pendekatan tradisi berarsitektur di indonesia

10
Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library 1 PENDEKATAN TRADISI BERARSITEKTUR DI INDONESIA Ir.NURINAYAT VINKY RAHMAN MT. Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Ketika arsitektur tradisional dikembangkan, mulai dipertanyakan apakah penerapan konsepsi arsitektur Tradisional sekarang ini sudah berada pada puncaknya?. Saat ini mulai dirasakan rumusan-rumusan yang bahkan pada beberapa daerah sudah di-’Perda’-kan, dipedomani dalam pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sangat membatasi kreativitas dan bahkan sepertinya arsitektur tradisional hanya akan berhenti sampai di situ saja. Tidak ada jawaban yang pasti atas pertanyaan ini sebab antara pihak penanya maupun pengambil keputusan yang secara tegas ingin menerapkan konsep tersebut, ada pada keyakinan yang sama yaitu jika sekarang sudah ada di 'puncak' maka berikutnya hanya akan menuruni lembahnya saja kecuali mau mencari puncak yang lain lagi. Hal semacam ini terjadi pada pencarian Arsitektur Indonesia. Sangat benar pendapat yang mengatakan bahwa orang senang mencari tapi takut menemukan apa yang dicarinya sebab begitu ditemukan sejarah akan berhenti. Atau dalam pengertian lain orang takut menganggap suatu keadaan adalah 'puncak' sebab dibalik puncak hanyalah lembah, lereng atau jurang. Tetapi bukankah sebagai penjelajah, musafir, petualang menemukan atau menaklukkan satu puncak dan bergerak mencari puncak yang lainnya adalah suatu tantangan yang menggairahkan?. Dan bukankah juga kata Indonesia dalam konteks kebudayaan dan arsitektur selalu dikaitkan dengan pembentukan oleh 'puncak-puncak'?. Menurut hemat penulis 'puncak-puncak' harus selalu dirumuskan, ditentukan per definisi, sebab sejarah tidak mencatat kegamangan, tindakan-tindakan tidak sadar dan tak berpola. Sejarah hanya mencatat sesuatu karena terkenal baik (famous) atau terkenal buruk (notorius] catatan lain hanya memperjelas hubungan di antara keduanya. Pengaruh Arsitektur Barat (Modern, Post-Modern dan Dekonstruksi) Dengan pertumbuhan dan ekspansi kebudayaan luar terhadap segala aspek kehidupan masyarakat seiring dengan pesatnya teknologi informasi, akhimya mau tidak mau, suka tidak suka, ‘arsitektur tradisional’ pun akhirnya tidak terlepas dari pengaruh 'konsep arsitektur asing' (baca : Barat), baik langgam arsitektur modern ataupun pada era 90-an ini mulai dengan arsitektur Post-Modernnya. Berbeda nasibnya dengan Arsitektur Modern, aliran Arsitektur Post-Modern yang melanda lebih dapat diterima. setIdaknya oleh kalangan perancang di Indonesia, walaupun dengan sedikit malu-malu. Hal Ini lebih disebabkan oleh 'kode ganda' (double-coding) aliran Post-Modern ini, Kode ganda yang dimaksud adalah setengahnya modern, setengahnya lagi konvensional, bisa bahasa tradisional ataupun bahasa regional dalam bangunan. Kode ganda ini sepertinya membuka peluang seluas-luasnya untuk bereksperimen dan berkreasi tanpa takut dituduh 'a- histons’, tidak mencerminkan arsitektur tradisional, tidak menampakkan citra kedaerahan.

Upload: ave-harysakti

Post on 25-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Ketika arsitektur tradisional dikembangkan, mulai dipertanyakan apakah penerapan konsepsi arsitektur Tradisional sekarang ini sudah berada pada puncaknya?. Saat ini mulai dirasakan rumusan-rumusan yang bahkan pada beberapa daerah sudah di-’Perda’-kan, dipedomani dalam pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sangat membatasi kreativitas dan bahkan sepertinya arsitektur tradisional hanya akan berhenti sampai di situ saja. Tidak ada jawaban yang pasti atas pertanyaan ini sebab antara pihak penanya maupun pengambil keputusan yang secara tegas ingin menerapkan konsep tersebut, ada pada keyakinan yang sama yaitu jika sekarang sudah ada di 'puncak' maka berikutnya hanya akan menuruni lembahnya saja kecuali mau mencari puncak yang lain lagi.

TRANSCRIPT

Page 1: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

1

PENDEKATAN TRADISI BERARSITEKTUR DI INDONESIA

Ir.NURINAYAT VINKY RAHMAN MT.

Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur

Universitas Sumatera Utara Pendahuluan

Ketika arsitektur tradisional dikembangkan, mulai dipertanyakan apakah penerapan konsepsi arsitektur Tradisional sekarang ini sudah berada pada puncaknya?. Saat ini mulai dirasakan rumusan-rumusan yang bahkan pada beberapa daerah sudah di-’Perda’-kan, dipedomani dalam pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sangat membatasi kreativitas dan bahkan sepertinya arsitektur tradisional hanya akan berhenti sampai di situ saja. Tidak ada jawaban yang pasti atas pertanyaan ini sebab antara pihak penanya maupun pengambil keputusan yang secara tegas ingin menerapkan konsep tersebut, ada pada keyakinan yang sama yaitu jika sekarang sudah ada di 'puncak' maka berikutnya hanya akan menuruni lembahnya saja kecuali mau mencari puncak yang lain lagi.

Hal semacam ini terjadi pada pencarian Arsitektur Indonesia. Sangat benar pendapat yang mengatakan bahwa orang senang mencari tapi takut menemukan apa yang dicarinya sebab begitu ditemukan sejarah akan berhenti. Atau dalam pengertian lain orang takut menganggap suatu keadaan adalah 'puncak' sebab dibalik puncak hanyalah lembah, lereng atau jurang. Tetapi bukankah sebagai penjelajah, musafir, petualang menemukan atau menaklukkan satu puncak dan bergerak mencari puncak yang lainnya adalah suatu tantangan yang menggairahkan?. Dan bukankah juga kata Indonesia dalam konteks kebudayaan dan arsitektur selalu dikaitkan dengan pembentukan oleh 'puncak-puncak'?. Menurut hemat penulis 'puncak-puncak' harus selalu dirumuskan, ditentukan per definisi, sebab sejarah tidak mencatat kegamangan, tindakan-tindakan tidak sadar dan tak berpola. Sejarah hanya mencatat sesuatu karena terkenal baik (famous) atau terkenal buruk (notorius] catatan lain hanya memperjelas hubungan di antara keduanya. Pengaruh Arsitektur Barat (Modern, Post-Modern dan Dekonstruksi)

Dengan pertumbuhan dan ekspansi kebudayaan luar terhadap segala aspek

kehidupan masyarakat seiring dengan pesatnya teknologi informasi, akhimya mau tidak mau, suka tidak suka, ‘arsitektur tradisional’ pun akhirnya tidak terlepas dari pengaruh 'konsep arsitektur asing' (baca : Barat), baik langgam arsitektur modern ataupun pada era 90-an ini mulai dengan arsitektur Post-Modernnya.

Berbeda nasibnya dengan Arsitektur Modern, aliran Arsitektur Post-Modern yang melanda lebih dapat diterima. setIdaknya oleh kalangan perancang di Indonesia, walaupun dengan sedikit malu-malu. Hal Ini lebih disebabkan oleh 'kode ganda' (double-coding) aliran Post-Modern ini, Kode ganda yang dimaksud adalah setengahnya modern, setengahnya lagi konvensional, bisa bahasa tradisional ataupun bahasa regional dalam bangunan. Kode ganda ini sepertinya membuka peluang seluas-luasnya untuk bereksperimen dan berkreasi tanpa takut dituduh 'a-histons’, tidak mencerminkan arsitektur tradisional, tidak menampakkan citra kedaerahan.

Page 2: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

2

Memang tidak keenam pilar utama pendukung arsitektur Post-Modern yang coba diterapkan tetapi dalam perkembangannya (sampai saat ini) sudah terlihat kecenderungan centang perenang penerapannya. Hal ini dalam pengamatan penulis disebabkan oleh penerapan Post-Modern arsitektur hanyalah pada kulit luarnya saja, Pada idiom-idiom yang segera dapat ditangkap oleh mata. Sehingga kebingungan khas mengenai arsitektur modernkah ini?, arsitektur post-modern? ataukah arsiteklur klasik?, kembali hadir di depan mata. Padahal jika hanya mengambil segi penampilan saja dapat terjebak pada penerapan bentuk -bentuk terburuk dari bahasa estetika arsitektur Post-Modern. Sementara 'isi' dan kedalaman maknanya tidak tertangkap sama sekali.

Bahasa estetika Post-Modernisme bukanlah khas dimiliki oleh arsitektur saja tetapi juga oleh karya sastra dan seni lainnya. dalam telaah lebih lanjut pumpunan pembahasan hanyalah pada bidang arsitektur. Bahasa estetika yang dimaksud adalah:

! 'Pinjaman' (Pastiche) : adalah karya arsitektur yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai arsitek di masa lain

! 'Plesetan' (Parody): adalah sebuah komposisi dalam arsitektur dimana kecenderungan pemikiran dan ungkapan yang khas dan seorang arsitek pada suatu karya arsitektur diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya humoristik atau absurd.

