pencitraan merek nabati

Upload: ilham-syah

Post on 12-Jul-2015

134 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Tugas UAS Mata Kuliah Teori Desain Pencitraan Merek Nabati Pada Produk Makanan Ringan

Nama : Ilhamsyah NIM : 27111018 Program Studi Magister Desain

Institut Teknologi Bandung 2011

Pencitraan Merek Nabati Pada Produk Makanan Ringan

1. Latar Belakang Jajan adalah budaya yang sudah melekat di kalangan masyarakat Indonesia, terutama dikalangan masyarakat ekonomi menengah bawah, baik jajan di jalanan ataupun di supermarket sudah menjadi kebiasaan anak-anak indonesia sejak dahulu. Sekolah merupakan tempat favorit pedagang untuk menjajakan dagangannya, karena di sekolah pengawasan orang tua menjadi lebih renggang dalam membeli makanan ringan. Jajan juga sudah menjadi budaya dalam lingkungan keluarga, hal ini terlihat dalam setiap kesempatan berbelanja bulanan untuk keperluan harian keluarga. Kesempatan tersebut merupakan momen dimana anak-anak dapat membeli makanan ringan (snack) dibawah pengawasan orang tua. Namun tetap dalam memilih produk makanan ringan sering terjadi pertentangan antara anak dan orang tua, hal ini terjadi karena anak sering memilih karena rasa dan hadiahnya, sedangkan orang tua lebih melihat kandungan gizinya (Moriarty, 2011, h.87).

Dari hasil pengamatan dilapangan, makanan ringan yang beredar di pasaran seperti Chiki, Taro, Chitato, Pringles, dan lain sebagainya, merupakan makanan favorit anakanak yang dipilih ketika berbelanja di supermarket. Karena rasanya yang gurih dan ringan, menjadikan makanan ringan (snack) teman di sela-sela aktivitas rumah maupun sekolah. Rasa gurih tersebut menjadi penarik perhatian anak-anak untuk selalu mengkonsumsi makanan ringan merek-merek diatas, dan rasa gurih inilah penyebab permasalahan yang berkembang di masyarakat. Karena rasa gurih tersebut dihasilkan oleh senyawa MSG (Monosodium Glutamat) yang ditambahkan pada produk makanan ringan (jajanan). Dari berbagai pemberitaan di media massa banyak permasalahan kesehatan diakibatkan oleh konsumsi MSG (vetsin) yang berlebihan, terutama yang dikonsumsi dalam bentuk penambah rasa pada makanan ringan. Salah satunya berita di sebuah televisi swasta nasional tentang seorang anak kecil yang mengalami gagal ginjal, karena terlalu banyak mengkonsumsi makanan ringan mengandung MSG. Penderita gagal ginjal akut ini dimulai dengan indikasi bengkak pada beberapa bagian tubuh, mual, mulas serta hilang napsu makan, dan didahului dengan radang tenggorokan yang akhirnya menyebar menuju ginjal. Berita tersebut menambah daftar

panjang pemeberitaan media massa mengenai akibat buruk konsumsi MSG tidak sesuai dengan aturan baku (berlebihan).

Sumber : detiknews.com

Fakta diatas masih menjadi perdebatan panjang di kalangan ilmuwan kesehatan tentang bahaya atau tidaknya penggunaan MSG pada makanan. Seperti yang dikutip dalam situs www.duniaveteriner.com, yang mengungkapkan MSG tidak berbahaya bagi kesehatan. Karena senyawa tersebut dibuat identik dengan senyawa alami yang

diproduksi oleh tubuh. Namun dikalangan ibu-ibu, seperti yang ungkapkan oleh Ibu Hermawati, baginya konsumsi produk makanan ber-MSG harus diawasi ketat karena anak-anak tidak peduli dengan bahayanya. Beliau mengakui informasi dari mulut ke mulut tentang anak tetangga mereka yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), disebabkan oleh konsumsi makanan ringan ber-MSG, menjadi perhatian utama mengenai kesehatan anak-anaknya. Selain itu pula peringatan dokter untuk tidak mengkonsumsi produk makanan ringan (snack) pada anak penderita radang tenggorokan turut memberi kesan negatif pada makanan ringan mengandung MSG.

