pendidikan dalam pandangan masyarakat baduy...
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT BADUY
DALAM
(Studi Kasus Pada Masyarakat Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Banten)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Rudini Irawan
NIM. 1111018200036
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Rudini Irawan, NIM: (1111018200036), Pendidikan dalam Pandangan
Masyarakat Baduy Dalam (Studi Kasus pada Masyarakat Kampung Cibeo,
Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten), Skripsi
Program Strata Satu (S-1) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendidikan dalam pandangan
masyarakat Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dalam merupakan gambaran asli
kehidupan Suku Baduy masa lalu. Pada kehidupan masyarakat Baduy Dalam
terdapat rangkaian aturan yang mengikat yang dikenal dengan istilah Pikukuh
Karuhun, salah satu bidang yang diatur dalam Pikukuh Karuhun adalah
pendidikan dimana pada pelaksanaannya menggunakan model atau bentuk khusus
yang tentunya berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Hal ini merupakan
upaya mereka dalam mempertahankan amanat adat yang telah diwariskan secara
turun-temurun. Disisi lain menyebabkan masyarakat Baduy tertinggal secara
pendidikan akibat pelaksanaan aturan tersebut karena larangan mengikuti
pendidikan formal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan
dianalisa dengan pendekatan etnografi. Metode ini digunakan untuk dapat
mengindentifikasi kebudayaan masyarakat Baduy Dalam terkait dengan
pendidikan. Teknik pengumpulan datanya meliputi, observasi, wawancara dan
dokumentasi. Kemudian teknik analisis data penelitian dilakukan dengan cara
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini mengungkapkan beberapa hal penting: pertama, masyarakat
Baduy Dalam berpandangan bahwa pendidikan dasar mereka terbatas pada
pengetahuan adat yang meliputi materi pembelajaran bidang pertanian, nilai-nilai
kebudayaan, aturan tatanan hukum adat, dan keterampilan. Kedua, model atau
bentuk pendidikannya dilakukan dengan cara lisan dan praktik langsung, yang
diwariskan secara turun-temurun melalui keluarga, lembaga adat, maupun teman
sebaya. Ketiga, masyarakat Baduy Dalam sampai saat ini tetap menolak segala
macam bentuk pendidikan yang tidak sesuai dengan tataran hukum adat. Keempat,
terdapat perubahan kehidupan sosial masyarakat Baduy Dalam yang disebabkan
semakin banyaknya kontak langsung dengan pengunjung meskipun tidak bersifat
masif.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terutama bagi praktisi
pendidikan sehingga suatu saat dapat dicarikan konsep/metode pendidikan yang
tepat untuk masyarakat Baduy sehingga dapat menjaga keberlangsungan
kehidupan mereka dari tantangan zaman yang semakin berat.
Kata kunci: Baduy Dalam, Adat, Model Pendidikan
ii
ABSTRACT
Rudini Irawan, NIM: (1111018200036), Education in the View of Baduy
Society (Case Study on Cibeo Village Community, Kanekes Village,
Leuwidamar District, Lebak Regency, Banten), Thesis Program Strata One
(S-1) Faculty of Tarbiyah and University Teacher Training Islamic State
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
This study aims to describe education in view of Baduy Dalam society. Baduy
Dalam is the original view of the life of the Baduy Tribe in the past. On Baduy
Dalam society there is a series of rules that bind with the term Pikukuh Karuhun.
One of the things that Pikukuh Karuhun regulated is education which running by
model or a special from that is different from the education in general as a from.
This is an efforts to maintaining the customary mandate Which has been passed
down from generation to generation. On the other hand couses the Baduy
community left behind by education due to the rule because of the ban on formal
education.
The method used in this research is qualitative research, and analyzed with
ethnography approach. Method of qualitative approach used for identify the
cultural aspect of education. Data collection techniques include, observation,
interviews and documentation. The technique of data analysis research by doing
data reduction, data presentation, and drawing conclusions
The results of this study reveal several important points: first, the Baduy Dalam
community holds that their basic education that limited to indigenous knowledge,
learning materials implementation of education that of agriculture, cultural values,
rules of customary law, and skills. Second, the model or form education by way
of verbal communication and direct practice, who passed down through
generations through family, traditional institutions, and peers. Third, the Baduy
Dalam community still rejects all forms of education that are not in accordance
with the level of customary law. Fourth, the change of sosial life society Baduy
Dalam caused by many direct contact with visitors despite not massive at all.
This research is expected to provide knowledge especially for educational
practitioners so that one day can be found the right concepts / methods of
education for Baduy community so as to maintain their survival from the
challenges of the growing age.
Keywords: Baduy Dalam, Custom, Educational Model
iii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Indonesia adalah negara yang kaya atas suku bangsa dimana terdapat
kurang lebih 1340 suku bangsa yang tersebar ke seluruh wilayah negeri tercita ini.
Akan tetapi, saat ini banyak diantara kita mulai lupa atas identitas kebudayaan
yang telah diamanatkan oleh generasi terdahulu. Adapun cara hidup generasi saat
ini lebih mengarah pada pola gaya hidup modern yang dipengaruhi oleh arus
globalisasi dan perkembangan teknologi yang semakin hari terus berkembang
tanpa bisa terbendung sehingga menimbulkan krisis identitas. Kemudian yang
lebih memprihatinkan adalah masyarakat adat/tradisional yang sudah mulai
meninggalkan nilai dan norma kebudayaannya sehingga kebudayaan tersebut
tidak terwarisi ke generasi selanjutnya dan terancam punah. Sudah semestinya
khususnya pemerintah dan masyarakat Indonesia pada umum harus mulai
membangkitkan kembali nilai-nilai tradisional sebagai sebuah cara hidup sehingga
bangsa ini tidak kehilangan identitasnya.
Salah satu suku bangsa yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi
sebagai pedoman hidup masyarakatnya adalah Suku Baduy. Dimana dalam
kehidupan masyarakat Suku Baduy masih sangat kental akan tradisi yang kita
dapat saksikan saat kita berkunjung dalam wilayah mereka. Salah satu bentuk
tradisi yang tetap mereka pertahankan adalah sistem pengetahuan tradisional,
dimana pandangan mereka dalam pendidikan baik secara model atau bentuk
masih tetap terjaga khususnya untuk masyarakat Baduy Dalam yang sampai saat
ini masih menerapkan tata cara adat dalam menjalankan pendidikan. Meski
banyak masyarakat di luar sana berpandangan rendah terhadap kesukuan mereka,
yang disebabkan oleh adanya aturan adat Suku Baduy yang melarang berdirinya
lembaga pendidikan formal dan mengikuti pendidikan secara formal (sekolah).
Akan tetapi jika kita pahami pasti ada alasan tertentu sehingga sampai saat ini
kesukuan mereka tetap mempertahankan aturan tersebut dan kita masyarakat di
luar Baduy harus menghormati hal tersebut.
iv
Kemudian, penyelesaian skripsi ini tidak akan pernah tercapai tanpa
adanya dukungan, bimbingan, dan do’a kepada berbagai pihak yang dengan
senang hati membantu penulis, tidak ada kata yang dapat menggambarkan
perasaan penulis selain ucapan terima kasih, semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan kalian semua. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Hasyim Asy`ari, M.Pd. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I dan
selaku Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Syaripulloh, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II, yang selalu
memberikan bimbingan selama penulis mengerjakan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Jurusan Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada
penulis selama mengikuti perkuliahan.
6. Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija yang telah memberikan izin kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Jaro Sami dan Ayah Mursid sebagai Tokoh Adat Baduy Dalam khususnya
Kampung Cibeo yang bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini.
8. Keluarga Kang Eman, Ayah Aldi, Pulung, Sangsang dan Jamah yang
bersedia meluangkan waktunya untuk membantu proses penelitian skripsi
ini.
9. Ibunda tercinta yang senatiasa menemani dan memberikan do’a, motivasi,
semangat yang luar biasa kepada penulis selama ini.
10. Kakak-kakakku; (Bang Ojat, Mbak Wiwik, Bang Jiay, Ka Yuli, Bang Jay,
Ka Octy, Ka Mul, Bang Agus, Bang Jali, Ka Ayu, Ka Emy, Ka Alga) dan
keponakan-keponakanku tercinta (Tia, Faiz, Cha-cha, Daffa, Faqih, Ilham,
Jihan, Syarah, Ilyas, Zalika, Aisyah) yang selalu memberikan keceriaan
dalam senyum dan canda tawanya.
v
11. Sahabat-sahabatku masa SMA (Baldy, Cendi, Deni, Deani, Rivai)
memberikan dorongan motivasi agar dapat menyelesaikan penulisan ini.
12. Sahabat-sahabatku (Yusuf, Bahrul, Gilang, Ucup, Affan, Agus, Rahmat,
Fikri) dan seluruh teman-teman Manajemen Pendidikan 2011 atas
dukungan dan kerjasama selama ini.
13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam masa penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun sebagau proses penyempurnaan skripsi ini agar dapat memberi
manfaat khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Jakarta, 20 Mei 2017
Penulis
Rudini Irawan
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 6
D. Perumusan Masalah ....................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
F. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Pendidikan ........................................................................ 8
1. Pengertian Pendidikan .............................................................. 8
2. Unsur-Unsur dan Sistem Pendidikan ........................................ 11
3. Lingkungan Pendidikan ............................................................ 14
4. Landasan Sosiologi dan Kebudayaan ....................................... 20
B. Masyarakat Adat, Pengetahuan Tradisional, dan Kearifan Lokal .. 27
1. Masyarakat Adat ....................................................................... 27
2. Pengetahuan Tradisional ........................................................... 28
3. Kearifan Lokal ......................................................................... 29
C. Hasil Penelitian yang Relevan ........................................................ 31
D. Kerangka Berpikir ........................................................................... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 36
B. Metode Penelitian ........................................................................... 37
vii
C. Subjek dan Objek Penelitian .......................................................... 38
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 38
E. Instrumen Penelitian........................................................................ 41
F. Teknik Pengelolaan dan Analisa Data ............................................ 44
G. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsaan Data ............................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Tempat Penelitian .......................................................... 47
1. Asal Usul Suku Baduy ............................................................. 47
2. Letak Geogafis dan Demografis Suku Baduy .......................... 50
a. Letak Geografis .................................................................. 50
b. Demografi Suku Baduy ...................................................... 51
3. Baduy Dalam dan Baduy Luar .................................................. 52
4. Sistem Pemerintahan ................................................................. 57
B. Pendidikan dalam Masyarakat Baduy Dalam ................................ 60
1. Pandangan Masyarakat Baduy Dalam terhadap Pendidikan .... 60
2. Model dan Bentuk Pendidikan Masyarakat Baduy Dalam ....... 65
a. Lingkungan Keluarga .......................................................... 66
b. Lingkungan Adat (Tokoh Adat) .......................................... 70
c. Teman Sebaya ..................................................................... 73
3. Peran Pemerintah/Swasta terhadap Pendidikan Masyarakat
Baduy Dalam ............................................................................. 76
4. Dampak Kemajuan Zaman terhadap Kehidupan
Masyarakat Baduy Dalam ......................................................... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 83
B. Saran ............................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Kerangka Berpikir Penelitian 35
Tabel 3.1 Pelaksanaan Waktu Penelitian 36
Tabel 3.2 Kisi-kisi Pedoman Wawancara 41
Tabel 3.3
Kisi-kisi Pedoman Observasi 42
Tabel 4.1
Perbandingan Suku Baduy Dalam dengan Suku Baduy
Luar
53
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Sistem Pendidikan 12
Gambar 2.2 Proses Belajar Mengajar Sebagai Sebuah Sistem 13
Gambar 2.3 Hubungan antara Masyarakat dan Pendidikan 22
Gambar 4.1 Struktur Lembaga Adat Baduy 59
Gambar 4.2 Ayah Aldi Beserta Anaknya 68
Gambar 4.4 Ayah Mursid Tokoh Adat Baduy Dalam 72
Gambar 4.5 Masyarakat Baduy Dalam Berkunjung ke Jakarta 74
Gambar 4.6 Sistem Proses Belajar Mengajar Masyarakat Baduy 75
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi
Lampiran 2 Pedomanan Observasi Lapangan
Lampiran 3 Hasil Observasi Lapangan
Lampiran 4 Pedoman Wawancara
Lampiran 5 Hasil Wawancara
Lampiran 6 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara dengan jumlah suku bangsa terbesar di dunia.
Pada tahun 2010 dari hasil sensus yang dilaksanakan oleh BPS (Badan Pusat
Statistik) tercatat bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 300 etnik/suku bangsa
atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Kemudian tiap-tiap suku/etnik didalamnya
memiliki kebudayaan masing-masing sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma yang terdapat pada masyarakat adat tersebut.
Masyarakat adat atau sering disebut juga dengan masyarakat tradisional
adalah suatu komunitas masyarakat yang bersifat homogen dan secara
berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis
dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang
oleh pihak luar sebagai satu nenek moyang yang sama dan mempunyai
identitas dan budaya khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk
kurun waktu sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan
dalam struktur dan sistem politik yang ada.1 Secara sederhana bahwa
masyarakat adat merupakan masyarakat asli yang hidup pada wilayah tertentu
dengan hukum, nilai, pranata sosial dan kebudayaan yang dijunjung tinggi
sebagai suatu amanat leluhur yang terus mereka wariskan kepada generasi
berikutnya.
Kemudian hak-hak masyarakat adat diatur secara eksplisit dan implisit
dalam pasal 18B ayat 2 yang berhubungan tentang pemerintah daerah dan
pasal 28I ayat 3 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 18B ayat 2 berbunyi
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
1 Saafroedin Bahar, Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, 2006), h. 1.
2
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”.2 Selanjutnya isi pasal 28I ayat 3
menegaskan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.3 Kemudian diperkuat
kembali pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa Pasal 1 ayat
12 mengakui secara terbatas hak atas pengunaan dan pengelolaan sumber daya
alam serta penentuan nasib sendiri. “Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem
pemerintahan dan berada di daerah kabupaten”.4 Dari beberapa butir peraturan
yang tertera di atas dapat ditarik sebuah kesepahaman bahwa masyarakat adat
merupakan sesuatu yang diakui eksistensinya dan dilindungi secara hukum
yang berlaku di Indonesia.
Desa Kanekes adalah salah satu dari sekian banyak desa di Indonesia yang
memiliki khasnya sendiri. Sebuah desa yang terletak di sekitar wilayah
pergunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi
Banten. Merupakan desa yang dihuni oleh salah satu masyarakat adat yang
bernama Suku Baduy. Suku Baduy menjadi salah satu etnis yang sangat
populer di Indonesia karena ketaatan mereka dalam menjaga amanat
leluhurnya. Kesederhanaan dalam menjalankan kehidupan merupakan daya
tarik tersendiri dimana Suku Baduy merupakan etnis yang secara sengaja
mengasingkan diri mereka terhadap pengaruh luar (modernisasi) dengan
memilih hidup dengan melaksanakan amanat leluhurnya yang dapat kita
saksikan sendiri ketika kita berkunjung ke perkampungan mereka. Akan
2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tentang Pemerintah
Daerah, Pasal 18B ayat 2.
3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 28I ayat 3.
4 Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintah
Daerah, Pasal 1 Ayat 12.
3
tetapi, seberapa lama Suku Baduy tetap dapat mempertahankan amanat leluhur
tersebut ditengah-tengah derasnya kebutuhan, perubahan dan perkembangan
zaman yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat Baduy. Ayah Mursid
sebagai Wakil Jaro Tangtu Cibeo didalam sebuah buku yang berjudul Saatnya
Baduy Bicara menuturkan tentang terjadinya perubahan sikap dan mental
masyarakat Baduy ke arah modern sebagai berikut:
“Sejak awal kami sudah waspada dan menyadari bahwa zaman pasti
berubah, tantangan buat masyarakat adat semakin hari semakin berat, dari
berbagai perkampungan perbatasan sudah tidak terbendung lagi oleh
kemajuan pola dan gaya hidup, tetapi kami (warga Baduy) tetap teguh
patuh untuk melaksanakan amanat wiwitan (asli,asal,pokok) dan kami
tetap menyakini bahwa Baduy aman tenteram, yang penting jangan
menggangu atau diganggu dan jangan merugikan apalagi dirugikan. Kami
(Baduy) siap bekerja sama dengan siapa pun, tetapi yang ada manfaat
demi keselamatan hidup semua manusia, kami tetap akan patuh mengikuti
hukum dan kehendak alam yang sudah diciptakan oleh Yang Maha
Kuasa.”5
Dapat dijelaskan menurut Ayah Mursid bahwa di masa depan
keberlangsungan Suku Baduy menghadapi tantangan besar. Selama
masyarakat Baduy tetap tunduk patuh terhadap amanat leluhur maka akan
tetap terjaga dan Suku Baduy terbuka terhadap dunia luar jika tidak
bertentangan pada tataran hukum adat yang berlaku. Oleh sebab itu, maka
sudah semestinya bantuan-bantuan yang akan diberikan kepada masyarakat
Baduy harus disesuaikan dengan tataran hukum adat yang berlaku, tanpa
memaksa program-program yang nantinya justru akan menghancurkan
lingkungan hidup sosial masyarakat Suku Baduy.
Salah satu topik yang menarik adalah perbedaan pandangan masyarakat
Baduy terhadap pendidikan. Padangan tokoh adat dan kokolotan masyarakat
Baduy tentang pendidikan sangat beragam dan belum mengarah pada satu titik
kesepahaman apakah pendidikan formal (bersekolah) bagi warga Baduy
adalah hal yang sangat ditabukan? Apakah dengan adanya pendidikan formal
5 Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta: Bumi Aksara,
2010), h. 12.
4
(sekolah) di Baduy akan sangat merugikan dan merusak masa depan warga
Baduy? Jika bersekolah itu ditabukan, mengapa di antara warga mereka
banyak yang terampil membaca, menulis, dan menghitung sehingga memiliki
kemampuan berkomunikasi, berinteraksi, bahkan memiliki jaringan usaha
yang luas? Jika bersekolah memang dilarang, mengapa di antara warga
mereka yang aktif dan kreatif belajar membaca, menulis dan menghitung
secara perorangan tidak diberikan sanksi?6 Hal ini semakin menjelaskan
bahwa pergeseran perubahan pola pikir tiap generasi dalam masyarakat Baduy
sendiri terus berkembang karena dibarengi dengan semakin besarnya
kesadaran dalam memenuhi kebutuhan dan kemajuan zaman. Selain itu,
dengan adanya persaingan yang semakin besar maka generasi muda Baduy
membutuhkan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan (life skill) agar
mampu bersaing dalam mempertahankan kehidupannya.
Banyak upaya yang sudah pemerintah lakukan dalam upaya memajukan
pendidikan untuk masyarakat Baduy diantaranya mendirikan sekolah di
perbatasan, mendirikan perpustakaan, sekolah kejar paket A/B/C, dll. Akan
tetapi, itu semua bertentangan dengan aturan hukum adat yang berlaku.
Menurut Ayah Mursid, beliau menjelaskan bahwa:
“Kalimat adat melarang warganya mengikuti sekolah secara formal atau
melarang pendidikan formal di tanah Ulayat mereka”, sebenarnya didasari
oleh berbagai pemikiran dan tujuan para leluhur mereka yang
berpandangan jauh ke masa depan demi keselamatan dan eksistensi
kesukuan mereka. Tujuan yang paling utama adalah menahan terlalu
bebasnya masyarakat adat mengadopsi gaya kehidupan modern karena
komunitas mereka memiliki tugas hidup yang spesifik, kenyakinan yang
kuat dan hukum adat berbeda. Kalau terlalu bebas nanti akan berbondong-
bondong untuk mengejar dan memenuhi kepuasan materi dan kemajuan
hidup yang tidak ada batasnya. Masyarakat Baduy mempunyai tugas
memelihara keseimbangan alam dengan motto hidup: “Kacai jadi saleuwi,
kadarat jadi salogak.” Kekhawatiran pola hidupnya akan menjadi lebih
dikomando oleh pemenuhan kepuasan materi dan kemajuan, maka
dipastikan akan terjadi berbagai ketimpangan yang akhirnya dapat
6 Ibid., h. 246
5
merusak keharmonisan, persatuan dan kesatuan serta merusak tatanan
hukum adat mereka.7
Dengan mengingat kembali bahwa sesungguhnya masyarakat adat
memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri yang disesuaikan dengan asal-
usul dan identitas mereka. Oleh karena itu, masyarakat Baduy berhak
menjalankan pendidikan yang disesuaikan dengan amanat leluhurnya, yaitu
dengan menjalankan sebuah proses pendidikan dengan model atau bentuk
khusus yang pastinya berbeda dengan pendidikan masyarakat pada umumnya.
Akan tetapi, jika dibiarkan tanpa diberikan perhatian khusus dikuatirkan akan
menimbulkan masalah besar yang justru akan mengancam tatanan kehidupan
sosial di dalam masyarakat Baduy karena zaman semakin berkembang,
pemenuhan kebutuhan semakin tinggi dan semestinya kita masyarakat di luar
Baduy ikut memikirkan konsep/metode pendidikan yang disesuaikan dengan
aturan adat mereka sehingga eksistensi kesukuan mereka dapat terjaga.
Melihat permasalahan yang dijelaskan di atas, yang dimulai dengan hak
masyarakat adat dalam menentukan keberlangsungan kehidupannya ditambah
dengan gempuran perubahan zaman dan adanya sebuah proses pendidikan
yang sedang berjalan di tengah-tengah masyarakat Baduy yang tentunya
berbeda pada model/bentuk pendidikan pada umumnya, maka peneliti merasa
tertantang untuk mengadakan sebuah penelitian yang berjudul “Pendidikan
dalam Pandangan Masyarakat Baduy Dalam.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diindentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Desa Kanekes merupakan bagian dari masyarakat adat yang memiliki hak
menentukan nasibnya sendiri, termasuk menentukan pandangan mereka
terhadap pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional.