! 'Pemalsuan' (Kistch]: sering didefinisikan sebagai segala jenis seni palsu {pseudo-art) yang murahan dan tanpa rasa. Kistch dikatakan selera rendah disebabkan lemahnya 'ukuran’ atau 'kriteria' estetikanya meskipun kriteria tersebut berbeda dari jaman ke jaman. Strategi Kistch adalah mensimulasi, mengkopi elemen-elemen gaya dari seni tinggi atau obyek sehari-hari untuk kepentingannya sendiri yang produksinya didasarkan pada semangat me'massa'kan atau 'mendemitosisasi' seni tinggi.

! 'Keartifisialan' (Camp): adalah satu model estetisme- bukan dalam pengertian keindahan tetapi dalam pengertian keartifisialan dan ciri 'penggayaan' (stylization). Camp menekan pada dekorasi, tekstur permukaan sensual dan gaya dengan mengorbankan isi. Camp anti antagonisme seksual maskulin feminin. Camp adalah androgyne, tanpa identitas seks.

! 'Kekacauan' (Schizoprenia) : Jacgues Lacan, seorang ahli psikoanalisis, mendefinisikan Schizoprenia sebagai terputusnya rantal signifikasi, yaitu rangkaian sintagmatis penanda (signifier) yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Berdasarkan teori psikoanalisis Lacan, jika kita tidak mampu membedakan antara kalimat (tensis) masa lalu (past), masa kini {present) dan masa datang {future) 'akibat gangguan pertandaan' maka kita juga tidak dapat membedakan masa lalu, masa kini dan masa depan dalam kehidupan psikis kita. Kekacauan pertandaan, selain pada kalimat. Terdapat juga pada gambar, teks, obyek termasuk karya arsitektur.

Begitu jugakah gambaran arsitektur di Indonesia pada umumnya?. Dalam dugaan penulis, gejala-gejala ke arah itu sudah tampak. Di Jakarta sudah ada 'joglo terbesar di dunia', comot sana ambil sini, tempel sana, tempel sini sebagai gejala eklektisme radikal sudah merajalela. Mengapa ini bisa terjadi?, mungkinkah karena terdapat kecenderungan menangkap gaya dan bukan mengungkap makna ? Tradisi Berarsitektur di Indonesia

Jika permasalahan di atas sudah disadari keberadaannya, bagaimanakah upaya kita untuk mengatasinya sebagai suatu pendekatan tradisi berarstektur di

Page 3: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

3

Indonesia?. Sebelum membehas hal tersebut marilah kita kenali dulu 'jagat ilmu arsitektur dalam hubungannya dengan ilmu-limu lain.

Teori arsitektur adalan teori untuk menuju kepada pemahaman akan arsitektur yang lebih baik (lengkap dan komprehensif). Teori-teori arsitektur mengacu pada : indrawi/fenomenologi, general semantic, struktural/linguistik, adaptasi dan analogi-analogi. Sedangkan dalam ilmu murni, terdapat prinsip-prinsip yaitu : tanpa keinginan atau kepentingan pribadi (dis-interestedness), dengan cara yang sama dapat dibuktikan atau diulangi lagi proses dan hasilnya (reproducible/repeatable), berdasarkan informasi dan analisa yang dilakukan dan dapat memprediksi keadaan di masa depan (prediction). jika diikuti pengembangan budaya dari Dwi-Budaya (two cultures) yaitu : keilmuan (scientific), humaniora (scholarty'), menjadi Tri-Budaya (three cultures] yaitu : keilmuan atau sains (scientific, numeracy). kepujanggaan atau ltmu-llmu humaniora (scholarty, literacy). Desain atau karya dan kriya {design : modelling). di masa depan terdapat kecenderungan desain akan menjadi teori yang semakin 'berdiri sendiri' dengan metode, strategi dan tekniknya sendiri waiaupun selama ini yang dilakukan adalah pemagangan dan peminjaman bahasa sains dan humaniora. Jika disajikan dalam bentuk tabel hubungan antara sains, humaniora dan desain akan tampak sebagai berikut :

Segi Budaya Fenomena Metode Nilai-Nilai

Sains

Lingkungan Alami Eksperimen Klasifikasi Analisis

Objektifitas Rasionalitas Netralitas - Kebenaran

Humaniora

Pengalaman Manusia

Analogi Metafora Kritk Penilaian

Subjektifitas Imajinasi Komitmen - Keadilan

Desain

Lingkungan Binaan Modeling Pemolaan Sintesis

Kemudahan Ingenuity Empathy - Kecocokan / Adaptif

Sumber ; Modifikasi Yuswadi Saliya. 1996.

