pendahuluan proposal penelitian
DESCRIPTION
hguiuTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Buah sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu sumber karbohidrat sebagai
bahan substitusi pangan. Karena, didukung oleh kandungan zat gizinya yang sangat
baik.Buah sukun memiliki kandungan mineral dan vitamin yang lengkap dengan nilai
kalori rendah, Buah sukun mengandung asam amino esensial yang tidak diproduksi
oleh tubuh manusia seperti histidin, isoleusin, lisin, methionin, triptofan, dan
valin.Buah sukun sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh sebagai bahan
pangan sumber karbohidrat. Karbohidrat yang dimiliki oleh buah sukun tua bekisar
9,2 gram/buah, 100 gram sukun sama dengan 1/3 karbohidrat beras jika buah sukun
diolah menjadi tepung sukunmaka kandungan karbohidratnya menjadi setara dengan
beras. Dibandingkan dengan jenispangan lainnya seperti jagung, ubikayu, dan
kentang, maka posisi sukunsebagai sumber karbohidrat masih berada di atas dari
komoditas tersebut.
Sejak pemerintah menggalakkan diversifikasi pangan, pemanfaatan buah
sukun sebagai bahan pangan semakin penting.Penganekaragamanprodukbuah sukun
perlu diupayakan lebih luas lagi.Jika dilihat buah sukun bisa diolah lebih
bermanfaat,yaitumenjadi tepung sukun dan pati sukun. Buah sukun juga bisa
dikembangkan lebih lanjut untuk menghasilkan aneka makanan lain yang menarik,
termasuk french fries sukun. Saat inifrench fries berbahan baku kentang dan ubi
jalarmerupakan produk olahan yang digemari oleh masyarakat. Produkfrench fries
sukun belum begitu dikenal sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.Selain itu,
buah sukun juga lumayan murah sehingga sangat potensial untuk dikembangkan.
Produk ini dapat mensubstitusi kentang ataupun ubi jalar dalam pembuatan produk
french fries.
Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan untuk mempelajari potensi
pengembangan buah sukun menjadi french fries,dan juga melihat pengaruh bahan
perendaman dan waktu blancing terhadap kualitas french fries sukun yang
dihasilkan.Masalah utama yang biasa dihadapi pada pembuatan french fries adalah
sangat mudah mengalami perubahan warna terutama terjadinya pencoklatan
(browning), selain itu, teksturnya juga menjadi lembek setelah diolah.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah tekstur yang kurang renyah pada produk
hasil pengolahan dilakukan dengan perendaman dalam larutan kalsium. Biasanya
digunakan garam Ca, seperti kalsium klorida, kalsium sitrat, kalsium laktat, kalsium
sulfat dan kalsium monofosfat. Kalsium klorida (CaCl2) banyak digunakan sebagai
bahan pengeras tekstur (Winarno, 1997).Dalam penelitian ini diperlukan bahan
perendaman yang berguna untuk bahan pengeras yang dapat mempertahankan tekstur
bahan agar tidak menjadi lunak pada waktublancing, dan juga untuk mencegah
terjadinya proses pencoklatan pada bahan. Alasan dilakukannya blancing sebelum
penggorengan yaitu untuk memperbaiki warna produk akhir, mengurangi absorpsi
minyak, dan memperbaiki tekstur produk akhir.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan
french fries berbahan baku sukun dan melihat pengaruh konsentrasi kalsium klorida
(CaCL2) sebagai bahan perendaman sertametode blancing terhadap kualitas dan
kerenyahan french fries sukun yang dihasilkan.
C.Hipotesis
Perbedaan konsentrasikalsium klorida (CaCL2) dan metode blancingdiduga
dapat mempengaruhi kualitas dan kerenyahan french fries yang dihasilkan.
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan bagi
masyarakat dan industri Pengolahan Pangan. Untuk meningkatkan pemanfaatan buah
sukun menjadi produk yang bernilai ekonomis seperti french fries.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Buah Sukun(Artocarpus Altilis)
Buah sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu bahan pangan sumber
karbohidrat di berbagai kepulauan di daerah tropis, terutama di Pasifik dan Asia
Tenggara. Sukun dapat ditanam hampir di segala jenis tanah, dan mampu tumbuh
pada ketinggian 600-1500 m dari permukaan laut. Tanaman sukun (Artocarpus
altilis) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman sukun ini berasal dari
daerah New Guinea pasifik dan kemudian menyebar ke Indonesia (Suyanti et
al,2003).
Buah sukun atau breadfruit yang dalam bahasa latinnya disebut Artocarpus
altilis termasuk dalam genus Artocarpus, family Moraceae, ordo Urticales dan sub
kelas Dicotyledone. Tanaman ini merupakan tanaman tropis sejati yang tumbuh baik
di daerah rendah (Sturrock, 1940). Tinggi pohon sukun bisa mencapai 9-18 meter
dan mulai berbuah setelah sekitar 6 tahun. Tanaman ini dapat memproduksi buah
selama lebih dari 50 tahun. Kulit kayunya licin, berwarna cerah dan diameter
batangnya bisa mencapai 1.2 m. diseluruh bagian dari tanaman ini terdapat getah
(Ragone, 1997). Daunnya memiliki ukuran yang besar, kasar dan panjangnya
mencapai lebih dari 30 cm. Menurut Pitojo (1992), tajuk daun rimbun, bentuk daun
oval panjang dengan belahan daun simetris karena didukung oleh tulang daun yang
menyirip simetris.
