penerapan perawatan luka dengan menggunakan …elib.stikesmuhgombong.ac.id/629/1/siti tohiroh nim....
TRANSCRIPT
PENERAPAN PERAWATAN LUKA DENGAN MENGGUNAKAN MADU
DAN MINYAK ZAITUN PADA PASIEN DIABETES MELITUS
DENGAN KERUSAKAN INTEGRITAS JARINGAN
SITI TOHIROH
A01401968
STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK
2016/2017
PENERAPAN PERAWATAN LUKA DENGAN MENGGUNAKAN MADU
DAN MINYAK ZAITUN PADA PASIEN DIABETES MELITUS
DENGAN KERUSAKAN INTEGRITAS JARINGAN
Karya Tulis Ilmiah Ini Disusun Sebagai Salah Satu Prasayarat Untuk
Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Keperawatan
SITI TOHIROH
A01401968
STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK
2016/2017
ii
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL/COVER i
SAMPUL DALAM ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN iii
LEMBAR PERSETUJUAN iv
LEMBAR PENGESAHAN v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
KATA PENGANTAR xii
ABSTRAK xiv
ABSTRACT xv
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Studi Kasus 4
D. Manfaat Studi Kasus 5
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Asuhan Keperawatan 6
1. Pengkajian 6
2. Diagnosa Keperawatan 8
3. Intervensi Keperawatan 8
4. Implementasi Keperawatan 12
5. Evaluasi Keperawatan 12
B. Diabetes Melitus 13
1. Definisi Diabetes Melitus 13
2. Klasifikasi Diabetes Melitus 13
3. Etiologi Diabetes Melitus 15
4. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus 17
vii
5. Komplikasi Diabetes Melitus 17
6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus 18
C. Luka Diabetik 19
1. Definisi 19
2. Patofisiologi 20
3. Pengkajian/monitoring Luka 21
4. Perawatan Luka Diabetik 23
D. Madu 26
1. Definisi 26
2. Komposisi Madu 26
3. Manfaat Madu Dalam Al-Qur’an 27
4. Khasiat Madu Sebagai Obat Topikal Untuk Ulkus Kaki
Diabetik 28
E. Minyak Zaitun 29
1. Definisi 29
2. Minyak Zaitun Dalam al-Qur’an 29
3. Kandungan Dan Manfaat Minyak Zaitun 30
BAB III: METODE STUDI KASUS 32
A. Jenis/Desain/Rancangan Studi Kasus 32
B. Subyek Studi Kasus 32
C. Fokus Studi Kasus 32
D. Definisi Operasional 33
E. Instrumen Studi Kasus 33
F. Metode Pengumpulan Data 33
G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus 34
H. Analisa Data danpenyajian Data 35
I. Etika Studi Kasus 35
BAB IV: HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN 37
A. Hasil Studi Kasus 37
B. Pembahasan 40
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Luka Diabetik Berdasarkan Wegner
Tabel 2.2 Form Pengkajian Luka DESIGN-R
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi Hasil pengkajian luka sebelum (hari pertama) dan
setelah (hari kedua) perawatan luka dengan menggunakan madu dan
minyak zaitun
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi Luas ukuran luka sebelum (hari pertama) dan
setelah (hari kedua) dilakukan perawatan luka dengan menggunakan
madu dan minyak zaitun
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Catatan Asuhan Keperawatan
Lampiran 2 Standar Operasional Prosedur (SOP) Perawatan Luka
Lampiran 3 Hasil Pengkajian Luka DESIGN-R
Lampiran 4 Satuan Acara penyuluhan (SAP) Diabetes Melitus
Lampiran 5 Leaflet Diabetes Melitus
Lampiran 6 Lembar Konsultasi
xii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan
judul “Penerapan Perawatan Luka Dengan Menggunakan Madu Dan Minyak
Zaitun Pada Pasien Diabetes Melitus Dengan Kerusakan Integritas Jaringan”
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Sehubungan dengan itu penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Kepada kedua orang tua saya Bapak Solichudin dan Ibu Siti Marmah yang
sudah memberikan dukungan baik materil, moril maupun spiritual. Serta
semangat dan doa yang selalu diberikan setiap waktu sampai sekarang ini.
2. Kepada seluruh keluarga besar saya yang juga selalu memberikan dukungan
kepada saya sampai sekarang ini.
3. Kepada P1 dan keluarga yang telah bersedia menjadi subyek dalam studi
kasus ini.
4. Kepada pihak Puskesmas Gombong II yang telah menyediakan lahan praktik
dalam pengambilan studi kasus.
5. Teman-teman dari Prodi DIII Keperawatan angkatan 2014 STIKES
Muhammadiyah Gombong yang telah memberikan motivasi dan semangat.
6. Bapak Podo Yuwono, S. Kep, Ns, M. Kep, CWCS selaku pembimbing yang
telah berkenan memberikan bimbingan dan pengarahan.
7. Ibu Endah Setyaningsih, S. Kep. Ns, M. Kep selaku dewan penguji proposal
yang telah berkenan memberikan bimbingan.
8. Ibu Ike Mardiati Agustin S. Kep, Ns, M. Kep. Sp. Kep.J selaku dewan
penguji hasil yang telah berkenan memberikan bimbingan.
9. Ibu Nurlaila, S. Kep. Ns, M. Kep selaku Ketua Prodi DIII Keperawatan
STIKES Muhammadiyah Gombong.
xiii
10. Ibu Herniyatun, S. Kep. Ns, M. Kep, Sp. Mat selaku ketua STIKES
Muhammadiyah Gombong.
11. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan.
Semoga bimbingan dan bantuan serta dorongan yang telah diberikan
mendapatkan balasan sesuai dengan amal pengabdiannya dari Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah Ini masih jauh dari
sempurna dan banyak terdapat kekurangan, mengingat keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
untuk kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Penulis berharap semoga Karya Tulis
Ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan dibidang kesehatan pada khususnya.
Gombong, Juni 2017
Penulis
xiv
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Juli 2017
Siti Tohiroh1, Podo Yuwono2
ABSTRAK
PENERAPAN PERAWATAN LUKA DENGAN MENGGUNAKAN MADU DAN
MINYAK ZAITUN PADA PASIEN DIABETES MELITUS DENGAN
KERUSAKAN INTEGRITAS JARINGAN
Latar Belakang: Diabetes Melitus adalah suatu kelainan metabolik yang ditandai oleh
adanya hiperglikemia. Jumlah penderita diabetes di Indonesia menempati urutan ke empat
dunia. Luka diabetik merupakan salah satu komplikasi Diabetes Melitus yang sulit untuk
ditangani. Perawatan luka yang baik akan memprcepat proses penyembuhan luka. Madu
dan minyak zaitun saat ini telah banyak digunakan untuk perawatan luka diabetik.
Tujuan Umum: Mengetahui proses penyembuhan luka sebelum dan setelah dilakukan
perawatan luka dengan menggunakan madu dan minyak zaitun.
Metode: Karya Tulis ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dalam bentuk studi
kasus. Dimana penulis melakukan penerapan terhadap satu subyek dan nantinya akan
dinilai keberhasilannya.
Hasil: Setelah melakukan perawatan luka hasil yang diperoleh belum ada perubahan pada
luka. Hasil pengkajian luka menunjukkan Depth: lesi mencapai sub-kutan, Exudate:
Ringan, tidak perlu mengganti dressing setiap hari, Size: 4 cm2 - <16 cm2, Infection: tidak
ada, Granulation: granulasi sehat kurang dari 10%, Necrotic: terdapat jaringan nekrotik
lunak, Pocket: 4 cm2 - <16 cm2. Luas luka pada hari pertama adalah 13,37 cm2.
Sedangkan luas luka pada hari kedua menurun dari 13,37 cm2 menjadi 13,32 cm2
(menurun 0,05 cm2).
Rekomendasi: Madu dan minyak zaitun direkomendasikan untuk dressing pada luka.
Dengan hasil terjadi penurunan luas luka setelah dilakukan perawatan luka dengan madu
dan minyak zaitun.
Kata Kunci: perawatan luka diabetik, madu, minyak zaitun
1. Mahasiswa
2. Dosen
xv
DIII Program of Nursing Department
Muhammadiyah Health Science Institute of Gombong
Scientific Paper, July 2017
Siti Tohiroh1, Podo Yuwono2
ABSTRACT
THE APPLICATION OF WOUND CARE FOR DIABETES MELLITUS WITH
TISSUE INTEGRITY DISORDER BY USING HONEY AND OLIVE OIL
Background: Diabetes Mellitus is a metabolic abnormality that characterized by
hyperglycemia. The number of diabetes melitus in Indonesia was in the fourth place in
the world. Diabetic ulcer is one of the diabetic complications which are difficult to
handle. Well wound care will heal the wound quickly. Nowadays, honey and olive oil
have been used for diabetic wound care.
Objective: To know the process of wound healing before and after wound care by using
honey and olive oil.
Method: This study is a quantitative descriptive with a case study approach. Which after
did the treatment on one subject, there was a result then being valued.
Result: After conducting wound care, there was no change in the wound. The results of
the wound assessment were the depth (the wound until sub-cutis), the exudates (light, no
need to change the dressing every day), the size (4 cm2 - <16 cm2), the infection (no), the
granulation (healthy granulation less than 10%), the necrotic (there was a soft necrotic
tissue), the pocket (4 cm2 - <16 cm2). The total wound area on the first day was 13.37
cm2, while on the second day was 13.32 cm2 with a decrease 0.05 cm2.
Recommendation: Honey and olive oil are recommended for dressing on wound. With the result, there was a reduction of wound area after the treatment.
Keywords: diabetic wound care, honey, olive oil
1. Student
2. Lecturer
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) yang orang Indonesia bilang kencing manis
adalah suatu kelainan metabolik ditandai oleh adanya hiperglikemia yang di
sebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya.
Diabetes Melitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar baik di
Indonesia maupun di dunia.
Secara global, jumlah penderita Diabetes Melitus pada tahun 2011
telah mencapai 366 juta. Jika tidak ada tindakan yang berarti, jumlah ini
diperkirakan akan terus meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (IDF,
2011). Pada saat ini China menempati peringkat ke dua dengan penderita DM
sebanyak 98,4 juta dan diperkirakan akan mencapai 142,7 juta pada 2035.
Menurut survey yang dilakukan oleh World Health Organisation
(WHO), Indonesia menempati urutan ke empat dengan jumlah penderita
diabetes terbesar di dunia setelah India, China dan Amerika Serikat (Medan
Bisnis Daily, 2011). Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi penderita
diabetes mellitus di Indonesia akan meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir
karena pada tahun 2000 jumlah penderita ada 8,4 juta dan meningkat jadi 21,3
juta orang pada tahun 2010. Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada
tahun 2030 prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta
orang.
Provinsi Jawa Tengah melaporkan data penyakit tidak menular seperti
Diabetes Melitus (DM) dengan hasil 14,24% pada tahun 2013 serta hasil
penderita DM sebesar 16,53% pada tahun 2014. Prevalensi penyakit DM
menduduki peringkat ke-2 diantara penyakit tidak menular lainnya seperti
jantung, PPOK dan asma bronchial. Hasil tersebut didapatkan dari jumlah
kasus DM tergantung insulin 2013 sebesar 9.376 kasus dan DM yang tidak
tergantung insulin sebesar 142.925 kasus (Dinas Kesehatan Jawa Tengah,
2
2014). Prevalensi DM tergantung insulin untuk wilayah Kabupaten Kebumen
pada tahun 2012 sebesar 163 jiwa dan untuk prevalensi DM tidak tergantung
insulin ada 1.652 (Dinkes Provinsi Jawa Tengah). Wilayah Kabupaten
Kebumen pada tahun 2015 penyakit Diabetes Melitus menduduki peringkat
ke-2 untuk penyakit tidak menular setelah penyakit hipertensi (8.131 kasus),
Diabetes Melitus (2.216 kasus) dan Asma Bronkial (2.085 kasus) (Profil
Kesehatan Kabupaten Kebumen).
Peningkatan jumlah penderita DM yang tidak tertangani dengan baik
akan selalu diikuti oleh peningkatan jumlah penyulit Diabetes Melitus atau
pun komplikasi dari Diabetes Melitus tersebut (Diabetes UK, 2011). Penyulit
DM yang sering muncul adalah luka kaki diabetes. Prevalensi penderita luka
kaki diabetes di Indonesia sekitar 15% dari penderita DM, angka amputasi
30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetes merupakan sebab perawatan
rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes Melitus (Flahr,
2010).
Luka kaki diabetik merupakan salah satu infeksi yang merupakan
komplikasi dari Diabetes Melitus. Penderita luka kaki Diabetik biasanya tidak
menyadari akan adanya luka karena mengalami mati rasa (Nabyl, 2009).
Berawal dari luka kecil, lalu terinfeksi menyebabkan luka diabetik dan bila
tidak dirawat akan menjadi gangrene. Tetapi efek lebih lanjut bila luka
gangrene tidak dirawat akan mengakibatkan kematian. Hal ini terjadi karena
kurangnya perawatan luka sejak dini. Perawatan luka ini berfungsi agar luka
sembuh dan infeksi tidak menyebar ke organ lain. Bila menyebar ke jantung
maka akan berakibat kematian. Tetapi bila perawatan luka dilakukan sejak
dini, maka efek tersebut tidak terjadi (Nabyl, 2009).
Menurut Han, Kim dan Kim (2009) penanganan terhadap luka kaki
diabetik masih merupakan permasalahan yang sulit untuk dipecahkan oleh
tenaga kesehatan. Konsep patofisiologi dan mekanisme penyembuhannya
yang cukup rumit mengakibatkan timbulnya waktu penyembuhan yang
panjang. Walaupun demikian, perawatan luka pada luka kaki diabetik
dianggap merupakan salah satu cara yang dapat dilaksanakan untuk
3
menurunkan angka terjadinya amputasi bahkan angka kematian. Metode
perawatan luka kaki diabetik yang tepat akan meningkatkan penyembuhan
luka. Menurut Kaczander et al (2007) salah satu metode perawatan luka yang
dapat digunakan untuk meningkatkan penyembuhan luka adalah dengan
mempertahankan kelembaban pada dasar luka untuk mencegah kolonisasi
bakteri.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lisbet (2009), hasil yang
didapatkan adalah adanya perubahan yang baik pada luka yang diberi madu
alami, serta menurut Haryanto (2010) madu sering digunakan oleh nenek
moyang untuk menyembuhkan luka infeksi. Madu alami memiliki kandungan
yang dapat menyembuhkan luka kaki diabetik. Sebagai contoh enzim katalase
yang berfungsi sebagai antibakteria dan kandungan air yang kurang dari 18%
memungkinkan madu untuk menarik pus (nanah) yang berada disekitar area
luka yang di oles dengan madu alami tersebut (Suranto, 2007). Menurut Eddy,
Gideonsen dan Mack (2008) semua jenis madu dapat digunakan untuk balutan
dalam perawatan luka. Dalam kata lain, semua jenis madu, baik yang
diperoleh langsung dari peternakan, diperoleh di pasar tradisional ataupun
supermarket dapat digunakan sebagai balutan luka.
Menurut Freeman, May & Wraight (2010) madu memberikan outcome
positif pada kenyamanan pasien. Dari 65 pasien yang terlibat dalam penelitian
ini, kenyamanan pasien dilaporkan tinggi hingga 88 % pada penggunaan
honey gel dan 93% pada penggunaan honey alginate. Hanya satu pasien
(1,5%) yang melaporkan tingkat kenyamanan rendah pada penggunaan madu.
