“penerapan prinsip syari’ah pada praktik kerjasama
TRANSCRIPT
“PENERAPAN PRINSIP SYARI’AH PADA PRAKTIK KERJASAMA
PERTANIAN DI DESA TULUNGREJO KECAMATAN TRUCUK
KABUPATEN BOJONEGORO JAWA TIMUR”
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Pernyataan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
oleh:
AALIM ALLAAM ALGHUYUUB WAAL SYAHAADAAT
11140460000103
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2021M/1442H
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Penerapan Prinsip Syariah Pada Praktik Kerjasama Pertanian
di Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro” telah diajukan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 9 Juli 2021. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.
Jakarta, 9 Juli 2021
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H.
NIP. 19760807200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : AM. Hasan Ali, M.A.
NIP. 19751201 200501 1 005 (………………….)
2. Sekertaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.
NIP. 19731215 200501 1 005 (………………….)
3. Pembimbing : AM. Hasan Ali, M.A
NIP. 19751201 200501 1 005 (………………….)
4. Penguji I : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.
NIP. 19731215 200501 1 005 (………………….)
5. Penguji II : Mohammad Mujiburrahman, M.A.
NIP. 19760408200710 1 001 (………………….)
Oleh :
Aalim Allaam Al.Gh.Sy NIM. 11140460000104
AM. Hasan Ali, M.A.
NIP. 197512012005011005
“PENERAPAN PRINSIP SYARI’AH PADA PRAKTIK KERJASAMA PERTANIAN
DI DESA TULUNGREJO KECAMATAN TRUCUK KABUPATEN BOJONEGORO
JAWA TIMUR”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Pernyataan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Pembimbing :
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021M/1442 H
LEMBAR PERNYATAAN
KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ‘Aalim ‘Allaam Al Ghuyuub Waal Syahaadaat
NIM : 11140460000103
Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakn hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar di Strata Satu (S-1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya sendiri
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta 24 Juni 2021 M
13 Dzulqa’dah1442 H
Penulis
ABSTRAK
‘Aalim ‘Allaam AlGhuyuub Waal Syahadaat, NIM: 11140460000103, Judul :
“Penerapan Prinsip Syari’ah pada Praktik Kerjasama Antara di Desa Tulungrejo
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.” Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442H/2021M.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) di Desa Tulungrejo
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro. Metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode observasi dan wawancara (interview). Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian hukum empiris, yang
berorientasi pada bekerjanya suatu hukum atau aturan dalam masyarakat,Selanjutnya
data yang dikumpulkan disusun dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif
analisis, yakni mengumpulkan data tentang kerjasama lahan pertanian dengan sistem
paron antara pemilik sawah dan penggarap di Desa Tulungrejo Bojonegoro yang disertai
analisis, untuk diambil kesimpulan.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa, yang pertama kerjasama lahan pertanian dengan
sistem paron di Desa Tulungrejo Bojonegoro antara pemilik sawah pengelola lahan
dan penggarap yaitu dalam melakukan perjanjian mereka tidak melakukannya secara
tertulis, melainkan memakai cara kekeluargaan dengan rasa saling percaya antara
pemilik sawah dan penggarap dan saat panen hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan,
dalam hal ini bibit, pupuk, dan seluruh biaya penggarapan sawah ditanggung oleh
penggarap, kemudian juga tidak menentukan tentang jangka waktu pelaksanaan
kerjasama. Nisbah bagi hasil yang ditentukan diawal bisa berubah menyesuaikan hasil
pertanian yang diperoleh ketika panen. Kedua yaitu menurut hukum Islam bahwa praktik
kerjasama tersebut telah memenuhi rukun dan syarat Mukhᾱbarah yakni pelaksanaan
kerjasama tersebut bibit, pupuk, dan seluruh biaya perawatan sawah ditanggung oleh
penggarap yang dalam hal ini adalah pengelola lahan, dan sudah menjadi adat kebiasaan
yang tidak bertentangan dengan dalil syara’ serta memenuhi syarat maka penggunaan
sistem paron tersebut diperbolehkan dan termasuk ‘Urf Shahih.Adapun saran yaitu
diharapkan bagi pemilik sawah dan penggarap khususnya di Desa Tulungrejo, agar
melakukan perjanjian secara tertulis. Serta diharapkan saat melakukan perjanjian
ditentukan pembagian hasilnya serta ditentukan jangka waktu kerjasama agar tidak
terjadi pertikaian di kemudian hari. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan bagi peneliti
selanjutnya yang akan meneliti tentang kerjasama lahan pertanian sehingga bisa
menelitinya berdasarkan undang-undang positif yaitu UU Nomor 2 Tahun 1960
tentang Perjanjian bagi hasil.
Kata kunci: Mukhabarah, Muzaraah, Kerjasama, Pertanian.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Penerapan
Prinsip Syari’ah pada Praktik Kerjasama Antara di Desa Tulungrejo Kecamatan
Trucuk Kabupaten Bojonegoro.” Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada
Baginda Rasulullah SAW yang tanpa jasanya, umat ini akan tetap berada dalam zaman
kegelapan.
Tidak banyak yang bisa penulis lakukan dalam proses penulisan skripsi ini. Karenanya
penulis merasa banyak berhutang budi pada semua pihak yang berkenan memberikan bantuan,
arahan serta motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Berkenaan dengan hal ini
penulis memberikan apresiasi dan terimakasih secara tulus. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini pasti terdapat banyak kekurangan, semoga permintaan maaf yang terucap
melalui pengantar ini kiranya sudi untuk diterima.
Kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA., Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., MA. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. A.M. Hasan Ali, M.A dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. Kepala dan Sekertaris Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Pemebimbing Akademik Ibu Nurul Handayani, S.Pd., M.Pd., dan seluruh Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum
5. Dosen Pembimbing Skripsi Bapak A.M Hasan Ali, M.A yang senantiasa memberi
pengarahan, pembelajaran, arahan, dan motivasi dengan penuh keikhlasan, kesabaran,
dan keistiqomahan untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Jajaran pihak kemahasiswaan yang telah memberi kesempatan untuk penulis
mendapatkan beasiswa Bidikmisi.
7. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan sayangi, Abah
Muhammad Abu ‘Alim Dzun Nuroyn (ALM) dan Umah Siti Marfu’ah yang surga
penulis berada dibawah telapak kakinya. Dan saudara-saudara penulis Kak Lulu, Kak
Uul, Kak Vivi, Mas Malak, Rofu’, Uus, Iiz, Abarr, dan Uzhom. Thank you for always
give me strength and laugh when i couldn’t even dare to smile.
8. Para orang tua dan Murabbi penulis terkhusus kepada Ustadz Utob Tobroni, Lc., MCL.
dan Dr. KH. Akhmad Sodiq M.Ag. yang tidak pernah lelah membimbing spiritual
penulis.
9. Segenap Guru Penulis di Pondok Pesantren Al-Asmanah, Pondok Pesantren Al-
Khairaat, Pondok Pesantren Ar-Rahman, Pondok Pesantren Ashiddiqiyyah, tidak lupa
orang tua asuh penulis Bunda Trisweni Bagasgati dan Bapak Fauzi Hanafiyah serta
Bunda Trias Putri Boerniat dan Bapak Sutisna.
10. Seluruh teman-teman penulis dari penerima bidikmisi angkatan 2014, Ma’had UIN
Syarif Hidayatullah terkhusus rekan-rekan Mudabbir Mabna Syekh Nawawi, dan juga
teman teman dari prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
angkatan Tahun 2014.
Semoga Amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT, dan semoga kelak kita semua
dipertemukan di surga-Nya.
Jakarta, 24 Juni 2021
‘Aalim ‘Allaam Al Gh.Sy
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
DAFTAR ISI .........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .............................................................5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..........................................................5
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................5
E. Manfaat Penelitian .................................................................................6
F. Review Studi Terdahulu….......................................................................10
G.Kerangka Teori dan Konseptual..................................................................9
H. Metode Penelitian ...................................................................................11
I. Sistematika Pembahasan ..........................................................................20
BAB II KONSEP MUZARA’AH, MUKHABARAH, MUSAQAH dan ‘URF
DALAM HUKUM ISLAM
1. Pengertian Muzara’ah……………………….............................................16
2. Dasar Hukum Muzara’ah……………………...........................................19
3. Rukun dan Syarat Muzara’ah…………………….....................................20
4. Berakhirnya Akad Muzara’ah ...................................................................22
7. Pengertian Mukhabarah….….……… . . . ....................................................23
8. Dasar Hukum Mukhabarah……………………...........................................19
9. Rukun dan Syarat Mukhabarah……………………………………………….24
10. Berakhirnya Akad Mukhabarah……………………………………………..26 11. Pengertian Musaqah.…………………………………………………….26 12. Dasar Hukum Musaqah………………………………………………… 28 13. Rukun dan Syarat Musaqah….………………………………………….29 14. Berakhinya Akad Musaqah……………………………………………………30
15. Defenisi ‘Urf .........................................................................................30
16. Kehujjahan ‘Urf ....................................................................................31
17. Syarat - Syarat ‘Urf ..................................................................................33
18. Kaidah‘Urf .............................................................................................34
19. Macam – Macam ‘Urf..…………………………………......................35
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRAKTIK KERJASAMA
LAHAN PERTANIAN ANTARA TIGA IHAK DI DESA TULUNGREJO
KECAMATAN TRUCUK KABUPATEN BOJONEGORO
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................38
1. Letak Geografis ....................................................................................38
2. Luas Wilayah........................................................................................39
3. Keadaan Penduduk ...............................................................................39
4. Kondisi Sosial Keagamaan ..................................................................39
5. Kondisi Sosial Pendidikan ...................................................................40
B. Sistematika Kerjasama Lahan Pertanian di DesaTulungrejo Kecamatan
Trucuk Kabupaten Bojonegoro……………...41
1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Lahan Pertanian antara pemilik
lahan,PengelolaLahan, dan Buruh Tani.................................................41
2. Mekanisme Kerjasama Lahan Pertanian Antara Pemilik Lahan,Pengelola
Lahan, dan Buruh tani. .............................................................................43
3. Pelaksanaan Bagi Hasil ......................................................................46
BAB IV PENERAPAN PRINSIP SYARIAH TERHADAP PRAKTIK
KERJASAMA LAHAN PERTANIAN DI DESA TULUNGREJO KECAMATAN
TRUCUK KABUPATEN BOJONEGORO
A. Analisis Akad dalam Kerjasama Lahan Pertaian Antara …48
B. Analisis Hukum Islam dalam Kerjasama Lahan Pertanian di Desa Tulungrejo
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.........................................54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................62
B. Saran ……………...........................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA
11
11
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pertanian merupakan salah satu mata pencaharian utama di Indonesia. Sebanyak
hampir dari setengah penduduk di Indonesia bekerja sebagai petani. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya desa yang terdapat di Indonesia yang memperoleh penghasilan dari
bidang pertanian, ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998, sektor pertanian
mampu menyangga perekonomian nasional. Selain itu sektor pertanian juga digunakan
sebagai penyumbang dalam meningkatkan pendapatan kotor negara (GDP).1
Agama Islam merupakan agama yang didalamnya terdapat pengajaran tentang
bagaimana manusia beribadah kepada Allah dan juga praktik bekerjasama atau
mu’amalah dengan sesama manusia, salah satu bentuk ajaran yang dikenalkan oleh
islam adalah kerjasama dalam bidang pertanian. Hal tersebut dapat ditelusuri dari
banyaknya ayat Al-Quran, Hadits, dan kebiasaan Rasulullah SAW serta para
sahabatnya yang berkaitan dengan pertanian. Islam juga mengajarkan bahwa pertanian
sejatinya bukanlah semata-mata kegiatan yang bersifat duniawi. Islam juga memberi
pemahaman bahwasannya kegiatan pertanian merupakan salah satu bentuk keyakinan
akan kebesaran Allah SWT2. Allah Berfirman dalam QS. An-Nisaa’, ayat 29, yang
berbunyi:
“hai orang orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil)
dengan jalan yang bathil, kecuali jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela
diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”
Pertanian merupakan salah satu hal yang penting bagi manusia karena melalui
pertanian manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya terutama dalam mendapatkan
makanan3. Hal tersebut dapat dipahami melalui firman Allah SWT dalam QS. Al-
An’am:99:
“dan Dialah Yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan
dengan air itu segala macam tumbuh tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh
tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau
itu butir yang banyak, dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang
1 Soekartwi, Agribisnis Teori dan Aplikasinya, cet.VI, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2001), h.10. 2 Jusuf Sutanto, dkk, Revitalisasi Pertanian dan Dialog peradaban (Jakarta: Kompas, 2006), h.693-694 3 Izzudin khatib al-Tamim, Bisnis Islami, cet.I, (Jakarta: Fikahari Aneska, 1992), h.56.
