(pendahuluan) hybrid wars: pendekatan adaptif tidak...

6

Upload: trinhanh

Post on 03-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Makna Topik“Keunggulan tertinggi adalah mematahkan perlawanan musuh tanpa pertempuran” Sun Tzu1)

Hampir dua ribu tahun yang lalu, ahli strategi militer Cina kuno Sun Tzu sadar kalau perang yangdilancarkan secara tidak langsung merupakan salah satu cara yang paling efisien dalammemerangi musuh. Taktik seperti ini memungkinkan sebuah entitas/negara mengalahkan musuh-musuhnya tanpa terlibat secara langsung, sehingga entitas itu bisa menghemat sumber daya yangnantinya akan digunakan dalam pertempuran secara langsung. Menyerang musuh secara tidaklangsung juga dapat mengganggu musuh tersebut dan membuatnya berada dalam posisi bertahan,sehingga membuat mereka rentan pada bentuk serangan lainnya. Selain keunggulan taktis, adapula keunggulan strategis. Ketika suatu entitas hendak melancarkan perang secara langsungterhadap musuhnya, kemungkinan pasti ada yang akan menjadi penghalang (misalnya aliansi,paritas militer, dll). Karena itu, perang secara tidak langsung adalah satu-satunya pilihan untukmenghancurkan pihak lain.

Di zaman sekarang, dengan adanya senjata pemusnah massal serta munculnya dunia multipolartelah membatasi konfrontasi langsung antara para Kekuatan Besar. Contohnya, Amerika Serikattidak bisa begitu saja menggunakan senjata nuklir melawan Kekuatan Besar lainnya. MeskipunAmerika Serikat masih mempertahankan status superpower dalam hal militer konvensional,namun kekuatan nuklir yang seimbang dengan Rusia juga dapat berfungsi sebagai pengingatbahwa unipolaritas memiliki batasannya. Selain itu, saat ini sistem internasional telah berubahsedemikian rupa yang mana sebelumnya bersistem Unipolar (AS jadi satu-satunya superpower)setelah runtuhnya Uni Soviet, dan sistem Unipolar mulai memudar sehingga dalam melancarkanperang konvensional melawan negara-negara tertentu (yakni Rusia, Tiongkok, atau Iran) akanmemakan biaya yang sangat banyak dan menjadi beban bagi para pembuat keputusan AS, karenaitu opsi militer tersebut kurang menarik untuk dilakukan. Dengan keadaan seperti itu, perangtidak langsung bernilai lebih tinggi dalam hal strategis dan penerapannya dapat dilakukan dalamberbagai bentuk.

Perang secara langsung di masa lalu mungkin seperti invasi militer suatu negara terhadap negaralain menggunakan tank dan pesawat tempur, namun jika kita perhatikan pola yang diterapkan ASsaat ini di Suriah dan Ukraina, maka perang tidak langsung di masa depan dapat berupa “aksiunjuk rasa” dan pemberontakan. Agen rahasia dan penyabotase rahasia akan lebih sedikit yangbertindak sebagai kolom kelima, dan kolom kelima lebih banyak diperankan oleh aktor-aktor non-negara yang bertingkah sebagai warga sipil secara terbuka. Aktor non-negara seperti; perusahaanswasta, media (media swasta atau media asing), tokoh bisnis, gerakan sosial atau politik,kelompok advokasi (kelompok yang dapat mempengaruhi opini publik), organisasi agama, LSM,lembaga bantuan (bencana, kesehatan, dll), organisasi relawan (contoh: white helmet, dll), sertakelompok pemberontak dan teroris, namun tidak semua aktor non-negara dapat dikendalikan AS.Media sosial dan teknologi serupa akan menggantikan peran bom dan amunisi yang dapatmembuat kelompok yang agresif mampu melakukan “serangan pemecah” (surgical strike).Aplikasi chatting dan halaman Facebook akan berubah menjadi sarang bagi “militan” baru.

Bahkan tidak perlu melakukan serangan di wilayah target secara langsung, yang perlu dilakukanadalah melancarkan perang proksi untuk mendestabilisasi wilayah di sekeliling target.

TeoriTulisan ini fokus pada strategi baru perang tidak langsung yang digunakan AS di Suriah danUkraina. Apabila kita cocokkan pola yang terjadi di Suriah dan Ukraina, maka kita akan melihatbahwa pola tersebut ditujukan untuk perubahan rezim. Modelnya dimulai dengan Revolusi Warnasebagai upaya kudeta halus, namun jika gagal maka Perang non-Konvensional akan dilakukan.Perang non-konvensional yang dimaksud adalah perang yang tidak melibatkan kekuatan militerresmi yang sebagian besar dilakukan dalam pertempuran asimetris melawan musuhnya. Denganpendekatan dua arah secara bersamaan, Revolusi Warna dan Perang Non-konvensional menjadidua komponen yang membentuk teori Hybrid War, metode perang tidak langsung yang sedangdilancarkan Amerika Serikat.