2. MSG pada Makanan Ringan MSG atau singkatan dari Monosodium Glutamat atau Asam Glutamat mulai diperkenalkan pada tahun 1960, Asam Glutamat sudah digunakan pada berbagai jenis makanan di berbagai negara terutama Asia. Asam glutamat merupakan salah satu dari 20 asam amino yang ditemukan dalam protein dan MSG adalah monomer dari asam glutamat. MSG memberi rasa gurih dan nikmat pada sajian berbagai masakan, walaupun sebenarnya masakan tersebut tidak terlalu istimewa rasanya. Sebagai penguat rasa MSG dapat membuat masakan seperti daging, sayur, sup, dan lain-lain akan terasa lebih nikmat dan gurih (http://duniaveteriner.com, 2009). Asam glutamat merupakan bagian dari kerangka utama dari berbagai jenis molekul protein yang terdapat dalam makanan dan terdapat pula dalam jaringan tubuh secara alami. Asam glutamat yang bebas, tidak terikat dengan asam amino lainnya, mampu berfungsi sebagai senyawa pembangkit rasa makanan atau masakan. Glutamat bebas tesebut dapat bereaksi dengan ion sodium (natrium) membentuk garam MSG. MSG diproduksi dalam skala komersial melalui proses fermentasi dengan memanfaatkan bahan mentah seperti pati, gula bit, gula tebu, atau molases (tetes).

Karena kemampuannya itu maka MSG dimanfaatkan sebagai penguat rasa pada makanan ringan yang dijual untuk anak-anak. Makanan ringan atau kudapan (snack) umumnya terbuat dari tepung beras, tepung kentang, jagung atupun singkong. Dalam makanan ringan juga ditambahkan bahan-bahan lain yaitu MSG sebagai penguat rasa, disamping bahan pengawet, bahan pewarna, dll. Penggunaan MSG, atau juga banyak yang menyebutnya vetsin, ditambahkan karena memberikan rasa gurih yang sangat disukai oleh anak-anak (http://urangkapuas.blogspot.com/2011). Penggunaan MSG

dalam makanan ringan ada batasannya, namun terkadang tidak dijelaskan secara

terperinci dalam kemasan makanan ringan tersebut. Disinilah muncul kesan buruk makanan ringan yang mengandung MSG, karena sering menjadi tertuduh penyebab infeksi tenggorokan pada anak-anak.

Sebenarnya radang tenggorokan sendiri utamanya disebabkan oleh Virus Stretokokus, anak yang menderita radang tenggorokan karena virus ini menyebabkan dinding tenggorokan bisa menjadi lembek, pembesaran getah bening dan demam tinggi (http://medicastore.com, 2011). Jadi dapat ditarik asumsi penyebab radang tenggorokan bukanlah mutlak karena MSG, akan tetapi karena tekstur makanan ringan yang menyebabkan radang tenggorokan terluka dan terlihat menjadi lebih parah. Penguat rasa (MSG) lebih cenderung menyebabkan keinginan anak untuk terus menerus mengkonsumsi, selain itu rasangan rasa MSG turut memperburuk alergi pada tenggorokan.

Namun masalahnya citra produk makanan ringan (snack ) itu tidak sehat sudah terbentuk di benak konsumen, terutama ibu-ibu. Kenapa ibu-ibu, karena ibu-ibu adalah penentu pembelian yang paling dominan di keluarga. Sebuah FGD (Focus Discussion Group) yang pernah dilakukan penulis untuk sebuah merek makanan ringan dari Nestle, ditemukan fakta bahwa penentuan pembelian di supermarket adalah ibu-ibu. Selain itu pula hasil riset yang dilakukan MarkPlus Insight, pada 1.300 perempuan dari rentang kelas sosial A hingga D menunjukan mayoritas (84,2%) perempuan mengelola penghasilan suami atau pasangannya (Kertajaya, 2011, h.35). Dijelaskan oleh Kartajaya dalam New Wave Marketing (2008) bahwa wanita lebih cenderung menggunakan pikiran emosional dibandingakan pria, terutama dalam mengambil keputusan pembelian (2008, h.67). Mereka cenderung meminta pendapat atau memberi pengaruh terhadap sesama komunitas ibu-ibu dalam hal pembelian barang. Sedangkan anak-anak selalu tidak mengerti mana yang baik atau yang buruk bagi mereka sendiri, Ibu (orang tua) sebenarnya prihatin dan ingin pikiran anak mereka terlindungi dari eksploitasi pasar (Moriarty, 2011, h.87). Selain itu berita-berita di media massa tentang pengaruh buruk makanan ringan mengandung MSG, membentuk pikiran rasa takut yang kuat di benak ibu-ibu. Menurut Martin Lindstorm dalam Buy-Ology (2011) rasa takut dan hukuman merupakan penanda somantik yang kuat dalam otak manusia (2011, h.142).