Jadi upaya-upaya untuk menjadikan teori dalam tradisi berarsitektur yang sangat aplikatif menjadi memenuhi prinsip- prinsip teori dalam pengertian llmu murni, sungguh merupakan upaya melelahkan (untuk tidak mengatakan sia-sia), karena penerapan dan prinsip-prinsipnya memang berbeda. Pendekatan satu teori dengan teori yang lain mungkin dilakukan, pertanyaannya kemudian apakah perlu suatu pendekatan teori dibuat seragam padahal pada penerapannya juga sangat beragam?. Manakah yang lebih 'penting' (important) dan 'genting' (urgent) membuat suatu teori yang 'tampak ilmiah' dengan mengacu pada teori keilmuan, ataukah menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan 'cara-cara ilmiah' walaupun metode yang dipergunakan tidak dilatarbelakangi oleh teori yang tampak ilmlah?. Bukankah keadaan ideal yang dibayangkan di masa depan adalah ketajaman analisa ala Einstein dan kearifan berfikir ala Mahatma Gandhi...

Page 4: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

4

a Praktek Teori

Tradisi berarsitektur yang menganggap praktek dulu baru teori adalah Arsitektur TradIsional/Vernakular dan Arsitektur Modern. Hanya saja sirat teori Arsitektur Tradisional vernakular adalah kategorikal sedangkan modern adalah analitik. Secara umum babakan sejarah arsitektur di dunia terdiri dari arsitektur klasik, arsitektur Modern, arsitektur Post- Modern, Dekonstruksi dan lain-lain (‘dan lain-lain’ pada kalimat ini memang benar-benar ditujukan pada upaya pembabakan sejarah dan periodesasinya yang sangat beragam. Jadi yang dikutip di sini hanya salah satu dari padanya). Jika ketiga babakan tradisi desain dalam berarsitektur tersebut dilihat melalui wacana, prinsip dan model yang dipakai dapat dilihat pada tabel berikut:

WACANA / TEKS PRINSIP MODEL SEMIOTIK

Klasik Modernisme Post- Modernisme

Bentuk mengikuti arti (Form Follow Meaning) Bentuk mengikuti fungsi (Form Follow Function) Bentuk mengikuti kesenangan (Form Follow Fun)

Penanda / makna ideologis Penanda fungsi Penanda makna/ironis

Di Indonesia pembabakan yang sama juga terjadi, hanya mengalami sedikit

modifikasi pada tahap awal pembabakan yang dikenal sebagai masa arsitektur Tradisional/\/emakuler. Cara berfikir tradisional dan regional memiliki perbedaan sebagai berikut : ! Tradisionalisme : pandangan yang menganggap bahwa karya arsitektur ltu

haruslah bercermin pada nilai-nilai luhur tadisi yang sudah terbukti dan teruji kesesuaiannya. Beberapa arsitektur tradisional di Nusantara dapat memenuhi kriteria ini.

! Regionalisme : regionalisme sendiri berarti 'membumikan' desain sesuai dengan daerah dimana desain tersebut dilakukan. Sebagai ilustrasi untuk menjelaskan keadaan tersebut adalah desain tiap anjungan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Anjungan Propinsi Sumatera Utara misalnya, barangkali dibangun dengan berpedoman pada konsep konsep arsitektur tradisional salah satu daerah di Sumatera Utara, tetapi karena keberadaannya di daerah khusus Ibukota Jakarta Raya, dia bukanlah arsitektur regional. Anjungan yang tradisional dan sekaligus regional adalah anjungan DKI dengan tipe rumah Betawinya.

Satu babak setelah tahap arsitektur Tradisional/Vemakular, adalah timbulnya

arsitektur Modern. Pada jaman arsitektur modern ini, berkembang berbagai aliran atau paham pendukungnya seperti : Rasionalisme Struktural (Structural Rasionalism). Arsitektur Futuristik (Futurist Architecture), Rasionalis Klasikisme (Classical Rationalism), Ekspresionisme (Expressionism), Plastisisme Baru (Neo Platicism), Romantisisme Nasional (National Romantism), Vernakular (Vernacular), Gaya/ Langgam Internasional (International Style), Brutalisme Baru (New Brutalism), Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) dan lain-lain.

Walaupun tiap aliran atau paham yang berkembang pada masa arsitektur modern ini memiliki ciri khas masing-masing dengan pumpunan yang berbeda-beda tetapi era modernisme ditandai suatu kesamaan yang mendasar adalah bahwa segala sesuatu masalah dan konsep berarsitektur harus dinyatakan dengan jelas, tegas dan mengacu pada suatu fungsi atau kebutuhan tertentu.

Page 5: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

5

b Teori Praktek

Yang termasuk tradisi berasitektur teori dulu kemudian praktek adalah arsitektur Post-Modern. Terdapat perbedaan pendapat para pengamat sejarah arsitektur terhadap kelahiran Post-Modernisme dalam arsitektur. Ada yang menganggap kelahirannya merupakan era baru setelah era Modernisme tidak dapat berkembang lagi. Pendapat yang lain mengatakan Post-modernisme semata-mata lahir akibat ketidakpuasan terhadap Modernisme. Jadi dalam filosofi merancang, kedua aliran ini berbeda tetapi sampai sekarang kedua-duanya maslh berkembang dengan pengikutnya masing-masing. Terhadap pilihan manakah diantara kedua pendapat tersebut yang benar biarlah sejarah yang membuktikannya, yang terpenting perbedaan mendasar dari dua fatsafah dalam merancang tersebut sudah cukup jelas menandai perbedaan masa Modern dan Post-Modern.