7 Ibid., h. 249-250.
6
2. Terdapat perbedaan pandangan di dalam masyarakat Baduy mengenai
pendidikan bahwa pendidikan formal (sekolah) pada masyarakat Baduy
merupakan hal yang sangat ditabukan.
3. Masyarakat Baduy membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan
aturan tataran adat yang berlaku untuk tetap menjaga keberlangsungan
kehidupan mereka.
4. Pendidikan pokok masyarakat Baduy terbatas pada pemahaman dasar-
dasar hukum adat.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka
penelitian ini dibatasi pada:
1. Pelaksanaan penelitian mengenai pendidikan dalam pandangan masyarakat
Baduy difokuskan pada masyarakat kampung Cibeo yang merupakan satu
dari tiga kampung yang berada di wilayah Baduy Dalam.
2. Pandangan tokoh adat Baduy Dalam dan masyarakatnya terhadap
pendidikan.
D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan, maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana masyarakat Baduy Dalam memandang pendidikan?
2. Bagaimana model atau bentuk pendidikan yang berlangsung di dalam
masyarakat Baduy Dalam?
7
E. Tujuan Penelitian
Penelitian “Pendidikan dalam Pandangan Masyarakat Baduy”. Penulis
tertarik melakukan penelitian tersebut untuk mengetahui makna pendidikan
dari pandangan masyarakat Baduy yang dikenal patuh dan taat dalam
menjalankan amanat leluhur. Selain itu, untuk mengetahui model atau bentuk
pendidikan yang berlangsung di dalam masyarakat Baduy yang melarang
warganya untuk mengikuti pendidikan formal (sekolah) dalam upaya
mempertahankan amanat leluhur. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pandangan tokoh adat Baduy Dalam dan masyarakatnya
terhadap pendidikan.
2. Menjelaskan model atau bentuk pendidikan yang berlangsung di dalam
masyarakat Baduy Dalam.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi praktisi pendidikan
baik secara teoritis dan praktis:
1. Teoritis, diharapkan dapat digunakan untuk mengenalkan masyarakat adat
khususnya Suku Baduy dari sisi pendidikan sehingga tidak ada lagi
pandangan yang merendahkan mengenai kesukuan mereka karena alasan
larangan mengikuti pendidikan secara formal.
2. Praktis, penulis berharap nantinya akan ada temuan-temuan baru akan
pandangan masyarakat Baduy terhadap pendidikan sehingga semakin
menyempurnakan penelitian ini.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. HAKIKAT PENDIDIKAN
Pada hakikatnya manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk dapat
mempertahankan kehidupannya. Upaya manusia dalam mempertahankan
kehidupan tersebut melalui suatu proses panjang dan berlangsung secara
berkesinambungan. Oleh sebab itu, pendidikan sudah ada sejak pertama kali
peradaban manusia ada di muka bumi ini. Karena secara sederhana hakikat
pendidikan adalah segala upaya manusia untuk mempertahankan,
mengembangkan, dan mewariskan nilai-nilai, norma, dan kebudayaannya
kepada generasi selanjutnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa pendidikan sudah
ada sejalan dengan peradaban manusia.
1. Pengertian Pendidikan
Kita pahami bersama bahwa pendidikan sudah ada sejalan dengan
peradaban manusia, karena pendidikan dapat dimaknai sebagai upaya yang
dilakukan seseorang dalam mempelajari suatu nilai, norma, dan
kebudayaan yang berlaku didalam masyarakat. Sehingga seseorang tersebut
memiliki kemampuan untuk mempertahankan keberlangsungan
kehidupannya karena tujuan utama pendidikan adalah untuk
mempertahankan kehidupan.
Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy,
yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah
diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput
dinamakan Paedagoogos. Dalam bahasa Romawi pendidikan diistilahkan
sebagai educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam
9
Dalam bahasa Inggris pendidikan diistilahkan to educate yang berarti
memperbaiki moral dan melatih intelektual.1Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.2
Dengan demikian, pendidikan lebih tepat dimaknai sebagai sebuah proses
kegiatan membimbing dan pembinaan yang dilaksanakan secara
berkesinambungan agar tercapai sebuah tujuan pendidikan.
Menurut Azyumardi Azra dalam Hasan Basri, kata pendidikan
didefinisikan “secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan yang banyak
dipengaruhi oleh pandangan dunia masing-masing. Sekalipun demikian,
pada dasarnya semua pandangan berbeda itu bertemu dalam satu
kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan proses penyiapan generasi
muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara
lebih efektif dan efesien”.3
Definisi pendidikan yang dikemukakan oleh parah ahli adalah sebagai
berikut:
a. Langeveld dalam Hasbullah menjelaskan pendidikan ialah setiap
usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada
anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu
anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
Pengaruh itu datang dari orang dewasa (atau yang menciptakan oleh
orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan
sebagainya) dan ditunjukan kepada orang yang belum dewasa.4
b. John Dewey dalam Hasbullah, pendidikan adalah proses pembentukan
kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke
arah alam dan sesama manusia.5
1 Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2012), h. 59. 2 Departemen Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pusta, 2011),Edisi 3 h. 263. 3 Hasan Basri, Landasan Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 14.
4 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2009), Edisi
Revisi, h. 2. 5 Ibid.,
10
c. Hasan Basri menjelaskan pendidikan adalah usaha yang dilakukan
dengan sengaja dan sistematis untuk memotivasi, membina,
membantu, dan membimbing seseorang untuk mengembangkan segala
potensinya sehingga ia mencapai kualitas diri yang lebih baik. Inti dari
pendidikan adalah usaha pendewasaan manusia seutuhnya (lahir dan
batin), baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, dalam arti
tuntutan agar anak didik memiliki kemerdekaan berpikir, merasa,
berbicara, dan bertindak serta percaya diri dengan penuh rasa tanggung
jawab dalam setiap tindakan dan perilaku sehari-hari.6
d. Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada
Tahun 1930 menyebutkan : Pendidikan umumnya berarti daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak
boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita
didik selaras dengan dunianya.7
e. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 1 ayat 1, mendefinisikan pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mengwujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuaan spiritual, keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.8
Setelah memahami pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan
bahwa pendidikan adalah segala usaha manusia untuk menanamkan nilai-
nilai dan norma-norma yang terkandung dalam masyarakat yang diwariskan
kepada generasi selanjutnya kemudian pendidikan tersebut berkembang
selama proses pendidikan yang terus berjalan dalam upayanya menjawab
perubahan sosial. Dengan kata lain semakin baik kualitas suatu peradaban
maka akan berjalan lurus dengan peningkatan kualitas proses pendidikan
yang dikembangkan oleh masyarakat tersebut. Dapat disimpulkan bahwa
hakikat pendidikan pada dasarnya adalah upaya manusia dalam
mempertahankan keberlangsungan kehidupannya yang terus berkelanjutan
dalam upaya meningkatkan kualitas jiwa dan peradabannya, baik melalui
6 Hasan Basri, op. cit., h.15.
7 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Pustaka, 2013), cet. 8, h. 5.
8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Jakarta: CV Mitra Karya), h. 5.
11
pendidikan yang dilaksanakan secara alami oleh orang tua kepada anak atau
masyarakat kepada generasinya penerusnya sampai pada pendidikan yang
diselenggarakan oleh organisasi-organisasi pendidikan yang lebih mudah
dikenal dengan istilah sekolah, baik formal maupun non formal.
2. Unsur-Unsur dan Sistem Pendidikan
Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu:
a. Subjek yang dibimbing (peserta didik)
Peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui
keberadaannya.
b. Orang yang membimbing (pendidik)
Yang dimaksud dengan pendidik ialah orang yang bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta
didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
c. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik
antarpeserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan
pendidikan.
d. Ke arah mana bimbingan ditunjukan (tujuan pendidikan)
e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam
kurikulum yang akan diajikan sebagai sarana pencapaian tujuan.
f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)
Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan
ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.
g. Tempat dimana peristiwa tersebut berlangsung (lingkungan
pendidikan)9
9 Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta : PT Rineka
Cipta, 2008), cet. 2, h. 51
12
13
14
3. Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri
anak. Lingkungan pendidikan merupakan tempat manusia berinteraksi
timbal balik sehingga kemampuannya dapat berkembang terus kearah yang
lebih baik. Terdapat tiga jenis lingkungan yang memiliki pengaruh terhadap
kemampuan dan perkembangan kemampuan anak, yaitu keluarga, sekolah,
dan masyarakat biasa juga disebuat sebagai tri pusat pendidikan.
a. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan yang paling utama
dimana tempat pertama kali anak memperoleh pendidikan. Teguh
Triwiyanto, mendefinisikan keluarga merupakan kelompok sosial kecil
yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hubungan yang terjadi
dalam keluarga didasari atas dasar ikan darah, perkawinan atau adopsi.
Hubungan dalam keluarga juga didominasi oleh suasana afeksi dan
rasa tanggung jawab. Sementara fungsi keluarga adalah memelihara,
merawat, dan saling melindungi.13
Jadi menurut definisi diatas bahwa
keluarga merupakan tempat lahirnya anak, terjadinya sebuah hubungan
afeksi, dan tempat pembentukan kepribadian anak.
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Wayan Ardhana yang dikutip
kembali oleh Umar Tirtarahardja, dituliskan bahwa:
“suasana kehidupan keluarga merupakan tempat yang sebaik-
baiknya untuk melakukan pendidikan orang-seorang (pendidikan
individual) maupun pendidikan sosial. Keluarga itu tempat
pendidikan sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkan
pendidikan kearah pembentukan pribadi yang utuh, tidak saja bagi
kanak-kanak tapi bagi para remaja. Peran orang tua dalam keluarga
sebagai penuntun, sebagai pengajar, dan sebagai pemberi contoh.
Pada umumnya kewajiban ibu bapak itu berjalan dengan sendirinya
sebagai suatu tradisi. Bukan hanya ibu bapak yang berada dan
berpengetahuan saja yang dapat melakukan kewajiban mendidik
yang beradab, akan tetapi rakyat desa pun melakukan hal ini.
13
Teguh Triwiyanto, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), h. 71.
15
Mereka senatiasa melakukan usaha yang sebaik-baiknya untuk
kemajuan anak-anaknya. Memang manusia mempunyai naluri
pendagogis, yang berarti bahwa buat ibu bapak perilaku pendidikan
itu merupakan akibat “naluri” untuk melanjutkan keturunan.14
Jadi dapat diarik sebuah kesimpulan bahwa keluarga merupakan
tempat pertama dan paling utama manusia memperoleh pendidikan,
dijelaskan bahwa peran utama dari orang tua adalah sebagai penuntun,
pengajar, dan pemberi contoh untuk anak-anaknya. Hal tersebut
dilakukan secara alamiah dengan harapan untuk dapat melanjutkan
keturunannya.
Adapun fungsi lembaga pendidikan keluarga, yaitu ;
1) Merupakan pengalaman pertama bagi masa kanak-kanak,
pengalaman ini merupakan faktor yang sangat penting bagi
perkembangan berikutnya, khususnya dalam perembangan
pribadinya.
2) Pendidikan di keluarga dapat menjamin kehidupan emosional
anak untuk tumbuh dan berkembang.
3) Di dalam keluarga akan terbentuk pendidikan moral.
4) Di dalam keluarga akan tumbuh sikap tolong-menolong,
tenggang rasa, sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang
damai dan sejahtera.
5) Keluarga merupakan lembaga yang memang berpearan dalam
meletakan dasar-dasar pendidikan agama.
6) Di dalam konteks membangun anak sebagai makhluk induvidu
diarahkan agar anak dapat mengembangkan dan menolong
dirinya sendiri.15
Jika dilihat dari peran dan fungsinya, dapat diketahui bahwa
keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang sangat berperan
dalam menciptakan dan mempersiapakan anak didik. Keluarga yang
harmonis dapat menciptakan keteladanan untuk anak-anaknya
sehingga anak tersebut dapat memiliki kepribadian yang baik
14
Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, op. cit.., h. 169-170. 15
Fuad Ihsan, op.cit., h. 18.
16
b. Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang sengaja dibentuk
untuk menutupi pendidikan yang didapatkan anak di keluarga, karena
dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
sekolah adalah sebagai salah satu pilar yang dibutuhkan anak untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih luas lagi yang tidak memungkin
didapatkan di lingkungan keluarga.
Menurut Sukun Pribadi dalam Fuad Hasan menjelaskan “Karena
orang tua tidak mampu memberikan pendidikan selanjutnya dalam
bentuk berbagai kecakapan dan ilmu. Kita tidak dapat menggambarkan
masyarakat tanpa sekolah. Di dalam sekolah bekerja orang-orang yang
khusus dididik untuk keperluan mengajar.”16
Sedangkan Vembriarto
dalam Teguh Triwiyanto mengatakan bahwa “Keberadaan sekolah
mempunyai dua aspek penting, yaitu aspek individual dan sosial. Di
satu pihak, keberadaan sekolah bertugas mempengaruhi dan
menciptakan kondisi yang memungkinkan perkembangan pribadi anak
secara optimal. Di lain pihak, sekolah bertugas mendidik agar anak
mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Pilihan dan perimbangan
yang tepat antara kedua macam tugas tersebut merupakan sumber
pertentangan pendapat dari waktu ke waktu.”17
Dapat ditarik
kesimpulan bahwa sekolah merupakan tempat dimana anak didik
ditempa untuk memperoleh pengetahuan yang tidak didapatkan pada
pendidikan keluarga yang disesuaikan pada aspek perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang tidak memungkinkan didapatkan
anak di dalam lingkungan keluarga, dikarenakan adanya keterbatasan
orang tua dalam memberikan ilmu pengetahuan pada anak-anaknya.
Tugas sekolah sangat penting dalam menyiapkan anak-anak untuk
kehidupan masyarakat. Sekolah bukan semata-mata sebagai konsumen,
16
Ibid., h. 20. 17
Teguh Triwiyanto, op. cit., h. 75.
17
tetapi juga ia sebagai produsen dan pemberi jasa yang sangat erat
hubungannya pembangunan. Pembangunan tidak mungkin berhasil
dengan baik tanpa didukung oleh ketersediaan tenaga kerja yang
memadai sebagai produk pendidikan. Dalam hal ini Mendikbud
menetapkan masalah-masalah pendidikan sebagai berikut:18
1) Satuan
Satuan pendidikan adalah satuan dalam sistem pendidikan nasional
yang merupakan wahana belajar baik di sekolah-sekolah maupun
di luar sekolah. Dalam kaitan ini, keluarga merupakan lingkungan
yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan.
2) Jenis
Jenis pendidikan adalah satuan pendidikan yang dikelompokan
sesuai dengan sifat dan tujuannya. Jenis pendidikan dalam sistem
pendidikan nasional terdiri dari pendidikan sekolah maupun luar
sekolah.
a) Pendidikan Sekolah
Jenis pendidikan sekolah adalah jenis pendidikan yang
berjenjang, berstuktur, dan berkesinambungan, sampai dengan
pendidikan tinggi. Jenis pendidikan sekolah mencakup
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan kedinasan,
pendidikan keagamaan, dan pendidikan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.
b) Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah jenis pendidikan yang tidak
selalu terikat oleh jenjang dan struktur persekolahaan, tetapi
tidak berkesinabungan. Pendidikn luar sekolah menyediakan
program pendidikan yang memungkinkan terjadinya
perkembangan peserta didik dalam bidang sosial, kebudayaan,
keterampilan, dan keahlian.
3) Jenjang
Jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan,
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tingkat kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan
pengajaran.
18
Fuad Ihsan, op. cit., h. 20-23.
18
a) Pendidikan Dasar
Pendidikan Dasar adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang
diperlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan peserta
didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
b) Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah adalah pendidikan yag mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan mengadakan hubungan timbale-balik dengan
lingkungan sosial budaya, dan alam sekitar, serta dapat
mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja
atau pendidikan tinggi.
c) Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki
tingkat kemampuan tinggi yang bersifat akademil dan atau
profesional sehingga dapat menerapkan, mengembangkan
dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
dalam rangka pembangunan nasional dan meningkatkan
kesejahteraan manusia. (Kepmendikbud No. 0186/P/1984)
c. Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu manusia memerlukan
manusia lain untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Oleh sebab
itu, pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat.
Pengembangan pribadi manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat yang dialaminya.
Dalam sistem pendidikan nasional masyarakat ini disebut
“Pendidikan kemasyarakatan”. Pendidikan kemasyarakatan adalah
usaha sadar yang juga memberikan kemungkinan perkembangan
sosial, kultural keagamaan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, keterampilan, keahlian (profesi), yang dapat dimanfaatkan oleh
19
rakyat Indonesia untuk mengembangkan dirinya dan membangun
masyarakat.19
Sedangkan kaitannya masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau
dari tiga segi, yakni:
1) Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, baik yang
dilembagakan (jalur sekolah dan jalur luar sekolah) maupun
yang tidak di lembagakan (jalur luar sekolah).
2) Lembaga-lembaga kemasyarakatan dan/atau kelompok sosial di
masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, ikut
mempunyai peran dan fungsi edukatif.
3) Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang
dirancang (by design) maupun yang dimanfaatkan (utility).
Perlu pula diingat bahwa manusia dalam bekerja dan hidup
sehari-hari akan selalu berupaya memperoleh manfaat dari
pengalaman hidupnya itu untuk meningkatkan dirinya. Dengan
kata lain, manusia berusaha mendidik dirinya sendiri dengan
memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di
masyarakatnya dalam bekerja, bergaul, dan sebagainya.20
Dapat kita pahami bahwa keterkaitan masyarakat dan pendidikan
adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat diperlukan
dalam penyelenggara pendidikan dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan mempunyai peran dan fungsi edukatif. Selain itu,
masyarakat juga bisa dijadikan sebagai sumber belajar anak dalam
mengembangkan kemampuan dirinya.
Terdapat sejumlah lembaga kemasyarakatan dan/atau kelompok
sosial yang mempunyai peran dan fungsi edukatif yang besar, antara
lain: kelompok sebaya, organisasi kepemudaan (pramuka, karang
taruna, remaja masjid, dan sebagainya), organisasi keagamaan,
organisasi ekonomi, organisasi politik, organisasi kebudayaan, media
massa, dan sebagainya. Lembaga/kelompok sosial tersebut pada
umumnya memberikan kontribusi bukan hanya dalam proses
19
Ibid., h. 33. 20
Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo, op. cit., h. 179.
20
sosialisasi, tetapi juga dalam peningkatan pengetahuan dan
keterampilan anggotanya.21
Setelah keluarga, kelompok sebaya mungkin paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian, terutama pada saat
anak berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan orang tua.
Menurut Wayan Ardhana dalam Umar Tirtarahardja dan S. L. La Sulo,
terdapat beberapa fungsi kelompok sebaya terhadap anggotanya, antara
lain:
1) Mengajar berhubungan dan menyesuaikan diri dengan orang
lain.
2) Memperkenalkan kehidupan masyarakat yang lebih luas.
3) Menguatkan sebagaian dari nilai-nilai yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat orang dewasa.
4) Memberikan kepada anggota-anggotanya cara-cara untuk
membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan otoritas.
5) Memberikan pengalaman untuk mengadakan hubungan yang
berdasarkan pada prinsip persamaan hak.
6) Memberikan pengetahuan yang tidak bisa diberikan oleh
keluaga secara memuaskan (pengetahuan mengenai cita rasa
berpakaian, musik, jenis tingkah laku tertentu, dan lain-lain).
7) Memperluas cakrawala pengalaman anak, sehingga ia menjadi
seseorang yang lebih kompleks.22
4. LANDASAN SOSIOLOGI DAN KEBUDAYAAN
a. Sosiologi Pendidikan
Pada hakikatnya pendidikan merupakan sesuatu yang tidak akan
bisa dilepaskan oleh masyarakat. Pendidikan dan masyarakat akan
selalu saling berpengaruh karena pendidikan merupakan sesuatu produk
masyarakat untuk mempertahankan kehidupannya. Sosiologi
pendidikan merupakan analisis tentang proses sosial dan pola-pola
interaksi sosial di dalam sistem pendidikan.23
Sedangkan objek
21
Ibid., h. 181. 22
Ibid., 23
Hasan Basri, op. cit., h. 90
21
penelitian sosiologi adalah tingkah laku manusia dalam kelompok.
Sudut pandangnya ialah memandang hakikat masyarakat kebudayaan,
dan individu secara ilmiah. Sedangkan susunan pengetahuan dalam
sosiologi terdiri atas konsep-konsep dan prinsip-prinsip mengenai
kehidupan kelompok sosial, kebudayaan, dan perkembangan pribadi.24
Menurut Dodson dalam Faisal dan Yasik, sosiologi pendidikan
mempersoalkan pertemuan dan percampuran dari lingkungan sekitar
kebudayaan secara totalitas sedemikian rupa sehingga terbentuknya
tingkah laku tertentu dan sekolah atau lingkungan pendidikan dianggap
sebagai bagian dari total cultural miliu. Selaras dengan pendapat di
atas, E. Goerge Payne yang merupakan Bapak Sosiologi Pendidikan,
memberikan penekanan bahwa dalam lembaga-lembaga, kelompok-
kelompok sosial, dan proses sosial terdapat hubungan yang saling
terjalin, dimana dalam interaksi sosial itu induvidu memperoleh dan
mengorganisirkan pengalamannya.25
Dari kedua pendapat ahli tersebut
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada hakikatnya sosiologi
dibutuhkan dalam pendidikan karena sosiologi merupakan sebuah ilmu
yang mempelajari interaksi manusia dan sosiologi pendidikan berperan
dalam mengamati interaksi yang terjadi antar induvidu/kelompok di
dalam lembaga pendidikan.
