analisis opini publik dan analisis akar masalah …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20369057-mk-dea...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS OPINI PUBLIK DAN ANALISIS AKAR MASALAHKASUS AKIL MOCHTAR DI MAHKAMAH KONSTITUSI
MAKALAH NON SEMINAR
DEA CIPTA PERMATASARI1006694826
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOKJANUARI 2014
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
1
ANALISIS OPINI PUBLIK DAN ANALISIS AKAR MASALAH
KASUS AKIL MOCHTAR DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Dea Cipta Permatasari
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok
16424, Indonesia
E-mail: deaciptapermatasari @gmail.com
Abstrak
Awal bulan Oktober 2013, Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan Akil Mochtar, yang pada saat itu
menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, oleh KPK. Akil Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) saat Chairunnisa, anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar, menyerahkan uang
294 dolar Singapura kepada Akil Mochtar (Qusnulyakin, 2013). Masyarakat Indonesia banyak meneriakkan
kekecewaannya terhadap Mahkamah Konstitusi melalui media, termasuk social media. Berdasarkan survei
Lembaga Survei Indonesia (LSI) setelah tertangkapnya Akil Mochtar, kepercayaan publik terhadap Mahkamah
Konstitusi hanya 28 persen (Sahid, 2013). Pada dasarnya, korupsi merupakan akar segala permasalahan di
Indonesia, termasuk kemiskinan (Gie, 2003). Hal itu pulalah yang menjadi akar masalah dari kasus Akil
Mochtar ini. Ari Harsono (2008) mengungkapkan bahwa solusi dasar untuk korupsi takhta ada dua, yaitu (1)
setiap calon pemimpin dan calon wakil rakyat harus ditelusuri riwayat hidupnya supaya kadar integritas
kepribadiannya dapat diketahui, serta (2) setiap kekuasaan harus dikendalikan dengan uji logika dan uji
kejujuran. Solusi jangka menengah merupakan pembenahan integritas dan kemandirian Mahkamah Konstitusi
dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan, terutama kepentingan politik. Solusi jangka pendek, secara umum,
merupakan penerapan prinsip good governance dan penerapan sistem carrot and stick (Gie, 2003).
PUBLIC OPINION ANALYSIS AND ROOT CAUSE ANALYSIS OF AKIL
MOCHTAR’S CASE IN CONSTITUTIONAL COURT
Abstract Early October 2013, Indonesia was shocked by the news of Akil Mochtar, who was the Chairman of
Constitutional Court, that was arrested by KPK. Akil Mochtar was caught red-handed by Corruption
Erradication Comission (KPK) when Chairunnisa, member of Indonesian Parliament (DPR RI) from Golkar
fraction, was handing over 294 Singaporean dollars to Akil Mochtar (Qusnulyakin, 2013). Indonesian people
showed their disappointment toward Constitutional Court through the media, including social media. Based on
Indonesian Survey Institute (LSI), after Akil Mochtar was arrested, the society trust toward Contitutional Court
was only 28 percent (Sahid, 2013). Basically, corruption is the root of all problems in Indonesia, including
poverty (Gie, 2003). This is also the rood cause of Akil Mochtar’s case. Ari Harsono (2008) explained that there
are two basic solutions of throne corruption: (1) every leader and parliament member candidate’s life resume
have to be explored so their integrity and character could be known; (2) every power must be controlled by
logic and honesty test. Mid-term solution would be the reformation of Constitutional Court’s integrity and
independence from any parties who have interest, especially political interest. Short-term solution, generally,
would be application of good governance principles and application of carrot and stick system (Gie, 2003).
Keywords : corruption; public opinion; root cause analysis.
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
2
LATAR BELAKANG
Awal bulan Oktober 2013 ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan
Akil Mochtar, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, oleh KPK.
Akil Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat
Chairunnisa, anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar, menyerahkan uang tunai sebesar 294
dolar Singapura (Qusnulyakin, 2013). Uang tersebut merupakan uang suap terkait Pilkada
Kabupaten Gunungmas Provinsi Kalimantan Tengah dan Pilkada Kabupaten Lebak Provinsi
Banten.
Tertangkapnya Akil Mochtar sebagai tersangka penyuapan, yang termasuk ke dalam salah
satu tindakan korupsi, ini tentu saja membuat masyarakat Indonesia geram karena hakim
ketua Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan penting yang menyangkut kepentingan
masyarakat luas. Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga tinggi
negara yang memegang kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 24c ayat 1, Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk (1) menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945, (2)
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-undang Dasar 1945, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Keputusan yang keluar dari Mahkamah
Konstitusi merupakan keputusan yang final sehingga tidak bisa ditinjau ulang. Menilik
kewenangan dan sifat keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Mahkamah Konstitusi
seharusnya menjadi lembaga peradilan yang benar-benar jujur, adil, obyektif, dan bebas dari
korupsi. Namun ternyata, kewenangan ini disalahgunakan oleh Akil Mochtar, yang
mengundurkan diri dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi setelah tertangkap oleh KPK,
dengan menerima suap dari berbagai pihak yang sedang berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Hal ini tentu sangat menodai kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia,
terutama Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga yang berwenang memutus perselisihan
pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi ini tentu saja memiliki keputusan yang sangat
penting bagi masyarakat Indonesia karena keputusan Mahkamah Konstitusi menentukan
pemimpin masyarakat, baik di tingkat daerah maupun pusat. Terlebih lagi, pemilihan umum
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
3
seharusnya merupakan suatu bentuk demokrasi bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya
sendiri. Namun hal ini justru dinodai oleh Mahkamah Konstitusi yang menyelesaikan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum dengan keputusan yang tidak adil dan ternodai
oleh korupsi.
Masyarakat Indonesia pun bereaksi keras terhadap hal ini. Masyarakat Indonesia banyak
meneriakkan kekecewaannya terhadap Mahkamah Konstitusi melalui media, termasuk
melalui media televisi, dan juga melalui situs jejaring sosial. Beberapa orang hanya merutuk
terjadinya korupsi di lembaga peradilan yang seharusnya bersih. Beberapa orang menuntut
Mahkamah Konstitusi dibubarkan. Namun ada juga beberapa orang yang tidak ingin
Mahkamah Konstitusi dibubarkan dan hanya menuntut Akil Mochtar untuk diadili, seperti
yang terlihat pada halaman Facebook bernama “SAVE MAHKAMAH KONSTITUSI”.
Bahkan beberapa orang membuat pergerakan di situs jejaring sosial untuk menghakimi Akil
Mochtar dengan hukuman mati berupa sebuah halaman Facebook berjudul “SEJUTA
DUKUNGAN HUKUMAN MATI untuk AKIL MOCHTAR” dan “Akil mochtar pantas
dihukum mati”. Bukan hanya itu, berbagai tokoh masyarakat, seperti Mahfud M.D., Jimly
Asshiddiqie, dan Jusuf Kalla, juga menyerukan hukuman yang berat untuk Akil Mochtar
(Ramdhan, 2013).
