pendekatan progresif1 untuk mewujudkan pembangunan

22
Page 1 of 22 Pendekatan Progresif 1 Untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Di Kawasan [Entitas] Pesisir Terpencil Tukul Rameyo Adhi 2 , Harry Sudarsono 3 dan Matthias Rhein 4 14 November 2020 1. Pengantar Kawasan/entitas pesisir terpencil 5 merupakan kasus yang unik, berbeda dengan kasus pesisir pada umumnya dan masih jarang kajian/pemelitian dalam literatur akademis tentang pembangunan pedesaan. Dalam hal kebijakan dan implementasinya, topik ini adalah topik yang memiliki nilai strategis bagi negara kepulauan mana pun, terutama ketika dihadapkan pada peningkatan disparitas dan ketimpangan regional, seperti yang terlihat di Indonesia (contohnya, Oxfam 2017). Selain mempertimbangkan kendala umum untuk pembangunan pedesaan, makalah ini mengungkapkan beberapa tantangan dan peluang yang khas di wilayah pesisir terpencil Indonesia, yang meliputi pulau-pulau kecil terdepan, dan daerah pesisir terpencil lainnya. Makalah ini mencoba untuk mengembangkan beberapa kesimpulan, hipotesis dan skenario 1 adalah suatu pendekatan alternatif, bila dibandingkan dengan pendekatan yang ada, menghasilkan sesuatu yang relatif lebih baik terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan baik secara kualitatif, maupun secara struktural dan berlangsung secara sistematik. Pendekatan progresif “bukan” sekedar perpanjangan atau extrapolasi dari data, pola pikir dan asumsi yang lama dan usang. 2 Yayasan Barunastra 3 Yayasan Barunastra 4 Seventythree 5 MacQueen et al. (2001) menyimpulkan terdapat lima elemen dalam suatu masyarakat yakni: a) Lokasi sebagai entitas geografis; b) Kepentingan bersama; c) Tindakan kolektif berdasar koherensi identitas; d) ikatan sosial atau kohesi sosial; dan e) memiliki keragaman. Berdasarkan karakteristiknya, masyarakat di entitas geografis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terbagi menjadi tiga yaitu masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. untuk pengembangan dan integrasi mereka dengan ekonomi yang lebih luas. Tujuannya adalah untuk berkontribusi pada diskusi-diskusi yang lebih beragam, menginspirasi penelitian yang lebih terfokus ke dalam topik lintas sektoral, dan pada akhirnya, untuk mengintroduksi kebijakan, perencanaan, dan implementasi yang relevan. 2. Kendala Spasial Perkembangan kajian akademis yang terus meningkat tentang kendala spasial untuk pembangunan daerah pedesaan telah menunjukkan bahwa keterpencilan merupakan faktor sentral dari ketertinggalan pembangunan dan kemiskinan kronis (contohnya, Bigman dkk. 2000, Bird dkk. 2004, Chambers 1983, Gallup dkk. al. 1998, Ravallion dkk. 1997, 1999, Watts & Bohle 1993). Karakteristik umum penduduk di daerah pedesaan terpencil meliputi: Persentase angkatan kerja yang tinggi di sektor primer; Tingginya kepadatan rumah tangga miskin dan rentan tanpa aset; Migrasi keluar yang tinggi dan ketergantungan yang tinggi pada pengiriman uang dan bantuan; Tingkat risiko yang tinggi, tingkat keamanan pangan dan perlindungan sosial rendah; Stigma dan rendahnya keberadaan modal sosial, misalnya, kurangnya kepercayaan, kapasitas organisasi yang buruk, dan menyusutnya peranan institusi tradisional. Semua karakteristik tersebut dapat ditemukan pada tingkat yang berbeda-beda di wilayah pesisir terpencil Indonesia (Kotak 1).

Upload: others

Post on 13-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 1 of 22

Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Di Kawasan [Entitas] Pesisir Terpencil

Tukul Rameyo Adhi2, Harry Sudarsono3 dan Matthias Rhein4

14 November 2020

1. Pengantar

Kawasan/entitas pesisir terpencil5 merupakan kasus yang unik, berbeda dengan kasus pesisir pada umumnya dan masih jarang kajian/pemelitian dalam literatur akademis tentang pembangunan pedesaan. Dalam hal kebijakan dan implementasinya, topik ini adalah topik yang memiliki nilai strategis bagi negara kepulauan mana pun, terutama ketika dihadapkan pada peningkatan disparitas dan ketimpangan regional, seperti yang terlihat di Indonesia (contohnya, Oxfam 2017).

Selain mempertimbangkan kendala umum untuk pembangunan pedesaan, makalah ini mengungkapkan beberapa tantangan dan peluang yang khas di wilayah pesisir terpencil Indonesia, yang meliputi pulau-pulau kecil terdepan, dan daerah pesisir terpencil lainnya. Makalah ini mencoba untuk mengembangkan beberapa kesimpulan, hipotesis dan skenario

1 adalah suatu pendekatan alternatif, bila dibandingkan dengan pendekatan yang ada, menghasilkan sesuatu yang relatif lebih baik terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan baik secara kualitatif, maupun secara struktural dan berlangsung secara sistematik. Pendekatan progresif “bukan” sekedar perpanjangan atau extrapolasi dari data, pola pikir dan asumsi yang lama dan usang. 2 Yayasan Barunastra 3 Yayasan Barunastra 4 Seventythree 5 MacQueen et al. (2001) menyimpulkan terdapat lima elemen dalam suatu masyarakat yakni: a) Lokasi sebagai entitas geografis; b) Kepentingan bersama; c) Tindakan kolektif berdasar koherensi identitas; d) ikatan sosial atau kohesi sosial; dan e) memiliki keragaman. Berdasarkan karakteristiknya, masyarakat di entitas geografis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terbagi menjadi tiga yaitu masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

untuk pengembangan dan integrasi mereka dengan ekonomi yang lebih luas. Tujuannya adalah untuk berkontribusi pada diskusi-diskusi yang lebih beragam, menginspirasi penelitian yang lebih terfokus ke dalam topik lintas sektoral, dan pada akhirnya, untuk mengintroduksi kebijakan, perencanaan, dan implementasi yang relevan.

2. Kendala Spasial

Perkembangan kajian akademis yang terus meningkat tentang kendala spasial untuk pembangunan daerah pedesaan telah menunjukkan bahwa keterpencilan merupakan faktor sentral dari ketertinggalan pembangunan dan kemiskinan kronis (contohnya, Bigman dkk. 2000, Bird dkk. 2004, Chambers 1983, Gallup dkk. al. 1998, Ravallion dkk. 1997, 1999, Watts & Bohle 1993).

Karakteristik umum penduduk di daerah pedesaan terpencil meliputi:

• Persentase angkatan kerja yang tinggi di sektor primer;

• Tingginya kepadatan rumah tangga miskin dan rentan tanpa aset;

• Migrasi keluar yang tinggi dan ketergantungan yang tinggi pada pengiriman uang dan bantuan;

• Tingkat risiko yang tinggi, tingkat keamanan pangan dan perlindungan sosial rendah;

• Stigma dan rendahnya keberadaan modal sosial, misalnya, kurangnya kepercayaan, kapasitas organisasi yang buruk, dan menyusutnya peranan institusi tradisional.

Semua karakteristik tersebut dapat ditemukan pada tingkat yang berbeda-beda di wilayah pesisir terpencil Indonesia (Kotak 1).

Page 2: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 2 of 22

Selama ini, penelitian akademis tentang

kendala spasial untuk pembangunan pedesaan difokuskan pada:

(i) kegagalan pasar yang menyebabkan kurangnya investasi dan ekstraksi sumber daya tanpa manfaat yang sesuai dengan kebutuhan penduduk lokal;

(ii) kegagalan negara yang menyebabkan buruknya infrastruktur, kurangnya

layanan dasar, dan perlindungan sosial yang tidak memadai;

(iii) kegagalan sosial yang mengarah pada pengucilan, diskriminasi, gangguan keamanan dan stabilitas politik, dan peningkatan ketimpangan sosial dan ekonomi; dan

(iv) kegagalan politik yang menyebabkan segmen penduduk yang terpencil dan sangat miskin dipandang sebagai konstituen yang kurang menarik oleh partai politik (dibandingkan dengan kaum miskin temporer dan di perkotaan), karena sulit dan mahal untuk menangani permasalahan mereka dalam periode pemilu.

Kerangka analisis utama yang muncul dari

penelitian selama ini terpusat kepada: (i) Modal geografis adalah modal fisik,

sosial, politik dan manusia dari suatu daerah tertentu. Di wilayah dengan kandungan kekayaan alam yang kecil, pengembalian investasi, bahkan dalam modal SDM, akan rendah (Ravallion & Wodon 1999). Pasar biasanya lebih kecil, lebih saling terkait, dengan surplus yang dapat dipasarkan kecil, biaya transportasi dan transaksi yang lebih tinggi, dan tidak dapat memperoleh keuntungan dari skala ekonomi. Jarak yang lebih jauh dari pusat kota dan pasar utama membatasi perdagangan, spesialisasi, akses ke kredit, dan sebagainya. Jarak juga berinteraksi dengan agro-ekologi sebagai penentu modal geografis (Bigman & Fofack 2000).

(ii) Konsep eksklusi sosial sangat membantu untuk menjelaskan kemiskinan yang permanen di daerah pedesaan (misalnya, de Haan 1999), tetapi mengaburkan masalah integrasi sosial yang merugikan ke dalam pola kerja kuasi-feodal, rezim perdagangan yang menindas, dan sebagainya. Praktik ini dapat ditemukan di sebagian besar wilayah pesisir terpencil di Indonesia, dan umum terjadi di semua wilayah studi pesisir kami. Sekalipun program

KOTAK 1: Perbedaan spasial dalam kesejahteraan rumah tangga pedesaan di Indonesia Penelitian tentang karakteristik sosio-ekonomi entitas pesisir Indonesia terhambat oleh kurangnya pemilahan dalam statistik resmi yang menghalangi pembedaan antara nelayan pesisir dan rumah tangga petani yang berpusat pada daratan. Oleh karena itu, perbandingan indikator kesejahteraan mereka harus bergantung pada proksi seperti indeks harga input-output untuk nelayan dan petani. Berdasarkan indikator ini, Bank Indonesia menyimpulkan pada tahun 2016 bahwa rumah tangga nelayan berada di bagian bawah piramida sosial ekonomi Indonesia, di mana mereka tetap terjebak dalam jaring kemiskinan struktural yang menolak strategi pertumbuhan pro-poor secara komprehensif.