Berikut ini akan dipaparkaan pengertian sosiologi dan sosiologi
pendidikan menurut para ahli:
1) David B. Brinkerhoft dan Lynn K. White berpendapat bahwa
sosiologi adalah studi sistematik tentang interaksi manusia.
Penekanannya pada hubungan dan pola interaksi, yaitu
bagaiman pola-pola ini tumbuh kembang bagaiman mereka
dipertahankan, dan juga mereka berubah.26
24
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2007), h. 2. 25
Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Univesitas, (Bandung: PT Refika Aditama,
2013), h. 284 26
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011), h. 4.
22
23
Catatan :
: hubungan inklusif
: hubungan timbal balik
George S. Herrington dalam Abu Ahmadi mengemukakan bahwa
ada lima macam tujuan daripada sosiologi pendidikan, yaitu:
1) To understand the role of the reacher in the community and the
school as an instrument of social progress and social factors
affecting school.
2) To understand the democratic ideologies, our culture and
economic and social trends in relation to both formal and
informal educational agencies.
3) To understand social forces and their effects upon induviduals.
4) To socialize the curriculum, and.
5) To use techiques of research and critical thingking to achieve
these aims.31
Adapun tujuan daripada sosiologi pendidikan di Indonesia yang
dikemukakan oleh Abu Ahmadi adalah sebagai berikut:
1) Berusaha memahami peranan sosiologi daripada kegiatan sekolah
terhadap masyarakat, terutama apabila sekolah ditinjau dari segi
intelektual.
2) Untuk memahami seberapa jauhkah guru dapat membina
kegiatan sosial anak didiknya untuk mengembangkan
kepribadian anak.
3) Untuk mengetahui pembinaan ideologi dan kebudayaan nasional
Indonesia di lingkungan pendidikan dan pengajaran.
4) Untuk mengadakan integrasi kurikulum pendidikan dengan
masyarakat sekitarnya agar supaya pendidikan mempunyai
kegunaan praktis di dalam masyarakat, dan negara seluruhnya.
5) Untuk menyelidiki faktor-faktor kekuatan masyarakat, yang bisa
menstimulir pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.
6) Memberi sumbangan yang positif terhadap perkembangan ilmu
pendidikan.
7) Memberi pegangan terhadap penggunaan prinsip-prinsip
sosiologi sikap dan kepribadian anak didik.32
31
Abu Ahmadi, op. cit., h. 8-9. 32
Ibid., h. 9-10.
24
b. Kebudayaan
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai ikatan sangat spesial,
dimana kebudayaan dan pendidikan menjalin sesuatu hubungan yang
saling terkait. Pendidikan mempunyai peran khusus yaitu untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan dari generasi ke generasi
baik ditempuh secara formal, informal ataupun nonformal. Sedangkam
kebudayaan memiliki peranan dalam pendidikan sebagai bahan dalam
perencanaan kegiatan pendidikan yang disesuaikan dengan tempat
proses pendidikan tersebut berlangsung.
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.33
Artinya bahwa
kebudayaan merupakan sesuatu yang luas dimana kebudayaan
membahas keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dari
waktu ke waktu.
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu
bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan
demikian ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal bersangkutan dengan
akal”. Ada juga yang mengupas kata budaya sebagai suatu
perkembangan dan majemuk budi-daya, yang berarti “daya dan budi”.
Karena itu, mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”. Demikian
“budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa.
Sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Dalam
istilah “antropologi-budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya” di
sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan”
dengan arti yang sama. 34
33
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Atropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), cet. 9, h.
144. 34
Ibid., h. 146
25
Sugiarti dalam Hasan Basri, mendefinisikan secara sederhana
pengertian kebudayaan dan budaya sebagai berikut.
1) Kebudayaan dalam arti luas adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat
yang diperoleh melalui belajar.
2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah
budaya atau sering disebut kultur (culture, bahasa Inggris) yang
mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan
tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk
menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh sekelompok orang
dalam berpikir dan bertindak.35
Berikut ini merupakan definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh
beberapa ahli.
1) Edward B. Taylor : Kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota
masyarakat.
2) M. Jacobs dan B.J. Stren : Kebudayaan mencakup keseluruhan
yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideology, religi, serta
kesenian dan benda. Semuanya itu merupakan warisan sosial.
3) William H. Havialand : kebudayaan adalah seperangkat peraturan
dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat.
Jika dilaksanakan oleh para anggotanya, akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua
masyarakat.
4) Ki Hajar Dewantara : Kebudayaan adalah buah budi manusia dari
hasil perjuangannya terhadap dua pengaruh kuat, yaitu zaman
dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mangatasi berbagai rintangan, kesungkaran dalam hidup, dan
penghidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai.36
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan atau budaya merupakan
kegiatan, ide/buah pikaran dan hasil cipta manusia dalam waktu ke
35
Hasan Basri, op, cit., h. 96-97. 36
Ibid., h. 97-98.
26
waktu yang diwariskan pada generasi ke genarasi sebagai suatu identitas
dari peradaban manusia.
Adapun J.J. Honigmann dalam bukunya The World of Man,
membedakan ada tiga “gejala kebudayaan”, yaitu ideas, activities, and
artifacts. Dan berikut ini penjelasannya menurut Koentjaraningrat
mengenai kebudayaan :
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan,
nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagau suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.37
Dilihat dari unsurnya. Koentjaraningrat membagi tujuh unsur
kebudayaan secara universal, yaitu sebagai berikut:
1) Bahasa.
2) Sistem pengetahuan.
3) Organisasi sosial.
4) Sistem peralatan hidup dan teknologi.
5) Sistem mata pencarian hidup.
6) Sistem religi.
7) Kesenian.38
Adapun karena penelitian ini berfokus pada pendidikan masyarakat
Baduy, maka yang akan banyak dibahas adalah mengenai sistem
pengetahuan yang ada di dalam masyarakat tersebut. Sistem
pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala
perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal
pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama,
jiwa sosial, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam
pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka
belajar secara otodidak.39
Oleh sebab itu akan menarik untuk diteliti
37
Koentjaraningrat, op. cit., h. 150. 38
Ibid., h. 165. 39
Ivan Masdudin, Keunikan Suku Baduy di Banten, (Banten: Telenta Pustaka Indonesia,
2011), cet. 2, h. 19.
27
bagaimana masyarakat Baduy dapat tetap menjaga Pikukuh tersebut
yang merupakan salah satu hasil dari kebudayaan yang mereka nyakini.
B. MASYARAKAT ADAT, PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN
KEARIFAN LOKAL
1. Masyarakat Adat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat
oleh suatu rasa identitas bersama.40
Sedangkan adat menurut KBBI adalah
aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala, wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan satu dengan lainnya berkaitan menjadi
suatu sistem.41
Dapat dimaknai bahwa masyarakat adat adalah sekumpulan
orang yang hidup mendiami wilayah secara turun-temurun dengan adat
istiadat, norma, hukum, dan aturan-aturan yang melekat sebagai indentitas
kebudayaan masyarakat tersebut.
Beberapa kriteria obyektif masyarakat adat , yaitu sebagai berikut :
a. Merupakan komunitas antropologis yang sedikit banyak bersifat
homogen.
b. Mendiami dan mempunyai keterkaitan sejarah, baik lahiriah
maupun rohaniah, dengan suatu wilayah leluhur (homeland)
tertentu atau, sekurang-kurangnya dengan sebagian wilayah
tersebut.
c. Adanya suatu identitas dan budaya yang khas, serta sistem sosial
dan hukum yang bersifat tradisional, yang sungguh-sungguh
diupayakan mereka untuk melestarikannya.
d. Tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem
politik yang ada.42
40
Koentjaraningrat, op. cit., h. 118. 41
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, di akses pada hari Senin, 27 Maret 2017,
(kbbi.web.id). 42
Saafroedin Bahar, Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, 2006), h. 1-2.
28
Adapun kriteria subyektif masyarakat adat, yaitu sebagai berikut:
a. Identitas diri (self identification) sebagai suatu komunitas
antropologis dan mempunyai keinginan yang kuat untuk seara aktif
memelihara identitas diri mereka itu.
b. Dipandang oleh pihak lain di luar komunitas antropologis tersebut
sebagai suatu komunitas yang terpisah.43
2. Pengetahuan Tradisional
Tradisional dalam KBBI memiliki pengertian sikap dan cara berpikir
serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat
kebiasaan yang ada secara turun-temurun.44
Maka dapat dimakni bahwa
pengetahuan tradisonal merupakan sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat adat yang diwariskan secara turun-temurun dan merupakan
hasil dari kebudayaan asli masyarakat tersebut.
Dalam perkembangannya, pengetahuan tradisonal yang ada di dalam
masyarakat saat ini sudah mulai terkikis oleh zaman. Pengetahuan
tradisonal semakin sulit ditemukan pada masyarakat modern dikarenakan
perkembangan teknologi dan informasi yang menyebabkan masyarakat
modern melupakan pengetahuan tradisional sebagai identitas dari
kebudayaannya. Pengetahuan tradisonal tidak dapat dipelajari dalam
pendidikan formal. Proses transfer pengetahuan biasanya dilakukan secara
informal (keluarga), dalam umur yang sama (peer), atau secara individu
ataupun sosial. Misalnya, seorang ibu/ayah mengajarkan anaknya (meracik
dan membuat jamu, berkebun, me-huma, dll), sekelompok anak seumur
belajar main angklung, menenun, atau seorang individu mencari informasi
tertentu kepada tokoh adat, atau dalam pertemuan semua warga, ketua-
ketua adat menyampaikan cerita lisan, dongeng dan sebagainya yang
mengandung nilai-nilai dan sejarah komunitas bersangkutan.
Sebagai contoh masyarakat yang tetap menjaga dan mewariskan
pengetahuan tradisional adalah masyarakat Baduy. Pengetahuan mengenai
43
Ibid., h. 2. 44
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, di akses pada hari Senin, 27 Maret 2017,
(kbbi.web.id).
29
penyakit dan pengobatannya bagi masyarakat Baduy termasuk warisan
tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sejak kecil sebagian
mereka telah diajarkan oleh orang tua mereka yang memiliki pengetahuan
memanfaatkan tanaman-tanaman tertentu di sekitarnya untuk mengobati
berbagai penyakit. Tanaman-tanaman tersebut banyak dan dapat diperoleh
di hutan, sekitar ladang, atau sepanjang jalan menuju hutan atau ladang.
Beberapa contoh tanaman yang biasa digunakan sehari-hari oleh
masyarakat Baduy untuk mengobati penyakit ringan adalah: daun jambu
biji untuk mengobati sakit perut, daun jampang pahit untuk mengobati
luka, tanaman capeuk untuk menghilangkan pegal-pegal, daun harendong
untuk mengobati sakit gigi, dan kulit pohon terep untuk menghilangkan
gatal-gatal pada kulit.45
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengetahuan tradisonal yang
dimiliki oleh tiap masyarakat harus tetap dijaga kelangsungannya karena
merupakan sebuah hasil dari kebudayaan. Oleh sebab itu, diperlukan
sebuah perhatian khusus oleh pemerintah, sehingga masyarakat tidak
kehilangan identitas kebudayaannya. Pengetahuan tradisional merupakan
simbol dari sebuah peradaban masyarakat yang tidak dapat tergantikan
oleh pengetahuan modern yang lebih mengedepankan teknologi dan sains
yang terkadang membuat kita lalai atas kearifan lokal kebudayaan sendiri.
3. Kearifan Lokal
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local
knowledge) atau kesadaran setempat (local genius). Menurut Saini
kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas
di dalam mengola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan
kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah
dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah
45
R. Cecep Eka Permana, “Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional berbasis
Tanaman”, Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol. 11 , 2009, h. 90.
30
jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional
yang bersifat lokal.46
Sedangkan permana menjelaskan bahwa kearifan
lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi
acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikan secara turun-temurun untuk
memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat.
Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam
pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan
budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.47
Dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa kearifan lokal adalah hasil dari kebudayaan masyarakat
yang berupa pandangan atau pengetahuan tradisonal yang digunakan
sebagai pedoman dalam berperilaku dan diwariskan dari generasi ke
genarasi dalam upaya mempertahankan adat dan budaya sebagai identitas
kebudayaannya.
Menurut Jim Lie dalam Permana, kearifan lokal memiliki enam
demensi, yaitu:
a. Dimensi Pengetahuan Lokal : Setiap masyarakat dimana mereka
berada selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan
lingkungan hidupnya.
b. Dimensi Nilai Lokal : Untuk mengatur kehidupan antara warga
masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-
nilai yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh
anggotanya.
c. Dimensi Keterampilan Lokal : Keterampilan lokal bagi setiap
masyarakat dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hidup
(survival). keterampilan lokal biasanya hanya cukup dan mampu
memenuhi kebutuhan keluarganya masing-masing atau disebut
dengan ekonomi subsistensi.
d. Dimensi Sumber Daya Lokal : Sumber daya lokal pada umumnya
adalah sumber daya alam. Masyarakat akan menggunakan
sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan
mengeksploitasi secara besar-besaran atau dikomersilkan.
Sumber daya lokal ini sudah dibagi peruntukannya seperti hutan,
kebun, sumber air, lahan pertanian dan pemukiman. Kepemilikan
suber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif.
46
R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal masyarakat Baduy dalam mitigasi bencana,
(Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2010), h. 1. 47
R. Cecep Eka Permana, “Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana”,
Makara Sosial Humaniora , Vol 15, 2011, h. 68.
31
e. Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal : Setiap
masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri
atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan
hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai
warga masyarakat. Masing-masing masyarakat mempunyai
mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda.
f. Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal : Suatu masyarakat pada
umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal yang dipersatukan
oleh ikatan komunikasi untuk membentuk solidaritas lokal.
Setiap masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat
warganya yang dapat dilakukan melalui ritual keagamaan atau
acara dan upacara adat lainnya. Masing-masing anggota saling
memberi dan menerima sesuai dengan bidang fungsinya masing-
masing seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi, kerja
bakti dan gotong royong.48
Sebagai bagian dari kebudayaan tradisional, kearifan lokal merupakan
warisan budaya. Kearifan lokal hidup dalam domain kognitif, afektif dan
motorik serta tumbuh menjadi aspirasi dan apresiasi publik. Kearifan lokal
berorientasi pada (1) Keseimbangan dan harmoni manusia, alam dan
budaya; (2) Kelestarian dan keragaman alam dan kultur; (3) Konservasi
sumber daya alam dan warisan budaya; (3) Penghematan sumber daya
yang bernilai ekonomi; (4) Moralitas dan spiritualitas.49
C. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Skripsi, Gilang Putra Prasetyo, “Peran Kepemimpinan Kepala Desa
Kanekes (Jaro Pamarentah) Terhadap Pendidikan Masyarakat Baduy
Luar”, 2016.50
Kepala Desa Kanekes (Jaro Pamarentah) memiliki tugas dan fungsi
sebagai mediator atau sarana penghubung antara pemerintah dan lembaga
adat. Tugas kepala desa adalah mengurus agar semua kebijakan
pemerintah sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat Baduy, seperti
melaksanakan kegiatan pelatihan dan pengembangan usaha. Terkait
48
Cecep Eka Permana, op. cit., h. 4-6. 49
Ibid., h. 6. 50
Gilang Putra Prasetyo, “Peran Kepemimpinan Kepala Desa Kanekes (Jaro Pemarentah)
terhadap Pendidikan Masyarakat Baduy Luar” Skripsi pada Fakultas Tarbiyah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2016, tidak dipublikasikan.
32
masalah pendidikan formal didalam aturan adat memang masih tidak
diperbolehkan akan tetapi ada beberapa masyarakat Baduy yang
menyekolahkan anak-anaknya dengan cara sembunyi-sembunyi karena
ditakutkan nantinya akan mendapatkan teguran oleh lembaga adat.
Melaksanakan pendidikan formal dianggap sebagai sebuah dosa besar
bahkan halangan yang besar tetapi mereka sudah menyadari betapa
pentingnya pendidikan formal sehingga dengan harapan yang besar anak
mereka akan tumbuh menjadi yang lebih baik. Sedangkan peran kepala
desa terhadap pendidikan formal seolah tak terlihat, karena jika terlihat
ancaman jabatan yang akan menjadi konsekuensinya.
2. Jurnal, Erwan Baharudin, “Pendidikan Suku Anak Dalam : Suatu
Perubahan dari Paradigma Positivistik ke Konstruktivisme”, 2010.51
Dalam adat Suku Anak Dalam atau orang rimba atau orang kubu,
pendidikan dinilai sebagai ancaman bagi sukunya, karena dinilai dapat
merusak adat mereka secara keseluruhan dan juga takut akan mendapatkan
bencana karena kutukan dari Tuhan. Tetapi, karena mereka tidak bisa
membaca, menulis dan berhitung, orang rimba sering tertipu dalam hal
perekonomian. Pandangan hidup tersebut akhirnya lambat laun mulai
berubah dengan adanya agen yang aktif mengkonstruktif pemikiran dan
perilaku orang rimba tersebut. Disini terlihat adanya proses perubahan
yang dialami oleh Suku Anak Dalam dari pemikiran yang positivistik
menjadi konstruktivistik.
3. Jurnal, Aan Hasanah, “Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis
Kearifan Lokal pada Masyarakat Minoritas (Studi atas Kearifan
Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy Banten)”, 2012.52
Karakter bangsa dibangun dari nilai etika inti (core ethical values)
yang bersumber dari nilai-nilai agama, falsafah negara dan budaya. Nilai
51
Erwan Baharudin, “Pendidikan Suku Anak Dalam : Suatu Perubahan dari Paradigma
Positivistik ke Konstruktivisme”, Forum Ilmiah, Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Vol. 7, 2010. 52
Aan Hasanah, “Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal pada
Masyarakat Minotitas (Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy Banten)”, Analisis,
Jurnal Studi Keislaman¸Vol XII, 2012. (http://ejournal.iainradenintan.ac.id).
33
yang bersumber dari budaya bangsa amat banyak dan beragam serta
mengandung nilai luhur bangsa yang dapat menjadikan bangsa ini
memiliki modal sosial yang tangguh untuk membangun peradaban unggul.
Namun pada kenyataannya nilai-nilai luhur budaya bangsa, mengalami
banyak tantangan, disebabkan derasnya nilai-nilai luar yang masuk dan
mengintervensi nilai-nilai asli budaya bangsa. Kearifan lokal pada
kelompok/ masyarakat minoritas di Indonesia sering diabaikan, padahal
dari kearifan lokal tersebut dapat dipromosikan nilai-nilai luhur yang bisa
dijadikan model pengembangan pendidikan karakter berbasis budaya
bangsa Indonesia.
4. Jurnal, R. Eka Cecep Permana, “Masyarakat Baduy dan Pengobatan
Tradisional berbasis Tanaman”, 2009.53
Perikehidupan masyarakat Baduy diatur oleh pikukuh. Dalam pikukuh ini
ada pernyataan yang berarti “panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak
boleh disambung”. Maksudnya adalah bahwa sesuatu tidak boleh diubah,
ditambah atau dikurangi tetapi harus diterima sebagaimana adanya. Pada
masyarakat Baduy Dalam (tangtu) pikukuh ini masih diikuti secara kuat
tetapi pada masyarakat Baduy Luar (panamping) aturan adat itu tidak
diikuti secara ketat lagi. Dalam masyarakat ini pelanggaran pikukuh akan
diberikan ganjaran adat dari puun sebagai pimpinan adat tertinggi dalam
masyarakat Baduy. Dengan adanya pikukuh, budaya dan adat istiadat
masyarakat Baduy, khususnya pada tangtu, selama ini terlindung dari
pengaruh luar. Dalam kehidupan mereka sehari-hari kebutuhan dalam
masyarakat dicukupi oleh kekayaan alam yang ada di lingkungannya.
Demikian pula dengan kebutuhan pengobatan. Mereka memanfaatkan
tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar untuk diramu menjadi obat-obat
penyembuh penyakit sehari-hari. Pengetahuan pengobatan tradisional
dengan tanaman ini sudah dimiliki sejak dahulu dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Dengan adanya pikukuh, khususnya pada tangtu,
53
R. Cecep Eka Permana, “Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional berbasis
Tanaman”, Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol. 11 , 2009.
34
pengobatan dari luar yang “modern” sulit menembus masuk ke dalam
masyarakat. Oleh karena itu, pengobatan tradisional sangatlah berperan
dalam kehidupan masyarakat Baduy. Pengetahuan pengobatan ini
diharapkan tetap dapat diwariskan turun temurun sehingga kebutuhan
pemeliharaan kesehatan dalam masyarakat itu dapat dipenuhi tanpa harus
melanggar adat karena seseorang menjalani pengobatan dari luar Baduy.
Namun, tidak semua penyakit ditemukan obatnya dalam pengobatan
tradisional. Untuk itu, perlulah diadakan penelitian tanaman-tanaman yang
memiliki khasiat sebagai obat. Pengembangan pengetahuan pemanfaatan
tanaman obat dan kearifan lokal yang sudah ada tentang pengobatan
tradisional ini akan lebih dapat menjamin pemeliharaan kesehatan
masyarakat Baduy serta budayanya.
