pendidikan moral anak pada keluarga broken...
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN MORAL ANAK PADA KELUARGA BROKEN HOME
(Studi Kasus di Desa Pucangrejo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal
Tahun 2017)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendididikan
Oleh
KHOIROTUZ ZAINIYAH
NIM 11113005
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
احسنهم ايمانا المؤمنين كملا: موسل عليه اهلل ىصل اهلل رسو قال: ل قا هريرة ابى عن
( داوود ابى) خلقاه
“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah
yang paling mulia akhlaknya”. (HR. Abu Daud)
vii
PERSEMBAHAN
Atas rahmat dan ridho Allah Swt, skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Waris Anwar dan Ibu Muzaroah, karena
dengan bimbingan, kasih sayang, dan doa keduanya aku melangkah ke depan
dengan optimis untuk meraih cita-cita.
2. Kakak saya Nurul Latifah yang selalu membimbing, memberikan dorongan
dan inspirasi dalam hal kuliah dan selalu ada saat aku butuhkan.
3. Keluarga besarku yang selalu mendoakan keberhasilanku.
4. Kepada seluruh sahabat-sahabatku yang selalu memberikan semangat untuk
segera menyelesaikan skripsi ini.
5. Teman sejawat seperjuangan angkatan 2013 terlebih khusus kelas PAI. A,
teman-teman PPL, KKN, dan teman lainnya di IAIN SALATIGA yang telah
memberikan motivasi, inspirasi dan semangat belajar
6. Kepada teman-temanku di kos dan di rumah yang selalu memberikan
semangat kepadaku.
7. Almamaterku tercinta IAIN Salatiga.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasiih lagi Maha Penyanyang.
Segala puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah-Nya. Sholawat serta salam penulis sanjungkan kepada
junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan
kebenaran dan keadilan, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul:
“PENDIDIKAN MORAL ANAK PADA KELUARGA BROKEN HOME
(Studi Kasus di Desa Pucangrejo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal)” dapat
terlesaikan.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan
dukungan moril maupun meteriil. Dengan penuh kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga.
4. Bapak Rasimin, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan
bimbingan, motivasi dan arahan sehingga skripsi ini dapat terselaikan dengan
baik.
5. Para dosen pengajar di lingkungan IAIN Salatiga, yang telah membekali
pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Keluarga, saudara, sahabat semua yang telah memberikan dukungan dalam
penyelesaikan skripsi ini
ix
7. Berbagai pihak secara langsung dan tidak langsung yang telah membantu baik
moral maupun materil dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.
Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah SWT serta
mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Penulis menyadari dan mengakui bahwa
dalam penulisan ini jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan keterbatasan,
kemampuan dan pengetahuan penulis. Sehingga masih banyak kekurangan yang perlu
untuk diperbaiki dalam skripsi ini.
Dengan kerendahan hati penulis mohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya maupun pembaca pada umumnya dan
memberikan sumbangan bagi pengetahuan dalam dunia pendidikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga, 28 Juli 2017
x
ABSTRAK
Khoirotuz Zainiyah. 2017. Pendidikan Moral Anak Pada Keluarga Broken Home
(Studi Kasus di Desa Pucangrejo Kecamatn Gemuh Kabupaten Kendal)
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing:
Rasimin, M.Pd.
Kata Kunci : Pendidikan Moral Anak, Keluarga Broken Home
Penelitian ini membahas tentang Pendidikan Moral Anak Pada Keluarga
Broken Home (Studi Kasus di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten
Kendal). Fokus penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana pola
pendidikan moral anak pada keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan
Gemuh, Kabupaten Kendal, 2) Adakah faktor penghambat dan pendukung dalam
pendidikan moral anak pada keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan
Gemuh, Kabupaten Kendal, 3) Bagaimana solusi yang ditemukan dalam pendidikan
moral anak pada keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh,
Kabupaten Kendal? Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian
ini adalah untuk mengetahui pola pendidikan moral anak pada keluarga broken home
di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal, mengetahui faktor
penghambat dan pendukung dalam pendidikan moral anak pada keluarga broken
home dan solusi yang ditemukan dalam pendidikan moral anak pada keluarga broken
home.
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (Field Research) dan
bersifat deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber data
primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada.
Kemudian mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap
akhir dari analisis data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pendidikan moral anak pada
keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal
dengan menggunakan: metode teladan, Hiwar (percakapan), pembiasaan diri dan
pengalaman, nasihat dan hukuman. Sedangkan faktor penghambat dan pendukung:
karena faktor anak malas untuk belajar, perilaku menyimpang anak dan kurangnya
pemahaman dalam pendidikan Islami. Adapun faktor pendukung yaitu pemberian
pendidikan moral sejak dini sehingga anak terbiasa dengan sadar berperilaku sesuai
dengan norma yang berlaku, memberikan pendidikan yang tidak hanya anak belajar
di pendidikan formal anak juga perlu belajar di pendidikan non formal. Solusi dalam
masalah ini dengan pemberian moral yang mendalam, pentingnya agama untuk
membentengi moral anak dan membatasi pergaulan anak.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN LOGO ...................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iii
PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KELULUSAN ............................................... v
MOTTO ......................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
ABSTRAK ..................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Fokus Penelitian .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 6
E. Definisi Operasional .................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 9
BAB II. LANDASAN TEORI ....................................................................... 11
A. Pendidikan Moral Anak ............................................................... 11
1. Pengertian pendidikan moral anak ........................................... 11
2. Urgensi pendidikan moral anak dalam keluarga .................... 17
3. Metode pembentukan moral .................................................... 21
xii
4. Tahapan perkembangan pendidikan moral ............................ 26
5. Karakteristik anak dalam setiap fase perkembangan ........... 27
B. Keluarga Broken Home.................................................................. 30
1. Pengertian Keluarga broken home ......................................... 30
2. Faktor penyebab keluarga menjadi broken home .................... 33
3. Dampak terhadap anak keluarga broken home ....................... 35
BAB III. METODE PENELITIAN................................................................ 37
A. Pendekatan dan jenis penelitian ................................................... 37
B. Lokasi penelitian .......................................................................... 38
C. Sumber data ................................................................................ 38
D. Prosedur pengumpulan data ......................................................... 39
E. Analisis data ................................................................................. 40
F. Pengecekan keabsahan data ......................................................... 42
G. Tahap-tahap penelitian ................................................................. 42
BAB IV. PAPARAN DATA DAN ANALISIS ............................................. 44
A. Paparan Data ............................................................................... 44
B. Analisis data ................................................................................ 50
BAB V. PENUTUP ........................................................................................ 78
A. Kesimpulan ................................................................................. 78
B. Saran-saran ................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Usia………………………………......43
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Agama………………………………..44
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan……………………....……45
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian…………………….45
Tabel 4.5 Jumlah Kepala Keluarga………….……...……...……...……....…46
Tabel 4.6 Jumlah Keluarga Broken Home………………………………...…47
Tabel 4.7 Daftar Responden…………………………………..……..……….48
Tabel 4.8 Daftar Responden Penyebab Keluarga Broken
Home……………………………………..………………………..72
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pentingnya pendidikan bagi manusia merupakan suatu keharusan, karena
manusia dalam keadaan yang tidak berdaya, sangat membutuhkan bantuan dan
bimbingan orang lain untuk dapat berdiri sendiri. Manusia lahir tidak langsung
dewasa yang mengidentifikasikan manusia dengan oral yang berlaku, dan
manusia yang bertanggung jawab, manusia yang sanggup mempertanggung
jawabkan segala akibat dari perbuatannya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang
sistem Pendidikan Nasional, dikemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat, bangsa, dan
negara (Sadullah, 2014: 111-112).
Dasar pendidikan moral yang tepat pertama kali seharusnya dilakukan oleh
pihak keluarga (orang tua). Dasar-dasar moral biasanya tercermin dalam sikap
dan perilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak. Menurut Ki
Hajar Dewantara rasa cinta, rasa bersatu, dan lain-lain perasaaan dan keadaan
jiwa yang pada umumnya sangat bermanfaat untuk berlangsungnya pendidikan,
2
terutama pendidikan budi pekerti, terdapatlah di dalam hidup keluarga dalam
sifat yang kuat dan murni, sehingga terdapat pusat-pusat pendidikan lain yang
menyamainya (Ahiri, 2014: 45-46). Keluarga merupakan salah satu unit sosial
yag hubungan antar anggotanya terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh
karena itu, konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan (Lestari, 2012:
102-103).
Peranan orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar pendidikan,
sikap dan keterampilan dasar, seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan
santun, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan. Dengan peran orang tua dalam
pendidikan moral sehingga anak akan menunjukkan peningkatan prestasi belajar,
diikuti dengan perbaikan sikap.
Penanaman pendidikan moral sejak dini sangatlah bermanfaat bagi
perkembangan anak. Agar mampu menjadi anak yang baik dimasa depan dan
tidak mudah terpengaruh oleh pergaulan luar yang sudah sangat bebas dan
terbuka. Dengan diberikannya pendidikan moral bagi anak, diharapkan dapat
menjadi acuan dan tolak ukur anak dalam berperilaku, sehingga ketika sudah
dewasa menjadi lebih bertanggung jawab dan menghargai sesamanya serta
mampu menghadapi tantangan zaman yang cepat berubah.
Pemberian pendidikan moral yang diberikan orang tua kepada anak
merupakan suatu persiapan kematangan anak dalam menghadapi masa demi
masa untuk perkembangan di masa yang akan datang, karena anak adalah
3
amanah dari Allah Swt yang wajib dirawat dan dibimbing. Pentingnya peranan
orang tua menjadi tonggak utama dalam pendidikan moral anak.
Sebagaimana Firman Allah Swt.
ا للوتقيي اجعل ا قسة أعيي ذزيات اجا ة لا هي أش الريي يقلى زتا
إهاها
Artinya: Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang
hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa” (QS. Al-Furqon: 74).
Fenomena keluarga broken home dalam masyarakat saat ini sudah menjadi hal
yang wajar atau biasa. Keluarga broken home merupakan pasangan suami dan
istri yang mengalami permasalahan dalam keluarga kemudian memutuskan untuk
mengakhiri suatu hubungan dengan kata perceraian yang pada umumnya
berdampak pada psikologis anak baik dalam pendidikan maupun lingkungan
sosialnya. Perilaku anak yang tidak sesuai dengan norma karena kurang adanya
perhatian, kasih sayang atau salah satu dari orang tua yang tidak ikut berperan
dalam proses tumbuh kembangnya pendidikan anak, sehingga anak merasa
kehilangan salah satu figure teladan yang seharusnya menjadi panutan dalam
perilaku moral anak. Sesudah perceraian, menuntut peran ganda dari orang tua
untuk memperhatikan pendidikan moral anak, sehingga anak dalam bersikap
tidak merasa kehilangan sosok panutan teladan dalam hidupnya.
4
Keluarga Broken home sangat berpengaruh besar pada mental anak, akibat
dari broken home dapat merusak jiwa anak. Kedudukan orang tua menjadi
elemen penting dalam mengarahkan, memberi dasar pendidikan dan kepribadian
bahkan sebagai pemantau perkembangan dan tata perlakuan anak.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus pertikaian dalam keluarga
yang berakhir dengan pertikaian ini antara lain: persoalan ekonomi, perbedaan
usia yang besar, keinginan memperoleh anak putra atau putri, dan persoalan
prinsip hidup yang berbeda (Dagun, 2002: 114). Seorang anak yang dibesarkan
dalam keadaan di mana ia tidak pernah mengecap kasih sayang orang tua, akan
sulit menciptakan kasih sayang, proses ini tidak mudah karena sudah harus
dimulai pada usia yang muda (Gunarsa, 2007: 38).
Keluarga pecah (broken home) dapat dilihat dari dua aspek: yang pertama
keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala
keluarga meninggal dunia atau telah bercerai, dan kedua orang tua tidak bercerai
akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak
di rumah atau tidak memperlihatkan hubungan yang kasih sayang. Misalnya
orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis
sehingga berdampak terhadap anak, seperti malas belajar, menyendiri, agresif,
membolos, dan suka menentang orang tua atau guru (Hurlock, 1978: 216).
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud mengkaji lebih lanjut
melakukan penelitian dengan judul “Pendidikan Moral Anak Pada Keluarga
5
Broken Home (Studi Kasus di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten
Kendal)”.
B. Fokus Penelitian
Untuk membatasi pokok bahasan dalam penelitian ini, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pola pendidikan moral anak pada keluarga broken home di Desa
Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal?
2. Adakah faktor penghambat dan pendukung dalam pendidikan moral anak
pada keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh,
Kabupaten Kendal?
3. Bagaimana solusi yang ditemukan dalam pendidikan moral anak pada
keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten
Kendal?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pola pendidikan moral anak pada keluarga broken home di
Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal
6
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendukung dalam pendidikan
moral anak pada keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan
Gemuh, Kabupaten Kendal
3. Untuk mengetahui solusi yang ditemukan dalam pendidikan moral anak pada
keluarga broken home di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten
Kendal
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini sehubungan dengan pendidikan moral anak (studi kasus
pada keluarga broken home antara lain mempunyai manfaat yang dilihat dari
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan
menambah khasanah keilmuan dalam ilmu pendidikan Islam dan
pendidikan moral.
b. Dapat memberikan masukan tentang pendidikan moral anak pada
keluarga broken home.
c. Dapat memperkaya teori tentang pendidikan moral anak pada keluarga
broken home.
2. Manfaat praktis
a. Memberikan informasi kepada orang tua tentang pendidikan moral anak
yang mengalami keluarga broken home
7
b. Mengetahui peran orang tua terhadap pendidikan moral anak yang
mengalami keluarga broken home
c. Dapat mengetahui dan meminimalisir pendidikan moral anak yang
mengalami keluarga broken home sehingga sesuai dengan kaidah syariat
Islam
d. Diharapkan dapat memberikan dorongan kepada orang tua dan
masyarakat serta elemen yang terkait untuk berperan menciptakan suatu
lingkungan yang bermoral dan beradab sehingga tercipta pribadi yang
luhur dan berakhlakul karimah.
E. Definisi Operasional
1. Pendidikan moral anak
a. Pendidikan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional, dikemukakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan darinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Sadullah, 2014: 111-
112).
8
b. Moral
Moral berasal dari bahasa latin mores dari suku kata mos, yang artinya
adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, perasaan, sikap, akhlak, dan cara
berfikir. Dalam bahasa Arab, kata moral sering disamakan dengan akhlaq
yang merupakan jamak dari kata Khuluq yang berarti tingkah laku atau
budi pekerti. Moral dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah etika,
tata krama, budi pekerti yang berkaitan dengan perilaku manusia. Menurut
Istilah moral merupakan suatu keyakinan tentang benar dan salah, baik da
buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan
atau pemikiran (Subur, 2015:54).
c. Anak
Dalam pandangan (Islam), anak merupakan amanah (titipan) Allah
Swt yang harus dijaga, dirawat, dan dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh
setiap orang tua. Sejak lahir anak telah diberikan berbagai potensi yang
dapat dikembangkan sebagai penunjang kehidupannya di masa depan
(Khorida & Fadlillah, 2014: 44).
2. Keluarga Broken Home
a. Keluarga
Secara etimologis, Ki Hajar Dewantara (Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati:
1991) kata keluarga berasal dari kata kawula dan warga. Kawula berarti
“abdi”, yakni “hamba” dan warga berarti anggota. Sebagai abdi dalam
keluarga wajiblah seseorang menyerahkan segala kepentinga-
9
kepentingannya kepada keluarganya. Sebaliknya sebagai warga atau
anggota seseorang berhak sepenuhnya untuk ikut mengurus segala
kepentingan keluarganya (Sadullah, 2014: 186-187).
b. Broken Home
Terdiri dari dua suku kata yaitu broken dan home. Broken berasal dari
kata break-broke-broken, artinya yaitu rusak, pecah, patah. Sedangkan
home yaitu rumah. Jadi, broken home artinya rumah tangga yang
berantakan (tidak harmonis), jauh dari suasana nyaman, tentram, dan damai
(Sudarsono & Salimin, 1994: 37).
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini, maka akan dikemukakan
sistematika hasil yang secara garis besar dapat dilihat sebagai sebagai berikut:
BAB I memuat kajian tentang latar belakang masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian penelitian terdahulu, definisi
operasional dan sistematika penulisan.