Selain kasus penyuapan Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi, kasus korupsi juga pernah
terjadi di lembaga negara lainnya, seperti POLRI, DPR, dan juga Kementerian. Kasus korupsi
juga tidak hanya terjadi di lembaga tinggi negara di tingkat pusat melainkan juga telah
merambah ke tingkat daerah. Merajalelanya kasus korupsi yang merugikan dana APBN dan
APBD ini tentu saja sangat membuat rakyat kesal karena dana tersebut seharusnya digunakan
untuk kepentingan rakyat, seperti kesehatan dan pendidikan, dan bukan untuk memperkaya
diri sendiri. Kepercayaan publik terhadap lembaga tinggi negara pun memudar, tak terkecuali
terhadap Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) setelah
tertangkapnya Akil Mochtar, Ade Mulyana, peneliti di LSI, memaparkan bahwa kepercayaan
publik terhadap Mahkamah Konstitusi berada di bawah tiga puluh persen, yaitu hanya 28
persen (Sahid, 2013).
Merebaknya kasus korupsi di Indonesia tentu saja menandakan bahwa ada sesuatu yang salah
dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, selain perlu menganalisis
opini publik masyarakat mengenai kasus korupsi, kita juga perlu menganalisis akar
permasalahan dari kasus Akil Mochtar ini supaya kita dapat menemukan solusi yang tepat
untuk menyelesaikan masalah ini.
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
4
KERANGKA PEMIKIRAN
Opini Publik
Opini publik merupakan suatu pendapat dari masyarakat yang dapat berupa tanggapan
ataupun wacana mengenai suatu hal. Cutlip dan Center dalam Sastropoetro (1990)
menjelaskan bahwa opini adalah suatu ekspresi tentang sikap tentang suatu masalah yang
kontroversial. Cutlip dan Center (Sastropoetro, 1990) juga berpendapat bahwa opini publik
merupakan hasil penyatuan pendapat individu-individu tentang masalah umum.
Bernard Berelson, seperti yang dikutip oleh Sastropoetro (1990) dari tulisan Berelson yang
berjudul “Communication and Public Opinion”, memaparkan bahwa opini publik merupakan
jawaban rakyat, yang dapat berupa persetujuan, penolakan, ataupun sikap tidak peduli,
terhadap isu-isu bersifat politik ataupun sosial yang memerlukan perhatian umum, seperti
hubungan internasional, kebijakan dalam negeri, pemilihan umum, dan hubungan
antarkelompok etnis.
Agenda Setting Theory
Teori penentuan agenda (agenda setting theory) ini diawali dengan gagasan McCombs dan
Shaw yang menganggap bahwa publik, sebagai receiver atau penerima pesan dari media,
akan menganggap suatu hal itu penting dan menjadi perhatian apabila media menempatkan
hal tersebut sebagai suatu hal yang penting pula. Dennis McQuail (2000) mengatakan bahwa
di dalam agenda setting, proses pemberian perhatian relatif terhadap hal atau isu yang
diberitakan akan memengaruhi peringkat kesadaran publik terhadap atribut dan signifikansi
hal atau isu tersebut dan secara lebih lanjut, beberapa dampak dari hal atau isu tersebut akan
muncul.
Framing
Political message framing merupakan suatu proses pembingkaian suatu pesan atau isu politik
yang dipakai untuk mengkonstruksikan, menyampaikan, menginterpretasikan, ataupun
mengevaluasi informasi. Membingkai atau mem-frame suatu pesan berarti memilih beberapa
aspek dari suatu isu yang ingin diterima sebagai realitas serta mengatur agar aspek-aspek
tersebut lebih menonjol ketika dikomunikasikan dalam suatu teks saat ingin menerangkan
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
5
sesuatu. Pada dasarnya, framing ini dilakukan secara sengaja supaya tujuan-tujuan, terutama
tujuan politik, dari orang-orang yang melakukan pembingkaian ini tercapai.
Framing memiliki tiga tingkatan yang disebut three levels of framing. Masing-masing
tingkatan memiliki unsur-unsur inti yang menjadi pelaku frame. Ketiga tingkatan framing
tersebut adalah (1) framing by sources, (2) framing by intermediaries, dan (3) framing by
audiences (Jane, Lenny, Utami, & Anggita, 2013).
Framing by sources merupakan suatu proses pembingkaian suatu hal yang dilakukan oleh
pengirim pesan, seperti praktisi public relations, konsultan politik, serta pihak-pihak yang
terlibat langsung dalam pencapaian tujuan, terutama tujuan politik (Jane, Lenny, Utami, &
Anggita, 2013). Praktisi public relations, konsultan politik, serta pihak-pihak yang terlibat
langsung dalam pencapaian tujuan, terutama tujuan politik, tersebut merupakan pihak yang
disebut sebagai sumber pesan atau sources. Mereka sering pula disebut dengan framing
strategist dan bertugas untuk memilih aspek-aspek suatu isu yang akan ditonjolkan dalam
pengkomunikasian suatu pesan kepada khalayak. Pada umumnya, mereka menggunakan
teknik-teknik retorika dalam pengkomunikasian pesan untuk mendukung pembingkaian dan
sudut pandang yang dipakai dalam pembingkaian suatu isu.
Framing by intermediaries merupakan suatu proses pembingkaian suatu hal yang dilakukan
oleh perantara antara sender dan receiver pesan, seperti media dan pihak ketiga lainnya
(Jane, Lenny, Utami, & Anggita, 2013). Media dan pihak ketiga lainnya, sebagai perantara,
bukanlah sekedar channel bagi sender dalam menyampaikan pesannya. Saat ini, media juga
dapat melakukan framing terhadap isu yang disampaikan sender sesuai dengan kajian dan
ideologi yang dipegang oleh media dan pihak lain tersebut sebelum pesan itu sampai kepada
receiver atau khalayak.
Framing by audiences merupakan suatu proses pembingkaian suatu hal yang dilakukan oleh
penerima pesan (Jane, Lenny, Utami, & Anggita, 2013). Framing ini sering disebut dengan
individual frame setting. Hal ini terjadi karena khalayak, sebagai penerima pesan, memiliki
field of references yang memengaruhi persepsi penerimaan pesan dalam dirinya.
KONSTELASI KONSEP
Konstelasi konsep merupakan suatu keterkaitan konsep-konsep dalam menjelaskan suatu
fenomena. Konsep-konsep ataupun teori-teori tidak dapat berdiri dengan sendirinya dalam
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
6
menjelaskan suatu fenomena yang ada, terutama fenomena sosial, karena pada dasarnya,
fenomena sosial merupakan suatu fenomena yang kompleks sehingga membutuhkan
penjelasan yang tidak sederhana dan tunggal. Oleh karena itu, konstelasi konsep dibuat untuk
menjelaskan teori dan konsep yang berhubungan dengan suatu fenomena beserta keterkaitan
antara konsep dan/atau teori tersebut. Terkait dengan Pancasila, teori dan konsep yang ada
berusaha menunjukkan bahwa terbentuknya opini publik di Indonesia masih kurang sesuai
dengan demokrasi Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia. Hal tersebut terlihat dari
masih besarnya pengaruh media dan pendapat mayoritas dalam pembentukan opini publik.
