pendidikan di sekolah berbasis agama dalam...

34
PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam Oleh: MUHAMMAD ABRAR PARINDURI NIM. 13.3.00.1.03.01.0009 Pembimbing Prof. Dr. Abuddin Nata, MA Prof. Dr. Suwito, MA SEKOLAH PASCASARJANA PENGKAJIAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA

    DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL

    Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara

    Disertasi

    Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

    Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam

    Oleh:

    MUHAMMAD ABRAR PARINDURI

    NIM. 13.3.00.1.03.01.0009

    Pembimbing

    Prof. Dr. Abuddin Nata, MA

    Prof. Dr. Suwito, MA

    SEKOLAH PASCASARJANA

    PENGKAJIAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    2017

  • i

    KATA PENGANTAR

    Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat

    rahmat dan karunia-Nya disertasi dengan judul Pendidikan di Sekolah Berbasis Agama dalam Perspektif Multikultural: Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Kristen di Sumatera Utara dapat diselesaikan. Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun manusia dari kebodohan

    kepada kecerdasan untuk dapat hidup dalam peradaban dan kemajuan.

    Dalam penyelesaian disertasi ini, terdapat berbagai kesulitan antara lain

    pembagian waktu dalam hal perkuliahan, pekerjaan dan juga keluarga. Kesulitan

    lainnya berkaitan dengan lokasi penelitian yang jaraknya terlalu jauh dengan pusat

    perkotaan serta kesulitan dalam mendapatkan akses informasi tentang buku-buku

    yang relevan dan otoritatif. Namun semuanya dapat diatasi dengan baik berkat

    bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas bantuan

    tersebut diucapkan terima kasih kepada saudara Acep Nugraha, Iredho Fani Reza

    dan juga kakanda Dr. Amirsyah Tambunan, MA, Hazuarli Haz, MA serta Tomy

    Hidayat.

    Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk

    Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan STAIS

    Abdul Halim Kota Binjai sebagai tempat penulis bekerja selama perkuliahan

    maupun penyelesaian disertasi. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga

    disampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr.

    Suwito, MA, selaku pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan

    dan arahan dalam penulisan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA

    selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.

    Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih

    yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Didin Saepudin,

    MA selaku ketua Prodi Doktor yang selalu meluangkan waktu untuk verifikasi

    perkembangan disertasi. Terimakasih yang setinggi-tingginya juga penulis

    sampaikan kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Malik Fadjar, MA,

    Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Prof. Dr. Husni

    Rahim, MA, Prof. Dr. Syukron Kamil, MA, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dr.

    Yusuf Rahman, MA, Dr. Fuad Jabali, MA., serta seluruh dosen Sekolah

    Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyajikan berbagai mata

    kuliah selama penulis menempuh studi dan juga telah memberikan masukan dan

    kritikan-kritikan selama penulis menempuh berbagai ujian dalam penyelesaian

    disertasi ini, mulai dari ujian proposal, WIP I dan WIP II, ujian Komprehensif

    Lisan, Ujian Pendahuluan dan Promosi Doktor.

    Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah

    membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian penulisan

    disertasi ini seperti petugas perpustakaan Pascasarjana dan Pusat Perpustakaan UIN

    Jakarta, staff sekretariat SPs UIN Jakarta; Mas Arif, Mas Adam, Mba Vemy, Mba

    Ema dll yang selalu memberikan pelayanan dengan cepat untuk mahasiswa SPs

    UIN Jakarta, serta teman-teman yang banyak memberikan bantuan moral dan

  • ii

    material dalam diskusi bersama yang sering dilakukan, seperti Dr. Sofyan Abbas,

    MA, Dr. Lia Kian, MA, Saparuddin, MA, Abdul Hakim Wahid, Firman Mansir,

    MA, Amin Sutikno, MAP, M. Ridho Syabibi, MA (mereka adalah alumni dan para

    kandidat Doktor SPs UIN Jakarta).

    Ucapan terimakasih yang teristimewa disampaikan kepada kedua orangtua,

    Ayahanda Karasim Parinduri dan Ibunda Nur'aini Siregar atas segala kesabaran, doa

    yang tiada henti dan motivasi mereka dalam penyelesaian disertasi ini, begitu juga

    dengan Ayahanda Dahlan Rais, M.Hum yang telah memberikan bantuan moril dan

    materil, semoga Allah melimpahkan berkahnya kepada mereka dan memanjangkan

    usianya. Begitu juga untuk kakak, Yusrina, Dinal Aflah, Delyana Rahmawany, dll.

    Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunianya kepada semua keluarga

    tercinta.

    Dan penghargaan yang terbesar disampaikan kepada isteri penulis Delyani

    Fatmawina Pulungan S.Pd dan putra penulis; Muhammad Al-Rafaeyza. Kesabaran

    dan pengertian mereka membuat penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan

    lancar. Kepada mereka itulah, disertasi ini dipersembahkan.

    Jakarta, 08 November 2017

    Penulis

    Muhammad Abrar Parinduri

  • iii

    PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA

    DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL

    Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara

    ABSTRAK

    .

    Penelitian ini membuktikan bahwa pendidikan yang menanamkan ragam

    perbedaan agama, budaya, dan ras dapat menumbuhkan sikap dan perilaku

    multikultural. Implementasi penanaman sikap dan perilaku multikultural pada

    sekolah berbasis agama dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, melalui kebijakan sekolah ditandai dengan adanya kesediaan untuk menerima siswa dengan

    latar belakang agama yang berbeda; Kedua, internalisasi nilai-nilai multikultural melalui pengembangan kurikulum dan proses belajar mengajar; Ketiga, proses interaksi sosial yang terjadi di masing-masing sekolah telah memberikan pelayanan

    yang sama terhadap semua peserta didik (equality), mengembangkan prasangka yang baik di kalangan siswa dan memberikan penghargaan yang sama terhadap

    nilai-nilai budaya berbeda yang dikembangkan.

    Hasil penelitian ini mendukung argumen James A Banks (2008), yang

    menyatakan bahwa untuk memberikan kesempatan yang sama dalam mencapai

    prestasi akademis di sekolah baik siswa pria maupun wanita, siswa berkebutuhan

    khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur

    yang beragam diperlukan sebuah konsep pendidikan multikultural yang mengakui

    dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya

    hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari

    individu, kelompok maupun negara. Ia mendefinisikan pendidikan

    multikultural adalah ide, gerakan, dan pembaharuan pendidikan.

    Pada saat bersamaan penelitian ini memiliki perbedaan dengan Lihua Geng

    (2013) dan Lillian R Robinson (2010) yang menempatkan guru dan kepala sekolah

    sebagai faktor utama dalam menciptakan pelaksanaan pendidikan multikultural

    yang baik di sekolah. Menurut peneliti guru dan kepala sekolah hanya salah satu

    faktor dan bukan faktor utama karena terdapat faktor lain yang memungkinkan

    dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.

    Selain itu penelitian ini juga berbeda dengan Larry L Zimmerman (2007)

    mengatakan bahwa identitas kebudayaan nasional seseorang akan semakin kuat jika

    dihadapkan dengan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda.

    Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan

    SMA Methodist Kuala sejak Juli 2015 sampai dengan Oktober 2017. Metode yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan studi lapangan dan studi

    kepustakaan. Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh pemahaman

    mendalam tentang indikator dari beberapa jawaban, khususnya yang berkaitan

    dengan pendidikan multikultural di sekolah berbasis agama, fokusnya adalah situasi

    atau siswa tertentu, dan penekanannya pada makna yang ditafsirkan berdasarkan

    ungkapan-ungkapan dari pemberi informasi. Adapun sumber data utama (primer)

  • iv

    dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) melalui wawancara kepada Ketua Yayasan, Komite Sekolah, Kepala Sekolah, Guru bidang studi agama dan umum, dokumen-dokumen yang mendukung

    data penelitian serta beberapa siswa di masing-masing sekolah berbasis agama.

    Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang relevan dengan

    pendidikan multikultural yang tersebar di banyak literatur, buku-buku yang

    berkaitan dengan pembahasan, artikel-artikel otoritatif yang ditulis oleh ahlinya,

    untuk memperkuat analisis empiris dalam menjawab permasalahanan penelitian.

  • iii

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin.

    b = ب t = ت th = ث j = ج h{ = ح kh = خ d = د dh = ذ r = ر

    z = ز s = س sh = ش s{ = ص d{ = ض t} = ط z{ = ظ ع = ‘gh = غ

    f = ف q = ق k = ك l = ل m = م n = ن h = ه w = و y = ي

    Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan h}araka>t dan huruf, yaitu:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

    Latin

    Keterangan

    a> a dengan garis di اatas

    i> i dengan garis di يatas

    u> u dengan garis di وatas

  • vi

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

    PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................................. iii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv

    ABSTRAK ....................................................................................................... vi

    PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... viii

    DAFTAR ISI .................................................................................................... ix

    BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

    A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah .................................................................... 15

    C. Perumusan Masalah .................................................................... 16

    D. Pembatasan Masalah ................................................................... 16

    E. Tujuan Penelitian ........................................................................ 16

    F. Signifikansi .................................................................................. 16

    G. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ........................................... 17

    H. Metode Penelitian ....................................................................... 24

    I. Sistematika Penulisan .............................................................. 26

    BAB II DISKURSUS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ...................... 27

    A. Sejarah Multikulturalisme .......................................................... 27

    B. Multikulturalisme dalam Pandangan Islam dan Kristen ........... 31

    C. Praktik Multikulturalisme Periode Islam Klasik ........................ 53

    D. Pendidikan Multikultural dalam Sistem Pendidikan Nasional .. 67

    BAB III SEKOLAH BERBASIS AGAMA ................................................. 87

    A. Pengertian Sekolah Berbasis Agama .............................................. B. Kultur Pendidikan di Sumatera Utara ........................................ 87 C. Dinamika Pendidikan dalam Perspektif Multikultural .............. 89

    1. SMP Muhammadiyah-37 Air Joman .................................... 89

    2. SMA Methodist Kuala .......................................................... 97

    BAB IV INTERNALISASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL PADA

    SEKOLAH BERBASIS AGAMA ....................................................

