pendugaan produktivitas primer perairan tambak …repository.ub.ac.id/6187/1/purwadhi, atika...

65
PENDUGAAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN TAMBAK BANDENG MENGGUNAKAN METODE KLOROFIL- a DI UPT BUDIDAYA AIR LAUT DAN AIR PAYAU KECAMATAN MAYANGAN, KOTA PROBOLINGGO, JAWA TIMUR LAPORAN SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN Oleh: ATIKA PERMATASARI PURWADHI NIM. 135080100111034 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENDUGAAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN TAMBAK BANDENG MENGGUNAKAN METODE KLOROFIL- a DI UPT BUDIDAYA AIR LAUT DAN

    AIR PAYAU KECAMATAN MAYANGAN, KOTA PROBOLINGGO, JAWA TIMUR

    LAPORAN SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    Oleh: ATIKA PERMATASARI PURWADHI

    NIM. 135080100111034

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG 2017

  • PENDUGAAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN TAMBAK BANDENG MENGGUNAKAN METODE KLOROFIL- a DI UPT BUDIDAYA AIR LAUT DAN

    AIR PAYAU KECAMATAN MAYANGAN, KOTA PROBOLINGGO, JAWA TIMUR

    LAPORAN SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

    Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Universitas Brawijaya

    Oleh: ATIKA PERMATASARI PURWADHI

    NIM. 135080100111034

    FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG 2017

  • PERNYATAAN ORISINALITAS

    Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tulisan pembuatan Skripsi ini

    merupakan hasil karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak pernah

    terdapat tulisan, pendapat atau bentuk lain yang telah diterbitkan oleh orang lain

    kecuali dalam laporan ini di Daftar Pustaka.

    Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan laporan Skripsi ini

    hasil jiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

    tersebut, sesuai hokum yang berlaku di Indonesia.

    Malang, Juli 2017

    Penulis

    Atika Permatasari Purwadhi

    1350801001111034

  • UCAPAN TERIMA KASIH

    Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

    kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Skripsi

    ini, antara lain:

    1. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan fasilitas

    kuliah untuk dapat menunjang proses kegiatan penelitian

    2.

    dan semangat selama kuliah ini, serta memberikan motivasi untuk

    menyelesaikan laporan ini

    3. Bapak Dr. Ir. Muhammad Musa, MS dan Ibu Nanik Retno Buwono, S.Pi,

    MP sebagai Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II, atas kebaikan

    hati memotivasi dan membimbing penulis dengan selalu menyediakan

    waktu ditengah kesibukkannya, sehingga laporan ini dapat terselesaikan

    4. Ibu Ir. Kusriani, MP dan Ibu Dr. Uun Yanuhar, S.Pi, M.Si selaku Dosen

    Penguji I dan Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik dan saran

    untuk kesempurnaan laporan skripsi ini

    5. Teman-teman seperjuangan, Dianita, Ariz, Anam, Ebit dan Febri yang telah

    membantu dalam proses penelitian ini

    6. Sahabat-sahabat tercinta, Alieffanty Dinda, Annisa Fathkun, Indah Zakia

    dan Intan Hayu yang selalu ada dan saling memberikan semangat selama

    pembuatan Skripsi

    7. Serta semua teman-teman Manajemen Sumberdaya Perairan 2013 yang

    telah memberikan masukan dan motivasi dalam pelaksanaan penelitian

    serta laporan.

    Malang, Juli 2017

    Penulis

  • RINGKASAN

    Atika Permatasari Purwadhi. 135080100111034. Skripsi tentang Pendugaan Produktivitas Primer Perairan Tambak Bandeng Menggunakan Metode Klorofil-a di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Muhammad Musa, MS dan Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP.

    Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting untuk ditinjau salah satunya yaitu pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dengan memperhatikan kondisi ekosistem yang tetap stabil. Peluang pemanfaatan wilayah pesisir dalam bidang perikanan yaitu berupa kegiatan penangkapan ataupun usaha budidaya ikan khususnya kegiatan budidaya tambak. Tambak yang berada di wilayah pesisir ini perlu dilakukan pemantauan ekosistem baik secara biotik maupun abiotik, karena adanya masukan pencemaran dari aktivitas manusia (industri, pelabuhan dan kegiatan rumah tangga) akan mengganggu kehidupan ekosistem di dalam perairan tambak seperti terjadinya perubahan kualitas air yang secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas primer perairan tambak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai produktivitas primer perairan tambak bandeng dengan menggunakan metode klorofil-a. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu kegiatan pengumpulan, analisis dan interpretasi data yang bertujuan untuk membuat deskripsi keadaan yang terjadi. Penelitian ini dilakukan di tambak bandeng UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur dan penelitian kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret sampai April 2017 yang bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air, jenis fitoplankton dan nilai produktivitas primer perairan tambak bandeng dengan menggunakan metode klorofil-a di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo, Jawa Timur serta hubungan kualitas air dengan produktivitas primer perairan. Hasil kualitas air pada 2 stasiun selama 3 minggu didapatkan antara lain: suhu berkisar 28,5 34 oC, kecerahan berkisar 31,25 45,9 cm, pH berkisar 8, salinitas 14 -27 ppt, DO berkisar 5,55 8,68 mg/l, nitrat berkisar 3,8 11,9 ppm dan ortofosfat berkisar 0,1 1 ppm. Jenis fitoplankton yang ditemukan pada perairan ekosistem tambak yaitu 4 filum meliputi Chlorophyta, Chrysophyta, Cyanophyta dan Dinophyta. Dan nilai produktivitas primer perairan ekosistem tambak dengan menggunakan metode klorofil-a yaitu berkisar 113,9 677,9 mg C/m3/hari.

    Kondisi kualitas air pada perairan tambak bandeng termasuk kurang baik untuk budidaya dengan tingkat kesuburan yang tinggi atau eutrofik. Jenis fitoplankton yang didapatkan mengindikasikan perairan tambak sesuai dengan jenis makanan yang disukai oleh ikan bandeng. Hasil produktivitas primer menunjukkan bahwa stasiun 1 dan stasiun 2 termasuk perairan mesotrofik (sedang) sampai dengan eutrofik (tinggi). Sedangkan hubungan kualitas air dengan produktivitas primer perairan menunjukkan bahwa parameter suhu, kecerahan, nitrat dan orthofosfat berhubungan sangat kuat terhadap produktivitas primer perairan sebesar 92,4%.

  • Saran yang dapat diberikan yaitu perlu dilakukannya pengukuran alkalinitas karena pH air tambak bersifat basa. Selain itu perlu adanya kontrol dari pihak pengelola agar kondisi perairan tambak tetap terjaga sehingga masukan nutrient ke perairan tambak tidak berlebihan dan dapat mendukung pertumbuhan budidaya ikan bandeng.

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-Nya,

    sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang berjudul

    Bandeng Menggunakan

    Metode Klorofil-a di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kecamatan

    Laporan Skripsi ini disusun

    sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dari Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.

    Demikian Laporan Penelitian Skripsi ini disusun, penulis berharap semoga

    ini dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan. Penyusun selalu mengharap

    kritik dan saran yang membangun agar tulisan in dapat bermanfaat bagi yang

    pembaca.

    Malang, Juli 2017

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Halaman RINGKASAN ................................ ................................ ................................ ...... vi KATA PENGANTAR ................................ ................................ .......................... viii DAFTAR ISI ................................ ................................ ................................ ........ ix DAFTAR TABEL ................................ ................................ ................................ . xi DAFTAR GAMBAR ................................ ................................ ............................. xii DAFTAR LAMPIRAN ................................ ................................ ......................... xiii 1. PENDAHULUAN ................................ ................................ ........................... 1

    1.1 Latar Belakang ................................ ................................ ................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................ ................................ .......... 3 1.3 Tujuan ................................ ................................ ................................ 4 1.4 Kegunaan ................................ ................................ .......................... 4 1.5 Waktu dan Tempat ................................ ................................ ............. 5

    2. TINJAUAN PUSTAKA ................................ ................................ ................... 6 2.1 Tambak Tradisional ................................ ................................ ............ 6 2.2 Produktivitas Primer ................................ ................................ ........... 8 2.3 Plankton ................................ ................................ ............................. 9

    2.3.1 Fitoplankton ................................ ................................ ........... 9 2.4 Klorofil-a ................................ ................................ ........................... 11 2.5 Faktor Fisika Perairan ................................ ................................ ...... 12

    2.5.1 Suhu ................................ ................................ .................... 12 2.5.2 Kecerahan ................................ ................................ ............ 13

    2.6 Faktor Kimia Perairan ................................ ................................ ...... 13 2.6.1 Derajat Keasaman (pH) ................................ ........................ 13 2.6.2 Salinitas ................................ ................................ ............... 14 2.6.3 Oksigen Terlarut ................................ ................................ ... 15 2.6.4 Nitrat (NO3) ................................ ................................ .......... 15 2.6.5 Ortofosfat (PO4) ................................ ................................ ... 16

    3. METODE PENELITIAN ................................ ................................ ............... 17 3.1 Materi Penelitian ................................ ................................ .............. 17 3.2 Alat dan Bahan ................................ ................................ ................ 17 3.3 Metode Penelitian ................................ ................................ ............ 17

    3.3.1 Sumber Data ................................ ................................ ........ 18 3.3.2 Prosedur Pengambilan Sampel atau Data ............................ 19

    3.4 Teknik Pengambilan Sampel ................................ ............................ 20 3.4.1 Prosedur Pengukuran Paramater Fisika ............................... 21 3.4.2 Prosedur Pengukuran Parameter Kimia ............................... 22 3.4.3 Komposisi Plankton ................................ .............................. 24

    3.5 Hubungan Kualitas Air dengan Produktivitas Primer Perairan .......... 28

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................ ................................ ....... 30 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ................................ .............................. 30

    4.1.1 Deskripsi Tambak ................................ ................................ 31 4.2 Hasil Pengukuran Klorofil-a ................................ .............................. 31 4.3 Analisis Produktivitas Primer ................................ ............................ 33 4.4 Analisa Parameter Kualitas Air ................................ ......................... 34

    4.4.1 Suhu ................................ ................................ .................... 34 4.4.2 Kecerahan ................................ ................................ ............ 35

  • 4.4.3 pH ................................ ................................ ........................ 35 4.4.4 Salinitas ................................ ................................ ............... 36 4.4.5 Oksigen Terlarut (DO) ................................ .......................... 37 4.4.6 Nitrat ................................ ................................ .................... 37 4.4.7 Ortofosfat ................................ ................................ ............. 38

    4.4.7 Komposisi Fitoplankton ................................ ................................ .... 39 4.4.8 Kelimpahan Fitoplankton ................................ ................................ .. 40 4.4.9 Indeks Keanekaragaman Fitoplankton ................................ ............. 41 4.4.10 Indeks Dominasi Fitoplankton ................................ .......................... 42 4.5 Hubungan Kualitas Air Dengan Produktivitas Primer Perairan ......... 42

    5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................ ................................ ....... 45 5.1 Kesimpulan ................................ ................................ ...................... 45 5.2 Saran ................................ ................................ ............................... 45

    DAFTAR PUSTAKA ................................ ................................ ........................... 47

    LAMPIRAN ................................ ................................ ................................ ........ 53

  • DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Pengenceran Larutan Baku Nitrat