Idealnya, opini publik bukanlah sekedar pendapat mayoritas, tetapi juga hasil dari
musyawarah semua anggota masyarakat, sesuai yang diamanatkan oleh sila keempat
Pancasila (Harsono, 2010). Selain itu, sebaiknya, opini publik tidak terlalu terpengaruh oleh
media, sebagai perantara informasi, melalui framing dan agenda setting yang dilakukan oleh
media.
Bagan 1. Hubungan antarkonsep diperlihatkan melalui konstelasi konsep
Melalui konstelasi konsep, kita bisa melihat bahwa terdapat keterkaitan antara teori dan/atau
konsep yang digunakan di dalam analisis ini. Tanda panah yang tergambar di dalam
konstelasi konsep tersebut menunjukkan pengaruh suatu konsep terhadap konsep lainnya.
Konstelasi konsep tersebut menjelaskan bahwa suatu informasi yang ada di dalam realita
akan di-frame oleh sumber informasi dan kemudian informasi yang telah ter-frame oleh
sumber tersebut akan diterima oleh media dan memengaruhi proses framing yang dilakukan
oleh media tersebut. Kemudian, hasil framing dari sumber informasi dan dari media akan
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
7
memengaruhi proses agenda setting beserta informasi yang ada di dalamnya sehingga
informasi yang sampai ke publik bukan lagi merupakan informasi yang menyeluruh, utuh,
serta benar-benar obyektif sesuai realita. Setelah melalui proses agenda setting, informasi
pun sampai ke publik dan publik, sebagai penerima, pun melakukan framing terhadap
informasi tersebut sesuai dengan field of reference dan field of experience yang mereka
miliki. Setelah informasi tersebut di-frame oleh publik, informasi tersebut pun menjadi suatu
opini publik dan kemudian, opini publik tersebut pun akan di-frame lagi oleh media atau
dengan kata lain, hasil framing by audience memengaruhi framing by intermediaries. Setelah
itu, hasil framing by intermediaries pun akan kembali memengaruhi proses agenda setting
dan kemudian informasi tersebut dilempar kembali ke publik.
ANALISIS OPINI PUBLIK DAN AGENDA SETTING
Opini publik yang muncul ke permukaan masyarakat mengenai kasus Akil Mochtar ini
bermacam-macam, ada yang masih terkait dengan kasus korupsi dan ada beberapa yang lebih
memperhatikan ditemukannya narkotika di laci meja kerja Akil Mochtar. Pada dasarnya,
public setuju kalau Akil Mochtar bersalah dalam kasus ini. Namun, sebagian masyarakat
berpendapat bahwa letak kesalahan lebih dominan di dalam sistem, termasuk di dalam
lembaga Mahkamah Konstitusi itu sendiri, sehingga lebih cenderung menginginkan
pembubaran Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, sebagian masyarakat lebih melihat bahwa
kasus ini merupakan murni kesalahan Akil Mochtar sehingga menginginkan hukuman yang
berat bagi Akil Mochtar. Bahkan ada usulan hukuman mati untuk Akil Mochtar, Berdasarkan
pengamatan situs jejaring sosial Twitter, kita dapat menemukan bahwa para pengguna
Twitter banyak membicarakan kasus Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi. Pembicaraan
para pengguna Twitter itu pada umumnya ber-tone negatif, seperti penunjukkan rasa marah,
kecewa, tidak suka, tidak percaya, dan juga ada sarkasme serta sindiran bagi Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar, dan juga kepada lembaga-lembaga negara ini pada umumnya.
Selain itu, banyak akun Twitter yang me-retweet berita-berita yang terkait dengan kasus Akil
Mochtar dan ada pula yang sekaligus berkomentar. Pembicaraan mengenai kasus ini terus
bertambah namun frekuensi pertambahannya tidak setinggi saat berita mengenai
tertangkapnya Akil Mochtar ini baru muncul.
Pada situs jejaring sosial Facebook, kita juga bisa menemukan sejumlah halaman Facebook
yang memberikan reaksi terhadap berita tertangkapnya Akil Mochtar, seperti halaman
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
8
Facebook berjudul “SEJUTA DUKUNGAN HUKUMAN MATI untuk AKIL MOCHTAR”.
Halaman Facebook tersebut dibuat pada tanggal 3 Oktober 2013 dan memiliki 3.798
penggemar atau likes. Dalam halaman Facebook tersebut, kita bisa melihat bahwa post yang
bermunculan mayoritas ber-tone negatif dengan beberapa komentar ber-tone netral dari para
pengguna Facebook. Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat bahwa ternyata, tidak semua
opini yang muncul di masyarakat ber-tone negatif. Ada pula masyarakat yang menyuarakan
pendapat yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan thread berjudul “ANALISA
KASUS AKIL (Ketua MK): Jebakan BETMEN atau Realita?” di dalam forum Kaskus (dapat
diakses di http://www.kaskus.co.id/thread/524d989619cb17143e000000/analisa-kasus-akil-
ketua-mk-jebakan-betmen-atau-realita/1) yang cukup memiliki tone positif (dengan
mengusung asa praduga tidak bersalah) terhadap Akil Mochtar. Di dalam thread tersebut,
tidak hanya pemilik thread saja yang menyuarakan opini yang cukup ber-tone positif tetapi
juga orang-orang yang memiliki pendapat yang sama ataupun yang kemudian setuju dengan
pendapat pemilik thread.
Berdasarkan analisis yang bisa diperoleh dengan input keyword atau istilah berupa “Akil
Mochtar”, “korupsi”, dan “Mahkamah Konstitusi” ke dalam Google Trends, kita pun dapat
melihat bahwa traffic di dunia maya mengenai pemberitaan dan akses terhadap artikel yang
terkait dengan istilah “Akil Mochtar”, “korupsi”, dan “Mahkamah Konstitusi” tersebut
meningkat secara tajam pada hari pertama munculnya berita tertangkapnya Akil Mochtar,
yaitu pada tanggal 3 Oktober 2013. Namun, traffic turun pada hari-hari selanjutnya seiring
dengan semakin turunnya pemberitaan di media. Hal ini mengindikasikan bahwa publik
memperhatikan hal yang dianggap penting oleh media.
