pendahuluan quran. para ulama’ membagi fungsi dan...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadis Nabi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran, 1 dan sebagai bayan (penjelas) Al- Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan kedudukan hadis dalam Islam ke beberapa fungsi yang didasarkan pada tugas Nabi sebagaimana termaktub dalam Al-Quran. Fungsi tersebut adalah: Pertama, sebagai penjelas Al-Quran (QS. Al-Nal: 44). Kedua, sebagai teladan pelaksanaan petunjuk Al-Quran (Qs. Al-Azab: 21). Ketiga, sebagai penetap hukum (Qs. Al-A’rāf: 157 dan al-Hashr: 7). 2 Semua ini menunjukkan kedudukan dan fungsi hadis dilihat dari sumbernya yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu sumber hukum Islam. Hadis Nabi memiliki beberapa sebutan, selain disebut sunnah, juga disebut dengan athar dan khabar. Perbedaan sebutan ini dilatarbelakangi oleh pandangan ilmu yang berbeda. 3 Ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah, sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian yang berbeda mengenai hadis dan sunnah. Beberapa perbedaan sebutan hadis ini ikut mempengaruhi interpretasi dan pengamalan hadis Nabi, yang tentunya dengan berbagai sebutanya diperlukan pendalaman yang hati-hati untuk memahami dan mengartikan sebutan sunnah. Dan dalam penelitian ini penulis mengikuti ahli hadis yang menganggap sama antara hadis dan sunnah. Begitu pentingnya kedudukan hadis dalam Islam bahkan Daud Rasyid menyatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam terdapat di dalamnya, 4 sehingga menarik perhatian banyak kalangan untuk mengkajinya. Bukan hanya dari kaum muslimin yang berusaha mengidentifikasi sunnah yang sahih dari yang 1 Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views on adīth as the Second Source of Law in Islam with special Reference to Mustafa al-Siba’i’s Criticism Toward Ignaz Goldziher’s Viewpoints.‛ Al-Qānūn Vol. 12, No. 2, Desember 2009, 285 ; Muhammad ‘ajja>j al-kha>thib, dalam al-sunnah qabla al-tadwi>n, 25 ; Kamaruddin Amin, The Reliability Of The Traditional Science of adīth: A Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. , o , , p. ; A. Kevin Reinhart, ‚Junbolliana, Gradualism, the ig ang, and Hadith Study in the Twenty-First Century‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) pp, 414 2 Ali Mustafa Yaqub, Kritik adīth ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004 ) , 35; Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 233; Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif ( Jakarta : Kencana, 2011 ), 187 ; M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian adīth Nabi ( Jakarta : Bulan Bintang, 2007 ), 7-9 3 Endang Soetari, Ilmu Hadits : Kajian riwayah dan dirayah ( Bandung : Amal Bakti Press, 1997), 1; Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 235; Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958), 9-10. 4 Masalah-masalah agama yang tidak dirinci Al-Quran dapat ditemukan dalam adis Nabi. Seperti pelaksanaan rukun Islam, hukum muamalat , hukum pidana dan lainnya. Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi ( Jakarta : Usamah Press, 2003 ), 25.

Upload: lyliem

Post on 12-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis Nabi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam, yaitu

sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran,1 dan sebagai bayan (penjelas) Al-

Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan kedudukan hadis dalam Islam ke beberapa

fungsi yang didasarkan pada tugas Nabi sebagaimana termaktub dalam Al-Quran.

Fungsi tersebut adalah: Pertama, sebagai penjelas Al-Quran (QS. Al-Naḥl: 44).

Kedua, sebagai teladan pelaksanaan petunjuk Al-Quran (Qs. Al-Aḥzab: 21). Ketiga,

sebagai penetap hukum (Qs. Al-A’rāf: 157 dan al-Hashr: 7).2 Semua ini

menunjukkan kedudukan dan fungsi hadis dilihat dari sumbernya yaitu perkataan,

perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu

sumber hukum Islam.

Hadis Nabi memiliki beberapa sebutan, selain disebut sunnah, juga disebut

dengan athar dan khabar. Perbedaan sebutan ini dilatarbelakangi oleh pandangan

ilmu yang berbeda.3 Ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah,

sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian yang berbeda mengenai

hadis dan sunnah. Beberapa perbedaan sebutan hadis ini ikut mempengaruhi

interpretasi dan pengamalan hadis Nabi, yang tentunya dengan berbagai sebutanya

diperlukan pendalaman yang hati-hati untuk memahami dan mengartikan sebutan

sunnah. Dan dalam penelitian ini penulis mengikuti ahli hadis yang menganggap

sama antara hadis dan sunnah.

Begitu pentingnya kedudukan hadis dalam Islam bahkan Daud Rasyid

menyatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam terdapat di dalamnya,4

sehingga menarik perhatian banyak kalangan untuk mengkajinya. Bukan hanya dari

kaum muslimin yang berusaha mengidentifikasi sunnah yang sahih dari yang

1Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views on Ḥadīth as the Second

Source of Law in Islam with special Reference to Mustafa al-Siba’i’s Criticism Toward

Ignaz Goldziher’s Viewpoints.‛ Al-Qānūn Vol. 12, No. 2, Desember 2009, 285 ;

Muhammad ‘ajja>j al-kha>thib, dalam al-sunnah qabla al-tadwi>n, 25 ; Kamaruddin Amin, The

Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. , o , , p. ; A. Kevin Reinhart, ‚Ju nbolliana, Gradualism, the ig ang,

and H adi th Study in the Twenty-First Century‛ Journal of the American Oriental Society

130.3 (2010) pp, 414 2Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004 ) , 35;

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 233; Abuddin

Nata, Studi Islam Komprehensif ( Jakarta : Kencana, 2011 ), 187 ; M. Syuhudi Ismail,

Metodologi Penelitian Ḥadīth Nabi ( Jakarta : Bulan Bintang, 2007 ), 7-9 3Endang Soetari, Ilmu Hadits : Kajian riwayah dan dirayah ( Bandung : Amal Bakti

Press, 1997), 1; Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ),

235; Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dār al-Fikr

al-‘Arabī, 1958), 9-10. 4Masalah-masalah agama yang tidak dirinci Al-Quran dapat ditemukan dalam

ḥadis Nabi. Seperti pelaksanaan rukun Islam, hukum muamalat , hukum pidana dan lainnya.

Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi ( Jakarta : Usamah Press, 2003 ), 25.

Page 2: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

2

tertolak, bahkan kaum Orientalis yang terkadang punya maksud lain,5 juga tertarik

untuk menelitinya. Dan karena perbedaan sebutan hadis pula, sehingga banyak dari

para peneliti yang salah dalam memahami maknanya, termasuk Goldziher dan

Schacht.6 Mereka menemukan teori berbeda dalam penelitianya, salah satu

sebabnya adalah karena kurang dalamnya pemahaman mereka atas makna kata

sunnah7 dan kesalahan dalam memahami makna teks-teks ilmu hadis, seperti kata

al-Tadwīn dan al-Taṣnīf 8 dalam ungkapan Imam Malik yang menyatakan:

‛awwalu man dawwana al-‘ilm Ibn Shiha>b‛. Ungkapan tersebut mereka pahami

bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibn Shiha>b al-Zuhri, padahal

tujuan kata-kata itu adalah untuk menjelaskan bahwa al-Zuhri merupakan orang

yang pertama mengumpulkan tulisan-tulisan hadis.9

Kajian tentang autentisitas hadis telah dilakukan umat Islam sejak zaman

sahabat Nabi. Para sahabat memberlakukan aturan ketat dalam menerima hadis,

hingga ilmu tentang sanad hadis terus berkembang dan menjadi acuan dalam

penelitian, dan pada akhirnya menjadi kebanggaan umat Islam yang membedakanya

dari agama samawi lain dalam menerima berita serta penjelasan dari Nabi mereka.10

Memang, sempat terjadi pemalsuan hadis secara massiv yaitu setelah terjadinya

fitnah, namun hal itu telah disadari dan diperhatikan oleh para sahabat Nabi11

sejak

akhir abad pertama hijriah atau mungkin lebih awal.12

Karena itu, sebagai responya,

dalam rangka untuk memisahkan hadis mawd}u’ dari yang sahih, para ulama’

membuat metode yang sangat teliti dan ketat, bahkan larangan mencela-pun tidak

5 Kamaruddin menyebut tujuan mereka didorong oleh kepentingan sejarah. Lihat

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik H}adi>th (Jakarta : Hikmah,

2009), 1; sedang menurut Darmalaksana tujuan mereka karena adanya tendensi kedengkian

bangsa barat terhadap Islam, Lihat Wahyudin Darmalaksana, dalam H}adi>th di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht (Bandung : Benang

Merah Press, 2004), 135 6Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Salman, 1984), 58.

7M. Must}afa> ‘Azami, On The Schacht’s Origin of the Muhammadan Jurisprudence

(Lahore{: Suhail Academy, 2004), 36-45; mereka menyatakan bahwa kata sunnah baru

popular setelah al-Shafi’i menguatkann a. Sebelum masa itu itu kata sunnah adalah bahasa

yang dipakai secara umum untuk definisi adat atau kebiasaan lama yang termasuk

didalamnya adat jahiliyyah. 8Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi , 31;

9Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011), 37-38. 10

Abdullah bin al Mubarak (w. 181 H) mengatakan bahwa sistem sanad adalah

bagian dari agama Islam, sebab tanpa sanad setiap orang dapat mengatakan apa yang dia

kehendaki. Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim (Bairut: Dar al-fikr, 1993), 11; Abd al-

fattah Abu Ghuddah, al-Isnad min al-din, cet. ke-2, (Bairut: Dar al-Qalam, 1992), 17. 11

Nur al-Din Muhammad ‘It}r al-H}alby, Manhaj al- aqd fi> ‘ulum al-Ḥadīth, 55; M.

