mewujudkan pembangunan inklusif disabilitas

36
Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024 POLICY PAPER

Upload: others

Post on 27-May-2022

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas:

Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

POLICY PAPER

Page 2: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

Publikasi ini diterbitkan oleh PATTIRO melalui Program Peduli dengan dukungan dari The Asia Foundation, Pusat Rehabilitasi

YAKKUM, dan Kedutaan Besar Australia di Indonesia. Pandangan yang terdapat dalam buku ini tidak mencerminkan

atau mewakili pandangan Pemerintah Australia dan sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Page 3: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas:

Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

POLICY PAPER

Page 4: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

Policy PaperMewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

Tim Penulis1. Sad Dian Utomo2. Fajri Nur Syamsi3. Ermy Ardhyanti4. Fitria

Pengulas1. Bahrul Fuad2. Maya Rostanty

Layout:Agus Wiyono

Penerbit:PATTIROPusat Telaah dan Informasi RegionalJl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35Pasar Minggu Jakarta SelatanTelp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800Email: [email protected]: www.pattiro.org

Page 5: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

1

Daftar Isi

Daftar Isi .................................................................................................................................1RINGKASAN EKSEKUTIF .......................................................................................................2

I KONTEKS ................................................................................................................6

II URGENSI PENDATAAN BAGI DISABILITAS ..............................................................92.1 Deskripsi Masalah ...............................................................................................92.2 Rekomendasi Kebijakan ...................................................................................12

III MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK RAMAH DISABILITAS ..................................143.1 Deskripsi Masalah .............................................................................................143.2 Rekomendasi Kebijakan ...................................................................................18

IV PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG BERPIHAK PADA DISABILITAS .......214.1 Deskripsi Masalah .............................................................................................214.2 Rekomendasi Kebijakan ...................................................................................24

REFERENSI ...............................................................................................................................

Page 6: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

2Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

Policy paper ini disusun sebagai bagian dari kontribusi PATTIRO dan masyarakat sipil yang peduli pada penyandang disabilitas untuk memberi masukan kepada Pemerintah dalam rangka

menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini menjadi sangat penting, karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain terisolir secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam akses atas kesehatan dan pelayanan lainnya, pendidikan dan pekerjaan.

Secara khusus, policy paper ini membahas tiga isu penting terkait pemenuhan kebutuhan disabilitas, yaitu pendataan, pelayanan publik serta perencanaan dan penganggaran.

Pada isu pendataan penyandang disabilitas, masalah yang dihadapi adalah beragamnya hasil pendataan tergantung kepada penyelenggara pendataan dan peruntukannya. Dengan kata lain tidak adanya sistem pendataan tunggal. Selain itu, data yang dihasilkan relatif belum menggambarkan kondisi senyatanya dari penyandang disabilitas dan tidak rinci. Pada sisi lain, ada pula inisiatif pendataan yang telah dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil yang berpeluang untuk dimanfaatkan oleh Kementerian dan BPS. Termasuk didalamnya proses pendataan yang partisipatif dengan melibatkan penyandang

Ringkasan Eksekutif

Page 7: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

3

disabilitas didalamnya. Sementara itu pada isu pelayanan publik,

masalah yang dihadapi adalah berbagai ketentuan yang mengatur mengenai pelayanan publik bagi penyandang disabilitas tidak dapat diimplementasikan secara maksimal, karena masih dalam tataran prinsip umum, belum secara penuh diturunkan menjadi ketentuan yang lebih teknis. Kurangnya pemahaman mengenai bagaimana melayani penyandang disabilitas juga menjadi permasalahan lainnya. Terutama dengan terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas) yang mengubah posisi isu disabilitas dari berbasis sosial menjadi berbasis HAM merupakan hal mendasar yang belum banyak dipahami oleh penyelenggara pelayanan publik. Akibatnya adalah pelayanan yang diberikan sebagian besar penyelenggara pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam arti tidak memperhatikan hambatan yang dimiliki penyandang disabilitas dalam berinteraksi dengan penyedia pelayanan. Masalah lainnya terkait pelayanan publik sebagaimana diamanatkan dalam UU Disabilitas adalah relatif rendahnya partisipasi disabilitas dalam penyusunan kebijakan dan pelayanan publik baik sebagai penerima pelayanan maupun sebagai penyedia pelayanan; serta belum dibentuknya Unit Layanan Disabilitas yang merupakan kewajiban dari K/L dan Pemda. Khusus pada pelayanan dasar yaitu pendidikan dan kesehatan, tantangan yang dihadapi adalah tidak optimalnya penyelenggaraan pendidikan inklusi, karena antara lain kurangnya Guru Pendamping Khusus (GPK), tidak masuknya GPK dalam skema penerimaan ASN/PNS guru, dan belum adanya kurikulum khusus sekolah inklusi.

Pada isu perencanaan dan penganggaran, meski RPJMN 2015-2019 telah menyatakan komitmen terkait perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada disabilitas yang tercantum dalam bidang Kesejahteraan Sosial, namun belum menjelaskan strategi

dan mekanisme bagaimana perencanaan penganggaran yang berpihak pada disabilitas itu. Juga belum mencantumkan APBDesa sebagai salah satu sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak disabilitas. Selama ini penganggaran penyandang disabilitas juga masih menjadi tugas dan fungsi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tertentu seperti Dinas Sosial/Pemberdayaan Masyarakat. Selain itu, berbagai Perda Disabilitas yang telah ditetapkan dan diundangkan oleh sekitar 29 Pemda belum mencerminkan perbaikan partisipasi dalam perencanaan dan penganggaran. Salah satunya karena belum dijabarkan secara spesifik tentang hak berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran, tidak adanya aturan turunan dan tidak dilakukannya monitoring atas penerapan Perda dimaksud.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas tersebut di atas, maka kami merekomendasikan agar penyusunan RPJMN 2020-2024 memuat hal-hal sebagai berikut:

PENDATAAN DISABILITAS1. Penyusunan data induk penyandang

disabilitas yang akurat dan rinci (by name by address) yang memuat semua informasi kependudukan sangat penting untuk dicantumkan secara eksplisit dan spesifik dalam RPJMN 2020-2024 yang dilakukan secara bottom up dari tingkat RT RW, desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota. Termasuk memastikan pendataan yang dimaksud mampu mendata penyandang disabilitas yang nomaden di masyarakat adat. Kegiatan pendataan khusus bagi penyandang disabilitas ini dapat dimandatkan untuk dilaksanakan oleh Kementerian Sosial bersinergi dengan BPS dan Kementerian Dalam Negeri sesuai dengan amanat UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Page 8: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

4Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

2. Dokumen RPJMN 2020-2024 juga penting mencantumkan bahwa pendataan penyandang disabilitas dilakukan secara partisipatif dalam rangka memperoleh data yang sesuai dengan kondisi aktual dari penyandang disabilitas. Pendataan partisipatif berarti melibatkan secara aktif warga setempat, organisasi penyandang disabilitas (DPO) dan penyandang disabilitas di wilayah setempat agar data yang diperoleh lebih valid. Pada proses pendataan ini pula, enumerator yang bukan merupakan penyandang disabilitas perlu diberikan pelatihan perspektif disabilitas, sehingga mampu mengidentifikasi dan mendata para penyandang disabilitas secara akurat.

3. Mengusulkan untuk dimasukkan dalam Program berupa “Melakukan konsolidasi pendataan penyandang disabilitas dengan para pihak seperti BPS, K/L terkait, Pemda dan OPD dengan menggunakan sistem pendataan tunggal”. Konsolidasi data bertujuan untuk menentukan rujukan data untuk kepentingan Pemerintah, Swasta dan OPD dalam melakukan semua siklus kegiatan perencanaan, implementasi dan evaluasi. Termasuk didalamnya menggunakan satu sistem pendataan tunggal (single best data system), sehingga data yang diperoleh disepakati sebagai data rujukan bagi semua pemangku kepentingan. Sistem data tunggal dimaksud dapat merujuk pada sistem yang selama ini telah digunakan oleh organisasi masyarakat sipil, antara lain merujuk pada instrumen Convention on the Rights of People with Disabilities dan/atau instrumen Washington Group on Disabilities Statistic versi pendek.

PELAYANAN PUBLIK 1. Pelaksanaan sosialisasi dan edukasi

penyelenggaraan pelayanan publik yang ramah disabilitas kepada seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah

dan unit pelayanan di provinsi maupun kabupaten/kota, dan masyarakat. Termasuk memastikan adanya sosialisasi tentang pengertian disabilitas ke masyarakat awam dan penyadaran khusus kepada keluarga penyandang disabilitas untuk memanfaatkan pelayanan administrasi kependudukan agar penyandang disabilitas dapat mengakses pelayanan publik lainnya. Kegiatan sosialisasi dan edukasi ini menjadi bagian dari kinerja Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang dievaluasi setiap tahunnya.

2. Penerapan kewajiban bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang inklusif disabilitas, termasuk penyediaan sarana dan prasarana yang ramah disabilitas serta penerapan kewajiban bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk melakukan evaluasi pelayanan publik secara berkala dengan melibatkan organisasi penyandang disabilitas melalui Survey Kepuasan Masyarakat, Audit Sosial dan Forum Konsultasi Publik.

