penerapan syariah dalam konteks negara modern di …

20
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/ 0 PENERAPAN SYARIAH DALAM KONTEKS NEGARA MODERN DI DUNIA ISLAM Asep Supyadillah 1 ABSTRAK Penerapan konsep syariah di negara-negara mayoritas muslim, mengalami keragaman seiring kemajemukan paham, aliran, mazhab, dan golongan dalam menafsirkan sumber- sumber ajaran Islam. Bentuk keragaman tersebut antara lain terefleksi dalam pandangan pemikiran politik mengenai hubungan Negara dan Islam yang secara garis besar terdiri dari aliran tradisional atau intergralistik, aliran sekuler atau reformis-sekuler, dan aliran reformis-modernis. Dari pengalaman penerapan konsep syariah dalam Negara oleh Negara-negara penduduk mayoritas muslim seperti Arab Saudi, Republik Islam Pakistan, Republik Islam Iran, Kerajaan Malaysia, dan Negara Islam Afghanistan di bawah rezim Taliban, Sudan, dan Indonesia, bentuk penerapannya tidak bersifat tunggal dan monolitik tetapi bersifat plural dan heterogen, sesuai dengan ruang, waktu dan kondisinya masing- masing Negara tersebut. Dilihat dari tujuan Negara yang menerapkan “konsep syariah- Islamuntuk kemaslahatan warga Negara muslim, dalam perspektif Human Development Index, Life Expectancy Index, Education Index, maupun Income Index, masih di bawah rata- rata Negara non muslim. Bahkan di beberapa Negara tersebut berkaitan dengan penerapan keadilan, pemberdayaan kaum wanita, partisipasi politik dan peluang kesetaraan, masih terbatas. KATA KUNCI: Syariah, Negara, Muslim, Maslahat, Human Development Index. PENDAHULUAN Diskursus penerapan syariah - syariah Islam atau syariat Islam- dalam konteks negara modern di dunia Islam khususnya telah menjadi perhatian dan penelitian berbagai pihak. Hal ini menjadi perhatian mengingat syariah Islam, berkenaan dengan keyakinan keagamaan dan kesempurnaan ajarannya, yang tidak hanya bersifat profan tetapi juga bersifat sakral. Pada sisi lain, ia juga terus menjadi penelitian karena ia merupakan pemahaman dan pengamalan dari sebagian mayoritas penduduk di dunia, yang tidak bersifat tunggal dan monolitik tetapi bersifat plural dan heterogen. Pergumulan Islam dengan kondisi lingkungan yang tidak tunggal ditambah faktor realitas kesejarahan masyarakat Islam di berbagai kawasan yang heterogen menghadapkan masyarakat Islam pada berbagai pilihan corak dalam membumikan ajaran-ajaran Islam. Secara umum terdapat dua corak pendekatan yang berkembang dalam masyarakat muslim, yaitu pendekatan yang mengedepankan corak ideal-normatif-ideologis dan kedua menekankan corak ideal-historis-ideologis. 2 1 Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Prodi Perbankan Syariah. Email: a_supyadillah@ yahoo.com 2 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pengantar dalam buku Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 17

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

0

PENERAPAN SYARIAH DALAM KONTEKS

NEGARA MODERN DI DUNIA ISLAM

Asep Supyadillah1

ABSTRAK

Penerapan konsep syariah di negara-negara mayoritas muslim, mengalami keragaman

seiring kemajemukan paham, aliran, mazhab, dan golongan dalam menafsirkan sumber-

sumber ajaran Islam. Bentuk keragaman tersebut antara lain terefleksi dalam pandangan

pemikiran politik mengenai hubungan Negara dan Islam yang secara garis besar terdiri

dari aliran tradisional atau intergralistik, aliran sekuler atau reformis-sekuler, dan aliran

reformis-modernis. Dari pengalaman penerapan konsep syariah dalam Negara oleh

Negara-negara penduduk mayoritas muslim seperti Arab Saudi, Republik Islam Pakistan,

Republik Islam Iran, Kerajaan Malaysia, dan Negara Islam Afghanistan di bawah rezim

Taliban, Sudan, dan Indonesia, bentuk penerapannya tidak bersifat tunggal dan monolitik

tetapi bersifat plural dan heterogen, sesuai dengan ruang, waktu dan kondisinya masing-

masing Negara tersebut. Dilihat dari tujuan Negara yang menerapkan “konsep syariah-

Islam” untuk kemaslahatan warga Negara muslim, dalam perspektif Human Development

Index, Life Expectancy Index, Education Index, maupun Income Index, masih di bawah rata-

rata Negara non muslim. Bahkan di beberapa Negara tersebut berkaitan dengan penerapan

keadilan, pemberdayaan kaum wanita, partisipasi politik dan peluang kesetaraan, masih

terbatas.

KATA KUNCI: Syariah, Negara, Muslim, Maslahat, Human Development Index.

PENDAHULUAN

Diskursus penerapan syariah - syariah Islam atau syariat Islam- dalam konteks negara

modern di dunia Islam khususnya telah menjadi perhatian dan penelitian berbagai pihak. Hal

ini menjadi perhatian mengingat syariah Islam, berkenaan dengan keyakinan keagamaan dan

kesempurnaan ajarannya, yang tidak hanya bersifat profan tetapi juga bersifat sakral. Pada

sisi lain, ia juga terus menjadi penelitian karena ia merupakan pemahaman dan pengamalan

dari sebagian mayoritas penduduk di dunia, yang tidak bersifat tunggal dan monolitik tetapi

bersifat plural dan heterogen.

Pergumulan Islam dengan kondisi lingkungan yang tidak tunggal ditambah faktor

realitas kesejarahan masyarakat Islam di berbagai kawasan yang heterogen menghadapkan

masyarakat Islam pada berbagai pilihan corak dalam membumikan ajaran-ajaran Islam.

Secara umum terdapat dua corak pendekatan yang berkembang dalam masyarakat muslim,

yaitu pendekatan yang mengedepankan corak ideal-normatif-ideologis dan kedua

menekankan corak ideal-historis-ideologis.2

1 Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Prodi Perbankan Syariah. Email:

a_supyadillah@ yahoo.com

2 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pengantar dalam buku Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis

di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 17

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

1

Kedua corak pendekatan tersebut terus mengalami persinggungan dan terus berupaya

mempertahankan eksistensinya masing-masing sesuai dengan keyakinan atau kredo “Islam

adalah solusi” dan “Islam kaffah”. Kredo tersebut pada dasarnya merupakan identitas

primordial yang bersifat fitrah, sehingga kapanpun dan dimanapun akan menempatkan

kebenaran agamanya dalam jantung keyakinannya. Hal ini juga terjadi pada penerapan

syariah dalam kehidupan modern.

Mengingat adanya pendekatan dan pandangan yang berbeda tersebut, maka dalam

tataran penerapannya pun dalam Negara modern, terutama setelah eksisnya “nation state” di

dunia Islam, penerapan syariah tersebut menjadi fakta terjadinya keragaman dalam kesatuan,

keragaman penerapan Islam dalam kesatuan tujuan yaitu mengimplementasikan nilai-nilai

Islam.

Berkenaan dengan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam

tulisan ini berkaitan dengan pandangan para ahli terkait hubungan syariah dan Negara.

Apakah penerapan syariah diperlukan suatu negara atau sejauh manakah peranan Negara

dalam menegakkan syariah, dan bagaimanakah keberlangsungan penerapan syariah Islam

oleh negara-negara mayoritas penduduk muslim, serta sejauh manakah pemberlakuan syariah

Islam oleh Negara telah menciptakan kemasalahatan bagi warga Negara?

PEMBAHASAN

Perkembangan dan Keragaman Pengertian Syariah

a. Pengertian Syariah

Secara bahasa, dalam bahasa Arab, kata syari’ah berasal dari akar kata syara'a, yang

memiliki banyak arti, yaitu jalan, cara, dan aturan. Kata tersebut juga diartikan sebagai "jalan

ke tempat keluarnya air untuk minum".3 Kemudian, kata ini dikonotasikan oleh bangsa Arab

sebagai jalan yang lurus yang harus diikuti,4 atau berarti sumber segala kehidupan.5

Secara terminologi, menurut Mahmud Syaltut, syariah adalah ”segala hukum dan

aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi hamba-Nya untuk diikuti, yang mengatur hubungan

antara manusia dengan Allah, hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan

antara manusia dengan lingkungan dan kehidupannya." Qathan-Sementara itu, Manna' al 6

mendefiniskan syariah dengan pengertian "segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi

hamba-hambaNya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun mu'amalah".7

Berdasarkan pengertian dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Syariah

merupakan suatu sistem aturan yang didasarkan pada ajaran Allah (Al-Quran) dan Rasul

(sunnah)-nya, yang mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik menyangkut

hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan manusia dan alam

lingkungannya.

b. Perkembangan Pengertian Syariah

Dalam wacana pemikiran Islam, istilah “syariah” atau “syariat”, memiliki konotasi

makna yang identik dengan istilah al-Din dan al-Fiqh. Syariat dalam pengertian al-Din

(agama), yaitu keseluruhan ajaran Allah Swt, yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,

3 Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-Shadir, t.th, Jilid VIII, h. 10. 4 Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam, t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th, h. 14. 5 Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987, h. 107. الشريعة هي النظم التي شرعها الله او شرع أصولها ليأخذ الأنسان بها نفسه فى علاقته بربه وعلاقته بأخيه المسلم وعلاقته بأخيه الإنسان 6

ون وعلاقته بالحياتوعلاقته باالك , Lihat Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syariah, Beirut : Dar al-Fikr, tth, h.