Posisi Rusia dalam Topik PembahasanKonferensi Moskow mengenai Keamanan Internasional yang diadakan pada bulan Mei 2014sangat fokus membahas peran Revolusi Warna dalam mewujudkan tujuan kebijakan luar negeriAS di seluruh dunia. Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu menyatakan bahwa “RevolusiWarna semakin berperan sebagai agenda perang dan dikembangkan berdasarkan prinsip dalamseni berperang”2) Seorang ahli dari CSIS (The Center for Strategic and International Studies)Anthony Cordesman menghadiri konferensi itu dan menerbitkan beberapa foto slide PowerPointyang disajikan dalam konferensi tersebut,3) termasuk beberapa komentar penting dari setiappembicara. Valery Gerasimov, Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia, memiliki presentasiyang sangat penting. Dia memperkenalkan konsep “pendekatan adaptif” dalam kekuatan militer.Apa yang dia maksud adalah upaya non-militer (diidentifikasi sebagai Revolusi Warna) yangdidukung oleh penggunaan kekuatan yang tersembunyi dan intervensi militer terbuka (apabilaalasannya sudah didapatkan) terhadap negara yang ditargetkan.

Kelemahan Posisi RusiaPendekatan Adaptif yang pertama kali diperkenalkan oleh Gerasimov ini harus dijelaskan lebihlanjut, dan ini lah tujuan dari tulisan ini. Konsep ini masih baru dan belum sepenuhnya bisadikembangkan, jadi harus disempurnakan. Sebagai contoh, tidak adanya intervensi kemanusiaandi Suriah dan Ukraina sebagaimana yang terjadi di Libya patut dipertanyakan. Karena itu dapatdibuat teori bahwa dalam kondisi internasional yang kompleks saat ini, semakin dekat operasiyang dilakukan AS menuju inti target (Rusia, Iran, Tiongkok), semakin rendah pula peluangterjadinya perang langsung dan semakin tinggi peluang perang tidak langsung (Revolusi Warnadan Perang Non-Konvensional) diterapkan. Bagaimanapun, tentu saja secara teoritis aksioma inidapat diputar balikkan karena masing-masing inti jadi lemah, terganggu, atau kehilangan inisiatifstrateginya dan unipolaritas semakin meningkat.

Karena Libya berada jauh dari lingkaran luar (periphery) Rusia dan Iran, alhasil metode

perubahan rezim secara langsung dapat diterapkan, namun karena Ukraina dan Suriah jauh lebihdekat dengan inti target, upaya perubahan rezim secara tidak langsung melalui Revolusi Warnadan Perang Non-Konvensional jadi rencana utama dalam melemahkan dunia multipolar. KarenaAS sangat sulit mengulangi skenario Perang Libya ke wilayah yang berbatasan langsung dengannegara inti dan karena situasi internasional (lebih sulit mengulanginya di Ukraina daripadaSuriah, karena Rusia lebih kuat dari Iran), maka model operasi yang diterapkan AS di Ukraina danSuriah akan menjadi standar di masa mendatang. Meskipun skenario Libya merupakan tujuanakhir para pembuat agenda militer Amerika, namun skenario Libya lebih terlihat sebagai anomalidaripada sebuah aturan ketika AS masuk lebih dalam ke Eurasia.

Selain itu, Pendekatan Adaptif yang dijelaskan dalam Konferensi di Moskow itu belumditempatkan ke dalam konteks geopolitik, atau belum memberikan penjelasan yang mendalamterkait Revolusi Warna atau Perang Non-Konvensional. Juga tidak disebutkan bagaimana duakonsep ini saling terhubung, karena itu gagasan Pendekatan Adaptif sangat lah baru dan barumuncul pertama kali pada bulan Mei 2014. Dengan demikian, perihal ini dapat diteliti lebih lanjutdan menghubungkannya dengan topik-topik terkait menjadi satu teori.