Gambar 1: Indeks harga input-output untuk rumah tangga petani (farmer) dan nelayan (fisherman), 2013-2015 Sumber: Witular 2016, berdasarkan Bank Indonesia 2016

Page 3: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 3 of 22

pemerintah untuk pemberian kredit, asuransi kesehatan, atau perlindungan sosial menjangkau area-area ini, program tersebut seringkali kesulitan untuk menembus jaringan sosial yang ketat dan telah diciptakan melalui integrasi sosial yang merugikan.

(iii) Tata Kelola (governance) adalah fokus baru dalam wacana akademis tentang pembangunan pedesaan. Banyak akademisi sekarang melihat tata kelola yang buruk sebagai kendala mendasar untuk mencapai kemajuan sosial ekonomi atau pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan melalui kebijakan publik (misalnya, Bird et al. 2004). Menurut Moore dan Putzel (1999), sebagian besar orang di wilayah pesisir terpencil di seluruh dunia tidak memiliki suara politik yang efektif baik dalam rezim otoriter maupun demokratis. Tidak ada bukti bahwa pelimpahan kekuasaan politik ke daerah berdampak baik bagi mereka. Temuan penelitian kami menunjukkan bahwa parameter tata kelola yang baik untuk entitas pesisir terpencil tidak selalu sesuai dengan yang ditemukan dalam resep kebijakan arus utama. Mereka perlu dianalisis lagi, dan diselaraskan dengan realitas entitas pesisir terpencil Indonesia.

Baru-baru ini, gagasan yang dipinjam dari

disiplin ilmu dinamika sistem dan teori kompleksitas telah memasuki wacana akademis tentang pembangunan pedesaan. Penelitian terkait berfokus pada bagaimana konstelasi faktor-faktor yang berbeda membentuk kendala bagi pembangunan pedesaan, seperti yang diilustrasikan dalam Kotak 2 dengan contoh kontribusi perikanan terhadap kesejahteraan rumah tangga pesisir dan, umumnya, pembangunan pesisir.

3. Ekonomi Kawasan Pesisir Terpencil

Bab ini merangkum temuan-temuan dari kajian kami terhadap literatur akademis dan hasil penelitian jangka panjang kami sendiri tentang topik ini.

3.1 Karakteristik

Keragaan entitas pesisir terpencil Indonesia dicirikan kondisi ekologi, sosial budaya, dan ekonomi yang beragam. Keragaman sosial-ekologi dibentuk dan berkaitan dengan kondisi geografi, skala, topologi, demografi, dan kondisi lainnya. Potensi pertanian ditentukan oleh jenis tanah yang sebagian besar berasal dari vulkanik, atau berupa atol karang yang terbuat dari berbagai sedimen dan bahan lainnya. Bentuk, topologi dan ukuran daratan mereka, beserta iklim lokalnya, menentukan potensi umum mereka untuk segala bentuk industri primer berbasis lahan. Terlepas dari keragaman ini, pesisir terpencil Indonesia memiliki banyak karakteristik dan tantangan yang sama.

Sektor produktif di wilayah pesisir terpencil pada umumnya bergantung pada basis sumber daya alam yang terbatas, yang merupakan faktor-faktor penghubung kelestarian lingkungan dan produktivitas sumber daya dengan kinerja ekonomi mereka dan kesejahteraan penduduknya. Mereka menderita karena kondisi-kondisi ini: (i) skala disekonomi (diseconomies of scale), seperti pasar kecil dan tidak sempurna karena tanpa persaingan; (ii) tingginya biaya infrastruktur, transportasi, utilitas, perdagangan, dan barang dan jasa (impor); dan (iii) kurangnya keragaman terkait keterampilan dasar, produk ekspor dan tujuan pasar mereka. Seringkali, kondisi ini semakin diperparah oleh kekakuan pasar faktor-faktor produksi, nilai tukar perdagangan yang tidak menguntungkan, kapasitas kelembagaan publik dan swasta yang terbatas, dan kurangnya modal sosial dan politik6.

6 Di sini, modal politik didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menyuarakan kebutuhan dan preferensi yang bersangkutan, dan mempengaruhi keputusan dalam arena politik. Modal sosial secara luas didefinisikan sebagai kapasitas untuk tindakan kolektif di dalam dan di berbagai segmen masyarakat.

Page 4: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 4 of 22

Entitas pesisir terpencil juga memiliki

tantangan lingkungan yang sama. Meskipun tantangan seperti perubahan iklim dan bencana alam bersifat eksternal, penurunan produktivitas dan peningkatan degradasi sumber daya alam masyarakat pesisir seringkali ditimbulkan oleh entitas pesisir itu sendiri. Sebuah daratan kecil menyiratkan daerah aliran sungai kecil dan persediaan air tawar terbatas, serta kapasitas yang terbatas untuk menyerap

limbah. Batasan spasial seperti itu membatasi kemampuan pulau-pulau kecil untuk mengatasi urbanisasi atau industrialisasi yang semakin cepat. Saat terjadi tekanan-tekanan demografis dan kekuatan pasar ke situasi ini, umumnya hasil yang terjadi adalah tingkat persaingan yang tinggi yang mengarah pada penggunaan tanah, air, dan sumber daya alam yang berlebihan.

KOTAK 2: Kendala sosio-ekologis untuk pembangunan pesisir Gambar 2 mengilustrasikan bagaimana berbagai faktor dapat saling memperkuat untuk menghambat pengembangan entitas pesisir terpencil. Model ini dibangun dari data dan penelitian tentang kasus penangkapan ikan berlebih (over-fishing) yang berdekatan dengan suatu kawasan suaka laut di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan (Taruc, 2019)

Gambar 2: Diagram lingkaran sebab akibat dari suatu perangkap sosio-ekologis

Dengan tidak adanya peluang ekonomi, akses ke kredit dan perlindungan sosial, rumah tangga nelayan Indonesia biasanya mengandalkan kredit dari pedagang lokal dan pemilik kapal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai pendidikan anak-anak mereka, atau mengatasi suatu hal yang tak terduga seperti sakit. Praktik ini sering kali mengikat rumah tangga nelayan ke dalam ikatan jeratan hutang jangka panjang yang tidak jelas sehingga mereka tidak dapat beralih mata pencaharian. Hal ini, pada gilirannya, memperkuat praktek penangkapan ikan yang berlebih dan merusak, yang selanjutnya diperparah oleh kekuatan pasar. Interaksi faktor-faktor ini memperkuat integrasi yang merugikan bagi rumah tangga pesisir ke dalam struktur sosial dan ekonomi yang tidak mendukung, bersama dengan degradasi ekosistem laut-pesisir. Secara keseluruhan, interaksi ini membentuk kendala-kendala untuk pengembangan, diversifikasi, dan integrasi entitas pesisir terpencil yang tidak dapat dikaitkan dengan serangkaian faktor tertentu saja. Jika dinamika ini tetap berlangsung, bahkan kebijakan dan intervensi publik yang dimaksudkan dengan baik dapat menghasilkan hasil yang berlawanan dengan keinginan atau kontraproduktif.

Page 5: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 5 of 22

Entitas pesisir terpencil menunjukkan tingkat kerentanan lingkungan dan kerentanan ekonomi yang lebih tinggi, dan menghadapi

tantangan keberlanjutan “lebih mendesak” dibandingkan dengan ekonomi berbasis lahan yang lebih besar. Suatu peristiwa bencana alam atau degradasi basis sumber daya secara bertahap dapat melenyapkan seluruh ekonomi pulau. Seperti yang ditunjukkan oleh contoh ekonomi kepulauan kawasan Pasifik, pasar untuk industri utama mereka biasanya tidak stabil. Integrasi yang mendalam dengan pasar yang terbatas dapat meningkatkan ketidakstabilan ini, misalnya, dengan meningkatkan ketergantungan dan kerentanan mereka terhadap gejolak barang-barang impor strategis seperti makanan dan bahan bakar.

3.2 Ekonomi MERBIT

Pada 1980-an, Bertram dan Watters menciptakan istilah ekonomi MIRAB untuk menggambarkan negara-negara kecil di Pasifik Selatan, yang menjadi identik dengan ekonomi pulau kecil dalam literatur akademis (Bertram 2006). Perekonomian MIRAB bergantung pada migrasi (Migration) untuk menghasilkan pengiriman uang (Remittances), dan Bantuan Asing (Foreign Aid) untuk mendukung birokrasi pemerintahan mereka (Bureucracies).

Kami memperkenalkan ekonomi MERBIT sebagai sebuah stereotip ekonomi pesisir terpencil Indonesia yang sesuai dengan temuan penelitian kami. Perekonomian MERBIT bergantung pada migrasi (M) dan edukasi (E) untuk menghasilkan arus masuk pengiriman uang (Remitansi). Survei kami terhadap rumah tangga pesisir di Sulawesi Selatan, Maluku, Papua Barat, dan Papua Tengah menunjukkan bahwa masyarakat pesisir terpencil melihat pendidikan anak-anak mereka sebagai strategi terbaik untuk keluar dari kemiskinan. Perekonomian MERBIT tetap bertahan meskipun dengan tingkat pendapatan dan produktivitas yang relatif rendah di industri primer dan sekunder beserta birokrasinya (Birokrasi) melalui transfer (Transfer) dari anggaran negara, khususnya dari pemerintah pusat. Sebagai imbalan atas transfer ini, birokrasi mempertahankan status-quo sosial-politik entitas pesisir terpencil, dan mempertahankan sejumlah kendali pusat atas basis sumber daya alam mereka, serta

KOTAK 3: Ekonomi Pulau Kecil Di Kawasan Pasifik Ekonomi pulau-pulau kecil di kawasan Pasifik mencatat pertumbuhan PDB rata-rata terendah dan sejauh ini paling tidak stabil. Tingkat pertumbuhan mereka berkisar dari 2,0 hingga 9,1 persen, dengan volatilitas lebih dari dua kali lipat dari semua Negara Berkembang yang dapat dikaitkan dengan ketergantungan yang besar pada perdagangan komoditas untuk mendorong pertumbuhan. Arus perdagangan, yang dinyatakan sebagai jumlah ekspor komoditas dan impor relatif terhadap PDB, jauh lebih tinggi di negara-negara pulau kecil daripada di semua Negara Berkembang dan Negara Miskin lainnya. Ekspor dan impor komoditas dari negara-negara pulau kecil sebagai persentase dari PDB mereka dalam satu tahun selama periode 1980 hingga 2007 tidak kurang dari 95 dan paling tinggi 141 persen, dan rata-rata 110 persen. Angka yang setara untuk semua negara berkembang adalah masing-masing 64, 94 dan 78 persen (Komisi Eropa 2012). Penghasilan utama sebagian besar ekonomi kepulauan Pasifik bergantung pada ekspor suatu komoditas. Ketergantungan eksternal ini meningkatkan kerentanan mereka terhadap ancaman dan guncangan eksternal. Biaya satuan yang tinggi untuk produksi barang dan jasa pulau, dan biaya transportasi yang tinggi mengakibatkan harga tidak bersaing. Biaya impor dan ekspor barang semakin meningkat karena diperlukan waktu lama untuk menyimpan barang impor dan ekspor mereka karena jarangnya dan kurangnya pilihan dalam transportasi dan peluang perdagangan. Dalam ekonomi kepulauan ini, kita sering mengamati konsentrasi bisnis dalam distribusi impor dan pengendalian ekspor. (Tisdell 2006, 2009)

Page 6: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 6 of 22

infrastruktur publik, utilitas, pelayanan publik, dan keimigrasian mereka.