15 7 Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam , op. cit., h. 15

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

2

meliputi seluruh bidang kehidupan baik bidang akidah, akhlak dan hukum-hukum. Pengertian

syariah yang dipahami identik dengan makna al-Din (agama) ini antara lain didasarkan

kepada firman Allah pada surat al-Maidah / 5 : 48, al-Syura/42:13, dan al-Jatsiyah/45:18.8

Walaupun syariah pada mulanya diartikan dengan al-din (agama), tetapi kemudian ia

dikhususkan untuk hukum ‘amaliyah, sebagaimana dipahami dalam artian al-fiqh,9 yaitu

menyangkut aktivitas manusia secara praktis (tidak termasuk keimanan dan akidah).

Pengkhususan itu untuk membedakan antara agama dengan syari’ah, karena pada hakikatnya

agama itu satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syari’ah berbeda antara satu umat

dengan umat lainnya.10

Kendati syariat merupakan bagian dari ajaran Islam, dalam perkembangannya muncul

pandangan yang menyamakan keduanya, sehingga dikatakan bahwa syariat Islam adalah

ajaran Islam, sebaliknya jika disebutkan ajaran Islam maka itulah syariat Islam. Pendapat lain

mengategorikan syariat sebagai salah satu aspek atau dimensi dari ajaran Islam, yang

mengandung makna terbatas hukum Islam, yakni hal-hal yang menyangkut aturan-aturan

Tuhan secara legal formal, termasuk berkaitan dengan permasalahan dan penerapan pidana

(jinayat/jarimah) seperti pidana hudud, qishash dan diyat.

Pandangan yang terakhir ini makna syari’ah tertuju atau digunakan untuk

menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al-Quran dan

Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad). Dengan demikian

istilah syariah mempunyai arti yang lebih luas dan lebih umum, sedangkan istilah fikih

dipakai oleh para ahli fikih (fuqaha) sebagai ketentuan-ketentuan atau hukum terapan yang

bersifat penjabaran atau pelaksanaan syariah, 11 yang bersifat teknis yang merupakan hasil

interpretasi terhadap syariah (hukum syara'). Walaupun demikian, di Indonesia penggunaan

istilah syariah secara praktis banyak digunakan dalam pengertian fikih atau hukum Islam.12

8 Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: ”... Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan

(syir’atan) dan jalan yang terang. ... (QS.Al-Maidah/5:48); ”Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu

agama (syara’a lakum minaddin) yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami

wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa,

yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya….

(QS.al-Syura/42:13); ”Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari

agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak

mengetahui” (QS.al-Jatsiyah/45:18). 9 Fiqh diartikan sbb: العلم باالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية (Pengetahuan tentang hukum-hukum

syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci); atau ada

yang mengartikan الفقه مخصوص بالعلم الحاصل بجملة من الأحكام الشرعية الفروعيةّ بالنظر والإستدلال (Ilmu tentang

seperangkat hukum syara' yang bersifat cabang ( furu'iyah) yang didapatkan melalui penalaran dan

pengambilan dalil). 10 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990, h.14. 11 Fikih diartikan oleh para ahli Ushul Fikih, di antaranya menurut Abu Zahrah, adalah mengetahui hukum-

hukum syara' yang bersifat 'amaliyah yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci. Menurut Al-Amidi,

fikih berarti "ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat furu'iyah yang didapatkan melalui

penalaran dan istidlal". Lihat Muh. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958, h. 56; Saifuddin

al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967, Jilid I, h. 8. 12 Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal dengan istilah “Prinsip Syariah”, yang berarti

hukum Islam. Lengkapnya adalah sbb: Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan

perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan

fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 12 UU No 21/2008 ttg Perbankan Syariah); Prinsip Syariah adalah

prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang

memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 3 UU No 40/2014 ttg

Perasuransian); dan Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau

pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Pasal 1 angka 6

POJK No.31/POJK.05/2014 ttg Penyeleanggaraan Usaha Pembiayaan Prinsip Syariah).

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

3

Fikih secara garis besar terbagi dalam dua katagori, yaitu fikih ibadah dan fikih muamalah.13

Hubungan Syariah dan Negara

a. Hakekat negara

Secara konvensional, biasanya yang mendasari manusia untuk mendirikan negara

adalah karena mereka merasa hidup dalam suasana kerjasama sekaligus bersifat antagonis

dan penuh pertentangan.14 Untuk itu dianggap perlu ada asosiasi yang menetralisir keadaan

antagonis tersebut dalam hubungannya dengan sesama manusia lain. Asosiasi ini mempunyai

kewenangan mengatur hubungan-hubungan di antara manusia dan dapat mengintegrasikan

dan bahkan membimbing kegiatan-kegiatan sosial penduduknya ke arah tujuan bersama.

Asosiasi ini kemudian disebut dengan negara.15

Negara merupakan alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kewenangan

mengatur, menertibkan, dan mengendalikan hubungan-hubungan di antara mereka sendiri.16

Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan dari

penduduk atau rakyatnya (common good/common well), atau menyelanggarakan masyarakat

adil dan makmur.17 Setiap negara mempunyai organisasi yang berwenang untuk merumuskan

dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam

wilayahnya, yang disebut pemerintah. Pemerintah ini bertindak atas nama negara dan

menyelenggarakan kekuasaan dari negara dengan membuat berbagai kebijakan dan

keputusan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan ke arah tercapainya tujuan-

tujuan masyarakat. Kekuasaan pemerintah biasanya dibagi menjadi kekuasaan legislatif,

eksekutif dan yudikatif.18

Dalam pandangan Islam, manusia di alam ini berkedudukan sebagai agen yang diberi

dan mendapat amanat dari Tuhan untuk memakmurkan dan memelihara alam semesta. Untuk

merealisasikan konsep tersebut, Al-Qur’an menjelaskan perlu adanya sekelompok manusia

yang berproses menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan agar tercipta keadilan dan

hilangnya kezaliman (QS. 3 : 103-104). Menurut Muhammad Asad, untuk mencapai tujuan

tersebut perlu ada instrumen yang dapat mengatur tercapainya sasaran tersebut. Instrumen ini

biasanya dilakukan melalui negara. Negara dijalankan oleh suatu pemerintah yang di

dalamnya ada seorang Imam atau Kepala Negara. Negara itu sendiri bukan merupakan tujuan

melainkan sarana atau alat untuk mencapai tujuan.19 Adapun tujuannya, menurut Muhammad

Asad, adalah “ terwujudnya suatu masyarakat yang selalu mengamalkan kebajikan dan

keadilan, membela kebenaran dan meruntuhkan kebatilan, dengan kata lain, suatu masyarakat

yang berupaya menciptakan satu kondisi sosial yang memberi kemungkinan seluas-lusanya

kepada sebanyak mungkin anggota masyarakat untuk hidup sesuai dengan hukum dan norma

13 Fikih Ibadah merupakan ketentuan yang memberi pedoman dalam melaksanakan kepatuhan seseorang

kepada Tuhan secara vertikal, seperti sholat, puasa, dll. Fikih Muamalah didefinisikan sebagai hukum-

hukum atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan

keduniaan (horisontal), misalnya hukum yang mengatur masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-

lain. 14 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1986), h. 38 15 Ibid, h. 38 & 45 16 Ada beberapa definisi tentang negara dan cukup beragam, Lihat Ibid, h. 39; Soehino, Ilmu Negara,

(Yogyakarta: Liberty, 1986, h, 146 17 Miriam Budiardjo, Ibid, h, 45-46; Soehino, ibid, h. 147-148 18 Miriam Budiardjo, Ibid, h. 44 19 Muhammad Asad, Minhaj al-Islam fi al-Hukmi, terjemahan Indonesia, Sebuah Kajian tentang Sistem

Pemerintahan Islam, (Bandung : Pustaka, 1985 ), h. 60

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

4

moral yang sesuai dengan fitrah yang datang dari Allah Swt, baik aspek spiritual maupun

material”20

Karena dianggap begitu penting instrumen (negara) ini, maka dikalangan para Ulama

ada yang berpendapat bahwa mendirikan atau mengangkat pemimpin negara/pemerintah

hukumnya adalah wajib.21 Hal ini karena menurut al-Mawardi, pemerintah

(Khilafah/Imamah) itu berfungsi sebagai pengganti kedudukan Nabi dalam tugas memelihara

agama dan mengatur dunia.22

b. Tujuan dan fungsi negara

Sebagaimana sekilas dijelaskan di atas, bahwa pendirian negara mempunyai tujuan

dan fungsi atau peranan. Tujuan adalah dunia cita-cita atau adanya sasaran yang hendak

dicapai. Sedangkan fungsi atau peranan menunjukkan dunia riel yang konkrit. Maka fungsi

adalah pelaksanaan dari tujuan yang hendak dicapai. Tujuan negara sebagaimana dijelaskan,

secara umum adalah menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan dari penduduk atau

rakyatnya.23 Dalam prinsip Islam, tujuan negara sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Taimiyah,

adalah terealisasinya syariat (ajaran Islam) di tengah komunitas umat. Sehingga seorang yang

dipercaya memegang kendali pemerintahan harus menjalankan fungsi-fungsi negara sesuai

dengan tujuan negara tersebut.

Adapun fungsi negara, menurut Ibn Taimiyah, adalah menegakkan amar makruf dan

nahi munkar, baik pada kekuasaan yang sifatnya makro seperti kekuasaan sultan, ataupun

pada kekuasaan yang sifatnya mikro seperti kekuasaan polisi, kekuasan hakim, kekuasaan

fiskal dan kekuasaan hisbah.24 Menurut khan, penegakkan amar makruf nahi munkar paralel

dengan upaya mewujudkan terciptanya suatu tertib sosial dan hukum yang adil dimana nilai-

nilai dasar Al-Qur’an dan as-sunnah direalisasikan.25 .