    A. Kebijakan Sekolah .........................................................................

    B. Proses Pembelajaran .......................................................................

    C. Aktivitas Keagamaan ......................................................................

    D. Kegiatan Intra dan Ekstrakurikuler ................................................

    BAB V IMPLEMENTASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DI SEKOLAH

    BERBASIS AGAMA ................................................................. 163

    A. Memperkuat Human Relation dalam Iklim Sekolah ................ 163 B. Equity Pedagogy pada Intra dan Ekstrakurikuler ..................... 184 C. Aktifitas Sosial Kemasyarakatan: Living Together ................. 202

  • vii

    BAB VI PENUTUP DAN KESIMPULAN .............................................. 209

    A. Kesimpulan ............................................................................... 209

    B. Saran .......................................................................................... 210

    DAFTAR PUSTAKA

    GLOSARIUM

    INDEKS

    LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Pada era reformasi, Indonesia mengalami kebudayaan yang cenderung

    mengarah pada disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, krisis moneter,

    ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah

    mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan

    negara. Akibat dari ini semua, rajutan kebudayaan masyarakat telah tercabik-cabik.1

    Negara Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Dikatakan demikian

    karena di dalam kehidupan masyarakatnya diwarnai oleh berbagai jenis kelompok

    etnis atau suku bangsa, bahasa, adat istiadat, budaya, agama atau sistem religi.

    Kenyataan yang demikian tentu telah dibuktikan lewat adanya suku-suku yang

    menetap dan hidup di wilayah Indonesia. Dalam penelitian etnologi dikatakan bahwa

    jumlah suku bangsa yang hidup di Indonesia lebih kurang 600 dengan identitas

    budayanya sendiri-sendiri yang berbeda-beda.

    Disamping itu, multikulturalisme

    Indonesia juga dapat dibuktikan dengan adanya kepercayaan yang beraneka ragam

    seperti antara lain Islam, Kristen, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta

    berbagai macam aliran kepercayaan.

    Bangsa Indonesia yang berada di dalam ras mongoloid, pada rumpun

    malayan mongoloid terdiri dari berbagai etnis yang menyebar pada ribuan pulau.

    Etnis di wilayah Indonesia sebagaimana dinyatakan Koentjaraningrat, biasanya

    masih berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat yang mula-mula disusun

    oleh Van Vollenhoven meliputi; Aceh, Gayo-Alas dan Batak, Nias dan Batu,

    Minangkabau, Mentawai, Sumatera Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Biliton,

    Kalimantan, Minahasa, Sangir-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, jawa

    Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Surakarta dan Jawa Timur.

    Pada masing-masing lingkungan hukum adat itulah terdapat berbagai etnis

    yang keseluruhannya + 190 suku bangsa pada 30 propinsi, tidak termasuk Timor

    Timur. Dari 190 suku bangsa ini masih bervariasi dalam ribuan sub suku bangsa.

    Sekalipun pada sejumlah besar wilayah pedalaman dan kepulauan terpencil masih

    dihuni oleh suku bangsa yang homogen, akan tetapi pada sebahagian wilayah

    perkotaan, khususnya di tingkat propinsi, kota, kabupaten, bahkan kecamatan telah

    dimukimi oleh suku-suku bangsa yang heterogen, secara berdampingan tanpa batas-

    batas khusus untuk masing-masing etnis, agama dan pelapisan sosial. Di Jakarta

    1 Lihat dalam Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun

    Multikulturalisme Indonesia, http://snb.or.id/article/14/identitas-dan-krisis-budaya-membangun-multikulturalisme-indonesia (acessed March 15, 2017). Lihat juga

    Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integritasi Nasional (Jakarta, UI Press, 1993) dan Henk Schulte Nordholt dan Hanneman Samuel (eds), Indonesia in Transition: Rethinking Region Civil Society and Crisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 74.

    http://snb.or.id/article/14/identitas-dan-krisis-budaya-membangun-multikulturalisme-indonesiahttp://snb.or.id/article/14/identitas-dan-krisis-budaya-membangun-multikulturalisme-indonesia

  • 2

    sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia hingga pelbagai wilayah di tanah air,

    heterogenitas etnis, agama, dan pelapisan sosial, demikian banyak dan berbaur dalam

    beragam pemukiman, lapangan pekerjaan, keorganisasian sosial hingga lembaga

    pendidikan.

    Secara historis bangsa-bangsa di dunia ditopang oleh integritas-internal

    setiap etnis, agama, pelapisan sosial dan lintas berbagai etnis serta pelapisan

    masyarakat yang hidup dalam wilayah tertentu di daratan bumi dimana mereka

    menyepakati tegaknya negara berdaulat. Setiap etnis mempunyai kebutuhan hidup

    yang akan mereka jawab dengan perkembangan kebudayaan yang mencakup; agama,

    ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,

    serta kesenian.2

    Untuk keteraturan hidup (regularity of life) setiap komponen ini ada ukuran

    (norm), nilai (value), dan sanksi hukum (role of law) dalam masyarakat masing-

    masing etnis dan agama sebagai acuan hidup dalam menginterpretasi pengalaman,

    lingkungan serta pedoman dalam melakukan akitivitas sosial hingga bertindak

    menciptakan sesuatu sesuai kebutuhan hidup sebagai warga etnis dan agama. Dengan

    acuan itulah, keutuhan kesatuan mereka tercipta dan sebaliknya bisa melahirkan

    konflik jika ada pelanggaran.

    Secara teoritis dapat diproposisikan, apabila dalam satu wilayah terdapat

    kehidupan lintas etnis dan agama dimana masing-masing mempunyai norma, nilai,

    dan hukum dalam menata kehidupan sosial dan kebudayaannya yang berbeda di

    antara satu sama lainnya, maka keutuhan dan persatuan dapat terjelma dalam

    wilayah tersebut manakala mereka secara sadar dan rela dapat melatenkan atau

    memodifikasi norma, nilai dan hukum tersebut yang nyata-nyata mengundang

    pertentangan etnis, agama serta pelapisan masyarakat, kemudian menampilkan sisi-

    sisi yang dapat sesuai untuk semua dan mencoba membangun beberapa norma, nilai,

    hukum baru, sebagai pengganti hal-hal yang bertentangan tersebut dan semua mereka

    mengorganisasi diri di dalamnya.

    Sebaliknya jika itu tidak terjadi, tetapi masing-masing etnis, agama dan

    pelapisan masyarakat memaksakan perbedaan itu kepada satu sama lainnya di

    wilayah interaksi antar variasi tersebut, inilah yang menjadi sumber keretakan,

    konflik dan berujung pada kerusuhan sosial. Kymlicka dalam Anne Philips

    menyatakan bahwa permasalahan serius yang dihadapi oleh sebuah negara adalah

    ketika rasa keadilan tidak tumbuh secara merata dalam semua identitas budaya

    masyarakat. Negara yang tidak perduli terhadap hak-hak etnis minoritas akan sangat

    membahayakan keberlangsungan hak sipil dan politik masyarakat tersebut. Dalam

    kondisi ini negara perlu mengakomodir peraturan adat yang terdapat dalam

    masyarakat dan juga mengakomodir lembaga-lembaga yang tumbuh dalam

    2 Rusmin Tumanggor, dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi

    Kalangan Masyarakat di Tanah Air (Jakarta: Lemlit dan LPM UIN Jakarta, 2004), 3-5.

  • 3

    masyarakat untuk melihat apakah ada peraturan negara yang merugikan hak-hak

    minoritas.3

    Sebagai sebuah bangsa yang memiliki keragaman agama, budaya dan bahasa

    maka peluang untuk menimbulkan permasalahan di tengah-tengah masyarakat pasti

    akan terjadi pula seperti yang kita hadapi belakangan ini. Korupsi, kolusi, nepotisme,

    premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan

    lingkungan, pelecehan seksual, pemaksaan keyakinan dan hilangnya rasa

    kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain.

    Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan

    teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah

    sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang

    multikompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan

    adjusment menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang

    terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin

    sendiri; sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari

    norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri, demi kepentingan sendiri, dan

    mengganggu atau merugikan orang lain.4

    Bangsa Indonesia tidak mungkin mengabaikan begitu saja usaha Soeharto

    dalam pemerintahannya selama tiga puluh dua tahun yang mencoba menyingkirkan

    sejauh mungkin segala sesuatu yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan

    Antargolongan). Hal ini didahului oleh penolakan Soekarno terhadap semua sentimen

    kedaerahan yang dianggap sebagai atavisme kesukuan. Kebijakan ini tidak

    memungkinkan adanya pengkajian mengenai potensi daerah dan identitas kesukuan,

    meskipun terbukti bahwa pengertian tentang etnisitas-dahulu dan sekarang-sangat

    melekat di batin sebagian besar orang Indonesia. Tuntutan untuk memperoleh

    otonomi daerah yang lebih luas, demikian juga merebaknya konflik antar etnis

    sesudah 1998, menunjukkan bahwa identitas etnis masih sangat hidup sesudah

    ditindas lebih dari tiga dasawarsa. Karena- setelah dikungkung demikian lama, topik

    mengenai kesukuan muncul lagi pada tahun-tahun belakangan.5

    Sepintas lalu dapat diasumsikan bahwa identitas kedaerahan pasti berakar

    dalam periode silam, pada zaman penjajahan atau bahkan masa sebelumnya.

    Memang, solidaritas sesama suku sering ditampilkan sebagai wujud primordialisme,

    3 Anne Philips, Multiculturalism without Culture (New Jersey: Princeton

    University Press, 2007), 11. 4 Masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat begitu banyak. Masalah

    ini mucul ke permukaan bukan hanya karena faktor manusia itu sendiri melainkan faktor-

    faktor yang lain seperti lingkungan, adat istiadat dan perilaku yang tidak baik yang

    dicontohkan para pejabat negara. Keterangan lebih lengkap tentang masalah-masalah sosial

    lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), v. 5 Untuk keterangan lebih lajut tentang bagaimana sejarah suku dan daerah-daerah

    di Indonesia dalam melakukan pergolakan untuk meneguhkan eksistensinya dinegeri ini

    lihat Sita Van Bemmelen & Remco Raben, Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), 12.