Sama halnya dengan madu, minyak zaitun adalah salah satu bahan
alami yang direkomendasikan untuk membantu proses penyembuhan luka
diabetes. Manfaat minyak zaitun yang mampu obati luka diabetes ini sudah
diketahui dan disarankan sejak dulu. Selain dapat mempercepat penyembuhan
luka diabetes, minyak zaitun memiliki manfat yang lain yaitu dapat
mempercepat pembekun darah, mengurangi peradangan dan mempercepat
pertumbuhan granulasi (Sri Mulyati, 2017). Luka pada pasien Diabetes
Melitus yang dirawat dengan baik akan mempercepat penyembuhan luka.
4
Fungsi dari minyak zaitun salah satunya adalah dapat mempercepat
pertumbuhan granulasi. Dengan fungsi mempercepat pertumbuhan granulasi
tersebut maka luka yang dirawat dengan menggunakan minyak zaitun
kondisinya akan membaik.
Komponen-komponen yang terkandung dalam minyak zaitun dapat
menjadi antimikroba pada luka. Selain menghambat pertumbuhan kuman yang
dapat memperburuk luka, minyak zaitun juga dapat dijadikan sebagai
pelembab serta memiliki kemampuan meningkatkan aliran darah yang mampu
menghasilkan kondisi permukaan luka yang ideal bagi penyembuhan. Untuk
proses penyembuhan, lingkungan luka tersebut harus lembab, sehingga proses
epitelisasi atau pertumbuhan jaringan baru relatif lebih cepat. Komponen
tersebut meliputi peroksida, anisidin, yodium dan aldehid (Sri Mulyati, 2017)
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan studi kasus tentang “Penerapan Perawatan Luka Dengan
Menggunakan Madu Dan Minyak Zaitun Pada Pasien Diabetes Melitus
Dengan Kerusakan Integritas Jaringan”. Dengan studi kasus tersebut
diharapkan pasien dengan luka DM dapat lebih cepat dalam proses
penyembuhan luka.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan dengan Penerapan Perawatan Luka
Dengan Menggunakan Madu Dan Minyak Zaitun Pada Pasien Diabetes
Melitus Dengan Kerusakan Integritas Jaringan?
C. Tujuan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Mengetahui proses penyembuhan luka sebelum dan setelah dilakukan
perawatan luka dengan menggunakan madu dan minyak zaitun.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kedalaman luka diabetik sebelum dan setelah dilakukan
perawatan luka dengan menggunakan madu dan minyak zaitun.
5
b. Mengetahui adanya eksudat pada luka diabetik sebelum dan setelah
dilakukan perawatan luka dengan menggunakan madu dan minyak
zaitun.
c. Mengetahui ukuran luka diabetik sebelum dan setelah dilakukan
perawatan luka dengan menggunakan madu dan minyak zaitun.
d. Mengetahui adanya infeksi pada luka diabetik sebelum dan setelah
dilakukan perawatan luka dengan menggunakan madu dan minyak
zaitun.
e. Mengetahui pertumbuhan jaringan granulasi pada luka diabetik
sebelum dan setelah dilakukan perawatan luka dengan menggunakan
madu dan minyak zaitun.
f. Mengetahui adanya jaringan nekrotik pada luka diabetik sebelum dan
setelah dilakukan perawatan luka dengan menggunakan madu dan
minyak zaitun.
D. Manfaat Studi Kasus
Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi:
1. Masyarakat
Masyarakat pengelola pasien Diabetes Melitus dalam melakukan
perawatan luka diabetik dengan menggunakan madu dan minyak zaitun.
2. Bagi perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan:
Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan
dalam perawatan luka diabetik pada pasien Diabetes Melitus dengan
menggunakan madu dan minyak zaitun.
3. Penulis:
Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,
khususnya studi kasus tentang perawatan luka diabetik pada pasien
Diabetes Melitus dengan menggunakan madu dan minyak zaitun.
DAFTAR PUSTAKA
Aftria Marizka Putri. 2014. Honey As A Topical Treatment For Diabetic Foot
Ulcers. J Majorityvol 3 No 7: 81.
Al-Waili N S, Salom K, Al-Ghamidi AA. (2011). Honey for Wound Healing,
Ulcers, and Burns; Data. Supporting Its Use in Clinical Practice. Scientific
World Journal: 766-787.
American Diabetes Association. (2010). Diagnosis and classification of diabetes
mellitus. Diabetescare; 34:2-9 Dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2797383/ diakses pada 12
Juni 2017.
Anshori, et al. (2014). Pengaruh Perawatan Luka Menggunakan Madu terhadap
Kolonisasi Bakteri Staphylococcus Aureuspada Luka Diabetik Pasien
Diabetes Mellitus di Wilayah Kerja Puskesmas Rambipuji Kabupaten
Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2 (no. 3).
Belcher J. (2012). A review of medical-grade honey in wound care. British Journal of
Nursing, 21 (15), S4-S9. PMID: 22874825.
Bogdanov S. 2010. Honey in medicine. Bee Product Sciense. 2(1):1-23 dan
Bogdanov S. 2011. Honey as a nutrient and functional food. Bee Product
Sciense. 3(2):1-31.
Bryant A.R, Nix P.D. 2007. Acute & Chronic Wounds: Current Management
Concepts, Third Edition. St. Louis, Missouri. Mosby.
Clayton WJ, Elasy TA. 2009.A review of pathophysiology, classification, and
treatment of foot ulcers in diabetic patients. Clinical diabetes. 27(2):52-(8).
Corwin E.J 2009. Buku Saku Patofisiologi corwin. (E.K.Yudha, Ed) (3rd ver).
Jakarta:EGC.
Eddy J, Gideonsen M, Mack GP. 2008. Practical considerations of using topical
honey for neuropathic diabetic foot ulcers: a review. WMJ. 107(4):187-90.
15.
Evan J, Flavin S. 2008. Honey: a guide for healthcare professionals. Br J Nurs
17(15):S24, S26, S28-30.
Evans J, Mahoney K. (2013). Efficacy of medical-grade honey as an autolytic
debridement agent. Wounds UK, 9 (1), 30-36. Diperoleh pada tanggal 30
Juli 2017 dari
http://www.advancis.co.uk/themes/advancis/images/media/all_wales_article
_%28web%29.pdf
Flahr D. 2010. The effect of nonweight-bearing exercise and protocol adherence
on diabetic foot ulcer healing a pilot study. Journal Wound management.
56(10):40-50.
Freeman A, May K & Wraight P. (2010). Honey: the bees' knees for diabetic foot
ulcers. Wound practice and research, 18 (3), 144-147. Diperoleh pada
tanggal 30 Juli 2017 dari http://www.awma.com.au/journal/1803_06.pdf
Guo S, Dipitrio LA. 2010. Factors affecting wound healing. J dent res. 89(3):219-
(29).
Hammad, Said. 2009. 99 Resep Sehat Dengan Madu. Solo: Aqwamedika.
Hasdianah. 2012. Diabetes Melitus. Yogyakarta: Nusa Medika.
http://askep33.com/2016/02/25/sop-perawatan-luka-diabetes-melitus/diakses pada
13 Juni 2017.
http://medicastore.com/artikel/235/Waspadai_Komplikasi_Kaki_Diabetik.html
diakses pada tanggal 12 Juni 2017.
http://www.aryanto.id/artikel/id/1394/manfaat-minyak-zaitun-mampu-obati -luka-
diabetes/ diakses pada tanggal 14 Juni 2017.
http://www.medanbisnisdaily.com/news/arsip/read/2011/03/14/23754/penderita-
diabetes-melitus-capai-84-juta-orang/ diakses pada tanggal 13 Juni 2017.
International Olive Council. 2013. The Olive World.
Januarsih dan Atik. (2008). Perbandingan Penyembuhan Luka Terbuka
menggunakan balutan madu atau balutan normal saline-povidone iodine.
Jurnal Keperawatan Indonesia. volume 12. No.1. Jakarta: FKUI.
Kartikaning Fezia. T dan Budiman Iwan. 2008. Efek Pemberian Minyak Zaitun
(Olea Europa) Terhadap Penyembuhan Luka Insisi Mencit Jantan Galur
Swiss Webster. Fakultas Kedokteran: Universitas Kristen Maranatha.
Mansjoer Arief. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Najamudiin Muhammad. 2012. Mukjizat Makanan dan Minuman kesukaan
Rasulullah, Yogyakarta: Dive Press.
Nurarif Amin Huda & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:EGC.
Nurman Muhammad. 2015. Perbandingan Efektivitas Madu+Nacl 0,9% Dengan
Nacl 0,9% Saja Terhadap Penyembuhan Luka Gangrene Pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe II Di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota
Tahun 2015. Jurnal Keperawatan Stikes Tuanku Tambusai Riau
Nursalam. 2011. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik (2nd
Ed). Jakarta: Selamba Medika.
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep Da Npraktik.
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Ocakoǧlu D. (2008). Classification of Turkish Virgin Olive Oils Based on Their
Phenolic Profiles. Izmir, Turkey: The Scientific and Technical Research
Council of Turkey.
Oskouei T.E, Najafi M. 2012. Traditional and modern uses of natural honey in
human diseases: a review. Iranian Journal of Basic Medical sciences vol 16
No 6: 731-742.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Consensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia Hlm 4-10. 15-29.
http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdfdiaksespada 12 Juni 2017.
Puente J. 2012. Olive Oil Reference Book. Manhattan: Perkin Elmer.
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014.
Riyadi S.J. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswantoro Edy. 2017. Efektifitas Perawatan Luka Diabetik Metode Modern
Dressing Menggunakan Madu Terhadap Proses Penyembuhan Luka. Jurnal
Keperawatan & Kebidanan-Stikes Dian Husada Mojokerto
Soegondo. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Sudjatmiko G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastic Rekonstruksi. 3rd ed.
Jakarta: Yayasan Khasanah Kebajikan. p. 144-7
Suranto Adji. 2007. Terapi Madu. Jakarta: Penebar Swadaya.
QS: An-Nahl : 68-69.
Lampiran 1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELUARGA Tn.I DENGAN
KELUARGA ULKUS DIABETIK
A. Data Umum
1. Nama Kepala Keluarga ( KK ) : Tn. I (56 th)
2. Alamat dan Telepon : Wonosigro, Gombong
3. Pekerjaan KK : Buruh Pasir
4. Pendidikan KK : SD
Pengkajian terhadap data umum keluarga meliputi :
N
o
Nama J
K
Hub
KK
Umur Pendidik
an
Pekerja
an
Imuni
sasi
Ket
1. Ny.R P Istri 56 th SD IRT - Luka di kaki
sejak kurang
lebih 1 bulan
5. Sdr.A L anak 22 th SMA Swasta - Merantau
5. Genogram :
Keterangan :
: laki-laki : meninggal
: perempuan : klien
: menikah ----------- : tinggal serumah
6. Tipe Keluarga
Keluarga Tn.I merupakan keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
7. Suku
Keluarga Tn.I berasal dari suku Jawa
8. Status Sosek Keluarga
Keluarga Tn.I memiliki status social ekonomi rendah, dengan penghasilan
Rp.<1000.000; per bulan dan tidak menetap. Biaya kebutuhan di bantu oleh
anak-anaknya.
9. Aktivitas Rekreasi Keluarga
Tn.I dan keluarga sering menghilangkan kejenuhan dengan menonton TV.
B. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga
1. Tahap perkembangan keluarga saat ini
Tahap perkembangan keluarga Tn.I adalah keluarga usia dewasa. Karena
anak pertama sudah berumur 33 tahun. Sudah hidup bermasyarakat sendiri
dengan keluarganya.
2. Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi
Tidak ada tahap perkembangan keluarga sampai saat ini yang belum
terpenuhi.
3. Riwayat kesehatan keluarga inti
Berikut adalah riwayat keluarga inti :
Tn.I tidak memiliki penyakit menular. Sedangkan Ny.R menderita luka di
kaki karena Diabetes Melitus. Sudah pernah dirawat di RS selama 9 hari
kurang lebih 1 bulan yang lalu dengan gejala awal merah-merah. Awal
mengetahui terkena gula sejak ada luka. Luka terjadi tanpa sebab.
4. Riwayat keluarga sebelumnya
Tidak ada riwayat penyakit pada keluarga sebelumnya. Keluarga Tn.I
sebelumnya meninggal karena faktor usia tua.
C. Lingkungan
1. Karakteristik Rumah
Luas rumah Tn.I 80 m2 (10mx8m). Tipe rumah permanen dengan atap
berupa genting dan lantai berupa tanah. Keadaan lantai kotor, berdebu,
penataan ruang kurang serasi. Jumlah jendela ada 3 buah jarang dibuka
dan ventilasi ada 2 buah, pencahayaan yang masuk kurang, jumlah kamar
ada 3, 1 ruang tamu, 1 dapur, WC dan kamar mandi digabung dalam satu,
lantai menggunakan semen. Tipe WC leher angsa. Kebiasaan memasak
menggunakan kompor gas. Penerangan menggunakan listrik. Perabotan
rumah tangga milik keluarga tampak berantakan.
2. Denah Rumah
U
Keterangan:
1. Ruang Tamu
2. Kamar 1
3. Kamar ke 2
4. Kamar ke 3
5. Dapur dan ruang makan
6. Kamar mandi/WC
7. Sumur
3. Karakteristik tetangga dan komunitas RW
Tn.I tinggal didaerah pedesaan, jarak antar rumah sangat dekat. Rumah
Tn.I dekat dengan mushola. Hubungan keluarga Tn.I dengan tetangganya
baik. Sedangkan Ny.R jarang berinteraksi dengan tetangganya.
1
2
3 4
5
6
7
4. Mobilitas geografis keluarga
Keluarga Tn.I belum pernah pindah kemana-mana. Sedangkan anak-
anaknya merantau di berbagai daerah.
5. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Keluarga Tn.I jarang berinteraksi di masyarakat. Tn.I jarang mengikuti
perkumpulan yang diadakan di desa
6. System pendukung keluarga
Jika ada anggota keluarga yang sakit maka Tn.I akan memeriksakan ke
Puskesmas. Jarak dari rumah Tn.I ke puskesmas adalah sekitar 2 km.
Keluarga Tn.I mempunyai kartu BPJS.
D. Struktur keluarga
1. Pola komunikasi keluarga
Keluarga Tn.I sehari-harinya menggunakan bahasa jawa. Apabila ada
masalah dalam keluarganya di putuskan sendiri, karena anak-anaknya
merantau.
2. Struktur kekuatan keluarga
Tn.I menjaga keluarganya agar tetap baik dan harmonis, saling
mendukung satu sama lain atas kegiatan yang dilakukan. Dalam keluarga
pengambil keputusan oleh kepala keluarga.
3. Struktur peran
a. Tn.I berperan sebagai kepala keluarga, mencari nafkah bagi anggota
keluarganya
b. Ny.R berperan sebagai seorang istri, namun sejak sakit seluruh
pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga dilakukan oleh suami.
c. Sdr.A berperan sebagai anak dan saat ini sedang merantau.
4. Nilai dan norma budaya
Keluarga Tn.I masih mempercayai pak kyai (orang pintar) dalam
pengobatan sebeleum ke medis.
E. Fungsi Keluarga
1. Fungsi Afektif
Keluarga Tn.I termasuk keluarga yang harmonis. Sesama keluarga saling
memperhatikan, menghormati, mendidik, saling memberikan kasih sayang
satu sama lain tidak ada pilih kasih.
2. Fungsi sosialisasi
Dalam keluarga Tn.I interaksi terjalin baik. Keluarga Tn.I jarang
berinteraksi dengan tetangganya.