BAB II tentang berbagai teori yang menjadi landasan teoritik penelitian,
meliputi: pengertian pendidikan moral anak, urgensi pendidikan moral anak
dalam keluarga, metode pembentukan moral, tahapan pendidikan moral,
karakteristik anak dalam setiap fase perkembangan, pengertian broken home,
faktor penyebab keluarga menjadi broken home dan dampak terhadap anak
keluarga broken home.
10
BAB III tentang pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber
data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, dan
tahap-tahap penelitian.
BAB IV menjelaskan lebih lanjut tentang paparan data dan analisis data
berdasarkan hasil penelitian.
BAB V berisi kesimpulan dari pembahasan hasil penelitian dan saran-saran
dari penulis sebagai sumbangan pemikiran berdasarkan teori dan hasil penelitian
yang telah diperoleh dan daftar pustaka.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Moral Anak
1. Pengertian Pendidikan Moral Anak
a. Pengertian Pendidikan moral
Pendidikan berasal dari kata didik. Kata didik mendapatkan awalan
“me” sehingga menjadi “mendidik”, berarti memelihara dan memberi
latihan diperlukan adanya sebuah pengajaran, tuntunan dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, kemudian pengertian pendidikan
adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku seorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui usaha pengajaran dan
pelatihan (Islamuddin, 2012: 3).
Di dalam Alqur’an ada beberapa ayat tentang pendidikan, salah
satunya Q.S. Al-Baqarah: 151 yang berbunyi:
كن يتل ا فيكن زسال ه يعلوكن الكتاب كوا أزسل يصكيكن عليكن آياتا
يعلوكن ها لن تكا تعلوى الحكوة
Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara
kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan
menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan
Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui.”
12
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Sjarkawi, 2008: 42-
43).
Jadi, menurut penulis pendidikan adalah bimbingan yang diberikan
orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai
kedewasaannya dengan tujuan agar anak mampu menyelesaikan tugas
hidupnya tanpa bergantung bantuan dari orang lain.
Fungsi pendidikan ditinjau dari sudut pandangan sosiologis dan
antropolgi, fungsi utama pendidikan untuk menumbuhkan kreativitas
peserta didik, dan menanamkan nilai yang baik. Karena itu tujuan akhir
pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi kreatif peserta didik
agar menjadi agar menjadi manusia yang baik, menurut pandangan
manusia dam Tuhan Yang maha Esa (Thoha, 1996: 59).
Tujuan pendidikan (Depdiknas, 2003) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, “tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
13
rangka mencerdasan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Selain pembahasan pendidikan juga fokuskan pada moral, dari
berbagai sumber dapat diperoleh yaitu: dalam bahasa Arab, kata moral
sering disamakan dengan akhlaq yang merupakan jamak dari kata Khulq
yang berarti tingkah laku atau budi pekerti. Moral dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan istilah etika, tata krama, budi pekerti yang berkaitan dengan
perilaku manusia (Subur, 2015: 54).
Moral berasal dari bahasa latin (moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai, atau tata cara cara kehidupan, adapun moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai
dan prinsip moral. Seseorang dapat dikatakan bermoral apabila tingkah laku
orang ini sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh
kelompok sosialnya (Susanto, 2011: 45).
Moral dalam arti istilah merupakan suatu yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat memberikan batasan terhadap aktifitas
manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Moral
secara eksplisit terkait dengan proses sosialisasi individu, dimana tanpa
14
moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral juga menjadi
sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan siswa harus mempunyai
moral jika ingin dihormati oleh sesama (Subur, 2015: 54-55).
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa moral
adalah nilai-nilai atau kebiasaan baik dan buruk yang diterima dan
diterapkan dalam perbuatan kehidupan sehari-hari yang lebih difokuskan
pada anak anak usia 6-12 tahun yang telah menerima pendidikan moral dari
formal maupun non formal.
Diterangkan oleh nabi sendiri, bahwa misinya adalah untuk
menyempurnakan akhlak.
.إوا تعثت ألتون صالح األخالق
Artinya: “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia” (Miftahul huda, 2009: 21-22).
Pendidikan moral berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang
tercantum dalam GBHN dan tujuan kelembagaan sekolah serta tujuan
pendidikan moral yang diberikan pada tingkat sekolah dan perguruan tinggi,
maka pendidikan moral di Indonesia bisa dirumuskan untuk sementara
sebagai berikut:
Maksud pendidikan moral adalah pendidikan yang mengenai dasar-
dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan
dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa hingga ia menjadi seorang
mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan (Ulwan, 1981: 174).
15
Penulis mengartikan pendidikan moral adalah suatu usaha yang
mengembangkan diri sesuai kebutuhan, yang diyakini benar oleh seseorang
atau kelompok sehingga menjadi kebiasaan yang terbentuk dengan
sendirinya.
Tujuan pendidikan moral, kematangan moral menuntut penalaran-
penalaran yang matang dalam arti moral. Suatu keputusan bahwa sesuatu
yang baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru disebut
matang apabila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh
sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral, dan jika
kematangan moral itu adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka
seharusnya para guru dan pendidik serta orang tua mengetahui proses
perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral tersebut
(Budiningsih, 2008: 26).
Terdapat dua lembaga yang berperan mengajarkan pendidikan moral
yaitu lembaga formal dilakukan oleh sekolah dan non formal oleh keluarga
dan masyarakat. Pendidikan moral melalui keluarga, peran orang tua sangat
dominan dalam menanamkan nilai-nilai moral dan disesuaikan dengan
tumbuh kembang jiwa anak. Anak-anak akan patuh pada perintah orang
tuanya untuk melakukan yang baik. Sedang pendidikan moral melalui
masyarakat biasanya berupa norma sosial. Norma merupakan kaidah, aturan
yang mengandung nilai tertentu yang harus dipatuhi warganya, agar
kehidupan masyarakat berjalan dengan tertib. Ada beberapa norma yang
16
harus dipatuhi dalam masyarakat antara lain; norma kesopanan, norma
agama, norma kesusilaan dan norma hukum. Norma diatas sangat membantu
untuk mewujudkan moral yang baik (Taofeqoh, 2007: 5).
b. Anak
Dalam pandangan agama Islam, anak merupakan amanah (titipan)
Allah Swt yang harus dijaga, dirawat, dan dipelihara dengan sebaik-baiknya
oleh setiap orangtua. Sejak lahir anak telah diberikan berbagai potensi yang
dapat dikembangkan sebagai penunjang kehidupannya dimasa depan. Apabila
potensi-potensi ini tidak diperhatikan, nantinya anak akan mengalami
hambatan-hambatan dalam pertumbuhan maupun perkembangannya.
Rasulullah Saw bersabda:
سلن ها هي علي صلى الل كاى يقل قال زسل الل سيسة أ عي أتي
يوجسا يصسا دا ي ا لد إلا يلد على الفطسة فأت ه
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi‟.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Fitrah dalam hadis dia atas mengandung makna potensi (kemampuan
dasar anak). Para mufasirin menyebutkan bahwa fitrah diartikan sebagai
potensi kebaikan yang dibawa anak sejak lahir. Menurut Baharudin, istilah
fitrah dapat dipandang dari dua sisi, yaitu sisi bahasa dan agama. Dari sisi
bahasa, makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah manusia.
17
Sementara dari segi agama, fitrah mengandung makna keyakinan agama,
yaitu manusia sejak lahir telah memiliki fitrah agama taukhid yang
mengesakan Tuhan. (Kholida, 2013: 45).
2. Urgensi pendidikan moral anak dalam keluarga
Pendidikan moral haruslah dimengerti dalam arti yang jauh lebih luas
dari pada sekedar pengajaran tentang etika atau moral. Pendidikan moral
adalah seluruh proses dan semua usaha orang-orang dewasa untuk
membantu orang-orang muda, agar hati mereka semakin tulus dan tindakan-
tindakan mereka semakin berkenaan di hati Tuhan dan sesama (Nugraha,
2005: 92).
Pendidikan merupakan suatu usaha keharusan bagi manusia karena
pada hakikatnya manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan tidak
langsung dapat berdiri sendiri, dapat memelihara dirinya sendiri. Manusia
pada saat lahir sepenuhnya memerlukan bantuan orang tuanya, karena itu
pendidikan merupakan bimbingan orang dewasa mutlak diperlukan manusia.
Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak pada usia 6-12
tahun ketika sifat individu dan sifat lingkungan menentukan tingkah laku apa
yang actual dan terwujud yang menyangkut suatu perbuatan (Daradjat,
1970: 109).
Hakikatnya anak merupaan titipan Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang tuanya untuk mendidiknya, membesarkannya menjadi manusia
dewasa yang penuh tanggung jawab, terutama tanggung jawab moral. Orang
18
tua tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap anaknya (Sadullah,
2014: 10).
Moral selalu mengacu pada baik buruk manusia, sehingga moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari kebaikan manusia. Norma
moral dipakai sebagai tolok ukur segi kebaikan manusia. Menurut Magnis
Suseno yang dikutip Hendrowibowo, moral adalah sikap hati yang terungkap
dalam sikap lahiriah. Moralitas terjadi jika seseorang mengambil sikap yang
baik, karena ia sadar akan tanggung jawabnya sebagai manusia. Jadi
moralitas adalah sikap dan perbuatan baik sesuai dengan nurani
(Hendrowibowo, 2007: 85).
Di dalam Alqur’an ada beberapa ayat tentang moral/ etika, salah
satunya QS. Ahzab: 21 yang berbunyi:
م الي ة حسة لوي كاى يسج الل أس لقد كاى لكن في زسل الل
كثيسااآل ذكس الل خس
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.”
Islam sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dari aspek moral
ini dan mengeluarkan petunjuk yang sangat berharga di dalam melahirkan
anak dan kebiasaan yang tinggi. Berikut ini sebagian riwayat dan petunjuk
Rasul di dalam upaya mendidik anak dari aspek moral.
19
Mereka bertanggung jawab untuk membersihkan lidah anak-anak dari
kata-kata mencela dan buruk serta, dari segala perkataan yang menimbulkan
penurunan moral dan buruknya pendidikan. Jika pendidikan yang utama
menurut pandangan Islam itu, pada tahapan pertama bergantung pada
kekuatan perhatian dan pengawasan, maka selayaknya bagi para ayah, ibu,
pengajar dan orang yang bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan
dan moral untuk menghindarkan anak-anak dari perilaku menyimpang
(Ulwan, 1981: 177-180).
Masa anak-anak disebut juga sebagai masa Shabi, berlangsung dari
anak berumur 6 sampai 12 tahun. Pada masa inilah anak mulai lebih
mengenal keadaan lingkungan sekitarnya, bermain, sekolah di playgrup,
taman kanak-kanak dan sekolah dasar sampai tamat. Pada masa ini anak
tumbuh dengan pesat, begitu juga psikisnya. Peran orangtua dan keluarga
sangat penting dalam masa kini, karena merupakan masa pembentukan
pribadi dan karakter anak, serta masa untuk mulai sendiri, berprakarsa
(berkehendak sendiri) dan menyelesaikan tugas (Muchtar, 2008: 66-67).
Pendidikan anak harus dilakukan melalui tiga lingkungan, yaitu
keluarga, sekolah dan organisasi. Keluarga merupakan pusat pendidikan
yang pertama dan terpenting. Sejak timbulnya peradaban manusia sampai
sekarang, keluarga selalu berpengaruh besar terhadap perkembangan anak
manusia. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat, dan pemerintah. Sekolah sebagai pembantu kelanjutan
20
pendidikan dalam keluarga sebab pendidikan yang pertama dan utama
diperoleh anak ialah dalam keluarga (Hasan, 2010: 18).
Peralihan bentuk pendidikan informal (keluarga) ke formal (sekolah)
memerlukan kerja sama antara orang tua dan sekolah (pendidik). Sikap anak
terhadap sekolah akan dipengaruhi oleh sikap orang tua mereka. Oleh karena
itu, diperlukan kepercayaan orang tua terhadap sekolah (pendidik) yang
menggantikan tugasnya selama di sekolah. Orang tua harus memperhatikan
sekolah anaknya dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya dan
menghargai usaha-usahanya serta menunjukkan kerja samanya dalam cara
anak belajar di rumah atau membuat pekerjaan rumahnya (Hasan, 2010: 19).
Peranan orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar
pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar, seperti pendidikan agama, budi
pekerti, sopan santun, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan dan
menanamkan kebiasaan. Selain itu, peranan keluarga adalah mengerjakan
nilai-nilai dan tingkah laku yang sesuai dengan yang diajarkan di sekolah.
Dengan kata lain, ada keseimbangan antara materi yang diajarkan di rumah
dan materi yang diajarkan di sekolah, pentingnya peranan orang tua dalam
pendidikan anak telah disadari oleh banyak pihak (Hasan, 2010: 19).
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila orang tua
berperan dalam pendidikan, anak akan menunjukkan peningkatan prestasi
belajar, diikuti dengan perbaikan sikap, kedisiplinan, serta aspirasi anak
21
untuk belajar sampai perguruan tinggi, bahkan setelah bekerja dan berumah
tangga (Hasan, 2010: 20).
3. Metode/ pola pembentukan pendidikan moral
Menurut konsep Tazkiyatun Nafs Imam Ghazali:
Secara etimologi, Tazkiyatun nafs berasal dari kata “tazkiyat” dan
“an-nafs”. Kata “tazkiyat” berasal dari bahasa Arab yakni isim masdar dari
“zaka” yang berarti penyucian. Kata “an-nafs” adalah jiwa, jiwa yang tidak
dimaknai sebagai nafsu. Dengan demikian, secara terminologi, Tazkiyatun
nafs bermakna sebagai penyucian jiwa (Sholihin, 2003: 130-131).
Tazkiyatun nafs merupakan proses penyucian jiwa, pengembalian jiwa pada
fitrahnya, dan pengobatan jiwa-jiwa yang sakit agar menjadi sehat kembali,
melalui terapi-terapi sufistik (Sholihin, 2004: 175).
Selanjutnya, di dalam kitab Bidayat Al-hidayah, Al-Ghazali
mengatakan bahwa tazkiyatun nafs merupakan usaha menyucikan diri dari
sifat memuji diri sendiri. dasar dari pemikiran tazkiyatun nafs berasal dari
keyakinan para sufi bahwa jiwa manusia pada fitrahnya adalah suci.
Disebabkan oleh adanya pertentangan dengan badan, yang dalam hal ini
dapat diartikan sebagai keinginan nafsu, maka hal tersebut mengakibatkan
jiwa tidak suci bahkan tidak lagi sehat. Dalam hubungan dengan sifat-sifat
jiwa yang ada dalam diri manusia, tazkiyatun nafs menurut Al-Ghazali
berarti pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan yang
kemudian mengisi dengan sifat-sifat ketuhanan (Jaelani, 2000: 56).
22
Bentuk Tazkiyatun Nafs
a. Tazkiyatun nafs sebagai pembinaan akhlak manusia
Menurut Al-Ghazali, jiwa yang sehat bersumber dari akhlak terpuji.
Sebaliknya, jiwa yang sakit bersumber dari akhlak tercela. Sehingga
dalam hal ini, kualitas jiwa seseorng dapat dinilai dengan bagaimana
penampilan akhlak seseorang.Terdapat 3 cara, yaitu:
1) Takhalli adalah upaya seseorang untuk menghilangkan sifat-sifat
tercela dari maksiat lahir dan maksiat bathin (Asmaran, 1996: 66).
2) Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji, tahalli juga
berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
perbuatan baik, kewajiban yang bersifat luar adalah kewajiban yang
bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji. Tahalli juga dibagi
kedalam tujuh tingkatan: taubat, khauf dan raja’, zuhud, fakir, sabar.
Ridha dan muraqabah.
3) Tajalli adalah hilangnya hijab dari sifat sifat kebasyariyyahan
(kemanusiaan), jelasnya nur yang sebelumnya ghaib, dan fananya
segala sesuatu ketika tampaknya wajah Allah. Kata tajalli bermakna
terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika
melakukan takhalli dan tahalli tidak berkurang, maka rasa ketuhanan
perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilkakukan dengan
kesadaran dan rasa cinta dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa
rindu kepada-Nya. (Amin, 2012: 214-220).
23
b. Tazkiyatun nafs dalam bentuk terapi jiwa
Argumentasi Al-Ghazali terhadap terapi jiwa adalah bahwa jiwa dapat
diobati sebagaimana tubuh dapat diobati. Pengobatan penyakit jiwa dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu dengan mendiagnosis jenis penyakit
dan sebab-sebabnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa ketaatan
merupakan obat, sedangkan kemaksiatan merupakan racun yang
berpengaruh terhadap hati atau jiwa. Al-ghazali mengatakan:
“Ketahuilah bahwa semua akhlak yang buruk disembuhkan dengan
ilmu dan amal. Penyembuhan tiap penyakit (jiwa) ialah dengan melawan
penyebabnya. Oleh karena itu, kita harus meneliti dulu sebab-sebabnya.
