peng tjoan thian lie

771
Sungai es di puncak gunung laksana Thianho*) yang nyungsang. Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita, Si nona tanya pada sang pengembara: Berapa gunung es lagi yang harus kau daki? Berapa topan lagi harus kau lewati? Pengembara! Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat terbang terus-terusan. Tapi kau jalan, jalan terus, jalan terus, Sampai tahun apa, bulan apa, barulah kalian mau turun dari kuda? Nona, terima kasih atas kebaikanmu. Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu. Apakah kau pernah melihat bunga di padang pasir? Apakah kau pernah melihat gunung es menjadi lumer? Kau belum pernah lihat? Belum pernah! Maka itu, kami pengembara. Juga tak akan berhenti jalan selama-lamanya. *) Thianho, Bima Sakti atau Milky Way adalah sehelai sinar terang di waktu malam yang membentang di langit, terdiri dari rangkaian bintang-bintang. Sungai es yang mengalir dari atas puncak gunung ke bawah diibaratkan Thianho yang membentang nyungsang. Itulah suara nyanyian, diseling dengan klenengan kuda, yang pada suatu hari dapat didengar di padang rumput perbatasan Tibet. Nyanyian itu keluar dari mulutnya pengembara yang sedang lewat di padang rumput tersebut. Pegunungan Himalaya yang berentet-rentet, puncak-puncak gunung yang tertutup es dan menjulang tinggi sehingga menembus awan seperti juga sedang mendengari nyanyian itu yang menyedihkan hati. Dan tanpa diketahui oleh sang penyanyi, satu pemuda bangsa Han turut pasang kupingnya. Air mata berlinang di kedua matanya. Ia menghela napas panjang dan berkata seorang diri: "Aku dan kalian tak ada bedanya. Kalian mengembara ke ujung langit, aku pun tak tahu kapan bisa dapat pulang ke kampung kelahiranku." Pemuda itu she Tan, bernama Thian Oe, kelahiran Souwtjiu, daerah Kanglam. Ayahnya, Tan Teng Kie, dahulu pegang pangkat di kota raja, tapi lantaran ia berani ajukan pengaduan yang menyerang Ho Kun, satu menteri busuk yang sangat disayang oleh Kaizar Kian Liong, ia dikirim ke Tibet (Seetjong) sebagai Amban1) (Soanwiesoe) pada sekte Sakya. Sedari waktu itu sampai

Upload: irvanchristiawan

Post on 20-Nov-2015

70 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Bidadari Sungai Es

TRANSCRIPT

Sungai es di puncak gunung laksana Thianho*) yang nyungsang. Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita,

Si nona tanya pada sang pengembara: Berapa gunung es lagi yang harus kau daki? Berapa topan lagi harus kau lewati? Pengembara!

Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat terbang terus-terusan. Tapi kau jalan, jalan terus, jalan terus,

Sampai tahun apa, bulan apa, barulah kalian mau turun dari kuda?

Nona, terima kasih atas kebaikanmu.

Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu.

Apakah kau pernah melihat bunga di padang pasir?

Apakah kau pernah melihat gunung es menjadi lumer?

Kau belum pernah lihat? Belum pernah!

Maka itu, kami pengembara.

Juga tak akan berhenti jalan selama-lamanya.

*) Thianho, Bima Sakti atau Milky Way adalah sehelai sinar terang di waktu malam yang membentang di langit, terdiri dari rangkaian bintang-bintang. Sungai es yang mengalir dari atas puncak gunung ke bawah diibaratkan Thianho yang membentang nyungsang.

Itulah suara nyanyian, diseling dengan klenengan kuda, yang pada suatu hari dapat didengar di padang rumput perbatasan Tibet. Nyanyian itu keluar dari mulutnya pengembara yang sedang lewat di padang rumput tersebut. Pegunungan Himalaya yang berentet-rentet, puncak-puncak gunung yang tertutup es dan menjulang tinggi sehingga menembus awan seperti juga sedang mendengari nyanyian itu yang menyedihkan hati.

Dan tanpa diketahui oleh sang penyanyi, satu pemuda bangsa Han turut pasang kupingnya. Air mata berlinang di kedua matanya. Ia menghela napas panjang dan berkata seorang diri: "Aku dan kalian tak ada bedanya. Kalian mengembara ke ujung langit, aku pun tak tahu kapan bisa dapat pulang ke kampung kelahiranku."

Pemuda itu she Tan, bernama Thian Oe, kelahiran Souwtjiu, daerah Kanglam. Ayahnya, Tan Teng Kie, dahulu pegang pangkat di kota raja, tapi lantaran ia berani ajukan pengaduan yang menyerang Ho Kun, satu menteri busuk yang sangat disayang oleh Kaizar Kian Liong, ia dikirim ke Tibet (Seetjong) sebagai Amban1) (Soanwiesoe) pada sekte Sakya. Sedari waktu itu sampai sekarang, delapan tahun sudah lewat. Waktu datang di Tibet, Thian Oe masih anak-anak berusia sepuluh tahun, sekarang ia sudah jadi pemuda 18 tahun.

Berada jauh di tempat orang, hatinya Thian Oe sangat rindukan kampung halamannya, terutama lantaran ayahnya hampir saban hari ceritakan keindahannya Kanglam yang permai.

Jumlahnya pengembara itu ada belasan orang, antaranya terdapat orang Tibet, Uighur dan dua orang Han. Rupanya mereka bertemu di tengah jalan dan lalu membentuk satu rombongan penjual suara yang berkelana ke sana-sini. Kedua matanya Thian Oe yang mengikuti mereka mendadak terpaku kepada satu gadis dari suku Tsang yang memakai pakaian serba putih. Berjalan di antara kawan-kawannya, gadis itu adalah laksana burung ho di antara kawanan ayam. Lain orang menyanyi, ia sendiri tutup mulut rapat-rapat, sedang kedua matanya yang bersinar terang mengawasi langit dan awan tanpa berkesip. Duduk di atas sela, ia seperti juga tidak dengar suara kawan-kawannya, seperti sedang memikir sesuatu. Kalau bukan biji matanya masih bergerakgerak, Thian Oe bisa salah mata dan menduga ia sebagai patung di atas kuda.

Selagi mengimplang seperti orang kehilangan semangat, tiba-tiba terdengar suara burung gagak di tengah udara. Thian Oe dongak dan mendadak dengar suara menjepratnya tali gendewa dan sebatang anak panah, yang dilepaskan oleh salah satu orang Han, menyambar ke arah ia. Dari mendesingnya sang anak panah yang menusuk telinga, ia tahu bahwa orang yang melepaskan mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat.

Thian Oe kelit sembari angkat tangannya yang tepat menangkap buntut anak panah. Baru mau membentak, ia kembali dengar suara menjeprat dan sang gagak jatuh terguling sembari berteriak keras.

Dengan tangan mencekal gendewa, orang itu memberi hormat kepada Thian Oe dan berkata: "Lantaran jengkel mendengar suara gagak, aku jadi panah padanya. Cuma menyesal, sebab kepandaianku belum sempurna, aku jadi membikin kongtjoe mendapat kaget."

Thian Oe keluarkan suara di hidung dan berkata dengan berdongkol: "Jika aku tidak mengerti ilmu menangkap anak panah, apakah aku sekarang masih bisa bicara dengan kau? Kenapa kau memanah secara begitu?"

"Harap kongtjoe perhatikan anak panahku," kata orang itu sembari tertawa. "Anak panah itu tidak bisa mencelakakan orang!

Aku sebenarnya mau panah gagak, tapi sebab kepandaianku belum cukup, maka aku membikin kongtjoe jadi salah mengerti."

Tan Thian Oe periksa anak panah itu, yang ternyata benar tidak ada tajamnya. Orang itu cabut sebatang anak panah yang ada tajamnya dan berkata: "Ini barulah anak panah yang dapat mencelakakan orang."

Ia lantas pentang gendewanya dan memanah ke udara. Selagi anak panah itu jatuh ke bawah, ia susul dengan lain anak panah yang secara tepat sekali ujungnya kebentrok dengan ujung anak panah pertama, sehingga lelatu api kelihatan muncrat di udara dan kedua anak panah jatuh berbareng ke muka bumi. Orang itu tertawa berkakakan dan merangkap kedua tangannya, akan kemudian keprak kudanya buat susul kawan-kawannya.

Thian Oe jadi seperti orang kesima. "Ilmu memanah orang itu jarang terdapat dalam dunia," kata ia dalam hatinya.

"Barusan terang-terangan ia memanah aku, tapi bilang kesalahan tangan. Sedang aku tidak kenal padanya, kenapa ia panah padaku? Dan kalau toh sudah memanah aku, kenapa ia gunakan anak panah tumpul? Apa maksudnya?"

Selagi putar otaknya buat mencari-cari jawabannya, mendadak kedengaran satu seman "Siauwya (majikan kecil)!" dan satu kacung yang berusia kurang lebih 17 tahun kelihatan muncul.

Tan Thian Oe terkejut dan berkata: "Kang Lam, kau juga ada disini? Kenapa aku tadi tidak lihat kau?"

Lantaran kangen pada daerah Kanglam yang ia sudah tinggalkan dalam tempo lama, ayahnya Thian Oe memberi nama Kang Lam kepada kacungnya, sebagai semacam peringatan bagi tempat kelahirannya. Usianya Kang Lam hampir bersamaan dengan Thian Oe yang menjadi kawan memainnya sedari kecil.

Mendengar pertanyaan majikannya, kacung yang nakal itu lalu tertawa haha-hihi dan menyahut: "Looya (majikan tua) perintah aku cari kau dan waktu orang hitam itu panah padamu, aku mengumpat di alang-alang. Siauwya, banyak tahun aku ikuti kau, tapi aku tidak tahu kau mempunyai kepandaian begitu tinggi dan sekali jambret saja, kau bisa tangkap anak panah itu! Dan lebih heran lagi, aku belum pernah lihat kau belajar memanah. Siauwya, bolehkah kau ajarkan aku."

Parasnya Thian Oe berobah dan ia berkata dengan sungguh-sungguh: "Kang Lam, aku larang kau memberitahukan hal ini kepada looya! Jika hal aku menangkap anak panah kau beritahukan kepada lain orang, aku akan keset kulitmu!"

Melihat sikap majikan kecilnya begitu sungguh-sungguh, Kang Lam segera berkata sembari leletkan lidah: "Tidak, aku tentu tidak omong dengan siapa pun juga." Tapi dalam hatinya ia merasa heran, kenapa juga majikan itu sungkan memberitahukan kepandaiannya kepada sang ayah.

Sembari lari loncat-loncatan, Kang Lam pungut burung gagak yang barusan dipanah jatuh oleh orang itu. "Hei!" mendadak ia berseru. "Kenapa gagak ini mati tanpa ada lukanya?"

Thian Oe terkejut dan periksa bangkai burung itu yang ternyata benar tidak terluka barang sedikit, sedang sebatang anak panah tumpul menggeletak di dekat bangkai burung itu. Ia tahu, gagak itu binasa dengan luka di dalam badannya lantaran terpukul batang anak panah. "Jika gagak ini yang terbang begitu tinggi binasa tertikam tajamnya anak panah, tidaklah usah dibuat heran," kata Thian Oe di dalam hatinya. "Tapi dengan binasa cuma lantaran kena terpukul batang anak panah, bisalah dibayangkan hebatnya tenaga dalam orang yang memanah itu."

Demikianlah dengan hati masgul, Thian Oe lalu berjalan pulang bersama ka.cungnya. Setibanya di rumah, ia lihat ayahnya sedang pasang omong dengan satu orang di kamar tetamu. Orang itu berusia kurang lebih 50 tahun, paras mukanya bersih dan jujur, jenggotnya panjang, punggungnya sedikit bongkok, sehingga ia kelihatannya seperti seorang sastrawan tua yang gagal dalam ujian. Orang itu bukan lain dari gurunya (guru surat), she Siauw bernama Tjeng Hong.

Guru itu mulai bekerja pada tahunan Tan Teng Kie dikirim ke Tibet oleh Kaizar Kian Liong. Waktu itu ia masih menjabat pangkat Tjiesoe, dan oleh karena keuruk dengan tugasnya, ia jadi tidak mempunyai tempo senggang untuk mendidik puteranya. belakangan salah satu sahabatnya pujikan Siauw Tjeng Hong buat ajar ilmu surat kepada puteranya itu. Sesudah omong-omong, ia dapat kenyataan Siauw Tjeng Hong mempunyai pengetahuan yang cukup baik, maka tanpa rewel ia segera pekerjakan padanya. Tidak lama kemudian, lantaran menulis surat pengaduan yang menyerang Ho Kun, Teng Kie dikirim ke Tibet sebagai semacam hukuman. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati buat ajak sang guru pergi ke tempat yang begitu jauh, akan tetapi Siauw Tjeng Hong sendirilah yang sudah mendesak supaya diajak. Ia mengatakan merasa cocok dengan majikannya itu dan secara suka rela suka turut pergi ke Tibet. Oleh karena lihat kesungguhan orang, Tan Teng Kie jadi sangat hargakan padanya dan perlakukan ia seperti anggauta keluarga sendiri.

Sesudah Thian Oe memberi hormat kepada ayah dan gurunya, Teng Kie lantas menanya: "Oedjie (anak Oe), kemana kau pergi begitu lama? Lain kali tidak boleh pergi memain sendirian."

"Datang serombongan penyanyi, malam ini mungkin ada pertunjukan," si kacung menyeletuk.