3. Fungsi perawatan keluarga
a. Mengenal masalah keluarga
Tn.I dan keluarga mengetahui penyakit diabetes melitus yang di derita
oleh Ny.R. tetapi belum mengetahui tentang pengertian, tanda gejala,
penyebab, cara perawatan serta diit/ makanan yang dianjurkan untuk
diabetes melitus. Tn.I berpikir bahwa penyakit Ny.R karena faktor gaya
hidup.
b. Pengambilan keputusan mengenai tindakan kesehatan
Jika dalam keluarga ada yang sakit dan dianggap parah maka langsung
dibawa ke puskesmas maupun RS. Tetapi jika masih dianggap ringan
hanya dibelikan obat warung saja.
c. Kemampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit
Tn.I mengetahui penyakit yang di derita Ny.R oleh karena itu sering
melakukan perawatan pada kaki Ny.R menggunakan air hangat dan saat
waktu kontrol Tn.I berusaha membujuk dan mengantarkan Ny.R.
d. Kemampuan keluarga dalam memelihara dan memodifikasi lingkungan
Kondisi lantai rumah agak kotor, kurang rapi, penataan ruang kurang
tepat dan serasi. Ventilasi kurang terutama ruang depan dan tengah.
Karena Ny.R tidak bisa melakukan perannya, maka diagantikan oleh
suaminya Tn.I. Tn.I mengatakan membersihkan rumah saat ada waktu
saja.
e. Kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan
Tn.I mengatakan apabila ada anggota keluarga yang sakit maka
memeriksakan ke puskesmas terdekat. Keluarga Tn.I sudah
mempercayai pengobatan medis/dokter.
4. Fungsi reproduksi
Tn.I memiliki 4 anak, 2 sudah berkeluarga dan 2 belum berkeluarga.
5. Fungsi ekonomi
Tn.I dan Ny.R mencukupi kebutuhan dengan penghasilan Tn.I sebagai
buruh pasir yang hanya pas-pasan dan saat ini sedang menganngur. Untuk
kebutuhan selebihnya di bantu oleh anak-anaknya.
F. Stress dan Koping
1. Stressor jangka pendek
Keluarga Tn.I tidak memiliki stressor pendek.
2. Stressor jangka panjang
Keluarga Tn.I mempunyai stressor yaitu luka yang diderita oleh Ny,R
karena penyakit diabetes yang sudah diderita kurang lebih sejak 1 bulan
yang lalu. Saat ini Ny.R masih harus melakukan kontrol, tetapi kadang
Ny.R sulit diajak kontrol.
3. Kemampuan keluarga berespon terhadap masalah
Keluarga Tn.I jika ada masalah selalu diputuskan sendiri oleh kepala
keluarga. Tetapi untuk pengobatan Ny.R dimusyawarahkan dengan anak-
anaknya.
4. Strategi koping yang digunakan
Jika ada masalah keluarga yang lama tidak terselesaikan, maka Tn.I selalu
membicarakan dan bermusyawarah bersama anak-anaknya.
5. Stratesi adaptasi disfungsional
Keluarga Tn.I tidak pernah melakukan hal-hal yang membahayakan
keselamatan.
G. Harapan keluarga
Keluarga Tn.I berharap luka yang diderita oleh Ny.R cepat sembuh. Dan bagi
pelayanan kesehatan agar memberikan layanan kesehatan yang lebih baik
bagi masyarakat.
H. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum :
Tn.I : composmentis, TD : 120/80 mmHg, N : 88x/menit, RR : 18x/
menit, GDS: 144 g/dL
Ny.s S composmentis, TD : 100/60 mmHg, N : 90x/menit, RR : 22x/
menit, GDS: Hi
b. Pemeriksaan fisik
No Nama Organ Tn.I Ny.R
Kepala Rambut panjang, lurus,
sedikit beruban, kulit
kepala bersih, tidak ada
massa dan lesi
Rambut panjang, lurus,
sedikit beruban, kulit kepala
kotor, tidak ada massa dan
lesi
Mata Konjungtiva ananemis,
sclera anikterik
Konjungtiva anemis, sclera
anikterik
Hidung Bersih, tidak ada
pembesaran polip
Bersih, tidak ada pembesaran
polip
Mulut Gigi berkurang bibir
lembab, kehitaman
Gigi berkurang, bibir kering
Leher Tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid
Tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid
Dada Simetris, vocal fremitus
seimbang, tidak ada
wheezing, tidak
menggunakan otot bantu
pernapasan, tidak ada
Simetris, vocal fremitus
seimbang, tidak ada
wheezing, tidak
menggunakan otot bantu
pernapasan, tidak ada nyeri
nyeri tekan tekan
Abdomen Perut cembung, tidak
ada massa dan lesi, tidak
ada nyeri tekan
Perut datar, Tidak ada massa
dan lessi, tidak ada nyeri
tekan
Ekstremitas Tidak sianosis, tidak ada
lesi dan massa, CRT< 3
detik
Terdapat ulkus di telapak
kaki sebelah, terdapat 5
titik/lokasi luka, luka tampak
kemerahan, tidak ada
pus/nanah, balutan tampak
kotor, tidak ada bau pada
luka, kanan, CRT< 3 detik
ANALISA DATA
No Data Diagnosa
Keperawatan
1. DS :
- Ny.R dan keluarga mengatakan bahwa ada luka
di telapak kaki kanan
- Ny.R dan keluarga mengatakan Luka sudah
diderita sejak 1 bulan yang lalu
- Ny.R dan keluarga mengatakan luka dirawat oleh
perawat Home Care
DO:
- Luka tampak kemerahan
- Balutan tampak kotor
- Tidak ada pus/nanah
- Tidak ada bau pada luka
- Ada 5 titik/lokasi luka
Kerusakan Integritas
Jaringan (00044)
2. DS:
- Ny.R dan keluarga mengatakan belum
mengetahui tentang penyakit Diabetes mellitus
- Ny.R dan mengatakan ingin mengetahui
informasi tentang penyakit Diabetes Melitus
mulai dari pengetian, penyebab, tanda dan gejala,
cara perawatan kaki, dan diit/makanan yang
dianjurkan pada penderita Diabetes Melitus
DO:
- Keluarga dan Tn.I tampak bingung saat ditanya
tentang penyakit Diabetes mellitus
Kesiapan
Meningkatkan
Pengetahuan (00161)
DS:
- Tn.I mengatakan saat ini Ny.R hanya bisa
berbaring di tempat tidur, sesekali dibawa duduk
di luar
- Tn.I mengatakan saat ini seluruh pekerjaan
rumah dilakukan oleh Tn.I
- Tn.I mengatakan membersihkan rumah jika
sempat saja.
DO:
- Kondisi lantai rumah agak kotor, kurang rapi,
penataan ruang kurang tepat dan serasi.
- Ventilasi dan pencahayaan kurang terutama
ruang depan dan tengah.
- Jendela terlihat masih tertutup
- Kamar mandi masih bergabung dengan WC
- Perabotan rumah tangga terlihat berantkan
- Dapur masih berlantai tanah
Risiko jatuh pada
lansia (00155)
SKORING DAN PRIORITAS MASALAH
1. Kerusakan Integritas Jaringan
No Kriteria Skor Bobot Nilai Pembenaran
1. Sifat masalah:
- Tidak/kurang sehat
- Ancaman kesehatan
- Keadaan sejahtera
3
1 1
Tidak/kurang sehat karena
ada anggota keluarga yang
mempunyai masalah
kesehatan yaitu luka pada
telapak kaki karena penyakit
Diabetes Melitus
2. Kemungkinan masalah
dapat diubah:
- Mudah
- Sebagian
- Tidak dapat
1 2 1 Kontrol gula darah,
pengaturan diit dan
Perawatan luka dapat
mempercepat proses
penyembuhan luka
3. Potensi masalah untuk
dicegah:
- Tinggi
- Cukup
- Rendah
2
1 4/3 Penyakit diabetes yang
disertai dengan luka, proses
penyembuhan luka sangat
sulit
4. Menonjolnya masalah:
- Masalah berat, harus
segera ditangani
- Ada masalah tetapi
tidak perlu ditangani
- Masalah tidak
dirasakan
2 1 1
Keluarga merasa masalah
tersebut harus segera
ditangani dengan
perrawatan yang baik agar
luka tidak semakin
memburuk
Jumlah nilai 3 4/3
2. Kesiapan Meningkatkan pengetahuan
No Kriteria Skor Bobot Nilai Pembenaran
1. Sifat masalah:
- Tidak/kurang sehat
- Ancaman kesehatan
- Keadaan sejahtera
3
1 1
Ancaman kesehatan, apabila
keluarga tidak mengetahui
secara detail tentang
penyakit Diabetes Melitus,
maka proses penyembuhan
luka akan lama
2. Kemungkinan masalah
dapat diubah:
- Mudah
- Sebagian
- Tidak dapat
1 2 1 Pemberian informasi melalui
penyuluhan dapat
mengurangi serta mencegah
komplikasi lebih banyak
3. Potensi masalah untuk
dicegah:
- Tinggi
- Cukup
- Rendah
1
1 1/3 Dengan mengetahui penyakit
secara detail, maka keluarga
dapat mengontrol dan
melakukan perawatan yang
baik pada Ny.R
4. Menonjolnya masalah:
- Masalah berat,
harus segera
ditangani
- Ada masalah tetapi
tidak perlu ditangani
- Masalah tidak
dirasakan
2 1 1
Keluarga merasa bahwa
masalah tersebut harus
ditangani agar keluarga dapat
memberikan perawatan yang
baik.
Jumlah nilai 3 1/3
3. Risiko jatuh pada lansia
No Kriteria Skor Bobot Nilai Pembenaran
1. Sifat masalah :
- Tidak/kurang sehat
- Ancaman kesehatan
- Keadaan sejahtera
2 1 2/3 Keadaan sejahtera, karena
belum pernah ada yang
terjatuh di dalam rumah, Tn.I
dan Ny.R nyaman berada di
rumah
2. Kemungkinan masalah
dapat diubah:
- Mudah
- Sebagian
- Tidak dapat
1 2 1 Penataan ruang dan
pencahayaan yang cukup
mengurangi resiko
kepleset/jatuh
3. Potensi masalah untuk
dicegah:
- Tinggi
- Cukup
- Rendah
1 1 1/3 Pemeliharaan lingkungan
yang tepat dapat menecegah
tarjadinya kejadian jatuh.
4. Menonjolnya masalah:
- Masalah berat,
harus segera
ditangani
- Ada masalah tetapi
tidak perlu ditangani
- Masalah tidak
dirasakan
0 1 0 Keluarga merasa masalah
tersebut belum perlu untuk
ditangani
Jumlah nilai 2
Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan Integritas Jaringan
2. Kesiapan Meningkatkan Pengetahuan
3. Risiko Jatuh Pada Lansia
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan Evaluasi Rencana Tindakan
Umum Khusus Kriteria Standar
Kerusakan
Integritas
Jaringan (00044)
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x
kunjungan
diharapkan
masalah
kerusakan
integritas jaringan
teratasi
- Tidak ada tanda –
tanda infeksi,
- Perfusi jaringan
baik,
- Integritas kulit
yang baik bisa
dipertahankan
- Mengetahui
perawatan luka
dengan madu dan
minyak zaitun
Demonstrasi Terjadi perubahan
yang baik pada luka
keluarga mampu
melakukan
perawatan dengan
menggunakan madu
dan minyak zaitun
Wound Care Management (3660)
1. Observasi tanda – tanda infeksi,
2. Pertahankan kebersihan kulit
3. Kaji keadaan luka dengan
DESIGN-R
4. Bersihkan luka dengan teknik
septik dan antiseptik,
5. Bilas luka dengan larutan Nacl
0,9%,
6. Dressing luka dengan
menggunakan madu dan minyak
zaitun,
7. Bandingkan dan catat setiap
adanya perubahan pada luka,
Kesiapan
meningkatkan
pengetahuan
(00161)
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x
kunjungan
diharapkan
masalah kesiapan
meningkatkan
pengetahuan
teratasi
Keluarga
mengetahui tentang
penyakit diabetes,
meliputi pengertian,
penyebab, tanda
gejala, cara
perawatan kaki
serta diit/ makanan
yang dianjurkan
bagi penderita
Diabetes mellitus
Demonstrasi
dan diskusi
Keluarga mampu
mengenal diabetes
mellitus dengan
mampu menjawab
pertanyaan yang
diajukan
Health Education (5510)
1. Kaji pengetahuan keluarga
tentang penyakit
2. Berikan informasi tentang
proses penyakit
3. Beri informasi tentang diit bagi
penderita Diabetes Melitus
Risiko jatuh
(00155)
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x
kunjungan
diharapkan
Keluarga
mengetahui tentang
pencegahan jatuh di
lingkungan rumah
Demonstrasi
dan diskusi
Penataan rumah
sesuai
Tidak ada barang-
barang yang
berserakan
Lingkungan rumah
Environment management (6480)
1. Lakukan penataan rumah yang
sesuai
2. Bersihkan rumah agar bersih
3. Anjurkan kepada keluarga untuk
membuka jendela disiang hari
masalah risiko
jatuh teratasi
rapi dan bersih
Tidak ada kejadian
jatuh
4. Bantu keluarga untuk
membereskan barang-barang
yang berantakan
CATATAN ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA
Hari/tgl Waktu No.
Dx
Implementasi Evaluasi sumatif Paraf
Kamis, 6
Juli 2017
11.00
WIB
11.30
WIB
1
3
Melakukan pengkajian terhadap
keluarga Tn.I
Menggali pengetahuan keluarga
tentang penyakit Diabetes Melitus
DS: Keluarga mengatakan sangat senang dengan
kedatangan penulis
DO: keluarga terbuka dengan kedatangan
penulis
DS: Keluarga mengatakan belum mengetahui
tentang Diabetes Mellitus dan ingin mengetahui
lebih detail. Keluarga mengatakan sangat senang
jika ada yang memberikan informasi tentang
Diabetes Melitus
DO: keluarga tampak bingung
Jumat, 7
Juli 2017
09.30
WIB
2 Memberikan motivasi untuk kontrol
karena obat habis
Memberikan obat pengontrol gula
darah sesuai dengan resep dokter
DS: Ny.R mengatakan tidak mau kontrol
DO: Ny.R tampak tidak mau dan angkuh
DS: Keluarga mengatakan sangat senang sudah
dibelikan obat
DO: Keluarga tampak senang, diberikan
glimepirid 2 mg dan aspilet
Sabtu, 8
Juli 2017
10.30
WIB
1 Melakukan perawatan luka dengan
menggunakan madu dan minyak zaitun
DS: Ny.R mengatakan lebih nyaman
DO: Balutan tampak bersih, pengkajian luka
menunjukkan hasil : D: 3, E: 1, S: 6, I: 0, G: 5,
N: 3, P: 0. Luas masing-masing luka; L1: 4
cmx0,5 cm, L2: 0,2 cmx3,5 cm, L3: 5,0 cmx2,0
cm, L4: 0,1 cmx1,7 cm, L5: 0,5 cmx1,0 cm. luas
luka seluruhnya : 13,37 cm2
Minggu, 9
Juli 2017
13.10
WIB
1
2
3
Melakukan perawatan luka dengan
menggunakan madu dan minyak zaitun
Memberikan informasi tentang diabetes
Melitus meliputi pengertian, penyebab,
tanda dan gejala, cara perawatan kaki
serta diit/makanan yang dianjurkan
pada penderita Diabetes Melitus
(piramida makanan diabetes)
Membantu keluarga dalam pengaturan
DS: Ny.R mengatakan belum ada perubahan
luka
DO: Belum ada perubahan pada luka, balutan
tampak bersih. pengkajian luka menunjukkan
hasil : D: 3, E: 1, S: 6, I: 0, G: 5, N: 3, P: 0. Luas
masing-masing luka; L1: 4 cmx0,5 cm, L2: 0,2
cmx3,5 cm, L3: 5,0 cmx2,0 cm, L4: 0,1 cmx1,7
cm, L5: 0,5 cmx0,9 cm. luas luka seluruhnya :
13,32 cm2
DS: Keluarga mengatakan sekarang lebih tahu
tentang Diabetes Melitus dan akan melakukan
perawatan yang baik bagi Ny.R
DO: Keluarga sudah dapat menjelaskan kembali
tentang Diabetes Melitus
DS: Keluarga mengatakan lebih nyaman dengan
dan penataan serta merapihkan ruangan keadaan rumahnya saat ini
DO: Rumah tampak lebih rapi
CATATAN ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA
Hari/Tanggal/
waktu
No
Dx
Evaluasi Formatif Paraf
Minggu, 9 Juli
2017 jam
16.00 WIB
1
S:
Ny.R mengatakan belum ada perubahan luka
O:
- Belum ada perubahan pada luka
- Balutan tampak bersih
- Pengkajian luka menunjukkan hasil : D: 3, E: 1, S: 6, I: 0, G: 5, N: 3, P: 0.