Pemerintah, yang berwenang merumuskan dan melaksanakan kebijakan tersebut,

harus menjalankan fungsi-fungsinya ke arah tercapainya tujuan-tujuan masyarakat, yaitu

mengeluarkan berbagai bentuk perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang

berlandaskan pada amar ma’ruf, yaitu berpedoman pada prinsip kebaikan (al-khair) dan

kesejahteraan (al-falah), serta berkeadilan dan kemakmuran(al-baldah tayyibah). Dan

melakukan nahi munkar, yakni mencegah kepincangan (zalim) dan kerusakan (fasad) yang

disimbolkan dengan istilah Warabbun ghafur (ampunan Ilahi).26

Meskipun amar makruf nahi munkar ini pada awalnya bukan merupakan kewajiban

individu muslim atau kewajiban tersebut bersifat kolektif (fardhu kifayah), namun bisa

menjadi kewajiban personal/individual (fardhu `ain) pada saat tidak ada satupun pihak yang

sanggup melaksanakannya. Dalam hal ini pihak yang mempunyai otoritas dan kompetensi,

seperti negara, merupakan institusi yang paling bertanggungjawab untuk merealisasikannya.27

Oleh karenanya, negara mempunyai peranan penting .

20 Ibid 21 Beberapa pendapat pemikir Islam tentang hal ini, lihat Muhammad Yusuf Musa, Nizhamul Hukmi Fil

Islam, ( Kairo : Darul Katib al-’Arabiy, 1965), h. 15-18; 22 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 3 23 Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 45 24 Ibn Taimiyah, ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam aw Wadhifatu al-Hukumiyah al-

Islamiyyah, Beirut : Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992 Op. Cit., h. 11. 25 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, (Bandung : Pustaka Salman, 1983), h. 263. 26 Dawam Rahardjo, “ Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dalam

Ainur R. Sophian (edt), Etika Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 124-125. 27 Ibn Taimiyah, Al-Hisbah …, Op. Cit., h. 11

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

5

Adapun fungsi negara secara umum, menurut Miriam Budiardjo, adalah

melaksanakan penertiban (law and order) atau bertindak sebagai “stabilisator”;

mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; menjaga pertahanan (menjaga

kemungkinan serangan dari luar); dan menegakkan keadilan.28 Sedangkan menurut Ibn

Taimiyah, sedikitnya ada lima bentuk fungsi negara dalam menegakkan amar makruf dan

nahi munkar, yaitu 1). pelaksanaan dasar-dasar agama Islam; 2). penegakkan hukum/keadilan

dan perlindungan hak-hak; 3). pemeliharaan ketertiban dan keseimbangan ekonomi; 4).

penyediaan infrastruktur sosial; dan 5). pembelaan keamanan negara.29

Bagaimana wujud UU yang bersifat amar makruf nahi munkar ini? atau dengan

ungkapan lain bagaimana sebuah pemerintah berbuat atau tidak berbuat untuk melaksanakan

tugas dan perannya tersebut ? Jawabannya adalah tergantung pada kerangka sosial yang

dibuat. Dalam masyarakat Islam, secara ideal, jawaban terhadap pertanyaan tersebut berasal

dari teori maslahah. Dimana para yuris menggunakan kata ini untuk menunjukkan

kepentingan umum atau kepentingan manusia pada umumnya.30

c. Negara dalam Konsep Modern

Menurut Bahtiar Effendi, konsep dan praktik negara modern serta konsep demokrasi

tidak tunggal. Unsur-unsur negara dan demokrasi dipengaruhi, dibentuk dan diperkaya oleh

kultur dan struktur yang ada. Dengan kata lain, konsep dan praktik demokrasi modern

digerakkan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat setempat.31

Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Rober A. Dahl, Effendi menjelaskan unsur-

unsur negara modern yang dianggap sebagai negara demokratis adalah ketika ia (1)

menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) mengembangkan pola kehidupan

politik yang kompetitif; (3) dan memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat.

Sedangkan menurut Juan Linz, sebuah politik baru bisa dikatakan demokratis kalau ia (1)

memberi kebebasan bagi masyarakatnya untuk merumuskan preferensi-preferensi politik

mereka, melalui jalur-jalur perikatan, informasi, dan komunikasi; (2) memberikan

kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur, melalui cara-cara damai; dan (3)

tidak melarang siapapun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada.32 Sedangkan

28 Miriam Budiardjo, Op. cit., h. 46. 29 Ibn Taimiyah, al-Hisbah, Op. Cit.,, h. 9-56; Ibn Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyyah Fi Ishlahi al-Ra’iy wa

al-Ra`iyyah, (Beirut: Dar al-Jail, 1993), h. 28-130. 30 Pengembangan teori maslahah ini dilakukan Hamid al-Ghazali dan Abu Ishaq as-Satibi. Mereka berpendapat

bahwa tujuan akhir dari syariah adalah untuk mengembangkan lebih jauh kemaslahatan ummah. Kedua-

duanya membagi maslahah ke dalam tiga kategori: daruriyah, hajiyah dan tahsiniyah. Daruriyah mengacu

kepada kepentingan agama, jiwa, keturunan, aqal dan harta atau kekayaan. Tugas utama pemerintah adalah

melindungi hal tersebut dari berbagai gangguan dan hambatan apapun. Kepentingan hajiyah dan tahsiniyah

dimaksudkan untuk merubah suatu keadaan ke kondisi yang lebih baik, apakah itu secara sosial atau

ekonomi. Pemerintah dalam hal ini wajib melindungi ketiga kebutuhan tadi karena merupakan kebutuhan

manusia (human needs), terutama kepentingan daruriyah. Jadi ciri pokok maslahah adalah adanya kebaikan

bagi sebagian besar orang. Dalam situasi tersebut, peran dan fungsi pemerintah atau negara adalah membuat

dan melaksanakan kebijakan yang memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat, dan mengeliminir

atau membuang sesuatu yang hanya bermanfaat untuk sebagian kecil masyarakat. Lihat, Muhamad Khalid

Masud, Islamic Legal Philosophy, a Study of Abu Ishaq al-Ahatibi’s Life and Thought, (Newe Delhi :

International Publisher, 1989), h, 225-236; Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih

Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), h. 35-47; juga, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos, 1997), h.

125-141; Muhammad Akram Khan, “The Role of Goverment in the Economy”, dalam The American

Journal of Islamic Social Sciences, (Washington. D.C, AMSC/IIIT, 1992), h. 157 31 Bahtiar Effendi, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa Yang memungkinkan”, dalam Nasir Tamara

(edt), Agama dan Dialog Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 88 32 Bahtiar Effendi, ibid, h.89

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

6

Masykuri Abdillah menyimpulkan bahwa demokrasi mengandung unsur-unsur: kekuasaan

mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas, dan bertanggung jawab.33

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pokok negara

modern yang demokratis adalah meliputi adanya (1) proses rekrutmen elit melalui pemilihan

yang jujur dan bebas; dan (2) hak masyarakat untuk memilih. Pelaksanaan dari konsep

demokrasi ini akan menjamin kebebasan untuk berpendapat dan berserikat, adanya

pertanggungjawaban pimpinan terhadap warga negara yang memberikan mandat kepadanya,

dan menjamin kemasalahan bagi warga negaranya.

d. Paham tentang Negara Islam

Di kalangan Muslim terdapat banyak pandangan mengenai hubungan Negara dan

Islam sebagai sebuah konsep dan kenyataan sejarah. Banyaknya pandangan tersebut

menunjukkan adanya keragaman dalam memahami hubungan Islam dan Negara serta dalam

mengontruksi sejarah Nabi dan generasi Muslim sesudahnya. Pandangan tersebut dari waktu

ke waktu terus berkembang sesuai dengan “tafsir” pemikirnya.

Menurut Munawir Sadjali,34 terdapat 3 pandangan muslim tentang negara yang satu

sama lain saling berbeda, yakni:

Aliran Pertama, paham yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama

dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Islam

menurut paham ini, adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek

kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dalam Islam terdapat aturan yang

serba lengkap, termasuk mengenai sistem ketatanegaraan atau politik. Sistem negara dalam

Islam harus meneladani sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan Al-

Khulafa Al-Rasyidin. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya kembali pada sistem

ketatanegaraan Islam dan tidak perlu bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.

Tokoh-tokoh utama aliran ini ialah Syaikh Hasan Al-Bana, Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad

Rasyid Ridha, dan Maulana al-Maududi.

Aliran Kedua, kelompok ini menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian

Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan, bahwa Nabi Muhammad

hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya dengan tugas tunggal mengajak

manusia kembali pada kehidupan yang mulia untuk menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan

Nabi tidak pernah bertujuan mendirikan dan mengepalai satu negara. Pemikir-pemikir

Muslim aliran kedua ini yang terkemuka ialah Thaha Husein dan Ali Abd Al-Raziq.

Aliran Ketiga, pemikiran ketiga menolak pendapat pertama maupun pendapat kedua.

Menurut aliran ketiga ini bahwa dalam Islam memang tidak terdapat sistem ketatanegaraan,

tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Tokoh yang cukup

menonjol dari aliran ini ialah Muhammad Husein Haikal.

Pemikiran pertama sering disebut dengan aliran tradisional atau intergralistik.

Aliran kedua disebut dengan kelompok sekuler atau reformis-sekuler. Sedangkan aliran

ketiga disebut reformis atau modernis, atau disebut juga reformis-modernis.35 Ketiga aliran

pemikiran tersebut memiliki pertautan dengan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer.

Ketiga aliran tersebut memiliki pertautan dengan pemikiran Revivalisme Islam, Modernis

Islam, Fundamentalisme Islam, maupun dengan gerakan Salafiyah pada era klasik dan

33 Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep

Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Kencana, 2015, h. 71 34 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993, h. 1;

35 Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 141

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

7

modern, disertai berbagai varian dari berbagai aliran dalam Islam yang pusparagam tersebut.