Objek, Subjek, Cakupan, dan Tujuan Tulisan iniObjek penelitiannya adalah strategi besar Amerika Serikat dan pola pendekatan baru dalamperubahan rezim menjadi subjeknya. Tulisan ini hanya membahas aspek Revolusi Warna danPerang Non-Konvensional dalam Pendekatan Adaptif, yang dijadikan sebagai teori baru dalampeperangan. Penyatuan dua konsep ini tidak mencakup tahap ketiga intervensi militer, dandiperdebatkan bahwa hibrida ini bisa jadi lebih disukai daripada operasi destabilisasi IntervensiKemanusiaan. Peristiwa struktural di Suriah dan Ukraina dapat menjadi studi kasus untukmenguji teori baru ini, dan dapat berguna bagi para pembaca yang memiliki beberapa tingkatpengetahuan perihal situasi ini. Buku ini bertujuan untuk menguraikan dan menganalisa pola danmetode perubahan rezim yang diterapkan AS yang pertama kali digambarkan pada KonferensiMoskow tentang Keamanan Internasional tahun 2014, serta menunjukkan kombinasi RevolusiWarna dan Perang Non-Konvensional yang menghasilkan sebuah teori baru dalam destabilisasinegara yang siap diterapkan di seluruh dunia.

MetodologiTulisan ini akan menggunakan metodologi spesifik dalam rangka untuk menjelaskan secara jelasbeberapa hal yang belum diungkapkan dari kasus Suriah dan Ukraina dalam menyokong klaimteori baru ini. Bagian pertama (part 1) akan membahas konteks teoritis sebagai tiang pondasikonsep baru ini. Pertama kali yang dibahas adalah teori geopolitik yang membuat AS menerapkankebijakan luar negeri anti-Rusia. Selanjutnya akan mengkaji teori militer yang menjelaskan prosesdestabilisasi tidak langsung dan terselubung terhadap Rusia. Akhir bagian ini akan membahassecara singkat tentang Full Spectrum Dominance dan bagaimana Revolusi Warna dan PerangNon-Konvensional masuk ke dalam paradigma ini.

Bagian kedua akan fokus pada bagaimana Revolusi Warna diterapkan. Dimulai dengan melihat

teori dan strategi di belakangnya, dan sangat berfokus pada perang jaringan dan pengaruh mediasosial. Kemudian dijelaskan hasil akhir dari perang jaringan dan pengaruh media sosial yangmembentuk sebuah “swarm” (kawanan) sebagai aktor anti-pemerintah, yang mana akanmengikuti taktik yang berasal dari Gene Sharp. Terakhir, menyediakan komentar singkat duaorang kunci yang memiliki pengalaman dalam mempraktekkan metode ini.

Bagian ketiga mengikuti kerangka bagian kedua, namun bukan membahas Revolusi Warna,melainkan Perang Non-Konvensional. Dimulai dengan memberikan definisi Perang Non-Konvensional dari militer AS sebelum memodifikasinya untuk konteks tulisan ini. Kemudian akanmembahas sejarah operasi lama Perang Non-Konvensional AS dan kebangkitan aktor non-negarasetelah Perang Dingin. Setelah itu akan menjelaskan bagaimana Perang Non-Konvensionalmengikuti paradigma strategi yang sama dalam Revolusi Warna. Terakhir, bocornya bukupedoman (handbook) Perang Non-Konvensional dari militer AS akan dianalisis sebagian untukmenunjukkan aplikasi yang relevan terhadap tulisan ini.

Bagian keempat menghubungkan konsep Revolusi Warna dan Perang Non-Konvensional danmenunjukkan bagaimana keduanya saling melengkapi dalam perubahan rezim. Ini bagian yangpenting yang menyediakan temuan sebelumnya secara bersamaan dalam rangka untukmembangun teori baru “Hybrid Wars”. Pada titik ini lah seseorang harus mampu melihat denganjelas keunikan dari konsep ini dan bagaimana masing-masing dari dua bagian penyusunnyamengalir secara mulus membentuk teori yang terintegrasi.

Selanjutnya baca: Bagian I: Konteks Teoretis

Catatan Admin:

Tulisan ini diambil dari buku yang berjudul, “Hybrid Wars: The Indirect Adaptive Approach toRegime Change” yang ditulis oleh Andrew Korybko yang merupakan analis politik, jurnalis, dankontributor reguler untuk beberapa jurnal online, serta anggota dewan ahli untuk the Institute ofStrategic Studies and Predictions di People’s Friendship University of Russia. Namun, adabeberapa kata atau kalimat yang ditambah oleh admin agar mudah dipahami oleh para pembaca.Ketika mengambil atau mengutip segala materi baik dalam bentuk tulisan maupun hasilterjemahan dari website Eskatogi Islam ini, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Andrew Korybko

Andrew Korybko bersama Pejabat Pertahanan PakistanReferensi [ + ]