- Luas masing-masing luka; L1: 4 cmx0,5 cm, L2: 0,2 cmx3,5 cm, L3: 5,0 cmx2,0 cm, L4: 0,1
cmx1,7 cm, L5: 0,5 cmx0,9 cm.
- Luas luka seluruhnya : 13,32 cm2
A: Masalah kerusakan integritas jaringan belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi (lakukan perawatan luka, kontrol gula darah,pertahankan lingkungan yang
bersih, motivasi kontrol secara rutin)
Minggu, 9 Juli
2017 jam
16.00 WIB
2 S:
- Keluarga mengatakan sudah lebih mengetahui tentang penyakit Diabetes Melitus
- Keluarga mengatakan merasa senang
O:
Keluarga mampu menjelaskan kembali tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta
makanan yang dianjurkan pada penderita Diabetes Melitus
A: masalah kesiapan meningkatkan pengetahuan teratasi
P: Hentikan Intervensi
Minggu, 9 Juli
2017 jam
16.00 WIB
3 S:
- Keluarga mengatakan akan lebih memperhatikan kebersihan lingkungan
- Keluarga mengatakan akan menjaga kerapihan rumah
O:
- Rumah terlihat lebih rapi dan bersih
- Jendela mulai dibuka
- Pencahayaan masih kurang
A:
- Masalah teratasi sebagian
P:
Lanjutkan intervensi (anjurkan keluarga untuk menjaga kebersihan rumah, anjurkan keluarga untuk
membuka jendela pada siang hari, anjurkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan Ny.R.
Lampiran 2
Standar Operasional Prosedur (SOP)
Perawatan Luka Diabetik
A. Pengertian :
Perawatan yang dilakukan pada pasien yang mengalami ulkus diabetes
mellitus (DM).
B. Tujuan:
1. Mencegah timbulnya infeksi.
2. Membantu proses penyembuhan luka.
3. Agar pasien merasa nyaman
C. Peralatan :
1. Bak Instrumen yang berisi:
a. Pinset Anatomi 2
b. Gunting Debridement
c. Pinset Cirurgis 1
d. Kom: 2 buah
e. Deppers
2. Peralatan lain terdiri dari :
a. Sarung tangan
b. Plester atau perekat
c. Desinfektant
d. NaCl 0,9%
e. Verband
f. Bengkok: 2 buah, 1 buah
berisi larutan desinfektan
g. Madu dan minyak zaitun
D. Prosedur pelaksanaan :
1. Tahap Pra Interaksi
a. Melakukan Verifikasi program sebelum proses tindakan
b. Mencuci tangan
c. Menempatkan alat di dekat pasien
2. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam & menyapa nama pasien
b. Menjelaskan tujuan & prosedur tindakan pada keluarga/klien
c. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan perawatan luka dilakukan
E. Tahap Kerja
1. Membaca tasmiyah
2. Menjaga dan menjamin privacy
3. Mencuci tangan
4. Mengatur posisi pasien agar luka dapat terlihat dengan jelas
5. Memasang perlak
6. Mendekatkan bengkok
7. Membuka peralatan
8. Menggunakan sarung tangan
9. Membasahi plaster dengan alcohol & buka dengan memakai pinset
10. Membuka balutan lapis terluar
11. Membuka balutan lapis dalam
12. Menekan daerah luka untuk dapat mengeluarkan adanya pus
13. Melakukan debridement
14. Membersihkan luka dengan memanfaatkan cairan NaCl
15. Mengeringkan dengan kassa
16. Setelah luka bersih, tutup dengan kassa lembab yang sudah di campur
dengan madu dan minyak zaitun
17. Lalu tutup dengan kassa kering.
18. Memasang plester atau verband
19. Merapikan pasien
F. Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan
2. Berpamitan dengan klien
3. Membereskan alat-alat
4. Mencuci tangan
5. Mencatat semua kegiatan dalam lembar/ catatan keperawatan.
Lampiran 3
FORM PENGKAJIAN LUKA DENGAN DESIGN–R
DEPTH
d
0 Tidak ada lesi dan kemerahan pada kulit
D
3 Lesi mencapai sub-kutan
1 Kemerahan menetap 4 Lesi mencapai
otot,tendon,dan tulang.
2 Lesi mencapai dermis 5 Lesi mencapai artikuler
atau rongga tubuh, atau
tidak mungkin di ukur.
U Tidak diketahui
EXUDAT E
e
0 Tidak ada
E
6
Banyak : Perlu mengganti lebih dari 2 kali setiap
hari
1 Ringan : Tidak perlu mengganti dressing
setiap hari
3 Sedang : Perlu mengganti dressing setiap
hari
SIZE
s
0 Tidak ada
S
15
≥ 100 cm²
3 Kurang dari 4 cm²
6 4 cm² - < 16 cm²
8 16 cm² -< 36 cm² 9 36 cm² - < 64 cm² 12 64 cm² -< 100 cm²
INFECTION
i
0 Tidak ada
I
3 Ada tanda-tanda infeksi
local
1 Demam,kemerahan,bengkak,dan nyeri sekitar luka.
9 Demam sistemik
GRANULATION
g
0 Granulasi tidak bisa dikaji
G
4 Granulasi sehat mencapai
10% tetapi tidak lebih dari 50%.
1 Granulasi sehat mencapai 90% atau lebih 5 Granulasi sehat kurang
dari 10%.
2 Granulasi sehat mencapai 50% tetapi tidak lebih dari 90%.
6 Tidak ada granulasi
NECROTIC
n
0
Tidak ada nekrotik
N
3 Terdapat jaringan
nekrotik lunak
6 Terdapat jaringan
nekrotik keras
NAMA : ……………………………………………. UMUR :…………Th/Bln JENIS KELAMIN : L / P
TANGGAL PENGKAJIAN : ………………………HARI ; ……………… JAM :…………… lokasi luka : …………………
p
0
P
6 < 4 cm²
9 4 cm² -< 16 cm²
12 16 cm² - < 36 cm²
24 >36 cm²
Catatan
:………………………………………………………………
Lampiran 4
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Pokok Bahasan : Diabetes Melitus
Sasaran : Keluarga
Waktu : 15-20 menit
Hari/Tanggal : Minggu, 09 Juli 2017
Tempat : Rumah P1
A. Tujuan Penyuluhan
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti penyuluhan ini, keluarga dapat mengetahui tentang
penyakit Diabetes Melitus
2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan ini, keluarga dapat :
a. Mngetahui pengertian diabetes melitus
b. Mengetahui penyebab diabetes melitus
c. Mengetahui tanda dan gejala diabetes melitus
d. Mengeetahui komplikasi diabetes melitus
e. Mengetahui cara perawatan diabetes melitus
f. Mengetahui makanan yang dianjurkan
3. Materi Penyuluhan
a. Pengertian pengertian diabetes melitus
b. Penyebab diabetes melitus
c. Tanda dan gejala diabetes melitus
d. Komplikasi diabetes melitus
e. Cara perawatan diabetes melitus
f. Makanan yang dianjurkan
4. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
5. Media
1. Lembar balik
2. Leaflet
6. Proses Kegiatan
No Waktu Kegiatan role play model Kegiatan
peserta
1. 3 menit - Pembukaan
- Memberikan salam
- Menjelaskan tujuan pembelajaran
- Menyebutkan pokok bahasan yang akan
di sampaikan.
- Kontrak Waktu
- Menjawab salam
- mendengarkan
dan
memperhatikan.
2. 10
menit
- Pelaksanaan materi
- Pelaksanaan materi penyuluhan secara
berurutan dan terartur.
Materi :
a. Pengertian pengertian diabetes
melitus
b. Penyebab diabetes melitus
c. Tanda dan gejala diabetes melitus
d. Komplikasi diabetes melitus
e. Cara perawatan diabetes melitus
f. Makanan yang dianjurkan
Menyimak dan
memperhatikan
3. 5 menit Evaluasi :
- Bertanya pada keluarga tentang materi
yang telah dijelaskan.
- Memberi kesempatan kepada keluarga
untuk bertanya.
- Memberikan kesempatan kepada
Bertanya dan
menjawab
pertanyaan
keluarga untuk menjawab pertanyaan
yang dilontarkan.
4. 2 menit Penutup
- Menyimpulkan materi yang telah
disampaikan
- Ucapan terimah kasih
- Mengucapkan salam.
Menjawab salam
Lampiran Materi
A. Pengertian
Diabetes Melitus ialah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan
ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel pada
insulin (Corwin, 2009). Diabetes adalah suatu penyakit yang dikarenakan
tubuh tidak mampu mengendalikan jumlah gula atau kadar glukosa dalam
darah. Hal ini menyebabkan hiperglikemia yaitu suatu keadaan dimana kadar
gula darah sangat tinggi (Setiabudi, 2008).
Diabetes Melitus atau DM merupakan kondisi hiperglikemia kronik
disertai beraneka kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan beraneka komplikasi kronik yang terjadi pada mata, ginjal,
syaraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membrane basalis dalam
pemeriksaan dengan menggunakan sebuah mikroskop elektron (Mansjoer dkk,
2007). Diabetes Melitus Adalah keadaan tingginya kadar gula dalam darah/
kadar gula dalam darah melebihi batas normal.
B. Penyebab Diabetes Melitus
1. Keturunan
2. Faktor Makanan (Kebiasaan makan makanan yang mengandung gula,
lemak dan minyak
3. Aktivitas fisik yang kurang(Memicu peredaran darah tidak lancar)
4. Perubahan karena lanjut usia(Pada lansia terjadi penurunan hormone
termasuk hormone pankereas yang mengatur gula dalam darah
C. Tanda dan Gejala
1. Mudah kencing (akibat dari diuresis osmoticbila di ambang ginjal teradap
reabsobsi glukosa dicapai dan kelebihan glukosa keluar melalui ginjal).
2. Mudah lapar (disebabkan oleh peningkatan kebutuhan energi dan
perubahan sintesis protein dan lemak)
3. Mudah haus (disebabkan karena dehidrasi dan poliuria)
4. Kesemutan
5. Pandangan mata kabur
6. Mudah lelah
7. Penurunan berat badan
D. Komplikasi Diabetes Melitus
1. Penyakit Jantung
2. Gagal Ginjal
3. Kerusakan retina mata
4. Stroke
5. Luka yang sulit disembuhkan
E. Cara Perawatan Diabetes Melitus
1. Pengaturan makanan (jumlah makanan yang dimakan, jadwal makan harus
teratur, jenis makanan yang dimakan)
2. Latihan jasmani/olahraga (untuk memperlancar aliran darah)
3. Perawatan kaki (menghindari dari perlukaan kaki)
4. Minum obat secara teratur
5. Kontrol kadar gula darah (memantau kadar gula darah )
F. Diit bagi penderita Diabetes Melitus
1. Kurangi makanan yang mengandung gula, minyak dan lemak
2. Hindari konsumsi makanan yang tinggi lemak dan yang mengandung
banyak kolesterol ,seperti daging merah, produk susu, kuning telor dan
mentega
3. Kurangi konsumsi garam
4. Perbanyak konsumsi makanan yang banyak mengadung serat seperti
sayuran dan sereal
1. Mudah mengantuk
2. Mudah lapar
3. Mengantuk
4. Kesemutan
5. Pandangan mata kabur
6. Sering kencing
7. Penurunan berat badan
APA SIH KOMPLIKASINYA
1. Penyakit Jantung
2. Gagal ginjal
3. Kerusakan retina mata
4. Stroke
5. Luka yang sulit disembuhkan
MAHASISWA
STIKES
MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2016
Suatu keadaan tingginya kadar gula dalam
darah / kadar gula dalam darah melebihi batas
normal.
APA SIH PENYEBABNYA ?
1. Keturunan
2. F a k t o r m a k a n a n
( Kebiasaan makan
m a k a n a n y a n g
mengandung gula, lemak
dan minyak )
3. Aktivitas Fisik yang Kurang, (Memicu
peredaran darah tidak lancar )
4. Perubahan karena lanjut
usia ( Pada lansia terjadi
penurunan hormone termasuk
hormone pankereas yang
mengatur gula dalam darah )
5. Fungsi sel pankreas berkurang. ( Produksi
hormone yang mengatur kadar gula
mengalami ketidakstabilan ).
1. P e n g a t u r a n makanan ( jumlah makanan yang dimakan, jadwal
makan harus
teratur, jenis makanan yang dimakan )
2. Latihan jasmani/ Olahraga ( untuk m e m p e r l a n c a r aliran darah ) 3. Perawatan kaki
( menghindari dari perlu-kaan kaki )
4. Minum obat secara tera-tur
5. Kontrol kadar gula darah ( me-
mantau kadar gula darah )
APA SAJA MAKANAN BAGI PENDERITA
GULA ??
1. Kurangi makanan yang mengandung gula,
minyak san lemak
2. Hindari konsumsi makanan tinggi lemak
dan yang mengandung banyak kolesterol
seperti daging merah, produk susu,
kuning telur, mentega
3. Kurangi kpnsumsi garam
4. Perbanyak konsumsi makanan yang banyak
mengandung serat seperti sayuran dan
sereal
Manfaat perawatan
kaki dengan air hangat
adalah dengan air
hangat dan bersih maka kulit kaki akan
segar dan aliran darah lancar akibat
pengaruh air hangat
Kaos kaki
Kaos kaki sebaiknya
berasal dari bahan katun
yang dapat menyerap
keringat . Tebalnya kaos kaki harus
sesuai dengan sepatu yang dipakai dan
jangan terasa sempit sehingga telapak
kaki kurang bergerak dan akibatnya kaki
mudah bengkak dan sakit
SEMOGA BERMANFAAT
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
Hal 112
EFEKTIFITAS PERAWATAN LUKA DIABETIK METODE MODERN DRESSING
MENGGUNAKAN MADU TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Edy Siswantoro Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKES Dian Husada Mojokerto
Email : [email protected]
ABSTRAK Diabetes melitus (DM) atau biasa yang disebut penyakit kencing manis
merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dL, dan kadar gula darah puasa diatas atau sama dengan 126 mg/Dl. Gangren diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi pembuluh darah sedang atau besar di tungkai dan luka gangren merupakan salah satu komplikasi kronik Diabetes Mellitus. Metode penelitian pre-experimental dengan rancangan one group pretest-posttest design. Didapatkan 30 pasien dengan luka gread II, III. IV, menggunakan teknik Purposive Sampling. Instrumen perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu adalah SOP dan lembar observasi untuk penyembuhan luka. Data diolah dengan proses editing, coding, skoring, tabulating. Berdasarkan analisa data menggunakan uji Wilxocon yang didasarkan taraf kemaknaan yang ditetapkan α ≤ 0,05. Hasil penelitian ini adalah proses penyembuhan luka sebelum dilakukan perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu yang diukur dari tingkat gread luka yaitu gread II (23,3%), gread III (46,7%), gread IV (30,0%). Dan proses penyembuhan luka sesudah dilakukan perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu yang diukur dari tingkat gread luka yaitu gread II (46,7%), gread III (36,7%), gread IV (16,7%). Uji Wilxocon diketahui p= 0,001<0,05. Dapat disimpulkan bahwa perawatan luka diabetik metode modern dressing menggunakan madu berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka. Perawat bisa menggunakan sarana madu sebagai alternatif lain dalam perawatan luka karena madu sebagai agen perawatan luka memiliki efektifitas yang baik dalam proses penyembuhan luka.
