian Ramadhan di dalam Muhammadiyah sudah ada sejak hampir 40 tahun lalu. Pada dasarnya Muhammadiyah memandang bahwa di samping menjalankan puasa dan mendirikan amal-amal Ramadhan lainnya seperti qiyamul laail , infak, sadaqah, santunan kepada anak yatim dan piyatu, orang tua yang lemah, fakir miskin, memelihara perkataan dan perbuatan tercela, menghindari dari perilaku menyimpang, fahsya, rafas dan amarah serta lainnya, maka keseluruhan waktu di dalam Ramadhan harus diisi dengan ibadah dalam konteks luas. Oleh karena di dalam Ramadhan di turunkan al-Quran yang ayat pertamanya adalah seruan untuk membaca (iqra’), maka salah satu cara Muhammadiyah mengaplikasikan pemahaman kemauan al-Qur’an itu dilaksanakan Pengajian Ramadhan yang diikuti oleh para pimpinannya pada seluruh tingkat dan jajaran. Di Yogyakarta Pengajian Ramadhan dengan tema di atas tadi membahas sub-sub tema yang hampir 90 persen internal Muhammadiyah, seperti Muhammadiyah Menuju Satu Abad; Stuktur Kepemimpinan Muhammadiyah (tinjauan normatif/etik); Stukruktur Kepemimpinan Muhammadiyah (tinjauan kasus); dan seterusnya. Hanya 10 persen membahas hal yang beraroma eksternal Muhammadiyah seperti Muhammadiyah dan Penegakkan HAM; Gerakan Islam Internasional dan Informasi Terakhir Politik Nasional. Para pembicara pun dominan kalangan dalam.\ persyarikatan Muhammdiyah. Akan tetapi sebaliknya yang di Jakarta, 90 persen masalah eksternal dan 10 persen masalah internal. Maka tema besar di atas tadi dipecah di dalam sub-sub tema seperti Islam dan tantangan Globalisme; Akar Historis Radikalisme dan Terorisme; Agama dan Radikalisme; Radikalisme dalam Perspektif Barat dan seterusnya. Pembicaranya pun selain dari kalangan dalam juga datang dari kalangan luar Muhammadiyah seperti Prof. Dr. Alwi Shihab, Mantan Menteri Luar Negeri di zaman Presiden Gus Dur , kemudian Ketua PKB dan kini Menteri Negara Utusan Khusus untuk Timur Tengah di zaman Presiden SBY. Dr. Douglas Ramage, Direktur The Asia Foundation dan dari kalangan dalam Prof. Malik Fajar, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Din Syamsuddin dan lain-lain. Setiap organisasi yang memiliki keinginan untuk tetap eksis, bertahan, semakin baik dan senantiasa diakui masyarakat, biasanya memiliki kekhawatiran akan

Upload: dr-drs-h-shofwan-karim-elha-ba-ma

Post on 12-Jun-2015

570 views

Category:

Documents


39 download

DESCRIPTION

Pengajian Ramadhan Muhammadiyah setiap tahun diadakan sejak 40 tahun lalu. Pengajian ini untuk mencerahkan para pimpinan Muhammadyah di seluruh lapisan. Tulisan ini pengajian tingkat pusat yang diedit ulang 2009 oleh Shofwan Karm

TRANSCRIPT

Page 1: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

1

Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (1) :

Peneguhan Kejuangan Tajdid yang Kokoh dan Islami Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA/Ketua PW Muhammadiyah Sumbar (2000-2005) Pengantar Redaksi: PP Muhammadiyah di Yogyakarta dan Jakarta mengadakan pengajian Ramadhan 1423 H. Pengajian itu dilaksanakan dua tahap. Pertama, di Yogyakarta, 2-5 Ramadhan dengan tema,” Peneguhan Kejuangan Muhammadiyah Menuju Organisasi Tajdid yang Kokoh dan Islami.” Kedua di Jakarta, 11-13 Ramadhan bertajuk, “Islam, Terorisme dan Globalisme.” Di antara 300 peserta seluruh Indonesia, dari Sumbar ikut Ketua PWM Shofwan Karim, Ketua PDM Padang, Drs. H. Darmadi Malin Marajo, Ketua Majelis Pengembangan Kader Sumber Daya Insani (MPK-SDI), Letkol. Mar. Drs. H. Mufsal Salam dan Anggota Lembaga Hikmah Drs. Apris Yaman. Tulisan ini merupakan catatan pengajian tersebut yang terdiri atas beberapa edisi. Selamat mengikuti. (Red.) Selanjutnya tulisan ini diedit ulang oleh penulis, 28 Ramadhan 1430 H-19 September 2009. SK)

Tradisi pengajian Ramadhan di dalam Muhammadiyah sudah ada sejak

hampir 40 tahun lalu. Pada dasarnya Muhammadiyah memandang bahwa di samping menjalankan puasa dan mendirikan amal-amal Ramadhan lainnya seperti qiyamul laail , infak, sadaqah, santunan kepada anak yatim dan piyatu, orang tua yang lemah, fakir miskin, memelihara perkataan dan perbuatan

tercela, menghindari dari perilaku menyimpang, fahsya, rafas dan amarah serta lainnya, maka keseluruhan waktu di dalam Ramadhan harus diisi dengan ibadah dalam konteks luas.

Oleh karena di dalam Ramadhan di turunkan al-Quran yang ayat pertamanya adalah seruan untuk membaca (iqra’), maka salah satu cara Muhammadiyah mengaplikasikan pemahaman kemauan al-Qur’an itu dilaksanakan Pengajian Ramadhan yang diikuti oleh para pimpinannya pada seluruh tingkat dan jajaran. Di Yogyakarta Pengajian Ramadhan dengan tema di atas tadi membahas sub-sub tema yang hampir 90 persen internal Muhammadiyah, seperti Muhammadiyah Menuju Satu Abad; Stuktur Kepemimpinan Muhammadiyah (tinjauan normatif/etik); Stukruktur Kepemimpinan Muhammadiyah (tinjauan kasus); dan seterusnya. Hanya 10 persen membahas hal yang beraroma eksternal Muhammadiyah seperti Muhammadiyah dan Penegakkan HAM; Gerakan Islam Internasional dan Informasi Terakhir Politik Nasional. Para pembicara pun dominan kalangan dalam.\ persyarikatan Muhammdiyah.

Akan tetapi sebaliknya yang di Jakarta, 90 persen masalah eksternal dan 10 persen masalah internal. Maka tema besar di atas tadi dipecah di dalam sub-sub tema seperti Islam dan tantangan Globalisme; Akar Historis Radikalisme dan Terorisme; Agama dan Radikalisme; Radikalisme dalam Perspektif Barat dan seterusnya. Pembicaranya pun selain dari kalangan dalam juga datang dari kalangan luar Muhammadiyah seperti Prof. Dr. Alwi Shihab, Mantan Menteri Luar Negeri di zaman Presiden Gus Dur , kemudian Ketua PKB dan kini Menteri Negara Utusan Khusus untuk Timur Tengah di zaman Presiden SBY. Dr. Douglas Ramage, Direktur The Asia Foundation dan dari kalangan dalam Prof. Malik Fajar, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Din Syamsuddin dan lain-lain. Setiap organisasi yang memiliki keinginan untuk tetap eksis, bertahan, semakin baik dan senantiasa diakui masyarakat, biasanya memiliki kekhawatiran akan

Page 2: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

2

kesinambungan jalannya roda organisasi Menjadikan orang lain seperti diri sendiri merupakan tantangan yang berat bagi setiap aktivis dalam rangka mempertahankan organisasi yang digelutinya. Seorang organisatoris yang tangguh bisa saja menuai sukses dalam mengelola organisasinya dan mungkin juga dengan sangat cemerlang akan berhasil membawa organisasinya menjadi organisasi yang mumpuni dan disegani oleh banyak pihak. Namun demikian, kesuksesan yang diperoleh tentunya tidak akan banyak berarti jika tidak pernah terjadi transformasi nilai-nilai kejuangan kepada kader-kader lain dalam organisasi tersebut. Kecenderungan yang banyak terjadi pada seorang aktivis biasanya terletak pada kegagalannya dalam menjadikan orang lain seperti dirinya. Proses menetapkan pemimpin dalam organisasi biasanya lebih rumit, mengingat adanya kecenderungan keinginan generasi penerus untuk mencari pemimpin yang minimal memiliki kapasitas dan kapabilitas sama seperti pemimpin sebelumnya. Di dalam sejarah Islam, pemakaman Nabi Muhammad Rasulullah saw. menjadi tertunda juga dipengaruhi oleh adanya perdebatan tentang siapa pengganti Muhammad saw sebagai khalifah bukan sebagai Nabi dan Rasulullah. Persyarikatan Muhammadiyah yang telah berdiri selama hampir satu abad ini merupakan organisasi besar yang secara sadar atau tidak kadangkala mengalami dilema dalam menentukan pemimpin. Meskipun demikian, Persyarikatan ini tidak pernah sampai mengalami krisis kader apalagi krisis kepemimpinan. Sebagai organisasi yang mengedepankan tajdid (pembaruan) sebagai tema sekaligus arah gerakan, Muhammadiyah selalu dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan yang paling mutakhir dari kondisi zaman, dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan Al-Sunnah. Setiap derap dan langkah Muhammdiyah selalu merujuk kepada kedua sumber utama tersebut. Prinsip ini telah menjadi pedoman bagi setiap warga Muhammadiyah. Sayangnya, dengan prinsip tajdid yang demikian ada pihak lain yang menganggap Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak memiliki pendirian karena terlalu responsif terhadap perubahan. Sebaliknya lantaran terlalu intens merujuk kepada Al-Quran dan Al-Sunnah, sering pula diangap terlalu kaku dan tidak mendukung perubahan. Sesuatu yang kelihatnnya agak kontradiktif, memang, tetapi begitulah citra yang terjadi. Misalnya, ketika tengah berlangsungnya wacana memasukkan tujuh kata ke dalam pasal 29 UUD 1945 pada Sidang Umum MPR beberapa waktu lalu, tiba-tiba Muhammadiyah dianggap tidak ikut serta merta dengan kehendak tersebut, bahkan tejadi distorsi informasi dan komunikasi, sehingga timbul tuduhan yang macam-macam terhadap Muhammadiyah. Anggapan itu muncul karena memang strategi gerakan dan perubahan yang diinginkan oleh Muhammadiyah tidak dilakukan secara revolusioner struktural, tetapi dengan melakukan evolutif kultural, fungsional dan substansial. Perubahan yang mendasar secara kultural, substansial dan fungsional dianggap lebih penting daripada perubahan struktural, sehingga kiprah dan perjuangan Muhammadiyah kurang dapat dilihat secara nyata dari pespektif struktural. Seperti lazimnya organisasi masyarakat dan sosial pada umumnya, terkadang juga muncul kekhawatiran di kalangan Muhammadiyah tentang masa depan organisasi ini. Siapa yang akan memimpin atau bagaimana tunas-tunas muda yang akan datang sering menjadi bahan diskusi, dialog, dan perbincangan ringan sampai kepada perdebatan sengit di kalangan Muhammadiyah. Apalagi sekarang muncul kecendreungan dan pendapat yang menganggap bahwa Muhammadiyah “kurang diminati” oleh kalangan

Page 3: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

3

muda, mengingat pilihan gerakannya yang tidak revolusioner seperti organisasi-organisasi lainnya yang masih balita. Lebih dari itu ada juga yang beranggapan bahwa jika saja Muhammadiyah tidak memilkiki amal usaha, maka sejarah organisasi ini akan menjadi lain, mengingat banyak yang mengenal Muhammadiyah dari amal usaha yang digelutinya. Selain itu banyak juga yang mencari hidup dan kehidupan di amal usaha Muhammadiyah, dan ironisnya mereka itu tidak banyak mengenal arah dan tujuan gerakan yang ingin dilakukan oleh Persyarikatan. Menjelang usianya yang hampir mencapai satu abad ini, Persyarikatan Muhammadiyah memang harus memperkokoh ide-ide dasar KHA Dahlan tatkala mendirikan Muhammnadiyah ini. Barangkali, cara-cara KHA Dahlan dalam memberikan kajian Surat Al-Ma’un kepada para murid, pengikut dan santrinya perlu senantiasa diaktualisasikan dalam rangka memberikan pencerahan kepada ummat, bahwa implementasi ajaran Islam merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan terus menerus, sistematik dan integratif dengan bidang kehidupan lainnya. Kondisi zaman kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912 dan kondisi yang dihadapi oleh Muhammadiyah pada masa sekarang memang berbeda. Namun senantiasa ada hal-hal yang bisa ditarik sebagai benang merah dari garis perjuangan KHA Dahlan dan perjuangan ummat Muhammadiyah sekarang ini. Oleh karenanya, nilai-nilai kejuangan Muhammadiyah perlu selalu diperkokoh dalam rangka memantapkan perjuangan persyarikataan agar menjadi garda depan bagi pemberdayaan dan pencerahan umat di alam semesta.

Di samping menyangkut hal-hal internal Muhammadiyah seperti digambarkan selintas itu, Muhammadiyah bukanlah hidup dan berkembang dalam satu ruang hampa. Muhammadiyah mesti peduli dengan lingkungan mikro, makro bahkan global. Setiap zaman dan kurun waktu mempunyai fenomena empiriknya sendiri. Ia dapat berupa nyala alamiah dan aksi normal, kadang-kadang abnormal karena itu meminta respons ber jangka panjang dan bahkan juga jangka pendek dan eksekusi mendesak dari Muhammadiyah.

Seperti hari-hari terakhir bangsa Indonesia dewasa ini (Tahun 2002) yang belum melihat tanda-tanda yang menggembirakan keluar dari keterpurukan. Ada tafsiran bahwa sebagian kelompok yang diuntungkan oleh situasi ini, menganggap keterpurukan itu harus dipertahankan. Oleh karena masyarakat sudah semakin terbiasa dalam suasana keterpurukan itu, maka keterpurukan itu sendiri sudah dianggap suatu yang sudah membaik. Padahal sebaliknya yang terjadi, bagi mereka yang menganggap bahwa keadaan bahkan semakin mengarah kepada kehancuran yang amat tak bisa diprediksi. Rupiah belum terangkat dari kejatuhannya, korupsi semakin merejalela, penjualan aset negara sudah tak terkendali. Para pemimpin lemah dan tak punya harapan. Gerakan sparatisme belum ada tanda surut (sekarang, 2009, setelah pemerintahan SBY dan JK, masalah Aceh dan Poso sudah selesai).

Lalu di dalam keadaan demikian muncul pula masalah baru berakar lama yaitu terjadinya peningkatan kualitas radikalisme ke terorisme. (Keadaans sekarang relatif aman setelah Noordin M Top tewas 16 Sepetember 2009 di Solo). Muhammadiyah yang selama ini dianggap radikal dalam berfikir dan etik yang disebut amar ma’ruf nahi munkar, tetapi lunak di dalam aksi dan amal usaha karena bergerak di dalam penyantunan sosial, lapangan pendidikan, kesehatan, ketarjihan dan dakwah bil lisan, bil hal dan bil amal. Oleh kalangan tertentu aksi Muhammadiyah dianggap terlalu lunak

Page 4: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

4

dalam merespon keadaan. Muhammdiyah sering mengalah terhadap ke adaan tertentu. Ketika Muhammadiyah misalnya berbeda dalam menentukan 1 Syawal Idul Fitri, mereka tidak boleh memakai lapangan untuk shalat Idul Fitri oleh otoritas setempat. Terhadap hal itu Muhammadiyah tidak unjuk rasa dan tidak melakukan demo dan ribut-ribut kepada otoritas tersebut. Muhmmadiyah tetap melakukan shalat Idul Fitri di lapangan lain yang mungkin lebih kecil, tidak memadai dan sangat tak pantas. Demi menjaga martabat persyarikatan supaya tidak ribut-ribut dan menimbulkan anarkhis, Muhmmadiyah sering menelan emosi dan sentimen keagamaan menghadapi pejabat yang arogan dan tak berdasar tersebut.

Pada kalangan dalam Muhammadiyah sendiri ada yang tidak sabar menghadapi keadaan. Mereka yang tidak sabar ini kadang-kadang merasa tidak mendapat ruang dalam Muhammadiyah lalu mencari gerakan lain. Karena itu kalau dirunut secara detail akan bertemu bahwa di kalangan Majelis Mujahidin Indonesia dan Forum Pembela Islam dan Lasykar Jihad Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan lain-lain itu terdapat anak-anak Muhamamdiyah. Mereka memang tidak membawa bendera Muhmmadiyah, tetapi kalau bertemu dengan mereka maka kemuhammadiyahan mereka di luar yang keras-keras itu tetap jalan. Misalnya dalam ibadah praktis dan nuansa teologis. Bedanya mereka melakukan dakwah fisik dan jihad fisik, sementara Muhammadiyah jihad pikiran, tenaga dan amal yang sudah mentradisi hampir satu abad. Muhammadiyah tidak pernah terlibat secara pisik dalam konflik nasional dalam bentuk apa pun bahkan secara ideologis pun juga tidak. Kecuali, sekali lagi melalui orang perorangan yang memang bebas ke mana-mana dan ada di mana-mana. (Bersambung). 2 Introspeksi.

Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (2) :

Intropseksi Persyarikatan Menuju Satu Abad Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005.

Muhammadiyah (1912-2009) kini telah berusia 97 tahun, hampir satu abad. Menurut Ketua PP 2000-2005, Prof. Dr. A. Ahmad Syafii Maarif, MA., upaya memperkokoh Muhammadiyah menjadi persyarikatan tajdid bukan sesuatu yang final, sebab kalau final itu berarti kejumudan dan stagnasi, bukan dinamisasi dan pembaruan lagi. Karena pembaruan dan tajdid berlaku tanpa henti sesuai tantangan keadaan,

situasi kondiisi, ruang, waktu dan zaman. Upaya itu merupakan proses yang terus menerus tanpa henti. Lalu dalam konteks pembaruan dan perubahan terus menerus itu, Muhammadiyah melakukan “apa” dalam ke-Islaman dan ke-Indonesiaan ini. Secara awam pertanyaan berikutnya, Indonesia ini mau diapakan oleh Muhammadiyah. Pertanyaan itu tentulah tidak mudah untuk dijawab. Pertama-tamna harus dilihat dulu apa yang menjadi tantangan besar umat Islam dewasa ini. Salah satu di antaranya persoalan kelasik yang tetap aktual, yaitu umat Islam itu merupakan mayoritas kuantitatif namun minoritas kualitatif. Bahasa mudahnya ialah umat yang berjumlah amat besar tetapi dalam kualitas amat kecil. Padahal apabila dinisbahkan kepada perjuangan umat menghadapi tantangan global yang dibutuhkan adalah kualitas yang tinggi dengan kekuatan dan keuletan seperti yang diisyaratkan oleh Q.S. Al-Anfal, 26-30, 60,65,66.

Page 5: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

5

Dalam kaitan ini apa yang harus dilakukan Muhammadiyah terhadap Indonesia, logika tadi cukup relevan. Muhammadiyah yang secara kuantitatif cukup besar tetapi peranannya dalam menghadapi Indonesia yang sedang tertatih tatih, yang terfragmentasi dan sedang retak sementara pemimpinnya lemah, untuk tidak mengatakan rapuh, Muhammadiyah tidak cukup kekuatan untuk memberikan alternatif kepada hari depan bangsa. Salah satu subsektor saja dari pembangunan bangsa misalnya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang secara kuantitatif amat besar dibandingkan lembaga milik oganisasi mayarakat lainnya, tetapi masih amat tergantung kepada subsidi guru dan dosen dari pemerintah. Sebagian besar lembaga pendidikan Muhmmadiyah belum mampu berdikari. Namun di sebelah itu, Muhammadiyah kebetulan barangkali, saat ini Pimpinan Pusat amat luar biasa mobilitasnya yang kadang-kadang sudah tidak masuk akal. Anggota PP pergi kesana kemari mendatangi wilayah-wilayah. Ada satu hal yang kemudian diketahui bahwa Muhammadiyah mempunyai kantong-kantong umat, kantong-kantong pemimpin lokal yang memiliki idealisme yang luar biasa. Idealisme mereka tidak tergantung di awang-awang, tetapi mereka bawa turun ke bumi. Ini yang menggembirakan. Kembali ke pertanyaan, mau diapakan Indonesia, menurut Ahmad Syafii Maarif, jawabannya tidak tergantung hanya kepada Pmpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan, tetapi kepada semua warga Muhmamdiyah. Muhammadiyah harus menjawab dengan terlebih dulu memformulasikan dalam politik, ekonomi sosial-budaya yang bagaimana yang kita inginkan. Di atas segalanya itu, Muhammadiyah harus merumuskan profile dan kriteria kepemimpinan bangsa.

Kalau bicara soal jender, bagaimana sebenarnya konsepsi teologis Muhammadiyah (menghadapi Pemilu 2004, isyu gender menjadi hangat karena presiden pengganti Gus Dur adalah Wapres Megawati yang akan ikut bertarung menjadi Capres 2004). Ketika dulu wacana tentang hal ini mencuat dan akhirnya seperti sekarang, Muhammadiyah belum mempunyai formulasi yang jelas. Secara pribadi, kata Syaffii, ia tidak keberatan terhadap presiden perempuan. Asal menunjukkan kemampuan, tidak hanya senyum-senyum, gunting-gunting pita, itu tidak banyak gunanya. Bukan di situ soalnya, tetapi betul-betul punya kemampuan untuk memimpin negara ini. Sekarang sudah dikutip orang bahwa keadaan Indonesia dewasa ini adalah ada pemerintah tetapi tanpa pemerintahan. Ada pemerintah tetapi tidak mampu memerintah. Jangan salahkan orang lain, sebab keadaan itu artinya terjadi karena dakwah Muhammadiyah di bidang ini belum mencapai sasaran. Meskipun demikian, menurut Syafii Maarif, Sidang Tanwir di Bali akhir Januari 1922 lalu sangat strategis sebagai pencerahan bangsa yang meliputi pencerahan otak dan pencerahan hati atau tanwirul ukul wa tanwirul qulub. Di antaranya pencerahan dari pola pikir lama yang sebagian di antara kita agak terpaku kepada gerakan radikal-radikalan . Implementasi syariah, menurutnya telah ditempuh dengan jalan-jalan—yang antara lain amat ia hormati—telah ditempuh dengan jalan berliku dan penuh pengorbanan. Gerakan-gerakan radikal ternyata telah berakhir dengan bunuh diri. Kita di Indonesia ini kenal dengan DI/TII di Aceh, di Jabar, Sulawesi, Kalimantan, apa akhirnya yang terjadi?. Habis. Karena kita tidak memiliki suatu perangkat teori, perangkat lunak yang memungkinkan kita mewujudkan apa yang kita ucapkan itu.

Page 6: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

6

Untungnya orang-orang Muhammadiyah ini, walaupun mengeritik ketuanya karena tidak mendukung masuknya tujuh kata dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945, setelah diberi penjelasan, maka argumentasi itu dapat diterima. Inilah yang kira-kira dapat disebut pencerahan akal dan kalbu. Ketua PP bukan anti syariat, tetapi soal memasukkan tujuh kata itu saja. Pencerahan itu dilatar belakangi oleh hanmpir 80 persen dari 85 persen penduduk Indonesia yang muslim, banyak yang amat awam dalam masalah syariat Islam. Bila mereka dipaksa menjalankan syariat islam, maka mereka akan lari kepada agama lain atau mereka akan mendustai diri mereka sendiri. Lebih dari itu, peta kekuatan politik yang hanya dua fraksi berpihak kepada perubahan itu sangat mengkhawatirkan. Apalagi kalau divoting di MPR, maka diperkirakan akan terjadi kekalahan mutlak yang berakibat traumatis yang panjang kepada umat Islam. Apalagi kalau dipertimbangkan pula suara kalangan umat lain yang minoritas kuantitatif tetapi mayoritas kualitatif yang mengancam untuk tidak ikut dalam republik kesatuan ini kalau perubahan itu terjadi.

Oleh karena itu sebelum infra dan supra struktur bangsa Indonesia siap menerima perubahan ayat tersebut, maka untuk sementara kita mencerahkan pemikiran sampai titik ini dulu. Setelah itu kita uji lagi, karena belum tentu juga pendapat yang sekarang itu benar secara mutlak. Alhamadulillah, setelah dijelaskan secara tuntas dari berbagasi dimensi, maka warga Muhmmadiyah dapat memahaminya. Sekali lagi, tidak mungkin PP Muhammadiyah anti syariat, karena syariat itu yang hendak kita tegakkan dalam setiap warga Muhammadiyah. Jadi sebenarnya adalah persoalan komunikasi. Seiring dengan itu, mari kita persiapkan konsep Indonesia ke depan. Muhammadiyah yang mendekati satu abad harus bekerja keras bersama komponen umat dan bangsa untuk melahirkan konsep politik, demokrasi, posisi perempuan, ekonomi, perbankan dan seterusnya. Ambil satu contoh kasus, perbankan. Kita baru sampai pada posisi “ begitu-begitu” saja. Memang ada satu kounter syariah di BNI, bank syariah di Bank Mandiri dan BRI serta BMI dan lainnya. Namun itu harus dikaji betul apakah itu bank alternatif atau hanya sekedar coba-coba. Sah saja sebagai coba-coba, karena kita memang belum mempunyai satu sistem yang matang. Tetapi, struktur dan kultur atas dari semua bank yang beraroma syariáh tadi adalah bank konvensional bernaung di bawah Bank Indonesia. Bank konvensional pada dasarnya oleh sebagian ulama dianggap masih mengandung riba. Oleh karenanya mari kita lihat kenyataan itu, sudah mampukah kita menawarkan sebuah sistem perbankan alternatif. Untuk itu, kata Syaffi, harus ada kajian empirik, di samping di dorong oleh iman kita. Makanya sistem-sistem itu apakah politik, sosial, ekonomi dan perbankan itu tetap dikawal oleh iman kita. Secara iman benar dan secara ilmu dapat dipertanggungjawabkan. Inilah tantangan yang amat kompleks dan besar sekali. Bukan saja tantangan di Indonesia tetapi di dunia Islam secara keseluruhan. Menghadapi masa depan, Muhammadiyah yang kini mempunyai 166 perguruan tinggi (sekarang, 2009, 175 PTM) terdiri atas universitas dan sekolah tinggi dengan program studi yang cukup lengkap, hendaknya dapat segera merumuskan konsep-konsep yang terbengkalai selama ini terutama yang terkait dengan umat dan bangsa. Misalnya, apakah Muhammadiyah masih ingin mendirikan negara Islam atau hanya masyarakat Islam. Begitu pula sistem politik menurut paham Muhammadiyah, sistem ekonomi dan perbankan yang bagaimana pula. Jangan Muhammadyah lari dari lapangan perjuangan. Haruslah ditafsirkan secara konkret spirit syuhadaú alannas (menjadi saksi aktif

Page 7: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

7

terhadap sekalian proyek kemanusiaan). Jangan hanya karena lasan takut terkontaminasi lalu menyingkir dari keramaian. Rujukannya cukup jelas, setelah Rasulullah menerima wahyu dari Gua Hira, beliau tidak kembali ke sana, tetapi terjun ke kancah kekuatan-kekuatan sejarah sambil mengubah dengan perjuangan yang sangat nyata, penuh pengorbanan dan selama 13 tahun hampir tidak berhasil kemudian berhasil membentuk beberapa kader, lalu hijrah ke Madinah. Dari situ kembali merebut Mekkah. Orang-orang Muhammadiyah dan Aisyiah, terutama tokoh-tokohnya di setiap eselon dan jajaran harus mengerti lingkungan, memahami dinamika sosial politik dan ekonomi di mana mereka berada. Mungkin tidak usah terlalu mendalam tetapi harus paham. Tidak perlu masuk parpol dulu baru mengerti dinamika politik, tetapi mengikuti perkembangan. Sehingga dapat menjadi rujukan bagi lingkungannya, tempat bertanya seperti Kiyai Ahmad Dahlan. Kiyai pendiri Muhammadiyah ini enak saja melenggang dari Syarikat Islam ke Budi Utomo dan seterusnya. Pernah dia memanggil Semaun (yang belakangan menjadi komunis) ke rapat Muhammadiyah. Kiyai ini percaya dirinya luar biasa. Di tengah tuduhan beragam rupa terhadapnya seperti menjadi \Kristen, menjadi Wahabi, sudah menyimpang, tetapi kiyai ini tenang saja.

Semuanya dia jawab bukan dengan debat teologis tetapi dengan amal usaha nyata, dengan perbuatan. Itulah kekuatan Muhammadiyah yang menyebabkan menjadi langgeng, makin lama makin membesar. Paling tidak kuantatif dulu, kualitas pun rasanya juga tidak jelek bila dibandingkan dengan yang lebih jelek. Peluang itu ada pada Muhammadiyah karena kualitas SDM terus ditingkatkan. Tenaga terdidik dan terpelajar semakin banyak . Kader-kader yang sudah sudah sampai ke tingkat tinggi baik dalam lapangan ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan seyogyanya memberikan kontribusi optimal terhadap persyarikatan. Secara de facto Muhammadiyah meruupakan satu pilar kekuatan nasional harus sungguh-sungguh menahan kebangkrutan bangsa dan tetap menjaga keutuhannya. Selanjutnya Muhammadiyah harus memberi respon terhadap konteks dunia global. Pada pidato pembukaan pengajian di Yogyakarta, Syafii Maarif melihat bahwa arogansi Amerika Serikat dan Inggris yang sepenuhnya berpihak kepada Israel dalam menghancurkan Palestina merupakan terorisme negara yang telah coba dilawan oleh beberapa kalangan dunia muslim tetangga Palestina dengan terorisme pula. Artinya teorisme telah dilawan dengan teorisme. Meskipun hal itu suatu repleksi ketakberdaayan, namun kalau Palestina diberikan kemerdekaan penuh, agaknya teorisme itu akan berkurang atau bahkan lenyap, kecuali terrorisme dari pihak lain. Dengan mengutip Tharik Ali dalam kitabnya, Benturan Fundamentalisme, bergambar ilustrasi : wajah Bush memakai pakaian Osamah, isinya menggambarkan pertarungan antara dua kekuatan fundamentalis: Bush di satu pihak dan Osamah Bin Laden di pihak lain. Padahal keduanya ketika menghadapi Sovyet Rusia di Afghanistan dulunya adalah merupakan dua kolaborator kental.

Jaringan Al-Qaedah dan CIA waktu itu membangun kerjasama yang kompak. Begitu pula dalam Perang Irak-Iran dulunya, Amerika berada di Belakang Saddam Hussein, sekarang malah Irak dan Saddam Hussein mau dihancurkan oleh Amerika. Menurut Sekjen Federasi Katholik Internasional, seorang Kanada, kini tinggal di Paris yang tak disebut namanya oleh Syafii yang berkunjung ke PP Muhammadiyah dua minggu lalu mengatakan bahwa baik Bush maupun Saddam Hussein, keduanya

Page 8: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

8

menderita paranoid. Oleh karena itu kalau ada kesan pemimpin Islam indonesia membela Irak, itu artinya membela rakyatnya yang teraniaya bukan Saddam. (Presiden Obama sekarang mulai mencari cara lain terhadap Irak). Begitu pula tentang Abu Bakar Baasyir, Syafii bukan lantaran setuju dengan ide atau gagasan dan strateginya tetapi membela karena dia diperlakukan secara aniaya oleh aparat. Mengutip diskusi yang pernah dilakukan dengan Baasyir, Syafii menanyakan pemerintah Islam yang agak baik. Abu Bakar Baasyir menjawab Thaliban, maka Syafii langsung minta diskusi itu dihentikan karena terlalu jauh perbedaan antara keduanya. Namun sekalipun perbedaan itu sangat jauh, persaudaraan tetap dipelihara. Sebagai wujud persaudaraan itu, maka Syafii berkunjung ke rumah sakit yang merawat Baasyir. Di tengah kegalauan dalam negeri dan runtuhnya respek global terhadap bangsa ini, Muhammadiyah tetap menaruh harapan. Sebagai salah satu pilar kuat integrasi nasional, Muhammadiyah harus mempunyai komitmen sungguh sungguh untuk menjaga keutuhan bangsa ini. Oleh sebab itu Syafii mohon hal ini disampaikan ke daerah-daerah. Kalau tidak disampaikan nanti integrasi ini retak dan mungkin pecah dan itu pasti repot. Kita menjadi kecil-kecil, tidak punya perangkat lunak untuk membawa turun idealisme Islam ke muka bumi. Kita sangat berkepentingan untuk menjaga keutuhan bangsa ini. Di samping itu ada alasan historis dan sosiologis mengapa Muhammadiyah berkepentingan dengan integrasi nasional dibandingkan yang lain. Di bandingkan dengan sahabat Muhammadiyah, NU misalnya, mereka memang besar tetapi mengelompok di Jatim dan Kalimantan. Kalau Muhammadiyah itu merata. Beberapa waktu lalu Syafii datang ke Ternate. Sampai di sana terasa kegembiraan luar biasa hampir mengeluarkan air mata. Tidak terperkirakan sebelumnya di kota Ternate itu Muhammadiyah merangkak secara pasti. Ada Universitas Muhammadiyah yang baru berusia setahun tiga bulan di sana (2001), pada tahun kedua sudah menerima 888 orang mahasiswa. Padahal Ternate adalah sebuah kota kecil. Banyak pemimpin di sana yang berlatar belakang Muhammadiyah. Di dalam bertemuan dengan berbagai jajaran Muhammadiyah di sana, terkesan Muhammadiyah sangat berakar. Oleh sebab itu, kalau negeri ini memiliki alasan untuk pecah, lantaran adanya egoisme lokal, arogansi sektoral dan macam-macam yang lain, maka ada faktor memperkuat supaya tidak pecah, yaitu Muhammadiyah yang dapat dijadikan sebagai modal besar.