Sedangkan Haedar Nashir mengelompokkan pendekatan gerakan Islam dalam

membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat terdapat kedalam 3 besar

kelompok/pandangan, yaitu:36

1) Perspektif integralisme Islam sebagaimana tumbuh dalam alam pikiran kaum “Islamis”

seperti Hasan Al-Bana (1906-1949), Sayyid Quthb (1906-1966), Abu A’la Al-Maududi

(1903-1979), dan para aktivis Islam syariat lainnya; yang meyakini dan memahami Islam

sebagai ajaran yang menyeluruh yang harus dipraktikkan dalam segenap dimensi

kehidupan, termasuk dalam dunia politik atau negara.

2) Perspektif dekonstruksionisme, sebagaimana dikembangkan Abdullah Ahmed An-

Na’im,37Mahmud Muhammad Thaha, Muhammad Abid Al-Jabiri, dan kalangan

Neomodernisme seperti Munawir Sadjali di Indonesia dengan gagasan “reaktualisai

ajaran Islam”.; yang memandang pentingnya reformuasi ajaran Islam khususnya syariat

Islam dalam kehidupan kontemporer. Bagi AN-Na’im, syari’at bukanlah keseluruhan

Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana

dipahami dalam konteks historis tertentu; dan

3) Perspektif gerakan sosial (social movement); yang memosisikan Islam dan Umat Islam

dalam relasi-relasi sosial yang kompleks yang melibatkan aspek-aspek keyakinan,

pengetahuan, organisasi, dan praktik kegamaan yang bertemali dengan situasi

ketegangan struktural dan konflik, peluang-peluang politik, kondisi kultural, dan respon-

respon actual yang dinamis. Dalam perspektif gerakan sosial, bahwa gerakan Islam

dalam kenyataan sosiologisnya tidaklah tunggal, tetapi plural. Kendati Islam diyakini

sebagai ajaran yang mutlak, sakral, sempurna dan menyeluruh bagi umat Muslim,

pemahaman tentang Islam dan aktualisasinya dalam kenyataan hidup para pemeluknya

sering bersifat relatif, partikular, profane (duniawi), dan adanya wilayah perdebatan dan

persengketaan.38

Penerapan Syariah di Negara-Negara Mayoritas Penduduk Islam

Terdapat sejumlah negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, dan

terdapat juga yang hanya menjadikan Islam sebagai salah satu sumber hukum/sumber nilai

dari Negara tersebut. Negara-negara yang masuk kategori pertama antara lain Arab Saudi,

Republik Islam Pakistan, Republik Islam Iran, Kerajaan Malaysia, dan Negara Islam

Afghanistan di bawah rezim Taliban, dan Sudan.39 Sedangkan Negara yang masuk kategori

kedua adalah Indonesia.

Berikut adalah uraian singkat mengenai penerapan syariah oleh Negara-Negara

tersebut.

a. Arab Saudi

Kerjaaan Arab Saudi dibangun lewat suatu persekutuan antara politik dan agama yang

direpresentasikan oleh kepada suku Najd, Muhammad Ibn al-Saud dan keluarganya di pihak

36 Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 32-33,

dan h.78 37 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syriah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan

Hubungan Internasional Dalam Islam, Yogayakrta: LKiS, 1994 38 Haedar Nshir, ibid, h. 98 39 Lihat Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan

Muslim Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52; Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‘Negara dan Syariat

Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim

Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h. 52-80

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

8

politik, dan Muhammad bin Abdul Wahab dan Wahabisme-nya di pihak agama.40 Wujud dari

persekutuan ini adalah dukungan kaum Wahabi terhadap perluasan pengaruh atau kekuasaan

keluarga Al-Saud di satu pihak, dan di pihak lain tekad penguasa menjadikan Arab Saudi

sebagai kerajaan yang didasarkan pada syariat Islam, atau lebih khusus lagi Wahabisme, dan

Negara bertanggungjawab terhadap pelaksanaan syariat Islam tersebut dalam masyarakat dan

politik.41

Dalam kerajaan Saudi Arabia, syariat Islam yang mencakup hukum kriminal

dilaksanakan, dan kerajaan bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Pihak kerajaan

merespon secara negatif ketika muncul aspirasi dari masyarakat agar pelaksanaan kekuasaaan

didasarkan pada konstitusi dalam pengertian modern.42

Di dalam teks UU, Pemerintahan Arab Saudi dinyatakan bahwa hanya al-Quran dan

Sunnah Nabi-lah yang merupakan konstitusi sebenarnya dari suatu masyarakat muslim.

Syariat Islam diberlakukan di Kerjaan Saudi Arabia dalam konteks politik otokrasi, bukan

dalam konteks demokrasi43.

Dalam strukturnya, otoritas agama, yakni ulama, menjadi penasihat bidang syariat Islam

di kerajaan. Hubungan antara dua otoritas ini, otoritas agama dan otoritas publik, tidak

dirumuskan ke dalam suatu konstitusi yang kepadanya penguasa tunduk dalam melaksanakan

kekuasaannya. Hubungan tersebut lebih didasarkan atas komitmen personal keluarga kerajaan

terhadap pendapat-pendapat atau nasihat ulama. Dalam kerajaan Arab Saudi, syariat Islam

yang mencakup hukum kriminal dilaksanakan, dan kerajaan bertanggung jawab atas

pelaksanaanya.

Ketika belakangan muncul aspirasi dari masyarakat yang menghendaki agar

pelaksanaan kekuasaan didasarkan pada konstitusi dalam pengertian modern, maka pihak

kerajaan meresponnya secara negatif dan dengan dalih bahwa : “ kerajaan telah membangun

sebuah program politik yang jelas yang dapat diringkas dalam “iman dan syariat” (Eickelman

dan Piscatori,1996). Di dalam teks undang-undang pemerintahan Arab Saudi (1992)

dinyatakan bahwa “pemerintah tidak membuat konstitusi (dustur) karena hanya al-Quran dan

sunnah Nabi-lah yang merupakan konstitusi sebenernya dari suatu masyarakat muslim.

Sistem politik adalah monarki, tetapi pemerintah mendapat otoritasnya dari Kitab Allah

yang Maha Besar dan Sunnah Nabi-nya, negara melindungi kredo Islam, negara menerapkan

syariatnya; negara memerintahkan rakyat untuk melakukan kebaikan dan mencegah

kejahatan; negara memenuhi kewajiban untuk berdakwah….” (eickelman dan piscatori,

1996).

Secara keseluruhan, syariat Islam diberlakukan di negeri ini dalam konteks politik

otokrasi, bukan dalam konteks demokrasi. Kalaupun tingkat kriminalitas di negeri ini rendah,

maka hal itu terkait dengan watak rezim otoritarian seperti Singapura, negara-negara

komunis, dll. Kasus kerajaan Arab Saudi juga merupakan contoh dimana penyerapan syariat

Islam berdampingan dengan politik non-demokrasi.44

40 Gerakan wahabiyyah dilekatkan dengan Muhammad bi Abdul Wahhab (1703-1792 M), yang dianggap

sebagai gerakan revivalis. Pengikut gerakan ini disebut dengan Wahabi, dan gerakannya disebut

“Wahabisme” atau “Wahabiyyah” atau “fundamentalisme Islam” atau “pelopor gerakan salafiyah”. Gerakan

Wahabi secara tegas dan keras menolak sinkretisme kaum sufi dan tradisional yang membawa praktik agama

yang bersifat syirik dan politeistik, seraya menggelorakan gerakan menegakkan tauhid atau monoteisme. 41 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim

Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52; Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di

Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 188 42 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim

Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52 43 ibid 44 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim

Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

9

Karakter dasar ekonomi KSA bertumpu pada ekspor hasil bumi seperti minyak, bukan

pada pajak dari masyarakat. Pendapatan negara dari ekspor hasil bumi tersebut digunakan

antara lain untuk memberikan tunjangan sosial oleh Negara kepada masyarakat, dan

masyarakat tidak dibebani untuk membayar pajak. Dalam pola ekonomi-politik macam ini,

tidak ada insentif bagi masyarakat untuk menuntut negara, untuk berpartisipasi dalam proses

politik. Karena itu, untuk kasus Arab Saudi ini, partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi

relatif sangat terbatas.

Hal ini tidak berarti agama termasuk intensitas penerapan syariat Islam, sama sekali

tidak menyumbang terhadap tidak tumbuhnya demokrasi di negara tersebut. Yang

nampaknya realistik untuk dikemukakan adalah bahwa terbatasnya partisipasi masyarakat

dalam kehidupan bernegara, termasuk intensitas penerapan syariat Islam secara monolitik,

menyumbang terhadap tidak dinamisnya demokrasi di negeri ini.

b. Pakistan

Pakistan berdiri sebagai Negara pada 15 Agustus 1947 di bawah pimpinan Muhammad

Ali Jinnah, seorang tokoh Liga Muslim.45 Pakistan secara resmi menyatakan sebagai negara

Islam. Untuk mengisi konstitusi dan mengimplementasi konsep “negara Islam" ini, terus

menerus menjadi perdebatan dikalangan intelektual dan politisi negeri ini. Intelektual paling

depan dari konsep negara Islam ini, yakni Abdul A’la Al-Maududi. Ia telah berusaha keras

mengawinkan “demokrasi” dan sistem politik Islam, dengan konsep Teokrasi.46 Dalam

konsep ini, partisipasi masyarakat muslim menjadi penting, tapi pada dasarnya untuk

menerima atau menolak keputusan-keputusan yang dibuat oleh ahli agama Islam, atau ulama,

bukan untuk merumuskan sendiri lewat persaingan jabatan publik secara terbuka, lepas dari

keIslaman seorang warga negara, apa yang baik atau maslahat bagi publik. Karena itu, ulama

dalam konsep ini, punya posisi politik yang istimewa, yang tak bisa disaingi oleh warga

negara yang tidak punya otoritas di bidang keagamaan.