  • 4

    yaitu sentimen yang tidak pernah mengalami perubahan dan didasarkan pada budaya,

    ras, serta konstalasi komunitas yang dibentuk oleh sejarah. Pada kenyataannya,

    sementara negara-bangsa Indonesia masih dalam proses pembentukan, sedemikian

    pula terjadi pada daerah-daerah dan identitas suku. Batasan daerah maupun identitas

    masih bersifat lunak; terbuktilah belum kokoh. Perlu diketahui perbedaan antarsuku

    pada waktu itu tidak selalu tajam sebagaimana tampak di permukaan, sehingga masih

    ada ruang untuk menegosiasikan batasannya. Tetapi hampir selalu pembentukan

    identitas beriringan dengan pembekuan kesadaran komunal dan berkolerasi dengan

    perkembangan historis tertentu. Sebagai contoh sebagian kaum elite Toraja di

    kawasan selatan Toraja di bagian utara Toraja, dengan siapa hubungan mereka

    diwarnai persaingan untuk memperebutkan status dan kekuasaan di daerah

    pedalaman. Suatu identitas antarsesama Toraja sudah dimulai terbentuk sejak tahun

    1920-an, ketika identitas ini mengadopsi karakter Kristen secara utuh. Identitas

    Kalimantan Tengah tidak pernah ada sebelum, katakanlah, tahun 1920-an, tetapi

    Christian Simbar mampu memanfaatkan antagonisme sebelum perang antara Dayak

    Kristen dan orang Melayu Islam untuk memperjuangkan adanya satu provinsi

    tersendiri.6

    Organisasi Islam seperti Muhammadiyah juga sempat mengalami ketegangan

    yang signifikan terhadap masyarakat yang masih menjalankan tradisi leluhurnya

    seperti sesaji, shalawat kuntadewa dan yang lainnya yang dianggap oleh

    Muhammadiyah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Persinggungan ini

    berlangsung cukup lama, namun pada akhirnya Muhammadiyah menerapkan konsep

    dakwah kultural agar dapat mengurangi ketegangan yang terjadi dan melakukan

    pendekatan yang lebih lunak.7

    Pengalaman yang paling nyata sekaligus paling menyakitkan bagi bangsa ini

    adalah terjadinya kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998 dan perang

    Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003. Rangkaian konflik itu tidak

    hanya merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah

    menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis

    antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000

    telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia.8

    Munculnya permasalahan tersebut di atas tidak terlepas dari akar-akar

    konflik dalam masyarakat itu sendiri antara lain: Pertama, perebutan sumber daya,

    alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi (access to economic resources and means

    6 Sita Van Bemmelen & Remco Raben, Antara Daerah dan Negara, 13.

    7 Tim PP Muhammadiyah, Pedoman Umum Dakwah Kultural Muhammadiyah,

    2002, 21. Untuk melihat lebih lanjut bagaimana Muhammadiyah berhadapan dengan tradisi

    lokal di tengah-tengah kehidupan masyarakat di Lamongan lihat Asykuri Ibn Chamin,

    Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa: Muhammadiyah dan Seni Lokal (Surakarta: PSB-PS-UMS, 2003), 77-98.

    8 M.Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk

    Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007),4.

  • 5

    of production), Kedua, perluasan batas-batas sosial budaya, dan Ketiga, benturan

    kepentingan politik, ideologi dan agama.9

    Kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-

    an di berbagai kawasan Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan

    yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok,

    dan betapa rendahnya saling pengertian antarkelompok menyangkut nilai-nilai

    multikulturalisme masyarakat. Dalam hal ini diperlukan penegakkan masyarakat

    madani yang demokratis berdasarkan Pancasila.

    Dalam kajian |agama dan masyarakat Azyumardi Azra mengatakan bahwa

    ‚adanya keragaman agama dari satu masyarakat atau komunitas dengan satu

    masyarakat atau komunitas lainnya dapat di eksplorasi dengan menjelaskan sifat

    situasi keagamaan dalam masyarakat yang telah mengalami diferensiasi cukup besar.

    Keragaman pemahaman keimanan dan ritual atau ibadah diantara berbagai kelompok

    dalam masyarakat-bahkan diantara mereka yang memeluk agama yang sama-

    merupakan isyarat tentang perlunya penggunaan analisis fungsional dalam melihat

    kaitan antara agama dengan masyarakat‛. Setiap individu pada hakikatnya ingin dihargai sekaligus ikut bertanggung

    jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap

    kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala

    ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.

    Keragaman adalah tantangan kehidupan manusia yang sejak berabad-abad

    melahirkan berbagai uji coba dalam rangka mengelola berbagai perbedaan yang ada.

    Ada banyak cara pandang terhadap keragaman yang berkembang dalam masyarakat

    yang tentu saja mempengaruhi berbagai upaya mengelola perbedaan. Ketika

    keragaman dianggap tidak ada, maka paham otoritarianisme dan absolutisme menjadi

    dasar pemikiran yang paling mendominasi dalam mengelola masyarakat.

    Otoritarianisme dan absolutisme dalam masalah keagamaan berangkat dari paham

    keagamaan yang ekslusif. Gagasan kontrak sosial, gagasan hak-hak kelompok

    minoritas yang harus dipahami dan dijamin pemenuhannya oleh semua lapisan

    masyarakat atau gagasan tentang jaminan keterwakilan dalam mengelola kehidupan

    bersama, lahir ketika kemajemukan ini didasari dan diindahkan masyarakat.10

    Umat manusia dalam berbagai latar belakang budaya di berbagai belahan

    dunia di mana agama-agama tumbuh dan berkembang, mempunyai proses yang selalu

    sama dalam menyadari, merumuskan suatu cara pandang dan menyikapi perbedaan

    agama. Konteks politik ekonomi dan keunikan penghayatan pada kehidupan yang

    mewarnai kebudayaan yang menjadi media agama-agama ini tumbuh.

    9 Sebagaimana yang diungkapkan Syafri Sairin dalam Balitbang Agama Jakarta,

    Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme ( Jakarta: Balitbang Agama, 2009), 201.

    10 Listia, Laode Arham dan Lian Gogali, Problematika Pendidikan Agama di

    Sekolah (Yogyakarta: DIAN-Interfidei, 2007), 18.

  • 6

    Suatu paham tentang keragaman masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi

    populer seiring perkembangan gagasan demokrasi dalam konteks budayanya, adalah

    paham pluralisme dan multikulturalisme, suatu paham yang berkeyakinan bahwa

    keragaman atau kemajemukan adalah situasi yang alami dalam kehidupan dan bahwa

    kemajemukan itu sendiri bermanfaat bagi kehidupan, bukan sesuatu yang

    mengancam.11

    Dalam memberikan pandangan tentang kemajemukan setidaknya ada dua

    cara yang dapat digunakan yakni pandangan saintifisme dan humanisme baru.

    Pertama, saintifisme memandang fenomena agama-agama semata-mata sebagai

    fenomena sosial-budaya yang mekanismenya dapat dipelajari dan sebagai sesuatu

    yang dapat dipegang hukum-hukumnya sebagaimana pada ilmu alam. Paham ini

    hanya menekankan aspek yang dapat diobservasi dan sama sekali tidak menyinggung

    dimensi pengalaman batin, spritualitas, moral, apalagi pembicaraan tentang Tuhan

    atau yang Adi Kodrati. Pandangan ini berlatar belakang pada positivisme yang tidak

    mengakui metafisika, keberadaan sesuatu dibalik yang tampak, sesuatu yang

    merupakan akar dari agama-agama.12

    Perbedaan agama dipandang dalam kacamata

    evolusi, ada agama atau sistem kepercayaan yang dianggap masih sederhana dan

    primitif dan ada yang sudah dianggap di ujung proses, biasanya diletakkan

    monoteisme.13

    Dalam pembicaraan yang sekuler dan positivistik, tidak ada ruang bagi

    sakralitas dan kesucian yang mutlak sebagaimana dipikirkan oleh para penganut

    agama. Karena pandangan terhadap agama yang hanya berada dalam tatarannya

    relasi sosial maka serta merta segala hal yang dikaitkan dengan agama-agama

    menurut paham ini bersifat relatif. Relativitas agama dalam paham sekuler ini adalah

    karena tidak adanya pengakuan pada Yang Ilahi, sebagaimana positivisme menolak

    segala hal yang bersifat metafisik. Paham kemajemukan dengan menyertakan

    relatifisme seperti ini yang sering disoroti oleh kelompok-kelompok yang menolak

    pluralisme.

    Cara pandang terhadap kemajemukan agama yang berdasar pada paradigma

    positivisme menjadi tidak tepat digunakan untuk mengkaji fenomena orang

    beragama, karena arogansi intelektual ini telah menutup diri dari berbagai

    kemungkinan pengalaman hidup manusia yang penting sebagai bagian dari cara

    berada manusia.

    Kedua, pandangan humanisme baru yang secara khusus mengangkat

    pemikiran Levi-Strauss yang membahas perbedaan masyarakat-dalam budaya. Pada

    11

    H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural (Magelang: Indonesia tera, 2003), 161-289.

    12 F. Budi Hardiman, Kritik Idiologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan

    (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 24. 13

    Dalam teori evolusi ini secara umum terdapat pandangan tentang perkembangan

    agama yang dimulai dari animism, dinamisme, politeisme dan monoteisme. Lihat

    Koentjoroningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Universitas, 1996), 207-208.

  • 7

    studi tentang perbedaan kebudayaan, Levi-Strauss menemukan bahwa seringkali para

    akademisi terjebak dalam antroposentrisme ‚gaya barat lama‛ yang menjadikan

    peneliti serta pengamat sebagai pusat yang mematok ukuran-ukuran baik-buruk,

    maju-terbelakang pada suatu masyarakat yang diamati.14

    Cara pandang yang ditolak

    oleh Levi-Strauss ini antara lain ditujukan oleh para ilmuwan yang menggunakan

    paradigma positivistis di atas, yang berakibat munculnya rasa superior kelompok

    pendukung suatu kebudayaan yang dianggap telah maju. Antropolog pada masa lalu

    mempraktekkan cara pandang ini dan secara tidak langsung membenarkan

    ‘kolonialisasi’ yang dilakukan kelompok agama-agama dominan demi untuk

    ‘mengeluarkan masyarakat primitif dari kegelapan budaya menuju pencerahan

    dengan memeluk agama yang dianggap maju’. Etnosentrime tampak dalam ekspresi

    yang bersumber pada anggapan tentang diri superior, yang banyak berkembang

    dikalangan penganut agama-agama besar.

    Levi-Strauss menawarkan cara pandang yang melihat (masyarakat, budaya,

    agama yang berbeda) sebagai bagian dari kesatuan umat manusia, dengan

    berdasarkan asumsi bahwa setiap manusia dan masyarakat (kebudayaan) mempunyai

    simbol-simbol intelektual serupa dalam setiap kebudayaan yang beragam. Adanya

    kesatuan kognisi dalam setiap budaya ini yang memungkinkan ada proses

    penterjemahan satu bahasa ke bahasa atau penterjemahan simbol-simbol satu

    kebudayaan pada kebudayaan yang lain.

    Hal yang hendak disampaikan Levi-Strauss adalah bahwa rasa superior

    dalam hal budaya maupun agama sangat saran kepentingan untuk menguasai yang

    lain. Humanisme baru ini menolak pandangan intelektual humanis lama yang

    menganggap mereka yang berbeda (the others) berdasarkan ukuran-ukuran si

    pengamat. Untuk mendukung asumsi ini, Levi-Strauss membuat konsepsi bahwa

    14

    Menurut Agus Cremers (1997) dalam ulasannya tentang pemikiran Levi-Strauss

    menjelaskan bahwa antropologi merupakan buah masa kolonialisme agresif dan

    neokolonialisme zaman modern, sarat dengan bias etnosentrisme barat dan ini sangat

    ditentang oleh Levi-Strauss. Sikap kritis Levi-Strauss secara keseluruhan dapat dicermati

    dari mode berfikirnya yang menghasilkan suatu ‚humanism integral baru‛ mengatasi

    humanism klasik barat yang antroposentris yang menghasilkan kebudayaan yang menindas

    lingkungan hidup dan kelompok masyarakat yang dianggap primitive oleh mereka.