”
Dari pernyataan di atas, Al-Ghazali sangat menekankan bagaimana
ilmu dan amal sangat penting dalam penyembuhan jiwa. Ilmu dalam hal
ini berfungsi untuk mengetahui sebab dan akibat suatu penyakit jiwa.
Selanjutnya, setelah mengetahui penyebabnya, seseorang dapat
menghilangkan penyebabnya, seseorang dapat menghilangkan
penyebabnya dan melakukan perbuatan (amal) yang dianggap sebagai
lawan dari sifat jelek yang muncul. Amal dilakukan harus berdasarkan
syariat (Sholihin, 2003: 188).
Beberapa metode pendidikan moral menurut Abdurrahman an Nahlawi
adalah :
a. Metode Hiwar (percakapan)
24
Hiwar adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau
melalui tanya jawab mengenai suatu topik atau melalui tanya jawab.
b. Metode kisah
Kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat diganti dengan
bentuk penyampaian selain bahasa.
c. Metode Amtsal (perumpamaan)
Perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam al-qur’an
mempunyai beberapa makna antara lain :
1) Merupakan sesuatu sifat manusia dengan perumpamaan yang lain.
2) Mengungkapkan sesuatu keadaan dengan keadaan yang lain yang
memiliki kesamaan untuk menandaskan peristiwa.
d. Metode teladan
Anak memandang orang tua sebagai teladan utama bagi mereka. Ia
akan meniru jejak dan semua gerak gerik orang tuanya.
e. Metode pembiasaan diri dan pengalaman
Metode pembiasaan diri dan pengalaman ini penting untuk
diterapkan, karena pembentukan moral anak tidaklah cukup nyata dan
pembiasaan diri sejak usia dini. Untuk terbiasa hidup teratur, disiplin
dan sebagainya.
f. Metode pengambilan pelajaran dan peringatan
Pendidikan yang dilakukan jika anak tidak mengetahui akibat
positif atau negatif maka pendidikan kurang bermakna. Anak jika
25
mengerjakan kebaikan maka akan merasa senang dan anak yang
melakukan kejelekan pasti akan merasa sedih.
g. Metode targhib dan tarhid
Dengan metode ini kebaikan dan keburukan yang disampaikan
kepada seseorang dapat mempengaruhi dirinya agar terdorong untuk
berbuat baik.
Sedangkan menurut Muhammad Quthb, metode dalam
pembentukan moral sebagai berikut:
a. Metode nasihat
Metode nasihat adalah memberikan masukan kepada anak
mana yang baik dan mana yang buruk. Jika anak membuat
kesalahan orang tua akan memberikan peringatan agar anak tidak
salah menentukan sikap.
b. Metode hukuman
Metode hukuman adalah pemberian hukuman pada anak
apabila anak melakukan kesalahan dengan tujuan anak tidak
melakukan kesalahan lagi (IAIN Walisongo, 2004: 126).
Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada pendidikan moral anak
pada keluarga broken home meskipun orang tua tunggal dalam pembentukan
moral anak, melalui keteladanan dan pembiasaan dari orang tua sehingga akan
diterapkan dalam kehidupannya yang diimbangi dengan beberapa metode
26
yang sangat membantu orang tua untuk lebih memperhatikan pendidikan
moral anak.
4. Tahapan Perkembangan pendidikan moral
Tahap perkembangan moral pada awal masa anak-anak masih dalam
tingkat rendah. Hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual anak
belum mencapai titik dimana ia dapat mempelajari atau menerapkan prinsip-
prinsip abstrak tentang benar dan salah. Ia juga tidak mempunyai dorongan
untuk mengikuti peraturan-peratuan karena tidak mengerti manfaatnya
sebagai anggota kelompok sosial. (Hurlock, 1996: 123).
Tahapan perkembangan moral pada anak-anak sebagai berikut: Masa
kanak-kanak (usia 6-12 tahun), tanda-tandanya sebagai berikut:
1) Sikap keagamaan rendah meskipun banyak bertanya
2) Pandangan ketuhanan yang dipersonifikasikan
3) Penghayatan secara rohaniah masih belum mendalam meskipun mereka
salah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegatan ritual (Ahmad
susanto:69).
Menurut Piaget perkembangan moral dibagi menjadi 4, sebagai
berikut:
1) Pada tahap I (motor activity)
Pada anak sekitar usia 1 sampai 2 tahun, pelaksanaan peraturan
masih bersifat motor activity, belum ada kesadaran akan adanya
27
peraturan. Semua geraknya masih belum dibimbing oleh pikiran
tentang adanya peraturan yang harus ditaati.
2) Pada tahap II (egosentrik)
Pada usia sekitar 2 sampai 6 tahun, sudah mulai ada kesadaran akan
adanya peraturan, namun menganggap peraturan itu bersifat suci, tidak
boleh diganggu gugat oleh siapapun, mengubah peraturan merupakan
kesalahan besar. Dalam pelaksanaan peraturan mereka ini masih
bersifat egosentrik, berpusat pada dirinya.
3) Pada tahap III (kooperatif awal)
Pada usia sekitar 7 sampai 10 tahun kemampuan berpikir anak
sudah mulai bersifat sebagai aktivitas social, sifat egosentrik sudah
mulai ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat
untuk memahami peraturan, dan setia mengikuti peraturan tersebut.
4) Pada tahap IV (kodifikasi peraturan)
Pada usia sekitar 11 sampai 12 tahun yang kemampuan berpikir
anak sudah mulai berkembang. Sudah ada kemampuan untuk berpikir
abstrak, sudah adanya kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil
kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap
pemantapan peratuan (Daryono. 1998: 15-17).
5. Karakteristik anak dalam setiap fase perkembangan
Menurut Zakiyah Daradjat dalam ilmu jiwa agama, perkembangan anak
sebagai berikut:
28
a. Usia Kanak-kanak (0 - 6 tahun)
Pendidikan keagamaan dan kepribadian sudah mulai sejak anak dalam
kandungan, apa yang dilakukan oleh ibu ketika mengandung dapat
mempengaruhi perkembangan jiwa anak yang akan lahir. Perkembangan
moral anak sebelum sekolah terjadi secara tidak formal dalam keluarga,
setiap perbuatan yang ada di depannya sebagai bahan ajar anak. Perbuatan
yang ada di lingkungan anak secara terus-menerus itu akan menjadikan
anak semakin dapat meniru perbuatan yang diciptakan oleh ayah maupun
ibu, sehingga anak tidak akan jauh dari perbuatan sehari-hari yang
dilakukan orang tua dalam lingkungan keluarga. Orang tua harus hati-hati
dalam bersikap di depan anak karena ke mana arah sikap moral anak
ditentukan pada sikap moral lingkungan keluarga.
b. Usia Anak-anak/ masa Tamziy (6 – 12 tahun)
Pada fase ini anak sudah masuk sekolah dasar dengan membawa bekal
agama dan moral dalam dirinya yang dia dapat dari orang tuanya dan
gurunya di taman kanak-kanak. Jika didikan agama dan moral anak yang
diperoleh dari orang tua di rumah sejalan dengan dengan guru di taman
kanak-kanak, maka anak saat masuk sekolah dasar sudah membawa
moral yang serasi tapi kalau berbeda maka anak akan merasa bingung dan
tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Semakin besar anak
akan semakin bertambah fungsi agama bagi anak seperti ketika anak
berumur 10 tahun ke atas maka agama memiliki fungsi moral dan sosial
29
bagi anak. Di fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan
buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah
mulai mempertegas pendidikan pokok syariat.
c. Usia Remaja/ masa Amrad (13 – 16 tahun)
Fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan potensi
dirinya guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan
bertanggung jawab secara penuh. Dalam islam, fase ini juga merupakan
fase dimana anak mencapai aqil baligh sehingga sudah semakin pandai
menggunakan akalnya secara penuh. Salah satu yang menjadi tuntutan
bagi anak kemudian adalah kepandaiannya dalam mengatur harta yang
dimulai dengan kemampuan mengatur anggaran untuk dirinya sendiri.
d. Usia Dewasa/ masa taklif (17 – 21 tahun)
Pada masa ini anak seharusnya sudah sampai pada titik bernama taklif
atau bertanggung jawab. Bagi lelaki setidaknya fase ini paling lambat
dicapai di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling lambat dicapai
di usia 17 tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada diri sendiri
juga tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat sekitar dan
masyarakat secara keseluruhan.
Batas perkembangan moral anak dalam tahapan sebenarnya tidak
tajam, masa remaja akhir ini dapat dikatakan anak pada masa ini
dikatakan sempurna dari segi jasmani dan kecerdasan termasuk moral
30
pada anak sudah terbentuk menjadi karakter yang kuat (Daradjat,
1993:109).
Dalam penelitian ini difokuskan pada ada fase perkembangan anak/
masa tamziy usia 6-12 tahun ketika sifat individu dan sifat lingkungan
menentukan tingkah laku anak sehingga anak akan mencerminkan kondisi
moral dalam dirinya.
B. Keluarga Broken Home
1. Pengertian Keluarga Broken Home
Menurut bahasa, keluarga adalah dua orang lebih yang terhubung
melalui ikatan perkawinan atau ikatan darah yang biasanya memelihara
tempat tinggal yang sama (Tarsito, 1986: 264).
Keluarga adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan melalui ikatan pernikahan, hubungan kelahiran, adopsi atau
ikatan darah yang biyasanya memiliki tempat tinggal yang sama
(Fatchurrohman, 2012: 28).
Ingatlah bahwa “keluarga” adalah tanggung jawab bersama, apalagi
sebagai pemimpin di dalam keluarga maka salah satu tanggung jawab
utama disamping mencari nafkah adalah juga “mendidik anak”. Bekerja
penting tapi memperhatikan keluarga, membimbing anak, mendidik anak
juga penting. Apalagi jika seorang suami mengingat amanah yang telah
31
diberikan Allah SWT kepadanya sebagi pemimpin bagi keluarga,
sebagaimna ayat berikut: QS. At-Tahrim:6
ا الر الحجازة يا أي ا الاض قد ليكن ازا أ فسكن يي آها قا أ
يفعلى ن ها أهس ا هالئكة غالظ شداد ال يعصى الل علي
ها يؤهسى
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang telah diperintahkan.” (Amin, 2003: 63-64).
Dalam seluruh rentang usianya, manusia membutuhkan nikmat yang
sedemikian itu, seorang anak bisa tumbuh berkembang dengan baik hanya
dalam keluarga. Tanpa keluarga, niscaya pertumbuhannya akan terhambat
dan jalan kehidupannya akan menyimpang. Kebutuhan seorang anak
terhadap ibu dan bapak adalah dasar yang tidak bisa digantikan oleh
institusi atau lembaga lain. Demikian pula, ketika orang telah memasuki
usia remaja, dewasa atau paruh baya. Fitrah dirinya membutuhkan
naungan yang hanya bisa ditemukan dalam keluarga dan tidak bisa
digantikan oleh yang lain. Dengan demikian, manusia senantiasa
membutuhkan perlindungan keluarga, selalu haus akan rasa kasih sayang
dan suasana hati yang tumbuh disana.
32
Sedangkan pengertian Broken home sendiri, Kata broken home berasal
dari dua kata yaitu broken dan home. Broken berasal dari kata break
yang berarti keretakan, sedangkan home mempunyai arti rumah atau
rumah tangga (Hasan Shadily, 1996:81). Jadi broke home adalah keluarga
atau rumah tangga yang retak. Hal ini dapat disebut juga istilah atau krisis
rumah tangga.
Menurut (Jihn M. Echolis 2000: 80) secara etimologi broken home
diartikan sebagai keluarga yang retak. Jadi broken home adalah kondisi
hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua
yang disebabkan oleh beberapa hal, biasanya karena perceraian, sehingga
anak hanya tinggal bersama satu orang tua kandung.
(http://problematikainteraksianakkeluargabrokenhomepdf/:30mei2017:19.
00).
Keluarga broken home biasanya karena faktor perceraian. Keadaan
bertambah buruk, jika setelah bercerai, kemudian menikah lagi dengan
pasangan yang lain, yang terkadang orang tersebut tidak sesuai dengan
anak, karena anak tidak mudah meminta orang baru dikehidupannya,
maka anak-anak pada umumnya akan mudah memberontak dan melarikan
diri dari rumah kemudian menjadi gelandangan.
Allah SWT yang Maha Bijaksana mengakui perceraian setelah
memagarinya dengan batasan-batasan yang ketat, demi melindungi
keluarga dari penggunaan prinsip tersebut secara semena-mena dan
33
menjaga hak-hak isteri dan anak-anaknya dari permainan laki-laki yang
tidak bertanggung jawab. Allah memperbolehkan perceraian setelah
semua kesempatan untuk berdamai telah habis dan tidak ada lagi harapan
untuk bersatu kembali sebagai pasangan suami isteri, sedangkan semua
solusi yang ditawarkan untuk membuat pasangan suami isteri kembali
bersatu, saling mencintai dan saling memahami tidak menuai hasil. Allah
SWT tidak membiarkan pasangan sumi isteri yang bercerai itu tenggelam
dalam pertarungan batin, Allah Swt menghibur jiwa-jiwa yang terluka itu
dengan memberinya harapan, melalui firman-Nya dalam QS. An Nisa:
130:
اسعا كاى الل كال هي سعت إى يتفسقا يغي الل
حكيوا
Artinya: “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan
adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana”
(Faqi, 2011: 69-70).
Perceraian adalah salah satu faktor yang menyebabkan anak
memiliki akhlak dan perangai yang tidak baik, tidak mengikuti perintah
Allah swt, dan tidak menjauhi larangan-Nya. (Ulwan, 2009:194).
2. Faktor penyebab keluarga menjadi broken home
Dalam broken home pada prinsipnya struktur keluarga tersebut
sudah tidak lengkap lagi yang disebabkan adanya hal-hal:
34
a. Perceraian orang tua
b. Salah satu kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia
c. Salah satu kedua orang tua atau keduanya “tidak hadir” secara lengkap
dalam tenggang waktu yang cukup lama (Sudarsono, 1245-126).
Pada pembahasan ini, penulis memfokuskan keluarga broken
home terhadap pasangan yang bercerai. Diantara penyebab utama yang
menyebabkan penyimpangan pada diri anak pada umumnya adalah
kondisi perceraian yang menyebabkan sang anak melarikan diri dari
rumah, dan kemudian menyebabkan sebuah keluarga berpisah dan
terpecah belah.
Keluarga broken home akibat perceraian adalah keluarga yang
bercerai atau terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan
memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti
melakukan kewajibannya sebagai suami-istri. Perceraian ini disahkan
secara hukum baik oleh Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam
atau Pengadilan Negeri bagi non Islam. Perceraian terjadi karena
beberapa alasan, yaitu pertama,
a. Pasangan sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga
dan anak, seperti jarang pulang, tidak ada kepastian waktu berada di
rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan
pasangan.
35
b. Kedua, masalah keuangan, tidak cukupnya penghasilan yang
diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan rumah tangga.
c. Ketiga, adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan dan sering
berteriak serta mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan.
d. Dan keempat, tidak setia, seperti punya kekasih lain, dan sering
berzina dengan orang lain (http://sosiologi.Fisid.uns.ac.id/online-
jurnal/: dikutip pada tanggal 31 Mei 2017. 13.00).
3. Dampak terhahap anak keluarga broken home
Perspepsi anak, orang tua adalah segalanya. Dari orang tualah
anak belajar arti kebersamaan. Arti saling menolong dan juga arti
berbagi. Akan tetapi, mana kala orang tuanya bercerai, maka persepsi
yang sudah terbangun selama ini akan hancur dengan sendirinya.
Anak yang orang tuanya bercerai, kepercayaan dirinya
terganggu. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang amat berharga
dalam hidupnya. Karena itu, jangan heran jika dikemudian hari ia
tumbuh menjadi pribadi yang sensitif. Sensitivitas inilah yang
memunculkan sikap-sikap perlawanan atau kedurhakaan anak kepada
orang tuanya (Baiquni. 2016: 114)
Kondisi keluarga broken home yang mengalami perceraian
dapat menyebabkan anak mengalami tekanan jiwa, pola perilaku anak
kurang tertata dengan baik, emosi tidak terkontrol, dan lebih senang
menyendiri. Salah satu dampak yang menonjol akibat broken home
36
yaitu anak mempunyai kepribadian yang menyimpang. Hal itu
mengakibatkan anak sulit untuk bersosialisasi dalam memilih teman di
dalam masyarakat.