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
9
Grafik 1. Tren di dunia maya terhadap kata kunci yang terkait dengan kasus korupsi Akil Mochtar
Selain itu, melalui analisis alur informasi yang ada di dalam kasus ini,masyarakat memiliki
perbedaan pendapat yang cukup signifikan mengenai hukuman yang tepat untuk Akil
Mochtar. Perbedaan pendapat dan alur informasi yang terjadi dapat digambarkan melalui pola
berikut ini:
Bagan 2. Pola pembentukan opini publik
Melalui pola tersebut, kita bisa melihat bahwa informasi yang terdapat di dalam realita ada
banyak. Masing-masing isu atau informasi tersebut telah di-frame oleh sumber informasi.
Dari sekian banyak isu yang ada, media (media massa) pun memilah isu yang dianggap
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
10
penting dan berharga untuk disampaikan ke publik melalui proses agenda setting. Setelah itu,
informasi pun di-frame oleh media dan kemudian diberikan kepada publik, Lalu, publik
mengolah informasi tersebut sesuai dengan field of reference dan field of experience mereka
melalui proses framing by audience. Hasil dari ftaming by audience itu pun menjadi opini
publik. Opini publik yang ada di masyarakat pun berbeda-beda, sesuai dengan field of
reference dan field of experience masing-masing. Dari berbagai macam opini yang muncul di
publik, tentu saja ada yang bertentangan satu sama lain. Kemudian, opini publik yang sesuai
dengan ideologi media akan dikemas dan di-frame kembali menjadi suatu informasi baru oleh
media. Informasi baru tersebut pun dilempar kembali ke publik. Opini yang tidak tersaring
lagi oleh media tersebut pun akan disalurkan oleh publik melalui internet, termasuk melalui
sosial media. Apabila opini yang disuarakan publik melalui internet ataupun sosial media ini
menarik perhatian, cukup massif, dan dianggap cukup berharga oleh media, media (media
massa) pun bias jadi mengambil opini tersebut untuk dikemas dan di-frame kembali dan
kemudian diberikan ke publik. Suara publik yang massif tersebut pun bisa langsung
disampaikan ke publik lainnya dan membentuk opini publik lagi di masyarakat.
Analisis ini diambil dari adanya kejadian bocornya suara kru produksi suatu stasiun televise
swasta (TV One) dalam pemberitaan mengenai Akil Mochtar. TV One merupakan sebuah
televise swasta di Indonesia yang dimiliki oleh keluarga besar Bakrie (Perwitasari &
Hasniawati, 2011). Sedangkan kita sendiri mengetahui bahwa Abu Rizal Bakrie merupakan
Ketua Umum Partai Golkar. Tentu saja, Abu Rizal Bakrie (dan keluarganya) bisa
memanipulasi kebijakan, termasuk pemberitaan, melalui TV One supaya menguntungkan
dirinya, termasuk kepentingan politiknya. Hal ini pun terlihat dari cara TV One melakukan
framing terhadap pemberitaan mengenai kasus Akil Mochtar. Pada pemberitaan yang
ditayangkan TV One mengenai kasus tersebut, terdapat suara ‘bocor’ yang mengatakan
bahwa Partai Golkar tidak boleh disebut di dalam pemberitaan. Pemberitaan tersebut dapat
dilihat kembali di video, di-upload oleh Khayat Zen di situs Youtube, berjudul tvOne :
“Jangan sebut Golkar” pada liputan Korupsi Dinasti Golkar (Zen, 2013). Padahal, fakta
menunjukkan bahwa Akil Mochtar dan Chairunnisa merupakan kader Partai Golkar. Selain
itu, pada perkembangannya, ternyata Akil Mochtar memang memiliki keterlibatan dengan
Partai Golkar dalam memberikan keputusan sidang di Mahkamah Konstitusi, seperti yang
terlihat dari isi BBM Akil Mochtar dengan Ketua DPD Golkar mengenai Pilkada Jatim
(Triono, 2014).
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
11
ANALISIS AKAR MASALAH
Pada dasarnya, korupsi merupakan akar dari segala permasalahan di bangsa Indonesia,
termasuk masalah kemiskinan (Gie, 2003). Seperti yang dijelaskan oleh Kwik Kian Gie
(2003) dalam buku kecilnya yang berjudul Pemberantasan Korupsi untuk Meraih
Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadlian, KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme) tidak terbatas dalam hal penyelewengan dana atau pencurian uang, tetapi juga
merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai, dan cara berpikir. Korupsi berasal dari bahasa
Latin “corruptio” yang berarti hal yang merusak, hal yang membuat busuk, pembusukan,
kemerosotan (Harsono, Metode Analisis Akar Masalah dan Solusi, 2008). Prent, seperti yang
dikutip oleh Ari Harsono (2008), mengemukakan bahwa corruptor atau koruptor, berarti
perusak, pembusuk, pemerdaya, dan corruptrix:wanita pemerdaya. Oleh karena itu, korupsi,
yang tidak bisa terlepas dari usaha kolusi dan nepotisme, memiliki daya rusak yang sangat
besar yang dampaknya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Akil Mochtar, yang pada saat itu menjabat
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, merupakan salah satu contoh tindak pidana yang
dampaknya dapat langsung terlihat. Akil Mochtar, sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi,
dapat memengaruhi proses dan hasil sidang sengketa pemilihan umum, baik di tingkat daerah
maupun tingkat pusat. Padahal, pemilihan umum merupakan suatu proses untuk memilih
kepala pemerintahan yang tentu saja nantinya akan memengaruhi kebijakan-kebijakan
daerah.
Mengetahui besarnya dampak langsung dari tindak KKN yang dilakukan oleh Akil Mochtar
di Mahkamah Konstitusi, kita perlu menganalisis akar masalah yang menjadi penyebab
terjadinya kasus Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi tersebut. Analisis akar masalah ini
menggunakan metode yang dikemukakan oleh Ari Harsono (2008). Metode analisis akar
masalah dan solusi tersebut mengkategorikan masalah secara hirarkhis sehingga dapat
mempermudah dalam pembuatan solusi strategis dan berjangka. Akar masalah merupakan
penyebab yang bisa disepakati dan dapat dicari solusi yang bersifat individual maupun
sistemis. Dengan menganalisis akar masalah dari terjadinya kasus Akil Mochtar di
Mahkamah Konstitusi, kita dapat mengetahui solusi yang tepat, baik untuk jangka pendek
ataupun jangka panjang, dalam menjawab permasalahan tersebut, baik berupa solusi yang
bersifat individual maupun sistemis, sehingga kita pun dapat menghindari hal serupa terjadi
kembali.