Secara keseluruhan, konfigurasi MERBIT tidak memberikan insentif yang kuat bagi birokrasi untuk menjadi progresif atau responsif terhadap warganya, terutama ketika populasinya tersebar secara spasial dan / atau terpisah secara etnis, sosial atau politik. Seperti yang terlihat pada tingkat disparitas regional yang semakin meningkat, konfigurasi tersebut tidak banyak membantu meningkatkan permintaan, produktivitas atau daya saing ekonomi pesisir terpencil. Pengaruh ekonomi MERBIT dalam perekonomian domestik Indonesia akan memberikan tekanan pada sisi permintaan dan output Indonesia secara keseluruhan (agregat), dan bahkan dapat menjadi hambatan tercapainya Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan tujuan kebijakan nasional terkait lainnya

4. Diskusi

Bab ini menyajikan pembahasan singkat

tentang hasil-hasil yang telah disarikan dari

beberapa kajian kami sebelumnya, untuk dapat

dijadikan sebagai bahan hipotesis pada

penelitian lebih lanjut, serta gagasan-gagasan

dalam pengembangan kebijakan

4.1 Ekonomi

Dengan sendirinya, entitas pesisir terpencil, terutama pulau-pulau kecil, menyerupai ekonomi sirkular di mana kandungan kekayaan alam dengan modal geografis membatasi pertumbuhan ekonomi dan pertambahan manusia. Di sini, hubungan kausal dan interaksi antara kelestarian lingkungan, produktivitas dan output ekonomi, kesejahteraan manusia dan stabilitas politik menjadi lebih dekat, lebih nyata dan lebih kuat daripada ekonomi domestik Indonesia yang lebih luas. Karena karakteristik tersebut, upaya untuk mengembangkan entitas pesisir terpencil menghadapi tantangan khusus.

Seperti yang ditunjukkan dalam literatur akademis, ekonomi pesisir terpencil biasanya tidak memiliki kondisi dasar untuk ekonomi pasar yang berfungsi penuh (misalnya, Tisdell 2006, 2009). Ini berarti bahwa resep konvensional untuk kebijakan ekonomi yang

berpusat pada industrialisasi skala besar, pasar bebas, atau privatisasi terhadap modal, sumber daya alam, dan tanah memiliki validitas terbatas. Terutama pada tahap awal dan formatif dalam pengembangan entitas pesisir terpencil, kebijakan semacam itu sering kali terbukti menimbulkan dampak negatif pada masyarakat, ekonomi, dan ekologi mereka.

Secara keseluruhan, bukti-bukti akademis menunjukkan bahwa kemajuan sosial-ekonomi wilayah pesisir terpencil, termasuk peningkatan kinerja dan daya saing industrinya, tidak bergantung pada seberapa kuat kelompok sosial dan sektor ekonominya bersaing satu sama lain, tetapi seberapa baik mereka bekerja sama. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas wilayah pesisir terpencil dengan populasi, sumber daya, dan alat produksi yang tersebar secara spasial memerlukan tingkat kemandirian dan ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang lebih terintegrasi dan terpusat pada kawasan daratan dan/atau perkotaan (terrestrial). Perkembangan [entitas]kawasan pesisir terpencil juga menyiratkan pilihan infrastruktur dan teknologi yang berbeda, serta struktur logistik yang berbeda (produksi dan distribusi pengiriman barang dan jasa).

Sebagai contoh, penggunaan alat-alat produksi yang dirancang sekali pakai (yaitu peralatan yang cepat rusak dan dibuang setelah berakhirnya masa garansi sehingga mendorong pembelian berulang) adalah hal biasa di perekonomian besar. Hal ini dianggap lazim sebagai praktik yang efisien secara ekonomi karena peningkatan volume produksi yang dihasilkan menurunkan biaya unit produksi sekaligus meningkatkan output dan keuntungan ekonomi. Namun, mengingat kapasitasnya yang terbatas untuk menyerap limbah padat, praktik ini tidak dapat dianggap efisien untuk kawasan pesisir terpencil, sehingga pilihan yang lebih baik adalah peralatan yang dibuat agar tahan lama dan dapat dipelihara secara lokal.

Analisis kami menunjukkan bahwa konsep ekonomi konvensional tentang skala, persaingan, produktivitas dan efisiensi yang menjadi pijakan pengembangan kebijakan perlu disesuaikan untuk entitas pesisir terpencil, misalnya, harus mencakup gagasan tentang

Page 7: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 7 of 22

skala optimal dan tingkat persaingan optimal untuk suatu wilayah dan serangkaian kegiatan ekonomi tertentu. Fokus konvensional pada produktivitas tenaga kerja harus diperluas untuk mencakup produktivitas lahan, laut, dan sumber daya. dan gagasan konvensional tentang pertumbuhan ekonomi yang tanpa kendali dan ekspansi manusia harus diimbangi oleh gagasan tentang keseimbangan ekologi dan stabilitas sosial.

Ekonomi neoklasik dan neoliberal dibangun berdasarkan konsep-konsep tentang negara dan perusahaan. Untuk ekonomi pesisir terpencil, konsep-konsep ini harus diperluas dengan memasukkan konsep kepemilikan bersama. Daerah aliran sungai dan wilayah pesisir seharusnya merupakan sumberdaya yang perlu dikelola bersama (aset milik bersama), karena sebagian besar kegiatan ekonomi dan sistem pendukung kehidupan lainnya berada bergantung pada aset tersebut, terutama sekali kelangsungan kehidupan bersama di kawasan pesisir terpencil. Pengelolaan terhadap aset bersama tersebut merupakan prasyarat apabila suatu “ekonomi pasar” diharapkan dapat berfungsi penuh. Jika tidak, akan menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan asset bersama melalui instrumen berbasis pasar dan privatisasi. Penerapan konsep kepemilikan bersama perlu dibentuk berdasarkan aturan/regulasi, atau mungkin menggantikan/mengubah tatanan tradisional yang sudah kurang, hal ini untuk menghindari kerusakan oleh tekanan-tekanan akses pasar yang tak terkendali terhadap sumber daya strategis dan sistem pendukung kehidupan mereka

4.2 Tata Kelola

Dalam pengelolaan sumber daya alam, pada umumnya, keberadaan aturan/regulasi dalam penerapannya perlu didukung oleh aparat yang cakap, efektif, dan ketersediaan anggaran yang cukup disertai dengan pedoman dan arahan kebijakan yang jelas. Namun, dalam hal ekonomi MERBIT yang memiliki kendala-kendala kompleks dan saling terkait dalam sistem politik yang sangat terfragmentasi, maka pendekatan yang hanya mengandalkan regulasi saja tidak efektif (Bertram 2006) dan perlu

dibarengi dengan tata Kelola. Kajian-kajian akademis tentang tata kelola menunjukkan bahwa tingkat keragaman, kompleksitas dan dinamika yang tinggi yang ada di kepulauan Indonesia merupakan kendala yang kuat tentang seberapa efektif dan rasionalnya suatu sistem administrasi, perencanaan dan manajemen terpusat (Bromley 2008, Campell dkk.2006, Doerner 1997, Jentoff 2007, 2009, Korkandy 2005, Moore & Putzel 1999, Rittel & Webber 1973)7.

Pelajaran yang kami peroleh dari sebagian besar studi kasus dan penelitian akademis mengarah kepada penerapan yang lebih ketat dari prinsip subsidiaritas8, di luar penyerahan kekuasaan politik kepada pemerintah provinsi dan kabupaten. Mengingat geografi Indonesia dan struktur politik yang terdesentralisasi, solusinya lebih cenderung kontekstual, artinya akan berbeda pada setiap kawasan tergantung pada kondisi lokal9. Pengaturan tata kelola yang efektif untuk implementasi kebijakan publik, dan dukungan terhadap demokratisasi, keadilan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan lebih cenderung menyerupai campuran polisentris antara elemen-elemen negara, pasar dan masyarakat sipil (Hatfield-Dodds et al. 2007, Kooiman et al. 2003, 2008,

7 Di sini, keragaman didefinisikan sebagai perbedaan kualitatif di dalam dan di antara entitas sosial dan entitas alam yang berinteraksi, kompleksitas muncul karena hubungan di dalam dan di antara entitas dan para aktor, dan dinamika timbul sebagai ketegangan di dalam dan di antara interaksi mereka. 8 PRINSIP SUBSIDIARITAS (dari kata Latin subsidium = bantuan, sokongan) dirumuskan Magnis-Suseno sebagai berikut: ....Masyarakat atau lembaga yang lebih tinggi kedudukannya harus memberi bantuan kepada anggota-anggotanya atau lembaga yang lebih terbatas sejauh mereka sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas mereka secara memuaskan. Sedangkan apa yang dapat dikerjakan secara memuaskan oleh satuan-satuan masyarakat yang lebih terbatas jangan diambil alih oleh satuan masyarakat yang lebih tinggi. hal. 307-308 F. MAGNIS-SUSENO, Etika Politik 9 Nampaknya agar efektif, seorang praktisi pemerintahan Indonesia harus memiliki kemampuan mental untuk secara bersamaan memegang beberapa gagasan yang saling bertentangan tanpa membuat salah satu atau pilihan di antara keduanya. Kesalahan asumsi bahwa jika satu pendekatan tertentu tidak berhasil, maka kebalikannya harus berhasil harus dihindari.

