bab ii penentuan autentisitas hadis...
TRANSCRIPT
21
BAB II
PENENTUAN AUTENTISITAS HADIS NABI
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana metode penentuan
autentisitas hadis yang berkembang dari masa awal Islam hingga saat ini. Metode
kritik hadis yang akan dibahas meliputi kritik hadis sarjana muslim, kritik hadis
kelompok ingkar sunnah dan kritik hadis sarjana Barat, karena dari sebab perbedaan
metode penentuan inilah timbul perdebatan akademik dalam ilmu hadis.
Pembahasan dalam bab ini diakhiri dengan model baru dalam penelitian hadis yang
berkembang di abad modern saat ini.
A. Metode Kritik Hadis Sarjana Muslim
Kritik hadis sudah dimulai sejak masa sahabat Nabi. Hal ini membuktikan
bahwa upaya menjaga hadis telah dilakukan sejak awal abad pertama hijriah,
sehingga dapat dibedakan antara hadis yang dapat diterima dan tidak dapat
diterima.1 Hal ini didorong oleh kuatnya pengamalan agama secara benar dan dalam
pandangan mereka, posisi hadis Nabi merupakan pedoman beragama yang
sempurna. Metode yang mereka lakukan dalam rangka menjaga autentisitas hadis
tidak serumit yang telah dirumuskan oleh ulama belakangan tapi dapat menjadi
bukti bahwa kritik hadis sudah dimulai sejak dini. Eerik Dickinson dalam
disertasinya yang meneliti kitab Ibn Abī Ḥātim (w.327 H) menyimpulkan bahwa
para ulama’ awal Islam adalah kritikus hadis.2
Karena pada masa ini semua orang dikenal keadilannya, sehingga tidak
membutuhkan ilmu al-Jarḥ wa al-Ta’dīl , dan keadaan ini berlangsung sampai
akhir abad pertama hijriah. Adapun upaya para sahabat dalam menjaga hadis adalah
sebagai berikut:3
1. Mengandalkan kekuatan hafalan, karena orang Arab pada masa itu
terkenal Ummī (tidak pandai membaca dan menulis), maka yang menjadi
sandaran adalah hafalan mereka yang terus berkembang dan makin kuat
ketika dibutuhkan. mereka terkenal dengan hafalan yang langka serta
kecerdasan yang mengagumkan, seperti hafalnya mereka pada nasab-
nasab, dan hafal sesuatu dengan hanya sekali mendengar.4 Berdasarkan
teori psikologi bahwa orang yang tidak pandai membaca dan menulis akan
lebih kuat hafalannya dibandingkan dengan orang yang mampu membaca
1Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, ‚Kritik Terhadap Metode Kajian Sanad
Gha Juynboll: Tumpuan Terhadap Teori Common Link Dan Single Strand‛, Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Ḥadīth vol. 5 Mei 2007, 72.
2Eerik Dickinson, The Development of Early Sunnite Ḥadīth Criticism - The
Taqdima of Ibn Abi Hatim al-Razi (Yale University, 1992), ii. 3Nūr al-Dīn Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulūm al-Ḥadīth (Damaskus,
Dār al-Fikr, 1997), 51-57. 4Al-Khati>b, Muhammad Ajjaj bin Muhammad Tami>m bin S}a>lih} bin Abdillah, al-
Sunnah qabla al-Tadwi>n (Bairut: Da>r al-Fikr, 1980), 136; Nūr al-Dīn Muhammad ‘Iṭr al-
Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 37; Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali al-Na>s}ir, al-Burha>n ‘ala> Tabri’ati Abi> Hurairah min al-Buhta>n (Kairo: Da>r al-Nas}r, 1998), 22.
22
dan menulis. Jadi hal ini dapat menjadi sanggahan terhadap Goldziher
yang meragukan kekuatan hafalan para perawi hadis.
2. Tidak memperbanyak riwayat hadis. Yang demikian itu karena mereka
khawatir melakukan kesalahan. Orang yang paling gigih menjaga hal ini
adalah Abū Bakar dan ‘Umar bin al-Khattāb.
3. Tidak tergesa-gesa dalam menerima riwayat. Orang yang pertama
melakukan ini adalah Abu Bakar al-Ṣiddīq, diriwayatkan ketika ada
seorang nenek yang meminta bagian dalam warisan, maka dia
menanyakan dan meminta saksi atas apa yang telah dilakukan Rasulullah
mengenai masalah itu. Selanjutnya Umar bin al-Khattāb juga melakukan
hal serupa, dia meminta saksi atas hadis yang diriwayatkan oleh Abū
Mūsa.5 Dan begitu pula Alī bin Abī Ṭālib yang meminta saksi setiap ada
orang menyampaikan hadis Nabi.
4. Meneliti riwayat dengan seksama. Seperti kritik ‘Umar atas penjelasan
seorang perempuan yang mengaku tidak mendapat nafkah dari suaminya,
mendengar hal itu, kemudian ‘Umar mencari penguat atas laporan
tersebut. Begitu juga kritik ‘Aishah r.a atas hadis yang menjelaskan
bahwa seorang mayit akan disiksa sebab tangisan keluarganya, ‘Aishah r.a
membandingkan hadis itu dengan teks al-Qur’an.6
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh para sahabat di atas menurut sarjana
Barat tidak memiliki bukti yang kuat, sebab mayoritas berita tentang kritik matan
yang dilakukan oleh komunitas muslim awal hanya ada dalam koleksi hadis yang
disusun pada pertengahan abad ke tiga. Seperti kritik ‘Aishah diatas yang baru
muncul pada abad ke delapan yaitu pada karya al-Sha>fi’i7> (w.204/820).
8
Jumhur Ulama’ hadis mengakui bahwa pada masa awal, hadis disebarkan
dengan lisan dan bukan dengan tulisan.9 Dan setelah timbul fitnah di kalangan
5Abu Musa datang ke rumah ‘Umar dan setelah mengucap salam 3 kali dia pergi,
kemudian ‘Umar menyusulnya dan menanyakan kenapa dia pergi, Abu Musa menjawab
bahwa Rasulullah menjelaskan hal itu. ‘Umar tidak langsung mempercayai perkataan Abu
Musa dan dia meminta saksi lain yang mendengar hadis itu, dan jika tidak ada saksi, maka
‘Umar akan menghukum Abu Musa. Lihat Ma’mar bin Rāshid, al-Jāmi’ J. 10. (Bairut : al-
Maktab al-Islāmī, 1403 H.), 381. 6Jonathan A.C. Brown, ‚How We Know Early Ḥadīth Critics Did Matn Criticism
and Why It’s So Hard to Find‛ Islamic Law and Society 15 (2008) 143-184, 148. 7 Abū Jaʿfar Aḥmad b. Muḥammad al-Ṭaḥāwī, al-Sunan al-Ma’thūra li al-Imām
Muḥammad b. Idrīs al-Shāfiʿī, ed. ‘Abd al-Mu’ṭī Amīn Qal’ajī (Beirut: Dār al-
Maʿrifa,1406/1986), 193, 303 8 Jonathan A.C. Brown, ‚How We Know Early Ḥadīth Critics Did Matn , Criticism
and Why It’s So Hard to Find‛, Islamic Law and Society 15 (2008) 143-184. 9Ibn Ḥajar al-‘asqalani, Hady al-Sa>ri> muqaddimah Fath al-Bari (Bayrut : Da>r al-
ma’rifah, 1379 H.), 17; Fatḥ al-Bārī, 1. (Bayrut: Dār al-Ma’rifah, 1379), 218; Hajjī Khalīfah,
Kashf al-Ẓunūn ‘an asāmi al-Kutub wa al-Funūn, (Bagdād: Maktabah al-Muthannā, 1941),
637; al-Kattanī, al-Risālah al-Mustaṭrafah li Bayāni Kutub al-Sunnah al-Musharrafah (T.T:
Dār al-Bashāir al-Islāmiyyah, 2000), 3; Abū Zahw, al-Ḥadīth wa-al-Muḥaddithūn, (Kairo:
Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958), 127; al-Dhahabī. Muhammad al-Sayyid Husayn,al-Tafsīr wa-al-mufassirūn,1, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1961), 140-141.
23
umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya Khalifah ‘Uthman bin ‘Affan, maka
sebagai upaya melawan pemalsuan hadis para sahabat mulai memperhatikan sanad
dan memeriksa perawi,10
berhati-hati dalam mengambil riwayat seseorang yang
disebut dengan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl, melakukan perjalanan demi mendengar
hadis dari perawi aslinya, dan membandingkan riwayat hadis yang satu dengan
riwayat lainnya, sehingga pada abad ini telah dikenal hadis marfū’, mawqūf, maqtū’, muttaṣil, mursal, munqaṭi’ dan mudallas.11
Usaha-usaha ahli hadis ini
berhasil mencegah pemalsuan hadis secara luas dan massive.12
Namun ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl ini dianggap tidak berdasar oleh para kritikus hadis modern, mereka
mempertanyakan atas dasar apa dan metode bagaimana penilaian terhadap karakter
dan kehidupan seseorang dapat dilakukan.13
Perkembangan ilmu hadis mencapai puncaknya pada awal abad kedua hingga
awal abad ketiga hijriah, perkembangan ini dalam rangka menolak pemalsuan hadis
yang terjadi,14
setelah hafalan orang sudah mulai kurang, sanad menjadi panjang
dan bercabang, dan muncul banyak golongan yang bertentangan serta melenceng
dari kebenaran. Oleh karena itu para ulama’ memandang perlu untuk membukukan
hadis secara resmi, memperluas ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl, menolak hadis dari orang
yang tidak dikenal, dan membuat kaidah-kaidah dan istilah-istilah baru dalam ilmu
hadis.15
Memang para penyusun kitab kanonik, tidak semuanya menjelaskan kriteria
apa yang mereka gunakan dalam pemilihan hadis dan menuliskannya dalam kitab
yang mereka susun. Hanya imam Muslim yang menjelaskan metode penyusunan
kitabnya, kemudian Abu Daud menjelaskan melalui suratnya kepada penduduk
makkah, serta dalam kitab al-‘Ilal al-Ṣaghir al-Tirmidzi menjelaskan metode
penyusunan kitabnya, sehingga para ulama’ dapat menyimpulkan syarat-syarat
yang mereka berlakukan, diantara mereka adalah al-Maqdisi (w.507 H) yang
menyusun shurūṭ al-Aimah al-sittah dan al-Ḥazimi (w.584 H) menyusun shurūt al-Aimmah al-Khamsah.
Namun secara umum pada abad ini hadis autentik adalah yang berpredikat
ṣaḥiḥ. Mengenai definisi ṣaḥiḥ, ahli hadis menggambarkannya dengan kata ‚al- Hadith al-Musnad alladhi yattaṣilu isnāduhu bi naql al-‘Adl al-Ḍābiṭ ‘an al-‘Adl al-Ḍābiṭ ilā muntahāhu wa lā yakūnu shādhdhan wa lā mu’allalan‛ (yaitu hadis yang
bersambung sanadnya terdiri dari orang-orang adil yang ḍābiṭ sejak dari orang
10
Muhammad Ibn Sīrīn berkata : ‚sebelumnya mereka tidak pernah menanyakan isnad, namun setelah terjadi fitnah, mereka mulai menanyakan dari mana sumber kalian‛
lihat dalam Muqaddimah ṣaḥiḥ Muslim, ; dan al-Tirmidhi al-‘Ilal al-S}aghi>r, 739. 11
Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 55-57. 12
Harald Motzki (2005), "Dating Muslim Traditions: A Survey" dalam Journal
Arabica, 235.; Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 225.
13Daniel Brown, Rethinking tradition in Modern Islamic thought (Cambridge and
New York : Cambridge University Press, 1996), 97. 14
Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic thought ,. 93. 15
Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 58-61.