    2. Pengenceran Larutan Baku Ortofosfat

    3. Hasil Pengukuran Klorofil-a (mg/m3)

    4. Pengukuran Produktivitas Primer (mg C/m3/hari)

    5. Hasil Pengukuran Suhu (oC)

    6. Hasil Pengukuran Kecerahan (cm)

    7. Hasil Pengukuran pH

    8. Hasil Pengukuran Salinitas (ppt)

    9. Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut (mg/l)

    10. Hasil Pengukuran Nitrat (ppm)

    11. Hasil Pengukuran Ortofosfat (ppm)

    12. Hasil Kelimpahan Fitoplankton (ind/ml)

    13. Indeks Keanekaragaman Fitoplankton

    14. Indeks Dominasi Fitoplankton

    15. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. Bagan Alir Permasalahan

    2. Peta Lokasi Penelitian

    3. Denah Titik Pengambilan Sampel

    4. Tambak Bandeng UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kota Probolinggo.

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Alat dan Kegunaan ................................ ................................ ........................ 53

    2. Bahan dan Kegunaan ................................ ................................ .................... 54

    3. Perhitungan ................................ ................................ ................................ ... 55

    4. Perhitungan Kelimpahan Fitoplankton (ind/ml) ................................ ............... 60

    5. Gambar Fitoplankton yang Ditemukan Saat Penelitian ................................ .. 64

  • 1

    1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting untuk ditinjau baik dari

    perencanaan, pengelolaan serta transisi antara daratan dan lautan yang

    membentuk suatu ekosistem sehingga memberikan nilai ekonomi bagi

    masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir perlu dikelola dengan

    mempertimbangkan hubungan antara setiap sumberdaya dalam ekosistem

    wilayah pesisir atau memperhatikan ekosistem tersebut secara menyeluruh. Pada

    kawasan pesisir pemanfaatan lahan telah dilakukan untuk berbagai kepentingan.

    Menurut Maulina et al. (2012), peluang yang cukup besar untuk pembangunan

    eksploitasi di bidang perikanan yaitu dapat berupa kegiatan penangkapan maupun

    usaha budidaya ikan khususnya kegiatan budidaya tambak.

    Tambak merupakan lahan kegiatan budidaya hewan air payau atau laut.

    Istilah tambak digunakan untuk menyatakan suatu empang didaerah pesisir yang

    berisi air payau atau air laut (Soesono, 1985). Didalam suatu tambak terdapat

    ekosistem yang saling berhubungan antara biotik dan abiotik. Keberadaan

    ekosistem biotik maupun abiotik sangat penting karena adanya keterkaitan dan

    interaksi yang menyebabkan keseimbangan selalu terjaga. Keseimbangan

    tersebut akan goyang apabila ada masukan pencemaran yang berlebih dan

    mengancam salah satu bagian dari ekosistem tersebut (Makmur et al., 2011).

    Masukan pencemaran tersebut yang akan mempengaruhi kualitas air dan

    mengganggu pertumbuhan fitoplankton.

    Fitoplankton salah satu organisme perairan yang menjadi produsen

    primer dalam rantai makanan. Organisme ini mempunyai peranan yang sama

    seperti tumbuhan hijau pada umumnya yang berada di daratan dan dapat

  • 2

    membuat ikatan organik dari bahan anorganik, selain itu juga dapat melakukan

    fotosintesis yang akan menghasilkan glukosa (Hutabarat dan Evans, 2012). Oleh

    karena itu, perubahan yang terjadi dalam perairan akan menyebabkan perubahan

    pada komposisi, kelimpahan dan distribusi dari komunitas fitoplankton.

    Produktivitas primer adalah laju produksi karbon organik per satuan waktu

    yang merupakan hasil dari penyerapan energi matahari oleh tumbuhan hijau

    (Odum, 1993 dalam Pitoyo, 2002). Faktor utama dalam proses produktivitas primer

    yaitu meliputi cahaya matahari yang merupakan sumber energi utama dalam

    proses fotosintesis, unsur hara dan kelimpahan plankton. Untuk mengetahui nilai

    produktivitas primer di suatu perairan dapat diukur dengan berbagai cara, salah

    satunya yaitu dengan metode klorofil-a. Salah satu pigmen yang dimiliki dan

    digunakan fitoplankton untuk melakukan proses fotosintesis disebut klorofil-a

    (Prianto et al., 2013).

    Klorofil-a adalah salah satu jenis klorofil yang paling dominan pada

    fitoplankton. Produktivitas primer menggunakan klorofil dapat dilakukan dengan

    memanfaatkan salah satu sifatnya yang dapat berpijar jika mendapat ransangan

    panjang gelombang cahaya tertentu (Sihombing et al., 2013). Sebaran dan tinggi

    rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanologi suatu

    perairan. Semakin tinggi klorofil-a maka semakin tinggi pula produktivitas primer

    perairan tersebut, sehingga daya dukung terhadap komunitas penghuninya

    semakin tinggi (Musada, 2015).

    Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang pendugaan

    produktivitas primer menggunakan metode klorofil-a yang terjadi pada tambak

    bandeng UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kecamatan Mayangan, Kota

    Probolinggo, Jawa Timur.

  • 3

    1.2 Perumusan Masalah

    Berdasarkan pengertian secara umum, ekosistem tambak merupakan

    hubungan timbak balik antara komponen biotik dan abiotik yang saling terkait

    antara satu dengan lainnya dalam suatu kolam budidaya. Berkaitan dengan

    budidaya tambak, air memiliki peran yang sangat penting untuk mendukung

    kegiatan budidaya. Namun setiap hari bisa dikatakan kondisi perairan selalu

    mengalami perubahan, lebih baik atau lebih buruk. Hal ini dapat disebabkan salah

    satunya adalah karena adanya aktivitas manusia disekitar yang mampu

    mempengaruhi keadaan perairan tambak tersebut.

    Deskripsi permasalah tersebut dapat digambarkan dengan bagan alir

    permasalahan seperti yang tercantum pada Gambar 1.

    Gambar 1. Bagan Alir Permasalahan

    Keterangan:

    a. Adanya aktivitas manusia seperti pertanian, pemukiman dan industri

    rumah tangga yang menghasilkan limbah dibuang ke sungai. Limbah

    tersebut dapat menimbulkan pencemaran di sungai yang bermuara di

    selat madura.

    b. Pencemaran ini akan mempengaruhi kondisi air sungai dan laut dimana

    tanpa adanya perlakuan tertentu, secara langsung akan mempengaruhi

    perubahan kualitas air tambak.

    c. Akibat adanya perubahan kualitas air tersebut maka akan mempengaruhi

    kelangsungan hidup plankton dan produktivitas primer perairan tambak

    tersebut.

    Adanya aktivitas manusia

    (pemukiman dan industri

    rumah tangga)

    Menimbulkan pencemaran pada sungai

    dan laut

    Menyebabkan perubahan

    kualitas air pada tambak

    Mempengaruhi produktivitas

    primer perairan tambak

    a b c

  • 4

    Dari permasalah tersebut dapat diuraikan dalam rumusan masalah

    sebagai berikut:

    Bagaimana kondisi kualitas air pada perairan tambak bandeng di UPT

    Budidaya Air Laut dan Air Payau, Kota Probolinggo?

    Apa saja jenis fitoplankton dan berapa nilai produktivitas primer perairan

    tambak bandeng dengan menggunakan metode klorofil-a di UPT

    Budidaya Air Laut dan Air Payau, Kota Probolinggo.

    Bagaimana hubungan antara kualitas air dengan produktivitas primer

    perairan tambak bandeng di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau, Kota

    Probolinggo.

    1.3 Tujuan

    Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu:

    1. Mengetahui kondisi kualitas air pada perairan tambak bandeng di UPT

    Budidaya Air Laut dan Air Payau, Kota Probolinggo.

    2. Mengetahui jenis fitoplankton dan nilai produktivitas primer perairan

    tambak bandeng dengan menggunakan metode klorofil-a di UPT Budidaya

    Air Laut dan Air Payau, Kota Probolinggo.

    3. Mengetahui hubungan antara kualitas air dengan produktivitas primer

    perairan tambak bandeng di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau, Kota

    Probolinggo.

    1.4 Kegunaan

    Kegunaan dari penelitian ini adalah bagi petani tambak UPT Budidaya Air

    Laut dan Air Payau khususnya, diharapkan agar hasil dari penelitian ini dapat

    dijadikan informasi ilmiah dan digunakan sebagai salah satu pertimbangan dasar

    dalam pelaksanaan aktivitas dan kegiatan budidaya tambak di UPT Budidaya Air

  • 5

    Laut dan Air Payau di masa yang akan datang, sehingga mampu menjadi solusi

    dalam pengembangan kegiatan budidaya tambak.

    1.5 Waktu dan Tempat

    Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2017, di tambak

    bandeng UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kecamatan Mayangan, Kota

    Probolinggo. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis produktivitas

    primer perairan menggunakan metode klorofil-a serta kualitas air tambak di

    Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan, Universitas Brawijaya,

    Malang.

  • 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tambak Tradisional

    Daerah pesisir merupakan daerah yang mempunyai daya tarik untuk

    berbagai macam kegiatan manusia karena memiliki daya tarik tersendiri dan

    subur. Sehingga dapat digunakan sebagai tempat parawisata dan dapat

    dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan lain seperti sektor perikanan, salah satunya

    adalah kegiatan pertambakan (Murachman et al., 2010).

    Tambak merupakan wilayah yang dibentuk oleh manusia yang

    dimanfaatkan sebagai pemeliharaan ikan dan udang (Kordi dan Tancung, 2010).

    Sedangkan menurut Supratno (2006), tambak adalah ekosistem buatan manusia

    yang berada pada lahan dekat pantai yang dibendung dengan pematang-

    pematang keliling sehingga membentuk sebuah kolam berair payau. Sehingga

    ekosistem tambak merupakan suatu kolam yang didalamnya terdapat interaksi

    antara komponen biotik dan abiotik ataupun sebaliknya. Komponen biotik meliputi

    plankton, komunitas ekosistem tambak (ikan, udang dan hewan air lainnya) serta

    tanaman yang tumbuh disekitar tambak. Sedangkan komponen abiotik meliputi air,

    tanah dan batu serta faktor fisika dan kimia perairan (Pong-Masak dan Pirzan,

    2006).

    Fungsi ekologis tambak yaitu sebagai habitat berbagai jenis hewan dan

    tumbuhan air. Sedangkan manfaat ekonomis tambak adalah menghasilkan

    berbagai sumberdaya alam bernilai ekonomis dan meningkatkan perekonomian

    masyarakat (Puspita et al., 2005). Tambak yang dibangun di daerah pasang surut

    dan digunakan untuk memelihara ikan bandeng, udang laut dan hewan air lainnya

    yang biasa hidup di air payau memiliki sumber air yang masuk ke dalam tambak

    sebagian besar berasal dari laut saat terjadi pasang. Kebutuhan air tawar dipenuhi

  • dari sungai yang bermuara di laut (Sudarmo dan Ranoemihardjo, 1992). Kegiatan

    budidaya tambak yang terus menerus menyebabkan terjadinya degradasi

    lingkungan yang ditandai dengan menurunnya kualitas air (Suparjo, 2008).

