pendidikan di sekolah berbasis agama dalam...

34
PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam Oleh: MUHAMMAD ABRAR PARINDURI NIM. 13.3.00.1.03.01.0009 Pembimbing Prof. Dr. Abuddin Nata, MA Prof. Dr. Suwito, MA SEKOLAH PASCASARJANA PENGKAJIAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

Upload: donguyet

Post on 08-Jun-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA

DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL

Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara

Disertasi

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam

Oleh:

MUHAMMAD ABRAR PARINDURI

NIM. 13.3.00.1.03.01.0009

Pembimbing

Prof. Dr. Abuddin Nata, MA

Prof. Dr. Suwito, MA

SEKOLAH PASCASARJANA

PENGKAJIAN ISLAM KONSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2017

Page 2: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karunia-Nya disertasi dengan judul Pendidikan di Sekolah Berbasis Agama dalam Perspektif Multikultural: Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Kristen di Sumatera Utara dapat diselesaikan. Shalawat dan salam disampaikan

kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun manusia dari kebodohan

kepada kecerdasan untuk dapat hidup dalam peradaban dan kemajuan.

Dalam penyelesaian disertasi ini, terdapat berbagai kesulitan antara lain

pembagian waktu dalam hal perkuliahan, pekerjaan dan juga keluarga. Kesulitan

lainnya berkaitan dengan lokasi penelitian yang jaraknya terlalu jauh dengan pusat

perkotaan serta kesulitan dalam mendapatkan akses informasi tentang buku-buku

yang relevan dan otoritatif. Namun semuanya dapat diatasi dengan baik berkat

bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas bantuan

tersebut diucapkan terima kasih kepada saudara Acep Nugraha, Iredho Fani Reza

dan juga kakanda Dr. Amirsyah Tambunan, MA, Hazuarli Haz, MA serta Tomy

Hidayat.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya untuk

Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan STAIS

Abdul Halim Kota Binjai sebagai tempat penulis bekerja selama perkuliahan

maupun penyelesaian disertasi. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga

disampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr.

Suwito, MA, selaku pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan

dan arahan dalam penulisan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA

selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.

Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih

yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Didin Saepudin,

MA selaku ketua Prodi Doktor yang selalu meluangkan waktu untuk verifikasi

perkembangan disertasi. Terimakasih yang setinggi-tingginya juga penulis

sampaikan kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Malik Fadjar, MA,

Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Prof. Dr. Husni

Rahim, MA, Prof. Dr. Syukron Kamil, MA, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dr.

Yusuf Rahman, MA, Dr. Fuad Jabali, MA., serta seluruh dosen Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyajikan berbagai mata

kuliah selama penulis menempuh studi dan juga telah memberikan masukan dan

kritikan-kritikan selama penulis menempuh berbagai ujian dalam penyelesaian

disertasi ini, mulai dari ujian proposal, WIP I dan WIP II, ujian Komprehensif

Lisan, Ujian Pendahuluan dan Promosi Doktor.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah

membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian penulisan

disertasi ini seperti petugas perpustakaan Pascasarjana dan Pusat Perpustakaan UIN

Jakarta, staff sekretariat SPs UIN Jakarta; Mas Arif, Mas Adam, Mba Vemy, Mba

Ema dll yang selalu memberikan pelayanan dengan cepat untuk mahasiswa SPs

UIN Jakarta, serta teman-teman yang banyak memberikan bantuan moral dan

Page 3: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

ii

material dalam diskusi bersama yang sering dilakukan, seperti Dr. Sofyan Abbas,

MA, Dr. Lia Kian, MA, Saparuddin, MA, Abdul Hakim Wahid, Firman Mansir,

MA, Amin Sutikno, MAP, M. Ridho Syabibi, MA (mereka adalah alumni dan para

kandidat Doktor SPs UIN Jakarta).

Ucapan terimakasih yang teristimewa disampaikan kepada kedua orangtua,

Ayahanda Karasim Parinduri dan Ibunda Nur'aini Siregar atas segala kesabaran, doa

yang tiada henti dan motivasi mereka dalam penyelesaian disertasi ini, begitu juga

dengan Ayahanda Dahlan Rais, M.Hum yang telah memberikan bantuan moril dan

materil, semoga Allah melimpahkan berkahnya kepada mereka dan memanjangkan

usianya. Begitu juga untuk kakak, Yusrina, Dinal Aflah, Delyana Rahmawany, dll.

Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunianya kepada semua keluarga

tercinta.

Dan penghargaan yang terbesar disampaikan kepada isteri penulis Delyani

Fatmawina Pulungan S.Pd dan putra penulis; Muhammad Al-Rafaeyza. Kesabaran

dan pengertian mereka membuat penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan

lancar. Kepada mereka itulah, disertasi ini dipersembahkan.

Jakarta, 08 November 2017

Penulis

Muhammad Abrar Parinduri

Page 4: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

iii

PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA

DALAM PERSPEKTIF MULTIKULTURAL

Studi Kasus pada Sekolah Islam dan Sekolah Kristen di Sumatera Utara

ABSTRAK

.

Penelitian ini membuktikan bahwa pendidikan yang menanamkan ragam

perbedaan agama, budaya, dan ras dapat menumbuhkan sikap dan perilaku

multikultural. Implementasi penanaman sikap dan perilaku multikultural pada

sekolah berbasis agama dilakukan dengan cara antara lain: Pertama, melalui

kebijakan sekolah ditandai dengan adanya kesediaan untuk menerima siswa dengan

latar belakang agama yang berbeda; Kedua, internalisasi nilai-nilai multikultural

melalui pengembangan kurikulum dan proses belajar mengajar; Ketiga, proses

interaksi sosial yang terjadi di masing-masing sekolah telah memberikan pelayanan

yang sama terhadap semua peserta didik (equality), mengembangkan prasangka

yang baik di kalangan siswa dan memberikan penghargaan yang sama terhadap

nilai-nilai budaya berbeda yang dikembangkan.

Hasil penelitian ini mendukung argumen James A Banks (2008), yang

menyatakan bahwa untuk memberikan kesempatan yang sama dalam mencapai

prestasi akademis di sekolah baik siswa pria maupun wanita, siswa berkebutuhan

khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur

yang beragam diperlukan sebuah konsep pendidikan multikultural yang mengakui

dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya

hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari

individu, kelompok maupun negara. Ia mendefinisikan pendidikan

multikultural adalah ide, gerakan, dan pembaharuan pendidikan.

Pada saat bersamaan penelitian ini memiliki perbedaan dengan Lihua Geng

(2013) dan Lillian R Robinson (2010) yang menempatkan guru dan kepala sekolah

sebagai faktor utama dalam menciptakan pelaksanaan pendidikan multikultural

yang baik di sekolah. Menurut peneliti guru dan kepala sekolah hanya salah satu

faktor dan bukan faktor utama karena terdapat faktor lain yang memungkinkan

dapat mempengaruhi pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.

Selain itu penelitian ini juga berbeda dengan Larry L Zimmerman (2007)

mengatakan bahwa identitas kebudayaan nasional seseorang akan semakin kuat jika

dihadapkan dengan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda.

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan

SMA Methodist Kuala sejak Juli 2015 sampai dengan Oktober 2017. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan studi lapangan dan studi

kepustakaan. Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh pemahaman

mendalam tentang indikator dari beberapa jawaban, khususnya yang berkaitan

dengan pendidikan multikultural di sekolah berbasis agama, fokusnya adalah situasi

atau siswa tertentu, dan penekanannya pada makna yang ditafsirkan berdasarkan

ungkapan-ungkapan dari pemberi informasi. Adapun sumber data utama (primer)

Page 5: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

iv

dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) melalui wawancara kepada Ketua Yayasan, Komite Sekolah, Kepala

Sekolah, Guru bidang studi agama dan umum, dokumen-dokumen yang mendukung

data penelitian serta beberapa siswa di masing-masing sekolah berbasis agama.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang relevan dengan

pendidikan multikultural yang tersebar di banyak literatur, buku-buku yang

berkaitan dengan pembahasan, artikel-artikel otoritatif yang ditulis oleh ahlinya,

untuk memperkuat analisis empiris dalam menjawab permasalahanan penelitian.

Page 6: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

iii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin.

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د dh = ذ r = ر

z = ز s = س

sh = ش

s{ = ص

d{ = ض

t} = ط

z{ = ظ

ع = ‘

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م n = ن

h = ه

w = و y = ي

Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan h}araka>t dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin

Keterangan

<a اa dengan garis di

atas

<i يi dengan garis di

atas

<u وu dengan garis di

atas

Page 7: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................................. iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... viii

DAFTAR ISI .................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................... 15

C. Perumusan Masalah .................................................................... 16

D. Pembatasan Masalah ................................................................... 16

E. Tujuan Penelitian ........................................................................ 16

F. Signifikansi .................................................................................. 16

G. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ........................................... 17

H. Metode Penelitian ....................................................................... 24

I. Sistematika Penulisan .............................................................. 26

BAB II DISKURSUS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ...................... 27

A. Sejarah Multikulturalisme .......................................................... 27

B. Multikulturalisme dalam Pandangan Islam dan Kristen ........... 31

C. Praktik Multikulturalisme Periode Islam Klasik ........................ 53

D. Pendidikan Multikultural dalam Sistem Pendidikan Nasional .. 67

BAB III SEKOLAH BERBASIS AGAMA ................................................. 87

A. Pengertian Sekolah Berbasis Agama ..............................................

B. Kultur Pendidikan di Sumatera Utara ........................................ 87

C. Dinamika Pendidikan dalam Perspektif Multikultural .............. 89

1. SMP Muhammadiyah-37 Air Joman .................................... 89

2. SMA Methodist Kuala .......................................................... 97

BAB IV INTERNALISASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL PADA

SEKOLAH BERBASIS AGAMA ....................................................

A. Kebijakan Sekolah .........................................................................

B. Proses Pembelajaran .......................................................................

C. Aktivitas Keagamaan ......................................................................

D. Kegiatan Intra dan Ekstrakurikuler ................................................

BAB V IMPLEMENTASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DI SEKOLAH

BERBASIS AGAMA ................................................................. 163

A. Memperkuat Human Relation dalam Iklim Sekolah ................ 163

B. Equity Pedagogy pada Intra dan Ekstrakurikuler ..................... 184

C. Aktifitas Sosial Kemasyarakatan: Living Together ................. 202

Page 8: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

vii

BAB VI PENUTUP DAN KESIMPULAN .............................................. 209

A. Kesimpulan ............................................................................... 209

B. Saran .......................................................................................... 210

DAFTAR PUSTAKA

GLOSARIUM

INDEKS

LAMPIRAN

Page 9: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era reformasi, Indonesia mengalami kebudayaan yang cenderung

mengarah pada disintegrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, krisis moneter,

ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah

mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan

negara. Akibat dari ini semua, rajutan kebudayaan masyarakat telah tercabik-cabik.1

Negara Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Dikatakan demikian

karena di dalam kehidupan masyarakatnya diwarnai oleh berbagai jenis kelompok

etnis atau suku bangsa, bahasa, adat istiadat, budaya, agama atau sistem religi.

Kenyataan yang demikian tentu telah dibuktikan lewat adanya suku-suku yang

menetap dan hidup di wilayah Indonesia. Dalam penelitian etnologi dikatakan bahwa

jumlah suku bangsa yang hidup di Indonesia lebih kurang 600 dengan identitas

budayanya sendiri-sendiri yang berbeda-beda.