3. Khusus pada bidang pendidikan, Pemerintah harus memastikan pendidikan inklusi berjalan secara optimal, dengan memasukkan skema Guru Pendamping Khusus (GPK) dalam penerimaan ASN/PNS guru dalam rangka memenuhi kebutuhan GPK, dan mewujudkan kurikulum khusus sekolah inklusi beserta sarana pendukungnya agar kegiatan belajar mengajar di sekolah inklusi dapat berjalan lancar. Sementara pada bidang kesehatan, Pemerintah harus memastikan bahwa seluruh unit pelayanan publik memiliki sarana dan prasarana yang dapat diakses oleh beragam penyandang disabilitas dan tersedianya pelayanan kunjungan tenaga kesehatan ke rumah penyandang disabilitas (homecare services).

Page 9: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

5

4. Pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Rumah Tahanan Negara dan di setiap pemerintah daerah, termasuk ULD dalam kondisi bencana. Untuk memastikan pembentukan ULD dipatuhi, maka data ULD yang dibentuk menjadi bagian dari kinerja Kementerian/Lembaga dan Pemda yang dievaluasi setiap tahunnya.

5. Perbaikan dari dokumen RPJMN 2015-2019 dengan menambahkan poin pada ruang lingkup, yaitu menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam semua proses pengambilan keputusan di semua tataran pemerintahan, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat nasional.

6. Perbaikan dari dokumen RPJMN 2015-2019 dengan menghapus kata “membantu pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam setiap aspek kehidupan” dalam Sasaran dan mengganti dengan “mewujudkan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam setiap aspek kehidupan”. Karena pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban negara.

7. Pemenuhan kuota 2% penyandang disabilitas sebagai ASN dari jumlah ASN secara keseluruhan. Untuk memastikan kuota terpenuhi, maka hal ini perlu menjadi Program Prioritas Nasional, yang kemudian disusun dalam bentuk peta jalan (road map) agar dapat dimonitor dalam pelaksanaannya.

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN 1. Memandatkan kepada seluruh

Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk mempromosikan strategi pengarusutamaan perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada

penyandang disabilitas dengan menggunakan sistem yang berlaku saat ini.

2. Memandatkan kepada Bappenas untuk menyusun pedoman perencanaan pembangunan di daerah yang memastikan organisasi penyandang disabilitas (DPO) dan penyandang disabilitas di wilayah masing-masing terlibat mulai dari tingkat desa hingga tingkat kabupaten/kota, termasuk didalamnya melibatkan DPO sebagai Tim Penyusunan RPJMD dan RPJMDesa.

3. Mengamanatkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Desa untuk memastikan terlaksananya perencanaan dan penganggaran yang inklusif disabilitas pada APBN/APBD/APBDesa, dalam arti memastikan bahwa kebutuhan dan aspirasi penyandang disabilitas diakomodasi serta adanya pengarusutamaan disabilitas dalam perencanaan dan penganggaran. Termasuk memastikan dalam proses perencanaan dan penganggaran memperoleh masukan dari penyandang disabilitas atau DPO, baik melalui proses Musrenbang maupun proses konsultasi secara informal.

4. Memandatkan kepada Kementerian Desa dan PDTT serta Kementerian Keuangan untuk menyusun regulasi yang membuka ruang penggunaan Dana Desa dalam rangka mendukung perencanaan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas dengan mengacu pada RIPID Kabupaten/Kota.

5. Mengusulkan untuk dimasukkan dalam Program, berupa “Meningkatkan upaya advokasi untuk memastikan terwujudnya peraturan mengarusutamakan perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas.

Page 10: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

6Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

I. KONTEKS

Penduduk Indonesia dikenal dengan keragamannya. Keragaman yang tidak hanya terbatas pada suku, agama, ras, tetapi juga yang disebabkan adanya hambatan-hambatan yang terjadi

di lingkungan masyarakat. Hambatan-hambatan itu kemudian menyebabkan adanya masyarakat yang mengalami keterbatasan secara fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang dalam jangka waktu lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan

POLICY PAPER

Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

Page 11: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

7

warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.1 Masyarakat inilah yang kemudian dikenal sebagai Penyandang Disabilitas yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan pihak lainnya.

Perhatian kepada penyandang disabilitas ini menjadi sangat penting, karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah tantangan. Secara global, penyandang disabilitas berjumlah sekitar 15 persen dari jumlah penduduk di dunia atau lebih dari satu miliar orang. 82 persen dari penyandang disabilitas tersebut hidup di negara-negara berkembang dan berada di bawah garis kemiskinan dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Sementara di Indonesia diperkirakan 10% dari jumlah penduduknya adalah penyandang disabilitas atau lebih dari 24 juta orang. Para penyandang disabilitas ini merupakan masyarakat yang termarjinalkan dan rentan. Penyandang disabilitas juga kerapkali terisolir secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam akses atas kesehatan dan pelayanan lainnya, pendidikan dan pekerjaan (ILO, tanpa tahun). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah penyandang disabilitas mencapai 11% dari total penduduk usia 15 tahun ke atas. Sedangkan Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan angka 4,74% atau 9.046.000 jiwa dari penduduk usia 10 tahun ke atas. Sementara itu, berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan BPS tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut, penyandang disabilitas terbanyak adalah disabilitas ganda, kemudian disabilitas netra. Hasil Susenas 2012 memperlihatkan ada sekitar 2.401.592

1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 angka 1.

orang yang mengalami disabilitas ganda; dan penyandang disabilitas netra sejumlah 1.780.200 orang. Sisanya adalah disabilitas rungu wicara, disabilitas grahita/intelektual, disabilitas tubuh dan penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri. Survey terakhir yang dilakukan BPS melalui Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, mendata jumlah penyandang disabilitas mencapai 21,5 juta jiwa atau 8,56% dari total penduduk Indonesia2.

Permasalahan disabilitas menjadi penting dan mendesak untuk ditangani, selain karena jumlah penyandang disabilitas yang relatif besar, juga karena disabilitas terkait erat dengan kemiskinan dan tingkat kerentanan yang tinggi. Penyandang disabilitas berpeluang besar terperangkap dalam lingkaran setan (vicious cycle) kemiskinan, kerentanan dan disabilitas, baik sebagai penyebab maupun akibat (DFID, 2000).

Sebagian besar penyandang disabilitas menghadapi hambatan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja, berkeluarga secara layak, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Gizi buruk; terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan, termasuk vaksinasi; sanitasi dan kebersihan yang buruk; perang dan konflik; penyakit menular serta bencana alam telah menyebabkan terjadinya disabilitas. Sedangkan anak-anak menjadi penyandang disabilitas lebih sering disebabkan karena kekurangan gizi dan cenderung mati muda.

Dalam perkembangannya, disabilitas mengakibatkan semakin parahnya kemiskinan karena adanya tekanan/kesulitan ekonomi, yang dampaknya menimpa tidak hanya individu penyandang disabilitas saja,

2 Data yang dihasilkan oleh setiap instansi dapat berbeda karena pendekatan dalam menghitung jumlah atau prevalensi penyandang disabilitas antara lain dipengaruhi oleh tujuan/pemanfaatan datanya, konsep dan definisi disabilitas yang digunakan, aspek disabilitas yang dinilai (keterbatasan aktifitas, keterbatasan partisipasi, kondisi kesehatan yang terkait, faktor lingkungan) dan sumber datanya.

Page 12: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

8Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

tetapi juga keluarganya. Mereka ditolak masuk sekolah, akibatnya tidak bisa mencari pekerjaan yang layak, dan makin mendorong mereka terperosok dalam jurang kemiskinan. Sehingga upaya keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan disabilitas menjadi lebih sulit lagi. Akibatnya, penyandang disabilitas menjadi kelompok termiskin dengan tingkat melek huruf yang jauh lebih rendah dari rata-rata penduduk. Terlebih lagi perempuan penyandang disabilitas yang mengalami diskriminasi ganda, baik atas dasar gender maupun kedisabilitasannya. Studi menunjukkan bahwa perempuan disabilitas 2-3 kali lipat lebih berpeluang menjadi korban fisik dan seksual dibanding yang non disabilitas. Akses ke perawatan kesehatan reproduksi sangat minim, sehingga lebih rentan terkena masalah kesehatan reproduksi. Kemiskinan mengakibatkan semakin rentannya penyandang disabilitas, karena kurangnya partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan tidak dipenuhinya hak-hak sipil dan politik mereka. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan munculnya stigma,

dan eksklusi sosial dan budaya. Eksklusi berdampak pada terjadinya pengabaian atas kesempatan ekonomi, seperti mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga membuatnya menjadi miskin. Demikian seterusnya (lihat Gambar 1).

Karena itu dipandang penting bagi negara untuk memastikan melalui upaya-upaya tertentuu bahwa para penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan, memperoleh bagian manfaat yang adil, dan dapat menuntut haknya secara penuh dan setara dengan anggota masyarakat lainnya.

Kegagalan dalam memenuhi hak‐hak penyandang disabilitas ini selain merupakan pelanggaran HAM serius juga mengakibatkan gagalnya upaya menuntaskan persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas selama ini, yang dampaknya adalah sasaran pembangunan manusia tidak akan tercapai.

Hak-hak penyandang disabilitas sendiri untuk terlibat dalam proses pembangunan sebagaimana warga negara lainnya dijamin

DISABILITY

PovertyVulnerability to

poverty and ill-health

Social and cultural exclusion and stigma

Deficits in economic, social and cultural

rights

Denial of opportunities for economic, social and

human development

Reduced participation in decision-making, and denial of civil and political rights

Sumber: Disability, Poverty and Development, DFID, 2000.

