Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
0
PENERAPAN SYARIAH DALAM KONTEKS
NEGARA MODERN DI DUNIA ISLAM
Asep Supyadillah1
ABSTRAK
Penerapan konsep syariah di negara-negara mayoritas muslim, mengalami keragaman
seiring kemajemukan paham, aliran, mazhab, dan golongan dalam menafsirkan sumber-
sumber ajaran Islam. Bentuk keragaman tersebut antara lain terefleksi dalam pandangan
pemikiran politik mengenai hubungan Negara dan Islam yang secara garis besar terdiri
dari aliran tradisional atau intergralistik, aliran sekuler atau reformis-sekuler, dan aliran
reformis-modernis. Dari pengalaman penerapan konsep syariah dalam Negara oleh
Negara-negara penduduk mayoritas muslim seperti Arab Saudi, Republik Islam Pakistan,
Republik Islam Iran, Kerajaan Malaysia, dan Negara Islam Afghanistan di bawah rezim
Taliban, Sudan, dan Indonesia, bentuk penerapannya tidak bersifat tunggal dan monolitik
tetapi bersifat plural dan heterogen, sesuai dengan ruang, waktu dan kondisinya masing-
masing Negara tersebut. Dilihat dari tujuan Negara yang menerapkan “konsep syariah-
Islam” untuk kemaslahatan warga Negara muslim, dalam perspektif Human Development
Index, Life Expectancy Index, Education Index, maupun Income Index, masih di bawah rata-
rata Negara non muslim. Bahkan di beberapa Negara tersebut berkaitan dengan penerapan
keadilan, pemberdayaan kaum wanita, partisipasi politik dan peluang kesetaraan, masih
terbatas.
KATA KUNCI: Syariah, Negara, Muslim, Maslahat, Human Development Index.
PENDAHULUAN
Diskursus penerapan syariah - syariah Islam atau syariat Islam- dalam konteks negara
modern di dunia Islam khususnya telah menjadi perhatian dan penelitian berbagai pihak. Hal
ini menjadi perhatian mengingat syariah Islam, berkenaan dengan keyakinan keagamaan dan
kesempurnaan ajarannya, yang tidak hanya bersifat profan tetapi juga bersifat sakral. Pada
sisi lain, ia juga terus menjadi penelitian karena ia merupakan pemahaman dan pengamalan
dari sebagian mayoritas penduduk di dunia, yang tidak bersifat tunggal dan monolitik tetapi
bersifat plural dan heterogen.
Pergumulan Islam dengan kondisi lingkungan yang tidak tunggal ditambah faktor
realitas kesejarahan masyarakat Islam di berbagai kawasan yang heterogen menghadapkan
masyarakat Islam pada berbagai pilihan corak dalam membumikan ajaran-ajaran Islam.
Secara umum terdapat dua corak pendekatan yang berkembang dalam masyarakat muslim,
yaitu pendekatan yang mengedepankan corak ideal-normatif-ideologis dan kedua
menekankan corak ideal-historis-ideologis.2
1 Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta Prodi Perbankan Syariah. Email:
a_supyadillah@ yahoo.com
2 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pengantar dalam buku Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis
di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 17
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
1
Kedua corak pendekatan tersebut terus mengalami persinggungan dan terus berupaya
mempertahankan eksistensinya masing-masing sesuai dengan keyakinan atau kredo “Islam
adalah solusi” dan “Islam kaffah”. Kredo tersebut pada dasarnya merupakan identitas
primordial yang bersifat fitrah, sehingga kapanpun dan dimanapun akan menempatkan
kebenaran agamanya dalam jantung keyakinannya. Hal ini juga terjadi pada penerapan
syariah dalam kehidupan modern.
Mengingat adanya pendekatan dan pandangan yang berbeda tersebut, maka dalam
tataran penerapannya pun dalam Negara modern, terutama setelah eksisnya “nation state” di
dunia Islam, penerapan syariah tersebut menjadi fakta terjadinya keragaman dalam kesatuan,
keragaman penerapan Islam dalam kesatuan tujuan yaitu mengimplementasikan nilai-nilai
Islam.
Berkenaan dengan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
tulisan ini berkaitan dengan pandangan para ahli terkait hubungan syariah dan Negara.
Apakah penerapan syariah diperlukan suatu negara atau sejauh manakah peranan Negara
dalam menegakkan syariah, dan bagaimanakah keberlangsungan penerapan syariah Islam
oleh negara-negara mayoritas penduduk muslim, serta sejauh manakah pemberlakuan syariah
Islam oleh Negara telah menciptakan kemasalahatan bagi warga Negara?
PEMBAHASAN
Perkembangan dan Keragaman Pengertian Syariah
a. Pengertian Syariah
Secara bahasa, dalam bahasa Arab, kata syari’ah berasal dari akar kata syara'a, yang
memiliki banyak arti, yaitu jalan, cara, dan aturan. Kata tersebut juga diartikan sebagai "jalan
ke tempat keluarnya air untuk minum".3 Kemudian, kata ini dikonotasikan oleh bangsa Arab
sebagai jalan yang lurus yang harus diikuti,4 atau berarti sumber segala kehidupan.5
Secara terminologi, menurut Mahmud Syaltut, syariah adalah ”segala hukum dan
aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi hamba-Nya untuk diikuti, yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah, hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan
antara manusia dengan lingkungan dan kehidupannya." Qathan-Sementara itu, Manna' al 6
mendefiniskan syariah dengan pengertian "segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi
hamba-hambaNya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun mu'amalah".7
Berdasarkan pengertian dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Syariah
merupakan suatu sistem aturan yang didasarkan pada ajaran Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnah)-nya, yang mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik menyangkut
hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan manusia dan alam
lingkungannya.
b. Perkembangan Pengertian Syariah
Dalam wacana pemikiran Islam, istilah “syariah” atau “syariat”, memiliki konotasi
makna yang identik dengan istilah al-Din dan al-Fiqh. Syariat dalam pengertian al-Din
(agama), yaitu keseluruhan ajaran Allah Swt, yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,
3 Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-Shadir, t.th, Jilid VIII, h. 10. 4 Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam, t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th, h. 14. 5 Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987, h. 107. الشريعة هي النظم التي شرعها الله او شرع أصولها ليأخذ الأنسان بها نفسه فى علاقته بربه وعلاقته بأخيه المسلم وعلاقته بأخيه الإنسان 6
ون وعلاقته بالحياتوعلاقته باالك , Lihat Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syariah, Beirut : Dar al-Fikr, tth, h.
15 7 Manna' al-Qathan, al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam , op. cit., h. 15
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
2
meliputi seluruh bidang kehidupan baik bidang akidah, akhlak dan hukum-hukum. Pengertian
syariah yang dipahami identik dengan makna al-Din (agama) ini antara lain didasarkan
kepada firman Allah pada surat al-Maidah / 5 : 48, al-Syura/42:13, dan al-Jatsiyah/45:18.8
Walaupun syariah pada mulanya diartikan dengan al-din (agama), tetapi kemudian ia
dikhususkan untuk hukum ‘amaliyah, sebagaimana dipahami dalam artian al-fiqh,9 yaitu
menyangkut aktivitas manusia secara praktis (tidak termasuk keimanan dan akidah).
Pengkhususan itu untuk membedakan antara agama dengan syari’ah, karena pada hakikatnya
agama itu satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syari’ah berbeda antara satu umat
dengan umat lainnya.10
Kendati syariat merupakan bagian dari ajaran Islam, dalam perkembangannya muncul
pandangan yang menyamakan keduanya, sehingga dikatakan bahwa syariat Islam adalah
ajaran Islam, sebaliknya jika disebutkan ajaran Islam maka itulah syariat Islam. Pendapat lain
mengategorikan syariat sebagai salah satu aspek atau dimensi dari ajaran Islam, yang
mengandung makna terbatas hukum Islam, yakni hal-hal yang menyangkut aturan-aturan
Tuhan secara legal formal, termasuk berkaitan dengan permasalahan dan penerapan pidana
(jinayat/jarimah) seperti pidana hudud, qishash dan diyat.
Pandangan yang terakhir ini makna syari’ah tertuju atau digunakan untuk
menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al-Quran dan
Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad). Dengan demikian
istilah syariah mempunyai arti yang lebih luas dan lebih umum, sedangkan istilah fikih
dipakai oleh para ahli fikih (fuqaha) sebagai ketentuan-ketentuan atau hukum terapan yang
bersifat penjabaran atau pelaksanaan syariah, 11 yang bersifat teknis yang merupakan hasil
interpretasi terhadap syariah (hukum syara'). Walaupun demikian, di Indonesia penggunaan
istilah syariah secara praktis banyak digunakan dalam pengertian fikih atau hukum Islam.12
8 Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut: ”... Untuk setiap umat di antara kamu, kami berikan aturan
(syir’atan) dan jalan yang terang. ... (QS.Al-Maidah/5:48); ”Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu
agama (syara’a lakum minaddin) yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa,
yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya….