Disamping itu, multikulturalisme

Indonesia juga dapat dibuktikan dengan adanya kepercayaan yang beraneka ragam

seperti antara lain Islam, Kristen, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta

berbagai macam aliran kepercayaan.

Bangsa Indonesia yang berada di dalam ras mongoloid, pada rumpun

malayan mongoloid terdiri dari berbagai etnis yang menyebar pada ribuan pulau.

Etnis di wilayah Indonesia sebagaimana dinyatakan Koentjaraningrat, biasanya

masih berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat yang mula-mula disusun

oleh Van Vollenhoven meliputi; Aceh, Gayo-Alas dan Batak, Nias dan Batu,

Minangkabau, Mentawai, Sumatera Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Biliton,

Kalimantan, Minahasa, Sangir-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, jawa

Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Surakarta dan Jawa Timur.

Pada masing-masing lingkungan hukum adat itulah terdapat berbagai etnis

yang keseluruhannya + 190 suku bangsa pada 30 propinsi, tidak termasuk Timor

Timur. Dari 190 suku bangsa ini masih bervariasi dalam ribuan sub suku bangsa.

Sekalipun pada sejumlah besar wilayah pedalaman dan kepulauan terpencil masih

dihuni oleh suku bangsa yang homogen, akan tetapi pada sebahagian wilayah

perkotaan, khususnya di tingkat propinsi, kota, kabupaten, bahkan kecamatan telah

dimukimi oleh suku-suku bangsa yang heterogen, secara berdampingan tanpa batas-

batas khusus untuk masing-masing etnis, agama dan pelapisan sosial. Di Jakarta

1 Lihat dalam Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun

Multikulturalisme Indonesia, http://snb.or.id/article/14/identitas-dan-krisis-budaya-

membangun-multikulturalisme-indonesia (acessed March 15, 2017). Lihat juga

Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integritasi Nasional (Jakarta, UI Press,

1993) dan Henk Schulte Nordholt dan Hanneman Samuel (eds), Indonesia in Transition: Rethinking Region Civil Society and Crisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 74.

Page 10: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

2

sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia hingga pelbagai wilayah di tanah air,

heterogenitas etnis, agama, dan pelapisan sosial, demikian banyak dan berbaur dalam

beragam pemukiman, lapangan pekerjaan, keorganisasian sosial hingga lembaga

pendidikan.

Secara historis bangsa-bangsa di dunia ditopang oleh integritas-internal

setiap etnis, agama, pelapisan sosial dan lintas berbagai etnis serta pelapisan

masyarakat yang hidup dalam wilayah tertentu di daratan bumi dimana mereka

menyepakati tegaknya negara berdaulat. Setiap etnis mempunyai kebutuhan hidup

yang akan mereka jawab dengan perkembangan kebudayaan yang mencakup; agama,

ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,

serta kesenian.2

Untuk keteraturan hidup (regularity of life) setiap komponen ini ada ukuran

(norm), nilai (value), dan sanksi hukum (role of law) dalam masyarakat masing-

masing etnis dan agama sebagai acuan hidup dalam menginterpretasi pengalaman,

lingkungan serta pedoman dalam melakukan akitivitas sosial hingga bertindak

menciptakan sesuatu sesuai kebutuhan hidup sebagai warga etnis dan agama. Dengan

acuan itulah, keutuhan kesatuan mereka tercipta dan sebaliknya bisa melahirkan

konflik jika ada pelanggaran.

Secara teoritis dapat diproposisikan, apabila dalam satu wilayah terdapat

kehidupan lintas etnis dan agama dimana masing-masing mempunyai norma, nilai,

dan hukum dalam menata kehidupan sosial dan kebudayaannya yang berbeda di

antara satu sama lainnya, maka keutuhan dan persatuan dapat terjelma dalam

wilayah tersebut manakala mereka secara sadar dan rela dapat melatenkan atau

memodifikasi norma, nilai dan hukum tersebut yang nyata-nyata mengundang

pertentangan etnis, agama serta pelapisan masyarakat, kemudian menampilkan sisi-

sisi yang dapat sesuai untuk semua dan mencoba membangun beberapa norma, nilai,

hukum baru, sebagai pengganti hal-hal yang bertentangan tersebut dan semua mereka

mengorganisasi diri di dalamnya.

Sebaliknya jika itu tidak terjadi, tetapi masing-masing etnis, agama dan

pelapisan masyarakat memaksakan perbedaan itu kepada satu sama lainnya di

wilayah interaksi antar variasi tersebut, inilah yang menjadi sumber keretakan,

konflik dan berujung pada kerusuhan sosial. Kymlicka dalam Anne Philips

menyatakan bahwa permasalahan serius yang dihadapi oleh sebuah negara adalah

ketika rasa keadilan tidak tumbuh secara merata dalam semua identitas budaya

masyarakat. Negara yang tidak perduli terhadap hak-hak etnis minoritas akan sangat

membahayakan keberlangsungan hak sipil dan politik masyarakat tersebut. Dalam

kondisi ini negara perlu mengakomodir peraturan adat yang terdapat dalam

masyarakat dan juga mengakomodir lembaga-lembaga yang tumbuh dalam

2 Rusmin Tumanggor, dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi

Kalangan Masyarakat di Tanah Air (Jakarta: Lemlit dan LPM UIN Jakarta, 2004), 3-5.

Page 11: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

3

masyarakat untuk melihat apakah ada peraturan negara yang merugikan hak-hak

minoritas.3

Sebagai sebuah bangsa yang memiliki keragaman agama, budaya dan bahasa

maka peluang untuk menimbulkan permasalahan di tengah-tengah masyarakat pasti

akan terjadi pula seperti yang kita hadapi belakangan ini. Korupsi, kolusi, nepotisme,

premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan

lingkungan, pelecehan seksual, pemaksaan keyakinan dan hilangnya rasa

kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain.

Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan

teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah

sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang

multikompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan

adjusment menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang

terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin

sendiri; sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari

norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri, demi kepentingan sendiri, dan

mengganggu atau merugikan orang lain.4

Bangsa Indonesia tidak mungkin mengabaikan begitu saja usaha Soeharto

dalam pemerintahannya selama tiga puluh dua tahun yang mencoba menyingkirkan

sejauh mungkin segala sesuatu yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan

Antargolongan). Hal ini didahului oleh penolakan Soekarno terhadap semua sentimen

kedaerahan yang dianggap sebagai atavisme kesukuan. Kebijakan ini tidak

memungkinkan adanya pengkajian mengenai potensi daerah dan identitas kesukuan,

meskipun terbukti bahwa pengertian tentang etnisitas-dahulu dan sekarang-sangat

melekat di batin sebagian besar orang Indonesia. Tuntutan untuk memperoleh

otonomi daerah yang lebih luas, demikian juga merebaknya konflik antar etnis

sesudah 1998, menunjukkan bahwa identitas etnis masih sangat hidup sesudah

ditindas lebih dari tiga dasawarsa. Karena- setelah dikungkung demikian lama, topik

mengenai kesukuan muncul lagi pada tahun-tahun belakangan.5

Sepintas lalu dapat diasumsikan bahwa identitas kedaerahan pasti berakar

dalam periode silam, pada zaman penjajahan atau bahkan masa sebelumnya.

Memang, solidaritas sesama suku sering ditampilkan sebagai wujud primordialisme,

3 Anne Philips, Multiculturalism without Culture (New Jersey: Princeton

University Press, 2007), 11. 4 Masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat begitu banyak. Masalah

ini mucul ke permukaan bukan hanya karena faktor manusia itu sendiri melainkan faktor-

faktor yang lain seperti lingkungan, adat istiadat dan perilaku yang tidak baik yang

dicontohkan para pejabat negara. Keterangan lebih lengkap tentang masalah-masalah sosial

lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), v. 5 Untuk keterangan lebih lajut tentang bagaimana sejarah suku dan daerah-daerah

di Indonesia dalam melakukan pergolakan untuk meneguhkan eksistensinya dinegeri ini

lihat Sita Van Bemmelen & Remco Raben, Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), 12.

Page 12: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

4

yaitu sentimen yang tidak pernah mengalami perubahan dan didasarkan pada budaya,

ras, serta konstalasi komunitas yang dibentuk oleh sejarah. Pada kenyataannya,

sementara negara-bangsa Indonesia masih dalam proses pembentukan, sedemikian

pula terjadi pada daerah-daerah dan identitas suku. Batasan daerah maupun identitas

masih bersifat lunak; terbuktilah belum kokoh. Perlu diketahui perbedaan antarsuku

pada waktu itu tidak selalu tajam sebagaimana tampak di permukaan, sehingga masih

ada ruang untuk menegosiasikan batasannya. Tetapi hampir selalu pembentukan

identitas beriringan dengan pembekuan kesadaran komunal dan berkolerasi dengan

perkembangan historis tertentu. Sebagai contoh sebagian kaum elite Toraja di

kawasan selatan Toraja di bagian utara Toraja, dengan siapa hubungan mereka

diwarnai persaingan untuk memperebutkan status dan kekuasaan di daerah

pedalaman. Suatu identitas antarsesama Toraja sudah dimulai terbentuk sejak tahun

1920-an, ketika identitas ini mengadopsi karakter Kristen secara utuh. Identitas

Kalimantan Tengah tidak pernah ada sebelum, katakanlah, tahun 1920-an, tetapi

Christian Simbar mampu memanfaatkan antagonisme sebelum perang antara Dayak

Kristen dan orang Melayu Islam untuk memperjuangkan adanya satu provinsi

tersendiri.6

Organisasi Islam seperti Muhammadiyah juga sempat mengalami ketegangan

yang signifikan terhadap masyarakat yang masih menjalankan tradisi leluhurnya

seperti sesaji, shalawat kuntadewa dan yang lainnya yang dianggap oleh

Muhammadiyah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Persinggungan ini

berlangsung cukup lama, namun pada akhirnya Muhammadiyah menerapkan konsep

dakwah kultural agar dapat mengurangi ketegangan yang terjadi dan melakukan

pendekatan yang lebih lunak.7

Pengalaman yang paling nyata sekaligus paling menyakitkan bagi bangsa ini

adalah terjadinya kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998 dan perang

Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003. Rangkaian konflik itu tidak

hanya merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah

menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 masjid. Perang etnis

antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000

telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia.8

Munculnya permasalahan tersebut di atas tidak terlepas dari akar-akar

konflik dalam masyarakat itu sendiri antara lain: Pertama, perebutan sumber daya,

alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi (access to economic resources and means

6 Sita Van Bemmelen & Remco Raben, Antara Daerah dan Negara, 13.

7 Tim PP Muhammadiyah, Pedoman Umum Dakwah Kultural Muhammadiyah,

2002, 21. Untuk melihat lebih lanjut bagaimana Muhammadiyah berhadapan dengan tradisi

lokal di tengah-tengah kehidupan masyarakat di Lamongan lihat Asykuri Ibn Chamin,

Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa: Muhammadiyah dan Seni Lokal (Surakarta: PSB-PS-UMS, 2003), 77-98.

8 M.Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk

Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007),4.

Page 13: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

5

of production), Kedua, perluasan batas-batas sosial budaya, dan Ketiga, benturan

kepentingan politik, ideologi dan agama.9

Kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-

an di berbagai kawasan Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan

yang dibangun dalam negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok,

dan betapa rendahnya saling pengertian antarkelompok menyangkut nilai-nilai

multikulturalisme masyarakat. Dalam hal ini diperlukan penegakkan masyarakat

madani yang demokratis berdasarkan Pancasila.