24
pertama hingga orang terakhir serta tidak mengandung shadh dan illat),16 ini adalah
rangkuman kesimpulan mereka setelah meneliti hadis - hadis dalam dua kitab sahih
(Al-Bukhari dan Muslim bin al-Hajjaj).
Dari uraian di atas diketahui bahwa Kritik ilmu hadis klasik terdiri dari 3
cabang, pertama berkenaan dengan riwayat, yaitu pemeriksaan terhadap rangkaian
sanad untuk menetapkan ketersambungan penyandaran, ketersambungan sanad ini
dievaluasi dan dibedakan menjadi mawqūf, maqtū’ dan juga mursal. Kedua fokus
pada nama-nama rawi dengan penggambaran biografi orang yang dapat dipercaya
dan yang tertolak riwayatnya, fokus perhatianya adalah pada tanggal dan tempat
lahir, hubungan keluarga, guru, murid, perjalanan menuntut ilmu, akhlak, aqidah,
hasil karya dan tanggal wafat, selain itu Juga menekankan pada kesezamana dan
kemungkinan bertemu secara geografis. Ketiga berkenaan dengan isi hadis,
dihubungkan dengan kandungan al-Qur’an apakah ada pertentangan atau tidak.
Sebuah hadis langsung ditolak jika isinya bertentangan dengan al-Qur’an, juga bila
isinya bertentangan dengan hadis lain yang dianggap sahih,17
dan bila kalimatnya
tidak mencerminkan kata-kata Rasulullah SAW, serta bila isinya bertentangan
dengan akal sehat dan bertentangan dengan sejarah yang benar. selain itu menurut
ahli fiqih jika hadis tersebut bertentangan dengan ijmā’ ulama’ dan bertentangan
dengan amalan para sahabat Nabi maka harus diperiksa kembali.18
Dari sini dapat dinyatakan bahwa kesimpulan kritikus Barat yang
menganggap kritik hadis klasik hanya pada sanad saja itu tidak benar,19
kritik hadis
muslim tidak hanya pada sanad saja tapi juga terhadap matannya,20
Ibn al-Ṣalah dan
para muḥaddithūn menyatakan bahwa kesahihan sanad tidak menentukan kesahihan
matan, hal itu terlihat dari kebiasaan mereka menyebut ungkapan ‚ṣaḥiḥ al-Isnād‛
dan bukan ‚ṣaḥiḥ al- Hadith.‛21
16
Ibn al-Ṣalaḥ, Ma’rifatu anwa’ ‘ulu>m al-ḥadīth (Bayrut:Da>r al-kutub al-‘ilmiyyah,
2010), 12; Ibn Daqīq. Taqy al-Dīn Abū al-Fattah, al-Iqtirah fī bayān al-Isṭilaḥ (Bairut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), 5 ; Ibn Kathir, ikhtiṣar ‘ulūm al-Ḥadīth (Bairut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyyah,t.t), 21; al-Suyūṭi, Tadrīb al-Rāwī fī Sharh Taqrīb al-Nawāwī (Dār Ṭaybah, t.t),
61. 17
Kamaruddin Amin, ‚The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A
Critical Reconsideration‛, Al-Jā mi'ah, Vol. 43, No 2, 2005, 261-262. 18
Musfir ‘Azmullah Al-Damini, Maqāyīs naqd mutūn al-Sunnah (Riyaḍ : Jāmi’ah al-
Imam Ibn Sa’ud, 1984), 117-393; Yunus Yusoff dkk, Adopting Ḥadīth Verification
Techniques in to Digital Evidence Authentication, Journal of Computer Science 6 (6): 613-
618, 2010, p 614; Ṣalaḥ al-Din Ahmad al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulama’ al-Ḥadīth al-Nabawi (Beirut : Dār al-Afaq al-Jadida, 1983), 237-238; M. Mustafa al-’Az}ami>,
On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, 111-114. 19
Daniel Brown, Rethinking tradition in Modern Islamic thought (Cambridge :
Cambridge University Press, 1996), 99. 20
Daniel W. Broen, Rethinking tradition in Modern Islamic Thought, 82; Jonathan
A.C. Brown, ‚How We Know Early Ḥadīth Critics Did Matn 143. 21
Ibn al-Ṣalah, Muqaddimah, 113; al-Nawawi, al-Taqrīb, 6 ; al-Ṭibī, al-Khulāsah, 43 ;
Ibn Kathir, ikhtiṣar ‘ulūm al-Ḥadīth, 43 ; Ibn al-Qayyim, al-Fufūsiyyah, 64 ; al-‘Iraqi, al-Tabsirah wa al-Tadzkirah, juz 1, 107 ; al-Sakhāwi, Fath al-Mughith, Juz 1, 62; al-Suyuṭi,
25
Brown menyimpulkan bahwa metode kritik hadis muslim seperti pekerjaan
jurnalistik jaman sekarang, dimana seorang reporter menyampaikan berita, maka
yang dilihat pertama adalah keterpercayaan reporter tersebut dan sumber beritanya,
karena pilar jurnalisme modern adalah dapat dipercayanya sumber berita dan
menentukan dapat dipercayanya sumber atau cerita melalui bukti-bukti yang dapat
menguatkan.22
Kesimpulan Brown ini senada dengan pernyataan ‘Az}ami.23
B. Kritik Hadis Ingkar Sunnah
Inkar sunnah adalah suatu paham atau pendapat yang timbul dalam
masyarakat Islam yang menolak sunnah (hadis) sebagai hujjah dan sumber
pengambilan hukum Islam yang wajib ditaati dan diamalkan. Mereka ini dibedakan
dalam empat macam sebagai berikut: Pertama, ingkar sunnah mutlak yang
mengingkari secara total baik hadis yang beredar dari jaman Rasul hingga yang
terkodifikasi. Kedua, ingkar sunnah kullī. Mereka menolak kehujahan periwayatan
sunnah setelah masa Rasulullah. Ketiga, Ingkar sunnah shibhi kullī, mereka hanya
menerima hadis mutawatir dan menolak hadis āḥād. Keempat, Ingkar sunnah Juz’ī , kelompok ini mengingkari sebagian hadis āḥād yang bertentangan dengan al-
Qur’an, rasio dan sains.24
Diantara kelompok kedua adalah Ahmad Subḥī Mansūr25
dan Tawfīq Ṣidqī
yang mengatakan bahwa sunnah mutawatirah qawliyyah hanya sedikit jumlahnya
karena dikehendaki oleh Allah untuk menjadi shari’at yang hilang,26
sedangkan
diantara kelompok ketiga adalah Mahmud Abu Rayyah, Husayn Ilāhī Najasy,27
dan
kelompok terakhir banyak terjadi di beberapa aliran dan organisasi seperti LDII di
Indonesia.28
Dalam sejarah dicatat bahwa diantara mereka adalah kaum khawarij dan
Mu’tazilah, pendapat mereka banyak bertentangan dengan jumhur ‘ulama dalam
memandang status sahabat Nabi, hadis mutawatir, hadis āḥād dan jumlah hadis
Nabi. mereka menolak sunnah sebagai hujjah29
mereka tidak mau menerima hadis
yang tidak berkualitas mutawatir, mereka beranggapan bahwa cukup al-Quran
sebagai dasar hukum karena al-Qur’an sudah sempurna. Mereka mendapat pujian
Tadrib al-Rāwi, 161 ; al-Anṣari, Fath al-Baqi ‘ala alfiyah al-‘Iraqi, 107; al-Ṣan’ani, Tawḍih al-Afkar, Juz 1, 234.
22Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern
World,67-68. 23
M. Mustafa al-’Az}ami>, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, 200. 24
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah pendekatan Ilmu Hadis
(Jakarta : Kencana, 2011), 16-31. 25
Abd al-Mawjūd 'Abd al-Laṭīf , al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Du’aāt al-Fitnah wa Ad’iyā’ al-‘Ilm c.2 (Kairo, Dār al-Ṭibā’ah al-Muhammadiyyah, 1991), 89.
26Tawfīq Ṣidqī, ‚al-Naskh fi al-Sharāi’ al-Ilāhiyyah‛ al-Manar, Juz 9 Jilid 10, 687.
27Najsy, al-Qur’āniyyūn wa shubuhātuhum hawla al-Sunnah (Ṭāif : Maktabah al-
Ṣiddīq, 1989), 91. 28
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah, 29. 29
Al-Shatiby. Abu Ishaq Ibrahim bin Musa, al-I’tiṣām ( Bairut : Dār al-Ma’rifah,
1970), 132; Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan,
c.6. juz.4 ( Jakarta, UI Press, 1986),
26
dari orientalis yang menganggap bahwa mereka adalah kelompok yang berusaha
melakukan eksplorasi pengetahuan agama melalui kebebasan berfikir dan sebagai
orang-orang yang tercerahkan otaknya.30
Perbedaan pandangan paling menyolok mereka yang berbeda dengan
jumhur ‘ulama’ adalah berkenaan dengan keadilan sahabat, mereka menganggap
semua sahabat yang terlibat dalam perang Jamal dan perang Ṣiffin baik Ali bin Abi
Ṭalib, Aishah, Ṭalhah, Zubair dan Muawiyah serta pengikutnya sebagai orang fasik
yang tidak bisa diterima kesaksiannya dan diambil riwayatnya seperti kesaksiannya
orang yang saling melaknat.31
Padahal Rasulullah telah menjamin masuk surga
untuk Ali, Ṭalhah dan Zubair. Tidak hanya para sahabat yang terlibat dalam perang
antar umat Islam, Abu Bakar, Umar, Ibn Mas’ūd, dan Samurah bin Jundūb juga
dikritik sedangkan Abu Hurairah mereka anggap sebagai pendusta nomor satu.32
Menurut Ibn Kathir (w.774 H), pendapat Mu’tazilah adalah sebuah
kedustaan dan harus ditolak,33
karena para sahabat yang mereka nilai pendusta dan
sesat adalah orang-orang yang mengikuti Bai’at al-Riḍwan, dan Allah telah
menyanjung mereka dalam al-Qur’an surat al-Fath ayat 18, menurut al-Ghazali
penilaian mana yang paling kredibel selain penilaian Allah dan Rasulnya?34
Para pengingkar sunnah berpendapat bahwa hadis tidak ditulis pada masa
Rasul dan beliau juga melarang menulis kecuali al-Qur’an sebagaimana dalam hadis
Abu Saīd al-Khudri. Untuk menguatkan argumen itu mereka mengambil sebuah
riwayat yang dikisahkan bahwa Abu Bakar telah membakar semua catatan
hadisnya, umar juga pernah membuat edaran untuk membakar semua tulisan yang
berisi hadis Nabi dan juga memukul Abu Hurairah karena terlalu banyak
meriwayatkan hadis. Selain itu mereka mengatakan bahwa mayoritas hadis
diriwayatkan dengan ma’na bukan lafaẓ, yang sering terjadi salah pemahaman,
kemudian sedikitnya hadis ṣaḥiḥ yang dihafal al-Bukharī, dan bahwa periwayat
hadis tidaklah ma’ṣum.35
Akan tetapi argumen pengingkar sunnah itu setelah diteliti ternyata salah
dan riwayat yang mereka kemukakan adalah riwayat ḍāif, Abu Rayyah mengambil
riwayat dari al-Dhahabī tidak secara keseluruhan sebab dalam menerangkan
riwayat itu al-Dhahabī sedang menjelaskan tentang riwayat yang salah tentang
sahabat, dimana dalam salah satu riwayat yang menerangkan Abu Bakar membakar
tulisan yang berisikan hadis Nabi terdapat Ali bin Ṣālih yang ternyata berpredikat
30
Abu Lubabah Husain, Pemikiran Ḥadīth Mu’tazilah ( Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), 64. 31
Al-Sahristānī, Al-Milal wa al-Nihal (t.t : Muassasah al-Halbī, t.t), 49 ; Al-Dhahabī,
Mizan al-I’tidal , 4. (Bairut: Dār al-Ma’rifah, 1963), 329 ; Abū Manṣūr, Abd al-Qāhir bin
Ṭāhir, al-Farq bayn al-Firq wa bayān al-Firqah al-Nājiyah (Bairut: Dār al-āfāq al-Jadīdah,
1977), 99, 320; Abū al-Hasan al-Ash’arī, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa ikhtilaf al-Muṣallīn, 2.