Thian Oe lirik kacungnya itu, tapi ia seperti juga tidak melihat. "Sinshe (guru)," kata Kang Lam lagi. "Kau adalah seorang berpengalaman dan

berpengetahuan luas, tapi pernahkah kau lihat orang panah gagak dengan anak panah tumpul?"

Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dengan mendadak. "Apa?" ia menegasi. Sehabis berkata begitu, mukanya pucat seperti kertas, sedang badannya bergoyang-goyang.

Tan Teng Kie kaget dan menanya: "Kau kenapa, Siauw sinshe?"

"Lantaran perobahan hawa, mungkin kena pilek," jawabnya.

"Kang Lam," kata Teng Kie. "Pergi antar sinshe ke kamarnya supaya mengasoh."

"Sinshe lagi kurang enak badan, kau jangan banyak bicara," memesan Thian Oe.

Kang Lam manggutkan kepalanya. Diam-diam ia lirik Thian Oe dan bikin muka badut. "Aku toh tidak sebut-sebut soal kau tangkap anak panah. Kenapa kau jadi kebingungan?" kata ia dalam hatinya.

Thian Oe jadi heran sekali. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya jadi begitu ketakutan, setelah mendengar perkataannya Kang Lam.

"Mulai dari sekarang, kau tidak boleh lagi pergi keluar sendirian," kata lagi sang ayah. "Kalau tidak ada pekerjaan, berdiamlah di dalam rumah. Kau tahu? Tahun yang lalu, suku Gurkha dari Nepal telah menyerang Tibet dan telah dipukul oleh tentara kerajaan 2). Mereka tentu penasaran. Sepanjang warta, mereka telah kirim sejumlah pembunuh buat binasakan pembesar-pembesar kerajaan Tjeng. Sekarang pembesar-pembesar yang bertugas di Tibet tidak berani keluar tanpa pengawal."

"Apa benar? Apa benar mereka begitu besar nyalinya?" tanya sang putera.

"Warta ini datang dari markas besar Jenderal Hok. Kita tidak boleh tidak percaya," sahut sang ayah.

Jenderal Hok itu adalah Hok Kong An (Fu Kang An). Ada orang bilang, ia adalah "anak gelapnya" Kian Liong, akan tetapi, ini cuma merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Tapi memang benar, Hok Kong An adalah jenderal yang paling disayang oleh Kian Liong, yang lantaran sangat mengutamakan keselamatan di daerah perbatasan, sudah kirim jenderal tersebut untuk menduduki Tibet, dengan markas besarnya di Lhasa.

Malam itu, siang-siang Thian Oe sudah disuruh tidur oleh ayahnya. Akan tetapi, gulak-gulik di atas bantal, ia tidak bisa pulas lantaran otaknya selalu ingat rombongan pengembara yang ia ketemukan tadi siang. Ia tidak dapat menebak siapa adanya itu orang yang mempunyai kepandaian memanah begitu tinggi. Ia tidak dapat singkirkan dari otaknya itu gadis Tsang yang sangat aneh. Begitu meramkan mata, parasnya si nona lantas terbayang di depan matanya. Itu muka yang seperti patung dengan sinar mata yang dingin bagaikan es seakan-akan diam-diam melirik padanya dalam malam yang gelap-gelita itu.

Mendadak kupingnya dapat tangkap suara tambur yang kedengarannya lapat-lapat di tempat yang jauh. Di sebelahnya tambur, kedengaran juga suara cecer dan terompet. Tapi suara tetabuhan itu sangat membosankan lantaran tetap begitu-begitu juga, tanpa ada perubahan tinggi dan rendah, cepat dan perlahan. Tan Thian Oe tahu, tentulah rombongan penyanyi yang tadi siang sedang membuka pertunjukan malam di padang rumput. Mendengari suara itu, di tengah malam yang sunyi, tanpa merasa ia jadi mengkirik bulu badannya.

Pada besokan paginya, baru saja Thian Oe sadar dari tidurnya, di luar sudah kedengaran Kang Lam bicara: "Hei! Kau percaya atau tidak? Semalam aku lihat setan perempuan. Ha! Benar loh! Aku tidak mendusta. Setan perempuan!"

Thian Oe terkejut. Berapa saat kemudian, si kacung berkata lagi: "Ha! Setan itu pakai dua selendang sutera merah, rambut palsunya terurai sampai di pinggangnya, dia pakai kedok tiga pasegi, lidahnya yang panjang melelet keluar! Ha! Dia juga menari, putar, putar, putar, luar biasa cepatnya. Di bawah kedua kateknya terselip dua golok pendek. Sesudah menari, dia poksay (loncat jungkir balik), goloknya mengkeredep benar-benar menakuti. Sesudah itu, ia lemparkan rambut palsu dan tarik kedoknya. Ha! Kau bisa tebak! Aduh cantiknya! Aku belum pernah lihat wanita Tibet yang begitu cantik seperti ia. Cuma paras mukanya dingin seperti es. Ha! Tak bedanya seperti muka setan perempuan!"

Kang Lam ternyata sedang bicara dengan Loo Ong (si tua she Ong), penjaga pintu. Ia sedang ceritakan pertunjukan yang ia telah saksikan semalam. Thian Oe tahu, yang ia namakan "setan perempuan" tentulah juga itu gadis Tibet yang aneh.

Loo Ong keluarkan suara di hidung dan berkata sembari tertawa dingin: "Kulitmu kelihatannya sudah gatal. Looya baru saja pesan, kita tidak boleh sembarangan keluar, kau seorang sudah nyolong lihat wayang."

Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Aku satu orang keluar lihat wayang?" kata ia dengan suara yang menggenggam rahasia. "Ha! Loo Ong, kau salah raba! Sinshe kita juga pergi kesana! Hi! Cara-caranya lebih mengherankan daripada setan perempuan itu. Sinshe kita...."

Baru Kang Lam bicara sampai disitu, Thian Oe sudah loncat keluar dari kamarnya dan membentak: "Kang Lam, sampai kapan penyakit rewelmu bisa hilang? Hayo, lekas bereskan pembaringanku!"

Melihat majikannya gusar, Loo Ong ngeloyor dengan cepat, sedang Kang Lam masuk ke kamarnya Thian Oe sembari leletkan lidah. "Siauwya", kata ia seperti orang yang diperlakukan tidak adil. "Kenapa dalam dua hari ini kau begitu galak?"

Thian Oe rapatkan pintu. "Siauw sinshe kenapa semalam?" ia tanya dengan suara perlahan.

"Oh, kalau begitu Siauwya juga kepengen dengar cerita?" kata ia sembari tertawa nakal. "Menurut penglihatanku, sinshe kita juga mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Semalam jumlah penonton bukan main banyaknya. Sesudah keluarkan banyak keringat, barulah aku dapat menyelesep masuk, tapi toh tidak bisa berdiri tetap sebab tak hentinya kena didorong ke depan dan ke belakang. Tapi sinshe kita, jangan kau pandang rendah badannya yang kelihatannya lemah. Ia berdiri tegak. Orang-orang yang mendorong sudah pada mental sebelum senggol badannya. Aku tidak tahu, ilmu apa ia gunakan. Aku heran bukan main. Sebetulnya aku mau tegor padanya, tapi orang terlalu banyak, sedang itu setan perempuan sudah keluar, maka aku urungkan niatan itu. Tapi siapa tahu, baru saja pertunjukan setan perempuan itu selesai, ia sudah pergi. Kalau ia suka nonton, kenapa tidak nonton terus? Siauwya, bukankah ia seorang aneh?"

"Kang Lam," kata Tan Thian Oe sembari perengutkan mukanya. "Urusannya Siauw sinshe, kau cuma boleh ceritakan kepadaku. Pada lain orang, dari Loo Ong sampai Looya, kau tidak boleh cerita. Jika kau langgar, aku akan keset kulitmu. Tidak, aku akan tidak ladeni kau lagi."

Thian Oe dan Kang Lam adalah kawan memain sedari kecil. Perhubungan antara mereka adalah perhubungan sahabat dan bukannya perhubungan antara majikan dan bujang. Thian Oe kenal baik adatnya si kacung, yang paling takut kalau tidak diajak omong oleh majikan kecilnya.

Baru saja Thian Oe cuci muka dan makan sarapan pagi, Kang Lam datang lagi dan berkata: "Looya panggil kau."

"Ada urusan apa ayah panggil padaku?" tanya ia dalam hati sambil masuk ke ruangan tengah, dimana ia ketemukan orang tua itu sedang duduk dengan paras muka seperti orang yang lagi berpikir keras.

"Touwsoe mau bertemu dengan kau," kata sang ayah. "Aku tak tahu ada urusan apa. Touwsoe ini adatnya sangat jelek. Pembesar-pembesar kerajaan tidak ada satu yang dipandang mata olehnya. Selama berdiam disini delapan tahun, baru berapa kali saja aku bertemu dengan ianya. Sekarang ia sengaja undang aku bersantap dan pesan juga supaya ajak kau datang bersamasama. Lekas pergi salin pakaian."

"Aku tidak kenal ia," kata sang putera dengan suara heran. "Ada urusan apa ia pesan supaya aku datang? Tidak, ayah, aku tak kesudian."

"Tidak boleh begitu, anakku," kata Teng Kie. "Aku bertugas dalam daerah kekuasaannya. Ia tuan rumah, kita tetamu. Perhubungan antara tuan rumah dan tetamu haruslah baik, apalagi dalam banyak hal aku harus mengandal kepada pengaruhnya. Dalam kalangan pembesar negeri, perhubungan antara kedua keluarga adalah kejadian yang lumrah. Sekarang ia mengundang kita dan kita tidak boleh menolak. Jangan kau bawa adat anak-anak."

Mendengar ayahnya berkata begitu, Thian Oe tidak membantah lagi dan lalu pergi salin pakaian.

Amban adalah pembesar sipil dan cuma mempunyai beberapa puluh serdadu pengawal. Sesudah pilih memilih, Teng Kie ajak delapan pengawal buat antar padanya.

Selagi mau berangkat, diluar mendadak terdengar suara berbengernya kuda dan penjaga pintu datang melaporkan: "Nyepa

Omateng ingin bertemu dengan taydjin (orang besar = panggilan buat orang berpangkat)."

"Nyepa" adalah semacam pangkat di Tibet. Di bawah saban Touwsoe ada empat Nyepa.

Tan Teng Kie kaget berbareng girang. "Apa benar?" Nyepa yang berkuasa atas ketentaraan dan pengadilan, sehingga pengaruhnya besar sekali. Saban kali satu Nyepa keluar dari rumahnya, ia selalu diiring oleh satu pasukan tentara, dan oleh karena begitu, Teng Kie jadi merasa heran dan ajukan pertanyaan, waktu mendengar Nyepa Omateng datang seorang diri. "Omateng?" ia menegasi. "Kenapa ia datang seorang diri?"

Thian Oe berdiri di satu pinggiran buat turut sambut kedatangannya pembesar Tibet itu. Ia lihat Omateng masuk dengan tindakan meniru caranya pembesar-pembesar kerajaan Tjeng. Sembari menggendong tangan, ia mendatangi setindak demi setindak sampai di hadapannya Teng Kie. Ia memberi hormat dengan sikap hormat sekali dan berkata: "Apakah Ponpo mau hadiri perjamuan Touwsoe?" (Ponpo = Pembesar negri. Panggilan menghormat untuk orang berpangkat).

"Benar," jawab Teng Kie dengan suara terperanjat. "Aku sungguh merasa jengah sampai Nyepa datang buat menyambut."

Hatinya merasa heran, sebab sang Nyepa yang biasanya angkuh, sekarang jadi begitu menghormat.

Omateng awasi padanya dan berkata sambil tertawa: "Kalau tidak ada urusan penting, aku tentu tidak datang kesini. Kedatanganku ini adalah buat mohon Ponpo lakukan satu pekerjaan mulia."

Teng Kie yang tadinya duga ia datang atas perintah Touwsoe untuk menyambut padanya, jadi tercengang mendengar

perkataannya itu. "Urusan apa?" ia tanya.

"Apakah Ponpo tahu kemarin datang serombongan pengembara yang menjual suara?" tanya ia.

"Aku dengar orang bilang begitu," sahutnya.

"Mereka sebenarnya kawanan pencuri kuda," menerangkan Omateng. "Kepandaian mereka juga lumayan dan mereka telah dapat curi lima ekor kudanya Touwsoe. Yang lelaki bisa kabur semuanya, yang kena dibekuk satu wanita muda."

Thian Oe terkesiap. "Yang lain aku tidak tahu, tapi orang yang lepaskan anak panah benarbenar mempunyai kepandaian tinggi. Kenapa mereka curi kuda? Dalam urusan ini tentu ada lain latar belakang. Wanita yang kena ditangkap tentulah juga itu gadis yang aneh," demikian Thian Oe memikir dalam hatinya.

"Ponpo sudah berdiam disini banyak tahun dan tentu mengetahui peraturan Touwsu terhadap pencuri kuda," kata lagi Omateng.

Kembali Thian Oe terkesiap. Ia pun sudah pernah dengar penuturan ayahnya, bahwa hukuman terhadap pencuri-pencuri kuda adalah kejam sekali. Paling dahulu kedua matanya pencuri dikorek dan kemudian kedua tangannya dibacok kutung. Mengingat sinar matanya gadis itu yang bening seperti es, tanpa terasa badannya jadi gemetar.

Paras mukanya Teng Kie juga berobah, tapi ia tentu tidak dapat mencampuri urusannya Touwsoe.