12
12
menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang
serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya diwaktu pohonnya berbuah, dan
(perhatikan pula lah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada
tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang orang yang beriman”
Ajaran Islam menganjurkan apabila seseorang memliki lahan pertanian, maka
ia harus memanfaatkannya. Selain itu Islam juga mengajarkan tentang bagaimana
praktik pemanfaatan lahan dan juga kerjasama dalam mengolah lahan pertanian.
Pengelolaan lahan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara
sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam, sepertihalnya dengan cara dikelola
sendiri oleh pemilik lahan atau dipinjamkan maupun disewakan kepadaorang lain untuk
dikelola dengan menerapkan sistem pembagian hasil.
Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah karena dalam masyarakat ada
sebagian diantara mereka yang memiliki lahan pertanian, tetapi tidak mempunyai
kempuan untuk bertani. Terkadang ada juga yang mempunyai lahan pertanian akan tiak
memiliki waktu untuk mengelolanya. Dilain hal, juga dijumpai pemilik lahan yang
tidak mempunyai cukup uang yang mencukupi baik dalam segi modal maupun biaya
perawatannya. Terdapat juga sebagian orang yang tidak memiliki apapun, tetapi
mempunyai kemampuan dan tenga untuk bertani.
Dengan tujuan supaya lahan pertanian tidak menganggur, maka Islam
mengajarkan kepada pemilik lahan untuk mengelolanya sendiri. Akan tetapi jika
pemilik lahan tidak dapat mengelola dengan kemampuannya sendiri, maka
pengelolaannya dapat dikerjakan oleh orang lain yang lebih ahli dalam bidang
pertanian. Maka dengan adanya bentuk kerjasama ini, kedua pihak dapat menjalani
hidup dengan lebih baik. Selain itu, dalam sistem pengelolaan maupun bagi hasil
pertanian sering terjadi permasalahan ketentuan dan syarat. Biasanya kesalahpahaman
ini timbul antara pemilik lahan antara pemilik lahan dengan penggarap dari segi
hasilnya. Terkadang hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh
pemilik lahan. Hal lain adalah benih yang akan ditanam maupun dikelola tidak sesuai
dengan kesepakatan awal. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini, Islam
mengajarkan ketentuan-ketentuan yang lebih adil untuk para pihak yang bekerja sama,
13
13
yakni dengan jalan kerjasama dan bagi hasil menggunakan sistem muzara’ah,
mukhabarah, dan musaqah di bidang pertanian4.
Bidang pertanian merupakan aspek penting dalam mengembangkan
pertumbuhan suatu negara. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Al-Syaibani yang
berpendapat bahwa pertanian adalah salah satu bentuk usaha yang utama dibandingkan
dengan usaha yang lain. Menurutnya, pertanian menghasilkan berbagai kebutuhan
dasar manusia yang dapat menunjang manusia dalam melaksanakan kewajibannya5.
Kontrak kerjasama pertanian dengan adalah salah satu bentuk ketentuan yang
berisi aturan-aturan dan juga sekaligus sebagai patokan mengenai pengelolaan lahan
pertanian. Kontrak kerjasama ini juga berisikan ketentuan tentang pembagian hasil
yang akan diperoleh oleh para pihak yang terkait6.
Suatu akad kerjasama dalam bidang pertanian yang umum digunakan adalah
Mukhabarah dan Muzara’ah dengan persentase 50%:50%. Ketentuan mengenai
bagi hasil dalam bidang pertanian ini telah diatur baik dalam ajaran islam maupun
dalam Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Ketentuan mengenai bagi hasil
pertanian yang berlaku secara menyeluruh diatur dalam Undang-Undang no 2 tahun
1960 tentang perjanjian bagi hasil pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian
bagi hasil yang adil. Undang-undang tersebut menegaskan hak dan kewajiban para
pihak yang melakukan kontrak. Selain itu, hukum Islam mengenai kerjasama dalam
bidang pertanian banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih mengenai sistem
pertanian. Sistem-sistem tersebut dikenal dengan istilah Muzara’ah, Mukhabarah,
Musaqah.
Desa Tulungejo adalah sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Trucuk
Kabupaten Bojonegoro, di Desa tersebut banyak dijumpai kegiatan ekonomi seperti
pertanian dan perburuhan. Namun mayoritas masyarakat di Desa tersebut berprofesi
sebagi petani dan buruh tani7.
4 Muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya yang bibitnya berasal dari pemilik
tanah. Mukhabarah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya yang bibitnya berasal dari
petani. Sedangkan musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola untuk
memelihara dan merawat kebun. Dan semuanya dengan kesepakatan bagi hasil dari hasil panen yangdidapatkan. 5 Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, “al-Iktisab fi al-Rizq al-Mustathab”, dalam Euis Amalia, Sejarah
Pemikiran Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Jakarta:Pustaka Asatruss, 2005), h.96. 6 Wawancara dengan pihak yang mempraktikkan kerjasama pengolahan pertanian desa tulungrejo. 7 Data statististik desa Tulungrejo, dieproleh dari wawancara dengan pejabat desa tulungrejo.
14
14
Akan tetapi tidak semua masyarakat memiliki sawah, sehingga banyak
masyarakat yang melakukan kerjasama dalam mengelola sawah milik masyarakat yang
biasa disebut dengan sistem paron (bagi hasil).
Kerjasama yang ada di Desa Tulungrejo ini ada yang melibatkan dua pihak,
yaitu pihak pemilik sawah dan pihak pengelola sawah. Selain itu, banyak pula dijumpai
kerjasama yang melibatkan tiga pihak, yakni pemilik lahan, penggarap lahan, dan buruh
tani. Sistem kerjasama tiga pihak yang ada di Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk
Kabupaten Bojonegoro biasanya semua biaya ditanggung oleh penggarap sawah8.
Panen yang terjadi pada umumnya sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu dua kali
panen padi dan satu kali panen kedelai, kacang hijau, dan jagung. Sistem kerjasama
pertanian yang digunakan oleh masyarakat Desa Tulungrejo dilakukan berdasarkan
dengan adat dan kondisi penduduk.
Sistem bagi hasil pertanian di Desa Tulungrejo berbeda dengan sistem bagi hasil
di daerah lain pada umumnya. Ketentuan mengenai bagi hasil tersebut hanya
didasarkan pada kebiasaan yang berlaku antara pemilik lahan dengan petani penggarap.
pembagian hasil pertanian disesuaikan dengan pendapatan panen yang dihasilkan.
Ketentuan yang dijelaskan dalam fiqh mu’amalah, ketika melakukan akad kerjasama
dengan pihak lain, maka harus ada perjanjian bagi hasil yang ditentukan dalam kontrak
ketika melakukan akad. Tetapi perjanjian akad yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Tulungrejo ini tidak sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dalam fiqh mu’amalah.
Perjanjian akad dilakukan berdasarkan kebiasaan dari masyarakat Desa Tulungrejo.
Dalam hal ini terdapat ketidakadilan dalam sistem bagi hasil yang digunakan, di mana
petani penggarap mendapatkan bagian lebih besar daripada pemilik lahan, seperti
merugikan pemilik lahan.
Untuk itu, penulis merasa perlu untuk mengangkat permasalahan ini menjadi
suatu masalah penelitian untuk mengetahui sejauh mana konsep Islam dipraktekkan
dalam melakukan kerjasama dibidang pertanian. maka dari itu penulis mengangkat
tema skripsi ini dengan judul,
“PENERAPAN PRINSIP SYARI’AH PADA PRAKTIK KERJASAMA
PERTANIAN DI DESA TULUNGREJO KECAMATAN TRUCUK KABUPATEN
BOJONEGORO JAWA TIMUR”.
8 Wawancara dengan pihak yang mempraktikkan kerjasama pengolahan pertanian desa tulungrejo.
15
15
B. Identifikasi masalah
Sebelum melakukan perumusan masalah, terlebih dahulu penulis melakukan
pengidentifikasian masalah mengenai permasalahan dengan tema yang diangkat
tersebut, diantaranya:
1. Akad yang digunakan dalam kerjasama lahan pertanian di Desa Tulungrejo
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.
2. Kurangnya pengetahuan oleh masyarakat Desa Tulungrejo tentang konsep
kerjasama dibidang pertanian yang sesuai dengan konsep Islam.
3. Konsep analisis hukum Islam terhadap praktik kerjasama lahan pertanian di Desa
Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tidak terlalu meluas, maka
penulis memberi batas dalam masalah tinjauan hukum islam terhadap praktik kerjasama
dan bagi hasil pertanian khususnya yang dilakukan masyarakat Desa Tulungrejo
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Agar pembahasan dapat fokus
dan mencapai apa yang diharapkan, maka perlu dibatasi ruang lingkup dalam
permasalahan ini, yaitu:
1. Mekanisme kerjasama dan bagi hasil pertanian di Desa Tulungrejo
2. Penerapan prinsip syariah terhadap praktik kerjasama pertanian di Desa
Tulungrejo.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, maka tujuan yang ingin
dicapai dari hasil penelitian ini adalah:
1. Mengetahui praktik kerjasama dalam bidang pertanian yang dipraktikkan di Desa
Tulungrejo.
2. Menganalisa praktik kerjasama dalam bidang pertanian yang dipraktikkan oleh para
petani di Desa Tulungrejo dengan menyesuaikan prinsip yang ada dalam fiqih
muamalah.
16
16
E. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi kalangan
masyarakat, diantaranya:
1. Manfaat Teoritis
a) Bagi peneliti
Dapat memberikan pemahaman kepada penulis sebagai peneliti terhadap
permasalahan sistem kerjasama dan bagi hasil yang ada di pedesaan, khususnya di
Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.
b) Bagi pembaca
Menambah informasi dan pemahaman tentang kerjasama sektor pertanian, terutama
dalam sistem bagi hasil yang baik sesuai konsep ajaran Islam dan mengetahui sistem
kerjasama pertanian yang banyak dipraktikkan masyarakat pedesaan, khususnya di
daerah Desa Tulungrejo.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi masyarakat luas
Menambah wawasan secara umum mengenai perjanjian kerjasama dibidang pertanian
dan sistem bagi hasil pertanian yang baik menurut konsep yang diajarkan agama
Islam.
b) Bagi petani
Menambah pengetahuan dan informasi mengenai sistem kerjasama dalam bidang
pertanian yang sesuai dengan konsep ajaran Islam, sehingga dapat mengembangkan
sistem pertanian di masyarakat menjadi lebih baik.
E. Review Studi Terdahulu
Review studi terdahulu atau kajian pustaka dapat diperoleh dari
berbagai jenis penelitian seperti jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi,
makalah, maupun laporan hasil penelitian, dan lain sebagainya9.
Penulis mengambil dan menganalisa beberapa penelitian sebelumnya
berupa skripsi yang membahas mengenai akad dan bentuk kerjasama dalam
bidang pertanian, hal ini penulis jadikan sebagai pembanding dengan skripsi
9 Bahrudin Nur Tanjung dan Ardial, “Pedoman penulisan karya ilmiah(proposal, skripsi, tesis, dan persiapan menjadi penulis artikel ilmiah)”, ( Jakarta:Kencana, ed.1, cet.5,2010) h.15.
17
17
yang dikerjakan oleh penulis, diantaranya:
1. skripsi yang ditulis Silvia Ratnani, dalam skripsi berjudul
“Penggarapan Tanah Sawah dengan Sistem Setoran di Desa Lundo
Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik dalam Prespektif ‘Urf “, skripsi
ini membahas tentang kesepakatan (akad) yang digunakan dalam
kerjasama penggarapan sawah dengan sistem setoran di Desa Lundo
Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik yaitu bahwa penggarap harus
menyetorkan hasil panennya pada saat panen pertama sesuai dengan
permintaan pemilik sawah, untuk hasil panen kedua dan ketiga adalah
milik penggarap seluruhnya dan hal tersebut tidak bertentangan dengan
dalil syara’ dan termasuk ‘urf shahih10. Persamaan dengan penelitian
penulis adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh dua pihak yang
terkait, sedangkan perbedaannya yaitu peneletian penulis membahas
tentang bentuk kerjasama dalam bidang pertanian.
2. skripsi yang ditulis Siti Machmudah, dalam skripsi berjudul “Analisis
Hukum Islam terhadap Kerjasama Pertanian dengan Sistem Bagi Hasil
disertai dengan Upah di Desa Pademonegoro, Kec.Sukodono,
Kab.Sidoarjo” skripsi ini membahas tentang mekanisme kerjasama
pertanian dengan sistem bagi hasil disertai upah di Desa
Pademonegoro, Kec.Sukodono, Kab.Sidoarjo, bahwa pada awal
perjanjian kerjasama ini tidak ada upah yang berupa uang, upah yang
disepakati dalam perjanjian awal adalah upah berupa sebagian dari
panen sehingga ada pihak yang dirugikan, dan hal tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan hukum islam dan tidak sesuai dengan tujuan dari
kerjasama11. Persamaan dengan penelitian penulis adalah bentuk
kerjasama yang dilakukan oleh dua pihak yang terkait, sedangkan
perbedaannya yaitu peneletian penulis berfokus pada pembahasan
bentuk kerjasama dalam bidang pertanian .