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, 12-16. 12

Kamaruddin Amin, The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A

Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. 43, No 2, 2005, 261.

Page 3: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

3

berlaku dalam hal itu,13

sebagaimana tergambar dalam ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Semua itu dilakukan demi terpeliharanya hadis-hadis autentik.

Argumen harus adanya hadis autentik menjadi suatu hal yang wajib, dalam

hubungan adanya perintah wajib taat kepada Rasulullah dalam Al-Quran serta

posisinya sebagai sumber hukum dan penjelas al-Qur’an. Selain itu, juga karena

hadis adalah kitab suci umat Islam, sedangkan kebenaran agama ditentukan oleh

keaslian kitab sucinya, dan kebenaran beragama ditentukan oleh kesesuaian prilaku

dengan kitab suci tersebut.14

Pendapat ini tidak dapat ditolak para ahli al-ra’ i yang selalu skeptis dalam memandang hadis, yang termasuk di dalamnya kaum

Mu’tazilah. ‘Amr Ibn ahr al-Jahiz (w.256 H.) menyatakan bahwa keberadaan

sunnah tidak dapat dibantah lagi. Hanya saja dia menyesali kegagalan umat Islam

awal dalam memapankan hadis-hadis autentik sebagaimana yang berlaku pada al-

Quran.15

Penelitian tentang autentisitas hadis Nabi memang sulit untuk bisa selesai.

Kajian sanad yang telah dianggap paten, bahkan disebut telah sempurna dan hanya

menyisakan pengayaan kajian matan dalam penelitian hadis, 16

mendapat tantangan

dengan adanya pandangan skeptis dari Orientalis Barat. Misalnya, metodologi

penelitian mereka menemukan hal baru berkenaan dengan keaslian hadis, apakah

benar berasal dari Rasulullah. Sebagian Orientalis meragukan autentisitas hadis-

hadis Nabi yang telah tercetak dan menjadi pedoman umat Islam. Pandangan

tersebut didasarkan pada beberapa hal, diantaranya disebabkan karena kodifikasi

hadis baru terjadi pada abad kedua hijriah, yang berjarak cukup jauh dari kejadian

dinarasikannya suatu hadis oleh Nabi, dan juga karena adanya periwayatan hadis bi al-ma’na (dengan kata-kata yang berbeda tapi maksudnya sama).17

Skeptisme Barat menemukan hasilnya ketika Ignaz Goldziher dalam

penelitianya menyimpulkan bahwa sunnah Nabi masih diragukan keaslianya

bersumber dari Nabi. Dia menyatakan bahwa sunnah yang terkodifikasi dalam

kitab–kitab kanonik hanyalah hasil jerih payah umat Islam pada masa keemasan

yang merupakan dokumen kemajuan dalam bidang sosial keagamaan dan sejarah.18

Goldziher juga mengatakan bahwa Ibn Shihāb al-Zuhrī (w.124/742) adalah seorang

pemalsu hadis yang diperalat oleh dinasti Bani Umayyah,19

dengan bukti hadis

13

Muslim bin al-Hajjaj Al-Qusairi al-Nisaburi, Sahih Muslim ( airut: Da>r ih a’ al-

Turath al-‘Arabi, TT), 1 . 14

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2003), 40; Must}afa Qas}ir al-‘Amili, Kitab ‘Ali wa al-Tadwin al-Mubakkir li al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Sharifah (al-Majma’ al-‘Alami li ahl al-Bait, 1415

H), 9. 15

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth, 47. 16

M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), 90 .

17 Mustafa Al-Siba>’i>, Al-sunnah wa maka>natuha> fi> al-tashri’ al-Isla>mi (Kairo : Da>r

al-waraq, 2000) , 46. 18

Ignaz Goldziher, Muslim Studies (London: George Allen and Unwin, 1971) , 19. 19

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, 47.

Page 4: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

4

tentang perjalanan ibadah yang dianjurkan, adalah menuju tiga masjid.20

Dia juga

tidak percaya keakuratan hafalan sunnah para sahabat,21

yang mampu bertahan

hingga abad kedua hijriah.

Beberapa hal yang melatarbelakangi Goldziher meragukan hadis sebagai

data sejarah adalah karena materi-materi hadis yang terdapat dalam kitab koleksi

hadis belakangan, tidak menjelaskan rujukannya kepada koleksi tertulis yang lebih

awal, dan berisi penempatan kejadian dengan waktu yang salah serta menggunakan

istilah-istilah dalam isnād yang menunjukkan periwayatan hadis secara lisan dan

bukan berasal dari sumber tertulis (written sources), sehingga semua itu

memungkinkan untuk terjadinya pemalsuan sanad. Kemudian adanya hadis-hadis

yang kontradiktif satu sama lain, serta pertumbuhan hadis pada koleksi-koleksi

belakangan, tidak teruji kebenarannya pada koleksi-koleksi yang lebih awal.

Terlebih lagi adanya fakta bahwa para sahabat kecil, ternyata lebih mengetahui

Nabi SAW dibandingkan senior mereka, dengan bukti mereka meriwayatkan hadis

lebih banyak daripada para sahabat besar yang telah mengetahui Nabi SAW dan

bergaul dengan beliau lebih lama. Seperti Ali bin Abi Ṭalib yang hanya

meriwayatkan 536 hadis, sedangkan riwayat Abu Hurairah mencapai 5374 hadis.22

Joseph Schacht yang mengikuti pandangan Goldziher,23

dan melakukan

penelitian terhadap hadis-hadis hukum, memperoleh kesimpulan dalam tesisnya

bahwa tidak ada satupun hadis yang berasal dari Nabi. Akan tetapi, sunnah atau

hadis ini, muncul dari perkataan para ulama’ ang berkembang sesuai dengan

perkembangan hukum fiqih dari masa ke masa. Schacht berkesimpulan bahwa baik

kelompok ahli fiqih klasik maupun kelompok ahli hadis sama-sama memalsukan

hadis. Oleh karenanya tidak ada hadis yang benar-benar berasal dari Nabi, tetapi

semuanya merupakan produk yang lahir dari persaingan antara para ulama.24

Hal

lain yang juga dikritisi Joseph Schacht adalah tentang sanad keluarga yang

menurutnya adalah palsu dan hanya sebagai alat untuk menjamin kemunculannya

saja.25

Tesis Schacht dan argumennya ini sangat spektakuler, hingga kemudian

setelah dipublikasikan menjadi kitab suci yang wajib dibaca kaum Orientalis, serta

banyak mempengaruhi pemikiran sarjana muslim modern dalam meragukan

autentisitas hadis.

20

Muh}ammad Ibn Isma>’i >l al-Bukha>ry, S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Vol. I (Bairut: Da>r al-

Ma’rifah, nd.), . 21Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Makkah: al-maktabah

al-Tijāriyyah, 1980), 376. 22

Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period ( Surrey : Curzon Press, 2000), 9 ; A. Kevin

Reinhart, ‚Ju nbolliana, Gradualism, the ig ang, and H adi th Study in the Twenty First

Centur ‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, PP.

413-444. 23

A. Kevin Reinhart, The ig ang, and H adi th Study in the Twenty First Century

, Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, PP. 413-444. 24

Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: University

Press, 1975), 314. 25

Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence , 170-177.

Page 5: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

5

Menurut Wael B. Hallaq, sejak Schacht mempublikasikan karyanya pada

tahun 1950, perdebatan akademik dalam bidang hadis terus berkembang pesat, dan

secara garis besar terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berusaha

menegaskan kembali kesimpulan Schacht, kelompok kedua berusaha untuk

menolak kesimpulannya dan kelompok ketiga berusaha untuk mencari jalan tengah

atau berusaha menyatukan dua kubu menjadi suatu metodologi baru. John

Wansbrough dan Michael Cook adalah bagian dari kelompok pertama, selanjutnya

Nabia Abbott, Fuad Sezgin, M. Azami, Gregor Schoeler dan Johann Fuck adalah

kelompok kedua, sedangkan Harald Motzki, D. Santillana, G.H.A. Juynboll, Fazlur

Rahman, dan James Robson adalah kelompok ketiga.26

Dan sejak saat itu pula maka

hadis riwayat al-Zuhrī yang dianggap ṣahih di kalangan sarjana Islam berlatar

belakang Barat, menjadi sangat sedikit.27

Dan lebih parahnya lagi, kalau Schacht

setelah menganalisa teks dalam al-Muwaṭṭa’, al-Mudawwana, al-Umm, al-Mukhtasar, al-Mabsu>ṭ dan al-Kharrāj, menyimpulkan bahwa adanya hukum fiqih

dimulai sejak abad kedua hijriah, Calder menyimpulkan bahwa tidak ada hukum

fiqih sampai pertengahan abad ketiga Hijriah dengan argumen bahwa pada masa

inilah semua isnad baru ditemukan.28

Orientalis berikutnya yang meneliti hadis dengan mendalam adalah GHA.