5. Makalah, Dr Alexandra Landmann, “Taman Bacaan Masyarakat dan
Budaya Lisan Masyarakat Adat Kanekes”, 2014.54
Masyarakat adat Baduy tidak merupakan komunitas terpinggirkan,
terasing, terpencil, atau terbelakang melainkan masyarakat mandiri yang
menjalankan hak atas menentukan nasib sendiri beserta memiliki otonomi
pendidikan. Selain itu, berhak dipandang sebagai pewaris serta penerus
unsur-unsur peradaban nusantara. Komunitas adat menawarkan konsep
kekerabatan dan interaksi antara manusia, alam, dan Tuhan Yang Maha
Esa serta pedoman untuk bertindak bagi setiap warga negara Indonesia
yang patut didaya-kembangkan dan diaplikasikan dalam kebijaksanaan
pemerintah. Selain itu, pemerintah dalam hal berinteraksi dengan
masyarakat adat mesti secara aktif bertanya hal apakah menjadi kebutuhan
masyarakat adat itu sendiri tanpa memaksa program-program
pembangunan yang menghancurkan lingkungan hidup-sosial masyarakat
adat.
54
Alexandra Landmann, “Taman Bacaan Masyarakat dan Budaya Lisan Masyarakat Adat
Kanekes”, Rumah Dunia, 22 Pebruari 2014.
35
D. Kerangka Berpikir
Tabel 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Desa Kanekes merupakan bagian dari masyarakat adat yang memiliki hak menentukan nasibnya
sendiri, termasuk menentukan pandangan mereka terhadap pendidikan yang berbeda dengan sistem
pendidikan nasional.
2. Terdapat perbedaan pandangan di dalam masyarakat Baduy mengenai pendidikan bahwa pendidikan
formal (sekolah) pada masyarakat Baduy merupakan hal yang sangat ditabukan.
3. Masyarakat Baduy membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan aturan tataran adat yang
berlaku untuk tetap menjaga keberlangsungan kehidupan mereka.
4. Pendidikan pokok masyarakat Baduy terbatas pada pemahaman dasar-dasar hukum adat.
5.
Hak-hak Masyarakat Adat
dilindungi dalam.
UUD’45 “Tentang
Pemerintah Daerah” Pasal
18B ayat 2.
UUD’45 “Tentang Hak Asasi
Manusia” Pasal 28I ayat 3.
UU Nomor 32 Tahun 2004
“Tentang Pemerintah
Daerah” Pasal 1 Ayat 12.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten.
Suku Baduy Menjalankan Pendidikan dengan Model/Bentuk
Khusus yang Berbeda dengan Pendidikan Modern
Aturan adat melarang
warganya mengikuti
sekolah secara formal atau
melarang pendidikan formal
di tanah Ulayat mereka
Pendidikan di dalam
Masyarakat Baduy terbatas
pada ;
1. Keluarga (orang tua)
2. Teman sebaya
3. Lembaga Adat
Suku Baduy harus dapat mempertahankan ciri khas
kebudayaannya tersebut sedangkan zaman semakin berkembang
dan kebutuhan hidup semakin tinggi
Meneliti Pendidikan dalam Pandangan Masyarakat Baduy Dalam
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat kegiatan penelitian akan dilakukan pada wilayah Baduy Dalam
yaitu di Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Waktu pelaksanaan penelitian dibagi dalam dua waktu dengan jarak cukup
lama yaitu pada bulan Agustus selama 5 hari - pada Oktober 2015 dengan
waktu kunjungan selama 15 hari kemudian dilanjutkan kembali pada bulan
April 2017 dengan waktu kunjungan selama dua hari.
Tabel 3.1.
Pelaksanaan Waktu Penelitian
No.
Keterangan
Tahun
2015
Tahun
2017
7 8 9 10 11 12 4
1 Perizinan ke Jaro Pamerentah
Desa Kanekes
2 Observasi Awal
3 Observasi Lanjutan
4 Perizinan ke Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten
Lebak
5 Perizinan ke Dinas Pemuda,
Olahraga dan Parawisata
Kabupaten Lebak
6 Pelaksanaan Penelitian
37
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Sugiyono menjelasakan bahwa metode penelitian kualitatif
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti
adalah instrumen kunci, teknik pengumpuan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.1 Artinya fokus dari
penelitian ini bersumber dari fakta lapangan dan peneliti sebagai instrumen
kuncinya, seperti yang di ungkapkan oleh Sugiyono, penelitian kualitatif juga
mempunyai dua tujuan utama¸ yaitu pertama menggambarkan dan
mengungkapkan (to describe and explore) dan kedua mengambarkan dan
menjelaskan (to describe and explain).
Karena penilitian ini berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Baduy
maka metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
etnografi. Dalam Moleong, istilah etnografi dari kata ethno (bangsa) dan
graphy (menguraikan), jadi etnografi yang dimaksud adalah usaha untuk
menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan. Sedangkan James P.
Spradley mengungkapkan, etnografi adalah suatu kebudayaan yang
mempelajari kebudayaan lain. Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan
makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami.
Menurut Bronislaw Malinowski dalam Spredley, tujuan etnografi adalah
memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan,
untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya.2
Dapat disimpulkan bahwa etnografi merupakan sebuah metode pendekatan
kulitatif dengan memperhatikan aspek kebudayaan dengan fokus dari
penelitiannya adalah pengamatan langsung ke lapangan, yaitu peneliti akan
melakukan wawancara dan pengamatan lapangan kepada tokoh adat dan
1 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung:Alfabeta,
2013), Cet. 18, h. 9. 2 Kiki Zakiah, “Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode”, Mediator, 2008,
Vol 9, h. 183.
38
masyarakat Baduy Dalam dan diharapkan informasi yang didapatkan, peneliti
dapat mencapai tujuannya yaitu untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang
terjadi didalam masyarakat Baduy secara sistematis dan sebenar-benarnya
sesuai dengan fenomena yang terjadi di tempat penelitian. Dengan metode ini
diharapkan nantinya peneliti dapat mencapai tujuannya yaitu menggambarkan
pendidikan dalam pandangan masyarakat Baduy Dalam.
C. Subyek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Langkah selanjutnya adalah menentukan subjek penelitian dimana
bertujuan untuk menggali data dan informasi yang dibutuhkan. Menurut
Muhammad Idrus, “Subjek dalam konsep penelitian merujuk pada
responden, informan yang hendak diminati informasi dan digali datanya”.3
Subjek utama penelitian ini diarahkan pada pada masyarakat Baduy Dalam
yang bertempat tinggal di kampung Cibeo.
2. Objek Penelitian
Kemudian yang dibutuhkan selanjutnya adalah menentukan objek
penelitian karena agar mempermudah peneliti untuk mempermudah dalam
mencapai tujuannya. Menurut Muhammad Idrus, “Objek penelitian
berujuk pada masalah atau tema yang sedang diteliti”.4 Dalam penelitian
ini pandangan pendidikan masyarakat Baduy merupakan masalah atau
tema yang akan digali informasinya.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitiaan kualitatif, pengumpulan data ditunjukan pada natural
setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan
data lebih banyak pada observasi lapangan serta (participan observasion),
3 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta Erlangga, 2009), h. 91.
4 Ibid., h. 91.
39
wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi.5 Adapun teknik
pengumulan data yang akan digunakan selama penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Observasi/Pengamatan
Teknik ini merupakan salah satu teknik yang sering digunakan dalam
penelitian kualitatif. Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas
pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis. Pengamatan dapat
dilakukan secara terlibat (partisipasi) ataupun tidak terlibat
(nonpartisipasi).6 Teknik observasi sangat berguna untuk mencari suatu
gambaran situasi sosial di dalam masyarakat Baduy.
Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi
partisipasif, yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang
sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian.
Selanjutnya peneliti juga melakukan observasi terus terang atau tersamar.
Dalam hal ini, peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan
terus terang kepada sumber data, bahwa ia sedang melakukan penelitian.
Tetapi pada suatu saat peneliti tidak terus terang atau tersamar dalam
observasi.7 Dengan mengunakan kedua teknik observasi tersebut
diharapkan data dan informasi yang akan didapatkan sesuai dengan situasi
sosial apa yang terjadi dilapangan. Peneliti akan terjun langsung ke lokasi
penelitian yaitu di Kampung Cibeo, Desa Kanekes untuk melihat segala
fenomena-fenomena sosial di dalam masyarakat Baduy terutama dalam hal
pendidikan.
2. Wawancara/interview
Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik penggunaan data
yang banyak digunakan dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif, malah
dapat dikatakan bahwa wawancara sebagai teknik pengumpulan data yang
utama dalam penelitian kualitatif. Menurut Lexy J. Moleong wawancara
5 Sugiyono, op. cit., h. 225.
6 Idrus, op. cit., h. 101
7 Sugiyono, op. cit., h. 227
40
adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh
kedua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu.8
Dalam penelitian ini, wawancara semi-terstruktur yang akan pilih
dalam mengumpulkan data. Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam
kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila
dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis
ini adalah untuk menemukan permasalahan secara terbuka, dimana pihak
yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. 9
Wawancara yang akan dilaksanakan oleh peneliti yaitu melakukan
wawancara dengan tokoh adat/kokolot, warga kampung cibeo, dan dinas
terkait terhadap pandangan informan tersebut mengenai pendidikan dan
model/bentuk pendidikan yang sedang berlangsung didalam masyarakat
Baduy.
3. Dokumentasi
Selain observasi dan wawancara, dokumentasi merupakan salah satu
teknik yang sering digunakan untuk memperoleh data. Menurut Sugiyono,
dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi
dan wawancara dalam penelitian kualitatif.10
Peneliti berharap nantinya
dapat menemukan dukumen-dokumen pendukung sehingga dapat
dimanfaatkan untuk memperkuat hasil observasi dan wawancara.
8 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), cet 29, h. 186. 9 Sugiyono, op. cit., h. 233.
10 Ibid., h. 240.
41
E. Instrumen Penelitian
Untuk memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data saat penelitian.
Berikut ini akan disajikan kisi-kisi pedoman wawancara dan observasi
lapangan yang akan dilaksanakan sebagai alat untuk mengumpulkan data
selama penelitian berlangsung.
Tabel 3.2
Kisi-Kisi Pedoman Wawancara
NO Pokok
Pertanyaan
Sub Pokok Pertanyaan Butir
Pertanyaan
1 Pandangan
Pendidikan
masyarakat Baduy
1. Arti/makna pendidikan
menurut masyarakat Baduy
Dalam.
2. Pendidikan formal benar
ditabukan.
3. Hukuman yang mengikuti
pendidikan diluar aturan
adat,
1,2,3
2 Model/Bentuk
pendidikan yang
sedang
berlangsung
1. Pendidikan yang diterapkan
masyarakat Baduy Dalam
2. Proses pembelajaran yang
berlangsung.
3. Peranan lingkungan
keluarga
4. Peranan lingkungan adat
5. Perbedaan model/bentuk
pendidikan Baduy Dalam
dan Baduy Luar
4,5,6,7,8
3 Bentuk dukungan
pemerintah/swasta
terhadap
1. Peran pemerintah/swasta
dalam pendidikan
masyarakat Baduy Dalam
9
42
pendidikan
4 Dampak kemajuan
zaman terhadap
kehidupan
masyarakat Baduy
Dalam
1. Perubahan yang terjadi
dalam masyarakat Baduy
Dalam
2. Tantangan yang dihadapi
masyarakat Baduy Dalam.
3. Harapan masyarakat Baduy
Dalam.
10,11,12
Tabel 3.3
Kisi-kisi Pedoman Observasi
No Pokok
Pertanyaan
Sub Pokok Pertanyaan Butir
Pertanyaan
1.
Bentuk pendidikan
masyarakat Baduy
Dalam
1. Tradisi lisan merupakan
metode mengajar
masyarakat Baduy Dalam.
2. Peran orang tua (keluarga)
dalam pendidikan
masyarkat Baduy Dalam
3. Peran lembaga adat (tokoh
adat) dalam pendidikan
masyarakat Baduy Dalam
4. Terdapat balai adat sebagai
tempat pendidikan adat
1,2,3,4
2. Pendidikan diluar
aturan adat
masyarakat Baduy
Dalam
1. Masyarakat Dalam
mengikuti pendidikan
formal
2. Masyarakat Baduy Dalam
5,6,7,8
43
mengikuti lembaga
kursus/pelatihan seperti
tenun, makanan olahan, dll
3. Masyarakat Baduy Dalam
mengikuti sekolah kejar
paket
4. Masyarakat Baduy Dalam
mengikuti pendidikan
keaksaraan
3. Perubahan yang
terjadi dalam
masyarakat Baduy
Dalam
1. Anak-anak Baduy Dalam
dapat membaca dan menulis
2. Masyarakat Baduy Dalam
dapat berbahasa Indonesia
9,10
4. Ketaatan
masyarakat Baduy
Dalam terhadapat
aturan adat
1. Kehidupan masyarakat
Baduy Dalam masih sesuai
dengan aturan adat
2. Masyarakat Baduy Dalam
memiliki telepon genggam
11,12
44
F. Teknik Pengelolan dan Analisis Data
Setelah pengumpulan data dari lapangan, tahapan berikutnya adalah
menganalisa data temuan tersebut. Miles dan Huberman mengemukan bahwa
aktivitas dalam analisis penelitian kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah
jenuh.11
Dalam model interaktif, Miles dan Huberman membagi analisis data
menjadi tiga komponen yaitu sebagai berikut:
1. Data Reduction (Reduksi Data)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu dicatat secara teliti dan rinci, sehingga diperlukan reduksi data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.12
Dengan demikian tujuan dari mereduksi data adalah untuk mempermudah
peneliti dalam mengorganisasi data secara teliti dan rinci, data tersebut
diperoleh melalui catatan pengamatan lapangan, hasil wawancara, dan
studi dokumen, sehingga nantinya dapat membantu peneliti untuk
pengumpulan data selanjutnya jika diperlukan dan fokus dari tujuan
penelitian dapat tercapai.
2. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi maka tahapan selanjutnya adalah membuat
penyajian data. Dalam penelitian kualitatif penyajian data biasa dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart
dan sejenisnya. Penyajian data dapat dimaknai merupakan kumpulan
informasi yang tersusun bertujuan untuk memudahkan memahami apa
yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami. Yang paling sering digunakan dalam penyajian data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang besifat naratif.13
11
Ibid., h. 246. 12
Ibid., h. 247. 13
Ibid., h. 249.
45
3. Conclusing Drawing (Penarikan Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan dalam penelitin bukanlah merupakan suatu
karangan atau diambil dari perbicaraan-pembicaraan lain, akan tetapi suatu
proses tertentu yaitu “menarik”, dalam arti “memindahkan” sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain. Menarik kesimpulan penelitian selalu harus
berdasarkan dari atas semua data yang diperoleh dalam kegiatan
penelitian.14
G. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsaan Data
Dalam pengujian keabsaan data, metode penelitin kualitatif memiliki
beberapa macam uji keabsaan data yaitu meliputi uji, credibility (validitas
interbal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan
confirmability (obyektivitas).15
Untuk menguji keabsaan data yang diperoleh
maka peneliti memutuskan untuk menggunakan metode uji credibility.
Upaya dalam menjaga kredibilitas dalam penelitian adalah melalui
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Perpanjangan Pengamatan
Peneliti diharuskan untuk datang kembali ke tempat penelitian dengan
tujuan melakukan pengamatan kembali, mewawancara kembali
narasumber yang pernah ditemui atau dengan yang baru dengan tujuan
antara peneliti dan narasumber sudah terbentuk sebuah kedekatan sehingga
dapat menggali kembali data yang dirasa masih kurang.
2. Meningkatkan ketekunan
Meningkatkan kembali pengamatan penelitian dengan cara
memeriksa tiap data yang telah diperoleh sehingga meminimalisir
kesalahan penafsiran. Sehingga nantinya peneliti dapat mendeskripsikan
hasil penelitinaanya dengan akurat dan sistematis.
14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2010) h. 385. 15
Sugiyono, op, cit., h. 270.
46
3. Triangulasi
Triangulasi yaitu pengecekan kembali data yang berasal dari berbagai
sumber, berbagai cara, dan berbagai waktu. Merupakan data yang
diperoleh melalui observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi yang
dikumpulkan selama proses penelitian berlangsung.
4. Analisis Kasus Negatif
Peneliti harus mencari data yang bertentantangan dengan data temuan
seandainya ditemukan maka peneliti harus merubah data temuannya. Jika
sudah tidak ditemukan data yang berbeda tersebut maka data temuan bisa
dapat dipercanya.
5. Menggunakan Bahan Referensi
Bahan referensi merupakan bahan pendukung untuk menguatkan data
temuan peneliti. Sebagai contoh, hasil wawancara yang dilakukan peneliti
harus disertakan dengan rekaman/video wawancara.
6. Mengadakan Membercheck
Memberchek adalah kegiatan peneliti memperlihatkan perolehan data
yang telah didapatkan kepada pemberi data. Apabila data tersebut sesuai
dengan apa yang disepakati oleh pemberi data maka dapat dikatakan data
tersebut valid. Jika tidak ditemukan kesepahaman maka dilakukan diskusi
kembali kepada pemberi data tersebut.
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI TEMPAT PENELITIAN
1. Asal Usul Suku Baduy
Istilah atau kata Baduy itu sendiri ada yang menduga berasal dari
kata “Badawi”, yaitu suatu julukan bagi orang-orang yang bertempat
tinggal tidak tetap yang hidup di daerah jazirah Arab. Namun pendapat ini
sangat ditentang oleh kesukuan mereka terutama tokoh adat dan para
pemangku adat. Mereka menjelaskan bahwa istilah Baduy sebenarnya
adalah sasaka dari sebuah nama sungai tempo dulu, yaitu sungai Cibaduy
yang mengalir di sekitar tempat tinggal mereka juga berdasarkan nama
salah satu bukit yang berada di kawasan tanah ulayat mereka, yaitu Bukit
Baduy.1
Kemudian timbul istilah Rawayan bagi komunitas mereka,
sebenarnya berawal dari ciri khas yang ada di tanah ulayat mereka tentang
bentuk jembatan yang terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai
cukangan (tempat untuk menyebrang atau disebut dalam istilah mereka
adalah rawayan). Adapun istilah Kanekes adalah sebutan nama wilayah
Pemerintahan Desa tempat tinggal mereka sekarang. Kata Kanekes sendiri
masih menjadi perdebatan mereka juga para pencari informasi, berasal dari
istilah apa mereka pun tidak banyak tahu dan berkomentar, bahkan
beberapa tokoh adat yang tidak menerima sebutan Kanekes bagi nama
kesukuan mereka. Mereka lebih bangga dan merasa dihormati dengan
sebutan Suku Baduy.2
1 Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara (Jakarta : Bumi Aksara,
2010), h. 16. 2 Ibid.,
48
Sementara keterangan lain, menyebutkan bahwa :
a. Orang Baduy berasal dari Keturunan Kerajaan Pajajaran yang lari ke
Gunung Kendeng setelah Kerajaan tersebut diserang Kerajaan Islam
dari Banten dan Cirebon. Hal ini dinyatakan dalam pantun masyarakat
Baduy “Jauh Teu Duguh Nu Dijugjug, Leumpang Teu Puguh Nu di
Teang, Mending Keneh Lara Jeung Wirang Tibatat Kudu Ngayonan
Perang Jeung Padulurang atawa Jeung Baraya Nu Keneh Sawarga
Tua”
Artinya : Jauh tak tentu dimaksud, berjalan tanpa tujuan, menyusur
tepian tebing, berlindung dibalik gunung lebih baik malu dan hina
daripada harus berperang melawan sanak saudara dan atau keluarga
yang masih keturunan.
b. Pada waktu Anjangsono Bupati Lebak Rd. Adipati Surianatadiningrat
ke Baduy, sebelum beliau menjelaskan asal keturunannya hanya
sekedar diterima dengan tata cara biasa sebagai lazimnya terhadap
tamu. Tetepi ketika selesai menjelaskan bahwa beliau berasal dari
Cianjur da nada hubungannya dengan keturunan Pajajaran, sejak itu
pula tokoh-tokoh Baduy menghanturkan sembah sebagai layaknya
sebagai orang yang hormati. (keterangan ini di sadur dari catatan
mengenai Baduy, karangan R. Suriadiredja).
a. Djoewisnu. MS dalam Bukunya Potret Kehidupan Masyarakat Baduy
menjelaskan bahwa masyarakat Baduy merupakan para Senapati dan
Punggawa setia Raja pada masa jayanya Prabu Bramaiya Maisa
Tandraman gelaran Raja Prabu Pucuk Umun anak dari Prabu Siliwangi
dari Kerajaan Padjajaran yang melarikan diri dari serangan Pasukan
Sunan Gunung Jati dalam misinya membawa ajaran agama Islam
kedaerah Banten pada abad XIV awal abad XV M. 123
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa asal mula masyarakat Baduy merupakan sisa Prajurit kerajaan
Padjajaran yang dipimpin oleh Prabu Puncuk Umun yang menolak ajaran
Agama Islam yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati. Akan tetapi
masyarakat Suku Baduy menolak penjelasan versi tersebut yang
menjelaskan bahwa nenek moyang mereka adalah keturunan dari Kerajaan
Padjajaran yang dipengaruhi oleh masuknya agama Islam. Lalu siapakah
mereka sebenarnya?
3 Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak,
Membuka Tabir Kehidupan: Tradisi Masyarakat Baduy dan Cisungsang serta Peninggalan
Sejarah Situs Lebak Sibedug, (Banten: ____________), h. 10-11.