    Cremers menjelaskan pemikiran Levi-Strauss tentang perbedaan dan jarak antara

    ‘kami’ dan ‘mereka’ dalam studi kebudayaan. Studi kebudayaan dapat berhasil apabila dua

    hal ini serentak diwujudkan, yaitu ‘aspek identifikasi dengan’ dan ‘unsur distansi terhadap’

    yang lain. Seorang peneliti harus bisa terlibat, berempati dengan masyarakat yang diteliti,

    sehingga mampu memahami, merasakan dan merengkuh berbagai dimensi kehidupan

    masyarakat yang bersangkutan, sehingga mampu menampilkan potret kehidupan sebanyak

    dan sedetil mungkin. Tetapi pada saat yang bersamaan ia harus menjadi orang asing yang

    mengambil jarak agar ia bisa bersikap ‘objektif’ yang dianggap sebagai prasyarat dalam

    komunikasi ilmu pengetahuan. Kesulitan ini bisa teratasi bila ada asumsi tentang adanya

    pandangan dasar kemanusiaan yang sama dalam ketaksadaran budaya kolektif. Lihat Agus

    Cremers, Antara Alam dan Mitos Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Levi-Strauss (Ende Flores: Nusa Indah, 1997), 27-30.

  • 8

    perbedaan dilihat sebagai penampakan luar, tetapi di luar hal yang tampak berbeda

    ini, umat manusia disatukan oleh kesatuan kesadaran budaya dalam diri umat

    manusia.15

    Seiring abad kedua puluh bergerak ke penghujung, timbul suatu kesadaran

    bersama hampir di semua tempat mengenai garis-garis di antara kebudayaan-

    kebudayaan, pembagian-pembagian dan perbedaan-perbedaan yang tidak hanya

    memungkinkan kita membedakan satu kebudayaan dari kebudayaan lainnya, tetapi

    juga memungkinkan kita melihat sejauh mana kebudayaan-kebudayaan itu diciptakan

    secara manusiawi menjadi struktur otoritas dan peran serta, yang baik di dalam apa

    yang mereka cakup, manfaatkan, dan absahkan, dan yang kurang baik di dalam apa

    yang mereka ingkari dan turunkan.16

    Dalam semua kebudayaan yang didefenisikan secara nasional ada suatu

    aspirasi untuk berdaulat, untuk berkuasa, untuk mendominasi. Dalam hal ini,

    kebudayaan Perancis dan Inggris, India dan Jepang, semuanya sama. Pada saat yang

    sama, kita belum menyadari sepenuhnya keanehan dari budaya yang diadopsi

    tersebut. Kebudayaan bukan bersifat uniter, monolitik atau otonom, tetapi

    kebudayaan sesungguhnya mengandung unsur-unsur ‘asing’, alteritas, dan perbedaan-

    perbedaan yang lebih banyak.

    Istilah yang tepat digunakan untuk dominasi kekuatan negara adalah

    ‚imperialisme’ yang berarti praktik, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan

    yang menguasai suatu wilayah yang jauh: ‘kolonialisme’, yang hampir selalu

    merupakan konsekuensi imperialisme, adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman

    di wilayah-wilayah yang jauh. Sebagaimana dikemukakan oleh Michael Doyle:

    ‘Imperium adalah suatu hubungan, formal atau informal, dimana satu negara

    menguasai kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu

    bisa dicapai dengan paksa, melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan

    ekonomi, sosial, atau budaya. Imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk

    menegakkan atau mempertahankan imperium. Di masa kita, kolonialisme langsung

    kebanyakan telah berakhir; imperialisme sebagaimana yang akan kita lihat, tetap

    hidup di tempat ia hidup sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum,

    maupun dalam praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi serta sosial tertentu.17

    Baik imperialisme maupun kolonialisme bukanlah suatu tindakan sederhana

    mengumpulkan dan mengambil. Keduanya didukung dan bahkan mendapat tekanan

    melalui formasi-formasi ideologi impresif yang mencakup pendapat bahwa wilayah-

    15

    Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Penerjemah Kelompok Studi Filsafat Driyakarya (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 30-36.

    16 Edward Said, Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegomoni Barat

    (Mizan: Bandung, 1996), 47. 17

    Michael W. Doyle, Empires (Ithaca: Cornell University Press, 1986), 45. Lihat juga Clarissa Rile Hayward, 2011, What Can Political Freedom Mean in a Multicultural

    Democracy? On Deliberation, Difference, and Democratic Governance, Political Theory,

    Sage Publications Inc, Vol. 39, No. 4: 468-497 (acessed March 15, 2017).

  • 9

    wilayah dan bangsa-bangsa tertentu membutuhkan dan memohon dominasi, serta

    bentuk-bentuk pengetahuan yang berkaitan dengan dominasi; kosakata kebudayaan

    imperial klasik pada abad kesembilan belas banyak mengandung kata-kata dan

    konsep-konsep semacam ras yang lebih rendah, rakyat bawahan, ketergantungan,

    ekspansi dan otoritas.18

    Sejalan dengan dinamika tersebut, hubungan antar agama Islam dan Non-

    Islam mengalami pergolakan yakni munculnya kekuatan untuk saling mendominasi.

    Perubahan dan perkembangan persepsi muslim terhadap pemeluk non-Islam dimana

    ia menjadi toleran dan tidak toleran, tampak dengan jelas pada wacana yang

    berkembang di sekitar makna ahli kitab.19

    Sebagaimana ditunjukkan Ismatu Ropi,

    proses historis yang dialami kaum muslim telah membuat makna ahli kitab menjadi

    sedemikian sempit, sehingga ia jauh dari pesan inklusif dan universalis. Di sini, ahli

    kitab dipahami secara statis dan defenitif, menutup kemungkinan adanya perluasan

    makna itu sendiri. Ia menjadi cermin dari keberagaman normatif-idealistik yang

    mengukur tingkat keberagamaan dari aspek-aspek formal. Istilah ahli kitab lebih

    berfungsi sebagai kriteria penilai bagi hubungan beragama yang secara apologetis

    untuk digunakan menjustifikasi bahwa agama Islam telah memberikan batasan-

    batasan yang menjadi kriteria pembenar dan pengesah bagi kaum muslim untuk

    mengambil jarak teologis dengan umat lain. Dengan kata lain, fenomena ahli kitab

    digeneralisir sedemikian rupa sebagai sesuatu yang umum yang bisa diterapkan

    dimana saja dan kapan saja; dan secara sah berlaku pada masyarakat muslim di

    tempat lain di dunia.20

    Penyempitan makna tersebut disebabkan oleh keinginan kaum muslimin

    pada masa awal untuk meneguhkan jati diri mereka sebagai komunitas agama baru.

    Pada sebuah masa pembentukan dan transisi dalam konstelasi hubungan politik yang

    cukup rumit ini, tipifikasi dianggap sebagai salah-satu cara yang cukup aman bagi

    upaya peneguhan jati diri yang berwawasan sejarah. Oleh karena itu, bisa dipahami

    jika para sarjana muslim klasik memiliki persepsi ‘berlebihan’ tentang komunitas ahli

    kitab. Hal ini bisa dilihat dari klaim-klaim stereotif yang menyatakan bahwa ahli

    kitab telah melakukan penyimpangan atau perubahan yang sangat signifikan terhadap

    kitab suci al-Quran khususnya yang berkenaan dengan keesaan Tuhan.21

    Antara agama Islam dan Kristen, Huntington meyakini kedua agama tersebut

    pada dasarnya adalah tidak toleran, yang selanjutnya melahirkan konflik keagamaan.

    Dalam beberapa tulisannya Huntington cenderung melakukan generalisasi dalam

    18

    Michael W. Doyle, Empires, 47. 19

    Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Midle Eastern Response (Oxford: Oxford University Press, 2002), 114.

    20 Ismatu Ropi, Wacana Inklusif Ahl al-Kitab (Paramadina, Vol. 1, No.1, 1999), 99-

    100. 21

    Andrew Rippin, Interpreting the Bible Through the Quran, dalam Approaches to the Quran, eds. G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef (London: Routledge, 1993), 249-256.

  • 10

    melihat hubungan Islam-Kristen. Kedua agama membentuk dua peradaban yang

    berbeda, dan selanjutnya menentukan corak kehidupan sosial-politik dan budaya

    yang berlainan di kalangan pemeluknya. Lebih penting lagi, kedua agama tersebut

    juga sama-sama tidak toleran dan ekslusif. Oleh karena itu, Huntington percaya

    bahwa hubungan kedua agama tersebut akan diwarnai konflik dan bahkan perang

    agama, atau yang disebut sebagai benturan peradaban. Huntington berbeda dari

    Lewis yang menilai bahwa intoleransi Islam lebih bersifat historis dan kondisional.

    Corak hubungan yang terjalin antara Islam dan barat lebih menentukan watak Islam

    yang akan berkembang, apakah dia menjadi toleran atau sebaliknya. Di sini, Lewis

    lebih optimis untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara Islam dan barat

    sebagaimana digagas kalangan intelektual.22

    Seperti dibahas Steenbrink, hubungan Islam-Kristen di Indonesia bisa

    dilacak jauh pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, dan selanjutnya

    mengalami proses intensifikasi pada masa penjajahan Belanda. Begitu pula respon

    muslim Indonesia terhadap barat memiliki sejarah panjang, dan mengambil bentuk

    beragam sesuai dengan corak hubungan yang memang berubah-ubah sesuai dengan

    setting sosio-historis yang berlaku. Meski demikian, pemahaman lebih jauh tentang

    Kristen oleh muslim Indonesia baru berkembang pada awal abad ke-20, seiring

    dengan lahirnya masyarakat terdidik lulusan lembaga pendidikan modern seperti

    Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir.23

    Sejarah hubungan antara Islam dan Kristen bukan sesuatu yang mudah dan

    sudah menjadi bagian dari identitas kolektif kita, sejarah tentang kolonialisme dan

    perang salib, invasi bangsa Arab dan 300 tahun ancaman bangsa Turki terhadap

    orang Kristen di Eropa. Orang Islam di Indonesia mencurigai maksud orang-orang

    Kristen sejak masa penjajahan. Kecurigaan ini diperkuat dengan proses kristenisasi

    oleh sekte tertentu. Orang Kristen, di sisi lain, mencurigai orang Islam ‚ garis keras‛

    jika mereka mendapatkan kekuasaan, akan membatasi kebebasan beragama mereka.

    Jika terjadi konflik, apapun sebabnya, konflik tersebut pasti berpangkal dari

    prasangka dan kecurigaan tersebut.