Juynboll. Jika Wael B. Hallaq menempatkanya pada kelompok ketiga sebagaimana

disebutkan di atas, penulis berpendapat bahwa Juynboll lebih tepat ditempatkan

dalam kelompok pertama yang selalu mendukung pendapat Schacht. Sebab dia

terus berusaha menyempurnakan teori common link yang telah dipopulerkan

Schacht.29

Dalam teorinya, Juynboll mengatakan bahwa autentisitas sunnah Nabi

dapat dilihat dari common link yang memiliki sumber kesejarahan lebih.30

Teori

common link ini telah digunakan GHA Juynboll untuk menyelidiki asal usul hadis

selama 20 tahun terakhir. Teori ini berpijak pada asumsi bahwa semakin banyak

jalur periwayatan yang bertemu pada seorang perawi, baik yang menuju kepadanya

maupun yang meninggalkanya, maka semakin besar pula seorang perawi tersebut

memiliki klaim kesejarahan. Jadi menurut teori common link Juynboll, suatu Hadis

26Wael . Hallaq, ‚The Authenticit of Prophetic Ḥadi>th’: A Pseudo-Problem.‛

Studia Islamica 89 (1999) : 75-90 . 27

Harald Motzki and others, Analising Muslim Traditions: Studies in legal, Exegetical and Maghazi Ḥadīth (Leiden Boston : BRILL, 2010), 46.

28Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence (Oxford: Oxford

University Press, 1993), 240; Rudolph Peters Review, International Journal of Middle East

Studies, Vol. 26, No. 4 (Nov., 1994), pp. 699-701. 29

Kamaruddin Amin, Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And Western Scholar

Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship Al-Ja>mi‘ah, Vol. 46,

No. 2, 2008, 255; Jonathan Brown, Critical rigor vs juridical pragmatism, how legal

theoritists and ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in the genre of ‘ilal al-

Ḥadīth, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV, 2007 ), 5. 30

G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions: Studies in Chronology provenance and Authorship of Early Ḥadīth , 104.

Page 6: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

6

dapat diterima tidak hanya dari kualitas perawinya saja tapi yang paling penting

adalah kuantitas perawinya.31

Dengan mengaplikasikan teori common link tersebut dalam beberapa

artikelnya, Juynboll telah membuat kesimpulan tetang palsunya ribuan hadis yang

terdapat dalam kutub sittah yang diriwayatkan oleh a>fi’ Mawla Ibn Umar,

saorang perawi dalam kelompok As}ah} al-Asa>ni>d, dan salah satu jalur sanad dhahabiyyah.32

Karena menurut Juynboll, a>fi’ tidak pernah benar-benar berstatus

common link,33

dan juga karena pribadi Nāfi’ mawlā Ibn ‘Umar ang sedikit sekali

ditemukan dalam kitab biografi.34

Selain itu, dengan mengikuti pendapat Schacht,35

Juynboll mengatakan bahwa a>fi’ hanyalah nama yang sering disisipkan dalam

sanad agar memiliki otoritas lebih kuat, sedangkan sesungguhnya pribadi a>fi’

adalah seorang yang fiktif.

Atas dasar temuannya tersebut, kemudian ia menetapkan bahwa semua

hadis dan biografi tentang afi’ adalah buatan Malik bin Anas, karena Malik bin

Anas yang mengaku sebagai murid Na>fi’ jika dilihat dari tahun wafat di antara

mereka berdua menggambarkan adanya kemustahilan bahwa mereka pernah

bertemu satu sama lain. Kesimpulan terakhir Juynboll mengenai masalah common link ini, adalah menetapkan bahwa common link merupakan seorang fabricator atau originator (pembuat hadis palsu) yang menyebarkannya secara luas.

Muncul sebuah pertanyaan, mengapa Juynboll ingin menjatuhkan

kredibilitas a>fi’ mawla Ibn Umar, apa pentingn a? Dalam analisis penulis hal itu

ia lakukan karena a>fi’ merupakan pen ampai berita dari Ibn Umar terbanyak

dibandingkan dengan mawla Ibn Umar lainnya, dan Ibnu Umar adalah salahsatu

sahabat nomor dua terbanyak dalam periwayatan hadis Nabi setelah Abu Hurairah.

Jumlah riwayatnya mencapai 2630 hadis,36

dan sejumlah 1979 terdapat dalam

kutub sittah dengan 1088 hadis menggunakan jalur periwa atan a>fi’. Ini sungguh

merupakan jumlah yang sangat fantastis.

Selain itu, Juynboll juga mempersoalkan awal penggunaan sanad.

Menurutnya, sanad belum memiliki standar baku, kapan mulai digunakan. Sebagian

mengatakan bahwa penelitian terhadap penyampai berita tentang Nabi telah

dilakukan sejak masa sahabat. Beberapa sahabat digambarkan tidak langsung

menerima hadis sebelum menelitinya, seperti yang dilakukan oleh Umar dan Ali

juga oleh Abu Bakar. Tetapi, yang dipercayai juga dalam kesarjanaan muslim

31

Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan ḥadīth Nabi ( Yogyakarta: LKIS, 2007), xii.

32Ibn al-S{alah, Ma’rifatu anwa’ ‘ulu>m al-ḥadīth (Bairut:Da>r al-kutub al-‘ilmi ah,

2010), 24. 33

G.H.A. Juynboll, "Na>fi', the mawla of Ibn 'Umar, and His Position in Muslim

H}adi>th Literature." Der Islam, 1996: 207-244; Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadīth (Jakarta : Hikmah, 2009), 230.

34G.H.A. Juynboll, ‚ afi‛ Encyclopedia of Canonical Ḥadīth 2 (2007) : 876-877.

35 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 160.

36 Mahmud T{ahha>n, Taysi>r mus}t}alah al-hadi>th (Bairut : Maktabah al-ma’a>rif,

2004), 244; Abu Shuhbah, Muhammad bin Muhammd bin Suwailim, al-Wasi>t} fi> ‘Ulu>m wa Mus>t}alah} al-H}adi>th (Bairut: Da>r al-Fikr, tt), 506.

Page 7: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

7

adalah bahwa sanad mulai digunakan setelah terjadinya fitnah, berupa terbunuhnya

Khalifah Uthma>n pada tahun 35/656. Pendapat ini didasarkan pada ucapan Ibn

Si>ri>n (w.110/728) ‚lam yakūnū yas alūna ‘an al-Isnād falammā waqa’at al-Fitnah, qālū sammū lanā rijālakum‛ (sebelumn a mereka tidak pernah menan akan tentang sanad, dan setelah terjadi fitnah, kemudian mulai mereka berkata: sebutkan kepada kami perawi-perawi kalian).37

Dan ada pula pendapat Malik yang

menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menggunakan sanad adalah al-Zuhri,

sebagaimana ucapannya: ‚Awwalu man Asnada al-Hadi>th Ibn Shiha>b‛38 (orang yang pertama menggunakan sanad adalah Ibn Shiha>b). Menurut Juynboll semua ini

mengindikasikan bahwa penggunaan sanad secara konsisten dimulai pada masa al-

Zuhri, sekitar tahun 50-124 Hijriah.39

Berbeda dengan sarjana Muslim yang meyakini bahwa fitnah yang

dimaksud Ibn Si>ri>n adalah fitnah terbunuhnya Khalifah Uthma>n,40

Juynboll

berpandangan bahwa fitnah yang disebut melatarbelakangi munculnya pemeriksaan

sanad adalah fitnah peperangan yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Bani

Umayyah al-Wali>d bin Yazi>d pada tahun 126 Hijriah, yang mana pada masa itu,

seseorang tidak dapat dianggap terpercaya kecuali setelah diteliti lebih dahulu. Dan

bukanlah fitnah terbunuhn a khalifah ‘Uthman.41

Sebab dalam ungkapan Ibn si>ri>n

tersebut tidak menyertakan penjelasan fitnah mana yang ia maksud, sehingga

Juynboll, setelah melihat pada masa hidup Ibn Si>rin, memastikan bahwa fitnah

tersebut adalah fitnah yang disaksikan oleh Ibn Sirin ketika telah dewasa.

Sedangkan berdasarkan data, Ibn Si>ri>n lahir pada masa akhir pemerintahan

Uthman, yaitu 2 tahun sebelum Uthman bin Affan wafat,42

sehingga dapat

dipastikan bahwa Ibn Si>ri>n tidak tahu secara langsung hiruk pikuk fitnah

terbunuhnya Uthman, karena pada saat itu Ibn Si>ri>n masih kecil.43

37

Muslim bin al-Hajjāj Abu al-Husayn al-Qushairi, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairut: Dār Ihya’

al-Turath al-‘Arabī, t.t), 15; 38

Al-Zahra>ni>, Abu> Ya>sir Muhammad bin Mat}ar, ‘Ilm al-Rija>l ash’atuhu wa Tat}awwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila> Niha>yati al-Qarn al-Ta>si’ (Riyad: Da>r al-Hijrah,

1996), 25. 39

G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition, 18-19 40

Dipercaya demikian karena setelah kejadian itu, terjadi peperangan antar

sahabat, seperti peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awi ah, sehingga ban ak

terjadi penyebaran hadis palsu untuk menguatkan kelompok masing-masing. Lihat Abd

Rahman bin Abd Rahman al-Khat}i>b, al-Rad ‘ala> Maza>’im al-Mustashriqi>n Goldziher wa Joseph Schacht wa Man Ayyadahuma min al-Mustaghribi>n (Madinah: Majma’ al-Malik

Fahd, tt), 6; al-Dari>s, Kha>lid bin Mans}u>r bin Abdillah, al-‘U u>b al-Manhajiyyah fi> Kita>bat al-Mustashriqi>n (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, tt), 55.