49
Adapun berikut ini akan dipaparkan penjelasan mengenai asal muasal
masyarakat Baduy yang disampaikan langsung oleh para tokoh adat yang
dikutip oleh Asep Kurnia di dalam buku Saatnya Baduy Bicara, yaitu
sebagai berikut:
a. Jaro Sami sebagai Jaro Tangtu Cibeo menuturkan : “Yang
menceritakan Baduy berasal dari keturunan Padjajaran, pengungsi dari
Kesultanan Banten, atau cerita lainnya, itu cuma sebatas cerita kata
orang, saudara-saudara kami yang berada di luar, kalu kata orang
mendekati kepada cerita katanya, cerita katanya berarti cerita
kemungkinan. Sehingga benar tidaknya tidak bisa terukur, jika yakin
atau percaya pada cerita diatas kami tidak bisa melarang. Cuma
menurut pendapat kami (Baduy), karena saya (kami) bukti yang nyata
dari keturunan terdahulu yang mendapat titipan amanat dari leluhur
kami.”
b. Ayah Mursid lebih mempertegas dan menjawab tentang anggapan
bahwa mereka itu bukan berasal dari masyarakat pelarian atau
pengungsi : “Kami tidak habis pikir terhadap cerita yang menganggap
bahwa kami ini berasal dari kerajaan Kesultanan Banten Lama.
Anggapan itu sama saja merendahkan harkat dan martabat kesukuan
kami sebab masyarakat pelarian mengandung arti salah satu
masyarakat yang dianggap punya kesalahan, atau masyarakat yang
pekerjaannya melawan atau masyarakat yang sudah tidak berguna atau
sudah tidak terpakai oleh masyarakat lainnya. Padahal sesuai sejarah
yang ada di kami (Baduy) dan sudah terbukti keberadaannya. Kami
(kesukuan Baduy) adalah masyarakat keturunan yang diberi tugas dan
amanat langsung dari Adam Tunggal sebagai utusan dari sang pecipta
untuk meneguhkan mempatuhkan wiwitan sesuai dengan hasil
musyawarah awal waktu menciptakan alam semesta ini yang disebut
alam dunia. Terkadang kami ingin sekali meminta satu pembuktian
kepada yang menyebut atau yang berpendapat bahwa kami ini
keturunan masyarakat pelarian. Mana dan di mana bukti itu berada?.4
Berdasakan penuturan di atas dari para tokoh adat suku Baduy dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa asal mula masyarakat Baduy berasal dari
Adam Tunggal atau manusia pertama yang diciptakan di Bumi sebagai
utusan langsung dari Sang Pencipta. Mereka berpandangan bahwa suku-
suku lain di berbagai wilayah merupakan keturunan lanjutan yang
memiliki tugas berbeda di bumi ini. Menurut meraka Tanah Ulayat yang
mereka tinggali sebagai Inti Jagat.
4 Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin, op. cit., h. 21-23.
50
2. Letak Geografis dan Demografis Suku Baduy
a. Letak Geografis
Tanah Ulayat masyarakat Baduy berada di wilayah Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang
dibatasi dan diapit secara administratif oleh 11 Desa dari 6
Kecamatan.5
Sebelah Utara dibatasi oleh:
1) Desa Bojong Menteng
2) Desa Cisiemeut Raya Kecamatan Leuwidamar
3) Desa Nayagati
Sebelah Barat dibatasi oleh:
1) Desa parakan Besi
2) Desa Kebun Cau Kecamatan Bojong Manik
3) Desa Karangnuggal Kecamatan Cirinten
Sebelah Selatan dibatasi oleh :
1) Desa Cikate Kecamatan Cijaku
2) Desa Mangunjaya
Sebelah Timur dibatasi oleh :
1) Desa Karangcobong Kecamatan Muncang
2) Desa Hariang Kecamatan Sobang
3) Desa Cicalebang
Desa kanekes berada di daerah pergunungan Kendeng pada ketinggian
sekitar antara 300-1200 meter di atas permukaan laut dengan suhu berkisar
antara 26º C-30º C. Pengukuhan dan pengakuaan Tanah Ulayat
masyarakat Baduy adalah dengan lahirnya PERDA Kabupaten Lebak
Nomor 32 Tahun 2001 tanteng Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat
Baduy. Selanjutnya diperkuat dengan SK Bupati Lebak Nomor 590/
kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-Batas Detail Hak Ulayat
Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak tertanggal 16 Juli 2002 atas dasar hasil pengukuran dan pemetaan
5 Ibid., h. 58
51
mengacu pada batas wilayah administratif, batas khusus, dan batas alam
yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Maka diputuskan
secara resmi luas Tanah Ulayat Baduy adalah 5.136,58 hektar yang terbagi
menjadi dua bagian yaitu ± 3.000 hektar adalah hutan lindung dan ±
2.136,58 hektar merupakan hutan garapan dan pemukiman. Terdiri dari 59
kampung. Tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik yang
termasuk di wilayah Baduy Dalam dan 56 kampung lainnya adalah di
wilayah Baduy Luar termasuk Cicakal Girang dan Baduy Kompol.6
b. Demografi Suku Baduy
Masyarakat Baduy bukanlah masyarakat terasing akan tetapi
masyarakat yang secara sengaja mengasingkan diri dari pengaruh luar
(modern) sebagai bentuk upaya mematuhi amanat leluhur. Kesederhanaan
dalam memandang sebuah kehidupan adalah pokok dari ajaran mereka.
Pola hidup masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar jika terlihat secara
umum hampir sama, seperti dalam aturan masyarakat baduy tidak boleh
bersekolah formal, memiliki alat elektronik, arah rumah Utara dan Selatan.
Akan tetapi jika dilihat lebih cermat lagi terlihat jelas perbedaannya.
Didalam masyarakat Baduy Dalam sangat dilarang menggunakan alat
elektronik, memakai alat rumah tangga yang terbuat dari plastik, memakai
alas kaki, pakaian hanya hitam dan putih, rumah tidak boleh menggunakan
paku dan menyesuaikan bentuk tanah, dan dilarang berpergian dengan
menaiki kendaraan. Sedangkan masyarakat Baduy Luar memiliki
kelonggoran dalam menjalankan aturan adat, sehingga pola kehidupan
masyarakat Baduy Luar sudah dipengaruhi oleh modernisasi walaupun
tetap menampilkan ciri khas kesukuan mereka. Jika berkunjung di wilayah
Baduy Luar maka kita dapat melihat masyarakat Baduy Luar yang
memiliki HP, berpergian dengan kendaraan bahkan sudah ada yang
memiliki kendaraan pribadi, pakaian yang digunakan sama seperti
masyarakat pada umumnya, bahkan sudah ada yang mengikuti pendidikan
di lembaga pendidikan formal dan nonformal.
6 Ibid., h. 59
52
Dari segi mata pencarian mereka adalah bercocok tanam dengan cara
berladang (ngahuma). Berlandang merupakan kewajiban pokok yang
harus dilakukan oleh masyarakat Baduy karena ngahuma merupakan
bagian dari kenyakinan mereka yaitu Agama Slam Sunda Wiwitan. Selain
itu untuk memenuhi kebutuhannya biasanya mereka menjual hasil bumi
seperti pisang, gula aren, madu, kelapa, durian, dan lain-lain ke Pasar yang
terletak tak jauh dari perbatasan Tanah Ulayat.
Jumlah penduduk Suku Baduy menurut data di Desa Kanekes pada
bulan Januari Tahun 2010 adalah sebagai berikut.7
1) Jumlah Penduduk : Laki-laki = 5.624 Jiwa
Perempuan = 5.548 Jiwa
Jumlah Total =11.172 Jiwa
2) Jumlah di Baduy Dalam : Laki-laki = 611 Jiwa
Perempuan = 559 Jiwa
Jumlah Total =1.170 Jiwa
3) Jumlah Kepala Keluarga : 2.246 KK
3. Baduy Dalam dan Baduy Luar
Didalam masyarakat suku Baduy terbagi atas dua kumunitas adat yaitu
masyarakat Baduy Dalam dan Masyarakat Baduy Luar. Baduy Dalam
merupakan representasi dari masyarakat Baduy masa lalu dimana tata
kehidupannya disesuaikan dengan aturan adat yang berlaku yang
disesuaikan dengan Pikukuh Karuhan. Sedangkan masyarakat Baduy Luar
merupakan sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung, dan
sekaligus penyambung komunikasi antara Suku Baduy dengan pihak luar
sehingga dapat menjalin kerjasama dan berpartisipasi aktif dalam segala
kegiatan kenegaraan sehingga dapat menunjukan bahwa masyarakat
Baduy memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara
Indonesia pada umumnya.
7 Ibid., h. 68.
53
Tabel 4.1
Perbandingan Suku Baduy Dalam dengan Suku Baduy Luar8
Perbedaan Persamaan/
Keseragaman Baduy Dalam Baduy Luar
1. Bentuk Rumah
- Kontur tanah tidak
diubah, dibiarkan
sesuai dengan aslinya
- Pembuatan tidak
menggunakan paku
dan tidak
menggunakan alat
modern seperti
gergaji, hanya
menggunakan pasak
dan tali bambu/rotan.
- Hanya memiliki satu
pintu dan tidak ada
jendela.
- Bentuk bilik
sederhana tidak pakai
corak/model.
- Lantai hanya boleh
pakai bambu/talupuh
(amben)
- Tata ruang terdiri dari
taraje,
papange/golodog,
sosoro, tepas, dan
imah.
- Tidak diperkenalkan
adanya variasi
tambahan.
- Di setiap kampung
memiliki bangunana
yang disebut Imah
Balai Adat.
- Posisi rumah tidak
boleh menghalangi
antara rumah Puun
dengan Balai Adat.
1. Bentuk Rumah
- Tanah diubah
diratakan sesuai
dengan
keinginan.
- Pembuatan boleh
menggunakan
paku dan alat
modern.
- Pintu boleh lebih
dari satu da nada
yang
menggunakan
jendela.
- Bilik yang
digunakan boleh
pakai
corak/model
sesuai dengan
kemampuan dan
keiginan.
- Boleh pakai
talupuh, tetapi
boleh pakai papan
kayu.
- Tata ruang sudah
ada tambahan
sesuai dengan
keperluan, kamar
tidur boleh lebih
dari satu.
- Boleh memakai
variasi seni sesuai
dengan keinginan
dan kemampuan.
- Tidak ada Imah
Balai Adat.
- Posisi atau
1. Bentuk Rumah
- Rumah
mengahadap
nyulah nyanda
(Utara– Selatan).
- Berbentuk
panggung, tidak
menggunakan
tembok atau cat
yang berwarna-
warna.
- Dibuat dengan
caragotong
royong
(rereongan).
- Pemukiman
selalu didekat
sumber air.
8 Ibid., h. 29-33.
54
penempatan
rumah bebas yang
penting sesuai
dengan arah
Utara-Selatan.
2. Pakaian
- Hanya dua warna,
yaitu hitam-putih
balacu, umumnya
memakai putih.
- Pakaian tidak dijahit
secara modern hanya
di;kecos oleh jarum
kecil saja.
- Ikat kepala warna
putih.
- Pakaian wanita
kebaya dan samping
pakai selendang, laki-
laki tidak
menggunakan celana
tetapi sarung yang
dilipat.
- Perhiasan/asesorisnya
manik-manik
berwarna-warni, tidak
boleh memakai
emas/murni.
- Memiliki tempat
khusus menyimpan
pakaian (kepek atau
tolok).
2. Pakaian
- Warna hitam dan
putih, tetapi lebih
umum memakai
warna hitam.
- Pakaian sudah
dijahit secara
modern, dengan
celana umumnya
pendek.
- Ikat kepala/lomar
berwarna corak
biru hitam.
- Wanita pakai
kebaya biru renda
atau hitam. Sudah
mulai memakai
khusus warna
sesuai dengan
warna lomar.
- Perhiasan wanita
sudah pakai
gelang atau
kalung dari emas
murni.
- Sudah umum
memiliki lemari
pakaian.
2. Pakaian - Wanita memakai
kebaya, laki-laki
memakai ikat
kepala.
3. Peralatan Masak,
Makan, dan Minum.
- Tidak boleh
menggunakan
peralatan modern,
yang ada dan
diperbolehkan
diantaranya: dandang
(seeng), kuali
(kekenceng), kukusan
(aseupan), hihid,
lumping (pangarih),
3. Peralatan Masak,
Makan, dan
Minum.
- Pengunaan alat-
alat semi modern
sudah banyak
digunakan, baik
untuk memasak
maupun alat-alat
untuk makan dan
minum.
- Selain pakai
55
kuluwang, boboko,
pinggan/mangkuk,
somong (gelas
bambu), dan botol
besar tempat air
minum.
- Memasak
menggunakan tungku
(hawu).
- Tidak boleh
menggunakan minyak
tanah, hanya minyak
kelapa.
- Makanan dimasak
sederhana sekali tidak
memakai bumbu
masak.
tungku sudah
banyak yang
menggunakan
minyak tanah.
- Penggunaan
bumbu masakan
sudah biasa, serta
menu makanan
sudah mulai
bergizi.
4. Alat Kesenian
- Alat yang boleh
dipergunakan antara
lain angklung, kacapi,
karinding, kumbang,
tarawelet, calitung
(kolencer).
- Tidak mengenal
nyayian yang ada
pembacaan pantun-
pantun.
4. Alat Kesenian
- Selain angklung,
kacapi, karinding,
kumbang,
tarawelet,
calitung, ada juga
gamelan tanpa
gendang, redo
(rebab), talinting
(bedug leutik) dan
suling.
5. Hukum Adat
- Dilarang mengunakan
sabun mandi, sikat
gigi, dan odol serta
minyak wangi.
- Dilarang
menggunakan alas
kaki
- Dilarang berpergian
menggunakan
kendaraan.
- Dilarang memiliki
alat-alat elektronik
seperti radio, HP,
foto, dan lain-lain.
- Dilarang berpoligami
dan tidak asusila.
- Dilarang memiliki dan
5. Hukum Adat
- Semua larangan
adat yang berlaku
di Baduy Dalam
di Baduy Luar
diberikan
kelonggaran atau
diperbolehkan
kecuali poligami,
memiliki alat
elektronik modern
terutama radio,
televise, sampai
saat ini masih
dilarang.
56
menggunakan
perhiasan emas buat
wanita, merokok bagi
laki-laki.
- Warga tidak
diperkenankan
membuka warung
untuk berdagang.
6. Pola Hidup
- Dengan segala
keterbatasan, ketat,
dan banyak larangan
hukum adat, maka
pola hidup seharihari
warga Baduy Dalam
sangat sederhana dan
simple, ikhlas, dan
menerima hidup apa
adany, ketaatan dan
kepatuhan pada
hukum adat tinggi
sekali, sikap toleransi
dan budaya gotong
royong masih kuat,
disiplin terhadap
waktu.
6. Pola Hidup
- Pola hidup Baduy
Luar sudah
mengadopsi
model atau gaya
hidup modern,
tetapi masih
dalam batas-batas
normal yang
disesuaikan
dengan hukum
adat yang berlaku.
Beberapa individu
dan kelompok
sudah memulai
menjalin
kerjasama dalam
berdagang serta
sudah berorientasi
pada bisnis (pola
hidup konsumtif).
- Di setiap
kampung sudah
tumbuh atau
bermunculan
kios/warung kecil
yang
menyediakan
kebutuhan hidup
manusia seperti
terjadi di luar
masyarakat
Baduy.
7. Hak Lainnya
- huma Serang hanya
ada di Baduy Dalam.
- Puncak acara kawalu
hanya dilakukan di
7. Hak Lainnya
- Di Baduy Luar
tidak dikenal
adanya Huma
Serang.
57
wilayah Baduy
Dalam.
- Tempat muja hanya
ada di Baduy Dalam.
4. Sistem Pemerintahan
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan yaitu pertama
sistem pemerintahan adat dan kedua sistem pemerintahan desa. Di dalam
sistem pemerintahan adat dipimpin oleh Puun yang merupakan pimpinan
hukum adat yang paling tinggi yang nyakini memiliki garis keturunan dari
Sang Hyang Batara Tunggal. Terdapat tiga pimpinan adat didalam
masyarakat Baduy yang biasa di istilahkan sebagai Tri Tunggal (tiga orang
satu keputusan, yaitu Puun Cibeo, Puun Cikartawarna, dan Puun Cikeusik.
Sistem pemerintahan adat terpusat di Baduy Dalam dengan pimpinan
adat di Baduy Luar yang dikenal dengan sebutan tangtu tilu jaro tujuh.
Yang dimaksud dengan tangtu tilu adalah ketiga puun yag dilimpahkan
wewenang dan keputusannya untuk mengatur tentang pelaksanaan
pemerintah adat kepada tiga jaro, yaitu jaro tangtu Cibeo, yaitu Jaro
tangtu Cibeo, Jaro tangtu Cikartawarna, Jaro Tangtu Cikeusik.9 Jadi
dapat disimpulkan bahwa jabatan Jaro Tangtu merupakan jabatan yang
paling tinggi kedua setelah Puun sehingga sangat disegani dan dihormati
dalam masyarakat Baduy.
Jaro Tujuh adalah para pemimpin adat yang berasal dari Baduy Luar.
Fungsinya lebih dititikberatkan pelaksanaan kebijakan/keputusan adat,
sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum adat pada masyarakat Baduy,
termasuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat baik
dilakukan oleh masyarakatnya maupun pelanggaran yang dilakukan oleh
orang luar Baduy. Disebut Jaro Tujuh karena jumlah orang yang menjadi
pimpinan di lembaga adat ini adalah tujuh orang ditambah dengan dua
9 Ibid., h. 94
58
orang yang menjadi atasan mereka. Pertama sebagai Bapaknya Jaro
tujuh/penasihat dengan sebutan tangkesan.10
Selanjutnya adalah sistem pemerintahan desa yang pengeolaannya
dipimpin oleh masyarakat Baduy Luar dengan persetujuan lembaga adat
tangtu tilu jaro tujuh. Pusat pemerintahan desa sekarang berada di
kampung Cipondok/Babakan Jaro/Kaduketug III dengan nama Desa
Kanekes dan dipimpin oleh kepala desa. Sebutan populernya adalah Jaro
Pamarentahan dan saat ini dijabat oleh Bapak Saijah. Dan tugas utama
untuk kepala desa adalah sebagai penyambung komunikasi antara lembaga
adat dan pemerintah pada khususnya dan juga pada masyarakat diluar
Baduy pada umumnya.
10
Ibid., h. 95
59
60
B. PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT BADUY
Suku Baduy merupakan salah satu contoh nyata suku bangsa yang masih
tetap menjaga amanat leluhur. Aturan adat merupakan pedoman kehidupan
bagi tiap-tiap individu dalam menjalankan kehidupan yang mereka jalani.
Masyarakat Baduy yang telah hidup berabad-abad tetap berupaya menjaga dan
melestarikan amanat leluhur (Pikukuh Karuhunan) dari generasi ke generasi
sebagai bentuk simbol peradaban kebudayaan kesukuan mereka termasuk juga
dalam bidang pendidikan. Masyarakat Baduy sampai saat ini masih tetap
menolak adanya pendidikan formal di dalam tanah ulayat dan melarang
masyarakatnya untuk mengikuti pendidikan secara formal. Akan tetapi,
dengan terus berkembangnya zaman dan semakin besarnya beban masyarakat
Baduy dalam memenuhi kehidupan, maka secara tidak langsung membawa
dampak terhadap pola kehidupan yang mereka jalani. Apakah pandangan
tokoh adat dan masyarakat Baduy terhadap pendidikan masih tetap sejalan
dengan yang diamanatkan? dan bagaimana dengan model/bentuk pendidikan
yang berlangsung masih relevan dengan kondisi dan perubahan zaman yang
terus berkembang. Berdasarkan hal tersebut, berikut ini akan dipaparkan
mengenai “Pendidikan dalam Pandangan Masyarakat Baduy Dalam” yang
merupakan hasil dari pengamatan lapangan dan wawancara kepada tokoh-
tokoh adat dan masyarakat Baduy Dalam.
1. Pandangan Masyarakat Baduy Dalam terhadap Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya adalah segala upaya yang dilakukan
manusia dalam mempertahankan kehidupannya. Pada era modern saat ini
banyak masyarakat yang sering kali mengartikan pendidikan adalah
sekolah. Jadi jika anak tidak bersekolah maka dikatakan anak tersebut
tidak berpendidikan. Padahal kita ketahui bersama bahwa sekolah
hanyalah salah satu lembaga pendidikan. Lalu bagimana dengan
masyarakat Baduy yang secara terang-terangan menolak berdirinya
sekolah di dalam tanah ulayat mereka dan melarang anak-anak mereka
untuk bersekolah secara formal? Berikut ini adalah hasil wawancara
dilakukan oleh peneliti mengenai makna pendidikan dari sudut pandang
61
tokoh adat Suku Baduy kepada Jaro Sami selaku Jaro Tangtu Cibeo :
“Pendidikan yang ada dalam masyarakat Suku Baduy adalah pendidikan
yang mewariskan pengetahuan-pengetahuan adat”.12
Dapat dipahami dari
pendapat tersebut bahwa di dalam masyarakat Baduy, pendidikan yang
terpenting dan paling utama bagi mereka adalah pendidikan mengenai
pengetahuan-pengetahuan adat. Pengetahuan adat/tradisional merupakan
bentuk pengetahuan yang tidak bisa didapatkan di dalam pendidikan
formal. Sistem pendidikan yang dijalakan oleh masyarakat Baduy
merupakan sistem pendidikan yang disesuaikan dengan amanat-amanat
adat yang menjadi landasan utama dari sistem pendidikan di dalam
masyarakat Baduy. Kemudian pendapat tersebut diperjelas lagi oleh Ayah
Mursid sebagai Wakil Jaro Tangtu Cibeo menjelaskan :
“Kalau berbicara sekolah dalam masyarakat Baduy merupakan hal
yang tidak umum tapi dalam bahasa adatnya adalah Ngolah. Pada
prinsipnya menurut saya antara sekolah dan ngolah hanya beda
sebutan saja, hanya berbeda keseimbangan dan ukurannya saja yang
berbeda, ngolah itu tetap kita belajar sesuai aturan yang berlaku,
aturan yang sesuai tatanan tersebut, yaitu baik belajar bekal hidupnya,
aspek pertanian, nilai-nilai kebudayaan, aturan tatanan yang berlaku
dalam tatanan hukum adat, itu semua mana bisa tanpa ada cara-cara
aturan penyampaian serta mendidik atau belajar ngola menurut kami.