Fakta-fakta inilah yang dilihat oleh pemasar ataupun produsen sebagai peluang untuk memasarkan jajanan makanan ringan yang sehat. Karena dalam sebuah keputusan pembelian ada perbedaan antara pembeli dan pengguna, dalam kasus ini ibu (pembeli) sering melihat nilai gizi dan harga. Sebaliknya anak (pengguna) mungkin melihat pada rasa dan kemasan yang ada hadiahnya (Moriarty, 2011, h.161). Faktor eksternal dapat menjadi mempengaruhi keputusan pembelian, seperti rasa ketakutan akan jajanan sehat yang telah dipaparkan diatas. Rasa ketakutan ini sering sekali dimanfaatkan oleh pemasar dalam mempersuasi konsumen dalam menjual produk mereka, terutama dalam periklanan. Rasa takut akan tampilan tidak menarik karena ketombe dimanfaatkan oleh produsen sampo anti ketombe salah satunya. Rasa aman bagi ibu dalam membeli produk makan ringan menjadi alat pemasar dalam mengeksploitasi pasar. Asumsinya dengan menawarkan produk jajanan yang sehat maka peluang diterima oleh konsumen (ibu-ibu) menjadi besar. Pemasar memandang dalam menjual makanan ringan target sasaran tidak hanya anak-anak, akan tetapi ibu mereka juga merupakan target sasaran perlu diperhatikan. 3. Kemasan Dalam menyampaikan pesan sehat pada jajanan makanan ringan diperlukan strategi desain yang tepat, sehingga target sasaran dengan mudah memahaminya. Salah satunya adalah desain kemasan, yang merupakan ujung tombak dalam penjualan. Kemasan merupakan pemicu karena ia langsung berhadapan dengan konsumen. Karena itu kemasan harus dapat mempengaruhi konsumen untuk memberikan respon positif, dalam hal ini membeli produk, karena tujuan akhir dari pengemasan adalah untuk menciptakan penjualan (Wirya, 1999, h.ix). Salah satu kriteria desain kemasan yang ditujukan untuk penjualan swalayan adalah menonjol (Stands Out), karena produk harus bersaing dengan puluhan produk lainya dalam kategori yang sama dalam rak penjualan. Untuk terlihat menonjol salah satu caranya adalah dengan memberikan nama (merek) yang jelas dan mudah dimengerti, disamping warna dan bentuk yang menarik. Penggunaan warna yang cermat seperti warna yang terang akan lebih terlihat dari jarak jauh, karena memiliki daya tarik dan dampak yang lebih besar. Kombinasi dari unsur desain kemasan diciptakan untuk memunculkan daya tarik visual yang optimal. Daya tarik visual sangat berhubungan dengan faktor emosi dan prikologis yang kemudian berpengaruh dalam pola pikir dan keputusan pembelian konsumen. Hukum persepsi menunjukkan bahwa mata dan otak membutuhkan kesederhanaan dan keseimbangan

dalam segala hal yang dilihat. Setiap orang hanya akan melihat hal-hal tertentu yang akan direkam otak dan kemudian mempengaruhi pola pikir dan tindakan seseorang (Wirya, 1999, h.11). Kemasan yang baik adalah mampu membangkitkan atau