Fenomena yang sering ditemui dalam masyarakat saat ini ialah
sebagian orang tua secara sengaja mengajak anak untuk berlaku
durhaka kepada salah satu dari mereka. Misalnya, dalam sebuah
perceraian, anak ikut suami, maka terkadang suami mengajak anak
membenci ibunya, memeritahkan ia untuk tidak menyambung
silaturrahmi dan tidak mendengarkan perkataan ibunya (Baiquni,
2016: 115).
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research)
dengan Teknik Analisis Deskriptif Kualitatif. Untuk jenis penelitian, peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang jenis datanya
kualitatif, berupa pernyataan, kalimat, dan dokumen. Metode yang digunakan
adalah metode penelitian lapangan (field research), yaitu sebuah penelitian
yang sumber data dan proses penelitiannya menggunakan kancah atau lokasi
tertentu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu
penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian
yang terjadi pada saat sekarang. Sedangkan penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dll. Secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009: 6).
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan seluruh kegiatan. Adapun kegiatan yang
38
dimaksud adalah pendidikan moral anak pada keluarga broken home di Desa
Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh,
Kabupaten Kendal.
C. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari
mana dapat diperoleh.
1. Sumber data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh lagsung di lapangan oleh
peneliti sebagai obyek penulisan (Umar, 2003: 56). Dalam penelitian ini data
primernya orang tua.
2. Sumber data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada kepada peneliti (Sugiyono, 2005:52). Sumber data
lain yang digunakan penulis dalam peneliti ini berupa buku-buku yang
berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan peneliti ini.
39
D. Prosedur Pengumpulan data
Dalam peneliti ini, untuk memperoleh data yang dibutuhkan penulis
melakukan.
1. Observasi
Di dalam pengertian psikologi, observasi atau yang biasa disebut dengan
pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap suatu objek
dengan menggunakan seluruh alat indera. Observasi dapat dilakukan melalui
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Observasi dapat
dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar, dan rekaman suara
(Arikunto, 1998: 146-147). Dalam penelitian ini, penulis melakukan
kegiatan pengamatan terhadap pola asuh orang tua dalam memberikan
pendidikan moral anak yang latar belakang keluarganya broken home.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si pewawancara atau
penanya (penulis) dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan
alat yang dinamakan interview guide/ panduan wawancara (Nazir, 1985:
234). Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang,
misalnya untuk mencari data tentang variabel latar belakang murid, orang
tua, pendidikan, perhatian, dan sikap terhadap sesuatu (Arikunto, 1998: 145).
Adapun jenis wawancara yang digunakan penulis dalam meneliti orang
tua yang mendidik anak pada keluarga broken home adalah wawancara
40
langsung yaitu wawancara yang dilakukan dengan cara face to face artinya
peneliti (pewawancara) berhadapan langsung dengan 6 responden untuk
menanyakan secara lisan hal-hal yang ingin diketahuinya dan responden
memberikan jawaban secara lisan pula. Permasalahan yang akan diteliti
seputar pendidikan moral anak pada keluarga broken home. Sedangkan
objek yang akan peneliti wawancarai adalah orang tua.
3. Dokumentasi
Dokumentasi, asal katanya dokumen yang artinya barang-barang tertulis.
Dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-
benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan,
notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Dalam pengertian yang lebih
luas, dokumen bukan hanya yang berwujud tulisan saja, tetapi dapat berupa
benda-benda peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol (Arikunto,
1998: 149-150). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang
gambaran umum pendidikan moral anak pada keluarga broken home di desa
Pucangrejo, kecamatan Gemuh, kabupaten Kendal.
E. Analisis Data
Disesuaikan dengan jenis data yang ada, dalam penelitian ini terdapat
beberapa jenis data yang dapat diperoleh dengan prosedur pengumpulan data.
Dalam penelitian ini terdapat 3 (tiga) jenis prosedur pengumpulan data seperti
yang dijelaskan di atas, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.
41
Berdasarkan prosedur pengumpulan data tersebut, kemudian hasil data yang
diperoleh dianalisis sesuai dengan metodenya masing-masing.
Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2009:
248).
Adapun langkah-langkah analisis data adalah sebagaiberikut:
1. Reduksi data (Data reduction)
Reduksi data dilakukan untuk memfokuskan data pada hal-hal yang
penting dari sekian banyak data yang diperoleh dari data hasil observasi,
wawancara, dan catatan lapangan yang tidak terpola. Langkah ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.
2. Penyajian Data (Data display)
Setelah data direduksi maka data yang diperoleh didisplay, yakni dengan
menyajikan sekumpulan data dan informasi yang sudah tersusun dan
memungkinkan untuk diambil sebuah kesimpulan.
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion drawing /Verification)
Prosedur penarikan kesimpulan didasarkan pada data informasi yang
tersusun pada bentuk yang terpola pada penyajian data.
42
Melalui informasi tersebut peneliti dapat melihat dan menentukan
kesimpulan yang benar mengenai objek penelitian karena penarikan
kesimpulan merupakan kegiatan penggambaran yang utuh dari objek
penelitian (Sugiyono, 2010: 336-337).
F. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk menguji keabsahan data agar data yang telah dikumpulkan akurat dan
valid, maka peneliti menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik
triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber
lainnya (Moleong, 2009: 330).
G. Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Tahap pra lapangan
a. Mengajukan judul penelitian.
b. Menyusun proposal penelitian.
c. Konsultasi penelitian kepada pembimbing.
2. Tahap pekerjaan lapangan
a. Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian.
b. Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian.
43
c. Pencatatan data yang telah dikumpulkan.
3. Tahap analisa data
a. Penemuan hal-hal penting dari data penelitian.
b. Pengecekan keabsahan data.
4. Tahap laporan penelitian
a. Penulisan hasil penelitian.
b. Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing.
c. Perbaikan hasil konsultasi
d. Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian.
e. Ujian munaqosah skripsi.
44
BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS
A. Paparan Data
1. Letak dan Keadaan Geografis
Desa Pucangrejo memiliki Luas wilayah 319,280000 Ha, daerah yang
sangat cocok untuk profesi pertanian ini dipadati oleh jumlah penduduk
sebanyak 4.483, penduduk dengan rincian laki-laki 2.111 orang dan
perempuan 2.372 orang yang menetap di 6 dusun dengan jumlah kepala
keluarga 1.502. Untuk batas wilayah desa Pucangrejo, kecamatan Gemuh,
Kabupaten Kendal adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara : Desa Sukodadi Kec. Kangkung
b. Sebelah selatan : Desa Jenarsari Kec. Gemuh
c. Sebelah timur : Desa Poncorejo, Lumansari, Johorejo
d. Sebelah barat : Desa Wonotenggang Kec. Rowosari
45
2. Struktur Organisasi Desa Pucangrejo
Bagan Organisasi dan tata kerja pemerintahan Desa Pucangrejo, Kec.
Gemuh Kab. Kendal adalah sebagai berikut:
KAUR UMUM & TU
MASYHUDI
SEKRETARIS DESA
SHODIQ
KEPALA DESA
AGUS RIYANTO
KAUR PERENCANAAN
MUKHAROR
KASI PELAYAN
ABDUL CHOLIQ
KASI KESEHATAN
ASMUNI
KASI PEMERINTAHAN
KAMSANI
KAUR KEUANGAN
POERWADI
KADUS II
NANANG
KADUS V
SANTOSO
KADUS IV
SUUDI
KADUS III
MUSLIH
KADUS I
ZUHRON
KADUS VI
BADRU
46
Keterangan:
: Garis komando
----------- : Garis Koordinasi
Kadus I : Bugel Wetan
Kadus II : Bugel Kulon
Kadus III : Nampuroto
Kadus IV : Selotugu
Kadus V : Rancang
Kadus VI : Damarsari
3. Keadaan penduduk
Adapun keadaan penduduk Desa Pucangrejo Kec. Gemh Kab. Kendal
dapat dilihat dari data Demografi pada bulan Januari 2017 dibawah ini
berdasarkan table-tabel klasifikasi berikut ini:
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Menurut Usia
No
Kelompok Umur
(Tahun)
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 0<6 344 330 674
2 7-12 192 191 383
3 13-18 205 194 399
4 19-25 233 263 496
47
5 26-40 608 612 1.220
6 41-55 207 439 646
7 56-65 179 156 335
8 65-75 119 148 267
9 >75 24 39 63
JUMLAH 2.111 2.372 4.483
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Menurut Agama
No Kelompok Agama Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Islam 2.110 2.370 4.480
2 Kristen 1 2 3
3 Katolik - - -
4 Hindu - - -
5 Budha - - -
6 Khonghucu - - -
JUMLAH 2.111 2.372 4.483
48
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan
No Jenis Pendidikan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Tidak Sekolah 99 106 205
2 TK/ Play Group 52 55 107
3 Belum Tamat SD 217 228 445
4 Tidak Tamat SD 138 150 288
5 Tamat SD 804 922 1.726
6 Tamat SLTP 459 487 946
7 Tamat SLTA 330 255 585
8
Tamat akademik/
Diploma
20 19 39
9 Sarjana ke atas 71 71 142
JUMLAH 2.190 2.293 4.483
Tabel 4.4
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 PNS 29 22 51
2 TNI - - -
3 Polri - - -
49
4 Pegawai Swasta 554 425 979
5 Pensiun 57 49 106
6 Pengusaha 31 28 59
7 Buruh Bangunan 68 - 68
8 Buruh Industri 56 43 99
9 Buruh Tani 42 38 80
10 Petani 639 649 1.288
11 Peternak 2 - 2
12 Nelayan 1 - 1
13 Lain-Lain 462 569 1.031
JUMLAH 1.941 1.823 3.764
Tabel 4.5
Jumlah Kepala Keluarga
No Uraian Laki-Laki Perempuan Jumlah
1
Jumlah Kepala
keluarga
1.240 281 1.521
2
Keluarga yang sudah
mempunyai KK
2.326 2.405 4.731
3
Keluarga yang belum
mempunyai KK
- - -
50
Tabel 4.6
Jumlah Keluarga Broken Home
No Nama Dusun Jumlah Keluarga Broken Home
1 Bugel Wetan 4
2 Bugel Kulon 3
3 Nampuroto 2
4 Selotugu 3
5 Rancang 3
6 Damarsari 3
JUMLAH 18
B. Analisis Data
Dari berbagai keluarga broken home yang berada di Ds. Pucangrejo Kec.
Gemuh Kab. Kendal sejak bulan januari 2017 adalah 18 orang, dan penulis
melakukan penelitian kepada 6 responden yang sesuai dengan kriteria terhadap
penelitiannya. yaitu orang tua yang memberikan pendidikan moral kepada anak
usia 6-12 tahun/ bisa disebut fase tamziy, dimana pada fase ini anak sudah mulai
mampu membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri.
Jadi daftar subyek penelitian yang berhasil untuk di teliti adalah sebagai berikut
dengan tanpa nama asli (nama di inisialkan) sebagai bentuk penghormatan peneliti
51
terhadap subyek penelitian. Adapun daftar subyek penelitian yang memenuhi
untuk di teliti adalah:
Tabel 4.7
Daftar Responden
No Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan
1 HI 42 Tahun Laki-Laki Petani
2 JR 38 Tahun Laki-Laki Buruh Bangunan
3 KK 27 Tahun Perempuan Karyawan Swasta
4 DY 40 Tahun Laki-Laki Buruh Tani
5 SD 50 Tahun Laki-Laki Petani
6 JD 45 Tahun Laki-Laki Karyawan Swasta
1. Gambaran pendidikan moral anak dalam keluarga broken home
Kumpulan data yang peneliti analisa dalam skripsi ini dari hasil wawancara
salah satu orang tua yang mendidik morak anak dalam keluarga broken home yang
sesuai dengan ciri-ciri yang dapat dijadikan subyek penelitian/ responden,
dilengkapi dengan data demografi dan geografi yang ada. Mengacu pada fokus
penelitian dalam skripsi ini, maka peneliti akan menganalisa dan menyajikannya
secara sistematis tentang pendidikan moral anak pada keluarga broken home.
52
Setelah peneliti melakukan wawancara dan observasi ke keluarga broken
home di Ds. Pucangrejo Kec. Gemuh Kab. Kendal. Peneliti menemukan
pendidikan moral anak pada keluarga broken home sebagai berikut:
a. Pola pendidikan moral anak pada keluarga broken home Pola asuh orang tua
terhadap pendidikan moral anak dalam keluarga broken home
Di dalam pola pendidikan terdapat pola asuh orang tua dalam
mendidik moral anak-anaknya. Pola asuh adalah cara terbaik dalam
mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak.
Dimana tanggung jawab untuk mendidik anak ini merupakan tanggung
jawab primer. Karena anak adalah hasil dari buah kasih sayang yang diikat
dalam tali perkawinan antara suami istri dalam satu keluarga. Keluarga
adalah satu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi
sosial terpenting dalam merupakan unit sosial yang utama melalui individu-
individu disiapkan nilai hidup dan kebuudayaan yang sama (Toha. 1996.:
109-110).
Menurut Kohn (1971), pola asuh orang tua terhadap anak baik secara
langsung seperti bentuk asuhan orang tua yang berkaitan pembentukan
kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang dilakukan secara sengaja
berupa perintah, larangan, hukuman maupun pemberian hadiah sebagai alat
pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung seperti kehidupan sehari-hari
baik tutur tata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup (Toha, 1996:
109-110).
53
Berdasarkan wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti pada
subyek penelitian hampir semua subyek penelitian memberikan cara pola
asuh dengan materi pendidikan moral anak pada keluarga broken home
adalah :
1) Metode teladan
Para responden lebih sering menggunakan metode teladan karena
metode ini dianggap paling bisa membawa anak mereka untuk
memahami pendidikan moral yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Fase anak-anak pada tahap ini masih tergolong meniru maka dari itu
orang tua menggunakan metode ini agar anak meniru perilaku yang
positif yang diberikan orang tua.
“Pemberian pendidikan moral dalam rumah membiasakan anak
meniru perilaku baik dari saya, misalnya dalam hal disiplin, selalu
mendampingi ketika HIF belajar malam hari sehingga tidak merasa
bosan, dan membiasakan berbicara kepada saya/ orang yang lebih tua
dengan bahasa karma, bahkan HIF mengajarkan bahasa krama
dengan teman-temannya, Alhamdulillah sejauh ini HIF patuh tanpa
ada kata tidak setuju” (KK, 16-05-2017).
“Pendidikan moral yang paling utama adalah di lingkungan
keluarga, saya semaksimal mungkin setiap hari memberikan
keteladanan yang baik agar AA senang dan semangat dalam
melaksanakan tanpa adanya paksaan dan beban, dan menampilkan
sikap saya yang baik dengan demikian anak akan meniru sikap saya
serta untuk lingkungan yang tidak baik saya selalu mengontrol karena
kalau pendidikan itu tidak dimulai dari saya siapa lagi yang akan
mendidiknya, karena saya hanya tinggal berdua dengan AA” (DY, 17-
05-2017).
54
2) Metode hiwar
Subyek penelitian menggunakan hiwar (percakapan), karena
responden menyadari perlunya komunikasi dan tukar pikiran dengan
bercerita kepada anak dalam kegiatan sehari-hari. Baik kegiatan di
sekolah mapun di lingkungan temannya. Sebagaimana hasil penelitian
berikut:
“Di lingkungan sekolah, anak cerita bahwa ada teman sekolah
yang mencela kepadanya, sebagai ibu saya memberi nasihat bahwa
kejahatan tidak harus dibalas sama yang terpenting sinok tidak
mencelanya dahulu, masih ada Allah yang nanti akan membalasnya”
(KK, 16-05-2017).
Melalui metode ini diharapkan anak lebih terbuka, tidak ada hal-hal
yang ditutupi dari orang tua dalam setiap kejadian yang dihadapi anak,
sehingga dari orang tua dapat memberi nasehat maupun penilaian
pesan moral dari perkembangan anaknya.
3) Metode pembiasan diri dan pengalaman
Responden membiasakan anak sejak kecil untuk mengerjakan
tugas-tugasnya, misalnya: sholat, berbicara dengan orang yang lebih
tua dengan bahasa krama, disiplin. Sebagaimana hasil wawancara
responden berikut ini:
“Saya menyadari bahwa pemberian moral kepada anak memang
tidak mudah dengan situasi orangtua yang tidak lengkap seperti
membalikkan telapak tangan, terkadang terjadi pertengkaran kecil
dengannya, namun semua masalah itu bisa diselesaikan dan diterima
dengan baik oleh anak, dengan cara pembiasaan, perkataan dan
teladan yang baik. saya selalu membiasakan anak dengan cara
55
mengajaknya untuk berkomunikasi ketika ada masalah” (HI, 14-05-
2017).