Untuk budaya baca-tulis itu pun menurut saya memang perlu tetapi
sebagai pelengkap menurut adat, kenapa diperlukan yaitu untuk
berhubungan keluar, lalu menyeimbangkan kondisi situasi alam
seperti saat ini tetapi dengan ukuran-ukuran atau keseimbangan yang
ada ditatanan hukum adat.”13
Dari penjelasan yang disampaikan tersebut dapat dimaknai bahwa
masyarakat Baduy memiliki sistem pendidikan yang mereka sebut dengan
istilah Ngolah. Dalam masyarakat Baduy, sekolah dan ngolah memiliki
pengertian yang sama, yang membedakannya hanya pada proses dan
tujuan pendidikannya saja. Di dalam ngolah yang menjadi fokus
pembelajaran ialah aspek pertanian, nilai-nilai kebudayaan, aturan tatanan
12
Hasil wawancaradengan Jaro Sami, Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Minggu, 11 Oktober 2015, pukul 09.00 WIB. 13
Hasil wawancara dengan Ayah Mursid, Wakil Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy
Dalam, pada Rabu, 16 September 2015, pukul 19.47 WIB.
62
yang berlaku dalam tatanan hukum adat yang bertujuan sebagai bekal
hidup masyarakat Baduy. Jadi dalam pandangan masyarakat Baduy tujuan
dari pendidikan/Ngolah selama ini adalah untuk mempertahankan amanat
leluhurnya. Pendidikan yang memprioritaskan tatanan hukum adat yang
berlaku di dalam masyarakat Baduy dan pendidikan yang tujuannya adalah
untuk mewariskan nilai-nilai kebudayaan leluhurnya. Sedangkan
pendidikan formal, yang dipelajari adalah pengetahuan-pengetahuan
umum yang nantinya akan mengubah pola pikir masyarakat Baduy ke arah
modern. Masyarakat Baduy memiliki tugas hidup yang spesifik, yaitu
dengan menjalankan kehidupan yang sudah diatur dalam hukum adat. Jika
masyarakat dibebaskan untuk mengikuti pendidikan formal maka
dikhawatirkan akan membuat masyarakat Baduy jadi mengubah pola
kehidupannya, seperti mencari kepuasan dan kemajuan zaman yang tidak
ada habisnya serta lambat laun akan merusak tatanan hukum adat.
Dari hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan beberapa
masyarakat Baduy Dalam di Cibeo, mereka mengutarakan bahwa sampai
saat ini khususnya masyarakat Cibeo tidak ada yang mengikuti pendidikan
secara formal, mereka masih mengunakan cara-cara adat dalam mendidik
anak-anak mereka. Berikut ini pernyataan Ayah Aldi sebagai warga
kampung Cibeo: “Bahwa untuk masyarakat adat tidak diizinkan untuk ikut
pendidikan formal yang diperbolehkan hanya pendidikan keluarga dan
adat. Jaro Sami sebagai wakil Puun bertugas dalam mengurus pendidikan
adat”.14
Dapat dijelaskan memang untuk pendidikan sendiri mereka masih
terbatas pada lingkungan keluarga dan adat. Pada prinsipnya masyarakat
Baduy Dalam merupakan gambaran asli kehidupan Baduy zaman dahulu.
Mereka hidup dengan rangkaian aturan yang melekat pada kehidupannya.
Banyak di antara mereka yang tetap kuat dan bertahan dan hanya ada
sedikit yang tidak dapat hidup dengan rangkaian tersebut dan akhirnya
memilih hidup di luar perkampungan Baduy Dalam. Berikut ini beberapa
14
Hasil wawancara dengan Ayah Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Jum’at, 08 Oktober 2015, pukul 18.00 WIB.
63
pendapat masyarakat Baduy Dalam terhadap pendidikan dari hasil
wawancara yang dilaksanakan di Kampung Cibeo:
“Pendidikan menurut saya adalah yang terpenting memiliki
keterampilan agar dapat memenuhi kebutuhan untuk makan sama
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.”15
“Pendidikan disini diraih melalui orang tua yang dipelajari adalah
mantra-mantra dengan cara turun-temurun untuk keselamatan sendiri
dasarnya adalah pendidikan adat.”16
“Pendidikan menurut saya adalah pertanian jadi yang dipelajari
adalah bagaimana cara tanam padi, nebang, bakar-bakar, dll.”17
“Pendidikan menurut saya adalah bertani dan belajar bikin-bikin
kerajinan.”18
“Pendidikan paling penting menanam padi, nebang, bakar, dibersihin
buat nanam padi, pisang, jagung, kacang, durian, dll.”19
Dari lima pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan
mereka terhadap pendidikan masih sederhana dan masih tetap menjaga
amanat leluhur mereka, seperti sekolah pertanian yang didapatkan secara
turun-temurun. Pada hakikatnya pendidikan merupakan segala upaya
manusia untuk mempertahankan peradabannya dengan cara menanamkan
nilai, norma, kebudayaan yang diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Masyarakat Baduy Dalam dengan pandangan pendidikan tersebut
menyakini bahwa pendidikan adat dengan model/bentuk yang berbeda
pada pendidikan pada umumnya merupakan jalan terbaik untuk
peradabannya.
15
Hasil wawancara dengan Ayah Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.00 WIB. 16
Hasil wawancara dengan Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 20.00 WIB. 17
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB. 18
Hasil wawancara dengan Ayah Sangsang, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.00 WIB. 19
Hasil wawancara dengan Ayah Jamah, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.30 WIB.
64
Kemudian bagaimana tanggapan mereka terhadap pendidikan formal
(sekolah) apakah benar-benar ditabukan? Berikut ini pernyataan
masyarakat Baduy Dalam terhadap pendidikan formal:
“Sekolah formal benar-benar tidak boleh dari aturan adat, saya tidak
tahu alasannya tetapi aturan tersebut sudah ada dari dahulu, dari
zaman kakek saya sampai bapak saya.”20
“Pendidikan formal dilarang, alasannya saya kurang tau, jika kata
orang tua tidak boleh berarti tidak boleh harus ikut aturan yang sudah
ada.”21
“Sekolah formal termasuk langgar adat yang ada adalah sekolah
pertanian yaitu ngoret, ngasek, nebang, dll. Alasannya tidak boleh
hidup puas-puas dan sudah menjadi suatu ketetapan adat harus
dijalankan.”22
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, disimpulkan bahwa
pendidikan formal (sekolah) merupakan hal yang masih ditabukan
khususnya untuk masyarakat Baduy Dalam yang masih tetap taat pada
aturan adat. Seperti dalam pepatah masyarakat Baduy “Lojor teu beunang
dipotong, Pondok teu benang disambung, Gede teu benang dicokot, Leutik
teu beunang ditambah” artinya yang sudah ada dan menjadi amanat
leluhur di dalam kehidupan masyarakat Baduy harus dipatuhi dengan
prinsip hidup apa adanya sesuai dengan aturan yang berlaku sejak
peradaban kesukuan mereka lahir. Adapun perubahan-perubahan pola
pikir di tiap generasi pasti ada seperti saat ini tidak sedikit generasi muda
Baduy Dalam mahir dalam hal membaca dan menulis, bahkan diantara
mereka ada yang memiliki telepon genggam walaupun digunakan secara
sembunyi-sembunyi karena akan dikenakan sanksi.
20
Hasil wawancara dengan Ayah Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.00 WIB. 21
Hasil wawancara dengan Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 20.00 WIB. 22
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB.
65
2. Model atau Bentuk Pendidikan Masyarakat Baduy Dalam
Masyarakat Baduy sudah mengenal sistem pendidikan yang mereka
terapkan sejak peradaban kesukuan mereka lahir dengan model atau
bentuk yang khusus, berbeda dengan model atau bentuk pendidikan yang
ditawarkan oleh pemerintah. Lalu bagaimanakah model atau bentuk
pendidikan yang mereka jalankan selama ini? Berikut ini adalah beberapa
hasil wawancara dari masyarakat Baduy Dalam khususnya di kampung
Cibeo adalah sebagai berikut:
“Bentuk pendidikannya diperoleh secara turun-temurun dari nenek
moyang. Seperti kolenjer dan aksara 20 harusnya pada bisa tetapi
kenyataannya tidak semua bisa karena malas belajarnya.”23
“Bentuknya dengan cara turun-temurun dengan cara lisan dari orang
tua ke anak.”24
“Model/bentuk pendidikannya dengan belajar mantra-mantra,
membuat alat-alat perabotan rumah tangga, kerajinan, ngambil kayu
dan belajarnya dengan orang tua.”25
“Bentuk belajarnya dari orang tua yaitu belajar mantra-mantra, aksara
20, dan dengan cara lisan.”26
Dapat disimpulkan bahwa model/bentuk pendidikan yang diterapkan
di dalam kehidupan masyarakat Baduy yaitu dengan cara turun-temurun
dengan metode lisan dan ilmu pengetahuan yang biasa mereka dapatkan
berupa mantra-mantra yang biasa digunakan untuk menanam padi atau
dalam upacara-upacara adat, keterampilan pembuatan kerajinan, dan lain
sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan Aksara 20 dan Kolenjer
peneliti sendiri belum bisa jelaskan secara rinci dan mereka juga akui
23
Hasil wawancara dengan Ayah Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.00 WIB. 24
Hasil wawancara dengan Ayah Sangsang, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.00 WIB. 25
Hasil wawancara dengan Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 20.00 WIB. 26
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB.
66
untuk pengetahuan tersebut tidak semua masyarakat Baduy mengerti dan
dapat menjelaskannya. Seperti yang dikatakan oleh Jaro Sami : “Aksara 20
harus bisa jika tidak dipelajari dan tidak tanya sama orang tua mana
mungkin bisa”27
. Jika dianalogikan di dalam sekolah/kelas terdapat anak
yang bisa mengikuti seluruh mata pelajaran yang diberikan oleh gurunya
dengan nilai yang baik dan ada pula anak yang tidak dapat nilai baik di
semua mata pelajaran dan itu juga terjadi didalam masyarakat Baduy
terutama di generasi muda tergantung pada tingkat motivasi belajar
individunya.
Adapun di dalam proses pembelajaran masyarakat Baduy lebih banyak
memperoleh ilmu dari keluarga, adat, dan teman sebaya. Berikut ini akan
dipaparkan peran lingkungan keluarga, adat, dan teman sebaya terhadap
pendidikan di dalam masyarakat Baduy.
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan pilar utama pendidikan, karena keluarga
adalah tempat dimana seorang anak dilahirkan dan dibesarkan dan
anak merupakan harta paling berharga yang dimiliki oleh orang tua
sebagai pewaris dan penerus kehidupan. Adapun di dalam masyarakat
Baduy peran keluarga dalam pendidikan merupakan hal yang paling
vital dikarenakan di dalam aturan adat mereka menyebutkan bahwa
pendidikan formal adalah sesuatu yang ditabukan. Jadi di dalam
sebuah keluarga anak tersebut dipersiapkan bekal hidupnya untuk
dapat menjalani kehidupan bermasyarakat terutama pemahamannya
terhadap adat istiadat yang berlaku. Seperti yang disampaikan oleh
Jaro Sami bahwa : “Pada saat anak berusia kurang dari sepuluh tahun
pendidikan adat dititipkan kepada orang tua, anak mulai belajar
melalui praktik seperti belajar pertanian, hitungan tanggal, dll.”28
Pendapat tersebut sangat jelas bahwa pada saat anak masih berusia di
27
Hasil wawancaradengan Jaro Sami, Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Minggu, 11 Oktober 2015, pukul 09.00 WIB. 28
Hasil wawancaradengan Jaro Sami, Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Minggu, 11 Oktober 2015, pukul 09.00 WIB.
67
bawah sepuluh tahun maka orang tua yang memiliki kewajiban dalam
memberikan pendidikan adat.
Kemudian berikut ini adalah penuturan dari Ayah Mursid
mengenai tugas dan fungsi keluarga dalam pendidikan di masyarakat
Baduy, sebagai berikut:
“Orang tua memiliki tanggung jawab untuk membina, mendidik,
memberikan aturan-aturan, pemahaman, serta bekal hidupnya baik
dirinya sendiri, keluarga maupun lingkungan masyarakat adat.
Yaitu kasih tau kolenjer, mengasih tau tentang cara menghitung,
mengasih tau tentang tataran hukum adat, pasti nantinya tetap
berada di lingkungan adat, akan menghadapi masalah-masalah
adat, komunikasi, aturan-aturan keluar dari adat, yang pastinya
akan berhadapan dan mudah-mudahan kalau kita sudah berikan
aturan-aturan ini pikiran, kesadaran, serta hati anak tersebut karena
udah dikasih gambaran yang akan menjadi bekal hidupnya dan
menjadi tugas yang besar bagi diri sendiri, keluarga serta
lingkungan. Baik antara Baduy Dalam dan Baduy Luar atau
dengan masyarakat umum pastinya banyak tantangan. Jika ada
tantangan dari luar mereka bisa mengendalikan sehingga dapat
mengarahkan kearah yang positif atau ke arah yang tidak
membahayakan.”29
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
tugas dan fungsi keluarga adalah untuk memberikan pemahaman
mengenai aturan-aturan adat sebagai dari bekal hidupnya. Selain itu,
di dalam pendidikan keluarga selain anak dibimbing, dibina, dan
diarahkan untuk pengetahuan adat, dalam keluarga anak didorong
untuk memiliki keterampilan dalam menjalani hidupnya.
Berikut ini hasil wawancara dengan Ayah Aldi seorang warga
Cibeo mengatakan bahwa “Proses pembelajarannya bertanya sama
orang tua, seperti mantra-mantra, jampe-jampe, buat kerajinan dan
29
Hasil wawancara dengan Ayah Mursid, Wakil Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy
Dalam, pada hari Rabu, 14 Oktober 2015, pukul 13.00 WIB.
68
69
yang sudah beranjak dewasa sudah harus memiliki huma sendiri dan
memulai hidup dengan mandiri, karena untuk dapat bisa menikah
syarat utama yang harus dimiliki untuk laki-laki adalah memiliki
huma dan biasanya untuk di wilayah Baduy Dalam mereka sudah
dijodohkan oleh ketua adat ataupun orang tua mereka.
Berikut ini hasil wawancara dengan masyarakat Baduy Dalam
mengenai peranan keluarga dalam mendidik anak untuk sebagai
bekali kehidupannya.
“Peran keluarga sangat penting, seperti belajar cara menanam padi,
aturan-aturan adat, dan mantra-mantra juga didapat dari orang
tua.”32
“Belajarnya praktik langsung di ladang, ikut-ikut orang tua.”33
“Dalam keluarga diajarkan cara bertani dan belajar mantra-
mantra.”34
“Peran keluarga sangat penting, mendidik anak dibawah sepuluh
tahun pada keluarga dan diatas sepuluh tahun Jaro yang didik,
biasanya ikut orang tua diajarkan cara-caranya sedangkan anak
perempuan ikut ibunya dan laki-laki ikut dengan bapaknya.”35
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa peran keluarga dalam hal
ini adalah orang tua menjadi hal yang sangat penting karena di dalam
keluarga anak dipersiapkan untuk dapat menjalankan kehidupannya
dengan memberikan bekal hidup berupa pengetahuan tentang
pertanian, pembuatan keterampilan agar nantinya dapat hidup
mandiri. Di dalam masyarakat Baduy bahwa komunikasi antar anak
dan orang tua sangat baik dikarenakan anak dan orang tua banyak
32
Hasil wawancara dengan Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 20.00 WIB. 33
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB. 34
Hasil wawancara dengan Ayah Sangsang, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.00 WIB. 35
Hasil wawancara dengan Ayah Jamah, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.30 WIB.
70
menghabiskan waktu bersama dan orang tua dapat membentuk sikap
dan tingkah laku anak sesuai dengan aturan adat yang diamanatkan
berbeda dengan anak-anak yang berada di daerah perkotaan yang
lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah dan bermain smart
phone disebabkan orang tua sibuk dengan pekerjaannya sehigga tidak
punya banyak waktu untuk keluarga.
b. Lingkungan Adat (Tokoh Adat)
Selain keluarga yang memiliki tugas untuk mendidik anak.
Lembaga adat juga memiliki peranan yang penting pula dalam
memberikan tambahan pengetahuan terhadap anak mengenai amanat
leluhur yang biasanya diberikan oleh para tokoh-tokoh adat dalam
sebuah pertemuan adat ataupun secara individu. Berikut penjelasan
yang diberikan oleh Jaro Sami yang merupakan wakil dari Puun Cibeo
bahwa:
“Pada usia anak lebih dari sepuluh tahun anak akan didik oleh
lembaga adat dimana nantinya akan dikumpulkan semuanya di
halaman (Balai Adat), untuk waktunya biasanya tidak tentu bisa
dikumpulkan dalam satu bulan atau dua bulan sekali tergantung
keperluan. Biasanya dala perkumpulan tersebut yang dibicarakan
adalah mengenai amanah-amanah adat, seperti aturan pakaian,
tidak boleh berkendaraan, wajib punya huma untuk ingin menikah,
dll. Dalam sekali kumpul biasanya kurang lebih 200 orang dan
pemberitahuannya satu minggu sebelumnya.”36
Dapat dipahami bahwa peran dari lembaga adat dalam pendidikan
anak di dalam masyarakat Baduy khususnya Baduy Dalam memiliki
posisi penting dikarenakan untuk dapat bisa memahami amanah-
amanah leluhur diperlukan sebuah ilmu dan perlu diwariskan
sedangkan orang tua memiliki kelemahan-kelemahan atas segala
sumber ilmu tersebut. Jadi, lembaga adat bertugas untuk melengkapi
kekurangan yang dimiliki oleh orang tua sama halnya dengan
36
Hasil wawancaradengan Jaro Sami, Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Minggu, 11 Oktober 2015, pukul 09.00 WIB.
71
masyarakat pada umumnya yang membutuhkan lembaga pendidikan
sekolah untuk menutupi kekurangan yang dimiliki orang tua baik
yang sifatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian dipertegas
kembali oleh ayah Mursid mengenai tugas dan fungsi lembaga adat di
dalam masyarakat Baduy Dalam, yaitu sebagai berikut:
“Salah satunya untuk mengingatkan kembali adat, aturan-aturan
adat dengan banyaknya pengunjung, dengan kemajuan-kemajuan
yang ada lembaga adat atau Jaro Tangtu (Jaro Sami) atau tokoh
mengajak pada warganya supaya tetap berpegang teguh pada
aturan adat, hormatilah aturan-aturan ini dengan nilai-nilai karena
ini seolah-olah sebagai kewajiban kita bersama”.37
Dari pemamparan yang diberikan di atas, bahwa sudah menjadi
sebuah tanggung jawab bersama (tokoh-tokoh adat) dalam
membimbing anak-anak untuk terus mematuhi dan memahami aturan-
aturan adat. Dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang dan
ditambah kemajuan zaman yang tak terbendungkan maka secara
langsung berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat Baduy.
Untuk itu, sudah menjadi kewajiban bagi lembaga adat untuk dapat
menjaga kelangsungan kehidupan adat dengan cara-cara tertentu.
Berikut ini adalah hasil wawancara mengenai peran lembaga adat
(tokoh adat) dalam pendidikan.
“Tokoh adat memberikan amanat-amanat yang tidak boleh
dilanggar seperti mengadakan razia HP, razia pakaian yang
menggunakan mesin, dll.”38
“Biasanya Jaro mengumpulkan anak muda rutin tiap 2/3 bulan
sekali untuk memberikan larang-larangan disini dengan cara
diceritakan.”39
37
Hasil wawancaradengan Ayah Mursid, Wakil Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy
Dalam, pada hari Rabu, 14 Oktober 2015, pukul 13.00 WIB. 38
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB. 39
Hasil wawancara dengan Ayah Sangsang, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.00 WIB.
72
“Biasanya memberikan pendidikan tentang larangan-larangan adat,
jika ada yang melanggar akan ditegur sampai dua/tiga kali jika
tetap melanggar akan di keluarkan menjadi Baduy Luar.”40
Dapat disimpulkan bahwa lembaga adat (tokoh adat) memiliki
peranan sangat penting yaitu sebagai pembina, pengawas, dan
pengambil keputusan terhadap segala tidakan yang terdapat di dalam
kehidupan masyarakat Baduy. Tujuan dari lembaga adat yaitu agar
masyarakat Baduy menjalankan kehidupannya tidak terlalu bebas dan
dapat menjaga keberlangsungan amanat leluhur sehingga tidak
ditinggalkan oleh generasi muda dengan tantangan yang semakin
berat dan tidak dapat dihindarkan.