(QS.al-Syura/42:13); ”Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari
agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak
mengetahui” (QS.al-Jatsiyah/45:18). 9 Fiqh diartikan sbb: العلم باالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية (Pengetahuan tentang hukum-hukum
syara' yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci); atau ada
yang mengartikan الفقه مخصوص بالعلم الحاصل بجملة من الأحكام الشرعية الفروعيةّ بالنظر والإستدلال (Ilmu tentang
seperangkat hukum syara' yang bersifat cabang ( furu'iyah) yang didapatkan melalui penalaran dan
pengambilan dalil). 10 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990, h.14. 11 Fikih diartikan oleh para ahli Ushul Fikih, di antaranya menurut Abu Zahrah, adalah mengetahui hukum-
hukum syara' yang bersifat 'amaliyah yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci. Menurut Al-Amidi,
fikih berarti "ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat furu'iyah yang didapatkan melalui
penalaran dan istidlal". Lihat Muh. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958, h. 56; Saifuddin
al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967, Jilid I, h. 8. 12 Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal dengan istilah “Prinsip Syariah”, yang berarti
hukum Islam. Lengkapnya adalah sbb: Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 12 UU No 21/2008 ttg Perbankan Syariah); Prinsip Syariah adalah
prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Pasal 1 angka 3 UU No 40/2014 ttg
Perasuransian); dan Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau
pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Pasal 1 angka 6
POJK No.31/POJK.05/2014 ttg Penyeleanggaraan Usaha Pembiayaan Prinsip Syariah).
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
3
Fikih secara garis besar terbagi dalam dua katagori, yaitu fikih ibadah dan fikih muamalah.13
Hubungan Syariah dan Negara
a. Hakekat negara
Secara konvensional, biasanya yang mendasari manusia untuk mendirikan negara
adalah karena mereka merasa hidup dalam suasana kerjasama sekaligus bersifat antagonis
dan penuh pertentangan.14 Untuk itu dianggap perlu ada asosiasi yang menetralisir keadaan
antagonis tersebut dalam hubungannya dengan sesama manusia lain. Asosiasi ini mempunyai
kewenangan mengatur hubungan-hubungan di antara manusia dan dapat mengintegrasikan
dan bahkan membimbing kegiatan-kegiatan sosial penduduknya ke arah tujuan bersama.
Asosiasi ini kemudian disebut dengan negara.15
Negara merupakan alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kewenangan
mengatur, menertibkan, dan mengendalikan hubungan-hubungan di antara mereka sendiri.16
Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan dari
penduduk atau rakyatnya (common good/common well), atau menyelanggarakan masyarakat
adil dan makmur.17 Setiap negara mempunyai organisasi yang berwenang untuk merumuskan
dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam
wilayahnya, yang disebut pemerintah. Pemerintah ini bertindak atas nama negara dan
menyelenggarakan kekuasaan dari negara dengan membuat berbagai kebijakan dan
keputusan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan ke arah tercapainya tujuan-
tujuan masyarakat. Kekuasaan pemerintah biasanya dibagi menjadi kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif.18
Dalam pandangan Islam, manusia di alam ini berkedudukan sebagai agen yang diberi
dan mendapat amanat dari Tuhan untuk memakmurkan dan memelihara alam semesta. Untuk
merealisasikan konsep tersebut, Al-Qur’an menjelaskan perlu adanya sekelompok manusia
yang berproses menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan agar tercipta keadilan dan
hilangnya kezaliman (QS. 3 : 103-104). Menurut Muhammad Asad, untuk mencapai tujuan
tersebut perlu ada instrumen yang dapat mengatur tercapainya sasaran tersebut. Instrumen ini
biasanya dilakukan melalui negara. Negara dijalankan oleh suatu pemerintah yang di
dalamnya ada seorang Imam atau Kepala Negara. Negara itu sendiri bukan merupakan tujuan
melainkan sarana atau alat untuk mencapai tujuan.19 Adapun tujuannya, menurut Muhammad
Asad, adalah “ terwujudnya suatu masyarakat yang selalu mengamalkan kebajikan dan
keadilan, membela kebenaran dan meruntuhkan kebatilan, dengan kata lain, suatu masyarakat
yang berupaya menciptakan satu kondisi sosial yang memberi kemungkinan seluas-lusanya
kepada sebanyak mungkin anggota masyarakat untuk hidup sesuai dengan hukum dan norma
13 Fikih Ibadah merupakan ketentuan yang memberi pedoman dalam melaksanakan kepatuhan seseorang
kepada Tuhan secara vertikal, seperti sholat, puasa, dll. Fikih Muamalah didefinisikan sebagai hukum-
hukum atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan
keduniaan (horisontal), misalnya hukum yang mengatur masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-
lain. 14 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1986), h. 38 15 Ibid, h. 38 & 45 16 Ada beberapa definisi tentang negara dan cukup beragam, Lihat Ibid, h. 39; Soehino, Ilmu Negara,
(Yogyakarta: Liberty, 1986, h, 146 17 Miriam Budiardjo, Ibid, h, 45-46; Soehino, ibid, h. 147-148 18 Miriam Budiardjo, Ibid, h. 44 19 Muhammad Asad, Minhaj al-Islam fi al-Hukmi, terjemahan Indonesia, Sebuah Kajian tentang Sistem
Pemerintahan Islam, (Bandung : Pustaka, 1985 ), h. 60
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
4
moral yang sesuai dengan fitrah yang datang dari Allah Swt, baik aspek spiritual maupun
material”20
Karena dianggap begitu penting instrumen (negara) ini, maka dikalangan para Ulama
ada yang berpendapat bahwa mendirikan atau mengangkat pemimpin negara/pemerintah
hukumnya adalah wajib.21 Hal ini karena menurut al-Mawardi, pemerintah
(Khilafah/Imamah) itu berfungsi sebagai pengganti kedudukan Nabi dalam tugas memelihara
agama dan mengatur dunia.22
b. Tujuan dan fungsi negara
Sebagaimana sekilas dijelaskan di atas, bahwa pendirian negara mempunyai tujuan
dan fungsi atau peranan. Tujuan adalah dunia cita-cita atau adanya sasaran yang hendak
dicapai. Sedangkan fungsi atau peranan menunjukkan dunia riel yang konkrit. Maka fungsi
adalah pelaksanaan dari tujuan yang hendak dicapai. Tujuan negara sebagaimana dijelaskan,
secara umum adalah menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan dari penduduk atau
rakyatnya.23 Dalam prinsip Islam, tujuan negara sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Taimiyah,
adalah terealisasinya syariat (ajaran Islam) di tengah komunitas umat. Sehingga seorang yang
dipercaya memegang kendali pemerintahan harus menjalankan fungsi-fungsi negara sesuai
dengan tujuan negara tersebut.
Adapun fungsi negara, menurut Ibn Taimiyah, adalah menegakkan amar makruf dan
nahi munkar, baik pada kekuasaan yang sifatnya makro seperti kekuasaan sultan, ataupun
pada kekuasaan yang sifatnya mikro seperti kekuasaan polisi, kekuasan hakim, kekuasaan
fiskal dan kekuasaan hisbah.24 Menurut khan, penegakkan amar makruf nahi munkar paralel
dengan upaya mewujudkan terciptanya suatu tertib sosial dan hukum yang adil dimana nilai-
nilai dasar Al-Qur’an dan as-sunnah direalisasikan.25 .
Pemerintah, yang berwenang merumuskan dan melaksanakan kebijakan tersebut,
harus menjalankan fungsi-fungsinya ke arah tercapainya tujuan-tujuan masyarakat, yaitu
mengeluarkan berbagai bentuk perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang
berlandaskan pada amar ma’ruf, yaitu berpedoman pada prinsip kebaikan (al-khair) dan
kesejahteraan (al-falah), serta berkeadilan dan kemakmuran(al-baldah tayyibah). Dan
melakukan nahi munkar, yakni mencegah kepincangan (zalim) dan kerusakan (fasad) yang
disimbolkan dengan istilah Warabbun ghafur (ampunan Ilahi).26
Meskipun amar makruf nahi munkar ini pada awalnya bukan merupakan kewajiban
individu muslim atau kewajiban tersebut bersifat kolektif (fardhu kifayah), namun bisa
menjadi kewajiban personal/individual (fardhu `ain) pada saat tidak ada satupun pihak yang
sanggup melaksanakannya. Dalam hal ini pihak yang mempunyai otoritas dan kompetensi,
seperti negara, merupakan institusi yang paling bertanggungjawab untuk merealisasikannya.27
Oleh karenanya, negara mempunyai peranan penting .
20 Ibid 21 Beberapa pendapat pemikir Islam tentang hal ini, lihat Muhammad Yusuf Musa, Nizhamul Hukmi Fil
Islam, ( Kairo : Darul Katib al-’Arabiy, 1965), h. 15-18; 22 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sultaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 3 23 Miriam Budiardjo, Op. Cit., h. 45 24 Ibn Taimiyah, ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam aw Wadhifatu al-Hukumiyah al-
Islamiyyah, Beirut : Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992 Op. Cit., h. 11. 25 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, (Bandung : Pustaka Salman, 1983), h. 263. 26 Dawam Rahardjo, “ Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dalam
Ainur R. Sophian (edt), Etika Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 124-125. 27 Ibn Taimiyah, Al-Hisbah …, Op. Cit., h. 11
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
5
Adapun fungsi negara secara umum, menurut Miriam Budiardjo, adalah
melaksanakan penertiban (law and order) atau bertindak sebagai “stabilisator”;
mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; menjaga pertahanan (menjaga
kemungkinan serangan dari luar); dan menegakkan keadilan.28 Sedangkan menurut Ibn
Taimiyah, sedikitnya ada lima bentuk fungsi negara dalam menegakkan amar makruf dan
nahi munkar, yaitu 1). pelaksanaan dasar-dasar agama Islam; 2). penegakkan hukum/keadilan
dan perlindungan hak-hak; 3). pemeliharaan ketertiban dan keseimbangan ekonomi; 4).
penyediaan infrastruktur sosial; dan 5). pembelaan keamanan negara.29
Bagaimana wujud UU yang bersifat amar makruf nahi munkar ini? atau dengan
ungkapan lain bagaimana sebuah pemerintah berbuat atau tidak berbuat untuk melaksanakan
tugas dan perannya tersebut ? Jawabannya adalah tergantung pada kerangka sosial yang
dibuat. Dalam masyarakat Islam, secara ideal, jawaban terhadap pertanyaan tersebut berasal
dari teori maslahah. Dimana para yuris menggunakan kata ini untuk menunjukkan
kepentingan umum atau kepentingan manusia pada umumnya.30
c. Negara dalam Konsep Modern
Menurut Bahtiar Effendi, konsep dan praktik negara modern serta konsep demokrasi
tidak tunggal. Unsur-unsur negara dan demokrasi dipengaruhi, dibentuk dan diperkaya oleh
kultur dan struktur yang ada. Dengan kata lain, konsep dan praktik demokrasi modern
digerakkan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat setempat.31
Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Rober A. Dahl, Effendi menjelaskan unsur-
unsur negara modern yang dianggap sebagai negara demokratis adalah ketika ia (1)
menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) mengembangkan pola kehidupan
politik yang kompetitif; (3) dan memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat.