Page 8: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 8 of 22

Ostromet al.2002). Karya akademisi progresif seperti penerima Hadiah Nobel Elinor Ostrom (1993) menyarankan bahwa pendekatan-pendekatan yang menekankan dan mendorong efektivitas biaya, kolaborasi, dan tata pengawasan (stewardship) merupakan hal-hal paling cocok untuk mengelola pemanfaatan ekonomis dari kepemilikan bersama dan memelihara sistem pendukung kehidupan yang esensial di kawasan pesisir terpencil.

Tata kelola mandiri, swasembada, dan tindakan kolektif tetap menjadi strategi penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan entitas pesisir terpencil, dan mempersiapkan mereka untuk berintegrasi dengan pasar luar. Seperti yang ditunjukkan oleh pandemi Covid-19, bahkan masalah global pun menjadi jauh lebih ringan ketika komunitas lokal, sistem lokal, dan pemerintahan lokal berfungsi dengan baik. Jika tidak ada, maka kebijakan publik dan intervensi pusat yang dirancang dengan baik pun tidak akan efektif di wilayah pesisir yang terpencil.

Rezim kepemilikan bersama, praktek-praktek kesehatan masyarakat yang secara proaktif berfokus pada pencegahan dan bukan pengobatan10, pengadilan pedesaan, sistem keuangan informal, infrastruktur yang tersebar, sistem utilitas serta produksi yang terdesentralisasi adalah bagian penting dari sistem tata kelola lokal. Namun demikian, sistem tata kelola lokal tersebut belum mendapatkan banyak dikedepankan dalam wacana kebijakan nasional, rencana atau program.

Wacana tentang siapa yang harus memimpin dan mengawal pembangunan kawasan pesisir terpencil masih berbasis pada lembaga pemerintah, atau pendekatan manajerial korporasi (contoh: CSR) dan organisasi masyarakat sipil (contoh: program bantuan filantropi asing; dan sangat jarang penekanan diberikan kepada pendekatan akar rumput asli untuk pengembangan industri dan ekonomi pesisir baru11.

10 Strategi ini memungkinkan Kuba membangun salah satu sistem kesehatan masyarakat yang paling hemat biaya di dunia. 11 Sungguhpun, sejumlah industri penting di Indonesia seperti produksi rumput laut oleh rumah tangga pesisir,

Meningkatkan kapasitas untuk bentuk-bentuk tata kelola yang lebih kolaboratif tampaknya merupakan kunci untuk implementasi kebijakan publik yang efektif dan kemajuan bagi entitas pesisir terpencil (contohnya, Ansell & Gash 2001, Armitage et al. 2017). Ini akan membutuhkan: (i) peningkatan kapasitas lokal sehingga membuat pemerintah daerah dan agen perubahan dari sektor-sektor publik, korporasi dan sipil lebih responsif dan akuntabel; dan (ii) peningkatan kapasitas pusat untuk mendukung dan memantau perkembangan entitas pesisir terpencil. Pendekatan yang paling efektif bagi instansi pusat untuk mendukung pembangunan pesisir mungkin bukan dalam penyampaian program kebijakan dari atas ke bawah, tetapi dalam menciptakan infrastruktur lunak dan keras, dan insentif ekonomi untuk mobilisasi mandiri penduduk pesisir.

Mempertimbangkan dampak keterpencilan dan keterbatasan-keterbatasan lainnya terhadap efektivitas lembaga-lembaga eksternal, serta terbatasnya legitimasi organisasi masyarakat sipil dan korporasi untuk bertindak sebagai negara 'bayangan', lembaga desa mungkin harus berperan lebih menonjol. Namun, hingga saat ini, peran tersebut belum dieksplorasi dalam pengembangan entitas-entitas pesisir terpencil. Desa adalah lembaga yang paling dekat dengan basis sumber daya dan populasi pesisir Indonesia yang beragam dan tersebar secara spasial. Di tingkat desa, sebagian besar warga wilayah pesisir terpencil berinteraksi secara kolektif, dengan desa lain, dan dengan negara melalui jalur kelembagaan desa. Sebagaimana diatur dalam undang-undang Indonesia, desa bukanlah bagian dari struktur pemerintahan, tetapi merupakan unit otonom, yang memungkinkan mereka untuk berperan lebih besar dalam mendorong demokratisasi bangsa.

produksi pangan oleh pertanian rumah tangga kecil, atau produksi kayu untuk industri furnitur dalam negeri bahkan kebun kayu berbasis rumah tangga dan desa telah dikembangkan dari bawah ke atas, berlawanan dengan integrasi vertikal, pendekatan atas-bawah yang dipromosikan oleh pemerintah, perusahaan dan banyak LSM.

Page 9: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 9 of 22

Undang-Undang 'Desa' No. 6 tahun 2014 memungkinkan desa untuk mengambil peran yang lebih strategis dalam pelaksanaan kebijakan nasional untuk pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan. Langkah-langkah yang memungkinkan mereka menjalankan fungsi ini meliputi: (i) memberikan pengakuan hukum atas kepemilikan sumber daya pesisir kepada desa-desa, misalnya, berdasarkan klaim hukum adat; (ii) pencantuman wilayah pesisir dalam tata kelola desa di dalam rencana tata ruang (RZWP3K); dan (iii) transfer bertahap kewenangan dari pemerintah daerah. Di tingkat nasional, rencana pembangunan jangka menengah harus diubah dengan memasukkan ketentuan pengelolaan sumber daya pesisir berbasis desa dan pengembangan industri pesisir yang dipimpin oleh desa.

4.3 Integrasi

Ketergantungan jalur dan pilihan publik Literatur tentang sejarah Indonesia

menunjukkan bahwa ketergantungan jalur telah memainkan peran penting dalam membentuk sikap publik dan kebijakan publik untuk integrasi entitas pesisir terpencil ke dalam negara kebangsaan12. Secara sederhana, tradisi mempertahankan pandangan bahwa membangun hubungan patron-klien yang kuat dan ketergantungan antara elit pusat dan elit lokal adalah kunci untuk menjamin persatuan dan stabilitas nasional, dan kendali pusat atas basis sumber daya entitas-entitas pesisir terpencil adalah jalan menuju pertumbuhan dan kemajuan.

Tradisi ini telah diabadikan dalam kebijakan nasional di hampir semua sektor. Contohnya adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I) 2011-2025, yang menekankan kepada penyediaan

12 Misalnya, pada tahap awal terbentuknya negara Indonesia, kebijakan maritime sangat penting, seperti yang ditunjukkan melalui pengakuan negara kepulauan yang dideklarasikan oleh United Nations Convention on the Laws of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982. Namun demikian, di bawah rezim Orde Baru Kebijakan maritim tidak lagi dipandang strategis, dan kebijakan-kebijakan ekonomi, pertahanan dan pembangunan menjadi semakin berpusat pada daratan (misalnya, Dick et al. 2002, Kartadjoemena 2010, Mietzner&Misol 2013).

akses tanah dan sumber daya alam Indonesia bagi pemilik modal dan korporasi untuk membantu industrialisasi di Jawa dan beberapa daerah-daerah pusat pertumbuhan terpilih. Dilihat dari latar belakang sejarah ini, Kebijakan Kelautan Indonesia yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 16 Maret 2017 berbeda dari jalur tradisional. Tidak seperti kebijakan pendahulunya, Kebijakan Kelautan Indonesia membuat ketentuan untuk pembangunan infrastruktur yang mengintegrasikan sosial-ekonomi dari wilayah pesisir dan populasi terpencil ke dalam produk, jasa dan pasar faktor-faktor produksi Indonesia, di luar tujuan hanya sekedar untuk mendapatkan akses ke tanah dan sumber daya mereka.

Namun, dengan diumumkannya RUU Cipta Kerja pada Oktober 2019 dan diajukan ke DPR pada Februari 2020, pendulum kini kembali berayun ke cara lama. UU Cipta Kerja berupaya merampingkan regulasi tentang perpajakan dan perizinan perusahaan, sekaligus melemahkan kontrol lokal, undang-undang ketenagakerjaan, dan standar lingkungan hidup, sehingga memudahkan akses modal dan korporasi terhadap tanah dan sumber daya alam. Justifikasi publik atas pembalikan kebijakan ini, mengutip dari Pidato pengukuhan Presiden pada Oktober 2019, “yang utama bukan proses, yang utama adalah hasil”, yaitu peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).

Tidak diragukan lagi bahwa merampingkan peraturan yang tidak efisien dan meningkatkan arus masuk investasi akan meningkatkan perekonomian Indonesia. Namun, pertanyaan tentang bagaimana, untuk keuntungan siapa, dan untuk tujuan apa peningkatan ini akan dicapai tetap menjadi inti dari kualitas pertumbuhan, keadilan ekonomi, dan proses yang mendukung pembangunan entitas pesisir terpencil dan demokrasi pada umumnya13. Pertanyaan di atas bisa menggiring pada isu kritis bagi pembangunan bangsa Indonesia, apakah negara kepulauan terbesar ini akan

13 Fakta bahwa proses-proses yang terjadi melalui ekspansi ekonomi merupakan masalah telah banyak dibuktikan oleh perbudakan, feodalisme, dan kolonialisme selama berabad-abad, yang semuanya pernah dianggap sebagai kebijakan ekonomi yang baik dan strategi pertumbuhan yang efektif pada jamannya.

Page 10: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 10 of 22

tetap tumbuh bersama-sama atau tidak. Dengan kata lain, proses, kualitas pertumbuhan dan tata kelola tetap penting untuk menjaga keutuhan bangsa.

Dapat dikatakan, cara-cara tradisional cukup efektif untuk menjaga persatuan dan stabilitas keamanan selama beberapa dekade terakhir. Namun, bukti-bukti yang semakin berkembang telah menunjukkan pembangunan bangsa yang semakin tidak merata (contohnya, Oxfam 2017) dan munculnya ancaman non-tradisional terhadap keamanannya (contohnya, Morris & Paoli 2018) menunjukkan pentingnya bahwa strategi ini perlu disesuaikan ke dalam konteks abad ke-21 untuk menghindari risiko fragmentasi dan ketidakstabilan. Konsep dan modalitas integrasi

Banyak hal yang dapat dicapai populasi entitas pesisir terpencil untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan mereka jika bertindak secara kolektif, terutama jika dibantu oleh infrastruktur, utilitas, teknologi, dan layanan publik yang memadai. Namun, pada akhirnya batas perluasan yang dibatasi oleh kendala-kendala spasial akan terjadi, dan peningkatan lebih lanjut dari standar hidup mereka akan memerlukan tingkat integrasi yang lebih tinggi dengan pasar-pasar faktor produksi, produk dan jasa dari perekonomian yang lebih luas, pada tingkat domestik, regional dan global.