Dalam kajian |agama dan masyarakat Azyumardi Azra mengatakan bahwa

‚adanya keragaman agama dari satu masyarakat atau komunitas dengan satu

masyarakat atau komunitas lainnya dapat di eksplorasi dengan menjelaskan sifat

situasi keagamaan dalam masyarakat yang telah mengalami diferensiasi cukup besar.

Keragaman pemahaman keimanan dan ritual atau ibadah diantara berbagai kelompok

dalam masyarakat-bahkan diantara mereka yang memeluk agama yang sama-

merupakan isyarat tentang perlunya penggunaan analisis fungsional dalam melihat

kaitan antara agama dengan masyarakat‛.

Setiap individu pada hakikatnya ingin dihargai sekaligus ikut bertanggung

jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap

kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala

ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.

Keragaman adalah tantangan kehidupan manusia yang sejak berabad-abad

melahirkan berbagai uji coba dalam rangka mengelola berbagai perbedaan yang ada.

Ada banyak cara pandang terhadap keragaman yang berkembang dalam masyarakat

yang tentu saja mempengaruhi berbagai upaya mengelola perbedaan. Ketika

keragaman dianggap tidak ada, maka paham otoritarianisme dan absolutisme menjadi

dasar pemikiran yang paling mendominasi dalam mengelola masyarakat.

Otoritarianisme dan absolutisme dalam masalah keagamaan berangkat dari paham

keagamaan yang ekslusif. Gagasan kontrak sosial, gagasan hak-hak kelompok

minoritas yang harus dipahami dan dijamin pemenuhannya oleh semua lapisan

masyarakat atau gagasan tentang jaminan keterwakilan dalam mengelola kehidupan

bersama, lahir ketika kemajemukan ini didasari dan diindahkan masyarakat.10

Umat manusia dalam berbagai latar belakang budaya di berbagai belahan

dunia di mana agama-agama tumbuh dan berkembang, mempunyai proses yang selalu

sama dalam menyadari, merumuskan suatu cara pandang dan menyikapi perbedaan

agama. Konteks politik ekonomi dan keunikan penghayatan pada kehidupan yang

mewarnai kebudayaan yang menjadi media agama-agama ini tumbuh.

9 Sebagaimana yang diungkapkan Syafri Sairin dalam Balitbang Agama Jakarta,

Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme ( Jakarta: Balitbang Agama,

2009), 201. 10

Listia, Laode Arham dan Lian Gogali, Problematika Pendidikan Agama di Sekolah (Yogyakarta: DIAN-Interfidei, 2007), 18.

Page 14: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

6

Suatu paham tentang keragaman masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi

populer seiring perkembangan gagasan demokrasi dalam konteks budayanya, adalah

paham pluralisme dan multikulturalisme, suatu paham yang berkeyakinan bahwa

keragaman atau kemajemukan adalah situasi yang alami dalam kehidupan dan bahwa

kemajemukan itu sendiri bermanfaat bagi kehidupan, bukan sesuatu yang

mengancam.11

Dalam memberikan pandangan tentang kemajemukan setidaknya ada dua

cara yang dapat digunakan yakni pandangan saintifisme dan humanisme baru.

Pertama, saintifisme memandang fenomena agama-agama semata-mata sebagai

fenomena sosial-budaya yang mekanismenya dapat dipelajari dan sebagai sesuatu

yang dapat dipegang hukum-hukumnya sebagaimana pada ilmu alam. Paham ini

hanya menekankan aspek yang dapat diobservasi dan sama sekali tidak menyinggung

dimensi pengalaman batin, spritualitas, moral, apalagi pembicaraan tentang Tuhan

atau yang Adi Kodrati. Pandangan ini berlatar belakang pada positivisme yang tidak

mengakui metafisika, keberadaan sesuatu dibalik yang tampak, sesuatu yang

merupakan akar dari agama-agama.12

Perbedaan agama dipandang dalam kacamata

evolusi, ada agama atau sistem kepercayaan yang dianggap masih sederhana dan

primitif dan ada yang sudah dianggap di ujung proses, biasanya diletakkan

monoteisme.13

Dalam pembicaraan yang sekuler dan positivistik, tidak ada ruang bagi

sakralitas dan kesucian yang mutlak sebagaimana dipikirkan oleh para penganut

agama. Karena pandangan terhadap agama yang hanya berada dalam tatarannya

relasi sosial maka serta merta segala hal yang dikaitkan dengan agama-agama

menurut paham ini bersifat relatif. Relativitas agama dalam paham sekuler ini adalah

karena tidak adanya pengakuan pada Yang Ilahi, sebagaimana positivisme menolak

segala hal yang bersifat metafisik. Paham kemajemukan dengan menyertakan

relatifisme seperti ini yang sering disoroti oleh kelompok-kelompok yang menolak

pluralisme.

Cara pandang terhadap kemajemukan agama yang berdasar pada paradigma

positivisme menjadi tidak tepat digunakan untuk mengkaji fenomena orang

beragama, karena arogansi intelektual ini telah menutup diri dari berbagai

kemungkinan pengalaman hidup manusia yang penting sebagai bagian dari cara

berada manusia.

Kedua, pandangan humanisme baru yang secara khusus mengangkat

pemikiran Levi-Strauss yang membahas perbedaan masyarakat-dalam budaya. Pada

11

H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural (Magelang: Indonesia tera, 2003), 161-289.

12 F. Budi Hardiman, Kritik Idiologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 24. 13

Dalam teori evolusi ini secara umum terdapat pandangan tentang perkembangan

agama yang dimulai dari animism, dinamisme, politeisme dan monoteisme. Lihat

Koentjoroningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Universitas, 1996), 207-208.

Page 15: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

7

studi tentang perbedaan kebudayaan, Levi-Strauss menemukan bahwa seringkali para

akademisi terjebak dalam antroposentrisme ‚gaya barat lama‛ yang menjadikan

peneliti serta pengamat sebagai pusat yang mematok ukuran-ukuran baik-buruk,

maju-terbelakang pada suatu masyarakat yang diamati.14

Cara pandang yang ditolak

oleh Levi-Strauss ini antara lain ditujukan oleh para ilmuwan yang menggunakan

paradigma positivistis di atas, yang berakibat munculnya rasa superior kelompok

pendukung suatu kebudayaan yang dianggap telah maju. Antropolog pada masa lalu

mempraktekkan cara pandang ini dan secara tidak langsung membenarkan

‘kolonialisasi’ yang dilakukan kelompok agama-agama dominan demi untuk

‘mengeluarkan masyarakat primitif dari kegelapan budaya menuju pencerahan

dengan memeluk agama yang dianggap maju’. Etnosentrime tampak dalam ekspresi

yang bersumber pada anggapan tentang diri superior, yang banyak berkembang

dikalangan penganut agama-agama besar.

Levi-Strauss menawarkan cara pandang yang melihat (masyarakat, budaya,

agama yang berbeda) sebagai bagian dari kesatuan umat manusia, dengan

berdasarkan asumsi bahwa setiap manusia dan masyarakat (kebudayaan) mempunyai

simbol-simbol intelektual serupa dalam setiap kebudayaan yang beragam. Adanya

kesatuan kognisi dalam setiap budaya ini yang memungkinkan ada proses

penterjemahan satu bahasa ke bahasa atau penterjemahan simbol-simbol satu

kebudayaan pada kebudayaan yang lain.

Hal yang hendak disampaikan Levi-Strauss adalah bahwa rasa superior

dalam hal budaya maupun agama sangat saran kepentingan untuk menguasai yang

lain. Humanisme baru ini menolak pandangan intelektual humanis lama yang

menganggap mereka yang berbeda (the others) berdasarkan ukuran-ukuran si

pengamat. Untuk mendukung asumsi ini, Levi-Strauss membuat konsepsi bahwa

14

Menurut Agus Cremers (1997) dalam ulasannya tentang pemikiran Levi-Strauss

menjelaskan bahwa antropologi merupakan buah masa kolonialisme agresif dan

neokolonialisme zaman modern, sarat dengan bias etnosentrisme barat dan ini sangat

ditentang oleh Levi-Strauss. Sikap kritis Levi-Strauss secara keseluruhan dapat dicermati

dari mode berfikirnya yang menghasilkan suatu ‚humanism integral baru‛ mengatasi

humanism klasik barat yang antroposentris yang menghasilkan kebudayaan yang menindas

lingkungan hidup dan kelompok masyarakat yang dianggap primitive oleh mereka.

Cremers menjelaskan pemikiran Levi-Strauss tentang perbedaan dan jarak antara

‘kami’ dan ‘mereka’ dalam studi kebudayaan. Studi kebudayaan dapat berhasil apabila dua

hal ini serentak diwujudkan, yaitu ‘aspek identifikasi dengan’ dan ‘unsur distansi terhadap’

yang lain. Seorang peneliti harus bisa terlibat, berempati dengan masyarakat yang diteliti,

sehingga mampu memahami, merasakan dan merengkuh berbagai dimensi kehidupan

masyarakat yang bersangkutan, sehingga mampu menampilkan potret kehidupan sebanyak

dan sedetil mungkin. Tetapi pada saat yang bersamaan ia harus menjadi orang asing yang

mengambil jarak agar ia bisa bersikap ‘objektif’ yang dianggap sebagai prasyarat dalam

komunikasi ilmu pengetahuan. Kesulitan ini bisa teratasi bila ada asumsi tentang adanya

pandangan dasar kemanusiaan yang sama dalam ketaksadaran budaya kolektif. Lihat Agus

Cremers, Antara Alam dan Mitos Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Levi-

Strauss (Ende Flores: Nusa Indah, 1997), 27-30.

Page 16: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

8

perbedaan dilihat sebagai penampakan luar, tetapi di luar hal yang tampak berbeda

ini, umat manusia disatukan oleh kesatuan kesadaran budaya dalam diri umat

manusia.15

Seiring abad kedua puluh bergerak ke penghujung, timbul suatu kesadaran

bersama hampir di semua tempat mengenai garis-garis di antara kebudayaan-

kebudayaan, pembagian-pembagian dan perbedaan-perbedaan yang tidak hanya

memungkinkan kita membedakan satu kebudayaan dari kebudayaan lainnya, tetapi

juga memungkinkan kita melihat sejauh mana kebudayaan-kebudayaan itu diciptakan

secara manusiawi menjadi struktur otoritas dan peran serta, yang baik di dalam apa

yang mereka cakup, manfaatkan, dan absahkan, dan yang kurang baik di dalam apa

yang mereka ingkari dan turunkan.16

Dalam semua kebudayaan yang didefenisikan secara nasional ada suatu

aspirasi untuk berdaulat, untuk berkuasa, untuk mendominasi. Dalam hal ini,

kebudayaan Perancis dan Inggris, India dan Jepang, semuanya sama. Pada saat yang

sama, kita belum menyadari sepenuhnya keanehan dari budaya yang diadopsi

tersebut. Kebudayaan bukan bersifat uniter, monolitik atau otonom, tetapi

kebudayaan sesungguhnya mengandung unsur-unsur ‘asing’, alteritas, dan perbedaan-

perbedaan yang lebih banyak.