Sedangkan menurut Juan Linz, sebuah politik baru bisa dikatakan demokratis kalau ia (1)
memberi kebebasan bagi masyarakatnya untuk merumuskan preferensi-preferensi politik
mereka, melalui jalur-jalur perikatan, informasi, dan komunikasi; (2) memberikan
kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur, melalui cara-cara damai; dan (3)
tidak melarang siapapun untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada.32 Sedangkan
28 Miriam Budiardjo, Op. cit., h. 46. 29 Ibn Taimiyah, al-Hisbah, Op. Cit.,, h. 9-56; Ibn Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyyah Fi Ishlahi al-Ra’iy wa
al-Ra`iyyah, (Beirut: Dar al-Jail, 1993), h. 28-130. 30 Pengembangan teori maslahah ini dilakukan Hamid al-Ghazali dan Abu Ishaq as-Satibi. Mereka berpendapat
bahwa tujuan akhir dari syariah adalah untuk mengembangkan lebih jauh kemaslahatan ummah. Kedua-
duanya membagi maslahah ke dalam tiga kategori: daruriyah, hajiyah dan tahsiniyah. Daruriyah mengacu
kepada kepentingan agama, jiwa, keturunan, aqal dan harta atau kekayaan. Tugas utama pemerintah adalah
melindungi hal tersebut dari berbagai gangguan dan hambatan apapun. Kepentingan hajiyah dan tahsiniyah
dimaksudkan untuk merubah suatu keadaan ke kondisi yang lebih baik, apakah itu secara sosial atau
ekonomi. Pemerintah dalam hal ini wajib melindungi ketiga kebutuhan tadi karena merupakan kebutuhan
manusia (human needs), terutama kepentingan daruriyah. Jadi ciri pokok maslahah adalah adanya kebaikan
bagi sebagian besar orang. Dalam situasi tersebut, peran dan fungsi pemerintah atau negara adalah membuat
dan melaksanakan kebijakan yang memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat, dan mengeliminir
atau membuang sesuatu yang hanya bermanfaat untuk sebagian kecil masyarakat. Lihat, Muhamad Khalid
Masud, Islamic Legal Philosophy, a Study of Abu Ishaq al-Ahatibi’s Life and Thought, (Newe Delhi :
International Publisher, 1989), h, 225-236; Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), h. 35-47; juga, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos, 1997), h.
125-141; Muhammad Akram Khan, “The Role of Goverment in the Economy”, dalam The American
Journal of Islamic Social Sciences, (Washington. D.C, AMSC/IIIT, 1992), h. 157 31 Bahtiar Effendi, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa Yang memungkinkan”, dalam Nasir Tamara
(edt), Agama dan Dialog Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 88 32 Bahtiar Effendi, ibid, h.89
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
6
Masykuri Abdillah menyimpulkan bahwa demokrasi mengandung unsur-unsur: kekuasaan
mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas, dan bertanggung jawab.33
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pokok negara
modern yang demokratis adalah meliputi adanya (1) proses rekrutmen elit melalui pemilihan
yang jujur dan bebas; dan (2) hak masyarakat untuk memilih. Pelaksanaan dari konsep
demokrasi ini akan menjamin kebebasan untuk berpendapat dan berserikat, adanya
pertanggungjawaban pimpinan terhadap warga negara yang memberikan mandat kepadanya,
dan menjamin kemasalahan bagi warga negaranya.
d. Paham tentang Negara Islam
Di kalangan Muslim terdapat banyak pandangan mengenai hubungan Negara dan
Islam sebagai sebuah konsep dan kenyataan sejarah. Banyaknya pandangan tersebut
menunjukkan adanya keragaman dalam memahami hubungan Islam dan Negara serta dalam
mengontruksi sejarah Nabi dan generasi Muslim sesudahnya. Pandangan tersebut dari waktu
ke waktu terus berkembang sesuai dengan “tafsir” pemikirnya.
Menurut Munawir Sadjali,34 terdapat 3 pandangan muslim tentang negara yang satu
sama lain saling berbeda, yakni:
Aliran Pertama, paham yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama
dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Islam
menurut paham ini, adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dalam Islam terdapat aturan yang
serba lengkap, termasuk mengenai sistem ketatanegaraan atau politik. Sistem negara dalam
Islam harus meneladani sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan Al-
Khulafa Al-Rasyidin. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya kembali pada sistem
ketatanegaraan Islam dan tidak perlu bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.
Tokoh-tokoh utama aliran ini ialah Syaikh Hasan Al-Bana, Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad
Rasyid Ridha, dan Maulana al-Maududi.
Aliran Kedua, kelompok ini menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan, bahwa Nabi Muhammad
hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya dengan tugas tunggal mengajak
manusia kembali pada kehidupan yang mulia untuk menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan
Nabi tidak pernah bertujuan mendirikan dan mengepalai satu negara. Pemikir-pemikir
Muslim aliran kedua ini yang terkemuka ialah Thaha Husein dan Ali Abd Al-Raziq.
Aliran Ketiga, pemikiran ketiga menolak pendapat pertama maupun pendapat kedua.
Menurut aliran ketiga ini bahwa dalam Islam memang tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Tokoh yang cukup
menonjol dari aliran ini ialah Muhammad Husein Haikal.
Pemikiran pertama sering disebut dengan aliran tradisional atau intergralistik.
Aliran kedua disebut dengan kelompok sekuler atau reformis-sekuler. Sedangkan aliran
ketiga disebut reformis atau modernis, atau disebut juga reformis-modernis.35 Ketiga aliran
pemikiran tersebut memiliki pertautan dengan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer.
Ketiga aliran tersebut memiliki pertautan dengan pemikiran Revivalisme Islam, Modernis
Islam, Fundamentalisme Islam, maupun dengan gerakan Salafiyah pada era klasik dan
33 Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep
Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Kencana, 2015, h. 71 34 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993, h. 1;
35 Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 141
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
7
modern, disertai berbagai varian dari berbagai aliran dalam Islam yang pusparagam tersebut.
Sedangkan Haedar Nashir mengelompokkan pendekatan gerakan Islam dalam
membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat terdapat kedalam 3 besar
kelompok/pandangan, yaitu:36
1) Perspektif integralisme Islam sebagaimana tumbuh dalam alam pikiran kaum “Islamis”
seperti Hasan Al-Bana (1906-1949), Sayyid Quthb (1906-1966), Abu A’la Al-Maududi
(1903-1979), dan para aktivis Islam syariat lainnya; yang meyakini dan memahami Islam
sebagai ajaran yang menyeluruh yang harus dipraktikkan dalam segenap dimensi
kehidupan, termasuk dalam dunia politik atau negara.
2) Perspektif dekonstruksionisme, sebagaimana dikembangkan Abdullah Ahmed An-
Na’im,37Mahmud Muhammad Thaha, Muhammad Abid Al-Jabiri, dan kalangan
Neomodernisme seperti Munawir Sadjali di Indonesia dengan gagasan “reaktualisai
ajaran Islam”.; yang memandang pentingnya reformuasi ajaran Islam khususnya syariat
Islam dalam kehidupan kontemporer. Bagi AN-Na’im, syari’at bukanlah keseluruhan
Islam itu sendiri, melainkan hanyalah interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana
dipahami dalam konteks historis tertentu; dan
3) Perspektif gerakan sosial (social movement); yang memosisikan Islam dan Umat Islam
dalam relasi-relasi sosial yang kompleks yang melibatkan aspek-aspek keyakinan,
pengetahuan, organisasi, dan praktik kegamaan yang bertemali dengan situasi
ketegangan struktural dan konflik, peluang-peluang politik, kondisi kultural, dan respon-
respon actual yang dinamis. Dalam perspektif gerakan sosial, bahwa gerakan Islam
dalam kenyataan sosiologisnya tidaklah tunggal, tetapi plural. Kendati Islam diyakini
sebagai ajaran yang mutlak, sakral, sempurna dan menyeluruh bagi umat Muslim,
pemahaman tentang Islam dan aktualisasinya dalam kenyataan hidup para pemeluknya
sering bersifat relatif, partikular, profane (duniawi), dan adanya wilayah perdebatan dan
persengketaan.38
Penerapan Syariah di Negara-Negara Mayoritas Penduduk Islam
Terdapat sejumlah negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, dan
terdapat juga yang hanya menjadikan Islam sebagai salah satu sumber hukum/sumber nilai
dari Negara tersebut. Negara-negara yang masuk kategori pertama antara lain Arab Saudi,
Republik Islam Pakistan, Republik Islam Iran, Kerajaan Malaysia, dan Negara Islam
Afghanistan di bawah rezim Taliban, dan Sudan.39 Sedangkan Negara yang masuk kategori
kedua adalah Indonesia.