Dengan demikian maka Muhammadiyah hendaknya segera meningkatkan peranannya, pertama untuk menjaga keutuhan bangsa. Kedua, menyiapkan perangkat lunak untuk membawa pesan Islam sebagai rahmatan lil alamin ke muka bumi dan tidak terlalu kaku dengan merek. Ternyata Ahmad Dahlan tidak terlalu kaku dengan labeling atau merek itu, maka kalau ada yang memandang kiyai ini kurang Islam, itu artinya mereka tidak faham Muhammadiyah sama sekali. (Bersambung) *** 3. Wacana Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (3) :

Wacana Agama, Filsafat, dan Ideologi Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, gerakan dakwah amar makruf nahi munkar, sejak Muktamar di Jakarta 2 tahun lalu di dalam Anggaran Dasar merumuskan asasnya berasaskan Islam. Sebelumnya, karena

Page 9: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

9

dipaksa keadaan di zaman Orde Baru berasas tunggal Pancasila sebagaimana semua organisasi di masa itu. Tetapi ada yang harus diingat, bahwa soal asas itu baru muncul pada tahun 1959. Sebelumnya, pada masa KHA Dahlan, asas itu tidak ada. Selanjutnya di masa Ki Bagus Hadikusumo, Kiyai Ibrahim, Kiyai Mas Mansur asas itu juga tidak ada. Jadi dengan demikian, KHA Dahlan tidak memandang asas ini penting. Identitas Muhammadiyah rupanya pada waktu itu tidak bergantung kepada asas. Menurut Syafii, hal ini adalah sesuatu yang amat menarik. Asas itu muncul di saat situasi politik Indonesia yang sangat ideologis (ideology oriented) Oleh karena itu, segenap warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya sebenarnya harus paham dulu kaitan antara agama, filsafat, dan ideologi. Menurut Guru Besar Filsafat Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta ini (2009, AS Maarif sudah Prof Emiritus, pensiun), agama dalam hal ini Islam dibangun atas landasan wahyu dan sunnah Nabi yang diyakini mengandung kebenaran mutlak, selama sunnnah itu merefleksikan al-Qur’an. Namun Islam yang sudah menyejarah sebagai hasil pergumulannya dengan berbagai unit peradaban yang pernah dikenal manusia dalam dinamika ruang dan waktu selama 14 abad bukan lagi Islam yang sederhana seperti halnya pada periode awal. Kemutlakan kebenaran al-Qurán tetap bertahan, tetapi tafsiran terhadapnya tidak pernah menduduki posisi mutlak sesuai dengan posisi manusia sebagai makhluk nisbi. Di dalam pergumulannya dengan ruang dan waktu itu, Islam telah berinteraksi dengan alam pikiran Yunani dalam bentuk filsafat, alam pikiran Persia dan India dalam bentuk sufisme, dan dengan alam pikiran Rumawi dalam bentuk sistem hukum. Kemudian apa yang dikenal dengan ‘ilm al-kalam yang juga berkembang dalam khazanah pemikiran Islam, tampaknya banyak juga dipengaruhi oleh pikiran impor di atas, sesuatu yang memang sulit dihindari karena umat Islam tidaklah mungkin bergerak dalam ruang hampa. Sampai berapa jauh semua alam pikiran temuan di atas berhasil diislamkan tetap saja merupakan perdebatan yang tidak pernah selesai. Islam kemudian dalam proses pergumulannya dengan realitas, seperti disinggung di atas, bukan lagi sebuah Islam yang sederhana; bangunan Islam sudah menjadi sangat kompleks. Kadang-kadang cukup sulit bagi pemikir Islam untuk menentukan mengenai dimensi mana dari kompleksitas itu yang masih “setia” kepada sumber ajaran dan dimensi mana pula yang dinilai sudah mengembara terlalu jauh. Menghadapi masalah “mana yang setia” dan “mana yang menyimpang”, tidak jarang telah menimbulkan polarisasi yang kadang-kadang sangat tajam antara sesama pemikir Islam. Khususnya antara kelompok al-mutakallimun , al-fuqaha berhadapan dengan al-falasifah. Gaungannya masih dirasakan sampai saat ini, dan kelihatannya hal itu belum mencapai kata sepakat agar polarisasi itu dapat dijembatani jika al-Qurán diposisikan sebagai al-furqan .

Pekerjaan ini memang tidak mudah, tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Untuk masa yang akan datang, Syafii Maarif melihat bahwa di antara tantangan yang terbesar dalam dunia uintelektualisme Islam adalah usaha bersama bagaimana membangun jembatan itu. Sampai hari ini, misalnya, perdebatan mengenai kandungan apa yang disebut Filsafat Islam, apakah unsur Yunani yang lebih dominan atau pandangan hidup al-Qurán. Namun sesuatu yang nampaknya disepakati bahwa Filsafat Islam jelas sudah bercorak lain sama sekali denagn alam pikiran Yunani sebagai sumber inspirasinya.

Page 10: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

10

Dengan demikian sebuah bangunan filsafat Islam menjadi mungkin diciptakan dengan al-Qurán sebagai sumber ilham yang utama. Bagi Syafii Maarif pribadi belajar filsafat, klasik dan modern, adalah untuk memelihara agar pikiran tetap merdeka, kritikal, dan mandiri, sehingga seorang muslim yang mendalami filasafat tetaplah sebagai sebuah kepribadian yang unik, tetapi senantiasa berlapang dada berhadapan dengan berbagai perbedaan, termasuk perbedaan dalam memahami teks suci. Dalam ungkapan lain, filsafat dapat membebaskan manusia dari pasungan mentalitas budak yang nemang tidak punya kebebasan.

Di sini fungsi filsafat dapat berhimpitan dengan fungsi iman yang sangat mendorong lahirnya manusia bebas dalam batas-batas iman dan kemanusiaannya. Selain itu, filsafat dapat juga berfungsi sebagai suatu latihan inetelektual (intellectual exercise ) yang penting. Oleh karena itu Syafii beranggapan bahwa hidup tanpa filsafat adalah ibarat pikiran tanpa dilengkapi kekuatan imajinasi kreatif. Dalam kaitan antara agama dan filsafat, orang boleh menyimpulkan bahwa Islam dapat mendorong lahirnya sebuah sistem filsafat yang khas, tetapi mereduksi islam menjadi sama dengan bangunan filsafat adalah suatu perbuatan yang tidak bertanggungjawab. Sekarang mengenai ideologi. Bila dilihat hirarki sistem pemikiran imani seorang muslim, posisi ideologi berada di bawah posisi ilmu. Posisi tertinggi ditempati wahyu, diikuti kemudian oleh filsafat, ilmu, dan baru menyusul ideologi, jika ideologi itu mau dimasukkan dalam kerangka sistem berpikir Islami. Terma ideologi (ilmu tentang ide-ide) adalah temuan abad ke-19 di Perancis yang dalam perkembangannya selalu berkaitan dengan politik dalam upaya mengubah sebuah statusquo yang tidak nyaman agar menjadi lebih baik. Kita tidak tahu pasti siapa pertama kali menciptakan terma ini, tetapi sering diasosiasikan dengan Destutt de Tracy (1754-1836), sarjana Perancis sebagai hasil kajiannya tentang abad pencerahan di Eropa. Tracy percaya bahwa manusia dapat menggunakanm ilmu pengetahuan empirik untuk memperbaiki kondisi sosial politiknya tanpa bantuan agama atau nilai-nilai keruhanian yang lain. Jadi sejak semula ideologi bercorak sekuler-materialistik. Dengan demikian, materialisme merupakan tema utama dalam konsep ideologi. Ideologi adalah juga suatu reaksi terhadap pandangan yang serba teo-sentris. Karl Marx (1818-1883) dan F. Engeles (1820-1895) kemudian mengembangkan teori ideologi yang samasekali berlawanan dengan pendapat Tracy. Bagi kedua sarjana ini ideologi tidak lain dari sebuah fabrikasi yang dipakai oleh sekelompok orang untuk membenarkan diri mereka sendiri. Menurutnya, konsep-konsep ideologi adalah keliru karena umumnya digunakan untuk keuntungan kelas penguasa. Dengan demikian defini si tentang ideologi sangat bervariasi. Sekalipun ideologi ditegakkan atas kepercayaan filosofis tertentu, filsafat punya tiga karakteristik dasar yang membedakannya dengan ideologi, seperti dijelaskan oleh Leon P. Baradat dalam bukunya Political Ideologies (1987) . Pertama, filsafat cenderung bersifat mendalam, berusaha menembus lapisan eksistensi manusia sambil mencari makna hidup yang sebenarnya. Ideoloi tidak ada urusan dengan dimensi yang serba mendalam ini. Sebagai terma politik, ideologi memuat pandangan tentang kekinian dan visi tentang masa depan yang lebih baik secara materialistik. Dan kondisi yang lebih baik itu harus dapat diwujudkan selama rentangan hidup seseorang. Dalam ideologi tidak ada konsep tentang akhirat, kecuali jika kita

Page 11: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

11

membebaskannya dari konsep awalnya dengan menyuntikkan makna relijius kepadanya. Jadi tidak tertutup kemungkinan misalnya untuk menciptakan sebuah idelogi yang bercorak Islam, tetapi mereduksi Islam menjadi sebuah ideologi, hal itu jelas tidak punya landasan teologis yang kuat. Kedua, sekalipun filsafat mengandung seperangkat prinsip-prinsip yang di atasnya seluruh masyarakat mendasarkan aksi-aksinya, ia juga dapat hanya menjadi milik pribadi, yang sifatnya sangat individual. Sebaliknya ideologi senantiasa harus berorienta nyata (action-oriented ) dan selalu diarahkan kepada mobilisasi massa untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Itulah sebabnya ideologi menghindari ungkapan-ungkapan artikulat yang serba canggih agar tidak membingungkan massa. Selain itu, ideologi juga bersifat egosentrik dan berorientasi kepada perubahan. Kesimpulannya, kalau orang bertanya di mana posisi al-Qurán berhadapan dengan berbagai aliran filsafat dan ideologi, maka jawaban yang mungkin diberikan adalah : “Karena Timur dan Barat adalah milik Allah, maka semua hasil pemikiran manusia yang mengandung kebenaran dan kearifan sungguh dihargai dan dapat diintegrasikan ke dalam khazanah pemikiran Islam setelah disaring melalui filter tauhid. ”Ke mana pun kamu berpaling , di situlah wajah Allah.” (Al-Qurán S.2:115). Pemikiran impor yang telah terintegrasikan dengan nilai-nilai tauhid, dengan demikian dapat menjadi milik umat tanpa ragu. (Bersambung) *** 4. Tinjauan Normatif. Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (4) :

Tinjauan Normatif-Etik Kepemimpinan Persyarikatan Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005.

Keberlanjutan Persyarikatan Muhammadiyah amat ditentukan oleh tiga hal pokok: kepemimpinan; amal usaha dan pengembangan organisasi. Di dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah menyelaraskan ketiga aspek itu, akan tetapi tetap saja ada nuansa turun naik dan ciri-ciri tertentu pada setiap kurun dan waktu. Evaluasi terhadap kepemimpinan persyarikatan Muhammadiyah dapat merujuk kepada tokoh dan struktur persyarikatan.

Pada saat sekarang ada yang merasakan bahwa secara etik-normatif, kepemimpin organisasi di dalam persyarikatan Muhammadiyah penuh dengan nilai-nilai ideal, tetapi masih belum bisa sepenuhnya terealisasi dan teraktualisasikan dalam kenyataan. Menggambarkan atau menjelaskan kepemimpinan Muhammadiyah secara utuh tidaklah mudah, lebih-lebih yang bersifat empirik. Fenomena empirik dalam Muhammadiyah--sebagaimana fenomena sosial dan keagamaan yang lainnya—seringkali beragam atau tidak tunggal, sehingga tidak dengan mudah untuk digeneralisasi. Ketidaktunggalan fenomena empirik itu bahkan semakin menjadi tampak rumit atau kompleks ketika ditarik pada konsep-konsep normatif, yang tidak jarang pula bersifat pusparagam dan multitafsir. Dunia empirik dan normatif tidak lepas dari konstruksi yang membuatnya sehingga pada akhirnya bersifat relatif dan subyektif. Ambil contoh mengenai bagaimana format dari fenomena dan norma kepemimpinan kolegial dalam Muhammadiyah, yang selama ini dianggap sebagai ciri khas kepmimpinan Persyarikatan. Seperti apakah sebenarnya kepemimpinan kolegial yang dipandang ideal itu? Apakah kepemimpinan kolektif itu masih memberi ruang pada

Page 12: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

12

kebebasan dan otoritas individu atau bersifat mutlak seperti dalam gaya kepemimpinan kolektif-totaliter. Demikianlahnya dengan konsep atau sosok nyata dari figur pemimpin yang dianggap ideal dalam Muhammadiyah. Apa ciri pemimpin yang ideal dan apakah sungguh ada pemimpim ideal dalam Muhammadiyah itu ? Sebab sering terjadi setiap pemimpin itu memiliki idealisasi di mata ummatnya pada masing-masing periode, yang belum tentu ideal untuk periode lain yang berbeda. Idealisasi itu sendiri hanyalah kontstruksi dari umat atau warga pengikutnya, yang belum tentu diterima oleh kelompok umat yang berbeda. Sosok pemimpin ideal tidak jarang bersifat imaji publik, yang pada intinya juga bersifat konstruksi, demikian Sekretaris PP Muhammadiyah Drs. H. Haedar Nashir, M. Si dalam paparannya , “Struktur Kepemimpinan Muhammadiyah (Tinjauan Kasus)”. Menggali nilai-nilai etik-normatif kepemimpinan dalam Muahamadiyah tentulah amat kaya dan beragam. Misalnya jangan mencari-cari jabatan, sebab biasanya kalau itu mengemuka, justru orang tersebut tidak akan mendapat jabatan di dalam Muhammadiyah. Kalaupun akan duduk juga, biasanya kalau sudah menghadapi masalah plik, tokoh seperti itu akan keok sendiri. Apalagi diiringi doktrin, “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di dalam Muhmmadiyah” yang selalu dikutip bersumber dari pendirinya Kiyai Ahmad Dahlan, akan tidak kompatible (berkesesuaian) dengan mereka yang mengejar jabatan karena ada maunya dan agenda sendiri di luar aturan di dalam Muhmmadiyah, akan terkorbankan dengan sendirinya.

Di samping itu, apakah kiprah kepemimpinan telah selaras dengan apa yang menjadi landasan konstitusional dalam Muhmmadiyah. Misalnya Pasal 3 AD/ART menyebutkan salah satu usaha Muhammadiyah adalah “Menyebarluaskan agama Islam terutama dengan mempergiat dan menggembirakan tabligh”. Itu artinya usaha Muhammadiyah yang pertama adalah yad’una ila al-khair (menyeru kepada kebaikan). Dan ini menjadi substansi dakwah Islam yang dianut Muhammadiyah, bukan semata-mata apa yang di pihak lain lazim di sebut wahua yud’a ilal Islam (dan dia diajak kepada Islam). Usaha kedua di dalam Muhmmadiyah adalah “Mempergiat dan memperdalam pengajian ajaran Islam untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.” Oleh karena itu di samping giat keluar, paling utama lagi pemimpin Muhammadiyah pada doktrin awalnya adalah menggesa warganya memperdalam ilmu pengetahuan dan kajian keislaman. Tentu saja, menurut Drs. H.M. Yusrin Asrofi , M.A. nara sumber pada topik Tinjauan Normatif /Etik atas Struktur Kepemimpinan Muhammadiyah, watak dasar Muhammadiyah yang tidak materialistis harus tercermin di sini. Artinya pemimpin Muhammadiyah, para muballigh-muballigaht dan da’i-nya, kalau dihadapkan kepada pilihan dakawah ilal mal dan ilal masjid, tentu memilih yang kedua. Kalau yang pertama demi uang rela mengubah janji dari masjid biasa kepada upacara dakwah kantoran atau dunia usaha yang besar honornya, sedang yang kedua menepati janji masjid mana yang telah lebih dulu memesan untuk berdakwah walaupun honornya kecil. Usaha ketiga dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah “Memperteguh iman, mempergiat ibadah, meningkatkan semangat jihad dan mempertinggi kualits akhlak”. Pengertian jihad di sini ditarik menjadi kejuangan, karena kata jihad dalam paham umum berbau seram dan keras. Usaha keempat, “Memajukan dan memperbarui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, tekonologi dan seni