10 Silvia Ratnani, “Penggarapan Tanah Sawah dengan Sistem Setoran di Desa Lundo Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik dalam Prespektif ‘Urf “ (Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2015), 71. 11 Siti Machmudah, “Analisis Hukum Islam terhadap Kerjasama Pertanian dengan Sistem Bagi Hasil disertai
dengan Upah di Desa Pademonegoro, Kec.Sukodono, Kab.Sidoarjo”(Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya
2013), 84.
18
18
3. skripsi yang ditulis oleh Ariansyah Jaya Saputra, dalam skripsi yang
berjudul “Kerjasama Pengelolaan Lahan Pertanian dalam Perspektif
Hukum Islam di Desa Ngulak, Kecamatan Sanga, Kabupaten Musi
Banyuasin”, dalam skripsi ini membahas tentang kerjasama dalam
bidang pertanian di Desa Ngulak, dimana terdapat ketidakjelasan
dalam sistem bagi hasil yang diterapkan baik dari pihak pemilik lahan
maupun pengolah lahan pertanian12. Persamaan dengan penelitian
penulis yaitu mengenai praktik kerjasama dan sistem bagi hasil yang
diterapkan, sedangkan perbedaannya yaitu peneletian penulis
membahas tentang bentuk kerjasama dan bagi hasil dalam bidang
pertanian antara tiga pihak yang dalam hal ini adalah pemilik lahan
pertanian, penggarap lahan pertanian, dan buruh tani.
4. skripsi yang ditulis oleh Iin Hamidah, dalam skripsi yang berjudul
“Kesesuaian Konsep Islam dalam Praktik Kerjasama Bagihasil Petani
Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan
Jawatimur”. Dalam skripsi ini membahas tentang kecocokan konsep
islam dengan praktik kerjasama bagihasil pertanian antara dua pihak di
desa terkait, dimana dalam pelaksanaan kerjasama bagi hasil yang
dilakukan di Desa Tenggulun adalah aplikasi dari mukhabarah. Akan
tetapi dalam praktiknya tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep Islam
yang ada, karena ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi13.
Persamaan dengan penelitian penulis yaitu mengenai praktik
kerjasama dan sistem bagi hasil yang diterapkan, sedangkan
perbedaannya yaitu peneletian penulis membahas tentang bentuk
kerjasama dan bagi hasil dalam bidang pertanian antara tiga pihak yang
dalam hal ini adalah pemilik lahan pertanian, penggarap lahan
pertanian, dan buruh tani.
12 Ariansyah Jaya Saputra,“Kerjasama Pengelolaan Lahan Pertanian dalam Perspektif Hukum Islam di Desa
Ngulak, Kecamatan Sanga, Kabupaten Musi Banyuasin” (Skripsi UIN Raden Patah Palembang 2013), 84. 13 Iin Hamidah, “Kesesuaian Konsep Islam dalam Praktik Kerjasama Bagihasil Petani Desa Tenggulun,
Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan Jawatimur” (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014) 114.
19
19
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Agar dapat dijadikan acuan dalam menelusuri, mengkaji atau mengukur
variabel, maka penulis sampaikan batasan dari berbagai pengertian yang berkaitan
dengan maksud penulisan skripsi yang berjudul “Penerapan Prinsip Syariah
Terhadap Praktik Kerjasama dalam Bidang Pertanian di Desa Tulungrejo,
Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur”, Istilah kerjasama dalam
konsep Islam di bidang pertanian mencakup beberapa pembahasan, diantaranya
ada yang disebut muzara’ah, mukhabarah, musaqah dan ’urf,
1. Kerangka teori
Istilah kerjasama dalam konsep Islam di bidang pertanian
mencakup beberapa pembahasan, diantaranya ada yang disebut
muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah. Adapun dalam pelaksanaan
praktik kerjasama, masyarakat desa terbiasa menggunakan ketentuan yang
berlaku secara turun temurun yang dalam islam disebut dengan istilah ‘urf.
a. Muzara’ah
Menurut bahasa, Al-Muzara’ah yang berarti Tharh Al-Zur’ah
(melemparkan tanaman) muzara’ah memilki dua arti yang pertama
muzara’ah yag berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman)
maksuudnya adalah modal(al-budzar). Makna yang pertama adalah makna
majaz, makna yang kedu adalah al-inbat makna hakiki makna kedua ini
berarti menumbukan.
Menrut ulama Hanafiyah, muzara’ah adalah akad untuk bercocok
tanm dengan sebagian yang keluar dari bumi.
Menurut ulama Hanabilah, muzara’ah adalah pemilik tanah yang
sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi
bibit.
Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sunnah
rasul menunjukkan dua hal tentang makna muzara’ah. Yakni, pertama :
kebolehan bermuamalah atas pohon kurma atau diperbolehkan
bertransaksi atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya ialah bahwa
pohon kurma tersebut telah ada baru kemudian diserahkan pada perawat
20
20
(pekerja) untuk dirawat sampai berbuah. Namun sebelum kedua belah
pihak (pemilik kebun dan pekerja) harus terlebih dahulu bersepakat
tentang pembagian hasil , bahwa sebagian buah untuk pemilik kebun
sedangkan yang lainya untuk pekerja. Kedua : ketidakbolehan muzara’ah
dengan menyerahkan tanah kosong dan tidak ada tanaman didalamnya
kemudian tanah itu ditanami tanaman oleh pengarap dengan tanaman lain.
b. Mukhabarah
Menurut Hanafiyah, Mukhabarah dan Muzara’ah hampir tidak bisa
dibedakan, Muzara’ah menggunakan kalimat bi ba’d al-kharij min al- ard,
sedangkan dalam Mukhabarah menggunakan kalimat bi ba’d maa
yakhruju min al-arad, Menurut hanafiyah belum diketahui perbedaan
tersebut berdasarkan pemikiran Hanafiyah.
Menurut Dharin Nas, Imam Al-Syafi’i berpendapat bahwa
mukhabarah adalah menggarap tanah denagan apa yang dikeluarkan dari
tanah tersebut. Sedangkan muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa
tanah dengan apa yang dihasikan dari tanah tersebut.
Menurut Syaikh Ibrahim Al-bajuri berpendapat bahwa mukhabarah
adalah, sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja
dan modal dari pengelola.
Imam Taqiyuddin didalam kitab kifayatul ahya menyebutkan
bahwa Mukhabarah adalah transaksi pengolahan bumi dengan upah
sebagian hasil yang keluar dari padanya.
c. Musaqah
Definisi Musaqah menurut para ahli fikih adalah menyerahkan
pohon yang telah atau belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada
seseorang yang menanam dan merawatnya di tanah tersebut (seperti
menyiram dan sebagainya hingga berubah). Lalu pekerja mendapatkan
bagian yang disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya
adalah untuk pemiliknya14.
14 Saleh Al-Fauzan, Fikih Sehari-Hari (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 476.
21
21
d. Urf
Istilah ‘Urf berarti sesuatu yang telah dikenali oleh masyarakat dan
merupakan kebiasaan di kalangan mereka, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat. Menurut
istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘Urf dan adat kebiasaan.
Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian adat lebih
umum disbanding dengan ‘Urf15.
2. Kerangka Konseptual
Agar tidak salah pengertian dalam memahami dalam penelitian ini,
maka perlu kiranya peneliti menjelaskan beberapa istilah yang ada dalam
judul skripsi ini, yaitu:.
Prinsip Syariah, adalah Praktik terhadap suatu peristiwa
berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah Nabi serta Ijtihad para Ulama’ yang
mengatur mengenai praktik mu’amalah dalam akad kerjasama lahan
pertanian. Sehingga dapat diketahui baik atau buruk, halal atau haram,
serta boleh tidaknya praktik paron tersebut dilakukan.
Kerjasama Lahan Pertanian, yaitu kerjasama antara pemilik
lahan pertanian dengan penggarap untuk mengelola lahan pertanian dan
masing-masing dari mereka akan mendapatkan bagian sesuai dengan
kesepakatan.
Bagi Hasil, secara istilah yaitu suatu sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara penyedia lahan dan pengelola lahan dan buruh
tani.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti langsung aktivitas
ekonomi yang terjadi pada masyarakat pedesaan (field research),
bagaimana sistem kerjasama yang diterapkan dan bagaimana pengaruhnya
terhadap masyarakat di desa tersebut.
15 Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Media
Group), 2016, hal. 151.
22
22
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian
hukum empiris, pendekatan hukum empiris berorientasi pada bekerjanya
suatu hukum atau aturan dalam masyarakat, Penelitian ini dilakukan
dengan mengumpilkan data yang ada dilapangan, sedangkan data yang
digunakan adalah data kualitatif, yaitu data yang disajikan berisi data-data
yang berbentuk narasi.
2. Jenis data
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu:
1) Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden, melalui
masyarakat yang dijadikan objek penelitian yang berkaitan dengan
skripsi.
2) Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan-laporan atau data
yang didapat dari responden serta diperoleh dari literatur-literatur
kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, surat kabar, internet
dan kepustakaan lain yang berkaitan dengan skripsi.
a. Sumber data
Sumber data premier meliputi :
1) Pemilik lahan pertanian yang menerapkan sistem paron pada
kerjasama lahan pertanian di Desa Tulungrejo Kecamatan
Trucuk Kabupaten Bojonegoro.
2) Penggarap lahan pertanian yang menerapkan sistem paron
pada kerjasama lahan pertanian di Desa Tulungrejo
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.
3) Masyarakat yang ada di Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk
Kabupaten Bojonegoro.
Sumber data sekunder meliputi :
1) Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah.
2) Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah.
3) Mardani, Hukum Bisnis Syariah
23
23
4) Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah
5) M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.
3. Pengolahan dan Analisa Data
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan beberapa langkah
dan tahapan untuk menyajikan data yang diperoleh. Tahapan-tahapan
tersebut diantaraya:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data dalam hal ini berupa data-data mentah dari
hasil penelitian, seperti: hasil wawancara, dokumentasi,
catatan lapangan dan sebagainya.
b. Pengklasifikasian data
Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan, wawancara,
catatan lapangan, serta bahan-bahan data lain yang ditemukan
dilapangan dikumpulkan dan diklasifikasikan dengan membuat
catatan-catatan ringkasan, mengkode untuk menyesuaikan
menurut hasil penelitian.
c. Penyajian data (Display data)
Data yang sudah dikelompokkan dan sudah disesuaikan
dengan kode- kodenya, kemudian disajikan dalam bentuk
tulisan deskriptif agar mudah dipahami secara keseluruhan
dan juga dapat menarik kesimpulan untuk melakukan
penganalisisan dan penelitian selanjutnya.
d. Kesimpulan verifikasi
Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus
diulang kembali dengan mencocokkan pada reduksi dan display
data, agar kesimpulan yang telah dikaji dapat disepakati untuk
ditulis sebagai laporan yang memiliki tingkat kepercayaan yang
benar.
4. Teknik Penulisan
Penelitian menggunakan metode penulisan yang terdapat pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
24
24
5. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran sederhana agar memudahkan dalam
penulisan skripsi maka disusun sistematika penulisan yang terdiri dari:
➢ BAB I PENDAHULUAN: Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka teori, tujuan pustaka, metode
penelitian dan teknik penelitian, teknik penulisan, serta sistematika
penulisan.
➢ BAB II LANDASAN TEORI: Bab kedua memuat penjelasan
tentang teori Muzara’ah, Mukhabarah, Musaqah dan ‘Urf. Teori
pertama yaitu Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah berisi
tentang pengertian Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah dasar
hukum Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah . Rukun dan syarat
Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah. Berakhirnya akad
Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah. Teori yang kedua adalah
‘Urf mencakup tentang definisi ‘Urf, dan macam-macam ‘Urf.
➢ BAB III GAMBARAN UMUM PRAKTIK KERJASAMA
PERTANIAN DESA TULUNGREJO : Bab ini berisi tentang
gambaran umum Desa Tulungrejo yang meliputi kondisi geografis
dan sosial masyarakat, kondisi sosial masyarakat Desa Tulungrejo,
sistem bagi hasil pertanian masyarakat Desa Tulungrejo, serta
praktik kerjasama pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Tulungrejo.
➢ BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN : Bab ini berisi
tentang analisa mengenai penerapan prinsip syariah dalam praktik
kerjasama lahan pertanian antara Desa Tulungrejo.
➢ BAB V PENUTUP : Bab ini berisi tentang kesimpulan yang
diperoleh dari pembahasan bab-bab sebelumnya serta saran yang
diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa Tulungrejo
25
25
dalam sektor pertanian.
26
26
BAB II
KONSEP MUZARA’AH, MUKHABARAH, MUSAQAH dan ‘URF
DALAM HUKUM ISLAM
Dalam hukum Islam, bentuk kerjasama dalam pertanian terbagi menjadi tiga,
yaitu Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah.
A. Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa, Al-Muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama Al- Muzara’ah
yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman). Secara istilah Muzara’ah adalah
kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan
perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama.16
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.17 Pada praktiknya konsep kerjasama ini
biasanya dilakukan oleh dua pihak, yaitu pemilik modal, dan pengelola lahan pertanian.
Ada beberapa pandangan tentang definisi Muzara’ah diantara empat madzhab:
1. Ulama Malikiyah mendefenisikannya dengan:
الشركة في الزرع
“perserikatan dalam pertanian”
2. Menurut Ulama Hanabilah muzara’ah adalah;
دقع الأرض الى من يزرعها او يعمل عليها و الزرع بينهما
“penyerahan lahan pertanian kepada seorang petani untuk diolah dan
hasilnya dibagi dua”
3. Imam Syafi’I mendefenisikan muzara’ah dengan
16 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 114 17 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 213
27
27
عمل الأرض ببعض ما يخرج منها و البذر من العامل
“pengolahan lahan oleh petani dengan hasil pertanian,sedangkan bibit
pertanian disediakan oleh pemilik lahan”
Sedangkan muzara’ah menurut para ahli antara lain:
1. Sayyid Sabiq
Dalam bukunya yang berjudul fiqih sunnah, Sayyid Sabiq mendefinisikan
Muzara’ah sebagai kerjasama dalam penggarapan tanah dengan imbalan
sebagian dari apa yang dihasilkannya.18 Dan maknanya disini adalah pemberian
tanah kepada orang yang akan menanaminya dengan catatan bahwa dia akan
mendapatkan porsi tertentu dari apa yang dihasilkannya, seperti setengah,
sepertiga atau lebih banyak dan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak.
2. Abdul Sami’ Al Mishri
Abdul Sami’ Al-Mishri mendefinisikan muzara’ah sebagai sebuah akad
yang mirip dengan akad mudharabah, namun objek pengelolaan dalam akad
ini berupa tanah pertanian. Pemilik tanah memberikan tanahnya kepada
penggarap untuk diberdayakan, nantinya jika terdapat panen, akan dibagi
berdua sesuai dengan kesepakatan. Sebuah akad kerjasama pengolahan tanah
pertanian antara pemilik tanah dengan penggarap, dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Jika terjadi
kerugian, dalam arti gagal panen, maka penggarap tidak menanggung apapun,
tapi ia telah rugi atas usaha dan waktu yang telah dikeluarkan.
Akad muzara’ah hampir sama dengan akad sewa (ijarah) diawal,
namun diakhiri dengan akad syirkah. Dengan demikian, jika bibit berasal dari
18 Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia), 2011, 215
28
28
penggarap, maka objek transaksinya adalah kemanfaatan lahan pertanian,
namun jika bibit berasal dari pemilik lahan, objeknya adalah amal/tenaga
penggarap, tapi jika panen telah dihasilkan, keduanya bersekutu untuk
mendapatkan bagian tertentu.
3. Syafi’I Antonio
Menurut Syafi’I Antonio muzara’ah adalah kerjasama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
4. Fuad Moch Fachruddin
Menurut Fuad Moch Fachruddin, muzara’ah adalah satu istilah yang
dipakai untuk satu perjanjian antara petani yang bermupakat dengan pemilik
tanah dengan memberikan tanah itu kepadanya untuk diusahakan, ditanam dan
hasilnya nanti dibagi antara mereka berdua secara separuh, pada umumnya,
atau dua pertiga untuk pemilik tanah dan sepertiga untuk pak tani/pengusaha
atau dengan cara yang lain daripada itu.
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa muzara’ah
merupakan kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap, dalam hal ini
adalah petani, dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut
kesepakatan bersama.
B. Dasar Hukum Muzara’ah
Dasar hukum akad muzara’ah terdapat dalam beberapa hadits, diantaranya
yaitu:
29
29
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdillah19
عن عبدالله رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه و سلم اعطي خيبر
على ان يعملوها و يزرعوها و لهم شطر ما خرج منها اليهودي
“ Dari Abdullah r.a berkata : Rasulullah telah memeberikan tanah
kepada orang yahudi kahibar untuk dikelola dan ia mendapatkan bagian
(upah) dari apa yang dihasilkan daripadanya.”
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Abbas r.a
ان النبي صلى الله عليه و سلم لم يحرم المزارعة و لكن أمر ان يرفقو
فاليزرعها اوليمنحها اخاه فانبقوله مت كانت له أرض بعضهم ببعض
ابى فليمسك ارضه
“sesungguhnya Nabi SAW menyatakan : tidak mengharamkan
bermuzara’ah, bahkan Beliau menyuruhnya, supaya sebagian menyayangi
sebagian yang lain, dengan katanya: Barangsiapa memiliki tanah maka
hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia
tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al Nasa’I dari Rafi’ ra,
dari Nabi SAW Beliau bersabda:
انما يزرع ثلاثة رجل له ارض فهو يزرعها و رجل إستكرى ارض
او فضة بذهب
“laki-laki yang ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya
dan laki-laki yang diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya,
dan laki-laki yang menyewa tanah dengan mas atau perak”
4. hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari r.a
19 Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail, Kutubu as-Sittah, Shahih Bukhari, Nomor Hadis: 2328, (Riyadh: Darussalam linnasyari wa at-Ziiyi, 2008), 182
30
30
الله عليه و سلم عمل خيبر بشطر ما عن عبدالله بن عمر: أن النبي صل
ما ئتا وسق, ثمانون منها من ثمر أو زرع فكان يعطي أزواجه يخرج
وعشرون وسق شعر وسق تمر,
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar : bahwa Nabi Saw. Memperkerjakan
penduduk Khaibar dengan mendapatkan setengah dari buah atau tanaman yang
dihasilkan. Maka beliau memberi istri-istrinya sebanyak seratus wasaq: 80 wasaq
kurma dan 20 wasaq sya’ir. (HR. Al- Bukhari: 2328).
C. Rukun dan Syarat Muzᾱra’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad Muzᾱra’ah mengemukakan rukun dan
syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.
Rukun Muzara’ah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:20
1. Pemilik tanah.
2. Petani penggarap.
3. Objek Muzᾱra’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4. Ijab dan Kabul.
Adapun syarat-syarat Muzᾱra’ah, menurut jumhur ulama adalah sebagai
berikut:
1. Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah
baligh dan berakal.
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas
sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:21
a. Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak
memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad
Muzᾱra’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.
20 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 116 21 M.Yusuf dkk, Gerbang fikih, (Kediri: Lirboyo Press ), 2019, 301
31
31
Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian
itu maka akad Muzᾱra’ah tidak sah.
4. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa
boleh ada pengkhususan.
c. Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau
seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul
perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh
berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal
untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh
panen jauh di bawah itu atau dapat juga melampaui jumlah itu.
5. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam
akad sejak semula, karena akad Muzara’ah mengandung makna akad
Al-Ijarah (sewa menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan
sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus
jelas.Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan
Muzara’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani,
sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah,
maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.
D. Berakhirnya akad Muzara’ah
Ulama fiqih yang membolehkan akad muzara’ah mengatakan bahwa akad
ini akan berakhir apabila :22
1. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Akan tetapi apabila jangka
waktunya sudah habis, sedangkan hasil pertanian itu belum laik panen,
maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai
dengan kesepakatan bersama di waktu akad.
2. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali, apabila salah
seorang yang berakad wafat, maka akad Muzara’ah berakhir, karena
mereka berpendapat bahwa akad ijarah tidak bisa diwariskan. Akan tetapi
ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i berpendapat akad itu bisa
22Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia), 2001, 211
32
32
diwariskan. Oleh sebab itu akad tidak berakhir dengan wafatnya salah satu
pihak yang berakad.
3. Adanya uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik lahan, maupun dari
pihak petani yang menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan akad
muzara’ah tersebut. Uzur yang dimaksud antara lain :
a. Pemilik lahan terbelit utang, sehingga lahan pertanian tersebut
harus ia jual, karena tidak ada harta lain yang bisa untuk melunasi
hutang tersebut. Pembatalan ini harus dilaksanakn melalui campur
tangan hakim. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah
berbuah, tetapi belum laik panen, maka lahan itu tidak boleh dijual
sebelum panen.
b. Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu
perjalanan ke luar kota, sehingga ia tidak mampu melaksanakn
pekerjaanya
E. Pengertian Mukhabarah
Menurut terminologi, Mukhabarah adalah bentuk kerjasama antara
pemilik sawah atau tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan
dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama,
sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.23
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menurut para ahli ialah:
1. Menurut Dhahir Nash, Al-Syafi’i berpendapat bahwa Mukhabarah ialah:
معاملة العامل فى الأرض ببعض مايخرج منها على ان يكون البذر من
الملك
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”
23 Ibnu Hamdun dkk, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press), 2013,311
33
33
2. Syaikh Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa Mukhabarah ialah:
ارض الملك ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل عمل العامل فى
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan
modal dari pengelola”
F. Dasar Hukum Mukhabarah
Hukum Mukhabarah dalam Islam adalah mubah (boleh), Rasulullah SAW
bersabda:
حمن لو تركت هذه المخابر ة عن طاوس أنه كان يخبر, قال عمرو فقلت له يا أبا عبد الر
قال أي عمرو : فاءنهم يزعمون أن النبى صلى الل عليه وسلم نهى عن المخاب ة ف
أخبرنى أعلمهم بذالك يعنى ابن عباس أنن النبي صلى الل عليه وسلم لم ينه عنها
إنما قال يمنح أ حدكم أخاه خير له من أن يأ خذ عليها خرجا معلوما )رواه مسلم(
Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku
katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini,
nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw, telah melarang mukhabarah. Lantas
Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh
mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. tidak melarang
Mukhabarah itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat kepada
saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan
upah tertentu”. (HR.Bukhari 1087).
Pendapat ini dikuatkan oleh Nabawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi. Mereka
mengambil alasan hadits Ibnu Umar:
عن ابن عمر ان النبى صلى الله عليه وسلم عاعمل اهل خيبر بشرط ما يخرج
رواه مسلم - منها من ثمر او زرع
34
34
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau
kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka
akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil
pertahunan (Palawija).”
G. Rukun dan syarat Mukhabarah
Menurut Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara
pemilik dan pekerja. Karena pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah hampir sama,
yang membedakan adalah modal. Maka rukun dalam mukhabarah secara rinci ada
empat, yaitu:
1. Tanah
2. Perbuatan Pekerja
3. Modal
4. Alat-alat untuk menanam.
Menurut Syarifuddin kerjasama adalah kehendak dan keinginan dua pihak,
maka harus ada akad atau perjanjian baik secara formal maupun cara yang lain dengan
ucapan ijab dan qabul.
Melihat hal diatas penulis berkesimpulan bahwa rukun dalam praktek kerjasama
Mukhabarah ada lima yaitu:
1. Akad (sighat ijab dan qabul).
2. Tanah.
3. Perbuatan pekerja.
4. Modal/benih.
5. Alat-alat untuk menanam.
Adapun syarat-syarat praktik Mukhabarah ialah sebagai berikut:
1. Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain (orang yang berakad) antara pemilk
tanah dan penggarap yaitu harus berakal.
2. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan
macam apa saja yang akan ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
a. Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya
b. Hasil adalah milik bersama
c. Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
d. Tidak disyaratkan bagi keduanya penambahan yang maklum.
35
35
4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
a. Tanah tersebut dapat ditanami
b. Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5. Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah:
a. Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud,
seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung
teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat.
b. Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut
kebiasaan.
H. Berakhirnya akad Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya akad Mukhabarah diantaranya:
a. Habis masa akad mukhabarah
b. Salah seorang yang berakad meninggal
c. Adanya uzur, Menurut ulama Hanafiyah, diantara uzur yang
mengnyebabkan batalnya mukabarah, antara lain :
1) Tanah garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar
hutang.
2) Si penggarap tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad
dijalan Allah SWT dan lain-lain.
I. Pengertian Musaqah
Secara sederhana Musaqah diartikan dengan kerjasama dalam perawatan tanaman
dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut. Menurut Amir
Syarifuddin, yang dimaksud dengan tanaman dalam muamalah ini adalah tanaman tua,
atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya. Perawatan disini
mencakup mengairi (inilah arti sebenarnya musaqah) menyiangi, merawat dan usaha lain
yang berkenaan dengan buahnya.
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah, dimana si
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan,
si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
36
36
Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, sedankan Secara
terminologi, musaqa berarti penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan
dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.
Adapun pengertian musaqah menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut:
1. Menurut Malikiyah, musaqah ialah:
“sesuatu yang tumbuh ditanah”
Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh ditanah terbagi menjadi lima
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu
dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama,
misalnya pohon anggur dan zaitun.
b. Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah, seperti
pohon kayu keras, karet dan jati.
c. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat
dipetik seperti padi
d. Pohon-pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang
dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti
bunga mawar.
e. Pohon-pohon yang diambil manfaatnya, bukan buahnya,
seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan ditempat
lainnya.