Istilah yang tepat digunakan untuk dominasi kekuatan negara adalah

‚imperialisme’ yang berarti praktik, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan

yang menguasai suatu wilayah yang jauh: ‘kolonialisme’, yang hampir selalu

merupakan konsekuensi imperialisme, adalah dibangunnya pemukiman-pemukiman

di wilayah-wilayah yang jauh. Sebagaimana dikemukakan oleh Michael Doyle:

‘Imperium adalah suatu hubungan, formal atau informal, dimana satu negara

menguasai kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu

bisa dicapai dengan paksa, melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan

ekonomi, sosial, atau budaya. Imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk

menegakkan atau mempertahankan imperium. Di masa kita, kolonialisme langsung

kebanyakan telah berakhir; imperialisme sebagaimana yang akan kita lihat, tetap

hidup di tempat ia hidup sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum,

maupun dalam praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi serta sosial tertentu.17

Baik imperialisme maupun kolonialisme bukanlah suatu tindakan sederhana

mengumpulkan dan mengambil. Keduanya didukung dan bahkan mendapat tekanan

melalui formasi-formasi ideologi impresif yang mencakup pendapat bahwa wilayah-

15

Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Penerjemah Kelompok Studi Filsafat

Driyakarya (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 30-36. 16

Edward Said, Kebudayaan dan Kekuasaan; Membongkar Mitos Hegomoni Barat

(Mizan: Bandung, 1996), 47. 17

Michael W. Doyle, Empires (Ithaca: Cornell University Press, 1986), 45. Lihat

juga Clarissa Rile Hayward, 2011, What Can Political Freedom Mean in a Multicultural

Democracy? On Deliberation, Difference, and Democratic Governance, Political Theory,

Sage Publications Inc, Vol. 39, No. 4: 468-497 (acessed March 15, 2017).

Page 17: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

9

wilayah dan bangsa-bangsa tertentu membutuhkan dan memohon dominasi, serta

bentuk-bentuk pengetahuan yang berkaitan dengan dominasi; kosakata kebudayaan

imperial klasik pada abad kesembilan belas banyak mengandung kata-kata dan

konsep-konsep semacam ras yang lebih rendah, rakyat bawahan, ketergantungan,

ekspansi dan otoritas.18

Sejalan dengan dinamika tersebut, hubungan antar agama Islam dan Non-

Islam mengalami pergolakan yakni munculnya kekuatan untuk saling mendominasi.

Perubahan dan perkembangan persepsi muslim terhadap pemeluk non-Islam dimana

ia menjadi toleran dan tidak toleran, tampak dengan jelas pada wacana yang

berkembang di sekitar makna ahli kitab.19

Sebagaimana ditunjukkan Ismatu Ropi,

proses historis yang dialami kaum muslim telah membuat makna ahli kitab menjadi

sedemikian sempit, sehingga ia jauh dari pesan inklusif dan universalis. Di sini, ahli

kitab dipahami secara statis dan defenitif, menutup kemungkinan adanya perluasan

makna itu sendiri. Ia menjadi cermin dari keberagaman normatif-idealistik yang

mengukur tingkat keberagamaan dari aspek-aspek formal. Istilah ahli kitab lebih

berfungsi sebagai kriteria penilai bagi hubungan beragama yang secara apologetis

untuk digunakan menjustifikasi bahwa agama Islam telah memberikan batasan-

batasan yang menjadi kriteria pembenar dan pengesah bagi kaum muslim untuk

mengambil jarak teologis dengan umat lain. Dengan kata lain, fenomena ahli kitab

digeneralisir sedemikian rupa sebagai sesuatu yang umum yang bisa diterapkan

dimana saja dan kapan saja; dan secara sah berlaku pada masyarakat muslim di

tempat lain di dunia.20

Penyempitan makna tersebut disebabkan oleh keinginan kaum muslimin

pada masa awal untuk meneguhkan jati diri mereka sebagai komunitas agama baru.

Pada sebuah masa pembentukan dan transisi dalam konstelasi hubungan politik yang

cukup rumit ini, tipifikasi dianggap sebagai salah-satu cara yang cukup aman bagi

upaya peneguhan jati diri yang berwawasan sejarah. Oleh karena itu, bisa dipahami

jika para sarjana muslim klasik memiliki persepsi ‘berlebihan’ tentang komunitas ahli

kitab. Hal ini bisa dilihat dari klaim-klaim stereotif yang menyatakan bahwa ahli

kitab telah melakukan penyimpangan atau perubahan yang sangat signifikan terhadap

kitab suci al-Quran khususnya yang berkenaan dengan keesaan Tuhan.21

Antara agama Islam dan Kristen, Huntington meyakini kedua agama tersebut

pada dasarnya adalah tidak toleran, yang selanjutnya melahirkan konflik keagamaan.

Dalam beberapa tulisannya Huntington cenderung melakukan generalisasi dalam

18

Michael W. Doyle, Empires, 47. 19

Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Midle Eastern Response

(Oxford: Oxford University Press, 2002), 114. 20

Ismatu Ropi, Wacana Inklusif Ahl al-Kitab (Paramadina, Vol. 1, No.1, 1999), 99-

100. 21

Andrew Rippin, Interpreting the Bible Through the Quran, dalam Approaches to the Quran, eds. G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef (London: Routledge, 1993), 249-

256.

Page 18: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

10

melihat hubungan Islam-Kristen. Kedua agama membentuk dua peradaban yang

berbeda, dan selanjutnya menentukan corak kehidupan sosial-politik dan budaya

yang berlainan di kalangan pemeluknya. Lebih penting lagi, kedua agama tersebut

juga sama-sama tidak toleran dan ekslusif. Oleh karena itu, Huntington percaya

bahwa hubungan kedua agama tersebut akan diwarnai konflik dan bahkan perang

agama, atau yang disebut sebagai benturan peradaban. Huntington berbeda dari

Lewis yang menilai bahwa intoleransi Islam lebih bersifat historis dan kondisional.

Corak hubungan yang terjalin antara Islam dan barat lebih menentukan watak Islam

yang akan berkembang, apakah dia menjadi toleran atau sebaliknya. Di sini, Lewis

lebih optimis untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara Islam dan barat

sebagaimana digagas kalangan intelektual.22

Seperti dibahas Steenbrink, hubungan Islam-Kristen di Indonesia bisa

dilacak jauh pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, dan selanjutnya

mengalami proses intensifikasi pada masa penjajahan Belanda. Begitu pula respon

muslim Indonesia terhadap barat memiliki sejarah panjang, dan mengambil bentuk

beragam sesuai dengan corak hubungan yang memang berubah-ubah sesuai dengan

setting sosio-historis yang berlaku. Meski demikian, pemahaman lebih jauh tentang

Kristen oleh muslim Indonesia baru berkembang pada awal abad ke-20, seiring

dengan lahirnya masyarakat terdidik lulusan lembaga pendidikan modern seperti

Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir.23

Sejarah hubungan antara Islam dan Kristen bukan sesuatu yang mudah dan

sudah menjadi bagian dari identitas kolektif kita, sejarah tentang kolonialisme dan

perang salib, invasi bangsa Arab dan 300 tahun ancaman bangsa Turki terhadap

orang Kristen di Eropa. Orang Islam di Indonesia mencurigai maksud orang-orang

Kristen sejak masa penjajahan. Kecurigaan ini diperkuat dengan proses kristenisasi

oleh sekte tertentu. Orang Kristen, di sisi lain, mencurigai orang Islam ‚ garis keras‛

jika mereka mendapatkan kekuasaan, akan membatasi kebebasan beragama mereka.

Jika terjadi konflik, apapun sebabnya, konflik tersebut pasti berpangkal dari

prasangka dan kecurigaan tersebut.

Mayoritas orang Indonesia dari semua agama menginginkan kedamaian dan

toleransi. Akan tetapi untuk dapat mencapai iklim toleransi yang abadi dan saling

menghormati satu sama lain kita harus meningkatkan komunikasi, melalui dialog

pada semua level, termasuk pada tingkat akar rumput, dan kita harus mengungkapkan

masalah yang sedang dihadapi dan keluhan yang ada pada masing-masing komunitas.

Kita juga harus mengungkapkan sebab-sebab umum yang menyebabkan aksi

kekerasan dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia harus mendapatkan

bimbingan untuk menyembuhkan luka tersebut.24

22

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations, Remaking of the WorldOrder (New York: Simon and Schuster, 1997), 210-212.

23 Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian (Bandung: Mizan, 1995), 57.

24 Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama; Problem, Praktik dan

Pendidikan (Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005), 16-20.

Page 19: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

11

Mungkin yang pertama harus kita pelajari kembali adalah bersikap untuk

bisa toleran terhadap umat lain. Toleransi dapat diartikan dengan menerima dengan

tulus akan keberadaan yang lain dan komunitas lain sebagai komunitas yang berbeda.

Dan hal ini tidak berkaitan dengan relatifisme agama, dengan tidak menempatkan

agama seseorang secara berlebihan. Bukan karena keyakinan agama kita, melainkan

karena keyakinan itu kita dapat melihat orang lain secara positif. Pada tingkat akar

rumput, kontak antara pemuka agama harus dikembangkan-satu hal yang tidak sulit

dilakukan di Indonesia, anda dapat senantiasa bersilaturrahim dan anda akan

disambut dengan tangan terbuka.

Kita harus lebih sensitif dengan kelompok lain. Kaum minoritas harus

mengetahui apa yang dianggap perilaku provokatif oleh kelompok mayoritas dan

harus mampu lepas dari perilaku tersebut. Kelompok mayoritas sendiri harus belajar

untuk membuat kaum minoritas merasa diterima, aman, mudah, dan bebas

melakukan ibadah. Saya terkesan dengan teman-teman Kristen di pulau Flores di

mana mereka mengkondisikan agar orang Islam dapat tinggal dengan aman di antara

mereka dan menghargai hak mereka sebagai manusia dan sesama warga. Sikap

seperti ini membutuhkan proses belajar.25

Para pemimpin formal dan informal agama mempunyai tanggungjawab yang

sangat besar. Mereka harus mampu meyakinkan umatnya bahwa toleransi agama

merupakan bagian dari ajaran agama mereka. Dalam ajaran tiap-tiap agama, unsur

eksklusif dan inklusif selalu dapat ditemukan. Dan lebih sering lagi, karena alasan

psikologis, unsur yang eksklusif lebih dikenal daripada yang inklusif. Akan tetapi jika

kita melihat unsur tersebut dari sudut pandang teologi secara mendalam, kita dapat

melihat dengan jelas bahwa aspek eksklusif harus dilihat dari aspek inklusif. Dasar

pemikiran yang demikian yang menyebabkan kenapa orang-orang ahli agama yang

telah mempelajari akar ajaran agama mereka secara mendalam cenderung mempunyai

dasar pemikiran yang lebih terbuka dibandingkan dengan mereka yang tidak

mempelajari agamanya secara mendalam. Dengan demikian, setiap agama harus

berusaha kuat agar unsur inklusif dapat dimasukkan dalam ajaran mereka-bukan

hanya untuk meningkatkan toleransi agama, tetapi agar mereka lebih meyakini apa

yang menjadi keyakinan mereka.26

Agama dalam diskursus keagamaan kontemporer dipahami bukan hanya

berwajah tunggal, akan tetapi berwajah banyak karena agama tidak lagi dipahami

sebagai hal yang terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan,

pandangan hidup serta ultimate concern. Selain memiliki sifat dan karakter yang

konvesional, agama juga diasumsikan sangat terkait dengan persoalan historis-

kultural yang juga merupakan kepercayaan manusia.

25

Franz Magnis Suseno dalam Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama, 27.

26 Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:

Mizan, 1999), 23.

