pencegahan-gas-rumah-kaca-

7
 7 AgroinovasI Edisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLI Badan Litbang Pertanian Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari Lahan Sawah Gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, kloroflurokarbon (CFCs), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90 % radiasi yang terjebak memberikan kehangatan bagi makhluk hidup di bumi. Dengan demikian sebenarnya efek rumah kaca tidaklah buruk, karena tanpa efek tersebut rata-rata suhu permukaan di bumi -18 o C. Seiring dengan kemajuan zaman yang diawali dengan adanya revolusi industri terjadi peningkatan GRK di atmosfer. Peningkatan ini berasal dari berbagai sumber, seperti CO2 dari industri, pembangkit listrik, pembakaran bahan bakar fosil dan transportasi, sedangkan CH4 berasal dari lahan pertanian dan limbah yang tidak diproses. Gas-gas tersebut menahan lebih banyak radiasi dari yang dibutuhkan oleh bumi dan hasilnya suhu di permukaan bumi pun naik. Sumbangan emisi GRK tertinggi dihasilkan oleh gas CO 2  , hampir 55% emisi GR K berasal dari gas ter sebut. Gas CH 4  hanya berkontribusi sekitar 15%, namun gas ini 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca daripada gas CO 2 . Hal ini berdampak pada kerusakan lapisan ozon dan kenaikan suhu di bumi. Sedangkan gas N 2 O memberikan kontribusi terkecil dari kedua gas sebelumnya, yaitu sekitar 6%. Meskipun kecil kontribusinya namun potensi terhadap efek rumah kaca paling tinggi, yaitu 296 kali dari CO 2 . Bagaimana dampak pemanasan global terhadap negara kita ini? Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan akan terkena dampak yang signifikan. Beberapa dampak yang akan diderita oleh Indonesia jika pemanasan global terus meningkat adalah 1) naiknya permukaan air laut setinggi 60 cm pada tahun 2070. Akibatnya penduduk di daerah pantai akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian dengan demikian pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih banyak lagi untuk rehabilitasi wilayah tepi pantai. Selain itu pada sektor pariwisata juga akan mengalami kerugian karena pantai-pantai yang berpotensi menghasilkan devisa negara terancam hilang oleh gelombang pasang. 2) krisis air bersih di perkotaan, khususnya Jakarta, karena rembesan air laut yang semakin besar. 3) perubahan iklim yang terjadi akan meningkatkan frekuensi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. 4) perubahan suhu dan pola hujan mengakibatkan produktivitas pertanian akan menurun.

Upload: taufikppns

Post on 05-Oct-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

efek rumah kaca

TRANSCRIPT

  • 7AgroinovasI

    Edisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLIBadan Litbang Pertanian

    Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK)Dari Lahan Sawah

    Gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, kloroflurokarbon (CFCs), metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90 % radiasi yang terjebak memberikan kehangatan bagi makhluk hidup di bumi. Dengan demikian sebenarnya efek rumah kaca tidaklah buruk, karena tanpa efek tersebut rata-rata suhu permukaan di bumi -18oC.

    Seiring dengan kemajuan zaman yang diawali dengan adanya revolusi industri terjadi peningkatan GRK di atmosfer. Peningkatan ini berasal dari berbagai sumber, seperti CO2 dari industri, pembangkit listrik, pembakaran bahan bakar fosil dan transportasi, sedangkan CH4 berasal dari lahan pertanian dan limbah yang tidak diproses. Gas-gas tersebut menahan lebih banyak radiasi dari yang dibutuhkan oleh bumi dan hasilnya suhu di permukaan bumi pun naik. Sumbangan emisi GRK tertinggi dihasilkan oleh gas CO2, hampir 55% emisi GRK berasal dari gas tersebut. Gas CH4 hanya berkontribusi sekitar 15%, namun gas ini 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca daripada gas CO2. Hal ini berdampak pada kerusakan lapisan ozon dan kenaikan suhu di bumi. Sedangkan gas N2O memberikan kontribusi terkecil dari kedua gas sebelumnya, yaitu sekitar 6%. Meskipun kecil kontribusinya namun potensi terhadap efek rumah kaca paling tinggi, yaitu 296 kali dari CO2.