Sebagaimana pada aliran Modernisme, pada aliran Post-Modernisme pun berkembang aliran-aliran atau paham-paham pendukung atau pembentuknya. Paham/aliran pendukung Post-Modern Arsitektur antara lain Historisme (Historism), Revivalls Langsung (Straight Revivalism), Vernakular Baru (Neo-Vernacular), Kontekstual (Contextual), Metafora dan Metafisik (Methapore and Metaphysics) dan Eklektisme Radikal (Radical Eklectisme). Berbagai aliran tersebut menandai prinsip dalam merancang yang berbeda-beda. Sebagai pembentuk aliran Post-Modernisme terdapat persamaan prinsip dari semuanya yaitu adanya 'kode ganda' (double-coding). Selain bahasa estetika, Post-Modern arsitektur juga mempunyai kode-kode. Kode berarti seperangkat aturan atau konvensi dengan cara mana tanda-tanda dikombinasikan untuk memungkinkan pesan dikomunikasikan dari satu orang ke orang yang Iain. Ada 5 kelompok kode yang didefinsikan Roland Earthes dalam bukunya S/Z yaitu : ! Kode hermeneutik, kode ini terdiri dari unit-unit yang fungsinya adalah untuk

mengartikulasikan dengan berbagai cara pertanyaan, teka-teki dan tanggapan (respons) serta jawaban.

! Kode semantik, adalah kode konotasi materialitas dari 'penanda' (signifier) sendiri sudah langsung membawa pengamat pada makna konotasi

! Kode simbolik adalah kode antitesis, ambiguitas, penentangan dua unsur dan scihzoprenia. dimana satu kata penanda (signifier) membawa kemungkinan banyak sekali substitusi, variasi, yang membawa kita bergerak dari satu makna ke makna yang lainnya.

! Kode proairetik, adalah kode cerita (narasi atau anti narasi) disebut juga kode aksi. Aksi itu sendiri terdiri dari satu rentetan kerja.

! Kode kebudayaan, kode ini terbentuk dari suara-suara kolektif dan anonim yang bersumber dari pengalaman tradisional manusia.

jika kode, makna dan ekspresi dalam arsitektur post-modern disajikan dalam tabel akan terlihat hubungan sebagai berikut :

Page 6: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

6

KODE MAKNA EKSPRESI

Hermeneutik - efek profokatif - teka-teki - parodi - dekonstruksi

Semantik - makna konotatif - tingkat penanda - pasthice - kistch - camp

Simbolik

- partikel makna - terputusnya rantai penanda - kemustahilan makna

- schizoprenia - dekonstruksi

Proairatik - efek narasi dan anti narasi - rentetan aksi

- pasthice - kistch - camp

Kebudayaan - makna mitologis - makna ideologis - pasthice - parody

Setelah babak post-modernisme ini sejarah mencatat satu aliran penting lagi

yaitu Dekonstruksi {Deconstruction), yang dipelopori oleh Jacgues Derrida seorang filsuf Perancis (lahir 1936). Dekonstruksi merupakan penyangkalan terhadap tradisi filsafat Barat, penyangkalan terhadap klaim akan 'kebenaran universal', akan adanya 'makna yang absolut’, juga merupakan penyangkalan terhadap cara berfikir struktural dalam linguistik, yang dikembangkan oleh Saussure. Jadi secara ringkas arsitektur modern diharapkan dapat melepaskan diri dari tradisi berarsitektur secara klasik. Post-modernisme melepaskan diri dari tradisi berarsitektur hanya klasik. dan hanya modern tetapi memadukan keduanya. Sedangkan dekonstruksi melepaskan diri dari semua tradisi berarsitektur tersebut. c Teori, Transformasi dan Praktek

Mengacu pada pemahaman teori arsitektur dl atas maka tradisi berarsitektur adalah dari praktek melahirkan teori dan dari teori menjadi landasan untuk praktek. Di Indonesia kedua tradisi beraksitektur tersebut, dalam hemat penulis, tidak dapat memberikan pemecahan yang optimal terhadap permasalahan-permasalahan perencanaan dan perancangan sebagaimana yang banyak dikaji dalam contoh kasus di atas. Di antara teori dulu kemudian praktek dan praktek dulu baru teori, masih ada 'alih ragam' (tranformasi) yang perlu dilakukan secara kritis dan hati-hati. Jika tidak maka sesungguhnya yang terjadi adalah penundaan timbulnya masalah yang berarti juga tertundanya penyelesaian masalah dan pada saat mengambil keputusan banyak terjadi potong kompas sana sini. Sehingga pembahasan berikutnya diarahkan pada kajian pentingnya alih ragam (transformasi) diantara teori dan praktek dalam melakukan pendekatan tradisi berarsitektur di Indonesia. Siasat dan Kiat-kiat