    Mayoritas orang Indonesia dari semua agama menginginkan kedamaian dan

    toleransi. Akan tetapi untuk dapat mencapai iklim toleransi yang abadi dan saling

    menghormati satu sama lain kita harus meningkatkan komunikasi, melalui dialog

    pada semua level, termasuk pada tingkat akar rumput, dan kita harus mengungkapkan

    masalah yang sedang dihadapi dan keluhan yang ada pada masing-masing komunitas.

    Kita juga harus mengungkapkan sebab-sebab umum yang menyebabkan aksi

    kekerasan dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia harus mendapatkan

    bimbingan untuk menyembuhkan luka tersebut.24

    22

    Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations, Remaking of the WorldOrder (New York: Simon and Schuster, 1997), 210-212.

    23 Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian (Bandung: Mizan, 1995), 57.

    24 Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama; Problem, Praktik dan

    Pendidikan (Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005), 16-20.

  • 11

    Mungkin yang pertama harus kita pelajari kembali adalah bersikap untuk

    bisa toleran terhadap umat lain. Toleransi dapat diartikan dengan menerima dengan

    tulus akan keberadaan yang lain dan komunitas lain sebagai komunitas yang berbeda.

    Dan hal ini tidak berkaitan dengan relatifisme agama, dengan tidak menempatkan

    agama seseorang secara berlebihan. Bukan karena keyakinan agama kita, melainkan

    karena keyakinan itu kita dapat melihat orang lain secara positif. Pada tingkat akar

    rumput, kontak antara pemuka agama harus dikembangkan-satu hal yang tidak sulit

    dilakukan di Indonesia, anda dapat senantiasa bersilaturrahim dan anda akan

    disambut dengan tangan terbuka.

    Kita harus lebih sensitif dengan kelompok lain. Kaum minoritas harus

    mengetahui apa yang dianggap perilaku provokatif oleh kelompok mayoritas dan

    harus mampu lepas dari perilaku tersebut. Kelompok mayoritas sendiri harus belajar

    untuk membuat kaum minoritas merasa diterima, aman, mudah, dan bebas

    melakukan ibadah. Saya terkesan dengan teman-teman Kristen di pulau Flores di

    mana mereka mengkondisikan agar orang Islam dapat tinggal dengan aman di antara

    mereka dan menghargai hak mereka sebagai manusia dan sesama warga. Sikap

    seperti ini membutuhkan proses belajar.25

    Para pemimpin formal dan informal agama mempunyai tanggungjawab yang

    sangat besar. Mereka harus mampu meyakinkan umatnya bahwa toleransi agama

    merupakan bagian dari ajaran agama mereka. Dalam ajaran tiap-tiap agama, unsur

    eksklusif dan inklusif selalu dapat ditemukan. Dan lebih sering lagi, karena alasan

    psikologis, unsur yang eksklusif lebih dikenal daripada yang inklusif. Akan tetapi jika

    kita melihat unsur tersebut dari sudut pandang teologi secara mendalam, kita dapat

    melihat dengan jelas bahwa aspek eksklusif harus dilihat dari aspek inklusif. Dasar

    pemikiran yang demikian yang menyebabkan kenapa orang-orang ahli agama yang

    telah mempelajari akar ajaran agama mereka secara mendalam cenderung mempunyai

    dasar pemikiran yang lebih terbuka dibandingkan dengan mereka yang tidak

    mempelajari agamanya secara mendalam. Dengan demikian, setiap agama harus

    berusaha kuat agar unsur inklusif dapat dimasukkan dalam ajaran mereka-bukan

    hanya untuk meningkatkan toleransi agama, tetapi agar mereka lebih meyakini apa

    yang menjadi keyakinan mereka.26

    Agama dalam diskursus keagamaan kontemporer dipahami bukan hanya

    berwajah tunggal, akan tetapi berwajah banyak karena agama tidak lagi dipahami

    sebagai hal yang terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan,

    pandangan hidup serta ultimate concern. Selain memiliki sifat dan karakter yang

    konvesional, agama juga diasumsikan sangat terkait dengan persoalan historis-

    kultural yang juga merupakan kepercayaan manusia.

    25

    Franz Magnis Suseno dalam Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama, 27.

    26 Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:

    Mizan, 1999), 23.

  • 12

    Dilihat dari sudut pandang historis-empiris, agama itu sarat dengan

    ‚kepentingan‛ (interest) yang terdapat pada kurikulum, proses pendidikan,

    kepemimpinan dan institusi agama, serta studi agama.27

    Bercampur-aduknya dan

    berkait-kelindannya agama dengan berbagai kepentingan sosial kemasyarakatan pada

    tingkat historis empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer

    penting untuk dipecahkan. Dalam kenyataan hampir semua agama memiliki

    ‚institusi‛ dan ‚organisasi‛ yang mendukung, memperkuat, menyebarluaskan ajaran

    agamanya. Institusi dan organisasi keagamaan tersebut telah banyak terlibat kedalam

    sosial-budaya, sosial-kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi,

    perdagangan, jurnalistik, pertahanan-keamanan, paguyuban dan lain-lainnya. Jika

    memang demikian, maka sulitlah kita menjumpai agama yang lepas dari kepentingan

    kelembagaan, kekuasaan, dan kepentingan-kepentingan tertentu. Fenomena semacam

    itu dapat dengan mudah dijumpai di Indonesia.28

    Studi agama secara empiris dapat mencatat peristiwa penting di tanah air.

    Selama hampir tiga dasawarsa ini (tahun 1970 sampai tahun 2000), umat beragama

    dalam pemerintahan Orde Baru dan Reformasi menggunakan istilah ‚kerukunan‛

    untuk nama lain yang diambil dari khazanah intelektual Barat ‚tolerence‛ atau

    ‚harmony‛. Dalam praktik sehari-hari, ternyata kerukunan atau toleransi itu telah

    menimbulkan sikap apologis. Tiap-tiap agama dengan sungguh-sungguh

    menunjukkan bahwa hanya agama sendirilah yang paling rukun dan paling toleran.

    Ironisnya, apologi dilakukan baik secara tekstual (ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin

    tekstual) maupun kontekstual (lewat legitimasi sejarah, antropologi, sosiologi) yang

    agaknya bukan malah mengurangi ketegangan-ketegangan yang ada tetapi justru

    menambah ketegangan-ketegangan baru.29

    Secara doktrinal-tekstual, orang Islam akan menyatakan dengan sungguh-

    sungguh bahwa kata pertama yang diucapkan seorang Muslim ketika bertemu dengan

    orang lain adalah al-sala

  • 13

    pembawa pencerahan, berperang dengan orang Hindu, dengan slogannya ‚Shanti‛!

    Shanti!, kedua belah pihak melakukan implikasi keagamaan yang keliru. Ketika

    penganut Kristen, yang Tuhannya kasih, saling baku tembak di Irlandia Utara,

    bentuk-bentuk operan Kristen yang ada disalahgunakan.30

    Komando Jihad di

    Afganistan, Pakistan, Mesir, Indonesia dan negara-negara lainnya terjebak pada

    tingkat kesalahan yang sama. Semuanya itu secara konseptual terarah pada esensi

    dan ambisi, yakni perdamaian dan keharmonisan namun pada tataran sosial politik

    timeless essences tersebut disalahgunakan.31 Indonesia sebenarnya mempunyai filosofi dan pengalaman yang sangat

    kokoh dalam menghadapi ragam perbedaan yang ada. Multikulturalisme bukan

    hanya sekadar wacana, melainkan praktik kehidupan sosial-politik, yang sudah

    mengakar kuat, bahkan menjadi jati diri bangsa. JS. Furnival memandang, pada

    dasawarsa 1930-1940-an, Indonesia merupakan salah satu potret ‚masyarakat

    plural‛ yang dapat dijadikan contoh, di saat negara-negara Eropa menghadapi

    problem multikulturalisme.32

    Menurut Furnival, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang

    mempunyai aneka ragam budaya, agama, dan suku, tetapi mereka dapat

    dipersatukan melalui falsafah ‚bhinneka tunggal ika‛. Falsafah tersebut semakin kokoh, karena diperkuat oleh Pancasila sebagai landasan ideal dalam berbangsa dan

    bernegara. Ada dua alasan kuat dibalik keberhasilan ‚bhinneka uunggal ika‛ sebagai falsafat yang masih mengakar kuat bagi seluruh warga negara, yaitu

    demokrasi dan komitmen pada konstitusi.

    Dalam hal berdemokrasi, sejak pemilu 1955 hingga pemilu 2009 yang

    paling mutakhir, rakyat Indonesia telah membuktikan jati-dirinya sebagai bangsa

    yang mempunyai kemauan dan kemampuan berdemokrasi dengan fantastik. Jika

    negara-negara lainnya masih mempertentangkan agama dan demokrasi, tetapi

    rakyat Indonesia yang secara mayoritas religius dapat menerima, memahami,

    bahkan mengimplementasikan demokrasi dengan baik.

    Demokrasi telah menjadikan perbedaan dan kemajemukan agama, suku,

    dan ras sebagai energi positif dalam dalam ruang publik, terutama dalam rangka

    mewujudkan kesejahteraan, kesetaraan, keadilan, dan kedamaian. Kemajemukan

    adalah rahmat Tuhan yang sangat besar dalam rangka mewujudkan persatuan dan

    kebersamaan dalam rumah besar Indonesia. Maka dari itu, keberhasilan demokrasi

    merupakan implementasi dari falsafah yang mengakar kuat dalam sanubari bangsa

    Indonesia, bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tapi bersatu dalam rumah kebangsaan Indonesia.

    33

    30

    Robert Cummings Neville, Religion in Late Modernity (Albany: State University of New York Press, 2002), 164.

    31 Nabil Abd al-Fattah, al-Nas}s} wa al-Rasas: al-Isla

  • 14

    Oleh karena itu, umat Islam sebagai kelompok terbesar di negeri ini

    menjadi bagian terpenting dalam rangka mengembangkan kesadaran tentang

    bhinneka tunggal ika dalam konteks kebangsaan. Komitmen organisasi kemasyarakatan Islam dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

    dan Pancasila sebagai pilar bangsa yang final merupakan sebuah kekuatan, yang

    telah memberikan corak tersendiri bagi keber-Islaman yang inklusif dan

    multikultural. Bahkan, atas dasar itu pula, keber-Islaman di negeri ini berbeda

    dengan langgam keber-Islaman di dunia Islam lainnya yang cenderung eksklusif dan

    mencederai tujuan dari nilai-nilai multikultural itu sendiri.