Namun, integrasi dengan pasar luar selalu menimbulkan risiko dan volatilitas baru untuk entitas pesisir terpencil, seperti yang terbukti dalam kasus ekonomi pulau di kawasan Pasifik (Kotak 3). Rekam jejak sejarah menunjukkan bahwa hal itu dapat menyebabkan gangguan, eksploitasi atau pola “boom-and-bust”14 pembangunan, dan memicu penurunan jangka panjang dari kesejahteraan dan produktivitas entitas pesisir terpencil melalui degradasi basis sumber daya mereka dan arus keluar bersih dari ibukota geografis15. Proses, modalitas, dan

14 Siklus boom dan bust adalah proses ekspansi ekonomi dan kontraksi yang terjadi berulang kali. 15 Perkembangan pulau Pasifik Nauru merupakan suatu contoh nyata dari fenomena ini. Karena “boom” guano yang terjadi pada akhir abad ke-19, lebih dari 80 persen permukaan pulau-pulau ini ditambang hingga cadangan fosfatnya benar-benar habis pada tahun 2006. Hingga saat

istilah yang digunakan entitas pesisir terpencil untuk berintegrasi dengan pasar luar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hasil.

Pelajaran sejarah menunjukkan bahwa entitas pesisir terpencil membutuhkan tingkat struktur dan kesiapan tertentu, yang mencakup hal-hal yang diungkapkan dalam bab sebelumnya tentang ekonomi dan tata kelola, sebelum mereka dapat sepenuhnya memanfaatkan peluang dan mengelola risiko yang ditimbulkan oleh integrasi mereka dengan pasar luar. Dalam hal urutan, terbukti bermanfaat bagi entitas pesisir terpencil untuk mencapai tingkat integrasi ke dalam yang lebih tinggi ke seluruh sektor ekonomi dan masyarakat mereka sebelum mencoba integrasi dengan pasar luar. Selama tahap-tahap awal proses ini, integrasi yang sederhana memungkinkan mereka beradaptasi dengan modalitas dan standar perdagangan baru sambil tetap dapat bergerak menurut iramanya sendiri tampaknya lebih disukai daripada integrasi mendalam di mana ekonomi lokal dan hubungan sosial dibentuk oleh pihak pasar di luar mereka (misalnya, Rodrik 2011, 2016).

Mempertimbangkan kendala-kendala spasial untuk suatu keberhasilan persaingan langsung dengan produsen-produsen komoditas berbasis lahan dan berskala industri, strategi ekonomi terbaik untuk industri pesisir terpencil mungkin adalah mengejar keunggulan komparatif secara simultan untuk peluang-peluang produksi berbiaya rendah di industri pesisir-kelautan, dan diferensiasi nilai tambah dari produk dan layanan mereka untuk membuka pasar-pasar khusus dan menciptakan permintaan16

4.4 Alternatif Kebijakan

Tidak seperti perekonomian kecil di kawasan Pasifik yang sebagian besar ditentukan oleh

ini, Nauru adalah gurun ekologi yang bangkrut dan harus mengandalkan kejahatan terorganisir, pencucian uang dan perdagangan narkoba untuk melanjutkan keberadaannya. Selama puncak ledakan guano, populasi local memperoleh bagian dari keuntungannya hanya 2 persen dan yang setengahnya dipotong oleh perusahaan sebagai 'biaya administrasi' (Mc Daniel &Gowdy 2000). 16 Kemampuan Fiji untukmenjual air mineral ke segmen lapisan atas dari pasar global memberikan suatu contoh yang menonjol dari keberhasilan penerapan strategi ini.

Page 11: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 11 of 22

kendala-kendala spasial mereka, jalur-jalur entitas pesisir terpencil Indonesia secara signifikan tunduk pada pilihan kebijakan publik. Kebijakan yang disarankan adalah kebijakan yang mendukung dan mendorong swadaya, kemandirian diversifikasi ekonomi di wilayah pesisir terpencil sebagai unsur-unsur ketahanan lokal. Hal tersebut akan memainkan peran penting dalam pembangunan berkelanjutan dan menuju kepada suatu proses integrasi yang berhasil dengan ekonomi nasional.

Selain daripada itu, diperlukan suatu rangkaian kebijakan pendamping yang bertujuan untuk menciptakan hal-hal berikut ini:

1) Infrastruktur yang memadai, tepat guna dan tepat sasaran,

2) Mengurangi kegagalan pasar, 3) Meningkatkan pelayanan publik di

bidang-bidang pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial,

4) Meningkatkan investasi sesuai dengan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat pesisir,

5) Menciptakan distribusi aset dan peluang ekonomi yang lebih untuk mendorong kelancaran dan kemajuan proses integrasi.

6) Membangun rantai pasokan dan ketentuan perdagangan yang lebih adil, untuk memastikan pembagian biaya dan manfaat yang lebih seimbang dari proses ini.

Secara bersama-sama, langkah-langkah ini

akan membantu untuk membuka keunggulan komparatif ekonomi pesisir terpencil untuk produksi pesisir laut di pantai dibandingkan dengan perikanan yang mengalami kepadatan penduduk, pemanfaatan berlebih (over-exploited) dan pencemaran terhadap sumber daya alam.

Saran-saran di atas bukanlah hal baru bila ditinjau dari segi konseptual maupun kebijakan. Namun, dalam konteks implementasinya masih mengalami kemandegan. Situasi tersebut terjadi karena kurangnya dukungan atau keberpihakan politik untuk mengurai secara serius permasalahan dalam implementasi. Sebagai contoh, ketika ditanya tentang “masa

depan” kawasan pesisir terpencil, jawaban khas yang diberikan oleh sebagian besar legislator, pembuat keputusan, dan perencana dalam berbagai diskusi dan wawancara kami, seringkali mengacu kepada angka-angka yang di ekstrapolasi atau dikembangkan dari kondisi masa lalu tetapi tanpa perubahan struktural atau kualitatif yang signifikan. Asumsi bahwa masa lalu harus menjadi “satu-satunya” cetak biru yang valid untuk masa depan. Ini adalah 'ketergantungan jalur mental', yang terbukti banyak diterapkan dalam rencana pembangunan pemerintah17. Meskipun dalam beberapa hal ada pengecualian yang patut dicatat, yang jelas bahwa menciptakan masa depan yang lebih baik untuk kawasan pesisir terpencil memerlukan gagasan dan pendekatan yang boleh jadi berbeda dengan cara yang berbeda pula. Meskipun pola pikir tersebut tampaknya belum memperoleh perhatian yang berarti di dalam proses pengembangan kebijakan dan program publik, karena masih terperangkap dengan masa lalu

5. Langkah Selanjutnya

Scenario Planning Dalam rangka mendorong pendekatan yang lebih positif bagi kemajuan pengembangan terpadu kawasan pesisir terpencil Indonesia, sangat diperlukan untuk menggantikan gagasan usang dan menyempurnakannya dengan yang lebih baik. Pelatihan perencanaan berbasis skenario dapat membantu di kedua hal tersebut. Perencanaan berbasis skenario biasanya digunakan untuk melengkapi perencanaan konvensional sehingga dapat meningkatkan respons terhadap perkembangan-perkembangan yang tidak terduga.18

17Kebijakan dan rencana untuk sektor sumber daya alam seperti kehutanan, perikanan atau perkebunan biasanya mendorong perluasan kapasitas pemrosesan melalui lebih banyak investasi sambil mengabaikan kelebihan kapasitas yang ada, yaitu modal yang tertanam (sunk capital), dan kekurangan pasokan secara kronis. Solusi umum untuk meningkatkan pasokan adalah perluasan areal panen dan kuota. 18Lihat Cairns &Wright 2011, De Ruiter 2014, atau Ramirez & Wilkinson 2016 untuk penjelasan rinci dari pengembangan skenario dan berbagai penggunaanya

Page 12: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 12 of 22

Dengan perkataan lain, kita beranjak dari gambaran masa kini dan membayangkan suatu gambaran masa depan dalam bentangan jarak, sehingga dapat membuka wawasan baru untuk menyusuri jalur tapak yang ingin diikuti untuk kemajuan entitas pesisir terpencil (Masa Depan 1 & 2 dalam Gambar 3). Contoh pengembangan perencanaan berbasis skenario akan dibahas pada bab selanjutnya.

Pengalaman kami menunjukkan bahwa alat pendekatan ini juga dapat diterapkan untuk berpikir bebas dari ketergantungan mental terhadap jejak masa lalu. Alih-alih terjebak dalam peristiwa dan keadaan masa lalu atau sekarang, sebaiknya pemikiran fokus kepada tren jangka panjang untuk membayangkan gejolak, ketidakpastian, dan hal-hal baru yang mungkin timbul, dan mengembangkan satu susunan pilihan masa depan alternatif yang berbeda. Sehingga, masa depan seolah-olah dapat dibayangkan sebagai “suatu impian yang perlu diwujudkan”.

Gambar 3: Mengatasi ketergantungan mental

terhadap jejak masa lalu

Mega Trend

Ada banyak bukti dan kesadaran publik yang makin membesar bahwa banyak sistem pertanian di seluruh dunia sedang mengalami penurunan dan krisis (contohnya, Weis 2007). Hal ini dapat dikaitkan dengan siklus terus berulang dari praktik penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan dan menghasilkan polusi dan emisi besar-besaran, yang, pada gilirannya, mengakibatkan kemerosotan pertanian dan memperkuat praktik-praktik membahayakan.

Pada saat yang sama, petani di seluruh dunia dihadapkan pada pendapatan riil yang semakin berkurang dan utang yang meningkat. Saat kita menambahkan pertumbuhan populasi, ketidaksetaraan, dan kerawanan pangan ke dalam tren ini, masuk akal bahwa banyak sistem produksi pangan dan komoditas dunia menjadi lebih rapuh, sulit diprediksi, dan semakin tidak mungkin untuk mengantisipasi terhadap kenaikan pertumbuhan permintaan global. Salah satu perkembangan yang mungkin muncul dari tren ini adalah bahwa lebih banyak produksi pangan dan komoditas yang terpaksa dibuang ke laut, sementara permintaan yang meningkat tidak dapat dipenuhi oleh cadangan kelautan yang semakin menipis dan ekosistem laut yang rusak.