Dalam praktiknya, ini tidak mudah dilaksanakan. Partai Maududi sendiri, Jama’at

Islami,47 tidak mendapatkan dukungan berarti dari masyarakat muslim Pakistan. Partai-partai

yang tidak punya agenda khusus untuk program Islamisasi Pakistan seperti Liga Muslim

Pakistan dan Partai Rakyat Pakistan justru jauh lebih popular di mata warga Pakistan. Dalam

pemilihan umum demokratis pertama di awal tahun 1970-an, Partai Rakyat Pakistan di bawah

Zulfikar Ali Bhutto memenangkan pemilu tersebut, dan partai-partai lain, termasuk Partai

Jama’at Islami, kemudian menjadi oposisi. Pemerintahan demokrati Bhutto sendiri kemudian

dikudeta oleh Militer di bawah Jenderal Ziaul Haq dan Jenderal ini kemudian memimpin

Pakistan sampai ia terbunuh.48

45 Pakistan lahir sebagai akibat dari pembedahan jazirah India menjadi 2 negara, yang satu India sebagai negara

nasional sekuler, dan yang lain Pakistan sebagai negara agama. Semula Jinnah adalah anggota Congress

National yang memperjuangkan India merdeka dan bersatu mengatasi perbedaan agama, bahasa, ethnis dan

sebagainya. Namun, karena adanya rasa saling curiga yang muncul akibat primordialisme, pada tahun 1940-

an Ali Jinnah mulai memperjuangkan lahirnya suatu negara Muslim di Pakistan, lepas dari bagian-bagian

lain Jazirah India. Lihat: https://dhurorudin.wordpress.com/2015/01/25/politik-Islam-pakistan-2-dari-4-

tulisan/ 46 Abu A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1991 47 Jama’at Islami didirikan pada 21 Agustus 1941 oleh Abu A’la Al-Maududi dan dibubarkan pada tahun 1958

oleh rezim pemerintahan Pakistan di bawah kekuasaan Jendral Muhammad Ayub Khan. Tujuan pendirian

parati ini menurut Anggran Dasarnya adalah “ menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi” dan “

menjadikan Islam sebagai sistem dan jalan hidup di atas dunia”. Lihat Heidar Nashir, op. cit., h. 199-201 48 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim

Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

10

Pada masa rezim otoritarian Zia ul-Haq inilah program Islamisasi Pakistan pada bulan

Juli 1979 menjadi agenda politik nasional amat menonjol dengan dukungan terutama dari

kelompok Jama’at Islami. Ini mengindikasian bahwa para pendukung Islamisasi Pakistan,

termasuk di dalamnya pemberlakuan syariat Islam, pada dasarnya tidak memperdulikan

apakah jalan yang digunakan untuk mencapai tujuannya tersebut lewat jalan demokratis atau

jalan otiritarian dan apakah pranata kelembagaannya sudah disiapkan apa belum. Sehingga

program Islamiasi ini dianggap tidak jalan, para ideolog dan intelektual pendukung program

ini ternyata tidak siap dengan apa yang mereka dengungkan sebagai pelaksanaan syariat itu.

Misalnya dalam pelaksanaan sitem keuangan Islami, Pakistan termasuk yang tidak berhasil

menerapkannya sekalipun termasuk generasi awal yang mendeklarasikan penghapusan

bunga.49

Berakhirnya rezim militer Zia ul-Haq disusul dengan bangkitnya politik demokrasi pada

tahun 1990-an ditandai oleh mendinginnya retorika Islamisasi. Keadaan ini dirasakan sampai

berakhirnya rezim demokrasi tersebut menyusul kudeta militer di bawah kepemimpinan

Jendral Musharraf tahun 1999.

c. Iran

Pada tahun 1979, Revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini mendirikan

sebuah Republik Islam teokratis dengan nama Republik Islam Iran (جمهوری اسلامی ايران),

setelah ”menggulingkan” kerajaan monarki yang telah berusia 2.500 tahun. 50

Dalam konstitusi Iran dinyatakan bahwa semua keputusan politik harus didasarkan

pada atau tidak boleh bertentangan dengan syariat seperti dipahami dan ditafsirkan oleh

otoritas politik keagamaan, yakni Wilayat al-Faqih. yaitu kekuasaan tertinggi di tangan

seorang ulama yang takwa, adil, mampu memimpin serta disetujui mayoritas umat.51

Lembaga politik keagamaan ini merupakan kekuatan utama bagi legitimasi setiap kebijakan

yang harus dijalankan oleh pemerintah. Seorang Wali al-Faqih tidak duduk dalam jajaran

dewan eksekutif, melainkan lebih bersifat sebagai pembimbing atau pengontrol.

Untuk jajaran eksekutif, kekuasaan tertinggi berada di tangan presiden yang dipilih

langsung oleh rakyat.52 Setelah berdirinya Republik Islam ini, masyarakat nampak semakin

49 Menurut Chapra, Pakistan tidak dapat berperan sebagai contoh Islamisasi yang baik. Ia mendeklarasikan

penghapusan bunga tanpa memastikan dampak dan konsekuensinya. Sehingga, sebagaimana dikutip Chapra

dari Mirakhor, “Perbankan Islam di Pakistan tampaknya berada di simpang jalan…”. Lihat, M.Umer

Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan,

Jakarta: SEBI, 2001, h. 286-293 50 Protes menentang Mohammad Reza Shah Pahlavi (”Shah”) semakin meningkat, dan akhirnya terjadilah

Revolusi Iran. Shah Iran terpaksa melarikan diri ke negara lain setelah kembalinya Imam Khomeini dari

pembuangan pada 1 Februari 1979. Khomeini kemudian mengambil alih kekuasaan, dan membentuk

pemerintahan sementara, pada 11 Februari yang dikepalai Mehdi Bazargan sebagai perdana menteri. Setelah

itu, Khomeini mengadakan pungutan suara untuk membentuk sebuah Republik Islam. Keputusan undian

menunjukkan lebih dari 98% rakyat Iran setuju dengan pembentukan itu. Sistem pemerintahan baru yang

dibentuk berasaskan undang-undang Islam, sayangnya hanya diterapkan sebagian. Sistem politik di Iran

berasaskan konstitusi yang dinamakan "Qanun-e Asasi" (Undang-undang Dasar). Lihat, Asef Bayat, Pos-

Islamisme, Jogjakarta: LKiS, 2011, h. 37-45 51 Wilayah al-Faqih merupakan kelanjutan teori Imamah, yang berasal dari kata wilayat atau waliyan yang

berarti dekat dan memiliki kekuasaan atas sesuatu. Secara teknis, wilayat berarti pemerintahan, supremasi,

atau kedaulatan. Dengan kata lain, kesetiaan kepada pemerintahan Imam untuk memerintah. Sejak akhir

abad-12 H, wilayat menjadi berarti otoritas faqih. Lihat Ahmad Mousawi, ‘Teori Wilayah Faqih: Asal Mula

dan penampilannya Dalam Literatur Hukum Syiah’, dalam Mumtaz Ahmad (edt), Masalah-Masalah Teori

Politik Islam, Bandung: Mizan, 1986, h. 129-147 52 Presiden terpilih Iran adalah Abol Hasan Bani Sadr (1980-1981), Ayatullah Ali Khamenei (1981-1989), Ali

Akbar Hashemi Rafsanjani (1989-1997), Mohammad Khatami (1997-2005), Mahmoud Ahmadinejad (2005-

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

11

jenuh dengan ideologi, dan janji-janji para mullah. Ketidakpuasaan publik semakin meluas,

terutama dikalangan terpelajar kota, dan menuntut perubahan politik menjadi lebih terbuka,

kalau bukan demokratis. Intelektual dan aktivis demokrasi seperti Abdul Karim Soroush,

yang tidak percaya pada otoritas politik keagamaan mullah dan ayatullah, semakin mendapat

tempat di masyarakat terpelajar. Terpilihnya seorang Khatami sebagai presiden untuk dua

masa periode menunjukan ketidakpuasan rakyat atas rezim Islam sebab Presiden Khatami

dikenal sebagai figur moderat, terbuka terhadap dunia luar, dan lebih mengedepankan cara-

cara dialogis dalam merespon aspirasi rakyat yang menuntut politik yang lebih terbuka. Di

bawah Presiden Khatami pula, kaum perempuan kemudian semakin mendapatkan hak-

haknya sebagai waga negara yang setara dengan kaum laki-laki. Begitu juga pada presiden

selanjutnya, baik pada masa Mahmoud Ahmadinejad, maupun presiden sekarang Hassan

Rouhani.53

Karena kuatnya daya ikat simbolik dan kultural Islam dalam kehidupan sosial-politik

republik ini, maka sekarang sedang terjadi perebutan makna dari simbol-simbol Islam itu

antara ulama-ulama konservatif pendukung keberlangsungan syariat Islam melawan para

intelektual dan aktivis demokrasi di negeri tersebut. Dengan kata lain, kelompok yang disebut

belakangan ini pun harus memperjuangkan demokrasi dengan menggunakan simbol-simbol

Islam untuk meyakinkan publik bahwa menjadi seorang muslim yang baik bisa sekaligus

menjadi seorang demokrat.