"Sebagaimana Ponpo tahu, hatiku selalu tidak tegaan," Omateng sambung

pembicaraannya. "Aku sungguh tidak tega, kalau gadis itu sampai mesti jalankan hukuman yang biasa. Maka itu, kalau sebentar bertemu dengan Touwsoe, aku sangat harap Ponpo sudi mintakan ampun. Jika mesti membayar hukuman denda dengan emas, mohon Ponpo suka talangi dahulu dan aku akan pulangkan emas itu secara diam-diam."

Mendengar permintaan orang, Teng Kie jadi terlebih heran lagi. "Omateng biasanya sangat sekaker, kenapa hari ini dia begitu loyar? Apakah wanita itu mempunyai hubungan apa-apa dengan ia? Tapi kalau benar wanita itu mempunyai hubungan rapat dengan Omateng, kenapa juga ia mesti menjual suara di padang rumput?" tanya Teng Kie dalam hatinya.

Melihat Teng Kie bersangsi, Omateng kelihatannya bingung sekali. "Ponpo Taydjin," kata ia. "Jiwanya nona itu sekarang berada dalam tanganmu."

"Menolong jiwanya satu manusia ada lebih baik daripada berdirikan menara tujuh tingkat," kata Teng Kie akhirnya. "Aku berjanji akan berbuat apa yang bisa. Kalau harus membayar denda, aku juga masih mempunyai sedikit uang, sehingga tidaklah perlu Nyepa mesti mengodol kantong. Cuma aku kualir Touwsoe tidak akan mau meluluskan."

"Jika Ponpo yang minta, Touwsu pasti meluluskan," kata Omateng dengan suara girang. "Sekarang aku mau permisi. Urusan hari ini harap Ponpo jangan sebut-sebut di hadapan Touwsoe."

Ia lalu pamitan dengan cara hormat sekali dan waktu bertindak keluar pintu, ia mesem-mesem kepada Thian Oe dengan sikap yang mengherankan.

Baru saja Omateng berangkat, Thian Oe lantas berkata: "Ayah, hayolah."

"Bukankah tadi kau sungkan pergi?" kata sang ayah sembari mesem.

Mukanya sang putera jadi bersemu merah, tapi Teng Kie berlagak tidak lihat dan lantas suruh orang sela-kan kuda.

Gedungnya Touwsoe dibikin dengan menyender pada suatu bukit, sehingga gedung itu jadi bertingkat-tingkat, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Dipandang dari bawah, gedung tersebut agaknya seperti satu benteng yang berbentuk pasegi.

Rombongan Tan Teng Kie tiba waktu matahari sudah naik tinggi dan tepat pada waktunya bersantap tengah hari. (Perjamuan Touwsoe di Tibet biasanya dimulai tengah hari dan berlangsung sampai sore). Tan Teng Kie bersama puteranya diantar ke satu pendopo dalam kebun bunga, sedang para pengikutnya tersebar dalam kebun itu untuk mengawal. Di tengah-tengah pendopo sudah siap sedia sebuah meja santapan. Baru saja, ayah dan anak duduk, serdaduserdadu yang berbaris di bawah pendopo sudah berseru: "Touwsoe datang!"

Touwsoe itu berusia kira-kira 50 tahun, hidungnya bengkok, janggut pasegi, sedang kedua matanya bersinar tajam, sehingga macamnya jadi kelihatan angker sekali.

Sesuai dengan adat kebiasaan orang Tibet, Tan Teng Kie lebih dahulu mempersembahkan khata 3) kepada tuan rumah. Sembari tertawa dengan meram-meramkan matanya, Touwsoe mengawasi tetamunya dan sesudah selang beberapa saat, ia lantas berkata: "Apakah pemuda ini puteramu? Sungguh cakap romannya!"

Saat itu, Thian Oe mendadak rasakan jantungnya mengetok keras dan napasnya agak sesak. Dua serdadu Tibet kelihatan mengiring satu wanita yang jalan menghampiri perlahan-lahan dan berhenti di luar pendopo. Wanita itu ternyata bukan orang lain daripada gadis aneh yang ia ketemu kemarin. Di bawah pendopo sudah siap sedia pekakas hukuman, antaranya dua golok tajam dan dua bungbung bambu yang digunakan untuk korek biji matanya orang yang terhukum. Di sebelahnya terdapat satu batu bundar yang di atasnya dipasangi dua pelat besi tipis dari setengah lingkaran. Thian Oe tidak mengetahui kegunaannya alat itu.

Menghadapi alat menghukum itu, si jelita melirik pun tidak. Paras mukanya tetap tenang, sedang pada kedua matanya tertampak semacam sinar yang mengejek, seolah-olah orang yang lagi menghadap pengadilan bukannya ia, tapi si Touwsoe sendiri. Dengan adanya alat-alat menghukum dan dengan sikapnya si nona yang sedemikian rupa, kecuali Touwsoe, semua orang yang menyaksikan jadi mengkirik bulu badannya.

Touwsoe itu tertawa kejam dan berkata sembari tunjuk pekakas hukum itu: "Taruh batu itu di atas kepalanya pesakitan dan ketok pelat besi itu dengan martil kecil. Matanya akan lantas nonjol keluar dan korek kedua biji matanya sama bungbung bambu kecil!"

Sehabis berkata begitu, ia kebaskan tangannya dan niat segera perintah supaya hukuman itu lantas dijalankan.

"Tahan! Tahan!" Tan Teng Kie mendadak berseru.

Touwsoe bangun dan berkata: "Apa? Kalian orang Han kecil nyalinya. Apa kau tidak berani saksikan hukuman itu?"

"Aku mohon tanya," sahut Teng Kie sambil menahan amarah. "Berapa ekor kuda sudah dicuri mereka?"

"Lima ekor yang paling baik," sahutnya.

"Bagaimana kalau aku ganti dengan sepuluh ekor?" tanya Tan Teng Kie.

"Dia juga niat bakar istalku," berkata Touwsoe.

"Apa sudah dibakar?" Teng Kie tanya lagi.

"Dia sudah kena dibekuk selagi nyalakan batu api," sahutnya.

Teng Kie mesem dan keluarkan batu api dari kantongnya. "Kau lihat, aku pun membawa barang ini!" kata ia.

Si Touwsoe tertawa terbahak-bahak. Ia mengerti maksudnya Teng Kie, yang hendak mengatakan, bahwa dengan membawa batu api belum merupakan suatu bukti bahwa seseorang berniat jahat.

Sedikitpun Tan Teng Kie tidak unjuk perasaan keder. Ia diawasi, ia balas mengawasi. "Bagaimana, Touwsoe? Bisakah kau memberi pengampunan?" tanya ia.

Thian Oe tahan napasnya. Ia awasi Touwsoe itu, kemudian awasi ayah sendiri. Tak pernah ia begitu kagumi ayahnya seperti pada saat itu. Kalau biasanya sang ayah suka takut ini dan takut itu, sekarang ia berdiri tegak, dengan paras muka yang sama tenangnya seperti si gadis itu. Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda keder. Mungkin sekali, semangat yang sedemikian juga telah diunjuk oleh sang ayah, ketika ia ajukan surat pengaduan buat serang sepak terjangnya Ho Koen. Demikianlah, pada saat itu Tan Thian Oe dapat lihat semangat muda dari ayahnya yang sekarang sudah berambut putih.

Touwsoe terkejut. "Tak dinyana, pembesar Han yang kelihatannya begitu lemah mempunyai nyali yang begitu besar," ia kata.dalam hatinya. Mendadak ia tertawa dan berkata: "Menurut pantas, aku sebenarnya harus meluluskan permintaan Ponpo. Cuma saja, peraturannya kakek moyang tidak dapat gampang-gampang dirobah."

Tan Thian Oe cekal keras-keras belati yang ia sembunyikan dalam tangan bajunya. Ia sudah mengambil putusan pasti buat lantas menerjang, begitu lekas Touwsoe itu memerintahkan di jalankannya hukuman.

Sesudah berpikir beberapa saat dan manggut-manggut beberapa kali, Touwsoe itu berkata: "Peraturan leluhur memang tidak dapat dirubah, akan tetapi muka Ponpo pun tidak harus hilang. Baiklah! Sekarang kita pertaruhkan nasibnya pesakitan itu!"

Ia kebaskan tangan bajunya dan satu serdadu lantas taruh satu buah apel merah di atas kepalanya si gadis.

Sang Touwsoe kembali tertawa besar. Ia berpaling kepada Tan Teng Kie dan menanya: "Apa kalian pandai menggunakan hoeito (golok terbang)?" Dengan satu suara "srett!" ia cabut satu golok lancip yang ditaruh di atas meja.

"Jika dengan sebatang golok terbang, kalian dapat membelah buah apel itu di sama tengah, tanpa penggantian apa pun juga, aku akan segera lepaskan dia," kata Touwsoe itu. "Cara ini juga adalah peraturan leluhur kita. Baiklah. Sekarang bawa pesakitan itu sampai seratus tindak jauhnya!"

Satu serdadu lantas saja tuntun gadis itu sembari menghitung tindakannya dan lantas berhenti sesudah cukup seratus tindak.

"Aku permisikan kau atau siapa saja di antara pengikutmu buat membelah apel itu dengan golok terbang," berkata si Touwsoe.

Tan Teng Kie adalah seorang pembesar sipil yang lemah, sedang di antara pengikutnya pun tidak ada orang yang berkepandaian begitu tinggi. Cangkriman yang dibertelorkan oleh Touwsoe terang-terangan adalah buat hinakan orang Han. Ia jadi naik darah dan berkata dengan suara gusar: "Touwsoe, cara bagaimana jiwa manusia bisa dibuat permainan?"

Touwsoe itu lantas saja kasih unjuk paras yang memandang rendah. "Jika kalian tidak berani pertaruhkan nasibnya, biarlah hukuman itu di jalankan saja," kata ia sembari tertawa.

Mendadak Tan Thian Oe berdiri dengan sinar mata yang berapi dan berkata: "Jika dengan sebatang golok terbang aku dapat membelah buah apel itu..."

"Aku lantas lepaskan dia!" Touwsoe potong perkataan orang.

"Aku harap perjanjian ini tidak berobah lagi," kata Thian Oe.

"Aku tidak pernah omong kosong," Touwsoe itu menyahut dengan pendek.

Tan Teng Kie terkesiap dan menanya: "Oe-djie, apa kau gila?"

Baru habis ayahnya bicara,

Thian Oe sudah jumput golok itu dan tanpa mengincar, ia menimpuk! Bagaikan kilat golok itu terbang ke kepalanya si jelita, dan di lain saat, sang apel terpental menjadi dua! Satu serdadu lantas pungut dan berseru: "Tepat betul terbelah dua di tengah-tengah!"

Paras mukanya Touwsoe berobah, tapi ia segera tertawa berkakakan sembari acungkan jempol tangannya. "Sungguh bagus ilmu menimpuk golok itu!" ia kata

Tan Teng Kie adalah seperti orang baru sadar dari mengimpi. Perasaan herannya sukar dapat dilukiskan. Apa yang ia tahu, puteranya belum pernah belajar ilmu silat. Delapan belas tahun mereka bersama-sama, en toh ia tidak mengetahui sang anak mempunyai kepandaian yang sedemikian tinggi.

Satu serdadu segera lepaskan tali urat kerbau yang mengikat badannya nona itu. Ia lirik penolongnya dan kemudian berjalan keluar dari antara dua baris serdadu yang memegang macam-macam senjata. Parasnya yang tenang tetap tidak berobah, kedua matanya tetap bersinar dingin bagaikan es! Ia tidak mengucapkan sepatah kata, malahan tidak menghaturkan terima kasih kepada Tan Thian Oe.

Touwsoe geleng-gelengkan kepalanya. "Hm!" kata ia.

"Sungguh terlalu enak pesakitan ilu!" Seperti satu bola yang sudah kempes, ia sekarang tidak begitu bersemangat lagi. Mereka kembali mengambil tempat duduk di seputar meja perjamuan. Waktu Tan Teng Kie mau angkat cawan sebagai pemberian hormat. Touwsoe itu lirik Thian Oe. Tiba-tiba ia jadi gembira kembali dan berkata kepada salah satu pengikutnya: "Undang Kangma Kusiu datang kesini!"

Kangma Kusiu dalam bahasa Tibet berarti siotjia (nona). "Ah? Kenapa ia suruh puterinya keluar buat temani tetamu?" tanya Teng Kie dalam hatinya.

Barulah sekarang Thian Oe merasa tangannya gemetaran lantaran ia ingat bagaimana besar adanya bahaya waktu menimpuk dengan golok. Inilah buat pertama kali, ia unjuk kepandaiannya di muka umum dan sungguh mujur, ia berhasil.

"Siapa wanita itu? Apa benar ia curi kuda? Apa ia mengerti silat? Kenapa paras mukanya begitu luar biasa?" demikian rupa-rupa pertanyaan mengaduk dalam otaknya pemuda itu, sehingga ia seperti tidak dengar waktu Touwsoe perintah orang undang puterinya datang kesitu.

Tiba-tiba ia jadi sadar mendengar kerincingnya perhiasan, dibarengi dengan kedatangannya satu gadis Tibet. Nona itu memakai perhiasan yang reboh sekali. Jubahnya yang panjang berwarna biru muda, sedang badannya ditutup dengan baju sutera warna biru langit dan pinggangnya diikat sama selendang sutera. Dengan dandanan yang kaya-raya, ia seperti juga sekuntum bunga mawar di musim panas. Tapi, setahu bagaimana, dengan segala kerebohannya itu, orang yang melihat masih mendapat perasaan bahwa nona itu berharga murah.