    Bagaimana dampak pemanasan global terhadap negara kita ini? Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan akan terkena dampak yang signifikan. Beberapa dampak yang akan diderita oleh Indonesia jika pemanasan global terus meningkat adalah 1) naiknya permukaan air laut setinggi 60 cm pada tahun 2070. Akibatnya penduduk di daerah pantai akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian dengan demikian pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih banyak lagi untuk rehabilitasi wilayah tepi pantai. Selain itu pada sektor pariwisata juga akan mengalami kerugian karena pantai-pantai yang berpotensi menghasilkan devisa

    negara terancam hilang oleh gelombang pasang. 2) krisis air bersih di perkotaan, khususnya Jakarta, karena rembesan air laut yang semakin besar. 3) perubahan iklim yang terjadi akan meningkatkan frekuensi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. 4) perubahan suhu dan pola hujan mengakibatkan produktivitas pertanian akan menurun.

  • 8 AgroinovasI

    Badan Litbang PertanianEdisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLII

    Sektor pertanian (termasuk peternakan) selain sebagai sumber kehidupan bagi sebagian besar peduduk Indonesia ternyata juga menghasilkan lebih dari setengah emisi CH4 Indonesia. Luas areal persawahan di Indonesia sekitar 7.79 juta ha (2001) dan merupakan potensi besar untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, namun jika tidak dikelola dengan baik dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Keterkaitan pertanian dengan pemanasan global tidak terlepas dari cara budidaya petani dalam mengelola lahan pertanian. Beberapa upaya budidaya dilakukan untuk memperbaiki sistem pertanian yang mampu menekan emisi GRK namun tetap memprioritaskan tercapainya produktivitas yang tinggi.

    Pemanasan global dan berbagai dampak yang terjadi akhir-akhir ini juga dirasakan oleh masyarakat petani di Indonesia. Curah hujan yang ekstrim pada suatu wilayah sedangkan kekeringan berkepanjangan di wilayah yang lain membawa dampak menurunnya produktivitas lahan pertanian. Pada dataran tinggi, meningkatnya curah hujan akan memicu percepatan laju erosi tanah sehingga mengurangi hasil panen. Sedangkan pada dataran rendah akan kehilangan hasil panen akibat banjir.

    Adakah upaya yang dapat menekan emisi GRK sehingga dampak-dampak tersebut dapat ditekan? Upaya untuk menekan laju peningkatan pemanasan global akibat emisi GRK dari lahan pertanian telah banyak dilakukan melalui beberapa teknik budidaya seperti penggunaan varietas, pemupukan, pengaturan air, pengolahan tanah, penggunaan herbisida dan nitrifikasi inhibitor.

    Penggunaan VarietasBagaimana tanaman padi dapat menyebabkan emisi GRK? Emisi GRK yang

    dikeluarkan oleh tanaman padi terutama adalah CH4. Sekitar 90% gas CH4 dilepaskan melalui pembuluh aerenkima tanaman. Namun kemampuan dalam melepaskan gas CH4 berbeda-beda tergantung karakterisik varietas padi seperti sifat, umur dan aktifitas akar.

    Padi yang mempunyai jumlah anakan lebih banyak akan meningkatkan jumlah aerenkima sehingga emisi gas CH4 yang dikeluarkan juga semakin besar. Sedangkan varietas berumur dalam menghasilkan emisi gas CH4 yang lebih besar daripada

  • 9AgroinovasI

    Badan Litbang Pertanian Edisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLI

    varietas yang berumur genjah. Hal ini berhubungan dengan siklus hidup tanaman padi tersebut. Semakin lama periode tumbuh tanaman akan semakin banyak pula eksudat dan biomas akar yang terbentuk sehingga emisi gas CH4 menjadi tinggi. Eksudat merupakan senyawa organik yang mengandung gula, asam amino dan asam organik sebagai penyusun bahan mudah tersedia bagi bakteri penghasil gas CH4. Semakin banyak dan merata perakaran tanaman maka akan semakin besar pula distribusi eksudat ke dalam tanah.

    Pembentukan gas CH4 tidak terlepas dari kemampuan akar sebagai pengoksidasi dalam tanah. Varietas-varietas yang memiliki kapasitas pengoksidasi akar yang baik mempunyai potensi sebagi varietas yang dapat menekan emisi CH4. Melalui kapasitas pengoksidasi akar tersebut, pertukaran gas akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi gas O2, sedangkan konsentrasi CH4 akan teroksidasi secara biologi oleh bakteri metanotropik.