Tanaman sukun merupakan salah satu jenis buah-buahan yang potensial
sebagai sumber karbohidrat. Kandungan karbohidrat buah sukunadalah 27%
(Widowati, 2003). Bobot buah sukun rata-rata adalah 1500 g denganbobot daging
buah yang dapat dimakan sekitar 1.350 g (Widowati, 2004).Berarti satu buah sukun
dengan bobot daging 1.350 g mengandung karbohidratsebesar 365 g. Selain itu buah
sukun juga mengandung mineral dan vitamin yang sangatdiperlukan dalam
metabolisme zat gizi. Gambar buah dan tanaman sukun disajikan pada Gambar 1.
(a). Tanaman Sukun (b). Buah Sukun
Sukun sudah lama dikenal masyarakat Indonesia, khususnya Aceh. Namun
pemanfaatannya masih sangat terbatas, biasanya hanya sekedar digoreng, dibuat
keripik, atau direbus sebagai makanan kecil.Buah sukun umumnya dikonsumsi dalam
keadaan matang jika dibuat untuk gorengan, dan untuk pembuatan keripik di gunakan
buah yang masih agak muda. Akan tetapi buah sukun pola respirasinya terjadi
demikian cepat, maka dalamselang beberapa hari buah sukun akan segera menjadi
lunak dan tidak dapatdimakan (Thompson et al., 1974). Pemanfaatan buah sukun saat
ini terus dikembangkan. Bukan hanya sekedar digunakan untuk makanan ringan, akan
tetapi buah sukun bisa diolah menjadi tepung sukun, pasta sukun dan pati sukun. Jika
dilihat dari penggunaanya tentu saja lebih bermanfaat dan bernilai ekonomis.
Buah sukun yang berkualitas baik adalah yang hijau matang, keras, dengan
batang yang tetap utuh, dan bebas dari cacat(seperti cacat, pecah, bonyok dan
kerusakan akibat serangga) dan kebusukan. Keseragaman dari bentuk, ukuran, dan
berat juga penting sebagai faktor kualitas. Daging buah sukun (bagian yang dapat
dimakan) berisi 25-30% (basis berat segar) karbohidrat, separuhnya adalah pati
(Kader, 2002). Kandungan yang dimiliki pada buah sukun maka dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan mineral, vitamin, lemak dan asam amino buah sukunper 100 g bahan.
Mineral Vitamin Lemak Asam aminoKalsium : 17 mg Vitamin C : 29 mg Asam lemak
jenuh : 0,048 gThreonin : 0,052 g
Besi : 0,54 mg Thiamin : 0,11 mg Asam lemak tak jenuh tunggal : 0,034 g
Isoleucine : 0,064 g
Magnesium : 25 mg
Riboflavin : 0,03 mg Asam lemak tak jenuh jamak : 0,066 g
Lysine : 0,037 g
Potasium : 490 mg
Niacin : 0,9 mg Methionine : 0,01 g
Seng : 0,12 mg As Pantothenic : Cystine : 0,009 g
0,457 mgTembaga : 0,084 mg
Vitamin B6 : 0,1 mg Phenylalanine : 0,026 g
Mangan : 0,06 mg
Folate : 14 mg Tyrosine : 0,019 g
Selenium : 0,6 mg
Vitamin A : 40 IU Valine : 0,047 g
Vitamin A RE : 4 mg REVitamin E : 1,12 ATE
Sumber : Widowati (2003)
B. French Fries
French fries adalah hidangan yang dibuat dari potongan-potongan kentang yang
digoreng dalam keadaan terendam didalam minyak panas. Kentang goreng dapat
dikonsumsi sebagai makanan ringan atau sebagai makanan pelengkap menu utama.
Produk ini menjadi terkenal ke seluruh dunia sejak awal tahun 1950-an ketika sebuah
perusahaan menciptakan bahan baku french fries berupa potongan-potongan kentang
yang sudah dikupas dan dibekukan sehingga mempersingkat waktu penyiapan
makanan bagi beberapa restoran.
Kentang goreng memiliki banyak sekali variasi bentuk, tetapi biasanya kentang
beku untuk french fries dipotong memanjang. Kentang goreng dengan potongan yang
agak tebal di sebut “thick-out”, sedangkan potongan bergelombang disebut “curly”
dan kentang yang dipotong mirip kue wafel disebut “waffle-cut”. Kentang goreng dari
kentang yang tidak dikupas dan dibelah-belah saja menjadi potongan yang tebal-tebal
di sebut “potato wedges”.
Menurut Lisinska dan Leszcynski (1989) di dalam Liana (2007), faktor-faktor
yang mempengaruhi mutu frenh fries adalah warna, tekstur, kandungan minyak,
flavor (rasa dan aroma), dan penampakan. Warna french fries yang diinginkan harus
bercahaya, berwarna keemasan tanpa warna coklat (pencoklatan yang berlebih) atau
tanda hitam yang membekas. Tekstur french fries yang diinginkan adalah garing
(crispy) di luar dan bertepung (mealiness)di dalam. Lapisan luar dari french fries
tidak boleh keras, kasar atau lengket, sedangkan bagian dalam bertepung lembut
seperti bubur, dan tanpa adanya pemisahan antara inti dan kulit luar (yang garing)
atau lapisan kulitnya.