Kata Kunci : Perawatan luka, Modern Dressing, Madu
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
Hal 113
PENDAHULUAN Gangren diabetik adalah luka pada kaki
yang merah kehitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. Luka gangren merupakan salah satu kornplikasi kronik DM yang paling ditakuti oleh setiap penderita DM (Tjokroprawiro, 2007). Luka diabetik merupakan faktor yang menyebabkan masalah biologis, psikologis, sosial, spiritual dan ekonomi sampai kematian karena sepsis. Secara sosial, seorang pasien luka diabetic akan dikucilkan oleh orang lain karena pengaruh kotor dan bau yang ditimbulkan (Supriyatin, Saryono, dan Latifah, 2007). Luka diabetik mudah berkembang menjadi infeksi akibat masuknya kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman (Sudoyoet al, 2006).
Estimasi terbaru dari Federasi Diabetes Internasional tahun 2014 negara dengan kasus diabetes tertinggi adalah China, yang diperkirakan akan mencapai 142,7 juta pada 2035 dari 98,4 juta pada saat ini. Namun prevalensi tertinggi ada di Pasifik Barat, dengan lebih dari sepertiga orang dewasa di Tokelau, Mikronesia dan Kepulauan Marshall mengidap penyakit tersebut. Populasi penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia saat ini menduduki peringkat kelima terbanyak di dunia. Indonesia menempati peringkat pertama di Asia tenggara, dengan Prevalensi DM sebanyak 8.426.000 jiwa di tahun 2000 dan di proyeksi meningkat 2,5 kali lipat sebanyak 21.257.000 penberita pada tahun 2031 (WHO, dalam Prihanningtya, 2013). Berdasarkan data IDF Diabetes Atlas, pada tahun 2013 penderita DM di Tanah Air mencapai 8.554.155 orang. Bahkan angka tersebut semakin naik pada tahun 2014 hingga mencapai 9,1 juta orang, kata Ketua Perkumpulan Endrokologi Indonesia (Perkeni) Prof. Dr. Achmad Rudijanto di Jakarta. Tahun 2035 jumlah penderita DM diprediksi melonjak hingga ke angka 14,1 juta orang dengan tingkat prevalensi 6,67 persen untuk populasi orang dewasa (suara.com, 2015). Data Dinas Kesehatan (DINKES, 2013) Jawa Timur menyebutkan 3.622 jiwa penderita Diabetes Mellitus tipe 2 dirawat di rumah sakit dan 161 jiwa meninggal dunia, jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2013 sejumlah 69.018 penderita dan 172 jiwa meninggal dunia. Berdasarkan data yang didapatkan di RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari tahun
2014 ada 237 pasien diabetes militus dan mengalami peningkatan daripada tahun 2013 yang berjumlah 189 sering sertai dengan komplikasi dengan luka diabetik.
Salah satu komplikasi yang banyak ditakutkan oleh kebanyakan orang adalah timbul nya luka pada daerah ekstermitas baik atas maupun bawah. Luka bisa teratasi secara optimal jika penanganan luka dilakukan dengan tepat. Jika penanganan luka tidak tepat bisa berakibat proses penyembuhan luka akan semakin lama dan sepsis akan menyebar ke bagian yang lain bahkan bisa berujung pada tindakan amputasi. Perawatan luka yang tepat merupakan salah satu faktor yang mendukung penyembuhan luka (Morison, 2004). Lingkungan yang lembab akan memberikan dukungan pergerakan epitel dan memfasilitasi penutupan luka. Pemilihan balutan yang baik akan mendukung penyembuhan luka dengan memberikan lingkungan yang lembab dan kontinu (Potter & Perry, 2010). Perawatan luka yang tertutup dengan modern dressing memiliki tingkat penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan yang ditutup dengan kasa. Modern dressing mampu untuk mempertahankan lingkungan lembab yang seimbang dengan permukaan luka, pemilihan dressing yang tepat dapat menjaga kelembapan seperti films, hydrogels, hydrocolloids, foams, alginates, and hydrofibers (Broussard dan Powers, 2013). Yapucaet al (2007) menyebutkan bahwa madu dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Waktu penyembuhan luka yang dirawat dengan madu lebih cepat sekitar empat kali dari pada waktu penyembuhan luka yang dirawat dengan obat lain.
Tindakan penanganan luka yang tidak tepat sering menghambat proses penyembuhan luka secara cepat. Salah satu cara untuk penanganan luka adalah dengan perawatan luka dengan metode modern dressing menggunakan madu. Dengan kandungan madu yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka dan di dukung menggunakan metode modern dressing diharapkan dengan kolaborasi kedua bahan tersebut proses penyembuhan luka diabetik bisa lebih cepat dan optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas perawatan luka diabetic dengan metode modern dressing menggunakan madu terhadap proses penyembuhan luka di RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
Hal 114
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang dilakukan adalah
penelitian pre-experimental dengan rancangan one group pretest-posttest. One group pretest-posttest adalah rancangan yang tidak ada kelompok pembanding (kontrol) namun sudah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (Notoatmodjo, 2010). Jenis penelitian ini digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan efektivitas pemberian intervensi berupa perawatan lukadiabetik metode modern dressing menggunakanterhadap proses penyembuhan luka pasien diabetes mellitus. Data diperoleh sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi.
Pengukuran yang dilakukan sebelum eksperimen (P1) disebut pretest. Pada penelitian ini pretest bertujuan untuk mengobservasi kondisi luka sebelum pemberian perlakuan (X). Perlakuan yang diberikan berupa perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu. Setelah dilakukan perawatan luka, peneliti mengobservasi kembali kondisi luka tersebut (P2) disebut posttest.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian proses
penyembuhan luka pada pasien diabetic sebelum diberikan perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari menunjukan bahwa dari 30 responden penelitian didapatkan proses penyembuhan luka diabetic sebelum diberikan perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu, yaitu sebagian besar 14 responden (46,7%)mengalami luka grade III. Kemudian setelah diberikan perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu didapatkan sebagian besar 14 responden (46,7%) mengalami luka grade II. Sedangkan uji hipotesis dengan tingkat nilai kemaknaan p<α (α= 0,05) didapatkan dari hasil uji Wilcoxon diketahui nilai p= 0,001< 0,05. Artinya bahwa Ho ditolak sedangkan Hi diterima artinya ada perbedaan pretest dan postest perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu terhadap proses penyembuhan luka diabetik.
Penurunan grade luka diabetic sesudah diberikan perawatan luka metode modern
dressing menggunakan madu ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Situmorang (2009) bahwa madu mempunyai kadar osmolaritas tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan mempercepat proses penyembuhan luka. Madu menciptakan kelembapan yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan hal ini yang menyebabkan bahwa madu sangat baik diserap oleh kulit (Molan, 2006). Sebagai agen pengobatan topikal madu mudah diserap oleh kulit sehingga dapat menyebabkan kelembapan pada kulit dan memberikan nutrisi yang dibutuhkan untuk kulit (Jeffery dan Echazaretta, 2004).Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu yang dilakukan efektif untuk mempercepat proses penyembuhan luka diabetik. Perawatan luka yang dilakukan adalah menggunakan madu sebagai bahan utama untuk mempercepat pertumbuhan granulasi. Granulasi pada luka yang dirawat menggunakan madu tumbuh dengan baik, ketika luka dibalut menggunakan balutan yang diolesi madu dapat menciptakan kelembapan yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian pada pasien diabetic yang mengalami luka setelah dilakukan perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu didapatkan seluruh pasien luka mengalami penurunan grade luka dengan hasil sebagian besar responden masuk klasifikasi luka grade II. Dengan penurunan grade luka setelah dilakukan perawatan luka metode modern dressing menggunakan madu dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian perawatan luka diabetic metode modern dressing menggunakan madu sangat efektif terhadap proses penyembuhan luka di RSUD. Prof. Dr. Soekandar Mojosari dengan uji validitas Wilxocon diperoleh hasil p=0,001.
SARAN Saran yang dapat peneliti berikan
berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut; Bagi profesi keperawatan diharapkan terus meningkatakan skill dan inovasi – inovasi dalam perawatan luka yang terus berkembang untuk memperoleh hasil penyembuhan luka yang lebih efektif dan efisien. Bagi RSUD. Prof. Dr. Soekandar
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
Hal 115
Mojosari diharapkan terus meningkatkan kinerja yang baik dan mengembangkan skill atau pun cara terbaru tentang perawatan luka untuk mempercepat kesembuhan pasien.Bagi penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah jumlah sample, menggunakan kelompok kontrol dan perlakuan (perawatan luka diabetic metode modern dressing menggunakan madu). DAFTAR PUSTAKA Aden, R. 2010. Manfaat & Khasiat Madu
Keajaiban Sang Arsitek Alam. Yogyakarta: Hanggar Kreator
Aljady, A.M., et al. 2000. “Biochemical Studi
on the Efficacy of Malaysian Honey on Inflicted Wounds: an Animal Model”. Medical Journal of Islamic Academy Science. Vol 13: 125-132
American Diabetes Association, Data from the
National Diabetes Statistics Report, 2014
Bansal et al. 2005. ”Honey-A Remedy Rediscovered and Its Therapeutic Utility”. Kathmandu University Medical Journal. Vol 3 (3): 305-309.
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2010. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010. Surabaya: Dinas Kesehatan Jawa Timur.
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2012. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2012. Surabaya: Dinas Kesehatan Jawa Timur.
Dr. Suranto Adji, 2007. Terapi Madu. Jakarta:
Penebar Swadaya. Haviva, A.B. 2011. Dahsyatnya Mukjizat Madu
untuk Kesehatan, Kecantikan, dan Kecerdasan. Jogjakarta: DIVA Press.
Jeffrey, A.E., dan Echazaretta, C.M. 1997.
“Medical Uses of Honey”. Rev Biomed. Vol 7: 43-49.
Maryani, A., Gitarja, W.S., dan Ekaputra, E.
2011. Metode Perawatan Luka. Dalam: Seminar Nasional Keperawatan, 13 November 2011. PSIK Universitas Jember.
Maryuyani, A. 2013. Perawatan Luka Modern
(Modern Wound care)Terkini dan Terlengkap. Jakarta: IN MEDIA.
Molan, P.C. 2006. ”Using Honey in Wound
Care”. International of Clinical Aroma therapy. Vol. 3 (2): 21-25
Morison, M.J. 2004. Manajemen Luka. Alih
Bahasa oleh Tyas mono A.F. Jakarta: EGC.
Namias, N. 2003. Honey in The Management
of Infection. Miami: De Witt Dughtry Family Departement of Surgery, University School of Medicine.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Potter, P.A., dan Perry, A.G. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Alih Bahasa oleh Renata Komalasari et al. Jakarta: EGC.
Rostita. 2008. Berkat Madu Sehat, Cantik dan
Penuh Vitalitas. Bandung: Qanita. Situmorang, L.L. 2009. “Efektivitas Madu
terhadap Penyembuhan Luka Gangren Diabetes Mellitus di RSUP H. Adam Malik Medan”. TidakDiterbitkan. Skripsi. Sumatera Utara: PSIK FK Universitas Sumatera Utara.
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah Subrahmanyam, M. 1998. “A Prospective
Randomize Clinical and Histological Study of Superficial Burn Wound Healing with Honey and Silver Sulfadiazine”. Journal of International Society for Burn Injuries. Vol 24 (2).
Suguna, L., et al. 1993. “Influence of Honey
on Collagen Metabolism During Wound Healing in Rats”. J. Clin. Biochem. Nutr. Vol 14: 91-99.
Walidan Saloom. 1999. “Effect of Topical
Honey on Post-Operative Wound Infection Due to Gram Positive and
Jurnal Keperawatan & Kebidanan – Stikes Dian Husada Mojokerto
Hal 116
Gram Negative Bacteria Following Caesarean Section and
Hysterectomies”. European Journal of Medical Research. Vol 4 (3)
Wounds UK
Reprint | Volume 9 | Issue 1
Efficacy of medical-grade honey as an autolytic debridement agent
Authors Julie Evans, Kirsty Mahoney
Evans_2013.indd 1 21/03/2013 11:43
� Wounds�UK�|�Vol�9�|�No�1�|�2013
Research and Audit
Efficacy of medical-grade honey as an autolytic debridement agent
Clinicians have knowledge, skill, and experience of the wound debridement methods and products available to them. To
enable them to make informed decisions on which wound debridement processor product is the most appropriate, it is essential that clinicians have access to clinical and cost-effectiveness data. However, the lack of robust evidence to support wound care products is well documented (Gottrup et al, 2010).
The case studies presented here were undertaken by the All Wales Tissue Viability Nurse Forum (AWTVNF) and enabled the Forum to gain direct experience using honey as an autolytic debriding agent, evaluate its effectiveness, and achieve positive clinical outcomes for patients involved.
What is Medical-Grade honey?Honey is a composition of water and sugars in the form of glucose, fructose, protein, fatty acids, trace minerals, and vitamins (White, 1978). By a process of evaporation and enzymatic action, sugar molecules bind to water molecules, denying microbes access to water (Cooper, 2005). Furthermore, enzymes convert glucose to glucose acid, making the honey too acidic for microbes to grow in. This enzymatic reaction also forms hydrogen peroxide which has
antimicrobial properties. The hydrogen peroxide activates proteases through oxidation, which aids debridement, enhances cutaneous blood flow in ischaemic tissues, stimulates new tissue growth, and forms free radicals, giving honey anti-inflammatory properties (Molan, 2005).
A growing body of evidence demonstrates the effectiveness of medical-grade honey in wound management. These properties include: management of local infection (Cooper et al, 2001; Ahmed et al, 2003; Vandeputte and Van Waeyenberge, 2003), rapid deodorising of wounds (Kingsley, 2001; Molan, 2002; Stephen-Haynes, 2004), promotion of autolytic debridement (Subhramanyam, 1998; Stephen-Haynes, 2004), stimulation of new tissue growth, and promotion of granulation (Hejase et al, 1996; Subrahmanyam 1998).
Given current concerns regarding growing levels of microbial resistance to traditional antimicrobial agents, the broad-spectrum antimicrobial action of medical-grade honey is noteworthy. More than 80 microbe species have been shown to be inhibited by honey, including methicillin-resistant Staphylococcus aureus and Bacillus subtilis. To date, there have been no reported examples of microbial resistance to honey (Cooper and Gray, 2012).