Berikut adalah uraian singkat mengenai penerapan syariah oleh Negara-Negara
tersebut.
a. Arab Saudi
Kerjaaan Arab Saudi dibangun lewat suatu persekutuan antara politik dan agama yang
direpresentasikan oleh kepada suku Najd, Muhammad Ibn al-Saud dan keluarganya di pihak
36 Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 32-33,
dan h.78 37 Abdullah Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syriah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan
Hubungan Internasional Dalam Islam, Yogayakrta: LKiS, 1994 38 Haedar Nshir, ibid, h. 98 39 Lihat Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan
Muslim Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52; Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ‘Negara dan Syariat
Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h. 52-80
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
8
politik, dan Muhammad bin Abdul Wahab dan Wahabisme-nya di pihak agama.40 Wujud dari
persekutuan ini adalah dukungan kaum Wahabi terhadap perluasan pengaruh atau kekuasaan
keluarga Al-Saud di satu pihak, dan di pihak lain tekad penguasa menjadikan Arab Saudi
sebagai kerajaan yang didasarkan pada syariat Islam, atau lebih khusus lagi Wahabisme, dan
Negara bertanggungjawab terhadap pelaksanaan syariat Islam tersebut dalam masyarakat dan
politik.41
Dalam kerajaan Saudi Arabia, syariat Islam yang mencakup hukum kriminal
dilaksanakan, dan kerajaan bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Pihak kerajaan
merespon secara negatif ketika muncul aspirasi dari masyarakat agar pelaksanaan kekuasaaan
didasarkan pada konstitusi dalam pengertian modern.42
Di dalam teks UU, Pemerintahan Arab Saudi dinyatakan bahwa hanya al-Quran dan
Sunnah Nabi-lah yang merupakan konstitusi sebenarnya dari suatu masyarakat muslim.
Syariat Islam diberlakukan di Kerjaan Saudi Arabia dalam konteks politik otokrasi, bukan
dalam konteks demokrasi43.
Dalam strukturnya, otoritas agama, yakni ulama, menjadi penasihat bidang syariat Islam
di kerajaan. Hubungan antara dua otoritas ini, otoritas agama dan otoritas publik, tidak
dirumuskan ke dalam suatu konstitusi yang kepadanya penguasa tunduk dalam melaksanakan
kekuasaannya. Hubungan tersebut lebih didasarkan atas komitmen personal keluarga kerajaan
terhadap pendapat-pendapat atau nasihat ulama. Dalam kerajaan Arab Saudi, syariat Islam
yang mencakup hukum kriminal dilaksanakan, dan kerajaan bertanggung jawab atas
pelaksanaanya.
Ketika belakangan muncul aspirasi dari masyarakat yang menghendaki agar
pelaksanaan kekuasaan didasarkan pada konstitusi dalam pengertian modern, maka pihak
kerajaan meresponnya secara negatif dan dengan dalih bahwa : “ kerajaan telah membangun
sebuah program politik yang jelas yang dapat diringkas dalam “iman dan syariat” (Eickelman
dan Piscatori,1996). Di dalam teks undang-undang pemerintahan Arab Saudi (1992)
dinyatakan bahwa “pemerintah tidak membuat konstitusi (dustur) karena hanya al-Quran dan
sunnah Nabi-lah yang merupakan konstitusi sebenernya dari suatu masyarakat muslim.
Sistem politik adalah monarki, tetapi pemerintah mendapat otoritasnya dari Kitab Allah
yang Maha Besar dan Sunnah Nabi-nya, negara melindungi kredo Islam, negara menerapkan
syariatnya; negara memerintahkan rakyat untuk melakukan kebaikan dan mencegah
kejahatan; negara memenuhi kewajiban untuk berdakwah….” (eickelman dan piscatori,
1996).
Secara keseluruhan, syariat Islam diberlakukan di negeri ini dalam konteks politik
otokrasi, bukan dalam konteks demokrasi. Kalaupun tingkat kriminalitas di negeri ini rendah,
maka hal itu terkait dengan watak rezim otoritarian seperti Singapura, negara-negara
komunis, dll. Kasus kerajaan Arab Saudi juga merupakan contoh dimana penyerapan syariat
Islam berdampingan dengan politik non-demokrasi.44
40 Gerakan wahabiyyah dilekatkan dengan Muhammad bi Abdul Wahhab (1703-1792 M), yang dianggap
sebagai gerakan revivalis. Pengikut gerakan ini disebut dengan Wahabi, dan gerakannya disebut
“Wahabisme” atau “Wahabiyyah” atau “fundamentalisme Islam” atau “pelopor gerakan salafiyah”. Gerakan
Wahabi secara tegas dan keras menolak sinkretisme kaum sufi dan tradisional yang membawa praktik agama
yang bersifat syirik dan politeistik, seraya menggelorakan gerakan menegakkan tauhid atau monoteisme. 41 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52; Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia, Jakarta: Mizan, 2013, h. 188 42 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52 43 ibid 44 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
9
Karakter dasar ekonomi KSA bertumpu pada ekspor hasil bumi seperti minyak, bukan
pada pajak dari masyarakat. Pendapatan negara dari ekspor hasil bumi tersebut digunakan
antara lain untuk memberikan tunjangan sosial oleh Negara kepada masyarakat, dan
masyarakat tidak dibebani untuk membayar pajak. Dalam pola ekonomi-politik macam ini,
tidak ada insentif bagi masyarakat untuk menuntut negara, untuk berpartisipasi dalam proses
politik. Karena itu, untuk kasus Arab Saudi ini, partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi
relatif sangat terbatas.
Hal ini tidak berarti agama termasuk intensitas penerapan syariat Islam, sama sekali
tidak menyumbang terhadap tidak tumbuhnya demokrasi di negara tersebut. Yang
nampaknya realistik untuk dikemukakan adalah bahwa terbatasnya partisipasi masyarakat
dalam kehidupan bernegara, termasuk intensitas penerapan syariat Islam secara monolitik,
menyumbang terhadap tidak dinamisnya demokrasi di negeri ini.
b. Pakistan
Pakistan berdiri sebagai Negara pada 15 Agustus 1947 di bawah pimpinan Muhammad
Ali Jinnah, seorang tokoh Liga Muslim.45 Pakistan secara resmi menyatakan sebagai negara
Islam. Untuk mengisi konstitusi dan mengimplementasi konsep “negara Islam" ini, terus
menerus menjadi perdebatan dikalangan intelektual dan politisi negeri ini. Intelektual paling
depan dari konsep negara Islam ini, yakni Abdul A’la Al-Maududi. Ia telah berusaha keras
mengawinkan “demokrasi” dan sistem politik Islam, dengan konsep Teokrasi.46 Dalam
konsep ini, partisipasi masyarakat muslim menjadi penting, tapi pada dasarnya untuk
menerima atau menolak keputusan-keputusan yang dibuat oleh ahli agama Islam, atau ulama,
bukan untuk merumuskan sendiri lewat persaingan jabatan publik secara terbuka, lepas dari
keIslaman seorang warga negara, apa yang baik atau maslahat bagi publik. Karena itu, ulama
dalam konsep ini, punya posisi politik yang istimewa, yang tak bisa disaingi oleh warga
negara yang tidak punya otoritas di bidang keagamaan.
Dalam praktiknya, ini tidak mudah dilaksanakan. Partai Maududi sendiri, Jama’at
Islami,47 tidak mendapatkan dukungan berarti dari masyarakat muslim Pakistan. Partai-partai
yang tidak punya agenda khusus untuk program Islamisasi Pakistan seperti Liga Muslim
Pakistan dan Partai Rakyat Pakistan justru jauh lebih popular di mata warga Pakistan. Dalam
pemilihan umum demokratis pertama di awal tahun 1970-an, Partai Rakyat Pakistan di bawah
Zulfikar Ali Bhutto memenangkan pemilu tersebut, dan partai-partai lain, termasuk Partai
Jama’at Islami, kemudian menjadi oposisi. Pemerintahan demokrati Bhutto sendiri kemudian
dikudeta oleh Militer di bawah Jenderal Ziaul Haq dan Jenderal ini kemudian memimpin
Pakistan sampai ia terbunuh.48
45 Pakistan lahir sebagai akibat dari pembedahan jazirah India menjadi 2 negara, yang satu India sebagai negara
nasional sekuler, dan yang lain Pakistan sebagai negara agama. Semula Jinnah adalah anggota Congress
National yang memperjuangkan India merdeka dan bersatu mengatasi perbedaan agama, bahasa, ethnis dan
sebagainya. Namun, karena adanya rasa saling curiga yang muncul akibat primordialisme, pada tahun 1940-
an Ali Jinnah mulai memperjuangkan lahirnya suatu negara Muslim di Pakistan, lepas dari bagian-bagian
lain Jazirah India. Lihat: https://dhurorudin.wordpress.com/2015/01/25/politik-Islam-pakistan-2-dari-4-
tulisan/ 46 Abu A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1991 47 Jama’at Islami didirikan pada 21 Agustus 1941 oleh Abu A’la Al-Maududi dan dibubarkan pada tahun 1958
oleh rezim pemerintahan Pakistan di bawah kekuasaan Jendral Muhammad Ayub Khan. Tujuan pendirian
parati ini menurut Anggran Dasarnya adalah “ menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi” dan “
menjadikan Islam sebagai sistem dan jalan hidup di atas dunia”. Lihat Heidar Nashir, op. cit., h. 199-201 48 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
10
Pada masa rezim otoritarian Zia ul-Haq inilah program Islamisasi Pakistan pada bulan
Juli 1979 menjadi agenda politik nasional amat menonjol dengan dukungan terutama dari
kelompok Jama’at Islami. Ini mengindikasian bahwa para pendukung Islamisasi Pakistan,
termasuk di dalamnya pemberlakuan syariat Islam, pada dasarnya tidak memperdulikan
apakah jalan yang digunakan untuk mencapai tujuannya tersebut lewat jalan demokratis atau
jalan otiritarian dan apakah pranata kelembagaannya sudah disiapkan apa belum. Sehingga
program Islamiasi ini dianggap tidak jalan, para ideolog dan intelektual pendukung program
ini ternyata tidak siap dengan apa yang mereka dengungkan sebagai pelaksanaan syariat itu.