Page 13: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

13

serta mempergiat penelitian menurut tuntunan Islam”. Selanjutnya ada 17 sektor usaha Muhammadiyah yang dirumuskan dalam pasal 3 AD/ART yang kesemuanya bersinergi dengan Pedoman Hidup Islami (PHI) Warga Muhammadiyah. Kembali kaitannya dengan struktur kepemimpinan, maka di dalam ART pasal 13 antara lain dinyatakan syarat anggota pimpinan berbunyi “Memiliki kecakapan dan kemampuan menjalankan tugasnya”. Kode etik ini di dalam aplikasinya ternyata tidak matching (sepadan) dengan proses pemilihan pimpinan. Ambil contoh untuk Pimpinan Pusat minimal 13 orang , untuk Pimpinan Wilayah minimal 11 orang dan Pimpinan Daerah miniminal 9 dan seterusnya. Di dalam kenyataan tim 13 atau 11 dan 9 itu hanya mereka yang populer yang terpilih. Peroses pemilihan melalui voting satu suara memilih 13, 11, atau 9 nama itu terasa amat demokratis. Siapa yang banyak suara itulah yang akan menjadi pimpinan, tanpa harus dipertimbangakan setelah masuk tokoh itu duduk pada jabatan apa. Misalnya, selalu terjadi kesulitan menjadi tokoh Bendahara, karena ini memiliki syarat tertentu yang tidak umum. Jadinya seakan-akan jabatan pimpinan berat ke “politis” atau simbol dukungan kekuatan dibanding kepada kemampuan profesional dan proporsional. Hal ini tentu saja memerlukan pemikiran ulang yang perlu didiskusikan. Apakah tidak baik memilih beberapa formatur yang akan menentukan kabinetnya yang kapabel dan akseptabel di masa depan. Belum lagi multi fungsinya posisi seorang atau komunitas tokoh Muhammadiyah. Di samping memimpin atau menjadi anggota pimpinan Muhammadiyah, tokoh itu juga memiliki segudang jabatan baik permanen, struktural dan non-struktural di tempat lain. Sementara di dalam Muhammadiyah profesionalisme pimpinan di tuntut, tetapi tidak secara secara material, karena “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di dalam Muhmmadiyah”. Tentu saja hal ini sudah klasik, tetapi bagi generasi kini dan masa depan, serta tantangan pengembangan persyarikatan di era global memerlukan rekonstruksi yang memadai. Pada sisi lain yang perlu dipikirkan pula adalah seberapa jauh etika kepemimpinan Muhammadiyah harus pula tercermin dalam diri seorang tokoh ketika berkiprah di posisi lain, yang nota bene di luar Muhmmadiyah seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI dan Polri atau dunia usaha lainnya. Ambil contoh ringan, betapa banyak mantan pemimpin dan warga Muhmmadiyah yang ketiban posisi politik era reformasi kemarin duduk di berbagai level badan perwakilan rakyat di Daerah dan di Pusat. Ketika tudingan kepada dewan perwakilan rakyat menerima berbagai fasilitas materi melebihi kapasitas kemampuan daerahnya, pada hal di dewan itu banyak warga Muhammadiyah, tetapi mereka tidak mampu menegakkan etika moralnya merespson masyarakat. Resiko logis Muhammadiyah kena getahnya. Padahal pada setiap pemilu mereka berkoak menyatakan dirinya Muhammadiyah dan ingin meraup suara dari kantong Muhammadiyah. Sesuatu yang ironis, memang. Di sisi lain, watak kepemimpinan di dalam Muhammadiyah, mungkin karena ciri modernisnya itu, terlalu sistemik, kolektif dan impersonal. Kadang-kadang terlalu berat kepada kultur birokratis administratif yang terlalu taat asas, qaidah dan struktur. Setiap kebijakan dan program tidak terlalu cepat bisa dilaksanakan suatu yang memakan waktu dan semuanya harus diputuskan dengan rapat dan musyawarah. Pada satu sisi inilah kepemimpinan yang demokiratis dan bebas kepentingan. Tetapi pada sisi lain terasa terlalu lamban bergerak. Tidak adaptif terhadai kereatifitas perseorangan. Kadang-

Page 14: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

14

Kadang-kadang terasa gersang dan hampa, karena tidak menyiratkan urgennya kepemimpinan pribadi, personal dan kharismatik. Merujuk ke PHI butir 8 bagian kehidupan berorganisasi disebutkan “para pimpinan Muhammadiyah hendaknya gemar mengikuti dan menyelenggarakan kajian keislaman, memakmurkan masjid dan menggiatkan peribadahan sesuai ajaran al-Qurán dan al-Sunnah, mengikuti Rasul dan amalan-malan Islam lainnya”. Pada beberapa tempat dan beberapa kasus banyak masjid Muhammadiyah yang dikuasai orang lain dan amalan-amalan yang ada di situ sudah tidak sepenuhnya mengikuti tuntutan Rasul yang shahih dan rajih yang dikehendaki Muhammadiyah. Ini tentu merupakan kelalaian pimpinan dan warga Muhammadiyah. Pada hal di dalam PHI bagian kehidupan organisasi disebutkan, “setiap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah berkewajiabn memelihara, melangsungkan, dan menyempurnakan gerak dan langkah Persyarikatan dengan penuh komitmen yang istiqamah…” Menyikapi kemungkinan salah pilih lantaran hanya populer lalu menjadi pimpinan, maka perlu dipikir-ulang teknik rekrutmen kepemimpinan itu dalam Muhammadiyah. Bagaimana menempatkan orang-orang yang benar-benar pintar, profesional, ahli dan ikhlas betul, tapi kurang dikenal bisa ikut berkiprah dalam Persyarikatan. Tinjauan di atas tadi tertuju kepada kepemimpinan persyarikatan yang terdiri atas pemimpin dan pembantu pimpinan, di samping kepemimpinan pada sayap organisasi yang disebut organisasi otonom (Ortom) Muhammadiyah. Seterusnya yang amat pula penting artinya adalah ke pemimpinan pada amal usaha. Muhammadiyah dan Aisyiah memiliki lembaga pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi baik umum maupun agama dan pesantren. Begitu pula rumah sakit, panti asuhan, apotek, rumah bersalin, balai pengobatan, dan usaha ekonomi produktif seperti Baitul Mal wa Tamwil, koperasi, toko-toko buku alat tulis, wartel, tempat cukur rambut serta mushalla, masjid-masjid kompleks pendidikan dan kampus. Semuanya meminta perbaikan kepemimpinan yang terus menerus. (Bersambung) ***5. Amal Usaha. Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (5) :

Amal Usaha Aspek Pendidikan Dasar dan Menengah Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005.

Berdasarkan himpunan data terakhir yang tersedia, dewasa ini Muhammadiyah dan Aisyiyah memiliki 162 perguruan tinggi umum, khusus dan agama baik universitas, institut dan sekolah tinggi dalam berbagai jenjang dan program baik diploma maupun strata 1 dan 2. Taman Kanak-Kanak, SD, Pesantren, Aliayah, Tsanawiyah, SMU, SMK yang dulunya diperkirakan 12 ribu sekarang ternyata yang jalan 5599 buah. Begitu pula sekitar 2 ratus

Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Balai Pengobatan, Poliklinik dan Apotik. Sekitar 8 ratus Panti Asuhan untuk yatim-piatu dan lanjut usia serta sekitar 10 ribu mushalla dan masjid. Begitu pula sekitar ratusan usaha eknomi produktif BPR, BMT, toko buku, tempat pangkas rambut, wartel, kios bensin, kebun, tanah wakaf, gedung sekolah, komplek pendidikan, kampus serta kegiatan usaha kecil dan menengah di PWM, PDM, Cabang dan Ranting di seluruh Indonesia. Begitu pula ribuan masjid dan mushalla yang di dalam Muhmmadiyah pengelolaannya jaug disebut bagian dari amal usaha. Lembaga-lembaga

Page 15: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

15

amal usaha lainnya yang tak terdata akan menambah jumlah secara kuantitatif cukup spetakuler.

Semuanya itu memberi citra gigantik (raksasa) nya Muhammadiyah. Akan tetapi di dalam pengelolaannya banyak terjadi ketidak serasian secara organisatoris. Semata-mata melihat kepada data fisik itu, tentulah akan menggiurkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kuat baik secara moral maupun material. Akan tetapi gambaran itu akan mengecewakan kalau dilihat secara transparan dan terbuka. Penamaan kegiatan ini dengan amal usaha, sebenarnya mengandung makna filosofis dan praktis.

Secara filosofis sebutan amal mengandung pemahaman ibadah dan keihklasan. Secara praktis, kata usaha dimafhumkan sebagai pengelolan kerja yang berasas profesionalisme dan manajemen praktis. Oleh karena itu setiap amal usaha dalam lingkungan persyarikatan Muhammadiyah, haruslah mencakup kandungan nilai ibadah dan dengan niat yang ikhlas serta dikelola dengan asas manajemen praktis yang profesional. Di sinilah letak persoalan, karena hampir semua amal usaha itu belum sepenuhnya berkesesuaian dengan konsepsi awalnya yang mulia dan rasional tadi. Dikaji secara profesional, banyak amal usaha itu yang tidak sesuai pengelolaannya dengan tujuan yang diharapkan. Akan tetapi kegigihan manajemen dan pimpinan amal usaha itu, kadang-kadang dapat memberikan kepuasan batin tersendiri bagi Muhammadiyah.

Ambil contoh amal usaha di bidang pendidikan dasar dan menengah. Menurut pengakuan Ketua Majelisnya, Prof. Dr. H. Yunan Yusuf, hanya sekitar 20 persen yang berjalan baik. Selebihnya 80 persen berjalan tidak terlalu normal. Karena itu ada keinginan untuk menahan laju pertambahan lembaga ini dengan catatan bagaimana meningkatkan kualitas yang sudah ada dari pada melahirkan lembaga baru.

Menurut Dirjen Dikdasmen Prof. Dr. Zamroni, sekitar 30 persen sekolah swasta di Indonesia adalah sekolah Muhammadiyah. Akan tetapi dalam satu studi kasus Kalimantan dalam suatu iven Olimpiade Sain Telkom, di antara 120 SMU yang menjadi peserta maka sekolah Muhammadiyah hanya menempati ranking 74, 87 dan 95 untuk SMU Muhammadiyah Balik Papan, Banjarmasin, dan Palangkaraya. Di dalam peta kualitas sekolah di Indonesia, sekolah-sekolah di Kalimantan berada pada papan paling bawah. Maka melihat kepada gambaran tadi, artinya sekolah Muhammadiyah berada di ranking paling bawah di antara papan bawah itu. Memang ironis, karena sekolah-sekolah dalam Muhammadiyah sudah memiliki tradisi sejarah yang amat panjang dan dikelola oleh orang-orang yang melaksanakan tugas dengan penuh dedikasi dan keikhlasan.

Menjawab kenyataan itu, menurut Zamroni penyebabnya antara lain adalah karena selama Orde Baru sekolah Muhammadiyah kehilangan “kultur” nya yang sekarang belum juga muncul kembali. Lebih khusus kultur itu menyangkut menajemennya. Lebih dari itu, ternuyata ada ketidak sesuaian hubungan natara manejemen sekolah dengan struktur persyarikatan yang disebut majelis penmdidikan dasar dan menengah. Sering terjadi ketidak sepahaman antara kedua institusi itu. Ini tentu saja antara lain, karena perseolan internal Muhmmadiyah yang kelihatannya kecil, tetapi kadang-kadang sangat mengganggu.

Akan amat menarik pula dikaji, bahwa orang-orang Muhammadiyah ada yang amat menonjol meningkatkan kualitas pendidikan yang dikelolanya seperti sekolah-sekolah al-Azhar di Jakarta dan beberapa sekolah di tempat lain. Mereka secara perorangan adalah warga Muhammadiyah, tetapi dalam kaitan lembaga pendidikan yang dikelolanya tidak memakai nama Muhammadiyah. Tentu ada satu dua sekolah

Page 16: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

16

Muhammadiyah yang amat bermutu seperti SMU Muhmmadiyah 4 Medan, dan SMU Muhmmadiyah 1 Yogyakarta dan beberapa yang lain. Tetapi jumlah itu terlalu kecil.

Di balik itu semua, kalau kembali kepada acuan dasar fungsi pendidikan maka ada yang disebut engine of growth (mesin pertumbuhan) dan eradicating of poverty (membasmi kemiskinan). Yang pertama adalah teori yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan instrumen untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa ditentukan oleh kemampuan menciptakan investasi, teknologi dan tenaga kerja handal sesuai perkembangan teknologi.

Oleh karena itu pendidikan harus ditekankan pada mempersiapkan tenaga kerja yang handal, profesional dan memiliki kompetensi yang tinggi. Tidak dapat dihindarkan proses pendidikan harus berkualitas dan didukung dengan tenaga pendidikan yang kuat serta fasilitas yang memadai. Untuk mempersiapkan semua itu sekolah atau lembaga pendidikan memerlukan dana yang besar. Tentu saja tidak bisa ditanggung pemerintah, karena itu lembaga pendidikan itu membebankan ke peserta didik dan akibatnya pendidikan itu menjadi mahal. Konsekuensi logisnya pendidikan hanya untuk yang berduit dan yang miskin sulit mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dalam teori ini secara sosilogis, sekolah merupakan awal proses pemilahan stratafikasi sosial. Sekolah bukan semata kewajiban melainkan kesempatan.

Di pihak lain, muncul teori yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan instrumen untuk mengurangi dan membasmi kemiskinan. Pendidikan, oleh karena itu harus diselenggarakan secara merata mencapai penduduk di manapun berada. Pelayanan pendidikan harus dilaksanakan semurah mungkin sehingga dapat dijangkau oleh orang miskin sekalipun. Untuk itu biaya pendidikan harus ditetapkan semurah mungkin sehingga terjangkau masyarakat luas. Boleh jadi karena itu, pelayanan pendidikan bersifat “apada adanya”dan “ala kadarnya”. Kesan pendidikan bersifat populis amat menonjol. Dengan pendidikan tersebut diharapkan mereka kaum miskin akan mendapatkan modal untuk dapat meningkatkan taraf kehidupan mereka.

Di dalam kerangka teori di atas, pada awal perjalanan Persyarikatan, sekolah-sekolah Muhammadiyah cenderung dapat dikelompokkan ke dalam yang kedua tadi: pendidikan sebagai instrumen untuk mengurangi kemiskinan. Hal ini wajar karena sebagian besar kaum muslimin, sebagai konsumen utama, masih terjebak dalam kemiskinan. Kalau sekolah mahal kaum muslimin tidak akan dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sayangnya, sekolah-sekolah Muhmmadiyah untuk sebagian besar dikelola dengan prinsip apa adanya dan asal jalan. Gedung sederhana, peralatan minim dan gaji guru rendah, yang memungkinkan uang sekolah murah sehingga terjangkau warga yang miskin. Biarapun ala kadarnya, yang penting sekolah-sekolah Muhammadiyah dapat menampung anak-anak dari keluarga muslim khususnya. Keadaan semakin menjadi ancaman bagi sekolah Muhammadiyah seteleh Pemerintah Orde Baru dengan boom ekonomi tahun 70-an mampu mendirikan sekolah dan memeratakan pendidikan murah hampir di seluruh Indonesia. Dengan berdirinya sekolah-sekolah inpres, ditambah dengan sistem belajar dua shift pada SLTP dan SLTA kala itu, bahkan juga sekarang di berbagai wilayah di Indonesia mengancam sekolah-sekolah Muhammadiyah yang apa adanya tadi. Maka ratusan bahkan ribuan sekolah Muhammadiyah tutup dari SD, Ibtidayah dan Sekolah-Sekolah Menengah seperti yang telah disinggung di atas dari 12 ribu menjadi 6 ribu 5 ratus dewasa ini.

Page 17: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

17

Perkembangan masyarakat, termasuk semakin bertambah segmen masyarakat muslim yang mampu dan kaya, tidak mempengaruhi perkembangan pemikiran manajemen penyelenggaraan pendidikan, khususnya sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pengelola pendidikan Muhammadiyah masiah “amat bangga” kalau menyatakan bahwa uang sekolah di kalangan sekolah Muhammadiyah murah. Karena biaya yang murah menjadi standard pemikiran dalam pengelolaan sekolah, maka ide-ide dan pemikiran penyelenggaraan sekolah yang memerlukan biaya mahal secara otomatis tidak mendapat tempat. Akibatnya, pemikiran-pemikiran peneyelnggaraan sekolah yang inovatif terpental dari kalangan Muhammadiyah.

Menghadapi keadaan di atas, menurut Prof. Zamroni sudah tiba saatnya Muhammadiyah berfikir ulang, apakah akan tetap dengan pola lama atau akan beralih ke pemikiran yang telah menjadi idola bagi sekolah-sekolah alternatif dewasa ini ? Pilihan yang tidak mudah, memang. Untuk itu di sampaing dilakukan perbaikan konvensional dalam meninhgkatkan mutu seperti melengkapai sarana dan prasarana. Kualitas guru dan sebagainya, harus dilakukan upaya non-konvensional. Di antaranya perlu keberanian mempertanyakan kembali tujuan sekolah Muhammadiyah.

Kalau selama ini tujuan pendirian sekolah Muhammdiyah untuk menyemai kader persyarikatan, maka kini harusd diubah. Realitasnya tidak menunjukkan bahwa sekolah-sekolah Muhammadiyah kalah pamor sebagai penyemaian kader dibandingkan kaderisasi lewat organisasi otono seperti IRM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiah dan Tapak Suci Putra Muhammadiyah. Dan kalau akan ada juga sekolah kader cukuplah dengan proyek-proyek khusus seperti Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah. Sekolah kader itu memang harus didukung sepenuhnya denghan pengelolalan dan dana khusus. Selebihnya ke depan, lembaga pendidikan Muhammadiyah hendaknya berpacu dengan realitas konkret yang ada sekarangb bukan sekolah kader, melainkan sekolah untuk menggembirakan kehidupan beragama, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk menyiapkan para peserta didik menjadi warga negara yang baik yang dapat hidup layak di tengah-tengah masyarakat. Maka kerena itu bukan lagi jumlah sekolah yang dibutuhkan, tetapi mutu sekolah yang diutamakan dengan cara apa pun. Untuk itu perlu dirumuskan manajemen yang canggih dengan vsisi dan missi yang menggambarkan hal-hal : (1)karakteristik sekolah; (2)arah dan tujuan sekolah; (3)kebijakan sekolah yang ada: (4)kultur sekolah; (5)kegiatan yang mengarah masa depan; (6)warga masyarakat yang bisa dilayani: (7)cara memotivasi dalam menghadapi tantangan.