    Beberapa varietas yang telah diteliti menghasilkan emisi GRK yang rendah adalah IR 64, Dodokan, Tukad Balian, Batanghari, Ciherang dan Inpari 1. Jenis padi yang mampu menghasilkan emisi gas CH4 rendah adalah jenis padi tipe baru. Jenis padi sawah, padi pasang surut, dan padi tahan rendaman menghasilkan emisi gas CH4 kategori sedang sedangkan jenis padi hibrida menghasilkan emisi gas CH4 tinggi.

    PemupukanBudidaya tanaman padi tidak terlepas dari penggunaan pupuk anorganik.

    Pemberian pupuk N (urea dan ZA) pada lahan sawah merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan produksi tanaman padi. Namun pemberian pupuk ini berpotensi menyumbangkan GRK. Penggunaan ZA 90 kgN/ha yang disebar sebanyak 3 kali (pada 7, 21 dan 42 hari setelah tanam) menghasilkan emisi yang rendah. Sedangkan penambahan ZA sebesar 115 Kg N/ha juga menghasilkan emisi CH4 yang rendah. Hal ini disebabkan karena ion sulfat (SO42-) yang merupakan hasil samping hidrolisis ZA dapat memperlambat penurunan redoks tanah (Eh tanah) dan sulfur dalam pupuk tersebut merupakan salah satu pengambat perkembangan bakteri metanogen (bakteri pembentuk gas metan). Penggunaan urea juga berpeluang menekan emisi metan. Hal ini disebabkan karena amonium (NH4+) yang diserap oleh tanaman akan diseimbangkan dengan pelepasan H+ di sekitar perakaran sehingga menurunkan tingkat keasaman di sekitar perakaran tanaman yang selanjutnya akan menghambat perkembangan bakteri metanogen. Teknik lain yang diketahui dapat mengurangi emisi CH4 adalah mengkombinasikan penggunaan pupuk organik dengan pupuk N, mengaplikasikan pupuk N dengan cara membenamkan (cara tersebut juga dapat mengurangi hilangnya N karena volatilisasi).

    Penggunaan pupuk anorganik agar lebih efisien dan efektif didasarkan pada kebutuhan tanaman. Hal ini dapat dilihat dari warna daun padi dengan menggunakan bagan warna daun (BWD). Sedangkan pupuk organik diberikan pada saat pengolahan tanah setara 2 t/ha.

  • Edisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLII

    10 AgroinovasI

    Badan Litbang Pertanian

    Adapun penggunaan BWD adalah sebagai berikut:Pengukuran hijau daun padi dengan BWD dimulai pada saat tanaman berumur 1. 25-28 hst dan dilanjutkan setiap 7-10 hari sekali sampai fase primordia tanaman. Pilih secara acak 10 rumpun tanaman yang sehat, letakkan bagian tengah daun di 2. atas BWD dan bandingkan dengan warna BWD. Jika lebih dari 5 dari 10 daun yang diamati menunjukkkan warna di bawah skala 4 BWD, pupuk yang digunakan sebanyak 75-100 kg urea/ha pada musim hasil tinggi dan 50-75 kg/ha pada musim hasil rendah. Pada saat pengukuran sebaiknya pengukur tidak menghadap sinar matahari karena akan berpengaruh terhadap hasil pengukuran.Mitigasi emisi CH4 juga dapat ditekan dengan menggunakan pupuk silikat. Total

    emisi CH4 menurun sekitar 16-20% dengan penggunaan pupuk silikat sebanyak 4 Mg ha-1 dan hasil padi meningkat 13-18%. Pupuk silikat secara signifikan mendorong pertumbuhan tanaman khususnya biomassa akar, volume dan porositas akar yang dapat meningkatkan konsentrasi oksigen di rhizosfer. Meningkatnya konsentrasi oksigen tersebut akan meningkatkan pula oksidasi CH4 sehingga dapat mengurangi emisi CH4 ke atmosfer.