Misalnya dalam pelaksanaan sitem keuangan Islami, Pakistan termasuk yang tidak berhasil
menerapkannya sekalipun termasuk generasi awal yang mendeklarasikan penghapusan
bunga.49
Berakhirnya rezim militer Zia ul-Haq disusul dengan bangkitnya politik demokrasi pada
tahun 1990-an ditandai oleh mendinginnya retorika Islamisasi. Keadaan ini dirasakan sampai
berakhirnya rezim demokrasi tersebut menyusul kudeta militer di bawah kepemimpinan
Jendral Musharraf tahun 1999.
c. Iran
Pada tahun 1979, Revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini mendirikan
sebuah Republik Islam teokratis dengan nama Republik Islam Iran (جمهوری اسلامی ايران),
setelah ”menggulingkan” kerajaan monarki yang telah berusia 2.500 tahun. 50
Dalam konstitusi Iran dinyatakan bahwa semua keputusan politik harus didasarkan
pada atau tidak boleh bertentangan dengan syariat seperti dipahami dan ditafsirkan oleh
otoritas politik keagamaan, yakni Wilayat al-Faqih. yaitu kekuasaan tertinggi di tangan
seorang ulama yang takwa, adil, mampu memimpin serta disetujui mayoritas umat.51
Lembaga politik keagamaan ini merupakan kekuatan utama bagi legitimasi setiap kebijakan
yang harus dijalankan oleh pemerintah. Seorang Wali al-Faqih tidak duduk dalam jajaran
dewan eksekutif, melainkan lebih bersifat sebagai pembimbing atau pengontrol.
Untuk jajaran eksekutif, kekuasaan tertinggi berada di tangan presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat.52 Setelah berdirinya Republik Islam ini, masyarakat nampak semakin
49 Menurut Chapra, Pakistan tidak dapat berperan sebagai contoh Islamisasi yang baik. Ia mendeklarasikan
penghapusan bunga tanpa memastikan dampak dan konsekuensinya. Sehingga, sebagaimana dikutip Chapra
dari Mirakhor, “Perbankan Islam di Pakistan tampaknya berada di simpang jalan…”. Lihat, M.Umer
Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan,
Jakarta: SEBI, 2001, h. 286-293 50 Protes menentang Mohammad Reza Shah Pahlavi (”Shah”) semakin meningkat, dan akhirnya terjadilah
Revolusi Iran. Shah Iran terpaksa melarikan diri ke negara lain setelah kembalinya Imam Khomeini dari
pembuangan pada 1 Februari 1979. Khomeini kemudian mengambil alih kekuasaan, dan membentuk
pemerintahan sementara, pada 11 Februari yang dikepalai Mehdi Bazargan sebagai perdana menteri. Setelah
itu, Khomeini mengadakan pungutan suara untuk membentuk sebuah Republik Islam. Keputusan undian
menunjukkan lebih dari 98% rakyat Iran setuju dengan pembentukan itu. Sistem pemerintahan baru yang
dibentuk berasaskan undang-undang Islam, sayangnya hanya diterapkan sebagian. Sistem politik di Iran
berasaskan konstitusi yang dinamakan "Qanun-e Asasi" (Undang-undang Dasar). Lihat, Asef Bayat, Pos-
Islamisme, Jogjakarta: LKiS, 2011, h. 37-45 51 Wilayah al-Faqih merupakan kelanjutan teori Imamah, yang berasal dari kata wilayat atau waliyan yang
berarti dekat dan memiliki kekuasaan atas sesuatu. Secara teknis, wilayat berarti pemerintahan, supremasi,
atau kedaulatan. Dengan kata lain, kesetiaan kepada pemerintahan Imam untuk memerintah. Sejak akhir
abad-12 H, wilayat menjadi berarti otoritas faqih. Lihat Ahmad Mousawi, ‘Teori Wilayah Faqih: Asal Mula
dan penampilannya Dalam Literatur Hukum Syiah’, dalam Mumtaz Ahmad (edt), Masalah-Masalah Teori
Politik Islam, Bandung: Mizan, 1986, h. 129-147 52 Presiden terpilih Iran adalah Abol Hasan Bani Sadr (1980-1981), Ayatullah Ali Khamenei (1981-1989), Ali
Akbar Hashemi Rafsanjani (1989-1997), Mohammad Khatami (1997-2005), Mahmoud Ahmadinejad (2005-
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
11
jenuh dengan ideologi, dan janji-janji para mullah. Ketidakpuasaan publik semakin meluas,
terutama dikalangan terpelajar kota, dan menuntut perubahan politik menjadi lebih terbuka,
kalau bukan demokratis. Intelektual dan aktivis demokrasi seperti Abdul Karim Soroush,
yang tidak percaya pada otoritas politik keagamaan mullah dan ayatullah, semakin mendapat
tempat di masyarakat terpelajar. Terpilihnya seorang Khatami sebagai presiden untuk dua
masa periode menunjukan ketidakpuasan rakyat atas rezim Islam sebab Presiden Khatami
dikenal sebagai figur moderat, terbuka terhadap dunia luar, dan lebih mengedepankan cara-
cara dialogis dalam merespon aspirasi rakyat yang menuntut politik yang lebih terbuka. Di
bawah Presiden Khatami pula, kaum perempuan kemudian semakin mendapatkan hak-
haknya sebagai waga negara yang setara dengan kaum laki-laki. Begitu juga pada presiden
selanjutnya, baik pada masa Mahmoud Ahmadinejad, maupun presiden sekarang Hassan
Rouhani.53
Karena kuatnya daya ikat simbolik dan kultural Islam dalam kehidupan sosial-politik
republik ini, maka sekarang sedang terjadi perebutan makna dari simbol-simbol Islam itu
antara ulama-ulama konservatif pendukung keberlangsungan syariat Islam melawan para
intelektual dan aktivis demokrasi di negeri tersebut. Dengan kata lain, kelompok yang disebut
belakangan ini pun harus memperjuangkan demokrasi dengan menggunakan simbol-simbol
Islam untuk meyakinkan publik bahwa menjadi seorang muslim yang baik bisa sekaligus
menjadi seorang demokrat.
Perkembangan di Iran menunjukan kepada masyarakat muslim dunia bahwa dari
aspek politik, keterlibatan negara dalam pemberlakuan syariat Islam yang dipahami secara
tradisional dan konservatif tidak serta merta secara realistik membuat sebuah masyarakat
muslim menjadi lebih maslahat. Hal ini nampaknya bangunan relasi antara kelompok mullah
dengan teknokrat-modernis belum terbangun secara baik, sehingga dalam tataran politik
praktis, partisipasi dan keterlibatan warga relatif rendah dan selalu masih terjadinya letupan-
letupan kontra kebijakan yang dibuat oleh para mullah.54
Sedangkan dari aspek ekonomi, kondisi Iran tidak bisa disamakan dengan Pakistan,
Iran relatif lebih memiliki potensi untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi,
infrastruktur yang dibangun relatif baik, dan utang luar negeri serta beban debt servicing
relatif rendah.55
Islamisasi sektor perbankan di Iran dimulai pada bulan Maret 1984 dan terus
mendorong larangan terhadap praktik riba dalam transaksi publik. Walapun demikian, dengan
adanya faktor-faktor yang merusak perkembangan terhadap perekonomian,56 masih terlalu
2013), dan Hassan Rouhani (2013-sekarang). Eko Prasetyo, Inilah Presiden Radikal, Yogyakarta: Resist
Book, 2006, him.. 115-122; dan. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Presiden_Iran. 53 Hassan Rouhani adalah seorang politikus Iran, Mujtahid Syiah, rohaniwan muslim, pengacara, akademisi,
diplomat dan Presiden Iran. Ia dipandang sebagai politikus moderat. Pada 7 Mei 2013, Rouhani mengatakan,
jika terpilih, ia akan mempersiapkan suatu "piagam hak-hak sipil", untuk memulihkan perekonomian dan
meningkatkan hubungan yang selama ini keras dengan Barat. Ia menggantikan Mahmud Ahmadinejad yang
dikenal secara luas sebagai seorang tokoh konservatif yang sangat loyal terhadap nilai-nilai Revolusi Islam
Iran-1979 Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Presiden_Iran. 54 Secara tradisional "elit" ulama (para mullah) mempunyai peranan penting dalam kehidupan politik di Iran.