“Pemberian pendidikan moral dalam rumah membiasakan anak
meniru perilaku baik dari saya, misalnya dalam hal disiplin, selalu
mendampingi ketika HIF belajar malam hari sehingga tidak merasa
bosan, dan membiasakan berbicara kepada saya/ orang yang lebih tua
dengan bahasa karma, bahkan HIF mengajarkan bahasa karma
dengan teman-temannya, Alhamdulillah sejauh ini HIF patuh tanpa
ada kata tidak setuju” (KK, 16-05-2017).
Pola asuh orang tua dalam pendikan moral anak dengan metode
pembiasaan diri dan pengalaman sangat sesuai dengan usia anak-anak
yang menuju pada fase remaja, karena pada dasarnya fase ini mereka
anak masih patuh terhadap peraturan orang tua sehingga untuk
pembentukan diri anak dalam hidupnya menjadi teratur, disiplin,
tolong menolong sesama manusia dalam kehidupan sosial.
4) Metode nasihat
Apabila anak dalam berperilaku menyimpang dari syari’at agama
Islam dan orang tua mengetahuinya maka sikap yang dilakukan
dengan nasihat tanpa harus bermain fisik, karena pada fase ini, anak-
anak diperlukan bimbingan dan arahan bukan perlakuan kasar.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh responden berikut ini:
“Apabila HIF tidak sesuai dengan perilaku terpuji, maka secara
langsung saya memberikan arahan dan nasihat bahwa apa yang telah
dilakukan HIF tidak baik” (KK, 16-05-2017).
56
Metode nasihat diharapkan dapat dijadikan teladan yang baik dan
efek jera sehingga anak lebih berhati-hati dalam berperilaku dan
bertindak serta anak tidak akan mengulanginya kembali.
5) Metode hukuman
Apabila dalam menerapkan metode nasihat tidak terlaksana, maka
langkah terakhir dengan metode hukuman kepada anak. Tujuan
pemberian hukuman ini anak jera melakukan perbuatan menyimpang.
b. Faktor penghambat dalam pendidikan moral anak pada keluarga broken
home
Faktor penghambat pendidikan moral anak pada keluarga broken home
disebabkan dua faktor, yaitu faktor internal yang berupa anak malas belajar,
keinginan bermain yang berlebihan dan sikap melawan yang tidak ingin
dididik. Kemudian faktor eksternal yang berupa orang tua terlalu keras
dalam mendidik anak, terdapat banyak aturan dan permintaan dari orang tua,
hubungan yang kurang harmonis dengan anak, dan lemahnya ekonomi
dalam keluarga. Sehingga anak menjadi korban terhadap pendidikan yang
dilakukan oleh orang tua. Berdasarkan hasil temuan wawancara dan
responden yang dilakukan oleh peneliti.
1) Penghambat pendidikan moral dalam keluarga karena faktor anak
malas untuk belajar, sebagaimana yang diungkapkan DY sebagai
berikut:
57
“Saya tidak pernah menginginkan keadaan seperti ini, karena saya
masih memikirkan anak. Namun keadaan yang membuat kata
berpisah, dan ternyata kedaan ini memberikan dampak terhadap AA,
dia menjadi penutup, jarang berbicara kalau tidak ditanya terlebih
dahulu, prestasi belajar menurun” (DY, 17-05-2017).
Selain responden AA, faktor penghambat pendidikan moral
dalam keluarga karena faktor karena anak malas untuk belajar. JD juga
berpendapat sebagaiman kutipannya:
“Saya sangat sedih dan menyanyangkan rumah tangga saya harus
berpisah dengan kata cerai, namun apalah daya inilah hidup yang
harus saya jalani. Kalaupun dipertahankan namun hanya salah pihak
hasilnya akan sia-sia dan nantinya juga akan ada kata bercerai. Awal
perceraian saya merasa terjadi dampak signifikan terhadap LL dan SR
dalam prestasi belajarnya menurun, selalu menanyakan kabar Ibunya
sedangkan dalam segi pendidikan moral, Alhamdulillah anak-anak
berperilaku sesuai pendidikan dalam agama Islam” (JD, 21-05-2017).
2) Penghambat pendidikan moral dalam keluarga karena perilaku
menyimpang anak, seperti yang di ungkapkan HI sebagai berikut
“HI menyadari bahwa ada perubahan yang terjadi dari perilaku SL,
berani mewarnai rambut, berbohong dengan bapaknya dan beratto di
bagian tangan (HI, 14-05-2017)”.
3) Penghambat pendidikan moral dalam keluarga karena faktor
kurangnya pemahaman dalam pendidikan agama Islam, hasil
wawancara dengan responden JR:
“Saya kurang adanya komunikasi dengan anak-anak dan lemahnya
pemahaman saya dengan agama, setelah mengetahui orangtuanya
berpisah, KM dan IN pikirannya kacau, jarang berbicara” (JR, 14-05-
2017).
Dari hasil wawancara di atas dapat terlihat sangat jelas bahwa faktor
penghambat pendidikan moral anak dalam keluarga broken home
adalah anak malas untuk belajar, perilaku menyimpang anak, dan
rendahnya dalam pendidikan agama Islam, sehingga bagi peneliti
58
khususnya dan para pembaca untuk dapat mengoreksi dan memberikan
jalan keluar terhadap masalah keluarga broken home dalam pendidikan
moral anak.
4) Faktor pendukung dalam pendidikan moral anak pada keluarga broken
home
a) Sebagaimana ungkapan dari Ibu KK (27 tahun)
“Pemberian pendidikan moral dalam rumah membiasakan
anak meniru perilaku baik dari saya, misalnya dalam hal disiplin,
selalu mendampingi ketika HIF belajar malam hari sehingga tidak
merasa bosan, dan membiasakan berbicara kepada saya/ orang
yang lebih tua dengan bahasa krama, bahkan HIF mengajarkan
bahasa krama dengan teman-temannya, Alhamdulillah sejauh ini
HIF patuh tanpa ada kata tidak setuju” (KK, 16-05-2017).
Jadi faktor pendukung pendidikan moral anak pada keluarga
broken home terhadap HIF sangat baik bahkan membangun
meskipun dalam lingkungan orang tua yang tidak lengkap, dengan
dibiasakan perilaku yang diberikan dari Ibunya, sehingga HIF
meniru dan dapat berperilaku sesuai dengan syariat Islam bahkan
berbicara sopan kepada Ibu dan orang lain. Semua hal itu atas
usaha dan didikan dari Ibu KK, anaknya juga mengerti tentang
kondisi orang tua berpisah yang terpenting tidak menganggu
dalam segi perilaku moralnya.
b) Bapak DY (40 tahun)
“Pendidikan moral yang paling utama adalah di lingkungan
keluarga, saya semaksimal bahkan setiap hari memberikan
keteladanan yang baik agar DY senang dan semangat dalam
59
melaksanakan tanpa adanya paksaan dan beban, dan
menampilkan sikap saya yang baik dengan demikian anak akan
meniru sikap saya serta untuk lingkungan yang tidak baik saya
selalu mengontrol karena kalau pendidikan itu tidak dimulai dari
saya siapa lagi yang akan mendidiknya, karena saya hanya
tinggal berdua dengan AA” (DY, 17-05-2017).
Untuk faktor pendukung pendidikan moral anak pada keluarga
broken home adalah dari segi orang tua yaitu Bapak DY dalam
mendidik anaknya setiap hari sejak usia dini, sehingga dari anak
berperilaku dengan mentaati norma-norma yang berlaku sesuai
hatinya tanpa adanya paksaan.
c) Bapak SD (50 tahun)
“Saya sangat responsive dalam pendidikan moral bagi anak-
anak, selain di lingkungan keluarga, saya memasukkan mereka ke
sekolah dan saya sangat mempercayakan ke pihak guru – guru
guna mencetak generasi muda yang bermoral. Setelah mereka
pulang sekolah, sorenya mereka berangkat madrasah diniyah
awaliyah (MDA) untuk belajar dalam bidang agama, karena saya
beranggapan tidak hanya cukup anak-anak menuntut ilmu dalam
bidang ilmu umum, mereka juga harus menuntut ilmu agama
yang merupakan dasar utama dalam berperilaku” (SD, 18-05-
2017).
Dalam hal ini faktor pendukungnya berasal dari usaha orang
tua untuk memberikan pendidikan yang tidak hanya anak belajar
di pendidikan formal anak juga perlu belajar di pendidikan non
formal, dengan harapan anak dapat berperilaku apa yang baik dan
buruk agar berguna bagi dirinya dan orang lain. Sehingga dari
anak akan berdampak pada pendidikan moralnya sesuai yang
diharapkan orang tua mencetak generasi muda yang bermoral,
60
meskipun dengan salah satu orang tua yang berperan aktif dalam
pendidikannya.
c. Solusi yang ditemukan dalam pendidikan moral anak pada keluarga broken
home
1) Apabila anak malas untuk belajar maka langkah yang dilakukan
dengan mencoba berbicara secara langsung kepada anak dengan
menguatkan mentalnya, walaupun orang tua berpisah tidak tinggal satu
atap, akan tetapi anak masih tetap mempunyai sosok ayah dan ibu yang
tidak akan pernah tergantikan. sehingga dari langkah ini anak menjadi
sangat terbuka senang cerita apa yang dia rasakan dan rajin dalam
belajar serta hubungan orang tua dengan anak sangat dekat.
2) Perilaku menyimpang anak dalam pendidikan moralnya, maka solusi
sebagai orang tua secara tegas menasehatinya tanpa harus dengan
kekerasan sehingga anak menyesali perilakunya dan tidak
mengulanginya kembali serta sejak dini anak harus dibekali dengan
pendidikan agama.
3) Faktor rendahnya pemahaman agama orang tua dalam mendidik moral
anak, maka oramg tua tidak terlalu memberikan nasihat atau teladan,
yang terpenting hanya mengawasi perilakunya, memberikan nafkah
untuk makan dan pendidikan, jika periakunya menentang dan tidak
sesuai maka dengan teguran.
61
Berdasarkan hasil dari proses wawancara dan observasi yang
dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1) Bapak HI (42 tahun)
Bapak HI merupakan orangtua tunggal dari SL (12 tahun) yang
bertempat tinggal di Dusun Nampuroto Desa Pucangrejo kec. Gemuh
kab. Kendal. Penyebab HI menjadi orang tua tunggal yang merawat SL
karena ketidaksetiaan seorang isteri ketika HI bekerja di luar kota untuk
menafkahi anak dan isterinya, mengetahui pasangannya menjalin
hubungan dengan orang lain, setelah HI pulang ke rumah, yang terjadi
rumah tangganya mengalami ketidakharmonisan dan pertengkaran yang
setiap hari terjadi sehingga HI memutuskan untuk mengakhiri dengan
kata perceraian tahun 2010 dan hak asuh anak jatuh kepada HI.
Menjadi orangtua tunggal bagi SL yang masih duduk di kelas 3
sekolah dasar tidak mudah, namun semaksimal mungkin HI berperan
ganda sebagai Bapak sekaligus Ibu bagi SL. Dalam pemberian
pendidikan moral kepada SL, HI memberikan contoh-contoh
keteladanan yang telah diatur dalam agama Islam, misalnya: akhlaqul
karimah dalam bersikap di lingkungan masyarakat, membiasakan
dalam berbicara menggunakan bahasa krama kepada orang yang lebih
tua darinya dan mencontoh suri tauladan nabi Muhammad Saw.
Sebagaimana ungkapan HI berikut:
62
“Saya menyadari bahwa pemberian moral kepada anak memang
tidak mudah dengan situasi orang tua yang tidak lengkap seperti
membalikkan telapak tangan, terkadang terjadi pertengkaran kecil
dengannya, namun semua masalah itu bisa diselesaikan dan diterima
dengan baik oleh anak, dengan cara pembiasaan, perkataan dan
teladan yang baik. saya selalu membiasakan anak dengan cara
mengajaknya untuk berkomunikasi ketika ada masalah” (HI, 14-05-
2017).
Pendidikan moral harus seimbang di lingkungan sekolah dan
rumah, apabila hanya salah satu akan mengakibatkan kurangnya
pemahaman SL dalam bertingkah laku sehingga menjadi bebas dalam
bertindak tanpa mentaati tata cara yang baik sesuai dalam agama Islam.
Di lingkungan rumah ketika berhadapan dengan SL, HI bersikap
lembut sehingga apa yang HI berikan untuk kebaikannya dalam
pendidikan moral diterapkan olehnya. bersikap tegas dan menegur
apabila SL bersikap tidak sesuai dengan agama Islam, namun harus
pada taraf normal agar anak menjadi tidak semakin membantah. Dalam
memilih teman HI mempercayakan kepada SL, walaupun memberi
kepercayaan tetapi HI sering bertanya-tanya pada SL tentang sifat-sifat
teman bermainnya sehingga HI dapat memberikan arahan agar tidak
terjerumus perilaku tercela.
Setiap anak yang mengalami keluarga broken home menimbulkan
dampak negative terhadap pendidikan moralnya. HI menyadari hal itu,
misalnya setelah SL mengetahui bahwa Ibunya meninggalkan dia dan
bapaknnya, perilakunya menjadi pendiam, sangat membenci bahkan
tidak ingin bertemu kembali dengan Ibunya, namun HI memberi
63
nasehat bahwa Ibu adalah ibu, soal orang tua bercerai urusan mereka,
selain itu SL berani mewarnai rambut, berbohong dengan bapaknya dan
beratto di bagian tangan, melihat perilaku anak menjadi nakal, sebagai
Bapak HI secara tegas menasehatinya tanpa harus dengan kekerasan
sehingga anak menyesali perilakunya dan tidak mengulanginya
kembali.
Orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang sholeh dan
sholehah salah satunya HI menginginkan hal itu, setelah SL lulus
sekolah dasar, kemudian melanjutkan ke sekolah menengah pertama
dengan tujuan agar SL mendapat pendidikan moral selain di luar
lingkungan rumah dengan bimbingan seorang guru. Namun hanya
bertahan sampai kelas 1 dan memutuskan untuk keluar, kemudian HI
memasukkannya ke Pondok Pesantren, akan tetapi yang terjadi SL
hanya bertahan selama 6 bulan dengan alasan - alasan tertentu.
Sekarang SL hanya di rumah dengan pengawasan HI yang selalu
memantau dari segi pendidikan moralnya.
2) Bapak JR (38 tahun)
JR merupakan orang tua tunggal yang berumur 38 tahun dari kedua
anak-anakya KM (12 tahun) dan IN (11 tahun) karena sebuah
perceraian dengan istrinya pada tahun 2016. Sampai saat ini JR bekerja
sebagai buruh bangunan, hal ini lantas tidak membuat JR lupa pada
tugas utama untuk mendidik anak-anaknya. Ketika disinggung JR
64
dapat mendidik anak-anaknya seorang diri tanpa adanya bantuan
seorang isteri, tentu ini bukan sebuah pilihan tetapi adalah sebuah
keadaan yang mengharuskan JR untuk menjadi bapak yang mandiri,
tegar dan pekerja keras.
Kondisi setelah perceraian, mengharuskan JR berperan ganda
sebagai bapak sekaligus ibu dalam pendidikan moral di lingkungan
rumah. Dalam pemberian pendidikan moral JR tidak sepenuhnya secara
intensif bahkan bisa dikatakan JR kurang dalam memberikannya karena
kurangnya waktu di dalam rumah dengan bekerja sebagai buruh
bangunan dan yang paling utama masalah dalam keluarganya, karena
untuk saat ini kedua anaknya sangat terpukul atas berpisahnya orang
tua sehingga mereka menyibukkan diri sendiri, yang terpenting anak-
anaknya sejauh ini tidak melakukan perilaku menyimpang dari syari’at
agama Islam. Seperti pernyataannya di bawah ini :
“Saya menyadari kurang adanya komunikasi dengan anak-anak dan
lemahnya pemahaman saya dengan agama, setelah mengetahui orang
tuanya berpisah, mereka pikirannya kacau, jarang berbicara sehingga
dari saya tidak terlalu memberikan nasihat atau teladan, yang
terpenting saya hanya mengawasi perilakunya, memberikan nafkah
untuk makan dan pendidikan, jika perilakunya menentang dan tidak
sesuai saya tegur mereka” (JR, 14-05-2017).