(t.t: al-Maktabah al’Aṣriyyah, 2005), 341. 32
Abū Manṣūr, Abd al-Qāhir bin Ṭāhir, al-Farq bayn al-Firq, 148, 319. 33
Ibn Kathir, ikhtiṣar ‘ulūm al-Ḥadīth, 182. 34
Al-Ghazali, al-Mustaṣfā (Bairut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993),1. 164. 35
‘Abd al-‘Aẓim Ibrahim Muhammad al-Muṭ’inī, al-Shubuhāt al-Mushārah li inkār
al-Sunnah (Bairut : Maktabah Wahbah, 1999), 1-70.
27
ḍāif, begitu juga kisah tentang ‘Umar di atas, ternyata riwayatnya palsu karena
bersumber dari seorang shī’ah yang anti sahabat.36
Mengenai larangan Rasul untuk menulis hadis, menurut para ulama’ hal itu
disebabkan karena banyak sahabat yang menulis al-Qur’an dan hadis dalam satu
catatan jadi dikhawatirkan akan bercampur dan tidak dapat dibedakan, sabagian
ulama’ berpendapat bahwa larangan menulis telah di nasakh (dihapus) dengan hadis
riwayat Ibn ‘Umar, dimana Ibn ‘Umar diperbolehkan menulis oleh Rasulullah, hadis
Ibn Umar datang lebih akhir daripada hadis pelarangan dalam riwayat Abu Said al-
Khudri, bagitu pula hadis perintah menulis untuk Abu Shah yang diucapkan
Rasulullah pada waktu haji Wada’ adalah lebih belakang dari hadis larangan
menulis.37
Memang benar bahwa Khalifah Umar melarang menulis hadis, tapi hal
itu beliau lakukan sebagai upaya menjaga kemurnian ajaran Islam agar tidak
tercampur dengan yang lain, beliau memutuskan hal itu setelah beristikharah
selama sebulan dan memutuskan dengan mengambil pelajaran yang dialami oleh
umat Yahudi dan Nashrani yang tersesat karena warisan kitab yang mereka terima,
dimana dalam kitab itu bercampur dengan catatan para pendeta, selain itu ‘Umar
juga khawatir umat akan meninggalkan al-Qur’an dan berpindah mempelajari yang
lain.38
Oleh karena itu sabagian sahabat tetap ada yang menulis seperti Abdullah
Ibn ‘Amr dalam ṣaḥīfah al-Ṣādiqah, ṣaḥīfah Ali bin Abi Ṭālib, dan ṣaḥīfah Sa’ad bin ‘ūbadah. Selain itu juga terdapat catatan surat-surat Rasulullah untuk para utusan
dan perjanjian-perjanjian beliau dengan orang kafir seperti perjanjian Hudaibiyyah,
perjanjian Tabuk, dan perjanjian Madinah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa apa
yang menjadi argumen kelompok inkar sunnah, tidak memiliki dasar yang kuat dan
tidak dapat dijadikan pijakan dalam penelitian.
C. Metode Kritik Hadis Sarjana Barat
Budaya kritis di Barat diakui memang bagus, terbukti dengan adanya saling
kritik temuan yang terus berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk di
dalamnya berhubungan dengan penelitian hadis. Berbeda dengan penelitian hadis
Islam yang jarang sekali mendapatkan kritikan sejak perkembangan terakhirnya
pada abad ke 10 hijriah, dimana Nūr al-Din ‘Itr menyebutnya dengan ‘Aṣr al-Rukūd wa al-Jumūd (masa diam dan tidak berkembang).
39 Munculnya kritikan dari sarjana
Barat ini turut memicu perkembangan ilmu hadis di kalangan umat Islam.
Tujuan kaum orientalis mempelajari hadis berbeda dengan umat Muslim.
Tujuan utama mereka adalah untuk mengetahui kesejarahan suatu hadis,40
maka
36
Ali Mustafa Ya’qub, 65. 37
Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 40-43 ; al-
Ramahurmuzi, al-Muhaddith al-Fāṣil, 386 ; Ibn Hajar, Fath al-Bārī, 1, 149. 38
Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 44 ; al-
Khatib al-Baghdadi, Taqyid al-‘Ilm, 49 ;Ibn Abd al-Bar, Jāmi’ Bayan al-‘Ilm, 64 ; . 39
Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalby, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 69. 40
A. Kevin Reinhart, ‚Juynbolliana, Gradualism, the Big Bang, and H adi th Study in
the Twenty First Century‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010)
Dartmouth College, PP. 413-444.
28
metode yang mereka gunakan adalah metode penanggalan dengan tradisi dan
asumsi mereka sendiri41
yang bertumpu dan menekankan pada segi dating of particular hadith (penetapan waktu munculnya suatu hadis),
42 dan metode mereka
ini dapat digolongkan pada empat kriteria yaitu: Pertama, penanggalan berdasarkan
analisis matan oleh Goldziher dan Marston Speight. Kedua, penanggalan
berdasarkan analisis sanad oleh Schacht dan Juynboll yang menurut Motzki disebut
dengan Isnad analitical study.43 Ketiga, penanggalan berdasarkan analisis kitab-
kitab koleksi hadis oleh Schacht dan Juynboll juga. Dan keempat, penanggalan
berdasar analisis sanad dan matan oleh Harald Motzki dan Schoeler.44
Selain itu
ada pula penanggalan yang menggunakann analisis pada manuskrip hadis yang
dilakukan oleh Nabia Abbot.
Dimulai sejak Goldziher meneliti ledakan perkembangan sanad dalam
bukunya Muslim Studies, dan meneliti perkembangan hukum Islam dalam bukunya
Introduction to Islamic Theology and Law, dimana selanjutnya dia menyimpulkan
bahwa kata sunnah dan hadis itu tidak sama, menurut dia hadis adalah disiplin ilmu
teoritis sedangkan sunnah adalah aturan-aturan praktis yang menjadi sebuah
kebiasaan. Kata sunnah adalah istilah Jahiliyyah yang diadopsi oleh Islam,45
kesamaan dua kata itu hanyalah bahwa dua-duanya sama-sama berlaku turun
temurun. Dan pada kesimpulannya dia mengatakan bahwa sebagian besar hadis
adalah hasil perkembangan masyarakat Islam dalam bidang sosial, agama dan
sejarah pada masa ke-emasannya dan bukanlah berasal dari Nabi.46
Dia mengatakan
bahwa setiap aliran dalam Islam dan lawan-lawanya sama-sama berkontribusi pada
bentuk dan varian hadis, 47
sehingga mereka turut serta dalam pemalsuannya
Yang dijadikan premis oleh Goldziher adalah bahwa larangan menulis
hadis, lebih banyak daripada kebolehan menulisnya sejak zaman Nabi hingga masa
sahabat. Selain itu dia menjustifikasi fenomena yang dia temukan bahwa Malik bin
Anas mengajarkan pada muridnya dari teks tertulis sedangkan murid-muridnya
mendengarkan dan mengahafalnya.48
Dari sini dia tidak mempercayai kekuatan
hafalan para perawi hadis, karena perkembangan dan penyebaran hadis yang lebih
banyak dengan hafalan.
41
Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 197.
42 Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, Kritik Terhadap Metode Kajian Sanad
GHA Juynboll:, Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Ḥadīth vol. 5 Mei 2007, 72. 43
Harald Motzki (2005), "Dating Muslim Traditions: A Survey" dalam Journal Arabica, 205-253
44Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadīth (Jakarta :
Hikmah, 2009), 85. 45
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 58. 46
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, tran. C. R. Barber and S. M. Stern (London:
George Allen Press, 1971), 19; Fatma Kizil, ‚Fazlur Rahman’s Understanding of the
Sunnah/hadīth -A Comparison with Joseph Schacht’s Views on the Subject‛, Hadis Tetkikleri Dergisi (HTD), VI/2, 2008, ss. 31-46.
47Goldziher, Muslim Studies, II/19, 126
48Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London:
1971), 183.
29
Selain itu setelah memperhatikan teks-teks hadis yang menurutnya banyak
bertentangan Goldziher menyimpulkan bahwa kritik hadis klasik hanya berpegang
pada sanad saja dan tidak mengaitkannya dengan matan. Dia meneliti bahwa tidak
ada satupun kritikus hadis yang mengatakan ‚ karena teksnya mengandung kontradiksi atau data sejarah yang mustahil terjadi, maka saya meragukan hadis ini‛ 49 tidak adanya ungkapan semacam ini dia pahami sebagai ketiadaan kritik
matan hadis oleh sarjana Muslim.
Buku Goldziher ini diterjemahkan ke dalam bahasa arab sehingga diketahui
oleh dunia Islam dan mendapatkan banyak tentangan.50
Diantara tentangan itu
adalah Sanggahan terhadap kesimpulannya yang dilakukan oleh Musṭafā al-Sibā’i,
yang membuktikan autentisitas hadis dengan argumentasi pendekatan sejarah dia
menyimpulkan bahwa menurut sejarah, penyebaran hadis telah dimulai sejak masa
hidup Nabi Muhammad sekalipun beliau tidak pernah menugaskan secara resmi
kepada para sahabat tapi mereka telah mulai menulis hadis sebagai dokumen
pribadi. Untuk menguatkan teorinya, al-Sibā’i menawarkan beberapa argumen logis
(1) tradisi melakukan perjalanan (rih}lah) (2) menyelidiki rantai sanad hadis (3)
menguatkan hadis (tauthi>q al-h}adi>th) (4) methodologi kritik perawi hadis.51
Mengenai al-Zuhri yang dituduh suka menjilat penguasa Bani Umayyah
agar memperoleh kedudukan berdasarkan atas pengakuannya sendiri, al-Siba’i>
menjelaskan bahwa teks yang dikutip itu telah dirubah dengan sengaja agar berbeda
maksudnya, dan kronologi yang sebenarnya adalah bahwa al-Zuhri tidak mau
menuliskan hadis untuk masyarakat karena hawatir nantinya orang akan
mengandalkan tulisan dan tidak mau menghafal lagi, dan hal itu diucapkannya
setelah ia diuji kekuatan hafalannya oleh Hisham bin Abdul Ma>lik untuk
menuliskan hadis bagi anaknya hingga dua kali, selain itu bukan pula bahwa al-
Zuhri telah dipaksa oleh penguasa Bani Umayyah untuk memalsukan hadis sesuai
dengan selera para penguasa.52
Temuan Goldziher juga mendapat penolakan dari Fuat Sezgin, Nabia
Abbot dan Gregor Schoeler, Schoeler membuktikan bahwa tradisi menulis telah ada
dan dilakukan secara bebas dari seorang ke orang lain53
serta sama kuatnya dengan
tradisi menghafal dikalangan orang muslim awal,54
Schoeler meyakini bahwa
49Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. S.M. Stern and C.R. Barber (Chicago:
Aldine Atherton, 1971), 2:140-1. 50
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions: Studies in Chronology Provenance and Authorship of Early Ḥadīth (Cambridge : Cambridge University Press, 1985), 2.
51Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views on Ḥadīth as the Second
Source of Law in Islam with special Reference to Mustafa al-Siba’i’s Criticism Toward
Ignaz Goldziher’s Viewpoints.‛ Al-Qānūn Vol. 12, No. 2, Desember 2009, 285-312. 52
Must}afa al-Siba>’i>, al-Sunnah wa maka>natuha fi al-Tashri>’ al-Isla>mi> (Bairut: Da>r
wara>q, 2000), 249. 53
Gregor Schoeler, Character und Authentie der muslimischen berlieferung über das Leben Mohammeds, (Berlin, New York: Walter de Gruyter, 1996)
54Schoeler, The Oral and the Written in Early Islam, 30ff. and chap. 4. ; A. Kevin
Reinhart, ‚Juynbolliana, Gradualism, the Big Bang, and H adi th Study in the Twenty First
Century ‚ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, P.
427.
30
ʿUrwah Ibn al-Zubair (w.94 H.) memiliki koleksi sistematis dalam mempelajari
agama.55
Dan mengenai ungkapan ‚mā ra’aytu fī yadihi kitāban qaṭṭu‛ (aku tidak
pernah melihat buku atau sesuatu yang tertulis miliknya),56
dan kata ‚lam yakun lahū kitāb, innamā kāna yaḥfaẓu‛(dia tidak punya tulisan, akan tetapi menghafal).
57
Goldziher menganggap bahwa ungkapan ini menunjukkan mayoritas penyebaran
hadis pada awalnya dengan hafalan dan bukan dengan tulisan, namun menurut Fuat
Sezgin, Nabia Abbot dan Schoeler tidak demikian. sedangkan menurut Nuruddin
‘Iṭr ungkapan ini bukan berarti mereka tidak menulis, tapi hanya menunjukkan
bahwa mereka memiliki hafalan yang kuat.58
Tapi Schoeler menolak kesimpulan Sezgin bahwa pada hakikatnya
periwayatan hadis pada awal Islam adalah dengan tulisan atau dalam bentuk buku.
Tesis Schoeler ini mendapat penguatan dari beberapa karya Harald Motzki.59
Berbeda dengan Goldziher, Abbott berpendapat bahwa kegiatan tulis
menulis bukan tidak umum di kalangan orang-orang Arab dan bahkan di masa pra
Islam, bahkan praktek penulisan hadis sudah berlangsung sejak awal dan
berkesinambungan. Maksudnya adalah bahwa para sahabat Nabi sendiri telah
menyimpan catatan-catatan hadis, dan bahwa sebagian besar hadis diriwayatkan
secara tertulis selain dengan lisan hingga hadis - hadis itu dihimpun dalam berbagai
koleksi kanonik. Periwayatan hadis secara tertulis ini dapat dijadikan sebagai
jaminan bagi keṣaḥiḥannya. Waktu yang dipilih Abbott untuk menguji hipotesanya
diambil dari empat periode umum. Pertama periode selama kehidupan Nabi, Kedua
periode setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, ketika ditemukan perkembangan
dalam jumlah hadis secara luas yang disebarkan oleh para sahabat hingga datangnya
periode Umayyah. ketiga periode Bani Umayyah ketika peranan kunci Ibn Syihāb
al-Zuhrī ditekankan. keempat, periode munculnya kodifikasi hadis secara formal.60
Fuat Sezgin dan ‘Az}ami meneliti literature dan manuskrip hadis sebagai
bantahan atas temuan Goldziher bahwa pembukuan hadis baru berlangsung di akhir
abad kedua hijriah. Sezgin dan ‘Az}ami sama-sama dipengaruhi oleh metode
penelitian Nabia Abbot, seorang orientalis yang ikut membantah temuan Goldziher.
Kalau Az}ami berusaha menolak kesimpulan Schacht, sementara Sezgin ingin
menolak kesimpulan Goldziher.61
Akan tetapi keaslian literatur yang diteliti Sezgin
55Schoeler, The Oral and the Written in Early Islam, 61 n. 48.
56Perkataan Ibn Abi Hātim (w.327 H) tentang Sulaiman bin Harb dalam al-Jarh wa
al-Ta’dīl (Bairut : Dār Ihyā’ al-Turath al-‘Arabī, 1952), 108. 57
Diucapkan oleh Ahmad bin Hambal untuk mensifati Sa‘īd .abī ‘Arūba (w.773)
dalam al-Dhahabī, Tadhkirah al-Huffadh,1, (Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998),134;
Gregor Schoeler, ‚Die Frage...‛ in Der Islam, p. 206. 58
Nur al-Din Muhammad ‘Iṭr al-Ḥalbī, Manhaj al-Naqd fī ‘ulum al-Ḥadīth, 480. 59
Kamaruddin Amin, ‚Muslim Western Scholarship Of Ḥadīth And Western Scholar
Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to Ḥadīth Scholarship‛ Al-Jāmi‘ah, Vol. 46,
No. 2, 2008, 267.; Motzki, ‚The Origins of Islamic Jurisprudence; ‚The Mus \annaf of ‘Abd
Razza>q al-S}an‘a>ni as a Source of Authentic Ah}a>di>th of the First Century A.H.,‛ Journal of Near Eastern Studies 50 (1991), pp. 1-21.
60Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, II Qur`anic Commentary and
Tradition (Chicago : University of Chicago Press, 1967), 83 61
Kamaruddin Amin, ‚Muslim Western Scholarship Of Ḥadīth And Western‛, 257.
31
dan Abbott yang mendukung kesimpulan mereka masih lemah dan diperdebatkan
keaslianya,62
sehingga menurut Herbert Berg, Az}ami berusaha melemahkan
validitas metodologi Schacht tapi dia tidak memberikan alternative selain yang
sudah disahkan oleh Abbott dan Sezgin, dan metode mereka dalam menguji hadis
hanyalah suatu anggapan.63
Metode analisis baru terhadap sanad dikembangkan secara mendalam oleh
Joseph schacht dengan dasar temuan Goldziher. Dia menguji peran penting al-
Shāfiī,64
dan dalam dua bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan
An Introduction to Islamic Law, dia berhasil mengembangkan beberapa teori untuk
menganalisis sanad yaitu back projection, the spread of isnads, family isnads, dan
Common Link.65 Setelah itu kajian sarjana Barat lebih fokus pada teori Schacht,
kerangka berfikir kelompok ini adalah bahwa perkembangan hukum baru muncul
belakangan. Kalau Goldziher hanya sampai meragukan hadis Nabi, Schacht sampai
pada keyakinan bahwa tidak ada hadis yang dapat dinyatakan autentik berasal dari
Nabi, terutama yang berkenaan dengan hukum.66
Dalam istilah sunnah, Schacht mengikuti pandangan Goldziher dan
Margoliouth, dan mengutip perkataan Ibn al-Muqaffa. dia menyebut sunnah dengan
istilah living tradition (tradisi yang hidup) yang berarti kebiasaan atau praktek
yang disepakati, dan menurut dia dalam konteks awal Islam sunnah lebih memiliki
konotasi politis daripada konotasi hukum dan tidak secara khusus dilekatkan pada
Nabi, seperti sebutan sunnah Abu Bakar dan ‘Umar.67
Konsep sunnah Nabi baru
ada pada sekitar abad kedua dan dibuat oleh orang-orang Irak,68
yang berbeda
dengan orang madinah, dan al-Shafi’i adalah orang yang memposisikannya sebagai
praktek hidup Nabi secara khusus. Selanjutnya mazhab Shuriyah dan Irak sama-
sama melakukan Back Projection (memproyeksikan tradisi yang hidup dari mazhab
kepada nabi).69
Schacht juga menggagas teori Argumentum e Silentio, kesimpulannya
mengenai teori ini di dasarkan pada kenyataan yang dia peroleh dalam
penelitiannya terhadap al-Muwatta’ yang membuktikan bahwa ada suatu hadis
tidak eksis di dalamnya atau pada masa kitab tersebut disusun, memperlihatkan
bahwa hadis tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam suatu
62Wansbrough’s review of Abbott’s book, ‚Nabia Abbott: Studies in Arabic Literary
Papyri. Vol. 2: Quranic Commentary and Tradition, Chicago 1967, in Bulletin of the School of Oriental and African Studies 31(1968), pp. 613-616 ; Juynboll, Muslim Tradition, 4-5.
63Herbert Beg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of
Muslim Literature from the Formative Period ( Surrey : Curzon Press, 2000), 48. 64
John Burton, ‚Qur’ān And Sunnah: A Case Of Cultural Disjunction‛ Methode and Theory in the Study of Islamic Origins vol.49 Ed. Herbert Beg (Leiden: Brill, 2003) ,153
65Halit Ozkan, ‚The Common Link and Its Relation to The Mada>r‛, Islamic Law and
Society. vol. II. no. I. 2004. 43. 66
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford : Clarendon Press,
1967), 149; Schacht, An Introduction to Islamic Law, 34; Ali Mustafa Yaqub, pengantar
terjamah Menguji Keaslian hadis-hadis hukum c.2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), v. 67
Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford : Clarendon Press, 1982), 17-18 68
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 70. 69
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence , 58 dan 77.
32
pembahasan yang seharusnya merujuk kepada hadis itu, jika hadis itu telah ada‛.70
Maka hadis yang terdapat dalam kitab sesudahnya adalah palsu karena Malik yang
lebih dulu ada seharusnya mencantumkan hadis tersebut.71
Kemudian terdapat pula
hadis yang dalam al-Muwatta’ dicatat dengan sanad mursal, tapi dalam dua
generasi berikutnya yaitu dalam ṣaḥiḥ al-Bukharī, hadis tersebut dicatat dengan
sanad yang lengkap sampai Nabi. Ini membuktikan bahwa hadis tersebut telah
dipalsukan.72
Dan berikut ini adalah contoh diagram Teori Common Link
Schacht.73
Kenyataan bahwa pada masa al-Khulafā’ al-Rāshidūn, para khalifah tidak
pernah menunjuk qaḍi (hakim), dan baru pada masa Bani Umayyah para khalifah
dan Gubernur melakukan hal ini sebagai langkah penting dalam pelaksanaan hukum
Islam, dia berargumen dengan adanya hadis-hadis hukum yang mundur sampai
tahun 100 hijriah, yang muncul dari praktek populer Bani Umayyah dan hampir
tidak ada sebelum itu.74
Selanjutnya kesimpulanya yang berdasarkan penelitian
pada al-Muwaṭṭa’ imam Malik, Schacht menyimpulkan bahwa al-Zuhrī adalah
orang yang telah dituduh melakukan banyak pemalsuan hadis dan namanya sering
dimasukkan dalam sanad hadis yang belum eksis pada zamannya, sehingga hadis
tersebut dianggap sebagai pernyataan yang dibuat-buat. Menurut Schacht
70Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 140-141; Kamaruddin Amin,
Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Ḥadīth, 174. 71
Schacht, ‚A Revaluation of Islamic Tradition‛, Journal of The Royal Asiatic Society (1949), 151; Jonathan Brown, ‚Critical rigor vs juridical pragmatism, how legal
theoritists and ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in the genre of ‘ilal al-
Ḥadīth‛, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV, 2007 ), 4-5. 72
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence , 165-166. 73
Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 72; Jonathan A.C. Brown,
Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 211. 74
Schacht, An Introduction to Islamic Law, 23-27.
33
periwayatan al-Zuhrī yang dibuat-buat ini dapat ditemukan dalam ulasan al-
Shaybanī terhadap kitab al-Muwaṭṭa’, dalam al-Risālah karya al-Shāfi’ī, dan dalam
Mudawwanah karya Saḥnūn.75
Intinya Schacht sependapat dengan Goldziher
bahwa al-Zuhrī adalah seorang pembuat hadis palsu dan dia meragukan hubungan
murid-guru antara Malik dengan al-Zuhrī.