30
JULIE EVANSTissue Viability Nurse,Abertawe Bro Morgannwg University Health Board, Swansea, UK
KIRSTY MAHONEYClinical Nurse Specialist in Wound Care, Cardiff and Vale University Health Board, Cardiff, UK
Background:� The� All� Wales� Tissue� Viability� Nurses� Forum� provides� a� platform�for� sharing� information� and� experience,� and� fosters� collaborative� work� between�its� members,� healthcare� organisations,� communities,� and� individuals.� The� Forum�worked�with�Welsh�Health�Supplies�to�produce�an�All-Wales�Wound�Management�Contract,�which�includes�a�range�of�honey-based�dressings.�Aims:� In�order�to�gain�clinical�experience�of�honey,�and�to�access�its�effectiveness�as�a�wound�debriding�agent,�the�Forum�evaluated�a�case�series�of�honey�dressings.�Methods:�Patients�with�chronic�wounds�that�contained�slough�and/or�necrotic�tissue�in�which�honey�dressings�were�being� used� were� recruited� on� three� consecutive� dressing� changes.� Results:� Honey�dressings� in� this� case� study� achieved� partial� or� total� autolytic� debridement� in� the�majority�of�wounds.�Additional�advantages,�such�as�a�reduction�in�wound�exudate,�malodour,�and�pain,�as�well�as�the�stimulation�of�new�tissue�growth,�were�noted.�
KEY WORDSAutolytic debridementMalodour control Medical-grade honey
Evans_2013.indd 2 21/03/2013 11:43
Wounds�UK�|�Vol�9�|�No�1�|�2013�
Research and Audit
MethodsMedical-grade honey was used in the cases reported here. This was 100% pure Manuka honey from the Advancis Medical (UK) range. Products used were the Activon Tube® (liquid or “runny”), Activon Tulle® (impregnated knitted viscose mesh), and Algivon® (impregnated alginate dressing). All of these products were available through the Welsh Health Supplies/All Wales Wound Management Contract. No products were given free of charge.
The honey product was used as a primary dressing and its choice and delivery mode were based on the clinician’s decision following wound assessment. No restrictions or directions were made with regard to secondary dressing choice.
inclusion criteriaAll wound types were included as long as the wound contained >40% devitalised tissue (i.e. slough and/or necrotic tissue) at the start of the study. Healing was not defined as the target end point; the aim of the honey product was to achieve autolytic debridement. Data were collected on other effects of medical-grade honey, but these were not predetermined target end-points. No ongoing methods of wound debridement were changed in order to gain inclusion in the study. Patients were only included when commenced on a honey dressing that was employed due to the ineffectiveness of or unsuitability of the previous method of debridement.
data collectionData were collected on all wounds included at each of three consecutive dressing changes from the time of recruitment. Wound type, location, size and depth, percentage of devitalised tissue including necrotic and/or slough covering the wound bed, pain (using a 1–10 pain scale), exudate level, presence of infection, presence of malodour, and photographs were collected. No specific time was set between dressing changes and data were collected at each of the three consecutive dressing changes.
sample sizeNo predetermined study size was set, resulting in 22 patients with wounds who were recruited. No patients were excluded or removed from the study.
The authors recognise that a controlled study design, and a large sample size, would have been required to carry out robust statistical analysis of the results, hence, evaluations of the individual cases are presented here. Common themes were compared across the 22 cases based. This observational method of investigation is valid, given that the data were collected by skilled clinicians (Nelson, 2000).
results Wound typesWound types comprised surgical wounds (9%), leg ulcers (14%), and pressure ulcers (uncategorised, 19%; Category III, 29%; Category IV, 29%). The inclusion of different wound types allowed better scope to evaluate the effectiveness of honey as a debriding agent in different wound aetiologies. The most common wound type was pressure ulcers, which represented 77% of wounds overall.
As was expected, there were no Category l and ll pressure ulcers included, as these do not have slough and necrosis in the wound bed (European Pressure Ulcer Advisory Panel and National Pressure Ulcer Advisory Panel, 2009). Twenty-nine percent of the wounds were Category III and a further 29% were Category IV pressure ulcers; a further 19% of pressure ulcers were uncategorised due to large amounts of necrosis preventing accurate visualisation and classification of the wounds.
devitalised tissueAt the beginning of the evaluation, clinicians assessed the amount of devitalised tissue within the wound bed. The assessment of devitalised tissue as a percentage could be seen as subjective, so wounds were photographed throughout the study period. Some 82% of patients had ≥ 80% devitalised tissue at the first visit (Figure 1). Slough and necrotic tissue were evaluated separately as it was considered that autolytic debridement of necrosis may take longer than slough debridement and may also result in the formation of slough as the necrosis is softened during the process.
autolytic debridement of necrotic tissueAt the start of the evaluation 68% (15/22) of wounds had > 40% necrotic tissue in the wound bed. At the end of the data collection and use of honey products, 87% of wounds had reduced in the amount of
“A growing body of evidence demonstrates the effectiveness of medical-grade honey in wound management.”
32
Evans_2013.indd 3 21/03/2013 11:43
� Wounds�UK�|�Vol�9�|�No�1�|�2013
Research and Audit
necrotic tissue to < 40%, and 67% experienced 100% debridement of necrosis. Only 13% (2/22) of patients experienced little or no debridement (Figure 2).
autolytic debridement of slough The number of wounds with > 40% slough in the wound bed was 36% (8/22). By the end of the evaluation the slough had been reduced in 90% of cases with 25% of cases reaching 100% debridement (Figure 3).time taken for autolytic debridementThe average time taken to achieve complete autolytic debridement of all devitalised tissue was 31.7 days. The range was 6–109 days (Figure 4). Photographs from four of the cases are presented in Figure 5. Each case is shown before treatment with one of the medical-grade honey products, and again at the final evaluation.
Granulation Granulation and healing were not endpoints of this evaluation; however, healing was achieved in 50% of patients. At the start of the evaluation, 81% of wounds had ≤ 20% granulation tissue in the wound bed. By the end of the evaluation, 50% of wounds had ≥ 61% granulation tissue in the wound bed.
MalodourSome 40% of patients experienced wound malodour. By evaluation end clinicians reported complete elimination of malodour in 81% and a noticeable reduction in 19%.
PainPain was assessed using a visual analogue scale from 0–10, with 0 being no pain and 10 being severe pain. Five patients had no pain at the beginning or the end of the evaluation. Following treatment with honey products 71% of patients who initially presented with pain saw a reduction in pain levels (Figure 6).
exudate Exudate levels were recorded at the second (midpoint) and the final evaluations as increasing, decreasing, or remaining the same. At the second evaluation an increase in exudate was recorded in 38% of patients; this was expected due to the debridement process and action of honey. However, by the end of the evaluation 76% of patients experienced a reduction in exudate levels (Figure 7).
33
1 2 3 4 5 60
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Dev
italis
ed ti
ssue
(%)
Patient number
1 2 3 4 5 60
10
2030
40
50
6070
80
90
7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nec
rotic
tiss
ue (%
)
100
Patient number% Start
% End
Figure 1. Percentage of devitalised tissue at the start of the study.
Figure 2. Percentage of necrotic tissue at the start and end of the study.
Figure 3. Percentage of slough at the start and end of the study.
1 2 3 4 5 60
10
20
30
40
50
60
70
80
90
7 8
Slou
gh (%
of w
ound
bed
)
100
Patient number Start
End
1 2 3 4 5 60
10
20
30
40
50
60
70
80
90
7 8
Slou
gh (%
of w
ound
bed
)
100
Patient number Start
End
1 2 3 4 5 60
10
20
30
40
50
60
70
80
90
7 8
Slou
gh (%
of w
ound
bed
)
100
Patient number Start
End
Evans_2013.indd 4 21/03/2013 11:43
Wounds�UK�|�Vol�9�|�No�1�|�2013�
Research and Audit
discussion These case study outcomes suggest that medical-grade honey is an effective autolytic debridement agent, as was the case in ≥ 80% of the cases reported. Other effects reported comprimised reductions in malodour, exudate levels, pain, and the stimulation of tissue growth.
autolytic debridementThis evaluation considered the autolytic debridement properties of honey on devitalised tissue within wounds of different aetiologies. The results showed that medical-grade honey could achieve complete autolytic debridement in an average of 31.7 days. Overall, honey as an agent for debridement was considered effective in wounds that contained ≥40% devitalised tissue.
Debridement is recognised to be an essential process in achieving wound healing in chronic wounds (Wolcott et al, 2009). Devitalised tissue needs to be debrided rapidly as it acts as a reservoir of potential infection. Debridement is also necessary to ascertain the extent of a wound, which will influence further management. Evidence to support the effectiveness of the various methods of debridement gained from randomised controlled trials (RCTs) is inadequate (Leaper, 2002). Such was the case for medical-grade honey, as clinical evidence obtained before 2000 was based on the use of generic honeys and not on sterile, medical-grade honey (Moore et al, 2001). In more recent years the effectiveness of medical-grade honey has been demonstrated with robust research on medical-grade honey products designed specifically for wound management (Misirlioglu et al, 2003; Vandeputte and Van Waeyenberge, 2003; White and Molan, 2005; Gethin and Cowman, 2008). There is now a growing body of evidence that supports the use of medical-grade honey as an effective autolytic debriding agent (Subrahmanyam 1998; Stephen-Haynes, 2004; Molan, 2005).
Honey promotes debridement by autolysis and creates a moist wound environment due to its high osmotic properties (Cooper et al, 2001). There have been several studies that highlight the effectiveness of honey as a debriding agent (Gray and White, 2005; Balser et al, 2007). Gethin and Cowman (2009) compared honey to hydrogel in 108 patients with leg ulcers that had > 50% slough
34
Figure 5. (a–b) Category IV pressure ulcer at the beginning
and end of treatment with Algivon®. (c–d) Leg ulceration
at the beginning and end of treatment with Activon Tulle®.
(e–f) Category IV pressure ulcer at the beginning and end of
treatment with Activon Tube®. (g–h) Category IV pressure ulcer
at the beginning and end of treatment with Activon Tube®.
1 20 3 4 5 60
20
40
60
80
100
120
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Tim
e ta
ken
(day
s)
Patient ID number
31.7days
Figure 4. Time taken for autolytic debridement.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g) (h)
Evans_2013.indd 5 21/03/2013 11:44
� Wounds�UK�|�Vol�9�|�No�1�|�2013
Research and Audit
and found honey to be a superior debriding agent. The present evaluation demonstrated a high level of debridement with 67% of necrotic wounds reaching 100% and a reduction in slough in 90% of wounds containing slough.
In 13% of patients in the present evaluation, debridement was unsuccessful. In these cases liquid honey was used with a secondary foam dressing, which might have caused the honey to be absorbed into the dressing taking it away from the wound bed and therefore limiting its debridement potential. Another consideration is that the eschar may have been too dehydrated to allow absorption of the honey (Romanelli, et al, 2010). Scoring the eschar may enable the honey to penetrate and facilitate the debridement process. These factors may be related to individual clinician inexperience.
In one case (unstaged pressure ulcer to the
sacrum), the patient’s general health deteriorated and they became dehydrated. The patient died shortly after the final data, suggesting that end of life changes may have potentially influenced the ability of the patient’s skin to repair (Sibbald et al, 2010).
PainIn the present study, 71% of patients reported a reduction in pain. It has been suggested that honey used on wounds may be painful due to its acidity (Al-Swayeh and Ali, 1988) and osmotic action. The type of honey used may also influence pain experienced (Betts, 2009).
In an RCT undertaken by Jull et al (2008) pain increased in 25% of patients who used alginate-impregnated honey dressings. Dunford and Hanano (2004) and Gethin and Cowman (2008) disagreed with these findings, reporting no difference in pain levels between patients with venous legs ulcers treated with honey compared with a control group. Dunford and Hanano (2004) concluded that the pain experienced by patients within the study was possibly due to infection, ulcer size, or chronicity rather than the honey dressings.
Malodour Malodour is common in chronic wounds due to the presence of bacteria within the wound (Bowler et al, 1999). Odour is caused by bacteria metabolising amino acids, which release malodourous ammonia and sulphur compounds (White and Molan, 2005).
Honey reduces malodour in two ways. First, it reduces bacterial load within the wound (Cooper and Jenkins, 2009; Cooper and Gray, 2012). Second, the glucose within the honey is metabolised by the bacteria in preference to the amino acids; meaning that malodourous compounds are not released as a result (White and Molan, 2005). Clinicians reported total eradication of malodour in 81% of patients in the present evaluation. This is supported by findings of other authors (Kingsley, 2002; Gethin and Cowan, 2005).
Granulation In the present study ≥50% of wounds had at least 61% of granulation tissue by study end, with some achieving 100% granulation. Other
35
Increased
Decreased
Same
Increased
Decreased
Same
Mid point of the evaluation End of the evaluation
33%19%
29%76%
38%
5%
Figure 7. Wound exudate scores at the midpoint and end of the study.
Figure 6 Wound pain scores at the start and end of the study.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 170
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pain
sco
re
Patient numberStart
End
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 170
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pain
sco
re
Patient numberStart
End
Evans_2013.indd 6 21/03/2013 11:44
Wounds�UK�|�Vol�9�|�No�1�|�2013�
Research and Audit
authors report similar effects of honey in stimulating tissue growth (Molan, 2002; White and Molan, 2005). Honey has been shown to be effective in restarting the healing process of chronic wounds (Tur et al, 1995). It is suggested that the effect of stimulating angiogenesis is due to the anti-inflammatory properties of honey and its ability to decrease oedema, consequently decreasing pressure on capillaries, improving blood flow and oxygen supply to the wound (Kaufman et al, 1985). This effect may be amplified by honey’s stimulation of the growth of fibroblasts, the action of the hydrogen peroxide-enhancing cutaneous blood flow in ischaemic tissues, and the stimulation of cytokine production by leukocytes (Molan, 2005).
conclusion A larger study is required to confirm the findings reported here. However, the case studies presented suggest that the use of medical-grade honey preparations were effective with 87% of wounds achieving a high percentage of autolytic debridement of devitalised tissue. Medical-grade honey should be considered as an effective option for autolytic debridement. These case studies also suggest that medical-grade honey is multifaceted in its action in wound management with observed reductions in exudate, pain, malodour, and the stimulation of granulation tissue.
It was identified that clinical knowledge of the actions of medical-grade honey and its optimum application could have been improved to ensure appropriate use. If the study was repeated, clinician education would need to be included.
