penatalaksanaan-urtikaria plus bhn dr mulya
TRANSCRIPT
Urtikaria
A. Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat
dikelilingi halo.2
Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772,
walaupun sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai
dengan onset edema setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan
terbakar yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab.1,2 Urtikaria juga kadang
dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran, kaligata.2
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25%
populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik.
Urtikaria akut adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari
pengobatan di unit gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit
paling umum yang dirawat di UGD.1 Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama
lebih dari 6 minggu dapat mengganggu kualitas hidup seseorang.3
Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun,
ketika urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter
yang merawat.4 Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah
ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil
seperti yang diharapkan.2 Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah
umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi.
Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan menjadi first-line therapy, second-line
therapy, dan third-line therapy.3
B. Anatomi dan Fisiologi Kulit
1. Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Lapisan luar
kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau korium.5
1
Gambar 1. Lapisan Epidermis Kulit.6
Gambar 2. Anatomi Kulit.7
Epidermis terdiri atas lima lapisan yaitu stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (stratum germinativum).
Fungsi epidermis sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan
sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan
alergen (sel langerhans).5
Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papiler dan lapisan retikuler yang
merupakan lapisan tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Fungsi dermis berfungsi
sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing
forces dan respon inflamasi. Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak, berfungsi menunjang suplai darah ke
dermis untuk regenerasi.5
2
2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya
adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier
infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi, dan metabolisme.
Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma
mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Kulit
berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.5
C. Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria
(kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam
hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi
semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden
urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria
berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak
dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita
setengah baya.4
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%)
daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis,
atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota
dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang
secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari
500.000.8
D. Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2
1. Obat
3
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara
non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya
opium dan zat kontras.2
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan,
kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih
banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).2
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,
dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).2
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect
repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan,
dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non
imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa
menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau
fenomena Darier.2
8. Infeksi dan infestasi
4
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun infestasi parasit.2
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang
menunjukkan penurunan autosomal dominant.2
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi
lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2
E. Klasifikasi
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada
etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria
dan banyak kasus karena idiopatik.3 Terdapat bermacam-macam klasifikasi urtikaria,
berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik.
Klasifikasi urtikaria yang lain tampak pada tabel 1.3,9
Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria
Ordinary urticarias
Acute urticaria
Chronic urticaria
Contact urticaria
Physical urticarias
Dermatographism
Delayed dermatographism
Pressure urticaria
Cholinergic urticaria
Vibratory angioedema
Exercise-induced urticaria
5
Adrenergic urticaria
Delayed-pressure urticaria
Solar urticaria
Aquagenic urticaria
Cold urticaria
Special syndromes
Schnitzler syndrome
Muckle-Wells syndrome
Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy
Urticarial vasculitis
1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya hilang
dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan
atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau
rekuren.3
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2,
pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6
minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat
mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat
di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak
dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-
independen).3
4. Urtikaria Fisik
6
Gambar 3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9
Gambar 4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.11
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan
merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang
tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.9,10 Dermographism
tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang
sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi,
kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9
b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa
immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul
eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering
disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit.
Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk
pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan
dengan tangan.9
d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat
berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena
paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena
7
Gambar 5. Cold Urticaria. 9
Gambar 6. Cold Urticaria. 9
getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan
yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing
pada wajah. 9,10
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).
Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan
dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara
paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata
durasi episode adalah 12 jam.9
f. Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic
urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan
biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh
flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10
g. Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam
beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit
8
Gambar 9. Exercise-induced anaphylaxis.14
setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti
terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10
h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-
kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar
matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil
dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A
(UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.9
i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari
pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang
berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan
olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9
Gambar 8. Solar Urticaria. 13
9
j. Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang
terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran
norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus
seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.9,10
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria
dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa
antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil
yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10
4. Sindrom Khusus
a. Schnitzler syndrome
Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh
pruritic non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau
radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan
monoclonal IgM gammopathy. 3,15
b. Muckle-Wells syndrome
Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan
autoinflammatory yang ditandai dengan urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural
yang progresif, dan amiloidosis.3,16
c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal
yang dikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP).
Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari
dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.9
10
d. Urticarial vasculitis
Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari urtikaria kronis.
Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari urticarial vasculitis cenderung bertahan
lebih lama dari 24 jam dan berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini
juga digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura karena
garukan.3
F. Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan
cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast
atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang
nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang
peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan
amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan
beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin,
dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung
dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya
panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel
mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat
merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas.2
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi
degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak
pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga
11
SEL MAS BASOFIL
FAKTOR NON IMUNOLOGIK FAKTOR IMUNOLOGIK
Efek kolinergik
Faktor fisik(panas, dingin, trauma,
sinar X, cahaya)
AlkoholEmosi Demam
Idiopatik?