Sebelum dikonsumsi biasanya french fries digoreng terlebih dahulu. Menurut
Gaman dan Sherrington (1993), proses penggorengan adalah cara pengolahan yang
cepat karena suhu yang digunakan tinggi dan perpindahan panas dari minyak ke
bahan pangan berlangsung cepat. Makanan yang digoreng mempunyai warna dan
flavor yang khas dan diterima oleh hampir semua orang. Pada umumnya suhu
penggorengan adalah sekitar 177-221o C (Winarno, 1997). Sedangkan Sulistyowati
(1999) menyatakan bahwa untuk menggoreng keripik dan sejenisnya, suhu harus
diatas titik didih air (163-196oC). SNI dari French friesdapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar kualitas untuk industri kentang goreng (french fries)
NO Karakter Kualitas Standar French fries1 a. Ukuran umbi <170 g : 20 %
199 g-284 g : 40 %>284 g : 40 %
b. Variasi ukuran -2 Specific gravity 1,081 (min. 1,079)
3 Total bahan padat Min. 20,5 %
4 Bentuk umbi Oval
5 Uji goreng : tingkat kerusakan -6 Kedalaman mata Dangkal
Sumber: PT. Indofood dalam Ameriana (1998)
C. Kalsium Klorida (CaCl2)
Kalsium Klorida termasuk bahan pengeras atau Firming Agent untuk buah
dan sayuran. Biasanya digunakan pada kadar 1-5% berat bahan yang dipakai. Selain
dapat memperkuat tekstur, garam CaCl2 juga dapat mencegah reaksi pencoklatan non
enzimatis yang disebabkan oleh efek khelasi (chelation) ion Ca terhadap asam-asam
amino. Hal tersebut disebabkan karena ion Ca++ bereaksi dengan asam amino,
sehingga menghambat reaksi asam amino dengan gula reduksi yang menyebabkan
pencoklatan pada saat bahan pangan dipanaskan (Faust dan Klein, 1973).Berdasarkan
penelitian Anggraini (2005), konsentrasi CaCl2 yang digunakan untuk menghasilkan
french fries dengan kualitas yang baik yaitu maksimal 2 persen. Apabila digunakan
CaCl2 lebih dari 2 persen, maka akan menghasilkan french fries yang berasa kapur
Menurut Winarno (1997), kalsium dapat mempertinggi kekerasan gel karena
adanya ikatan kalsium dengan gugus karboksil melalui jembatan kalsium. Umumnya
digunakan garam Ca, seperti kalsium klorida, kalsium sitrat, kalsium laktat, kalsium
sulfat dan kalsium monofosfat. Kalsium klorida banyak digunakan sebagai bahan
pengeras tekstur. Hal ini disebabkan terbentuknya ikatan antara kalsium dengan
pektat membentuk kalsium pektat yang tidak larut dalam air (Winarno, 1997).
Pembentukan kalsium pektat disebabkan oleh ion Ca2+ yang bereaksi dengan masing-
masing gugus karbonil dari dua asam pektinat. Ikatan yang terbentuk akan mencegah
kelarutan substansi pektin dan menghasilkan produk yang lebih keras (Eskin, 1979).
Kalsium klorida berbentuk bubuk putih, mudah larut dalam air, dan
membentuk larutan yang tidak berwarna. Kalsium klorida dapat bersifat higroskopis
dan sering digunakan sebagai zat pengering (Handayana dan Nugroho,1985). Adapun
penggunaan kalsium klorida (CaCl2) sebagai bahan pengawet maksimum berkisar 1-5
g per1 kg atau 1 liter air. Senyawa tersebut tidak menyebabkan efek samping akan
tetapi jika berlebihan dapat menimbulkan rasa pahit (Anonim, 2007).
Adapun batasan maksimum penggunaan pengeras (firming agent) pada sayur
kaleng, apel kaleng sebanyak 260 mg/kg, dihitung sebagai Ca, pada jem dan jeli 200
mg/kg, tunggal atau campuran dengan bahan pengeras lain, dan untuk irisan tomat
iris kalengan yang menggunakan kalsium glukonat digunakan sebanyak 800 mg/kg,
tunggal atau campuran dengan pengeras lain dihitung sebagai Ca (Cahyadi, 2006).
D. Proses Pengolahan French fries
1. Blancing
Blancing adalah proses pemanasan secara langsung pada suhu kurang dari
100o C selama lebih kurang dari 10 menit, blancing biasanya dilakukan pada
permukaan bahan pangan atau sistem jaringan sebelum dibekukan, dikeringkan, atau
dikalengkan (Muchtadi, 1989). Menurut Winarno dan Fardiaz (1980)
blancingbiasanya dilakukan pada suhu 82-93o C selama 3-5 menit. Sulistyowati
(1980) menyatakan bahwa blancing adalah proses pencelupan produk dalam air panas
atau uap panas untuk waktu yang cepat (selama beberapa menit).
Tujuan perlakuan blancing ini antara lain untuk megeluarkan oksigen yang
terdapat dalam jaringan, mengurangi populasi jamur, bakteri, menginaktifkan enzim
yang akan mempengaruhi perubahan warna flavor dan nilai gizi yang terkandung
dalam bahan. Adanya oksigen dalam bahan dapat memacu adanya oksidasi terhadap
senyawa terpena dalam buah sukun sehingga dapat mengakibatkan perubahan warna
dan berat jenis, tetapi proses blancing yang berlebihan dapat mengakibatkan
hidrolisis senyawa pati dalam sukun dan mengurangi rendemennya. Lama blancing
tergantung sedikit banyaknya bahan, antara 10-20 menit.