Dalam lingkungan sekolah JR mempercayakan pendidikan moral
anaknya pada pihak sekolah tetapi dalam dilingkungan rumah dan
bermain, JR hanya mengawasi dan meminta bantuan kepada ibunya
untuk mengawasi dan mengurusi mereka karena JR merasa repot kalau
65
harus mengurus rumah dan mencari nafkah. Untuk lingkungan teman
bermainnya JR tidak membatasi, mereka bebas berteman dengan
siapapun yang terpenting tidak melakukan perilaku menyimpang.
Setiap perceraian pasti akan memberian dampak terhadap
psikologis anak. KM dan IN mengetahui bahwa orang tua tidak
lengkap, mereka merasa kurang adanya perhatian dan kasih sayang
yang diberikan, sehingga KM dan IN lebih sering keluar rumah dengan
bermain ke rumah teman-temannya. Sepertin ungkapan JR berikut ini:
“Sesudah saya berpisah dengan istri, dampak sangat besar terlihat
dari perilaku KM dan IN, prestasi mereka dalam belajar menurun,
sering malas-malasan dala belajar, sekarang menjadi pendiam dan
jarang di rumah, lebih sering keluar rumah” (JR, 14-05-2017).
3) Ibu KK (27 tahun)
KK merupakan orang tua tunggal yang berumur 27 tahun karena
perceraian dengan suaminya tahun 2012, sejak anak semata wayangnya
umur 3 tahun, JR sudah mengasuhnya yang sekarang menginjak umur
8 tahun duduk di sekolah dasar kelas dua.
Peran sebagai Ibu tunggal tidak akan bisa maksimal dalam
keikutsertaan dalam mendidik HIF terutama pada pendidikan moral
pada anaknya. Dalam hal pendidikan moral di lingkungan keluarga,
memberikan sistem anak meniru dan melihat dari perilaku ibunya.
Sebagaimana ungkapan dari JR:
“Pemberian pendidikan moral dalam rumah membiasakan anak
meniru perilaku baik dari saya, misalnya dalam hal disiplin, selalu
66
mendampingi ketika HIF belajar malam hari sehingga tidak merasa
bosan, dan membiasakan berbicara kepada saya/ orang yang lebih tua
dengan bahasa krama, bahkan HIF mengajarkan bahasa krama
dengan teman-temannya, Alhamdulillah sejauh ini HIF patuh tanpa
ada kata tidak setuju” (KK, 16-05-2017).
Di lingkungan sekolah, ibu mempercayakan sepenuhnya kepada
pihak sekolah, sedangkan di lingkungan teman KK hanya
membolehkan HIF berteman kepada teman yang dekat dengan
rumahnya karena KK mengetahui latar belakang dari keluarganya.
Apabila HIF tidak sesuai dengan perilaku terpuji, maka secara langsung
KK memberikan arahan dan nasihat bahwa apa yang telah dilakukan
HIF tidak baik. Hubungan KK dan HIF sangat dekat, KK membiasakan
HIF untuk selalu menceritakan setelah pulang dari sekolah baik dalam
hal belajarnya, gurunya maupun temannya. Hal ini dapat dilihat pada
ungkapan KK berikut ini:
“Di lingkungan sekolah, anak cerita bahwa ada teman sekolah
yang mencelanya kepadanya, sebagai ibu saya memberi nasihat bahwa
kejahatan tidak harus dibalas sama yang terpenting sinok tidak
mencelanya dahulu, biar Allah yang membalasnya” (KK, 16-05-2017).
Terdapat dampak dari perceraian KK terhadap HIF, anak menjadi
minder, kurang percaya diri. Sebagaimana ungkapan dari KK:
“Anak pulang sekolah sesampai di rumah menangis, saya
menanyakannya, anak menjawab karena temannya mengejek dengan
kalimat „hasna tidak mempunyai bapak‟. Melihat hal ini saya sebagai
Ibu memberi pengarahan “sinok mempunyai bapak tetapi kita tidak
tinggal serumah. Ketika saya dan anak jalan-jalan, ditempat yang
sama HIF melihat ada anak seumurnya jalan bersama ayah dan
adeknya. Kemudian HIF bertanya kepada saya „dia mempunyai bapak
dan adik lengkap ya Bu, HIF kapan seperti mereka?‟ Saya menjawab:
67
Ya nanti akan ada saatnya HIF mempunyai bapak dan adik” (KK, 16-
05-2017).
4) Bapak DY (40 tahun)
Bapak DY menjadi orang tua tunggal karena harus bercerai dengan
istrinya pada tahun 2016. Saat ini DY memiliki anak AA yang sudah
berumur 12 tahun. Ketika ditanya perasaan saat bercerai walaupun DY
seorang laki-laki tetapi DY juga mengaku sedih. Tetapi DY tidak
terpuruk karena DY harus tetap bekerja untuk memberikan nafkah
kepada anak dan membiayai dalam hal pendidikannya.
Dalam lingkungan keluarga DY mengaku memberikan pendidikan
moral agar RA menjadi anak yang bermoral, pemahaman DY dengan
memberikan keteladanan yang baik agar anak dapat mengambil sikap
positif dari DY, dan memberikan hukuman yang bersifat memberi
pelajaran sehingga anak tidak merasa didiskriminasi. Sebagaimana
kutipan dari DY:
“Pendidikan moral yang paling utama adalah di lingkungan
keluarga, saya semaksimal bahkan setiap hari memberikan
keteladanan yang baik agar AA senang dan semangat dalam
melaksanakan tanpa adanya paksaan dan beban, dan menampilkan
sikap saya yang baik dengan demikian anak akan meniru sikap saya
serta untuk lingkungan yang tidak baik saya selalu mengontrol karena
kalau pendidikan itu tidak dimulai dari saya siapa lagi yang akan
mendidiknya, karena saya hanya tinggal berdua dengan AA” (DY, 17-
05-2017).
Pendidikan di sekolah sangat penting, DY mempercayakan
sepenuhnya kepada pihak sekolah, karena pendidikan formal sebagai
68
batu loncatan dari pendidikan di keluarga. DY sangat protektif dalam
perilaku anak dan memberikan secara intens agar anak berperilaku
sesuai amar ma‟ruf nahi mungkar. Dalam hal memilih teman DY tidak
pernah membatasi AA harus berteman dengan siapa, AA bebas
berteman dengan siapa saja yang terpenting AA bisa mengetahui mana
yang baik dan buruk. Tetapi kalau sampai ada hal yang menyimpang
maka DY langsung bertindak untuk memarahinya.
Perceraian selalu berakibat pada perilaku anak, DY sebenarnya
tidak menginginkan ini terjadi, akan tetapi semuanya telah terjadi dan
sudah garis ilahi berpisah dengan istri. Walaupun demikian DY harus
bangkit dari keterpurukan karena masih ada anak yang harus di rawat
dan bimbing. DY menyadari bahwa awal setelah orang tuanya berpisah
AA menjadi perempuan yang penutup, tidak suka berbagi cerita apa
yang AA rasakan kepada DY, prestasi belajar juga menjadi menurun.
Namun DY semaksimal mungkin memberikan pengertian.
Sebagaimana kutipan dari DY:
“Saya tidak pernah menginginkan keadaan seperti ini, karena saya
masih memikirkan anak. Namun keadaan yang membuat kata berpisah,
dan ternyata kedaan ini memberikan dampak terhadap AA, dia menjadi
penutup, jarang berbicara kalau tidak ditanya terlebih dahulu, prestasi
belajar menurun. Melihat hal seperti ini saya harus berpikir harus
secepatnya menyelesaikan masalah penting ini, saya mencoba
berbicara hanya berdua kepada AA, Alhamdulillah AA mengerti
keadaan ini. lambat laun AA menjadi sangat terbuka senang cerita apa
yang dia rasakan dan rajin dalam belajar serta hubungan saya dengan
anak sangat dekat” (DY, 17-05-2017).
69
5) Bapak SD (50 tahun)
Menjadi bapak tunggal yang merawat dari ketiga anak-anaknya HM
(12 tahun), LA (9 tahun) dan BS (8 tahun) karena sebuah perceraian
tahun 2015. Kalau berbicara disaat SD bagaimana mendidik ketiga
anak tanpa bantuan adanya seorang istri, bisa dibayangkan anak-anak
masih seumur itu saya harus merawatnya seorang diri, namun hal ini
tidak membuat saya patah semangat, justru menjadi sebuah ambisi
semangat untuk bekerja keras dan merawat ketiga anak-anak.
Ungkapan dari SD:
“Ketika saya berangkat bertani ke sawah mengajak anak-anak,
walaupun disana mereka duduk manis atau bermain-main di sawah,
saya tetap mengawasinya. Terkadang kalau situasinya tidak
memungkinkan mereka untuk dibawa, saya titipkan ke tetangga rumah.
Alhamdulillah tetangga rumah senang dan memang menawarkan diri
lebih baik dititipkan disini saja dari pada di bawa ke sawah yang
panas” (SD, 18-05-2017).
Dalam mendidik moral dilingkungan keluarga tidak jauh berbeda
oleh responden yang lain, yaitu SD sebagai kepala keluarga
menampilkan keteladan yang baik kemudian anak-anak meniru
sehingga memberikan dampak positif dalam perilakunnya. Pendidikan
yang paling utama adalah di lingkungan keluarga, SD dalam mendidik
moral sangat mengayomi dan sejauh ini anak-anak menerima dengan
senang hati tanpa adanya suatu ketidaksetujuan. Apabila dalam
berperilaku HM, LA dan BS melanggar norma tidak sesuai dengan
70
akhlaq terpuji, SD sebagai bapak tunggal yang berperan aktif dalam
pendidikan moral mereka langsung menegur bahkan memarahinya agar
anak jera dan tidak mengulanginya.
Pendidikan tidak cukup hanya di lingkungan keluarga, namun harus
diimbangi di sekolah formal, SD mempercayakan sepenuhnya bahwa
pendidikan di sekolah agar membentuk karakter yang bermoral
terhadap anak-anaknya. SD juga memasukkan ke sekolah madrasah
diniyah awaliyah. Sebagaimana ungkapan SD:
“Saya sangat responsive dalam pendidikan moral bagi anak-anak,
selain di lingkungan keluarga, saya memasukkan mereka ke sekolah
dan saya sangat mempercayakan ke pihak guru – guru guna mencetak
generasi muda yang bermoral. Setelah mereka pulang sekolah, sorenya
mereka berangkat madrasah diniyah awaliyah (MDA) untuk belajar
dalam bidang agama, karena saya beranggapan tidak hanya cukup
anak-anak menuntut ilmu dalam bidang ilmu umum, mereka juga harus
menuntut ilmu agama yang merupakan dasar utama dalam
berperilaku” (SD, 18-05-2017).
Setelah orang tuanya memutuskan bercerai, HM, LA dan BS
responnya sangat setuju karena mereka menganggap setelah ibunya
bekerja ke luar negeri sebagai TKW sudah tidak ada komunikasi
bahkan sudah tidak memperhatikan anak-anak baik dari segi kasih
sayang, perkembangan moralnya dan pendidikannya. Semua hal itu
ditanggung oleh SD sebagai kepala keluarga sehingga ketika
mendengar orangtuanya becerai, HM, LA dan BS senang bahkan
mendukung 100 % kepada SD. Hubungan anak-anak sangat dekat
dengan SD, sejauh ini mereka patuh apa yang diajarkan SD, dan tidak
71
terdapat dampak negatif akibat perceraian orang tuanya karena sejak
awal mereka sangat mendukung keputusan SD untuk berpisah serta
mereka lebih senang diasuh olehnya tanpa rasa kesepian sosok seorang
Ibu.
Untuk pergaulan HM, LA dan BS di lingkungan dan sekolah, SD
hanya memonitoring teman-temannya, namun sejauh ini anak-anak
masih pada taraf wajar tidak pernah berperilaku menyimpang.
6) Bapak JD (45 tahun)
Bapak JD menjadi orang tua tunggal karena bercerai dengan
istrinya tahun 2014. JD dikarunia dua buah hati, yang pertama LL (12
tahun) dan SL (11 tahun) keduanya diasuh oleh JD. Sebelum perceraian
keadaan rumah sangat terurus karena ada sosok istri sebagai kepala
rumah tangga yang mengatur semua urusan keluarga dengan baik,
sedangkan JD hanya fokus pada tugasnya mencari nafkah.
Kondisi sesudah perceraian memaksa JD untuk berperan ganda
selain sebagai seorang ayah tetapi JD harus bisa juga sebagai seorang
ibu. Untuk pendidikan moral LL dan SR, JD mengaku dalam
lingkungan keluarga membiasakan sejak kecil dengan selalu berusaha
menciptakan kondisi yang membuat mereka bersedia mengikuti sikap
yang di lakukan oleh ayahnya tanpa ada paksaan.
Dalam lingkungan keluarga JD memberikan materi pendidikan
moral dengan selalu berbuat baik kepada siapapun, patuh kepada JD
72
sebagai ayahnya, membiasakan sesudah sholat maghrib anak mengaji
bersama dengan didampingi JD. Sebagaimana ungkapan JD:
“Ditengah kesibukan saya bekerja untuk mencari nafkah untuk
anak-anak, namun saya sangat memperhatikan pendidikan moral dan
agama terhadap LL dan SL. Saya membiasakan mereka sesudah sholat
maghrib untuk mengaji bersama di rumah dengan bimbingan saya,
dilingkungan keluarga juga saya membiasakan mereka untuk berbicara
dengan bahasa krama bahkan di lingkungan masyarakat ketika
berhadapan dengan orang yang lebih tua, terkadang juga saya
meluangkan waktu untuk mengajak mereka berziarah ke makam tokoh-
tokoh ulama, tujuannya untuk meniru keteladanan beliau baik dari segi
semangat dalam mengajarkan akhlak terpuji maupun dari segi
prestasinya sehingga LL dan SR dapat meneladaninya“ (JD, 21-05-
2017).
Untuk pendidikan moral LL dan SL harus seimbang antara
pendidikan keluarga dan pendidikan sekolah. Dalam pendidikan
sekolah JD sangat mempercayakan kepada guru – guru yang
membimbingnya, ketika kenaikan kelas menerima rapot JD konsultasi
secara langsung bagaimna perilaku moral dan pendidikannya di
sekolah, sehingga JD mengetahui adakah kemajuan dari anak-anaknya.
JD menyadari kalau pendidikan moral dilakukan hanya salah satu tidak
akan berhasil, walaupun pendidikan yang pertama yang diperoleh di
lingkungan keluarga. Apabila saya mendapatkan LL dan SL berbuat
jelek menyimpang dari norma maka pasti JD tegur atau marahi bahkan
bisa sampai hukum.
Di lingkungan masyarakat JD membatasi pergaulan LL dan SL
terhadap teman-temanya, ketika anak-anaknya bersosialisasi dengan
teman baru maka JD harus mengetahui latar belakang perilaku
73
temannya sehinga LL dan SL tidak akan terjerumus ke perilaku
menyimpang karena JD sangat memperhatikan untuk pendidikan
moralnya. JD menyadari bahwa menjadi orangtua tunggal untuk anak-
anak perempuannya tidak mudah, JD harus mengawasi dan mengayomi
untuk kebaikan LL dan SL.
Setiap pasangan memutuskan untuk menikah seumur hidup dalam
janji suci sampai maut memisahkan, tidak ada niat untuk bercerai.
Namun pada kenyataannya janji suci yang diucapkan dalam ikatan
pernikahan harus berakhir dengan kata bercerai, rumah tangga JD dan
istri sudah tidak ada keharmonisan, sering terjadinya pertengkaran dan
keegoisan dari keduanya sehingga solusi yang tepat dengan jalan
perceraian. Sesudah bercerai LL dan SL ikut dalam asuhan JD, terlihat
dampak yang terjadi terhadap anak-anaknya. Sebagaimana ungkapan
JD:
“Saya sangat sedih dan menyanyangkan rumah tangga saya harus
berpisah dengan kata cerai, namun apalah daya inilah hidup yang
harus saya jalani. Kalaupun dipertahankan namun hanya salah satu
pihak hasilnya akan sia-sia dan nantinya juga akan ada kata bercerai.