Perkembangan di Iran menunjukan kepada masyarakat muslim dunia bahwa dari

aspek politik, keterlibatan negara dalam pemberlakuan syariat Islam yang dipahami secara

tradisional dan konservatif tidak serta merta secara realistik membuat sebuah masyarakat

muslim menjadi lebih maslahat. Hal ini nampaknya bangunan relasi antara kelompok mullah

dengan teknokrat-modernis belum terbangun secara baik, sehingga dalam tataran politik

praktis, partisipasi dan keterlibatan warga relatif rendah dan selalu masih terjadinya letupan-

letupan kontra kebijakan yang dibuat oleh para mullah.54

Sedangkan dari aspek ekonomi, kondisi Iran tidak bisa disamakan dengan Pakistan,

Iran relatif lebih memiliki potensi untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi,

infrastruktur yang dibangun relatif baik, dan utang luar negeri serta beban debt servicing

relatif rendah.55

Islamisasi sektor perbankan di Iran dimulai pada bulan Maret 1984 dan terus

mendorong larangan terhadap praktik riba dalam transaksi publik. Walapun demikian, dengan

adanya faktor-faktor yang merusak perkembangan terhadap perekonomian,56 masih terlalu

2013), dan Hassan Rouhani (2013-sekarang). Eko Prasetyo, Inilah Presiden Radikal, Yogyakarta: Resist

Book, 2006, him.. 115-122; dan. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Presiden_Iran. 53 Hassan Rouhani adalah seorang politikus Iran, Mujtahid Syiah, rohaniwan muslim, pengacara, akademisi,

diplomat dan Presiden Iran. Ia dipandang sebagai politikus moderat. Pada 7 Mei 2013, Rouhani mengatakan,

jika terpilih, ia akan mempersiapkan suatu "piagam hak-hak sipil", untuk memulihkan perekonomian dan

meningkatkan hubungan yang selama ini keras dengan Barat. Ia menggantikan Mahmud Ahmadinejad yang

dikenal secara luas sebagai seorang tokoh konservatif yang sangat loyal terhadap nilai-nilai Revolusi Islam

Iran-1979 Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Presiden_Iran. 54 Secara tradisional "elit" ulama (para mullah) mempunyai peranan penting dalam kehidupan politik di Iran.

Sesuai dengan ajaran Syiah yang dianut sebagian besar umat Islam di Iran. Mazhab Syiah secara tegas

menganggap bahwa antara agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Lihat, Sulaiman Kurdi, Peran Elit

Ulama di Negeri Mullah, dalam , Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol 6, No. 1, 2007. 55 M.Umer Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa

Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h. 294-299 56 Sisa-sisa peperangan dengan Irak selama hamper 8 tahun, berakhirnya oil boom pada akhir tahun 1982,

peperangan yang berkepanjangan, sanksi ekonomi yang dikenakan beberapa Negara terutama Amerika

Serikat, khususnya karena persoalan nuklir, pembekuan asset di luar negeri. M.Umer Chapra, The Future

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

12

dini untuk membuat kesimpulan bahwa revolusi Islam Iran telah berhasil dalam ekonomi dan

telah gagal dalam politik, serta demokrasi telah menjadi alternatifnya.

d. Afghanistan

Afghanistan merupakan negara bagian dari Asia Barat. Sejarah mengenai negara

Afghanistan dimulai sejak kedatangan bangsa Persia yang dipimpin oleh pemerintahan

Darius I. Kepemimpinan Emir di Afghanistan mampu membentuk Afghanistan menjadi

kerajaan yang modern. Afghanistan menjadi negara yang meminta bantuan militer ke Uni

Soviet. Hingga pada tahun 1964 Afghanistan mengubah sistem pemerintahannya yang

dipimpin oleh Daoud menjadi Monarki konstitusional yang menerapkan sistem demokrasi

tanpa partai politik dan lebih menguntungkan sang raja.57

Pangeran Daoud memerintah sebagai Perdana Menteri dan memimpin sebagai

Presiden dari tahun 1973 hingga 1978. Pangeran Daoud sendiri dibunuh oleh komunis

Taliban pada tahun 1978.

Pemerintah kemudian diambil alih oleh Burhanudin rabbani hingga akhirnya

dilengserkan oleh Taliban.58

Gerakan Taliban muncul sebagai upaya untuk melakukan pemberontakan terhadap

penjajahan Komunis dan Demokratis. Dua ideologi yang merupakan kreasi dunia bagian

utara ternyata tidak membawa kemakmuran bagi negara yang menganutnya. Hasilnya,

gerakan Islam tumbuh pesat di Timur Tengah. Terutama di Afghanistan, semenjak

kedatangan Uni Soviet tidak membawa kemakmuran hanya membawa penjajahan secara

ideologi, ekonomi, dan politik. Mujahidin lahir dengan merekrut pejuang yang berasal dari

kamp pengungsian dan mengambil senjata tentara Uni Soviet.Mujahidin mampu mengusir

Uni Soviet dari Afghanistan.

Kalau di Iran otoritas politik keagamaan sedang mengalami kemerosotan, maka

fenomena sebaliknya sedang terjadi di Afghanistan masa Taliban. Setelah rezim komunis

tersingkir, muncul kekuatan-kekuatan politik tradisional yang berbasis kesukuan dan

keIslaman tradisional. Secara historis ini dapat dipahami karena otoritas keagamaan

tradisional inilah yang merupakan kekuatan utama untuk memobilisasi rakyat dalam

mengalahkan kekuatan komunis. Karena itu, ketika komunis tersingkir, merekalah yang

kemudian mengisi ruang politik tersebut, dan tentu saja dengan model politik yang mereka

bayangkan, yang mereka anggap baik yaitu politik atas dasar ideologi Islam.

Pada tingkat yang lebih operasional, politik Islam ini adalah tuntutan bagi penegakan

syariat Islam, sebagaimana telah mereka pahami secara harfiah dan secara a-historis dari

tradisi yag panjang. Pemahaman mereka secara “harfiah,” dalam artian bahwa pemahaman

atas syariat Islam yang ada dalam tradisi tersebut dilaksanakan apa adanya, bukan ditangkap

semangatnya, atau tujuanya. Pemahaman tersebut a-historis karena tradisi tersebut tidak

nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h.

295 57 Joseph J. Collins, Understanding War in Afghanistan, Washington: National Defense University Press.

2011. Hal 20 58 Taliban adalah gerakan pemberontakan yang merupakan kelanjutan dari kelompok Mujahidin. Taliban berdiri

pada tahun 1994 yang tetap menjaga pandangan Islam fundamentalis. Taliban merupakan gerakan yang

berasal dari Pakistan yang dari orang-orang cerdas dimana Taliban hadir sebagai penengah pada perang sipil

di Afghanistan pada tahun 1992 hingga 1994. Perang sipil tersebut antara pemegang kekuasaan

pemerintahan Najibbullah yang merupakan pemerintahan boneka Uni Soviet dengan kelompok Mujahidin

yang menguasai Kabul. Taliban memiliki persenjataan yang lengkap sehingga akhirnya dapat maju sebagai

pemerintahan yang berkuasa, Collin, Understanding War in Afghanistan, Ibid.

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

13

diletakkan untuk dalam konteks zamannya, melainkan ditarik begitu saja ke dalam konteks

zaman yang telah berubah. Apa yang muncul ke permukaan adalah pemandangan politik

yang tidak elok, tidak sesuai dengan semangat zaman (zeit geist).

Dengan meletakkan syariat Islam seperti itulah sebuah politik Islam dilaksanakan di

negeri ini. Syariat Islam dilaksanakan, dan bersamaan dengan itu kemaslahatan umat

merosot: perang antara suku dan sekte-sekte Islam, misalnya antara sekte sunni dan syiah

menghebat; ekonomi hancur; harapan hidup merosot tajam; pendidikan terbengkalai;

perempuan menjadi semakin terpasung; dan apalagi masalah hak-hak sipil. Sekarang

Afghanistan telah menjadi salah satu negara termiskin di dunia, dengan angka warga negara

yang hidup kekurangan pangan terbesar di dunia setelah Somalia, dan menjadi negara dengan

tingkat kematian anak-anak terbesar di dunia sekarang ini. Bersamaan dengan itu,

Afghanistan di bawah rezim Taliban merupakan salah satu negara yan paling tidak bebas di

dunia. Ia disejajarkan dengan Arab Saudi, Sudan, Iraq, dan beberapa negara lain.59

e. Sudan

Seperti halnya Afghanistan, Sudan adalah negara muslim yang telah berusaha

memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sosial dan politik negeri tersebut. Penerapan

program Islamisasi di Sudan banyak tergantung pada tingkat kebutuhan kepemimpinan

politik. Pada tahun 1984, misalnya dalam konteks ekonomi, Jendral Numaery

memberitahukan kepada Bank-bank agar dalam dua bulan untuk menerapkan bank Islam

dalam kegiatan usahanya, dengan tanpa persiapan dan perhitungan yang strategis dan

memadai, sehingga pada tahun 1985 berakhir dengan bergantinya pemerintahan.60

Selanjutnya, upaya pemberlakuan syariat Islam diperkenalkan kembali setalah kudeta

militer tahun 1989 di bawah Jendral Umar Hasan Ahmad al-Bashir. Pemerintahan sejak itu

banyak didominasi oleh kombinasi militer dan orang-orang dari Sudan’s National Islamic

Front (NIF), yakni sebuah organisasi Islam yang punya agenda untuk pemberlakuan syariat

Islam dengan menggunakan National Congress Party pimpinan Ibrahim Ahmed Umar di

garis depan.

Syariat Islam historis diterapkan di bawah pemerintahan militer ini. Pemilu diadakan

oleh Pemerintahan ini. Beberapa partai turut partisipasi dalam pemilu tersebut. Di antaranya

yang paling besar adalah National Congress Party (pimpinan umar) dan Popular National

Congress (pimpinan Hasan Al-Turabi).61 Tapi partai-partai ini tidak dilarang sejauh ia tidak

menantang pemerintahan militer Bashir.