Respon Progresif

Suatu respons progresif terhadap tren ini adalah mendorong pendekatan yang lebih inovatif dan sistematis untuk produksi pangan dan komoditas di lingkungan pesisir dengan meningkatkan produktivitas, keluaran, dan ketahanannya, sekaligus mengurangi limbah dan polusi.

Perubahan iklim menghadirkan ancaman serius bagi wilayah pesisir terpencil, tetapi bila dilihat dengan latar belakang ini, hal itu mungkin juga menawarkan peluang baru. Misalnya, jika ekonomi pesisir terpencil mengembangkan dan memperluas skala produksi melalui pendekatan inovatif untuk baik pangan dan komoditas lainnya secara “cerdas iklim” dan hemat biaya di lingkungan pesisir-laut, maka mereka akan memiliki keunggulan kompetitif atas produksi di lingkungan darat atau daerah pesisir yang penuh sesak dan semakin bermasalah. Integrasi secara bertahap kegiatan-kegiatan ekonomi di darat dan di laut, bukan pendekatan dualistik yang terpisah, akan membantu menciptakan peluang, industri, dan pasar baru, seperti yang digambarkan dalam Kotak 4 melalui contoh budidaya rumput laut.

Page 13: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 13 of 22

Bermimpi secara Realistik Mengembangkan skenario progresif adalah

tersedianya iptek yang terus disempurnakan, serta telah terimplementasinya tata kelola dan pengemangan ekonomi lokal. Pengembangan

ekonomi lokal yang dimaksud meliputi zonasi pesisir, sistem produksi dan sistem pengelolaan, serta pengintegrasian kegiatan ekonomi darat dan laut. Kondisi tersebut akan mewujudkan kawasan pesisir untuk mengkapitalisasi

KOTAK 5: Peluang baru untuk budidaya laut terintegrasi Di New Hampshire, AS, budidaya kerang dan rumput laut terpadu rata-rata seluas sekitar 8 hektar menghasilkan antara 25 hingga 75 ton rumput laut dan sekitar 615.000 kerang per hektar/tahun tanpa input, sambil menyaring polutan nitrat, amoniak dan fosfor dari aliran pembuangan darat, dan menyerap karbon atmosfer berlebih yang diserap oleh laut. Peternakan laut rata-rata sebesar ini membutuhkan modal awal sekitar US $ 30.000, mempekerjakan 10 orang, dan menghasilkan laba bersih tahunan antara US $ 150.000 hingga 300.000 per tambak, tidak memperhitungkan lapangan kerja tambahan dan keuntungan yang dihasilkan oleh pusat-pusat pengolahan dan pusat-pusat hasil makanan laut (Greenwave, 2019)

Gambar 4: Skema budidaya laut gelombang

hijau

KOTAK 4: Peluang baru untuk budidaya rumput laut Sampai saat ini, rumput laut hanya menyumbang sebagian kecil untuk pasokan biomassa global, sekitar 30x106 ton bobot segar dibandingkan dengan 16X1011 ton tanaman terestrial per tahun (Buschmann et al. 2017). Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa budidaya rumput laut dapat memainkan peran yang lebih besar dalam produksi makanan, pakan ternak, bahan kimia, obat-obatan, dan bahan bakar terbarukan (misalnya, Beardall et al. 2017, Chopin 2012). Tidak seperti tanaman biomassa terestrial, budidaya rumput laut tidak bersaing untuk mendapatkan tanah dan air, juga tidak membutuhkan input seperti bahan baku, pupuk atau pestisida. Ini dapat memberikan jasa lingkungan dengan meningkatkan penyerapan karbon, mengurangi polusi, dan memulihkan ekosistem laut yang rusak (misalnya, Cage 2018, Capron dkk. 2012, Flannery 2017).

Rumput Laut

Gambar 5: Berbagai kegunaan rumput laut

Page 14: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 14 of 22

keuntungan komparatif spasial dan sumberdaya yang dimiliki.

Dengan demikian, skenario progresif akan mendorong perubahan dari eksploitasi sumber daya laut-pesisir yang sebagian besar tidak terkoordinasi bergeser ke arah bentuk produksi yang lebih sistematis, cerdas iklim, dan berkelanjutan. Contohnya adalah budidaya laut terintegrasi yang didasarkan pada kombinasi terpilih dari spesies berbasis pakan dan ekstraktif yang mengikuti rantai makanan alami untuk mengurangi biaya, input dan dampak lingkungan secara keseluruhan dari produksi pangan dan komoditas di lingkungan laut-pantai. Salah satu contoh keberhasilan usaha pertanian laut (ocean farming) di sepanjang pesisir New Hampshire, USA ditunjukkan pada Kotak 5. Secara umum, kami membayangkan sebuah skenario yang melibatkan pengembangan pengetahuan tentang Integrated Multi-Trophic Aquaculture (ITMA) dan pengelolaan stok berbasis spesies secara alamiah digabungkan untuk mendukung pendekatan manajemen berbasis ekosistem dan sistem produksi pesisir terintegrasi.

Pilihan Jalur-Jalur Menuju Masa Depan Skenario ini dapat diwujudkan melalui

pendekatan yang berbeda, pada skala yang berbeda, dan dengan peran serta implikasi yang berbeda bagi negara, pasar dan produsen-produsen utama di wilayah pesisir. Berdasarkan tinjauan kami terhadap studi kasus dari seluruh dunia, kami telah menyusun tiga jalur potensial menuju kemajuan-kemajuan di masa depan dan membandingkannya dengan latar belakang kondisi umum terkini (status-quo) sebagaimana yang digambarkan dalam rencana Pemerintah.

1. Status-quo diperluas tanpa reformasi dan inovasi yang signifikan

Skenario status quo yang diperluas berdasarkan pada target produksi dan proyeksi pasokan pemerintah untuk sektor perikanan pada tahun 2019, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2014/19), telah disusun sebagai diagram stock-and-flow. Sintesis ini mengungkapkan beberapa asumsi mencengangkan yang belum diartikulasikan atau dipecahkan dalam perencanaan itu sendiri.

Gambar 6: Prospek pemerintah tahun 2014 tentang sektor perikanan pada tahun 201919

19 Pandangan ke depan Pemerintah untuk sektor ini terdiri dari kumpulan sejumlah asumsi yang heroik, sehingga merupakan titik awal yang ideal. Pikirkanlah secara mendalam tentang asumsi implisit dan kemungkinan implikasinya. Hal-hal apa yang diperlukan untuk mewujudkannya? Apakah kemungkinan masa depan untuk sektor ini jika asumsi ini salah? Bagaimana menanggapi masa depan itu? Bagaimana cara mencapai atau menghindari masa depan tersebut? Lebih lanjut, pertimbangkan dampak megatren (misalnya, perubahan iklim, migrasi ikan, pengasaman, polusi, tren sosial, ekonomi dan politik) untuk mengembangkan skenario masa depan yang kontras.

Page 15: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 15 of 22

Gambar 6 mengilustrasikan stok dan aliran biomassa laut (angka-angka di sepanjang garis) yang akan dibutuhkan untuk mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN (angka-angka dalam kotak). Kotak teks menyoroti asumsi 'tersembunyi' yang harus dipenuhi untuk

mewujudkan target Pemerintah. Ini termasuk: • Semua perikanan komersial Indonesia

berada di bawah pengelolaan yang efektif dan menghasilkan keluaran biomassa teoretis tertinggi (alias hasil lestari maksimum/MSY), yang sejauh ini belum dapat dicapai oleh negara manapun dalam praktiknya. Proyeksi pemerintah menyiratkan bahwa tidak ada hasil tangkapan sampingan (bycatch), atau bentuk-bentuk lain yang hilang atau pemborosan lainnya dari produksi primer. Tidak ada penangkapan ikan illegal (IUU).

• Seluruh produksi perikanan tangkap harus dialokasikan untuk industri budidaya, pengolahan dan ekspor agar dapat memenuhi target output yang ditetapkan. Proyeksi pemerintah mengasumsikan bahwa tidak ada kerugian atau pemborosan dalam rantai pasokan. Tidak ada dukungan/subsidi untuk penangkapan ikan subsisten, yang saat ini merupakan sekitar seperempat dari total upaya penangkapan ikan nasional.

• Sekalipun semua asumsi di atas terwujud, pasokan maksimum teoritis dari laut Indonesia tidak akan cukup bagi industri budidaya, pengolahan dan ekspor untuk mencapai target produksi dengan tingkat efisiensi seperti saat ini. Industri budidaya ikan dan udang, yang saat ini merupakan konsumen netto protein laut, harus mengalihkan basis inputnya ke protein nabati, dan industri pengolahan harus mengurangi rasio limbahnya lebih dari setengahnya, hingga 15%, untuk mencapai target mereka.

Singkatnya, perikanan Indonesia dan sistem

pengelolaannya, bersama dengan industri pesisir-kelautannya harus menjadi pemimpin dunia dalam efisiensi dan produktivitas untuk

mencapai target Pemerintah. Namun, rencana publik tidak menjelaskan bagaimana transisi seperti itu akan dicapai. Mereka mengabaikan masalah utama seperti kekurangan pasokan yang kronis, kelebihan kapasitas secara struktural dalam industri pengolahan, atau kenyataan bahwa sebagian besar industri pesisir laut Indonesia terdiri dari banyak perusahaan kecil informal.

Meskipun ada beberapa perbaikan kecil, tidak ada asumsi di atas yang dapat direalisasikan pada tahun 2020 dan status-quo yang tidak berkelanjutan tetap berlaku. Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman ini adalah bahwa menumbuhkan nilai sektor perikanan Indonesia dan, secara umum, meningkatkan produktivitas lingkungan dan industrinya pesisir laut, tidak mungkin dicapai hanya dengan melakukan lebih banyak hal-hal yang sama di bidang yang sama.