menggerakan perasaan yang kuat (emosi) bagi konsumen yang melihatnya, dengan memanfaatkan warna yang atraktif, gambar dan pemilihan material kemasan. Hal ini diperlukan karena sebuah kemasan akan bersaing dengan ratusan kemasan kompetitor lainnya di rak penjualan, terutama di supermarket. Kemasan harus memiliki makna dan karakter yang jelas terhadap calon konsumennya (Sonsino, 1990, h: 46). Untuk itu penulisan kata-kata pada kemasan harus jelas dan menawarkan manfaat (benefit) dibandingkan mencantumkan isi dari produk. 4. Snack Nabati PT. Nabati Kaldu Sari Nabati Indonesia salah satu produsen produk makanan ringan di Indonesia meluncur produk makanan ringan dengan merek Nabati. Produk tersebut mendapat respon yang baik terbukti dengan tersebarnya produk Nabati di berbagai supermarket dan toko dari perusahaan yang berbeda. Disusul dengan diluncurkan beberapa varian produk Nabati yang berbeda dalam waktu dekat, menunjukan repons baik konsumen dari merek tersebut. Kajian ini menjadi menarik karena penulis ingin mengetahui mengapa merek nabati mendapat respon yang baik dari konsumen. Penulis memfokuskan penelitian pada pencitraan merek Nabati terhadap kesan sehat pada produk makanan ringan. Persepsi nama Nabati menjadi kajian utama karena nama tersebut memberi kesan alami dan sehat. Jadi dalam proses pengenalan produk oleh konsumen menyasar pada pikiran bawah sadar mereka. Karena tekanan rasa takut pada produk makanan yang tidak sehat, Nabati memberi efek positif yaitu rasa aman dalam memberi produk tersebut. Konsumen tanpa harus meneliti lebih dalam terutama melihat kandungan bahan-bahan pembuat makanan ringan tersebut. Martin Lindstorm (2011) mengungkapkan keputusan pembelian konsumen terhadap produk atau jasa pada umumnya berdasarkan pikiran emosional (Lindstorm, 2011, h.22), dan rasa aman adalah salah satu pikiran emosional konsumen.

Yang menarik dari produk-produk nabati adalah sebagian besar menggunakan rasa keju. Hal ini memperkuat kesan sehat karena keju, seperti diketahui sebagian besar masyarakat, terbuat dari susu yang diolah secara fermentasi menjadi makanan yang enak. Keju dibentuk dari susu dengan menghilangkan kandungan airnya dengan

menggunakan kombinasi rennet dan pengasaman. Bakteri juga digunakan pada pengasaman susu untuk menambahkan tekstur dan rasa pada keju. Untuk memberi rasa, keju kemudian diperciki dengan garam. Keju termasuk protein yang tinggi nilai gizinya, menghasilkan energi yang besar, dan di dalamnya terkandung kalsium dan phosphorus, terutama keju-keju yang dimasak (http://fauzzzblog.wordpress. com). Rasa keju turut memperkuat persepsi konsumen terhadap merek Nabati menjadi makan ringan yang sehat dan baik bagi anak-anak.

(Sumber: www.nabatisnack.com)

5. Analisa dan Kesimpulan Dibandingkan dengan produk makanan ringan lainya yang sudah beredar lama, namanama produknya cenderung tidak merujuk pada satu pemaknaan yang jelas. Lebih banyak menggunakan penamaan yang mudah dilafalkan, seperti Chiki, Potato, Taro, Nyam-nyam, dan lain sebaganya. Berbeda dengan produk Nabati penggunnaan kata tersebut langsung merujuk pada pemaknaan yang terarah, yaitu produk yang alami. Hal ini terungkap dari dua responden ibu-ibu, yaitu ibu Hermawati dari Kota Bandung dan Ibu Ori dari Kota Cirebon, mereka mengatakan penggunaan kata Nabati cukup memberi keyakinan bahwa produk tersebut aman dan sehat untuk dikonsumsi anaknya. Berbeda dengan merek pembanding yang sudah dipersepsi tidak sehat karena menggunakan MSG. Kedua ibu-ibu tersebut mewakili konsumen kelas menengah keatas. Sedangkan oleh responden lainnya, yaitu Ibu Aan dan Ibu Pia (Cirebon dan Bandung kota), mewakili kelas menengah kebawah, mengatakan penggunakan merek Nabati memberi kesan produk tersebut bagus. Peneliti harus menelaah jawaban dari ibu-ibu tersebut,

karena kemungkinan tingkat pendidikan mereka sehingga sulit mengungkapkan makna sehat. Jadi Ibu Aan dan Ibu Pia lebih spontan mengatakan kata bagus dibandingkan kata sehat terhadap produk Nabati. Fakta ini menunjukan penggunaan kata Nabati mudah dimengerti dan cukup membantu konsumen mempersepsi produk tersebut adalah makanan yang sehat untuk dikonsumsi.