Musṭafa Az}ami telah mengkritik temuan Schacht secara khusus dalam
bukunya ‚On Schacht Origin of Muhammadan Jurisprudence‛. Dalam bukunya ini
Az}ami membantah semua temuan Schacht dalam masalah konsep awal sunnah,
otoritas sunnah dalam madhhab fiqih, teori projection back, perkembangan hadis
hukum, dan teori sistem sanad Schacht. Salah satu contoh untuk menguatkan
argumen Schacht mengenai teori Projection back adalah penisbatan tindakan Ibn
Mas’ud sebagai tindakan Nabi. Menurut ‘Az}ami dalam hal ini Schacht salah dalam
memahami teks dan terlalu berlebih-lebihan. Kemudian tuduhan projection back
oleh ahli suriah dan Irak menurut ‘Az}ami tuduhan itu tidak mendasar dan nyaris
tidak ada sangkut pautnya dengan klaimnya.76
Argumen yang diberikan ‘Az}ami menurut para sarjana hadis masih kurang
sempurna atau belum paripurna,77
dan tidak memberikan pengaruh pada pemikiran
sarjana Barat maupun timur yang mengikuti konsep Common Link Schacht.
Sedangkan sanggahan paling signifikan baru dapat dilakukan oleh Harald Motzki.78
Berbeda dengan mereka yang menganggap bahwa Common Link adalah seorang
pemalsu, Motzki menyatakan bahwa Common Link adalah seorang kolektor hadis
sistematis pertama yang meriwayatkan kepada muridnya secara umum, atau
seorang guru professional yang memiliki pengetahuan tentang orang-orang yang
hidup pada abad pertama.79
Motzki juga mengatakan bahwa prosedur e Silentio
Schacht tidak dapat dipertahankan karena menggunakan bukti yang meragukan.80
Motzki mengkritik temuan Schacht mengenai al-Zuhrī dengan mengatakan
bahwa sumber yang digunakan Schacht kurang tepat untuk dapat menilai al-Zuhrī,
karena selain al-Muwaṭṭa’ sebenarnya ada kitab lain yang dapat digunakan untuk
merekonstruksi doktrin al-Zuhrī, dan dari sumber-sumber yang lebih awal tersebut
menunjukkan bahwa jumlah teks yang dapat dihubungkan pada al-Zuhrī adalah
lebih besar dari perhatian Schacht. Motzki melanjutkan bahwa dengan
75Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence , 246; Harald Motzki dkk,
Analysing Muslim Traditions (BRILL NV), 1. 76
M. Mustafa al-’Az}ami>, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Lahore: Suhail Academi, 2004), 106-108. 77
Muhammad Idris Mas’udi, Kritik atas ‘Proyek Kritik Hadis Joseph Schacht’, 4;
Juynboll mengatakan bahwa Azami tidak mengemukakan bukti yang kuat dalam
argumennya. Lihat dalam G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 18. 78
Kamaruddin Amin, Muslim Western Scholarship Of Ḥadīth And Western Scholar
Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to Ḥadīth Scholarship, 256. 79
Harald Motzki, Analysing Muslim Traditions: Studies in Legal, Exegetical and Maghzi Ḥadīth (Laiden : Brill, 2010), 51.
80Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the
Classical Schools, trans. Marion H. Katz, Islamic History and Civilization: Studies and
Texts (Leiden: E. J. Brill, 2002) , 21-22.
34
membandingkan teks al-Zuhrī yang terpelihara dalam sumber yang lebih awal
mengarahkan pada kesimpulan bahwa pengajaran hukum al-Zuhrī tidak hanya
terdiri dari ra’yu (pendapat) semata, tapi di dalamnya temuat bagian hadis penting
tentang pendapat hukum dan praktek generasi Muslim terdahulu; tabi’in, sahabat,
dan Nabi Muhammad SAW. Dan berdasarkan Pada teks hukum yang diriwayatkan
murid-murid al-Zuhrī dalam kitab-kitab kompilasi mereka, gambaran detail putusan
hukumnya dapat dijelaskan. Dan lebih dari itu, perkembangan hukum Islam yang
tercapai di perempat pertama abad kedua Hijriah dan sejak abad pertama tersebut
sekarang dapat dilakukan beberapa rekonstruksi.81
Syamsuddin Arif, juga mengkritik Argumentum e Silentio Schacht dengan
menyatakan bahwa Satu kesalahan yang paling menonjol dalam metodologi
Schacht, adalah seringnya dia menarik sebuah kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio, yaitu alasan ketiadaan bukti. Sedangkan tidak ada, atau belum
menemukan bukti yang mendukung hipotesa, belum tentu dan tidak mesti berarti
bukti itu tidak ada. Sebab tidak adanya bukti tidak harus bergantung pada
penelitiannya, ketiadaan bukti bukanlah bukti ketiadaan. Bisa jadi, bukti itu ada,
tetapi belum diketahui keberadaannya.82
John Esposito dari Georgetown University juga mengkritisi pendapat
Schacht dan mengatakan bahwa menerima pendapat Schacht tentang hadis yang ia
teliti, tidaklah otomatis berlaku pada semua hadis. Sekalipun terjadi perbedaan
pendapat mengenai rantai sanad, tapi tidak mesti mengurangi autentisitas isi hadis
itu dan rekaman sejarah awal Islam serta perkembangan kepercayaan dan praktek
agama dalam Islam.83
Teori Schacht ini sangat berpengaruh pada perkembangan kritik hadis.
Gibb menyatakan Teori Projecting Back yang dikembangkan oleh Joseph Schacht,
suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di seluruh dunia,
setidaknya di dunia Barat.84
Dan Juynboll adalah salah seorang yang
mengembangkan dan memperhalus teori Common Link dan single strand milik
Schacht sebagaimana dia akui dalam bukunya.85
Dalam bukunya Muslim Tradition, GHA. Juynboll mengatakan bahwa ia
terpengaruh oleh buku Goldziher dan Schacht.86
Dia memulai dengan mencari bukti
pertama mengenai hadis autentik, mulai kapan, dan siapa yang bertanggung jawab
atasnya. Dia mempertanyakan kesimpulan kritikus hadis muslim bahwa orang
pertama yang memeriksa informan hadis adalah ‘Umar bin al-Khattab dan Ali bin
81
Harald Motzki, Resume Analysing Muslim Traditions: Studies in Legal, Exegetical and Maghzi Ḥadīth (Laiden : Brill, 2010), 46
82Samsudin Arif, ‚Gugatan Orientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya Di Dunia Islam
‚ jurnal al-Insan no.2 vol.I, 2005. 83
J. Esposito, Islām: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 1998), 81. 84
H.A.R.Gibb, Journal Of Comparative Legislation and International Law 85
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions, 3; Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna,
Kritik Terhadap Metode Kajian Sanad , 73 ; Kamaruddin Amin, ‚Nāṣiruddīn al-Albānī on
Muslim's Ṣaḥīḥ: A Critical Study of His Method‛, Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 2
(2004), 152. 86
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions, 1.
35
Abi Ṭalib, tapi para sarjana belakangan mengatakan bahwa pertama kali
penggunaan isnad adalah sejak terjadinya fitnah, yaitu terbunuhnya khalifah
‘Uthman, tapi Juynboll lebih meyakini pendapat J.Van Ess bahwa fitnah ini adalah
peperangan antara bani Umayyah dengan Abdullah bin Zubair, dia mengutip
perkataan Imam Malik bahwa yang pertama menggunakan isnad adalah Ibn Shihab
al-Zuhrī,87
karena itu Juynboll menyimpulkan bahwa sebelum masa al-Zuhrī,
penyebaran hadis tidak menggunakan isnad.88
Selanjutnya Juynboll meneliti kitab ‚Tuḥfah al-Ashrāf bi ma’rifah al-Aṭrāf‛ karya al-Mizzī (w.742 H) sebagai rujukan utama untuk meneliti sanad,
kajiannya terhadap sanad hadis dapat dikelompokkan pada dua kategori, pertama,
kritik terhadap konsep dan metode analisis sanad yang dikembangkan umat Islam,
kedua, membuat metode analisis sanad yang baru sebagai alternatif. Juynboll
menyimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh umat Islam dalam meneliti
sanad adalah metode yang lemah, dan perlu rancangan metode analisis sanad baru
untuk menyelidiki kemunculan matan hadis. Metode alternatif yang ditawarkan
Juynboll bertujuan untuk menyelidiki siapa orang yang pertama kali menyebarkan
matan tersebut, kapan matan tersebut mulai diriwayatkan, dan di mana matan
tersebut muncul dan diriwayatkan untuk pertama kali.89
Aplikasinya dilakukan
dengan tahapan langkah sebagai berikut:
1. Membuat konstruksi bundel isnad:90
Membuat skema yang
menggambarkan jalur-jalur sanad yang mendukung matan hadis yang
diteliti dengan cara Pertama : mencari matan hadis dalam kitab-kitab hadis,
Kedua: mencatat jalur-jalur sanad, Ketiga: sanad-sanad dari semua kitab
digabung menjadi satu sehingga membentuk gambar jaringan sanad yang
menggambarkan perjalanan periwayatan matan hadis dari Rasulullah
sampai Ulama pengumpul hadis. Jaringan sanad inilah yang akan dijadikan
ruang lingkup analisis.
2. Analisis sanad: tujuannya adalah untuk mengetahui siapa yang pertama kali
membuat matan hadis kemudian membaginya ke dalam dua kelompok.
Pertama jalur sanad yang dapat diterima, Kedua jalur sanad yang tidak bisa
diterima dengan istilah-istilah sebagai berikut:91
a. Common Link yaitu: perawi ketiga atau keempat yang mempunyai
murid lebih dari satu, murid Common Link disebut partial Common Link. Jika dari Rasulullah hingga perawi ketiga atau keempat berupa
87
Ibn Abī Ḥātim, Taqdimat al-Ma’fah li-Kitab al-Jarh wa al-Ta’dīl, 20 88
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions, 17-19. 89
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions, 70-76. 90
Lihat G.H.A. Juynboll ( 1989), "Some Isnad-Analytical Methods illustrated on the
Basis of Several Woman-Demeaning Sayings from Ḥadīth Literature." al-Qantara. vol. X.
345-350; , 157. 91
G.H.A. Juynboll ( 1993). "Nafi', the Mawla of Ibn 'Umar, and His Position in
Muslim Ḥadīth Literature", Der Islam, vol. LXX, 207-216; (1994), "Early Islamic Society
as Reflected in Its Use of Isnads ", Le Museon, vol. CVII, 151-159; (2001), "(Re) Apraisal
of Some Technical Term in Ḥadīth Science", Islamic Law and Society, vol. 8, 304-319; A.
Kevin Reinhart, Terms, Abbreviations, Axioms found in the work of GHA Juynboll, 1-6.
36
single strand maka hadis tersebut dinilai palsu dan orang yang menjadi
Common Link hadis tersebut adalah orang yang membuat hadis dan
bukanlah Rasulullah SAW. Menurut Juynboll para sahabat tidak ada
yang menjadi Common Link, mayoritas sahabat hanya punya 1 murid
ketika meriwayatkan hadis, dan jika mempunyai 2 murid atau lebih
muridnya tidak memenuhi syarat sebagai partial Common Link.
b. Single strand : jalur sanad dari Rasulullah hingga perawi ketiga atau
keempat yang bersifat tunggal. Menurut Juynboll periwayatan
semacam ini dinilai palsu dan tidak dapat diterima, dan dia
menyimpulkan bahwa yang memalsukan matan adalah ulama penyusun
kitab hadis atau gurunya.
c. Seeming Common Link : jika seorang perawi mempunya dua murid
atau lebih, tapi murid-muridnya hanya mempunyai 1 murid saja.