    Kawasan pertambakan secara ekologi termasuk kedalam ekosistem

    peralihan yaitu pertemuan antara perairan tawar dan perairaan laut, sehingga

    disebut juga sebagai daerah peralihan atau ekoton. Di ekosistem peralihan inilah

    berkembang kegiatan budidaya tambak dari yang tradisional, semi intensif dan

    intensif (Komarawidjaja, 2005). Perbedaan dari ketiga jenis tambak tersebut

    terdapat pada teknik pengelolaan mulai dari padat penebaran, pola pemberian

    pakan serta sistem pengelolaan air dan lingkungan (Widigdo, 2000).

    Teknologi tambak umumnya dilakukan secara tradisional dengan

    komoditas budidaya udang windu, bandeng dan rumput laut baik secara

    monokultur maupun polikultur. Tambak dengan teknologi tradisional umumnya

    memiliki ketinggian air berkisar 40-60 cm, tidak bercaren, irigrasi tambak

    sederhana dengan saluran pemasukan dan pembuangan air melalui satu pintu,

    pergantian air tambak secara gravitasi yang bergantung pada perbedaan pasang

    surut yaitu setiap dua minggu menyebabkan sirkulasi tambak kurang lancar dan

    tambak relatif dangkal yang berdampak pada penuruanan kualitas air sehingga

    membatasi kelimpahan dan keragaman plankton untuk tumbuh dan berkembang

    (Utojo dan Mustafa, 2016).

    Pengelolaan tambak secara tradisional dengan menggunakan plankton

    (fitoplankton dan zooplankton) sebagai pakan alami ikan dan udang dapat

    memberikan kontribusi yang signifikan dalam keberhasilan usaha budidaya di

    tambak. Plankton khususnya fitoplankton selain sebagai sumber nutrisi untuk ikan

    dan udang juga dapat membuang senyawa-senyawa dalam air yang dapat

    menimbulkan racun terhadap ikan dan udang yang dibudidayakan (Pirzan dan

    Pong-Masak, 2007).

  • 2.2 Produktivitas Primer

    Awal kehidupan di suatu perairan dimulai dari keberadaan

    mikroorganisme yang disebut fitoplankton. Dalam sistem rantai makanan,

    organisme renik inilah yang mempunyai peranan sangat penting sebagai

    penghasil produktivitas primer karena mengandung klorofil (Erlina, 2006).

    Produktivitas primer adalah kecepatan penyimpanan energi radiasi matahari

    melalui proses fotosintesis dan kemosintesis oleh organisme produsen dalam

    bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai makanan (Odum, 1996).

    Produktivitas primer kotor adalah jumlah total fotosintesis yang dilakukan oleh

    tumbuhan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan produktivitas primer bersih

    adalah besarnya sintesa senyawa karbon organik selama proses fotosintesis

    dikurangi besarnya aktivitas total respirasi pada terang gelap dalam jangka waktu

    tertentu (Folkowski dan Raven, 1997). Besarnya produktivitas primer suatu

    perairan mengindikasikan besarnya ketersediaan nutrient terlarut (Krismono dan

    Kartamihardja, 1995). Fungsi produktivitas primer dalam suatu ekosistem

    merupakan suatu sistem, dimana satu parameter tidak bisa lepas dari parameter

    lain. Parameter tersebut antara lain, suhu, nutrient (fosfat dan nitrat), kelarutan

    oksigen, keberadaan dan kelimpahan fitoplankton (Erlina, 2006).

    Fotosintesis adalah titik awal dari proses pembentuk produktivitas primer.

    Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu

    sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu, sehingga intensitas cahaya

    matahari atau tingkat kecerahan dapat menjadi faktor pembatas bagi produktivitas

    primer suatu perairan. Oleh karena itu, intensitas cahaya atau kecerahan perairan

    sebaiknya tidak kurang dari 1 % nilai intensitas cahaya di permukaan perairan

    (Odum, 1971).

  • 2.3 Plankton

    Plankton adalah makhluk (tumbuhan atau hewan) yang hidupnya

    mengapung, mengambang atau melayang didalam air yang kemampuan

    renangnya sangat terbatas hingga selalu terbawa oleh arus. Secara fungsional,

    plankton dapat digolongkan menjadi empat golongan utama yaitu fitoplankton,

    zooplankton, bakterioplankton dan virioplankton (Nontji, 2008).

    Menurut Herawati et al. (2012), plankton mempunyai ukuran yang

    bervariasi. Penggolongan plankton berdasarkan ukuran adalah digolongkan

    menjadi plankton jaring (net plankton) merupakan yang tertangkap dengan ukuran

    mata jaring (mesh size) berukuran 20 µm. Nanoplankton adalah plankton yang

    lolos dari jaring, tetapi lebih besar dari 2 µm. Ultraplankton adalah plankton yang

    berukuran lebih dari 2 µm.

    Keberadaan plankton di suatu perairan dapat memberikan informasi

    mengenai kondisi perairan sehingga plankton dapat dijadikan indikator untuk

    mengevaluasi kualitas dan kesuburan perairan. Keberadaan plankton dapat

    dijadikan indikator kualitas perairan yakni gambaran tentang banyak atau

    sedikitnya jenis plankton yang dapat hidup di suatu perairan dan jenis-jenis

    plankton yang mendominasi. Adanya jenis plankton yang dapat hidup karena zat-

    zat tertentu yang sedang blooming dapat memberikan gambaran mengenai

    keadaan perairan yang sesungguhnya (Fachrul, 2005 dalam Prasetyaningtyas et

    al., 2012).

    2.3.1 Fitoplankton

    Salah satu unsur penting dalam pengembangan budidaya perikanan air

    payau atau tambak adalah fitoplankton. Fitoplankton merupakan komponen biotik

    yang berperan dalam transfer energi ke tingkat trofik organisme yang lebih tinggi

    (Mahmud et al., 2012). Fitoplankton merupakan tumbuhan yang berukuran sangat

  • kecil, terbagi dalam beberapa kias pada klasifikasinya. Fitoplankton sebagai

    tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil memiliki peranan penting dalam

    suatu perairan yaitu sebagai produsen utama (primary production). Beberapa hal

    yang dilakukan oleh fitoplankton adalah membuat ikatan organik yang kompleks

    dan menjadikannya sebagai ikatan anorganik sederhana, selain itu fitoplankton

    juga dapat melakukan fotosintesis dimana fotosintesis terjadi dengan mensintesis

    glucose (karbohidrat) dari ikatan anorganik seperti karbondioksida (CO2) dan air

    (H2O) sumber energi yang digunakan berasal dari matahari yang akan diabsorbsi

    oleh klorofil dan hasil dari proses ini berupa zat tepung yang tersimpan dalam

    cadangan makanan (Hutabarat dan Evans, 2012).

    Keberadaan plankton di tambak sangat tergantung pada keberadaan

    plankton di laut, dimana melalui mekanisme aliran air secara alami maupun buatan

    maka plankton akan tumbuh dan berkembang pada petakan tambak yang

    tradisional maupun yang menggunakan teknologi aplikasi penambahan unsur hara

    (Erlina, 2006). Beberapa famili fitoplankton seperti Chlorophyceae, Cyanophyceae

    dan Diatomae merupakan makanan bagi hewan budidaya tambak seperti bandeng

    (Chanos chanos). Sehingga kondisi struktur komunitas fitoplankton pada suatu

    perairan budidaya tambak dapat mempengaruhi kestabilan rantai makanan hingga

    tingkat trofik yang lebih tinggi termasuk budidaya yang ada didalamnya (Mahmud

    et al., 2012). Sedangkan menurut Arif (2010), fitoplankton yang berkembang dalam

    tambak air payau ada dua yaitu fitoplankton flagellate dan fitoplankton diatom. Dua

    fitoplankton tersebut mempunyai kebutuhan nutrisi yang berbeda. Namun

    fitoplankton yang cenderung disukai oleh ikan bandeng adalah fitoplankton diatom.

    Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton

    adalah suplai nutrient pada suatu perairan. Pertumbuhan suatu jenis fitoplankton

    sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta

    dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Suplai nutrient pada perairan tambak selain

  • berasal dari sungai yang menyediakan air sebagai media budidaya perikanan

    tambak, juga berasal dari pupuk yang ditambahkan untuk meningkatkan

    produktivitas sistem perikanan tambak (Mahmud et al., 2012).

    Kondisi lingkungan sekitar seperti keadaan vegetasi dan faktor abiotik

    daratan berbatasan lingkungan akuatik dan iklim yang ada atau sedang terjadi

    sangat mempengaruhi dinamika atau fluktuasi harian plankton dalam ekosistem

    akuatik. Dinamika plankton merupakan suatu proses hidrodinamika yang terjadi

    dalam kolam yang dipengaruhi oleh faktor fisiko-kimia seperti perubahan gas-gas

    terlarut (DO dan CO2), temperatur air, radiasi matahari dan kandungan hara atau

    nutrisi seperti fosfat dan nitrat (Legendre dan Demers, 1984). Perubahan

    kelimpahan plankton berdasarkan waktu pagi siang hingga malam hari yang

    menggambarkan suatu dinamika populasi plankton khususnya fitoplankton

    dimana pada waktu siang hari, konsentrasi fitoplankton akan lebih tinggi pada

    areal sedikit dibawah permukaan air karena pada tempat itu terjadi turbulensi yang

    menyebabkan nutrient yang diperlukan ternyata adalah lebih banyak. Sedangkan

    pada waktu pagi hari fitoplankton tersebut akan naik ke permukaan air seiring

    naiknya sinar matahari dan melakukan aktifitas fotosintesis dalam membentuk

    bahan organik berupa glukosa (Sagala, 2013).

    2.4 Klorofil-a

    Klorofil mempunya rumus C55H77O5N4Mg dengan atom Mg sebagai

    pusatnya merupakan tempat berlangsungnya fotosintesis. Menurut Wibowo

    (2003), klorofil atau lebih dikenal dengan zat hijau daun merupakan pigmen yang

    terdapat pada organisme produsen yang berfungsi untuk mengubah CO2 menjadi

    C6H12O6 melalui proses fotosintesa. Dalam proses fotosintesa ada beberapa jenis

    klorofil yang berperan. Klorofil pada algae planktonik (fitoplankton) terbagi dalam

    tiga jenis yaitu klorofil-a, klorofil-b dan klorofil-c. Klorofil-a merupakan klorofil yang

  • paling dominan dan terbesar jumlahnya dibandingkan klorofil-b dan klorofil-c (Asih,

    2002 dalam Arief dan Laksmi, 2006). Kondisi lingkungan seperti ketersediaan

    nutrient dan komposisi jenis algae mempengaruhi kandungan klorofil. Oleh karena

    itu nilai klorofil-a berhubungan erat dengan produktivitas primer perairan (Wibowo,

    2003).

    Klorofil-a dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Tinggi rendahnya

    nilai konsentrasi klorofil-a tergantung pada kondisi geografis perairan itu sendiri.

    Parameter fisika dan kimia yang dapat mempengaruhi dan mengontrol sebaran

    klorofil-a yaitu intensitas cahaya matahari dan nutrient (Sitorus, 2008). Klorofil

    yang dapat diukur dengan memanfaatkan sifatnya yang dapat berpijar bila

    dirangsang dengan panjang gelombang cahaya tertentu atau mengekstrasi klorofil

    dari tumbuhan dengan mengunakan aseton untuk menghitung produktivitas primer

    (Shihombing et al., 2013).

