pendakian gunung ungaran

9
RINANDAR MUSLIMIN Pendakian Gunung Ungaran, Bersahabat dengan Alam, Bersahabat dengan Ketidakpastian Naik gunung barangkali sudah menjadi hal yang umum bagi sebagian besar orang. Tapi, hal ini merupakan hal yang baru bagi saya. Kesempaatan untuk memacu adrenalin ini hadir beberapa bulan yang lalu, ketika masa rehat UN SMA yang baru saja berakhir. Saya yakin, dalam kehidupan ini Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan begitu kompleks, tak lain tak bukan adalah wujud penawaran dialektika dari-Nya kepada umat manusia. Sejatinya, Dia telah menggariskan takdir pada tiap insan dan diberikan-Nya sekian hak kepada manusia untuk menentukan pilihan. Dan salah satu dari secuil kebebasan yang kita miliki adalah hak untuk memilih sarana atau cara kita berkomunikasi dengan-Nya. Pemahaman inilah yang kemudian melandasi saya untuk memberanikan diri mendaki gunung. Mencoba bersahabat dengan alam, bersahabat dengan ketidakpastian, dan berkomunikasi lebih intim dengan-Nya untuk lebih mengenal akan kebesaran-Nya. Bersama tiga orang teman yang lain, kami memutuskan Gunung Ungaran sebagai objek ideal yang akan kami tuju. Terletak di Kabupaten Semarang, gunung ini hanya berjarak sekitar 40-50 km sebelah barat daya Kota Semarang, tempat di mana kami menetap pada saat itu. Dengan ketinggian puncak tertinggi 2.050 mdpl, gunung ini memang bukan termasuk gunung yang tinggi. Tapi, bukan berarti pendakian Gunung Ungaran ini kurang menantang. Karena jika ditelaah lebih dalam, secara geografis start pendakian gunung ini juga masih terhitung di ketinggian yang rendah. Mengingat Kota Semarang merupakan daerah pesisir utara dari Pulau Jawa. Persiapan Dengan latar belakang pengalaman pendakian yang minim, akhirnya kami berempat memutuskan untuk mengajak seorang personil tambahan yang lebih berpengalaman untuk mendampingi perjalanan kami. Pendakian ini kami agendakan akan dimulai sore hari di

Upload: rinandar-muslimin

Post on 20-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

road to ungaran

TRANSCRIPT

Page 1: Pendakian Gunung Ungaran

RINANDAR MUSLIMIN

Pendakian Gunung Ungaran, Bersahabat dengan Alam, Bersahabat dengan KetidakpastianNaik gunung barangkali sudah menjadi hal yang umum bagi sebagian besar orang. Tapi,

hal ini merupakan hal yang baru bagi saya. Kesempaatan untuk memacu adrenalin ini hadir beberapa bulan yang lalu, ketika masa rehat UN SMA yang baru saja berakhir. Saya yakin, dalam kehidupan ini Tuhan telah menciptakan alam semesta ini dengan begitu kompleks, tak lain tak bukan adalah wujud penawaran dialektika dari-Nya kepada umat manusia. Sejatinya, Dia telah menggariskan takdir pada tiap insan dan diberikan-Nya sekian hak kepada manusia untuk menentukan pilihan. Dan salah satu dari secuil kebebasan yang kita miliki adalah hak untuk memilih sarana atau cara kita berkomunikasi dengan-Nya. Pemahaman inilah yang kemudian melandasi saya untuk memberanikan diri mendaki gunung. Mencoba bersahabat dengan alam, bersahabat dengan ketidakpastian, dan berkomunikasi lebih intim dengan-Nya untuk lebih mengenal akan kebesaran-Nya.

Bersama tiga orang teman yang lain, kami memutuskan Gunung Ungaran sebagai objek ideal yang akan kami tuju. Terletak di Kabupaten Semarang, gunung ini hanya berjarak sekitar 40-50 km sebelah barat daya Kota Semarang, tempat di mana kami menetap pada saat itu. Dengan ketinggian puncak tertinggi 2.050 mdpl, gunung ini memang bukan termasuk gunung yang tinggi. Tapi, bukan berarti pendakian Gunung Ungaran ini kurang menantang. Karena jika ditelaah lebih dalam, secara geografis start pendakian gunung ini juga masih terhitung di ketinggian yang rendah. Mengingat Kota Semarang merupakan daerah pesisir utara dari Pulau Jawa.