Menurut Juynboll pemalsu hadis dalam kasus semacam ini adalah
penyusun kitab kanonik atau gurunya.
d. Diving : murid seorang Common Link yang tidak memenuhi syarat
partial Common Link atau dia adalah seeming Common Link
e. Spider : apabila konstruksi bundel isnad ada seorang perawi yang
sudah memenuhi syarat sebagai Common Link, namun terdapat pula
dalam bundel tersebut jalur sanad single strand yang tidak melewati
Common Link tapi hanya melewati orang yang semasa dengan
Common Link yang mendapat riwayat dari guru Common Link, atau
melewati sahabat yang lain maka disebut spider. Dalam ilmu hadis,
sanad ini jika melewati sahabat yang lain maka disebut shawaāhid, dan
jika melewati generasi setelah sahabat maka dinamakan mutābi’āt. Juynboll menilai bahwa sanad single strand bentuk spider tidak
historis, dan yang bertanggung jawab atas terjadinya sanad ini adalah
penyusun kitab hadis atau gurunya, mereka meniru matan yang dibuat
oleh Common Link dan membuat jalur sanad baru karena motif-motif
tertentu. Pemalsuan hadis dan sanad ini dituduhkan kepada Common Link.
3. Analisis motif perkembangan sanad serta matan dengan Mencari perawi
yang bertanggung jawab atas matan hadis yang biasanya diambil dari
pendapat pribadi atau tradisi yang berkembang pada masa perawi yang
membuat matan. Untuk memperkuat dugaan ini maka perlu
membandingkan kandungan matan hadis yang dikaji dengan data-data asli
yang ada pada masa perawi yang diduga melakukan pemalsuan, dan motif
penisbatan matan tersebut kepada Rasulullah, adalah untuk memperkuat
otoritas matan saja, dimana sebenarnya matan tersebut muncul pada masa
perawi.92
Setelah mengaplikasikan metode ini dan mengamati struktur sanad dalam
kutub sittah menggunakan metode yang dibangun diatas prinsip-prinsip dasar kritik
92
Lihat juga dalam Schoeler, ‚Character and Authenticity of the Muslim Tradition on the Life of Muḥammad,‛ 360–61.
37
teks historis-filologis,93
Juynboll menyimpulkan bahwa sebagian besar sanad dalam
kutub sittah adalah berbentuk ‚single strand‛, sebagian lagi adalah gabungan
‚single strand‛ yang membentuk ‚seeming Common Link‛ dan ‚spider‛ yang tidak
mempunyai ‚partial Common Link‛,94 dan jumlahnya ribuan, sedangkan yang
mempunyai ‚Common Link‛ serta didukung oleh ‚partial Common Link‛ jumlahnya hanya ratusan,
95 sehingga sanad-sanad tersebut tidak dapat dianggap
asli.96
Selain itu, predikat ‚common link‛ juga tidak ditemukan pada sahabat,
bahkan tabi’in, tapi hanya pada dua generasi dibawah tabi’in, oleh karena itu jalur
tunggal diatas ‚common link‛ yang merupakan seorang yang hidup dua generasi di
atas tabi’in dianggap sebagai jalur palsu.97
Juynboll mengatakan bahwa istilah
Common Link adalah sama dengan istilah Mada>r, sedangkan istilah mutaba’āt dan
shawāhīd sama dengan diving.98
Juynboll telah mengembangkan teori sanad dengan metodenya sendiri dan
membuat ketetapan bahwa suatu hadis dapat dianggap memiliki nilai sejarah
apabila diriwayatkan oleh seorang ‚common link‛, dan dialah orang yang
bertanggung jawab atas beredarnya suatu hadis, atau dalam kata lain, hadis yang
tersebar hingga saat ini adalah buatannya sendiri.99
Istilah ‚common link‛ adalah
sebutan untuk seseorang yang memiliki minimal dua orang murid berpredikat
‚partial ‚common link‛, sedangkan seorang ‚partial ‚common link‛ adalah murid
dari ‚common link‛ yang memiliki dua murid atau lebih. Sedangkan jika seorang
perawi mempunyai dua murid atau lebih, tapi murid-muridnya hanya mempunyai
satu murid saja, alias tidak memenuhi syarat sebagai ‚partial ‚common link‛, maka
perawi itu disebut dengan ‚seeming ‚common link‛.100
Berikut contoh teori
common link Juynboll.101
93
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007), 115.
94 GH.A Juynboll, ‚(Re) Appraisal of Some Technical Terms in Ḥadīth Science‛.
lslamic Law and Society, vol. 8, (2001) 306 95
Juynboll, ‚Nafi’‛ The Mawla of Ibn ‘Umar , and his position in Muslim Hadith
Literature, ‚ Der Islam 70, (1993), 216 96
Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, Kritik Terhadap Metode Kajian Sanad
Gha Juynboll, 88. 97
Juynboll, ‚Nafi’‛ The Mawla of Ibn ‘Umar , and his position in Muslim Hadith
Literature, ‚ Der Islam 70, (1993), 210; Motzki, Analysing Muslim Traditon, 50 98
GH.A Juynboll (2001), (Re) Appraisal of Some Technical, 303. 99
Halit Ozkan, ‚The Common Link and Its Relation to The Mada>r‛, Islamic Law and Society. vol. II. no. I. 2004. 47.
100 Juynboll, ‚ (Re)Appraisal of Some Technical Terms in Ḥadīth Science‛, 305-306;
Kamaruddin Amin, Isnad Cum Matn Analysis in Search of a New Metodology (Jakarta:
Pustaka Mapan, 2008), 41. 101
Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 214.
38
Selain kesimpulan di atas, kesimpulan Juynboll lainnya adalah klaim bahwa
semua hadis dengan sanad Nāfi’ dari Ibn ‘Umar yang terdapat dalam koleksi kitab
kanonik dan memiliki kedudukan sangat tinggi di kalangan umat Islam, sebenarnya
tidak kembali kepada Nafi’, tapi hanya sampai pada Malik bin Anas. Kesimpulan
itu didasarkan pada sedikitnya orang yang mengenal Nafi’ dan berita yang ada
cenderung kontradiktif, biografinya dalam kitab Ṭabaqat102 sangat jarang
ditemukan serta terdapat kesenjangan antara jarak umur Nafi’ dengan Malik.103
Dan
lebih jauh lagi Juynboll percaya bahwa semua hadis Nafi’ dari Ibn ‘Umar yang
disebarkan oleh murid-muridnya selain Malik juga palsu dan merupakan hasil
buatan penyusun kitab kanonik atau oleh guru mereka, Juynboll juga menyatakan
bahwa s}ah}ifah keluarga semuanya palsu.
Juynboll juga mengkritisi riwayat Sa’i>d bin al-Musayyab yang
diriwayatkan al-Zuhri adalah palsu, karena kredibilitas Sa’i>d yang banyak
meriwayatkan hadis mursal sehingga memunculkan asumsi bahwa dia membuat
hadis itu sendiri untuk menyelesaikan persoalan dalam bab fiqih, akan tetapi dalam
kenyatannya, hadis-hadis mursal riwayat Said bin al-Musayyab tersebut menurut
102
Juynboll menyimpulkan dari hasil penelusurannya terhadap T}abaqa>t Ibn Sa’ad,
Tarih} al-Kabir al-Bukhari, Kamus Ibn Abi H}atim, Tahdhib al-Tahdhib dan Lisan al-Mi>zan
Ibn Hajar. 103
Juynboll, ‚Nāfiʿ, the Mawlā of Ibn ʿUmar, and His Position in Muslim Ḥadīth Literature," diterbitkan dalam Jurnal Der Islam,vol 70. lahun 1993‛ 217; Harald Motzki,
Resume Analysing Muslim Traditions: Studies in Legal, Exegetical and Maghzi Ḥadīth (Laiden : Brill, 2010), 61.
39
juynboll telah memiliki sanad yang sempurna dalam kitab kanonik.104
Yang mana
hal ini menguatkan argumen pembuatan sanad palsu oleh para penyusun kutub sittah.
Perkembangan berikutnya Juynboll menyusun buku ‚Encyclopedia of Canonical Hadith‛ dimana hadis-hadisnya disusun berdasarkan Common Link yang
menyebarkan hadis, buku tersebut di review oleh Mohammed Hocine Benkheira.
Metodologi penelitian Juynboll ini juga sangat mempengaruhi penelitian sarjana
Barat berikutnya. Michel Cook dan Herbert Beg sama-sama terpengaruh oleh
Juynboll dalam kritik sanad, sedangkan Harald Motzki dan Gregor Schoeler
terpengaruh dalam kritik matan.105
Menurut Ali Masrur, pendapat-pendapat Juynboll itu keliru dan tidak
mendasar.106
Jalur-jalur tunggal tidak begitu saja dapat diabaikan, akan tetapi yang
juga harus diperhatikan bagi peneliti adalah jarak antara masa hidup seorang murid
dengan gurunya, dan selanjutnya mencari bukti-bukti kemungkinan
perjumpaanya.107
Hal senada juga dinyatakan oleh Kamaruddin Amin bahwa
Juynboll terlalu membesar-besarkan penolakan terhadap hadis āḥād dan hal itu
tidak bisa diterima karena generalisasi yang diaplikasikannya tidak tepat.108
Dengan pendekatan ilmu hadis, Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna
mengkritik Juynboll dengan mengatakan bahwa teori Juynboll itu, sebenarnya
bertujuan untuk menolak hadis āḥād kategori Gharib, dan dia hanya menerima
hadis yang dalam pandangan sarjana muslim disebut sebagai hadis ‘aziz. Dan
sebenarnya pendapat seperti ini adalah sama dengan pendapat sebagian tokoh
mu’tazilah masa lalu yang bertentangan dengan pendapat jumhur ulama’ Islam.109
Jika menurut Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna bahwa dengan teori
single strand, partial common link dan seeming common link, Juynboll ingin
menyatakan bahwa hadis ahad khususnya yang berbentuk gharib tidak dapat
diterima, dan melalui teori common link Juynboll ingin menyatakan bahwa dia
hanya menerima hadis-hadis yang dalam ilmu hadis disebut hadis ‘aziz,110
maka
menurut penulis lebih dari itu, Juynboll ingin mengatakan bahwa seluruh hadis
Nabi tidak ada yang bisa dianggap asli berasal dari Nabi, karena dengan
menerapkan teorinya tersebut dalam penelitian hadis, maka akan ditemukan bahwa
mayoritas ‚common link‛ adalah para tabi’in abad kedua hijriah atau akhir abad
104
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions, 15-16. 105
A. Kevin Reinhart, ‚The Big Bang, and H adi th Study in the Twenty First
Century‛, Journal of the American Oriental Society 130.3, 426. 106
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll , 266. 107
Harald Motzki, The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: on the Origin and Reliability of some Maghazi-Reports‛, in: idem (Ed.), The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources (Leiden, 2000), 190.
108Kamaruddin Amin, Isnad Cum Matn Analysis in Search of A New Methodolog
(Pustaka Mapan Jakarta, 2008), 304. 109
Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, Kritik Terhadap Metode Kajian Sanad
Juynboll, Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Ḥadīth vol. 5 ( Mei 2007)92-95. 110
Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, ‚Kritik Terhadap Metode Kajian
Sanad Gha Juynboll: Tumpuan Terhadap Teori Common Link Dan Single Strand‛, , 89.
40
pertama,111
dengan demikian maka hadis-hadis itu baru muncul pada abad tersebut
dan tidak pernah disampaikan oleh Nabi.