Gambar 1: Lingkaran Setan Kemiskinan dan Disabilitas.

Page 13: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

9

dalam konstitusi yaitu UUD 1945 yang mendorong Pemerintah untuk memenuhi hak-hak setiap penduduk, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Jaminan bagi penyandang disabilitas ini, selain dalam konstitusi, juga melalui berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas; Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019; Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; dan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019.

Dalam perspektif perencanaan pembangunan nasional, penyandang disabilitas juga memiliki hak dan potensi untuk berkontribusi dalam pembangunan, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 yang mengamanatkan pembangunan kesejahteraan sosial. RPJMN 2015-2019 itu telah mengagendakan peningkatan kesejahteraan penyandang disabilitas yang diturunkan dalam sasaran umum dan sasaran khusus. Sasaran Umum yang ingin dicapai dalam periode 2015- 2019 adalah meningkatnya akses dan kualitas hidup penyandang disabilitas dan lanjut usia. Sasaran umum tersebut akan terwujud melalui penciptaan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia yang menyeluruh pada setiap aspek penghidupan, termasuk diantaranya layanan kesehatan, pendidikan, administrasi kependudukan, lingkungan tempat tinggal, dan fasilitas publik lainnya agar lebih ramah dan mudah diakses. Sedangkan sasaran khusus yang

ingin dicapai adalah: (1) Tersedianya layanan publik serta lingkungan dan sistem sosial yang inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia; (2) Meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang memiliki regulasi untuk pengembangan akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia; dan (3) Terbangunnya sistem dan tata kelola layanan dan rehabilitasi sosial yang terintegrasi dan partisipatif melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta.

Dokumen RPJMN 2015-2019 telah diimplementasikan oleh Pemerintah dan telah menghasilkan berbagai capaian, disamping adanya tantangan dan pembelajaran. Tahun 2018 ini merupakan tahun keempat pelaksanaan RPJMN 2015-2019. PATTIRO sebagai bagian dari dari masyarakat sipil telah melakukan studi tentang Inovasi dan Praktik Baik di enam kabupaten/ kota pada enam provinsi. Studi ini telah mengidentifikasi tiga isu strategis yang memiliki daya ungkit besar terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas, yaitu (i) pendataan; (ii) pelayanan publik; dan (iii) perencanaan penganggaran. Pada tahun 2018 ini pula Bappenas sedang menyusun background study untuk menyusun RPJMN 2020-2024. Oleh karena itu, PATTIRO bermaksud untuk memberikan masukan dalam penyusunan RPJMN di tiga tema strategis tersebut dalam rangka berkontribusi menuntaskan persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas dan mendukung tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia.

Page 14: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

10Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

2.1 Deskripsi Masalah Mengacu pada dokumen RPJMN

2015-2019 yang menyisipkan amanat pembangunan kesejahteraan sosial, yang menegaskan bahwa kelompok penduduk penyandang disabilitas memiliki peluang yang sama besar untuk bekerja dan berperan aktif dalam membangun negara, maka penyandang disabilitas berhak turut berkontribusi menyumbangkan gagasan, pemikiran, serta tindakan-tindakan dalam rangka mendukung kemajuan negara, dan bukan diposisikan sebagai penerima bantuan semata (charity). Pada sisi lain, penyandang disabilitas juga berhak memperoleh hak-hak dasar sebagaimana warga negara lainnya seperti hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, pekerjaan, kebebasan menyampaikan pendapat, dan hak-hak lainnya.

Dalam kerangka pemenuhan hak-hak dasar dan berperan aktif dalam pembangunan tersebut, diperlukan pendataan yang akurat dan dikelola secara optimal. Karena data merupakan unsur penting dalam perencanaan pembangunan. Pembangunan yang berkeadilan dan merata hanya akan terwujud bila data penerima manfaat pembangunan juga tersusun dengan baik dan dimutakhirkan (updating) secara berkala. Data yang tidak akurat dan tidak dikelola dengan baik berpotensi merugikan kelompok masyarakat tertentu yang seharusnya berhak menikmati proses dan hasil pembangunan. Bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, masalah pendataan dapat menambah kerentanan dan berimplikasi cukup signifikan dalam pemenuhan hak-hak dasarnya. Hasil penelitian PATTIRO

(2018) memperlihatkan bahwa penyandang disabilitas mengalami kesulitan untuk mengurus dokumen kependudukan, karena tidak terdata sebelumnya. Padahal kepemilikan dokumen kependudukan menjadi syarat untuk memperoleh pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk bantuan sosial dari Pemerintah. Dengan kata lain, sederet hak seperti disebutkan di atas yang seharusnya dapat dinikmati penyandang disabilitas menjadi tidak berarti ketika penyandang disabilitas tidak terdata dalam administrasi kependudukan negara. Penelitian PATTIRO itu juga memperlihatkan bahwa penyandang disabilitas yang tidak memiliki dokumen kependudukan, seperti KTP, Kartu Keluarga, dan Akta Kelahiran disebabkan oleh beberapa hal, antara lain 1) mekanisme pendataan yang dilakukan pemerintah belum mampu menjangkau penyandang disabilitas dari rumah ke rumah secara menyeluruh; 2) Dinas Sosial hanya memiliki data disabilitas berat yang masuk dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan penerima bantuan sosial; 3) akses menuju tempat pengurusan administrasi kependudukan belum ramah disabilitas, sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk mengaksesnya; dan 4) adanya keengganan keluarga untuk mendaftarkan anggota keluarga yang disabilitas karena adanya persepsi negatif atau ketidaktahuan mengenai pentingnya memiliki dokumen kependudukan.

Pengaruh pendataan bagi penyandang disabilitas pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dapat dilihat pada bagan berikut ini.

II. URGENSI PENDATAAN BAGI DISABILITAS

Page 15: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

11

Berdasarkan bagan di atas, data yang kredibel akan mempengaruhi peningkatan kualitas layanan publik, baik pada sektor kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan administrasi kependudukan (adminduk). Hal ini juga mempengaruhi peningkatan kualitas dalam proses perencanaan dan penganggaran, sehingga program/kegiatan yang terencana dan teranggarkan tepat sasaran sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat secara umum, dan para penyandang disabilitas khususnya. Bagi penyandang disabilitas, data juga harus mampu merinci ragam disabilitas yang memiliki karakteristik hambatan yang berbeda dan berimplikasi dalam pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri. Sebagai contoh, penyandang disabilitas netra memerlukan akses pelayanan publik yang berbeda dibanding penyandang disabilitas mental.

Hingga saat ini, relatif masih sulit untuk menentukan data penyandang disabilitas yang valid. Sensus Penduduk Tahun 2010 dan SUPAS Tahun 2015 hanya mampu menyajikan data terpilah berdasarkan umur,

jenis kelamin dan jenis disabilitas, namun belum dapat menghadirkan data rinci (by name by address).

Dokumen RPJMN 2015-2019 juga mengakui adanya tantangan dalam pendataan penyandang disabilitas, dan menyatakan bahwa, “Keterbatasan data terkait keberadaan dan kondisi penyandang disabilitas dan lansia merupakan salah satu penyebab sering terabaikannya pemenuhan hak mereka. Tantangan penyediaan akses dan layanan bagi penyandang disabilitas dikarenakan terbatasnya kapasitas dan pemahaman Pemerintah serta masyarakat umum akan keberagaman kondisi dan keberadaan penyandang disabilitas.” Namun pendataan disabilitas ini, meskipun telah dijelaskan di bagian tantangan, masih belum menjadi perhatian serius. Terbukti dari tidak adanya ulasan lebih lanjut dalam pembahasan setelahnya.

Permasalahan carut marutnya data disabilitas ini juga sistem pendataan yang digunakan masing-masing pihak (kementerian/lembaga) berbeda-beda, tergantung siapa yang melakukan pendataan,

Bagaimana pengaruh pendataan? Data yang Kredibel

Peningkatan kualitas layanan publik

Peningkatan proses perencanaan dan

penganggaran

Program/ kegiatan yang terencana dan

teranggarkan

1. Kesehatan2. Pendidikan3. Kesejahteraan sosial4. Adminduk

Sumber: Sudarno, Rohidin & Sad Dian Utomo. Inovasi Pendataan Disabilitas. Jakarta: PATTIRO, 2018.

Page 16: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

12Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

dan keperluannya. Kondisi itu mengakibatkan “berapa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia?” yang valid masih sulit terjawab.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas) juga memberikan ruang terkait penyelenggaraan pendataan disabilitas, yakni pada Pasal 117-121. Undang-Undang ini mengamanatkan pendataan disabilitas kepada kementerian sektoral, yakni Kementerian Sosial. Pada Pasal 117 UU Disabilitas disebutkan bahwa, “Penyelenggaraan pendataan terhadap Penyandang Disabilitas dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial secara mandiri atau bersama dengan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dalam hal ini jenis statistik yang digunakan adalah statistik sektoral, yang pelaksanaannya dilakukan oleh suatu kementerian dan dapat bekerjasama dengan BPS. Berbeda dengan statistik dasar yang dapat melakukan sensus, statistik sektoral dalam melakukan pendataan hanya menggunakan cara survei, kompilasi produk administrasi, atau cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, dalam pelaksanaan statistik sektoral setiap orang dapat menolak untuk dijadikan sebagai responden.