Persiapan

Dengan latar belakang pengalaman pendakian yang minim, akhirnya kami berempat memutuskan untuk mengajak seorang personil tambahan yang lebih berpengalaman untuk mendampingi perjalanan kami. Pendakian ini kami agendakan akan dimulai sore hari di akhir pekan, tepatnya di hari Sabtu, tanggal 18 Mei 2009. Harapannya, hangatnya siraman sinar matahari ketika terbit bisa kami nikmati di puncak tertinggi Gunung Ungaran. Persiapan fisik sebelum melakukan pendakian pun harus kami lakukan terlebih dahulu. Sembari mempersiapkan diri guna menghadapi serangkaian ujian masuk perguruan tinggi, olahraga ringan rutin kami lakukan menjelang hari-H pendakian.

Kurang beruntung rasanya ketika sehari-dua hari sebelum pendakian dilakukan, saya dan seorang teman yang lain dalam keadaan kurang fit. Tapi, dengan semangat dan rasa penasaran yang terus bergema di otak, membuat segala persiapan yang tinggal selangkah lagi itu menjadi tak terasa berat. Mulai dari packing barang, penyusunan agenda timeline perjalanan, dan segala tetek-bengek persiapan lainnya benar-benar kami persiapkan secara matang.

Akhirnya, hari yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Sabtu sore ba’da salat Asar pun kami berkumpul dan meninjau ulang kembali barang bawaan kami untuk terakhir kalinya. Dua tas carrier besar dan tiga tas daypack akan menemani perjalanan kami berlima selama dua hari satu

Page 2: Pendakian Gunung Ungaran

RINANDAR MUSLIMIN

malam itu. Tas yang saya bawa pada sore itu berisi perlengkapan pribadi, beberapa botol air minum 1,5 liter dan perlengkapan medis yang kiranya kami butuhkan selama perjalanan. Dengan menggunakan tiga buah sepeda motor, kami meluncur dari Semarang menuju daerah Jimbaran, tempat awal pendakian kami menuju puncak Gunung Ungaran. Setelah sesaat sebelum keberangkatan harus melawan rasa sakit (batuk dan demam), kini tekad kami sudah kembali harus diuji oleh keadaan alam. Sore itu, kami mau tak mau harus mengendarai sepeda motor menerjang hujan yang mengguyur kaki Gunung Ungaran. Sebuah awal yang cukup sulit bagi kami, para pendaki yang masih pemula. Bayang-bayang licinnya jalur pendakian di tengah gelapnya malam sudah menghantui di pikiran kami pada saat itu. Alam saat itu benar-benar menunjukkan tabiat aslinya yang tak bisa ditebak. Tapi karena kebulatan tekad yang telah digenggam, perjalanan pun terus kami lanjutkan hingga kaki kami menapak di salah satu rumah penduduk yang kami jadikan tempat persinggahan.

Setelah menitipkan motor, kami segera mencari tempat beribadah karena waktu maghrib saat itu akan segera tiba. Sebenarnya, ini semua berada di luar skenario yang kami rencanakan. Rencana awalnya, saat menjelang maghrib itu kami sudah harus sampai di pos mawar, pos resmi untuk melakukan pendakian awal. Tapi karena keadaan hujan yang cukup menyamarkan penglihatan, kami terjebak salah memilih jalan yang menyebabkan motor kami tidak bisa mencapai pos mawar. Perjalanan dari rumah penduduk tadi menuju pos mawar harus kami lalui lewat jalan setapak sebagai konsekuensinya. Waktu yang sayang terbuang dengan sia-sia.

Satu jam kemudian, pos mawar yang kami tuju saat itu pun berhasil kami capai. Sembari menunggu hujan yang terus mengguyur cukup deras sedikit reda, kami rehat sejenak sebelum melakukan perjalanan panjang. Tak lupa kami sempatkan untuk beribadah dan mengisi perut kami malam itu dengan jajanan yang ditawarkan penduduk sekitar.

Jalur Pendakian

Rasanya malam itu hujan benar-benar tak bersahabat dengan para pendaki Gunung Ungaran. Hujan sepertinya enggan beranjak pergi dari kami. Karena tak bisa menentang kuasa alam, kami pun coba memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Waktu yang ada, kami manfaatkan untuk memahami medan yang akan kami lalui. Selain panduan dari peta yang kami dapatkan saat melakukan registrasi di pos mawar, kami mencoba berinteraksi pada sesama pendaki lain yang sama-sama sedang menunggu hujan reda.