Konflik agama dan suku, dan juga konflik antara elit politik, membuat Negara ini

dalam keadaan sulit. Menurut Analisis An-Na’im, pemberlakuan syariat Islam historis

merupakan salah satu sumber masalah tersebut. Bahkan menurut An-Na’im, rezim militer

memberlakukan syariat Islam historis tersebut terhadap warga Negara non-muslim hingga

memunculkan protes-protes dunia internasional.62 Dalam kontek keuangan Islam, Sudan

termasuk salah satu contoh Negara yang tidak progressif dalam pengembangan keuangan

59 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim

Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52

60 M.Umer Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa

Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h. 296 61 Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis, Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, Bandung:

Arasy, 2003 62 Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.183-184

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

14

Islam, - kalau tidak dikatakan contoh yang buruk, karena tidak memiliki dampak positif

dalam kemajuan bank sa tersebut.63

f. Malaysia

Malaysia meraih kemerdekaan pada 31 Agustus 1957. Malaysia adalah sebuah

monarki konstitusional. Kepala negara persekutuan Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong,

biasa disebut Raja Malaysia. Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem

parlementer, yang dipimpin oleh Perdana menteri. Sejak kemerdekaan pada 1957, Malaysia

diperintah oleh koalisi multipartai yang disebut Barisan Nasional.

Malaysia adalah masyarakat multi-agama dan Islam adalah agama resminya. Menurut

definisi konstitusi Malaysia, orang Melayu adalah Muslim (sekitar 50,4 %),

menggunakan Bahasa Melayu, yang menjalankan adat dan budaya Melayu.64

Politik Negara Malaysia relatif demokratis, atau setidak-tidaknya semi-demokratis

untuk kurun waktu yang relatif panjang, sejak negeri ini merdeka dari Inggris, walaupun

dalam perjalanannya sempat terganggu secara sangat serius, terutama karena konflik etnis,

yakni antara etnis Melayu dan etnis Cina.65

Konflik etnis ini merupakan faktor sangat penting yang mempengaruhi demokrasi dan

perkembangan politik syariat Islam di negeri ini. Karena kerusuhan rasial tahun 1696, yakni

antara etnis Melayu dan etnis Cina, demokrasi Malaysia sempat terpotong. Sempat

diberlakukan undang-undang darurat (ISA), yang membatasi partisipasi politik, sebagai

kebijakan untuk menanggulangi konflik etnis tersebut.66

Sadar akan seriusnya pembelahan etnis dan konflik etnis di negeri ini, elite politik

Malaisya membuat semacam koalisi nasional yang memperantarai kekuatan-kekuatan politik

besar,terutama antara UMNO yang mewakili etnis Melayu, Malaysian Chinese Association

(MCA) yang mewakili etnis India, ke dalam apa yang disebut Barisan Nasional (BN). Di satu

sisi, BN ini dapat menjawab masalah konflik sosial-politik di negeri ini, tapi di sisi lain,

kebebasan politik, atau persaingan antara partai politik besar, menjadi terhambat.

Konsekuensinya,UMNO sebagai partai terbesar, terus-menerus mendominasi politik

nasional. Sementara pasangannya di dalam BN tersebut bersikap konservatif dan rasional,

dalam arti bahwa ia bersedia menjadi kekuatan nomor dua dan tiga terus-menerus daripada

bersaing terbuka untuk mendapatkan saingan nomer satu, tapi dengan ongkos dan resiko

ketidakpastian yang lebih besar: memunculkan konflik rasial baru, dan kemungkinan

tersingkir pada posisi lebih buruk dalam politik nasional bila keluar dari BN. Etnis-etnis non-

Melayu tersebut juga bersikap lebih realistik untuk menerima kebijakan Negara yang

diskriminatif dengan memberikan keisimewaan kepada etnis Melayu, terutama dalam apa

yang disebut sebagai New Economic Policy (NEP). Ini dianggap sebagai affirmative action

dalam rangka mengentaskan etnis Melayu dari ketertinggalannya dalam bidang sosial-

ekonomi.

BN ini semakin menguat di bawah kepemimpinan Mahatir Muhammad karena ia

dianggap relatif berhasil menciptakan kemaslahatan nasional.67

63 M.Umer Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa

Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h. 296 64 https://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia# Politik_dan_Pemerintahan 65 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim

Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52 66 ibid 67 Di samping itu, muncul kekuatan-kekuatan di masyarakat yang semakin merasakan pentingnya Islam. Ini

merupakan sumber politik penting bagi kekuatan oposisi di luar BN, yakni Partai Islam Se-Malaisya (PAS),

yang selama ini memainkan sentiment Islam dalam mobilisasi politik mereka dan dalam sikap oposannya

terhadap pemerintah Mahatir. Lagi-lagi BN menjadi jawaban terhadap kekuatan PAS ini. Kehadiran BN

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

15

Dalam konteks pergumulan poitik macam inilah kebijakan-kebijakan Islamisasi oleh

pemerintahan Mahatir dicanangkan dalam dua puluh tahun terkahir ini. Islamisasi ini dalam

bidang hukum pertama-tama berkaitan dengan hukum perdata,misalnya keterlibatan Negara

dalam urusan hukum keluarga (nikah, cerai, warisan, dll.) dan dalam perbankan, misalnya

perbankan Islam.68 Sekarang, hukum pidana Islam seperti hudud juga mulai dipedebatkan,

dan bahkan diupayakan pelaksanaanya di Negara bagian Kelantan melalui apa yang disebut

sebagai Hudud Bill tahun 1993, tapi mendapat tantangan dari pemerintahan federal

(Kamali,2000). Sampai sekarang masalah ini masih terus diperdebatkan.

Kasus perkembangan penerapan syariat Islam di Malaysia, harus difahami dalam

konteks pergumulan politik komunal antara etnis Melayu lawan non-Melayu, pergumulan

antara partai Islam (PAS) dan UMNO, dan hubungan antara etnis Melayu dan Islam.

Islamisasi di negeri ini lebih dirasakan dalam sepuluh tahun terkahir, relatif jauh belakangan

disbanding sukses Malaisya membangun kemaslahatan public, dan membangun politik

relative lebih demokratis di antara Negara-negara muslim di dunia umumnya.

Kasus Malaysia dan kasus-kasus lainnya di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya

tidak ada kaitan antara penerapan syariat Islam dengan kemaslahtan publik. Bahkan dalam

beberapa kasus di atas, penerapan syariat Islam dapat beriringan dengan politik otokratik, dan

dengan pembelengguan terhadap hak-hak perempuan. Jadi, klaim politisi Islam di tanah air

bahwa penerapan syariat Islam sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan suatu

bangsa, upaya untuk menciptakan kemaslahatan publik, untuk sementarabelum ada

contohnya. Apalagi kasis di mana penerapan syariat Islam dilakukan dalam konteks politik

demokratis.

g. Indonesia

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa sekalipun Indonesia sebagai negara yang

mayoritas penduduknya beragama Islam, namun secara konstitusional, Indonesia bukan

Negara Islam. Namun eksistensi syariat/hukum Islam telah membumi bagi sebagian

masyarakat Indonesia, dan dari fakta historis, politik, sosiologis dan hukum positif, Hukum

Islam merupakan bagian dari sistem tata hukum nasional, yang sebagian sudah dimuat dalam

hukum positif, dan akan tetap berperan sebagai faktor penting yang memberikan kontribusi

(contribution factor) dalam pembangunan kodifikasi hukum nasional.69

Menurut Ismail Sunny, hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh

mayoritas masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan

merupakan norma yang menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai

kehidupan masyarakat. Dengan demikian, setelah proklamasi, hukum Islam merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari hukum nasional Indonesia. Dalam pengertian bahwa hukum

Islam merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur yang ada dalam hukum nasional.70

dapat menetralisir ancaman terhadap kekuatan non-muslim dan etnis non-Melayudi satu pihak, tapi BN juga

bisa menjadi masalah bagi UMNO di mata massa Melayu bila terkesan ia mau berkoalisi dengan kekuatan

non-Melayu dan non-Muslim. Masalah ini dipecahkan, terutama dalam kepimimpin Mahatir dengan

mengambil isu-isu andalah PAS untuk menetralisir pengaruh pas di dalam massa Melayu muslim. 68 Malaysia menerbitkan undang-undang perbankan syariah pada tahun 1983 yang disebut dengan Islamic

banking Act 1983. Lihat, Haron, Sudin & Shanmugam Bala, Islamic Banking System Concepts and

Aplication, Subang Jaya Selangor: Pelanduk, 2001 69 Asep Supyadillah, Kedudukan Syariat/Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, makalah FAI-UMJ, 2010 70 Ismail Sunny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987), h.

5-6.