Dengan mulut tersungging senyuman, puterinya Touwsoe berjalan ke arah Thian Oe. Pemuda itu terkejut. Begitu berhadapan, gadis itu membungkuk dan sembari tertawa ia berkata: "Tali sepatumu kendor!" Di lain saat, dengan kedua tangannya ia bikin kencang tali sepatunya Thian Oe.

Kejadian itu yang tidak terduga-duga, membuat Thian Oe jadi kesima. Ia seperti tidak tahu apa yang dilakukan oleh gadis itu dan juga tak tahu apa yang ia harus berbuat. Sesudah ikatkan sepatunya Thian Oe, gadis itu lalu bangun berdiri dan paras mukanya jadi bersemu merah. Ia pelengoskan mukanya supaya matanya tidak kebentrok dengan matanya Thian Oe yang mengawasi dengan perasaan tidak mengerti.

Sementara itu, Tan Teng Kie kasih lihat paras yang penuh keheranan, tercampur sedikit kegirangan. Touwsoe tertawa besar dan berkata dengan suara girang: "Keringkan cawan! Mulai dari sekarang, kita jadi orang sendiri!"

Tan Thian Oe seperti orang sadar dari tidurnya dan mukanya lantas berobah pucat. Ia ingat, bahwa menurut adat kebiasaan di Tibet, jika seorang gadis ikatkan tali sepatunya satu pria, berarti gadis itu meminang si pria. Dan jika pihak lelaki tidak menolak, berarti ia setuju dan tinggal pilih hari buat langsungkan pernikahan. Puteri Touwsoe sering tunggang kuda dan memanah di padang rumput, dimana beberapa kali ia bertemu dengan Tan Thian Oe, yang sama sekali tidak menaruh perhatian. Gadis itu sudah cukup usianya dan sudah temponya buat menikah, akan tetapi belum ada pemuda yang pantas buat jadi suaminya. Melihat Thian Oe yang cakap, puterinya Touwsoe jadi menaruh hati. Dan sekarang ternyata, bahwa maksud perjamuannya Touwsoe adalah buat rangkap jodoh puterinya dengan puteranya Tan Teng Kie.

Dengan paras muka berseri-seri, Touwsoe angkat satu cawan yang kakinya tinggi. "Aku sungguh merasa puas dengan perjodohan ini." kata ia kepada Teng Kie. "Tjinke (besan), marilah kita keringkan cawan."

Tan Teng Kie tidak tahu harus berbuat bagaimana. Mendadak sang putera berkata dengan suara gugup: "Tidak, aku tidak puas!"

Mukanya Touwsoe berobah dengan mendadak."Apa?" ia membentak. "Kau tidak puas dengan puterinya seorang Touwsoe?" Sedang sang ayah marah, sang puteri lantas menangis.

"Oleh karena masih berusia sangat muda, anakku jadi tidak mengenal aturan," berkata Teng Kie dengan perasaan bingung. "Mohon Touwsoe jangan jadi gusar."

Touwsoe itu kembali tertawa girang. "Nah, inilah baru omongan yang benar," kata ia. "Hei, bocah! Lekas keringkan cawan bersama tunanganmu!"

Puterinya Touwsoe yang barusan menangis juga lantas tertawa. Ia segera angsurkan satu cawan arak kepada Thian Oe, yang jadi bingung sekali.

Saat itu... di luar kebun bunga mendadakan saja terdengar suara ribut. Tiba-tiba, seorang yang rambutnya teriap-riap menerobos dan berteriak: "Tan Taydjin, celaka! Celaka!"

Teng Kie terperanjat. "Ada apa?" ia tanya.

"Kantor dibakar penjahat! Banyak yang mati dan luka!" sahut orang itu.

Cawan arak terlepas dari tangannya Teng Kie, sedang Thian Oe, tanpa mengucapkan sepatah kata, segera loncat turun dari pendopo dan cemplak seekor kuda yang lantas dikaburkan sekeras bisa.

"Segala perampok kecil, buat apa bikin banyak ribut?" kata Touwsoe sembari tertawa. "Kangho Nyepa, tolong siapkan seratus serdadu untuk bekuk kawanan kecu itu, Tjinke, dengan aku sebagai sandaran, kau tidak usah takutkan apa juga!"

Teng Kie bingung sekali. Baru saja Touwsoe tutup mulutnya, ia sudah lari turun dari pendopo, cemplak kudanya yang lantas dikaburkan. Lapat-lapat ia dengar suara tertawanya Touwsoe yang berteriak: "Tjinke Ponpo, perjamuan belum berakhir. Sesudah penjahat dibekuk, lantas balik kesini bersama puteramu!"

Thian Oe yang kaburkan kudanya seperti terbang, jauh-jauh sudah lihat sinar api. Bagus juga waktu itu tidak turun angin dan api belum mengamuk hebat. Ia loncat turun depan kantor Amban, dimana ia dengar teriakan dan rintihan, tapi sang penjahat sudah tidak kelihatan mata hidungnya.

Buru-buru ia loloskan jubah panjangnya dan menerobos masuk ke dalam kantor. Disitu ia ketemukan banyak mayat yang pada menggeletak, tapi tidak lihat tanda-tanda darah, la mengetahui, bahwa mereka binasa sebab kena pukulan berat. Beberapa di antaranya yang belum mati pada berteriak-teriak kesakitan.

Thian Oe terkejut dan memanggil: "Siauw sinshe! Siauw sinshe!" Mendadak di antara tumpukan mayat terdengar suara orang: "Siauw sinshe dan penjahat sudah pergi!" Orang itu adalah Kang Lam.

"Aduh! Terima kasih kepada Tuhan, kau tidak binasa," kata Thian Oe.

"Dua perampok itu duga aku sudah mampus," kata si kacung sembari Ieletkan lidah. "Ha! Sebenarnya aku berlagak mati dan berhasil tipu mereka. Kalau tidak begitu, sekarang aku tentu sudah tidak bernyawa!" Dalam keadaan yang berbahaya, ternyata Kang Lam masih belum hilang kebawelannya.

Thian Oe lantas ajak ia menyingkir keluar dari dalam kantor dan kemudian berkata: "Bagaimana sih kejadiannya? Coba ceritakan."

"Baru saja kalian berangkat, dua penjahat datang kesini," Kang Lam mulai menutur. "Mereka itu adalah dua orang Han yang turut rombongan penyanyi. Satu antaranya adalah orang yang telah panah padamu. Apa kau masih ingat?"

"Ingat. Bicara terus," kata sang majikan.

"Satu penjahat membawa bungbung penyemprot api. Kemana juga ia menyemprot, api segera berkobar," kata si kacung. "Siauwya, apa kau pernah lihat benda yang luar biasa itu?"

"Belum pernah. Lekas teruskan, jangan omongkan segala tetek bengek," kata Thian Oe dengan suara berdongkol dan tidak sabaran.

Kang Lam manggutkan kepalanya dan teruskan penuturannya: "Penjahat yang satunya lagi membawa satu gendewa besar. Wah tangannya cepat sekali! Begitu ketemu serdadu pengawal, ia menyabet ke arah kepala, dan begitu kena, serdadu itu kontan roboh tanpa bersuara lagi. Sebelum ia datang dekat kepadaku, buru-buru aku rebahkan diri di atas lantai dan berlagak mati. Ha! Waktu itu Siauw sinshe keluar. Punggungnya tidak bongkok lagi, kedua matanya besar dan bundar. "Orang she Siauw ada disini!" ia berteriak. "Urusan kita tak ada sangkut pautnya dengan majikan rumah ini. Marilah kita pergi ke gunung di belakang buat mendapat kepastian, siapa mati, siapa hidup. Hari ini akan aku iring keinginanmu buat bereskan hutang yang sudah sepuluh tahun lamanya!"

Baru saja Kang Lam bicara sampai disitu, di sebelah kejauhan kelihatan debu mengepul, diikuti dengan suara berbengemya kuda. Tan Teng Kie dan pengawalnya ternyata sedang mendatangi.

"Aku mau pergi ke gunung buat cari sinshe," kata Thian Oe kepada kacungnya. "Kau cuma boleh beritahukan hal ini kepada looya." Sehabis berkata begitu, ia cemplak kuda yang lantas dikaburkan.

Jalanan gunung penuh bahaya, disini es disana salju dengan batu-batu dari macam-macam bentuk, sehingga sang kuda tidak dapat lari cepat. Sesudah lewati dua lembah, kupingnya Thian Oe dapat dengar suara "ting-tang, ting-tang", seperti juga suara tetabuhan yang tidak ada lagunya dan membikin sakit kuping pendengar.

Thian Oe naik ke tempat tinggi dan melongok ke bawah. Ia lihat gurunya yang bersenjatakan hudtim (kebutan debu) sedang dikepung oleh dua orang. Satu musuh bersenjata gendewa besar yang talinya mengeluarkan suara "ting-tang" jika kelanggar senjata gurunya. Musuh yang satunya lagi bersenjata Tjittjiat Djoanpian (Pian lemas tujuh tekukan), yang menyambar-nyambar bagaikan kilat.

"Soehoe!" Thian Oe berteriak.

Sembari sampok gendewa musuh, Siauw Tjeng Hong berseru: "Oe-djie, jangan kemari!" Suaranya tidak lampias, lantaran napas sengal-sengal. Thian Oe kaget. Biarpun ia baru saja mendapat dasar-dasarnya pelajaran Iweekang (ilmu dalam), tapi, mendengar suara gurunya, ia mengetahui bahwa sang guru sudah mendapat luka di dalam.

Siauw Tjeng Hong sebenarnya adalah satu tayhiap (pendekar) yang umpatkan diri. Secara diam-diam ia turunkan pelajaran ilmu silat kepada muridnya itu, dengan memesan wanti-wanti, bahwa hal itu tidak dapat dibocorkan. Ia memberitahukan, bahwa kalau bocor, jiwanya terancam bahaya. Demikianlah, Thian Oe belajar ilmu surat di-waktu siang dan ilmu silat di waktu malam, sehingga ayahnya sendiri tidak mengetahui.

Thian Oe belajar ilmu silat di tahun kedua sedari datangnya Tjeng Hong, sehingga ia sudah belajar tujuh tahun lamanya. Selama itu, ia cuma mengetahui, bahwa gurunya adalah ahli silat kenamaan dari Tjengshia pay (Partai kota hijau). Tentang asal-usulnya sang guru dan kenapa ia tinggalkan Tionggoan (wilayah Tiongkok) buat ikut keluarga Tan, Tjeng Hong sama sekali belum pernah bilang kepada muridnya dan larang sang murid menanya melit-melit. Ia cuma mengatakan, bahwa mereka berjodoh dan kalau sang murid bocorkan asal-usulnya, jodoh itu akan habis. Thian Oe adalah seorang yang sangat jujur dan hormati gurunya itu. Sesudah menanya sekali, ia tidak berani menanya lagi.

Pertempuran di atas lapangan yang tertutup es jadi semakin hebat. Sering-sering terdengar suara hancurnya kepingan-kepingan es yang terinjak oleh ketiga orang itu. Buat orang biasa, jangan kata berkelahi, berjalan di atas es yang licin mungkin sudah tidak mampu. Hatinya sang murid bergoncang keras. "Walaupun mesti dicomeli, kali ini aku tidak dapat menurut lagi perintahnya guru," kata ia dalam hatinya. Sembari menahan napas, ia buru-buru turun. Ia tahu, kedua musuh itu sangat tangguh dan penyerbuannya sama juga mengantarkan jiwa. Akan tetapi, hatinya tidak tega buat peluk tangan, sedang jiwa gurunya terancam bahaya.

Mendadak ia melihat badan gurunya limbung, disusul dengan suara hancurnya kepingan es, seperti juga kaki gurunya terpeleset dan badannya jadi limbung doyong ke depan. Orang yang bersenjata pian sungkan sia-siakan ketika yang baik dan menyabet bagaikan kilat dengan sabetan yang membinasakan. Thian Oe terkesiap dan keluarkan teriakan tertahan. Akan tetapi, sedang mulutnya masih menganga, matanya lihat satu bayangan hitam melesat ke tengah udara, dibarengi dengan teriakan hebat dan badannya seorang lain tergelincir ke dalam jurang es.

Orang yang bersenjata gendewa menggereng seperti binatang terluka dan menyabet dengan senjatanya. Ternyata orang yang barusan loncat ke atas adalah Siauw Tjeng Hong yang sengaja berlagak terpeleset, dan ketika musuhnya menyabet dengan pian, ia kirim satu tendangan yang sudah mendapat hasil.

Kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara mengaungnya tali gendewa dan lihat benangbenang hudtim gurunya yang halus bagaikan sutera berterbangan di tengah udara, seperti juga kena ditarik putus dengan tali gendewa.

Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong dilihatnya halus seperti buntut kuda, tapi sebenarnya benang-benang itu terbuat dari emas hitam yang luar biasa kuat dan uletnya, sehingga merupakan satu senjata mustika. Dan sekarang, benang-benang itu kena ditarik putus dengan tali gendewa musuh. Dari sini dapat dibayangkan, bagaimana tinggi adanya tenaga dalam sang musuh.

Mukanya Thian Oe jadi pucat. Selagi ia niat memburu, kupingnya mendadak dengar lagi satu suara

"ting-tang" yang luar biasa keras dan berkumandang jauh. Di lain saat, kedua orang yang sedang bertempur terpental dan jatuh duduk di atas tanah. Gurunya goyang-goyang hudtimnya seperti orang yang mau memukul, sedang sang musuh pentil tali gendewanya, yang sekarang sudah tidak bersuara lagi. Heran sungguh hatinya Thian Oe melihat kejadian itu.