Hampir seluruh bahan pangan yang mengalami proses pengolahan akan
berhubungan dengan panas. Tinggi rendahnya panas yang dipakai lama pemanasan,
dan sumber panas yang digunakan tergantung kepada tujuan pemanasan dan sifat
yang dipanaskan (Lund, 1989; Purba dan Rusmarilil, 1985).Blancing terlalu lama
dapat mengakibatkan perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak
dikehendaki selama pemanasan maupun pada saat penyimpanan. Pada tahapan
blancing ini terdapat dua cara yaitu pengukusan dan perebusan.
a. Pengukusan
Pengukusan adalah proses pemanasan yang bertujuan menonaktifkanenzim yang
akan merubah warna, cita rasa dan nilai gizi. Pengukusan dilakukandengan
menggunakan suhu air lebih besar dari 66o C dan lebih rendah dari 82O C.Pengukusan
dapat mengurangi zat gizi namun tidak sebesar perebusan.Pemanasan pada saat
pengukusan terkadang tidak merata karena bahan makanandibagian tepi tumpukan
terkadang mengalami pengukusan yang berlebihan danbagian tengah mengalami
pengukusan lebih sedikit. Pengukusan bertujuan membuat bahan makanan menjadi
masak dengan uap air mendidih (Laily, 2010).
b. Perebusan
Proses perebusan adalah memanaskan bahan makanan dalam cairan hingga
mendidih. Cairan yang dapat digunakan untuk perebusan berupa air, santan, susu atau
kaldu. Bahan makanan yang akan direbus dapat dimasukkan dalam air yang masih
dalam keadaan dingin atau yang telah mendidih. Proses perebusan dapat merubah
warna serta aroma, terutama jika dalam cairan ditambahkan garam, atau gula.
Perebusan merupakan metode yang sering dilakukan untuk memasak sayuran.
2. Penggorengan
Menggoreng merupakan satu dari cara memasak yang tertua untuk menciptakan
aroma (flavor) dan tekstur yang unik. Keuntungan pemrosesan bahan pangan dengan
tehnik menggoreng menurut Thompson dalam Hui(1996) adalah sebagai berikut :
1) Rasa dan tekstur yang enak dimulut dengan flavor lebih baik,
2) Adanya bahan pelapis (coating), karena perlakuan pra penggorengan ,
3) Warna yang lebih tajam,
4) Penambahan minyak,
5) Kemudahan alat
6) Suhu pada proses penggorengan akan membuat bahan menjadi pucat,
7) Inaktivasi mikroorganisme dan bakteri pathogen,
8) Adanya pindah panas,
Proses penggorengan secara merendam (deep frying) menggunakan lemak
atau minyak sebagai media pindah panas yang menghantarkan energi dari permukaan
wajan penggorengan ke minyak panas , dan dari minyak panas kepermukaan bahan
yang terendam. Terdapat dua cara pindah panas yang terjadi selama proses
penggorengan, yaitu konduksi dan konveksi. Pindah panas secara konduksi pada
kondisi tidak tunak (unsteady state) terjadi di dalam bahan, di pengaruhi oleh kondisi
thermal bahan , seperti difusifitas thermal, konduktivitas thermal , panas spesifik dan
densitas, Pindah secara konveksi terjadi antara bahan dengan minyak (Sharma et al.,
2000).
Deep frying adalah proses pengolahan pangan yang lazim dilakukan sehari-
hari yang menghasilkan produk dengan warna, aroma, serta rasa yang khas sehingga
digemari oleh hampir setiap orang.Sebelum bahan di goreng terlebih dahulu minyak
dipanaskan sampai menapai suhu penggorengan agar bahan tidak terlalu lama
merendam dalam minyak, dimana minyak akan meresap ke dalam bahan. Pada proses
penggorengan kadar air produk menurun akibat penguapan selama penggorengan.
Produk hasil penggorengan juga mengandung minyak yang sebagian besar meresap
setelah penggorengan (Bouchon et al., 2005).
Pemilihan suhu penggorengan merupakan faktor yang menentukan mutu hasil
gorengan, yang dinilai berdasarkan rupa, flavor, lemak yang terserap dan stabilitas
penyimpanan serta faktor ekonomi. Mutu hasil gorengan dengan stabilitas
penyimpanan yang baik dihasilkan pada suhu menggoreng yang paling rendah.
Walaupun penggunaan suhu yang lebih rendah dapat memperbaiki mutu hasil
gorengan, namun jarang diterapkan karena pertimbangan ekonomis. Hal ini
disebabkan karena penggunaan suhu tinggi memerlukan biaya produksi yang lebih
murah, dan waktu penggorengan relatif lebih singkat (Ketaren, S 2005). Suhu
penggorengan biasanya 170o-190o C (Tangduangdee et al., 2003). Sedangkan
menurutElham tabee et all( 2009) suhu penggorengan yang sesuai untuk french fries
adalah sekitar ± 180o C.
2.Pembekuan
Sebenarnya pembekuan hanya merupakan salah satu cara untuk mengawetkan
bahan pangan terutama dari pengaruh mikroba sebelum dikonsumsi. Dengan
pembekuan populasi mikroba yang ada pada suatu bahan pangan akan menurun
secara tajam ( Widianarko, 2002). Menurut Buckle et al., (1987), walaupun jumlah
mikroba biasanya menurun selama pembekuan dan penyimpanan beku (kecuali
spora), makanan yang tidak steril sering kali masih tetap membusuk seperti produk
yang tidak dibekukan jika disimpan cukup lama.