Page 20: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

12

Dilihat dari sudut pandang historis-empiris, agama itu sarat dengan

‚kepentingan‛ (interest) yang terdapat pada kurikulum, proses pendidikan,

kepemimpinan dan institusi agama, serta studi agama.27

Bercampur-aduknya dan

berkait-kelindannya agama dengan berbagai kepentingan sosial kemasyarakatan pada

tingkat historis empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer

penting untuk dipecahkan. Dalam kenyataan hampir semua agama memiliki

‚institusi‛ dan ‚organisasi‛ yang mendukung, memperkuat, menyebarluaskan ajaran

agamanya. Institusi dan organisasi keagamaan tersebut telah banyak terlibat kedalam

sosial-budaya, sosial-kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi,

perdagangan, jurnalistik, pertahanan-keamanan, paguyuban dan lain-lainnya. Jika

memang demikian, maka sulitlah kita menjumpai agama yang lepas dari kepentingan

kelembagaan, kekuasaan, dan kepentingan-kepentingan tertentu. Fenomena semacam

itu dapat dengan mudah dijumpai di Indonesia.28

Studi agama secara empiris dapat mencatat peristiwa penting di tanah air.

Selama hampir tiga dasawarsa ini (tahun 1970 sampai tahun 2000), umat beragama

dalam pemerintahan Orde Baru dan Reformasi menggunakan istilah ‚kerukunan‛

untuk nama lain yang diambil dari khazanah intelektual Barat ‚tolerence‛ atau

‚harmony‛. Dalam praktik sehari-hari, ternyata kerukunan atau toleransi itu telah

menimbulkan sikap apologis. Tiap-tiap agama dengan sungguh-sungguh

menunjukkan bahwa hanya agama sendirilah yang paling rukun dan paling toleran.

Ironisnya, apologi dilakukan baik secara tekstual (ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin

tekstual) maupun kontekstual (lewat legitimasi sejarah, antropologi, sosiologi) yang

agaknya bukan malah mengurangi ketegangan-ketegangan yang ada tetapi justru

menambah ketegangan-ketegangan baru.29

Secara doktrinal-tekstual, orang Islam akan menyatakan dengan sungguh-

sungguh bahwa kata pertama yang diucapkan seorang Muslim ketika bertemu dengan

orang lain adalah al-sala<m ‘alaikum. Karena itu Islam adalah agama perdamaian.

Sementara itu, orang Kristen-Kristen dan Kristen-Protestan mengklaim bahwa

agama Kristiani sejak dari awalnya adalah agama cinta, yang mengimplementasikan

lewat ajaran diakonia. Orang Hindu begitu juga akan mengatakan bahwa agamanya

menekankan darma. Orang Budha mengklaim bahwa agamanya bermaksud

melepaskan penderitaan manusia. Dari segi konsepsi, kesemuanya mengacu pada

titik dan cita-cita yang sama, yakni perdamaian dan kerukunan. Untuk memperjelas

persoalan, sebagaimana dikemukakan Robert Cummings Neville yang berpendapat

bahwa ketika orang-orang Budha Sri Lanka, yang agamanya dipahami sebagai

27

Ursula King, ‚Historical and Phenomenological Approaches to the Study of

Religion‛ in Frank Whalling (Ed), Contemporary Approaches to the Study of Religion,

Vol.II, The Social Science (Berlin: Mouton Publisher, 1984), 139-140. 28

Amin Abdullah dalam Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama, 14-18.

29 Abdul Munir Mulkan, Agama dan Negara (Yogyakarta: DIAN-Interfidei, 2007),

12.

Page 21: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

13

pembawa pencerahan, berperang dengan orang Hindu, dengan slogannya ‚Shanti‛!

Shanti!, kedua belah pihak melakukan implikasi keagamaan yang keliru. Ketika

penganut Kristen, yang Tuhannya kasih, saling baku tembak di Irlandia Utara,

bentuk-bentuk operan Kristen yang ada disalahgunakan.30

Komando Jihad di

Afganistan, Pakistan, Mesir, Indonesia dan negara-negara lainnya terjebak pada

tingkat kesalahan yang sama. Semuanya itu secara konseptual terarah pada esensi

dan ambisi, yakni perdamaian dan keharmonisan namun pada tataran sosial politik

timeless essences tersebut disalahgunakan.31

Indonesia sebenarnya mempunyai filosofi dan pengalaman yang sangat

kokoh dalam menghadapi ragam perbedaan yang ada. Multikulturalisme bukan

hanya sekadar wacana, melainkan praktik kehidupan sosial-politik, yang sudah

mengakar kuat, bahkan menjadi jati diri bangsa. JS. Furnival memandang, pada

dasawarsa 1930-1940-an, Indonesia merupakan salah satu potret ‚masyarakat

plural‛ yang dapat dijadikan contoh, di saat negara-negara Eropa menghadapi

problem multikulturalisme.32

Menurut Furnival, meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang

mempunyai aneka ragam budaya, agama, dan suku, tetapi mereka dapat

dipersatukan melalui falsafah ‚bhinneka tunggal ika‛. Falsafah tersebut semakin

kokoh, karena diperkuat oleh Pancasila sebagai landasan ideal dalam berbangsa dan

bernegara. Ada dua alasan kuat dibalik keberhasilan ‚bhinneka uunggal ika‛

sebagai falsafat yang masih mengakar kuat bagi seluruh warga negara, yaitu

demokrasi dan komitmen pada konstitusi.

Dalam hal berdemokrasi, sejak pemilu 1955 hingga pemilu 2009 yang

paling mutakhir, rakyat Indonesia telah membuktikan jati-dirinya sebagai bangsa

yang mempunyai kemauan dan kemampuan berdemokrasi dengan fantastik. Jika

negara-negara lainnya masih mempertentangkan agama dan demokrasi, tetapi

rakyat Indonesia yang secara mayoritas religius dapat menerima, memahami,

bahkan mengimplementasikan demokrasi dengan baik.

Demokrasi telah menjadikan perbedaan dan kemajemukan agama, suku,

dan ras sebagai energi positif dalam dalam ruang publik, terutama dalam rangka

mewujudkan kesejahteraan, kesetaraan, keadilan, dan kedamaian. Kemajemukan

adalah rahmat Tuhan yang sangat besar dalam rangka mewujudkan persatuan dan

kebersamaan dalam rumah besar Indonesia. Maka dari itu, keberhasilan demokrasi

merupakan implementasi dari falsafah yang mengakar kuat dalam sanubari bangsa

Indonesia, bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tapi bersatu dalam rumah

kebangsaan Indonesia.33

30

Robert Cummings Neville, Religion in Late Modernity (Albany: State

University of New York Press, 2002), 164. 31

Nabil Abd al-Fattah, al-Nas}s} wa al-Rasas: al-Isla<m al-Siya<sy wa Azmah al-Daulah al-Hadi<tsah fi< Mis}r (Beirut: Dar al-Nihar wa al-nasyr, 1997), 271-290.

32 Robert W. Hefner (Ed.) Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation,

Democratization, (Princeton: Printon University Press, 2005). 33

Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, cet. Ketiga (Jakarta: Gramedia, 2011), 386.

Page 22: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

14

Oleh karena itu, umat Islam sebagai kelompok terbesar di negeri ini

menjadi bagian terpenting dalam rangka mengembangkan kesadaran tentang

bhinneka tunggal ika dalam konteks kebangsaan. Komitmen organisasi

kemasyarakatan Islam dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

dan Pancasila sebagai pilar bangsa yang final merupakan sebuah kekuatan, yang

telah memberikan corak tersendiri bagi keber-Islaman yang inklusif dan

multikultural. Bahkan, atas dasar itu pula, keber-Islaman di negeri ini berbeda

dengan langgam keber-Islaman di dunia Islam lainnya yang cenderung eksklusif dan

mencederai tujuan dari nilai-nilai multikultural itu sendiri.

Dalam perjalanan mengembangkan nilai-nilai multikultural pada lembaga

pendidikan Islam, juga tak luput dari persoalan yang disebutkan di atas yakni

banyaknya lembaga pendidikan Islam di beberapa daerah yang memiliki

pemahaman radikal dan intoleran dan menjadi keprihatian kita semua. Sekolah-

sekolah tersebut yang seharusnya berkewajiban membentuk pribadi yang cerdas,

berilmu, saleh, berbudi baik, rasional-kritis, terbuka dan toleran kepada perbedaan

justru menjadi kaderisasi kelompok tertutup, intoleran, dan bahkan memusuhi yang

tidak sepaham.

Dugaan infiltrasi pemahaman radikal ke sekolah disebabkan beberapa

beberapa hal antara lain: Pertama, lemahnya kesadaran dan komitmen pengelola di

sekolah-sekolah swasta dan di sekolah-sekolah negeri sangat dipengaruhi oleh

kepala sekolah yang merupakan penentu kebijakan. Kepala sekolah perlu memiliki

kesadaran atas prinsip-prinsip multikulturalisme. Kedua, lemahnya pengetahuan

dan wawasan para guru tentang keniscayaan hidup bersama dalam keragaman.

Ketiga, belum ada orang-orang atau jaringan kerja yang mendorong upaya

sosialisasi pentingnya penghargaan terhadap keragaman. Keempat, lemahnya

kemampuan guru-guru untuk mengembangkan pembelajaran serta metode-metode

baru dan efektif. Kelima, belum adanya kurikulum tentang multikulturalisme baik

menyangkut bahan pelajaran, metode serta aspek pendukung lainnya. Keenam,

belum adanya ruang bersama untuk berdialog dan membicarakan masalah ini

sehingga wacana tentang kesadaran multikulturalisme masih sangat lemah.

Ketujuh, belum adanya pengalaman nyata yang mencerminkan ideal dan indahnya

hidup bersama berbagai kelompok agama dalam suasana saling menghargai

perbedaan dan saling bekerjasama untuk memecahkan masalah masyarakat seperti

keterbelakangan, lemahnya pendidikan, kemiskinan dan pengangguran.34

Berdasarkan uraian yang telah penulis ungkapkan di atas, maka menjadi

penting bagi penulis untuk melihat bagaimana pelaksanaan pendidikan

multikultural di sekolah berbasis agama yang ada di Sumatera Utara. Pemilihan

Sumatera Utara menjadi tempat peneliti melakukan penelitian mengingat di

provinsi ini memiliki aneka ragam budaya, suku, adat istiadat dan agama.

Menurut data dari BPS tahun 2016, Sumatera Utara yang memiliki luas

wilayah 71.680,68 Km2 berpenduduk 12.834.371 jiwa. Komposisi umat beragama:

umat Islam sebanyak 8.403.997 (65,46 persen), Kristen Protestan 3.417.574 (26,62

34

Ridwan al-Makassary dan Suparto, Cerita Sukses Pendidikan Multikultur di Indonesia (Jakarta: CSRC, 2010), 47.

Page 23: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

15

persen), Kristen 613.674 (4,78 persen), Hindu 23.109 (0,18 persen), Budha 362.042

(2,82 persen), Konghucu (belum ada data), lain-lain 17.974 (0,14 persen).

Pemeluk agama Islam terbanyak berada di 18 kota dan kabupaten, yakni di

Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Langkat, Asahan, Deli Serdang, Labuhan

Batu, Medan, Serdang Bedagai, Sibolga, Tanjung Balai, Binjai, Tebing Tinggi,

Padang Sidempuan, Batubara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhan Batu

Utara, dan Labuhan Batu Selatan. Sementara umat Kristen terbanyak di sembilan

kota dan kabupaten, yakni Tapanuli Utara, Nias, Nias Selatan, Karo, Dairi, Toba

Samosir, Samosir, Pakpak Barat, dan Humbang Hasundutan. Sedangkan jumlah

umat Islam dan Kristen hampir berimbang berada di Tapanuli Tengah dan

Pematang Siantar.