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
12
Sebab a1 Sebab b1 Sebab c1
Kepentingan politik Akil Mochtar
yang masih terbawa saat menjabat
di Mahkamah Konstitusi
Perpanjangan masa jabatan Akil
Mochtar yang tidak melalui proses
seleksi ulang
Track record Akil Mochtar yang
kurang diketahui oleh khalayak
Sebab a2 Sebab b2 Sebab c2
Ada kecenderungan Akil Mochtar
untuk memprioritaskan
kepentingan partai politik yang
menjadi penopang karirnya
Pemilihan hakim konstitusi tidak
dilaksanakan dengan prinsip good
governance
Proses administrasi peradilan, serta
yang bertanggung jawab dalam
menanganinya, tidak transparan
Sebab a3 Sebab b3 Sebab c3
Ada desakan “balas budi” kepada
partai politik ataupun tawaran dari
partai politik mengenai karir
selanjutnya Akil Mochtar
Ada unsur politik (berupa adanya
tiga hakim konstitusi berlatar
belakang politik dan berupa
pengangkatan hakim konstitusi
melalui DPR dan Presiden) di
Mahkamah Konstitusi yang
kemudian memengaruhi keputusan
sidang Mahkamah Konstitusi
Adanya celah dalam peraturan
mengenai tata cara proses peradilan
(termasuk proses pengajuan
perkara sampai proses sebelum
sidang) yang dibuat oleh
Mahkamah Konstitusi
Sebab a4 Sebab b4 Sebab c4
Kepentingan partai politik untuk
memengaruhi hasil sidang
Mahkamah Konstitusi dan untuk
mendapatkan manfaat dari hasil
sidang tersebut, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang
Kepentingan partai politik dalam
memengaruhi hasil keputusan
Mahkamah Konstitusi sehingga
partai politik (melalui DPR
ataupun Presiden) mengangkat
hakim konstitusi yang dapat (atau
setidaknya memiliki potensial
untuk) membantu partai politik dan
sehingga partai politik dapat
melegalkan hal tersebut melalui
hasil keputusan Mahkamah
Konstitusi yang bersifat final
Peraturan mengenai tata cara
sidang yang tidak didesain
berdasarkan prinsip good
governance
Sebab a5 Sebab b5 Sebab c5
Korupsi takhta, baik dari pihak
partai politik maupun Akil Mochtar
secara individual.
Korupsi takhta yang dilakukan oleh
partai politik (melalui DPR
ataupun Presiden sebagai penunjuk
hakim konstitusi)
Korupsi takhta yang dilakukan oleh
kalangan pembuat peraturan
Tabel 1. Analisis akar masalah terjadinya kasus Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi
Melalui tabel 1, kita dapat melihat sebab a1 yang menyebutkan bahwa ada kepentingan Akil
Mochtar yang dibawa saat memegang jabatan di Mahkamah Konstitusi. Kepentingan tersebut
dapat diindikasi dari hasil tangkap tangan KPK beserta latar belakang karir Akil Mochtar.
Akil Mochtar merupakan kader dari Partai Golongan Karya. Akil Mochtar mengawali karir
politiknya sebagai anggota DPR RI dari Partai Golongan Karya selama dua periode
(Permana, 2013). Di sisi lain, hal ini juga diindikasikan oleh hasil tangkap tangan KPK. Akil
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
13
Mochtar tertangkap tangan sedang menerima uang suap yang diberikan oleh Chairunnisa,
kader dari Partai Golongan Karya. Saat itu, Chairunnisa menjadi perantara rekannya yang
sedang bersengketa di Mahkamah Konstitusi dalam memberikan uang suap kepada Akil
Mochtar. Oleh karena itu, wajarlah apabila kita menyebut bahwa ada kepentingan politik Akil
Mochtar yang masih terbawa saat menjabat di Mahkamah Konstitusi. Sebab a1 ini muncul
karena ada sebab a2, yaitu ada kecenderungan Akil Mochtar untuk memprioritaskan
kepentingan partai politik yang menjadi penopang karirnya. Kecenderungan Akil Mochtar ini
terindikasi dari hal yang sama, yaitu penyuapan yang diperantarai oleh seorang kader dari
partai politik yang sama dengan Akil Mochtar. Kecenderungan ini diyakini benar-benar ada
karena Akil Mochtar memilih untuk menerima tawaran dari kader partai politik yang sama
dengannya, walaupun sebenarnya Akil Mochtar tidak mengenalnya dengan baik dan
walaupun Akil Mochtar bisa saja menolak tawaran itu apabila tidak diperantarai oleh kader
dari partai politik tersebut. Adanya kecenderungan ini disebabkan oleh sebab a3, yaitu adanya
desakan “balas budi” kepada partai politik ataupun tawaran dari partai politik mengenai karir
selanjutnya Akil Mochtar. Desakan “balas budi” kepada partai politik yang mendukungnya
seakan sudah menjadi suatu rahasia umum di masyarakat Indonesia. Partai politik banyak
meminta “balasan” kepada kadernya, baik berupa uang ataupun hal lainnya, sehingga sulit
bagi kita untuk menilai bahwa kader partai politik memang benar-benar merepresentasi
kepentingan masyarakat. Kader tersebut justru lebih dianggap membela kepentingan partai
politik mereka. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa sebagian gaji kader
partai politik di DPR “disumbangkan” kepada partai politiknya. Hal ini sangat besar
kemungkinan terjadi kepada Akil Mochtar dan juga Chairunnisa. Di sisi lain, partai politik
juga bisa saja mengiming-imingi Akil Mochtar dengan karir yang lebih tinggi, baik di dalam
institusi partai politiknya maupun di luar partai politiknya, seperti misalnya pencalonan
sebagai ketua umum partai atau sebagai calon presiden maupun wakil presiden dari partai
tersebut. Hal ini juga sangat besar kemungkinan terjadi mengingat dua mantan Ketua MK,
yaitu Jimly Asshiddiqie dan Mahfud M. D., yang ditawari untuk menjadi calon presiden atau
calon wakil presiden dari partai politik tertentu (Masha, 2013). Desakan ataupun tawaran
tersebut ada karena sebab a4, yaitu kepentingan partai politik untuk memengaruhi hasil
sidang Mahkamah Konstitusi dan untuk mendapatkan manfaat dari hasil sidang tersebut, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kepentingan partai politik ini tercermin dari
hasil tangkap tangan KPK yang memperlihatkan bahwa partai politik, yang diwakili oleh
Chairunnisa, ingin memengaruhi hasil sidang sengketa pemilu kepala daerah Kabupaten
Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Manfaat yang bisa diambil oleh partai politik jika calon
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
14
bupati yang didukung partai tersebut menang adalah “kewenangan tak terlihat” dalam
memengaruhi kebijakan politik kepala daerah tersebut sehingga hasil kebijakan pun akan
menguntungkan partai politik. Hal ini disebabkan oleh adanya sebab a5, yaitu korupsi takhta,
baik yang dilakukan oleh partai politik maupun Akil Mochtar.