Ketika itu Thian Oe sudah memburu ke tanah datar dan cuma terpisah kurang lebih 100 tindak dari kedua orang itu. Ia lihat gurunya duduk di atas es dengan kepala mengeluarkan uap putih dan musuhnya juga sami mawon. Mereka duduk berhadapan dalam jarak tidak lebih dari sepuluh tindak dan matanya saling mengawasi dengan penuh kegusaran, tapi badan mereka sama sekali tidak bergerak.

Melihat begitu, Thian Oe mengetahui, bahwa gurunya sedang ukur tenaga sama musuhnya dengan gunakan lweekang (tenaga dalam) yang paling tinggi. Di lain saat, ia melihat gurunya kalah seurat dari musuhnya. Tanpa berpikir lagi, ia pentang gendewanya dan lepaskan sebatang anak panah ke arah bebokongnya musuh.

"Oe-djie! Lekas lari!" mendadak gurunya berteriak. Pada detik itu, sang musuh kebaskan gendewanya dan anak panahnya Thian Oe menyambar balik. Thian Oe terkesiap, tapi masih keburu angkat goloknya buat menangkis. Ia rasakan lengannya kesemutan dan telapakan tangannya pecah, sedang anak panah itu menancap di atas golok! Kalau bukan secara kebetulan goloknya dapat menangkis, anak panah itu tentu sudah menembus ulu hatinya.

Thian Oe kaget tidak terhingga dan sebelum ia dapat tetapkan hatinya, kupingnya sudah dengar lagi satu teriakan keras. Ia lihat badan gurunya melesat ke udara, sedang sang musuh bergulingan beberapa kali dan badannya tergelincir ke dalam jurang, seperti kawannya tadi.

Thian Oe buru-buru menghampiri. Siauw Tjeng Hong waktu itu sudah jatuh duduk di atas tanah, matanya meram, mukanya pucat seperti kertas, sedang kebutannya menggeletak di dekatnya. Sambil tundukkan kepala, sang murid berdiri mengawal gurunya itu. Kira-kira sepasangan hio, mukanya Siauw Tjeng Hong perlahan-lahan bersemu merah dan kedua matanya terbuka. "Oe-djie, tolong ambilkan hudtim," kata ia dengan napas sengal-sengal. Thian Oe lantas saja pungut kebutan itu.

"Gantung hudtim itu di pinggangku," memerintah lagi sang guru.

Sekarang Thian Oe baru dapat lihat, bahwa jeriji gurunya gemetaran, pundaknya turun dan gerakannya sukar sekali.

"Soehoe, kau kenapa?" ia tanya dengan suara berkuatir.

"Hudtim-ku masih ketinggalan separoh, sedang tali gendewanya kena aku kebut putus," kata sang guru sembari mesem. "Dalam pertandingan ini, aku tidak terhitung kalah."

"Tapi, tanganmu... tanganmu," kata sang murid.

Siauw Tjeng Hong kembali mesem dan berkata: "Orang she Tjoei itu adalah ahli silat kelas satu dari Khongtong pay. Dengan berhasil gulingkan dia ke dalam jurang, aku sendiri pun mesti mendapat sedikit luka. Kedua lenganku kena kepukul senjatanya, hingga jadi begini. Akan tetapi, ia masih belum mampu membuat aku bercacat selamanya. Dalam tempo lima hari, atau paling lama tujuh hari, aku sendiri akan dapat menyembuhkan. Oe-djie, sekali ini aku ketolongan lantaran anak panahmu."

Thian Oe jadi kemalu-maluan dan berkata: "Anak panah yang dilepaskan olehku sama juga telor menghantam batu. Bukan saja tidak mengenakan sasaran, malahan kena dipukul balik. Ini semua disebabkan ilmu silatku masih sangat rendah, sehingga tidak dapat membantu soehoe."

"Oe-djie, kau ternyata masih belum mengerti terang persoalannya," kata sang guru.

"Kalau begitu, mohon soehoe sudi menerangkan," kata Thian Oe.

"Tadi musuh sedang layani aku dengan tumplek semua tenaganya," demikian Siauw Tjeng Hong memberi keterangan. "Oleh karena mesti menyambut anak panahmu, perhatiannya jadi terpecah dan dengan menggunakan kekosongan itu, aku menyerang masuk. Kalau bukannya begitu, walaupun aku tidak sampai menjadi kalah, tapi buat menang juga bukannya perkara gampang. Cuma saja, kau sudah menempuh bahaya yang terlalu besar. Kalau bukan jaraknya ada seratus tindak, kau pasti tidak akan kuat menahan serangannya itu. Kalau diingat, sungguh luar biasa. Ilmu memanah yang aku ajarkan padamu sudah membikin bocor rahasia tempat sembunyiku. Tapi ilmu itu juga sudah membantu aku untuk jatuhkan musuh."

Sang murid jadi merasa heran dan menanya: "Kalau begitu, apakah soehoe mau bilang, bahwa ia memanah padaku dengan anak panah tumpul adalah buat cari tahu rahasia?"

"Benar." sahut gurunya. Dengan melihat caranya kau menangkap anak panah, ia lantas tahu bahwa kau adalah muridku. Sepuluh tahun ia cari ubak-ubakan dan akhirnya dapat ketemukan juga padaku."

Hatinya sang murid jadi sangat tidak enak sebab ia mendadak ingat suatu hal. "Kalau begitu, apakah semua pengembara yang menjual suara adalah orang-orang jahat?"

"Ah, tidak," sahut sang guru. "Aku sudah cari keterangan, bahwa selainnya itu wanita Tsang, yang lain semuanya benar-benar adalah kaum pengembara. Kedua musuhku dan wanita itu masing-masing mempunyai maksud tertentu dan sudah campuri dirinya ke dalam rombongan pengembara."

"Apakah soehoe mendapat tahu asal-usulnya wanita Tsang itu?" tanya lagi Thian Oe dengan hati berdebar.

"Tidak, aku tidak tahu," kata Siauw Tjeng Hong. "Urusan sendiri sudah cukup bikin aku jadi sakit kepala, manalah aku mempunyai kegembiraan buat cari tahu asal-usulnya wanita itu. Ah, Oedjie, sekarang jodoh kita sudah sampai pada akhirnya."

Sang murid jadi sangat terkejut. "Ada apa lagi yang harus ditakuti? Bukankah kedua musuh itu sudah binasa?" kata ia.

Siauw Tjeng Hong meringis dan menyahut: "Ong Lioe Tjoe yang kena tendanganku mungkin tidak dapat hidup lagi. Tapi Sinkiong (Gendewa malaikat) Tjoei Loosam (Si tua ketiga she Tjoei) mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat dan aku duga ia tidak mati lantaran jatuh. Selainnya begitu, aku bukannya cuma mempunyai dua musuh berat. Kepandaiannya musuh yang ketiga malahan banyak lebih tinggi dari kepandaianku. Jika Tjoei Loosam tidak mati, ia tentu akan ajak musuh itu cari padaku. Aku kuatir dalam dunia ini tidak ada orang yang dapat menolong."

"Habis bagaimana baiknya, soehoe?" tanya Thian Oe dengan suara bingung.

"Aku dengar di pinggiran Tibet ada hidup satu orang luar biasa," kata Siauw Tjeng Hong. "Mungkin sekali ia masih dapat melawan musuhku itu. Cuma aku tidak tahu apa ia sudi menolong atau tidak. Akan tetapi, dalam keadaan yang serba sulit, aku tidak dapat lihat lain jalan lagi. Hari ini juga aku mau berlalu dari tempat ini buat coba-coba cari padanya."

Selagi Thian Oe mau menanya lagi, mendadak ia lihat satu titik hitam di lamping gunung yang sedang turun mendatangi dan semakin dekat jadi semakin nyata. "Ah, itulah Kang Lam," kata Thian Oe.

Sesudah berhadapan, napasnya Kang Lam memburu dan sengal-sengal. Sesudah sengalsengalnya jadi lebih reda, ia berkata: "Looya

perintah aku cari kalian. Urusan hari ini, sesuai dengan pesanan Siauwya, aku sudah beritahukan Looya."

"Bagaimana keadaan Looya?" tanya Thian Oe.

"Looya datang bersama serdadu pengawal dan tidak lama kemudian pasukannya Touwsoe juga sampai," menerangkan Kang Lam. "Sekarang api sudah padam, yang binasa sudah dirawat, yang luka sudah diobati. Serdadu kantor banyak sekali yang tewas dan yang ketinggalan cuma beberapa belas orang saja. Looya bilang, ia mau pergi ke Lhasa buat memberi laporan kepada Jenderal Hok. Nyepa yang pimpin pasukannya Touwsoe, mengatakan ia mau cari kau. Menurut

katanya, malam ini kau harus pergi ke rumahnya Touwsoe."

"Tidak, aku tidak mau!" kata Thian Oe.

"Benar," kata Kang Lam lagi. "Looya juga tahu, kau tentu tidak mau. Ia perintah aku sampaikan kepadamu, bahwa ia tak mau paksa kau melakukan apa-apa yang tidak disukai olehmu. Sekarang ia tahu, bahwa Siauw sinshe adalah orang yang berkepandaian tinggi, sehingga hatinya jadi lega dan suka permisikan kau mengikuti sinshe. Siauwya, ada urusan apa yang kau tidak suka lakukan?"

Sang majikan tidak gubris pertanyaannya si kacung. "Soehoe," kata Thian Oe sambil berpaling kepada gurunya. "Kalau begitu, biarlah aku ikut cari orang luar biasa itu."

"Kau ikut? Tak boleh! Berbahaya sekali," kata gurunya.

"Soehoe, kalau berdiam terus disini malahan akan lebih berbahaya," kata lagi Thian Oe. "Bagaimana persoalannya aku akan ceritakan belakangan. Kang Lam, kau pulang saja dan beritahukan Looya, bahwa aku akan pergi ke Lhasa buat ketemui ia."

Tjeng Hong awasi kedua tangannya dengan perasaan terharu sekali. "Muridku," kata ia dengan suara sember. "Aku mengerti niatanmu yang sangat baik. Baiklah, kau boleh ikut padaku."

***

Waktu itu sudah buntut musim semi, akan tetapi di jalanan pegunungan antara Sakya (di Tibet Selatan) dan Shigatse (Tibet Barat), es dan salju masih belum mulai lumer. Pengembara yang nyalinya paling besar juga mesti tunggu kira-kira setengah bulan lagi sampai sinarnya matahari musim panas lumerkan gumpalan-gumpalan salju yang menutup jalanan, barulah berani berjalan. Tapi tak terduga, pada waktu itu toh masih

ada dua penunggang kuda yang berani lalui jalanan gunung yang bulat-belit dan penuh bahaya itu. Kedua penunggang kuda itu, satu tua dan satu muda, bukan lain daripada Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe.

Tibet dikenal sebagai "Atapnya dunia." Daerah antara Sakya dan Shigatse, di sebelah selatan terdapat pegunungan Himalaya, sedang di sebelah utara membentang gunung Koenloen san, sehingga jalanannya lebih-lebih sukar dilewati. Di tempat tinggi, tipisnya hawa udara membikin orang lebih sukar bernapas. Baik juga, Siauw Tjeng Hong mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat, sedang Tan Thian Oe sudah memiliki dasar-dasarnya ilmu silat dan usianya masih sangat muda, sehingga mereka tidak merasakan penderitaan yang terlalu berat. Tapi kedua tunggangannya sangat kepayahan, napasnya sengal-sengal, sedang dari mulutnya keluar ilar tak hentinya.

"Manusia masih dapat tahan, sang kuda dapat mati kecapaian," kata Siauw Tjeng Hong sembari usap-usap bulu suri kudanya.

Hawa udara di Tibet Barat sangat luar biasa. Waktu siang, matahari sangat panas, dan ditambah sama tipisnya hawa udara, panasnya menakuti orang. Akan tetapi, di tempat-tempat teduh, atau di waktu malam, dinginnya bukan main.

Walaupun di puncak gunung, es bertumpuk-tumpuk, sedang di lurang, sungai es mengalir legat-legot laksana naga, akan tetapi orang yang berkepandaian bagaimana tinggi pun tidak berani menempuh bahaya buat coba-coba memacul es atau salju buat dilumerkan menjadi air. Harus diketahui, bahwa dengan sedikit getaran saja, tumpukan salju bisa menjadi ambruk dan manusia serta binatang bisa terkubur hidup-hidup. Maka itulah, dengan tumpukan es di seputarnya, seorang pelancong bisa kehausan setengah mati, tanpa berani mengambil es itu.

Melihat tunggangannya sengal-sengal, Siauw Tjeng Hong menanya: "Kita masih punya berapa kantong air?"

"Tiga kantong," jawab muridnya.

"Bagus," kata sang guru. "Coba berikan setengah kantong kepada kedua kuda. Kita irit sedikit. Tanpa diberi minum, kedua binatang ini tidak akan kuat berjalan terus."

Kedua lengannya Siauw Tjeng Hong yang kena dibikin luka oleh musuh, masih belum dapat bergerak leluasa, sehingga segala pekerjaan dilakukan oleh Thian Oe seorang.

Thian Oe lantas loncat turun, buka kantong air dan beri minum kedua binatang itu. Mendadak di sebelah belakang terdengar suara kelenengan kuda dan tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi. Mereka itu adalah orang-orang Han, alisnya tebal, matanya besar dan romannya kasar sekali. Melihat Thian Oe sedang kasih minum kudanya, satu antaranya berkata: "Sayang! Sayang!"

Orang yang jalan paling depan tahan les dan berhenti di pinggirnya Thian Oe. "Eh," ia menegur. "Apa kau punya banyak air? Persediaan kami sudah hampir habis. Dapatkah kau bagi satu kantong?"