41 Juynboll, G. H. A. "The date of the great fitna." Arabica (BRILL) 20 (Juni 1973):

142-159. 42

Ibn Khalka>n, Wafiya>t al-A’ a>n wa Anba> Abna>’ al-Zama>n J.4 (Bairut: Da>r S}a>dir,

1971), 182; 43

Cf. J. Robson, ‚The Isnad in Muslim Tradition, in Transactions (of the) Glasgoe

Universit ‛ Oriental Society, xv, pp. 15-26; G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition

(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 18

Page 8: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

8

Jikalau apa yang dinyatakan oleh Goldziher, Schacht, Calder, Juynboll dan

para sarjana yang sealiran dengan mereka itu benar, maka akan sangat sedikit atau

bahkan tidak ada hadis Nabi yang bisa digunakan sebagai hujjah. Ini tentu

merugikan umat Islam karena interpretasi yang digunakan selama ini yang

didasarkan pada hadis Nabi adalah salah semua karena tidak memiliki pondasi yang

kuat, mengingat sumber hukumnya bukan dari orang yang mimiliki otoritas untuk

penentuan hukum. ahkan ‘Azamī mengatakan bahwa jika pandangan Schacht ini

dianggap benar maka sama saja dengan membenarkan bahwa ada kekosongan

hukum di kalangan umat muslim selama 100 tahun dan itu mustahil terjadi.44

Daud

Rasyid juga mengomentari bahwa tuduhan Orientalis secara historis dan realitas

tidak beralasan, dia mengatakan bahwa Rasulullah wafat ketika bangunan Islam

telah sempurna dengan memberikan gambaran kesiapan ‘Umar bin al-Khattāb

(Khalifah kedua) menangani dua imperium terbesar dunia waktu itu yaitu Persia

dan Romawi yang telah berhasil dikuasai umat Islam.45

Oleh karena itu muncullah perlawanan dari para sarjana muslim untuk

menggugat temuan mereka. Diantaranya oleh Fuat Sezgin yang melakukan kritik

keras terhadap temuan para Orientalis, dan Muhammad Musṭafa ‘Azamī dalam

bukunya ‚Studies ini Earl Hadith Literature‛ (1977), kemudian oleh Muhammad

‘Ajjāj al-Khatib menulis dalam bukunya ‚al-Sunnah qabla al-Tadwin‛ (198 ), serta oleh Musṭafa al-Sibā’i dengan menulis kitab ‚Al-sunnah wa makānatuha fī al-Tashrī’ al-Islāmī‛ (1982).

Muhammad Musṭafa ‘Azami menyatakan bahwa sunnah Nabi sudah mulai

ditulis sejak zaman Nabi. Azami juga menolak tuduhan atas adanya rekayasa sanad

(teori projecting back) Schacht, dimana sesuai kenyataan sejarah yang

membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa Nabi, seperti

perintah beliau kepada para sahabat yang menghadiri majelis Nabi untuk

menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir. Demikian pula, tuduhan bahwa

sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab

merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah,

karena penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan, dengan segala

kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.46

Selain itu, menurut R. Talmon, skeptisisme Juynboll adalah termasuk skeptisisme

yang tidak produktif .47

Akan tetapi temuan para Orientalis itu nyata pengaruhnya terhadap sarjana

Muslim,48

Pandangan mereka ada yang memiliki kesamaan dengan kaum Orientalis.

44

Azami, On The Schacht’s Origin of the Muhammadan Jurisprudence., 19. 45

Daud Rasyid, ‚Goldziher dan Sunnah‛ Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, vol. I

(Jakarta 1415 H.) , 7; Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views, 297; Badri

Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 35. 46

Mahmud T{ahha>n, Taysi>r mus}t}alah al-hadi>th, 321. 47R. Talmon, ‚’Review of G.H.A. Juynboll, Muslim ...‛ Jerussalem Studies in

Arabic and Islam 11 (1998) : 248- 252. 48

Harald Motzki and others, Analising Muslim Traditions: Studies in legal, Exegetical and Maghazi Ḥadīth, 3; Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’

views on Ḥadīth, Al-Qānūn Vol. 12, 293.

Page 9: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

9

Diantara orang Islam yang terpengaruh oleh pendapat Orientalis adalah Ahmad

Amin, Ahmad Abdul Mun’im al-Bāhi, Taufiq Shidqi,49

Ali Hasan Abdul Qadir,

Muhammad al-Ghozali, Ismāil Adham dan Abu> Rayyah.50

Pengaruh orientalis

tersebut tampak dalam pemikiran yang dituangkan dalam karya mereka. Dalam

bukunya yang berjudul ‚Aḍwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadi ah‛, Abu Rayyah

mengatakan bahwa tulisan hadis para sahabat tidak ada yang sampai kepada para

tabi’in, dan bahwa hadis adalah hasil ijtihad ulama’ belakangan.51

Ahmad Amin

dalam bukunya ‚Fajru al-Islam‛,52 Ali Hasan Abdul Qadir dalam bukunya ‚ aẓrah

Āmmah fī Tārīh al-Fiqh al-Islāmī, Muhammad al-Ghozali dalam bukunya ‚al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahli al-Fiqh wa ahli al-hadis‛. Dia mengkritisi

kredibilitas afi’ mawla Ibn Umar, juga menganggap bahwa ahli hadis adalah

orang-orang yang hanya memuja nama-nama. Ismāil Adham dalam bukunya

tentang sejarah hadis, menyimpulkan bahwa hadis-hadis dalam kitab s}ahih al-

Bukhari dan S}ahih Muslim tidak dapat dipertanggung jawabkan autentisitasnya dan

mayoritas palsu. Dia mengaku didukung oleh Ahmad Amin, dan bantahan atas

pendapatnya tersebut dia anggap sebagai pemasungan kreatifitas dan kebebasan

berfikir serta akan mengganjal penelitian ilmiah.53

Sesungguhnya yang terjadi pada mereka bukanlah hal baru dalam umat

Islam. Umpamanya pada awal abad kedua hijriah golongan semacam ini pernah

ada, dan mereka disebut dengan kelompok ingkar-sunnah. Pada awal kemunculan

kelompok ini, argumen yang mereka bangun adalah tidak mau menggunakan hadis

sebagai sumber hukum, mereka berpendapat cukuplah hanya al-Qur’an sebagai

hujjah karena al-Qur’an sudah sempurna.54

Sebenarnya pendirian mereka yang

seakan meng-agungkan al-Quran dengan menganggapnya telah sempurna, tidak lain

hanyalah pelecehan dan pelanggaran terhadap perintah Al-Quran itu sendiri, sebab

telah jelas perintah di dalam Al-Quran adanya suatu kewajiban untuk mengikuti

hadis yang tidak dapat diingkari. Menurut Ali Mustafa Ya’qub, Kaum inkar sunnah

yang pernah ada pada zaman klasik, di abad modern ini muncul kembali bersamaan

dengan kolonialisme, Orientalisme, dan missionarisme.55

49

Taufiq shidqi menolak sunnah karena tidak ditulis dan dibukukan sejak masa

Nabi, dan juga sedikitnya hadis yang dianggap mutawatir. Lihat dalam Taufiq Shidqi, ‚al-

Nashk fi al-Shara>i’ al-Ila>hi ah‛, Majalah Al-Mannar, Juz 9 Jilid 10, 913-914 50

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 107. Dan lihat Nur al-Din Muhammad ‘It}r al-

H}alby, Manhaj al- aqd fi> ‘ulum al-Ḥadīth (Damaskus, Da>r al-Fikr, 1997), 468. 51

Lihat dalam Mahmud Abu Rayyah, Ad}wa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah .

c. 6 (Kairo: Da>r al-Ma’arif, 19 7), . 52

Dia ikut mengkritik kitab Imam al-Bukhari dan mengatkan bahwa al-Bukhari

hanya melakukan kritik sanad saja, akan tetapi argumen Amin sangat lemah karena apa

yang dia sampaikan sebagai sebuah kritikan adalah akibat kesalahan dia dalam memahami

matan hadis dalam kitab ‚al-Jami’ al-S}ahih, lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 107. 53

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 50. 54

Kassim Ahmad, Ḥadīth A Re-Evaluation 1997, 40 55

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Ḥadīth , 37; Anver M. Emon, ‚Review Rethinking

Tradition in Modern Islamic Thought. By Daniel W. Brown. Cambridge and New York:

Cambridg Universit Press 199 . Pp. 18 ‛. Journal of Law and Religion, Vol. 16, No. 2

(2001), pp. 647-652.

Page 10: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

10

Tapi orang-orang di atas telah dibantah pendapatnya oleh M. Mustafa

Azamī dalam bukunya ‚Dirāsāt fī al-hadith al-Nabawy wa tārīḥ tadwīnīh‛. Pendapat-pendapat Muhammad al-Ghāzali juga dibantah oleh Syeikh Salman al-

Audah, dalam bukunya ‚Hiwār hādi’ ma’a Muhammad al-Ghazali‛, dan juga Dr.