Di kolom b, kita melihat bahwa perpanjangan masa jabatan Akil Mochtar yang tidak melalui
proses seleksi ulang menjadi salah satu penyebab di permukaan permasalahan ini. Akil
Mochtar terpilih sebagai hakim konstitusi yang berasal dari partai politik pada periode 2008
sampai 2013. Selanjutnya, Akil Mochtar dan Maria Farida Indrati, yang sebelumnya juga
menjadi hakim konstitusi, diangkat kembali menjadi hakim konstitusi untuk periode 2013
sampai 2018 tanpa melalui fit and proper test ulang dan uji rekam jejak hasil keputusan
sidang pada periode sebelumnya. Refly Harun, seorang pakar hukum tata negara, menyatakan
bahwa DPR memperpanjang masa jabatan keduanya hanya atas dasar kebersediaan keduanya
untuk melanjutkan tugas sebagai hakim konstitusi (Chairunnisa, 2013). Sebab b1 ini iterjadi
karena sebab b2, yaitu pemilihan hakim konstitusi tidak dilaksanakan dengan prinsip good
governance. Dasar dan proses pertimbangan pengangkatan Akil Mochtar dan Maria Farida
Indrati ini tidak jelas sehingga bisa dikatakan bahwa pemilihan hakim konstitusi, terutama
yang melalui DPR, tidak dilaksanakan dengan prinsip good governance. Menurut United
Nations of Development Planning (UNDP), prinsip good governance terdiri dari partisipasi,
taat hukum, transparansi, responsif, berorientasi kepada kesepakatan, kesetaraan, efektif dan
efisien, akuntabilitas, visi strategis (Departemen Agama RI Sekretariat Jenderal Biro
Organisasi dan Tata Laksana, 2007). Prinsip tersebut merupakan prinsip esensial dan wajib
dilaksanakan dalam pelaksanaan roda pemerintahan dan hukum di berbagai institusi,
termasuk Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, keputusan DPR
untuk memperpanjang masa jabatan Akil Mochtar dan Maria Farida Indrati tersebut
melanggar prinsip good governance, terutama prinsip akuntabilitas dan kesetaraan (karena
perpanjangan tanpa fit and proper test ulang tersebut berarti menutup kemungkinan bagi
orang lain untuk menjadi hakim konstitusi). Sebab b2 tersebut terjadi karena ada sebab b3,
yaitu adanya unsur politik di Mahkamah Konstitusi yang kemudian memengaruhi keputusan
sidang Mahkamah Konstitusi. Adanya unsur politik di Mahkamah Konstitusi ini terindikasi
dari kepentingan partai politik (melalui DPR ataupun Presiden) dalam memilih dan
mengangkat hakim konstitusi. Selain itu, adanya jatah tiga orang hakim konstitusi yang
berlatar belakang politik juga turut mengindikasi adanya unsur politik di Mahkamah
Konstitusi yang menyebabkan diragukannya independensi Mahkamah Konstitusi sebagai
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
15
lembaga peradilan. Sebab b3 ini pun terjadi karena adanya sebab b4, yaitu kepentingan partai
politik dalam memengaruhi hasil keputusan Mahkamah Konstitusi sehingga partai politik
(melalui DPR ataupun Presiden) mengangkat hakim konstitusi yang dapat (atau setidaknya
memiliki potensial untuk) membantu partai politik dan sehingga partai politik dapat
melegalkan hal tersebut melalui hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final.
Hal ini dapat diindikasi melalui alasan DPR memilih kembali kedua hakim konstitusi tersebut
tanpa melalui fit and proper test ulang. Sebab b4 ini terjadi karena sebab b5, yaitu korupsi
takhta yang dilakukan oleh partai politik (melalui DPR ataupun Presiden sebagai penunjuk
hakim konstitusi).
Menilik kolom c, penyebab di permukaan permasalah terjadinya kasus Akil Mochtar di
Mahkamah Konstitusi (sebab c1) adalah track record Akil Mochtar yang kurang diketahui
oleh khalayak. Khalayak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah masyarakat umum dan para
anggota DPR yang memilih Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi. Padahal pada tahun
2010, Akil Mochtar, yang pada saat itu menjadi hakim konstitusi di bawah pimpinan Mahfud
M. D., pernah terkena tuduhan kasus suap sebesar satu milyar rupiah dalam penanganan
sengketa pemilu kepala daerah Kabupaten Simalungun (Gunadha, 2013). Seharusnya, isu
seperti ini, terlepas dari terbukti atau tidaknya, menjadi sinyal merah bagi para anggota DPR
dalam memilih kembali Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi. Walaupun menganut prinsip
praduga tidak bersalah, Akil Mochtar, sebaiknya, dibebastugaskan terlebih dahulu selama
beberapa periode sebelum dipilih kembali menjadi hakim konstitusi. Sebab c1 ini terjadi
karena sebab c2, yaitu proses administrasi peradilan, serta yang bertanggung jawab dalam
menanganinya, tidak transparan sehingga kejanggalan-kejanggalan dalam setiap tahap
prosesnya tidak bisa dideteksi. Selama ini, Mahkamah Konstitusi berupaya menerapkan
prinsip good governance, terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas, melalui
pengunggahan jadwal sidang, risalah sidang, resume sidang, dan riwayat perkara PUU di
dalam situsnya. Namun, hal ini masih kurang karena yang diunggah hanyalah berupa berkas.
Sebaiknya, yang diunggah tidak hanya berupa berkas, tetapi juga berupa video proses sidang
(yang dapat diunduh dan dilihat setiap saat, tidak hanya berupa live streaming) supaya
masyarakat yang tidak dapat menghadiri sidang dapat turut menyaksikan proses tersebut dan
mengoreksi apabila ada kejanggalan. Selain itu, berkas permohonan sidang juga perlu
diunggap ke situs supaya dapat diakses. Sebab c2 tersebut tentu saja ada karena sebab c3,
yaitu Adanya celah dalam peraturan mengenai tata cara proses peradilan (termasuk proses
pengajuan perkara sampai proses sebelum sidang) yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi.
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
16
Pembuat kebijakan tata cara sidang di Mahkamah Konstitusi tersebut rupanya masih
menyisakan celah yang membuat hakim konstitusi bisa melakukan tindakan curang dalam
proses peradilan. Hal ini dapat dibuktikan dengan terungkapnya kasus Akil Mochtar pada
bulan Oktober tahun 2013. Sebab c3 tersebut ada karena sebab c4, yaitu peraturan mengenai
tata cara peradilan yang tidak didesain berdasarkan prinsip good governance. Walaupun
sidang Mahkamah Konstitusi bersifat terbuka dan dapat dihadiri oleh masyarakat umum,
proses sebelum persidangan masih kurang terbuka karena masyarakat umum tidak
mengetahui pertimbangan-pertimbangan dan proses lolosnya suatu permohonan perkara
untuk disidangkan serta tahap-tahap lain setelahnya. Sebab c4 tersebut terjadi karena adanya
sebab c5, yaitu korupsi takhta yang dilakukan oleh kalangan pembuat peraturan. Korupsi
takhta tersebut dilakukan, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, dengan membuat
peraturan bercelah yang memungkinkan terjadinya penyelewengan kewenangan.