2. Inovasi dan pembangunan sebagai aktor utama

Peternakan ikan, kerang-kerangan (bivalvia), dan rumput laut yang terintegrasi memainkan peran penting yang hingga kini belum terealisasikan dan terus berkembang dalam meningkatkan produktivitas industri pesisir laut China, mengurangi polusi dan eutrofikasi20 pesisir, dan menghidupkan kembali ekonomi pesisir yang merosot. Seperti yang diilustrasikan oleh citra satelit di Gambar 7, hamparan luas lahan pertanian di sepanjang pantai China dapat terlihat dari luar angkasa. Peternakan laut terintegrasi telah menjadi bagian dari mekanisme perencanaan dan zonasi negara untuk memastikan bahwa itu sesuai dengan standar ilmiah, dan mencapai skala dan berdampak.

20 Peledakan jumlah tanaman air tawar, misalnya enceng gondok, yang disebabkan oleh jumlah nutrien dari bahan organik yang berlebihan

Page 16: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 16 of 22

Gambar 7: Peternakan samudra terintegrasi di Laut Kuning

Diperkirakan bahwa budidaya laut terintegrasi di sepanjang pantai selatan China, yang berfungsi sebagai contoh untuk pengembangan wilayah pesisir inovatif yang dipimpin oleh negara, setiap tahun menghilangkan sekitar 75.000 ton nitrogen dan 9.500 ton fosfor dari perairannya yang tercemar. Dengan memperbesar hanya 1,5 kali area yang sekarang akan menghilangkan semua polusi fosfor dari perairan pesisir Cina, yang kemungkinan akan tercapai pada tahun 2026. Namun, penghapusan total semua polusi nitrogen pada tingkat produktivitas saat ini akan membutuhkan perluasan area saat ini melalui integrasi budi daya laut sekitar 17 kali (Xiao et al. 2017).

3. Inovasi dan pengembangan berbasis mekanisame pasar

Dibandingkan dengan Dibandingkan dengan perkembangan China, sebagian besar negara Eropa mengejar pendekatan yang lebih berbasis pasar, padat modal, dan padat teknologi untuk meningkatkan skala budidaya laut terintegrasi. Sudah menjadi hal yang umum di Eropa untuk menggabungkan budidaya laut terintegrasi dengan pengembangan tenaga angin lepas pantai. Tren ini didorong oleh meningkatnya persaingan untuk lahan subur dan ruang pesisir, dan seringkali didukung melalui insentif fiskal dari pemerintah. Produksi kerang laut dan ikan sirip lepas pantai melalui tambak laut terintegrasi secara multitrofik (ITMA) sudah mencapai skala yang menguntungkan di perairan Uni Eropa, sementara produksi rumput laut masih pada tahap awal pengembangan komersial (contohnya, Buck et al. 2017).

Potensi untuk tumbuh, baik dalam volume maupun ragam produk, melalui model budidaya laut yang terintegrasi di perairan Indonesia memiliki peluang untuk memperoleh pangsa yang lebih besar dari pasar yang sedang berkembang ini (contohnya, Gentry dkk. 2017 ). Hal ini terkait dengan kondisi Indonesia yang masih memiliki keunggulan komparatif dalam hal pemodalan dan biaya produksi yang relatif lebih rendah, tetapi tingkat produktivitas yang lebih tinggi. 4. Inovasi dan pengembangan bottom-up

Satu contoh pengembangan bottom-up adalah pengembangan dengan pendekatan akar rumput, sebuah pendekatan pemenang Greenwave’s Award (Pendekatan Greenwave) yang mengintegrasikan pertanian laut (sea farming) ke dalam pengelolaan wilayah pesisir (Kotak 5). Pendekatan tersebut menumbuhkan industri baru dan menghidupkan kembali ekonomi pesisir yang mengalami kemerosotan merupakan suatu contoh tentang pengembangan dari bawah ke atas yang inovatif. Pendekatan ini cocok untuk diterapkan dalam pengembangan entitas pesisir terpencil di Indonesia yang memiliki permasalahan hampir serupa, setidaknya pada tahap-tahap awal.

Dalam konteks Indonesia, pertanian berbasis tanah pun harus terintegrasi dengan pertanian pesisir sebagaimana dipelopori oleh Greenwave. Pelajaran yang dipetik dari pendekatan bottom-up ini adalah bahwa agar petani laut skala kecil dapat berintegrasi dengan pasar dengan persyaratan yang menguntungkan, mereka harus bertindak secara kolektif. Pendekatan Greenwave telah menunjukkan bahwa pendekatan permulaan yang layak adalah dengan mengatur tambak laut kecil multitrofik (ITMA) ke dalam klaster-klaster yang lebih besar di wilayah lokal. Setiap klister memiliki semacam seafood hub yang terdiri dari tempat pembenihan di darat, fasilitas pendingin dan penyimpanan, dan mungkin ditambah dengan pusat pengolahan. Apabila dimungkinkan, kegiatan ekonomi lainnya di darat atau di laut dapat dimasukkan

Page 17: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 17 of 22

ke dalam struktur usaha tersebut sesuai dengan kondisi lokal.

Gambar 8: Model untuk penskalaan dan integrasi akar rumput pesisir

Setiap klaster terhubung ke lingkaran pembeli institusional (misalnya, supermarket, restoran, pedagang makanan hasil laut), dan sekelompok wiraswasta21 dan penanam modal22 yang tertarik dengan prospek memasok makanan laut berkualitas tinggi dalam jumlah besar sambil memberi dampak besar pada penanganan krisis-krisis perubahan iklim dan ketidaksetaraan. Grup ini membantu para petani kelautan dengan pengembangan produk bernilai tambah baru, akses ke pasar baru, dan penerapan teknologi baru (misalnya, perahu bertenaga surya, tempat penetasan bergerak, sensor data yang lebih baik, jaringan informasi pasar yang lebih baik).

Jika sesuai dan dapat diterima, klaster ini dapat direplikasi di sepanjang pantai dan diatur menjadi jaringan atau badan usaha regional yang lebih besar. Pada saat membangun industri budidaya laut melalui pendekatan “bottom-up”, adalah penting untuk menentukan dari mana saja keuntungan bisa

21 Wiraswasta yaitu dapat berbentuk suatu kelompok usaha bersama 22 Penanam modal yaitu kelompok yang tertarik untuk melakukan suata investasi sosial sebagai pemegang saham usaha bersama.

diperoleh dan mana yang tidak, agar terhindar dari kerugian bagi para produsen perintis. Berdasarkan pengalaman, apabila pada fasa awal (start-up) kegiatan pembenihan dapat dijaga sebagai usaha bersama nirlaba dan adanya jaminan harga pembelian dari produsen di atas harga pasar, maka hal ini akan dapat menciptakan platform stabil yang memungkinkan industri ini tumbuh dan berkembang sendiri secara berkelanjutan. Pola pengorganisasian usaha semacam ini dapat menghilangkan kecenderungan perilaku “pemburu rente”, bila dibandingkan dengan “investasi ventura konvensional”.

5. Penutup Selain contoh skenario dalam tulisan ini,

tentu masih banyak skenario lain yang berpeluang untuk membangun ekonomi pesisir yang mencakup adanya lapangan kerja, pendapatan dan mata pencaharian alternatif, kesejahteraan dan keadilan ekonomi, pemulihan dan pengelolaan lingkungan, serta perubahan iklim di pusat industri kawasan pesisir terpencil. Namun demikian, untuk dapat membangun ekonomi pesisir terpencil, dibutuhkan upaya

Page 18: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 18 of 22

untuk meningkatkan pemahaman tentang entitas kawasan pesisir terpencil; tingkat kemampuan adaptasi terhadap ekonomi yang berkembang, serta mengkaji tatacara yang lebih berkelanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir dan nelayan skala kecil. Upaya-upaya ini akan menjadi basis untuk membangun konsep yang lebih baik dan berbasis bukti (evidence). Tanpa konsep berbasis bukti, maka tidak akan ada panduan

yang cukup dalam pengembangan kebijakan dan program yang lebih progresif. Pada gilirannya, entitas kawasan pesisir terpencil mungkin mengajarkan kita beberapa pelajaran berharga tentang bagaimana hidup dalam ekonomi global dan masyarakat yang cenderung melampaui batas biofisik bagi pertumbuhan ekonomi dan ekspansi manusia itu sendiri.

Daftar Pustaka [1]

. Ansell, C., Gash, A. (2001): Collaborative

Governance in Theory and Practice.

University of California, Berkeley, JPART

18:543–571. Published by Oxford

University Press.

[2]

. Armitage, D., Charles, A., Berkes, F.

(2017): Governing the coastal commons.

Earthscan Publication: Routledge, NY,

London.

[3]

. BAPPENAS (2017): Visi Maritim 2045.

Jakarta.

[4]

. Beardall, J., Calvyn F., Ik Kyo Chung,

Sondak, A. (2017): The future of seaweed

aquaculture in a rapidly changing world.

European Journal of Phycology, 52:4, pp

495-505.

[5]

. Bertram, G. (2006): Introduction: The

MIRAB Model in the 21st Century. Asia

Pacific Viewpoint, Vol 47.

[6]

. Bigman, D., Fofack, H. (2000):

Geographical Targeting for Poverty

Alleviation: AnIntroduction to the Special

Issue. World Bank Economic Review, 14/1,

pp 129-45.

[7]

. Bird, K., Hulme, D., Moore, K., Sheperd,

A. (2004): Chronic Poverty and Remote

Rural Areas. CPRC Working Paper No 13,

School of Public Policy, University Of

Birmingham.

[8]

. Blaylock, R., et al. (2018): Adjustable

Depth Ocean Forests: the next step for

aquaculture. Proceedings of MTS/IEEE

Conference Oceans 2018.

[9]

. Bromley, D.W. (2003): The Poverty of

Sustainability: Rescuing Economics from

Platitudes. 2003 Annual Meeting, August

16-22, 2003, Durban, South Africa: Plenary

Sessions 245934, International Association

of Agricultural Economists.

[10]

. Bromley, D.W. (2008): Promise, Trust, and

Evolution: Managing the Commons of South

Asia. European Review of Agricultural

Economics, Foundation for the European

Review of Agricultural Economics, vol.

35(4), pages 593-595, December.

[11]

. Buck, B.H., Chambers, M.D., Chopin, T.,

Nevejan, N., Wille, M. (2017): Aquaculture

Perspective of Multi-Use Sites in the Open

Ocean. Springer Edition, April 2017,

Chapter 2, pp 23-69.

[12]

. Buschmann et al. 2017

[13]

. Cairns, G., Wright, G. (2011): Scenario

Thinking. Palgrave Macmillan, Springer

Nature.