Gambar 4.3
Ayah Mursid Tokoh Adat Baduy Dalam
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Kemudian hal yang membedakan antara perkampungan Baduy
Dalam dan Baduy Luar adalah terdapatnya Balai Adat yang terdapat
di setiap kampung Baduy Dalam. Balai Adat berfungsi sebagai tempat
pemberian nasihat-nasihat adat dari para tokoh adat ataupun tempat
mereka melaksanakan ritual-ritual tertentu dan tempat penyampai
mengenai pendidikan adat. Selain itu Balai Adat terdapat juga alat-
alat kesenian seperti angklung, bedug, kerinding, dll yang biasanya
mereka mainkan dalam acara-acara adat. Dalam permainan tersebut
40
Hasil wawancara dengan Ayah Jamah, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.30 WIB.
73
nantinya akan dibawakan semacam pantun atau dongeng yang diiringi
dengan alat musik tersebut.
c. Teman Sebaya
Di dalam masyarakat Baduy belajar melalui teman sebaya
merupakan suatu hal yang biasa mereka lakukan. Adapun metode ini
mereka sebut dengan istilah Papagahan (saling mengajari). Melalui
teman sebaya juga mereka biasanya bertukar ilmu pengetahuan seperti
belajar pembuatan keterampilan dan baca tulis. Pada saat ini
khususnya generasi muda Baduy Dalam, keingintahuan mereka atas
perkembangan zaman sangat tinggi, dimana penulis perhatikan di
waktu-waktu senggang biasanya mereka banyak berkumpul di warung-
warung yang terletak di terminal Ciboleger untuk menonton televisi
dan jika sedang mengantar tamu dari luar biasanya mereka aktif
bertanya mengenai apa saja perkembangan yang ada di kota. Selain itu,
di waktu kosong seperti saat selesai memotong padi biasanya mereka
pergi ke Jakarta untuk berkunjung ke rumah kenalannya dengan
membawa kerajinan khas Baduy yang biasanya mereka tawarkan
sebagai penambah penghasilan. Biasanya mereka berjalan dengan
kelompok-kelompok kecil paling sedikit tiga orang dan hebatnya lagi
mereka tetap taat pada aturan adat meskipun sedang berada jauh dari
lingkungan adat seperti tidak menggunakan alas kaki, tidak
berkendaraan, pakaian hanya dengan warna hitam-putih.
Perubahan yang paling terlihat dalam generasi muda Baduy saat ini
adalah keingintahuan mereka mengenai teknologi, seperti pengakuan
mereka untuk saat ini mereka memiliki telepon genggam dengan
alasan jika ada kenalan mereka yang ada di kota akan berkunjung ke
Baduy akan sulit untuk menghubungi dan membuat janji untuk
bertemu. Oleh sebab itu anak muda Baduy Dalam saat ini banyak yang
terampil menggunakan telpon genggam meski dalam hal
penggunaannya masih sembunyi-sembunyi karena termasuk larangan
74
75
76
jawab orang tua sedangkan anak usia >10 Tahun menjadi tanggung
jawab Jaro (lembaga Adat)
Metode : metode pembelajaran yang digunakan dengan cara lisan
dan praktik langsung bukan berupa tulisan.
Media : Apa saja yang disediakan alam menjadi media pembelajaran.
Waktu : Tidak ada waktu khusus dalam proses pembelajaran karena
dapat dilakukan kapan saja berbeda dengan pendidikan formal
(sekolah), sedangkan untuk kegiatan memberikan amanah adat oleh
Jaro biasanya dilakukan dalam satu atau dua bulan sekali dan
waktunya tidak tentu disesuaikan dengan kebutuhan.
Lingkungan : Lingkungan pendidikan Masyarakat Baduy terbatas
pada lingkungan keluarga, lingkungan adat dan teman sebaya.
3. Peran Pemerintah/Swasta terhadap Pendidikan Masyarakat Baduy
Dalam
Suku Baduy merupakan masyarakat hukum adat yang memiliki
serangkaian aturan dalam menjalankan tataran kehidupannya, termasuk
dalam pandangan mereka terhadap pendidikan. Akan tetapi membiarkan
masyarakat Baduy mengalami kesulitan dalam menjalankan kehidupan
adalah merupakan hal yang keliru karena masyarakat Baduy merupakan
salah satu aset yang dimiliki bangsa ini dan sudah seharusnya banyak
pihak untuk mendukung masyarakat Baduy agar tetap dapat
mempertahankan keberlangsungan kehidupannya di tengah-tengah
tantangan zaman yang semakin berat.
Dalam perihal pendidikan, masyarakat Baduy memiliki pandangannya
tersendiri yang mereka sudah jalankan sejak pertama kali kesukuan
mereka lahir. Oleh sebab itu alangkah bijak jika bantuan dalam bentuk
program-program didiskusikan terlebih dahulu dengan tokoh adat
sehingga niatan baik tersebut nantinya dapat bermanfaat dan memperkuat
tatanan kehidupan masyarakat adat dalam menjawab perubahan zaman
yang tidak mungkin mereka hindari.
77
Berikut ini merupakan hasil wawancara dengan masyarakat Baduy
Dalam mengenai peran pemerintah/swasta terhadap pendidikan yang
pernah masuk ke wilayah mereka:
“Sudah perah ada yang memberikan bantuan berupa buku, alat tulis
tetapi untuk belajar masing-masing untuk secara formal tetap tidak
boleh.”42
“Pernah ada bantuan berupa alat tulis tetapi untuk guru khusus masuk
belum bisa masih dilarang adat.”43
“Pernah ada memberikan penyuluhun untuk kesenian asli Baduy
seperti alat musik kerinding harus pada bisa dan kembali diajarkan tapi
untuk pengajarnya orang Baduy juga. Memberikan buku dan alat tulis
tapi tidak memfasilitasi guru karena tidak boleh.”44
“Pernah ada tapi tidak diterima karena dilarang sama adat dan bantuan
lebih banyak beras, mie instan, dan obat-obatan.”45
“Jika dari pemerintah ada saja bantuan dan biasanya berupa sembako
sedangkan untuk pendidikan masih tidak diperbolehkan.”46
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan sampai saat ini
khususnya di Baduy Dalam bentuk bantuan yang pernah dirasakan oleh
masyarakat adalah berupa bantuan buku dan alat tulis sedangkan bentuk
bantuan berupa pengiriman guru untuk mengajar masih mendapat larangan
dari adat. Adapun bentuk bantuan yang banyak mereka terima biasanya
berupa barang-barang kebutuhan hidup seperti sembako dan obat-obatan.
Selanjutnya perlu studi yang mendalam mengenai konsep pendidikan yang
tepat untuk masyarakat Baduy yang lebih disesuaikan dengan keadaan dan
kondisi kehidupan di dalam masyarakat Baduy sehingga nantinya konsep
42
Hasil wawancara dengan Ayah Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.00 WIB. 43
Hasil wawancara dengan Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 20.00 WIB. 44
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB. 45
Hasil wawancara dengan Ayah Sangsang, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.00 WIB. 46
Hasil wawancara dengan Ayah Jamah, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.30 WIB.
78
pendidikan dapat dijalankan dan dampaknya dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat Baduy.
Berikut ini adalah sebuah contoh pendekatan pendidikan yang berhasil
terjadi pada Suku Anak Dalam atau Orang Rimba yang saat ini sudah
mulai terbuka oleh pendidikan. Digagas oleh Butet Manurung, aktivis
pendidikan suku pedalaman yang juga pendiri Sokola Rimba. Dia
menyatakan bahwa pendidikan untuk suku-suku pedalaman yang
menghasilkan kemampuan baca tulis, bisa menolong masyarakat saat
berinteraksi di pasar atau membuat perjanjian-perjanjian dengan
masyarakat desa atau masyarakat kota yang lebih maju. “Saya memulai
pendidikan bagi Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Jambi secara
resmi pada 2003. Hal yang dapat saya simpulkan adalah masyarakat yang
hidup di hutan, yang tidak punya KTP, yang hidup dengan adat istiadatnya
sendiri, memerlukan pendidikan, meski bukan pendidikan formal,”
katanya.47
Materi pendidikan bagi warga pedalaman, kata Butet, juga harus
menyesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Masyarakat di pedalaman
hutan berbeda kebutuhannya dengan masyarakat yang tinggal di dekat
pantai. “Oleh karena itu kurikulumnya juga berbeda-beda, disesuaikan
dengan konteks dan kondisi masyarakat,” lanjutnya. Berdasarkan
pengalaman Butet, berbagai metode pengajaran juga bisa muncul sendiri
atau ditemukan saat melakukan proses pendidikan dengan
masyarakat. Saat ini berbagai metode pengajaran yang digunakan Sokola
Rimba kadang-kadang sudah bisa membuat masyarakat mempunyai
kemampuan baca tulis dalam waktu dua minggu.48
Dapat disimpulkan bahwa yang terpenting dalam menjalankan sebuah
proses pendidikan pada masyarakat adat yaitu kesabaran dalam proses
pendekatannya. Kemudian yang terpenting adalah materi pembelajaran
yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Metode
47
Medco Foundation, Masyarakat Pedalaman Butuh Pendidikan, 2015
(www.medcofoundation.org) diakses pada tanggal 09 Mei 2017. 48
Ibid.,
79
yang dilakukan juga harus memperhatikan kondisi dan lokasinya, seperti
untuk Tanah Ulayat Baduy yang melarang didirikannya bangunan
permanen.
4. Dampak Kemajuan Zaman terhadap Kehidupan Masyarakat Baduy
Dalam
Perubahan merupakan sesuatu yang pasti dan tidak dapat dihindari di
dalam sebuah kehidupan. Setiap perubahan akan melahirkan sebuah
tantangan dan harapan baru didalam sebuah kehidupan. Termasuk di
dalam masyarakat Baduy yang terkenal dengan mengasingkan diri
terhadap kehidupan luar (modern) yang sedikit demi sedikit mulai
berubah. Meskipun larangan-larangan adat masih tetap dipatuhi akan
tetapi tidaklah cukup untuk menolak atas perubahan di dalam kehidupan
mereka. Berikut ini merupakan hasil wawancara dengan Ayah Mursid
mengenai perubahan sosial:
“Jika berbicara perubahan, menurut saya perubahan pasti ada jika
bicara global kemajuan perubahan dengan adanya Baduy Luar dengan
adanya Baduy Dalam, Baduy Dalam terutama Cibeo misalkan
perubahan ini bukan terhadap strukturalnya tetapi pada sosialnya
dalam arti pada komunikasinya dahulu seolah-olah yang bisa bahasa
Indonesia hanya beberapa orang kemudian seiringnya pengunjung,
seringnya pendatang anak-anak muda hampir seluruhnya mengerti,
dahulu Baduy ini sulit dikunjungi, jalan Ciboleger ini masih seolah-
olah susah, yang bisa dilalui mobil hanya Leuwidamar dan Cisimet
sedangkan untuk sampai disini masih hutan belantara. Fakta nya
sekarang sudah mudah, dengan upaya adat bertugas menjalankan nilai-
nilai amanah hukum adat dan melihat beberapa desa yang sekitar kami,
mengucapkan terima kasih “Alhamdulillah” masih kuat dan atas
dorongan dengan pemamaparan bekal hidup yang sebagaimana
lembaga adat jelaskan dengan salah satunya dengan menjaga warisan
amanah hukum adat.”49
49
Hasil wawancara dengan Ayah Mursid, Wakil Jaro Tangtu Kampung Cibeo Baduy
Dalam, pada hari Rabu, 14 Oktober 2015, pukul 13.00 WIB.
80
Dapat dijelaskan menurut Ayah Mursid bahwa perubahan itu pasti ada
tetapi untuk saat ini khususnya di Baduy Dalam bentuk perubahannya
hanya terbatas pada kehidupan sosial masyarakatnya bukan strukturalnya,
terutama dalam hal komunikasi yang lebih dipengaruhi oleh banyaknya
pengunjung yang datang sehingga untuk saat ini hampir seluruh anak
muda Baduy Dalam dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Sedangkan faktor pendukung perubahan masyarakat Baduy adalah dengan
dibukanya akses jalan menuju Ciboleger yang dapat dilalui mobil,
sehingga akses menuju Baduy semakin mudah dan kemudian
diresmikannya Baduy menjadi salah satu objek wisata oleh pemerintah
kabupaten Lebak yang membuat Baduy dikenal oleh banyak orang
sehingga jumlah pengunjung terus meningkat dan untuk saat ini tidak bisa
dipungkiri ketergantungan masyarakat Baduy terhadap wisatawan
sangatlah besar.
Kemudian bagaimana masyarakat Baduy Dalam menjawab perubahan
sosial tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya dan apa saja
tantangan dan harapan masyarkat Baduy untuk keberlangsungan
kehidupan mereka. Berikut merupakan hasil wawancara mengenai
tantangan yang dihadapi masyarakat Baduy khususnya masyarakat
kampung Cibeo:
“Keinginan pribadi banyak akan tetapi berbenturan terhadap aturan
adat dan untuk memenuhi kebutuhan semakin tingi, harga naik terus
sedangkan hasil bumi seperti pisang harganya tidak stabil.”50
“Keinginan banyak seperti punya alat elektronik akan tetapi dilarang
oleh adat.”51
“Jika ingin hidup disini memang berat dan harus kuat mengikuti aturan
adat yang ada disini, kecuali punya uang banyak bisa keluar.”52
50
Hasil wawancara dengan Ayah Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.00 WIB. 51
Hasil wawancara dengan Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 20.00 WIB. 52
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB.
81
“Jika sedang gagal panen dan tidak dapat buat kerajinan susah juga,
berat tinggal di Baduy Dalam harus patuh jika sudah tidak kuat pindah
saja.”53
“Tantangannya adalah lahan di Baduy terbatas sedangkan penduduk
semakin bertambah dan harapannya bisa dapat lahan di luar.”54
Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa beberapa
tantangan yang mereka alami sebagai masyarakat Baduy Dalam adalah
memenuhi kebutuhan hidup semakin tinggi sedangkan hasil pertanian
tidak mencukupi untuk hidup sehari-hari, keinginan mempunyai alat
elektronik akan tetapi harus patuh terhadap aturan adat yang berlaku,
jumlah penduduk yang semakin besar sedangkan lahan semakin terbatas,
dan untuk hidup sesuai dengan aturan adat yang mengikat. Berikut ini
merupakan harapan mereka untuk kehidupan yang berlangsung:
“Harapannya bisa punya uang banyak dari hasil bumi/tani dengan
harga yang stabil. Kebutuhan semakin meningkat, kadang hasil bumi
yang dibawa tidak diterima atau laku dipasarkan.”55
“Sebenarnya lebih enak tinggal disini (Baduy Dalam), karena jika
hidup diluar rumah saja beli, huma juga beli.”56
“Untuk masyarakat Baduy Dalam harus patuh sama aturan adat jika di
ubah semua nanti jadi Baduy Luar.”57
“Harus tetap mengikuti adat disini jangan sampai berubah karena
perubahan itu pasti.”58
53
Hasil wawancara dengan Ayah Sangsang, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.00 WIB. 54
Hasil wawancara dengan Ayah Jamah, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.30 WIB. 55
Hasil wawancara dengan Ayah Aldi, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada
hari Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.00 WIB. 56
Hasil wawancara dengan Pulung, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam, pada hari
Sabtu, 08 April 2017, pukul 19.30 WIB. 57
Hasil wawancara dengan Ayah Sangsang, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.00 WIB. 58
Hasil wawancara dengan Ayah Jamah, Masyarakat Kampung Cibeo Baduy Dalam,
pada hari Minggu, 09 April 2017, pukul 07.30 WIB.
82
Dapat disimpulkan untuk masyarakat Baduy Dalam khususnya mereka
memiliki harapan bahwa kedepannya untuk hasil bumi yang mereka
hasilkan untuk lebih diperhatikan karena hasil bumi merupakan
penghasilan pokok masyarakat Baduy jika hal tersebut tidak menjadi
perhatian khusus maka sulit sekali bagi mereka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kemudian harapan selanjutnya adalah bahwa adat
istiadat dan kesukuan mereka harus tetap terjaga sesuai dengan amanah
leluhurnya, jangan sampai nantinya ciri khas kesukuan mereka hilang
tergerus olah zaman yang akan sangat berdampak pada lingkungan karena
salah satu tugas kesukuan mereka adalah menjaga lingkungan alam yang
mereka singgahi.
83
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian tentang pendidikan dalam pandangan
masyarakat Baduy dapat ditarik sebuah kesimpulan:
1. Pandangan Masyarakat Baduy Dalam terhadap Pendidikan
Tokoh adat dan masyarakat Baduy Dalam berpandangan bahwa
pendidikan dasar kesukuan mereka adalah pengetahuan-pengetahuan adat,
sekolah biasa mereka sebut dengan istilah ngolah dengan materi
pembelajarannya adalah mengenai aspek pertanian, nilai-nilai kebudayaan,
aturan tatanan hukum adat, dan keterampilan yang diwariskan secara
turun-temurun sebagai bentuk untuk mempertahankan kehidupannya.
Tujuan daripada pendidikan dalam masyarakat Baduy adalah untuk
mempertahankan amanat leluhur. Oleh sebab itu, sampai saat ini
khususnya masyarakat Baduy Dalam bahwa pandangan mereka terhadap
pendidikan masih sangat sederhana dengan tetap mengikuti amanat leluhur
mereka, seperti larangan untuk bersekolah yang sampai saat ini tetap
dipatuhi.
2. Model atau Bentuk Pendidikan Masyarakat Baduy Dalam
Masyarakat Baduy Dalam pada dasarnya sudah memiliki sistem
pendidikan khusus yang berbeda dengan sistem pendidikan modern yang
biasa kita kenal. Bentuk pendidikan yang mereka terapkan yaitu dengan
model lisan bukan tulisan yang didapatkan secara turun-temurun dari
orang tua ke anak. Adapun dalam proses pembelajaran anak usia kurang
sepuluh tahun pendidikan adat dititikan pada orang tua (keluarga) dimana
anak mulai belajar pertanian, keterampilan, hitung-hitungan. Sedangkan
anak usia di atas sepuluh tahun pendidikan adat dititipkan pada lembaga
adat. Jaro Sami sebagai wakil dari Puun (ketua adat) bertugas
menceritakan amanat-amanat adat yang harus dipatuhi kepada generasi
84
muda Baduy Dalam. Selain dari keluarga dan tokoh adat, masyarakat
Baduy Dalam banyak belajar melalui teman sebaya dengan bentuk saling
mengajari (papagahan), seperti saat ini banyak anak muda Baduy Dalam
yang terampil dalam membaca dan menulis. Mereka belajar dengan saling
bertanya pada teman sebaya dengan sistem saling mengajari antar individu
ke individu lainnya.
3. Peran Pemerintah/Swasta terhadap Pendidikan Masyarakat Baduy
Dalam
Masyarakat Baduy Dalam sampai saat ini tetap konsisten menolak segala
macam bentuk pendidikan yang tidak sesuai dengan yang berlaku dalam
tataran hukum adat. Karena aturan adat yang lebih ketat maka banyak
sekali program-program yang ditawarkan oleh pemerintah dan swasta
yang akhirnya di tolak oleh lembaga adat. Seperti bantuan mengirim guru
di kampung Cibeo yang sempat di tolak dan hanya bantuan buku dan alat
tulis saja yang mereka dapat terima.
4. Dampak Kemajuan Zaman terhadap Kehidupan Masyarakat Baduy
Dalam
Perubahan tetap ada meskipun tidak banyak di dalam Masyarakat Baduy
Dalam yang disebabkan oleh semakin banyaknya kotak langsung antara
masyarakat Baduy Dalam dengan pengunjung yang datang berwisata.
Sejalan dengan perubahan tersebut maka lahir tantangan yang semakin
berat dirasakan oleh kesukuan mereka seperti menekan keinginan pribadi
yang semakin meningkat yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan
berbenturan dengan tataran hukum adat. Kemudian salah satu harapan
kesukuan mereka adalah agar aturan adat yang ada dan sedang
berlangsung harus tetap terjaga jangan sampai terjadi banyak berubah
ditakutkan jika banyak perubahan akan menyebabkan kesukuan mereka
hilang.
85
B. SARAN
Setelah mengadakan penelitian tentang pendidikan dalam pandangan
masyarakat Baduy, maka peneliti akan memberikan saran yaitu :
1. Masyarakat Baduy harus tetap melestarikan kebudayaannya dengan
menjaga model/bentuk pendidikan yang telah diamanatkan lehuhurnya.
Akan tetapi, harus tetap menyeimbangkan antara adat dan perkembangan
zaman sehingga kesukuan mereka dapat bertahan.
2. Pemerintah harus mencarikan solusi dalam bentuk program pendidikan
khusus untuk masyarakat Baduy Dalam yang disesuaikan dengan tataran
hukum adat yang berlaku di dalam kesukuan mereka, yaitu dengan
menjalin komunikasi ke tokoh-tokoh adat sehingga nantinya program
tersebut dapat dilaksanakan tanpa mengganggu tataran kehidupan sosial
mereka.
3. Harus ada pihak yang mengakomodir hasil bumi masyarakat Baduy
sehingga harga jual hasil bumi tersebut dapat stabil dan sesuai dengan
harga pasaran. Dikarenakan mata pencarian utama masyarakat Baduy
adalah pertanian.
86
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks
Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2007.
Anwar, Yesil dan Adang. Sosiologi untuk Univesitas. Bandung: PT Refika
Aditama, 2013.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2010.
Bahar, Saafroedin, Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, 2006.
Basri, Hasan, Landasan Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011.
Dinas Informasi, Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak.