Gaman dan Sherrington (1991) menyatakan bahwa pengawetan pangan dengan
pembekuan melibatkan dua metode pengendalian pertumbuhan organisme yaitu :
1) Laju pertumbuhan mikroorganisme dikurangi oleh suhu rendah, juga laju
perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki amat berkurang pada suhu rendah
2) Sejumlah besar air dalam bahan pangan diubah menjadi es, sehingga tidak
dipergunakan oleh mikroorganisme.
Pembekuan (freezing) melibatkan proses perubahan fase dari cair menjadi
padat. Pengaturan suhu menjadi memiliki peranan yang sangat penting dalam
pengawetan pangan. Suhu rendah dan suhu tinggi sangat berpengaruh dalam
menentukan mutu. Penyimpanan bahan pangan pada suhu sekitar -2 sampai -10o C
diharapkan dapat memperpanjang masa simpannya, karena pada suhu yang relative
lebih rendah kerusakan bahan pangan dapat ditekan seminimum mungkin
(Wikartakusumah et al., 1992).
Perubahan fisik yang mungkin terjadi selama penyimpanan beku adalah : (a)
degradasi pigmen dan vitamin, (b) hilangnya sifat kelarutan dan kestabilan protein,
(c) adanya reaksi-reaksi yang menyebabkan meningkatnya drip(cairan yang keluar
sewaktu thawing), dan (d) reaksiyang terjadi akibat pembekuan lambat misalnya
kerusakan tekstur bahan. Kerusakan tersebut dapat di cegah dengan perlakuan
pendahuluan seperti pencucian dan pengecian ukuran, blancing, penambahan atau
pencelupan dalam larutan asam askorbat atau sulfur dioksida untuk mempertahankan
warna dan mengurangi pencoklatan, dan untuk mencegah adanya freeze burn, yaitu
kerusakan karena sublimasi selama pembekuan ( Marliyati et al., 1992).
Freeze burn atau perubahan cita rasa, perubahan warna, kehilangan zat gizi,
dan perubahan tekstur bahan pangan beku akan cepat terjadi jika bahan pangan
disimpan pada suhu di atas -9o C. Hasil terbaik diperoleh jika suhu penyimpanannya
konstan dan tidak lebih dari -17o C. Pada saat thawing atau pencairan kembali
sebaliknya menggunakan tempat atau wadah tertutup untuk menghindari penambahan
jumlah mikroba yang tajam (Widiarnako, 2002).
3. Thawing
Muchtadi (1997). Menyatakan bahwa Thawing atau juga sering disebut dengan
penyegaran kembali terhadap bahan yang telah dibekukan sebelum dilakukan
penggorengan. Sayuran beku yang akan dikonsumsi perlu di segarkan kembali
(thawing). Cara yang terbaik adalah memasukkan langsung ke dalam air mendidih
sehigga warna, flavor, dan zat gizi lebih banyak yang tertahan.
Penyegaran kembali daging, ikan, dan unggas dapat dilakukan di dalam lemari
pendingin, pada suhu ruang, di depan kipas angin, atau direndam di dalam air
mengalir. Untuk lebih mempercepat proses penyegaran kembali, dapat dilakukan
mula-mula dilemari pendingin, lalu diikuti penyegaran kembali di dalam air dingin
yang mengalir tetapi bahan harus dalam keadaan yang terbungkus rapat. Hal yang
harus di perhatikan adalah memasak segera bahan yang telah disegarkan (thawing).
Penyegaran kembali diluar lemari pendingin menyebakan terlalu banyak kehilangan
air dari jaringan.
4. Pencoklatan (browning)
Dalam ilmu pangan, perubahan warna pada buah umbi yang dikupas disebut
browning atau pencoklatan, yaitu terbentuknya warna coklat pada makanan secara
alami atau karena proses tertentu dan bukan akibat penambahan zat warna
(Widianarko, 2002). Reaksi pencoklatan juga sering di sebut dengan reaksi
Maillard(Winarno, 1997), Menurut Muchtadi et al.,(1992), reaksi maillard ini di beri
nama dari nama seorang ahli kimia Prancis, Louis Maillard yang untuk pertama
kalinya menemukan pigmen coklat (melanoidin) ketika memanaskan glukosa da
glisin. Reaksi maillard biasanya terjadi antar gugus amina, asam amino,dan protein
dengan gula pereduksi aldehid atau keton.
Reaksi ini menghasilkan warna coklat pada bahan yang sering tidak
dikehendaki, akan tetapi warna coklat ini dapat juga menjadi pertanda penurunan
mutu. Warna coklat pada pembuatan sate atau pemanggangan daging adalah warna
yang dikehendaki karena menimbulkan aroma dan citarasa yang khas, demikian juga
halnya pada ubi jalar dan ubi kayu (singkong) goreng serta pencoklatan yang indah
dari berbagai roti, kopi, dan caramel. Namun dilihat dari segi gizi, sebenarnya
browning menurunkan nilai gizi dari bahan makanan (Winarno, 1997).
E. Bahan Tambahan
F. Garam
Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal
yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida
(>80%) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat,
Calsium Chlorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat / karakteristik higroskopis
yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9
dan titik lebur pada tingkat suhu 801oC (Burhanuddin, 2001).
Garam khususnya garam dapur (NaCl) merupakan komponen bahan makanan
yang penting. Konsumsi NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan, dan
tradisi daripada keperluan. Di beberapa negara maju, dilakukan pengaturan konsumsi
yang ketat agar konsumsi NaCl berada dibawah 1 g per hari, angka itu kira-kira
memenuhi kebutuhan minimal untuk seorang dewasa dengan keaktifan normal pada
daerah subtropis.