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

16

Namun demikian, upaya formulasi dan legislasi syariat Islam dalam sistem kenegaraan

Indonesia, pasca perjuangan untuk melegislasikan syariat Islam pada Piagam Jakarta, masih

sering terdengar muncul dalam dinamika hubungan Islam dan Negara.71

Menurut Azyumardi Azra, dalam masyarakat Indonesia, syariah telah diterapkan sejak

lama dalam cakupan akidah dan mu’amalah, sedangkan dalam tataran jinayah/jarimah

(criminal law) tidak diterapkan secara serta merta tetapi dipahami dalam konteks tujuan dari

ketentuan jinayah/jarimah tersebut.72

Pemberlakuan Syariah Islam oleh Negara dan kemasalahatan bagi warga Negara

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa syariah Islam orientasi (tujuannya) adalah

membawa kehidupan manusia (warga Negara) memperoleh kemaslahatan dalam

kehidupannya (kabaikian dan kesejahteraan umat manusia). Sejauh manakah pemberlakuan

syariah Islam oleh Negara telah menciptakan kemasalahatan bagi warga Negara? Untuk

mengukur tingkat kemaslahatan ini, sebagai acuan adalah Indeks Pengembangan Manusia

(IPM) atau Human Developemenet Index (HDI).73 Semakin tinggi HDI semakin baik

pembangunan manusianya, dan semakin terbuka peluang untuk sejahtera. Sebaliknya,

semakin rendah HDI, semakin buruk pengembangan manusianya dan semakin rendah

peluang untuk sejahtera.74

Dari penelitian yang dilakukan oleh Yuslam Fauzi,75 berdasarkan data-data HDI

tersebut terhadap Negara-negara muslim (mayoritas muslim) menunjukkan fakta bahwa

tingkat dan potensi kesejahteraan Dunia Islam saat ini sangat menyedihkan. Kesimpulan yang

dikemukakan Yuslam antara lain sbb:

a. Negara-negara Muslim memiliki pengembangan manusia yang berada di bawah rata-rata

Negara non Muslim bahkan Dunia, baik dilihat dari Humen Development Index (HDI),76

Life Expectancy Index (LEI),77 Education Index (EI),78 maupun Income Index.79

71 Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, Jakarta:

Paramadina, 1998; Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta:

Mizan, 2013; Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap

Konsep Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Kencana, 2015 72 Disampaikan pada tanggal 13 Desember 2015 pada acara perkuliahan Islamic Contemporary World, Sekolah

Pasca Sarjana UIN Jakarta. 73 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup (life expectancy

Index), melek huruf dan pendidikan (education index) dan standar hidup (income index) untuk semua negara

seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara

berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi

terhadap kualitas hidup. Semakin tinggi IPM semakin baik pengembangan manusianya dan semakin terbuka

peluang mereka untuk sejahtera. Sebaliknya semakin rendah IPM, semakin baik pengembangan manusianya

dan semakin rendah peluang untuk sejahtera. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/

Indeks_Pembangunan_Manusia, Yuslam Fauzi, Memaknai Kerja, Bandung: Mizan, 2012, h. 176-187 dll 74 Indeks ini ditemukan oleh Dr. Mahbub Al-Haq, ilmuwan Muslim dari Pakistan, yang kemudian digunakan

oleh UNDP (United Nations Development Programs) sejak 1990. 75 Yuslam Fauzi, Memaknai Kerja, Bandung: Mizan, 2012, h. 176-187 76 Menurut Fauzi, perkembangan HDI di negara-negara mayoritas muslim sejak tahun 1980 – 2011 selalu

lebih rendah dibandingkan dengan rerata HDI non- Negara-negara muslim. Bahkan , rerata HDI Negara-

negara muslim ada di bawah rerata HDI dunia. Jika pada tahun 1990, 2000, dan 2011, HDI Negara-negara

muslim rerata sebesar 0,299, 0,381, dan 0,580, maka rerata Negara-negara non-muslim pada tahun yang

sama sebesar 0,403, 0,538, dan 0,686. Sedangkan rerata Dunia adalah 0,594, 0,634, dan 0,682. Adapun

Negara-negara muslim yang masuk dalam 50 peringkat HDI dunia hanya ada 4 negara, yaitu: Uni Emirat

Arab (peringkat 30), Brunei Darussalam (peringkat 33), Qatar (peringkat 37, dan Bahrain (peringkat 42).

Yuslam Fauzi, ibid, h. 179-180 77 Upaya untuk hidup sehat dan umur panjang (angka harapan hidup) ini di Negara-negara muslim hasilnya

tidak jauh berbeda dengan kelompok berdasarkan HDI. Bila dalam HDI terdapat empat Negara, maka untuk

kelompok life expectancy index hanya terdapat 5 negara yang masuk peringkat 50 besar. Negara tersebut

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

17

b. HDI muslim lebih dipengaruhi oleh sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-

renewable natural resoaurces), yaitu minyak dan gas bumi. Sebaliknya HDI non Negara-

negara Muslim justru dipengaruhi oleh penggunaan pengetahuan.

c. Indonesia sebagai Negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia memiliki HDI yang

rendah, utamanya dipengaruhi oleh pendidikan dan pendapatan yang rendah.

Hal yang sama juga ditegaskan Jasser Auda,80 menurutnya berdasarkan laporan

tahunan dari UNDP menunjukkan bahwa IPM atau HDI pada level rendah ditempati oleh

Negara-negara yang dihuni oleh mayoritas muslim. IPM dihitung berdasarkan beberapa

faktor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pendapatan ekonomi. Selain itu, laporan

pembangunan manusia tersebut meliputi aspek-aspek pembangunan lainnya seperti

pemberdayaan kaum wanita dan standar hidup. Beberapa Negara Arab yang makmur,

memiliki ranking luar biasa dalam hal rata-rata pendapatan perkapita, namun menempati

posisi yang rendah dalam hal keadilan, pemberdayaan kaum wanita, partisipasi politik dan

peluang kesetaraan.

PENUTUP

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian syari’ah dalam dunia

Islam mengalami perkembangan. Pengertian syariah dalam cakupan aqidah, fikih ibadah dan

fikih mu’amalah telah diterapkan oleh Negara mayoritas penduduk muslim, namun dalam

tataran jinayah/jarimah sebagaimana dalam fikih, hanya sebagian kecil yang menerapkan.

Penerapan konsep syariah dalam negara, di negara-negara mayoritas muslim, mengalami

keragaman seiring kemajemukan paham, aliran, mazhab, dan golongan dalam menafsirkan

sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Dari pengalaman penerapan

“prinsip Islam” dalam negara oleh negara-negara penduduk muslim, bentuk penerapannya

tidak bersifat tunggal dan monolitik tetapi bersifat plural dan heterogen, sesuai dengan ruang,

waktu dan kondisinya masing-masing negara.

adalah Qatar (peringkat 36), Brunei Darussalam (peringkat 37), Albania (peringkat 42), Maladewa

(peringkat 43), dan Uni Emirat Arab (peringkat 46). Yuslam Fauzi, ibid, h. 181. 78 Untuk kelompok educational index, nagara-negara muslim hasilnya lebih parah dan sangat memprihatinkan.

Hal ini karena tidak ada yang masuk dalam 50 besar. Bilapun diperluas ke dalam 60 besar, hanya ada 1

negara yang masuk, yaitu Bahrain (peringkat 60), dengan penduduk yang hanya 640 ribu jiwa. Bila

dibandingkan Singapura yang penduduknya 706 ribu jiwa, yang penduduknya lebih banyak disbanding

Bahrain, Singapura peringkat education indek-nya berada pada peringkat 26. Yuslam Fauzi, Ibid, h. 182. 79 Untuk kelompok income index, Negara-negara muslim banyak yang masuk dalam peringkat 50 besar, yaitu

sebanyak 7 negara. Negara-negara tersebut adalah Qatar (peringkat 1), UEA (peringkat 3), Kuwait

(peringkat 6), Brunei (peringkat 8), Bahrain (peringkat 28), dan Oman (peringkat 39). Yuslam Fauzi, ibid, h.

183 80 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syariah, Bandung: Mizan, 2008, h. 23

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdallah, Ulil Abshar (dkk), Islam Liberal & Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana,

Jogjakarta: elSAQ Press, 2003.

Abdillah, Masykuri, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap

Konsep Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Kencana, 2015

Ahmad, Mumtaz (edt), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1986

Akram Khan, Muhammad, “The Role of Goverment in the Economy”, dalam The American

Journal of Islamic Social Sciences, Washington. D.C, AMSC/IIIT, 1992.

Al-Amidi, Saifuddin, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967.

Al-Maududi, Abu A’la, Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1991

Al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam as-Sultaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

Al-Qathan, Manna', al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam, t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th.

Al-Turabi, Hasan, Fiqih Demokratis, Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme

Populis, Bandung: Arasy, 2003

An-Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi

Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Yogayakrta: LKiS, 1994

Asad, Muhammad, Minhaj al-Islam fi al-Hukmi, terjemahan Indonesia, Sebuah Kajian

tentang Sistem Pemerintahan Islam, Bandung : Pustaka, 1985

Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syariah, Bandung: Mizan,

2008, h. 23

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga

Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.

Banyar, Hamdan, M, Pertarungan Dalam Demokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel,

Jakarta: UIP,2015.

Bayat, Asef, Pos-Islamisme, Jogjakarta: LKiS, 2011

Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, Chicago: The

University of Chicago Press, 1988.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1986

Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, 2003

Chapra, M.Umer, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru

Perekonomian Masa Depan, Jakarta: SEBI, 2001.

Collins, Joseph J, Understanding War in Afghanistan.Washington: National Defense

University Press. 2011.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995.

Fauzi, Yuslam, Memaknai Kerja, Bandung: Mizan, 2012

Haron, Sudin & Shanmugam Bala, Islamic Banking System Concepts and Aplication, Subang

Jaya Selangor: Pelanduk, 2001

Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Bandung : Pustaka Salman, 1983

Masud, Muhamad Khalid, Islamic Legal Philosophy, a Study of Abu Ishaq al-Ahatibi’s Life

and Thought, Newe Delhi : International Publisher, 1989.

Musa, Muhammad Yusuf, Nizhamul Hukmi Fil Islam, Kairo : Darul Katib al-’Arabiy, 1965.

Nabhan, Muhammad Faruq, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-Shadir, t.th.

Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/

19

Nashir, Haedar, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: Mizan,

2013

Sardar, Ziauddin, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI

Press, 1993

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1986

Sophian, Ainur R. (edt), Etika Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

Sunny, Ismail, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: Universitas Muhammadiyah

jakarta, 1987

Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syariah, Beirut : Dar al-Fikr, tth

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya,

1990

Taimiyah, Ibn, al-Hisbah fi al-Islam aw Wadhifatu al-Hukumiyah al-Islamiyyah, Beirut : Dar

al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992.

Tamara, Nasir (edt), Agama dan Dialog Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996

Zahrah, Muh. Abu, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.