Berdasarkan latar belakang dan fenomena arsitektural yang terjadi maka tradisi berarsitektur di Indonesia seyogyanya diarahkan pada upaya-upaya mengatasi permasalahan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut : ! Mengapa penerapan suatu aliran atau paham arsitektur yang berkembang, sering

hanya pada kulit luarnya saja sehingga pada saat ditemukan persamaan gaya, bentuk dan penampilan bangunan sertng ditemukan kesulitan untuk mengidentifikasikan dan mengkategorikan karya tersebut. Contoh kasus yang nyata pada bagian ini adalah munculnya karya-karya Corfau 'melintasi ruang dan waktu’. Beberapa pengamat mengelompokkannya menjadi karya modern, karya yang sama juga oleh pengamat yang berbeda dimasukkan sabagai bentuk Post-Modern.

Page 7: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

7

! Apa upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari pendekatan terhadap perumusan suatu teori arsitektur semakin jauh. Disamping akibat secara struktural kutub teori llmu arsitektur berbeda dengan kutub teori llmu mumi dan teori ilmu humaniora, adalah juga karena para pihak yang peduli dan telah mendalaminya terjebak pada sikap interprestasi yang terlalu subyektif dan 'arogan' (pada saat muncul istilah Post-Modern secara bersamaan muncul juga Istilah Late Modern atau New Modernism) serta sikap 'kenall pagar dan loncati' artinya batasan dan pengertian suatu aliran dikenall untuk kemudian pada ujung-ujungnya melahirkan batasan. pengertian atau bahkan aliran./paharn yang baru sama sekali. Pada tingkat kreativitas proses ini tentu menarik dan sah-sah saja tetapi bukankah bangunan kita tidak akan pernah berdiri kalau semua berlomba-lomban membuat pondasi ?'

! Bagaimana cara menerapkan aliran-aliran. paham-paham arsitektur tersebut secara bijak ke dalam karya arsitektur khususnya arsitektur di Indonesia?. Kursi, sebagai benda mungkin sama tapi cara duduk di atasnya dapat berbeda bukan?, atau dalam teori wujud budaya Koentjaraningrat, jika arsitektur dianggap sebagai benda budaya (artifact), bukankah dia seyogyanya juga berbeda karena dibentuk oleh suatu kompleks aktivitas (activities) dan kompleks gagasan (ideas} yang berbeda?.

Nilai Dasar Falsafah

Nilai dasar atau falsafah adalah konsep-konsep yang secara filosofls mendasari suatu rancangan. Menjadi konsep awal, pedoman selama proses dan cerminan tujuan akhir seluruh kegiatan perancangan. Pada arsitektur tradisional Bali misalnya, nilai dasar ini banyak ditemui pada konsep-konsep filosofis (Philosopical Concepts), yang mendasari seluruh proses perancangan arsitektur tersebut, walaupun sebenarnya tidak khas milik arsitektur. Konsepnya bermula dari filosofi ajaran Agama Hindu yang menjadi dasar kehidupan masyarakat pemakainya yaitu masyarakat Bali. Konsep tersebut tidak dapat langsung diterapkan tanpa nilai instrumental ataupun nilai praksis yang jelas.

Pada aliran Post-Modern, arsitektur juga terdapat nilai dasar semacam ini yang disebut Ideologi Post-Modernisme. Ideologi sendiri adalah sistem representasi dan proses produksi makna dan ide-ide secara umum. Menurut pemikiran Marxisme, beroperasinya ideologi dalam masyarakat kapitalisme didasarkan pada relasi kelas-kelas dalam masyarakat yaitu kelas 'pengkonsep' atau penguasa (super structure) dan kelas pelaksana atau pekerja (base), dimana kelas yang pertama mendominasi kelas yang kedua, melalul legitimasi 'kekuasaan'. Di dalam Post-Modernisme terjadi perubahan mendasar dari pola beroperasinya 'kekuasaan' (power). Apa yang terjadi adalah pembalikan distribusi kekuasaan, dari tangan pusat kekuasaan ke tangan para pelaksana yang membentuk fragmentasi kekuasaan yang berkembang dari berbagal kelompok sosial ditingkat peripheral (produser, perusahaan multinasional, industri, informasi, industrl hiburan dan sebagalnya). Oleh sebab ltu sistem presentasi dan produksi makna dan nilai-nilai juga dikuasai dan dikondisikan oleh kelompok-kelompok tersebut yang legitimasi 'kekuasaannya' dimotori oleh sistem komunikasi massa khususnya media promosi seperti iklan.