Dari 12.834.371 penduduk dan pemeluk agama di Sumatera Utara, telah

berdiri 9.199 masjid, 10.325 mushalla, 10.277 gereja Kristen, 2.124 gereja Kristen,

63 kuil, 367 vihara, dan 77 cetiya. Terdapat sembilan etnis di Sumut, yakni etnis

Melayu, etnis Batak, etnis Nias, etnis Jawa, etnis Ming, etnis Aceh, etnis Cina,

etnis Arab dan etnis India. Sedangkan suku yang ada di Sumut adalah Batak Toba,

Batak Mandailing, Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak

Dairi Pakpak.35

Dari keragaman ini juga banyak muncul lembaga pendidikan milik

pemerintah maupun swasta. Lembaga pendidikan swasta ada yang memiliki afiliasi

dengan ormas keagamaan seperti |Muhammadiyah, NU, al-Washliyah, al-

Ittihadiyah, PGI maupun KWI. Namun tidak menutup kemungkinan ada sebagian

masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman di Sumatera Utara meskipun tidak

beragama Islam ikut mengenyam bangku pendidikan di sekolah berbasis agama

Islam baik milik Muhammadiyah, NU, al-Washliyah dan al-Ittihadiyah. Begitupun

sebaliknya dari umat Islam ada yang menitipkan anaknya untuk sekolah di yayasan

Kristen Protestan maupun Kristen Kristen. Dengan demikian sebagian masyarakat

di Sumatera Utara secara tidak langsung telah mempraktikkan pendidikan

multikultural.

Dalam perjalanan praktik pendidikan di sekolah berbasis agama dengan

latar belakang siswa yang memiliki keragaman tidak hanya budaya, suku, bahasa

akan tetapi juga agama tentu muncul kekhawatiran tersendiri dari para orang tua

maupun masyarakat dengan praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah

tersebut. Rasa khawatir yang muncul di antaranya berkaitan dengan model

pendidikan agama seperti apa yang diajarkan kepada siswa yang memiliki latar

belakang agama berbeda, bagaimana interaksi antara siswa dengan siswa, interaksi

antar sesama guru, interaksi antara sekolah dengan orang tua siswa, dan interaksi

antara guru dengan masyarakat sekitar.

A. Permasalahan

Studi ini ingin melihat implementasi pendidikan di sekolah berbasis agama

dalam perspektif multikultural. Kendati demikian fokus dalam kajian penulisan ini

ingin mengungkapkan kebijakan apa saja yang terdapat pada sekolah berbasis

35

M. Soleh Tanjung, Staf Tata Usaha BPS Sumatera Utara, wawancara 3 Oktober

2016.

Page 24: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

16

agama dalam mendukung nuansa multikultural , kurikulum pelajaran yang memiliki

muatan nilai-nilai multikultural dan interaksi sosial dalam mewujudkan pendidikan

bernuansa multikultural.

1. Identifikasi Masalah

Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural

penting untuk mendapat perhatian serius dari para pendidik, orang tua, masyarakat

dan pemerintah. Indonesia yang memiliki keragaman budaya, bahasa, suku dan

agama, dapat dipastikan mengalami kesulitan untuk menghindar dari proses

interaksi antar kultur tersebut. Lembaga pendidikan pun akan mengalami nasib

yang sama sehingga menjadi keharusan bagi sekolah-sekolah berbasis agama untuk

membuka diri menerima peserta didik meskipun dengan latar belakang agama yang

berbeda-beda. Output dari pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif

multikultural yang diajarkan kepada siswa dapat dipastikan ingin mengantarkan

peserta didiknya menjadi orang-orang yang menerima dengan sadar keragaman

yang ada dan berupaya untuk menghargai serta menghormati keragaman tersebut.

Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dalam

praktik sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya mendapat perhatian serius.

Diskursus tentang pendidikan multikultural akan menjadi pembicaraan menarik

jika terdapat praktik mencurigakan di sekolah-sekolah berbasis agama terutama

yang berkaitan dengan isu-isu pendangkalan keyakinan beragama terhadap peserta

didik. Para stakeholder lembaga pendidikan seharusnya tidak perlu menunggu

terjadinya peristiwa yang dapat merusak tatanan dunia pendidikan, akan tetapi

yang diperlukan adalah langkah-langkah strategis dalam praktik pendidikan di

sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural di tengah kehidupan yang

majemuk ini. Dalam konteks tersebut ada beberapa persoalan yang dapat

diidentifikasi :

a. Sekolah berbasis agama mendapat tudingan menjadi wadah kaderisasi bagi

kelompok agama tertentu.

b. Sekolah berbasis agama anti terhadap pendidikan multikultural karena

dianggap akan menghilangkan identitas agama siswa.

c. Pendidikan multikultural dan pendidikan agama selalu terpisah dalam praktik

pendidikan di sekolah sehingga menjadi sensitif jika disatukan.

d. Pendidikan multikultural dihadapkan dengan era globalisasi yang

memungkinkan masuknya budaya luar dan mempengaruhi perilaku siswa.

e. Pendidikan multikultural dianggap tidak dapat menjawab tuntutan

perkembangan zaman dan tekhnologi sehingga belum menjadi kebutuhan

mendesak dalam praktik pendidikan di sekolah berbasis agama .

f. Meski terdapat praktik pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah

berbasis agama namun masih bersifat normatif serta berbanding terbalik

dengan kenyataan dimasyarakat dan menimbulkan pergolakan dalam diri siswa

dalam melaksanakannya.

Dari uraian permasalahan yang penulis jelaskan di atas, memungkinkan

pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dikaji dari

berbagai sudut pandang. Kondisi ini akan memberikan ruang bagi para peneliti,

Page 25: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

17

dengan paradigma tertentu, untuk melakukan studi mendalam sesuai dengan sense crisis of academic masing-masing.

2. Perumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang dan identifikasi masalah yang disajikan di

atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana

implementasi pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perpektif multikultural?

Adapun rumusan pertanyaan dari perumusan masalah di atas adalah sebagai

berikut:

a. Bagaimana dinamika pendidikan dalam perspektif multikultural di SMP

Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?

b. Bagaimana internalisasi nilai-nilai multikultural dilakukan pada SMP

Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?

c. Sejauhmana implementasi nilai-nilai multikultural dilaksanakan di SMP

Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala?

3. Pembatasan Masalah

Berbagai permasalahan yang telah penulis kemukakan di atas, sangat

penting untuk dilakukan pembatasan, sehingga penelitian yang dilakukan lebih

terarah dan fokus. Berdasarkan urgensinya, penelitian ini dibatasi pada beberapa

aspek :

a. Sekolah berbasis agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekolah

yang memiliki afiliasi dengan keyakinan agama tertentu dalam hal ini agama

Islam dan agama Kristen.

b. Sekolah berbasis agama Islam yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah

SMP Muhammadiyah-37 Air Joman, sedangkan sekolah berbasis agama

Kristen yang menjadi objek penelitian adalah SMA Methodist Kuala.

c. Pemilihan SMA Methodist Kuala sebagai objek penelitian dikarenakan

memiliki siswa non Kristen (beragama Islam) dengan jumlah sangat signifikan.

d. Pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif multikultural dibatasi

pada upaya penerapannya yang dapat dilihat dalam kebijakan sekolah,

kurikulum mata pelajaran serta interaksi antar warga sekolah.

e. Penelitian ini dimulai sejak Juli 2015 sampai dengan Oktober 2017 di SMP

Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala

C. Tujuan

Konsisten dengan batasan dan rumusan masalah di atas maka penelitian ini

bertujuan :

a. Untuk mengetahui, menganalisis dan mengeksplorasi dinamika pendidikan

dalam perspektif multikultural di SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan

SMA Methodist Kuala.

b. Untuk menganalisis dan menjelaskan internalisasi nilai-nilai multikultural

yang diterapkan pada SMP Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA

Page 26: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

18

Methodist Kuala melalui kebijakan sekolah, pengembangan kurikulum dan

mata pelajaran, proses belajar mengajar serta interaksi sosial.

c. Untuk mengetahui, menganalisis dan mengeksplorasi implementasi nilai-

nilai multikultural yang dilaksanakan di SMP Muhammadiyah-37 Air

Joman dan SMA Methodist Kuala dalam memperkuat human relation pada

iklim sekolah, equity pedagogy dalam intra dan ekstrakurikuler serta living together pada aktifitas sosial-kemasyarakatan.

D. Signifikansi

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah di tetapkan diatas, maka

penelitian ini memiliki tiga hal signifikansi utama :

a. Memberikan nilai inspirasi kepada para intelektual Islam dan Kristen untuk

menggali potensi lembaga pendidikan masing-masing dalam pelaksanaan

pendidikan multikultural.

b. Memberikan dorongan dan motivasi kepada masyarakat Islam dan Kristen

untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural kepada generasi

muda dan menjadikannya sebagai pilar utama dalam mendukung kemajuan

dunia pendidikan.

c. Memudahkan kepada aktor pendidikan dan pelaku pendidikan dalam hal

pengambilan keputusan, kebijakan, peraturan pemerintah dan institusi

agama dalam melaksanakan praktik pendidikan multikultural di sekolah

berbasis agama.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Studi tentang implementasi pendidikan multikultural di sekolah berbasis

agama banyak dilakukan para peneliti namun yang membedakannya penulis

membandingkan dengan dua intitusi agama yang berbeda yakni Islam dan Kristen.

Penulis ingin melihat sejauh mana pelaksanaan pendidikan multikultural yang telah

di terapkan di masing-masing institusi pendidikan.

Studi terbaru tentang pendidikan multikultural dilakukan oleh Donna Y

Ford Why Education Must be Multicultural: Addressing a Few Misperceptions with Counterarguments.

36 Dalam tulisannya beliau menegaskan bahwa sekolah

sangat penting memberikan pemahaman pendidikan multikultural yang baik

terhadap siswa untuk membantu menghilangkan diskriminasi rasial dan

peningkatan keharmonisan ras. Karya ini menawarkan solusi kepada sekolah dalam

menerapkan pendidikan multikultural antara lain: Pertama, semua kurikulum harus

dianalisis untuk memastikan akurasi dan kelengkapan. Kurikulum harus diperiksa

untuk menentukan bagaimana kurikulum tersebut mampu merekonstruksi dan

mendukung kondisi sosial-budaya yang selama ini cenderung banyak menghadapi

permasalahan. Kedua, semua bidang studi dan konten harus disajikan dari berbagai

36

Donna Y Ford, Why Education must be Multicultural: Addressing a Few

Misperceptions with Counterarguments, Gifted Child Today 37, no. 1 (01, 2014): 59-62,

http://search.proquest.com/docview/1491804214?accountid=25704 (accessed February 10,

2017).

Page 27: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

19

sudut pandang yang berbeda bahkan bertentangan agar siswa berlatih untuk

berpikir lebih kritis tentang kurikulum yang mereka pelajari. Ketiga, sekolah harus

mempersiapkan lembaga pendidikan yang kondusif, pengembangan profesional

yang mumpuni bagi semua guru, dan beasiswa untuk mendorong iklim budaya yang

responsif terhadap semua siswa.