    Dalam perjalanan mengembangkan nilai-nilai multikultural pada lembaga

    pendidikan Islam, juga tak luput dari persoalan yang disebutkan di atas yakni

    banyaknya lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah yang memiliki

    pemahaman radikal dan intoleran dan menjadi keprihatian kita semua. Sekolah-

    sekolah tersebut yang seharusnya berkewajiban membentuk pribadi yang cerdas,

    berilmu, saleh, berbudi baik, rasional-kritis, terbuka dan toleran kepada perbedaan

    justru menjadi kaderisasi kelompok tertutup, intoleran, dan bahkan memusuhi yang

    tidak sepaham.

    Dugaan infiltrasi pemahaman radikal ke sekolah disebabkan beberapa

    beberapa hal antara lain: Pertama, lemahnya kesadaran dan komitmen pengelola di sekolah-sekolah swasta dan di sekolah-sekolah negeri sangat dipengaruhi oleh

    kepala sekolah yang merupakan penentu kebijakan. Kepala sekolah perlu memiliki

    kesadaran atas prinsip-prinsip multikulturalisme. Kedua, lemahnya pengetahuan dan wawasan para guru tentang keniscayaan hidup bersama dalam keragaman.

    Ketiga, belum ada orang-orang atau jaringan kerja yang mendorong upaya sosialisasi pentingnya penghargaan terhadap keragaman. Keempat, lemahnya kemampuan guru-guru untuk mengembangkan pembelajaran serta metode-metode

    baru dan efektif. Kelima, belum adanya kurikulum tentang multikulturalisme baik menyangkut bahan pelajaran, metode serta aspek pendukung lainnya. Keenam, belum adanya ruang bersama untuk berdialog dan membicarakan masalah ini

    sehingga wacana tentang kesadaran multikulturalisme masih sangat lemah.

    Ketujuh, belum adanya pengalaman nyata yang mencerminkan ideal dan indahnya hidup bersama berbagai kelompok agama dalam suasana saling menghargai

    perbedaan dan saling bekerjasama untuk memecahkan masalah masyarakat seperti

    keterbelakangan, lemahnya pendidikan, kemiskinan dan pengangguran.34

    Berdasarkan uraian yang telah penulis ungkapkan di atas, maka menjadi

    penting bagi penulis untuk melihat bagaimana pelaksanaan pendidikan

    multikultural di sekolah berbasis agama yang ada di Sumatera Utara. Pemilihan

    Sumatera Utara menjadi tempat peneliti melakukan penelitian mengingat di

    provinsi ini memiliki aneka ragam budaya, suku, adat istiadat dan agama.

    Menurut data dari BPS tahun 2016, Sumatera Utara yang memiliki luas

    wilayah 71.680,68 Km2 berpenduduk 12.834.371 jiwa. Komposisi umat beragama:

    umat Islam sebanyak 8.403.997 (65,46 persen), Kristen Protestan 3.417.574 (26,62

    34

    Ridwan al-Makassary dan Suparto, Cerita Sukses Pendidikan Multikultur di Indonesia (Jakarta: CSRC, 2010), 47.

  • 15

    persen), Kristen 613.674 (4,78 persen), Hindu 23.109 (0,18 persen), Budha 362.042

    (2,82 persen), Konghucu (belum ada data), lain-lain 17.974 (0,14 persen).

    Pemeluk agama Islam terbanyak berada di 18 kota dan kabupaten, yakni di

    Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Langkat, Asahan, Deli Serdang, Labuhan

    Batu, Medan, Serdang Bedagai, Sibolga, Tanjung Balai, Binjai, Tebing Tinggi,

    Padang Sidempuan, Batubara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhan Batu

    Utara, dan Labuhan Batu Selatan. Sementara umat Kristen terbanyak di sembilan

    kota dan kabupaten, yakni Tapanuli Utara, Nias, Nias Selatan, Karo, Dairi, Toba

    Samosir, Samosir, Pakpak Barat, dan Humbang Hasundutan. Sedangkan jumlah

    umat Islam dan Kristen hampir berimbang berada di Tapanuli Tengah dan

    Pematang Siantar.

    Dari 12.834.371 penduduk dan pemeluk agama di Sumatera Utara, telah

    berdiri 9.199 masjid, 10.325 mushalla, 10.277 gereja Kristen, 2.124 gereja Kristen,

    63 kuil, 367 vihara, dan 77 cetiya. Terdapat sembilan etnis di Sumut, yakni etnis

    Melayu, etnis Batak, etnis Nias, etnis Jawa, etnis Ming, etnis Aceh, etnis Cina,

    etnis Arab dan etnis India. Sedangkan suku yang ada di Sumut adalah Batak Toba,

    Batak Mandailing, Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak

    Dairi Pakpak.35

    Dari keragaman ini juga banyak muncul lembaga pendidikan milik

    pemerintah maupun swasta. Lembaga pendidikan swasta ada yang memiliki afiliasi

    dengan ormas keagamaan seperti |Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, al-

    Ittihadiyah, PGI maupun KWI. Namun tidak menutup kemungkinan ada sebagian

    masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman di Sumatera Utara meskipun tidak

    beragama Islam ikut mengenyam bangku pendidikan di sekolah berbasis agama

    Islam baik milik Muhammadiyah, NU, al-Washliyah dan al-Ittihadiyah. Begitupun

    sebaliknya dari umat Islam ada yang menitipkan anaknya untuk sekolah di yayasan

    Kristen Protestan maupun Kristen Kristen. Dengan demikian sebagian masyarakat

    di Sumatera Utara secara tidak langsung telah mempraktikkan pendidikan

    multikultural.

    Dalam perjalanan praktik pendidikan di sekolah berbasis agama dengan

    latar belakang siswa yang memiliki keragaman tidak hanya budaya, suku, bahasa

    akan tetapi juga agama tentu muncul kekhawatiran tersendiri dari para orang tua

    maupun masyarakat dengan praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah

    tersebut. Rasa khawatir yang muncul di antaranya berkaitan dengan model

    pendidikan agama seperti apa yang diajarkan kepada siswa yang memiliki latar

    belakang agama berbeda, bagaimana interaksi antara siswa dengan siswa, interaksi

    antar sesama guru, interaksi antara sekolah dengan orang tua siswa, dan interaksi

    antara guru dengan masyarakat sekitar.

    A. Permasalahan Studi ini ingin melihat implementasi pendidikan di sekolah berbasis agama

    dalam perspektif multikultural. Kendati demikian fokus dalam kajian penulisan ini

    ingin mengungkapkan kebijakan apa saja yang terdapat pada sekolah berbasis

    35

    M. Soleh Tanjung, Staf Tata Usaha BPS Sumatera Utara, wawancara 3 Oktober

    2016.

  • 16

    agama dalam mendukung nuansa multikultural , kurikulum pelajaran yang memiliki

    muatan nilai-nilai multikultural dan interaksi sosial dalam mewujudkan pendidikan

    bernuansa multikultural.

    1. Identifikasi Masalah Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural

    penting untuk mendapat perhatian serius dari para pendidik, orang tua, masyarakat

    dan pemerintah. Indonesia yang memiliki keragaman budaya, bahasa, suku dan

    agama, dapat dipastikan mengalami kesulitan untuk menghindar dari proses

    interaksi antar kultur tersebut. Lembaga pendidikan pun akan mengalami nasib

    yang sama sehingga menjadi keharusan bagi sekolah-sekolah berbasis agama untuk

    membuka diri menerima peserta didik meskipun dengan latar belakang agama yang

    berbeda-beda. Output dari pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif

    multikultural yang diajarkan kepada siswa dapat dipastikan ingin mengantarkan

    peserta didiknya menjadi orang-orang yang menerima dengan sadar keragaman

    yang ada dan berupaya untuk menghargai serta menghormati keragaman tersebut.

    Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dalam

    praktik sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya mendapat perhatian serius.

    Diskursus tentang pendidikan multikultural akan menjadi pembicaraan menarik

    jika terdapat praktik mencurigakan di sekolah-sekolah berbasis agama terutama

    yang berkaitan dengan isu-isu pendangkalan keyakinan beragama terhadap peserta

    didik. Para stakeholder lembaga pendidikan seharusnya tidak perlu menunggu terjadinya peristiwa yang dapat merusak tatanan dunia pendidikan, akan tetapi

    yang diperlukan adalah langkah-langkah strategis dalam praktik pendidikan di

    sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural di tengah kehidupan yang

    majemuk ini. Dalam konteks tersebut ada beberapa persoalan yang dapat

    diidentifikasi :

    a. Sekolah berbasis agama mendapat tudingan menjadi wadah kaderisasi bagi kelompok agama tertentu.

    b. Sekolah berbasis agama anti terhadap pendidikan multikultural karena dianggap akan menghilangkan identitas agama siswa.

    c. Pendidikan multikultural dan pendidikan agama selalu terpisah dalam praktik pendidikan di sekolah sehingga menjadi sensitif jika disatukan.

    d. Pendidikan multikultural dihadapkan dengan era globalisasi yang memungkinkan masuknya budaya luar dan mempengaruhi perilaku siswa.

    e. Pendidikan multikultural dianggap tidak dapat menjawab tuntutan

    perkembangan zaman dan tekhnologi sehingga belum menjadi kebutuhan

    mendesak dalam praktik pendidikan di sekolah berbasis agama .

    f. Meski terdapat praktik pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah berbasis agama namun masih bersifat normatif serta berbanding terbalik

    dengan kenyataan dimasyarakat dan menimbulkan pergolakan dalam diri siswa

    dalam melaksanakannya.

    Dari uraian permasalahan yang penulis jelaskan di atas, memungkinkan

    pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dikaji dari

    berbagai sudut pandang. Kondisi ini akan memberikan ruang bagi para peneliti,

  • 17

    dengan paradigma tertentu, untuk melakukan studi mendalam sesuai dengan sense crisis of academic masing-masing.

    2. Perumusan Masalah

    Merujuk pada latar belakang dan identifikasi masalah yang disajikan di

    atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana

    implementasi pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perpektif multikultural?

    Adapun rumusan pertanyaan dari perumusan masalah di atas adalah sebagai

    berikut:

    a. Bagaimana dinamika pendidikan dalam perspektif multikultural di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?

    b. Bagaimana internalisasi nilai-nilai multikultural dilakukan pada SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?

    c. Sejauhmana implementasi nilai-nilai multikultural dilaksanakan di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?