Pelaksanaan pendataan sektoral disabilitas yang dilakukan oleh Kementerian Sosial menghadirkan tantangan. Tantangan dimaksud adalah perspektif Kementerian Sosial dalam menangani isu disabilitas yang lebih fokus pada sisi rehabilitasi sosial, sesuai dengan tugasnya yang diatur dalam ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial yang menyebutkan bahwa “Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam

menyelenggarakan pemerintahan negara.” Hal itulah yang kemudian mendasari penempatan disabilitas dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) pada pendataan yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Sosial. Kategori PMKS sangatlah sempit, yaitu melihat disabilitas hanya pada disabilitas ganda atau multi, dan kategorinya sudah bercampur dengan kondisi ekonomi. Oleh karena itu, mengkategorikan disabilitas dalam PMKS tidak memadai lagi sebagai dasar pendataan disabilitas yang sudah menggunakan definisi berbasis HAM. Selain itu, dalam statistik sektoral ada pilihan untuk seseorang menolak menjadi responden. Hal itu berpotensi semakin mengurangi responden yang seharusnya terdata, karena tidak semua orang bersedia didata sebagai seorang penyandang disabilitas, yang dalam budaya atau alam pikirannya masih berkonotasi negatif, sehingga cenderung untuk disembunyikan.

Pasal 21 UU Disabilitas juga memandatkan pengaturan lebih lanjut mengenai pendataan disabilitas dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos). Namun Permensos yang telah diterbitkan yaitu Permensos No. 21 Tahun 2017 hanya terfokus pada penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas, dan tidak banyak mengulas mengenai mekanisme penyelenggaraan pendataan penyandang disabilitas secara keseluruhan.

Meski menghadapi tantangan, namun pendataan sektoral juga memiliki keunggulan, karena memungkinkan untuk memperoleh data yang spesifik berupa nama dan alamat dari responden. Selain itu, amanat bagi Kementerian Sosial untuk melakukan pendataan disabilitas sudah tercantum dalam UU Disabilitas, sehingga dapat menjadi alat untuk mengakses pendanaan untuk pelaksanaannya.

Peluang berikutnya adalah sudah adanya praktik baik pendataan disabilitas yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi penyandang disabilitas

Page 17: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

13

(DPO) bekerjasama dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, seperti SAPDA di Banjarmasin, PATTIRO di Lombok Barat, SIGAB di Kulon Progo, KARINAKAS di Sukoharjo, YASMIB di Bone, dan BAHTERA di Sumba Barat (PATTIRO, 2018). Pendataan disabilitas yang dilakukan organisasi-organisasi tersebut mampu melibatkan langsung penyandang disabilitas dalam prosesnya. Keterlibatan penyandang disabilitas ini dimulai dari tahap perencanaan, perumusan instrumen, pelaksanaan pendataan sampai tindak lanjut pendataan (advokasi). Pemberian kesempatan kepada disabilitas untuk terlibat dalam pendataan ini memberikan kepercayaan tersendiri bagi disabilitas untuk terus aktif dalam proses pembangunan. Di samping itu, penyandang disabilitas juga makin meningkat kapasitas individunya baik dalam analisa, jaringan maupun melakukan advokasi pendataan. Pemerintah daerah melalui Dinas Sosial juga merasakan manfaat atas keterlibatan disabilitas diantaranya pendalaman ragam dan hambatan disabilitas, jaringan disabilitas yang makin luas dan peduli (sebelumnya stagnan), dan makin meningkatnya partisipasi disabilitas dalam proses pembangunan seperti keterlibatan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) maupun pelaksanaan kegiatan sosial lainnya.

2.2 Rekomendasi Kebijakan Dengan memperhatikan masalah-

masalah yang dihadapi dalam pendataan penyandang disabilitas dan peluang yang tersedia, berikut ini beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai masukan dalam RPJMN 2020-2024. 1. Pendataan disabilitas sangat penting untuk

dilakukan, karena merupakan masalah ‘hulu’ agar penyandang disabilitas mampu mengakses pelayanan publik yang menjadi kebutuhan penyandang disabilitas. Karena itu, penyusunan data induk penyandang disabilitas yang akurat dan rinci (by name

by address) yang memuat semua informasi kependudukan menjadi sangat penting untuk dicantumkan secara eksplisit dan spesifik dalam RPJMN 2020-2024. Termasuk memastikan pendataan yang dimaksud mampu mendata penyandang penyandang disabilitas yang nomaden di masyarakat adat. Pendataan hendaknya dilakukan mulai dari tingkat yang paling terdekat dengan masyarakat yaitu mulai dari RT, RW, desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota. Termasuk dalam konteks pendataan ini adalah pemutakhiran data secara berkala dengan mekanisme bottom-up, mulai dari RT, RW, desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota. Kegiatan pendataan khusus bagi penyandang disabilitas ini dimandatkan untuk dilaksanakan oleh Kementerian Sosial bersinergi dengan BPS dan Kementerian Dalam Negeri sesuai dengan amanat UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

2. Dokumen RPJMN 2020-2024 juga penting mencantumkan bahwa pendataan penyandang disabilitas dilakukan secara partisipatif dalam rangka memperoleh data yang sesuai dengan kondisi aktual dari penyandang disabilitas. Pendataan partisipatif berarti melibatkan secara aktif warga setempat, organisasi penyandang disabilitas (DPO) dan penyandang disabilitas di wilayah setempat agar data yang diperoleh lebih valid. Pendataan partisipatif juga berguna untuk meningkatkan kapasitas penyandang disabilitas baik dalam analisa, jaringan maupun melakukan advokasi pendataan. Pada proses pendataan ini pula, enumerator yang bukan merupakan penyandang disabilitas perlu diberikan pelatihan perspektif disabilitas, sehingga mampu mengidentifikasi dan mendata para penyandang disabilitas secara akurat.

Page 18: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

14Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

3. Mengusulkan untuk dimasukkan dalam Program berupa “Melakukan konsolidasi pendataan penyandang disabilitas dengan para pihak seperti BPS, K/L terkait, Pemda dan OPD dengan menggunakan sistem pendataan tunggal.”. Konsolidasi data bertujuan untuk menentukan rujukan data untuk kepentingan Pemerintah, Swasta dan OPD dalam melakukan semua siklus kegiatan perencanaan, implementasi dan evaluasi. Termasuk didalamnya menggunakan satu sistem pendataan tunggal (single best data system), sehingga data yang diperoleh disepakati sebagai data rujukan bagi semua pemangku kepentingan. Sistem data tunggal dimaksud dapat merujuk pada sistem yang selama ini telah digunakan oleh organisasi masyarakat sipil, antara lain: a) Merujuk pada instrumen Convention on the Rights of People with Disabilities, yang dilakukan SIGAB untuk Integrasi Pendataan Disabilitas dalam Sistem Informasi Desa di Kulonprogo. Pendataan dilakukan berdasarkan pendekatan hambatan, jumlah penyandang disabilitas melonjak, karena pendataan ini bukan hanya melihat disabilitas dari kondisi fisik yang terlihat saja, tetapi apakah

orang tersebut mengalami hambatan dengan lingkungannya. Misalnya, orang yang mempunyai kekurangan dalam pendengaran tidak disebut sebagai tuna rungu, tetapi hambatan rungu. Atau orang lanjut usia yang mengalami hambatan gerak karena terkena stroke juga termasuk disabilitas. Dari pendataan berdasarkan hambatan tersebut maka dapat diklasifikasi tingkat hambatannya apakah ringan, sedang atau berat. Data ini digunakan Pemda untuk menyalurkan bantuan secara lebih spesifik; dan/atau b) merujuk pada instrumen Washington Group on Disabilities Statistic versi pendek, yang digunakan KARINAKAS di Sukoharjo. Instrumen ini juga terus dikembangkan sejak awal inisiasi di tahun 2002 dengan beberapa versi yang disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pendataan disabilitas Internasional. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian disusun lagi dan disederhanakan sesuai kebutuhan KARINAKAS. Misalnya, adanya tambahan informasi terkait kesehatan, ekonomi dan lainnya sesuai dengan kebutuhan advokasi KARINAKAS. Data digunakan Bupati Sukoharjo untuk membuat keputusan tentang penerima Kartu Disabilitas 2017.

Page 19: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

15

3.1. Deskripsi Masalah Dari beragam isu yang terkait dengan

disabilitas, sektor pelayanan publik menjadi salah satu yang strategis dalam upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas dan menjadi substansi dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur disabilitas sebagai isu multisektor. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019. Komitmen untuk menyediakan pelayanan publik bagi penyandang disabilitas pada RPJMN 2015-2019 termuat pada bidang Kesejahteraan Sosial, yang menyatakan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya akses dan kualitas hidup penyandang disabilitas dan lansia.

Komitmen RPJMN 2015-2019 ini selaras dengan sistem pelayanan publik yang diselenggarakan yang berpihak pada penyandang disabilitas. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan persamaan perlakuan/tidak diskriminatif yang berarti setiap warga negara (termasuk penyandang disabilitas) berhak memperoleh pelayanan yang adil serta fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yang berarti Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan, sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. Jaminan senada diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No.. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pada UU yang disebut terakhir

ini bahkan dinyatakan bahwa disabilitas (masih disebut dengan cacat fisik dan/atau mental) merupakan data perseorangan/data pribadi penduduk yang harus dilindungi. Jaminan juga diberikan dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa pelayanan publik adalah satu dari 23 hak penyandang disabilitas dan menjadi kewajiban bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakannya.