Syeikh Rābi’ bin Hādi al-Madkhali dalam bukunya ‚Kasyfu mawqifi al-Ghazāli> min al-Sunnah wa ahlihā wa naqdi ba’d{i ārā’ihī‛ dan syaikh S}ālih al-Shaykh dalam

kitabnya ‚al-Mi’yār fī ‘ilmi al-Ghazāli> fi kitābihi al-Sunnah al-Nabawiyyah‛.

Meskipun telah mendapat perlawanan dan bantahan dari beberapa sarjana

Muslim, tapi apa yang dilakukan Orientalis Barat terhadap hadis Nabi masih

kurang mendapat jawaban yang kuat. Bahkan Kamaruddin Amin menyatakan

bahwa kajian ini dari sisi akademik masih kurang disentuh oleh pelajar hadis di

tanah air. Kamaruddin juga menyatakan bahwa seakan-akan sarjana Islam alergi

untuk menjawab tuduhan-tuduhan Orientalis tentang metodologi kritik hadis yang

masih kurang akurat.56

Selain itu Kamaruddin juga menyatakan bahwa argumen

Azami dan Sezgin yang menyimpulkan bahwa hadis telah ditulis sejak masa awal

Islam, tidak dapat memberi penjelasan nyata, karena berdasarkan kepercayaan

ulama’ hadis, secara umum dinyatakan bahwa pada awal Islam, hadis diriwayatkan

dengan hafalan dan tidak dengan tulisan.57

Begitu pula persoalan konsistensi

penyusun kitab hadis dalam persyaratan penerimaan hadis, juga masih

dipertanyakan, karena setelah dilakukan penelitian ulang ditemukan bahwa suatu

hadis yang dinyatakan telah diriwayatkan oleh orang yang ḍābiṭ tapi ternyata

berbeda-beda dalam lafalnya, Dan jika pengertian ḍābiṭ adalah kuatnya hafalan

seorang perawi, maka secara tidak langsung perbedaan lafal atau variant matan

hadis tersebut dapat mengurangi autentisitas hadis itu sendiri atau secara tidak

langsung dapat disimpulkan bahwa para penyusun kitab kanonik tidak konsisten

dalam meyeleksi perawi hadis.58

Selain itu dalam masalah tawatur hadis, ternyata

ditemukan bahwa teori mutawatir menurut ukuran dan definisi yang ditegaskan

oleh Ibn Hajar,59

sebenarnya tidak pernah terjadi dan tidak dapat diterapkan.60

Dari latarbelakang di atas, maka penelitian terhadap hadis-hadis riwayat

afi’ mawla Ibn Umar sangat penting dilakukan, karena dalam studi terdahulu

yang telah dipaparkan, masih sangat jarang yang membahas dan menguatkan

posisinya, karena itu menemukan argument atas autentisitas hadis riwayatnya

menjadi tujuan dari penelitian ini, mengingat hadis Nabi yang menggunakan jalur

transmisi ini sangat banyak jumlahnya. Meskipun ada jalur transmisi hadis yang

56

Kamaruddin Amin, ‚Problematika Ulumul hadis’: ’Sebuah Upa a Pencarian

Metodologi Alternatif’ (Makassar : UIN Alauddin, 2010) 57

Ibn Hajar al-‘asqalani, Hady al-Sa>ri> muqaddimah Fath al-Bari (Bairut : Da>r al-

ma’rifah, 1 79 H.) , ; Kamaruddin Amin, Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And

Western Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship Al-Ja>mi‘ah, Vol. 46, No. 2, 2008, 257.

58Kamaruddin Amin, The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A

Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. 43, 268 59

Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri> (Bairut : Da>r al-ma’rifah, 1 79 H.) , 7 . 60

Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan ḥadīth Nabi , 115 - 121

Page 11: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

11

juga mendapat kritikan oleh para orientalis seperti jalur transmisi Abu Hurairah,

namun pendapat-pendapat tersebut telah mendapatkan perlawanan oleh sarjana

muslim terdahulu. Kitab al-Ṣaḥīḥayn sengaja dipilih sebabagi sumber primer,

karena dua kitab tersebut telah disepakati oleh umat Islam sebagai kitab paling

autentik dalam bidang hadis, sehingga dengan demikian akan dapat diketahui

apakah benar penyusun kitab al-Ṣaḥīḥayn konsisten dalam menerapkan syarat-

syarat dalam seleksi hadis. Posisi penulis saat ini ada pada keyakinan akan

autentisitas hadis Nabi dan skeptis terhadap temuan Orientalis. Hal ini sesuai

petunjuk Al-Quran yang memerintahkan agar melakukan tabayyun ketika

menerima berita dari seorang fasiq,61

sedangkan Orientalis, mereka bukan hanya

fasiq tapi mereka bukan Muslim yang terkadang memiliki tujuan lain dalam

pengkajian hadis.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi

beberapa masalah yang berkaitan dengan autentisitas hadis Nabi sebagai berikut:

Pertama, mengenai kredibilitas ulama hadis terkemuka terutama Nāfi’ yang

diragukan keberadaanya, karena minimnya catatan sejarah tentangnya dan al-Zuhrī

yang dianggap sebagai pemalsu hadis. Kedua, mengenai tuduhan berkembangnya

isnād hadis ke belakang (back Projection) ang dianggap han a buatan ulama’

untuk menyandarkan perkataan mereka kepada orang-orang yang memiliki otoritas

hukum, karena berdasarkan temuan sarjana Barat, sanad baru muncul pada awal

abad kedua hijriah, dan menurut mereka pengguna pertamanya adalah Ibn Shihab

al-Zuhri. Ketiga, adanya pernyataan bahwa sunnah baru muncul sejak zaman al-

Shāfi’ī dan tidak ada sunnah Nabi pada masa sebelumnya dengan argumen e-silentio Schacth, sehingga kemudian disimpulkan bahwa sebelum masa itu, tidak

ada hukum Islam. Keempat, mengenai teori hadis mutawatir yang masih menjadi

pertentangan, karena istilah-istilah yang ditetapkan sering kali kontradiktif.

Kelima, tentang tadlis dalam periwayatan hadis, dimana hampir tidak ada ahli

hadis yang selamat dalam masalah ini. Keenam, mengenai konsistensi penyusun

kitab hadis dalam persyaratan penerimaan hadis yang mereka kumpulkan, karena

masih ditemukan hadis yang diriwayatkan oleh seorang dengan predikat ḍābiṭ tapi

berbeda dalam lafal yang diriwayatkan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dirumuskan

untuk menjawab pertanyaan pokok yang sangat mendasar yaitu ‚Bagaimana autentisitas hadis riwayat a>fi’ mawla> Ibn ‘Umar dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn?‛

3. Pembatasan Masalah

Untuk mempertegas rumusan masalah di atas, maka secara konseptual

penelitian ini akan difokuskan pada dua hal, yaitu a>fi’ dan teori common link.

a>fi’ yang dimaksud dalam penelitian ini adalah a>fi’ mawla Ibn Umar.

Sedangkan teori common link yang akan dibahas adalah teori yang telah digunakan

61Surat Al-hujurat ayat : 6

Page 12: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

12

oleh G.H.A. Juynboll yang menetapkan bahwa suatu hadis dapat ditentukan nilai

kesejarahannya dengan melihat siapa perawi dalam sebuah bundel sanad yang

memenuhi kriteria sebagai common link. Hadis riwayat a>fi’ yang akan diteliti

dibatasi hanya hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-S}ahi>h}ayn karya al-Bukhari

dan Muslim. Riwa at a>fi’ ini juga dibatasi han a hadis-hadis yang ia terima dari

Ibn Umar. Alasannya adalah karena jalur transmisi ini merupakan sanad emas

dalam pandangan sarjana muslim, dan juga termasuk jalur kaluarga dalam

periwayatan hadis yang diragukan oleh Joseph Schacht dan didukung oleh Juynboll.

Namun dalam penyusunan bundel sanad, penulis menyusunnya dengan seluruh

periwayatan hadis yang sama yang terdapat dalam kitab-kitab hadis pre-kanonik

yaitu kitab-kitab hadis yang disusun sebelum masa al-Bukhari dan Muslim.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian secara umum bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran terhadap suatu persoalan.62

Sedangkan penelitian hadis,

memiliki tujuan untuk mengetahui kualitasnya agar dapat dinyatakan autentik atau

tidak. Hal ini sangat penting berkenaan dengan kehujjahanya sebagai salah satu

sumber dalam istinbath hukum ajaran Islam.63

Charles J. Adams mengatakan

bahwa pada saat ini diperlukan peneliti muda yang mampu menilai capaian-capaian

masa lampau dan memberikan arah baru dalam studi hadis.64

Untuk itu, maka

tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan capaian sarjana muslim

masa lampau dalam usaha mereka mengumpulkan hadis-hadis autentik.

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan bukti autentisitas hadis riwayat Nāfi’ mawlā Ibn

‘Umar yang terdapat dalam kitab al-Ṣaḥiḥayn. 2. Untuk mengkritisi metode penentuan autentisitas hadis Nabi yang

berkembang dari masa ke masa, agar dapat memberikan arah baru dalam

penelitian hadis selanjutnya.