Berdasarkan visi dan missi Muhammadiyah merumuskan program kegiatan sekolah dan menetapkan standard yang harus ada di setiap sekolah Muhammadiyah di manapun berada . Kegiatan ini erat berkaitan dengan hakikat Muhmmadiyah sebagai gerakan Islam amar ma’aruf nahi munkar. Di luar kegiatan standard tadi Muhammadiyah memberikan kesempatan masing-masing sekolah untuk mengembangkan program kegiatan sesuai sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan lokal. Tentu saja semuanya itu harus diiringi dengan mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi sejauh mana program kegiatan standard berjalan sebagaimana telah direncanakan. (Berambung) ***6. PTM Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (6) :

Page 18: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

18

PTM Perpaduan Komitmen dan Profesionalisme Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005.

Tak berapa jauh dari amal usaha lain, aspek Pendidikan Tinggi menghadapi persoalan yang sama yaitu komitmen dan profesionalisme. Kalau amal usaha Muhammadiyah ditangani hanya dengan komitmen saja, pasti akan salah urus. Sebaliknya jika ditangani hanya secara profesional tanpa komitmen, maka pasti akan terjadi penyimpangan. Di awal kemerdekaan, komitmen Muhammadiyah dalam

membangun pendidikan ini tak diragukan lagi. Terjadi boom luar biasa dalam jumlah dan kuantitas lembaga pendidikan Muhammdiyah. Belakangan setelah pemerintah mempunyai kemampuan maka lembaga pendidikan negeri berkembang pesat. Paling akhir pertumbuhan jumlah lembaga pendidikan itu ditopang dengan pesat oleh lembaga masyarakat dan perorangan serta organsiasi lain. Untuk daerah dan wilayah tertentu bahkan melebihi Muhammadiyah. Yang demikian ini sering tidak difahami oleh kalangan dalam Muhammadiyah, bahwa untuk bisa memiliki komitmen yang tinggi harus ada proses penghayatan terhadap hakikat berjuang di Muhammadiyah. Kemudian, untuk mencapai tingkat profesional yang tinggi itu juga harus melalui proses, baik itu berupa pelatihan, pendidikan dan pengalaman-pengalaman di lapangan yang tidak tanggung-tanggung. Keduanya harus dipadukan. Menurut salah seorang nara sumber pengajian Ramadhan ini, Drs. H. Muhajir Efendi, MAP, Rektor Universitas Muhmmadiyah Malang (UMM), karena mencoba mengkombinasikan antara komitmen profesionalisme dan itu, beberapa kalangan Muhammadiyah sering memelesetkan kepanjangan UMM menjadi Universitas Makin Mahal. Orang-orang yang terkenal sangat tinggi komitmen kemuhammadiyahaannya, ketika penerimaan mahasiswa baru sering menulis surat kaleng ke UMM, hendak di kemanakan misi Muhammadiyah kalau biaya pendidikannya mahal sehingga warga Muhammadiyah sendiri tidak bisa menikmati fasilitas pendidikan milik Muhammadiyah. Membahas Pendidikan Tinggi Muhammadiyah (PTM) tidak bisa dilepaskan dengan koteks pendidikan nasional secara makro. Menurut catatan yang paling aktual, pendidikan di negeri ini sungguh masih rendah kualitasnya. Menurut nara sumber lain, Prof. Drs. H. Suyanto, M.Ed, Ph.D, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang juga wakil ketua Mejelis Dikti PP Muhammdiyah, dengan mengutip beberapa hasil riset terakhir, pendidikan nasional Indonesia berada pada peringkat 12 dari 12 negara di Asia. Pendidikan Muhmmadiyah kurang lebih juga memiliki persoalan yang sama atau bahkan lebih serius jika dikaitkan dengan indikator penting kualitas pendidikan.

Secara kuantitaif PTM telah berkembang amat pesat. Meskipun tahun 1950-an sudah ada Fakultas Hukum dan Falsafat PTM di Padang Panjang, tetapi pertumbuhan kuantitatif sangat mengesankan itu di Indonesia dimulai tahun 1970-an. Dalam waktu 30 tahun telah mencapai angka ratusan. Pada periode 1986-1990 tercatat jumlah PTM 78; periode 1990-1995 bertambah 12; periode 1995-2000 PTM sudah menjadi 139; akhirnya pada awal 2002 ini PTM telah mencapai angka 166 dalam bentuk universitas, sekolah tinggi, akademi dan politeknik. Meskipun demikian, pertumbuhan PTM dalam kulaitas perlu dipertanyakan. Dari 311 program studi yang ada di PTM yang memperoleh akreditasi A baru 3,5 %; B 40,5%; C 39,2 % dan D 16,7 %.

Page 19: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

19

Menghadapi kenyataan itu, Suyanto menghimbau seluruh pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan harus segera melakukan repleksi yang mendalam terhadap fenomena ini. Janganlah mengabaikan persoalan yang terkait dengan kualitas jika Pimpnan Muhammadiyah memberikan pertimbangan untuk mendirikan PTM yang baru. Hanya lantaran karena memelilki tanah wakaf yang amat luas tetapi tanpa kelengkapan SDM dan sarana-prasarana yang cukup lalu berlomba-lomba mendirikan PTM. Sementara itu, PTM yang ada sekarang sudah memadai dengan upaya terus menerus meningkatkan mutu laboratorium, proses belajar mengajar, sumber daya manusia, kepustakaan, lembaga riset, pengembangan, pengabdian dan setusnya serta sarana prasarannya terus ditingkatkan. Apabila upaya peningkatan kualitas itu tidak menjadi titik perogram pengembangan, niscaya amal usaha bidang pendidikan tinggi ini akan menjadi beban sejarah bagi persyarikatan Muhammadiyah. Persyarikatan yang memiliki nama besar sebagai pelopor di bidang pendidikan sejak masa penjajahan sampai dekade awal kemerdekaan, akan menjadi lemah dan kehilangan harapan bagi kesertaan optimal dalam gerak pembangunan SDM bangsa. Generasi akan datang bukannya bersyukur akan upaya keras Muhammadiyah malah mempertanyakannya dalam kaitannya dengan konteks zaman yang semakin meminta kecanggihan dan kualitas tinggi setiap komponen dan aspek pembangunan bangsa. Di sinilah letaknya penyelenggaraan PTM secara penuh mesti memperhatikan apa yang disebut RAISE yaitu Relevance, Academic Atmosphere, Institusional Management, Sustainability, dan Efficiency-Productivity. Penegakan aspek-aspek relevansi, suasana kondusif akademik, menejemen institusi, keberlanjutan dan efisiensi-produktivitas itu memerlukan profesionalisme yang tingi. Ujung-ujungnya dari pengelolaan secara profesional itu ialah terciptanya PTM yang kuat dengan indikator-indikator : (a) mahasiswa yang diterima semakin berkualitas dengan selektivitas rasio yang tinggi; (2)kualitas dosen semakin meningkat dengan rekrutmen, pengembangan karier, pendidikan tambahan formal di atas S.1, budaya dan perilaku akademik yang semakin positif; (3)kepemimpinan yang kuat dan kondusif bagi perkembangan budaya akademik. Satu hal yang amat perlu pula diprogramkan adalah bahwa lantaran sebagian besar PTM masih menggantungkan pendanaan kepada SPP mahasiswa. Untuk kede pana demi menjaga sustainability sudah amat mendesak PTM mencari sumber pendanaan dari usaha produktif lain. Beberapa PTM yang kuat sudah melakukan itu, meskipun belum sepenuhnya mampu menutup semua kebutuhan dana operasional. Selain itu, gagasan selama ini tentang kerja sama lintas PTM dengan networking sesama PTM maupun dengtan PT lain di luar PTM serta institusi yang relevan akan kebutuhan pengembangan dharma pergruruan tinggi dalam dan luar negeri harus segera direalisasikan lebih optimal, kontinu dan luas. Hal itu amat perlu dilakukan agar PTM melakukan resources sharing (berbagi sumber daya) dalam rangka menjaga efisiensi pengelolaan dan melakukan benchmarking (citra baku) secara internal maupun eksternal. Lebih dari pada itu semua maka akuntabilitas penyelenggaran PTM harus menjadi fokus amat pernting. Akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban perguruan tinggi dalam hal melaksanakan prinsip otonomi. Menurut Soehendro (1996) akuntabilatas merupakan kesesuaian antara tujuan yang dinyatakan oleh perguruan tinggi dengan falsafah, moral dan etika yang dianut secara umum dalam masyarakat. Kesesuain itu akan terrepleksi di dalam pola kegiatan sivitas akademika serta hasil dampak yang dicapai.

Page 20: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

20

Oleh karena itu amat diperlukan keterbukaan terhadap penilikan dan pemantauan oleh pihak yang berkepentingan mengenai penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan fungsionalnya seperti fungsi-fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian menjadi amat penting pertanggungjawaban pemanfaatan sumberda daya dalam upaya pencapaian tujuan yang telah dinyatakan. Akibatnya secara transfaran dituntut aktualisasi asas otonomi dan kebebasan akademik, agar tidak disalahgunakan dan menyimpang dari pengaturan dan kesepakatan yang ditetapkan sebagai rambu-rambu. Ujungnya maka dituntut pula kesadaran para anggota civitas akademika bahwa aktualisasi perilaku dan tingkah lakunya tidak akan menggangu pelaksanaan kegiatan fungsional lembaga dan juga pihak masyakat pada umumnya. Dalam kaitan dengan komitemen PTM terhadap Persyarikatan telah lama mengemuka isu strategis mengenai kaderisasi bagi kepemimpinan dan aktivis Muhammadiyah bagi para alumnus PTM secara baik. Ada keluhan mendasar bahwa sampai saat ini PTM belum secara nyata mampu melahirkan kader Muhammadiyah secara sistematis dan berkesinambungan. Keluhan yang dikemukakan oleh Suyanto ini mendapat tanggapan dari Muhajir Efendi. Menurut Rektor UMM ini di samping sebagai salah satu di antara wadah penggembeleng kader, PTM lebih merupakan pengemban misi dan sarana dakwah. Oleh karena itu yang menjadi mahasiswanya harus lebih banyak di luar kalangan Muhammadiyah. Pendidikan kemuhammadiyahan yang terlembaga pada dasarnya diperlukan oleh lingkungan di luar Muhammadiyah, sedang bagi warga Muhammadiyah pendidikan kemuhammadiyah di dalam keluarganya sendiri akan lebih afdhal dan efektif karena langsung dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Paling bagi mereka yang memerlukan permahaman kognitif dapat dilakukan melalui bimbingan singkat di PTM dan studi kepustakaan tanpa harus menghabiskan waktu panjang. Hanya persoalannya selama ini agak ironis, amat jarang terjadi anak-anak Muhammadiyah menjadi tokoh Muhammadiyah seperti orang tuanya. Mungkin ada kaitannya dengan program Aisyiah menjadikan rumah tangga sakinah versi Muhammdiyah itu. Program rumah tangga sakinahnya kurang fokus dan lebih lebih bersifat umum, sehingga kurang terasa garam kemuhammadiyahannnya. Ini tentu saja problem yang harus dipikirkan segera jalan keluargnya Lebih dari itu yang amat mengkhawatirkan bagi Muhajir adalah kenyataan bahwa di UMM sendiri, calon mahasiswa yang masuk ke Fakultas Agama Islam lebih rendah kemampuannya dibandingkan yang masuk ke fakultas-fakultas sains, sosial dan humaniora lainnya. Jumlah pendaftar pun jauh lebih kecil dibaning yang lain tadi. Akibat nya terjadi pilihan sulit, mau diluluskan kualitasnya rendah, kalau tidak diterima ada rasa “berdosa”, karena mereka niatnya baik untuk memperdalam studi agama Islam dan tentu saja terkandung niat suci melebihi persoalan duniawi lainnya. Menyinggung soal networking yang dikemukakan di atas tadi oleh Suyanto, Muhajir melihat dalam kaitan total starategi kependidikan dalam Muhammadiyah. Di samping dengan pihak sesama PTM dan pihak luar, jalinan kerjasama itu amat strategis pula antara PTM dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah baik tingkat menengah dan dasar yang ada di sekitarnya. Kalau ini bisa dilakukan akan terjadi simbiose yang amat besar manfaat dan dampak positifnya. Misalnya peningkatan pemanfaatan laboratoirum, lembaga bahasa dan pusat komputer, lomba karya ilmiah serta pengaitan program KKN PTM bersangkutan dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah tadi. Tentulah itu semuanya merupakan keniscayaan yang bukan khayalan .(Bersambung) *** 7. Amal Usaha.

Page 21: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

21

Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (7) :

Amal Usaha Aspek Kesehatan dan Kesmas Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005

Kalangan Muhammadiyah termasuk warga umat yang amat getol berwacana, memahami dan memprogramkan sinerji aktif ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah ‘ammah (sosial). Sebagaimana telah dimaklumi bahwa di dalam setiap ibadah mahdhah yang sekalipun bersifat perorangan, individual atau pribadi, dalam filosofis-hikmah ritualistiknya senantiasa mengandung dimensi sosial. Dimensi sosial ibadah ritual di dalam praktrik dapat difahami misalnya

adanya anjuran untuk membaca surat atau ayat pendek dalam salat berjamaah yang makmumnya banyak orang tua dan lansia. Apabila makan terhidang dan waktu shalat datang, diutamakan makan terlebih dulu.

Apabila orang tua, ayah atau ibu memanggil, maka utamakan menjawab itu lebih dulu dari pada melanjutkan shalat. Apabila ada ibadah mahdah yang cacat dapat dikonversi (diganti) dengan ibadah sosial seperti membayar kifarat bagi yang membatalkan puasa karena hubungan suami isteri dengan memberikan makan fakir miskin. Ritual haji yang bagiannya tertentu tak tertunaikan dibayarkan dengan denda melalui dam atau tebusan dengan menyembelih korban daging untuk dibagikan ke fakir miskin. Begitu pula ibadah korban itu sendiri pada hari raya idul kurban dan sebagainya. Ada ibadah yang tak bernilai kalau terjadi perilaku yang merusak hubungan sosial seperti hadis riwayat Muslim yang mengatakan bahwa ibadah puasa akan tak bernilai kalau dilakukan 5 perbuatan seperti berbohong, bergunjing, menghasut, bersumpah palsu serta melihat lawan jenis dengan syahwat. Sebaliknya manakala perilaku sosial yang cacat, maka tidak dapat digantikan dengan ibadah ritual. Misalnya perbuatan korupsi, zhalim, memfitnah dan sebagainya tidak dapat digantikan dengan haji dan puasa. Prilaku sosial yang menyimpang itu hanya dapat diperbaiki dengan tobat nashuhah dengan meminta ampun kepada Allah dan berniat secara permanen tidak mengulangi lagi perilaku buruk itu. Di samping landasan agamis tadi, Muhammadiyah sejak awal kelahirannya melihat bahwa fungsi sosial dari setiap ibadah itu kurang mendapat perhatian di awal abad ini oleh kalangan muslim di Indonesia. Di kalangan persyarikatan ini sudah menjadi suatu kredo tersendiri ketika menelusur ulang sejarah kelahiran Muhammadiyah berdasarkan kisah Kiyai Dahlan yang mengaji tafsir surat al-Ma’un. Kiyai ini tidak melanjutkan pengajiannya sebelum jamaah pengajian menunjukkan aksi sosial mempedulikan anak yatim secara konkrit. Baru setelah dihimpun dana dan beras untuk anak yatim barulah kiyai ini melanjutkan pengajian ke tingkat berikutnya. Inspirasi kepedulian sosial itulah yang berkembang dalam sejarah Muhammadiyah dengan lahirnya Majelis Penolong Kesengsaraan Oemat (PKO) pada dekade kedua kelahiran Muhmmadiyah. Dari situlah lahirnya ide mendirikan panti asuhan, panti lansia dan rumah sakit, balai kesehatan, rumah bersalin dan sebagainya. Para pengamat asing melihat, faktor eksternal turut memberi motivasi para pemimpin awal untuk mendirikan dan menggerakkan amal usaha sosial itu. Di antaranya mengambil hikmah dan pelajaran dari kalangan agama lain yang sangat giat dalam lapangan yang satu ini. Rumah sakit, Panti Asuhan, Bala Keselamatan (Salvation Army) zending dan

Page 22: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

22

misi di zaman penjajahan Belanda, telah pula menambah semangat para pemimpin awal Muhammadiyah tadi untuk meningkatkan kepedulian dalam amal usaha sosial ini. Hampir satu abad ini satu-satunya organisasi sosial Islam yang dapat menggandeng kalangan lain tadi, kalau tidaklah mengatakan melebihi dalam jumlah, adalah Muhammadiyah. Persoalannya, sekali lagi soal kapasitas, kecanggihan dan kelengkapan sarana prasarana, mutu kerja dan kualitas pelayanan terasa tetap kalah dengan lembaga milik zending dan misi tadi. Rumah sakit zending dan misi mempunyai jaringan kerja internasional yang sangat kuat. Bantuan tenaga, dana dan peralatan yang amat canggih mengalir dari pusat-pusat internasional di Eropa dan Amerika tanpa batas.