Studi ini membantu peneliti guna menganalisa lebih mendalam apakah

kurikulum yang digunakan di masing-masing sekolah berbasis agama mampu

merepresentasikan penerapan pendidikan multikultural. Namun karya ini belum

sepenuhnya dapat dijadikan representasi bagi peneliti mengingat objek yang

menjadi kajian dalam penelitian ini adalah sekolah berbasis agama yang

memungkinkan faktor-faktor lain menjadi pengaruh terhadap pelaksanaan

pendidikan multikultural tersebut.

Karya berikutnya yang penting untuk direview adalah Amin Abdullah,

Pendikan Agama Era Multikultural, Multireligius. Pada penelitiannya Amin

mengatakan bahwa dalam rangka menyadari perbedaan tantangan historitas antara

klasik-skolastik, era modernitas, dan terlebih lagi pada era modernitas tingkat-

lanjut (post modern), diperlukan keberanian intelektual untuk merumuskan ulang

pola pendidikan Islam, baik yang menyangkut materi maupun metodologi. Untuk

menuju ke arah tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu37

: Pertama,

selain memberi uraian tentang ilmu-ilmu keislaman dan Kristen klasik, peserta

didik perlu juga diperkenalkan dengan persoalan-persoalan modernitas yang amat

kompleks sebagaimana dihadapi umat beragama hari ini dalam hidup keseharian

mereka. Pendekatan-pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang saat ini

berkembang juga perlu diperkenalkan pada peserta didik.

Kedua, pengajaran ilmu-ilmu keagamaan tidak seharusnya bersifat

doktrinal, melainkan perlu dikedepankan uraian dimensi historis dari doktrin-

doktrin keagamaan tersebut. Dengan demikian dimungkinkan telaah kritis

apresiatif-konstruktif terhadap khazanah intelektual klasik dan sekaligus memberi

peluang dan kesempatan melatih para peserta didik untuk merumuskan ulang

pokok-poko rumusan realisasi doktrin agama yang sesuai dengan tantangan dan

tuntutan zaman dan bagaimana mereka dapat mencari jalan keluar (problem

solving) sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini. Sekedar contoh,

pada era reformasi dan globalisasi budaya seperti saat ini, tidak terlalu penting

untuk menekankan "kebanggaan diri sendiri secara terselubung" dengan disertai

sikap merendahkan orang lain, tidak terlalu esensial untuk untuk mengulang-ulang

pernyataan bahwa agama tertentu yang lebih unggul daripada agama lain, yang

berakibat secara tidak sengaja pada pembentukan sikap ekslusif dan menonjolkan

truth claim (klaim kebenaran secara sepihak). Dalam era modernitas-multikultural,

uraian sedemikian terasa kurang demokratis dan tidak mendidik. Uraian-uraian dan

penjelasan-penjelasan yang berbau seperti itu perlu diganti dengan yang lebih

demokratis dan menonjolkan pentingnya prestasi mengingat daya kritis masyarakat

sudah semakin meningkat.

37

M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural, Multireligius, (Jakarta: PSAP, 2005), 72-76.

Page 28: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

20

Ketiga, pengajaran yang dulunya hanya bertumpu pada teks (nash) perlu

diimbangi dengan telaah yang cukup mendalam dan cerdas terhadap konteks dan

realitas. Mengingat bahwa nash itu terbatas, sedangkan kejadian-kejadian yang

dialami umat manusia selalu berkembang (al-nushu>sh mutana>h}iyah wa al-waqa>i ghoiru mutana>h}iyah). Oleh karena itu, diperlukan ilmu-ilmu bantu yang diambil

dari disiplin ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, sejarah, filsafat, fisika,

bioteknologi, dan seterusnya, untuk menjelaskan hakikat, visi, dan misi agama

fundamental.

Keempat, dalam era pluralitas iman yang semakin mencuat dan menguat,

pelaksanaan pendidikan agama model kontemporer harus ditinggalkan agar tidak

mendapat kritikan lantaran terlalu banyak menekankan aspek kognitif anak didik

dan kurang memberikan tekanan pada aspek afektif dan psikomotorik. Kritikan ini

dikarenakan pelajaran budi pekerti dan akhlak batiniah, yang bernuansa

penghayatan , kurang begitu ditanamkan oleh para pendidik agama di sekolah-

sekolah formal maupun oleh para orangtua di rumah. Penghayatan dan internalisasi

nilai-nilai yang dimaksud adalah sebuah metode pendidikan dan pengajaran yang

lebih menekankan pada kematangan dan kedewasaan berpikir dan perilaku: seperti

penanaman sifat rendah hati, kesabaran, toleransi, tenggang rasa, cara berpikir yang

matang, dan seterusnya.

Kelima, pembelajaran pendidikan keagamaan era modernitas tidak lagi

memadai jika hanya terfokus pada pembentukan "moralitas individual" yang saleh,

namun kurang begitu peka terhadap "moralitas publik". Padahal moralitas publik

sangat terkait dengan realitas struktur sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-

budaya yang mempunyai logika kepentingan sendiri-sendiri. Persatuan antara

struktur sosial-politik dengan sosial ekonomi dapat dilihat dari fenomena tayangan

iklan di berbagai televisi swasta yang demikian marak. Persatuan tersebut

sebenarnya memberi andil yang begitu besar dalam mencabik-cabik kesalehan

individual dan kesalehan keluarga melalui berbagai kemudahan dan fasilitas yang

diberikan oleh budaya modernitas yang sangat terasa menghimpit dan hegemonik.

Karya yang penting untuk direview berikutnya adalah Edna Tan, Just Like My Nanny: Troubling Teacher's Social Identities in the Classroom.

38 Karya ini

menceritakan tentang kisah seorang guru dari Karibia yang mengajar di sekolah

anak-anak kulit putih. Anak-anak ini pada awalnya merendahkan kemampuan guru

tersebut karena dianggap memiliki pengetahuan yang sama dengan pengasuh

mereka yang juga berasal dari Karibia. Awalnya guru tersebut kurang percaya diri

ketika berhadapan dengan peserta didiknya. Guru ini mengajar bidang studi ilmu

pengetahuan dan setiap hari dia terus berusaha untuk menjadi guru yang terbaik

sekaligus mendekatkan diri dengan para siswa. Ada dua orang siswa yang selalu

memberi perhatian kepadanya dan menghormati guru tersebut. Karena perhatian

yang tulus ini sang-guru juga berusaha memperhatikan mereka dengan cara

38

Edna Tan, Just Like My Nanny: Troubling Teacher's Social Identities in the

Classroom, Cultural Studies of Science Education, no. 2 (06, 2013): 361-5,

http://search.proquest.com/docview/1347649106?accountid=25704 (accessed February,

2017).

Page 29: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

21

membantu kesulitan belajar yang mereka alami. Peristiwa ini ternyata mendapat

perhatian dari siswa yang lainnya dan alhasil semua siswa yang berada di dalam

kelas tersebut menerima dengan senang hati kehadiran sang-guru meskipun

memiliki warna kulit yang berbeda. Edna Tan mengungkapkan bahwa menjadi diri

sendiri akan lebih baik daripada menjadi orang lain. Keberhasilan guru tersebut

menjadi dirinya sendiri membuktikan bahwa identitas sosial tidak selamanya

menjadi persoalan mendasar dalam melakukan interaksi terhadap orang lain.

Karya ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam apakah

faktor identitas sosial seorang guru dapat menjadi penghambat dalam pelaksanaan

pendidikan multikultural di sekolah-sekolah berbasis agama.

Karya selanjutnya yang patut untuk direview adalah Lihua Geng,

Reflection on Multicultural Education Under the Background of Globalization.39

Pendidikan multikultural di Cina memiliki perbedaan besar dari pendidikan

multikultural di negara-negara barat baik dalam hal modus pendidikan maupun

latar belakang budaya nasional. Lihua melihat sistem teoritis pendidikan

multikultural tidak konsisten dengan pembangunan sosial dan ekonomi di Cina

pada saat sekarang ini. Oleh karena itu ia menawarkan solusi perbaikan dalam

pelaksanaan pendidikan multikultural di Cina agar sesuai dengan kondisi nasional

Cina antara lain: Pertama, guru harus memiliki pemahaman dasar tentang

pendidikan multikultural. Guru adalah subjek utama dalam pengajaran multi-

budaya. Guru yang memiliki pemahaman lebih mendalam tentang perbedaan

budaya dan sejarah dari semua kelompok etnis, akan memiliki gagasan pendidikan

multikultural dan menggunakan sudut pandang multikultural dalam menjelaskan

segala macam kontradiksi sosial dan masalah-masalah yang terjadi. Akhirnya siswa

dapat membangun kesadaran multi-budaya, memahami dan menghormati budaya

yang berbeda. Penggunaan pemikiran kritis dalam masyarakat multikultural sangat

diperlukan untuk kelangsungan hidup dan pembangunan yang lebih baik. Seorang

guru tanpa ide pendidikan multikultural tidak akan dapat beradaptasi mengajar di

lembaga pendidikan dengan keragaman yang berbeda-beda. Perangkat dasar untuk

guru-guru lintas-budaya tercermin dalam aspek pengetahuan, teknologi, kehebatan

dan emosional guru. Guru yang memiliki pemahaman komprehensif tentang

pendidikan multikultural, dengan mudah menyesuaikan diri menghadapi perubahan

globalisasi.

Kedua, guru diharapkan mampu mengambil inisiatif dalam mewujudkan

keragaman budaya dalam proses pengajaran dan pendidikan. Misalnya, keragaman

faktor budaya yang tercermin dalam semua rincian pendidikan yang sebenarnya

dalam merancang rencana pengajaran, memilih metode pengajaran yang sesuai dan

menggunakan referensi pengajaran yang tepat. Namun perlu diperhatikan pada saat

menekankan keragaman budaya bahwa nilai-nilai umum dari budaya inti sosial

tidak boleh diabaikan. Guru harus memberikan keseimbangan antara keduanya.

39

Lihua Geng, Reflection on Multicultural Education Under the Background of

Globalization, Higher Education Studies 3, no. 6 (12, 2013): 53-7,

http://search.proquest.com/docview/1500750730?accountid=25704 (accessed February 10,

2017).

Page 30: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

22

Mereka harus memperlakukan siswa mereka dalam visi multikulturalisme dan

membantu siswa untuk membuat pemahaman yang jelas tentang kesamaan dan

perbedaan antara budaya yang beragam.

Ketiga, guru dituntut untuk memiliki kapasitas analisis kritis, dan

kemudian memupuk analisis kritis untuk siswa mereka. Hal ini dianggap sebagai

tujuan dasar dari pendidikan multikultural yang memungkinkan siswa memiliki

kesempatan untuk mengenal lebih dekat, memahami dan menghormati budaya yang

berbeda.

Karya ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam apakah

kemampuan guru dalam memahami pendidikan multikultural dapat membantu

keberhasilan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah. Karya ini

menjadikan guru sebagai faktor utama terciptanya pelaksanaan pendidikan

multikultural di sekolah. Namun karya ini memiliki perbedaan dengan peneliti

bahwa selain guru terdapat faktor lain yang memungkinkan dapat mempengaruhi

pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah.

Karya sejenis berikutnya yang penting untuk direview adalah Sylvie

Bernard-Patel, The Construction of Religious and Cultural Identity of Muslim Pupils in Secondary Schools in Britain and France.40 Karya ini mengungkapkan

tentang pelaksanaan pendidikan multikultural di Perancis dan Inggris. Sistem

sekolah Inggris dan Perancis berbeda secara signifikan dalam menghadapi

keragaman budaya. Di Inggris, pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan

untuk mengajar dan belajar berdasarkan konsensus, menghormati dan mendorong

pluralisme budaya. Model multikulturalisme Inggris adalah warisan ideal politik

toleransi yang prinsip dasarnya adalah komitmen untuk kebebasan hati nurani.