Dari sisi ilmu pencitraan (imagologi) rasa aman yang dibentuk oleh tulisan nabati, merupakan citra visual yang melibatkan kemampuan penglihatan dan persepsi dalam memahami citra nabati tersebut. Dalam tingkatan yang lebih tinggi menurut Feldman, citra aman dibentuk bukan oleh bendanya itu sendiri (isi produk) akan tetapi citra grafis dan citra verbal yang ada dalam desain kemasan Nabati. Citra grafis yang dimaksud adalah warna kemasan yang hijau cerah memberi kesan alami dan segar, bentuk huruf yang jelas dan mencerminkan bentuk dari isi produk didalamnya, dan keterbacaan tulisan dengan jelas. Sedangkan citra verbal dari tulisan Nabati yang secara linguistik memiliki makna alami dan alami dapat dipersepsikan sebagai sehat. Feldman mengatakan citra verbal bersifat linguistik yang ketika dipergunakan memberi gambaran dalam bentuk deskripsi maupun metafora (Pialiang, 2011, h.318). Apabila di hubungkan dengan ilmu neuro science yang dikembangkan oleh Martin Lindstorm, citra verbal dari Nabati membangkitkan penanda-penanda somantik dalam otak tentang pengalaman pemirsa terhadap kata tersebut (Lindstorm, 2011, h.134-135). Penanda somantik atau pembatas buku dapat memberi jalan singkat dari kata Nabati-tumbuhan-hidup-alami-

sehat. Jadi secara pikiran bawah sadar konsumen yang melihat tulisan Nabati akan menyimpulkan bahwa produk tersebut sehat. Di era ekonomi modern saat ini pencitraan produk menjadi sebuah kewajiban apabila ingin bersaing hadir dibenak pemirsa

(konsumen).Saat ini seolah-olah pencitraan menjadi lebih penting dibandingkan kenyataan produk itu sendiri. Dalam kaitan dengan kajian produk bermerek Nabati, perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah bahan baku pembuat produk bermerek Nabati ini, benar-benar sesuai dengan pencitraan sehat yang dibentuknya.

Sumber Pustaka: Kartajaya, Hermawan. 2011. Anxieties/Desire. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Kartajaya, Hermawan. 2008. New Wave Marketing: The World is Still Around, The Market is Already Flat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Lindstrom, M. 2011. Buy-Ology Rahasia di Balik Keputusan Membeli. Jakarta: Elex Media Komputindo Moriarty, S., Mitchell, N. & Wells, W. 2011. Advertising. Jakarta: Kencana Piliang, Amir Yasraf. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari Sonsino, Steven. 1990. Packaging Design: Graphics Material Technology. Singapore: Toppan Printing Company Wirya, Iwan. 1999. Kemasan yang Menjual. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Sumber Internet: http://duniaveteriner.com (Tanggal Akses 5 September 2011) www.okezone.com/2011 (Tanggal Akses 19 Oktober 2011) http://medicastore.com (Tanggal Akses 5 September 2011) http://fauzzzblog.wordpress.com/2008/08/29/segalanya -tentang-keju/ (Tanggal Akses 4 September 2011)

Responden: Ibu Hermawati: Umur 49 tahun, Ibu Rumah Tangga, Jalan Renang No.34 Arcamanik Bandung, Pengeluaran perbulan Rp. 2.000.000, Ibu Ori: Umur 30 Tahun, Ibu Rumah Tangga, Komp. Pilang Perdana No.15 Cirebon, Pengeluaran perbulan Rp.3.250.000, -

Ibu Aan: Umur 50 tahun, Pengasuh Anak (part timer). Kampung Kesambi Lama, Cirebon, Pengeluaran perbulan Rp.500.000, Ibu Pia: Umur 52 tahun, Pembantu Rumah Tangga ( part timer). Jl. Intan No.10 Sadang Serang Bandung, Pengeluaran perbulan Rp. 650.000,-