Kenyataan menunjukkan beberapa kalangan Islam sendiri yang kaya lebih memilih berobat ke rumah sakit milik lain itu di bandingkan Muhammadiyah karena alasan mutu, kualitas dan pelayanan tadi. Suatu kisah ironis terjadi ketika seorang kaya Muslim yang mendekati sakratul maut dirawat di rumah sakit lain tadi, akhirnya meninggal dunia. Ternyata setelah dihitung, keluarga almarhum harus membayar biaya rawat inap, operasi, ICCU, dan obatan-obatan serta dokter hampir 40 juta rupiah. Biaya semahal itu karena rumah sakit tadi memiliki peralatan yang amat canggih. Meskipun meninggal dunia, keluarga almarhum tadi mesti membayar hutang itu. Orang lain yang menyaksikan kasus itu lalu menggerutu dalam hati, bahwa orang muslim yang meninggalpun tetap mensubsidi rumah sakit lain tadi. Padahal di situ pekerjaan tidak dimulai dengan membaca bismillah ketika mengobatnya dan mengoperasinya serta di setiap ruang digantung palang . Perilaku orang kaya Muslim tadi, belum sepenuhnya dapat dijawab oleh kalangan Muhammadiyah. Manejemen, pengelolaan administrasi keuangan, keberanian meminjam modal di Bank, dan bantuan serta investasi dari orang kaya Muslim lainnya belum dieskplorasi secara optimal. Walaupun demikian, di tengah kenyataan yang belum amat menggembirakan itu, ada beberapa rumah sakit dan panti asuhan di beberapa wilayah di Jawa dan luarnya yang relatif memberi hiburan. Misalnya Rumah Sakit Islam di Jakarta, Rumah Sakit Siti Khadijah Makasar dan beberapa lainnya.

Khusus Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan kini berkembang lebih menarik. Dengan mengembangkan jaringan usaha di bidang pelayanan medik dengan sentuhan manajemen pemberdayaan umat. Melalui jaringan itu dikembangkan pelayanan dengan bekerjasama dengan unit-unit pelayanan di tingkat kecamatan dan desa melalui pusat-pusat pelayanan kesehatan Muhmmadiyah. Di situ diatur jadwal praktek dokter dan penyediaan obat-obatan. Dalam satu wilayah Kabupaten ada satu sistem manajemen dalam satu jaringan pelayanan kesehatan secara terpadu. Dengan begitu ummat dan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan secara standard dengan tenaga-tenaga medis dan obat-obatan yang diperlukan secara mencukupi dan berkualitas prima. Bentuk pelayanan demikian nampaknya akan memberi inspirasi kepada Muhammadiyah dengan membangun jaringan sinerjik seluruh Indonesia. Untuk itu kini sedang dilakukan penataan dan untuk menjawab salah satu kebutuhan dalam menggalang jaringan itu, kini sedang dirintis pendirian perusahan pabrik obat di bawah perusahaan PT Surya Husada dengan akte notaris Yudo Paripurno SH No. 15 Tahun 2002. Perusahaan ini bergerak dalam Hospital Management Conculting bekerjasama dengan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. Lalu dengan bendera PT. Surya Husada Farma mendirikan pabrik farmasi di Bandung. Kemudian Menjadi distributor dan pedagang besar farmasi serta Health Care Management. Meskipun setiap aksi dan rancangan konsepsi selalu

Page 23: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

23

mengandung optimisme dan pesimisme, namun proyek yang satu ini tetap menaruh harapan. Sebagaimana proyek-proyek nasional Muhammadiyah sebelum ini seperti PT Solar Global Internasional, KATAM, Bank Persyarikatan dan lain-lain tetap jalan walapun tidak terlalu menggebu-gebu. Selain Rumah Sakit, amal usaha bidang sosial Muhmmadiyah yang cukup menonjol adalah panti asuhan untuk yatim-piatu, bayi dan anak-anak terlantar, warga masyarakat berusia lanjut dan seterusnya. Di dalam pengelolaannya banyak yang menghadapi kendala baik secara materi maupun non-materi. Secara materi ada yang kekurangan sarana dan prasarana serta logistik dan lainnya. Secara non-materi, meski ada yang pisiknya baik sehingga panti itu sepertinya tempat penggemukan, tetapi pembinaan keterampilan anak, asuhan agama, pendidikan dan watak kepribadian ada yang masih kurang. Walaupun demikian, panti asuhan Muhammadiyah tetap berjalan perlahan tetapi berlanjut. Satu dua ada yang dikelola secara baik. Misalnya sebuah Panti Asuhan di Bandung yang tidak saja menampung anak yatim piatu, tetapi juga menampung bayi yang tidak jelas orang tuanya. Suatu kali abang becak menemukan seorang bayi bening merah menggeliat di atas jok becak tua pintu rezekinya yang terparkir di kejauhan di bawah hujan gerimis gelap malam. Tidak mengetahui siapa yang menaruh bayi itu dan tak tahu apa yang harus dilakukan, abang becak meluncur membawa bayi itu ke Panti Asuhan Muhammadiyah yang ia kenal. Mungkin karena pengelolaan yang baik, Panti ini cukup terkenal di Bandung dan mempunyai anak asuh yang cukup banyak serta mempunyai asset yang lumayan untuk menafkahi warganya dan bantuan selalu datang tanpa perlu harus mengemis ke mana-mana. Keadaan yang berlangsung alamiah dalam kiprah amal usaha sepanjang sejarah Muhmmadiyah menjelang satu abad ternyata belum memberikan kepuasan prima dalam pengelolaan dan pengembangan amal usaha bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat ini. Menurut Ketua Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat PP Muhammdiyah, Dr. Sudibyo Markus, MM., MBA, masih terdapat kecenderungan yang kurang menguntungkan. Di antaranya masih terjadi distorsi dan disorientasi pemahaman visi dan misi persyarikatan dalam pengendalian dan manajemen amal usaha. Di antaranya kelihatan masih tergambar sktesa piramida terbalik dalam struktur kepempimpinannya. Di samping itu terus terjadi peralihan kultur dari wira usaha ke birokrasi; dari rural ke urban; dan dari swadaya kepada ketergantungan. Akibatnya lembaga amal usaha ini kurang cepat mengantisipasi perubahan dan berbahaya lagi karena ada yang terpukau dengan glamor fisik amal usaha. Kendala lain adalah di tengah hasrat yang tinggi untuk menumbuhkan amal usaha, tetapi terbentur dengan sumber tenaga dan dana, kebijakan tidak sepenuhnya dapat diwujudkan dalam program operasional. Masih terdapat “primordialisme” dalam kepemimpinan dan penyelenggaraan, pengaturan dan interest pribadi ketika amal usaha itu mulai tumbuh dan berkembang dari bawah dan kadang-kadang ia menjadi pulau-pulau amal usaha terasing di tengah samudera persyarikatan yang besar dan luas. Untuk menelisik semua itu, maka kebijakan kedepan harus dilakukan dengan konsolidasi, pengaturan, pembenahan dan jaringan kemitraan, dana dan pengembangan yang strategis. Apakah amal usaha di bidang kesehatan dan kesejahteraan masyarakat itu dapat pula dimodifikasi di samping tujuan sosialnya adalah juga ekonomi produktif sebagai Badan Usaha Milik Muhammadiyah dengan penyelenggaraan yang effisien,

Page 24: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

24

efektif dan eknomis. Di sinilah pentingnya kembali Muhammadiyah merekonsktruksi ulang apa yang 30 tahun lalu dikenal dengan konsep Gerakan Dakwah Jama’ah, keluarga sakinah, dan qoriyah thaiyibah sebagai gerakan dasar uantuk mencapai tujuan Muhmmadiyah yang disebut masyarakat utama dalam mencapai masyarakat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang senantiasa diidamkan. (Bersambung). 8. Globalisme Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (8) :

Globalisme, Radikalisme dan Terorisme Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005.

Di tengah tantangan globalisme dewasa ini, Persyarikatan Islam seperti Muhammadiyah berupaya eksis dengan kokoh. Menurut Prof. Malik Fajar, Wakil Ketua PP Muhammadyah, ciri utama Muhmmadiyah yang tak bisa ditawar-tawar berhadapan dengan globalisme adalah Tauhid. Menengok sejarah inspirasi awal sentuhan gelobalisme itu sendiri, inspirator dan pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan berangkat dari simbol gelobal Islam yang

disebut Kiblat. Telah terjadi “geger” kiblat pada awalnya ketika pendiri Muhammadiyah itu mempertahankan prinsip perhitungan posisi arah kiblat di Masjid Kesultanan Ngayogyakarta pada dekade awal abad lalu. Mengikuti globalisme kiblat itu, dalam setiap diri kaum muslimin dan muslimat, setiap dilaksanakan shalat berarti sujud menghadap ka’batullah memberikan bekas baik secara fisik, maupun dan lebih-lebih lagi psikologis-spiritual yang disebut “atsaris sujud” (bekas sujud). Ini menandakan bahwa mereka yang mempunyai atsaris sujud itu memiliki cahaya kedamaian, kesentosaan dan kesejukan , jauh dari keberingasan, kemarahan dan kekerasan. Nafas kedamaian yang pada dasarnya merupakan makna dasar dari al-Islam itu sendiri mesti memancar di setiap diri, warga dan tokoh serta komunitas ummat Islam secara umum dan secara khusus dalam setiap komunitas persyarikatannya seperti Muhammadiyah dan lain-lain. Muhamamdiyah dengan amal usahanya di berbagai sektor dan aspek serta lapangan kehidupan di dalam kiprahnya harus meningkatkan, memperluas dan menumbuh kembangkan peradaban Islam, mashalat (untuk kebaikan) bukan mafsadat (kerusakan), santun dan tidak akan memberi peluang untuk berkembangnya suatu suasana kekerasan apa lagi terorisme.

Amal usaha itu harus yang membangkitkan kegairahan untuk mencapai posisi kebaikan , humanistik, berkeadilan dan tentu saja didukung oleh inspirasi politik bebas dan aktif tidak kaku apalagi nunut (mengekor). Untuk itulah maka Muhammadiyah dalam kaitan globalisme di samping senantiasa memandang ke dalam (inward-looking) juga memandang keluar (outward-looking) jauh ke masa depan. Ambil contoh Aisyiah, yang sudah sejak dekade kedua awal ke-20 lalu amat aktif berperanan dalam kehidupan dalam dan luar rumah tangga yang bahasa sekarang disebut pemberdayaan perempuan dan kiprah jender. Jadi soal wacana jender di dalam persyarikatan ini bukan hal baru, tetapi Aisyiah telah mendahului zamannya karena di dunia global wacana jender itu baru ramai dibicarakan 20-30 tahun belakangan. Membekali diri dalam gelombang globalisme, pilihan tidak ada bagi warga Muhammadiyah kecuali memperkokoh konsepsi qaidah-filosofis mu’amalah yang disebut Pedoman Hidup Islami Warga Muhammdiyah (PHI) . Tentu saja restrukturisasi

Page 25: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

25

senantiasa dituntut dalam pembenahan struktural dan kultural baik dalam level kepemimpinan maupun organisasi, program dan amal usaha . Satu orang menjabat berbagai posisi misalnya, tentulah harus dihindari. Begitu pula peran strategis yang harus realistis dalam program kemanusiaan, kedamaian, pluralisme dan pemberdayaan harus relevan dengan tuntutan keadaan. Oleh karena itu kalau Muhammaidyah mengaji soal terorisme, itu tidak berarti menjadi teroris tetapi untuk memahami di mana entry point menghadapi persoalan itu yang Islami-damai bukan yang keras, menghancurkan dan menakutkan. Mengawali sesi eksternal dengan judul Akar Historis Radikalisme dan Terorisme, menurut nara sumber Prof. Dr. Azyumardi Azra, wacana yang berkembang akhir-akhir ini yang kebanyakan disederhanakan menjadi Islam dan Terorisme adalah menyesatkan. Karena judul itu seakan seakan membenarkan (justifikasi), bahwa Islam diidentikkan dengan terorisme , padahal itu salah. Di dalam Islam, sekalipun peperangan merupakan pembunuhan yang jastifaid, itu pun ada aturannya antara lain anak-anak dan wanita serta orang tua harus dilindungi. Tempat ibadah dan fasilitas publik tidak boleh dirusak bahkan satwa, flora dan fauna tidak boleh diganggu. Apalagi dalam masa damai, semuanya tidak boleh terjadi hal yang menakutkan, merusak, dan seterusnya. Jadi kekerasan seperti terorisme tidak ada pembenarannya di dalam teologis, agama dan politik. Merujuk ke pemahaman awal tentang radikalisme sebagai paham yang mendasar tentang sesuatu maka radikalisme sebagai gagasan, ide, wacana dan pemahaman yang bersifat ideologis, pandangan hidup, world view dan seterusnya tidaklah dipersoalkan. Radikalisme semacam ini boleh disebut sebagai radikalisme etik. Persoalan timbul setelah radikalisme etik atau ideologis itu turun ke bumi praksisnya dengan melakukan tindakan kekerasan, berutal dan fisikal yang menghancurkan. Hal itu tentu tidak berubah begitu saja, pasti ada trigger (pemicu). Oleh perseta pengajian, faktor pemicu ini yang kadang-kadang dilupakan oleh aparaturt di Indonesia. Misalnya beberpa waktu lalu front FPI menghancurkan tempat maksiat, sebelumnya mereka sudah meminta aparat untuk menutupnya tetapi tidak ada reaksi. Pada tataran inilah radikalisme etik berubah menjadi perilaku kekerasan. Yang harus dihindarkan adalah berubahnya radikalisme yang pertama tadi menjadi radikalisme yang kedua alias terorisme itu. Tindakan radikal secara cepat, menyeluruh ke akar persoalan yang direalisasikan dengan tidak mempedulikan hukum yang berlaku, itulah yang akan menjadi anarkhisme dan terorisme. Meskipun di dalam Perpu anti Terorisme 2002 belum didefinisikan terorisme, tetapi secara umum biasa dipahami bahwa terorisme adalah tindak kekerasan untuk menimbulkan ketakutan publik, menimbulkan korban tanpa seleksi untuk tujuan mempengaruhi kebijakan suatu otoritas. Apabila di dalam bentuk yang pertama, yaitu radikalisme di dalam pemahaman dan pemikiran teologi dan agama atau ideologi yang otodoks, murni dan puritan, mendasar atau fundamental dengan tidak menjelma menjadi terorisme, biasanya dipersandingkan dengan pemahaman teologi, agama dan ideologi yang disebut moderat (jalan tengah) dan liberalisme (bebas) atau longgar . Kenyataan menunjukkan bahwa tidak jarang radikaslime ideologis itu menjelma menjadi terorisme. Sejauh ini, keadaan itu terjadi antara lain karena faktor politik bukan agama dalam makna yang otentik. Kalau agama dikaitkan, itu hanya sebagai simbol yang datang belakangan secara tidak proporsional. Inilah yang terjadi di dalam sejarah kelabu umat Islam pada fase awal setelah masa kerasulan dan Nabi Muhammad saw wafat atau tepatnya di ujung periode sahabat Khulafa al-Rasyidun. Kejadiannya adalah setelah