Prinsip multikulturalisme yang mereka yakini adalah menghormati kelompok etnis,

budaya dan agama yang berbeda dalam masyarakat dan negara membuat perbedaan

antara peran warga masyarakat dengan keyakinan pribadi mereka. Dalam kerangka

ini, komunitas Muslim diaktifkan untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang

orang lain, menciptakan sebuah identitas yang menyediakan ruang agar mereka

mampu mendefinisikan dirinya dan berhubungan dengan identitas lain. Tujuannya

adalah untuk mengubah perilaku dan sikap terhadap perbedaan budaya dan

meyakini bahwa pendidikan adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai

tersebut.

Sebaliknya, sekolah Perancis adalah lambang cita-cita republik, di mana

pendidikan harus memberikan janji yang sama untuk semua dan tidak memandang

etnis, agama atau kelas sosial. Institusi pendidikan Perancis selalu memegang posisi

netral, dimana tidak ada perbedaan etnis atau agama yang diakui. Negara tidak

boleh memaksa, memajukan dan mengistimewakan agama tertentu atau agama

secara umum.

40

Sylvie Bernard-Patel, The Construction of Religious and Cultural Identity of

Muslim Pupils in Secondary Schools in Britain and France, Mediterranean Journal of Social Sciences 4, no. 7 (08, 2013): 117-27, http://search.proquest.com/docview/accountid=25704

(accessed February 10, 2017).

Page 31: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

23

Karya ini menguatkan tulisan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan

dalam sebuah negara sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan

multikultural di sekolah. Jika Negara tidak menghargai keragaman budaya maka

dipastikan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah tidak dapat terlaksana

dengan baik. Studi ini membantu peneliti untuk menganalisa lebih mendalam

apakah sistem pemerintahan di Indonesia menghormati dan mengakui keragaman

budaya.

Karya berikutnya yang penting untuk direview adalah Lilian R Robinson,

Processes and Strategies School Leaders are using to Move their Multicultural Schools Toward Culturally Responsive Education.

41 Dalam karya ini dilakukan

penelitian terhadap delapan kepala sekolah di Amerika yang dianggap belum

menerapkan pendidikan multikultural di sekolahnya masing-masing. Delapan

kepala sekolah ini diajak bekerja di sekolah multikultural untuk memberikan

pemahaman kepada mereka tentang pendidikan multikultural itu sendiri. Setiap

hari mereka berinteraksi dengan siswa dan orang tua yang memiliki latar belakang

budaya yang berbeda. Delapan kepala sekolah mulai belajar memahami masalah-

masalah siswa dan membantu menyelesaikan persoalan mereka. Dari peristiwa ini

secara tidak langsung para kepala sekolah telah belajar menerapkan pendidikan

multikultural. Ketika peneliti menganggap delapan kepala sekolah sudah cukup

memahami nilai-nilai pendidikan multikultural, mereka dikembalikan ke sekolah

masing-masing. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan yang signifikan bahwa

delapan kepala sekolah mulai menerapkan praktik pendidikan multikultural di

sekolah mereka masing-masing. Delapan kepala sekolah tersebut terlihat lebih

responsif memahami masalah siswa dan berdialog dengan baik terhadap orang tua

siswa meskipun dengan latar belakang budaya yang berbeda.

Studi ini membantu peneliti apakah pemahaman kepala sekolah terhadap

pendidikan multikultural berdampak signifikan terhadap praktik pendidikan

multikultural di sekolah. Namun karya ini memiliki perbedaan dengan peneliti yang

memberikan kemungkinan munculnya faktor lain selain kepala sekolah dalam

menciptakan pendidikan multikultural yang baik di sekolah.

Berdasarkan karya-karya penelitian yang telah peneliti kemukakan di atas,

kajian terhadap pendidikan multikultural cukup banyak dilakukan dalam berbagai

aspek. Akan tetapi kajian yang lebih spesifik membahas pendidikan multikultural

di sekolah berbasis agama belum sepenuhnya mendapat perhatian. Oleh karena itu

penelitian ini lebih memfokuskan ke sekolah-sekolah berbasis agama karena

menurut peneliti masih terdapat berbagai kelemahan dalam praktik pendidikan

multikultural di sekolah-sekolah berbasis agama. Dengan penelitian ini di harapkan

akan membantu pihak sekolah, yayasan pendidikan dan pemerintah agar lebih

memperhatikan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah berbasis agama.

41

Lillian R Robinson, Processes and Strategies School Leaders are using to Move

their Multicultural Schools Toward Culturally Responsive Education, Order No. 3402432,

Capella University, 2010. In PROQUESTMS ProQuest Education Journals,

http://search.proquest.com/docview/305245628?accountid=25704 (accessed February 10,

2017).

Page 32: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

24

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif42

dengan studi lapangan dan

studi kepustakaan (library research). Metode kualitatif digunakan untuk

memperoleh pemahaman mendalam tentang indikator dari beberapa jawaban,

khususnya yang berkaitan dengan pendidikan di sekolah berbasis agama dalam

perspektif multikultural, fokusnya adalah situasi atau informan tertentu, dan

penekanannya pada makna yang ditafsirkan berdasarkan ungkapan-ungkapan dari

pemberi informasi. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengoleksi dan

menganalisa data dari sumber-sumber primer dan sekunder.

1. Objek Penelitian

Yang menjadi objek penelitian ini adalah sekolah berbasis agama SMP

Muhammadiyah-37 Air Joman dan SMA Methodist Kuala. Masing-masing sekolah

memiliki siswa yang berbeda agama dan secara tidak langsung turut serta

menerapkan pendidikan dalam perspektif multikultural. Dengan demikian sasaran

penelitian ini (objek) adalah pelaksanaan pendidikan di sekolah berbasis agama

dalam perspektif multikultural terhadap siswa-siswi yang memiliki latar belakang

agama yang berbeda.

2. Sumber Data

Adapun sumber data utama (primer) dalam penelitian ini adalah data-data

yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) melalui wawancara,

observasi dan studi dokumen. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan

pustaka yang relevan dengan pendidikan multikultural yang tersebar di banyak

literatur, buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan, artikel-artikel otoritatif

yang ditulis oleh ahlinya, untuk memperkuat analisis empiris dalam menjawab

permasalahanan penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap

situasi yang diteliti, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

wawancara, observasi dan studi dokumen. Teknik wawancara yang digunakan

adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan dengan ketua yayasan,

ketua komite sekolah, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru bidang studi

agama, guru bidang studi umum (terdiri dari 4 orang) serta siswa-siswi (terdiri dari

10 orang) pada masing-masing sekolah berbasis agama. Wawancara bertujuan

untuk memperoleh informasi tentang kebijakan sekolah, pengembangan kurikulum

dan metode pembelajaran, proses belajar mengajar serta interaksi sosial yang

mendukung terciptanya pendidikan di sekolah berbasis agama dalam perspektif

multikultural.

42

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung;

Alfabeta, 2011), cetakan 13, 205.

Page 33: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

25

Selanjutnya observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi

terkendali yakni melakukan pengamatan terhadap sasaran penelitian yang

ditempatkan dalam lingkungan terbatas yang dapat diamati oleh peneliti. Objek

penelitian ini adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, siswa serta

dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Observasi bertujuan untuk

memperoleh data tentang interaksi sosial yang terjadi antar warga sekolah, metode

pembelajaran serta pengembangan kurikulum dan mata pelajaran yang memiliki

muatan nilai-nilai multikultural.

Sedangkan studi dokumen digunakan untuk menggali data dalam bentuk

dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan aspek penelitian seperti AD/

ART yayasan, kebijakan sekolah, sumber dan bahan ajar serta metode pembelajaran

yang mendukung terciptanya nuansa multikultural di masing-masing sekolah

berbasis agama.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yakni

memaparkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa wawancara,

observasi dan studi dokumen kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil

kesimpulannya. Kegiatan analisis data dilakukan secara simultan sepanjang periode

penelitian. Langkah-langkah analisis yang dilakukan dalam upaya untuk memahami

dan menginterpretasikan data yang diperoleh yang mencakup kegiatan-kegiatan

sebagai berikut:43

a. Analisis temuan secara terus menerus di lapangan, khususnya dalam

masalah yang diteliti dan juga dalam keseluruhan fenomena yang

berkaitan dengan pertanyaan penelitian, dengan tujuan untuk

mendapatkan tema-tema besar dan untuk mengembangkan konsep-konsep

yang dihasilkan dalam penelitian.

b. Pengelompokkan dan pengorganisasian data, sesegera mungkin setelah

data diperoleh sehingga dapat membantu peneliti dalam memahami pola

permasalahan dan tema fenomena yang diteliti.

c. Membuat catatan yang sistematis dan membaca literatur mengenai

penelitian-penelitian lain tentang masalah yang relevan untuk

memperoleh kerangka pemikiran yang sesuai dengan temuan di lapangan.

d. Mengevaluasi setiap langkah-langkah yang dilakukan untuk menghindari

kesalahan atau menajamkan fokus penelitian yang sedang dilakukan

secara terus menerus.

5. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yakni pendekatan

sosiologis dan filosofis.

43

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Rosda

Karya, 2011), cet ketujuh, 99. Lihat juga Durri Andriani, dkk, Metode Penelitian (Jakarta:

Universitas Terbuka, 2011), cet kedua, 621.

Page 34: PENDIDIKAN DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Puji dan Syukur di persembahkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

26

Pendekatan sosiologis digunakan untuk menjelaskan fakta yang

sesungguhnya terjadi di lapangan mengenai pola interaksi antara kepala sekolah

dengan guru, interaksi antara guru dengan siswa, interaksi antar siswa dan interaksi

antara warga sekolah dengan masyarakat. Pendekatan ini juga untuk melihat

apakah pola interaksi tersebut sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan atau

sebaliknya. Sedangkan pendekatan filosofis akan digunakan untuk melihat

fenomena di balik objek yang diteliti.44

G. Sistematika Penulisan

Disertasi ini terdiri dari enam bab dan masing-masing bab memiliki sub

judul. Bab pertama memuat pendahuluan, latar belakang penelitian, identifikasi

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian terdahulu, metodologi

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tentang diskursus pendidikan multikultural, sejarah

multikulturalisme, multikulturalisme dalam pandangan Islam dan Kristen,

praktik multikulturalisme periode Islam klasik dan pendidikan multikultural

dalam sistem pendidikan nasional.

Bab ketiga membahas tentang sekolah berbasis agama, pengertian, kultur

pendidikan di Sumatera Utara dan dinamika pendidikan dalam perspektif

multikultural di sekolah berbasis agama.

Bab keempat membahas tentang internalisasi nilai-nilai multikultural

pada sekolah berbasis agama, kebijakan sekolah, pengembangan kurikulum dan

mata pelajaran, proses belajar mengajar serta interaksi sosial.

Bab kelima membahas tentang implementasi nilai-nilai multikultural d

sekolah berbasis agama, memperkuat human relation dalam lingkungan sekolah,

equity pedagogy pada intra dan ekstrakurikuler serta aktifitas sosial

kemasyarakatan: living together. Bab keenam merupakan bagian akhir dalam penelitian ini yang memuat

kesimpulan dan saran. Kesimpulan akan di deskripsikan berdasarkan hasil

temuan penelitian di lapangan dan saran dapat dijadikan rekomendasi agar dapat

ditindaklanjutin.

44

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014), 49.