Sebenarnya, untuk mencapai puncak tertinggi Gunung Ungaran ini bisa ditempuh melalui tiga jalur. Dua jalur yang tak terlalu jauh terpisah adalah Jalur Mawar dari Sidomukti/Jimbaran dan Jalur Gedong Songo. Sementara satu jalur lainnya adalah Jalur Medini yang berada di sebelah utara Gunung Ungaran, tepatnya melalui daerah Boja, Kabupaten Kendal. Untuk pendakian kali ini, dengan berbagai pertimbangan sebelumnya, kami memutuskan untuk mendaki melalui Jalur Mawar dan akan turun melalui Jalur Gedong Songo.

Jam tak terasa telah mengarah di sekitar angka delapan, dan hujan pun perlahan mulai sedikit reda. Meskipun masih diiringi gerimis ringan, kami berlima mulai beranjak mengawali pendakian kami yang sebenarnya. Perjalanan ini diawali dengan melewati kawasan yang tertutupi vegetasi perdu dan hutan pinus yang silih berganti. Dengan medan tanah lempung yang

Page 3: Pendakian Gunung Ungaran

RINANDAR MUSLIMIN

licin dan naik-turun, jurang yang berada di sebelah kanan kami benar-benar memaksa kami melangkahkan kaki dengan hati-hati di tengah penerangan yang minim. Setelah beberapa saat berjalan, kami pun melewati sebuah air terjun kecil yang mengalirkan air segar, yang gemericik airnya menyatukan suasana dengan dinginnya alam. Air terjun ini sekaligus menunjukkan bahwa kami berada di jalur yang benar sampai saat itu. Di tengah perjalanan, kami sempat berhenti beberapa kali untuk rehat sejenak dan saling bertukar tas/carrier satu sama lain. Hal ini memang kebijakan yang kami sepakati sebelumnya, agar semua bergiliran merasakan beban yang sama.

Salah Jalur dan Surga Promasan

Dari air terjun kecil tadi, perjalanan kami pun terus berlanjut dengan jalan yang sedikit menanjak. Selang beberapa waktu kemudian, jalur yang kami tempuh pun cenderung berubah menjadi relatif landai. Setelah itu pun kami kembali melewati kawasan hutan dengan pohon-pohon berkayunya. Karena gelapnya medan yang kami tempuh, kami sempat tersesat keluar dari jalur pendakian. Kami mulai menyadarinya setelah kami terlanjur melangkahkan kaki cukup jauh. Karena hal ini, waktu kami habis sekitar satu jam untuk menemukan kembali jalur pendakian yang benar. Energi kami pun saat itu sudah cukup terkuras. Ditambah cuaca yang dingin, hal ini membuat kami mengurungkan niat untuk meneruskan perjalanan hingga puncak pada malam itu. Kami kemudian merencanakan untuk bermalam di Desa Promasan terlebih dahulu beberapa jam sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya menuju puncak.

Sesaat setelahnya, surga bernama Promasan itu pun akhirnya berada di pelupuk mata kami. Perjalanan selama hampir empat jam dari Pos Mawar kami hentikan sejenak. Waktu menunjukkan hampir jam 12 malam, kami tepat tiba di desa kecil yang hanya berpenghuni sekitar 20-an keluarga kecil itu. Mayoritas, penduduk di sini adalah para petani yang berladang di kebun teh dan kopi di sekitarnya. Yang menarik, ternyata desa ini sebenarnya bisa kami raih dengan menggunakan kendaraan bermotor jika kami berangkat dari arah utara, melalui daerah Boja. Jalan ini merupakan akses yang digunakan para penduduk untuk mendistribusikan hasil perkebunannya ke kota. Tapi apalah artinya mendaki, jika kami raih menggunakan kendaraan bermotor. Saya secara pribadi percaya, bahwa naik gunung akan meninggalkan kenangan lebih dalam bila kita menikmati tiap jengkal langkah demi langkah hingga ke puncak. Bergulat dengan ketidakpastian adalah sebuah proses yang harus dijalani. Keadaan yang menekan kita secara mental, biasanya akan membawa karakter kita ke watak yang asli. Di sini lah sebenarnya letak keutamaan esensi dari pendakian gunung. Kita dituntut untuk mampu membawa diri, mengelola mental secara bijak meskipun dalam keadaan yang hampir mencapai limit.