Lebih jauh Fauzi dan Arif mengungkapkan argumen diterimanya hadis
Gharib dikalangan umat Islam dengan alasan sebagai berikut: pertama, Kegiatan
Rasulullah SAW, di dalam rumah tidak mungkin diketahui oleh semua sahabat, dan
terkadang hanya diketahui oleh pembantunya saja, dan kegiatan yang berkenaan
dengan hubungan suami istri hanya diketahui oleh istrinya saja, oleh karena itu
biasanya hal semacam ini hanya diriwayatkan oleh seorang saja seperti Anas bin
Malik atau ‘Aishah saja, dan sangat tidak adil jika riwayat semacam ini ditolak
hanya karena tidak ada perawi lain yang mendukungnya.112
Kedua, Terkadang
kegiatan Rasulullah SAW, hanya diketahui oleh seorang sahabat saja seperti ketika
beliau menginap di rumah Abu Ayyub al-Anṣari, maka periwayatn Abu Ayyub
tidak bisa ditolak oleh sahabat lain hanya karena ia meriwayatkan sendiri. Ketiga, Rasulullah sering mengirim utusan untuk berdakwah, ajaran beliau hanya
disampaikan oleh seorang kepada penduduk suatu kampung dan kategori hadisnya
adalah gharib, yang semacam ini juga tidak bisa ditolak, karena orang satu
kampung yang menjadi tujuan hanya menjadi murid satu sahabat yang diutus itu
saja.113
Keempat, Banyak utusan dari daerah yang dikirim untuk belajar kepada
Rasulullah di Madinah, terkadang jumlah mereka hanya satu dan ketika pulang
menyampaikan kepada kaumnya, maka hadis mereka juga gharib, tapi informasinya
tidak ditolak oleh kaumnya hanya karena ia meriwayatkan seorang diri.114
Sanggahan lain datang dari Harald Motzki yang dalam investigasinya
menyatakan bahwa kesimpulan utama kajian Juynboll mengenai Nāfi’ tidak dapat
dipertahankan, Dengan menggunakan contoh Juynboll yaitu mengambil hadis
tentang sadaqah sebagai pengganti puasa Motzki menyimpulkan bahwa tidak ada
keraguan bahwa hadis itu bersumber dari Nafi’dan bukan buatan Malik atau
diedarkan pertama kali oleh Malik. analisis isnad cum matan yang dia gunakan
pada hadis zakat fitrah berhasil menunjukkan bahwa mayoritas versi hadis ini
sungguh-sungguh kembali kepada murid-murid Nafi’ yang disebutkan dalam sanad
masing-masing. Klaim bahwa versi-versi ini telah di perbaiki dan dirumuskan
setelah model matan Malik, ternyata terbukti tidak dapat dipertahankan.115
Selanjutnya Motzki menyatakan bahwa Juynboll dalam artikelnya tentang Nafi’
telah melakukan generalisasi yang tidak dibatasi pada contoh yang di analisis yaitu
111
Halit Ozkan, ‚The Common Link and Its Relation to The Mada>r‛, 47; Juynboll,
‚ (Re)Appraisal of Some Technical Terms in Ḥadīth Science‛, 306; Na>fi’ the mawla of Ibn
‘Umar, 210. 112
‘Abd al-Mawjūd 'Abd al-Laṭīf , al-Sunnah al-Nabawiyyah bayn Du’āt al-Fitnah wa Ad’iyā’ al-‘Ilm (Kairo, Dār al-Ṭibā’ah al-Muhammadiyyah, 1990), 119-120.
113‘Abd al-Ghanī 'Abd al-Khāliq, Hujjiyyah al-Sunnah,c. 2 (Mansūrah: Dār al-Wafa',
1993), 419.; M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits ( Jakarta : Bulan
Bintang, 1973), 12-18. 114
‘Abd al-‘Aziz b. Rāshid, Radd Shubuhāt al-Ilhād ‘an Aḥadīth al-āḥād wa al-Tawātur ‘inda Ahl al-Kalām, c.2 (Bairut: al-Maktab al-Islāmī, 1981), 43-44.
115Harald Motzki, Resume Analysing Muslim Traditions: Studies in Legal,
Exegetical and Maghzi Ḥadīth, 122.
41
hadis zakat fitrah, tapi secara menyeluruh untuk hadis Nafi’ dari Ibn Umar. Dan
Motzki dapat membuktikan kesalahan kesimpulan Juynboll paling tidak dalam satu
kasus, juga untuk menyangkal pernyataan-pernyataan umumnya. Jadi kesalahan
Juynboll, yaitu memperhitungkan kesimpulan umum dari satu atau sedikit kasus.
Intinya Motzki memiliki keragu-raguan atas kesimpulan Juynboll karena
pertama, Menurut metodologi Juynboll, dasar untuk penafsiran bundel isnad
hanyalah hadis yang terjalin dalam jaringan (atau yang melalui jalur partial
Common Link) yang dapat diterima memiliki nilai kesejarahan sedangkan Jalur
tunggal dan spider harus dipertimbangkan sebagai sanad fiktif yang harus
dikeluarkan dari berbagai penelitian hadis autentik. Menurut Motzki metodologi ini
tidak dapat dibenarkan. Karena pandangan pokok ini akan menghukumi mayoritas
sumber Islam awal sebagai tidak autentik dan meletakkannya diluar batas kajian
ahli sejarah. Sebagaimana keraguan Juynboll untuk kesejarahan Nāfi' adalah
dipelihara oleh keyakinannya bahwa Nāfi' hanyalah seeming Common Link dalam
bundel isnad. Kedua, kesimpulan Juynboll tentang hadis Nāfi' adalah berdasarkan
analisis isnad yang sebagian besar terbatas pada kondisi dalam koleksi kitab Hadis
kanonik. Menurut Motzki ini hanya mewakili sebagian dari sumber dan tidak
memberikan dasar memadai untuk pernyataan pasti, terutama yang bersifat
generalisasi. Jika hasilnya didasarkan atas dasar ini saja, maka setidaknya harus
diuji dan dikoreksi terhadap materi dalam hadis pra-kanonik dan jika mungkin,
dalam koleksi "post-kanonik" juga. Ketiga, Analisis isnad murni yang telah
diterapkan Juynboll dalam artikelnya mengenai Nāfi' kurang memanfaatkan semua
kemungkinan yang bisa diperoleh melalui investigasi dari tradisi tekstual. Juynboll
hanya menggunakan sumber biografi eksklusif untuk memverifikasi hipotesisnya.
Dia melewati semua informasi yang mungkin bertentangan dengan itu dan
menafsirkan semua informasi yang ia gunakan dalam satu arah saja. Tentu saja, dia
tidak cukup untuk mempertanyakan apakah interpretasi lain mungkin juga bisa
terjadi.116
Sementara itu kesimpulan Calder tentang munculnya hukum Islam pada
abad ketiga hijriah mendapat tantangan dan dianggap salah oleh Harald Motzki
juga dalam karyanya yang berjudul ‚The Prophet and the Cat‛. 117
Patricia Crone mengikuti orientalis pendahulunya dalam kesimpulan bahwa
tidak ada hadis yang autentik,118
dia mengambil contoh hadis yang dianggap
autentik oleh orientalis lainnya yaitu ‚piagam madinah‛ dan berdasar pada argumen
e-silentio Schacht dan Juynboll, Crone menyimpulkan bahwa piagam madinah itu
palsu dan tidak pernah terjadi.119
Pendapat Crone ditentang oleh David S. Powers, dalam artikelnya On bequests in early Islamic Law, David menguji hadis yang menjelaskan bahwa
116
Harald Motzki, Resume Analysing Muslim Traditions: Studies in Legal, Exegetical and Maghzi Ḥadīth, 123-124.
117Harald Motzki, ‚The Prophet and the Cat: on Dating Mālik’s Muwat t aʾ and Legal
Traditions‛, 22-23. 118
Kamaruddin Amin, ‚Nāṣiruddīn al-Albānī on Muslim's Ṣaḥīḥ”, Islamic Law and Society, 152.
119Patricia Crone, Roman, Provincial and Islamic Law, 33
42
Rasulullah berbicara pada Sa’ad bin Abi Waqqās bahwa dia hanya boleh berwasiat
1/3 hartanya untuk putrinya. Setelah menguji sanad dan matan hadis tersebut David
menyatakan bahwa hadis tersebut kembali kepada Sa’ad, dengan demikian berarti
hadis tersebut autentik, dan pernyataan Crone tentang tidak adanya hadis autentik
adalah kesalahan karena terlalu percaya diri.120
Sarjana Barat berikutnya yang menggeluti hadis adalah Harald Motzki
yang melakukan penelitian terhadap kitab Mushannaf ‘Abd al-Razzāq al-Shan’ānī.121 Dalam bukunya yang berjudul ‚The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools‛, dia mengawali perkembangan skeptis
terhadap hadis dengan mengetengahkan beberapa sarjana, tapi fokusnya adalah
pada Joseph Schacht.122
Dalam bukunya tersebut, Ia membuat istilah analisis isnād cum matn, yaitu metode penanggalan hadis dengan meneliti sanad dan matannya
yang mampu memberi penanggalan hadis lebih awal yaitu sampai pada masa
sahabat.123
Motzki meneliti 3810 hadis dan mengambil 4 tokoh sumber dari hadis
riwayat ‘Abd al-Razzaq. Mereka adalah Ma’mar, Ibn Juraij, Sufya>n al-Thawri, dan
Ibn Uyainah.124
Kalkulasi sumber periwayatan itu adalah bahwa ‘Abd al-Razzaq
meriwayatkan materinya dari Ma’mar sekitar 32 %, dari Ibn Juraij 29 %, dari al-
Thawri 22 %, dan dari Ibn Uyainah 4 %. Sisanya sekitar 13 % berasal dari 90
perawi lain yang merupakan tokoh-tokoh berbeda. Setelah meneliti kitab tersebut
Motzki menyimpulkan bahwa muṣannaf Abd al-Razza>q berisi hadis-hadis autentik,
karena dia terlihat jujur ketika mengkritik riwayat yang dia terima dari atha’
gurunya sendiri.125
Dengan mengikuti kesimpulan Motzki, maka penulis
menyimpulkan bahwa riwayat para ulama’ hadis juga bisa dinyatakan autentik
ketika mereka memberi penjelasan bahwa sebuah hadis disebut mauquf, maqtu’
ataupun mursal, sebab jika mereka mau dan berniat memalsukan sebuah riwayat
guna menguatkan pendirian mereka, niscaya semua hadis akan mereka sandarkan
kepada Nabi agar terlihat memiliki otoritas yang kuat.
Dengan yakin Motzki mengatakan bahwa masih banyak yang harus
dipelajari oleh sarjana Barat tentang hadis dan isnād, dan bahkan dia sanggup
menemukan hadis dan hukum fiqih autentik dengan menggunakan metodologi isnād
120David S. Powers, ‚On bequests in early Islam, 199-200. 121
Kamaruddin Amin, ‚Book Review: The Origns of Islamic Jurispundence Meccan
Fiqh Before the Classical Schools‛, al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 41, 2003, 1. 122
Herbert Berg Review: Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the ClassicalSchools, trans. Marion H. Katz, Islamic History and
Civilization: Studies and Texts (Leiden:E. J. Brill, 2002). Pp. 343. 123
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence meccan fiqh before the classical school (Leiden: BRILL, 2002), 297 ; Jonathan Brown, Critical rigor vs juridical
pragmatism, how legal theoritists and ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in
the genre of ‘ilal al-Ḥadīth, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV,
2007 ), 1. 124
Harald Motzki, The Origin of Islamic…., 58- 59 ; Kamaruddin Amin, ‚Book
Review : The Origin Of Islamic…, 212-213. 125
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools, trans. Marion H. Katz, Islamic History and Civilization: Studies and
Texts (Leiden: E. J. Brill, 2002) , 72
43
Juynboll.126
Metode Motzki ini dikembangkan oleh seorang sarjana hadis dari
Indonesia yaitu Kamaruddin Amin, yang berhasil menentukan nilai kesejarahan
hadis secara lebih akurat daripada yang dilakukan oleh para peneliti Barat
sebelumnya.127
Kevin Reinhart menyebut bahwa metode kritik Motzki terhadap Juynboll
tidak begitu meyakinkan, dia menganjurkan untuk melihat buku Melchert, ‚The
Early History of Islamic Law,‛ 301–4.128
Dia juga mengatakan bahwa metode yang
Motzki gunakan dan para sarjana lain dalam meneliti hadis adalah pengembangan
dan perluasan dari metode Juynboll.129
Selain Reinhart, Motzki juga dikritik oleh Irene Schneider dalam bukunya
‚Narrativitat und Authentizitat: Die Geschichte vom weisen Propheten, dem dreisten Dieb und dem koranfesten Glaubiger‛ dia menyatakan bahwa penolakan
Motzki terhadap Common Link sebagai pemalsu hadis, menyiratkan bahwa seorang
Common Link telah meriwayatkan riwayatnya secara autentik. Hal demikian
adalah sesuatu yang mustahil, karena meriwayatkan kata-kata Nabi yang pasti
merujuk kepada perawi secara akurat belum dipraktekkan pada masa awal.