Page 19: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 19 of 22

[14]

. Cage, P. (2018): Kelp and Carbon

sequestration: Bringing terrestrial carbon

accounting to the deep sea. Carbon Institute,

JULY 25, 2018,

https://carboninstitute.org/kelp-and-carbon-

sequestration-bringing-terrestrial-carbon-

accounting-to-the-deep-sea/

[15]

. Campbell J., Whittingham, E., and

Townsley, P. (2006): Responding to coastal

poverty: should we be doing things

differently or doing different things? IWMI

Books, Reports from International Water

Management Institute

[16]

. Campbell, B., Lebel, L., Anderies, J. M.,

Folke, C., Hatfield-Dodds, S., Hughes, T. P.

and Wilson, J. (2006): Governance and the

capacity to manage resilience in regional

social-ecological systems. Ecology and

Society, 11.

[17]

. Capron, M.E., Chynoweth, D.P., N'Yeurt,

A., Hasan, M.A., Stewart, J.R. (2012):

Negative carbon via Ocean Afforestation.

Process Safety and Environment Protection

90, pp. 467-474.

[18]

. Chambers, R. (1983): Rural Development:

Putting the Last First. Essex, UK: Longman.

[19]

. Chopin, T. (2012). Seaweed aquaculture

provides diversified products, key ecosystem

functions. Part II. Recent evolution of

seaweed industry. Global Aquaculture

Advocate 15 (4): 24-27, July-August 2012.

[20]

. Chopin, T. et al. (2004): Integrated

aquaculture: Rationale, evolution and state

of the art emphasizing seaweed biofiltration

in modern mariculture. Aquaculture, 231, pp

361-391.

[21]

. Chopin, T. et al. (2001): Integrating

seaweeds into marine aquaculture systems:

A key toward sustainability. Journal of

Phycology, 37, pp 975 – 986.

[22]

. Chuenpagdee, R., Kooiman, J., Pullin, R.

(2008): Assessing governability in capture

fisheries, aquaculture and coastal zones. The

Journal of Transdisciplinary Environmental

Studies;7(1):1–20.

[23]

. De Haan, A. (1999): Social exclusion:

towards a holistic understanding of

deprivation. DfID Social Development

Department, Dissemination Note no. 2,

London.

[24]

. De Ruiter, P. (2014): Scenario-based

Strategy. Dorset Press, UK.

[25]

. Dharma Agastia, I.G.B. (2017): 3 Years

Later, Where Is Indonesia's 'Global

Maritime Fulcrum'? The Diplomat

[26]

. Dick, H., Houben, V.J.H., Lindbrad, J.T.,

Thee Kian Wie (2002): The Emergence of A

National Economy: An Economic History of

Indonesia 1800 – 2000. KITLV Press,

Leiden.

[27]

. Dirlik, A. (1998): Globalism and the

Politics of Place. Development, Vol.41,

No.2,

http://www.sidint.org/publications/developm

ent/vol41/no2/41-2.htm

[28]

. Doerner, D. (1997): The Logic of Failure:

Recognizing and Avoiding Error in

Complex Situations. Perseus Books,

Cambridge, USA.

[29]

. Dorling, D. (2020): Slowdown. Yale

University Press, New Haven, London.

[30]

. Duarte, C.M., Krause-Jensen, D. (2016):

Substantial role of macroalgae in marine

carbon sequestration. Nature Geoscience, 9,

pp 737–742. Data available at:

Page 20: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 20 of 22

https://media.nature.com/original/nature-

assets/ngeo/journal/v9/n10/extref/ngeo2790-

s1.pdf

[31]

. Escobar, A. (2001): Culture sits in places:

reflections on globalism and subaltern

strategies of localization. Political

Geography, Vol.20, No.2, pp 139-174.

[32]

. European Commission (2012): Small island

economies: from vulnerabilities to

opportunities. Briefing No. 27, Brussels.

[33]

. Fei, X.G., Bao, Y., Lu, S. (2000): Seaweed

cultivation- the traditional way and its

reformation. Oceanol et Limnol Sinica, 31,

pp 575-580.

[34]

. Flannery, T. (2017): Sunlight and

Seaweed: An Argument for How to Feed,

Power and Clean Up the World, published

by Text Publishing, Melbourne Sustainable

Society Institute, University of Melbourne.

[35]

. Frenken, K. (editor) (2007): Applied

Evolutionary Economics and Economic

Geography. Edward Elgar Publishing, UK,

USA.

[36]

. Gallup, J.L., Sachs, J.D., Mellinger, A.D.

(1998): Geography and Economic

Development. International Regional

Science Review, Vol.22, No.2, pp 179-232.

[37]

. Gentry, R.R. et al. (2017): Mapping the

global potential for marine aquaculture.

Nature Ecology and Evolution, 1, pp 1317-

1324.

[38]

. Giuffre, K. (2013): Communities and

Networks. Polity Press, UK, USA.

[39]

. Government of Indonesia (2014): National

Medium-term Development Plan 2015-19

(RPJMN). Jakarta

[40]

. Greenwave (2019): See

https://www.greenwave.org/

[41]

. Hatfield-Dodds, S., Nelson, R., Cook, D.C.

(2007): Adaptive governance: an

introduction, and implications for public

policy. Australian Agricultural and Resource

Economics Society, Series 2007, 51st

Conference.

[42]

. Henninger, N. (1998): Mapping and

geographic analysis of human welfare and

poverty -review and assessment. World

Resources Institute, Washington D.C.

[43]

. Homer-Dixon, T. F. (1999): Environment,

scarcity, and violence. PrincetonUniversity

Press.

[44]

. Jalan, J. and Ravallion, M. (1997): Spatial

Poverty Traps. World Bank Policy Research

Working Paper 1862.

[45]

. Jentoft, S. (2007): Limits of governability?

Institutional implications for fisheries and

coastal governance. Marine Policy

2007;31:360–70.

[46]

. Jentoft, S., Chuenpagdee, R. (2009):

Fisheries and coastal governance as a

wicked problem. Marine Policy, 2009.

33(4): p. 553-560.

[47]

. Kartadjoemena, H.S. (2010): Indonesia as

an Archipelagic Nation-State. Unpublished

manuscript. Jakarta.

[48]

. Kooiman, J. (2003): Governing as

governance. London: Sage.

[49]

. Kooiman, J., Bavinck, M., Chuenpagdee,

R., Mahon, R., Pullin, R. (2008): Interactive

governance and governability: an

introduction. Journal of Transdisciplinary

Environmental Studies, 7(1), 1-11.

Page 21: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 21 of 22

[50]

. Korakandy, R. (2005): Coastal Zone

Management: A Study of the Political

Economy of Sustainable Development,

Volume 1. Gyan Publishing House, ISBN

8178353032, 9788178353036.

[51]

. Lipton, M. (1977): Why Poor People Stay

Poor: Urban Bias and World Development.

Temple Smith, London.

[52]

. MAGNIS-SUSENO, F. (1987), Etika

Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar

Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia.

[53]

. McDaniel, C.N., Gowdy, J.M. (2000):

Paradise for Sale. University of California.

[54]

. Moore, M., Putzel J. (1999): Thinking

strategically about Politics and Poverty. IDS

Working Paper No 101, Institute for

Development Studies, Brighton.

[55]

. Morris, L.J., Paoli, G.P. (2018): A

Preliminary Assessment of Indonesia’s

Maritime Security Threats and Capabilities.

RAND Corporation Report.

[56]

. Ocean Foresters (2019): Abundant Food,

Job Security, and Export Income with

Restorative Aquaculture.

https://www.climatecolab.org/contests/2019/

reshapingdevelopmentpathwaysinLDCs/c/pr

oposal/1334620

[57]

. Ostrom, E., Dietz, T., Dolšak, N. (Eds.)

(2002): Drama of the Commons. National

Academy Press, Washington DC.

[58]

. Ostrom, E., Schroeder, L. and Wynne, S.

(1993): Institutional Incentives and

Sustainable Development: Infrastructure

Policies in Perspective. Westview Press,

USA.

[59]

. Oxfam (2017): Towards a more equal

Indonesia. Briefing Note. Jakarta

[60]

. Purwaka TH, Sunoto (2002): Coastal

Resources Management in Indonesia: Legal

and Institutional Aspects. Center for

Archipelago, Law and Development Studies.

Indonesia.

[61]

. Ramirez, R., Wilkinson, A. (2016):

Strategic reframing. Oxford University

Press, UK.

[62]

. Ravallion, M., and Wodon, Q. (1999): Poor

areas, or only poor people? Journal of

Regional Science, 39/4, 689-711.

[63]

. Ridler, N. et al. (2007): Integrated Multi−

Trophic Aquaculture (IMTA): A Potential

Strategic Choice for Farmers. Aquaculture

Economics & Management 11/1, pp 99-110.

[64]

. Rittel, H.W.J., Webber. M.M. (1973):

Dilemmas in a general theory of planning.

Policy Science Vol.4, No.2, pp. 155-169.

[65]

. Rodrik, D. (2016): Straight Talk on Trade.

Princeton University Press, USA.

[66]

. Rodrik, D. (2011): The Globalization

Paradox. Oxford University Press, UK

[67]

. Taruc, Siham A. K. ( 2019): Assessment

of the sustainability and resilience of

livelihoods within an Indonesian marine

social-ecological system, a thesis submitted

for the degree of Doctor of Philosophy at

The University of Queensland, School of

Biological Sciences,

[68]

. Tisdell, C. (2009): Economic Challenges

Faced by Small Island Economies: An

Overview. Working Paper No. 58, School of

Economics, University of Queensland,

Brisbane.

Page 22: Pendekatan Progresif1 Untuk Mewujudkan Pembangunan

Page 22 of 22

[69]

. Tisdell, C. (2006): Economic Prospects for

Small Island Economies, Particularly in the

South Pacific, in a Globalising World.

Working Paper No. 43, School of

Economics, University of Queensland,

Brisbane.

[70]

. Valderrama, D. (2012): Social and

economic dimensions of seaweed farming: a

global review. IIFET 2012 Tanzania

Proceedings, University of Florida, USA.

[71]

. Watts, M.J. and Bohle, H.G. (1993): The

space of vulnerability: the causal structure of

hunger and famine. Progress in Human

Geography 17/1, pp 43-67.

[72]

. Weis, T. (2007): The Global Food

Economy. Zed Books, London, New York.

[73]

. Xiao, Xi et al. (2017): Nutrient removal

from Chinese coastal waters by large-scale

seaweed aquaculture. Scientific Reports, 7.