Namun ketentuan yang diatur dalam berbagai kebijakan mengenai pelayanan publik bagi penyandang disabilitas itu tidak dapat diimplementasikan secara maksimal, karena masih dalam tataran prinsip umum, belum secara penuh diturunkan menjadi ketentuan yang lebih teknis. Bahkan kekuatan dalam pengaturan prinsip dalam UU Pelayanan Publik seakan memudar karena dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik kedua prinsip yaitu non diskriminasi dan pelayanan khusus tidak lagi disebut secara tegas.. Hal ini pula yang kemudian terjadi dalam ketentuan-ketentuan pada Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan, dimana semangat non-diskriminasi dan pelayanan khusus tidak dituangkan dalam bentuk pedoman pelaksanaannya. Akibatnya, pelayanan yang diberikan sebagian besar penyelenggara pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam arti tidak memperhatikan hambatan yang dimiliki penyandang disabilitas dalam berinteraksi dengan penyedia pelayanan. Misalnya, tidak tersedia petugas pelayanan yang memahami bahasa isyarat untuk

III. MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK RAMAH DISABILITAS

Page 20: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

16Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

berkomunikasi dengan penyandang disabilitas rungu dan wicara. Dampaknya, penyandang disabilitas mengalami kesulitan untuk mengakses atau mendapatkan pelayanan publik sesuai dengan yang dibutuhkannya (PATTIRO, 2018). Padahal UU Disabilitas telah memandatkan kewajiban bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk: menyediakan pelayanan publik yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas; menyebarluaskan dan menyosialisasikan pelayanan publik yang mudah diakses bagi penyandang disabilitas dan masyarakat; serta menyediakan panduan pelayanan publik yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.

Sosialisasi dan edukasi mengenai pelayanan publik yang ramah disabilitas menjadi sangat penting, mengingat masih banyaknya penyelenggara pelayanan publik yang belum memahami bagaimana menyediakan pelayanan yang ramah disabilitas. Karena itu salah satu materi yang perlu disampaikan adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas yang tercantum dalam berbagai peraturan perundangan, seperti UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, serta UU Disabilitas.

Dari berbagai bidang pelayanan publik, pendidikan dan kesehatan adalah dua pelayanan dasar yang paling dirasakan bermasalah bagi penyandang disabilitas. Pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dinyatakan kewajiban penyelenggaraan pendidikan khusus bagi dan setara bagi penyandang disabilitas, yang diperjelas dalam PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan bahwa setiap tingkatan pendidikan harus menerima peserta didik

tanpa diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan kondisi fisik dan mental. Namun, ternyata berdasarkan data BPS tahun 2015, penyandang disabilitas usia 5-29 tahun hanya 36,49% yang sekolah, 41,89% tidak bersekolah/putus sekolah, bahkan 21,61% tidak pernah sekolah.3 Dalam rangka pendidikan anak-anak penyandang disabilitas (anak berkebutuhan khusus), maka diselenggarakan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Meski telah diujicobakan sejak 2001, namun penyelenggaraan sekolah inklusi masih menghadapi sejumlah permasalahan. Hasil penelitian yang dilakukan Tarnoto4 menemukan bahwa permasalahan utama sekolah inklusi adalah kurangnya Guru Pendamping Khusus/Kelas (GPK); kurangnya kompetensi guru dalam menangani ABK, termasuk kurangnya pemahaman guru tentang ABK, dan sekolah inklusi, latar belakang pendidikan guru yang tidak sesuai, dan kurangnya pelatihan kepada guru tentang pendidikan inklusi; guru kesulitan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan ABK mengalami kesulitan mengikuti materi pelajaran; belum siapnya sekolah dengan program sekolah inklusi baik dari segi administrasi dan SDM; kurangnya perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap pelaksanaan sekolah inklusi, termasuk kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan inklusi; serta kebijakan terkait pelaksanaan sekolah inklusi belum jelas, termasuk belum adanya modifikasi kurikulum khusus sekolah inklusi.

3 Sumber: https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-disabilitas-bHGp, diakses pada 15 Oktober 2018 pukul 5.30 WIB.

4 Tarnoto, Nissa, “Permasalahan-Permasalahan Yang Dihadapi Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Pada Tingkat SD”, Jurnal Humanitas Vol. 13 No. 1 . 50-61, Februari 2016.

Page 21: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

17

Persoalan kurikulum ini salah satunya terlihat dari ujian sekolah yang diberikan kepada ABK sama dengan yang bukan ABK. Sementara itu kurangnya jumlah GPK tampaknya belum mendapat perhatian serius. Hal ini terlihat dari tidak masuknya GPK dalam skema rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN dan/atau PNS) yang hanya mengakomodasi tiga skema guru, yaitu guru kelas, guru bidang studi (matematika, agama, dan PPKN dan sejenisnya) serta guru bimbingan konseling (BK).

Pada bidang kesehatan, tantangan utama bagi penyandang disabilitas adalah masalah akses pada pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, poliklinik dan rumah sakit. Hambatan untuk mengakses pelayanan kesehatan ini mencakup perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit, tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar, dan tidak cukupnya ruang untuk berbelok, serta lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit, yang menghambat jalannya kursi roda; lantai yang terlalu licin dan pintu lift yang menutup cepat yang menghambat penyandang disabilitas yang mengalami kesulitan berjalan tetapi tidak memerlukan kursi roda (semi-ambulant); serta tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat serta cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup bagi disabilitas netra. 5Selain itu, tidak tersedianya informasi dalam format yang aksesibel di tempat-tempat penyelenggaraan pelayanan publik, dan tidak tersedianya petugas pelayanan yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas mengakibatkan kesulitan bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan

5 Tarsidi, Didi, “Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik”, Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (JASSI) Anakku, Volume 10: Nomor 2 Tahun 2011.

keluhan atau penyakit yang dideritanya. Namun masalah akses pelayanan kesehatan yang paling memprihatinkan adalah yang dialami oleh penyandang disabilitas berat yang tinggal di daerah pelosok atau terpencil yang tidak mampu mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan. Mereka ini pada saat sakit dan membutuhkan terapi akan sulit untuk datang ke puskesmas atau rumah sakit. Hal yang paling dimungkinkan adalah adanya pelayanan langsung di rumah pasien (homecare services). Pelayanan berupa kunjungan dari tenaga kesehatan ke rumah-rumah penyandang disabilitas ini juga akan meringankan beban penyandang disabilitas yang sebagian besar kalangan miskin untuk mengurangi biaya perjalanan ke puskesmas atau RS.

Meskipun masih mengalami tantangan dalam pelaksanaan kebijakan mengenai pelayanan publik bagi penyandang disabilitas, namun beberapa daerah telah mampu melakukan upaya atau inovasi untuk menyediakan pelayanan publik yang ramah disabilitas. Inovasi-inovasi ini berpeluang untuk menjadi contoh, dikembangkan lebih lanjut atau direplikasi, antara lain:

(i) Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD), yang dilakukan di Puskesma Lingsar, dan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat. Inovasi RPRD berarti puskesmas diharapkan mampu memberikan rasa nyaman dan aman serta pelayanan yang setara bagi disabilitas. Capaian yang diraih antara lain: a) penyediaan infrastruktur yang ramah disabilitas, berupa Penyediaan ramp khusus untuk kursi roda, yang sebelumnya hanya menggunakan tangga, pegangan rambat (handrail), penyediaan fasilitas kursi roda di puskesmas, loket antrean yang adaptif untuk kursi roda dan tulisan berjalan (running text) untuk memudahkan disabilitas rungu ketika menunggu antrian; b) program jemput bola posyandu terpadu yang menggabungkan pelayanan posyandu untuk remaja, lansia dan penyandang disabilitas.

Page 22: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

18Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

(ii) Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), yang dilaksanakan oleh Puskesmas Lendah, Kabupaten Kulon Progo. Pelayanan bagi ODGJ ini terselenggara melalui kolaborasi antara Puskesmas, Pemerintah Desa dan DPO (SIGAB). Hasilnya adalah terjadi perubahan perspektif masyarakat dan keluarga disabilitas bahwa keberadaan ODGJ bukan mengganggu, melainkan perlu ditangani dengan cara yang tepat; ODGJ mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai; dan secara berangsur jumlah ODGJ berkurang.

(iii) Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), dalam bentuk sinergi antara bidan desa, puskesmas, kader posyandu, anggota DPO, pemerintah desa dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.

(iv) Sekolah Dasar Inklusi, yaitu SD reguler yang menerima ABK dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi pembelajaran, tenaga pengajar dan penilaian siswanya. Inovasi ini dilakukan di Kota Banjarmasin.