Makanan yang mengandung kurang dari 0,3 % natrium akan terasa hambar
sehingga tidak disenangi. Konsumsi natrium bervariasi terhadap suhu dan daerah
tempat tinggal, dengan kisaran dari 2 gram sampai sebanyak 10 gram per hari.
Pengaturan konsentrasi natrium, cairan badan, dan kandungan natrium dilakukan
melalui ginjal. Lebih dari 8 kali jumlah kandungan natrium dalam badan dan 250 kali
konsumsi natrium disaring melalui ginjal setiap hari. Untuk mempertahankan
keseimbangan kira-kira 95,5 % garam natrium klorida yang telah tersaring disaring
oleh tubuh (Winarno, 1997).
3.Minyak Goreng
Minyak merupakan campuran dari ester asam lemakdengan gliserol. Jenis
minyak yang umumnya dipakaiuntuk menggoreng adalah minyak nabati seperti
minyaksawit, minyak kacang tanah, minyak wijen dansebagainya. Minyak goreng
jenis ini mengandungsekitar 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat danlinoleat,
kecuali minyak kelapa. Proses penyaringanminyak kelapa sawit sebanyak 2 kali
(pengambilanlapisan lemak jenuh) menyebabkan kandungan asamlemak tak jenuh
menjadi lebih tinggi Tingginyakandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan
minyakmudah rusak oleh proses penggorengan (deep frying)karena selama proses
menggoreng minyak akandipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi serta
terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yangmemudahkan terjadinya reaksi
oksidasi pada minyakvakum frying (Ketaren S, 1996).
Kerusakan minyak selama proses menggoreng akan mempengaruhi mutu dan
nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi
dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita
rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial
yang terdapat dalam minyak. Kerusakan minyak karena pemanasan pada suhu tinggi,
disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerisasi (Ketaren. S, 2005).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian iniakan dilaksanakan pada bulan Juni-Jul i di Laboratorium
Pengolahan Nabati, Laboratorium Analisis Pangan,dan Laboratorium Organoleptik
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala.
B. Bahan dan Alat
Bahan baku yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah buah sukun,
garam, kalsium klorida (CaCl2), minyak goreng, dan air.Sedangkan alat-alat yang
digunakan selama penelitian adalah pisau, talenan, timbangan, baskom, kompor,
wajan,freezer, sendok, panci, peniris minyak, toples, penyaring, nampan
plastik,timbangan digital (And), stopwatch serta alat untuk analisis seperti cawan
porselin, oven, desikator, pemanas listrik, tanur, labu lemak, alat soxhlet,corong,
erlenmeyer (pyrex).
C. Prosedur Penelitian
1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial
dengan 2 faktor yaitu konsentrasi kalsium klorida (CaCl2) dan metode blancing .
Faktor konsentrasi kalsium klorida (CaCl2) terdiri atas empat (4) taraf, yaitu K1= 0, 2
%, K2= 0, 4 %, K3= 0, 6 % dan K4= 0, 8 %. Metode blancing terdiri dari dua taraf
yaitu P1= Pengukusan dan P2= Perebusan. Dengan demikian terdapat 8 kombinasi
perlakuan dengan menggunakan 3 kali ulangan, sehingga diperoleh 24 satuan
percobaan. Susunan kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini :
Tabel 3. Susunan Kombinasi Perlakuan Antara Konsentrasi Kalsium Klorida (CaCl2) dan Metode Blancing.
Metode Blancing
Ulangan Konsentrasi Kalsium klorida ( CaCl2)
K1 K2 K3 K4
P1
U1 P1U1K1 P1U1K2 P1U1K3 P1U1K4
U2 P1U2K1 P1U2K2 P1U2K3 P1U2K4
U3 P1U3K1 P1U3K2 P1U3K3 P1U3K4
P2
U1 P2U1K1 P2U1K2 P2U1K3 P2U1K4
U2 P2U2K1 P2U2K2 P2U2K3 P2U2K4
U3 P2U3K1 P2U3K2 P2U3K3 P2U3K4
2. Pembuatan french fries( modifikasi Aswan, 2010 )
Pembuatanfrench fries terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut
1. Pertama buah sukun dikupas, setelah itu dicuci dan dipotong dengan ukuran
(tebal 1 cm dan panjang 6 cm).
2. Lalu direndam dengan larutan garam ( 0,5 gr/kg ) dan dengan kalsium klorida
(CaCl2), sesuai perlakuan (0,2 %, 0,4%, 0,6% dan 0,8%) . perendaman dilakukan
kira ± 15 menit
3. Setelah direndam kemudianpotongan sukun diblanching pada suhu 100ºC
selama 5-10 menit.Blancing dilakukan dengan metode perebusan dan
pengukusan.
4. Setelah proses blancing selesai baru dilakukan penggorengan dengan suhu ±
180o C selama ± 6 menit.
5. Setelah sukun dilakukan penggorengan,kemudian sukun dikemas dalam plastik
dan disimpan pada freezer bersuhu -20ºC Sebagai french friessukun.
6. Penyiapan untuk konsumsi french fries beku dikeluarkan dari lemari pembeku
(freezer), dan kemudian digoreng dalam minyak panas hingga matang. Bahan ini
dapat juga dibumbui dengan cabe, merica, dan lain-lain sesuai dengan selera.