2. Sedangkan Ulama Syafi’iyah mendifinisikan Musaqah dengan:
“mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau
pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil
37
37
kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani
penggarap‟
3. Menurut Ulama Hanabilah, Musaqah mencakup dua masalah berikut ini:24
a. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon
anggur, kurma dan yang lainnya. Baginya, ada buah yang dapat
dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti
sepertiga atau setengahnya.
b. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum
ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada
tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari
buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah
mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon
untuk ditanamkannya.
Dengan demikian, Musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama
pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu
dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah
adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap
sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
J. Dasar Hukum Musaqah
1. Dasar hukum musaqah yang bersumber dari Al-Quran diantaranya:
a. Q.S. al-Maidah (5): 2
ثم والعدوان وتعاونوا على البر والتقوى ول تعاونوا على ال
”...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran...”.
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan kepada setiap orang
yang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah di ikrarkan, baik janji
hamba kepada Allah SWT maupun janji yang dinuat antara sesama manusia
seperti perdagangan, kerjasama, dan lain sebagainya.
24 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 281-282.
38
38
b. Q.S Al-Baqarah (2):282
ى فاكتبوه وليكتب بينكم ك ي سم ى اجل ما اذا تداينتم بدين ال اتب ايها الذين امنو
...بالعدل
”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar”
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada
hambanya yang melakukan kerjasama hendaknya dilakukan secara tertulis
dan tidak dilakukan secara lisan agara terhindar dari hal-hal yang bisa
merugikan dalam suatu kerjasama.
2. Hadits yang driwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr, r.a
خيبر اعطى خيبربشطر ما يخرج منها من ثمر او زرع و في رواية دفع إلى اليهود
و أرضها على أن يعملو هامن أموالهم وأن رسول الله صلى الله عليه و سلم شطرها
K. Rukun dan Syarat Musaqah
Terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama fiqh terhadap rukun-rukun
Musaqah. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad
adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan
pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Sedangkan rukun-rukun Musaqah menurut Ulama Syafiiyah ada lima,
diantaranya:
a. Shighat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan
dengan samaran (kinayah). Disyaratkan shigat dengan lafazh dan tidak
cukup dengan perbuatan saja.
b. Dua orang atau pihak yang berakad (al-aqidani), disyaratkan bagi orang-
orang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti
baligh, berakal, dan tidak berada dibawah pengampuan.
c. Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah
boleh diparokan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam
setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti
39
39
padi, jagung, dan yang lainnya.
d. Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan
dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut
kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah
berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus
dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-
cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau
mengawinkannya.
e. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya
kebun dan bekerja dikebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat,
atau ukuran yang lainnya.
L. Berakhirnya Akad Musaqah
Menurut ulama fiqh, akad Musaqah berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis
b. Salah satu pihak meninggal dunia
c. Uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Uzur yang dimaksudkan dalam hal ini di antaranya adalah petani penggarap
itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap
sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
Jika petani wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika
tanaman itu belum dipanen, sedangkan jika pemilik perkebunan yang wafat,
maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang
berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara
meneruskan akad atau menghentikannya.
M. Defenisi ‘Urf
'Urf secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal
sehat. Sedangkan secara istilah ‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh
manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau
hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Ada juga yang mendefinisikan bahwa ‘Urf
40
40
ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai di mana mereka bisa melakukannya,
baik perkataan maupun perbuatan.25
Sedangkan‘Urf atau adat menurut istilah ahli syariat ialah dua kata yang
mempunyai pengertian sama. Menurut istilah ahli syara', tidak ada perbedaan di antara
‘Urf dan adat. Dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘Urf lebih umum
dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat,
juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun
tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.26
Maka, dari pengertian di atas ‘Urf ialah suatu kebiasaan yang telah dilakukan
oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun perbuatan dan
yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Namun, jika kebiasaan tersebut
bertentangan dengan syari'at Islam, maka kebiasaan tersebut dihapus dengan dalil yang
ada pada syara'.
N. Kehujjahan 'Urf
'Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada
umumnya, ‘Urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti ‘Urf
tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syariat islam.
Mengenai kehujjahan ‘Urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:
1. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ‘Urf adalah hujjah
untuk menetapkan hukum Islam. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam
Surat Al- A’raaf ayat 199:
خذ العفو وأمر بالعرف واعرض عن الجاهلين.
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa ‘Urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa
yang sering mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘Am artinya Allah
memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan suatu hal yang baik, karena
merupakan perintah, maka ‘Urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil hukum.
25 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Predana Media Group), 2008, 387 26 Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Media Group), 2016, 151
41
41
Maka dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwasannya sesuatu
yang sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya,
maka hal itu dianggap benar oleh syari’at islam meskipun tidak ada dalil yang
menyatakannya baik dalam Al-Quran maupun sunnah.
Selain berdasarkan dalil Al-Quran tersebut, ulama Hanafiyah dan
Malikiyah juga berhujjah dengan hadits nabi:
ماراه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang
baik pula menurut Allah”.
Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi orang
islam berarti hal itu baik pula di sisi Allah yang di dalamnya termasuk juga urf
yang baik. Yang mana berdasarkan dalil-dalil tersebut, urf yang baik adalah
suatu hal yang baik di hadapan Allah.
2. Golongan Syafi’iyah dan Hanabilah, keduanya tidak menganggap ‘Urf sebagai
hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya
istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath
hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Maka dengan hal itu, secara
otomatis golongan Imam Syafi’i juga menolak menggunakan ‘Urf sebagai
sumber hokum islam. Penolakannya itu tercermin dari perkataannya
sebagaimana berikut:
“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah
membuat hukum”.
Bahkan dalam kitabnya, beliau menyatakan dengan tegas sebagai
berikut:
“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu
hukutn tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan ber-
dasarkan apa yang dianggap baik (istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum
dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani
ketentuan yang telah digariskan sebelumnya”.
Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau
mengemukakan beberapa dalil (argumen) sebagai dasar dari penolakannya,
sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah dan al-Umm. Ia
mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di antaranya:
42
42
1. Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:
ليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم السلام ا
دينا.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu”.
2. Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:
لنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة.... ونز
"Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat".
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi’i menolak adanya
sumber hukum dari urf, karena beliau menganggap bahwa ‘Urf merupakan
penetapan suatu hukum yang tidak berdasarkan dalil yang sudah ditetapkan
yakni; Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
O. Syarat-Syarat 'Urf
'Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan
berfatwa, tidak lepas dari beberapa syarat yang harus dipenuhi. Maka para ulama ushul
fiqh dalam memutuskan perkara disyaratkan sebagai berikut:27
a. ‘Urf tersebut tidak bertentangan dalil qath’i, sehingga menyebabkan
hukum yang dikandung dalam nash tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti
ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan urf baru bisa
diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan
yang dihadapi. Apabila ‘Urf tersebut bertentangan dengan nash yang
umum yang ditetapkan dengan dalil yang dzanni, baik dalam ketetapan
hukumnya maupun penunjuk dalilnya, maka ‘Urf tersebut berfungsi
sebagai takhsis daripada dalil yang dzanni.
b. 'Urf tersebut berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas tersebut, baik
dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
c. 'Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang
kemudian.
27 Satria effendi, ushul fiqh156-157
43
43
P. Kaidah-Kaidah 'Urf
Diterimanya ‘Urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang
lebih luas bagi dinamisasi hukum islam. Maka keadaan urf pun akan selalu mengalami
berbagai macam warna. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al Qayyim Al Jauziyah
bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dikarenakan adanya perubahan waktu
dan tempat, maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fiqih yang tadinya
dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana
adat istiadat itu berubah.
Dari berbagai kasus 'Urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan
kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘Urf, diantaranya:28
العادة محكمة
“adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”.
Kaidah ini dapat melahirkan banyak masalah hukum yang
memberikan ruang kepada tradisi lokal masyarakat tertentu sebagai sumber
hukum Islam. Terkait hal ini menunjukan bahwa hukum Islam tidak antibudaya
setempat, tetapi justru melestarikan budaya yang dianggap baik, selama tidak
bertentangan dengan syariat.
ل ينكر تغير الحكام بتغير الزمنة و المكنة
“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”.
المعروف عرفا كالمشروط شرط
“Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat”.
Maksudnya sesuatu yang sudah diketahui oleh banyak masyarakat akan menjadi
suatu kebiasaan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum seperti halnya sesuatu
yang disyariatkan akan menjadi syarat atau suatu transaksi yang disepakati kedua belah
pihak.
28 Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Malang: UIN Maliki Press), 2010, 239-243
44
44
الثابت بالعرف كالثابت بالناص
“Yang ditetapkan melalui ‘Urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (Al-Qur’an
atau Hadits)”.
Maksudnya bahwa suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf (kebiasaan),
sama halnya dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan teks. Hal ini menunjukan
bahwa‘Urf memiliki peranan dalam pengembangan hukum Islam sebagai salah satu
metode merumuskan hukum Islam.
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang
ditetapkan melalui Al Qur’an dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui
‘Urf itu sendiri.
Q. Macam-Macam 'Urf
Para ulama' ushl fiqh memaiurf menjadi tiga bagian, diantaranya:29
1. 'Urf ditinjau dari segi objeknya.'Urf ini dibagi lagi menjadi dua,yakni:
a. Urf bil lafdzi, yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal
atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu. Sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
Misalnya, ungkapan daging yang berarti sapi; padahal kata daging
mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi
penjual daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging satu
kilogram”, pedagang tersebut langsung mengambilkan daging sapi. Hal
ini terjadi karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengkhususkan
penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. 'Urf bil amali, yakni kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Atau bisa diartikan sebagai
suatu perbuatan atau tindakan yang telah menjadi kesepakatan
masyarakat dan mempunyai implikasi hukum. Adapun yang berkaitan
dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam
melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya,
kebiasaan masyarakat dalam jual beli tanpa mengadakan sighat jual beli
29 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), 2010, 128-129
45
45
(ijab qabul). Masyarakat sudah terbiasa dengan cara langsung
mengambil barang dan membayar kepada penjual.
2. Dari segi cakupannya, 'Urf terbagi menjadi dua. Yakni:
a. 'Urf Al-‘Am, yakni kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas pada
masyarakat dan di seluruh daerah. Kebiasaan tersebut sudah berlaku
sejak dahulu hingga sekarang. ‘Urf ini berlaku untuk semua orang di
semua negeri dalam suatu perkara. Seperti halnya Istisna’, yaitu jual beli
pesanan atau dengan jasa antar.
b. 'Urf Al-Khas, yakni kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu, yang mana di tempat lain terkadang tidak berlaku. Seperti
halnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada
barang yang dibeli, maka dapat dikembalikan. Sedangkan untuk cacat
yang lainnya dalam barang tersebut, tidak dapat dikembalikan. Atau
juga seperti kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap
barang tertentu.
3. Dari segi penilaian baik dan buruk, 'Urf terbagi menjadi dua. yakni:
a. ‘Urf Shahih ialah suatu hal yang sudah dikenal oleh khalayak ramai
yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nash, tidak melupakan
maslahat dan tidak menimbulkan mafsadah. Contoh lainnya ialah
kebiasaan masyarakat menyerahkan sebagian mahar secara kontan dan
menangguhkan sebagian yang lainnya. Contoh lagi, ialah kebiasaan
seseorang memberikan hadiah kepada calon pengantin putri berupa kue,
pakaian dan lain-lainnya. Hadiah tersebut tidak bisa disebut sebagai
mahar tetapi merupakan hadiah biasa. Adapun ‘Urf Shahih, maka harus
dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Bagi
seorang mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk
hukum.
b. ‘Urf fasid ialah kebiassaan yang sudah dikenal orang banyak, tetapi
bertentangan dengan syariat Islam atau keadaannya memang dapat
mengundang madharat atau melupakan maslahat. Misalnya; berjudi
untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan
minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,
46
46
melewatkan kewajiban shalat dalam pesta perkawinan atau yang
sebangsanya, mengambil keuntungan riba dalam usaha jasa keuangan.
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRAKTIK KERJASAMA LAHAN PERTANIAN
DI DESA TULUNGREJO KECAMATAN TRUCUK KABUPATEN BOJONEGORO
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, keadaan suatu wilayah
sangat berpengaruh dan menentukan watak dan sifat dari masyarakat
yang menempatinya, sehingga karakteristik masyarakat itu akan
berbeda-beda antara wilayah satu dengan wilayah yang lainnya. Seperti
yang terjadi di masyarakat Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk
Kabupaten Bojonegoro, yang mana diantaranya adalah faktor geografis,
47
47
sosial, keagamaan, pendidikan dan faktor ekonomi.