Ketiga sebab tersebut berakhir pada sebab yang sama, yaitu korupsi takhta. Korupsi takhta
merupakan hal yang membuat keutuhan takhta (yang sudah atau akan dimiliki) menjadi
merosot, membusuk, rusak kualitasnya, atau rusak pengaruhnya (Harsono, Metode Analisis
Akar Masalah dan Solusi, 2008). Korupsi takhta bisa berupa penyelewengan kekuasaan. Hal
inilah yang ternyata menjadi akar masalah kasus Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi. Hal
ini senada dengan pernyataan Kwik Kian Gie bahwa KKN merupakan akar segala
permasalahan bangsa (2003).
Namun apabila ditilik lebih lanjut, korupsi, baik berupa korupsi harta, takhta, ataupun bentuk
lain, memiliki akar atau penyebab laten. Korupsi, baik di lembaga tingkat pusat maupun
daerah, pada dasarnya terjadi karena (1) lemahnya sistem sehingga menimbulkan celah untuk
korupsi dan (2) lemahnya individu.
Lemahnya sistem merupakan salah satu penyebab laten korupsi di Indonesia. Pengawasan
internal dan eksternal organisasi, bila dilaksanakan, seharusnya bisa mencegah terjadinya
tindak korupsi. Sayangnya, pengawasan internal dan eksternal organisasi ini tidak terlaksana
dengan baik. Lingkungan, baik internal maupun eksternal, ternyata lebih banyak memilih
untuk diam, tidak peduli, atau bahkan ikut berkonsensus dalam tindak korupsi. Sikap diam
dan tidak peduli ini pada dasarnya sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu
sikap ‘nrimo’, atau yang berarti pasrah terhadap keadaan, dan juga kecenderungan untuk
memperkecil konflik. Selain itu, pengawasan dan penegakkan hukum di Indonesia pun masih
belum terlalu baik apabila dibandingkan dengan negara tetangga. Seperti yang dikatakan oleh
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
17
Kwik Kian Gie (2003), jika penegakkan hukum di Indonesia belum baik dan tegas, tentu saja
orang-orang akan tetap melakukan korupsi karena merasa aman dan tidak akan tertangkap.
Selain itu, penyebab lain maraknya korupsi di Indonesia adalah lemahnya individu, terutama
moral dan kejujuran. Sayangnya, rusaknya moral dan kejujuran ini tidak hanya terjadi di
individu-individu yang memiliki jabatan dan kewenangan tetapi hampir terjadi di seluruh
rakyat Indonesia. Tindak korupsi ini sebenarnya telah hadir dalam karakter bangsa Indonesia,
seperti korupsi waktu. Selain itu, rusaknya moral pun dapat terlihat dari hal-hal kecil seperti,
membuang sampah sembarangan dan tidak memberikan uang kembalian yang pas kepada
pembeli (hal ini banyak kita temui di toko serba ada dan minimarket) serta praktik pungutan
liar oleh preman dan petugas setempat. Rusaknya moral individu tentu disebabkan oleh
kebiasaan dalam melakukan kecurangan semasa hidupnya, dari kecil hingga tua. Kebiasaan
ini ada karena, pada dasarnya, ada beberapa orang di dalam masyarakat yang menjadi contoh
atau panutan sehingga memicu terjadinya kecurangan, seperti mencontek saat ujian. Tentu
saja, hal ini berakar kepada kurang mendarah dagingnya nilai kejujuran dan disiplin dalam
diri masing-masing individu.
Dari kedua hal tersebut, penyebab laten terjadinya korupsi adalah kurangnya pengetahuan
yang memadai (utuh, mewujud, menyeluruh) tentang hal yang benar (Harsono, 2008). Ari
Harsono (2014) berpendapat bahwa penyebab laten dan korupsi itu sendiri berjalan
beriringan dan sulit dilepaskan.
SOLUSI
Dalam menangani kasus Akil Mochtar, tentu satu solusi saja tidak cukup karena dibutuhkan
solusi-solusi yang dapat menyelesaikan semua penyebab yang muncul. Dalam hal ini, kita
dapat membagi solusi menjadi tiga tahap: solusi jangka panjang, solusi jangka menengah, dan
solusi jangka pendek. Solusi jangka panjang ini perlu menyelesaikan akar permasalahan,
yakni korupsi takhta. Ari Harsono (2008) mengungkapkan bahwa solusi dasar untuk korupsi
takhta ada dua, yaitu (1) setiap calon pemimpin dan calon wakil rakyat harus ditelusuri
riwayat hidupnya supaya kadar integritas kepribadiannya dapat diketahui, serta (2) setiap
kekuasaan harus dikendalikan dengan uji logika dan uji kejujuran. Solusi jangka menengah
perlu menyelesaikan sebab-sebab yang ada di tingkat 2 sampai 4. Secara umum, hal tersebut
dapat diatasi dengan pembenahan integritas dan kemandirian Mahkamah Konstitusi dari
pihak-pihak yang memiliki kepentingan, terutama kepentingan politik, sehingga Mahkamah
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
18
Konstitusi benar-benar bisa bersih dari unsur politik supaya dapat memproses dan
memutuskan perkara secara adil. Solusi jangka pendek merupakan solusi darurat yang perlu
dilakukan untuk menangani penyebab pertama yang ada di permukaan suatu masalah. Dari
ketiga sebab pertama (a1, b1, dan c1), secara umum, penerapan prinsip good governance dan
penerapan sistem carrot and stick (Gie, 2003) dapat menjadi solusi jangka pendek dari kasus
Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi.
Dalam menangani kasus-kasus korupsi secara umum, perlu ada solusi jangka pendek dan
jangka panjang, baik solusi secara individual maupun sistemik. Solusi-solusi tersebut perlu
diaplikasikan secara terintegrasi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Solusi jangka pendek
untuk masalah korupsi ini perlu mengatasi penyebab-penyebab langsung korupsi (lemahnya
sistem, dan lemahnya individu). Penyebab-penyebab tersebut bisa diatasi dengan penegasan
dan pembenahan hukum serta penegakkannya di Indonesia, termasuk dalam menyeleksi
calon-calon pemegang kewenangan dari tingkat terendah sampai tertinggi. Selain itu,
pemberlakuan carrot and stick serta efisiensi organisasi (Gie, 2003) bisa menjadi bagian
terintegrasi dari solusi jangka pendek. Solusi jangka panjang untuk korupsi sendiri perlu
menyelesaikan penyebab laten yang ada, yaitu kurangnya pengetahuan yang memadai (utuh,
mewujud, menyeluruh) tentang hal yang benar. Hal ini bisa dilakukan secara individual
maupun sistemik. Secara individual, pengetahuan tersebut, termasuk kejujuran dan disiplin
diri, bisa ditanamkan dan dibiasakan sejak kecil, tentu saja dimulai dari agen sosialisasi
pertama, yaitu keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seseorang dalam
berinteraksi. Masa-masa emas perkembangan anak juga dilalui di lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan wadah pendidikan pertama bagi seseorang dan sekaligus menjadi dasar
pembentukan karakter, watak, dan pribadi seseorang. Melalui keluarga, anak-anak belajar
banyak hal, termasuk nilai-nilai kejujuran dan disiplin diri. Oleh karena itu, pengetahuan
mengenai hal yang benar dapat ditanamkan ke dalam pribadi seseorang. Penanaman nilai ini
dapat dilakukan dengan pembiasaan diri anak-anak. Selain itu, orang tua juga perlu
memberikan teladan dalam berperilaku jujur, disiplin, serta melakukan hal benar lainnya,
sehingga anak pun akan meniru dan menanamkan nilai tersebut. Sedangkan secara sistemik,
kurikulum pendidikan formal perlu menjunjung tinggi pendidikan nilai moral dan juga
pengetahuan mengenai hal-hal yang benar (termasuk peraturan birokrasi yang bersih dan
prinsip good governance). Nilai moral dan pengetahuan yang memadai (utuh, mewujud,
menyeluruh) mengenai hal yang baik dan benar perlu ditanamkan kepada siswa-siswi melalui
berbagai aspek, termasuk melalui sistem penilaian.