    3. Pembatasan Masalah

    Berbagai permasalahan yang telah penulis kemukakan di atas, sangat

    penting untuk dilakukan pembatasan, sehingga penelitian yang dilakukan lebih

    terarah dan fokus. Berdasarkan urgensinya, penelitian ini dibatasi pada beberapa

    aspek :

    a. Sekolah berbasis agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekolah yang memiliki afiliasi dengan keyakinan agama tertentu dalam hal ini agama

    Islam dan agama Kristen.

    b. Sekolah berbasis agama Islam yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah SMP Muhammadiyah-37 Air Joman, sedangkan sekolah berbasis agama

    Kristen yang menjadi objek penelitian adalah SMA Methodist Kuala.

    c. Pemilihan SMA Methodist Kuala sebagai objek penelitian dikarenakan memiliki siswa non Kristen (beragama Islam) dengan jumlah sangat signifikan.

    d. Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dibatasi

    pada upaya penerapannya yang dapat dilihat dalam kebijakan sekolah,

    kurikulum mata pelajaran serta interaksi antar warga sekolah.

    e. Penelitian ini dimulai sejak Juli 2015 sampai dengan Oktober 2017 di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala

    C. Tujuan

    Konsisten dengan batasan dan rumusan masalah di atas maka penelitian ini

    bertujuan :

    a. Untuk mengetahui, menganalisis dan mengeksplorasi dinamika pendidikan dalam perspektif multikultural di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan

    SMA Methodist Kuala.

    b. Untuk menganalisis dan menjelaskan internalisasi nilai-nilai multikultural yang diterapkan pada SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA

  • 18

    Methodist Kuala melalui kebijakan sekolah, pengembangan kurikulum dan

    mata pelajaran, proses belajar mengajar serta interaksi sosial.

    c. Untuk mengetahui, menganalisis dan mengeksplorasi implementasi nilai-nilai multikultural yang dilaksanakan di SMP Muhammadiyah-37 Air

    Joman dan SMA Methodist Kuala dalam memperkuat human relation pada iklim sekolah, equity pedagogy dalam intra dan ekstrakurikuler serta living together pada aktifitas sosial-kemasyarakatan.

    D. Signifikansi

    Berdasarkan tujuan penelitian yang telah di tetapkan diatas, maka

    penelitian ini memiliki tiga hal signifikansi utama :

    a. Memberikan nilai inspirasi kepada para intelektual Islam dan Kristen untuk menggali potensi lembaga pendidikan masing-masing dalam pelaksanaan

    pendidikan multikultural.

    b. Memberikan dorongan dan motivasi kepada masyarakat Islam dan Kristen untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural kepada generasi

    muda dan menjadikannya sebagai pilar utama dalam mendukung kemajuan

    dunia pendidikan.

    c. Memudahkan kepada aktor pendidikan dan pelaku pendidikan dalam hal pengambilan keputusan, kebijakan, peraturan pemerintah dan institusi

    agama dalam melaksanakan praktik pendidikan multikultural di sekolah

    berbasis agama.

    E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

    Studi tentang implementasi pendidikan multikultural di sekolah berbasis

    agama banyak dilakukan para peneliti namun yang membedakannya penulis

    membandingkan dengan dua intitusi agama yang berbeda yakni Islam dan Kristen.

    Penulis ingin melihat sejauh mana pelaksanaan pendidikan multikultural yang telah

    di terapkan di masing-masing institusi pendidikan.

    Studi terbaru tentang pendidikan multikultural dilakukan oleh Donna Y

    Ford Why Education Must be Multicultural: Addressing a Few Misperceptions with Counterarguments.36 Dalam tulisannya beliau menegaskan bahwa sekolah sangat penting memberikan pemahaman pendidikan multikultural yang baik

    terhadap siswa untuk membantu menghilangkan diskriminasi rasial dan

    peningkatan keharmonisan ras. Karya ini menawarkan solusi kepada sekolah dalam

    menerapkan pendidikan multikultural antara lain: Pertama, semua kurikulum harus dianalisis untuk memastikan akurasi dan kelengkapan. Kurikulum harus diperiksa

    untuk menentukan bagaimana kurikulum tersebut mampu merekonstruksi dan

    mendukung kondisi sosial-budaya yang selama ini cenderung banyak menghadapi

    permasalahan. Kedua, semua bidang studi dan konten harus disajikan dari berbagai

    36

    Donna Y Ford, Why Education must be Multicultural: Addressing a Few

    Misperceptions with Counterarguments, Gifted Child Today 37, no. 1 (01, 2014): 59-62, http://search.proquest.com/docview/1491804214?accountid=25704 (accessed February 10,

    2017).

    http://search.proquest.com/docview/1491804214?accountid=25704

  • 19

    sudut pandang yang berbeda bahkan bertentangan agar siswa berlatih untuk

    berpikir lebih kritis tentang kurikulum yang mereka pelajari. Ketiga, sekolah harus mempersiapkan lembaga pendidikan yang kondusif, pengembangan profesional

    yang mumpuni bagi semua guru, dan beasiswa untuk mendorong iklim budaya yang

    responsif terhadap semua siswa.

    Studi ini membantu peneliti guna menganalisa lebih mendalam apakah

    kurikulum yang digunakan di masing-masing sekolah berbasis agama mampu

    merepresentasikan penerapan pendidikan multikultural. Namun karya ini belum

    sepenuhnya dapat dijadikan representasi bagi peneliti mengingat objek yang

    menjadi kajian dalam penelitian ini adalah sekolah berbasis agama yang

    memungkinkan faktor-faktor lain menjadi pengaruh terhadap pelaksanaan

    pendidikan multikultural tersebut.

    Karya berikutnya yang penting untuk direview adalah Amin Abdullah,

    Pendikan Agama Era Multikultural, Multireligius. Pada penelitiannya Amin

    mengatakan bahwa dalam rangka menyadari perbedaan tantangan historitas antara

    klasik-skolastik, era modernitas, dan terlebih lagi pada era modernitas tingkat-

    lanjut (post modern), diperlukan keberanian intelektual untuk merumuskan ulang

    pola pendidikan Islam, baik yang menyangkut materi maupun metodologi. Untuk

    menuju ke arah tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu37

    : Pertama, selain memberi uraian tentang ilmu-ilmu keislaman dan Kristen klasik, peserta

    didik perlu juga diperkenalkan dengan persoalan-persoalan modernitas yang amat

    kompleks sebagaimana dihadapi umat beragama hari ini dalam hidup keseharian

    mereka. Pendekatan-pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang saat ini

    berkembang juga perlu diperkenalkan pada peserta didik.

    Kedua, pengajaran ilmu-ilmu keagamaan tidak seharusnya bersifat doktrinal, melainkan perlu dikedepankan uraian dimensi historis dari doktrin-

    doktrin keagamaan tersebut. Dengan demikian dimungkinkan telaah kritis

    apresiatif-konstruktif terhadap khazanah intelektual klasik dan sekaligus memberi

    peluang dan kesempatan melatih para peserta didik untuk merumuskan ulang

    pokok-poko rumusan realisasi doktrin agama yang sesuai dengan tantangan dan

    tuntutan zaman dan bagaimana mereka dapat mencari jalan keluar (problem

    solving) sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini. Sekedar contoh,

    pada era reformasi dan globalisasi budaya seperti saat ini, tidak terlalu penting

    untuk menekankan "kebanggaan diri sendiri secara terselubung" dengan disertai

    sikap merendahkan orang lain, tidak terlalu esensial untuk untuk mengulang-ulang

    pernyataan bahwa agama tertentu yang lebih unggul daripada agama lain, yang

    berakibat secara tidak sengaja pada pembentukan sikap ekslusif dan menonjolkan

    truth claim (klaim kebenaran secara sepihak). Dalam era modernitas-multikultural, uraian sedemikian terasa kurang demokratis dan tidak mendidik. Uraian-uraian dan

    penjelasan-penjelasan yang berbau seperti itu perlu diganti dengan yang lebih

    demokratis dan menonjolkan pentingnya prestasi mengingat daya kritis masyarakat

    sudah semakin meningkat.

    37

    M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural, Multireligius, (Jakarta: PSAP, 2005), 72-76.

  • 20

    Ketiga, pengajaran yang dulunya hanya bertumpu pada teks (nash) perlu diimbangi dengan telaah yang cukup mendalam dan cerdas terhadap konteks dan

    realitas. Mengingat bahwa nash itu terbatas, sedangkan kejadian-kejadian yang dialami umat manusia selalu berkembang (al-nushu>sh mutana>h}iyah wa al-waqa>i ghoiru mutana>h}iyah). Oleh karena itu, diperlukan ilmu-ilmu bantu yang diambil dari disiplin ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, sejarah, filsafat, fisika,

    bioteknologi, dan seterusnya, untuk menjelaskan hakikat, visi, dan misi agama

    fundamental.

    Keempat, dalam era pluralitas iman yang semakin mencuat dan menguat, pelaksanaan pendidikan agama model kontemporer harus ditinggalkan agar tidak

    mendapat kritikan lantaran terlalu banyak menekankan aspek kognitif anak didik

    dan kurang memberikan tekanan pada aspek afektif dan psikomotorik. Kritikan ini

    dikarenakan pelajaran budi pekerti dan akhlak batiniah, yang bernuansa

    penghayatan , kurang begitu ditanamkan oleh para pendidik agama di sekolah-

    sekolah formal maupun oleh para orangtua di rumah. Penghayatan dan internalisasi

    nilai-nilai yang dimaksud adalah sebuah metode pendidikan dan pengajaran yang

    lebih menekankan pada kematangan dan kedewasaan berpikir dan perilaku: seperti

    penanaman sifat rendah hati, kesabaran, toleransi, tenggang rasa, cara berpikir yang

    matang, dan seterusnya.

    Kelima, pembelajaran pendidikan keagamaan era modernitas tidak lagi memadai jika hanya terfokus pada pembentukan "moralitas individual" yang saleh,

    namun kurang begitu peka terhadap "moralitas publik". Padahal moralitas publik

    sangat terkait dengan realitas struktur sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-

    budaya yang mempunyai logika kepentingan sendiri-sendiri. Persatuan antara

    struktur sosial-politik dengan sosial ekonomi dapat dilihat dari fenomena tayangan

    iklan di berbagai televisi swasta yang demikian marak. Persatuan tersebut

    sebenarnya memberi andil yang begitu besar dalam mencabik-cabik kesalehan

    individual dan kesalehan keluarga melalui berbagai kemudahan dan fasilitas yang

    diberikan oleh budaya modernitas yang sangat terasa menghimpit dan hegemonik.