    2.5 Faktor Fisika Perairan

    Kualitas air dapat berubah-ubah karena adanya faktor-faktor eksternal

    yang mempengaruhinya. Kondisi kualitas air tersebut dapat diketahui dari

    beberapa parameter. Pada penelitian ini parameter fisika yang digunakan untuk

    menentukan kualitas air yaitu meliputi suhu dan kecerahan.

    2.5.1 Suhu

    Suhu air mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme

    dan respirasi biota air serta proses metabolisme ekosistem perairan (Odum, 1971).

    Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis di laut baik secara langsung maupun tidak

    langsung. Pengaruh langsung karena reaksi kimia enzimatik yang berperan dalam

    proses fotosintesis dikendalikan oleh suhu, sedangkan pengaruh tidak langsung

    adalah suhu akan menentukan struktur hidrologis suatu perairan dimana

    fitoplankton itu berada (Nontji, 2006).

  • Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan plankton adalah antara 29-

    31oC dan faktor yang mempengaruhi suhu dalam perairan diantaranya karena

    kedalaman, pengaruh cuaca, penetrasi cahaya yang masuk kedalam perairan

    serta akibat perbedaan waktu pengukuran (Sari et al., 2013).

    2.5.2 Kecerahan

    Kecerahan perairan merupakan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam

    perairan sampai pada kedalaman tertentu. Kecerahan yang tinggi merupakan

    salah satu faktor yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton di suatu perairan

    dan merupakan salah satu syarat untuk berlangsungnya proses fotosintesis. Oleh

    fitoplankton dapat berlangsung dengan baik jika mendapat cahaya yang optimal.

    Ada perairan dengan tingkat kecerahan yang rendah, proses fotosintesis tidak

    dapat berlangsung dengan baik sehingga hal ini akan mempengaruhi

    pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton (Berwick, 1983).

    Kecerahan perairan dipengaruhi oleh partikel yang tersuspensi

    didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan

    semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi cahaya semakin rendah,

    karena meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses

    fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang (Taqwa, 2010).

    2.6 Faktor Kimia Perairan

    Selain faktor fisika, faktor kimia merupakan salah satu faktor yang cukup

    berpengaruh terhadap kondisi kualitas air. Pada penelitian ini parameter kimia

    yang digunakan untuk mengetahui kualitas air meliputi derajat keasaman (pH),

    salinitas, oksigen terlarut, nitrat dan ortofosfat.

    2.6.1 Derajat Keasaman (pH)

    Nilai derajat keasamaan (pH) menunjukkan derajat keasaman atau

    kebasaan suatu perairan karena pH mempunyai pengaruh yang besar terhadap

  • kehidupan tumbuhan dan hewan akuatik (Odum, 1996). Sedangkan Simanjuntak

    dan Kamlasi (2012), derajat keasaman suatu perairan merupakan salah satu

    parameter kimia yang penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan

    nilai pH suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan tertentu

    dengan nilai pH yang bervariasi.

    Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan kisaran

    optimum untuk pertumbuhan antara 7 8,5. Sedangkan pH yang optimal bagi

    pertumbuhan plankton berkisar antara 6,5 8. pH air mempengaruhi tingkat

    kesuburan perairan karena terdapat kehidupan jasad renik. Pada pH rendah

    kandungan oksigen terlarut akan berkurang, akibatnya konsumsi oksigen

    menurun, aktivitas pernapasan naik dan selera makan akan berkurang (Kordi,

    2009). Sedangkan menurut Erlina (2006), pH sangat berpengaruh terhadap

    fluktuasi keberadaan dan kelimpahan fitoplankton yang sangat diperlukan dalam

    budidaya air payau (budidaya tambak). Oleh karena itu perlu upaya menjaga

    kestabilan pH pada tambak untuk menjaga kualitas air yang ada ditambak

    tersebut.

    2.6.2 Salinitas

    Salinitas merupakan jumlah zat-zat terlarut, meliputi garam dan senyawa

    organik yang berasal dari organisme hidup dan gas-gas terlarut, garam-garam

    organik berbentuk ion-ion. Salinitas adalah jumlah gram garam per kilogram atau

    as pada berbagai tempat di lautan terbuka yangjauh dari daerah

    Menurut Sidjabat (1973), salinitas mempunyai peranan penting dalam

    kehidupan organisme misalnya distribusi biota akuatik yang sangat erat

    hubungannya dengan salinitas. Karena salinitas ditentukan oleh pencampuran

  • massa air maka distribusi salinitas merupakan suatu parameter penting dalam

    mempelajari gerak massa air.

    2.6.3 Oksigen Terlarut

    Oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) dibutuhkan oleh semua

    jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang

    kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping

    itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik

    dalam proses aerobik (Salmin, 2005).

    Oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara

    bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.

    Kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung dari beberapa faktor, seperti

    kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus

    gelombang dan pasang surut (Aqil, 2010).

    2.6.4 Nitrat (NO3)

    Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan

    nutrient utama bagi pertumbuhan fitoplankton. Menurut Effendi (2003), beberapa

    organisme akuatik dapat memanfaatkan nitrogen dalam bentuk gas, tetapi sumber

    utama nitrogen di perairan tidak dalam bentuk gas melainkan nitrogen berupa

    nitrogen anorganik dan nitrogen organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ammonia

    (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan molekul nitrogen (N2) dalam

    bentuk gas. Sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea.

    Nitrat merupakan salah satu unsur hara yang dibutuhkan fitoplankton

    untuk proses fotosintesis. Namun kandungan nitrat yang tinggi diperairan juga

    tidak baik, karena dapat memicu pertumbuhan fitoplankton yang pesat dan

    berdampak terhadap kesuburan perairan dan potensinya (Pramesty, 2011).

    Sedangkan menurut Barus (2002), nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan

  • oleh senyawa tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit

    merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

    2.6.5 Ortofosfat (PO4)

    Diperairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai

    elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan

    polifosfat) dan senyawa anorganik yang berupa partikulat. Menurut Brown (1987)

    dalam Kordi dan Tancung (2007), ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat

    dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus

    mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu, sebelum dapat

    dimanfaatkan sebagai sumber fosfor.

    Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai bahan nutrient

    bagi berbagai organisme akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam

    aktifitas pertukaran energi dari organisme yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit

    (mikronutrient), sehingga fosfat berperan sebagai faktor pembatas bagi

    pertumbuhan organisme. Peningkatan konsentrasi fosfat dalam suatu ekosistem

    perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air lainnya secara

    cepat. Peningkatan yang menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut,

    diikuti dengan timbulnya anaerob yang menghasilkan berbagai senyawa toksik

    misalnya methan, nitrit dan belerang (Barus, 2001).

  • 3. METODE PENELITIAN

    3.1 Materi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di tambak tradisional budidaya ikan bandeng UPT

    Budidaya Air Laut dan Air Payau Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo. Materi

    dalam penelitian ini adalah produktivitas primer dengan menggunakan metode

    klorofil-a dengan parameter yang diuji meliputi kelimpahan fitoplankton dan klorofil-

    a. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, kecerahan, pH, salinitas,

    oksigen terlarut, nitrat dan ortofosfat.

    3.2 Alat dan Bahan

    Alat merupakan suatu benda yang digunakan untuk mengerjakan

    sesuatu, dimana pada penelitian ini alat berfungsi untuk mempermudah dalam

    pengukuran parameter kualitas air. Sedangkan bahan adalah materi, zat dan atau

    benda yang digunakan untuk membuat sesuatu atau istilah tertentu melalui

    beberapa proses. Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini

    dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

    3.3 Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu

    dengan mengadakan kegiatan pengumpulan, analisis dan interpretasi data yang

    bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai keadaan yang terjadi pada saat

    penelitian (Suryabrata, 1987). Sedangkan menurut Waluya (2007), survei adalah

    suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

    berupa variabel, unit atau individu dalam waktu yang bersamaan.

  • 3.3.1 Sumber Data

    Dalam pelaksanaan penelitian ini data yang diambil meliputi data primer

    dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh

    peneliti secara langsung dari sumber data utama. Data primer disebut juga data

    asli (Aedi, 2010). Data tersebut diperoleh langsung dengan melakukan

    pengamatan serta pencatatan hasil observasi dan juga wawancara. Observasi

    adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan

    mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-

    fenomena yang dijadikan obyek pengamatan (Djaali dan Pudji, 2007). Wawancara

    merupakan cara mengumpulkan data dengan cara tanya jawab sepihak yang

    dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan kegiatan. Wawancara

    memerlukan komunikasi yang baik dan lancar antara pelaku kegiatan dengan

    subyek, sehingga pada akhirnya bias didapatkan data yang dapat dipertanggung

    jawabkan secara keseluruhan (Nasution, 1990). Pengambilan data primer ini

    meliputi pengamatan langsung parameter kualitas air yaitu pengukuran parameter

    fisika yang meliputi suhu dan kecerahan, parameter kimia yang meliputi pH,

    salinitas, oksigen terlarut, nitrat dan ortofosfat serta parameter biologi yang

    meliputi pengambilan sampel plankton dan identifikasi plankton.

    Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

    oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data

    ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau laporan-laporan peneliti terdahulu

    (Hasan, 2002). Data sekunder yang diambil pada penelitian ini dapat diperoleh dari

    instansi terkait (profil lengkap, cara pengelolaan air yang digunakan untuk

    budidaya serta sarana dan prasarana di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau

    Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo, Jawa Timur), jurnal, laporan skripsi,

    thesis, situs internet serta kepustakaan yang dapat menunjang hasil penelitian

    yang dilakukan.

  • 3.3.2 Prosedur Pengambilan Sampel atau Data

    Penelitian ini dilakukan di tambak budidaya ikan bandeng UPT Budidaya

    Air Laut dan Air Payau Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Mayangan Kota

    Probolinggo. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Pengambilan

    sampel pada penelitian ini menggunakan 2 petak tambak dengan 3 titik

    pengambilan sampel yaitu inlet atau outlet, bagian tengah dan bagian tepi tambak,

    dimana pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali dengan selang waktu

    pengambilan selama 7 hari sekali. Hal ini disesuaikan dengan daur hidup

    fitoplankton yaitu 7 14 hari. Menurut Mahmud et al. (2012), pengambilan sampel

    dilakukan di 3 titik pengambilan di tiap tambak yaitu pada pintu tambak, tengah

    dan titik terjauh dari pintu tambak. Sedangkan menurut Setyobudi et al. (2009),

    pengambilan contoh dalam skala mingguan dianjurkan karena periode mingguan,

    konsentrasi dan komposisi plankton bervariasi secara nyata dalam kurun waktu 8-

    10 hari. Denah titik pengambialan sampel dapat dilihat pada Gambar 3. Di setiap

    stasiun, sampel plankton dan air diambil pada tambak yang sedang dalam masa

    pemeliharaan. Pengambilan sampel kualitas air yaitu parameter fisika, kimia dan

    biologi dilakukan dengan menggunakan ember dan botol air mineral yang

    dicelupkan langsung ke dalam tambak. Kemudian untuk pengukuran sampel

    kualitas air nitrat, ortofosfat, identifikasi plankton dan klorofil-a dilakukan di

    Laboratorium Lingkungan dan Bioteknologi Perairan Universitas Brawijaya

    Malang. Sementara itu untuk pengukuran parameter kualitas air yang lainnya

    dilakukan pengukuran secara langsung di lokasi tambak atau in situ.

  • Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

    Keterangan:

    Stasiun 1 = Tambak 1

    Stasiun 2 = Tambak 2

    Gambar 3. Denah Titik Pengambilan Sampel

    Keterangan:

    T1 = Titik 1 (inlet atau outlet)

    T2 = Titik 2 (bagian tengah tambak)

    T3 = Titik 3 (bagian tepi tambak)

    3.4 Teknik Pengambilan Sampel

    Parameter yang digunakan pada penelitian ini meliputi kelimpahan

    plankton, indeks keanekaragaman, indeks dominasi plankton, klorofil-a,

    Tengah Tambak

    Bagian Tepi Inlet atau Outlet

  • produktivitas primer serta parameter fisika air (suhu dan kecerahan) dan

    parameter kimia air (pH, salinitas, oksigen terlarut, nitrat dan ortofosfat).

    3.4.1 Prosedur Pengukuran Paramater Fisika

    a. Suhu

    Menurut Subarijanti (1990), pengukuran suhu dengan menggunakan alat

    yaitu thermometer Hg. Pengukuran suhu dilakukan sebagai berikut:

    Thermometer Hg disiapkan

    Thermometer Hg dimasukkan ke dalam perairan dengan membelakangi

    matahari dan thermometer Hg tidak menyentuh tangan

    Ditunggu selama ± 2 menit

    Skala thermometer Hg dibaca pada saat masih didalam perairan

    Hasil pengukuran dicatat dalam skala oC.

    b. Kecerahan

    Menurut Bloom (1998), pegukuran kecerahan dengan menggunakan alat

    yaitu secchi disk. Pengukuran kecerahan dilakukan sebagai berikut:

    Secchi disk dimasukkan perlahan-lahan ke dalam air tidak nampak

    pertama kali (d1) dicatat kedalamannya

    Secchi disk diturunkan sampai tidak kelihatan, kemudian perlahan ditarik

    lagi sampai nampak pertama kali (d2) dan dicatat kedalamannya

    Kecerahan dihitung dengan menggunakan rumus

    Keterangan :

    d1 = batas tidak tampak pertama kali (cm)

    d2 = batas tampak pertama kali (cm).

    Kecerahan (cm) =

  • 3.4.2 Prosedur Pengukuran Parameter Kimia

    a. Derajat Keasaman (pH)

    Menurut Suprapto (2011), pengukuran pH dengan menggunakan pH

    paper adalah sebagai berikut:

    pH paper dimasukkan kedalam air samper selama 2 menit

    pH paper dikibas-kibaskan hingga setengah kering

    Hasil pH dicocokkan dengan kotak pH.

    b. Salinitas

    Menurut Wibisono (2010), pengukuran salinitas dengan menggunakan

    refraktometer adalah sebagai berikut:

    Refraktometer disiapkan dan ambil air sampel dari perairan dengan

    dimasukkan kedalam botol

    Penutup kaca prisma pada refraktometer dibuka dan dikalibrasi dengan

    menggunakan aquades

    Sampel air diteteskan antara 1-2 tetes yang akan diukur salinitasnya

    Tutup kembali dengan hati-hati agar tidak terjadi gelembung udara

    dipermukaan kaca prisma

    Arahkan ke sumber cahaya

    Nilai salinitas dilihat pada skala kanan dan dicatat dengan satuan ppt.

    c. Oksigen Terlarut

    Menurut Suprapto (2011), pengukuran oksigen terlarut menggunakan DO

    meter adalah sebagai berikut:

    Probe dimasukkan ke dalam perairan

    DO meter dinyalakan dan tunggu sampai angka stabil dimana angka atas

    menunjukkan nilai okesigen terlarut (DO)

    Hasil oksigen terlarut dicatat dalam satuan mg/l.

  • d. Nitrat (NO3)

    Menurut Boyd (1982), pengukuran nitrat (Brucine Method) dapat

    dilakukan dengan cara sebagai berikut:

    Air sampel disaring dengan menggunakan Whatman no 42 atau

    menggunakan kertas saring

    Air sampel 50 ml ditambahkan dan dituang ke dalam cawan porselin

    Uapkan di atas pemanas sampai kering, hati-hati jangan sampai pecah

    dan didinginkan

    Asam fenol disulfonik 1 ml ditambahkan, aduk dengan spatula dan

    encerkan dengan 25-30 ml aquades

    NH4OH ditambahkan sampai terbentuk warna. Encerkan dengan

    aquades dan masukkan ke dalam cuvet

    Bandingkan larutan standar pembanding yang telah dibuat, baik secara

    visual atau dengan spektrofotometer (panjang gelombang 410 nm)

    Larutan pembanding dibuat pada Tabel 1 sebagai berikut:

    Tabel 1. Pengenceran Larutan Baku Nitrat

    Larutan standar nitrat (ppm)

    Larutan menjadi (ml) Nitrat-N yang dikandung

    0,1 100 0,01 0,5 100 0,05 1,0 100 0,10 2,0 100 0,20 5,0 100 0,50

    10,0 100 1,00 Sumber: Boyd, 1982.

    e. Ortofosfat (PO4)

    Menurut Boyd (1982), pengukuran kandungan orthofosfat adalah sebagai

    berikut:

    Air sampel 25 ml dituangkan ke dalam Erlenmeyer berukuran 50 ml

    Ammonium molybdate ditambahkan dan dihomogenkan

  • SnCl2 2 tetes ditambahkan dan dihomogenkan

    Bandingkan warna biru dari sampel dengan larutan standar, baik secara

    visual atau dengan spektrofotometer (Panjang gelombang 690 nm)

    Larutan pembanding dibuat pada Tabel 2 sebagai berikut:

    Tabel 2. Pengenceran Larutan Baku Ortofosfat

    Larutan standar pembanding Larutan menurut jumlah ml laruta standar fosfor (mengandung 5 ppm P)

    dalam aquades 50 ml 0,025 0,25 0,05 0,5 0,10 1,0 0,25 2,5 0,50 5,0 0,75 7,5 1,00 10,0

    Sumber: Boyd, 1982.

    3.4.3 Komposisi Plankton

    a. Pengambilan Sampel Plankton

    Menurut Herawati dan Kusriani (2005), prosedur pengambilan plankton

    sebagai berikut:

    Botol film dipasang pada ujung plankton net no.25 (mesh size 64) dan

    diikat

    Plankton net dikalibrasi dengan air bersih

    Air sampel 25 L disaring menggunakan plankton net sambil digoyang-

    goyang

    Botol film dilepaskan dari plankton net

    Air sampel di awetkan dengan larutan lugol sebanyak 3-4 tetes.

    Botol film yang berisi sampel plankton diberi label agar tidak tertukar.

  • b. Identifikasi Plankton

    Menurut Herawati dan Kusriani (2005), prosedur identifikasi fitoplankton

    sebagai berikut:

    Obyek glass dan cover glass diambil dan dicuci dengan aquadest

    Keringkan dengan tissue dengan mengusap secara searah

    Botol film yang berisi sampel fitoplankton diambil dan diaduk

    Sampel dari botol film diambil sebanyak 1 tetes menggunakan pipet tetes

    Teteskan pada obyek glass dan menutup dengan cover glass dengan

    sudut kemiringan 45o

    Amati di bawah mikroskop dimulai dengan perbesaran terkecil sampai

    terlihat gambar organisme pada bidang pandang

    Bentuk fitoplankton digambar beserta warna pigmennya

    Catat ciri-ciri plankton serta jumlah fitoplankton (n) yang di dapat dari

    masing-masing bidang pandang

    Hasil fitoplankton diidentifikasi dengan bantuan buku Presscot (1970) dan

    Davis (1955) dengan teknik dikotomi.

    c. Kelimpahan Plankton

    Menurut Herawati dan Kusriani (2005), prosedur perhitungan kepadatan

    menggunakan metode Lackey Drop adalah sebagai berikut:

    Obyek glass dan cover glass dibersihkan dengan aquades dan

    dikeringkan dengan tissue

    Air sampel diteteskan pada obyek glass

    Obyek glass ditutup dengan cover glass, jangan sampai ada gelembung

    Diamati dibawah mikroskop

    Diamati bidang plankton pada bidang 1:5

    Total kepadatan plankton dihitung (sel/liter atau ind/liter) dengan rumus:

  • Keterangan:

    T = Luas cover glass (mm2)

    V = Volume konsentrat plankton dalam botol plankton (ml)

    L = Luas lapang pandang dalam mikroskop (mm2)

    v = Volume konsentrat plankton di bawah cover glass (ml)

    p = Jumlah lapang pandang

    W = Volume air sampel yang disaring (liter)

    N = Jumlah plankton dalam sel/liter atau ind/liter

    n = Jumlah plankton dalam bidang pandang.

    d. Indeks Keanekaragaman

    Menurut Herawati dan Kusriani (2005), prosedur perhitungan Indeks

    Diversitas (indeks keragaman) yang dihitung dengan menggunakan rumus indeks

    diversity Shannon and Weaver

    Keterangan:

    Pi = Proporsi spesies ke-i terhadap jumlah total

    Ni = jumlah sel/ekor dari taksa biota i

    N = Jumlah sel/ekor dari taksa biota di dalam sampel.

    e. Indeks Dominasi

    Menurut Odum (1998), untuk mengetahui indeks dominasi digunakan

    Indeks Dominasi Simpson dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

  • Keterangan:

    D = Indeks Dominasi

    ni = Jumlah individu pada jenis ke-i

    N

    f. Pengukuran Klorofil-a

    Menurut Hutagalung et al. (1997), metode pengukuran klorofil-a

    berdasarkan pada penyerapan tiga panjang gelombang yaitu sebagai berikut:

    Botol kosong disiapkan sebagai tempat sampel

    Air sampel diambil sesuai dengan titik yang sudah ditentukan

    Pasang filter ke filter holder

    Air sampel 0,5-2 liter disaring dan dibilas dengan larutan magnesium

    karbonat sebanyak 10 ml lalu hisap kembali sampai filter tampak kering

    Filter yang tampak kering diambil dan membungkus filter dengan

    menggunakan alumuniun foil dan diberi label

    Simpan dalam desikator alumunium yang berisi silica gel (simpan di

    dalam freezer apabila tidak melakukan proses analisis berikutnya)

    Filter hasil saringan dimasukkan ke tabung reaksi 15 ml dan tambahkan

    10 ml aceton 90%

    Sampel dalam tabung reaksi digerus menggunakan tissue grinder

    Sampel di centrifuge dengan putaran 4000 rpm selama 30-60 menit

    Cairan yang bening dimasukkan kedalam cuvet dan memeriksa absorban

    menggunakan spektofotometer pada panjang gelombang 750, 664, 47

    dan 630 nm dan dimasukkan rumus:

  • Keterangan:

    E664 = Absorban 664 nm absorban 750 nm

    E647 = Absorban 647 nm absorban 750 nm

    E630 = Absorban 630 nm absorban 750 nm

    Ve = Volume ekstrak aceton

    Vs = Volume sampel air yang di saring (liter)

    d = Lebar diameter cuvet (cm).

    g. Analisis Produktivitas Primer

    Menurut Beveridge (1984), hasil dari produktivitas primer dimulai dengan

    mengukur nilai klorofil-a, kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk

    produktivitas primer menggunakan rumus sebagai berikut:

    Keterangan:

    PP = Produktivitas primer

    Klorofil-a = Nilai hasil dari pengukuran klorofil-a.