Page 26: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

26

Ustman bin Affan wafat, terjadi perbedaan pendapat antara kelompok Ali as dan Muawiyah bin Abi Sofyan tentang pengganti khalifah. Sementara ada kelompok ummat yang ingin mencari dulu siapa yang membunuh Ustman, dan menghukumnya, bukan memperebutkan posisi kekhalifahan. Di antara yang bererebut kekuasaan, mereka ingin mengambil posisi itu yang akhhirnya dilakukan arbitrase. Di dalam proses arbitrase itu tidak ada kata sepakat. Akhirnya terpecah menjadi tiga kelompok yaitu pertama, kaum Muawiyah yang belakangan mengklaims sebagai ahlu sunnah, kedua pengikut Ali yang belakangan dikenal sebagai Syiáh Ali dan yang ketiga bertentangan dengan keduanya muncullah kaum khawarij . Yang paling keras adalah yang terakhir ini yang senantiasa menggunakan ayat yang mengatakan bahwa siapa yang tidak menegakkan hukum Allah maka dia kafir, orang kafir darahnya halal dan seterusnya. Perpecahan dengan demikian tak dapat dihindari, yang senyatanya diawali perebutan kekuasaan politik tadi. Belakangan sampai ke soal hukum orang kafir dan pelaku dosa besar itu masuk syorga atau masuk neraka dan sebagainya sehingga menumbuhkan kelompok teologis murjiáh, muktazilah, khawarijiah, al-Asy’ariah, al-Mutiriidyah atau ahl-Sunnah . Di dalam konteks konsepsi sejarah politik ummat Islam hal itu biasa disederhanakan kepada apa yang disebut Konsepsi Politik Sunni dan Konsepsi Politik Syi’i. Intinya yang pertama pemilihan pemimpin atau khalifah ditentukan dengan syura dan kemudian baiát sementara yang kedua berintikan kepemimpinan Imamiyah dalam konsepsi wilayatul faqih . Di dalam konteks politik, belakangan kaum khawarij dikategorikan kepada golongan Sunni, tetapi memiliki sikap ultra radikal, seperti juga kelompok ghulat yang supra radikal di dalam Syi’i. Menurut Azyumardi, sejarah penuh konflik dan bahkan darah itu tepat seperti yang digambarkan oleh Prof. HAMKA bahwa yang terjadi adalah Sejarah Ummat Islam , bukan Sejarah Islam. Karena semua penyimpangan tadi akibat perilaku ummat Islam pada golongan tertentu dan pada zaman tertentu pula. Akan riskan mengidentikkannya kepada sejarah Islam itu sendiri yang tidak pernah mengajarkan perpecahan, konflik dan fragmentasi berkepanjangan. Artinya Islam hanya satu, tetapi ummat Islamlah yang memkapling dirinya menjadi Sunni, Syií atau Khawarij, Murjiáh, Al-Asa’riyah dan seterusnya. Apabila trauma dan stigma di dalam sejarah ummat Islam di masa kelasik lebih bersifat internal, setelah melangkah ke abad pertengahan dan sampai era moderen, maka ummat Islam yang terpecah di dalam tiga imperium besar Usmani di Afrika dan Timur Tengah, Shafawi di Asia Barat Daya, dan Mughal di Asia Selatan, semuanya berhadapan dengan kekuatan Barat. Terakhir di peralihan abad 19 dan 20 dengan hancurnya Turki Usmani hampir semua negara dunia berpenduduk Muslim mayoritas berada di bawah penjajahan, koloni dan protektorat bangsa-bangsa Eropa. Inggris, Itali, Prancis, Belanda, Jerman, Portugis, Sapanyol semuanya menguasai dunia Islam di Afrika, Timur Tengah, Teluk Persia, Asia Barat Daya, Asia selatan dan Asia tenggara. Keadaan ini tentulah bagai mengulang kondisi, ketika pra-prang Salib di mana bangsa Erropa merasa terancam oleh Ummat Islam. Waktu itu imperium Islam hampir merambah Eropa. Kini ummat Islamlah yang bukan saja terancam bahkan dijajah oleh pihak Barat itu. Kondisi ini bertahan sepanjang dekade antara perang Dunia I dan Perang Dunia II, dunia Islam bertekuk lutut di bawah Eropa. Di dalam jiwa ummat Islam tentulah muncul perasaan tak berdaya, padahal ajaran al-Qur’an senantiasa bercokol dalam pikiran, hati dan perasaan serta senantiasa mendengung ditelinga mereka bahwa :

Page 27: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

27

“Kamu adalah sebaik-baik ummat yang hendaklah tampil ke tengah-tengah manusia menyeru kepada kebaikan mencegah dari kemunggkaran…” (Q.S., 3: 110). Pasca Perang Dunia I, meskipun ummat Islam tidak lagi terjajah secara fisik, tetapi tetap saja merasa terancam, kali ini karena kekuatan ekonomi, kebudayaan, peradaban dan ilmu pengetahuan, teknologi dan media komunikasi Barat. Semua tayangan media massa yang bersumber dari Barat, ambil contoh sederhana seperti telenovela, film-film, dan tayangan hiburan lainnya senantiasa menggambarkan tiga hal. Pertama, kemewahan, hedonistik, drug abuse (penyalahagunaan obat), dan serba materialistik. Kedua, permissiveness alias longgarnya hubungan pria wanita, perselingkuhan, pegaulan bebas dan seks. Ketiga, kekerasan, keberutalan, sadisme, dan jangan lupa terorisme itu sendiri. Ketiga hal itu melipatgandakan kegelisaan psikologi ummat Islam dan ancaman yang semakin mendalam. Terjadilah demikian dahsyatnya deprivacy (tak ada ruang pribadi) yang dapat menghambat penetrasi kebudayaan dan kultur Barat itu. Semuanya mendangkalkan bahkan menghapus akidah, nilai agama, tradisi, adat dan filosofi hidup Timur yang luhur . Oleh kalangan tertentu kalau dirunut ke pangkalnya dianggap bersumber dari keberhasilan illmu pengetahuan dan teknologi Barat tanpa kendali dan sekaligus kegagalan Barat dalam menata peradaban dan tatanan dunia yang baru. Sampai pada titik tertentu mengakibatkan sebagian besar kelompok ummat Islam yang masih idealistik menjadi putus asa. Kelompok-kelompok ini ada di antaranya yang mencari jalan sendiri untuk menghadapi tantangan peradaban Barat yang hampir memberangus ummat Islam itu. Merekalah yang mendirikan berbagai organisasi dan jam’iah yang dalam sikapnya terhadap Barat sangat gradual. Ada yang paling lunak, lunak, keras, dan paling keras atau radikal bahkan ultra radikal. Harakah-harakah Islam yang mengemban ajaran ushuliyyun (paling mendasar) yang oleh pihak Barat disebut fundamentalis, tidak punya pilihan kecuali melawan. Mereka yang tadinya merupakan Islam moderat, dan liberal, oleh karena diteriaki terus sebagai radikal oleh Barat, kadang-kadang memang mengubah dirinya menjadi radikal. Konstelasinya secara sengaja atau tidak akibat perilaku Barat itu sendiri terhadap dunia ummat Islam, maka terjadialah tiga hal. Pertama, psikologi. Hal-hal yang tadi mengendap di bawah kesadaran, diam-diam kini muncul ke alam kesadaran kembali dalam ucapan dan perbuatan. Sejak era masuknya ekspedisi Eropa Perancis, Napoleon Bonaparte ke Mesir ujung abad le-18 sampai hari ini telah menumbuhkan apa yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai Defence Mechanisme (mekanisme pertahanan diri) terhadap Barat. Kedua, perasaan kagum yang berlebihan terhadap Barat. Mereka ada yang melahap mentah-mentah sekularisme Barat, maka terjadilah westernisasi di dunia Islam. Ketiga, Realitas politik di dunia muslim yang mengadopsi kebangsaan di dunia Islam. KH. Basuni Sanusi Imran dari Kalimantan Selatan misalnya, pernah berkirim surat kepada Rasyid Ridha pada awal abad 20, tentang kebangsaan dan patriotisme dalam Islam. Rasyid Ridha menjawab di dalam majalah al-Manar di Mesir yang kemudian dikutip majalah al-Imam pimpinan Syekh Taher Jalaluddin di Singapura awal abad lalu, bahwa kebangsaan dan patriotisme merupakan keharusan dengan mengutip, “hubbul wathan minal iman”. Tentu saja penyerapan Islam terhadap kebangsaan dan patriotisme itu ditolak oleh pihak yang tidak senang dengan Islam seperti Michel Aflaq yang

Page 28: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

28

sepenuhnya tidak dapat mengaitkan asas kebangsaan itu dengan Islam. Ia berpendapat faham kebangsaan sepenuhnya konsepsi Barat. (Bersambung) *9 Ketidakadilan. Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (9) :

Ketidakadilan, Akar Radikalisme dan Terorisme Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005

Ketika gencarnya pemberitaan paska Bom Bali 12 Oktober lalu di dalam Pers Barat mengaitkan Islam dengan terorisme, ormas Islam tingkat nasional bertemu dengan semua Dubes negara sahabat di Jakarta. Mereka semua mengatakan bahwa Islam tidak dianggap terorisme. Akan tetapi buktinya, ummat Islam di negara mereka tetap di-sweeping, ketus Dr. Hidayat Nurwahid, Presiden Partai Keadilan . Sementara itu menurut Mantan Kabakin

zaman Presiden Habibie, Z.A. Maulani, akar historis radikalisme yang dapat berubah menjadi terorisme itu adalah tidak adanya keadilan atau hilangnya rasa keadilan. Oleh karena itu, lanjut Maulani radikalisme yang semula semata-mata filosofis-ideologis dan berkutat di dalam pemikiran, bila ia menghadapi ketidak adilan akan berubah menjadi terorisme yang tidak hanya di kalangan agama tetapi juga suku atau ethnis, bahkan di semua kelompok masyarakat. Pada dasarnya terorisme dapat terjadi pada orang perseorangan, kelompok bahkan negara. Terorisme pada dasarnya adalah tindakan kriminal melawan kemanusiaan (crime againts humanity) . Menurut Edward Herman, terorisme adalah tindakan kekerasan yang berlebihan , menimbulkan ketakutan luar biasa, merusak harta, melenyapkan nyawa secara acak untuk mencapai tujuan politik. Kalau tujuan politiknya tidak ada maka hal itu namanya hanya kriminal biasa. Oleh Prof. Mulyadi ditambahkan bahwa tindakan keberutalan itu bukan hanya aksi, tetapi juga kebijakan dan peraturan yang menakutkan, maka itu juga disebut teror. Dari situ dapat diikhtisawrkan bahwa faktor politik dan ketidak adilan dominan dalam saham menumbuhkan terorisme. Pada ethnis bahkan bangsa tertentu, terorisme memiliki akar anthropologis dan sosiologisnya sendiri. Budaya “amok” misalnya ada di nusantara. Bila harga diri tersinggung karena ketidak adilan dan ancaman yang memalukan, suku tertentu mengamuk. Kejadiannya bisa di tempat tertutup bahkan di tempat terbuka seperti pasar, misalnya. Ada lagi budaya carok, malu dibasuh dengan darah, daripada berputih mata lebih baik berputih tulang. Itu antara lain kutipan-kutipan lama pada ethnis tertentu di nusantara. Peristiwa sampit antara ethnis madura dan dayak, kata Maulani telah terjadi 52 kali konflik, ujungnya saling bunuh membunuh beberapa waktu lalu. Itu semua tidak ada dasar agamanya, karena kedua pihak ada yang sama agamanya. Jadi bukan hanya Madura yang beragama Islam, tetapi orang dayak juga ada yang beragama Islam, tetapi dalam hal ini emosi ethnisnyalah yang dominan. Di dunia global, terorisme itu sudah ada pada dekade pertama abad masehi karena sekelompok orang Yahudi di Israel sekarang mengamuk menghantam pejabat dan tokoh kerajaan Romawi karena mereka diperlakukan tidak adil di tanahnya sendiri yang dicaplok Romawi waktu. Dan sejak Perang Dunia I , terorisme itu dilanjutkan Israel untuk membangun negara Israel di Palestina sekarang. Mereka menteror warga Palestina bahkan sampai sekarang. Anehnya perilaku ini tidak dianggap pihak Barat sebagai terorisme yang melawan kemanusiaan. Sebaliknya malah yang terjadi adalah pengaburan

Page 29: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

29

desain terorisme. Oleh PBB dari 38 lembaga, kelompok dan tokoh yang diberi lebel terorisme internasional kebanyakan berasal dari dan berada pada dunia muslim. Padahal pada dnuia Yahudi, Hindu dan Kristen sendiri banyak yang tidak dimasukkan ke dalam terorisme yang keadaannya melebihi terorisme yang terdapat di negara muslim itu. Menurut Maulani, terorisme itu di militer sebenarnya adalah suatu aksi yang sudah dirancang sebagai sebuah bentuk operasi gerilya kota atau urban guriella. Oleh karena itu apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah aksi terorisme. Begitu pula perjuangan kemerdekaan oleh warga Palestina dilakukan dengan gerilya kota juga disebut terorisme, sebagai juga terjadi di tempat-tempat lain di Kashmir, Srilanka, Irlandia Utara dan seterusnya. Menarik pula apa yang ditulis Johan Galtung dan Dietrich Fischer di dalam JUST Commentary No. 6140/97, September 2002, bahwa media massa internasional tidak pernah mengungkapkan apa yang disebutnya sebagai “the state terorisme” atau terorisme negara. Apabila terorisme perorangan merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dengan tidak memakai pakaian seragam, maka terorisme negara adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dengan menggunakan uniform atau seragam. Keduanya menjadi kabur untuk dibedakan bila dilihat dari sisi yang diserang, keduanya membawa dampak buruk. Keduanya mempunyai watak sama : penggunaan kekerasan untuk tujuan politik; mencelakakan orang lain tanpa kelihatan secara nyata; dirancang untuk membikin publik menjadi panik sebagai inti kelakuan teror itu sendiri; dalam ketakterdugaannya melakukan aksi terhadap siapa saja, di mana saja, kapan saja, tanpa dapat diditeksi. Oleh karena itu apa yang disebut terorisme negara itu, kata Galtung dan Fischer, dapat pula mengacu kepada apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap negara lain. Ia mencatat bahwa sejak 1945 Amerika Serikat telah mengintervensi negara lain sebanyak 67 kali yang menyebabkan korban mati 12 juta manusia. Sekitar separohnya adalah tindakan overakting Pentagon (militer) dan aksi perlindungan CIA. Ini semuanya bukan hanya tidak diketahui bangsa lain, bahkan termasuk juga tidak diketahui oleh warga Amerika sendiri.

Masih menurut Galtung dan Fischer di dalam artikelnya yang bertajuk “To end Terrorism, End State Terrorisme” tadi, target teroris 11 September menyerang dua simbol utama: Pentagon dan WTC dipahami sebagai mewakili sistem perdagangan dunia bahwa kemakmuran dunia hanya berada di sebagian kecil bangsa dan negara maju (dunia pertama) sementara kemiskinan bersimaharajalela di dunia ketiga (belum maju).

Di sisi lain ada dendam sejarah. Oleh karena itu masuk akal apa yang dikatakan Osama bin Laden dalam satu siaran melalui Al-Jazeera beberapa saat setelah 11 september, ia berkata “kami telah melakukan testing penghancuran dan pendegradasian sejarah lebih 80 tahun lalu ”, merujuk kepada perundingan paksa Sykes-Picot tahun 1916 yang membawa Arabia tunduk pada kekuasaan kaum kafirin, menggantikan janji Inggris memerdekakan bangsa-bangsa Arab yang sudah turut mengalahkan Imperium Usmani; dan juga merujuk kepada Deklarasi Balfour tahun 1917 yang menjadi modal dasar terciptanya negara Yahudi Israel di Palestina.

Bagi Galtung antara ideologi Wahabiyah, cabang fumendatalis Islam yang puritan, aliran resmi di Saudi Arabia, pegangan dasar Osama bin Laden sama dengan AS berintikan masyarakat sivil sebagai agama. Keduanya berbagi karakter yang sama yaitu membagi dunia sebagai dunia wajah: AS lawan “Mereka”; tidak ada yang netral;

Page 30: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

30

manicheism (Kami adalah baik versus Mereka adalah syetan); memendam kesumat untuk saling menghancurkan seperti Armageddon.

Ditambah pula oleh garis keras yang terdapat di dalam ummat tiga agama Ibrahim: Yahudi, Keristen dan Islam yang di antaranya berbagi konsep tentang bangsa pilihan Tuhan; Negeri yang dijanjikan; pemujaan akan keagungan masa lalu dan masa depan; semuanya itu telah mengakibatkan kepedihan dan traumatik. Mereka malah terjerumus ke dalam rethorika Bush maupun bin Laden. Al-Qaeda dan Wahabiyah melihat AS sebagai loba dan tamak, selalu memburu minyak (perdagangan dunia) dan bermarkas di Pentagon.

Sesungguhnya AS telah menguasai markas lama Sovyet dekat Kandahar. Pada 30 May 2002 telah ditandangani perjanjian jaringan pipa miyak antara Turkmenistan-Afghanistan-Pakistan oleh dua Presiden dan mantan Consultan UNOCAL yang kini menjadi Perdana Menteri Afghanistan, Hamid Karzai. AS ditengarai oleh Galtung berada di balik semuanya itu.

Kalaulah AS membatasi diri dalam kampanye militer, membiarkan Dewan Keaman PBB dan Organisasi Konferensi Islam dengan kebijaksaan yang independen, menyerahkan sepenuhnya pengolalan pipa minyak itu ke rakyat Afganistan, maka AS akan memenangkan semua pertarungan yang ada. Tetapi teragisnya semuanya kini lenyap. Kaum fundamentalis Islam dalam tujuan jangka panjangnya kelihatannya tetap memberi penghargaan tinggi kepada sensitivitas agama. AS senantiasa memburu perdagangan bebas dengan perlindungan militer. Kepedulian utama AS dengan fokus perdagangan pada perioritas kebutuhan pokok, termasuk sensitivitas keagamaan, sebenarya dapat mengusahakan semua tujuan yang lebih jernih terhadap semua kelompok yang bertarung tadi.

Maka kerena itu Galtung berimajinasi bahwa satu ketika Bush akan berpidato : “Wahai rakyat AS; serangan kemarin terhadap dua gedung kembar WTC, terbunuhnya ribuan orang, adalah suatu musibah, secara total tak dapat diterima. Mereka yang melakukan harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan melalui pengadilan inernasional yang tepat dengan mandat PBB yang jelas. Tetapi pidato saya malam ini selanjutnya adalah sebagai berikut”. “Telah terjadi pengambangan yang amat serius di dalam kebijaksanaan politik luar negeri kita, meskipun sudah dirancang dengan baik. Kita ternyata telah menciptakan musuh bersama melalui ketidaksensitifan kita terhadap kebutuhan dasar rakyat di seluruh dunia, termasuk sensitifitas terhadap agama. Oleh karena itu, dengan ini saya mengambil langkah-langkah kebijakan sebagai berikut : menarik gugus tugas dan markas militer kita dari Saudi Arabia; mengakui Palestina sebagai sebuah negara dan detailnya diatur belakangan; masuk ke dalam dialog dengan Irak untuk mengidentifikasi jalan keluar konflik; menerima undangan Presiden Khatami dalam menyelesaiakn persoalan yang sama dengan Iran; menarik keluar militer dan kepentingan ekonomi dari Afghanistan; menghentikan segera intervensi militer kita dan melakukan rekonsiliasi terhadap pihak-pihak yang pernah kita serang.