1. Letak Geografis
Desa Tulungrejo merupakan salah satu desa yang terletak di
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro dengan jarak 5 km dari
kecamatan, 3 km dari kabupaten. Ibu Eni Ekowati selaku Sekrestaris
Desa menjelaskan bahwa batas-batas Desa Tulungrejo sebagai
berikut:30
a. Sebelah Utara : Desa Trucuk Kecamatan Trucuk
b. Sebelah Selatan : Desa Jetak Kecamatan Bojonegoro
c. Sebelah Barat : Desa Ngablak Kecamatan Dander
d. Sebelah Timur : Desa Jetak Kecamatan Bojonegoro
Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro terdiri
dari 3 dusun 14 RT dan 2 RW yang masing-masing dipimpin oleh Kepala
dusun (Kasun) dengan rincian sebagai berikut:31
a. Dusun Gedangan terdiri dari 1 RW dan 7 RT.
b. Dusun Tulungrejo terdiri dari 1 RW dan 5 RT.
c. Dusun Pandean terdiri dari 1 RW dan 2 RT.
2. Luas Wilayah
Luas wilayah Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten
Bojonegoro adalah 170,45 hektar yang terdiri dari:32
a. Tanah sawah terdiri dari dua macam yaitu:
1) Sawah irigasi : 108 Ha
2) Sawah tadah hujan : 0,21 Ha
b. Tanah kering terdiri dari tiga macam, yaitu:
1) Pemukiman : 19 Ha
30 Data Monografi Desa Tulungrejo Tahun 2020 31 Ayu dita Kusuma Dewi, wawancara, Bojonegoro 6 April 2021 32 Data monografi Desa Tulungrejo Tahun 2020
48
48
2) Pekarangan : 23,24 Ha
c. Tanah perkebunan : 19,5 Ha
d. Tanah pemakaman : 0,25 Ha
3. Keadaan Penduduk
a. Jumlah kepala keluarga : 977 KK
b. Laki-laki : 1401 jiwa
c. Perempuan : 1469 jiwa
Jenjang pendidikan penduduk Tulungrejo yaitu sebagai berikut:
a. Tidak sekolah : 275 Jiwa
b. Tamat SD : 53 Jiwa
c. SMP : 80 Jiwa
d. SMA : 804 Jiwa
e. Perguruan tinggi : 148 Jiwa
4. Kondisi sosial keagamaan
Mengenai kehidupan sosial keagamaan penduduk Desa Tulungrejo
mayoritas beragama Islam, dan ada beberapa orang yang menganut
kepercayaan Jawa kuno. Hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa kegiatan
keagamaan yang ada. Selain itu juga adanya sarana dan prasarana peribadatan
di Desa Tulungrejo cukup memadai dengan adanya fasilitas tempat ibadah yang
ada yaitu 2 masjid besar dan juga terdapat banyak mushola serta tempat
pendidikan keagamaan seperti madrasah dan taman pendidikan Al-Qur’an
(TPQ).
Sosial keagamaan masyarakat di Desa Tulungrejo cukup berkembang.
Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang cukup aktif di Desa
Tulungrejo, Masyarakat Desa Tulungrejo mengadakan rutinitas kegiatan-
kegiatan keagamaan yang biasanya dilaksanakan setiap satu minggu atau satu
bulan sekali diantaranya:
1. Jamaah tahlil laki-laki : 1 Minggu sekali
2. Jamaah tahil perempuan : 2 Minggu sekali
3. Ceramah agama : Setiap peringatan hari besar Islam
49
49
4. Ziarah wali : Tentatif
5. Manaqib : 1 Bulan sekali
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial
keagamaan masyarakat Desa Tulungrejo sudah cukup maju dan berkembang
dilihat dari banyaknya kegiatan keagamaan yang ada dan diikuti oleh
masyarakat Desa Tulungrejo.
F. Kondisi Sosial Pendidikan
Masalah pendidikan tidak akan bisa lepas dari sarana dan prasarana dari
lembaga pendidikan yang ada, karena sarana tersebut merupakan tolak ukur
bagi perkembangan pendidikan anak didik bangsa pada generasi yang akan
dating. Dalam hal pendidikan, kesadaran masyarakat Desa Tulungrejo akan
pentingnya pendidikan, kesadaran masyarakat terhadap pendidikan terlihat dari
anak-anak Desa Tulungrejo yang seluruhnya sedang berusaha belajar di
lembaga-lembaga pendidikan. Dimulai dari bagian masyarakat yang paling
muda, terdapat lembaga pendidikan formal PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini), TK (Taman Kanak-Kanak) dan lembaga pendidikan keagamaan TPQ
(Taman Pendidikan Al-Qur’an) untuk usia anak-anak. Selain itu juga terdapat
pula SD (Sekolah Dasar), MI (Madrasah Ibtidaiyah). Sayangnya mereka yang
ingin meneruskan ke jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan seterusnya
harus bersekolah keluar Desa Tulungrejo. Adapun rincian tentang sarana
pendidikan yang ada dapat dilihat dari uraian berikut:
1. PAUD/TK : 2 sekolah
2. SD/MI : 2 sekolah
3. TPQ : 4 sekolah
B. Sistematika Kerjasama Lahan Pertanian Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk
Kabupaten Bojonegoro
Kerjasama lahan pertanian yaitu seorang praktik kerjasama dimana pemilik
tanah menggarapkan tanahnya kepada orang lain, lalu pihak pengelola tanah akan
mempekerjakan buruh tani sebagai penggarap lahan tersebut dengan perjanjian
bahwa hasil dari penghasilan tanah itu akan dibagi antara pemilik lahan, pengelola
lahan dan penggarap lahan atau buruh tani dan membagi hasil itu dengan dibagi tiga
antara pemiliik lahan, pengelola lahan, dan buruh tani atau penggarap lahan.
50
50
Perjanjian membagi hasil seperti itu sering dijumpai di tanah-tanah dengan hak
milik perseorangan.
1. Latar belakang terjadinya kerjasama lahan pertanian antara pemilik lahan,
pengelola lahan dan buruh tani.
Dalam kehidupannya, masyarakat di Desa Tulungrejo melakukan kegiatan
bercocok tanam, hal ini dikarenakan meyoritas penduduknya berprofesi sebagai
petani. Sebagai petani mereka menggarap tanah sawah untuk ditanami , hal tersebut
merupakan aktifitas pertanian yang biasa dilakukan oleh masyarakat Desa
Tulungrejo baik laki-laki maupun perempuan bahkan suami istri. Kerjasama Lahan
Pertanian merupakan salah satu model kerjasama yang dapat dijumpai pada
masyarakat Desa Tulungrejo, karena ada masyarakat yang memiliki banyak lahan
namun tidak memiliki cukup tenaga atau kemampuan untuk menggarap lahan
tersebut, ada pula masyarakat yang hanya memiliki modal untuk mengelola lahan
pertanian, dan ada juga pihak yang hanya meliliki kemampuan atau tenaga untuk
bertani. Dari hal tersebut muncullah kerjasama lahan pertanian dengan melibatkan,
yaitu antara pemilik lahan, pengelola lahan, dan penggarap lahan atau yang biasa
disebut sebagai buruh tani
Kerjasama lahan pertanian yang ada di Desa Tulungrejo ini pada praktiknya
semua biaya ditanggung oleh pengelola lahan pertanian. Panen yang terjadi pada
umumnya sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu dua kali panen padi dan satu
kali panen jagung. Ketika melakukan perjanjian, pemilik sawah membuat
kesepakatan dengan pengelola bahwa hasil dari setiap panen dibagi dua, setelah itu
pihak pengelola lahan biasanya mencari orang yang memiliki kemampuan untuk
bertani guna menggarap lahan yang disewanya dengan upah dari hasil panen yang
sudah dibagi oleh pemilik lahan pertanian tersebut.
Menurut Ibu Marfuah pemilik sawah, kerjasama lahan pertanian dengan
sudah lama dilakukan yaitu kerjasama yang dilakukan oleh pemilik sawah dan
pengelola sawah serta penggarap sawah. karena pemilik sawah memiliki lahan yang
menganggur namun tidak memiliki cukup tenaga dan kemampuan untuk
menggarapnya dengan catatan bibit, pupuk, obat, tenaga, dan kebutuhan lainnya
ditanggung oleh pihak pengelola lahan dan jika sudah tiba waktu panen pemilik
sawah mendapatkan hasil 30% dari hasil panen, namun jika terjadi musibah yaitu
51
51
gagal panen pemilik sawah hanya mendapatkan 20% dari hasil panen tergantung
pada hasil panen.33
Pendapat lain dari Ibu Asyhariyah pemilik modal, mengatakan bahwa ada
kesibukan lain yaitu sebagai pengusaha yang memiliki banyak uang yang bisa
dimanfaatkan untuk menyewa lahan yang menganggur namun tidak memiliki lahan
pertanian. Selain itu Ibu Asyhariyah juga tidak memiliki waktu dan tenaga yang
cukup untuk mengolah lahan yang disewanya, oleh karena itu Ibu Asyhariyah
mempekerjakan orang lain untuk menggarap sawah yang disewanya. Pada
praktiknya seluruh biaya pertanian baik dari bibit dan pupuk serta perawatan lahan
juga pajak atas lahan yang disewa ditanggung oleh Ibu Asyhariyah sebagai
pengelola lahan tersebut. Ketika masa panen tiba Ibu Asyhariyah mendapatkan 60
% dari hasil panen yang nantinya dari 60% ini akan dibagikan dengan buruh yang
bekerja untuk mnegolah lahan pertanian yang disewa olehnya. Ketika gagal panen,
biasanya Ibu Asyhariyah hanya mendapatkan 45% sampai 50 % dari hasil panen
tersebut yang nantinya bagian dari Ibu Asyhariyah akan diberikan separuhnya untuk
buruh tani yang menggarap lahan yang disewanya. Adapun semua kesepakatan
mengenai besaran pembagian hasil seluruhnya telah disetujui oleh pihak yang
terkait, baik ketika masa panen berhasil maupun ketika gagal panen.34
Bagi Bapak Saeri sebagai buruh tani yang mengelola sawah milik orang lain
dikarenakan Bapak Saeri tidak memiliki sawah dan juga modal berupa uang untuk
bertani berprofesi sebagai buruh tani, karena memang memiliki keahlian di bidang
tersebut dan menjadi penghasilan utama dalam memenuhi kehidupan sehari-hari.
Praktik kerjasama lahan pertanian antara pemilik sawah dan pengelola lahan dan
buruh tani ini semua keperluan lainnya ditanggung oleh pengelola lahan pertanian,
dan pada saat panen tiba 30% hasilnya akan diserahkan ke pemilik sawah, dan
sisanya dibagi dua antara pengelola lahan dan buruh tani. namun pada musim yang
tidak menentu seperti saat ini, banyak pengelola lahan yang hanya menyerahkan
15% sampai 20% kepada pemilik lahan dari keseluruhan hasil panen karena
memang hasil panen menurun dan hasilnya tidak memuaskan.35
Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan para pihak yang
menerapkan kerjasama lahan pertanian bahwa kerjasama lahan pertanian seperti ini
33 Marfuah, Wawancara, Bojonegoro 11 April 2021 34 Asyhariyah, wawancra, Bojonegoro 11 April 2021 35 Saeri, wawancara, Bojonegoro 11 April 2021
52
52
sudah lama dilakukan di Desa Tulungrejo, dan menjadi ketentuan yang di
praktikkan secara turun temurun serta sudah menjadi adat dan kebiasaan
masyarakat di Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro
2. Mekanisme Kerjasama Lahan Pertanian Antara Pemilik Lahan, Pengelola Lahan,
dan Buruh tani.
Yang dimaksud dengan kerjasama pertanian menurut Ibu Marfuah pemilik
sawah yaitu sistem kerjasama dalam menggarap lahan pertanian yang mana hasil
panennya nanti dibagi sesuai kesepakatan antara pemilik sawah, pengelola sawah,
dan buruh tani atau yang penggarap sawah. Kesepakatan pembagian hasil panen
tersebut berada di awal perjanjian, namun bisa saja kesepakatan tersebut berubah
saat panen tiba karena hasil panen yang terkadang kurang baik.36
Menurut Bapak Saeri penggarap sawah atau buruh tani bahwa kerjasama ini
merupakan sistem kerjasama penggarapan lahan pertanian dimana hasil panen
dibagi tiga antara pemilik lahan, pengelola lahan pertanian, dan penggarap sawah,
hal tersebut sudah dilakukan sejak dulu, Bapak Saeri sudah menjalankan kerjasama
dengan sistem Paron ini selama 18 tahun.