Pencarian nilai dasar ini tidak dimaksudkan untuk membuat arsitek menjadi filsuf, hanya untuk menemukan kesimpulan yang logis (logical conclusions) dan alasan yang sebenarnya (original arguments) sebagaimana yang diinginkan Derrida dengan Dekonstruksinya. Targetnya tidak hanya filsuf seperti Plato, Aristotales, Descrates, Leibnitz, Rousseau, Kant, Hegel, Nietzche, Husseri, Heidegger. Freud, Saussure. Levinas. Merleau-Ponty dan Bataille tetapi juga ahli linguistik seperti

Page 8: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

8

Sausurre dan Hjemsiev, strukturalis seperti Levi-Strauss. sejarawan seperti Foucault, dan untuk beberapa hal, psikiater seperti Freud dan Lacan.

Jadi nilai dasar dapat menambah ke banyak hal, dapat juga menjadi kesimpulan dari banyak hal. Sebab tidak dipahaminya nilai dasar atau filosofis dari suatu aliran arsitektur inilah yang menyebabkan yang kemudian ditangkap adalah ciri-ciri fisik dan kebendaan saja atau apa yang dapat dicerap (diapresiasi) oleh indra. Padahal, ketika dari bentuk sudah tidak dapat dibedakan satu jenis paham dengan paham yang lainnya, dari kaidah dan konsep yang diterapkan tampaknya sama saja, maka pembeda yang paling hakiki dari tiap paham adalah pada ideologi filosofisnya ini. Nilai Instrumental

Nilai instrumental adalah nilai yang didapat melalui penjabaran nilai dasar tersebut ke dalam bentuk setingkat 'konstitusi' ataupun "institusi', yang secara jelas menjadi pedoman penerapan nilai dasar tersebut menjadi nilai praksis. Sebagai ilustrasi, nilai instrumental dalam arsitektur tradisional Bali (salah satunya) ada pada sastra Asta Kosala Kosali, sastra-sastra yang lain adalah lontar Janantaka, Asta Bumi, Kramaning Undagi dan lain-iain. Kendati pustaka ini dapat dipedomani sebagai 'buku suci' Arsitektur Tradisional Bali (ATB), tetapi aturan-aturan yang dimuatnya masih sangat umum dan menuntut interprestasi lebih lanjut. Sastra-sastra inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Perda tentang Bangun Bangunan dan Lingkungan Khusus untuk daerah Bali.

Membuat suatu aliran atau paham mempunyai nilai instrumental bukanlah pekerjaan yang mudah. 'Konstitusionalisasi' sebagai sebuah proses pemberian dasar-dasar hukum, kaidah-kaidah dalam keseluruhan proses perencanaan dan perancangan menuntut kearifan yang lebih untuk menghasilkan produk yang dapat mengakomodasi dan mereduksi berbagai kepentingan secara proporsional. Perumusan 'konstitusi' itu sendiri akan mengalami banyak kendala, disamping karena sangat memerdekakan cara berfikIr dalam menafsirkan konsepsi yang ada. rumusan yang dihasilkan pun akan mengalami dilema. Jika dibuat terlalu tegas dan pasti, takut dituduh memasung kreativltas. Sebaliknya jika penuh kata-kata bersayap dan banyak makna, dituduh sebagai tidak jelas dan tidak tegas. Tetapi bukankah justru di sini letak tantangannya ?

Sedangkan proses Institusionalisasi sebagai upaya untuk melembagakan dan memberi tanggung jawab seluruh proses perencanaan dan perancangan juga menuntut kejelian yang lebih. Formasi orang-orang di dalamnya harus jelas mencerminkan berbagai kepentingan yang dipertaruhkan dalam proses pekerjaan ini. Keanekaragaman latar belakang, keahlian atau profesi, misi dan visi barangkali merupakan dasar pertimbangan yang lebih tepat dalam proses pelembagaan ini. Nilai Praksis

Pada tingkat ini, nilai-nilai turunan dari nilai dasar tersebut sudah dapat diterapkan ke daiam proses perancangan dalam prakteknya. Pada visi tradisi nilai ini tercermin pada adanya prinsip-prinsip praktis (practical principles). Pada arsitektur post-modern nilai praksis ini terlihat pada idiom-idiom yang dtpergunakan untuk memperjelas 'kode ganda' (double coding) yang ada, yaitu setengah arsitektur modern, setengahnya lagi konvensional yang dapat terdiri dari arsitektur tradisional maupun regional.

Hal-hal lain yang perlu dipahami dalam pemilihan suatu tradisi berarsitektur di Indonesia adalah karakter bangsa kita yaitu :

Page 9: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

9

! Neo Phyt, sering diungkapkan sebagal 'penyakit gila baru', jadi asal barang baru, konsep baru segera dicobakan tanpa suatu telaah yang hati-hati dan proporsional. Sehingga kemudian timbullah kerancuan budaya. Seperti di KFC juga dijual nasi atau dalam ilustrasinya Michael Sorkin seperti Mikey Mouse memakai piyama dan kimono, berbudaya tetapi membingungkan (confuse).