Malam itu, sebuah bangunan masjid kecil di desa itu pun menjadi tempat persinggahan kami. Sebuah bangunan sederhana, yang akan melindungi kami dari dinginnya angin malam. Setelah menata diri, kami pun segera memejamkan mata di balik selimut yang sejatinya adalah sleeping bag yang dibuka lebar. Kami hanya mengalokasikan waktu selama kurang lebih dua jam untuk beristirahat di sana. Kami menargetkan, jam 2 dini hari nanti kami akan melanjutkan kembali perjalanan menuju puncak. Sunrise di puncak tetap menjadi target yang ingin kami raih.

Menuju Puncak

Page 4: Pendakian Gunung Ungaran

RINANDAR MUSLIMIN

Waktu dua jam istirahat pun terasa begitu cepat bagi tubuh yang lelah ini. Dinginnya udara kala itu sebenarnya membuat badan malas untuk beranjak. Tapi, demi target yang sudah kami canangkan di awal, sedikit pengorbanan harus dilakukan. Setelah bangun dari tidur singkat, segera kami rapikan barang-barang yang ada dan bergegas bergerak menuju puncak tepat pada pukul 02.30 dini hari. Diawali dengan menyusuri jalan setapak di tengah kebun teh, kami terus bergerak naik. Hutan dengan hiasan pohon cemara di dalamnya pun segera menyambut perjalanan kami selanjutnya.

Dan setelah keluar dari hutan cemara tadi, inilah jalur pendakian yang sebenarnya. Jalur pendakian Gunung Ungaran ini, dari informasi yang kami himpun dari pendaki lain sebenarnya bisa dibilang pendek, namun medannya cukup susah. Mulai dari jalan berkayu dengan akar dan batang sebagai pijakan, hingga bebatuan terjal yang mengitari tebing adalah jalur yang harus kami tempuh selanjutnya. Tak jarang pula kami temui batuan setinggi satu meter harus kami panjat untuk terus bergerak naik. Terkadang, kita harus menapaki jalan yang sedikit turun untuk mendaki naik kembali lebih tinggi. Inilah gambaran kehidupan yang sebenarnya. Untuk mencapai puncak dalam kehidupan, tak selamanya jalan yang kita tempuh adalah jalan yang lapang. Kenyataannya, jalan menuju kesuksesan lebih bersahabat dengan jalanan terjal yang membutuhkan pengorbanan. Dan jalur pendakian ini benar-benar mengingatkan kami akan pola kehidupan yang sebenarnya.

Selama kurang lebih dua jam berkutat dengan jalan yang menantang, tibalah kami di puncak tertinggi Gunung Ungaran 2.050 mdpl tepat pukul 04.30. Sebelum benar-benar mencapai puncak, kami sempat beberapa kali tertipu oleh batuan-batuan besar di hadapan kami. Kami mengira, puncak yang kami tuju ada di balik batuan-batuan besar itu. Tapi kenyataannya kami harus sedikit berusaha lebih keras untuk benar-benar mencapai puncak. Sesampainya di puncak, kami segera mendirikan tenda untuk peristirahatan sementara. Tak lupa kami melaksanakan kewajiban beribadah sebelum bersiap melihat matahari terbit dari timur. Momen di puncak ini benar-benar terasa spesial. Inilah untuk pertama kalinya saya berhasil mendaki gunung dan menyaksikan sunrise dari atas sana bersama sahabat-sahabat terdekat. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.

Setelah matahari mulai memberi kehangatan kepada dunia, saya melanjutkan tidur saya di dalam tenda. Sementara itu, teman saya yang lain ada yang memasak, ada pula yang ikut tidur di sebelah saya. Saat itu, meskipun saya hanya tidur tak lebih dari dua jam, saya tidur dengan pulas. Setelah bangun, badan benar-benar terasa jauh lebih baik. Saya pun segera menyantap sarapan yang ada dan menghangatkan badan dengan minuman yang telah dimasak. Dari atas sana, saya sempat menikmati suasana pemandangan sekitar. Nampak jelas beberapa kontur alam yang indah. Ada Gunung Telomoyo, Merapi, Merbabu, Puncak Gunung Sindoro Sumbing, dan hamparan Kota Semarang serta Rawa Pening yang memanjakan mata.

Turun melalui Gedong Songo

Kami di puncak Gunung Ungaran tidak terlalu lama. Tak lain tak bukan, karena sinar UV matahari mulai kurang bersahabat. Sebelum arah jarum jam menuju ke arah jam 9 tepat, kami mulai berkemas-kemas dan menata barang yang tersisa ke dalam tas dan carrier kami. Tas dan carrier kami pun sekarang menjadi jauh lebih ringan jika dibandingkan ketika naik ke puncak.