Sesuai dengan ajaran Syiah yang dianut sebagian besar umat Islam di Iran. Mazhab Syiah secara tegas
menganggap bahwa antara agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Lihat, Sulaiman Kurdi, Peran Elit
Ulama di Negeri Mullah, dalam , Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol 6, No. 1, 2007. 55 M.Umer Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa
Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h. 294-299 56 Sisa-sisa peperangan dengan Irak selama hamper 8 tahun, berakhirnya oil boom pada akhir tahun 1982,
peperangan yang berkepanjangan, sanksi ekonomi yang dikenakan beberapa Negara terutama Amerika
Serikat, khususnya karena persoalan nuklir, pembekuan asset di luar negeri. M.Umer Chapra, The Future
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
12
dini untuk membuat kesimpulan bahwa revolusi Islam Iran telah berhasil dalam ekonomi dan
telah gagal dalam politik, serta demokrasi telah menjadi alternatifnya.
d. Afghanistan
Afghanistan merupakan negara bagian dari Asia Barat. Sejarah mengenai negara
Afghanistan dimulai sejak kedatangan bangsa Persia yang dipimpin oleh pemerintahan
Darius I. Kepemimpinan Emir di Afghanistan mampu membentuk Afghanistan menjadi
kerajaan yang modern. Afghanistan menjadi negara yang meminta bantuan militer ke Uni
Soviet. Hingga pada tahun 1964 Afghanistan mengubah sistem pemerintahannya yang
dipimpin oleh Daoud menjadi Monarki konstitusional yang menerapkan sistem demokrasi
tanpa partai politik dan lebih menguntungkan sang raja.57
Pangeran Daoud memerintah sebagai Perdana Menteri dan memimpin sebagai
Presiden dari tahun 1973 hingga 1978. Pangeran Daoud sendiri dibunuh oleh komunis
Taliban pada tahun 1978.
Pemerintah kemudian diambil alih oleh Burhanudin rabbani hingga akhirnya
dilengserkan oleh Taliban.58
Gerakan Taliban muncul sebagai upaya untuk melakukan pemberontakan terhadap
penjajahan Komunis dan Demokratis. Dua ideologi yang merupakan kreasi dunia bagian
utara ternyata tidak membawa kemakmuran bagi negara yang menganutnya. Hasilnya,
gerakan Islam tumbuh pesat di Timur Tengah. Terutama di Afghanistan, semenjak
kedatangan Uni Soviet tidak membawa kemakmuran hanya membawa penjajahan secara
ideologi, ekonomi, dan politik. Mujahidin lahir dengan merekrut pejuang yang berasal dari
kamp pengungsian dan mengambil senjata tentara Uni Soviet.Mujahidin mampu mengusir
Uni Soviet dari Afghanistan.
Kalau di Iran otoritas politik keagamaan sedang mengalami kemerosotan, maka
fenomena sebaliknya sedang terjadi di Afghanistan masa Taliban. Setelah rezim komunis
tersingkir, muncul kekuatan-kekuatan politik tradisional yang berbasis kesukuan dan
keIslaman tradisional. Secara historis ini dapat dipahami karena otoritas keagamaan
tradisional inilah yang merupakan kekuatan utama untuk memobilisasi rakyat dalam
mengalahkan kekuatan komunis. Karena itu, ketika komunis tersingkir, merekalah yang
kemudian mengisi ruang politik tersebut, dan tentu saja dengan model politik yang mereka
bayangkan, yang mereka anggap baik yaitu politik atas dasar ideologi Islam.
Pada tingkat yang lebih operasional, politik Islam ini adalah tuntutan bagi penegakan
syariat Islam, sebagaimana telah mereka pahami secara harfiah dan secara a-historis dari
tradisi yag panjang. Pemahaman mereka secara “harfiah,” dalam artian bahwa pemahaman
atas syariat Islam yang ada dalam tradisi tersebut dilaksanakan apa adanya, bukan ditangkap
semangatnya, atau tujuanya. Pemahaman tersebut a-historis karena tradisi tersebut tidak
nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h.
295 57 Joseph J. Collins, Understanding War in Afghanistan, Washington: National Defense University Press.
2011. Hal 20 58 Taliban adalah gerakan pemberontakan yang merupakan kelanjutan dari kelompok Mujahidin. Taliban berdiri
pada tahun 1994 yang tetap menjaga pandangan Islam fundamentalis. Taliban merupakan gerakan yang
berasal dari Pakistan yang dari orang-orang cerdas dimana Taliban hadir sebagai penengah pada perang sipil
di Afghanistan pada tahun 1992 hingga 1994. Perang sipil tersebut antara pemegang kekuasaan
pemerintahan Najibbullah yang merupakan pemerintahan boneka Uni Soviet dengan kelompok Mujahidin
yang menguasai Kabul. Taliban memiliki persenjataan yang lengkap sehingga akhirnya dapat maju sebagai
pemerintahan yang berkuasa, Collin, Understanding War in Afghanistan, Ibid.
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
13
diletakkan untuk dalam konteks zamannya, melainkan ditarik begitu saja ke dalam konteks
zaman yang telah berubah. Apa yang muncul ke permukaan adalah pemandangan politik
yang tidak elok, tidak sesuai dengan semangat zaman (zeit geist).
Dengan meletakkan syariat Islam seperti itulah sebuah politik Islam dilaksanakan di
negeri ini. Syariat Islam dilaksanakan, dan bersamaan dengan itu kemaslahatan umat
merosot: perang antara suku dan sekte-sekte Islam, misalnya antara sekte sunni dan syiah
menghebat; ekonomi hancur; harapan hidup merosot tajam; pendidikan terbengkalai;
perempuan menjadi semakin terpasung; dan apalagi masalah hak-hak sipil. Sekarang
Afghanistan telah menjadi salah satu negara termiskin di dunia, dengan angka warga negara
yang hidup kekurangan pangan terbesar di dunia setelah Somalia, dan menjadi negara dengan
tingkat kematian anak-anak terbesar di dunia sekarang ini. Bersamaan dengan itu,
Afghanistan di bawah rezim Taliban merupakan salah satu negara yan paling tidak bebas di
dunia. Ia disejajarkan dengan Arab Saudi, Sudan, Iraq, dan beberapa negara lain.59
e. Sudan
Seperti halnya Afghanistan, Sudan adalah negara muslim yang telah berusaha
memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sosial dan politik negeri tersebut. Penerapan
program Islamisasi di Sudan banyak tergantung pada tingkat kebutuhan kepemimpinan
politik. Pada tahun 1984, misalnya dalam konteks ekonomi, Jendral Numaery
memberitahukan kepada Bank-bank agar dalam dua bulan untuk menerapkan bank Islam
dalam kegiatan usahanya, dengan tanpa persiapan dan perhitungan yang strategis dan
memadai, sehingga pada tahun 1985 berakhir dengan bergantinya pemerintahan.60
Selanjutnya, upaya pemberlakuan syariat Islam diperkenalkan kembali setalah kudeta
militer tahun 1989 di bawah Jendral Umar Hasan Ahmad al-Bashir. Pemerintahan sejak itu
banyak didominasi oleh kombinasi militer dan orang-orang dari Sudan’s National Islamic
Front (NIF), yakni sebuah organisasi Islam yang punya agenda untuk pemberlakuan syariat
Islam dengan menggunakan National Congress Party pimpinan Ibrahim Ahmed Umar di
garis depan.
Syariat Islam historis diterapkan di bawah pemerintahan militer ini. Pemilu diadakan
oleh Pemerintahan ini. Beberapa partai turut partisipasi dalam pemilu tersebut. Di antaranya
yang paling besar adalah National Congress Party (pimpinan umar) dan Popular National
Congress (pimpinan Hasan Al-Turabi).61 Tapi partai-partai ini tidak dilarang sejauh ia tidak
menantang pemerintahan militer Bashir.
Konflik agama dan suku, dan juga konflik antara elit politik, membuat Negara ini
dalam keadaan sulit. Menurut Analisis An-Na’im, pemberlakuan syariat Islam historis
merupakan salah satu sumber masalah tersebut. Bahkan menurut An-Na’im, rezim militer
memberlakukan syariat Islam historis tersebut terhadap warga Negara non-muslim hingga
memunculkan protes-protes dunia internasional.62 Dalam kontek keuangan Islam, Sudan
termasuk salah satu contoh Negara yang tidak progressif dalam pengembangan keuangan
59 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52
60 M.Umer Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa
Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h. 296 61 Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis, Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, Bandung:
Arasy, 2003 62 Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.183-184
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
14
Islam, - kalau tidak dikatakan contoh yang buruk, karena tidak memiliki dampak positif
dalam kemajuan bank sa tersebut.63
f. Malaysia
Malaysia meraih kemerdekaan pada 31 Agustus 1957. Malaysia adalah sebuah
monarki konstitusional. Kepala negara persekutuan Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong,
biasa disebut Raja Malaysia. Sistem pemerintahan di Malaysia bermodelkan sistem
parlementer, yang dipimpin oleh Perdana menteri. Sejak kemerdekaan pada 1957, Malaysia
diperintah oleh koalisi multipartai yang disebut Barisan Nasional.