3. Untuk menggali kualitas metode dan sikap ulama’ dalam penelitian hadis,

sebagai argumen tidak adanya rekayasa sanad dalam penetapan hadis

autentik.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Kevin Reinhart menyimpulkan bahwa sarjana kontemporer belum ada yang

mampu menolak argumen-argumen Juynboll.65

Untuk itulah penulis menganggap

bahwa penelitian ini penting, karena selain untuk memperkaya kajian hadis, juga

sebagai penambah hujjah para pencinta hadis terhadap para pengingkarnya.

62

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama , 6. 63

Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Tangerang Selatan : Serat

Alam Media, 2012) , 31. 64

Charles J. Adams, "Islamic Religious Tradition," in The Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard

Binder (New York: John Wiley & Sons, 1976), 29-95. 65

A. Kevin Reinhart, The ig ang, and H adi th Study in the Twenty First Century

, Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, P 418.

Page 13: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

13

Mengingat argumen-argumen sarjana muslim dirasa masih belum kuat,

sebagaimana Fuat Sezgin dan Azami yang berargumen bahwa tradisi menulis hadis

sudah berlangsung sejak awal malah bertentangan dengan jumhur ulama muslim

yang menyatakan bahwa pada masa awal, hadis Nabi disebarkan melalui hafalan.66

Kemudian Mustafa ‘Azamī yang dalam bukunya mengungkapkan jalur isnad ‘Amr

bin Abi ‘Amr67

untuk membuktikan kesalahan kesimpulan Schacht, ternyata

menurut Ali Masrur justru malah berakibat sebaliknya yaitu menguatkan pendapat

Schacht tentang adanya teori common link.68 Dan pada kenyataanya konsep

‚ ackgrowth‛ (berkembangnya isnad hadis ke belakang) telah diakui dan diterima

kebenaranya oleh sarjana modern,69

yang secara tidak langsung menjadi penguat

asumsi kepalsuan hadis-hadis Nabi dalam kitab-kitab kanonik yang disusun pada

pertengahan abad kedua hijriah.

Dari itu semua, maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Dalam kegunaan teoritis diharapkan

dapat memperkaya kajian kritik hadis dan memperkuat posisi hadis yang telah

diteliti untuk dijadikan dasar penetapan hukum. Hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menemukan hasil autentisitas riwayat Nāfi’ mawlā ibn ‘Umar yang

terdapat dalam kitab al-Ṣaḥiḥayn setelah diuji menggunakan teori Common Link.

2. Diperoleh klasifikasi metode menentukan hadis autentik sebagai petunjuk

arah baru dalam penelitian hadis.

3. Mendapatkan bukti konkrit terhadap kualitas metode dan sikap ulama’

dalam penelitian hadis, sebagai argumen tidak adanya rekayasa sanad oleh

para penyusun kitab kanonik.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam mempersiapkan disertasi ini, penulis telah menelusuri beberapa hasil

penelitian terdahulu, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang memiliki

keterkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan dengan tujuan untuk

mengetahui isu yang berkembang seputar penelitian ini dan mengetahui persamaan

serta perbedaanya dengan penelitian terdahulu.70

Diatara kajian terdahulu yang

memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

66

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik H}adi>th (Jakarta:

Hikmah, 2009), 120. 67

M.Mustafa Azami, Studies in Early Ḥadīth Literature (Bairut: al-maktab al-

Islam, 1968), 233-234. 68

Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan ḥadīth Nabi, 61.

69Jonathan Brown, Critical rigor vs juridical pragmatism, how legal theoritists and

ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in the genre of ‘ilal al-Ḥadīth, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV, 2007 ), 1.

70Craig Ian Collinson, Academic Writing Guide: Dissertations: 2 Edge Hill

University , 1-6.

Page 14: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

14

Diawali dengan penelitian Nabia Abbott dalam bukunya ‚Studies in Arabic Literary Papyri, II Qur̀anic Commentary and Tradition‛.71

Dia mengoreksi dan

mengkritisi pandangan Ignaz Goldziher tentang beberapa sebab terjadinya gerakan

pemalsuan hadis dalam skala besar yang membuat Goldziher meragukan

autentisitasnya. Abbot adalah salah satu dari orang yang mendukung metode dan

kesimpulan Fuat Sezgin.72

Dia menyatakan bahwa praktek penulisan hadis sudah

berlangsung sejak awal dan berkesinambungan. Abbot mengawali bukunya dengan

pentingnya manuskrip, kemudian dilanjutkan dengan perkembangan penulisan

hadis sejak masa awal Islam yang terus berkembang dan dapat menjadi bukti

kelangsungan serta autentitas hadis, dan diakhiri dengan mengemukakan dokumen-

dokumen naskah tertulis dalam empat periode penting yaitu sejak masa hidup Nabi

Muhammad SAW, kemudian setelah wafatnya Nabi, dan periode Bani Umayyah

serta berbagai koleksi hadis yang terkodifikasi.

Kemudian Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwīn,73

juga menyanggah pendapat Goldziher dan orang yang sependapat

denganya bahwa banyak terjadi pemalsuan hadis karena tidak tertulis sejak masa

awal, dan menyanggah pendapat Goldziher mengenai Ibn Shihāb al-Zuhrī dan

posisinya dalam periwayatan hadis.

MM Azami dalam ‚Dirāsāt fi al-Hadith al-Nabawi wa tārihi Tadwīnihi‛.74

Menjelaskan arti kata sunnah dalam Islam sebagai sanggahan atas pendapat

Goldziher yang mengatakan bahwa sunnah adalah istilah jahiliyyah dan baru

dikhususkan sebagai sunnah nabi sebagaimana pendapat Schacht dan Ali Hasan

Abdul Qodir setelah masa al-Shafi’i.75

Selain itu dijelaskan pula argumen-argumen

lain dalam rangka menyanggah temuan Goldziher yang lain. Selanjutnya Azami

juga menulis ‚On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence‛.76 Buku ini

adalah sanggahan atas Schacht dalam bukunya ‚The Origins of Muhammadan Jurisprudence‛. Azami menyanggah pandangan Schacht yang menganggap adanya

perbaikan sanad oleh para penyusun kitab hadis, dan menyanggah tentang sanad

keluarga yang dianggap palsu. Dalam kesimpulannya Azami mengatakan bahwa

sebenarnya Schacht telah gagal dalam memeriksa sebagian literatur yang paling

relevan dan salah dalam memahami teks-teks yang dikutipnya, contoh-contoh yang

digunakanya sering bertentangan dengan poin yang sedang diupayakan. Dalam

bukunya itu, Azami mengemukakan contoh-contoh yang diberikan oleh Schacht

dan memberikan penjelasan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Schacht atas

contoh-contoh tersebut.

71

Diterbitkan oleh : The University of Chicago Press, Tahun 1967. 72

Kamaruddin Amin, ‚Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And Western

Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship‛, 264. 73

Diterbitkan oleh al-Maktabah al-Tijāriyyah, Makkah Tahun 1980 74

Diterbitkan oleh al-Maktab al-Islāmī Bairut Tahun 1980. 75

M.M Azami, dalam Dira>sa>t fi al-Ḥadīth al-Nabawi wa ta>rihi Tadwi>nihi (Riyad:

al-Maktab al-Isla>mi, 1980 ), 5-11. 76

Diterbitkan oleh Suhail Academy, Lahore Pakistan Tahun 2004.

Page 15: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

15

Selanjutnya Muhammad Muṣṭafā al-Sibā’ī, dalam ‚al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tashri’ al-Islamī‛.

77 Dalam buku ini al-Sibā’i> menyanggah semua

pendapat Goldziher tentang pemalsuan hadis dengan mengungkapkan upaya para

ulama’ masa awal untuk memerangi pemalsuan hadis, dan juga tentang al-Zuhrī

secara panjang lebar. Dia juga menjelaskan semua hadis yang dianggap Goldziher

telah dipalsukan oleh al-Zuhrī dan memberikan argumen yang mantap atasnya. Al-

Siba>’i> mengungkapkan metodologi ahli hadis seperti kebiasaan rihlah dalam

mencari hadis, pengusutan sanad, mencari pembanding atau saksi sebuah riwayat,

dan ilmu kritik rawi (ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l). selain itu al-Sibā’i> juga

menyanggah pendapat Abu Rāyah tentang Abu Hurairah yang dianggap tidak jelas

olehnya karena namanya dan nasabnya yang berbeda-beda, sebab abu Hurairah

menemani Nabi, dan terbelakangnya dia masuk Islam tapi meriwayatkan hadis

paling banyak. Tesis ini juga sebagai sanggahan argumen esilentio Schacht dengan

mengungkapkan kedudukan hadis dalam umat Islam sejak awal.

Wahyudin Darmalaksana, dalam buku Hadis di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht78

buku ini mulanya adalah sebuah

skripsi membahas tentang permasalahan dalam studi hadis, otentisitas hadis dan

masalah Orientalisme, pandangan Ignaz Goldziher dan joseph Schacht tentang

otentisitas hadis dan hukum Islam serta kritik terhadap tesis keduanya dengan

mengutip pandangan Nabia Abbot, Fazlur Rahman dan Mustafa Azami. Dalam

kesimpulanya. Wahyudin menyatakan bahwa tesis golziher dan Schacht

mengandung tendensi kedengkian dan lebih merupakan arogansi self-nya Barat

yang selalu ingin mendistorsikan realitas Islam sebagai others sebagaimana wacana

orientalisme79

menurut pandangan Edward Said. Jadi penelitian ini pijakannya

adalah tujuan orientalis dalam mengkaji Islam dan tidak terfokus pada sanggahan

atas pendapat mereka.