    3.5 Hubungan Kualitas Air dengan Produktivitas Primer Perairan

    Analisis data pada penelitian ini sebelumnya dilakukan uji normalitas

    terlebih dahulu untuk mengetahui data yang dimiliki terdistribusi normal atau tidak

    terdistribusi normal. Uji normalitas data adalah uji prasyarat tantang kelayakan

    data untuk dianalisis dengan menggunakan statistik parametrik atau statistik non

    parametrik (Siregar, 2013). Hasil uji normalitas menunjukkan data yang dimiliki

    terdistribusi normal yang berarti uji selanjutnya menggunakan statistik parametrik.

    Chl-a (mg/m3)

    PP (mg C/m3/hari) = 56,5 x (klorofil-a)0,61

  • Pada penelitian ini menggunakan stastik parametrik yaitu uji regresi linier

    berganda, karena untuk mengetahui hubungan antara kualitas air dengan

    produktivitas primer perairan. Menurut Sarwono (2014), regresi adalah suatu

    metode yang digunakan untuk melihat hubungan antara dua atau lebih variabel.

    Sedangkan regresi linier berganda dapat digunakan untuk mengukur hubungan

    lebih dari satu variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji normalitas dan uji

    regresi linier berganda ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi

    16.0.

  • 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

    Kota Probolinggo secara geografis terletak pada koordinat 7o 7o

    ntang Selatan dan 113o 113o

    sepanjang 7 km2 dan secara umum terletak di provinsi Jawa Timur. Kota

    Probolinggo terletak pada ketinggian 0 50 m diatas permukaan air laut (BPS Kota

    Probolinggo, 2013). Luas wilayah Kota Probolinggo tercatat 5.666,70 Ha, pada

    tahun 2012 terdiri dari lahan sawah sebesar 1.832 Ha (32,33%), lahan bukan

    sawah untuk pertanian 928,33 Ha (16,38%) dan lahan bukan pertanian 2.906,72

    Ha (51,29%). Kota Probolinggo dibagi menjadi 5 kecamatan yaitu Kademangan,

    Kedopok, Wonoasih, Mayangan dan Kanigaran. Kecamatan Mayangan terdapat 5

    kelurahan dengan luas wilayah 8,655 km2 dan menduduki 15,27% terhadap luas

    Kota Probolinggo (BPS Kota Probolinggo, 2013). Produksi perikanan pada tahun

    2012 tercatat 11.003 ton yang terdiri atas 10.241 ton produksi perikanan tangkap

    dan 760,78 ton produksi perikanan budidaya. Dibandingkan dengan tahun

    sebelumnya, produksi perikanan turun minus 43,77% (BPS Kota Probolinggo,

    2013).

    UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau merupakan unit pelaksana teknis

    yang dimiliki oleh Universitas Brawijaya Malang. Terletak hanya 2 km dari pusat

    Kota Probolinggo, UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau berada tepat pada jalur

    akses utama jalan pantai utara Pulau Jawa bagian Timur yang menghubungkan

    Kota Surabaya dengan Pulau Bali. Pengambilan sampel berada pada tambak

    yang berdekatan dengan pesisir, dimana di sekitar pesisir terdapat pelabuhan dan

    pemukiman.

  • 4.1.1 Deskripsi Tambak

    Penelitian ini dilakukan di tambak bandeng UPT Budidaya Air Laut dan

    Air Payau Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo, Jawa Timur dengan

    menggunakan teknologi secara tradisional yang dibagi menjadi 2 stasiun dimana

    tiap stasiun memiliki luas 3000-3500 m2. Tambak bandeng ini memiliki tinggi air

    berkisar 40-50 cm, bagian inlet dan outlet yang berasal dari satu pintu serta

    pergantian air bergantung pada pasang surut air laut. Lokasi penelitian dari stasiun

    1 dan stasiun 2 hampir memiliki karakteristik yang sama, yaitu mendapatkan aliran

    air pada satu aliran yang sama serta karakteristik tambak yang dikelilingi dan

    ditumbuhi oleh mangrove. Namun terdapat perbedaan pada jarak sumber air dan

    warna air tambak.

    Pada stasiun 1 mendapatkan sumber air pertama dari sungai dan memiliki

    warna air hijau kecoklatan sedangkan pada stasiun 2 mendapatkan sumber air

    kedua dari sungai dan memiliki warna air hijau. Kedua stasiun ini di teliti karena

    untuk mewakili tambak bandeng yang dimiliki UPT Budidaya Air Laut dan Air

    Payau Kota Probolinggo. Tambak bandeng pada stasiun 1 dan 2 dapat dilihat pada

    Gambar 4 sebagai berikut:

    (a) (b) Gambar 4. Tambak Bandeng UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kota Probolinggo. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2.

    4.2 Hasil Pengukuran Klorofil-a

    Hasil pengukuran klorofil-a pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan

    disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut:

  • Tabel 3. Hasil Pengukuran Klorofil-a (mg/m3)

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata T1 T2 T3 T1 T2 T3

    1 14,311 58,768 29,220 30,937 40,922 25,621 33,297 2 15,627 34,204 37,686 32,648 47,890 30,994 33,166 3 3,155 3,155 3,155 4,532 4,073 4,865 3,822

    Rata-rata 11,031 32,042 23,354 22,706 30,962 20,477 Pengukuran klorofil-a dilakukan dengan uji analisis di laboratorium.

    Berdasarkan hasil penelitian klorofil-a didapatkan hasil pada stasiun 1 minggu ke-

    1 berkisar antara 14,311 58,768 mg/m3, minggu ke-2 berkisar antara 15,627

    37,686 mg/m3, minggu ke-3 yaitu 3,155 mg/m3. Sedangkan pada stasiun 2 minggu

    ke-1 didapatkan hasil klorofil-a berkisar antara 25,621 40,922 mg/m3, minggu ke-

    2 berkisar antara 30,944 47,890 mg/m3 dan minggu ke-3 berkisar antara 4,073

    4,532 mg/m3.

    Hasil pengukuran klorofil-a selama penelitian didapatkan hasil pada

    stasiun 1 berkisar antara 3,155 58,768 mg/m3, sedangkan pada stasiun 2

    berkisar antara 4,073 47, 890 mg/m3. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan

    bahwa pada stasiun 1 dan stasiun 2 tergolong perairan oligotrofik sampai dengan

    eutrofik. Menurut Golterman (1975), pemanfaatan plankton sebagai indicator

    kesuburan perairan dengan kandungan klorofil-a 0-3 mg/m3 dikategorikan sebagai

    oligotropik, 3-20 mg/m3 dikategorikan sebagai mesotropik dan kandungan klorofil-

    a >20 mg/m3 dikategorikan sebagai eutropik. Selain itu menurut Tubalawony

    (2007) dalam Rahmawati et al. (2014), apabila nutrien dan intensitas cahaya

    matahari cukup tersedia, maka konsentrasi klorofil-a akan tinggi dan sebaliknya.

    Tingginya kandungan klorofil-a fitoplankton di suatu perairan tidak selalu

    menggambarkan kondisi yang baik bagi perairan tersebut. Kandungan klorofil-a

    yang tinggi di suatu perairan mengindikasikan terjadinya eutrofikasi. Pengaruh

    kelimpahan kandungan nutrient yang tidak terkendali di perairan muara dan laut

    akan dapat mengganggu ekosistem yang ada di perairan tersebut.

  • 4.3 Analisis Produktivitas Primer

    Berdasarkan kadar klorofil-a yang sudah didapatkan kemudian digunakan

    untuk mengetahui nilai produktivitas primer perairan. Hasil pengukuran

    produktivitas primer pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan disajikan pada

    Tabel 4 sebagai berikut:

    Tabel 4. Pengukuran Produktivitas Primer (mg C/m3/hari)

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata T1 T2 T3 T1 T2 T3

    1 286,4 678,0 442,7 458,4 543,7 408,6 469,63 2 302,2 487,3 517,0 473,7 598,4 458,5 472,86 3 113,9 113,9 113,9 142,0 133,1 148,3 127,51

    Rata-rata 234,17 426,40 357,87 358,04 425,0 338,45

    Hasil pengukuran produktivitas primer perairan di 2 (dua) stasiun dengan

    3 titik pengambilan sampel didapatkan hasil pada stasiun 1 minggu ke-1 berkisar

    antara 286,4 677,9 mg C/m3/hari, minggu ke-2 berkisar antara 302,2 517 mg

    C/m3/hari, minggu ke-3 yaitu 113,8 mg C/m3/hari. Sedangkan pada stasiun 2

    minggu ke-1 berkisar antara 408,5 543,6 mg C/m3/hari, minggu ke-2 berkisar

    antara 473,6 598,4 mg C/m3/hari, minggu ke-3 berkisar antara 133 148,3 mg

    C/m3/hari.

    Nilai produktivitas primer perairan selama penelitian didapatkan hasil

    berkisar antara 113,9 678 mg C/m3/hari. Berdasarkan hasil tersebut

    menunjukkan bahwa stasiun 1 dan 2 tergolong perairan mesotrofik (sedang)

    sampai dengan eutrofik (tinggi). Hal ini sesuai dengan pengklasifikasian menurut

    Novotny dan Olem (1994) dalam Effendi (2003), kategori produktivitas primer

    dibagi menjadi 3 yaitu oligotrofik berkisar antara 7-25 mg C/m3/hari, mesotrofik

    berkisar antara 75-250 mg C/m3/hari dan eutrofik berkisar antara 350-700 mg

    C/m3/hari. Menurut Nybakken (1992), faktor dari parameter lingkungan yang dapat

    membatasi produktivitas primer fitoplankton yaitu intensitas cahaya matahari, suhu

    dan kadar ketersediaan unsur hara. Sedangkan menurut Dede et al. (2014),

  • semakin tinggi produktivitas primer suatu perairan maka semakin besar pula daya

    dukung bagi keidupan komunitas penghuninya. Begitupun sebaliknya

    produktivitas primer fitoplankton rendah menunjukkan daya dukung yang rendah

    pula.

    4.4 Analisa Parameter Kualitas Air

    4.4.1 Suhu

    Hasil pengukuran suhu pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan

    disajikan pada Tabel 5 sebagai berikut:

    Tabel 5. Hasil Pengukuran Suhu (oC)

    Berdasarkan Tabel 5, hasil pengukuran suhu berkisar antara 28,5 34

    oC. Pada minggu ke-1 diperoleh hasil berkisar antara 31,8 33,2 oC. Pada minggu

    ke-2 diperoleh hasil berkisar antara 32 34 oC. Pada minggu ke-3 diperoleh hasil

    berkisar antara 28,5 29,2 oC. Nilai suhu yang diperoleh merupakan kisaran yang

    baik untuk pertumbuhan fitoplankton. Menurut Effendi (2003), organisme akuatik

    memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi

    pertumbuhannya. Misalnya, algae dari filum Chlorophyta dan diatom akan tumbuh

    dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30 35 oC dan 20 30 oC. Suhu

    merupakan faktor lingkungan yang berpotensi sebagai faktor pembatas bagi

    proses produksi fitoplankton. Proses fotosintesis mempunyai rentan suhu

    optimum. Suhu optimum untuk pertumbuhan plankton adalah 27 - 29,5 oC

    (Prasetyaningtyas et al., 2012).