Malaysia adalah masyarakat multi-agama dan Islam adalah agama resminya. Menurut
definisi konstitusi Malaysia, orang Melayu adalah Muslim (sekitar 50,4 %),
menggunakan Bahasa Melayu, yang menjalankan adat dan budaya Melayu.64
Politik Negara Malaysia relatif demokratis, atau setidak-tidaknya semi-demokratis
untuk kurun waktu yang relatif panjang, sejak negeri ini merdeka dari Inggris, walaupun
dalam perjalanannya sempat terganggu secara sangat serius, terutama karena konflik etnis,
yakni antara etnis Melayu dan etnis Cina.65
Konflik etnis ini merupakan faktor sangat penting yang mempengaruhi demokrasi dan
perkembangan politik syariat Islam di negeri ini. Karena kerusuhan rasial tahun 1696, yakni
antara etnis Melayu dan etnis Cina, demokrasi Malaysia sempat terpotong. Sempat
diberlakukan undang-undang darurat (ISA), yang membatasi partisipasi politik, sebagai
kebijakan untuk menanggulangi konflik etnis tersebut.66
Sadar akan seriusnya pembelahan etnis dan konflik etnis di negeri ini, elite politik
Malaisya membuat semacam koalisi nasional yang memperantarai kekuatan-kekuatan politik
besar,terutama antara UMNO yang mewakili etnis Melayu, Malaysian Chinese Association
(MCA) yang mewakili etnis India, ke dalam apa yang disebut Barisan Nasional (BN). Di satu
sisi, BN ini dapat menjawab masalah konflik sosial-politik di negeri ini, tapi di sisi lain,
kebebasan politik, atau persaingan antara partai politik besar, menjadi terhambat.
Konsekuensinya,UMNO sebagai partai terbesar, terus-menerus mendominasi politik
nasional. Sementara pasangannya di dalam BN tersebut bersikap konservatif dan rasional,
dalam arti bahwa ia bersedia menjadi kekuatan nomor dua dan tiga terus-menerus daripada
bersaing terbuka untuk mendapatkan saingan nomer satu, tapi dengan ongkos dan resiko
ketidakpastian yang lebih besar: memunculkan konflik rasial baru, dan kemungkinan
tersingkir pada posisi lebih buruk dalam politik nasional bila keluar dari BN. Etnis-etnis non-
Melayu tersebut juga bersikap lebih realistik untuk menerima kebijakan Negara yang
diskriminatif dengan memberikan keisimewaan kepada etnis Melayu, terutama dalam apa
yang disebut sebagai New Economic Policy (NEP). Ini dianggap sebagai affirmative action
dalam rangka mengentaskan etnis Melayu dari ketertinggalannya dalam bidang sosial-
ekonomi.
BN ini semakin menguat di bawah kepemimpinan Mahatir Muhammad karena ia
dianggap relatif berhasil menciptakan kemaslahatan nasional.67
63 M.Umer Chapra, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru Perekonomian Masa
Depan, Jakarta: SEBI, 2001, h. 296 64 https://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia# Politik_dan_Pemerintahan 65 Saiful Mujani, ` Syariat Dalam Perdebatan` dalam Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal, Jakarta: JIL, 2003, h.19- 52 66 ibid 67 Di samping itu, muncul kekuatan-kekuatan di masyarakat yang semakin merasakan pentingnya Islam. Ini
merupakan sumber politik penting bagi kekuatan oposisi di luar BN, yakni Partai Islam Se-Malaisya (PAS),
yang selama ini memainkan sentiment Islam dalam mobilisasi politik mereka dan dalam sikap oposannya
terhadap pemerintah Mahatir. Lagi-lagi BN menjadi jawaban terhadap kekuatan PAS ini. Kehadiran BN
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
15
Dalam konteks pergumulan poitik macam inilah kebijakan-kebijakan Islamisasi oleh
pemerintahan Mahatir dicanangkan dalam dua puluh tahun terkahir ini. Islamisasi ini dalam
bidang hukum pertama-tama berkaitan dengan hukum perdata,misalnya keterlibatan Negara
dalam urusan hukum keluarga (nikah, cerai, warisan, dll.) dan dalam perbankan, misalnya
perbankan Islam.68 Sekarang, hukum pidana Islam seperti hudud juga mulai dipedebatkan,
dan bahkan diupayakan pelaksanaanya di Negara bagian Kelantan melalui apa yang disebut
sebagai Hudud Bill tahun 1993, tapi mendapat tantangan dari pemerintahan federal
(Kamali,2000). Sampai sekarang masalah ini masih terus diperdebatkan.
Kasus perkembangan penerapan syariat Islam di Malaysia, harus difahami dalam
konteks pergumulan politik komunal antara etnis Melayu lawan non-Melayu, pergumulan
antara partai Islam (PAS) dan UMNO, dan hubungan antara etnis Melayu dan Islam.
Islamisasi di negeri ini lebih dirasakan dalam sepuluh tahun terkahir, relatif jauh belakangan
disbanding sukses Malaisya membangun kemaslahatan public, dan membangun politik
relative lebih demokratis di antara Negara-negara muslim di dunia umumnya.
Kasus Malaysia dan kasus-kasus lainnya di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya
tidak ada kaitan antara penerapan syariat Islam dengan kemaslahtan publik. Bahkan dalam
beberapa kasus di atas, penerapan syariat Islam dapat beriringan dengan politik otokratik, dan
dengan pembelengguan terhadap hak-hak perempuan. Jadi, klaim politisi Islam di tanah air
bahwa penerapan syariat Islam sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan suatu
bangsa, upaya untuk menciptakan kemaslahatan publik, untuk sementarabelum ada
contohnya. Apalagi kasis di mana penerapan syariat Islam dilakukan dalam konteks politik
demokratis.
g. Indonesia
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa sekalipun Indonesia sebagai negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, namun secara konstitusional, Indonesia bukan
Negara Islam. Namun eksistensi syariat/hukum Islam telah membumi bagi sebagian
masyarakat Indonesia, dan dari fakta historis, politik, sosiologis dan hukum positif, Hukum
Islam merupakan bagian dari sistem tata hukum nasional, yang sebagian sudah dimuat dalam
hukum positif, dan akan tetap berperan sebagai faktor penting yang memberikan kontribusi
(contribution factor) dalam pembangunan kodifikasi hukum nasional.69
Menurut Ismail Sunny, hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh
mayoritas masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan
merupakan norma yang menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, setelah proklamasi, hukum Islam merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari hukum nasional Indonesia. Dalam pengertian bahwa hukum
Islam merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur yang ada dalam hukum nasional.70
dapat menetralisir ancaman terhadap kekuatan non-muslim dan etnis non-Melayudi satu pihak, tapi BN juga
bisa menjadi masalah bagi UMNO di mata massa Melayu bila terkesan ia mau berkoalisi dengan kekuatan
non-Melayu dan non-Muslim. Masalah ini dipecahkan, terutama dalam kepimimpin Mahatir dengan
mengambil isu-isu andalah PAS untuk menetralisir pengaruh pas di dalam massa Melayu muslim. 68 Malaysia menerbitkan undang-undang perbankan syariah pada tahun 1983 yang disebut dengan Islamic
banking Act 1983. Lihat, Haron, Sudin & Shanmugam Bala, Islamic Banking System Concepts and
Aplication, Subang Jaya Selangor: Pelanduk, 2001 69 Asep Supyadillah, Kedudukan Syariat/Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, makalah FAI-UMJ, 2010 70 Ismail Sunny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987), h.
5-6.