Ali Masrur, dalam Teory common Link Juynboll: Melacak akar kesejarahan Hadis Nabi.80

Dalam buku ini dijelaskan tentang kronologi, sumber dan

kepengarangan hadis, kajian atas peran para kadi (hakim) Islam awal yang menurut

Juynboll sangat mudah memalsukan hadis, kajian hadis mutawatir, konsep

mutawatir, dimana kemutawatiran hadis tidak menjamin kesejarahanya, dan kajian

terhadap berbagai aspek ilmu rijal menurut pandangan Juynboll. Dalam penutupnya

Masrur melakukan verifikasi kebenaran teori Juynboll dengan menerapkannya pada

hadis-hadis shahadat dan rukun Islam dan dia menawarkan penafsiran baru tentang

fenomena common link.

Berikutnya Kamaruddin Amin dalam buku Analisis isnad cum matan.81 Ini

adalah disertasinya di Bonn Jerman. Dalam penelitiannya ini, hadis shawm pertama

diuji dengan kritik atau penanggalan hadis sarjana muslim, kemudian diuji dengan

metode kritik atau penanggalan Juynboll dan terakhir diuji dengan metode isnad

77

Diterbitkan oleh al-Maktab al-Islāmī, Bairut Tahun 2000. 78

Diterbitkan oleh : Benang Merah Press Bandung, cetakan pertama tahun 2004 79

Wahyudin Darmalaksana, H}adi>th di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht, 135

80Diterbitkan oleh : LKIS Yogyakarta cetakan pertama tahun 2007

81Diterbitkan oleh : Pustaka Mapan Jakarta tahun 2008

Page 16: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

16

cum matan. Kemudian dalam buku Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,82

Kamaruddin Amin menyajikan secara runtut bagaimana mengkaji hadis

dari sisi metodologi, pemikiran dan polemik antara penelitian yang dilakukan

sarjana Muslim dan sarjana Barat. Kamaruddin juga mempertanyakan keseragaman

penggunaan istilah periwayatan dan konsistensi penerapanya oleh ulama hadis

dalam kitab mereka, dan penelitian hadis yang dikritik al-Bani dalam Ṣahih Muslim

dengan metode kritik isnad cum matan. Kesimpulan besar buku ini adalah bahwa

pertama Kritik isnad mendapat perhatian lebih ketimbang kritik matan di kalangan

ulama’. Kedua Informasi yang disajikan para ulama abad ketiga dan keempat

tentang ulama hadis awal memiliki nilai untuk konstruksi sejarah. Ketiga Dalam

meneliti ilmu hadis pada masa awal Islam, analisis matan sama pentingnya dengan

analisis isnad, analisis isnad saja tidak cukup karena dapat membawa pada

penyandaran yang salah sebuah riwayat kepada perawi tertentu seperti kasus hadis

Said bin Mina dan Said al-Maqbury yang secara salah telah disandarkan kepada

Saīd Ibn al-Musayyab oleh M.M. Azami.

uku ‚Otentisitas Hadis menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi‛.83

Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa akurasi metodologi yang diterapkan oleh

ahli hadis membuat tidak sembarang orang bisa meriwayatkan hadis. Berbeda

dengan kaum sufi yang bisa menṣahihkan suatu hadis dengan jalan mimpi bertemu

Nabi dan ṭariq al-Kashf, dan menganggap hadis mereka lebih sahih dari metode

kritik ahli hadis. Penelitian ini berusaha mencari titik temu dan pembeda antara

metode penentuan kesahihan hadis Nabi menurut ahli hadis dan kaum sufi yang

bukan ahli hadis. Titik temu itu adalah teori ‘adalah dan kesalihan dalam diri

seorang perawi hadis yang sama dalam substansinya.

Harald Motzki, dalam Analisyng Muslim Tradions: Studies in Legal, Exegetical and Maghazi Hadith.84 Buku ini adalah ulasan dan bantahan atas

beberapa kesimpulan Joseph Schacht dan GHA Juynboll dalam studi hadis. Harald

Motzki sebagai penulis dan editor mengomentari pandangan Juynboll atas al-Zuhrī

dan a>fi’ mawla Ibn ‘Umar secara lugas dan menunjukkan beberapa kesalahan

Schacht dan Juynboll dalam penelitiannya, mulai dari pengambilan referensi dan

proses generalisasi yang dilakukan. Dia mengambil sampel murid-murid al-Zuhrī

selain Malik bin Anas aitu Ma’mar Ibn Rāshid (w.153/770) dan ‘Abd al-Malik ibn

Juraij (w.150/767) yang terdapat dalam Mus}annaf Abd al-Razzāq al-San’ānī (w.

211 H) serta membandingkanya dalam rangka rekonstruksi kritik terhadap doktrin

dan hadis riwayat al-Zuhrī. Kemudian berkenaan dengan a>fi’ Motzki meneliti

hadis tentang zakat fitrah yang diriwayatkan oleh beberapa perawi. Buku ini

menjadi salah satu sumber rujukan peneliti dalam melihat beberapa permasalahan

mengenai a>fi’. Dengan melihat berbagai aspek yang diungkap Juynboll dan

dibantah oleh Motzki, penelitian ini memposisikan diri diantara mereka.

Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, dalam Kritik terhadap Metode Kajian Sanad G.H.A. Juynboll: Tumpuan terhadap Teori common link dan Single

82

Diterbitkan oleh: PT Mizan Republika Jakarta cetakan pertama tahun 2009 83

Diterbitkan oleh : Pustaka Firdaus, cetakan kedua tahun 2008 84

Diterbitkan oleh : BRILL volume 78 Tahun 2010

Page 17: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

17

Strand.85 Dalam artikel tersebut, mereka menyatakan bahwa kesimpulan Juynboll

banyak menuai kritikan sarjana Barat lain. Dan bila ditinjau dari perspektif ilmu

hadis, teori-teori yang dikembangkan Juynboll berdasar pada ketidak percayaannya

terhadap autentisitas hadis a>ha>d, sebenarnya pendapat seperti ini adalah sama

dengan pendapat sebagian tokoh Mu’tazilah masa lalu yang bertentangan dengan

pendapat jumhur umat Islam. Kajian mereka ini lebih fokus pada penguatan status

hadis Ghari>b untuk diterima sebagai hujjah.

Idri, dalam Otentisitas H{adîth Mutawâtir Dalam Teori Common Link G.H.A. Juynboll, 86

dalam artikel ini Idri menolak pendapat Juynboll bahwa konsep

mutawatir telah dikembangkan oleh sarjana muslim secara random dan bahwa

istilah tersebut sering digunakan secara longgar dan salah. Idri menganggap bahwa

teori common link Juynboll tidak dapat dijadikan paradigma untuk meneliti hadis-

hadis Nabi oleh Umat Islam, karena hasil akhir dari penggunaan teori ini adalah

kesimpulan bahwa hadis Nabi yang diteliti adalah palsu.

Halit Ozkan, dalam artikelnya ‚The Common Link and Its Relation to the Madār‛.87

Dalam tulisannya ini, Ozkan memberikan argumen bahwa istilah

common link tidak bisa disamakan dengan istilah mada>r yang digunakan oleh

sarjana hadis muslim masa lalu maupun masa kini. Kata mada>r juga tidak selalu

digunakan sebagai istilah teknis. Ozkan menyatakan bahwa terdapat problem dalam

contoh yang diberikan Juynboll tentang orang yang disebut mada>r. Selain itu tidak

benar juga bahwa mada>r berarti sama dengan kata tafarrada (sendiri dalam

periwayatan). Ozkan menyampaikan argumen bahwa adanya mada>r dalam level

yang sama dari sanad hadis, menunjukkan bahwa istilah mada>r itu berbeda dengan

istilah tafarrud sekalipun dalam literatur hadis ditemukan bahwa Ibn Hajar

menggunakan dua istilah itu yang kemudian difahami sebagai sinonim. Tetapi dari

hasil penelusuran dalam literatur, dua istilah itu jelas berbeda. Ozkan juga menolak

temuan Juynboll bahwa istilah muta>ba’a>t dan Shawa>hid lebih tepat diartikan

sebagai menyalin atu meng-copi. Menurut Ozkan, dua istilah itu lebih tepat

difahami dalam konteks al-I’tiba>r (mencari pembanding), dan tidak tepat jika dua

istilah itu difahami sebagai praktek menyalin hadis (to copy) dengan bukti tidak

adanya kemungkinan seseorang yang hidup di dua tempat dan waktu yang berbeda

untuk melakukan hal tersebut.

Dengan melihat pada literatur buku dan artikel dalam jurnal yang telah

disebutkan di atas, maka secara garis besar sanggahan terhadap teori Barat tentang

kepalsuan hadis Nabi dilakukan dengan mengumpulkan bukti bahwa periwayatan

hadis dan tradisi menulis riwayat telah dilakukan sejak masa awal Islam, serta

dengan meluruskan istilah-istilah yang difahami dengan kurang tepat. Oleh karena

itu maka diketahui bahwa fokus kajian disertasi ini memiliki perbedaan dengan

kajian terdahulu dalam beberapa aspek sbb:

1. Penelitian ini akan mengaplikasikan teori common link GHA Juynboll

pada hadis-hadis riwa at a>fi’ mawla Ibn Umar ang terdapat dalam

kitab al-Ṣaḥiḥayn.