Membuka Tabir Kehidupan: Tradisi Masyarakat Baduy dan Cisungsang
serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug, Banten: Dinas Informasi,
Komunikasi, Seni Budaya dan Parawisata Kabupaten Lebak, 2004.
Departemen Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pusta, Edisi Ketiga, 2011.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT Grafindo Persada, Edisi
Revisi, 2009.
Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Erlangga, 2009.
Ihsan,Fuad, Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta : Rineka Pustaka, Cet. VIII, 2013.
Kadir, Abdul dan Kawan-kawan, Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2012.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Atropologi. Jakarta: Rineka Cipta, Cet. IX,
2009.
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin, Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi
Aksara, 2010.
Masdudin, Ivan, Keunikan Suku Baduy di Banten, Banten: Talenta Pustaka
Indonesia, Cet. 2, 2011.
Moleong, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet XXIX, 2011.
87
Permana, R. Cecep Eka, Kearifan Lokal masyarakat Baduy dalam mitigasi
bencana. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2010.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
Cet. XVIII, 2013.
Tirtarahardja, Umar dan S. L. La Sulo, Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Rineka
Cipta, Cet. II, 2008.
Triwiyanto,Teguh, Pengantar Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2014.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tentang
Pemerintah Daerah, Pasal 18B ayat 2.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 28I ayat 3.
Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintah
Daerah, Pasal 1 Ayat 12.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Jakarta: CV Mitra Karya).
Penelitian, Jurnal dan Makalah
Gilang Putra Prasetyo, “Peran Kepemimpinan Kepala Desa Kanekes (Jaro
Pemarentah) terhadap Pendidikan Masyarakat Baduy Luar” Skripsi pada
Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2016, tidak
dipublikasikan
Baharudin, Erwan, Pendidikan Suku Anak Dalam : Suatu Perubahan dari
Paradigma Positivistik ke Konstruktivisme, Forum Ilmiah, Jurnal
Komunikasi, Vol. 7, 2010.
Hasanah, Aan, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal pada
Masyarakat Minotitas (Studi atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku
Baduy Banten), Analisis, Jurnal Studi Keislaman¸ Vol XII, 2012.
(http://ejournal.iainradenintan.ac.id)
Permana, R. Cecep Eka, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi
Bencana, Makara Jurnal Sosial Humaniora, Vol 15, 2011.
88
----------------------------------, Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional
berbasis Tanaman, Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol. 11,
2009.
Zakiah, Kiki, Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode, Mediator,
Jurnal Komunikasi, Vol 9, 2008
Landmann, Alexandra “Taman Bacaan Masyarakat dan Budaya Lisan Masyarakat
Adat Kanekes”, Rumah Dunia, 22 Pebruari 2014.
WEB, Artikel dan Harian
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, di akses pada hari Senin, 27 Maret 2017,
(kbbi.web.id).
Medco Foundation, Masyarakat Pedalaman Butuh Pendidikan, 2015
www.medcofoundation.org diakses pada tanggal 09 Mei 2017.
PEDOMAN OBSERVASI
N
O
ASPEK YANG DIAMATI YA TIDAK KETERANGAN
1 Warga Kampung Cibeo masih
menjalankan tradisi lisan sebagai
bentuk pendidikan
2 Orang tua berperan memberikan
pendidikan dalam masyarakat
Baduy Dalam
3 Tokoh adat mempunyai tanggung
jawab memberikan pendidikan
pada masyarakat Baduy Dalam
4 Terdapat balai adat sebagai
tempat melangsungkan
pendidikan bagi masyarakat
Baduy Dalam
5 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti pendidikan formal
6 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti lembaga
kurus/pelatihan.
7 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti sekolah kejar paket
A/B/C
8 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti pendidikan
keaksaraan.
9 Anak-anak Kampung Cibeo dapat
membaca dan menulis
10 Masyarakat Kampung Cibeo
dapat berbahasa Indonesia
11 Kehidupan masyarakat Kampung
Cibeo sesuai dengan aturan adat
12 Masyarakat Baduy Dalam yang
menggunakan HP
PEDOMAN WAWANCARA
Tanggal Wawancara :
Identitas Nara Sumber :
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :
1. Bagaimana arti/makna pendidikan menurut anda?
2. Apakah pendidikan formal/sekolah benar-benar ditabukan menurut aturan
adat Baduy?
3. Apakah hukuman yang diperoleh masyarakat Baduy Dalam yang dengan
sengaja mengikuti pendidikan diluar aturan adat?
4. Bagaimana model//bentuk yang sesuai dengan pendidikan menurut aturan
adat Baduy?
5. Bagaimana proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Baduy Dalam?
6. Bagaimana peranan lingkungan keluarga dalam pendidikan?
7. Bagaimana peranan lingkungan lembaga adat (tokoh-tokoh) dalam
pendidikan?
8. Apakah ada perbedaan model/bentuk pembelajaran antara masyarakat
Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar?
9. Apakah ada peranan pemerintah/swasta dalam mendukung upaya
memajukan pendidikan untuk masyarakat Baduy Dalam?
10. Apakah perubahan zaman berpengaruh terhadap pola pendidikan
masyarakat Baduy Dalam?
11. Apakah tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Baduy dalam
mempertahankan amanat leluhur?
12. Apakah harapan kedepannya terhadap keberlangsungan kehidupan
Masyarakat Baduy?
Hasil Observasi
Tanggal : 8 - 9 April 2017
Lokasi : Kampung Cibeo, Desa Kanekes
N
O
ASPEK YANG DIAMATI YA TIDAK KETERANGAN
1 Warga Kampung Cibeo masih
menjalankan tradisi lisan sebagai
bentuk pendidikan
√
2 Orang tua berperan memberikan
pendidikan dalam masyarakat
Baduy Dalam
√
3 Tokoh adat mempunyai tanggung
jawab memberikan pendidikan
pada masyarakat Baduy Dalam
√
4 Terdapat balai adat sebagai
tempat melangsungkan
pendidikan bagi masyarakat
Baduy Dalam
√
5 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti pendidikan formal
√
6 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti lembaga
kurus/pelatihan.
√
7 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti sekolah kejar paket
A/B/C
√
8 Masyarakat Kampung Cibeo
mengikuti pendidikan
√
keaksaraan.
9 Anak-anak Kampung Cibeo dapat
membaca dan menulis
√
10 Masyarakat Kampung Cibeo
dapat berbahasa Indonesia
√
11 Kehidupan masyarakat Kampung
Cibeo sesuai dengan aturan adat
√
12 Masyarakat Baduy Dalam yang
menggunakan HP
√
HASIL WAWANCARA
Tanggal Wawancara : 8 April 2017
Identitas Nara Sumber :
Nama : Ayah Aldi
Umur : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
13. Bagaimana arti/makna pendidikan menurut anda?
Pendidikan menurut saya adalah yang terpenting memiliki keterampilan
agar dapat memenuhi kebutuhan untuk makan sama untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
14. Apakah pendidikan formal/sekolah benar-benar ditabukan menurut aturan
adat Baduy?
Sekolah formal benar-benar tidak boleh dari aturan adat, saya tidak tahu
alasannya tetapi aturan tersebut sudah ada dari dahulu, dari zaman kakek
saya sampai bapak saya.
15. Apakah hukuman yang diperoleh masyarakat Baduy Dalam yang dengan
sengaja mengikuti pendidikan diluar aturan adat?
Belum ada ketentuannya, biasanya bentuknya teguran, khusus di Cibeo
belum pernah ada yang mengikuti pendidikan formal.
16. Bagaimana model/bentuk yang sesuai dengan pendidikan menurut aturan
adat Baduy?
Bentuk pendidikannya diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang.
Seperti kolenjer dan aksara 20 harusnya pada bisa tetapi kenyataannya
tidak semua bisa karena males belajarnya.
17. Bagaimana proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Baduy Dalam?
Proses pembelajarannya bertanya sama orang tua, seperti mantra-mantra,
jampe-jampe, buat kerajinan dan proses belajarnya dengan cara
lisan/afalan.
18. Bagaimana peranan lingkungan keluarga dalam pendidikan?
Dalam keluarga biasa mengajarkan anak pertanian, buat keterampilan.
19. Bagaimana peranan lingkungan lembaga adat (tokoh-tokoh) dalam
pendidikan?
Anak usia diatas sepuluh tahun pendidikannya tanggung jawabnya sama
jaro.
20. Apakah ada peranan pemerintah/swasta dalam mendukung upaya
memajukan pendidikan untuk masyarakat Baduy Dalam?
Sudah perah ada yang memberikan bantuan berupa buku, alat tulis tetapi
untuk belajar masing-masing untuk secara formal tetap tidak boleh.
21. Apakah ada perbedaan model/bentuk pembelajaran antara masyarakat
Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar?
Secara aturan pendidikan adat sama tidak boleh mengikuti pendidikan
formal.
22. Apakah perubahan zaman berpengaruh terhadap pola pendidikan
masyarakat Baduy Dalam?
Pola pendidikannya sama, tetapi perubahan sosial ada.
23. Apakah tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Baduy dalam
mempertahankan amanat leluhur?
Keinginan pribadi banyak akan tetapi berbenturan terhadap aturan adat
dan untuk memenuhi kebutuhan semakin tinggi, harga naik terus
sedangkan hasil bumi seperti pisang harganya tidak stabil.
24. Apakah harapan kedepannya terhadap keberlangsungan kehidupan
masyarakat Baduy?
Mudah-mudahan hasil bumi masyarakat Baduy bisa diatur harga standar
minimalnya sehingga pengahasilannya cukup dan bantuan beras dari
pemerintah tidak telat.
Tanggal Wawancara : 08 April 2017
Identitas Nara Sumber :
Nama : Aldi
Umur : 27 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
1. Bagaimana arti/makna pendidikan menurut anda?
Pendidikan disini diraih melalui orang tua yang dipelajari adalah mantra-
mantra dengan cara turun-temurun untuk keselamatan sendiri dasarnya
adalah pendidikan adat.
2. Apakah pendidikan formal/sekolah benar-benar ditabukan menurut aturan
adat Baduy?
Pendidikan formal dilarang, alasannya saya kurang tau, jika kata orang tua
tidak boleh berarti tidak boleh harus ikut aturan yang sudah ada.
3. Apakah hukuman yang diperoleh masyarakat Baduy Dalam yang dengan
sengaja mengikuti pendidikan diluar aturan adat?
Hukumannya dapat dikeluarkan dari Baduy Dalam dan belum pernah ada
masyarakat Baduy Dalam yang mengikuti pendidikan formal dan lebih
banyak keluar dengan keinginan untuk memiliki alat-alat elektronik,
menikah dengan orang Baduy Luar, dll.
4. Bagaimana model/bentuk yang sesuai dengan pendidikan menurut aturan
adat Baduy?
Model/bentuk pendidikannya dengan belajar mantra-mantra, membuat
alat-alat perabotan rumah tangga, kerajianan, ngambil kayu dan belajarnya
dengan orang tua.
5. Bagaimana proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Baduy Dalam?
Belajarnya dari mulut ke mulut, banyak melalui cerita dan untuk
keterampilan baca dan tulis saya belajar sendiri dan belajar juga sama
teman untuk buat kerajinan-kerajinan.
6. Bagaimana peranan lingkungan keluarga dalam pendidikan?
Peran kelurga sangat penting, seperti belajar cara menanam padi, aturan-
aturan adat, dan mantra-mantra juga didapat dari orang tua.
7. Bagaimana peranan lingkungan lembaga adat (tokoh-tokoh) dalam
pendidikan?
Biasanya tokoh adat mengumpulkan 3 kali sampai 4 kali setahun dalam
perkumpulan adat biasanya diceritakan tentang larangan-larangan adat.
8. Apakah ada peranan pemerintah/swasta dalam mendukung upaya
memajukan pendidikan untuk masyarakat Baduy Dalam?
Pernah ada bantuan berupa alat tulis tetapi untuk guru khusus masuk
belum bisa masih dilarang adat.
9. Apakah ada perbedaan model/bentuk pembelajaran antara masyarakat
Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar?
Sama aturannya tidak boleh sekolah formal, tetapi untuk Baduy Luar ada
yang bersekolah karena dekat dengan perbatasan dengan orang diluar
Baduy dan pengarahan di Baduy Dalam kurang.
10. Apakah perubahan zaman berpengaruh terhadap pola pendidikan
masyarakat Baduy Dalam?
Ada perubahan, terutama banyaknya pengunjung yang datang.
11. Apakah tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Baduy dalam
mempertahankan amanat leluhur?
Keinginan banyak seperti punya alat elektronik akan tetapi dilarang oleh
adat.
12. Apakah harapan kedepannya terhadap keberlangsungan kehidupan
masyarakat Baduy?
Harapannya bisa punya uang banyak dari hasil bumi/tani dengan harga
yang stabil. Kebutuhan semakin meningkat, kadang hasil bumi yang
dibawa tidak diterima atau laku dipasarkan.
Tanggal Wawancara : 8 April 2017
Identitas Nara Sumber :
Nama : Mad Pulung
Umur : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
1. Bagaimana arti/makna pendidikan menurut anda?
Pendidikan menurut saya adalah pertanian jadi yang dipelajari adalah
bagaimana cara tanam padi, nebang, bakar-bakar, dll.
2. Apakah pendidikan formal/sekolah benar-benar ditabukan menurut aturan
adat Baduy?
Sekolah formal termasuk langgar adat yang ada adalah sekolah pertanian
yaitu ngoret, ngasek, nebang, dll. Alasannya tidak boleh hidup puas-puas
dan sudah menjadi suatu ketetapan adat harus dijalankan.
3. Apakah hukuman yang diperoleh masyarakat Baduy Dalam yang dengan
sengaja mengikuti pendidikan diluar aturan adat?
Bentuknya bisa dapat teguran dan dapat dikeluarkan dari Baduy Dalam.
4. Bagaimana model/bentuk yang sesuai dengan pendidikan menurut aturan
adat Baduy?
Bentuk belajarnya dari orang tua yaitu belajar mantra-mantra, aksara 20,
dan dengan cara lisan.
5. Bagaimana proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Baduy Dalam?
Biasanya belajarnya secara individu tanya-tanya ke kakek dan buat baca
dan tulis saya belajar dari tamen-tamen di Baduy sama Luar Baduy jika
ikut pelatihan tidak boleh.
6. Bagaimana peranan lingkungan keluarga dalam pendidikan?
Belajarnya praktek langsung di ladang, ikut-ikut orang tua.
7. Bagaimana peranan lingkungan lembaga adat (tokoh-tokoh) dalam
pendidikan?
Biasanya tokoh adat memberikan amanat-amanat ada yang tidak boleh
dilanggar dengan mengadakan razia HP, razia pakaian yang menggunakan
mesin, dll.
8. Apakah ada peranan pemerintah/swasta dalam mendukung upaya
memajukan pendidikan untuk masyarakat Baduy Dalam?
Pernah ada memberikan penyuluhun untuk kesenian asli Baduy seperti alat
musik kerinding harus pada bisa dan kembali diajarkan tapi untuk
pengajarnya orang Baduy juga. Memberikan buku dan alat tulis tapi tidak
memfasilitasi guru karena tidak boleh.
9. Apakah ada perbedaan model/bentuk pembelajaran antara masyarakat
Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar?
Secara aturan sama tetapi sudah banyak perubahan.
10. Apakah perubahan zaman berpengaruh terhadap pola pendidikan
masyarakat Baduy Dalam?
Pendidikan sama saja jika perubahan sosial ada.
11. Apakah tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Baduy dalam
mempertahankan amanat leluhur?
Jika ingin hidup disini memang berat dan harus kuat mengikuti aturan adat
yang ada disini, kecuali punya uang banyak bisa keluar.
12. Apakah harapan kedepannya terhadap keberlangsungan kehidupan
masyarakat Baduy?
Sebenarnya lebih enak tinggal disini (Baduy Dalam), karena jika hidup
diluar rumah aja beli, huma juga beli.
Tanggal Wawancara : 9 April 2017
Identitas Nara Sumber :
Nama : Ayah Sangsang
Umur : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
1. Bagaimana arti/makna pendidikan menurut anda?
Pendidikan menurut saya adalah bertani, belajar bikin-bikin kerajinan.
2. Apakah pendidikan formal/sekolah benar-benar ditabukan menurut aturan
adat Baduy?
Dilarang, lebih pada mulut ke mulut, alasannya adat leluhur jika dari dulu
dilarang harus dilarang.
3. Apakah hukuman yang diperoleh masyarakat Baduy Dalam yang dengan
sengaja mengikuti pendidikan diluar aturan adat?
Diberikan pengarahan, nantinya bisa dikeluarkan jika 2 kali/ 3 kali ditegur
bisa dikeluarkan ke Baduy Luar.
4. Bagaimana model/bentuk yang sesuai dengan pendidikan menurut aturan
adat Baduy?
Bentuknya dengan cara turun-temurun dengan cara lisan dari orang tua ke
anak.
5. Bagaimana proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Baduy Dalam?
Lisan saja, belajar dari bapaknya buat kerajinan terus lihat. Ikut ke ladang
jika tidak dari bapak dari teman juga bisa belajar.
6. Bagaimana peranan lingkungan keluarga dalam pendidikan?
Dalam keluarga diajarkan cara bertani dan belajar mantra-mantra.
7. Bagaimana peranan lingkungan lembaga adat (tokoh-tokoh) dalam
pendidikan?
Biasanya Jaro mengumpulkan anak muda rutin tiap 2/3 bulan sekali untuk
memberikan larang-larangan disini dengan cara diceritakan.
8. Apakah ada peranan pemerintah/swasta dalam mendukung upaya
memajukan pendidikan untuk masyarakat Baduy Dalam?
Pernah ada tapi tidak diterima karena dilarang sama adat dan bantuan lebih
banyak beras, mie instan, dan obat-obatan.
9. Apakah ada perbedaan model/bentuk pembelajaran antara masyarakat
Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar?
Aturan adat sama cuma di Baduy Luar memiliki perbedaan.
10. Apakah perubahan zaman berpengaruh terhadap pola pendidikan
masyarakat Baduy Dalam?
Untuk di Baduy Dalam tidak banyak perubahan sedangkan di Baduy Luar
banyak perubahan.
11. Apakah tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Baduy dalam
mempertahankan amanat leluhur?
Jika sedang gagal panen dan tidak dapat buat kerajinan susah juga, berat
tinggal di Baduy Dalam harus patuh jika sudah tidak kuat pindah saja.
12. Apakah harapan kedepannya terhadap keberlangsungan kehidupan
masyarakat Baduy?
Untuk masyarakat Baduy Dalam harus patuh sama aturan adat jika di ubah
semua nanti jadi Baduy Luar.
Tanggal Wawancara : 9 April 2017
Identitas Nara Sumber :
Nama : Ayah Jamah
Umur : 27 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
1. Bagaimana arti/makna pendidikan menurut anda?
Pendidikan paling penting menanam padi, nebang, bakar, dibersihin buat
nanam padi, pisang, jagung, kacang, durian, dll.
2. Apakah pendidikan formal/sekolah benar-benar ditabukan menurut aturan
adat Baduy?
Untuk sekolah formal dilarang, budayanya lisan dan tidak boleh sama
adat.
3. Apakah hukuman yang diperoleh masyarakat Baduy Dalam yang dengan
sengaja mengikuti pendidikan diluar aturan adat?
Ditegur sama Jaro dan khusus di Baduy Dalam belum pernah ada.
4. Bagaimana model/bentuk yang sesuai dengan pendidikan menurut aturan
adat Baduy?
Sekolahnya bertani, berladang, anak-anak ikut ambil kayu.
5. Bagaimana proses pembelajaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat
Baduy Dalam?
Belajarnya yaitu dari orang tua, teman-teman dan tidak ada guru khusus
yang dipelajari ada aksara 20 sama kolenjer.
6. Bagaimana peranan lingkungan keluarga dalam pendidikan?
Sangat penting, mendidik anak dibawah sepuluh tahun pada keluarga dan
diatas sepuluh tahun Jaro yang didik, biasanya ikut orang tua diajarkan
cara-caranya. Anak perempuan ikut ibunya sedang laki-laki sama
bapaknya.
7. Bagaimana peranan lingkungan lembaga adat (tokoh-tokoh) dalam
pendidikan?
Biasanya ngasih pendidikan tentang larangan-larangan adat, jika ada yang
melanggar akan ditegur samapai dua/tiga kali.
8. Apakah ada peranan pemerintah/swasta dalam mendukung upaya
memajukan pendidikan untuk masyarakat Baduy Dalam?
Klo dari pemerintah ada saja bantuan dan biasanya berupa sembako
sedangkan untuk pendidikn masih tidak diperbolehkan.
9. Apakah ada perbedaan model/bentuk pembelajaran antara masyarakat
Baduy Dalam dengan masyarakat Baduy Luar?
Aturan adat tentang sekolah sama, tetapi sekarang agak bebas sedikit
untuk Baduy Luar.
10. Apakah perubahan zaman berpengaruh terhadap pola pendidikan
masyarakat Baduy Dalam?
Tidak ada perubahan, perubahannya semakin banyak pegunjung yang
datang da nada pengaruhnya.
11. Apakah tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Baduy dalam
mempertahankan amanat leluhur?
Tantagannya adalah lahan di Baduy terbatas sedangkan penduduk semakin
bertambah dan harapanyannya bisa dapat lahan di luar.
12. Apakah harapan kedepannya terhadap keberlangsungan kehidupan
masyarakat Baduy?
Harus tetap mengikuti adat disini jangan sampai berubah karena
perubahan itu pasti.