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
16
Namun demikian, upaya formulasi dan legislasi syariat Islam dalam sistem kenegaraan
Indonesia, pasca perjuangan untuk melegislasikan syariat Islam pada Piagam Jakarta, masih
sering terdengar muncul dalam dinamika hubungan Islam dan Negara.71
Menurut Azyumardi Azra, dalam masyarakat Indonesia, syariah telah diterapkan sejak
lama dalam cakupan akidah dan mu’amalah, sedangkan dalam tataran jinayah/jarimah
(criminal law) tidak diterapkan secara serta merta tetapi dipahami dalam konteks tujuan dari
ketentuan jinayah/jarimah tersebut.72
Pemberlakuan Syariah Islam oleh Negara dan kemasalahatan bagi warga Negara
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa syariah Islam orientasi (tujuannya) adalah
membawa kehidupan manusia (warga Negara) memperoleh kemaslahatan dalam
kehidupannya (kabaikian dan kesejahteraan umat manusia). Sejauh manakah pemberlakuan
syariah Islam oleh Negara telah menciptakan kemasalahatan bagi warga Negara? Untuk
mengukur tingkat kemaslahatan ini, sebagai acuan adalah Indeks Pengembangan Manusia
(IPM) atau Human Developemenet Index (HDI).73 Semakin tinggi HDI semakin baik
pembangunan manusianya, dan semakin terbuka peluang untuk sejahtera. Sebaliknya,
semakin rendah HDI, semakin buruk pengembangan manusianya dan semakin rendah
peluang untuk sejahtera.74
Dari penelitian yang dilakukan oleh Yuslam Fauzi,75 berdasarkan data-data HDI
tersebut terhadap Negara-negara muslim (mayoritas muslim) menunjukkan fakta bahwa
tingkat dan potensi kesejahteraan Dunia Islam saat ini sangat menyedihkan. Kesimpulan yang
dikemukakan Yuslam antara lain sbb:
a. Negara-negara Muslim memiliki pengembangan manusia yang berada di bawah rata-rata
Negara non Muslim bahkan Dunia, baik dilihat dari Humen Development Index (HDI),76
Life Expectancy Index (LEI),77 Education Index (EI),78 maupun Income Index.79
71 Lihat, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Politik Islam di Indonesia, Jakarta:
Paramadina, 1998; Haedar Nashir, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta:
Mizan, 2013; Masykuri Abdillah, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap
Konsep Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Kencana, 2015 72 Disampaikan pada tanggal 13 Desember 2015 pada acara perkuliahan Islamic Contemporary World, Sekolah
Pasca Sarjana UIN Jakarta. 73 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup (life expectancy
Index), melek huruf dan pendidikan (education index) dan standar hidup (income index) untuk semua negara
seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara
berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi
terhadap kualitas hidup. Semakin tinggi IPM semakin baik pengembangan manusianya dan semakin terbuka
peluang mereka untuk sejahtera. Sebaliknya semakin rendah IPM, semakin baik pengembangan manusianya
dan semakin rendah peluang untuk sejahtera. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/
Indeks_Pembangunan_Manusia, Yuslam Fauzi, Memaknai Kerja, Bandung: Mizan, 2012, h. 176-187 dll 74 Indeks ini ditemukan oleh Dr. Mahbub Al-Haq, ilmuwan Muslim dari Pakistan, yang kemudian digunakan
oleh UNDP (United Nations Development Programs) sejak 1990. 75 Yuslam Fauzi, Memaknai Kerja, Bandung: Mizan, 2012, h. 176-187 76 Menurut Fauzi, perkembangan HDI di negara-negara mayoritas muslim sejak tahun 1980 – 2011 selalu
lebih rendah dibandingkan dengan rerata HDI non- Negara-negara muslim. Bahkan , rerata HDI Negara-
negara muslim ada di bawah rerata HDI dunia. Jika pada tahun 1990, 2000, dan 2011, HDI Negara-negara
muslim rerata sebesar 0,299, 0,381, dan 0,580, maka rerata Negara-negara non-muslim pada tahun yang
sama sebesar 0,403, 0,538, dan 0,686. Sedangkan rerata Dunia adalah 0,594, 0,634, dan 0,682. Adapun
Negara-negara muslim yang masuk dalam 50 peringkat HDI dunia hanya ada 4 negara, yaitu: Uni Emirat
Arab (peringkat 30), Brunei Darussalam (peringkat 33), Qatar (peringkat 37, dan Bahrain (peringkat 42).
Yuslam Fauzi, ibid, h. 179-180 77 Upaya untuk hidup sehat dan umur panjang (angka harapan hidup) ini di Negara-negara muslim hasilnya
tidak jauh berbeda dengan kelompok berdasarkan HDI. Bila dalam HDI terdapat empat Negara, maka untuk
kelompok life expectancy index hanya terdapat 5 negara yang masuk peringkat 50 besar. Negara tersebut
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
17
b. HDI muslim lebih dipengaruhi oleh sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-
renewable natural resoaurces), yaitu minyak dan gas bumi. Sebaliknya HDI non Negara-
negara Muslim justru dipengaruhi oleh penggunaan pengetahuan.
c. Indonesia sebagai Negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia memiliki HDI yang
rendah, utamanya dipengaruhi oleh pendidikan dan pendapatan yang rendah.
Hal yang sama juga ditegaskan Jasser Auda,80 menurutnya berdasarkan laporan
tahunan dari UNDP menunjukkan bahwa IPM atau HDI pada level rendah ditempati oleh
Negara-negara yang dihuni oleh mayoritas muslim. IPM dihitung berdasarkan beberapa
faktor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pendapatan ekonomi. Selain itu, laporan
pembangunan manusia tersebut meliputi aspek-aspek pembangunan lainnya seperti
pemberdayaan kaum wanita dan standar hidup. Beberapa Negara Arab yang makmur,
memiliki ranking luar biasa dalam hal rata-rata pendapatan perkapita, namun menempati
posisi yang rendah dalam hal keadilan, pemberdayaan kaum wanita, partisipasi politik dan
peluang kesetaraan.
PENUTUP
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian syari’ah dalam dunia
Islam mengalami perkembangan. Pengertian syariah dalam cakupan aqidah, fikih ibadah dan
fikih mu’amalah telah diterapkan oleh Negara mayoritas penduduk muslim, namun dalam
tataran jinayah/jarimah sebagaimana dalam fikih, hanya sebagian kecil yang menerapkan.
Penerapan konsep syariah dalam negara, di negara-negara mayoritas muslim, mengalami
keragaman seiring kemajemukan paham, aliran, mazhab, dan golongan dalam menafsirkan
sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Dari pengalaman penerapan
“prinsip Islam” dalam negara oleh negara-negara penduduk muslim, bentuk penerapannya
tidak bersifat tunggal dan monolitik tetapi bersifat plural dan heterogen, sesuai dengan ruang,
waktu dan kondisinya masing-masing negara.
adalah Qatar (peringkat 36), Brunei Darussalam (peringkat 37), Albania (peringkat 42), Maladewa
(peringkat 43), dan Uni Emirat Arab (peringkat 46). Yuslam Fauzi, ibid, h. 181. 78 Untuk kelompok educational index, nagara-negara muslim hasilnya lebih parah dan sangat memprihatinkan.
Hal ini karena tidak ada yang masuk dalam 50 besar. Bilapun diperluas ke dalam 60 besar, hanya ada 1
negara yang masuk, yaitu Bahrain (peringkat 60), dengan penduduk yang hanya 640 ribu jiwa. Bila
dibandingkan Singapura yang penduduknya 706 ribu jiwa, yang penduduknya lebih banyak disbanding
Bahrain, Singapura peringkat education indek-nya berada pada peringkat 26. Yuslam Fauzi, Ibid, h. 182. 79 Untuk kelompok income index, Negara-negara muslim banyak yang masuk dalam peringkat 50 besar, yaitu
sebanyak 7 negara. Negara-negara tersebut adalah Qatar (peringkat 1), UEA (peringkat 3), Kuwait
(peringkat 6), Brunei (peringkat 8), Bahrain (peringkat 28), dan Oman (peringkat 39). Yuslam Fauzi, ibid, h.
183 80 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syariah, Bandung: Mizan, 2008, h. 23
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdallah, Ulil Abshar (dkk), Islam Liberal & Fundamental Sebuah Pertarungan Wacana,
Jogjakarta: elSAQ Press, 2003.
Abdillah, Masykuri, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap
Konsep Demokrasi 1966-1993, Jakarta: Kencana, 2015
Ahmad, Mumtaz (edt), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1986
Akram Khan, Muhammad, “The Role of Goverment in the Economy”, dalam The American
Journal of Islamic Social Sciences, Washington. D.C, AMSC/IIIT, 1992.
Al-Amidi, Saifuddin, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967.
Al-Maududi, Abu A’la, Sistem Politik Islam, Bandung: Mizan, 1991
Al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam as-Sultaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Al-Qathan, Manna', al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam, t.tp: Muassasahal-Risalah, t.th.
Al-Turabi, Hasan, Fiqih Demokratis, Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme
Populis, Bandung: Arasy, 2003
An-Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi
Manusia dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Yogayakrta: LKiS, 1994
Asad, Muhammad, Minhaj al-Islam fi al-Hukmi, terjemahan Indonesia, Sebuah Kajian
tentang Sistem Pemerintahan Islam, Bandung : Pustaka, 1985
Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syariah, Bandung: Mizan,
2008, h. 23
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
Banyar, Hamdan, M, Pertarungan Dalam Demokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel,
Jakarta: UIP,2015.
Bayat, Asef, Pos-Islamisme, Jogjakarta: LKiS, 2011
Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, Chicago: The
University of Chicago Press, 1988.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1986
Burhanudin (edt), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL, 2003
Chapra, M.Umer, The Future nof Economics an Islamic Perspective, Landscape Baru
Perekonomian Masa Depan, Jakarta: SEBI, 2001.
Collins, Joseph J, Understanding War in Afghanistan.Washington: National Defense
University Press. 2011.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995.
Fauzi, Yuslam, Memaknai Kerja, Bandung: Mizan, 2012
Haron, Sudin & Shanmugam Bala, Islamic Banking System Concepts and Aplication, Subang
Jaya Selangor: Pelanduk, 2001
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Bandung : Pustaka Salman, 1983
Masud, Muhamad Khalid, Islamic Legal Philosophy, a Study of Abu Ishaq al-Ahatibi’s Life
and Thought, Newe Delhi : International Publisher, 1989.
Musa, Muhammad Yusuf, Nizhamul Hukmi Fil Islam, Kairo : Darul Katib al-’Arabiy, 1965.
Nabhan, Muhammad Faruq, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islami, Beirut: Dar al-Shadir, t.th.
Misykat al-Anwar ------------------------------------------------------------ http://journal.fai-umj.ac.id/
19
Nashir, Haedar, Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: Mizan,
2013
Sardar, Ziauddin, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 1993
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1986
Sophian, Ainur R. (edt), Etika Ekonomi Politik, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997.
Sunny, Ismail, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: Universitas Muhammadiyah
jakarta, 1987
Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syariah, Beirut : Dar al-Fikr, tth
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya,
1990
Taimiyah, Ibn, al-Hisbah fi al-Islam aw Wadhifatu al-Hukumiyah al-Islamiyyah, Beirut : Dar
al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1992.
Tamara, Nasir (edt), Agama dan Dialog Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996
Zahrah, Muh. Abu, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.