3. Analisis Data
Data analisis menggunakan Analysis of Variance ( ANOVA). Model matematis
rancangan penelitian menggunakan persamaan berikut (Sastrosupadi, 2000) :
Yijk = µ + Jj + Ji + Kj + (BK)ij + Ԑijk
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor , taraf ke-j dari faktor bahan
dasar)
µ = Nilai tengah populasi
Jj = Pengaruh kelompok pada ulangan ke-j
Bi = Pengaruh jenis blansir ke-i (i = 1, 2, )
kj = Pengaruh konsentrasi kalsium klorida ( CaCl2) taraf ke-j (j = 1, 2, 3 , 4)
(BJ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan jenis blansir taraf ke-i dan perlakuan
bahan dasar taraf ke-j
ɛijk = Pengaruh galat dari kelompok ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan ij.
Bila uji perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata antar perlakuan maka
akan diteruskan dengan uji lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan rumus
sebagai berikut :
Keterangan :
Tα db galat (v) = Nilai baku t-student pada taraf uji α dan derajat bebas galat v
KT = Nilai kuadrat tengah
t = Jumlah perlakuan
r = Jumlah ulangan
4.Analisis
Analisis kimia yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah analisis kadar
air,kadar pati, kadar abu dan kadar lemak.Sedangkan mengenai derajat penerimaan
konsumen digunakan pegujian organoleptik yang meliputi warna, tekstur, rasa dan
kerenyahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2013. Kentang Goreng. http://digilib.brawijaya.ac.id ( 5 Desember 2013).
Anggraini, K. 2005. Pengaruh Metode Blanching dan Pencelupan dalam Lemak Jenuh terhadap Kualitas French Fries Kentang Varietas Hertha dan Granola. Skripsi.Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (TidakDipublikasikan)
Buckle, K. A., R. A. Edward, G. H, Fleet, dan M. Woolton. 1987. Ilmu Pangan. UI Prees, Jakarta.
Burhanuddin, 2001. Strategi Pengembangan Industri Garam di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Faust, M and JD Klein. 1973. Levels and Sites of Metabolically Active Ca in Apple Fruit. CRC Press. Boca Raton Florida dalam Studi tentang Pembuatan French Fries Ubi Jalar (Ipomoea batatasL) Kajian Perlakuan Blanching dan Konsentrasi CaCl2 sebagai Larutan Perendam. oleh Idan Darmawan dkk Jakarta.
Fardiaz D, Srikandi F, FG Winarno. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta.
Handayana, P, A, dan F. Nugroho.1985. Buku Teks Analisis Anorganik kualitatif Makro dan Semi Mikro. Kaman media pustaka,Jakarta.
Kader, A.A. 2002. Breadfruit. Recommendation for Maintaining Postharvest Quality. www.ucdavis.eduJakarta.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.
Lund, B, D. 1989. Pengaruh Pengolahan Panas Terhadap Zat Gizi. Terjemahan Suminar Achmadi, ITB,Bandung.
Liana, M. 2007. Kajian Pembuatan French Fries Ubi Jalar ( Ipomea batatas L ). Skripsi Jurusan Tekhnologi Hasil Pertanian, Darussalam, Banda Aceh.
Lisinska, G , dan W. Leszcynski, 1989. Potato Science and Technlogy. Elvesier Applied Science, London and New York.
Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. PAU Pangan dan Gizi IPB,Bogor.
Muchtadi, D., N.S. Palupi, dan M. Astawan. 1992. Metoda Kimia, Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Bahan Pangan Olahan. Departemen Pendidikan dan kebudayaan PAU pangan dan gizi IPB,Bogor.
Muchtadi T, R. 1997. Teknologi Pengolahan Pisang. PT Gramedia Bekerjasama dengan Pemerintah DKI Jakarta, Jakarta.
Marliyati, S. A. A, Sulaeman, dan F, Anwar. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. PAU Pangan dan gizi IPB, Bogor.
Purba, A dan H. Rusmarilil. 1985. Dasar Pengolahan Pangan. FP USU, Medan.
Pitojo. S. 1992. Budidaya Sukun. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ragone, D. 1997. Breadfruit : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg. Promoting the conservation and used of underutilize and neglected crops. International Plant Genetic Resources Institute. Rome, Italy.
Sulistyowati. 1999. Membuat Kripik Buah dan Sayur. Puspa swara, Jakarta.
Satuhu, S, 1996. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suyanti, S. widowato dan Suismono, 2003. Teknologi Pengolahan Tepung Sun dan Pemanfaatannya untuk berbagai Produk Makanan Olahan. Warta Penelitian dan pengembangan pertanian, Vol. 25 No 2, Hal 12-13.
Sturrock, D.1940.Tropical Fruits for Southern Florida and Cuba and Their Uses the Arnold Arboretum of Hazard.University Jamaica Plain, Mass., USA.
Thompson, A.K., B. O. Been, dan C. Perkins. 1974. Storage of Fresh Breadfruit.Trop. Agric. 51 (3) : 407-415.
Widianarko, B. 2002.Tips Pangan Teknologi Nutrisi dan Keamanan Pangan. Grasindo, Jakarta.
Wirakartakusumah, A, Sukarna, M. Arpah, D. Syah dan S.I. Budiawati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. IPB, Bogor.
Widowati, S. 2003.Prospek Tepung Sukun untuk Berbagai Produk Makanan Olahan dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan.http://tumotou.net/70207134 /sri_widowati.htm.
Winarno, FG., 1997. Kimia Pangan dan Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wibowo, Condro, Hidayah Dwiyanti, dan Pepita Hariyanti. 2006. Peningkatan Kualitas Keripik Kentang Varietas Granola dengan Metode Pengolahan Sederhana. Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Soedirman,Surabaya.