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata

    T1 T2 T3 T1 T2 T3 1 31,8 32,2 31,8 32 33,2 32,3 32,2 2 33 32 33,1 32,2 34 32,9 32,8 3 28,6 28,7 29 28,5 29,2 29 28,8

    Rata-rata 31,1 30,96 31,3 30,9 32,1 31,4

  • 4.4.2 Kecerahan

    Hasil pengukuran kecerahan pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan

    disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut:

    Tabel 6. Hasil Pengukuran Kecerahan (cm)

    Berdasarkan Tabel 6, hasil pengukuran kecerahan berkisar antara 31,2

    45,9 cm. Pada minggu ke-1 diperoleh hasil berkisar antara 34,5 - 45,4 cm. Pada

    minggu ke-2 diperoleh hasil berkisar antara 34,1 45,0 cm. Pada minggu ke-3

    diperoleh hasil berkisar antara 31,2 45,9 cm. Nilai kecerahan perairan yang

    didapatkan menunjukkan bahwa kecerahan perairan dalam kondisi cukup baik

    untuk budidaya ikan atau udang. Menurut Ismail (1994) dalam Reksono et al.

    (2012), tingkat kecerahan yang baik untuk budidaya ikan bandeng berkisar antara

    20 - 40 cm. Saat pengukuran kecerahan, terlihat dari permukaan tambak warna

    air berwarna hijau kecoklatan. Tinggi rendahnya kecerahan yang dapat ditembus

    cahaya matahari ditentukan oleh bahan organik dan anorganik seperti lumpur dan

    pasir halus yang ada diperairan. Nilai kecerahan dipengaruhi oleh keadaan cuaca,

    warna perairan, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi dan ketelitian

    orang yang melakukan pengukuran (Effendi, 2003).

    4.4.3 pH

    Hasil pengukuran pH pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan disajikan

    pada Tabel 7 sebagai berikut:

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata

    T1 T2 T3 T1 T2 T3 1 44,3 37,2 45,4 36,7 34,5 35,1 38,88 2 43,7 43,5 45,0 35,0 34,1 34,3 39,25 3 44,5 43,8 45,9 36,7 33,2 31,2 39,23

    Rata-rata 44,16 41,51 45,41 36,16 33,93 33,55

  • Tabel 7. Hasil Pengukuran pH

    Berdasarkan Tabel 7, hasil pengukuran pH berkisar antara 8. Pada

    minggu ke-1 diperoleh hasil kisaran pH 8. Pada minggu ke-2 diperoleh hasil

    kisaran pH 8. Pada minggu ke-3 diperoleh hasil kisaran pH 8. Nilai ini masih

    menunjukkan nilai yang stabil untuk mendukung kelangsungan hidup biota yang

    ada didalamnya termasuk kehidupan fitoplankton. Menurut Soesono (1988),

    tambak yang baik mempunyai pH 7,5 8,5 yang merupakan kondisi optimal bagi

    pertumbuhan plankton. Hal ini juga sesuai menurut Romimohtarto (2004), nilai pH

    sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dan suhu. Kisaran nilai pH yang ideal

    untuk kehidupan organisme (fitoplankton) dalam perairan yaitu 6,5 8,5.

    4.4.4 Salinitas

    Hasil pengukuran salinitas pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan

    disajikan pada Tabel 8 sebagai berikut:

    Tabel 8. Hasil Pengukuran Salinitas (ppt)

    Berdasarkan Tabel 8, hasil pengukuran salinitas berkisar antara 14 27

    ppt. Pada minggu ke 1 diperoleh hasil berkisar antara 15 23 ppt. Pada minggu

    ke-2 diperoleh hasil berkisar antara 14 20 ppt. pada minggu ke-3 diperoleh hasil

    berkisar antara 25 27 ppt. Nilai salinitas yang diperoleh merupakan kisaran yang

    dapat ditolerir oleh pertumbuhan ikan bandeng karena bandeng tergolong ikan

    euryhaline atau memiliki toleransi salinitas yang luas. Menurut Yunus (1978) dalam

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata

    T1 T2 T3 T1 T2 T3 1 8 8 8 8 8 8 8 2 8 8 8 8 8 8 8 3 8 8 8 8 8 8 8

    Rata-rata 8 8 8 8 8 8

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata

    T1 T2 T3 T1 T2 T3 1 20 23 22 18 15 19 19,5 2 20 20 20 15 17 14 17,6 3 27 26 27 25 26 27 26,3

    Rata-rata 22,3 23 23 19,3 19,3 20

  • Suparjo (2008), nilai salinitas antara 33 34 ppt telah melampaui standar

    kelayakan daya dukung tambak. Namun nilai tersebut bandeng masih dapat

    bertahan hidup karena bandeng dapat mentoleransi salinitas sampai pada kisaran

    40 ppt.

    4.4.5 Oksigen Terlarut (DO)

    Hasil pengukuran oksigen terlarut pada 2 stasiun selama 3 kali

    pengulangan disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut:

    Tabel 9. Hasil Pengukuran Oksigen Terlarut (mg/l)

    Berdasarkan Tabel 9, hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar antara

    5,55 8,68 mg/l. Pada minggu ke-1 diperoleh hasil berkisar antara 5,55 6,66

    mg/l. Pada minggu ke-2 diperoleh hasil berkisar antara 5,9 8,68 mg/l. pada

    minggu ke-3 diperoleh hasil berkisar antara 5,75 6,87 mg/l. Kandungan oksigen

    terlarut pada masing-masing stasiun berada pada kisaran normal dan baik bagi

    pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Menurut Sunarti (2000) dalam

    Prasetyaningtyas et al. (2012), plankton dapat hidup baik pada konsentrasi

    oksigen terlarut lebih dari 3 mg/l.

    4.4.6 Nitrat

    Hasil pengukuran nitrat pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan

    disajikan pada Tabel 10 sebagai berikut:

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata

    T1 T2 T3 T1 T2 T3 1 5,89 5,55 6,66 6,15 6,41 5,9 6,09 2 8,68 8,11 7,87 6,92 6,95 5,9 7,42 3 5,75 5,88 6,25 6,25 6,87 6,1 6,19

    Rata-rata 6,77 6,51 6,92 6,44 6,74 6,02

  • Tabel 10. Hasil Pengukuran Nitrat (ppm)

    Berdasarkan Tabel 10, hasil pengukuran nitrat berkisar antara 3,8 11,9

    ppm. Pada minggu ke-1 diperoleh hasil berkisar antara 3,8 8,5. Pada minggu ke-

    2 diperoleh hasil berkisar antara 3,3 7 ppm. Pada minggu ke-3 diperoleh hasil

    berkisar antara 5,8 11,9 ppm. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa stasiun

    1 dan stasiun 2 termasuk kedalam perairan eutrofik yaitu perairan dengan tingkat

    kesuburan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa

    tingkat kesuburan suatu perairan berdasarkan kandungan nitrat dapat dibagi atas

    tiga tingkatan yaitu konsentrasi 0,0 0,1 ppm disebut perairan oligotrofik (kurang

    subur, konsentrasi 0,1 0,5 ppm disebut perairan mesotrofik (kesuburan sedang)

    dan diatas 0,5 ppm disebut dengan perairan eutrofik (kesuburan tinggi).

    Sedangkan menurut Oktora (2000) dalam Widowati (2004), fitoplankton dapat

    tumbuh optimal pada kandungan nitrat sebesar 0,9 3,5 ppm sedangkan

    konsentrasi dibawah 0,01 ppm atau diatas 4,5 ppm dapat merupakan faktor

    pembatas pertumbuhan fitoplankton.

    4.4.7 Ortofosfat

    Hasil pengukuran orthofosfat pada 2 stasiun selama 3 kali pengulangan

    disajikan pada Tabel 11 sebagai berikut:

    Tabel 11. Hasil Pengukuran Ortofosfat (ppm)

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata

    T1 T2 T3 T1 T2 T3 1 3,8 5,5 5,1 8,5 7,8 5,7 5,56 2 6,6 7 3,3 5,6 4,4 3,9 5,13 3 11,9 6,3 5,8 10,7 13,6 8,9 9,53

    Rata-rata 6,43 6,2 4,73 8,26 8,6 6,1

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 Rata-rata

    T1 T2 T3 T1 T2 T3 1 0,1 0,2 0,2 0,6 0,8 0,7 0,43 2 0,7 0,4 0,1 1 0,9 0,9 0,66 3 0,2 0,2 0,2 0,4 0,7 0,4 0,35

    Rata-rata 0,33 0,26 0,1 0,66 0,8 0,66

  • Berdasarkan Tabel 11, hasil pegukuraan ortofosfat berkisar antara 0,1

    1 ppm. Pada minggu ke-2 diperoleh hasil berkisar antara 0,1 0,8 ppm. Pada

    minggu ke-2 diperoleh hasil berkisar antara 0,1 1 ppm. Pada minggu ke-3

    diperoleh hasil berkisar antara 0,2 0,7 ppm. Nilai fosfat yang diperoleh pada

    stasiun 1 dan stasiun 2 termasuk dalam perairan eutrofik atau tingkat kesuburan

    tinggi. Menurut Effendi (2003), berdasarkan kadar ortofosfatnya perairan

    diklasifikasikan menjadi tiga yaitu perairan oligotrofik 0,003 0,001 mg/l, perairan

    mesotrofik 0,011 0,03 mg/l, perairan eutrofik 0,031 0,1 mg/l. Menurut Dede et

    al. (2014), konsentrasi fosfat yang terlalu tinggi akan menyebabkan eutrofikasi

    yang berakibat kurang baik bagi perairan karena terlalu banyak fitoplankton.

    4.4.7 Komposisi Fitoplankton

    Komposisi fitoplankton yang ditemukan pada 2 stasiun dengan

    pengulangan 3 kali yaitu sebanyak 4 filum meliputi Chlorophyta, Chrysophyta,

    Cyanophyta dan Dinophyta. Dari hasil pengamatan fitoplankton yang paling

    banyak ditemukan adalah filum Chrysophyta sebanyak 11 genus yaitu Amphora,

    Chaetoceros, Cyclotella, Cymbella, Cocconeis, Gyrosigma, Navicula, Nitzchia,

    Pinnularia, Skeletonema dan Synedra. Filum Chlorophyta ditemukan 5 genus yaitu

    Chlamydomonas, Chlorella, Gloeocystis, Staurastrum dan Schroederia. Filum

    Cyanophyta ditemukan 3 genus yaitu Oscillatoria, Pectonema dan Spirulina.

    Sedangkan filum Dinophyta ditemukan 1 genus yaitu Peridinium.