Bercermin dari pengalaman pemerintah daerah dan unit pelayanan dalam mengembangkan inovasi dalam rangka menyediakan pelayanan publik yang ramah bagi penyandang disabilitas, maka bila dicermati lebih lanjut, peraturan perundang-undangan yang terkait pelayanan publik bagi penyandang disabilitas memandatkan setidaknya dua hal penting yaitu dukungan bagi partisipasi penyandang disabilitas dan penyediaan Unit Layanan Disabilitas.

a. Partisipasi Disabilitas“Partisipatif” menjadi asas yang secara

konsisten digunakan dalam kebijakan terkait dengan pelayanan publik. Pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) dan PP No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009

tentang Pelayanan Publik, asas partisipatif ini kemudian tercermin dalam mekanisme penyusunan standar pelayanan yang harus meingkutsertakan masyarakat sebagai pihak terkait. Ruang partisipasi tersebut berupa ikut mempersiapkan rancangan standar pelayanan, membahas rancangan standar pelayanan, memberikan tanggapan atau masukan terhadap rancangan standar pelayanan yang sudah dibahas yang dapat berdampak pada perbaikan rancangan oleh penyelenggara, dan melaporkan kepada Ombudsman standar pelayanan yang sudah diperbaiki oleh penyelenggara. Namun PP No. 96 Tahun 2012 tidak menyebut secara eksplisit kewajiban penyelenggara pelayanan publik untuk memberikan aksesibilitas, akomodasi yang layak, atau bahkan affirmative action bagi penyandang disabilitas untuk ikutserta dalam proses penyusunan standar pelayanan. Hal ini berpotensi menghambat penyandang disabilitas untuk berpartisipasi seperti masyarakat non-disabilitas lainnya.

Karena itu, PP No. 96 Tahun 2012 seharusnya dilengkapi dengan pelaksanaan prinsip non-diskriminasi dan pelayanan khusus untuk memastikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas untuk ikut serta, melalui penambahan ketentuan mengenai: a) kewajiban kepada penyelenggara untuk menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas untuk mengikuti proses penyusunan standar pelayanan; dan b) memberikan affirmative action, yaitu secara khusus menjadikan masyarakat dari kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, untuk dipastikan hadir.

Selain sebagai penerima pelayanan, partisipasi penyandang disabilitas dalam pelaksanaan pelayanan publik juga dapat berupa penyelenggara pelayanan publik itu sendiri. Adanya partisipasi penyandang disabilitas sebagai pemberi layanan diharapkan melahirkan proses penyesuaian di internal penyelenggara pelayanan,

Page 23: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

19

baik dalam hal teknik pelayanan maupun fasilitas. Selain itu, dengan adanya petugas pemberi layanan dari penyandang disabilitas diharapkan akan membangun interaksi dan proses saling belajar antara petugas pemberi layanan disabilitas dengan non-disabilitas.

Peluang untuk mempekerjakan penyandang disabilitas sebagai pemberi layanan relatif tinggi, terutama pasca dimasukannya ketentuan mengenai quota pegawai untuk sektor Pemerintah dan pemerintah daerah yang mencapai 2% dari jumlah keseluruhan pegawai. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) sudah menganut sistem merit yang berarti bahwa kebijakan dan Manajemen ASN diambil berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar, tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan,umur, atau kondisi kecacatan. Kebijakan dan Manajemen ASN pun memperhatikan asas non diskriminasi dan memperhatikan terhadap kebutuhan khusus ASN termasuk penyandang disabilitas.

b. Unit Layanan DisabilitasUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2016

tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas) memandatkan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan Unit Layanan Disabilitas (ULD), yaitu bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang Disabilitas. Dari definisi itu dapat diketahui bahwa secara kelembagaan ULD bukanlah lembaga baru, tetapi merupakan bagian dari suatu institusi. Pembentukan ULD dalam suatu institusi perlu dilakukan dengan menambahkan struktur baru dalam institusi tersebut. Hal itu harus dilakukan karena ULD dibentuk

dengan memiliki tugas dan fungsi tersendiri. Meski belum ada data pasti, namun amanat pembentukan ULD relatif belum banyak dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Selain dari aspek kelembagaan, ULD juga perlu dipahami dari aspek fungsinya, yaitu sebagai penyedia layanan dan fasilitas atau pusat sumberdaya. Sekaligus berperan sebagai tempat untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam upaya menghilangkan hambatan-hambatan penyandang disabilitas dalam memperoleh layanan tertentu. Dengan demikian, ULD pada dasarnya adalah sistem pendukung dari tugas dan fungsi utama dari suatu institusi. Oleh karena itu keliru apabila diinterpretasikan bahwa ULD adalah tempat khusus bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan layanan secara langsung. Hal itu diperkuat dengan salah satu asas dalam UU Disabilitas yaitu inklusif, yang dapat dimaknai bahwa layanan bagi penyandang disabilitas dan non-disabilitas pada dasarnya adalah dalam satu sistem yang sama, walaupun tetap memperhatikan modifikasi layanan atau fasilitas guna mengakomodir kekhususnan atau keunikan dari penyandang disabilitas.

Unit ini pada dasarnya dibutuhkan dalam berbagai sektor, namun UU Disabilitas hanya mengamanatkan langsung pada 4 sektor, yaitu rumah tahanan negara, pendidikan dasar-menengah, pendidikan tinggi, dan ketenagakerjaan.

Fungsi ULD dalam rumah tahanan Negara (rutan) adalah: a) menyediakan pelayanan masa adaptasi bagi tahanan Penyandang Disabilitas selama 6 (enam) bulan; b) menyediakan kebutuhan khusus, termasuk obat– obatan yang melekat pada Penyandang Disabilitas dalam masa tahanan dan pembinaan; dan c) menyediakan layanan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas mental. Hal ini berarti fungsi ULD adalah “menyediakan”, tidak sampai kepada memberikan layanan langsung kepada

Page 24: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

20Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

penghuni rutan yang merupakan penyandang disabilitas. Hal itu menegaskan bahwa pemberian layanan dilakukan dengan sistem yang sudah ada, yang juga melayani penghuni rutan yang non-disabilitas.

Hal yang sama dengan fungsi ULD dalam sektor pendidikan inklusif, yaitu: a) meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah reguler dalam menangani peserta didik Penyandang Disabilitas; b) menyediakan pendampingan kepada peserta didik Penyandang Disabilitas untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran; c) mengembangkan program kompensatorik; d) menyediakan media pembelajaran dan Alat Bantu yang diperlukan peserta didik Penyandang Disabilitas; e) melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta didik Penyandang Disabilitas; f) menyediakan data dan informasi tentang disabilitas; g) menyediakan layanan konsultasi; dan h) mengembangkan kerja sama dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik Penyandang Disabilitas.

Selain penggunaan kata kerja “menyediakan”, fungsi ULD juga mencakup meningkatkan dan mengembangkan, yang berarti sebagai sistem pendukung. Sedangkan dalam huruf e disebutkan “melakukan”, tetapi tujuannya adalah untuk upaya preventif, diluar layanan utama dalam bidang pendidikan.

Konsep pengaturan yang sama digunakan untuk mengatur fungsi ULD di perguruan tinggi dan dinas ketenagakerjaan di pemerintah daerah. Keseluruhan fungsi yang ada adalah berbentuk dukungan terhadap layanan utama dari instansi terkait, seperti mendukung kelancaran dari proses belajar dan mengajar, serta menjamin pelaksanaan yang maksimal terhadap pelaksanaan belajar dan mengajar terhadap mahasiswa dengan disabilitas.

Contoh ULD yang sudah dilaksanakan

dalam suatu instansi adalah seperti Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya dan Pusat Layanan Difabel Universitas Islam Nasional Sunan Kalijaga. Kedua lembaga itu menyediakan berbagai layanan untuk mendukung mahasiswa penyandang disabilitas dapat mengikuti perkuliahan dengan baik, dari mulai fasilitas sampai kepada layanan konseling. Selain itu, kedua ULD tersebut juga melayani para pengajar yang membutuhkan pendapat atau bahkan inspirasi untuk mengajar tanpa menimbulkan hambatan bagi penyandang disabilitas.

3.2 Rekomendasi Kebijakan Memperhatikan masalah-masalah

yang dihadapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang ramah disabilitas dan peluang yang tersedia, berikut ini beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan sebagai masukan dalam RPJMN 2020-2024. 1. Pelaksanaan sosialisasi dan edukasi

penyelenggaraan pelayanan publik yang ramah disabilitas kepada seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan unit pelayanan di provinsi maupun kabupaten/kota, dan masyarakat. Terbitnya UU Disabilitas yang mengubah posisi isu disabilitas dari berbasis sosial menjadi berbasis HAM merupakan hal mendasar yang harus dipahami semua penyelenggara pelayanan publik. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan edukasi secara masif dan menyeluruh. Termasuk memastikan adanya sosialisasi tentang pengertian disabilitas ke masyarakat awam dan penyadaran khusus kepada keluarga penyandang disabilitas untuk memanfaatkan pelayanan administrasi kependudukan agar penyandang disabilitas dapat mengakses pelayanan publik lainnya. Kegiatan sosialisasi dan edukasi ini menjadi bagian dari kinerja Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang dievaluasi setiap tahunnya.

Page 25: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

21

2. Penerapan kewajiban bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang inklusif disabilitas, termasuk penyediaan sarana dan prasarana yang ramah disabilitas serta penerapan kewajiban bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik untuk melakukan evaluasi pelayanan publik secara berkala dengan melibatkan organisasi penyandang disabilitas melalui Survey Kepuasan Masyarakat, Audit Sosial dan Forum Konsultasi Publik. Kewajiban melakukan evaluasi pelayanan publik yang melibatkan penyandang disabilitas ini untuk memastikan bahwa pelayanan publik yang diselenggarakan sudah ramah disabilitas. Termasuk mengevaluasi apakah standar pelayanan yang diterapkan sudah mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas, termasuk memastikan adanya akses pelayanan publik dasar bagi penyandang disabilitas yang nomaden di masyarakat adat.