Cara bicaranya orang itu yang sangat kasar membuat Thian Oe jadi kaget dan, berkata dalam hatinya: "Disini air lebih berharga daripada emas. Cara bagaimana bisa bagi kau?"

Tapi sebelum ia menyahut, gurunya sudah mendahului: "Pelancong harus saling membantu. Oe-djie, kasihkan!"

Thian Oe tidak berani membantah. Ia serahkan satu kantong kepada orang itu yang lantas tenggak dengan bernapsu sekali. "Kau orang baik. Mau kemana?" kata ia sembari lirik Siauw Tjeng Hong.

"Ke Shigatse," jawabnya dengan pendek.

"Kenapa begitu buru-buru, tak mau tunggu sampai salju lumer?" ia tanya lagi.

"Ada anggauta keluarga yang sakit keras di Shigatse dan kami mesti lekas-lekas tengok padanya," jawab Tjeng Hong.

Orang itu awasi kawannya. Paras mukanya mengunjuk kesangsian.

"Oe-djie," kata Siauw Tjeng Hong pada muridnya. "Hati-hati obat itu. Kantong obat lebih baik jangan digantung di sela. Simpan saja. Jalanan sangat jelek, kalau kuda terpeleset dan kantong obat hilang, akibatnya bisa hebat sekali. Yang lain masih tidak apa, tapi Iiongsoeko sukar dicari."

Thian Oe terperanjat. Kantong yang tergantung di sela sebenarnya adalah kantong senjata rahasia. Ia lirik gurunya yang balas mengawasi ia dengan sorot mata berarti. Ia mendusin dan berkata dalam hatinya: "Benar, ketiga orang yang berani jalan di waktu sekarang tentulah mempunyai kepandaian tinggi. Kita tidak boleh perlihatkan muka yang sebenarnya. Tapi Iiongsoeko bukannya barang langka dan bisa dibeli dengan gampang di Sakya. Kenapa soehoe bilang begitu?"

"Oh, kalau begitu pamilimu dapat sakit keluar-keluarkan darah?" kata lagi orang itu. "Liongsoeko memang obatnya, tapi belum tentu bisa berhasil baik. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan dan juga mau pergi ke Shigatse.

Marilah kita jalan bersama-sama."

"Bagus! Bagus!" jawab Siauw Tjeng Hong. "Walaupun aku pernah baca beberapa buku obat, tapi tidak mengerti banyak tentang penyakit yang keluarkan banyak darah waktu datang bulan. Maka itu, rasanya aku mesti minta pertolongan saudara untuk mengobatinya."

"Sesudah dihadiahkan air, aku tentu akan menolong apa yang bisa," kata orang itu sembari menyoja.

Ia lantas kedut les, sedang kedua kawannya apit Thian Oe di tengah-tengah.

Thian Oe merasa jengkel lantaran tidak mengerti maksud perkataan gurunya, dan dengan diapit di sama tengah seperti orang perantaian, hatinya jadi mendeluh. Ia tidak tahu, bahwa biarpun di Sakya liongsoeko, bukannya barang langka, akan tetapi pada waktu begini, liongsoeko sukar didapat di Shigatse, karena mesti menunggu sampai lumernya salju barulah ada pedagang yang angkut obat itu ke Shigatse.

Di sepanjang jalan, ketiga orang itu coba pancing-pancing Siauw Tjeng Hong. Akan tetapi ia berlaku sangat hati-hati. Begitu lekas pembicaraan biluk ke soal Kangouw, ia lantas memberi jawaban tolol dan belokkan omongan ke ilmu pengobatan.

Mereka ternyata tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang ilmu tersebut dan cuma kenal cara mengobati orang kepukul, muntah darah dan sebagainya, yang umumnya harus dimengerti oleh orang yang pandai silat.

Sesudah jalan beberapa lama, matahari doyong ke barat. "Untung kita tidak ketemukan salju roboh," kata orang yang jalan paling depan. Belum habis ia ucapkan perkataannya, di sebelah depan mendadak terdengar suara tindakan kaki kuda. Ia terkejut dan lihat satu penunggang kuda mendatangi dari satu lembah. Kaki kudanya dibungkus kain wol tebal buat menjaga hawa dingin, sehingga tindakannya baru dapat didengar, sesudah ia datang dekat.

Jalanan disitu sangat berbahaya dan sempit dan cuma dapat dilalui oleh seekor kuda. Kuda yang mendatangi jalan sangat cepat dan agaknya tidak akan dapat ditahan oleh si penunggangnya, sehingga satu tubrukan sukar disingkirkan.

Orang yang beroman kasar dan jalan paling depan dari rombongan Siauw Tjeng Hong, jepit keras perut kuda dengan kedua dengkulnya dan kuda itu lantas berhenti. Satu tangannya terangkat dan dorong orang yang baru datang, dengan niatkan jatuhkan ia ke dalam jurang. Sembari menjerit, orang itu tergelincir dari kudanya, sedang satu tangannya jambret selanya orang kasar itu. Ia jatuh tepat di depan kudanya Thian Oe, sedang jambretannya mengenakan kantong air si kasar yang lantas menggelinding jatuh ke dalam jurang.

Hatinya Thian Oe kembali jadi kaget. Ia lihat orang itu adalah pemuda yang dandanannya seperti anak sekolah. Disitu ia berdiri, dengan sikap yang ketakutan. Si orang kasar loncat turun dari kudanya dan memaki: "Apa kau buta? Hayo lekas ganti kantong airku!"

"Airku sendiri sudah diminum habis. Aku justru sedang mencari air, mana bisa mengganti?" jawabnya.

"Tak bisa ganti?" membentak si kasar. "Baiklah! Aku keset saja kulitmu dan hirup darahmu!" Ia cabut goloknya dan jalan menghampiri buat pegang tangannya si anak sekolah.

Thian Oe jadi sangat gusar. Anak sekolah itu memang ceroboh, tapi mengambil jiwanya adalah perbuatan keterlaluan. "Aku yang ganti!" ia berseru tanpa merasa lagi.

Si kasar kelihatan terkejut. "Baik!" kata ia sembari tertawa dingin. "Kau yang mau ganti? Mari!"

Thian Oe lantas saja lepaskan satu kantong air yang tergantung di sela kuda. Waktu berangkat, mereka bawa tiga kantong air. Satu kantong sudah dihadiahkan, satu kantong dibuat mengganti, isinya sekantong lagi sudah diminum separoh oleh sang kuda, sehingga sekarang mereka cuma mempunyai setengah kantong air. Si kasar tidak main sungkan-sungkan. la angsurkan tangannya untuk sambuti kantong air itu.

Anak sekolah itu rangkap kedua tangannya dan memberi hormat kepada Thian Oe. "Terima kasih banyak-banyak buat budi saudara yang sudah menolong jiwaku," kata ia. "Ah, sekarang bisalah kita melihat budi pekertinya seorang koentjoe (manusia utama) dan serakahnya seorang siauwdjin (orang rendah)."

"Kau bilang apa?" tanya si kasar sembari mendelik.

"Aku sedang bersyair, ada sangkut paut apakah dengan kau?" kata si anak sekolah.

"Sama-sama pelancong kita harus saling mengalah," kata Thian Oe dengan suara berkuatir. "Sudahlah, pihak tuan toh tidak mendapat rugi apa-apa."

Satu orang yang berada di belakangnya Siauw Tjeng Hong (rupanya, ia adalah saudara paling tua antara mereka bertiga), juga turut membujuk: "Loosam, dengan memandang mukanya ini saudara kecil, biarlah kita ampuni padanya."

Sembari marah-marah si kasar loncat naik ke atas kudanya. "Sekarang mundurkan kudamu sampai dibilukan yang lebih luas, supaya kita bisa lewat lebih dahulu," kata ia kepada si anak sekolah dengan suara aseran.

"Ah, buat apa begitu berabe," jawabnya. "Kemanakah kalian mau pergi?"

"Bukan urusan kau," kata si kasar.

"Manalah aku berani tanya kau? Aku tanya ini saudara kecil," kata si anak sekolah dengan suara tenang.

"Kita semua mau pergi ke Shigatse," kata Thian Oe.

"Bagus! Bagus!" kata si anak sekolah lagi. "Kalau begitu, kita beramai semua satu tujuan."

"Kau barusan datang dari jurusan sana, kenapa sekarang bilang mau ke Shigatse?" tanya Thian Oe dengan penuh keheranan.

"Barusan aku cari air dan lantaran jalanan bulat-belit, jadi sampai disini," menerangkan ia. "Aduh, haus! Haus! Saudara kecil, menolong orang harus menolong sampai di akhirnya. Kasihlah aku minum barang dua ceglukan."

Thian Oe tidak dapat berbuat lain daripada buka lagi kantong airnya, yang isinya tinggal separoh. Si anak sekolah lantas saja gelogok isinya dan Thian Oe mengawasi dengan perasaan sayang.

Sesudah minum, si anak sekolah miringkan badannya dan lewat di pinggir kudanya si orang kasar. Ia angkat les buat bilukkan kepala kuda, supaya si anak sekolah jadi kaget. Tapi tak dinyana gerakannya si anak sekolah luar biasa cepat dan di lain saat, ia sudah cemplak kudanya. Ia rangkap kedua tangannya dan soja kepada Thian Oe sembari berkata: "Aku jalan duluan sebagai pengunjuk jalan."

"Siapa mau kau jadi pengunjuk jalan?" kata si kasar dengan suara perlahan. Si anak sekolah seperti tidak mendengar dan lantas jalankan kudanya.

Si kasar yang kelihatannya masih berdongkol, tak hentinya mengoceh sama dua kawannya dalam bahasa Kangouw yang tidak dimengerti oleh Thian Oe.

Ketika itu, matahari sudah silam ke barat. Angin gunung mulai turun dan hawa luar biasa dinginnya. Mendadak di sebelah depan terdengar suara "srr, srr." Orang yang jalan di belakangnya Siauw Tjeng Hong, berkata dengan girang: "Kita kuatir malam ini tidak bisa dapat tempat mengasoh yang baik. Untung benar sekarang ketemu sumber air panas."

Sesudah lewati satu lembah, mereka tiba di satu tanah datar luas dan dari antara batu-batu gunung yang besar, uap panas keluar bergulung-gulung, sedang cipratan air muncrat berterbangan di tengah udara, sehingga merupakan bunga-bunga dalam warna ungu dan merah muda. Pemandangan itu sungguh indah, seakan-akan kembang api yang dipasang di waktu pesta Goansiauw (Capgomeh).

Dalam bumi Tibet terdapat banyak sekali gunung api yang antaranya masih terus bekerja dan semburkan air mancur yang sangat panas ke atas bumi, dan inilah yang merupakan salah satu pemandangan yang aneh di wilayah Tibet. Oleh karena di pegunungan sukar mencari bahan bakar, maka penduduk sangat hargakan ini sumber air panas. Sering-sering mereka mengikat daging kering sama tali dan dicemplungkan ke dalam air panas itu. Sesudah lewat beberapa jam, daging itu akan matang.

Hawa di sekitar sumber air panas ini hangat seperti hawa musim semi. Selainnya itu, sesudah dibikin dingin, air panas tersebut merupakan minuman yang paling baik. Maka itulah, para pelancong paling girang kalau bertemu dengan sumber panas itu. Mereka turun dari kuda dan pasang tenda buat mengasoh.

Ketiga orang yang berkawan lantas saja pasang satu tenda buat mereka mengasoh. Oleh karena kuatir si anak sekolah dihina oleh ketiga orang itu, diam-diam Thian Oe berdamai dengan gurunya buat undang ia itu mengasoh bersama-sama dalam tendanya. Tapi sang guru unjuk paras muka sungguh-sungguh dan gelengkan sedikit kepalanya, sehingga si murid tidak berani bicara lebih jauh.

Sesudah ambil air dan makan rangsum kering, mereka semua masuk ke dalam tenda.

"Soehoe, apakah kau lihat apa-apa yang kurang baik dalam dirinya anak sekolah itu?" Thian Oe berbisik.

"Aku masih belum tahu asal-usulnya. Tapi ketiga orang yang berkawan adalah musuhku!" jawab sang guru.

"Habis bagaimana?" tanya Thian Oe dengan terkejut.

"Pada sepuluh tahun berselang, aku telah tanam bibit permusuhan dengan tiga orang," menerangkan si guru. "Dua antaranya kemarin dulu datang di Sakya buat cari padaku. Yang satu bernama Ong Lioe Tjoe, sedang yang lain Tjoei In Tjoe. Kepadaiannya Ong Lioe Tjoe berada di sebelah bawahanku, sedang Tjoei In Tjoe kira-kira berimbang dengan aku. Musuhku yang ketiga adalah ahli silat kelas satu dari Boetong pay, yaitu Loei Tjin Tjoe. Kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada aku. Buat singkirkan diri, aku mengumpat di tempat sepi. Tapi, siapa nyana, mereka dapat juga cari diriku."

"Apa antara tiga orang di tenda itu terdapat Loei Tjin Tjoe?" tanya Thian Oe.

"Kalau Loei Tjin Tjoe ada, aku tentu sudah tidak bernyawa," jawab Siauw Tjeng Hong. "Mereka itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe. Barusan aku dapat dengar pembicaraannya dalam bahasa Kangouw. Ternyata mereka mendapat perintah Loei Tjin Tjoe buat cari Ong Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Masih untung, mereka tidak tahu aku adalah musuh gurunya. Tapi mereka curigai anak sekolah itu, yang diduga adalah muridku. Menurut

pemandanganku, anak sekolah itu juga adalah seorang yang berkepandaian tinggi, cuma masih belum terang, apa ia kawan atau lawan. Biar bagaimana juga, kita harus sangat berhati-hati."