    Rejim Air Pengaturan air selain berpengaruh terhadap hasil padi juga berpengaruh

    pada besarnya emisi gas CH4. Pada kondisi tergenang emisi gas CH4 lebih tinggi daripada kondisi kering. Hal ini disebabkan kondisi tergenang merupakan kondisi yang ideal untuk bakteri metanogen dalam melakukan aktivitas metabolismenya untuk menghasilkan gas CH4. Penggenangan sawah secara terus-menerus biasa dilakukan oleh petani padahal tanaman padi tidak selamanya membutuhkan kondisi tergenang dalam proses pertumbuhannya. Upaya menekan besarnya emisi gas CH4 dari sistem pengairan perlu dilakukan karena selain dapat menurunkan emisi gas CH4 juga dapat menghemat penggunaan air yang berlebihan.

    Penggunaan pengairan secara terputus-putus (intermittent) merupakan manajemen pengairan yang paling efisien untuk mampu mengurangi emisi gas CH4 dari lahan sawah. Sistem pengairan yang dikombinasikan dengan olah tanah (intermittent + tabela + tanpa olah tanah (TOT)) menghasilkan emisi terendah dibandingkan dengan perlakuan olah tanah dengan berbagai kondisi pengairan (tergenang, intermittent dan macak-macak) baik dengan kombinasi tabela maupun tapin. Penggunaan pengairan intermittent dapat menekan emisi GRK sebesar 41-45% dibandingkan dengan pengairan terus-menerus. Selain itu dengan menggunakan pengairan intermittent berpeluang sebagai pengabsorpsi karbon karena net karbon yang dihasilkan bernilai negatif.

    Berdasarkan skema di atas, lahan yang menganut sistem intermittent dikeringkan saat tanaman berumur 15-20 hst dan 30-35 hst. Pada saat menjelang panen lahan juga dikeringkan. Adapun tinggi air untuk penggenangan sekitar 5 cm.

    Pada sistem PTT (Pengelolaan Tanaman padi Terpadu) yang menggunakan pengairan sistem intermittent (berselang) juga menunjukkan bahwa emisi gas CH4

  • 11AgroinovasI

    Edisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLIBadan Litbang Pertanian

    yang dihasilkan rendah (78.3 kg/ha/musim) dengan hasil panen mencapai 6.76 t/ha. Pada perlakuan PTT intermittent varietas yang digunakan adalah Ciherang dengan umur bibit 15 hss, 1 rumpun per lubang ditanam dengan sistem legowo 2:1. Pada sistem legowo ini tanaman ditanam secara berselang-seling 2 baris dan satu baris kosong. Adapun jarak legowo yang digunakan adalah 40 x 20 x 10 cm. Ketinggian air diatur dengan membuat batas ketinggian air pada pematang agar pada curah hujan tinggi air tetap terjaga pada ketinggian 15 cm. Pada lahan intermittent sebaiknya dibuat sistem buka-tutup pada galengan sehingga mempermudah dalam pengaturan air.

    Herbisida dan pengelolaan lahanPenggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas

    CH4. Kandungan bahan aktif dalam herbisida tersebut diduga menghambat aktivitas bakteri metanogen namun mekanisme penghambatannya belum diketahui secara jelas. Selain herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan (HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4, penggunaannya harus sesuai dengan anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan pencemaran lingkungan.

    Pada sistem olah tanah sempurna (OTS) dikombinasikan dengan pengairan tergenang menghasilkan emisi CH4 yang cukup tinggi. Pada sistem ini tanah diolah dengan menggunakan bajak atau cangkul pada kedalaman lapisan olah (+20 cm). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada OTS fisik tanah telah terdegradasi. Sedangkan pada sistem tanpa olah tanah (TOT), menghasilkan emisi CH4 yang relatif lebih kecil. Pada kondisi ini fisik tanah tidak terlalu diganggu kecuali untuk alur atau lubang tanam untuk penempatan benih sehingga degradasi lahan lebih terkendali. Sistem TOT ternyata efektif digunakan untuk mereduksi emisi CH4 yang berarti turut mereduksi besarnya potensi pemanasan global. Dengan menggunakan sistem TOT 12 % lebih efektif dari sistem OTS.

    Upaya untuk mereduksi emisi GRK terutama gas N2O adalah dengan segera menanam tanaman setelah pengolahan tanah (menghindari tanah dalam keadaan bera) dan menanam tanaman penutup selama periode bera untuk mengurangi konsentrasi nitrat dan amonia dalam tanah, serta memberikan kapur pada lahan masam.