Page 5: Pendakian Gunung Ungaran

RINANDAR MUSLIMIN

Jalur turun melalui Gedong Songo ini sebenarnya pilihan yang menarik. Beberapa tahun silam, dari cerita pengalaman salah seorang pendaki yang kami temui, jalur ini merupakan jalur yang menjadi favorit ketika turun. Melalui jalur ini, perjalanan turun bisa ditempuh dengan cepat. Tapi keadaan ini tak berlaku lagi sekarang. Karena mungkin jarang digunakan, jalur ini menjadi berlumut dan sangat licin. Sehingga perlu sangat berhati-hati jika turun melalui jalur ini. Apalagi, ketika kami menempuh jalur ini, malam hari sebelumnya Gunung Ungaran telah diguyur hujan yang cukup deras.

Selain hal itu tadi, patut diperhatikan pula bahwa jalur ini juga dikenal sering membingungkan bagi para pendaki. Karena, di jalur ini nantinya akan ditemui banyak jalur percabangan. Kami pun sempat dipusingkan oleh percabangan ini. Sesaat, kami sempat salah dalam memilih jalur percabangan. Untungnya, kami belum terlalu jauh masuk ke dalamnya. Sehingga, saat itu masih memungkinkan bagi kami untuk kembali ke jalur yang benar.

Setelah dua setengah jam berada di tengah hutan yang lebat, jalan setapak yang kami lalui menjadi lebih terbuka. Saat itu, kami berada di tengah-tengah padang rumput yang mengapit di kanan-kiri kami. Namun, langkah yang kami ayunkan perlu diperhatikan secara seksama. Karena, seringkali di sebelah kiri jalan yang dilalui adalah berupa jurang yang cukup curam. Di sini saya mendapatkan pelajaran penting bahwa Tuhan itu Maha Hadir. Jika memang kita mau bergantung pada-Nya, Tuhan akan hadir di sekitar kita dengan berbagai macam cara. Dalam keadaan ini, jika tangan kita mau mencoba berpegang pada ranting-ranting pohon atau rumput-rumput di sebelah kanan-kiri kita, kita bisa menghindari terperosok di jalan yang licin. Maka, yang perlu kita lakukan saat itu adalah cukup percaya pada apa yang kita pegang dan bersabar serta berhati-hati dalam melangkah. Dengan kata lain, kita perlu yakin, bahwa Tuhan senantiasa menyediakan pertolongan bagi hamba-Nya yang benar-benar percaya akan kehadiran-Nya. Itulah pelajaran utama yang bisa saya petik dari perjalanan pulang pada saat itu.

Deretan padang rumput yang menguji kesabaran tadi pun akhirnya berhasil kami tempuh selama kurang lebih satu setengah jam. Sehingga, kami sampai di Candi Gedong Songo sekitar pukul 01.30 siang. Secara umum, jalur Gedong Songo ini relatif lebih landai jika dibandingkan dengan jalur yang kami tempuh sehari sebelumnya ketika bergerak naik menuju puncak. Hal ini sangat kami syukuri, karena di tengah energi kami yang sudah menipis, jalur yang kami lalui pun jauh lebih mudah.

Sesampainya di Gedong Songo, kami menyempatkan untuk sekilas membersihkan diri. Setelah itu, kami berlima pun perlu bergegas menuju ke daerah Jimbaran untuk mengambil motor yang kami titipkan di rumah penduduk saat keberangkatan dan segera pulang menuju Semarang. Perjalanan pulang ini bisa dikatakan relatif lancar, hingga kami berlima pun selamat sampai di rumah masing-masing.

Hanya saja, saat perjalanan pulang ini, ada sedikit cerita yang menarik untuk di ceritakan. Karena saat itu angkutan umum yang mengangkut penumpang dari Gedong Songo ke arah Jimbaran sudah habis, kami saat itu berhasil mendapat tumpangan gratis dari mobil pick-up yang bak belakangnya saat itu relatif kosong. Di tengah budaya barat yang terus mengancam budaya Indonesia, saya sangat bersyukur ketika masih bisa merasakan kearifan budaya lokal secara langsung. Sifat gotong royong yang tercermin dari sikap warga Gedong Songo yang saya

Page 6: Pendakian Gunung Ungaran

RINANDAR MUSLIMIN

tumpangi ini hendaknya memang perlu kita apresiasi dan lestarikan bersama-sama, sebagai identitas dari bangsa ini.