Awal perceraian saya merasa terjadi dampak signifikan terhadap LL
dan SL dalam prestasi belajarnya menurun, selalu menanyakan kabar
Ibunya sedangkan dalam segi pendidikan moral, Alhamdulillah anak-
anak berperilaku sesuai pendidikan dalam agama Islam. Solusi saya
mengatasi masalah-masalah tersebut dengan menguatkan mental
mereka walaupun antara saya dan istri sudah tidak tinggal bersama
dengan LL dan SR, tetapi kalian tetap masih mempunyai seorang sosok
ayah dan Ibu tidak akan pernah tergantikan. Alhamdulillah hubungan
anak-anak dengan Ibunya masih terjalin dengan baik melalui via
telepon, apabila anak-anak kangen dan ingin bertemu dengan ibunya,
74
saya dengan senang hati mengantarnya bahkan membolehkan mereka
menginap di rumah ibunya“(JD, 21-05-2017).
d. Sebab-sebab anak menjadi keluarga broken home
Dari 6 responden penelitian yang mengalami perpisahan menjadi
orang tua tunggal terhadap anak karena faktor perceraian. Untuk lebih
jelasnya peneliti gambarakan sebagai berikut:
TABEL 4.8
Daftar Responden Penyebab Keluarga Broken Home
No Nama
Sebab Broken
Home
Jenis
Kelamin
Alamat
1 HI Bercerai Laki-Laki
Dusun Nampuroto, rt 01/rw
03.
2 JR Bercerai Laki-Laki
Dusun Bugel kulon, rt 04/
rw 02
3 KK Bercerai Perempuan
Dusun Nampuroto, rt 02/ rw
03
4 DY Bercerai Laki-Laki
Dusun Damarsari, rt 03/ rw
06
5 SD Bercerai Laki-Laki Dusun Rancang, rt 01 / rw
75
05
6 JD Bercerai Laki-Laki
Dusun Bugel kulon, rt 02/
rw 02
Dari tabel di atas dapat diketahui gambaran responden penelitian yang
menjadi orang tua tunggal dalam pendidikan moral anak dalam keluarga
broken home karena perceraian ada 6 responden.
Bagi beberapa keluarga, perceraian dianggap putusan yang paling baik
untuk mengakhiri rasa tertekan, rasa takut, cemas dan ketidaktenteraman.
e. Pendidikan Moral anak dalam Keluarga Broken Home
Pendidikan moral sangat tergantung pada peran orang tua dalam
mendidik anaknya karena pada dasarnya pendidikan pertama yang
diperoleh anak di lingkungan keluarga. Peran orang tua sangat besar
dalam mendidik anak untuk membentuk karakter dalam perkembangan
anak, apabila orang tua memberi teladan dalam kebaikan dan
memperhatikan pendidikan moral anak, maka anak akan berperilaku
sesuai perilaku terpuji dengan tidak menyimpang dari norma agama Islam.
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi
tumbuh kembangnya anak. Anak akan berkembang optimal apabila
mereka mendapatkan stimulasi yang baik dari keluarga. Oleh karena itu
76
pola penting yang tepat dapat dijadikan sarana untuk perkembangan moral
anak.
Keluarga merupakan salah satu wahana yang sangat penting dalam
pendidikan dan tempat kepribadian dasar manusia, dan orang tua sebagai
pendidik dan sekaligus sebagai penangung jawab, sudah sewajarnya
menyediakan dan mengatur sarana dan kondisi untuk belajar anak sebagai
subjek pendidik yang berpotensi.
Sebagai pusat pendidikan yang utama dan pertama adalah keluarga.
Secara kodrati, tentulah oarng tua si anak berkewajiban menjadi anaknya.
Karena di dalam keluarga anak mendapat pendidikan yang pertama, yang
akan menjadi dasar perkembangan selanjutnya. Anak pada waktu lahir
sangat lemah dan tidak berdaya, maka anak membutuhkan pertolongan
dari orang-orang yang ada disekitarnya. Karena itu fungsi keluarga sangat
penting bagi anaknya. Suasana di dalam keluarga berpengaruh pada
perkembangan pribadinya. Karena itu diusahakan suasana penuh kasih
sayang, mesra dan akrab.
Moral, sebagai sumber utamanya berasal dari agama. Dengan moral
inilah manusia akan menjadi lebih baik dan sempurna. Tanpa moral
manusia akan berperilaku menyimpang. Pentingnya peranan orang tua,
apabila anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral
atau tidak mengerti cara mendidik, ditambah dengan lingkungan
77
masyarakat yang kurang mengindahkan moral, maka hasilnya akan tidak
bermoral.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat
menyimpulkan dari hasil penelitian mengenai Pendidikan Moral Anak Pada
Keluarga Broken Home di Desa Pucangrejo Kecamatan Gemuh Kabupaten
Kendal sebagai berikut:
1. Pola pendidikan moral anak pada keluarga broken home Home di Desa
Pucangrejo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal terdapat pola asuh atau
cara yang sering digunakan oleh subyek atau responden penelitian dalam
mendidik moral anak, sebagai berikut: metode teladan, metode Hiwar
(percakapan), metode pembiasaan diri dan pengalaman, metode nasihat dan
metode hukuman.
2. Faktor penghambat dan pendukung terhadap pendidikan moral anak dalam
keluarga broken home terdapat tiga faktor, yaitu: karena faktor anak malas
dalam belajar, perilaku menyimpang anak dan kurangnya pemahaman agama
orang tua dalam pendidikan moral anak. Adapun faktor pendukung yaitu
memberian pendidikan moral sejak dini sehingga anak terbiasa dengan sadar
berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku, memberikan pendidikan yang
tidak hanya anak belajar di pendidikan formal anak juga perlu belajar di
79
pendidikan non formal dan pentingnya pendidikan agama terhadap anak sejak
dini.
3. Solusi yang ditemukan dalam pendidikan moral anak pada keluarga broken
home di Desa Pucangrejo Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal yaitu apabila
anak malas dalam belajar dengan menguatkan mentalnya tentang masalah
orang tua, kemudian dari pihak orang tua memberikan perhatian yang khusus
untuk mendukung prestasi belajarnya, pemberian moral yang lebih mendalam
kepada anak agar anak tidak terjerumus kepada perilaku menyimpang, dan
pentingnya pemberian agama untuk membentengi anak sehingga dapat
memahami dan menerapkan dengan rujukan mana yang baik dan buruk.
B. Saran-saran
Diharapkan studi tentang pendidikan moral anak pada keluarga broken home
di Ds. Pucangrejo Kec. Gemuh Kab. Kendal, dapat disempurnakan dengan
mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain, sehingga dapat memberikan
gambaran yang lengkap pada pendidikan moral anak. Untuk itu harapan penulis
sebagai berikut:
1. Orang tua: dalam memberikan pola asuh orang tua memberikan pendidikan
moral anak dalam keluarga hendaknya diimbangi dengan pelaksanakan dan
perilaku yang baik sehingga menjadi teladan yang baik terhadap anaknya serta
dalam pelaksanaannya berperilaku sesuai dengan akhlaqul karimah.
80
2. Responden: senantiasa untuk membimbing dan mengarahkan anaknya, karena
orang tua berperan aktif dalam pembentukan pendidikan moral anak agar
perilakunya tidak menyimpang dari agama Islam.
3. Masyarakat: pihak masyarakat ikut berperan dengan membantu dalam
memberikan pendidikan moral anak agar terbentuk generasi muda yang
bermoral dalam bertindak.
4. Saran kepada peneliti lain yang hendak ingin meneliti obyek yang sama yaitu,
pendidikan moral dalam keluarga broken home hendaknya mengambil tema
lain agar lebih kreatif dan inovatif sekaligus menambah khasanah wawasan
dan pengetahuan bagi masyarakat.
81
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2012. (Ilmu Tasawuf). Jakarta: Hamzah.
Asmaran, As. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Baiquni, Ahmad Nizar. 2016. Jika Salah Mengasuh Dan Mendidik Anak.
Yogyakarta: Sabil.
Budiningsih, Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta PT Rineka Cipta.
Budiningsih, Asri. 2008. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dagun, Save M. 2002. Psikologi Keluarga. Jakarta: Pt Rineka Cipta.
Daradjat, Zakiyah. 1970. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Daradjat, Zakiyah. 1993. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Daryono. 1998. Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Solo: PT
Rineka Cipta.
Dekan Fakultas Tarbiyah. 1999. Metodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: IAIN
Walisongo & Pustaka Pelajar.
Fatchurrohman. 2012. Kemitraan Pendidikan. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Gunarsa, Ny. Singgih D. 2007. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: PT BPK.
Gunung Mulia, Jafar Ahiri, Haq, Pendais & Anwar Hafid. 2014. Konsep Dasar Ilmu.
Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Hasan, Maimunah. 2010. Pendidikan Anak Usia Dini, Jogjakarta: Diva Press.
Hendrowibowo. 2007. Pendidikan Moral. Uny Fip: Majalah Dinamika.
Huda, Miftahul. 2009. Ildealitas Pendidikan Anak. Malang: UIN Malang Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1996. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Jaelani. A. F. 2000. Penyucian Jiwa Dan Kesehatan Mental. Jakarta: Amzah.
82
Khorida & Fadillah. 2014. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Kompri. 2016. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Lilif Mualifatu Kholida & Muhammad Fadillah. 2013. Pendidikan Karakter Anak
Usia Dini. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nazir. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Romi Toufiqoh, 2007. Pentingnya Pendidikan Moral, Yogyakarta: Fbs, Uny.
Sadulloh, Uyoh. Pedagogik (Ilmu Mendidik). 2014. Bandung: Cv Alfabeta.
Sudarsono. 2004. Kenalakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sudarsono & Saliman. 1994. Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung. Alfabeta.
Susanto, Ahmad. 2011. Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta. Kencana Penada
Media Group.
Setya Tri Nugraha, Slamet Soewandi, Widharyanto, Barli Bram. 2005. Pelangi
Pendidikan Tinjauan Dari Berbagai Perspektif, Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Sholihin, M. 2003. Tasawuf Tematik. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sholihin, M. 2004. Terapi Sufistik. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak. 2008. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sydney C. Mifflen & Frank J. Mifflen.1986. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Tarsito.
Ulwan, Abdullah Nashih. 1981. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang.
Asy-Syifa’.
83
Umar, Husein. 2003. Metode Riset Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Ulwan, Abdullah Nashih. 2009. Mencintai Dan Mendidik Anak Secara Islami.
Jogjakarta: Darul Hikmah.
http://Sosiologi.Fisid.Uns.Ac.Id/Online-Jurnal/: Dikutip Pada Tanggal 31 Mei 2017.
13.00).
http://Problematikainteraksianakkeluargabrokenhomepdf/:30mei2017:19).
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
Narasumber : Orang Tua yang Mengasuh Anak
Judul penelitian : Pendidikan Moral Anak Pada Keluarga Broken Home
(Studi Kasus di Desa Pucangrejo Kecamatan Gemuh
Kabupaten Kendal)
1. Metode dan cara bagaimana yang anda gunakan dalam memberikan pendidikan
moral kepada anak?
2. Apa peran anda dalam menentukan lingkungan sekolah dan lingkungan bermain
bagi anak anda?
3. Siapa sajakah yang anda libatkan dalam proses pendidikan moral anak?
4. Kapankah anda memberikan pendidikan moral pada anak dalam keluarga?
5. Apa yang menyebabkan keluarga bisa terjadi broken home?
6. Dampak apa sajakah yang anda ketahui dari broken home terhadap perilaku
anak?
7. Faktor penghambat dan pendukung apa saja yang anda hadapi dalam
memberikan pendidikan moral kepada anak dalam keluarga broken home?
PEDOMAN WAWANCARA
96
Nama : Bapak HI
Usia : 42 tahun
Pekerjaan : Petani
Waktu : 14 Mei 2017
Tempat : Rumah Bapak HI
1. Metode dan cara bagaimana yang anda gunakan dalam memberikan pendidikan
moral kepada anak?
“Dalam pemberian pendidikan moral kepada SL, saya memberikan contoh-
contoh keteladanan yang telah diatur dalam agama Islam, misalnya: akhlaqul
karimah dalam bersikap di lingkungan masyarakat, membiasakan dalam
berbicara menggunakan bahasa krama kepada orang yang lebih tua darinya dan
mencontoh suri tauladan nabi Muhammad Saw”.
2. Apa peran anda dalam menentukan lingkungan sekolah dan lingkungan bermain
bagi anak anda?
”Saya menyadari bahwa pendidikan moral harus seimbang di lingkungan
sekolah dan rumah, apabila hanya salah satu akan mengakibatkan kurangnya
pemahaman SL dalam bertingkah laku sehingga menjadi bebas dalam bertindak
tanpa mentaati tata cara yang baik sesuai dalam agama Islam. Di lingkungan
rumah ketika berhadapan dengan SL, saya bersikap lembut sehingga apa yang
saya berikan untuk kebaikannya dalam pendidikan moral diterapkan olehnya.
bersikap tegas dan menegur apabila SL bersikap tidak sesuai dengan agama
Islam, namun harus pada taraf normal agar anak menjadi tidak semakin
membantah”.
3. Siapa sajakah yang anda libatkan dalam proses pendidikan moral anak?
HASIL WAWANCARA
97
“Dalam pemberian moral di lingkungan rumah saya sendiri berperan aktif,
kemudian untuk lingkungan sekolah saya mempercayakan kepada pihak guru
untuk memberikan pendidikannya”.
4. Kapankah anda memberikan pendidikan moral pada anak dalam keluarga?
“Saya memberikan pendidikan moral di lingkungan keluarga”.
5. Apa yang menyebabkan keluarga bisa terjadi broken home?
“Penyebab saya menjadi orang tua tunggal yang merawat SL karena
ketidaksetiaan seorang isteri ketika saya bekerja di luar kota untuk menafkahi
anak dan isterinya, mengetahui pasangannya menjalin hubungan dengan orang
lain, setelah saya pulang ke rumah, yang terjadi rumah tangganya mengalami
ketidakharmonisan dan pertengkaran yang setiap hari terjadi sehingga saya
memutuskan untuk mengakhiri dengan kata perceraian tahun 2010 dan hak asuh
anak jatuh kepada saya”.
6. Dampak apa sajakah yang anda ketahui dari broken home terhadap perilaku
anak?
“Setelah anak mengetahui bahwa Ibunya meninggalkan dia dan bapaknnya,
perilakunya menjadi pendiam, sangat membenci bahkan tidak ingin bertemu
kembali dengan Ibunya, namun saya memberi nasihat bahwa Ibu adalah ibu,
soal orang tua bercerai urusan mereka, selain itu SL berani mewarnai rambut,
berbohong dengan bapaknya dan beratto di bagian tangan, melihat perilaku
anak menjadi nakal. Sebagai Bapak, saya secara tegas menasihatinya tanpa
harus dengan kekerasan sehingga anak menyesali perilakunya dan tidak
mengulanginya kembali”.
7. Faktor penghambat dan pendukung apa saja yang anda hadapi dalam
memberikan pendidikan moral kepada anak dalam keluarga broken home?
“Untuk faktor penghambat dalam memberikan pendidikan moral kepada anak,
awalnya sangat sulit karena setelah orangtua bercerai terdapat dampak yang
signifikan dalam perilakunya. Kemudian untuk faktir pendukung saya
memguatkan mental SL, bahwa walaupun kita hanya tinggal berdua, Bapak akan
semaksimal mungkin memberikan perhatian dan kasih sayang kepada SL”.
98
Nama : Bapak JR
Usia : 38 tahun
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Waktu : 14 Mei 2017
Tempat : Rumah Bapak JR
1. Metode dan cara bagaimana yang anda gunakan dalam memberikan pendidikan
moral kepada anak?
“Saya menyadari kurang adanya komunikasi dengan anak-anak dan lemahnya
pemahaman saya dengan agama, setelah mengetahui orang tuanya berpisah,
mereka pikirannya kacau, jarang berbicara sehingga dari saya tidak terlalu
memberikan nasihat atau teladan, yang terpenting saya hanya mengawasi
perilakunya, memberikan nafkah untuk makan dan pendidikan, jika perilakunya
menentang dan tidak sesuai saya tegur mereka”.
2. Apa peran anda dalam menentukan lingkungan sekolah dan lingkungan bermain
bagi anak anda?
“Dalam lingkungan sekolah saya mempercayakan pendidikan moral anaknya
pada pihak sekolah tetapi dalam dilingkungan rumah dan bermain, saya hanya
mengawasi dan meminta bantuan kepada ibunya untuk mengawasi dan
mengurusi mereka karena saya merasa repot kalau harus mengurus rumah dan
mencari nafkah. Untuk lingkungan teman bermainnya saya tidak membatasi,
mereka bebas berteman dengan siapapun yang terpenting tidak melakukan
perilaku menyimpang”.
3. Siapa sajakah yang anda libatkan dalam proses pendidikan moral anak?
HASIL WAWANCARA
99
“Selain saya yang kurang berperan dalam pemberian moral dan agama, saya
meminta bantuan Ibu saya untuk membantu dalam pembentukan moral anak-
anak, karena sibuknya saya dalam bekerja”.