Lampiran 1. Proses pembuatanfrench fries sukun
sukun
Pengupasan
Pemotongan
Lampiran 2. Analisis kimia
a. Kadar air (Sudarmadji et al., 1997)Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang sudah diketahuiberatnya.
Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jamtergantung
bahannya. Selanjutnya didinginkan dalam desikator sampai mencapaisuhu kamar,
kemudian ditimbang. Dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit,didinginkan
Pencucian
PerendamanGaram dan CaCl2
Pemblansiran selama ± 7 menit dengan suhu 100o C
Penggorengan pertama selama ± 6menit dengan suhu 120o C
Pembekuan
french fries
Analisis kimia kadar air
Kadar lemak
Kadar pati
Kadar abu
Uji organoleptik
french fries
dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang beberapa kalisampai mencapai
berat yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:
Kadar air = B – C x 100 %
B – A
Keterangan:
A = berat cawan (gram)
B = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (gram)
C = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram)
b. Kadar abu (Metode pemanasan tanur, Sudarmadji et al., 1997)
Sampel yang telah dihancurkan ditimbang sebanyak 2-5 gram dalam cawan yang
telah diketahui beratnya, kemudian diabukan dalam tanur pada temperatur 500oC
selama 4-5 jam. Selanjutnya dibiarkan dingin sampai suhu 100oC dalam tanur.
Kemudian didinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar dan ditimbang.
Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Kadar abu (% bb) = kadar abu (gram) x 100%berat sampel awal (gram)
Kadar abu (% bk) = kadar abu (% bb) x 100%(100 – kadar air (% bb)
c. Kadar lemak (Metode Soxhlet, Modifikasi Metode Sudarmadji et al., 1997)
Sampel french fries sukun dihaluskan dan ditimbang dengan telitisebanyak 2
gram, kemudian dibungkus dengan kertas saring yang sudah diketahui beratnya dan
dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi soxhlet yang telahdialiri dengan air kran
sebagai pendingin. Labu Erlenmeyer yang telah diisi 30 mlpelarut petroleum eter
dipasangkan pada tabung ekstraksi selama 4 jam. Setelahwaktu ekstraksi cukup,
kertas saring dan sampel dimasukkan dalam oven padasuhu 105 °C, didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitungdengan rumus sebagai berikut:
Kadar lemak (% bb) = C – B x 100 %A
Kadar lemak (% bk) = kadar lemak (% bb) x 100%(100 – kadar air (% bb)
Keterangan:
A = berat sampel awal (gram)
B = berat sampel setelah diekstraksi dan dikeringkan (gram)
C = berat sampel awal setelah dikeringkan (gram)
d. Kadar pati
Sampel disiapkan, kemudian ditimbang 2,5 g sampel kedalam labu ukur 100
ml, gunakan 2 dan 3 desimal dan catat semua angka. Masukkan 25 ml HCL 1,125%
lalu diaduk perlahan hingga merata. Masukkan lagi 25 ml HCL 1.125%. masukkan
labu ukur kedalam waterbath dengan air mendidih pastikan bahwa air di dalam
waterbath lebih tinggi sedikit daripada tinggi HCL di dalam labu ukur. Goyang secara
horizontal pada 8 menit pertama dan setelah itu goyangan di hentikan untuk 7 menit
selanjutnya (total waktu pendidihan 15 menit). Keluarkan labu ukur dari waterbath
lalu tambahkan aquadest hingga ± 75 ml sambil didinginkan hingga mencapai suhu
ruangan. Setelah dingin, tambahkan 1.25 ml carrez II dan aduk merata dengan
menggoyang labu ukur tersebut. Setelah diaduk merata, tambahkan lagi 1.25 ml
carrez II dan aduk merata dengan cara yang sama. Terakhir tambahkan 2.5 ml NaOH
0,1 N dan aduk merata. Kemudian tambahkan aquadest hingga tanda tera dan aduk
lagi hingga merata dengan cara diatas. Saring larutan tersebut kedalam Erlenmeyer
100 ml tetean pertama harus dibuang dan jangan dimasukkan kedalam erlenmayer.
Larutan yang telah disaring dimasukan kedalam polarimeter dan diukur sudut putar
optiknya (perhatikan tidak boleh ada gelembung udara didalam tabung polimeter).
Untuk pengukuran selanjutnya, cuci tabung polimeter dengan sedikit larutan yang
akan diukur berikutnya sebanyak 2-3 kali, sebelum diisi hingga penuh. Setelah
pengukuran cuci tabung polarimeter dengan menggunakan aquadest.
Perhitungan
Kadar pati (g/100g) = nx104
203x5
n = hasil pembacaan polarimeter pada 20o C dalam tabung 2 dan (α)D = 203
e. Uji organoleptik
Sifat organoleptik merupakan tanggapan atau ksan pribadi seorang panelis
atau pengujinmutu. Pelaksanaan pengujian organoleptik ini dilakukan oleh 20 orang
panelis ( mahasiswa) yang mempunyai tingkat kemampuan sebagai panelis yang agak
terlatih. Dalam penilaian organoleptik ini, karakteristikyang diperhatikanadalah
warna, ciarasa dan tekstur dari masing-masingfrench fries. Uji yang dilakukan adalah
uji hedonik dengan skala numeric sebagai berikut:
Nilai kategori
5 = sangat suka
4 = suka
3 = agak suka
2 = tidak suka
1 = sangat tidak suka
BNTα=t α ( v ) ×√ 2( KTgalat)n