Clinicians can feel confident using medical- grade honey products. The present cases suggest clinical effectiveness and substantiate manufacturers’ claims. Wuk
referencesAhmed AK, Hoekstra MJ, Hage J et al (2003) Honey-medicated dressing:
transformation of an ancient remedy into modern therapy. Ann Plast Surg 50(2): 143–7
Al-Swayeh OA, Ali AT (1998) Effect of ablation of capsaicin-sensitive neurons on gastric protection by honey and sucralfate. HepatoGastroenterology 45(19): 297–302
Betts J (2009) Guidelines for the clinical use of honey in wound care. In: White R, Cooper R, Molan P (eds) Honey in Modern Wound Management. Wounds UK, Aberdeen: 80–90
Blaser G, Santos K, Bode U et al (2007) Effect of medical honey on wounds colonised or infected in MRSA. J Wound Care 16(8): 325–8
Bowler PG, Davies BJ, Jones SA (1999) Microbial involvement in chronic wound malodour. J Wound Care 8 (5): 216–8
Cooper R (2005) The antibacterial activity of honey. In: White R, Cooper R, Molan P (eds) Honey: A Modern Wound Management Product. Wounds UK, Aberdeen: 24–32
Cooper RA, Molan PC, Krishnamoorthy L et al (2001) Manuka honey used to heal a recalcitrant surgical wound. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 20(10): 758–9
Cooper RA, Jenkins L (2009) A Comparison between medical grade honey and table honeys in relation to antimicrobial efficacy. Wounds 21(2): 29–36
Cooper R, Gray D (2012) Is Manuka honey a credible alternative to silver in wound care? Wounds UK 8(4): 54–63
Dunford CE, Hanano R (2004) Acceptability to patients of a honey dressing for non-healing venous leg ulcers. J Wound Care 13(5): 193–7
European Pressure Ulcer Advisory Panel, National Pressure Ulcer Advisory Panel (2009) Treatment of Pressure Ulcers: Quick Reference Guide. NPUAP, Washington DC
Gethin G, Cowman S (2005) Case series of the use of Manuka honey in leg ulcers. Int Wound J 2(1): 10–5
Gethin G, Cowman S (2008) Bacteriological changes in sloughy venous ulcers treated with manuka honey or hydrogel: an RCT. J Wound Care 17(6): 241–7
Gethin G, Cowman S (2009) Manuka honey vs hydrogel – a prospective, open label multicentre, randomised controlled trial to compare desloughing efficacy and healing outcomes in venous ulcers. J Clin Nurs 18(3): 466–74
Gottrup F, Apelqvist J, Price P (2010) Outcomes in controlled and comparative studies on non-healing wounds: recommendations to improve the quality of evidence in wound management. J Wound Care 19(6): 237–68
Gray D, White R (2005) Mesitran ointment case studies. Wounds UK 1(Suppl3): 32–5
Hejase MJ, Simonin JE, Bihrle R et al (1996) Genital Fournier’s gangrene: experience with 38 patients. Urology 47(5): 734–9
Jull A, Walker N, Parag V et al (2008) Randomised clinical trial of honey-impregnated dressings for venous ulcers. B J Surg 95(2): 175–82
Kaufman T, Eichenlaub EH, Agel MF et al (1985) Topical acidification promotes healing of experimental deep partial thickness skin burns: a randomized double-blind preliminary study. Burns 12(2): 84–90
Kingsley A (2001) The use of honey in the treatment of infected wounds: case studies. Br J Nurs 10 (Suppl 22): 13– 20
Leaper D (2002) Sharp technique for wound debridement. Available at: http://bit.ly/12jEvgu (accessed 14.02.2013)
Misirlioglu A, Eroglu S, Karacaoglan N et al (2003) Use of honey as an adjunct in the healing of split-thickness skin graft donor site. Dermatol Surg 29(2): 168–72
Molan P (2002) Re-introducing honey in the management of wounds and ulcers – theory and practice. Ostomy Wound Manage 48(11): 28–40
Molan P (2005) Mode of action. In: White R, Cooper R, Molan P (eds) Honey: A Modern Wound Management Product. Wounds UK, Aberdeen: 1–23
Moore OA, Smith LA, Campbell F et al (2001) Systematic review of honey as a wound dressing. BMC Complem Alt Med 1(2): 1
Nelson EA (2000) The use of case reports in wound care. J Wound Care 9(1): 23–6
Romanelli M, Vowden K, Weir D (2010) Exudate management made easy. Wounds International 1(2). Available at: http://bit.ly/XE9IY4 (accessed 14.02.2013)
Sibbald RG, Krasner DL, Lutz JB (2010) SCALE: Skin changes at life’s end final consensus document. Adv Skin Wound Care 23(5): 225–36
Stephen-Haynes J (2004) Evaluation of honey-impregnated tulle dressing in primary care. Br J Community Nurs 9 (Suppl6): 21–7
Subrahmanyam M (1998) A prospective randomised clinical and histological study of superficial burn wound healing with honey and silver sulfadiazine. Burns 24(2): 157–61
Tur E, Bolton L, Constantine BE (1995) Topical hydrogen peroxide treatment of ischemic ulcers in the guinea pig: blood recruitment in multiple skin sites. J Am Acad Dermatol 33 (2 Pt 1): 217–21
Vandeputte J, Van Waeyenberge P (2003) Clinical evaluation of L-Mesitran – a honey based wound ointment. Eur Wound Manage J 3(2): 8–11
Vuolo J (2009) Wound Care Made Incredibly Easy. Lippincott and Wilkins, London
White JW Jr (1978) Honey. Adv Food Res 24: 287–375
White R, Molan P (2005) A summary of published clinical research on honey in wound managment. In: White R, Cooper R, Molan P. (eds) Honey: A Modern Wound Management Product. Wounds UK, Aberdeen: 130–42
Wolcott RD, Kennedy JP, Dowd SE (2009) Regular debridement is the main tool for maintaining a healthy wound bed in most chronic wounds. J Wound Care 18(2): 54–6
“Clinicians can feel confident using medical-grade honey products.”
36
Evans_2013.indd 7 21/03/2013 11:44
EFEK PEMBERIAN MINYAK ZAITUN (Olea europa) TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA INSISI MENCIT JANTAN GALUR Swiss Webster
THE EFFECT OF OLIVE OIL (Olea europa) TO INCISION WOUND HEALING PROCESS ON Swiss Webster STRAIN MALE MICE
Fezia Tiffani Kartikaning Candra1, Iwan Budiman2
1Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha, 2Bagian Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, Jl. Prof. drg. Suria Sumantri MPH No.65 Bandung 40164 Indonesia
ABSTRAK
Penyembuhan luka merupakan upaya jaringan yang mengalami jejas untuk mengembalikan
fungsi normal dan integritas struktural setelah trauma. Berbagai obat digunakan untuk
mempercepat penutupan luka, salah satu contohnya yaitu minyak zaitun (Olea europa).
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah minyak zaitun dapat mempercepat penyembuhan
luka.
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik sungguhan. Hewan percobaan yang
digunakan adalah 25 ekor mencit jantan galur Swiss webster dengan luka insisi 20 mm pada
punggung mencit dan dibagi dalam 5 kelompok. Kelompok A diberi Extra Virgin Olive Oil, kelompok B diberi Pure 100% Olive Oil, kelompok C diberi Olive Pomace Oil, kelompok D
diberi povidone iodine, dan kelompok E diberi NaCl 0.9%. Pengobatan dan pengukuran
panjang luka dilakukan setiap hari selama tujuh hari, selanjutnya pada hari ketujuh jaringan
kulit diambil dan diperiksa secara mikroskopis. Analisis data memakai ANAVA satu arah
dilanjutkan post hoc Least Significant Difference (LSD) dengan nilai α yaitu 5%. Dari hasil percobaan didapatkan bahwa efektivitas tertinggi kelompok EVOO pada hari
ketiga. Efektivitas tertinggi PURE pada hari pertama. Efektivitas tertinggi POMACE pada hari
keempat. Uji statistik menunjukan kelompok EVOO dan POMACE, terdapat perbedaan
signifikan dengan kelompok povidone iodine 10% (p<0.05), maupun kelompok NaCl 0.9%
(p<0.05). Kelompok POMACE efektif terhadap reepitelialisasi dan penurunan
polimorfonukelar. Simpulan, olive oil dapat mempercepat penyembuhan luka.
Kata Kunci : minyak zaitun, penyembuhan luka insisi
ABSTRACT
Wound repair is the effort of injured tissues to restore their normal function and structural integrity after injury. Various remedies are used to fasten healing wound, recently alternative therapy have become a choice, one of them is olive oil.This study aims to determine whether olive oil can accelerate wound healing. This study is a real experimental laboratory. 25 Male mice used for this study were divided into 5 groups. The A group was given Extra Virgin Olive Oil, the B group was given Pure 100% Olive Oil, the C group was given Olive Pomace Oil, the D group was given 10% povidone iodine, and the E group was given 0.9% NaCl. Wound treatment and length measurements performed daily for seven days and skin specimen would be taken on the
sevnth day and tested microscopically. The data was analyzed by one way ANOVA and post hoc Least Significant Difference (LSD) α value = 5% The results showed that EVOO most effective at day third, PURE most effective at day one, POMACE most effective on day fourth. Statistical test showed that the group EVOO and POMACE are significantly difference with 10% povidone iodine group (p<0.05) and 0.9% NaCl group (p<0.05). POMACE are effective on reepithelialization and reduction of polimorfonuclear cell. Conclusion of this study is olive oil can accelerate wound healing. Keywords : olive oil, incision wound healing
PENDAHULUAN
Dewasa ini seiring dengan
perkembangan jaman dan perkembangan
teknologi serta kemajuan ilmu kesehatan,
angka kejadian luka masih tetap tinggi
yaitu sebanyak 1,6 juta pertahun
merupakan luka akut akibat trauma dan
luka akibat laserasi sebanyak 20 juta
pertahun1. Luka adalah jejas pada suatu
jaringan tubuh terutama menyebabkan
dikontinuitas fisik jaringan. Etiologi dari
luka bermacam-macam yaitu trauma, luka
bakar, gigitan binatang atau serangga,
tekanan, tarikan, penyakit vaskuler,
defisiensi imun, keganasan, penyakit
jaringan ikat, penyakit metabolisme,
defisiensi nutrisi, kelainan psikososial, dan
efek samping dari obat2. Proses
penyembuhan luka yaitu usaha jaringan
yang mengalami jejas untuk
mengembalikan fungsi normal dan
integritas struktural setelah adanya
trauma3.
Berbagai obat topikal dapat diberikan
pada luka untuk membantu mempercepat
penyembuhan luka seperti antiseptik yaitu
povidone iodine, dan rivanol. Sejak
komposisi alami povidone iodine
ditemukan oleh ahli kimia Bernard
Courtois pada tahun 1811, iodine dan
komposisinya digunakan secara luas untuk
mencegah infeksi dan penanganan luka.
Bagaimanapun, molekul iodine sangat
toksik terhadap jaringan. Oleh karena itu,
masyarakat saat ini mulai melakukan
pengobatan alternatif dengan
menggunakan bahan makanan yang sering
dijumpai contohnya madu, madu bunga
clover, dan minyak zaitun (Olea europa)4.
Minyak zaitun (olive oil) adalah
minyak yang diperoleh dari perasan buah
olive. Minyak ini banyak digunakan oleh
masyarakat dunia tetapi terutama di negara
Yunani dan negara Mediterania sebagai
sumber minyak dalam makanan mereka
sejak jaman pertengahan. Umumnya
minyak ini digunakan untuk memasak,
bahan kosmetik, bahkan bahan bakar.
Banyak manfaat dari minyak zaitun yang
telah terbukti seperti menurunkan
insidensi penyakit jantung, dan beberapa
penyakit keganasan, serta mampu
menmpercepat penyembuhan luka5.
Minyak zaitun berdasarkan struktur
kimianya memiliki dua kandungan yaitu
saponifiable dan unsaponifiable. Komposisi
saponifiable terdiri dari substansi seperti
asam lemak bebas atau asam lemak
esterifikasi dengan gliserol sehingga
terbentuk trigliserida, digliserida, dan
monogliserida, mengandung 75% hingga
85% asam lemak unsaturated (terutama
asam oleat dan asam linoleat) dan 15%
hingga 25% dari lemak saturasi (palimitic
dan stearic acids)6.
Unsaponifiable merupakan komposisi
minor, komposisi ini penting dalam hal
nutrisi, serta kemurnian dan stabilitas
minyak, terdiri dari sterol, vitamin larut
lemak, alkohol alipati, kompisis aromatik
dan antioksidan6.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini dilakukan dengan
memberi perlakuan pada luka insisi
sebanyak 25 ekor mencit jantan galur
Swiss webster berbagai macam minyak
zaitun yaitu extra virgin olive oil (kelompok A), pure 100% olive oil (kelompok B), dan olive pomace oil (kelompok C) yang dibandingkan panjang
luka setiap harinya dalam sentimeter
dengan kelompok kontrol positif yaitu
povidone iodine (kelompok D) dan kontrol
negatif NaCl Fisiologis 0,9% (kelompok E).
Kemudian pada hari ke-tujuh, jaringan
diambil untuk dibuat preparat dan
diperiksa dengan mikroskop perbesaran
40x sesuai indikator menurut skoring
dibawah ini.
Tabel 2.1 Skoring Epitelialisasi7
Skor Reepitelialisasi
0 tidak ada reepitelialisasi
1 reepitelialisasi hingga 1 3⁄
2 reepitelialisasi hingga 2 3⁄
3 reepitelialisasi hingga > 2 3⁄
Tabel 2.2 Skoring Pmn, Fibroblas,
Angiogenesis7
Skor PMN Fibroblas Angiogenesis
0 0-<10% 0-<10% 0-<10%
1 10-<40% 10-<40% 10-<40%
2 40-<70% 40-<70% 40-<70%
3 >70% >70% >70%
Tabel 2.3 Skoring Kolagen8
Skor Kolagen
0 Tidak ada
1 Jarang
2 Sedang
3 Banyak
ANALISIS DATA
Analisis data dengan uji ANAVA satu
arah, jika didapat hasil signifikan (minimal
ada sepasang perlakuan yang berbeda),
maka dilanjutkan dengan dan post hoc test LSD (Least Significant Differences) dengan
nilai α yaitu 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efek pemberian minyak zaitun pada
luka insisi secara makroskopis terlihat pada
semua kelompok A, B, dan C dengan
efektivitas tertinggi kelompok A pada hari
ketiga. Efektivitas tertinggi kelompok B
pada hari pertama. Efektivitas tertinggi
kelompok C pada hari keempat. Uji
statistik menunjukan kelompok A dan C,
terdapat perbedaan signifikan dengan
kelompok D (p<0.05), maupun kelompok E
(p<0.05).
Tabel 4.1 Hasil ANOVA hari pertama
Sum of Squares
Df Mean Square
Sig.
Between Groups
,409 4 ,102 ,018
Within Groups
1,043 35 ,030
Total 1,451 39
Hal ini menunjukkan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.2 Hasil LSD hari pertama
Kelompok A B C D E
A
NS * NS * (p=0.019)
B
* NS * (p=0,026)
C
NS NS
D
NS
E
Pada tabel 4.3 menunjukan rerata
panjang penyembuhan luka pada
kelompok A, B memiliki perbedaan yang
signifikan dibandingkan E dengan nilai p
yang sama yaitu p < 0,05. Berdasarkan
tabel diatas, rerata panjang penyembuhan
luka kelompok A (nilai p = 0,050), B (p =
0,068), C (p = 0,474) dibandingkan dengan
D tidak terdapat perbedaan yang
signifikan. Dengan demikian efek A, B,
tidak berbeda secara statistik dengan D
(potensi setara). Kelompok A
dibandingkan dengan B menunjukan tidak
ada perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,886. Dengan demikian efek A dan B
tidak berbeda secara statistik (potensi
setara).
Tabel 4.3 Hasil ANOVA hari ke-dua
Sum of Squares
Df Mean Square
Sig.
Between
Groups ,417 4 ,104 ,019
Within
Groups 1,071 35 ,031
Total 1,488 39
Hal ini menunjukkan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.4. Hasil LSD hari ke-dua
Kelompok A B C D E
A
NS * * (p=0,039) * (p=0,039)
B
* NS NS
C
NS NS
D
NS
E
Pada tabel 4.4 menunjukkan rerata
panjang panjang penyembuhan luka
kelompok A (p = 0,039) memiliki
perbedaan signifikan dibandingkan E
dengan nilai p <0,05. Kelompok A
dibandingkan dengn D memiliki
perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,039 yaitu berbeda signifikan p <0,039.
Berdasarkan tabel diatas, rerata panjang
penyembuhan luka kelompok B, tidak
berbeda signifikan secara statistik dengan
D (potensi setara).
Tabel 4.5 Hasil ANOVA hari ke-tiga
Sum of Squares
Df Mean Square
Sig.