Thian Oe gulak-gulik di dalam tenda dan tidak dapat tidur pulas. Tak tahu sudah lewat berapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tangisan di tempat jauh. Suara itu yang menyayatkan hati seperti juga tangisan setan dalam tempat yang belukar itu. Waktu baru mendengar, bulu badannya Thian Oe pada bangun. Lama kelamaan, Thian Oe merasa seperti sudah pemah dengar suara begitu. Ia lantas loncat berdiri.

"Mau apa?" tanya gurunya.

"Soehoe," berbisik sang murid.

"Dengarlah tangisannya wanita itu, seperti orang sedang hadapi bencana. Rasanya masih bisa ditolong."

"Baiklah, Oe-djie! Pergi selidiki," kata sang guru dengan mata bersinar.

"Tidak, aku harus temani soehoe," kata sang murid.

Meskipun ilmu silatnya Siauw Tjeng Hong sangat tinggi, tapi lantaran kedua tangannya belum dapat bergerak leluasa, ia seperti juga orang bercacat. Thian Oe kuatir, begitu ia berlalu, musuh segera menyatroni. Dari sebab itu, sedang di satu pihak, ia sangat pikirkan nasibnya wanita yang sedang menangis,, di lain pihak ia tidak berani tinggalkan gurunya.

Tapi parasnya sang guru lantas berobah dan berkata: "Kita adalah kaum ksatria yang mengutamakan pribudi dan kita tidak boleh berpeluk tangan, jika ketemu dengan sesama manusia yang menghadapi kebinasaan.

Dengarlah suara tangisannya wanita itu. Kalau bukan ketemu penjahat, ia tentu mau bunuh diri. Kau pergilah! Aku masih dapat menolong diri sendiri, jika perlu. Hayo, lekas!"

Thian Oe bersangsi. Suara tangisan jadi lebih menyayatkan hati. "Urusan ada yang penting, ada yang kurang penting," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara gusar.

"Saat ini menolong orang yang paling penting. Kenapa kau membandel? Hayo lekas!"

"Soehoe, kalau begitu, jagalah diri baik-baik. Aku pergi lantas kembali," kata sang murid dengan suara terharu melihat tingginya budi pekerti sang guru.

Dengan perlahan Thian Oe keluar dari tenda dan lalu berlari-lari menuju ke arah suara tangisan, dengan gunakan ilmu entengi badan.

Thian Oe belajar ilmu silat dengan sembunyi-sembunyi dan belum pernah digunakan dalam praktek. Inilah buat pertama kali, ia menggunakan ilmu tersebut. Jalanan gunung yang penuh bahaya dan banyak batunya, ditambah lagi sama gelapnya sang malam, membikin perjalanan jadi semakin sukar. Begitu kerahkan ilmu Teetjiongsoet, badannya melesat beberapa tombak jauhnya. Lantaran belum mahir dan lari terlalu cepat, kakinya terpeleset dan ia jatuh terguling. Mendadakan, ia dengar suara tertawa dingin. Buru-buru ia bangun dan memandang ke seputarnya, tapi tidak kelihatan bayangannya barang satu manusia.

Sesudah tetapkan hatinya, ia kembali berlari-lari, kali ini dengan terlebih hati-hati. Sesudah jalan kurang lebih setengah jam, ia tiba di depannya satu bukit es.

Di atas bukit es itu berdiri seorang wanita, yang bukan lain daripada itu gadis Tsang!

"Thianlie tjietjie," kata si nona sembari menangis. "Sungguh aku menyesal tidak belajar lebih lama dengan kau. Sekarang bukan saja sakit hati tak dapat dibalas, malahan berbalik didesak orang. Oh, ayah dan ibuku! Terlebih baik anakmu mengikut kau!"

Thian Oe terperanjat. Mendadak, ia lihat nona itu bergerak seperti orang mau buang diri, tapi tidak jadi. "Biarlah! Bisa lawan satu, aku lawan satu! Mari! Mari!" katanya dengan suara geregetan.

Ketika itu Thian Oe masih berada dalam jarak belasan tombak dari bukit es dan di depannya menghalang satu batu besar. Si gadis pun bukannya berdiri berhadapan dengan ia, maka perkataannya tadi tentulah bukan berarti ditujukan kepadanya.

Hatinya Thian Oe jadi legaan sebab tahu si nona tidak akan segera mengambil jalanan pendek. Rupa-rupa pikiran saling susul berkelebat dalam otaknya. Apakah Touwsoe itu yang jadi musuhnya si nona? Kalau benar, kenapa Touwsoe mau melepaskan ia secara begitu gampang? Apakah, diam-diam si Touwsoe perintah orang ubar padanya? Kalau bukan begitu, kenapa ia bilang sedang didesak orang? Dtm siapa itu wanita yang dinamakan Thianlie? Kenapa namanya begitu luar biasa?

Sembari memikir begitu, Thian Oe niat melangkah buat mendaki bukit es. Tiba-tiba ia dengar wanita itu berteriak keras, tangannya diayun dan sehelai sinar terang menyambar bagaikan kilat. Itulah golok terbang! Sebelum Thian Oe dapat melihat tegas, wanita itu, yang rupanya terpleset lantaran gunakan tenaga terlalu besar, jatuh terpelanting. Pada saat yang sangat berbahaya, dari pojokan bukit es loncat keluar satu orang yang lantas jambret padanya.

Thian Oe terkesiap, sebab orang itu bukan lain adalah Nyepa Omateng yang telah minta pertolongan ayahnya buat menolong wanita Tsang itu. Tidak dinyana, Nyepa yang rakus dan gemuk itu, yang biasanya sukar dapat berjalan tegak, sekarang dapat loncat ke atas bukit es dalam gerakan yang sedemikian cepatnya.

Pada saat itu, Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, sedang satu tangannya mencekal hoeito keras-keras, siap sedia buat lantas menimpuk jika Omateng coba bikin celaka gadis itu.

"Minggir!" gadis itu membentak. "Aku memang bukan tandinganmu. Sakit hatiku tak dapat dibalas, biarlah aku terjun ke bawah. Kau yang sudah terima perintahnya Touwsoe buat mengubar padaku, harus mengetahui bahwa aku ini sebangsa apa. Manalah aku mau kasih diri dihina olehmu?"

Omateng tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Aku tahu, nama pedenganmu adalah Sanma, sedang namamu yang asli adalah Chena. Kau adalah puterinya Raja muda Chinpu!"

"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih rewel!" membentak sang puteri. "Puterinya Raja muda Chinpu cuma mengenal bunuh diri, tapi tidak boleh dihina orang! Sesudah aku binasa di bawah bukit, barulah kau boleh kutungkan kepalaku!"

Omateng terus cekal tangannya dan berkata sembari tertawa" "Apa kau tahu, siapa adanya aku?"

"Anjingnya Touwsoe Sakya!" sahutnya.

"Tidak," kata Omateng. "Kau salah. Aku pun musuhnya Touwsoe dan aku sengaja datang kemari buat menolong jiwamu."

Sekarang Chena kaget. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya: "Jadi kau datang bukan buat menangkap aku?"

"Touwsoe tidak mengetahui, bahwa kau adalah puterinya Raja muda Chinpu," kata Omateng. "Kalau ia tahu, ia tentu akan kirim orang buat bekuk padamu."

Chena menghela napas, sedang Omateng lepaskan cekalannya. "Nyalimu cukup besar, cuma terlalu goblok," kata ia

"Apa?" Chena menegasi.

"Goblok," mengulangi Omateng. "Kau sama sekali tidak pikirkan Touwsoe mempunyai berapa banyak orang pandai, dan dengan seorang diri, kau sudah berani coba-coba membalas sakit hati. Aku sendiri, yang mempunyai kepandaian banyak lebih tinggi daripada kau, bertahun-tahun mengabdi padanya sebagai Nyepa dengan menukar she dan nama. Buat membalas sakit hati, orang harus menunggu sampai datang temponya yang tepat. Orang Han ada bilang: "Koentjoe membalas sakit hati, sepuluh tahun masih belum terlambat. Apakah kau belum pernah dengar nasehat itu?"

Kedua matanya Chena lantas saja berlinang air. Ia agaknya sudah percaya habis kepada Nyepa itu.

"Siapa yang ajarkan kau ilmu silat?" Omateng mendadak tanya.

"Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)!" sahutnya.

"Pengtjoan Thianlie?" menegaskan Omateng dengan paras muka berobah. "Apa benar Pengtjoan Thianlie?"

"Ia menolak buat jadi guruku dalam artian yang sebenarnya. Ia cuma mau ajarkan ilmu silat buat tiga hari lamanya," menerangkan Chena.

"Oh, kalau begitu, aku percaya," kata Omateng. Dengan berkata begitu, Omateng seperti mau bilang, bahwa jika benar Chena adalah muridnya Pengtjoan Thianlie, ilmu silatnya mesti banyak lebih tinggi daripada apa yang dipunyai olehnya sekarang.

"Dimana tempat tinggalnya Pengtjoan Thianlie?" tanya lagi Omateng.

"Di Thian-ouw (Telaga Langit)" jawab Chena. "Namanya yang sejati jarang diketahui orang. Cara bagaimana kau dapat mengenal padanya?"

"Sebenarnya aku tidak kenal, cuma aku tahu, ada orang yang sedang cari pad-anya," kata Omateng. Sesudah itu, ia bicara bisik-bisik, sehingga Thian Oe tidak dapat dengar. Ia cuma lihat, sang puteri manggut-manggutkan kepalanya.

"Sekarang pergilah kau lari dengan ambil jalanan di bawah jurang es itu," kata Omateng. "Disini ada satu lengtjian-nya (pertandaan) Touwsoe. Ambillah. Dengan lengtjian itu, orang tidak akan berani ganggu padamu. Hi! Aku dengar suara orang. Pergi sembunyi. Aku pergi lebih dahulu."

Thian Oe pasang kupingnya, tapi tidak dapat dengar suatu apa. Dengan mengintip, ia dapat lihat Omateng keluarkan seutas tambang panjang, dengan apa ia turun ke bawah bukit. Mendadak, dari sinar rembulan dan es, ia lihat Omateng keluarkan satu senyuman yang membikin bulu badannya berdiri. Itulah senyuman licik, berlapis kejam! Sesudah mendengar pembicaraannya barusan, perasaan membencinya Thian Oe terhadap Omateng sebenarnya sudah menjadi hilang. Ia anggap, Nyepa itu adalah seorang baik. Tapi sekarang, sesudah lihat senyuman itu, hatinya timbul perasaan sebal dan kembali curigai orang yang serakah itu.

Sang puteri perlahan-lahan menengok ke belakang dan menggape ke arah tempat sembunyinya Thian Oe. "Keluarlah! Aku sudah lihat kau," kata ia. Sehabis berkata begitu, ia lantas jalan turun ke bawah bukit es.

Hatinya Thian Oe berdebar keras. Ia datang buat menolong si nona, tapi sekarang, sesudah berhadapan, ia tak tahu mesti bicara apa.

Sesudah datang dekat, si nona berkata sambil tertawa: "Terima kasih atas pertolonganmu kepada wanita yang menderita ini!"

Tan Thian Oe sudah hidup delapan belas tahun lamanya dan selama itu, belum pernah ia bicara dengan wanita asing. Sebab begitu, mukanya lantas saja bersemu merah dan ia berdiri dengan sikap kemalu-maluan. Akan tetapi, melihat gadis itu mengawasi padanya dengan mulut tersungging senyuman, biarpun paras mukanya masih tetap dingin dan angkuh, Thian Oe jadi merasa lebih tetap hatinya.

Tanpa merasa, Thian Oe balas mesem. Ia keluarkan selampe sutera yang berwarna putih dan persembahkan kepada sang puteri, sebagai suatu khata. Si gadis mesem simpul dan sambuti hadiah itu dengan dua jerijinya. Sembari masukkan khata dalam sakunya, ia berkata: "Terima kasih buat hadiahmu. Sudah berapa lama kau datang disini?"

"Cukup lama buat menyaksikan apa yang telah terjadi barusan," jawab Thian Oe. "Sungguh 'ku tidak nyana bahwa kau ini adalah sang puteri yang kita muliakan."

"Urusanku kau tak usah sebut-sebut lagi," kata Chena. "Di antara orang Tsang ada satu pepatah yang mengatakan: Impian semalam jangan ceritakan di siang hari."

Thian Oe merasa kikuk sekali. Tanpa mengetahui sebabnya, hatinya sangat memperhatikan wanita itu. Ia sangat ingin mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi mulutnya seperti terkancing. Akhirnya, dengan memberanikan hati, ia berkata: "Alangkah baiknya kalau nona tidak terlalu percaya Nyepa Omateng."

"Apa ia?" kata Chena. "Urusanku aku dapat mengurus sendiri. Legakanlah hatimu." Sesudah berkata begitu, ia agaknya merasa menyesal dan kuatir kalau-kalau perkataannya menyinggung perasaan. Maka itu, ia kembali mesem dan berkata: "Biar bagaimana juga, aku menghaturkan banyak terima kasih buat maksudmu yang sangat baik. Sebenarnya aku pun tidak percaya habis padanya! Sedari tadi, aku sudah mengetahui kedatanganmu, akan tetapi aku tidak membilang apa-apa di hadapannya."