! Sebagian lagi, seperti istilah Peursen, sangat 'romantis' yaitu masyarakat yang tergila-gila pada kejayaan, keindahan dan kenangan masa lampau, segala hal harus punya kaitan dengan tradisi dan keindahan masa lalu tersebut. Kelompok ini menolak beberapa gaya modern sebagai 'tidak ada kaitannya dengan sejarah' (a-historis). Pada kelompok ini juga, seperti yang ditengarai oleh Robi Sularto sebagai ciri masyarakat Timur, adalah bentuk- bentuk yang muncul dari proses perancangannya adalah tiruan yang kreatif (creative copies) sementara pada belahan Barat bentuk-bentuk rancangannya sangat mementingkan kekuatan {strength) dan bentuk yang sama sekall baru (new form).

! Mempunyal karakter seperti yang disebutkan di atas bukan berarti mempunyai karakter 'dua-duanya' (both of) sebagaimana yang dianggap menjadi karakter orang jepang, yaitu disamping modern juga memegang tradisi sangat kuat. Disamping membangun pencakar langit juga secara seksama merawat kuil dan bangunan tradisinya. Karakter masyarakat kita adalah sebagian sangat suka tradisi sebagian lagi sangat 'gila pembaharuan'.

! Karakter penting lainnya adalah masyarakat kita dalam menerima pengaruh budaya asing tidak serta merta mengambilnya begitu saja. Selalu melewati suatu 'penyaring' (filter) pada tahap mana diskusi dan proses alih ragam dilakukan. Persinggungan ipoleksosbudhankam punya 'penyaring yang maha penyaring' yaitu Pancasila.

Akankah semua karakter tersebut menjadi potensi yang dapat dikembangkan?, semuanya terserah kepada kita untuk dapat menyikapinya... Penutup

Belajar banyak dari kelebihan dan kekurangan tradisi berarsitektur yang pernah ada, akhimya dapat ditarik beberapa kesimpulan sementara sebagai berikut : ! Pendekatan tradisi berarsitektur di Indonesia lebih optimal jika diarahkan pada

praktek, tranformasi, teori, atau pun teori, tranformasi. praktek , daripada sekadar praktek, teorl atau teori. praktek. Sebab sejarah mencatat persinggungan budaya asing dengan budaya lokal di Indonesia hanya mengenal kata kunci asimilasi dan akulturasi. Adaptasi dan bukan adopsi.

! Teori transformasi dan praktek tersebut dapat dianalogikan dengan pencarian terhadap nilai dasar falsafah, nilai instrumental maupun nilai praksis.

! Pencarian nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis dalam tiap proses perencanaan dan perancangan perlu senantlasa dilakukan karena pola pikir, misalnya Mitologis, Ontologis dan Fungsional dan konsep-konsep lain dalam ‘jagat arsitektur', tidak lagi kita terima secara satu per satu dan bertahap tetapi secara serempak dan bolak balik (resiprokal). Pencarian hakekat atau nilai dasar, membebaskan kita dari pengulangan kesalahan ‘menangkap rupa dan gaya tanpa mengungkap makna'. Menata space kehilangan place...

! 'Institusionalisasi' dan 'konstitusionalisasi' dalam tradisi berarsitektur di Indonesia tetap diperlukan karena masyarakat (arsitektur) kita masih berkarakter paternalistik, perlu banyak pedoman, panduan dan tuntunan.

Page 10: Pendekatan Tradisi Berarsitektur Di Indonesia

Pendekatan Tradisi Berarsitektur di Indonesia

N Vinky Rahman ©2003 Digitized by USU digital library

10

Di atas kertas mungkin hal ini mudah, tidaklah demikian halnya di lapangan. Tetapi bukankah kemampuan untuk memecahkan masalah dl lapangan inilah, yang menjadi unggulan bidang ilmu desain dibandingkan bidang ilmu sains dan humaniora?. DAFTAR PUSTAKA ! Framton. K (1994) Modern Architecture a Critical History Thames and Hudson Ltd

London ! Glusberg, J (1991) Deconstruction a Student Guide. Academy Edition. New York ! Jencks, M (1987) The Language of Post-Modern Archiecture. Academy Group.

London ! Koentjaraningrat ( 1979) Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. jakarta ! Mangunwijaya.Y.B (1988) Wastu Citra. PT.Gramedia jakarta ! Peursen. CA (1993) Strateg Kebudayaan, Kanisius Yogyakarts ! Piliang, VA ( 1993) Post-Modernisme. Institut Teknologi Bandung ! Sastrowardoyo, RS (1374) Arsitektur Tradisional Bali dan Permasalahannya.

BIC/PITB Ditjen Cipta Karya Departemen PU