4. Kapankah anda memberikan pendidikan moral pada anak dalam keluarga?
“Untuk pemberian moral saya tidak secara intensif, yang terpenting saya
mengawasi perilakunya, apabila menetang saya tegur”.
5. Apa yang menyebabkan keluarga bisa terjadi broken home?
“Karena sebuah perceraian dengan istri pada tahun 2016”.
6. Dampak apa sajakah yang anda ketahui dari broken home terhadap perilaku
anak?
“Sesudah saya berpisah dengan istri, dampak sangat besar terlihat dari perilaku
KM dan IN, prestasi mereka dalam belajar menurun, sering malas-malasan dala
belajar, sekarang menjadi pendiam dan jarang di rumah, lebih sering keluar
rumah”.
7. Faktor penghambat dan pendukung apa saja yang anda hadapi dalam
memberikan pendidikan moral kepada anak dalam keluarga broken home?
“Untuk faktor penghambat saya menyadari kurangnya pemahaman agama saya
dalam pendidikan moral, sehingga anak-anak hanya memperoleh pendidikan di
lingkungan sekolas. Tidak seimbnagnya anata pendidikan keluarga dengan
sekolah. Sejauh ini saya hanya mengamati dan mengawasinya. Sedangkan untuk
faktor pendukung tidak ada yang nyata”.
100
Nama : Ibu KK
Usia : 27 tahun
Pekerjaan : Karnyawan swasta
Waktu : 16 Mei 2017
Tempat : Rumah Ibu KK
1. Metode dan cara bagaimana yang anda gunakan dalam memberikan pendidikan
moral kepada anak?
“Pemberian pendidikan moral dalam rumah membiasakan anak meniru perilaku
baik dari saya, misalnya dalam hal disiplin, selalu mendampingi ketika HIF
belajar malam hari sehingga tidak merasa bosan, dan membiasakan berbicara
kepada saya/ orang yang lebih tua dengan bahasa krama, bahkan HIF
mengajarkan bahasa krama dengan teman-temannya, Alhamdulillah sejauh ini
HIF patuh tanpa ada kata tidak setuju”..
2. Apa peran anda dalam menentukan lingkungan sekolah dan lingkungan bermain
bagi anak anda?
“Di lingkungan sekolah, saya mempercayakan sepenuhnya kepada pihak
sekolah, sedangkan di lingkungan teman saya hanya membolehkan HIF
berteman kepada teman yang dekat dengan rumahnya karena mengetahui latar
belakang dari keluarganya. Apabila HIF tidak sesuai dengan perilaku terpuji,
maka secara langsung saya memberikan arahan dan nasihat bahwa apa yang
telah dilakukan HIF tidak baik. Hubungan saya dan anak sangat dekat, saya
membiasakan HIF untuk selalu menceritakan setelah pulang dari sekolah baik
dalam hal belajarnya, gurunya maupun temannya. Di lingkungan sekolah, anak
cerita bahwa ada teman sekolah yang mencelanya kepadanya, sebagai ibu saya
memberi nasihat bahwa kejahatan tidak harus dibalas sama yang terpenting
sinok tidak mencelanya dahulu, biar Allah yang membalasnya”.
3. Siapa sajakah yang anda libatkan dalam proses pendidikan moral anak?
HASIL WAWANCARA
101
“Alhamdulillah anaknya penurut, jadi saya bisa memberikan pendidikan moral
dalam lingkungan rumah dengan baik. Ketika saya bekerja, HIF bersama kakek
& neneknya, mereka juga berpengaruh dalam pemberian moral anak saya”.
4. Kapankah anda memberikan pendidikan moral pada anak dalam keluarga?
“Setiap hari, setelah saya pulang bekerja. Misalnya ketika HIF belajar saya
menemani & membantunya tugas di sekolah, karena saya tidak ingin masalah
orang tuanya yang tidak lengkap, anak merasa kehilangan rasa kasih sayang
dan perhatian dari orang tua”.
5. Apa yang menyebabkan keluarga bisa terjadi broken home?
“Karena perceraian dengan suaminya tahun 2012, sejak anak semata
wayangnya umur 3 tahun, saya sudah mengasuhnya yang sekarang menginjak
umur 8 tahun duduk di sekolah dasar kelas dua”.
6. Dampak apa sajakah yang anda ketahui dari broken home terhadap perilaku
anak?
“Anak menjadi minder, kurang percaya diri, dan ketika anak pulang sekolah
sesampai di rumah menangis, saya menanyakannya, anak menjawab karena
temannya mengejek dengan kalimat „hasna tidak mempunyai bapak‟. Melihat hal
ini saya sebagai Ibu memberi pengarahan “sinok mempunyai bapak tetapi kita
tidak tinggal serumah. Ketika saya dan anak jalan-jalan, ditempat yang sama
HIF melihat ada anak seumurnya jalan bersama ayah dan adeknya. Kemudian
HIF bertanya kepada saya „dia mempunyai bapak dan adik lengkap ya Bu, HIF
kapan seperti mereka?‟ Saya menjawab: Ya nanti akan ada saatnya HIF
mempunyai bapak dan adik”.
7. Faktor penghambat dan pendukung apa saja yang anda hadapi dalam
memberikan pendidikan moral kepada anak dalam keluarga broken home?
“Faktor penghambat dalam pemberian moral sejauh ini tidak ada, karena
anaknya penurut dan saya berpisah dengan bapaknya ketika HIF berumur 3
tahun, kemudian untuk pendukungnya dalam pemberian pendidikan moral dalam
rumah membiasakan anak meniru perilaku baik dari saya, misalnya dalam hal
disiplin, selalu mendampingi ketika HIF belajar malam hari sehingga tidak
merasa bosan, dan membiasakan berbicara kepada saya/ orang yang lebih tua
dengan bahasa krama, bahkan HIF mengajarkan bahasa krama dengan teman-
temannya, Alhamdulillah sejauh ini HIF patuh tanpa ada kata tidak setuju”.
102
Nama : Bapak DY
Usia : 40 tahun
Pekerjaan : Buruh tani
Waktu : 17 Mei 2017
Tempat : Rumah Bapak DY
1. Metode dan cara bagaimana yang anda gunakan dalam memberikan pendidikan
moral kepada anak?
“Pendidikan moral yang paling utama adalah di lingkungan keluarga, saya
semaksimal bahkan setiap hari memberikan keteladanan yang baik agar AA
senang dan semangat dalam melaksanakan tanpa adanya paksaan dan beban,
dan menampilkan sikap saya yang baik dengan demikian anak akan meniru
sikap saya serta untuk lingkungan yang tidak baik saya selalu mengontrol
karena kalau pendidikan itu tidak dimulai dari saya siapa lagi yang akan
mendidiknya, karena saya hanya tinggal berdua dengan anak”.
2. Apa peran anda dalam menentukan lingkungan sekolah dan lingkungan bermain
bagi anak anda?
“Saya mempercayakan sepenuhnya kepada pihak sekolah, karena pendidikan
formal sebagai batu loncatan dari pendidikan di keluarga. Dalam hal memilih
teman saya tidak pernah membatasi AA harus berteman dengan siapa, anak
bebas berteman dengan siapa saja yang terpenting AA bisa mengetahui mana
yang baik dan buruk. Tetapi kalau sampai ada hal yang menyimpang maka sikap
saya langsung bertindak untuk memarahinya”.
3. Siapa sajakah yang anda libatkan dalam proses pendidikan moral anak?
“Saya berperan aktif dalam pemberian moral anak, karena saya hanya tinggakl
berdua dengan anak”.
4. Kapankah anda memberikan pendidikan moral pada anak dalam keluarga?
HASIL WAWANCARA
103
“Setiap hari membiasakan memberikan keteladanan yang baik agar AA senang
dan semangat dalam melaksanakan tanpa adanya paksaan dan beban, dan
menampilkan sikap saya yang baik dengan demikian anak akan meniru sikap
saya”.
5. Apa yang menyebabkan keluarga bisa terjadi broken home?
“Karena perceraian pada tahun 2016”.
6. Dampak apa sajakah yang anda ketahui dari broken home terhadap perilaku
anak?
“Dia menjadi penutup, jarang berbicara kalau tidak ditanya terlebih dahulu,
prestasi belajar menurun”.
7. Faktor penghambat dan pendukung apa saja yang anda hadapi dalam
memberikan pendidikan moral kepada anak dalam keluarga broken home?
“Penghambat setelah saya berpisah dengan ibunya, anak menjadi malas untuk
belajar, menjadi pendiam dan menjadi penutup lebih suka mengurung diri di
kamar. Kemudian untuk faktor pendukung dalam lingkungan keluarga saya
membiasakan memberikan pendidikan moral setiap hari dengan keteladanan
yang baik dari saya sehingga anak senang dan semangat dalam
melaksanakannya”.
104
Nama : Bapak SD
Usia : 50 tahun
Pekerjaan : Karnyawan swasta
Waktu : 18 Mei 2017
Tempat : Rumah Bapak JD
1. Metode dan cara bagaimana yang anda gunakan dalam memberikan pendidikan
moral kepada anak?
“Sebagai kepala keluarga menampilkan keteladan yang baik kemudian anak-
anak meniru sehingga memberikan dampak positif dalam perilakunnya.
Pendidikan yang paling utama adalah di lingkungan keluarga, saya dalam
mendidik moral sangat mengayomi dan sejauh ini anak-anak menerima dengan
senang hati tanpa adanya suatu ketidaksetujuan”.
2. Apa peran anda dalam menentukan lingkungan sekolah dan lingkungan bermain
bagi anak anda?
“Saya sangat responsive dalam pendidikan moral bagi anak-anak, selain di
lingkungan keluarga, saya memasukkan mereka ke sekolah dan saya sangat
mempercayakan ke pihak guru – guru guna mencetak generasi muda yang
bermoral. Setelah mereka pulang sekolah, sorenya mereka berangkat madrasah
diniyah awaliyah (MDA) untuk belajar dalam bidang agama, karena saya
beranggapan tidak hanya cukup anak-anak menuntut ilmu dalam bidang ilmu
umum, mereka juga harus menuntut ilmu agama yang merupakan dasar utama
dalam berperilaku”.
3. Siapa sajakah yang anda libatkan dalam proses pendidikan moral anak?
“Saya sendiri yang mengasuh dan membimbing memberikan pendidikan moral
anak-anak”.
4. Kapankah anda memberikan pendidikan moral pada anak dalam keluarga?
“Setiap saat karena pendidikan moral sangat penting dalam pembentukan
karakter anak-anak dalam bertindak”.
HASIL WAWANCARA
105
5. Apa yang menyebabkan keluarga bisa terjadi broken home?
“Karena sebuah perceraian tahun 2015”.
6. Dampak apa sajakah yang anda ketahui dari broken home terhadap perilaku
anak?
“Ketika saya memutuskan untuk bercerai dengan istri, anak-anak sagat
mendukung keputusan bapaknya. Mereka juga merasakan ketika ibunya
memutuskan untuk berkerja ke luar negeri, sikap dari ibunya sudah tidak
memberikan komunikasi, perhatian dan kasih sayang kepada mereka, sehingga
untuk dampak dari perceraian orang tua, dari anak-anak tidak terlihat. Tidak
ada perubahan yang ditimbulkan dari perilakunya“.
7. Faktor penghambat dan pendukung apa saja yang anda hadapi dalam
memberikan pendidikan moral kepada anak dalam keluarga broken home?
“Faktor pendukungnya usaha saya untuk memberikan pendidikan yang tidak
hanya anak-anak belajar di pendidikan formal mereka juga perlu belajar di
pendidikan non formal, dengan harapan mereka dapat berperilaku apa yang
baik dan buruk agar berguna bagi dirinya dan orang lain. Sehingga dari anak-
anak berdampak pada pendidikan moralnya sesuai yang diharapkan orang tua
mencetak generasi muda yang bermoral, meskipun dengan salah satu orang tua
yang berperan aktif dalam pendidikannya”.
106
Nama : Bapak JD
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : Petani
Waktu : 21 Mei 2017
Tempat : Rumah Bapak JD
1. Metode dan cara bagaimana yang anda gunakan dalam memberikan pendidikan
moral kepada anak?
“Dalam lingkungan keluarga membiasakan sejak kecil dengan selalu berusaha
menciptakan kondisi yang membuat anak-anak bersedia mengikuti sikap yang di
lakukan oleh saya tanpa ada paksaan. Ditengah kesibukan saya bekerja untuk
mencari nafkah untuk anak-anak, namun saya sangat memperhatikan pendidikan
moral dan agama terhadap LL dan SL. Saya membiasakan mereka sesudah
sholat maghrib untuk mengaji bersama di rumah dengan bimbingan saya,
dilingkungan keluarga juga saya membiasakan mereka untuk berbicara dengan
bahasa krama bahkan di lingkungan masyarakat ketika berhadapan dengan
orang yang lebih tua, terkadang juga saya meluangkan waktu untuk mengajak
mereka berziarah ke makam tokoh-tokoh ulama, tujuannya untuk meniru
keteladanan beliau baik dari segi semangat dalam mengajarkan akhlak terpuji
maupun dari segi prestasinya sehingga mereka dapat meneladaninya“.
2. Apa peran anda dalam menentukan lingkungan sekolah dan lingkungan bermain
bagi anak anda?
“Saya merasa harus seimbang antara pendidikan keluarga dan pendidikan
sekolah. Dalam pendidikan sekolah saya sangat mempercayakan kepada guru –
guru yang membimbingnya, ketika kenaikan kelas menerima rapot saya
konsultasi secara langsung bagaimna perilaku moral dan pendidikannya di
sekolah, sehingga mengetahui adakah kemajuan dari anak-anaknya. Di
lingkungan masyarakat saya membatasi pergaulan LL dan SR terhadap teman-
temanya, ketika anak-anaknya bersosialisasi dengan teman baru maka saya
harus mengetahui latar belakang perilaku temannya sehinga mereka tidak akan
HASIL WAWANCARA
107
terjerumus ke perilaku menyimpang karena saya sangat memperhatikan untuk
pendidikan moralnya. JD menyadari bahwa menjadi orangtua tunggal untuk
anak-anak perempuannya tidak mudah, saya harus mengawasi dan mengayomi
untuk kebaikan mereka”.
3. Siapa sajakah yang anda libatkan dalam proses pendidikan moral anak?
“Sebagai bapak sekaligus kepala rumah tangga saya bertindak tunggal dam
memberikan pendidikan moralnya”.
4. Kapankah anda memberikan pendidikan moral pada anak dalam keluarga?
“Setelah saya pulang bekerja, harus memberikan pendidikan moral kepada
anak-anak perempuan saya”.
5. Apa yang menyebabkan keluarga bisa terjadi broken home?
“Karena bercerai dengan istrinya tahun 2014”.
6. Dampak apa sajakah yang anda ketahui dari broken home terhadap perilaku
anak?
“Saya sangat sedih dan menyanyangkan rumah tangga saya harus berpisah
dengan kata cerai, namun apalah daya inilah hidup yang harus saya jalani.
Kalaupun dipertahankan namun hanya salah satu pihak hasilnya akan sia-sia
dan nantinya juga akan ada kata bercerai. Awal perceraian saya merasa terjadi
dampak signifikan terhadap LL dan SR dalam prestasi belajarnya menurun,
selalu menanyakan kabar Ibunya sedangkan dalam segi pendidikan moral,
Alhamdulillah anak-anak berperilaku sesuai pendidikan dalam agama Islam.
Solusi saya mengatasi masalah-masalah tersebut dengan menguatkan mental
mereka walaupun antara saya dan istri sudah tidak tinggal bersama dengan
mereka, tetapi kalian tetap masih mempunyai seorang sosok ayah dan Ibu tidak
akan pernah tergantikan. Alhamdulillah hubungan anak-anak dengan Ibunya
masih terjalin dengan baik melalui via telepon, apabila anak-anak kangen dan
ingin bertemu dengan ibunya, saya dengan senang hati mengantarnya bahkan
membolehkan mereka menginap di rumah ibunya”.
7. Faktor penghambat dan pendukung apa saja yang anda hadapi dalam
memberikan pendidikan moral kepada anak dalam keluarga broken home?
“Setelah perceraian orang tua anak-anak dalam prestasi belajarnya menurun,
menjadi pendiam. Melihat ha itu saya juga sangant merasa sedih, saya sebagai
bapak menguatkan mentalnya akibat masalah yang terjadi oleh orang tua”.
108
FOTO-FOTO
1. Wawancara dengan bapak HI
2. Wawancara dengan bapak JR
109
3. Wawancara dengan ibu KK
4. Wawancara dengan bapak DY
5. Wawancara dengan bapak SD
110
6. Wawancara dengan bapak JD
111