Alur perjanjian yang dilakukan antara pemilik lahan pertanian dengan
pengelola lahan pertanian yang dijelaskan oleh Ibu Marfuah pemilik sawah adalah
sebagai berikut:37
a. Perjanjian yang dilakukan sebagaimana kebiasaan yang berlaku di
Desa Tulungrejo dari zaman dahulu sampai sekarang. Awal mula
pemilik lahan pertanian yang tidak bisa menggarap sawahnya atau
ada kesibukan lain mendatangi para pengelola lahan pertanian yang
biasanya dianggap pandai dalam mengelola lahan pertanian, baik
pengelola yang memiliki lahan sendiri atau pengelola yang hanya
mempunyai modal berupa uang untuk bertani, juga petani yang tidak
memiliki sawah, selanjutnya pemilik sawah menawarkan kepada
pengelola untuk menggarap sawahnya dengan sistem bagi hasil
pertanian.
b. Jika pengelola lahan pertanian setuju maka hal tersebut sudah
dianggap sebagai perjanjian menurut masyarakat Desa Tulungrejo,
36 Marfuah, wawancara Bojonegoro 11 April 2021 37 Marfuah, wawancara, 11 April 2021
53
53
perjanjian tersebut dilakukan secara lisan dan tanpa ditulis karena
kebiasaan yang mereka lakukan seperti itu dengan memegang
prinsip saling percaya antara pemilik sawah dan pengelola lahan.
c. Untuk jangka waktu tidak dibatasi oleh pemilik sawah dengan
makna terserah penggarap mau mengelola sawah tersebut sampai
kapan. Dengan kata lain karena perjanjian tidak dibatasi maka
perjanjian juga bisa berakhir kapan saja, meskipun ada salah satu
pihak yang tidak ingin mengakhiri perjanjian tersebut. Jika ada salah
satu pihak mau mengakhiri perjanjian tersebut maka harus
memberitahu kepada pihak lain jauh-jauh hari sebelumnya.
d. Pemilik sawah membuat kesepakatan bahwa seluruh biaya
penggarapan sawah ditanggung oleh pengelola lahan, mulai dari
penanaman, pembelian pupuk, pembelian obat, sampai proses
panen, serta seluruh biaya pengelolaan ditanggung oleh pengelola
lahan. Dan saat tiba masa panen hasil panen tersebut dibagi tiga
antara pemilik sawah, pengelola lahan pertanian dan penggarap atau
buruh tani.
Adapun proses penanaman padi yang diungkapkan Bapak Saeri
penggarap sawah atau buruh tani dan pendapat dari masyarakat lainnya yaitu
melalui beberapa tahap sebagai berikut:38
a. Pembukaan Lahan, yaitu proses pembersihan lahan pertanian yang
akan ditanami oleh penggarap dengan cara mencabuti atau
memotong rumput yang ada. Biasanya penggarap menggunakan
cangkul untuk mencangkul tanah agar nanti tanah tidak keras saat
akan ditanami, hal ini dilakukan sebelum datang musim hujan.
b. Penyiapan Benih, setelah dirasa air hujan sudah cukup membasahi
sawah sehingga mudah ditanami, penggarap menyiapkan bibit atau
benih. Biasanya penggarap membelinya dari toko pertanian, atau
bagi penggarap yang tidak mempunyai modal bisa berhutang benih
kepada pemilik toko pertanian dan akan di bayar setelah panen.
c. Penanaman Benih, setelah benih siap di tanam penggarap
menaburkan benih ke satu petak kecil sawah yang sudah dicangkul
38 Saeri, wawancara, 11 April 2021
54
54
dan diisi air, setelah itu benih akan dibiarkan tumbuh sampai
berumur 30 hari atau sampai dirasa padi yang masih kecil tersebut
bisa berdiri sendiri dan tidak roboh saat terkena angin.
d. Penanaman padi, proses selanjutnya setelah padi siap ditanam yaitu
pencabutan padi dari tanah yang kecil tadi lalu penggarap
memperkerjakan buruh tani untuk menanam padi ke seluruh sawah
yang digarap.
e. Pemberian pupuk, setelah penanaman selang 30 hari padi akan diberi
pupuk oleh penggarap, dan selang 30 hari dari pemberian pupuk
pertaman padi juga harus di beri pupuk kembali agar padi cepat besar
dan agar padi terhindar dari gangguan hama biasanya masyarakat
menggunakan obat. Jika penggarap tidak mempunyai biaya untuk
membeli obat biasanya penggarap menghutang obat dari toko
pertanian dan akan di bayar saat panen tiba.
f. Perawatan Padi, selain diberi pupuk dan obat padi juga harus dirawat
dengan baik agar cepat panen, bisanya penggarap memperkerjakan
buruh tani untuk mencabuti rumput liar yang tumbuh disekitar padi
agar rumput tidak menghambat proses pertumbuhan padi.
g. Panen, setelah padi tumbuh dengan baik dan berbuah, padi akan siap
untuk di panen. Biasanya memerlukan waktu 3 bulan dari
penanaman padi sampai padi siap di panen.
3. Pelaksanaan Bagi Hasil
Pada umumnya, pelaksanaan bagi hasil masyarakat Desa Tulungrejo
dilakukan dengan penentuan bagi hasil diawal yaitu pemilik sawah meminta
hasil sebagian dari hasil panen.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Asyhariyah sebagai pengelola lahan
pertanian bahwa ketika tiba masa panen maka sebagian dari hasil panen akan
diserahkan kepada pemilik sawah. Adapun jika hasil panen kurang baik atau
gagal, maka pengelola akan mendiskusikannya kepada pemilik lahan mengenai
55
55
besaran bagi hasil yang akan diterima berdasarkan hasil panen yang telah
diperoleh.39
Adapun menurut Bapak Saeri sebagai penggarap atau buruh tani bahwa
saat tiba masa panen hasilnya akan dibagi sesuai dengan keadaan hasil panen,
jika hasil panen baik maka 30% dari hasil akan diserahkan kepada pemilik
sawah. Namun jika hasil panen tidak baik atau gagal maka pengelola sawah
hanya menyerahkan 15% atau 20% dari hasil panen kepada pemilik sawah
tergantung pada keadaan hasil panen. Bukan berarti pengelola melakukan hal
tersebut secara sepihak, pengelola sawah juga memberitahukan kepada pemilik
sawah bagaimana hasil panennya dan berapa hasil panennya serta berapa yang
diberikan kepada pemilik sawah agar sama-sama mengetahui dan saling
setuju.40
Dalam persentase pembagian hasil tersebut tidak disisihkan atau
dikurangi biaya-biaya yang harus ditanggung pengelola seperti benih, pupuk,
obat, upah buruh tani, biaya penggilingan, dan lain sebagainya, yang dibagi
dengan pemilik sawah tersebut adalah hasil bersih.
39 Asyhariyah, wawancara 11 April 2021 40 Saeri, wawancara 11 April 2021
56
56
57
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH TERHADAP PRAKTIK KERJASAMA LAHAN
PERTANIAN DI DESA TULUNGREJO KECAMATAN TRUCUK KABUPATEN
BOJONEGORO
Dalam bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana praktik
kerjasama lahan pertanian dengan sistem paron antara pemilik sawah dan penggarap di
Desa Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro. Dari data yang didapat,
maka perjanjian kerjasama lahan pertanian secara garis besar dapat dianalisis dari
berbagai segi, yaitu :
A. Analisis Akad dalam Perjanjian Kerjasama Lahan Pertanian
Muzara’ah dan Mukhabarah adalah bentuk kerjasama bidang lahan pertanian
menurut Islam. Muzara’ah merupakan kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik
lahan dan penggarap, yakni pemilik lahan memberikan lahan pertaniannya kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil
panen. Dalam kerjasama ini terdapat dua pihak yang satu sebagai pemilik modal,
sedangkan dipihak lain sebagai pelaksana usaha. Keduanya mempunyai kesepakatan
untuk kerjasama, kemudian hasilnya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
Mukhabarah pun tidak jauh berbeda dengan Muzara’ah, hanya saja jika Muzara’ah
benihnya dari pemilik tanah.
Seperti pandangan Ulama Syafi’iyah yang menyatakan bahwa Muzara’ah
adalah transaksi antara penggarap (dengan pemilik tanah) untuk menggarap tanah
dengan imbalan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan ketentuan
bibit dari pemilik tanah.41
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kerjasama lahan pertanian di
Desa Tulungrejo melibatkan para pihak yaitu pemilik sawah, pengelola lahan
persawahan, dan penggarap sawah atau dalam hal ini adalah buruh tani. Pemilik sawah
menawarkan kepada pengelola lahan yang memiliki modal berupa uang untuk
menyewa sawahnya, dikarenakan pemilik sawah memiliki sebidang lahan pertanian
yang menganggur sebab pemilik sawah tidak mempunyai cukup modal berupa uang
41 Ahmad Wardi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta: Amzah, 2013), 393.
58
untuk mengelola sawahnya. Kemudian pengelola lahan pertanian mepekerjakan orang
yang dianggap pandai dan mempunyai kemampuan dalam bidang bertani dikarenakan
pengelola lahan sedang mengerjakan kesibukan lain atau kurang pandai menggarap
sawah, Jika penggarap setuju maka saat itu pula sudah berlangsung perjanjian antara
pemilik sawah, pengelola lahan dan penggarap lahan. Dalam melakukan perjanjian
mereka tidak melakukannya secara tertulis, melainkan memakai cara kekeluargaan
dengan rasa saling percaya antara pemilik sawah , pengelola lahan, dan penggarap lahan
atas kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi dalam kerjasama lahan pertanian
dengan tersebut. Pemilik sawah memiliki kewajiban menyerahkan sawahnya untuk
dikelola oleh pengelola, dan pengelola mempekerjakan orang yang mampu untuk
bertani. Kemudian pengelola sawah memiliki kewajiban untuk membagi hasil panen
dengan pemilik sawah dan penggarap sawah sesuai kesepakatan. Dalam hal ini bibit,
pupuk, pajak tanah sawah dan seluruh biaya penggarapan sawah ditanggung oleh
pengelola sawah.
Menurut Ibu Marfuah pemilik sawah, kerjasama lahan pertanian antara seperti
ini sudah lama dilakukan yaitu kerjasama penggarapan sawah yang dilakukan oleh
pemilik sawah, pengelola sawah, dan penggarap sawah karena pemilik sawah memiliki
beberapa tanah persawahan namun tidak memiliki cukup tenaga dan modal berupa uang
untuk menggarap sawahnya sendiri.42
Sedangkan Ibu Asyhariyah pengelola sawah mempunyai cukup modal berupa
uang untuk mengelola sawah tersebut dengan catatan bibit, pupuk, obat, tenaga, dan
kebutuhan lainnya ditanggung oleh pengelola. Dan jika sudah tiba waktu panen pemilik
sawah mendapatkan hasil 30% dari hasil panen, namun jika terjadi musibah yaitu gagal
panen pemilik sawah hanya mendapatkan 15% sampai 20% dari hasil panen tergantung
pada hasil panen. Sedangkan pihak pengelola mendapat bagian 70% dari hasil panen
yang nantinya bagian yang diperoleh oleh pengelola sawah akan diberikan sebagian
kepada penggarap atau buruh tani sebagai upah atau imbalan atas pekerjaannya
menggrap sawah yang disewanya. Akan tetapi jika terjadi musibah yang menyebabkan
hasil panen kurang baik maka pihak pengelola hanya mendapatkan 35% sampai 40%
berdasarkan hasil panen yang diperoleh.43 Bagi Bapak Saeri sebagai penggarap sawah
atau buruh tani yang mengelola sawah milik orang lain dikarenakan mereka tidak
42 Marfuah, wawancara Bojonegoro 11 April 2021 43 Asyhariyah, wawancara Bojonegoro 11 April 2021
59
memiliki sawah dan tidak memiliki modal yang cukup untuk menyewa sawah orang
lain tetapi memiliki keahlian di bidang tersebut dan menjadi penghasilan utama dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari.44
Akan tetapi di dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan waktu berlakunya
kerjasama tersebut, juga tidak terdapat perjanjian tertulis mengenai persentase bagi
hasil untuk pemilik sawah dan berapa persentase bagi hasil untuk pengelola dan buruh
tani karena kerjasama di Desa Tulungrejo sudah berlangsung cukup lama, masyarakat
mengenal bahwa bagi hasil dalam kerjasama pertanian seperti ini adalah 30% untuk
pemilik lahan pertanian dan 70% untuk pengelola lahan pertanian sementara penggarap
atau buruh tani akan mendapatkan sebagian dari bagian yang diterima oleh pengelola
sesuai kesepakatan pengelola dan buruh tani , oleh karena itu meskipun pembagian hasil
tidak dituliskan dalam bentuk perjanjian tertulis, tidak menjadi masalah bagi para pihak
tersebut karena mereka sama-sama mengerti bahwa pembagian hasil kerjasama lahan
pertanian tersebut berdasarkan adat dan kebiasaan masyarakat desa Tulungrejo yang
telah dilakukan secara turun temurun. Tetapi ada beberapa masyarakat setelah
perjanjian tersebut berlangsung terdapat perubahan ditengah akad, jika tiba masa panen
tetapi hasil panen tidak memuaskan atau gagal panen, pemilik lahan hanya
mendapatkan 15% sampai 20 % dari hasil panen sementara untuk pengelola dan
penggarap sawah mendapatkan sisanya sesuai kesepakatan berdasarkan hasil panen.