    Pada stasiun 1 di setiap titik pengambilan sampel paling banyak ditemukan

    dari filum Chrysophyta. Filum Chrysophyta yang ditemukan dari hasil pengamatan

    sampel sebanyak 11 genus yang didominasi oleh Chaetoceros. Menurut

    Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Chaetosceros sp. memiliki dinding sel dari

    silica yang merupakan salah satu makanan jenis fitoplankton makanan bagi

    bandeng. Sedangkan pada stasiun 2 di setiap titik pengambilan sampel paling

  • banyak ditemukan dari filum Chlorophyta. Chlorophyta yang ditemukan sebanyak

    4 genus yang didominasi oleh Schroederia.

    Berdasarkan jenis fitoplankton yang ditemukan pada stasiun 1 dan stasiun

    2 menunjukkan bahwa perairan tambak budidaya ikan bandeng banyak ditemukan

    fitoplankton dari filum Chrysophyta dan Chlorophyta yang merupakan jenis

    makanan yang disukai oleh ikan bandeng sehingga ketersediaaan makanan untuk

    ikan bandeng tercukupi. Hal ini sesuai menurut Nurmaningsih et al. (2005), secara

    umum jenis makanan ikan bandeng yang ada di dalam perairan yaitu

    Chlorophyceae, Cyanophyceae, Chrysophyceae dan Dinophyceae. Namun

    terdapat beberapa jenis fitoplankton yang merugikan bagi budidaya ikan bandeng,

    salah satunya yaitu Oscillatoria sp. dan Nitzchia sp.. Menurut Isnansetyo dan

    Kurniastuty (1995), alga hijau-biru dari Familia Oscillatoriaceae diketahui dapat

    menghasilkan racun berbahaya yaitu menimbulkan sindroma hemocystis enteristis

    pada krustacea dan ikan. Selain itu menurut Menurut James dan Lilian (1979),

    Nitzchia sp. biasanya ditemukan pada perairan rendah oksigen dan anaerobik.

    4.4.8 Kelimpahan Fitoplankton

    Hasil perhitungan kelimpahan fitoplankton pada 2 stasiun dengan

    masing-masing 3 titik pengambilan sampel didapatkan disajikan pada Tabel 12

    sebagai berikut:

    Tabel 12. Hasil Kelimpahan Fitoplankton (ind/ml)

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 T1 T2 T3 T1 T2 T3

    1 2.241 27.310 2.596 86 183 156 2 4.358 6.368 3.922 210 140 64 3 70 59 86 188 786 366 Berdasarkan hasil diatas, kelimpahan fitoplankton yang ditemukan

    berkisar antara 59 27.310 ind/ml. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan

    fitoplankton pada stasiun 1 tergolong perairan oligotrofik dan stasiun 2 tergolong

  • perairan oligorofik hingga eutrofik. Menurut Landner (1978), kesuburan perairan

    berdasarkan kelimpahan fitoplanktonnya dibagi menjadi 3 yaitu Oligotrofik (0-

    2.000 ind/ml), mesotrofik (2.000-15.000 ind/ml) dan eutrofik (>15.000 ind/ml).

    Menurut Suryanto dan Umi (2009), penyebab terjadinya perbedaan antara jumlah

    plankton tiap lokasi antara lain karena sifat plankton yang sering menggerombol

    karena pengaruh angin dan arus yang menyebabkan daerah penyebaran tidak

    merata dalam pengambilan sampel, adanya predator pada suatu lokasi sehingga

    suatu saat diperairan kaya plankton tetapi pada waktu lain miskin plankton serta

    karena adanya arah angin yang menyebabkan plankton terbawa pada arah angin

    tertentu dalam suatu perairan.

    4.4.9 Indeks Keanekaragaman Fitoplankton

    Hasil perhitungan indeks keanekaragaman fitoplankton pada 2 stasiun

    dengan masing-masing 3 titik pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 13

    sebagai berikut:

    Tabel 13. Indeks Keanekaragaman Fitoplankton

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 T1 T2 T3 T1 T2 T3

    1 0,697 0,892 0,987 2,177 2,190 2,281 2 0,875 0,637 1,177 2,311 2,107 2,456 3 2,489 2,653 2,550 1,798 0,642 1,331

    Berdasarkan hasil di atas, perhitungan indeks keanekaragaman berkisar

    antara 0,637 2,456. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman fitoplankton

    di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau berada pada kondisi keanekaragaman

    yang rendah sampai dengan sedang. Menurut Basmi (1999), berarti

    keanekaragaman spesies rendah, komunitas biota tidak stabil atau kualitas air

  • keanekaragaman spesies tinggi, stabilitas komunitas biota stabil atau kualitas air

    bersih.

    4.4.10 Indeks Dominasi Fitoplankton

    Hasil perhitungan indeks dominasi fitoplankton pada 2 stasiun dengan

    masing-masing 3 titik pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 14 sebagai

    berikut:

    Tabel 14. Indeks Dominasi Fitoplankton

    Minggu ke-

    Stasiun 1 Stasiun 2 T1 T2 T3 T1 T2 T3

    1 0,788 0,687 0,680 0,234 0,262 0,267 2 0,666 0,776 0,569 0,266 0,257 0,194 3 0,218 0,173 0,195 0,369 0,798 0,546

    Berdasarkan hasil di atas, perhitungan indeks dominasi berkisar antara

    0,194 0,798. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1 dan stasiun 2 hampir

    tidak terdapat spesies yang mendominasi perairan tersebut dan memiliki tingkat

    dominasi yang stabil. Menurut Odum (1971), indeks dominasi berkisar 0-

    0,5, berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur

    mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil,

    karena terjadi tekanan ekologis dari suatu spesies terhadap spesies lainnya.

    4.5 Hubungan Kualitas Air Dengan Produktivitas Primer Perairan

    Hasil hubungan kualitas air dengan produktivitas primer perairan

    menggunakan analisis regresi linier berganda disajikan pada Tabel 15 sebagai

    berikut:

  • Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda

    Model Summary

    Model R R Square

    Adjusted R

    Square

    Std. Error of

    the Estimate

    1 .924a .853 .808 82.81808

    a. Predictors: (Constant), orthofosfat, nitrat, kecerahan, suhu

    ANOVAb

    Model

    Sum of

    Squares df Mean Square F Sig.

    1 Regression 519001.016 4 129750.254 18.921 .000a

    Residual 89149.204 13 6857.631

    Total 608150.220 17

    a. Predictors: (Constant), orthofosfat, nitrat, kecerahan, suhu

    b. Dependent Variable: produktivitas primer

    Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda diperoleh nilai R

    sebesar 0,924. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu parameter suhu,

    kecerahan, nitrat dan orthofosfat berhubungan sangat kuat terhadap variabel

    terikat yaitu produktivitas primer perairan sebesar 92,4%. Sedangkan sisanya

    dipengaruhi oleh faktor lain. Pada tabel ANOVA dengan signifikasi sebesar 0,000

    lebih kecil dari 0,01 maka suhu, kecerahan, nitrat dan orthofosfat secara bersama-

    sama berpengaruh sangat nyata terhadap nilai produktivitas primer.

    Menurut Nyakken (1992), faktor dari parameter lingkungan yang dapat

    membatasi produktivitas primer fitoplankton yaitu intensitas cahaya matahari, suhu

    dan kadar ketersediaan unsur hara. Cahaya merupakan komponen utama dalam

    proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung jawab terhadap nilai

    produktivitas primer perairan (Folkowski dan Raven, 1997). Parameter suhu

    berperan secara langsung untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses

    fotosintesa sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah

    struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton

  • (Cloern et al., 1999). Ketersediaan unsur hara N dan unsur P berperan untuk

    pertumbuhan dan perkembangbiakan sel fitoplankton (Erlina, 2006). Oleh karena

    itu, kualitas air tersebut berpengaruh terhadap nilai produktivitas primer perairan.

  • 5. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian di UPT Budidaya Air Laut dan Air Payau Kota

    Probolinggo Jawa Timur dapat disimpulkan sebagai berikut:

    Kondisi kualitas air pada perairan tambak bandeng termasuk kurang baik

    untuk budidaya dengan tingkat kesuburan yang tinggi atau eutrofik.

    Kualitas air yang didapatkan antara lain: suhu berkisar 28,5 34 oC,

    kecerahan berkisar 31,25 45,9 cm, pH berkisar 8, salinitas 14 -27 ppt,

    DO berkisar 5,55 8,68 mg/l, nitrat berkisar 3,8 11,9 ppm dan ortofosfat

    berkisar 0,1 1 ppm.

    Jenis fitoplankton yang dapat ditemukan pada perairan tambak bandeng

    yaitu 4 filum meliputi Chlorophyta, Chrysophyta, Cyanophyta dan

    Dinophyta. Jenis fitoplankton ini mengindikasikan bahwa perairan tambak

    sesuai dengan jenis makanan yang disukai oleh ikan bandeng. Dan nilai

    produktivitas primer perairan tambak bandeng menggunakan metode

    klorofil-a yaitu berkisar 113,9 677,9 mg C/m3/hari. Hasil ini menunjukkan

    bahwa stasiun 1 dan stasiun 2 termasuk perairan mesotrofik sampai

    dengan eutrofik yang menunjukkan kondisi perairan sedang sampai

    dengan tinggi.

    Hubungan kualitas air dengan produktivitas primer perairan menunjukkan

    bahwa parameter suhu, kecerahan, nitrat dan orthofosfat berhubungan

    sangat kuat terhadap produktivitas primer perairan sebesar 92,4%.

    5.2 Saran

    Berdasarkan penelitian ini, saran yang dapat diberikan yaitu perlu

    dilakukannya pengukuran alkalinitas karena pH air tambak bersifat basa. Selain

  • itu perlu adanya kontrol kualitas air dari pihak pengelola agar kondisi perairan

    tambak tetap terjaga sehingga masukan nutrien ke perairan tambak tidak

    berlebihan dan dapat mendukung pertumbuhan budidaya ikan bandeng.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Aedi, N. 2010. Pengelolaan dan Analisis Data Hasil Penelitian. Modul. Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.

    Ali, I.M. 1994. Struktur Kounitas Ikan dan Aspek Biologi Ikan yang Dominan di Danau Sidengreng, Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 130 hlm.

    Aqil, D.I. 2010. Pemanfaatan Plankton sebagai Sumber Makanan Ikan Bandeng (Channos channos) di Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

    Arief, M dan L. Laksmi W. 2006. Analisis Kesesuaian Perairan Tambak di Kabupaten Demak Ditinjau dari Nilai Klorofil-a Suhu Permukaan Perairan dan Muatan Padatan Tersuspensi Menggunakan Data Citra Satelit Landsat ETM 7+. Jurnal Penginderaan Jauh. 3(1): 108-118.

    Arif, Y. 2010. Analisis Efisiensi Teknis, Alokatif dan Ekonomi Usaha Tambak Bandeng di Kabupaten Pati. Skripsi. Fakultas Ekonomi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

    Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Fakultas MIPA USU. Medan.

    ________. 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA. USU. Medan.

    Basmi, S. 1999. Ekologi Plankton I. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

    Berwick, N.K. 1983. Guidelines for the Analysis of Biophysical Impact to Tropical Marine Resources. The Bombay Natural History Society Centenary Seminar Conservation in Developing Country.

    Beveridge, M.C.M. 1984. Cage and Pen Fish Farming: Carrying Capacity Models an