    Karya yang penting untuk direview berikutnya adalah Edna Tan, Just Like My Nanny: Troubling Teacher's Social Identities in the Classroom.38 Karya ini menceritakan tentang kisah seorang guru dari Karibia yang mengajar di sekolah

    anak-anak kulit putih. Anak-anak ini pada awalnya merendahkan kemampuan guru

    tersebut karena dianggap memiliki pengetahuan yang sama dengan pengasuh

    mereka yang juga berasal dari Karibia. Awalnya guru tersebut kurang percaya diri

    ketika berhadapan dengan peserta didiknya. Guru ini mengajar bidang studi ilmu

    pengetahuan dan setiap hari dia terus berusaha untuk menjadi guru yang terbaik

    sekaligus mendekatkan diri dengan para siswa. Ada dua orang siswa yang selalu

    memberi perhatian kepadanya dan menghormati guru tersebut. Karena perhatian

    yang tulus ini sang-guru juga berusaha memperhatikan mereka dengan cara

    38

    Edna Tan, Just Like My Nanny: Troubling Teacher's Social Identities in the

    Classroom, Cultural Studies of Science Education, no. 2 (06, 2013): 361-5, http://search.proquest.com/docview/1347649106?accountid=25704 (accessed February,

    2017).

    http://search.proquest.com/docview/1347649106?accountid=25704

  • 21

    membantu kesulitan belajar yang mereka alami. Peristiwa ini ternyata mendapat

    perhatian dari siswa yang lainnya dan alhasil semua siswa yang berada di dalam

    kelas tersebut menerima dengan senang hati kehadiran sang-guru meskipun

    memiliki warna kulit yang berbeda. Edna Tan mengungkapkan bahwa menjadi diri

    sendiri akan lebih baik daripada menjadi orang lain. Keberhasilan guru tersebut

    menjadi dirinya sendiri membuktikan bahwa identitas sosial tidak selamanya

    menjadi persoalan mendasar dalam melakukan interaksi terhadap orang lain.

    Karya ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam apakah

    faktor identitas sosial seorang guru dapat menjadi penghambat dalam pelaksanaan

    pendidikan multikultural di sekolah-sekolah berbasis agama.

    Karya selanjutnya yang patut untuk direview adalah Lihua Geng,

    Reflection on Multicultural Education Under the Background of Globalization.39

    Pendidikan multikultural di Cina memiliki perbedaan besar dari pendidikan

    multikultural di negara-negara barat baik dalam hal modus pendidikan maupun

    latar belakang budaya nasional. Lihua melihat sistem teoritis pendidikan

    multikultural tidak konsisten dengan pembangunan sosial dan ekonomi di Cina

    pada saat sekarang ini. Oleh karena itu ia menawarkan solusi perbaikan dalam

    pelaksanaan pendidikan multikultural di Cina agar sesuai dengan kondisi nasional

    Cina antara lain: Pertama, guru harus memiliki pemahaman dasar tentang pendidikan multikultural. Guru adalah subjek utama dalam pengajaran multi-

    budaya. Guru yang memiliki pemahaman lebih mendalam tentang perbedaan

    budaya dan sejarah dari semua kelompok etnis, akan memiliki gagasan pendidikan

    multikultural dan menggunakan sudut pandang multikultural dalam menjelaskan

    segala macam kontradiksi sosial dan masalah-masalah yang terjadi. Akhirnya siswa

    dapat membangun kesadaran multi-budaya, memahami dan menghormati budaya

    yang berbeda. Penggunaan pemikiran kritis dalam masyarakat multikultural sangat

    diperlukan untuk kelangsungan hidup dan pembangunan yang lebih baik. Seorang

    guru tanpa ide pendidikan multikultural tidak akan dapat beradaptasi mengajar di

    lembaga pendidikan dengan keragaman yang berbeda-beda. Perangkat dasar untuk

    guru-guru lintas-budaya tercermin dalam aspek pengetahuan, teknologi, kehebatan

    dan emosional guru. Guru yang memiliki pemahaman komprehensif tentang

    pendidikan multikultural, dengan mudah menyesuaikan diri menghadapi perubahan

    globalisasi.

    Kedua, guru diharapkan mampu mengambil inisiatif dalam mewujudkan keragaman budaya dalam proses pengajaran dan pendidikan. Misalnya, keragaman

    faktor budaya yang tercermin dalam semua rincian pendidikan yang sebenarnya

    dalam merancang rencana pengajaran, memilih metode pengajaran yang sesuai dan

    menggunakan referensi pengajaran yang tepat. Namun perlu diperhatikan pada saat

    menekankan keragaman budaya bahwa nilai-nilai umum dari budaya inti sosial

    tidak boleh diabaikan. Guru harus memberikan keseimbangan antara keduanya.

    39

    Lihua Geng, Reflection on Multicultural Education Under the Background of

    Globalization, Higher Education Studies 3, no. 6 (12, 2013): 53-7, http://search.proquest.com/docview/1500750730?accountid=25704 (accessed February 10,

    2017).

    http://search.proquest.com/docview/1500750730?accountid=25704

  • 22

    Mereka harus memperlakukan siswa mereka dalam visi multikulturalisme dan

    membantu siswa untuk membuat pemahaman yang jelas tentang kesamaan dan

    perbedaan antara budaya yang beragam.

    Ketiga, guru dituntut untuk memiliki kapasitas analisis kritis, dan kemudian memupuk analisis kritis untuk siswa mereka. Hal ini dianggap sebagai

    tujuan dasar dari pendidikan multikultural yang memungkinkan siswa memiliki

    kesempatan untuk mengenal lebih dekat, memahami dan menghormati budaya yang

    berbeda.

    Karya ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam apakah

    kemampuan guru dalam memahami pendidikan multikultural dapat membantu

    keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah. Karya ini

    menjadikan guru sebagai faktor utama terciptanya pelaksanaan pendidikan

    multikultural di sekolah. Namun karya ini memiliki perbedaan dengan peneliti

    bahwa selain guru terdapat faktor lain yang memungkinkan dapat mempengaruhi

    pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah.

    Karya sejenis berikutnya yang penting untuk direview adalah Sylvie

    Bernard-Patel, The Construction of Religious and Cultural Identity of Muslim Pupils in Secondary Schools in Britain and France.40 Karya ini mengungkapkan tentang pelaksanaan pendidikan multikultural di Perancis dan Inggris. Sistem

    sekolah Inggris dan Perancis berbeda secara signifikan dalam menghadapi

    keragaman budaya. Di Inggris, pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan

    untuk mengajar dan belajar berdasarkan konsensus, menghormati dan mendorong

    pluralisme budaya. Model multikulturalisme Inggris adalah warisan ideal politik

    toleransi yang prinsip dasarnya adalah komitmen untuk kebebasan hati nurani.

    Prinsip multikulturalisme yang mereka yakini adalah menghormati kelompok etnis,

    budaya dan agama yang berbeda dalam masyarakat dan negara membuat perbedaan

    antara peran warga masyarakat dengan keyakinan pribadi mereka. Dalam kerangka

    ini, komunitas Muslim diaktifkan untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang

    orang lain, menciptakan sebuah identitas yang menyediakan ruang agar mereka

    mampu mendefinisikan dirinya dan berhubungan dengan identitas lain. Tujuannya

    adalah untuk mengubah perilaku dan sikap terhadap perbedaan budaya dan

    meyakini bahwa pendidikan adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai

    tersebut.

    Sebaliknya, sekolah Perancis adalah lambang cita-cita republik, di mana

    pendidikan harus memberikan janji yang sama untuk semua dan tidak memandang

    etnis, agama atau kelas sosial. Institusi pendidikan Perancis selalu memegang posisi

    netral, dimana tidak ada perbedaan etnis atau agama yang diakui. Negara tidak

    boleh memaksa, memajukan dan mengistimewakan agama tertentu atau agama

    secara umum.

    40

    Sylvie Bernard-Patel, The Construction of Religious and Cultural Identity of

    Muslim Pupils in Secondary Schools in Britain and France, Mediterranean Journal of Social Sciences 4, no. 7 (08, 2013): 117-27, http://search.proquest.com/docview/accountid=25704 (accessed February 10, 2017).

    http://search.proquest.com/docview/accountid=25704

  • 23

    Karya ini menguatkan tulisan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan

    dalam sebuah negara sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan

    multikultural di sekolah. Jika Negara tidak menghargai keragaman budaya maka

    dipastikan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah tidak dapat terlaksana

    dengan baik. Studi ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam

    apakah sistem pemerintahan di Indonesia menghormati dan mengakui keragaman

    budaya.

    Karya berikutnya yang penting untuk direview adalah Lilian R Robinson,

    Processes and Strategies School Leaders are using to Move their Multicultural Schools Toward Culturally Responsive Education.41 Dalam karya ini dilakukan penelitian terhadap delapan kepala sekolah di Amerika yang dianggap belum

    menerapkan pendidikan multikultural di sekolahnya masing-masing. Delapan

    kepala sekolah ini diajak bekerja di sekolah multikultural untuk memberikan

    pemahaman kepada mereka tentang pendidikan multikultural itu sendiri. Setiap

    hari mereka berinteraksi dengan siswa dan orang tua yang memiliki latar belakang

    budaya yang berbeda. Delapan kepala sekolah mulai belajar memahami masalah-

    masalah siswa dan membantu menyelesaikan persoalan mereka. Dari peristiwa ini

    secara tidak langsung para kepala sekolah telah belajar menerapkan pendidikan

    multikultural. Ketika peneliti menganggap delapan kepala sekolah sudah cukup

    memahami nilai-nilai pendidikan multikultural, mereka dikembalikan ke sekolah

    masing-masing. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan yang signifikan bahwa

    delapan kepala sekolah mulai menerapkan praktik pendidikan multikultural di

    sekolah mereka masing-masing. Delapan kepala sekolah tersebut terlihat lebih

    responsif memahami masalah siswa dan berdialog dengan baik terhadap orang tua

    siswa meskipun dengan latar belakang budaya yang berbeda.

    Studi ini membantu peneliti apakah pemahaman kepala sekolah terhadap

    pendidikan multikultural berdampak signifikan terhadap praktik pendidikan

    multikultural di sekolah. Namun karya ini memiliki perbedaan dengan peneliti yang

    memberikan kemungkinan munculnya faktor lain selain kepala sekolah dalam

    menciptakan pendidikan multikultural yang baik di sekolah.

    Berdasarkan karya-karya penelitian yang telah peneliti kemukakan di atas,

    kajian terhadap pendidikan multikultural cukup banyak dilakukan dalam berbagai

    aspek. Akan tetapi kajian yang lebih spesifik membahas pendidikan multikultural

    di sekolah berbasis agama belum sepenuhnya mendapat perhatian. Oleh karena itu

    penelitian ini lebih memfokuskan ke sekolah-sekolah berbasis agama karena

    menurut peneliti masih terdapat berbagai kelemahan dalam praktik pendidikan

    multikultural di sekolah-sekolah berbasis agama. Dengan penelitian ini di harapkan

    akan membantu pihak sekolah, yayasan pendidikan dan pemerintah agar lebih

    memperhatikan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah berbasis agama.

    41

    Lillian R Robinson, Processes and Strategies School Leaders are using to Move

    their Multicultural Schools Toward Culturally Responsive Education, Order No. 3402432,

    Capella University, 2010. In PROQUESTMS ProQuest Education Journals, http://search.proquest.com/docview/305245628?accountid=25704 (accessed February 10,

    2017).