Maka selesai pidato Bush pada malam itu, 1,3 milyar ummat Muslim di dunia akan hormat dengan AS; dan kelompok kecil teroris tak lagi punya air untuk berenang melakukan terorisme. Semuanya itu hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk membuat pidato dimaksud dan 10 menit untuk menyampaikannya; sekaligus menghemat 60 milyar dollar dalam operasi menghantam Afghanistan. Memang secara psikologis ini

Page 31: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

31

tidaklah mudah, tetapi keuntungannya takdapat diukur dan dampaknya amat luar biasa, kata Galtung. Khayalan Galtung itu tentu berlawanan dengan kenyataan. Rasa keagungan diri AS kini melebihi masa 200 tahun lalu. Tuduhan terorisme dewasa ini terhadap beberapa kelompok Islam di dunia lebih kepada akal-akal AS, kata Maulani. AS tengah membangun kekuatan luar biasa untuk mendukung kekuatan politik dan kekuasan tunggalnya di dunia sertelah tumbangnya Sovyet 13 tahun lalu. Kini anggaran militer AS 355 milyar dollar sekitar 10 kali pendapatan nasional Indonesia, sama dengan pendapatan nasional seluruh negara Uni-Eropa. Di dalam pidato Bush 20 September 2002 lalu ia mengakui bahwa AS belum pernah sehebat sekarang setelah 200 tahun merdeka. Karena itu AS bisa melakukan apa saja yang terkandung dalam benak mereka. Maka untuk mempertahankan keunggulan AS itu, haruslah dikuasai sumber keunggulan utama yaitu minyak bumi. Karena minyak bumilah energi yang paling murah untuk menggerakkan setiap desah nafas AS politik, ekonomi, perindustrian, teknologi, militer dalam semua aspek dan sektor kehidupan. (Bersambung) *10. Tak Mungkin Dilawan. Pengajian Ramadhan 1423 H PP Muhammadiyah (10-Habis) :

AS Tak Mungkin Dilawan Jangan Pula Mengekor Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elha, MA / Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2000-2005.

“Amerika Serikat (AS) tidak mungkin dilawan. Yang bisa dilakukan adalah menggunakan kelebihan AS untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia.” Ini pernyataan Dr.M.Rifki Muna, seorang nara sumber dari LIPI. Ia menambahkan, janganlah berharap Organisasi Konferensi Islam (OKI) akan bersatu, atau bangsa-bangsa Arab akan bersatu melawan AS. Semuanya mempunyai hitung-hitungannya sendiri. “There is no free lunch” katanya

mengutip pribahasa dalam kultur Amerika yang tidak akan secara cuma-cuma mentraktir, alias selalu ada udang dibalik batu ketika menolong orang lain. AS selalu berkata senantiasa membantu negara lain dan AS tak pernah merasa kalah. Menghadapi berbagai tudingan berbagai pihak bahwa segala macam terorisme di dunia, termasuk peristiwa 11 September di New York dan juga kasus kasus Bom Bali 12 Oktober lalu adalah permainan AS dengan bukti tidak adanya warga AS di yang jatuh korban, karena AS sudah memberi tahu warganya akan ada Bom itu, dijawab oleh Wakil Kepala BIN (Badan Intelijen Nasional) As’ad Ali, nara sumber lainnya. Katanya, memang ada orang yang tak percaya bahwa al-Qaidah yang menyerang WTC dan Pentagon 11 September 2001. Apalagi ada pihak yang menengarai bahwa Al-Qaidah belum secanggih itu dan untuk melakukan serangan seperti 11 September itu memerlukan penghentian kerja satelit yang mengeliling bumi selama 4 jam yang memonitor semua aktivitas di Bumi ini. Begitu pula dahsyatnya ledakan di Legian Bali, tak masuk akal dilakukan oleh kekuatan lokal. Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa atas kerjasama intelijen internasional para pelaku 11 September sudah ditangkap dan sudah dihukum, kata As’ad Ali tanpa merinci berapa orang, dimana dan siapa saja nama-nama mereka. Mereka terdiri atas jaringan al-Qaidah dan Jamaah Islamiah, tambahnya.

Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh 14 negara Muslim yang bersatu di dalam Jaringan Intelijen Negara-negara Islam sejak peristiwa 11 September adalah konsolidasi. Pertama, melakukan kounter isyu terhadap penyamaan teorisme dengan Islam. Kita

Page 32: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

32

berupaya menolak penyamaan itu, katanya. Ini suatu kesulitan yang luar biasa setelah peristiwa WTC itu. Yang kedua, tentu saja menghadapi ancaman al-Qaidah itu sendiri dengan berdalih membela Islam dan menyerang kepentingan AS, yang dapat saja terjadi di dalam negeri negara Muslim. Khusus di dalam menolak penyamaan Islam dengan terorisme, pendapat As’ad Ali seperti didukung oleh ZA Maulani, seniornya. Katanya menghadapi tuduhan AS tentang telah bersarangnya jaringan teorisme di Indonesia , hendaklah dihadapi oleh semua golongan, kaum nasionalis, sosialis dan Islam. Oleh karena itu harus dibentuk front nasional. Lawan tuduhan itu dengan merah putih bukan dengan bendera agama. Aparat hukum harus menegakkan hukum secara konsekuen. Presiden, Pemerintah dan aparatur yang berwajib, Polisi dan Jaksa, jangan hanya mengiyakan pesanan dari pihak luar dalam mengacak-acak negeri ini. Sama dengan M. Rifki, Maulani sepertinya juga mengakui bahwa AS tidak mungkin dilawan secara fisik, politik dan ekonomi secara frontal. Yang dapat dilakukan adalah melayarkan bahtera Indonesia di tengah dua karang, yaitu di sekitar karang AS, tetapi bukan di bawah ketiak AS. Seperti Malaysia misalnya, yang dapat senantiasa mengatur jarak dengan AS, tidak melawan tetapi juga tidak bisa diperlakukan semaunya AS alias mengekor. Apakah benar, Islam begitu menjadi momok bagi AS atau sebaliknya? Ternyata hal ini dibantah oleh DR. Douglas Ramage, Direktur The Asia Foundation yang bersama DR. Bachtiar Efendi membahas topik, “Radikalisme Islam dalam Perspektif Barat”. Menurut Douglas, salah satu faktor yang membuat Islam menjadi bulan-bulanan di Barat adalah faktor media massa pers baik tulis maupun elektronik. Sebagian besar info yang disiarkan Barat sudah tidak objektif.

Menceritakan pengalaman seorang wartawan CNN yang masuk ke Ambon dan Poso serta beberapa tempat di Indonesia Timur beberapa waktu yang lalu, kemudian secara apa adanya hasil liputan lapangan itu disusun. Hasilnya, ternyata bahwa bukan hanya tentara putih (Lasykar Jihad) yang membuat persoalan, tetapi lebih-lebih lagi adalah tentara merah (salib) yang bikin gaduh. Setelah berita itu dikirim ke Pusat CNN di Atlanta, maka berita itu sudah dipelintir. Soal tentara merah tidak disebut lagi.

Douglas bahkan menyampaikan anekdot yang berani, tetapi ia mengatakan dia bicara adalah sebagai seorang warga AS bukan atas nama pemerintah. Suara warga AS tidak selalu mencerminkan suara pemerintah AS. Guyonannya itu begini. Seorang wartawan melihat seorang anak Amerika di Central Park New York dikejar anjing galak. Lalu seseorang bertampang kekar berwajah santun menyelamatkan anak itu dan anjing itu mati di tangan penyelamat. Wartawan tadi datang untuk mewawancarai sang penyelamat yang masih memangku si anak yang masih tergoncang oleh serangan anjing galak tadi. Sang wartawan serta merta menjuluki sang penyelamat ini sebagai pahlawan kemanusiaan telah menyelamat seorang anak yang amat ketakutan. Di ujung wawancara wartawan bertanya, siapakah nama sang pahlawan dan apa motivasi penyelamatan itu?. Seketika suasana berubah, sang pahlawan menjawab bahwa namanya Ahmad bin Abdallah dan ia menyelamatkan si anak secara ikhkas sesuai ajaran agamanya, Islam. Reaksi wartawan serta merta diam, tidak lagi meneruskan wawancaranya, lalu pergi. Besoknya yang keluar di koran adalah seorang anak selamat dari gangguan seorang penjahat karena ada seekor anjing menolong dan penjahat itu lari terbirit-birit.

Page 33: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

33

Dari perspektif Barat, kata Douglas, kata radikal itu berkonotasi dua hal. Pertama, melakukan kekerasan. Atau berusaha keras memperjuangkan sesuatu sampai keakar-karnya melalui prosedur dan hukum. Kedua, radikal disamakan dengan kaum fundamentalis Kristen yang menjalankan ajaran agamanya secara militan dan ekstrim. Sikap ini merupakan anutan resmi kelompok Scriptualist Christian (Kristen Skriptualis) di AS. Oleh karena itu Douglas mengajak bahwa persoalan Islam dan Barat jangan terlalu dikonfrontasikan. Karena menurutnya di dalam Islam itu sendiri ada nilai-nilai Barat sebaliknya di dalam Barat itu sendiri ada nilai-nilai Islami. Pandangan masyarakat Barat terhadap Islam radikal sering terlalu disederhanakan menjadi Radical Islam , lalu teroris, kemudian Islam identik dengan terorisme . Ini penyederhanan yang amat keliru, katanya.

Menurut bacaan Douglas, sebagaimana juga telah dipahami umum di Indonesia, Islam di Indonesia merupakan lambang perlawanan terhadap penjajahan atau kolonial. Itulah yang dipahami secara umum tentang pahlawan Diponegoro, Imam Bonjol, Cik Di Tiro, Sultan Hasanuddin dan seterusnya. Oleh karena itu menurut Douglas sudah seharusnya semua pemusuhan Islam dan Barat atau sebaliknya dieliminir kalau takkan mungkin dihabiskan. Sesuatu yang mencengangkan, katanya, setelah peristiwa 11 September, dampaknya sangat kuat di AS dan di negeeri Barat lainnya. Terorisme naik menjadi isyu utama dan Islam dirusak citranya oleh Barat. Akan tetapi dampak positifnya juga sangat spetakuler. Buku dan semua bacaan, terbitan dan siaran mengenai Islam sangat populer dan dilahap dengan amat rakus oleh warga AS. Keinginan memahami Islam melebihi zaman-zaman sebelumnya. Memang naif untuk mengatakan bahwa semunya itu merupakan simbol simpati secara total terhadap Islam. Tetapi di samping mereka yang rasa ingin tahunya hanya sekedarnya, banyak pula yang amat serius. Oleh karena itu kenyataannya sekarang Islam adalah agama yang menjadi booming di AS. Eksodus teologis dari agama lain ke Islam terjadi melebih masa sebelumnya di AS. Kalau dulu Masjid dan Islamic center hanya berjumlah ratusan , sekarang ada sekitar 2000 (dua ribu) masjid berdiri di AS. Persoalan sekarang ialah adanya pihak-pihak yang memelihara konflik AS dengan Osama bin Laden sebagai identifikasi konflik Islam dan Barat. Ini tentu ada sebabnya. Di antaranya pertama, melalui sorotan sensasional, provokatif, insinuatif pers internasional menjaga kepentingan binis dan jumlah peringkat oplagh yang tinggi dan stabil. Maka digambarkanlah bahwa Islam itu hanya satu yaitu yang radikal dan teroristik. Mereka tidak membedakan bahwa dalam Islam itu ada yang moderat, liberal dan demokratis serta taat hukum. Kedua, pandangan pejabat tinggi AS terhadap Islam. Mereka seolah-olah tutup mata dan selalu mengembar-gemborkan bahwa Islam adalah ancaman kuat untuk mereka. Mereka menghindar untuk tidak menyuimpang dari kebijakan substansi politik luar negeri pemerintah AS yang sekarang. Mereka kelihatannya seakan-akan senantiasa berpihak kepada kaum fundamentalis Kristen dalam pandangan mereka terhadap Islam. Untuk ke depan , Douglas menawarkan kepada pihak Barat untuk tidak memandang Islam sebagai monolitik sebagai satu-satunya yang diidentikkan dengan radikalisme. Islam adalah multi makna dan multi pemahaman. Baik di dalam Islam maupun di kalangan Barat sendiri ada yang keras, ultra keras, lunak dan moderat. Oleh karena itu seharusnya pihak Barat , masyarakat dan pejabatnya lebih rajin mempelajari Islam dalam sehgala aspeknya. Pemerintah dan lembaga non-pemerintah berupayalah dengan keras menghilangkan kecurigaan dan tetap konsisten mengembangkan civil

Page 34: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

34

society dan demokrasi. Mari menanamkan pesan-pesan pluralisme dan taat hukum. Jangan ada kesan secara instan dapat berbuat apa saja atas nama agama yang dia pahami meski bertentangan dengan hukum publik yang terkodifikasi. Meneruskan wacana sebelumnya, Bachtiar Efendi, Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammdiyah merasakan, bahwa kini kalangan Islam terjepit oleh tindakan radikalisme oleh kalangan mereka sendiri yang secara faktual memang ada. Padahal radikalisme itu ada yang positif seperti pemikiran yang melatar belakangi pemikiran mahasiswa dan tokoh reformasi seperti Aamien Rais dan lain-lain dalam menumbangkan Orde Baru. Yang perlu dihindari adalah radikalisme yang berbuntut kriminalisme, melawan hukum dan melalmpaui batas atau ekstrim. Di dalam Islam senantiasa dikecam tindakan ekstrimitas atau melampaui batas. Oleh akrena itu Islam dan ekstrimitas bukan hanya bertentangan bahkan tidak masuik akal bisa disatukan. Begitu pula pemahaman pluralisme, juga tidak diartikan bebas begitu saja, tetapi juga harus di bawah hukum dan ada aturan yang mengaturnya. Bachtiar Efendi mencontohkan termasuk di dalam pelaksanaan pemahan syariat oleh kelompok tertentu, juga harus di bawah hukum.

Ini contoh kasus, kata cendekiawan Muslim ini, bahwa ada seorang anak di Bukit Duri Jakarta mencuri uang ustazd yang mengajarnya mengaji. Anak tadi dipotong tangannya oleh ayahnya sendiri, karena pemahamannya si pencuri harus potong tangan. Maka dilihat dari segi hukum yang berlaku di Indonesia itu adalah tindakan kriminal, meskipun si ayah mungkin berniat untuk menegakkan syariat menurut pemahamannya sendiri karena ada ayat yang mengatakan seperti itu tanpa interpretasi lain. Seakan memberi respon apa yang dikemukakan oleh Douglas tadi, bahwa harus ditumbuhkan di Barat sikap toleran terhadap Islam. Akan tetapi Bachtiar meragukan walaupun akhir-akhir ini ada pernyataan Bush untuk tidak menyerang Islam. Keraguan itu datang karena beberapa saat setelah 11 September lalu secara sepontan keluar dari mulut Bush kata “crusade” atau perang salib. Bahkan di AS telah muncul gambaran baru menyamakan Wahabiyah dengan terorisme. Padahal dalam gerakan Wahabi yang murni, mereka hanya berkutat di sekitar pembersihan akidah dan penegakan syariat dalam negeri, tidak ada kaitan dengan politik, apa lagi politik internasional. Ada pula tuduhan bahwa semua uang minyak Arab Saudi adalah untuk membiayai terorisme, padahal Arab Saudi membangun Masjid dan madrasah-madrasah, pesantren dan sekolah di berbagai belahan dunia yang memerlukan. Akhirnya apa yang dikemukakan oleh semua nara sumber menyirat kesimpulan bahwa dunia global sekarang memang sedang dikuasai AS. Dengan demikian AS bertanggungjawab pula atas keselamatan dunia global. Untuk itu AS harus mempertimbangkan dengan cermat politik luar negerinya untuk tidak selalu berstandard ganda. Terutama terhadap sumber-sumber konflik intenasional yang menyeret semangat kegamaan seperti antara lain konflik Timur Tengah yang bersumbu di Israel dan Palestina. Terhadap isyu terorisme, haruslah dilakukan klarifikasi bahwa terorisme tidak ada kaitan dengan Islam. Karena terorisme ada di mana-mana dan oleh siapa saja bahkan oleh pemerintah satu negara terhadap rakyat negara lain. Dengan demikian tatanan dunia baru yang lebih adil, bersahabat dan tidak saling curiga harus direkonstruksi ulang sehingga dunia global tetap menjadi planet yang aman dan sentosa bagi hidup dan kehidupan manusia dan kemanusiaan dengan filosofi, ideologi dan ajaran agama mereka masing-masing. (Tamat) ***

Page 35: PengajianRamadhan PPM.2009.Edited

35