3. Khusus pada bidang pendidikan, Pemerintah harus memastikan pendidikan inklusi berjalan secara optimal, dengan memasukkan skema Guru Pendamping Khusus (GPK) dalam penerimaan ASN/PNS guru dalam rangka memenuhi kebutuhan GPK, dan mewujudkan kurikulum khusus sekolah inklusi beserta sarana pendukungnya agar kegiatan belajar mengajar di sekolah inklusi dapat berjalan lancar. Sementara pada bidang kesehatan, Pemerintah harus memastikan bahwa seluruh unit pelayanan publik memiliki sarana dan prasarana yang dapat diakses oleh beragam penyandang disabilitas dan tersedianya pelayanan kunjungan tenaga kesehatan ke rumah penyandang disabilitas (homecare services).

4. Pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Rumah Tahanan Negara dan di setiap pemerintah daerah, termasuk ULD dalam kondisi bencana. Sesuai dengan amanat UU Disabilitas, maka pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan membentuk ULD yang berfungsi sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang Disabilitas. Kewajiban pembentukan ULD ini setidaknya pada empat sektor, yaitu rumah tahanan negara, pendidikan dasar-menengah, pendidikan tinggi, dan ketenagakerjaan. Dengan demikian, selain Kementerian/Lembaga, maka Pemda juga berkewajiban membentuk ULD setidaknya pada Dinas Ketenagakerjaan. Selain itu, mengingat kondisi alam Indonesia yang rawan bencana, dan dalam kondisi bencana tersebut yang paling rentan adalah penyandang disabilitas, maka penting untuk membentuk ULD dalam kondisi bencana, yang diamanatkan pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Untuk memastikan pembentukan ULD dipatuhi, maka data ULD yang dibentuk menjadi bagian dari kinerja Kementerian/Lembaga dan Pemda yang dievaluasi setiap tahunnya.

5. Perbaikan dari dokumen RPJMN 2015-2019 dengan menambahkan poin pada ruang lingkup, yaitu menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam semua proses pengambilan keputusan di semua tataran pemerintahan, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat nasional. Berdasarkan World Report on Disability (WHO dan World Bank, 2011) menyatakan banyak penyandang disabilitas tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap hal-hal yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka,

Page 26: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

22Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

misalnya, di mana penyandang disabilitas tidak memiliki pilihan dan kontrol atas bagaimana dukungan diberikan kepada mereka. Selain itu, salah satu poin dalam The Convention on The Rights of Persons with Disabilities 2008 (diratifikasi Indonesia dan diundangkan dalam UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas) adalah penyandang disabilitas harus memiliki kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan program, termasuk yang terkait langsung dengan mereka.

6. Perbaikan dari dokumen RPJMN 2015-2019 dengan menghapus kata “membantu pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam setiap aspek kehidupan” dalam Sasaran dan mengganti dengan “mewujudkan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam setiap aspek kehidupan”.

Karena pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban negara.

7. Pemenuhan kuota 2% penyandang disabilitas sebagai ASN dari jumlah ASN secara keseluruhan. Pemenuhan kuota penyandang disabilitas ini diharapkan memberi kesempatan kepada ASN penyandang disabilitas bertindak sebagai petugas pemberi pelayanan. Hal ini diharapkan melahirkan proses penyesuaian di internal penyelenggara pelayanan, baik dalam hal teknik pelayanan maupun fasilitas, serta akan membangun interaksi dan proses saling belajar antara petugas pemberi layanan disabilitas dengan non-disabilitas. Untuk memastikan kuota terpenuhi, maka hal ini perlu menjadi Program Prioritas Nasional, yang kemudian disusun dalam bentuk peta jalan (road map) agar dapat dimonitor dalam pelaksanaannya.

Page 27: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

23

4.1 Deskripsi Masalah Sebagai warga negara, penyandang

disabilitas juga memiliki hak untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan serta terpenuhi kebutuhan dan aspirasinya dalam alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Daerah (APBN/APBD). Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) menjamin dan berupaya untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan mengakomodasi kepentingan serta kebutuhan masyarakat dalam dokumen perencanaan dan penganggaran dan dalam seluruh aspek proses perencanaan pembangunan.

Dalam kerangka itu, Bappenas telah menerbitkan Buku Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak kepada Penyandang Disabilitas pada tahun 2015 yang menggunakan perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG) sebagai benchmark. Hal ini dapat dilihat dari Analisis Disabilitas yang berisi 9 langkah seperti yang terdapat pada Gender Analysis Pathway (GAP) dan tools Disability Budget Statement yang ditawarkan. Selain itu, juga disebutkan dua strategi pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam bentuk kegiatan khusus untuk disabilitas dan pengarusutamaan disabilitas. Namun sayangnya, buku Pedoman ini belum digunakan secara resmi karena terkendala regulasi di Bappenas.

Pada dokumen RPJMN 2015-2019, komitmen terkait perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada disabilitas telah tercantum dalam bidang Kesejahteraan Sosial, yang mencakup: pertama, arah dan

strategi, yang menyebutkan pentingnya upaya untuk meningkatkan inklusivitas penyandang disabilitas yang menyeluruh pada setiap aspek penghidupan, yang dilaksanakan melalui peningkatan advokasi terhadap peraturan dan kebijakan di tingkat pusat dan daerah untuk mendukung layanan publik dan pelaksanaan program yang lebih inklusif terhadap penyandang disabilitas, termasuk peningkatan proses perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas; kedua, kerangka pendanaan yang menyebutkan bahwa sumber pembiayaan yang terbatas menjadi tantangan utama dalam peningkatan kesejahteraan dan inklusivitas bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia. Untuk itu, terdapat beberapa sumber pendanaan yang perlu dioptimalkan, antara lain dari pemerintah, masyarakat dan swasta.

Komitmen RPJMN 2015-2019 selaras dengan sistem perencanaan dan penganggaran di Indonesia yang memberikan jaminan dan ruang partisipasi pada setiap lapisan masyarakat untuk berkontribusi dalam setiap jenjang musyawarah. Mulai dari Musyawarah Dusun, Musyawarah Desa, dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan daerah dari tingkat kecamatan hingga provinsi. Keterikatan antar elemen pembangunan dalam membangun sistem yang sinergis dijelaskan berturut-turut dengan diterbitkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (yang sekarang sudah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Khusus pada UU SPPN dijelaskan bahwa proses perencanaan

IV. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG BERPIHAK PADA DISABILITAS

Page 28: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

24Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

dan penganggaran diselenggarakan secara sinergis, dan tahapan perencanaan disatukan dengan tahapan penganggaran hingga menghasilkan APBN/APBD. Selain itu, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga menegaskan pentingnya perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas, dengan memandatkan salah satu peraturan pelaksanaan yang harus disusun adalah Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan, Penyelenggaran dan Evaluasi Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Saat ini, rancangan Peraturan Pemerintah yang akan dilengkapi dengan lampiran dalam bentuk RIPID (Rencana Induk Pembangunan Inklusi Disabilitas) sedang dalam proses pembahasan oleh pemangku kepentingan.

Meski demikian, RPJMN 2015-2019 belum menjelaskan strategi dan mekanisme bagaimana perencanaan penganggaran yang berpihak pada disabilitas. Selain itu, RPJMN 2015-2019 juga belum mencantumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) sebagai salah satu sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk pemenuhan hak-hak disabilitas. Padahal APBDesa sebagai sumber pendanaan terdekat dengan masyarakat dapat dimanfaatkan untuk pendanaan pemenuhan hak disabilitas di tingkat desa.

Beberapa pemerintah daerah dan pemerintah desa telah melakukan upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas, baik dalam bentuk kegiatan khusus maupun pengarusutamaan, antara lain: i. Advokasi alokasi anggaran spesifik

disabilitas di tingkat Desa. Inovasi ini dilakukan di Desa Mallari, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, dengan cara pelibatan secara aktif penyandang disabilitas pada proses perencanaan dan penganggaran. Capaian yang diraih, antara lain: a) Alokasi anggaran untuk membiayai transportasi bagi penyandang disabilitas

ke sekolah; b) Bantuan ternak dan bedah rumah; dan c) Pembangunan dua pos pelayanan kesehatan khusus untuk penyandang disabilitas. Pos pelayanan kesehatan ini membuka pelayanan khusus bagi disabilitas pada tanggal 14 setiap bulannya. Advokasi di tingkat Desa juga dilakukan oleh Yayasan Bahtera di Kabupaten Sumba Barat Daya.

ii. Advokasi pengarusutamaan anggaran untuk fasilitas pelayanan publik oleh PATTIRO untuk meningkatkan akses penyandang disabilitas terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD) di Kecamatan Lingsar dan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat. Penambahan fasilitas fisik dan non-fisik dalam rangka memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas menggunakan alokasi anggaran pemeliharaan Puskesmas.

iii. Afirmasi kebijakan partisipasi disabilitas di Kabupaten Gunung Kidul melalui penerbitan SE Bupati Gunung Kidul No.140/2967 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan RKP Desa Tahun 2016. Surat Edaran ini memastikan partisipasi penyandang disabilitas dalam Musyawarah Desa, termasuk kewajiban menyediakan pendamping. Musrenbangdes diikuti oleh peserta Musrenbangdes, tamu undangan, dan pendamping. Peserta antara lain: Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa, Kader Pemberdayaan Masyarakat, pemuka agama, pemuka adat, Forum Anak, TKPKDes, kelompok marginal (miskin, disabilitas, lansia), dan perwakilan kelompok (nelayan, petani, perempuan). Unsur masyarakat diutamakan yang berkepentingan langsung dengan materi Musrenbangdes dengan memperhatikan keterwakilan dari kelompok marginal/rentan.