Hal tersebut disetujui oleh para pihak. Dalam hal ini terjadi pembaharuan perjanjian
mengenai besaran hasil panen yang diterima dikarenakan kondisi tertentu dan
disepakati oleh para pihak.
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, rukun Mukhabarah yaitu:
1. Pemilik tanah
2. Petani penggarap
3. Objek Mukhabarah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4. Ijab dan qabul.
Mukhabarah dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut: Syarat
yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:45
1. Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak
44 Saeri, wawancara, Bojonegoro 11 April 2021 45 Abdul Rahman Ghazali dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana), 2010, 117
60
memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad Muzara’ah
tidak sah.
2. Batas-batas tanah itu jelas.
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad
Muzara’ah tidak sah.
4. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
5. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
6. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh
ada pengkhususan. Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah,
sepertiga, atau seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul
perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh
berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal untuk
pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh panen jauh di
bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
Seperti pada uraian diatas, bahwa rukun merupakan sesuatu yang harus ada,
didalam sebuah transaksi. Rukun terdapat pada sebuah akad layaknya sebuah
transaksi Muzara’ah dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya.
Dalam perjanjian tersebut kedua belah pihak merasa sudah ada rasa suka, dan
menyatakan kerelaan untuk melakukan kerjasama penggarapan lahan pertanian
tanpa unsur paksaan sedikitpun.
Jika dilihat dari praktik pada perjanjian kerjasama lahan pertanian yang
dilakukan masyarakat di Desa Tulungrejo tersebut, terdapat perubahan perjanjian
mengenai pembagian hasil. Akan tetapi, didalam pelaksanaan yang terjadi, pada
ijab dan qabul para pihak telah menyatakan kerelaannya dengan penuh tanggung
jawab dalam melakukan akad kerjasama tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh
Bapak Saeri sebagai penggarap sawah menuturkan bahwa pada sebenarnya
pembagian hasil pada kerjasama pertanian adalah 30% untuk pemilik sawah dan 70
% untuk pengelola dan penggarap, namun belakangan ini banyak terjadi bencana
alam yang mengakibatkan para penggarap mengalami gagal panen, yang
berdampak pada menurunnya hasil panen dan pembagian hasil panen dengan pihak
terkait juga berubah, biasanya saat gagal panen tidak sampai 30% dari hasil panen
yang diberikan kepada pemilik sawah tetapi antara 15% sampai 20%. dan pemilik
sawah juga sudah memahami kondisi tersebut. Selain itu, para pihak baik pemilik
61
sawah atau pengelols dalam melaksanakan akad Muzara’ah, juga sudah memiliki
kecakapan dalam bertindak dengan sempurna sehingga segala perbuatannya dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan analisis diatas, dari aspek pemilik sawah yang menyerahkan
sawahnya untuk disewa dan digarap oleh orang lain dengan pembagian hasil pada
masa panen dan tata cara dalam melakukan akad, penulis menyimpulkan bahwa
akad tersebut diperbolehkan dalam hukum Islam, karena antara pemilik sawah dan
pengelola sawah serta penggarap sudah sama-sama sepakat, meskipun ada beberapa
syarat yang belum terpenuhi yaitu tentang pembagian hasil ketika gagal panen yang
seharusnya dibahas di awal perjanjian, namun masyarakat Desa Tulungrejo sudah
menganggap maklum bahwa bagi hasil dari sistem kerjasama seperti ini adalah 30%
untuk pemilik sawah dan 70% untuk pengelola dan penggarap, dan perjanjian bagi
hasil tersebut akan berubah jika hasil dari kerjasama pertanian tersebut tidak
maksimal atau gagal panen, karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan di
masyarakat.
B. Analisis Prinsip Syariah Terhadap Kerjasama Lahan Pertanian di Desa Tulungrejo
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro
Agama Islam memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi
terhadap berbagai kegiatan mu’amalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan
mereka, dengan syarat bahwa bentuk dari kegiatan mu’amalah ini tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam. Perkembangan jenis dan
bentuk dari kegiatan mu’amalah yang dilaksanakan oleh manusia sejak dulu sampai
sekarang, sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan pengetahuan manusia itu
sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dalam melakukan kegiatannya secara
perorangan atau dilakukan sendiri dan ada juga kegiatan yang melibatkan orang lain
(kerjasama). Berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dengan orang lain inilah,
harus ada imbalan dalam bentuk bagi hasil. Seperti dalam bagi hasil dalam kerjasama
lahan pertanian ini.
Sistem kerjasama pertanian yang dilakukan masyarakat Desa Tulungrejo bisa
disebut dengan ‘Urf, karena kegiatan tersebut sudah dilakukan secara turun temurun
oleh masyarakat Desa Tulungrejo, dan sudah menjadi adat dan kebiasaan serta sudah
62
dikenal oleh masyarakat. Tidak semua ‘Urf dapat dijadikan landasan hukum. Ada
beberapa syarat agar ‘Urf bisa dijadikan landasan hukum, yaitu:46
1. ‘Urf itu harus termasuk ‘Urf yang shahih yaitu tidak bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
2. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk setempat.
3. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
kepada ‘Urf itu.
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak
‘Urf tersebut, sebab jika para pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak
terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah
ketegasan itu.
Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa sistem
pertanian di Desa Tulungrejo termasuk dalam ‘Urf shahih karena sistem paron
tersebut sudah dikenal oleh masyarakat sejak lama dan sampai sekarang tidak
berubah meskipun perkembangan zaman semakin pesat masyarakat tetap
melaksanakan akad seperti dulu yaitu tanpa menulis perjanjian kerjasama
tersebut dan hanya diucapkan dengan lisan dan mengandalkan kepercayaan
antar masyarakat yang tinggi. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Marfuah selaku
pemilik sawah yang menjalankan kerjasama dengan sistem paron mengatakan
bahwa sudah sekitar 15 tahun melaksanakan kerjasama dengan dua pihak
lainnya, Ibu Marfuah juga mengatakan bahwa praktik kerjasama pertanian ini
sudah berlaku sejak lama karena dulu orangtua Ibu Marfuah juga menerapkan
sistem kerjasama seperti ini. Bisa dilihat juga dari luas wilayah Desa Tulungrejo
yang sebagian besarnya adalah lahan pertanian serta mata pencaharian
masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan buruh tani.
Sistem kerjasama pertanian yang dilakukan masyarakat Desa
Tulungrejo, dalam praktiknya mereka melakukan perjanjian kerjasama
masyarakat secara tidak tertulis. Perjanjian tersebut hanya menggunakan lisan
dan kepercayaan antar masyarakat, hal tersebut bisa merugikan salah satu pihak
jika ketika salah satu pihak ada yang mengingkari janjinya, dan jika terjadi gagal
panen masyarakat biasanya membuat kesepakatan baru yang berisi tentang
46 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), cet.4, 2012, 156-157
63
berubahnya persentase bagi hasil karena gagal panen. Seharusnya perjanjian
tersebut dilakukan secara tertulis agar dalam melaksanakan perjanjian tersebut
baik antara pemilik sawah dengan pengelola lahan persawahan, serta penggarap
sama- sama terlindungi hak dan kewajibannya.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dalam bab-bab
sebelumnya, mengenai praktik kerjasama lahan pertanian di Desa
Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Kerjasama lahan pertanian di Desa Tulungrejo melibatkan
para pihak yaitu pemilik sawah, pengelola lahan persawahan
dan penggarap atau buruh tani. Dalam melakukan perjanjian
mereka tidak melakukannya secara tertulis, melainkan
memakai cara kekeluargaan dengan rasa saling percaya antara
pemilik sawah dan pengelola lahan dan penggarap sawah atau
buruh tani. Dan saat panen hasilnya akan dibagi menurut
kesepakatan. Dalam hal ini bibit, pupuk, pajak tanah dan
seluruh biaya penggarapan sawah ditanggung oleh pengelola
lahan pertanian.
2. Dianalisa secara hukum ekonomi syariah bahwa praktik
kerjasama lahan pertanian di Desa Tulungrejo Kecamatan
Trucuk Kabupaten Bojonegoro diperbolehkan dalam Islam,
karena akadnya telah memenuhi rukun dan syarat sah
Muzara’ah, serta sudah menjadi adat kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan dalil syara’ maka praktik kerjasama
antara antara pemilik lahan, pengelola lahan, dan juga
65
penggarap swah atau buruh tani tersebut diperbolehkan dan
termasuk ‘Urf Shahih
B. Saran
Dengan melihat praktik kerjasama lahan pertanian di Desa
Tulungrejo Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro,
ditemukan beberapa kerancuan di dalam akad kerjasama tersebut
maka dapat dikemukakan saran yang dapat untuk pertimbangan
dan dijadikan rujukan langkah-langkah selanjutnya, yaitu:
1. Bagi para pemilik lahan dan pengelola lahan serta penggarap
lahan atau buruh tani yang mempraktikkan sistem kerjasama
pertanian di Desa Tulungrejo, ketika melakukan perjanjian
kerjasama pertanian, diharapkan melakukan perjanjian secara
tertulis dengan adanya hitam di atas putih. Serta diharapkan
saat melakukan perjanjian ditentukan pembagian hasilnya
baik saat panen maupun apabila terjadi musibah atau gagal
panen juga jika terjadi panen yang melebihi target, serta
ditentukan jangka waktu kerjasama yang akan dilakukan.
Dikhawatirkan ada salah satu pihak yang dirugikan ketika
terdapat kelalaian dalam melakukan hak dan kewajiban baik
dari pihak penggarap maupun pihak pemilik sawah.
2. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan bagi peneliti selanjutnya
yang akan meneliti tentang kerjasama lahan pertanian
sehingga bisa menelitinya berdasarkan undang-undang positif
yaitu UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian bagi hasil
66
dan berdasarkan Hukum Adat.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, Usman Rianse. Metodologi Penelitian: Sosial dan Ekonomi Teori dan Aplikasi,
Bandung: CV. Alfabeta, 2009.
Albab, Muhammad Nashir Addinul. Shahih Imam Bukhari, Jilid IV, Arriyad: Al Maktab
Ma’arif Linnatsir Wattauqi’, 2002.
Ali, M Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.
Yusuf, Muhammad. Gerbang Fikih, Lirboyo Press, 2019
Hamdun, Ibnu. Kamus Fiqh, Lirboyo Press, 2013
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial format-format kuantitatif dan kualitaatif,
Surabaya: Airlangga University Pers.
Darussalam linnasyari wa at-Ziiyi. Kutubu as-Sittah, Jami’u at-Tirmidzi, Nomor Hadis: 2923,
Riyadh: Darusssalam, 2008.
Darussalam linnasyari wa at-Ziiyi. Kutubu as-Sittah, Shahih Bukhari, Nomor Hadis: 2328,
Riyadh: Darusssalam, 2008.
Data monografi Desa Tulungrejo, 2020
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya Khadijah, Jakarta: Panca Cemerlang,
2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2005.
Efendi, Satria. Ushul Fiqh, cet.4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012. Ghazali ,
Abdul Rahman, dkk. Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010.
.
68
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Gajah Mada University, 1975
Marfu’ah, Wawancara, Bojonegoro, 11 April 2021
Asyhariyah , Wawancara, Bojonegoro, 11 April 2021
Saeri, Wawancara, Bojonegoro, 11 April 2021
Machmudah, Siti. “Analisis Hukum Islam terhadap Kerjasama Pertanian dengan Sistem Bagi Hasil disertai
dengan Upah di Desa Pademonegoro, Kec.Sukodono, Kab.Sidoarjo”, Skripsi-UIN Sunan Ampel Surabaya,
2013.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Margono. Metode Penelitian Pendidikan, cet.I, Jakarta:Renika Ilmu, 2004. Martokusumo, Sudikno.
Perundang-Undangan Agraria Indonesia, Yogyakarta:Liberty Yogyakarta, 2011.
Misnawati. “Tinjauan Hukum Islam terhadap Sistem Paron Sawah Bersyarat di Desa Banyuates Kecamatan
Banyuates Kabupaten Sampang Madura”(Skripsi UIN--Sunan Ampel Surabaya 2016).
Mufid, Mohammad. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, Jakarta: Kencana Predana Media
Group, 2016.
Mukminin, Syahrul Amil. “Analisis Hukum Islam terhadap Paron sapi di Desa Ragang Kecamatan Waru
Kabupaten Pamekasan”, Skripsi UIN-Sunan Ampel Surabaya, 2014.
Ayu Dita, Wawancara, Bojonegoro, 06 April 2021.
Purhantara, Wahyu. Metode Penelitian Kualitatif Untuk Bisnis, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Rahman, Fazlur. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II, Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995.
.
69
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III. Jakarta: PT.Pena Pundi Aksana, 2009.
Sahrani, Sohari. dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011. Syafei, Rachmad. Fiqih
Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Syarifuddin , Amir. Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2008.
.
70