Thian Oe juga membalas dengan satu meseman. Baru ia akan buka suara, sang puteri sudah mendahului "Terima kasih banyak buat hadiahmu. Aku sendiri tidak mempunyai suatu apa untuk membalasnya. Biarlah aku persembahkan sekuntum bunga kepadamu."

Thian Oe heran. "Di tempat yang begini tinggi dan dengan hawa sedemikian dingin, dimanalah orang dapat mencari kembang?" kata ia dalam hatinya.

Chena keluarkan satu vas perak kecil dari dalam sakunya. Dalam vas itu terdapat sekuntum bunga putih yang di atasnya masih menempel butiran-butiran embun, seperti juga baru dipetik dari tangkainya.

"Bunga ini adalah hadiah dari Pengtjoan Thianlie dan aku sudah simpan setahun lamanya," kata Chena. "Sekarang biarlah aku persembahkan kepadamu."

Bukan main herannya Thian Oe. Dalam dunia ini dimanakah tumbuhnya bunga itu, yang sesudah dipetik setahun, masih kelihatan begitu segar?

"Menurut keterangan Thianlie tjietjie," kata lagi Chena. "Bunga ini dinamakan soatlian (Teratai salju) yang ia cabut dari pegunungan Thiansan dan dipindahkan ke tempat tinggalnya. Tidak perduli orang mendapat luka di dalam yang bagaimana berat, begitu makan bunga ini, jiwanya

akan ketolongan. Kau ambillah."

"Ah, manalah aku berani terima hadiah yang berharga sedemikian besar," kata Thian Oe.

"Apa kau lupakan gurumu?" tanya Chena. "Aku tahu, dua orang Han itu cari permusuhan dengan gurumu. Mungkin sekarang ia mendapat luka Hari itu kau sudah menolong jiwaku dan aku tidak mempunyai apa-apa buat membalas budimu. Soatlian ini justru cocok buat gurumu. Ambillah."

Mendengar begitu, Thian Oe tidak berlaku sungkan lagi dan lantas menerima vas tersebut. Meskipun gurunya bilang, dalam tujuh hari, ia sendiri dapat menyembuhkan lukanya, akan tetapi sekarang, sesudah lewat empat hari, kedua lengannya masih belum dapat bergerak leluasa, sehingga belumlah tentu, apa cara pengobatan dengan jalankan napas itu bisa berhasil baik.

"Gurumu tentu sedang menunggu dengan tidak sabaran. Kau pulanglah," kata Chena sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, dari pinggangnya ia loloskan seutas tambang panjang yang ujungnya dipasangi gaetan. Dengan sekali lempar, gaetan itu nyangkol pada batangnya satu pohon siong tua. Sambil mencekal tambang, ia ayun badannya yang lantas terbang ke seberang. Dengan berbuat begitu beberapa kali, dalam tempo sekejap, ia sudah lewati tanjakan di sebelah depan dan sesudah biluk di satu lembah, badannya lantas menghilang.

Thian Oe menghela napas panjang. "Ah, bertahun-tahun aku belajar silat, tapi ia, yang baru belajar tiga hari, sudah mempunyai kepandaian entengi badan yang lebih tinggi daripada aku," katanya di dalam hati.

Sesudah kantongi soatlian itu, ia lantas berbalik dan berjalan pulang. Sembari jalan, otaknya penuh dengan rupa-rupa pikiran. Ia ingat kejadian-kejadian luar biasa selama beberapa hari paling belakang. Itu gadis dari Tsang sudah aneh sekali, akan tetapi, didengar dari pembicaraannya sama Omateng, Pengtjoan Thianlie lebih aneh lagi. Cara bagaimana, dalam tempo cuma tiga hari, ia sudah bikin puteri yang lemah dari seorang raja muda menjadi seorang yang ilmu silatnya tinggi.

Dengan berjalan sembari ngelamun, tanpa merasa ia sudah lewati beberapa lembah dan ia sudah lihat uap putih yang disemburkan oleh sumber air panas. Sesudah datang lebih dekat, di antara suara semburan air, lapat-lapat terdengar suara bentrokan senjata yang semakin lama jadi semakin tegas. Thian Oe terkejut dan cepatkan tindakannya.

Sekonyong-konyong kupingnya dengar suara tertawa dingin yang keluar dari pinggir jalan. Thian Oe cabut pedangnya dan di lain saat, dari pinggir jalanan loncat keluar satu orang yang tangannya mencekal pecut panjang.

"Bocah tolol!" ia mengejek sembari tertawa. "Kau mau pulang buat antar jenazahnya tua bangka she Siauw?"

Dengan gusar Thian Oe menyabet dengan pedangnya. Orang itu berkelit sembari sabetkan pecutnya ke arah pinggangnya Thian Oe, yang hampir saja kena terpecut kalau tidak buru-buru loncat tinggi. Sembari tertawa berkakakan, orang itu gentak pecutnya yang menyambar dua kali beruntun bagaikan ular. Dengan gerakan Toeitjhung bonggoat (Buka jendela melongok bulan), Thian Oe membabat lengannya musuh. Orang itu benar liehay. Dengan cepat ia robah gerakan dan sapu kakinya Thian Oe yang jadi sangat ripuh lantaran diserang atas dan bawah. Dalam kerepotannya itu, Thian Oe kirim satu tikaman hebat. Mendadakan, ia rasakan lengannya berat, sebab pedangnya kena digulung sama ujung pecut. Thian Oe bingung dan tanpa berpikir keluarlah ilmu silat simpanan dari gurunya. Ia pasang kuda-kuda dan gentak pedangnya Orang itu keluarkan seruan tertahan lantaran ujung pecutnya yang sedang melibat jadi terlepas. Saat itu, Thian Oe segera barengi dengan dua serangan yang saling susul. Diserang secara begitu, orang itu terpaksa mundur beberapa tindak.

Ilmu silatnya Thian Oe sebenarnya ada lebih tinggi dari lawannya. Cuma saja lantaran baru pertama kali bertempur dengan musuh, maka pada gebrakan pertama, hatinya sedikit keder. Sesudah lihat kemampuan sang lawan cuma sebegitu saja, nyalinya jadi lebih besar dan dengan tenang ia keluarkan Tjengshia Kiamhoat (Ilmu pedang dari Tjengshia pay) yang lantas menyambar-nyambar bagaikan seekor naga. Lima puluh jurus sudah lewat tanpa ada yang keteter. Thian Oe lebih unggul dalam ilmu pedang, tapi orang itu lebih matang dalam pengalaman.

Sekarang orang itu tidak berani lagi memandang enteng kepada pemuda lawanannya. "Murid dari guru ternama, memang juga tidak sembarangan," kata ia dalam hatinya.

Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, orang itu lalu keluarkan akal licik. Kakinya terus bergerak ke kiri dan ke kanan, sehingga Thian Oe terpaksa mengikuti padanya.

Sebagaimana diketahui, jalanan gunung itu sangat berbahaya. Ditambah dengan gelapnya sang malam dan licinnya jalanan lantaran es, bahaya itu jadi semakin besar. Thian Oe belum mempunyai pengalaman. Buat jalan di atas jalanan gunung saja, ia sudah tidak biasa, apalagi mesti bertempur hebat. Maka itu, baru saja bulak-biluk beberapa kali dalam mengikuti tindakan lawannya, kakinya sudah terpeleset beberapa kali dan hampir-hampir jatuh terguling. Dengan perlahan orang itu tuntun Thian Oe ke pinggir jurang dan hatinya diam-diam merasa girang.

Tapi mendadak, muridnya Siauw Tjeng Hong tancap kedua kakinya dan tidak mau bergerak lagi. Ia putar pedangnya untuk melindungi badannya dan saban-saban musuh datang dekat, ia menikam atau menyabet bagaikan kilat. Ternyata Thian Oejuga sangat cerdik. Begitu melihat cara berkelahinya orang itu, ia tahu akan bahaya yang mengancam. Buru-buru ia kerahkan ilmu Tjiankin toei (Ilmu bikin berat badan seribu kati) dan tancap kedua kakinya di atas tanah. Dalam kedudukan begitu, ia mengambil siasat membela diri. Berulang kali orang itu coba pancing padanya, tapi ia tetap tidak mau bergerak.

Dua puluh jurus kembali sudah lewat. Orang itu tidak dapat menyerang masuk, sedang Thian Oe pun sungkan menyerang keluar. Selagi hatinya merasa sangat tidak sabaran, kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara tertawa dari seorang tua. "Hm!" kata orang itu. "Masa segala bocah kau tidak dapat takluki! Jangan bikin malu padaku. Houw-tjoe, coba dekatan supaya aku dapat melihat terlebih nyata."

Thian Oe awasi orang itu dan hatinya kaget bukan main. Seorang lelaki tinggi besar dan bermuka hitam panggul sebuah tandu dan dalam tandu itu duduk satu orang yang mukanya kuning dan menakuti sekali, sedang kedua matanya bundar dan besar. Orang itu bukan lain daripada Tjoei In

Tjoe yang kena dipukul terguling ke dalam jurang oleh gurunya. Kena terpukul hudtim, isi perutnya mendapat luka berat, badannya mati sebelah dan tidak dapat bergerak. Lantaran begitu, ia perintah dua muridnya tandu padanya buat pergi ke Shigatse guna cari Loei Tjin Tjoe supaya dapat diobati oleh saudara angkatnya itu. Dan tidak dinyana, di tengah jalan ia bertemu dengan Tan Thian Oe.

Sebagai orang yang lebih tua, ia masih menjaga kedudukannya dan sungkan turun tangan terhadap orang dari tingkatan lebih muda. Ia lebih dahulu perintah salah satu muridnya menyerang pemuda itu. Ia menduga, berhubung usianya yang masih sangat muda. Thian Oe tidak mempunyai kepandaian tinggi, sedang muridnya sudah berlatih dua puluh tahun, sehingga dengan sekali gebrak, ia taksir murid Siauw Tjeng Hong akan dapat dibekuk.

Tapi siapa nyana, dugaannya meleset jauh sekali. Apa yang dibelajarkan oleh Thian Oe adalah lweekang (ilmu tenaga dalam) yang tulen dari Tjengshia pay dan pemuda itu sudah mempunyai dasar-dasar yang kuat. Ditambah dengan ilmu silat pedangnya yang sangat bagus, kalau bukan ia masih kurang pengalaman, murid Tjoei In Tjoe benar-benar bukan tandingannya. Melihat muridnya keteter, mau tidak mau Tjoei In Tjoe terpaksa munculkan diri.

Mendengar makian gurunya, muridnya Tjoei In Tjoe jadi kemalu-maluan dan ia berdiri sembari tunduk di pinggir tandu. Badan Tjoei In Tjoe mati sebelah di bagian bawah, tapi kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa. Sembari tertawa menyeramkan, dua jerijinya sentil sebutir Thielian tjoe (Biji teratai besi) ke arah Thian Oe. Senjata rahasia itu melesat bagaikan kilat dan sebelum Thian Oe keburu kelit, ia rasakan dadanya kesemutan dan badannya terguling di atas tanah. Masih untung, lantaran mendapat luka, tenaga dalamnya Tjoei In Tjoe sudah banyak kurang, sehingga muridnya Siauw Tjeng Hong tidak sampai menjadi pingsan.

Muridnya Tjoei In Tjoe yang bermuka hitam lantas taruh tandu di atas tanah dan bersama soehengnya, ia ikat Thian Oe seperti lepat.

"Geledah badannya!" memerintah sang guru.

Hasil penggeledahan itu adalah itu vas kecil yang berisi soatlian. Tjoei In Tjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Ha! Kalau begitu Sanma rela menyerahkan soatlian dari Thiansan kepadamu. Muridku, serahkan vas itu kepadaku."

Bukan main gusarnya Thian Oe. "Itu adalah milik guruku!" ia berseru.

"Gurumu tak perlu lagi barang begini," kata Tjoei In Tjoe. "Sebentar aku akan kirim kau ketemui gurumu."

Thian Oe berontak-rontak sekuat tenaga, tapi tali yang bebat badannya ada cukup kuat. "Houwtjoe, totok jalanan darahnya dan taruh ia ke dalam tandu," Tjoei In Tjoe perintah muridnya.

Dengan badan rebah di dampingnya musuh itu, Thian Oe menyaksikan cara bagaimana ia buka tutup vas, ambil soatlian yang lantas dimasukkan ke dalam mulutnya! Mengingat soatlian itu tadinya adalah untuk gurunya sendiri, bukan main sakit hatinya Thian Oe.

Tandu lalu diangkat oleh dua muridnya Tjoei In Tjoe yang lantas jalan dengan cepat sekali. Ketika itu, sang rembulan pancarkan sinarnya di atas puncak-puncak gunung yang tertutup es, sehingga puncak-puncak itu jadi bersinar putih bagaikan perak.

Sambil menggeletak di dalam tandu, dengan perasaan sangat heran Thian Oe awasi perubahan pada mukanya sang musuh. Kalau tadi muka In Tjoe kuning pias, adalah sekarang, sesudah makan soatlian, mukanya mulai bersemu merah. Ia duduk disitu dengan meramkan kedua matanya, sambil kasih jalan napasnya. Lewat beberapa saat, ia tertawa nyaring sekali. "Sungguh manjur soatlian dari Thiansan!" ia berseru. Suaranya yang nyaring berbeda sekali daripada tadi. Tak terkira sakit hatinya Thian Oe, sakit hati yang tercampur keheranan. "Aku tidak duga soatlian begitu manjur. Luka di dalam dari manusia ini sudah menjadi sembuh secara begitu cepat. Ah, malam ini jiwanya guru dan murid akan binasa!" pikir Thian Oe dalam hatinya.

Sesudah lewat beberapa lama, suar