Page 29: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

25

Pembelajaran dari beberapa upaya advokasi anggaran pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas adalah pentingnya partisipasi dari kelompok disabilitas di dalam proses perencanaan dan penganggaran, sehingga bisa langsung menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya. Keterlibatan para penyandang disabilitas baik secara pribadi maupun keorganisasian dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan dapat diakomodasi melalui mekanisme Musrenbang baik yang diselenggarakan di tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional.

Tantangan yang muncul dalam mengupayakan perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas, antara lain:1. Partisipasi penyandang disabilitas yang

masih minim dan kurang afirmasi, baik dari aspek regulasi maupun praktek perencanaan dan penganggaran di tingkat provinsi/kabupaten/kota dan Desa. Di dalam Permendagri No. 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan evaluasi Pembangunan Daerah, dan Permendagri No. 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa tidak terdapat afirmasi untuk peningkatan aksesibilitas, partisipasi, kontrol, dan manfaat bagi penyandang disabilitas. Di sisi lain, regulasi di tingkat daerah seperti Perda Disabilitas yang telah ditetapkan dan diundangkan oleh sekitar 29 Pemda (Provinsi dan Kabupaten/Kota) belum mencerminkan perbaikan partisipasi dalam perencanaan dan penganggaran. Salah satunya karena belum dijabarkan secara spesifik tentang hak berpartisipasi dalam perencanaan dan penganggaran, tidak adanya aturan turunan dan tidak dilakukannya monitoring atas penerapan Perda dimaksud. Sebagian besar Perda itu mengatur perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, baik pelayanan dasar inklusif

(pendidikan, kesehatan), kesempatan kerja (ekonomi), aksesibilitas dan rehabilitasi. Seperti contohnya pada Perda Provinsi Jawa Barat No.7 tahun 2013 tentang Penyelenggaraaan Perlindungan Penyandang Disabilitas, Perda Kabupaten Banyuwangi No.6 tahun 2017 dan Perda Provinsi DI Yogyakarta No.4 tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pada Perda di Kabupaten Banyuwangi dan Provinsi DIY lebih terakomodasi termasuk dalam pemenuhan hak-hak politik dan partisipasi dalam kebijakan dan pengarusutamaan penyandang disabilitas.

2. Minimnya partisipasi akhirnya berdampak pada penyandang disabilitas dimana hak-hak mereka tidak terakomodir di dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Terlihat dari alokasi anggaran yang belum mencerminkan kebutuhan penyandang disabilitas secara komprehensif sesuai UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia. Secara umum, anggaran berupa “bantuan (human charity)” seperti pengadaan kursi roda, alat bantu dengar atau anggaran dari penyandang disabilitas dengan cara pengajuan proposal. Hal ini selain belum terjaminnya partisipasi penyandang disabilitas, juga disebabkan database yang masih perlu ditingkatkan.

3. Penganggaran penyandang disabilitas masih menjadi tugas dan fungsi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tertentu seperti Dinas Sosial/Pemberdayaan Masyarakat. Padahal pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas merupakan kewajiban lintas sektor, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, pencatatan sipil, ekonomi, politik dan kewargaan, transportasi sehingga tak mungkin bertumpu pada sektor spesifik.

Page 30: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

26Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

4. Perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada disabilitas belum dipahami sebagai sebuah pengarusutamaan (mainstreaming) yang bersifat lintas sektor.

4.2 Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan permasalahan yang dihadapi

penyandang disabilitas pada perencanaan dan penganggaran, maka beberapa hal yang direkomendasikan perlu dicantumkan dalam RPJMN 2020-2024 adalah: 1. Memandatkan kepada seluruh

Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk mempromosikan strategi pengarusutamaan perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas dengan menggunakan sistem yang berlaku saat ini agar dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut:

Berdasarkan diagram di atas, proses perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas diawali dengan RIPID yang memuat bagaimana Pemerintah/Pemerintah Daerah akan melaksanakan mandat penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas. Materi dalam RIPID selanjutnya akan diintegrasikan ke dalam RPJMN/RPJMD untuk kemudian ditindaklanjuti dengan menggunakan mekanisme perencanaan penganggaran yang berlaku. Untuk memonitor pelaksanaannya, perlu dilakukan melalui mekanisme penandaan anggaran. Dari hasil evaluasi, dapat dilakukan pemberian penghargaan dan sanksi (reward and punishment) bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

RPID Nasional / RPID Daerah

RPJMN / RPJMD

Renstra K/L / Renstra OPD

RKP / RKPD

Renja K/L / Renja OPD

RKA K/L / RKA OPD

Evaluasi:• Mekanisme Penandaan Anggaran• Pemberian reward/pusnishment

APBN / APBD

Page 31: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

27

2. Memandatkan kepada Bappenas untuk menyusun pedoman perencanaan pembangunan di daerah yang memastikan organisasi penyandang disabilitas (DPO) dan penyandang disabilitas di wilayah masing-masing terlibat mulai dari tingkat desa hingga tingkat kabupaten/kota, termasuk didalamnya melibatkan DPO sebagai Tim Penyusunan RPJMD dan RPJMDesa. Partisipasi penyandang disabilitas ini menjadi kunci penting untuk memastikan bahwa forum perencanaan pembangunan mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dan rencana pembangunan yang disusun berperspektif disabilitas.

3. Mengamanatkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Desa untuk memastikan terlaksananya perencanaan dan penganggaran yang inklusif disabilitas pada APBN/APBD/APBDesa, dalam arti memastikan bahwa kebutuhan dan aspirasi penyandang disabilitas diakomodasi serta adanya pengarusutamaan disabilitas dalam perencanaan dan penganggaran. Termasuk memastikan dalam proses perencanaan dan penganggaran memperoleh masukan dari penyandang disabilitas atau Organisasi Penyandang Disabilitas, baik melalui proses Musrenbang maupun proses konsultasi secara informal.

4. Memandatkan kepada Kementerian Desa dan PDTT serta Kementerian Keuangan untuk menyusun regulasi yang membuka ruang penggunaan Dana Desa dalam rangka mendukung perencanaan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas dengan mengacu pada RIPID Kabupaten/Kota.

5. Mengusulkan untuk dimasukkan dalam Program, berupa “Meningkatkan upaya advokasi untuk memastikan terwujudnya peraturan mengarusutamakan perencanaan dan penganggaran yang berpihak pada penyandang disabilitas.Strategi ini memerlukan perencanaan yang lebih spesifik seperti menyusun Rencana Aksi Nasional/Daerah sebagai perwujudan dari UU dan Perda. Sebagai contoh, dalam Perda Kabupaten Banyuwangi No. 6 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Perda Provinsi DI Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas telah diatur mengenai pengarusutamaan penyandang disabilitas meliputi kewajiban sosialisasi tentang hak-hak penyandang disabilitas kepada semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD), pendataan yang komprehensif dan pengarusutamaan penyandang disabilitas dalam seluruh perencanaan dan program pembangunan.

Page 32: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

28Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

REFERENSI

Badan Pusat Statistik. 2016. Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) di Indonesia. Kajian Indikator Lintas Sektor. Jakarta.

Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat. 2010. Sensus Penduduk Tahun 2010. Jakarta.

International Labour Organization. Tanpa tahun. Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta.

Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2011. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak Pendidikan dan Kesehatan bagi Anak-anak Penyandang Cacat (Difabel). Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Sudarno, Rohidin & Sad Dian Utomo. 2018. Inovasi Pendataan Disabilitas. Jakarta: PATTIRO.

Anggraeni, Novita & Sad Dian Utomo. 2018. Pelayanan Publik Bagi Disabilitas. Jakarta: PATTIRO,.

2000. Disability, Poverty and Development. DFID.

Tarnoto, Nissa, “Permasalahan-Permasalahan Yang Dihadapi Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Pada Tingkat SD”, Jurnal Humanitas Vol. 13 No. 1 . 50-61, Februari 2016.

Tarsidi, Didi, “Kendala Umum yang Dihadapi Penyandang Disabilitas dalam Mengakses Layanan Publik”, Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (JASSI) Anakku, Volume 10: Nomor 2 Tahun 2011.

https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-disabilitas-bHGp, diakses pada 15 Oktober 2018 pukul 5.30 WIB.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Page 33: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

29

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah.

Peraturan Daerah Provinsi DI Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraaan Perlindungan Penyandang Disabilitas.

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.

Page 34: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

30Policy Paper Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas: Rekomendasi Kebijakan untuk Penyusunan RPJMN 2020-2024

Page 35: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas
Page 36: Mewujudkan Pembangunan Inklusif Disabilitas

Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35, Pasar Minggu Jakarta SelatanTelp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800

Email: [email protected] | Website: www.pattiro.org

Pusat Telaah dan Informasi RegionalCentre for Regional Information and Studies