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
19
Selain penanaman pendidikan dan nilai, sisi kepemimpinan dari institusi dan para pengambil
kebijakan di negara ini juga perlu ditinjau kembali. Ari Harsono (2014) mengatakan bahwa
prinsip kepemimpinan dan demokrasi bangsa Indonesia perlu disesuaikan kembali dengan
prinsip demokrasi Pancasila karena pada dasarnya, demokrasi bangsa kita telah disesuaikan
dengan nilai bangsa kita sehingga kita tidak bisa serta merta mengadopsi prinsip dari sistem
demokrasi bangsa lain. Prinsip demokrasi dan kepemimpinan kita telah tercantum dalam
Pancasila sila keempat yang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan.” Dalam Pancasila tersebut, Ari Harsono (2010)
mengatakan bahwa penerapan sila keempat dasar negara kita ini (apabila diterapkan sesuai
dengan nilai yang sebenarnya) dapat menyelesaikan masalah yang banyak melanda institusi-
institusi di Indonesia. Sila keempat Pancasila mengamanatkan bahwa prinsip kepemimpinan
didasarkan kepada prinsip kemusyawaratan sehingga fungsi pemimpin bukanlah sebagai
pengambil akhir keputusan tetapi hanya sebagai fasilitator (Harsono, 2010). Dengan
menerapkan kembali prinsip Pancasila ke dalam sistem demokrasi dan kepemimpinan bangsa
Indonesia, permasalahan-permasalahan (yang sering kali disebabkan oleh faktor proses dan
wewenang pengambilan keputusan) di Indonesia pun bisa diminimalisasi dan dihindari,
bahkan dihilangkan.
DAFTAR REFERENSI
Chairunnisa, N. (2013, Oktober 3). Ini Konflik Akil Mochtar dan Refly Harun. Dipetik 8
Januari 2014, dari Tempo.co: m.tempo.co/read/news/2013/10/03/078518666/Ini-
Konflik-Akil-Mochtar-dan-Refly-Harun
Departemen Agama RI Sekretariat Jenderal Biro Organisasi dan Tata Laksana. (2007).
Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: Departemen Agama RI.
Gie, K. K. (2003). Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan, dan Keadilan. Jakarta.
Gunadha, R. (2013, Oktober 3). Refly Harun : Akhirnya Dugaan Saya Dulu Mengenai Akil
Mochtar Terbukti. Dipetik 8 Januari 2014, dari TribunNews.com:
m.tribunnews.com/nasional/2013/10/03/refly-harun-akhirnya-dugaan-saya-dulu-
mengenai-akil-mochtar-terbukti
Harsono, Ari. (2008). Metode Analisis Akar Masalah dan Solusi. Makara, 72-81.
Harsono, Ari. (2010). Opinion Leadership Paradigm: An Alternative to Problem Solution.
Indonesian Social Science Review Vol.1 No.2 - 2010, 93-105.
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014
20
Harsono, Ari. (2014, Januari 15). Dialog Luar Kelas Tentang Analisa Akar Masalah. (D. C.
Permatasari, Pewawancara)
Jane, Jessica, dkk. (2013). Diskusi dalam Kelas: Framing and Political PR Digital Tools.
Depok
Masha, N. (2013, Oktober 4). Akil Mochtar, Sebuah Potret Kegagalan. Dipetik 8 Januari
2014, dari Republika Online:
m.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/10/04/mu4bge-akil-mochtar-sebuah-
potret-kegagalan
McQuail, D. (2000). Mass Communication Theory, 4th edition. Thousand Oakes: Sage.
Permana, D. (2013, Oktober 4). Akil Mochtar, dari Tukang Semir, Ketua MK, Hingga
Tahanan KPK. Dipetik 8 Januari 2014, dari TribunNews.com:
m.tribunnews.com/nasional/2013/10/04/akil-mochtar-dari-tukang-semir-ketua-mk-
hingga-tahanan-kpk
Perwitasari, S., & Hasniawati, A. P. (2011, 2 17). Pemilik TV One Segera Melantai di Bursa.
Dipetik 1 Februari 2014, dari Kompas.com:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/17/14224881/Pemilik.TV.One.Seger
a.Melantai.di.Bursa
Qusnulyakin, F. (2013, Oktober 3). Ini Kronologi Tangkap Tangan Akil Mochtar. Dipetik 20
Oktober 2013, dari Inilah.com: http://nasional.inilah.com/read/detail/2035202/ini-
kronologi-tangkap-tangan-akil-mochtar#.UmOQdHDwbqR
Ramdhan. (2013, Oktober 4). JK: Jika Terbukti, Hukum Akil Seberat-beratnya. Dipetik
Oktober 21, 2013, dari satunegeri.com: http://satunegeri.com/jk-jika-terbukti-hukum-
akil-seberat-beratnya.html
Sahid, R. (2013, Oktober). Kepercayaan Publik ke MK Tinggal 28%. Dipetik 21 Oktober
2013, dari Koran Sindo: http://www.koran-sindo.com/node/335350
Sastropoetro, S. (1990). Pendapat Publik, Pendapat Umum, Pendapat Khalayak Dalam
Komunikasi Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Triono, S. (2014, 1 23). Isi BBM Akil Mochtar ke Ketua DPD Golkar Terkait Pilkada Jatim.
Dipetik 1 Februari 2014, dari Liputan6.com News:
http://news.liputan6.com/read/807413/isi-bbm-akil-mochtar-ke-ketua-dpd-golkar-
terkait-pilkada-jatim
Zen, K. (2013, 10 12). tvOne : "Jangan sebut Golkar" pada liputan Korupsi Dinasti Golkar.
Dipetik 1 Februari 2014, dari Youtube:
http://www.youtube.com/watch?v=ygPJboUvM3I
Analisis opini ..., Dea Cipta Permatasari, FISIP UI, 2014