Between Groups
,443 4 ,111 ,014
Within Groups
1,071 35 ,031
Total 1,514 39
Hal ini menunjukkan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.6 Hasil LSD hari ke-tiga
Kelompok A B C D E
A
NS * * (p=0,039) * (p=0,02)
B
* NS * (p=0,039)
C
NS NS
D
NS
E
Pada tabel 4.6 menunjukan panjang
rerata penyembuhan luka pada kelompok
A (p = 0,02) dan B (p = 0,039) berbeda
signifikan dibandingkan E dengan nilai p
<0,05. Penyembuhan luka kelompok A
berbeda signifikan dengan D nilai (p = 0,039) dimana p <0,05. Kelompok lain
yaitu B tidak berbedan signifikan dengan
D (potensi setara). Kelompok A
dibandingkan dengan B menunjukan tidak
ada perbedaan signifikan dengan nilai p = 0,777. Kelompok C berbeda sangat
signifikan dengan A (p = 0,005) dan
berbeda signifikan dengan B (p = 0,010)
serta C tidak berbeda signifikan dengan D
(p = 0,397) dan E (p = 0,571).
Tabel 4.7 Hasil ANOVA hari ke-empat
Sum of Squares
Df Mean Square
Sig.
Between Groups
,433 4 ,108 ,004
Within Groups
,811 35 ,023
Total 1,244 39
Hal ini menunjukkan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.8 Hasil LSD hari ke-empat
Kelompok A B C D E
A
NS ** NS * (p=0,04)
B
* NS NS
C
* (p=0,013) * (p=0,04)
D
NS
E
Pada tabel 4.8 panjang penyembuhan
luka pada kelompok A (p = 0,04) dan C (p = 0,04) berbeda signifikan dengan E, nilai p <0,05. Rerata panjang penyembuhan luka
kelompok A (p = 0,110) dibandingkan D
tidak berbeda signifikan (potensi setara).
Kelompok perlakuan C (p = 0,13) berbeda
signifikan dengan kontrol (p <0,05).
Kelompok A dibandingkan dengan C
berbeda sangat signifikan (p <0,01) yaitu
nilai p = 0,000. Sedangkan kelompok
perlakuan A dibandingkan B hasilnya tidak
signifikan, nilai p = 0,079 (p>0,05).
Tabel 4.9 Hasil ANOVA hari ke-lima
Sum of Squares
df Mean Square
Sig.
Between Groups
,764 4 ,191 ,017
Within Groups
1,908 35 ,055
Total 2,671 39
Hal ini menunjukkan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.10 Hasil LSD hari ke-lima
Kelompok A B C D E
A
NS * NS NS
B
* NS NS
C
* (p=0,05) * (p=0,015)
D
NS
E
Pada tabel 4.10 menunjukan rerata
panjang penyembuhan luka kelompok C (p = 0,15) berbeda signifikan dengan E
dengan nilai p <0,05. Berdasarkan tabel
diatas, rerata panjang penyembuhan luka
kelompok A (p = 0,143) dan B (p = 0,525)
dibandingkan dengan D tidak berbeda
signifikan (potensi sama). Sedangkan
kelompok C (p = 0,05) berbeda signifikan
dengan D. Kelompok A (p = 0,01) dan B (p = 0,011) dibandingkan dengan C berbeda
signifikan dengan nilai p <0,05. Sedangkan
kelompok A dibandingkan dengan B tidak
berbeda signifikan dengan nilai p = 0,397
(p>0,05).
Tabel 4.11 Hasil ANOVA hari ke-enam
Sum of Squares
df Mean Square
Sig.
Between Groups
,162 4 ,040 ,429
Within Groups
1,438 35 ,041
Total 1,599 39
Dari hasil statistik ANOVA
menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara minimal 2
kelompok perlakuan (p>0.05). Hasil
ANOVA tidak dilanjutkan dengan LSD.
Tabel 4.12 Hasil ANOVA hari ke-tujuh
Sum of Squares
df Mean Square
Sig.
Between Groups
,447 4 ,112 ,024
Within Groups
1,213 35 ,035
Total 1,659 39
Hal ini menunjukkan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.13 Hasil LSD hari ke-tujuh
Kelompok A B C D E
A
NS * NS NS
B
NS NS NS
C
* (p=0,011) * (p=0,029)
D
NS
E
Pada tabel 4.13 menunjukkan rerata
panjang penyembuhan luka pada
kelompok C (p = 0,029) berbeda signifikan
dengan E dengan nilai p <0,05. Berdasar
tabel diatas, rerata panjang penyembuhan
luka kelompok C (p = 0,011) dibandingkan
dengan kelompok D berbeda signifikan
dengan nilai p <0,05. Kelompok A
dibandingkan C berbeda signifikan dengan
nilai p <0,05.
Selanjutnya pada hari ke tujuh
dilakukan pengambilan jaringan serta
diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin dan diperiksa secara mikroskopis
dengan menggunakan mikroskop dengan
menkategorikan penyembuhan luka
berdasarkan 5 indikator utama yang
berperan dalam proses penyembuhan luka.
Dengan hasil sebagai berikut.
Epitel
Tabel 4.14 Hasil ANOVA epitelialisasi
Sum of Squares
df Mean Square
Sig.
Between Groups
8,800 4 2,200 ,016
Within Groups
11,200 20 ,560
Total 20,000 24
Hal ini menunjukan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.15 Hasil LSD proses epithelialisasi
Kelompok A B C D E
A
* * NS NS
B
NS NS NS
C
* (p=0,014) * (p=0,027)
D
NS
E
Pada tabel 4.15 menunjukkan rerata
scoring epitel penyembuhan luka pada
kelompok C (p = 0,02) berbeda signifikan
dengan E dengan nilai p <0,05. Berdasar
tabel diatas, rerata epitel penyembuhan
luka kelompok C (p = 0,014) dibandingkan
dengan kelompok D berbeda signifikan
dengan nilai p <0,05. Kelompok A
dibandingkan C berbeda signifikan dengan
nilai p <0,05.
PMN
Tabel 4.16 Hasil ANOVA jumlah PMN
Sum of Squares
df Mean Square
Sig.
Between Groups
2,976 4 ,744 ,018
Within Groups
4,010 20 ,201
Total 6,986 24
Hal ini menunjukan bahwa minimal
terdapat sepasang perlakuan yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis data dilanjutkan
dengan LSD.
Tabel 4.17 Hasil LSD PMN
Kelompok A B C D E
A
NS * NS NS
B
NS NS NS
C
* (p=0,011) * (p=0,037)
D
NS
E
Pada tabel 4.17 menunjukan, PMN
penyembuhan luka kelompok C (p = 0,037)
berbeda signifikan dengan E, nilai p <0,05.
Berdasarkan tabel, kelompok A dan B tidak
berbeda signifikan dengan E. Sedangkan C
(p = 0,011) dibandingkan dengan D
berbeda signifikan dimana p <0,05.
Kelompok A dan B tidak berbeda
signifikan dengan D. Kelompok C
dibandingkan dengan kelompok A (p = 0,037) berbeda signifikan.
Fibroblas
Tabel 4.18 Hasil ANOVA jumlah fibroblas
Sum of Squares
Df Mean Square
F Sig.
Between Groups
2,960 4 ,740 2,313 ,093
Within Groups
6,400 20 ,320
Total 9,360 24
Dari hasil statistik ANOVA
menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara minimal 2
kelompok perlakuan (p>0.05).
Angiogenesis
Tabel 4.19 Hasil ANOVA jumlah
angiogenesis
Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
Between Groups
,240 4 ,060 ,750 ,570
Within Groups
1,600 20 ,080
Total 1,840 24
Dari hasil statistik ANOVA
menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara minimal 2
kelompok perlakuan (p>0.05).
Kolagen
Tabel 4.20 Hasil ANOVA jumlah kolagen
Sum of Squares
Df Mean Square
F Sig.
Between Groups
1,360 4 ,340 1,417 ,265
Within Groups
4,800 20 ,240
Total 6,160 24
Dari hasil statistik ANOVA
menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara minimal 2
kelompok perlakuan (p>0.05).
PEMBAHASAN
Pada proses penyembuhan luka pada hari
pertama, kelompok A dan B bekerja secara
efektif dibandingkan C. Selanjutnya pada
hari kedua dan hari ketiga efektivitas
kelompok A meningkat, ditandai dengan
adanya perbedaan signifikan dengan
kelompok D dan E. Sebaliknya pada hari
kedua efektivitas kelompok B menurun
dibandingkan hari pertama, tetapi pada
hari ketiga efektivitas sebanding dengan
hari pertama. Pada hari ke-empat,
efektivitas kelompok C meningkat,
dibandingkan dengan kelompok A dan B
ditandai dengan perbedaan signifikan pada
kelompok D dan kelompok negatif,
sedangkan pada kelompok A adanya
penurunan efektivitas ditandai dengan
adanya perbedaan signifikan hanya pada
kelompok E. Pada hari ke-lima efektivitas
kelompok A menurun, sedangkan
kelompok C memiliki efektivitas yang
menetap, ditandai dengan perbedaan
signifikan terhadap kelompok D san
kelompok negatif. Pada hari ke-tujuh
kelompok C memiliki panjang luka
terkecil, dengan efektivitas yang sama
dengan hari ke-enam. Sedangkan panjang
luka terkecil kedua yaitu kelompok B, lalu
diikuti oleh kelompok A.
Pada pemeriksaan mikroskopis dengan
indikator epitel didapatkan kelompok C
memiliki efektivitas tinggi untuk
mempercepat reepithelialisasi
dibandingkan dengan kelompok lain.
Selain itu kelompok C memiliki efektivitas
dalam penurunan jumlah PMN pada hari
ke-tujuh.
Efektivitas minyak zaitun terhadap
inflamasi dan proses penyembuhan luka
dipengaruhi oleh komposisi fenolik mayor
di dalamnya yaitu hydroxytyrosol, tyrosol, dan oleuropein. Dimana hydroxytyrosol dan oleuropein merupakan komposisi
fenolik utama yang mempengaruhi
kapasitas dari antioksidan dan
hydroxytyrosol asetat memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan oleuropein dan
oleuropein aglycone. Antioksidatif dan
aktivitas free-radical scavenging
berhubungan dengan struktur kimia dari
kelompok hidroksi fenol. Hidrofilik fenol
mencegah reaksi propagansi saat proses
oksidatif dengan mekanisme memberikan
atom hidrogen dari kelompok fenol
hidroksil ke radikal bebas9.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
tercantum dalam Jurnal Internasional Molecule Science yaitu pada 14 subjek
sehat, diberi perlakuan minyak zaitun
dengan konsentrasi tinggi fenolik dan
konsentrasi fenolik rendah selama 4
minggu, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan kapasitas antioksidan plasma
dan LDL oksidasi, memiliki hasil adanya
kenaikan kapasitas plasma antioksidan
tetapi tidak ada perubahan pada LDL
teroksidasi10.
Fenolik memiliki efek antimikrobial
dan anti-inflamasi. Beberapa fenolik
memiliki efek antimikrobial dan
menghambat pertumbuhan dari beberapa
spesies bakteri, fungi dan virus. Oleuropein
salah satu fenol efektif terhadap bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif
patogen manusia. Selanjutnya ditemukan
oleuropein dan derivatnya mampu
mecegah perkembangan dari enterotoxin B
dari Staphylococcus aureus, Salmonella species dan spora dari Bacillus cereus. Kontaminasi dari mikroorganisme
menghambat penyembuhan luka jaringan.
Selain oleuropein, p-hydoxy benzoic,
vanillic dan p-coumaric acid (0.4 mg/mL)
efisien terhadap Escherichia coli, Klebisella pneumoniae, dan Bacillus cereus9.
Mekanisme lain yang berperan
mempercepat proses penyembuhan luka
yaitu extravirgin olive oil menghambat
proses inflamasi dengan menghambat
platelet activating factor, mediator lipid
berperan tidak hanya untuk proses
pembekuan darah tetapi juga untuk
aktivasi dari sel imun dan menempel pada
dinding endotel11. Sehingga pada hasil
penelitian diatas didapatkan efektivitas
extravirgin olive oil pada penyembuhan
luka terjadi peningkatan mulai pada hari
pertama hingga hari ke-empat dengan
efektivitas paling baik pada hari ke-dua
dan hari ke-tiga.
Komposisi mayor yaitu asam oleat
berperan bila adanya reaksi dengan spesies
oksigen reaktif. Walaupun mekanisme ini
belum sepenuhnya dipahami, beberapa
penelitian memberikan hasil oleat derivat
nitrogen dan asam linolenic menginhibisi
leukosit dan aktivasi dari trombosit,
proliferasi otot pembuluh darah, sekresi
sitokin LPS-mediated11.
Suatu penelitian mengenai
perbandingan minyak zaitun tinggi fenolik
dan minyak zaitun rendah fenolik,
memberikan hasil adanya penurunan
Interleukin-6 (IL-6) dan C-reactive protein
(CRP). Penelitian in vitro menunjukan
kapasitas efek anti-inflamasi dengan
mekanisme menurunkan pelepasan asam
arakhidonat. Sedangkan oleocanthal
menghambat aktivitas cyclooxygenase-1
(COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2)
dengan mekanisme yang sama dengan obat
anti-inflamasi yaitu ibuprofen.
Penghambatan enzim COX menyebabkan
penurunan arakhidonat, eicosanoids, prostaglandin, dan tromboxane pada
inflamasi. Arakhidonat pada inflamasi
menghasilkan derivat Leukotriene B4
(LTB4) memiliki efek chemotactic
neutrofil menuju sel dan menyebabkan
kerusakan jaringan10.
SIMPULAN
Minyak zaitun (Olea europa) mempercepat
penyembuhan luka insisi mencit jantan
galur Swiss Webster
DAFTAR PUSTAKA
1. Driscoll, P. (2003). Incidence and
Prevalence of Wounds by Etiology.
Dipetik December 6, 2014, dari
mediligence.com:
www.mediligence.com/rpt/rpt-
s249.htm
2. Dunn, D. L., & Phillips, J. (2005).
Wound Closure Manual. Wound
Closure Manual , 7-13.
3. Leong, M., & Phillips, L. G. (2012).
Wound Healing. Dalam R. D. Courtney
M. Townsend, Sabiston Textbook of
Surgery : The Biological Basis of
Modern Surgical Practice (hal. 151-
164). Philadelphia: Elsevier Saunders.
4. Drosou, A., Falabella, A., & kirsner, R. S.
(2003, May 15). Antiseptics on wounds:
An Area of Controversy. Dipetik
November 22, 2014, dari Medscape
Multispeciality:
http://www.medscape.com/viewarticle/
456300_2
5. Quiles, J. L., Ramires-Totosa, M. C., &
Yaqoob, P. (2006). Olive Oil and
Health. Wallingford, UK: CAB
International.
6. Puente, J. (2012). Olive Oil Reference
Book. Manhattan: Perkin Elmer.
7. Turtay, M. G., Firat, C., Samdanci, E.,
Oguzturk, H., Erbatur, S., & Colak, C.
(2010, Agustus). Effects of Montelukast
on Burn Wound Healing in a Rat
Model. Clin Invest Med , E413-E421.
8. Nisbet, H. O., Nisbet, C., Yarim, M.,
Guler, A., & Ozak, A. (2010). Effects of
Three Types of Honey on Cutaneous
Wound Healing. Wounds , 22 (11),
275-283.
9. Ocakoǧlu, D. (2008). Classification of
Turkish Virgin Olive Oils Based on
Their Phenolic Profiles. Izmir, Turkey:
The Scientific and Technical Research
Council of Turkey.
10. Cicerale, S., Lucas, L., & Keast, R.
(2010, February 2). Biological Activities
of Phenolic Compounds Present in
Virgin Olive Oil. International Journal
of Molecular Science , 458-479.
11. Farooqui, A. (2012). Phytochemical ,
Signal Transduction & Neurological