    Besarnya emisi CO2 yang terjadi pada lahan pertanian tidak terlepas dari teknik pengelolaan tanah. Pada lahan yang dibiarkan bera gas CO2 secara umum diemisikan ke atmosfer. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pertanaman dan proses fotosntesis tidak terjadi sehingga tidak ada media yang berfungsi sebagai penyerap CO2.

    Gulma (famili graminae) yang terdapat pada pertanaman juga memberikan kontribusi terhadap emisi CH4, sehingga upaya untuk menekan emisi perlu dilakukan. Sebelum tanam, gulma dikendalikan dengan herbisida yang ramah

  • 12 AgroinovasI

    Badan Litbang PertanianEdisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLII

    lingkungan, yaitu mudah terdegradasi, tidak menimbulkan polusi dan tidak merusak lingkungan. Sisa-sisa tanaman pada musim sebelumnya dimanfaatkan untuk menutupi tanah yang berfungsi untuk menekan pertumbuhan gulma dan mengawetkan tanah dan air.

    Penggunaan zat penghambat nitrifikasi (Nitrification inhibitor)Pemupukan dan manajemen pengairan merupakan dua faktor yang paling

    penting dari beberapa faktor yang langsung berpengaruh pada proses nitrifikasi dan denitrifikasi dari tanah pertanian yang menghasilkan emisi dalam bentuk N2O dan NO. Pengelolaan penggunaan pupuk N yang baik berperan penting untuk meminimalisir residu nitrat tanah yang dapat membantu menurunkan peningkatan emisi N2O. Penggunaan urea+hydroquinone (HQ)+DCD dapat menurunkan emisi N2O dan CH4 masing-masing sebesar 30 % dan 50 % jika dibandingkan dengan control.

    Proses nitrifikasi yang menghasilkan nitrat dan berlangsung secara alamiah diperlukan oleh tanaman. Namun demikian bila proses tersebut lebih cepat daripada serapan nitrat tanaman maka nitrat akan mencemari lingkungan. Selanjutnya proses nitrifikasi biasanya juga diikuti oleh denitrifikasi yang menghasilkan gas N2O yang dilepaskan ke udara. Akibat proses tersebut maka efisiensi pupuk N masih rendah (sekitar 20-30%), terjadi pencemaran nitrat dan emisi N2O ke udara. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mempertahankan nitrogen dalam bentuk NH4+. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bahan penghambat nitrifikasi. Selain dapat mempertahankan N, penghambat nitrifikasi dapat menurunkan emisi gas N2O dan CH4 dari tanah sawah.

    Beberapa bahan penghambat nitrifikasi dari industri kimia antara lain dicycendiamine (DCD), nitrapyrin, encapsulated calcium carbide (ECC), N-2,5-dichlorophenil succinamic acid (DCS). Bahan-bahan tersebut secara nyata telah dapat mereduksi emisi N2O dan meningkatkan produksi tanaman padi. Selain itu S-benzylisothiouronium butanoate (SBTbutanoate) dan S-benzylisothiouronium furoate (SBT-furoate) yang digunakan pada pertanaman gandum mampu mereduksi potensi pemanasan global sebesar 8.9 19.5 %. Bahan penghambat nitrifikasi inhibitor lainnya adalah 3,4-dimethylpyrazole phosphate (DMPP), 2-chloro-6 (trichloromethyl) pyridine, sulfathiazole, 2-amino-4-chloro-6-methyl pyrimidine, 2 mercaptobenzothiazole, thiourea, 5-ethoxy-3-trichloromethyl-1,2,4-thiadiazole (terrazole), dan karbofuran (2,3-dihidro-2,2-dimetil-7-benzofuranil metilkarbamat)

    Selain dari industri kimia, beberapa bahan tanaman dapat berfungsi sebagai zat penghambat nitrifikasi, diantaranya tanaman babandotan (Ageratum conyzoides), kunyit (Curcuma domestica Val.), daun randu (Ceiba pentandra Gaertn.), bakau (Rhizophora conjugata Linn., mimba (Azadirachta indica), dan Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L). Penggunaan biji mimba (20 kg/ha) dapat menurunkan fluks N2O sebesar 48.9 % di lahan sawah tadah hujan. Biji mimba mengandung senyawa polifenol (0,13% tannin). Polifenol dalam tanah dapat menghambat aktivitas bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi.nRina Kartikawati, Helena Lina Susilawati, Miranti Ariani, Prihasto Setyanto