menurutnya Motzki telah gagal dalam masalah tersebut.130
Dalam penelitiannya
terhadap variasi periwayatan dimana Zaid bin Aslam sebagai Common Link,
Schneider menyimpulkan bahwa hadis itu baru beredar pada abad pertama di Mesir
dan tidak bisa disandarkan pada masa hidup Nabi di Madinah.131
Bagi Schneider, Common Link sangat logis untuk diasumsikan sebagai
orang yang berperan sentral pada sebuah hadis, mengingat Common Link adalah
orang yang sadar akan kekurangan tersebut dan mulai mengumpulkan riwayat. Dia
menilai bahwa perawi-perawi yang disebutkan oleh Common Link bukanlah
sesuatu yang dibuat-buat adanya.132
Di sinilah kiranya yang menjadi titik
persamaan penilaian antara Schneider dan Motzki,133
meskipun dalam beberapa
permasalahan Schneider mengkritik dan meragukan pandangan Motzki. Schneider
juga meragukan penjelasan Motkzi tentang fenomena jalur tunggal (single strand)
bahwa common link hanya mengutip satu perawi karena dia hanya menerima satu
teks atau menganggap bahwa teks itu yang paling dapat dipercaya, sehingga tidak
126A. Kevin Reinhart, The Big Bang, and H adi th Study in the Twenty First Century,
Journal of the American Oriental Society, 427-8. 127
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis ( Jakarta
Selatan: Hikmah. 2009) 128
A. Kevin Reinhart, ‚The Big Bang, and H adi th Study in the Twenty First
Century‛, Journal of the American Oriental Society, 426. 129
A. Kevin Reinhart, Terms, Abbreviations, Axioms found in the work of GHA
Juynboll, 1-6. 130
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,169. 131
Hilmar Kruger ‚Book Reviewe: The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan
Fiqh before the Classical Schools‛ by Harald Motzki, Islamic Law and Society, Vol. 11, No.
3 (2004), pp. 404-408. 132
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,169. 133
Kamaruddin Amin, Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat (Makasar, UIN Alauddin,
2010), 24.
44
perlu baginya untuk menyebut orang lain lagi guna menguatkan teks hadis tersebut,
atau kemungkinan bahwa orang lain yang memiliki matan tersebut telah meninggal
sebelum menyampaikan kepada muridnya yang lain.134
Keraguan Schneider tersebut dijawab oleh Motzki, dengan pernyataan
bahwa gambaran Schneider dalam beberapa contoh Motzki adalah tidak tepat atau
salah pengertian dengan beberapa alasan:135
Pertama, penghimpun pertama atau
perawi awal, mungkin tidak mengetahui bagaimana praktik periwayatan di
kemudian hari, dan mereka juga tidak mengetahui bahwa generasi selanjutnya akan
membedakan antara periwayatan tunggal dan periwayatan mutawatir. Kedua, dapat
ditunjukkan dari beberapa bundel isnad bahwa pembubuhan beberapa otoritas
untuk hadis yang sama terjadi pada level common link atau lebih belakangan, yaitu
pada level di mana jalur atau saluran-saluran periwayatan menyebar. Akan tetapi
praktek ini adalah pengecualian, dan bukan kebiasaan atau peraturan. Hanyalah
kompilasi-kompilasi abad ketiga hijriah atau setelahnya yang sering, tapi tidak
selamanya, yang melengkapi periwayatannya dengan sejumlah saluran atau jalur
periwayatan.136
Melihat pada karya Motzki, penulis sependapat dengan Kamaruddin Amin
bahwa bahwa Motzki terlihat tidak sepenuhnya membantah pendapat aliran skeptis
tentang common link, sebab, meski ia tidak menerima jika dikatakan common link adalah seorang pemalsu mutlak, namun di sisi lain ia tidak membantah jika adanya
kemungkinan pemalsuan yang dilakukan oleh seorang common link, sehingga
masih membuka peluang penelitian lebih lanjut untuk dapat menetapkan atau
menolak bahwa common link adalah seorang pemalsu hadis.
D. Paradigma Baru dalam Kritik Hadis
Beberapa kritikus hadis modern menganggap bahwa kritik hadis sarjana
muslim klasik hanya mengandalkan pada kritik sanad, dan berpandangan jika suatu
hadis telah ada dalam dua kitab al-Bukhāri dan Muslim, maka tidak perlu diteliti
lagi. Pandangan semacam ini dianggap kurang tepat oleh sarjana modern khususnya
kelompok sarjana Barat. Karenanya mereka mengajukan agar kritik hadis juga
harus melihat matan, dan kitab al-S}ahi>hayn juga perlu diteliti ulang hadis-hadisnya.
Para orientalis mengkritik hadis dari aspek autentisitas dan otoritas,
mereka mengembangkan penelitian sanad yang berbeda dengan kritik sanad dalam
kesarjanaan Islam, karena anggapan adanya sebuah rekayasa untuk meningkatkan
otoritas sebuah hadis yang dilakukan oleh para penghimpun kitab hadis. Namun apa
yang mereka lakukan terkadang berpedoman pada data sejarah yang tidak obyektif
dan tidak dipahami secara benar sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Misalnya,
pemahaman Juynboll yang keliru dalam kata-kata Malik bin Anas ketika
menjelaskan orang yang pertama menggunakan sanad,137
padahal Imam Malik
134
Harald Motzki, Analysing Muslim Traditions, 51. 135
Harald Motzki, Al-Radd ʿAlā l-Radd: Concerning The Method Of H adīth Analysis
(Leiden Boston : BRILL, 2010), 209. 136
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,170. 137
G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions, 18-19.
45
mengucapkan hal itu bertujuan untuk menjelaskan orang yang menggunakan sanad
di daerah Sham. Kronologinya adalah karena pada saat itu para perawi hadis di
daerah tersebut terkesan mutasāhil (menganggap remeh) sanad.138
Seiring dengan kritik orientalis terhadap hadis, maka muncul sebuah
metode baru yang dapat menentukan penanggalan atau mengetahui kapan hadis itu
pertama kali beredar, sehingga diketahui siapa sebenarnya yang telah memalsukan
hadis, apakah benar bahwa hadis itu berasal dari Rasululah ataukah buatan para
ulama’ yang diproyeksikan kepada Nabi. Metode sarjana Barat yang dapat
menguatkan autentisitas hadis adalah isnad cum matan analisis yang pertama kali
dipopulerkan oleh Harald Motzki. Menurut Jonathan Brown, Motzki ini seperti
layaknya figur Ibn Hajar al-Asqalāni dalam penguasaan ilmu hadis.139
Teori Isnad cum matan analysis, adalah metode dengan cara menganalisis
dan menelaah jalur-jalur periwayatan beserta variasi teks hadis. Karakteristik
metode ini adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar
ulama tentangnya. Komentar ulama tentangnya menjadi nomor dua, sedangkan
kualitas perawi ditentukan oleh matan atau teks dari perawi. Pendekatan yang
digunakan Motzki adalah Traditional-Historical, yaitu menganalisis sekaligus
menguji materi-materi dari perawi tertentu.140
Dengan kata lain, pendekatan ini
sering didefinisikan dengan cara menarik sumber-sumber awal dari kompilasi yang
ada yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah dan lebih difokuskan
kepada materi-materi para perawi tertentu daripada hadis - hadis yang terkumpul
pada topik tertentu.141
Langkah-langkah yang dilakukan Motzki dalam metodenya adalah:
Pertama, mengumpulkan semua variasi riwayat dan sanadnya. Kedua, membuat
diagram sanad. Ketiga, mengelompokkan variasi-variasi teks yang memiliki
kemiripan. Keempat, membandingkan kelompok teks dengan kelompok sanad.
Kelima, menarik kesimpulan bentuk teks asli yang disampaikan oleh Common Link.142
Semakin banyak dan panjang variasi teks hadih, maka hasilnya akan makin
meyakinkan. Selanjutnya Motzki menggunakan dua model analisis untuk dasar
argumennya, yang disebut Extrinsic and Intrinsic formal criteria of authenticity,
yaitu External Criteria (kajian sanad) dan Internal Criteria (kajian matan). Dalam
External criteria of authenticity, Motzki membaginya menjadi dua bagian:
Pertama, magnitude, yaitu penelitian atas banyaknya sanad dan penyebarnya.
Kedua, genre (dari segi matan) yaitu penelitian atas gaya atau style penyampaian.
Sedangkan dari segi genre nya, Motzki membaginya menjadi dua kategori, responsa (jawaban atas pertanyaan), seperti ungkapan ‚saya bertanya kepada ‘At}a’
138
Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Makkah: al-Maktabah
al-Tijāriyyah, 1980), 495; Muṣṭafā al-Sibā’ī, al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tashri’ al-Islamī (Bairut: al-Maktab al-Islāmī, 2000), 238.
139Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern
World, 226. 140
Kamaruddin Amin, ‚Book Review: The Origins…, 201-203. 141
Lutfi Rahmatullah, Otentisitas Hadis Dalam Perspektif Harald Motzki . . ., 139. 142
M.Nurdin Zuhri, Otentisitas Hadis Musannaf ‘Abd al-Razaq dalam perspektif Harald Motzki, 53.
46
tentang....‛ dan dicta, yaitu pernyataan yang tidak didahului pertanyaan, baik yang
mengandung pendapat sendiri atau orang lain.143
Berikut gambaran isnad cum
matan analisis Motzki.144
Kamaruddin Amin mengatakan bahwa teori ini bukanlah hal baru, namun
dalam prakteknya metode ini hampir tidak diterapkan dalam kajian hadis.145
Karena
itu, dia telah membandingkan keakuratan metode ilmu hadis klasik dengan metode
yang ditawarkan Motzki. Dari pengujiannya terhadap hadis puasa dan variasi
teksnya serta penelaahan terhadap perawinya dalam kitab-kitab kanonik, hasilnya
menyimpulkan bahwa terdapat penguatan kualitas hadis yang diuji dengan metode
kritik hadis klasik dan diuji dengan isnad cum matan.146
Sekalipun penelitian hadis sarjana muslim klasik juga mengkritisi matan,
tapi kritik matan yang digunakan Motzki berbeda. Analisis yang digunakan bukan
membandingkan isi teks dengan ayat al-Qur’an atau dengan hadis lain, tetapi lebih
jauh lagi, bahasa perawi dan variasi teksnya juga turut diperhitungkan. Dengan
memperhatikan variasi teks dari perawi, dan dengan memperhitungkan pendapat
para ulama dalam kitab sharah, serta kronologi sejarah yang melatarbelakangi
seorang periwayat menyampaikan hadis, diharapkan akan dapat ditentukan
autentisitas suatu hadis dan diketahui historisitasnya. Berdasakan pada temuan
tersebut, maka penulis sepakat bahwa metode analisis sanad dan matan ala Motzki
ini layak digunakan dalam penelitian hadis oleh sarjana Muslim.
143
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadīth,131-132 144
Jonathan A.C. Brown, Ḥadīth: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, 230.
145Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis..., 8.
146Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,189-462.
Nabi
Abu Said al-Khudri Abu Hurairah
Abu Muslim Al-Agharr Abu Salamah
Abu Ishaq al-Sabi’i Abu Abdillah al-Agharr
Ma’mar
Al-Zuhri
Musannaf Abd Razzaq Muwatta’
Matan 1
Matan 2