85

Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Hadith vol. 5 Mei 2007, p. 71-95. 86

Jurnal Islamica volume 7, Nomor 2, Maret 2013 87

Dipublikasikan dalam Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 1 (2004), pp. 42-77

Page 18: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

18

2. Penelitian ini ingin menguatkan posisi Nāfi’ sebagai tokoh sanad dhahabiyyah yang belum banyak dikuatkan posisinya oleh para sarjana

hadis terdahulu dalam karya mereka.

3. Penilitian ini akan membuktikan kehandalan kritik hadis sarjana muslim

dengan menjawab tuduhan-tuduhan yang dialamatkan atasnya dengan

fokus pada kitab al-Ṣaḥiḥayn .

F. Metode Penelitian

1. Sumber dan Jenis data

Sumber data penelitian ini adalah data pustaka88

yang terdiri dari sumber

primer yaitu kitab hadis al-Ṣaḥīḥayn ang memuat riwa at a>fi’ mawla Ibn ‘Umar,

buku Muslim’s Traditions karya Juynboll, dan kitab-kitab biografi ulama hadis,

serta jurnal-jurnal internasional yang berkaitan. Sedangkan sumber sekunder dari

penelitian ini, yaitu buku Anal sing Muslim’s Traditions karya Motzki dan buku

Kamarudin Amin menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik hadis, serta kitab-

kitab sīrah yang relevan, ditambah buku-buku orientalis dalam bidang hadis.

Adapun jenis data penelitiannya adalah hadis riwayat Nāfi’serta biografinya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan sumber data yang mayoritas berupa tulisan yang dalam

bahasa Arikunto disebut paper, maka Pengumpulan data ditempuh dengan metode

dokumentasi,89

dengan tahapan sebagai berikut: pertama, memisahkan hadis-hadis

ang akan diteliti aitu riwa at a>fi’ mawla Ibn ‘Umar. Kedua, mengambil sampel

hadis yang akan diteliti. Ketiga, observasi untuk mengetahui acuan utama metode

kritik hadis ‘ulama dalam kitab-kitab mereka dan hasil temuan Orientalis atas

kelemahan metode kritik tersebut. Keempat, memisahkan hadis yang dapat

diterima dan tertolak setelah menggunakan dua metode tersebut.

3. Pendekatan dan Analisis Data

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian pustaka yang

bersifat kualitatif. Metode kualitatif akan diterapkan sebagai eksplorasi terhadap

setiap jenis data.90

Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan historis dan

filologis, dengan model analisis induktif. Data-data yang diperoleh akan dianalisis

dengan pendekatan deskriptif analisis. Selain itu dilakukan analisis komparatif dari

data-data tersebut sehingga kesimpulan yang diperoleh akan lebih komprehensif.

Penelitian komparatif ini menurut Van Dalen merupakan jenis Inter relationship

Studies yang termasuk Causal Comparative Studies.91

Penelitian ini juga

merupakan penelitian eksploratif karena bertujuan untuk menemukan berbagai

implikasi yang mempengaruhi autentisitas hadis.

88

Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2004), 1-13 89

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1998), Cet XII, Edisi Revisi V, 129. 90

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung:

Alfabeta, 2010). 91

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, 236.

Page 19: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

19

4. Penentuan Populasi dan Sampel

Dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn terdapat 6602 hadis yang tidak diulang. Dalam

sahih al-Bukhari 2602 hadis, dan dalam sahih Muslim 4000 hadis. Dari jumlah

tersebut terdapat riwayat Nāfi’ sebanyak 188, dan yang dianggap sebagai hadis

mutawatir sebanyak 18 hadis. Untuk memenuhi kriteria sampel berupa ukuran dan

keterwakilannya,92

maka hadis yang akan dijadikan sampel untuk menggeneralisasi

hasil penelitian adalah 66 hadis yang diambil dengan pemilihan sampel acak

sederhana.93

Jumlah ini diperoleh setelah mengaplikasikan rumus sampling Taro

Yamane sebagai berikut:94

n = N N n = Jumlah sampel, N= Jumlah Populasi N.d

2 + 1 d

2 = Presisi yang ditetapkan

Dan telah diketahui jumlah populasi hadis a>fi’ seban ak = 188, dan presisi yang

ditetapkan sebesar 10%, maka berdasar rumus tersebut diperoleh jumlah sampel

sebagai berikut:

n = N = 188 = 188 = 188 = 65,27 = 66 hadis

N.d2 +1 188.0,12+1 (188).(0,01)+1 2,88

5. Teknik Pengolahan Data

Data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu :

a. Hadis-hadis riwa at a>fi’

Pengolahan data hadis ini melalui tahap-tahap: Pertama, hadis-hadis

yang menjadi sampel akan di-taḥrīj untuk mengetahui sumber-sumber hadis

dalam kitab yang lain. Kedua, melakukan I’tiba>r yaitu membuat bundel

sanad, kemudian dilanjutkan dengan menentukan perawi yang menduduki

posisi common link. Ketiga, meneliti pribadi rawi dalam periwayatan dan

meneliti kebersambungan sanadnya. Dan Keempat menentukan autentik atau

tidaknya sanad. Kelima, membuat natījah (kesimpulan) hadisnya sahih

(autentik) atau mawḍū’.95

b. iografi a>fi’

Untuk data yang berupa biografi, akan dianalisis secara logis,

sistematis dan obyektif menggunakan pendekatan sejarah dengan langkah-

langkah sebagai berikut: Pertama, pengumpulan data-data yang relevan dari

berbagai sumber yang otoritatif (heuristik). Kedua, melakukan analisis kristis

pada sumber. Ketiga, penetapan makna dan hubungan antara fakta-fakta yang

ditemukan (interpretasi). Keempat, rekonstruksi data yang diperoleh

(historiografi). Semua data yang ditemukan akan dievaluasi dan diverifikasi

92

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2012), 250. 93

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, 261. 94

Riduwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula c.6 (Bandung: Alfabeta, 2010), 65.

95M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 49-138.

Page 20: PENDAHULUAN Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36719/1/BAB 1 OK... · sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian

20

untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap kesejarahan a>fi’ mawla Ibn

Umar sebagai tokoh yang memiliki kesejarahan.96

G. Sistematika Penulisan

Penulis membagi penelitian ini ke dalam 6 bab dengan uraian sebagai

berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah

pendorong penilitian ini dilakukan, dilanjutkan dengan permasalahan yang dirinci

dengan identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah, dilanjutkan dengan

tujuan, signifikansi dan manfaat penelitia, kemudian paparan penelitian terdahulu

yang relevan, sebagai upaya menunjukkan perbedaan dan persamaan penelitian ini

dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, dilanjutkan dengan

metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab dua berisi kerangka teori dengan mengungkapkan polemik dalam

penentuan autentisitas hadis antara kelompok pengingkarnya dari kelompok sarjana

Barat terkemuka yaitu Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan G.H.A. Juynboll, dan

yang mendukung mereka dari kalangan sarjana Muslim modern yang mengingkari

kehujjahan hadis. Kemudian paparan berisi sanggahan dari para pembela hadis, baik

dari sarjana muslim maupun dari sarjana non muslim, dan diakhiri dengan

pandangan dan kesimpulan peneliti sebagai penentu posisi peneliti.

Bab tiga berisi deskripsi tentang kitab al-S}ah}i>h}ayn dengan memaparkan

kualitas metode kritik dan sikap ulama dalam penelitian hadis sebagai gambaran

obyek penelitan, diawali dengan paparan biografi singkat al-Bukha>ri dan Muslim

dilanjutkan dengan kualitas kitab al-Sa}h}i>h}ayn, dan dilanjutkan dengan membahas

tadlis riwayat hadis yang dilakukan oleh al-Bukha>ri dan Muslim untuk diketahui

kredibilitas dan konsistensi mereka dalam menyeleksi hadis, dengan mengacu pada

pandangan ahli hadis klasik serta di konfirmasikan dengan pandangan modern yang

terdapat dalam jurnal internasional terbaru.

Bab empat memaparkan analisis kesejarahan dan kredibilitas perawi hadis

yang dikritik Joseph Schacht dan Juynboll, yaitu Nāfi’ mawlā Ibn ‘Umar serta jalur

periwayatan hadisnya, dilanjutkan dengan telaah terhadap kualitas hadis bersanad

emas Malik dari a>fi’ dari Ibn Umar, kemudian analisis kritis istilah mada>r, muta>ba’a>t dan Shawa>hid dalam ilmu hadis, dan diakhiri dengan menguji kembali

kualitas hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh a>fi’ dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn.

Bab lima memaparkan analisis hadis Nabi ang diriwa atkan a>fi’ mawla

Ibn ‘Umar dalam kitab al-Ṣah}i>h}ayn yang telah dipilih sebagai sampel penelitian,

kemudian menghitung prosentase hadis ṣahih didalamnya yang bertujuan untuk

mengetahui kualitas hadis-hadis tersebut setelah mengaplikasikan teori common

link Juynboll terhadapnya.

Dan bab enam adalah penutup berisi kesimpulan hasil penelitian mengenai

hadis riwa at a>fi’ serta implikasi penelitian yang dilakukan sebagai masukan

untuk pengkajian hadis selanjutnya.

96Riduwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula

c.6, 53-54.