Bahan kimia pelepas mediator(morfin,kodein)
Reaksi tipe I (IgE)(inhalan, obat, makanan, infeksi)
Reaksi tipe IV (kontaktan)
Pengaruh komplemen
Reaksi tipe II
Reaksi tipe III
URTIKARIA
Aktivasi komplemenklasik – alternatif
(Ag-Ab, venom, toksin)
Faktor genetik(defisiensi C1 esterase inhibitor)
PELEPASAN MEDIATOR(histamin, SRSA, serotonin, kinin, PEG, PAF)
VASODILATASIPERMEABILITAS KAPILER ↑
Gambar 10. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria2
ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif
menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast
dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan
kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat
kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga,
bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik
menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
G. Gejala dan Tanda
1. Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4
a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
b. Biduran berwarna merah muda sampai merah.
12
c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul
seterusnya.
d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare,
muntah dan nyeri kepala.
2. Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4
a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang
bagian tengah tampak lebih pucat.
b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi,
respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan,
maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan
perubahan pigmentasi.
e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek
tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
H. Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan
submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat
disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada
angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.
Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan
yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang
nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran
13
nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat),
serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.9
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.
Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang
sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat
tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi
berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir
tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang
lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon
cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular,
berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.17
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan,
tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula
coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat
juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.17
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat
atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis
alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti
belum diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya
penyakit. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor
dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2
14
5. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap
suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat
terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat
pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas.2,17
I. Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal
dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. 9
Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah
sebagai berikut: 4
a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan baru
yang ditambahkan dalam menu makanan?
b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat
baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut?
c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?
d. Apakah pasien sedang hamil?
e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan,
vibrasi?
f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak
dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja?
g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan serangga?
2. Pemeriksaan Fisik
15
a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 9,18
Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi
kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
Dermographism.
b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan
menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa,
diantaranya adalah: 9
Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.
Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.
Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya
hepatitis atau penyakit kolestatik hati.
Pembesaran kelenjar tiroid.
Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.
Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan
penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus
(SLE).
Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm
(asthma).
Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan darah
rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit
penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi,
elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan
16
membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4
komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.19
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2
c. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik
(radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan
serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai
tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor
vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20
d. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes
alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes
provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin
keamanannya.18
e. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2
f. Tes foto tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.18
g. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria
kolinergik.2
h. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai
adanya alergi pada suhu tertentu. 2
i. Pemeriksaan histopatologik
17
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2
Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat
perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak
antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain
itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh
limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik
perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya
pada kulit yang bersangkutan.10
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik.
Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran
limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon
alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau
urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi
berhubungan derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan)
sampai ke vaskulitik (parah).4
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line
therapy, dan third-line therapy.3
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari: 3,4
a. Edukasi kepada pasien:
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan
menggunakan bahasa verbal atau tertulis.
Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak
mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan
fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
18
Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres,
alcohol, dan agen fisik.
Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau
2%.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan
angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada
reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping
farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin
yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi
nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.2
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,
aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih
cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih
lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin)
sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.
Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik
bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara
oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long
acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi
karena tidak dapat menembus sawar darah otak.2
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada
beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe
H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya
19
yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah
cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line
therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus
UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria
fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
b. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai
efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.
Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang
bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat
bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan
untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan
efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-
pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3
c. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin
gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah.
Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan
menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan
kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis,
vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis,
20
yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari
kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa
tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan
untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan
urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia,
osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,
methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi
prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa
40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2
mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat
mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60
mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-
anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,
diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4
d. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan
mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria
kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti
montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih
dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria
kronik.3
e. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan
whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan
dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.3
21
3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon
terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,
cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).
Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun
dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine,
dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.3
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan
dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan
urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan
dosis 20-µg/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-
dependent urticaria.3
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen
pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme
yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi
anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1
dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk
mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan
harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant
pharmacotherapy.3
c. Obat lainnya
22
First-line TherapyEdukasiLangkah non-medis ↓Antihistamin
Second-line TherapyFarmakologiNon-farmakologiPUVAAntidepresanKortikosteroidLeukotriene receptor antagonistCCB
Third-line TherapyImmunomodulatory agentCyclosporineTacrolimusPlasmapheresisObat lain:Colchicine DapsoneHydroxychloroquineTerbutaline
URTIKARIA
Gambar 11. Alur Penatalaksanaan Urtikaria.
NACNAC selama 3 minggu
Identifikasi dan menghilangkan penyebab.
Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)
Ringan Sedang-Berat Berat(Distress pernapasan, asma, edema laring)
Antihistamin H1 non sedatif Antihistamin H1 non sedatif
Antihistamin H1 non sedatif+
Kortikosteroid oral
Epinefrin subkutan↓
Kortikosteroid sistemik(oral atau IV)
↓Antihistamin H1 (IM)
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola
urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin
paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik
idiopatik; dan telah dikaitkan dengan respon yang baik pada
hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist
terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya
umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia
yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3
23
Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal,
namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun
demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami
menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai
pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut
sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif seharusnya juga menjadi terapi pilihan
utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian
kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang
menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau
edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan,
kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.20
24
Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu
dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan. Strategi
penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif.
Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur,
antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1
mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek dengan
harapan dapat memotong siklus penyakit.20
K. Prognosis
25
Identifikasi dan menghilangkan penyebab.
Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)
NAC
Antihistamin H1 non sedatif
NAC
Antihistamin H1 non sedatif+
Tambahan obat:antihistamin H1 pada malam hari, antidepresan trisiklik, antihistamin H2.
Antihistamin H1 + kostikosteroid oral jangka pendek + pencarian/penanganan untuk urtikaria karena vaskulitis, faktor tekanan, dan lain-lain + dicoba obat lain
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 17 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.
3. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
27
4. Anonim. (2009). Epidermal Layer. Wordpress, Gambar. Diakses 16 Desember 2009, dari http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg
5. Anonim. (2009). Skin Anatomy and Physiology. Gambar. Diakses 16 desember 2009, dari http://www.essentialdayspa.com/images/emerginc/Skin_Anathomy_and_Physiology.gif
6. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220
7. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 16 Desember 2009, dari http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jpg
8. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg
9. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg
10. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
11. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
12. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
13. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html
Angioedema
Mulya Safri
Pediatric Department
28
Faculty of Medicine
Syiah Kuala University Banda Aceh
Angioedema :
• Swelling of deep dermis, subcutaneous or submucosal tissue due to
vascular leakage.
• ]It was first described in 1586.
Giant urticaria,Quincke edema,and angioneurotic edema
nonpitting and nonpruritic.
The area of involvement is often skin-colored or slightly
erythematous.
• Depending on the area of swelling, pain can be absent or mild, as in most
peripheral or facial swelling, or can be very severe, as in gastrointestinal
angioedema.
• Laryngeal swelling is life-threatening. It should be treated as a medical
emergency
20% population have urticaria and/or angioedema
50% of these patients have urticaria and angioedema
40% have only urticaria
10% have only angioedema
• Angioedema is often associated with urticaria.
• In fact, almost 50% of patients who present with urticaria also have
angioedema.
• Angioedema, with or without concurrent urticaria, may often have
different etiologies.
• Hereditary angioedema (HAE) and acquired angioedema (AAE), special
types of angioedema caused by decreased functional C1-esterase inhibitor
(C1-INH),
Pathophysiology
29
• The swelling of the affected area of angioedema is a result of the fast
onset of increase of local vascular permeability in submucosal and
subcutaneous tissue.
• IgE-mediated mast cell activation and degranulation, key elements of an
allergic reaction, often manifest as urticaria and angioedema.
• Non–IgE-mediated mast cell activation/mediator release may explain
certain autoimmune-mediated and idiopathic angioedema.
• In addition to mast cells, many other cells, such as macrophages,
dendritic cells, lymphocytes, monocytes, eosinophils, and endothelial cells,
have been shown to be involved in the pathogenesis of angioedema.
• Plasma and tissue factors, such as bradykinin, and certain components in
contact system or fibrinolytic systems are also found to play an important
role in certain forms of angioedema.
• Urticaria is often discussed together with angioedema.
In many cases, they are remarkably similar, both in underlying etiologies
and clinical management strategies.
• On the other hand, angioedema is also quite different from urticaria. It
usually involves a deeper layer of skin (reticular dermis) or subcutaneous
or submucosal tissue
• urticaria affects a more superficial layer of skin (papillary dermis and
mid dermis). In fact, mucosal involvement is observed in angioedema but
not in urticaria.
• In addition, pruritus is the most prominent complaint in urticaria but is
less troublesome or absent in angioedema.
• Furthermore, pain or tenderness is uncommon in urticaria but frequent
or even severe in angioedema. Addressing these differences is necessary
for successful treatment of angioedema.
Frequency
United States
30
• Angioedema (excluding HAE or acquired angioedema [AAE]) may affect
10-20% of the population at some time in their lives.
• The great majority of chronic angioedema is idiopathic.HAE is an
autosomal dominant genetic disorder with an estimated prevalence of 1
per 10,000 to 150,000 persons.
• AAE is even less common. Until 2006, about 136 cases had been reported
in the literature.
• The reported incidence of ACE inhibitor induced angioedema varies
from 0.1% to 6%.
International
International occurrence rates are believed to be similar to those reported
in the United States.
Mortality/Morbidity
• Angioedema is one of the most troubling complications of an acute
allergic reaction.
In one study, 69.4% of 138 patients who had anaphylaxis were found to
have angioedema.
• Angioedema can be life-threatening when it involves the larynx and
upper airway, leading to trouble breathing, asphyxia, and even death.
• angioedema presented in the emergency room, 10-25% of cases are
considered to be life-threatening.
Race
• African Americans are more susceptible to angioedema induced by ACE
inhibitors. Compared with white persons, the adjusted relative risk is
about 3.0 to 4.5.
• Other forms of angioedema have no clear association between race and
the disease frequency or severity.
Sex
• Estrogen may exacerbate certain forms of angioedema.
31
• In HAE, affected women tend to have more frequent attacks and run
more severe clinical courses.
• Chronic idiopathic angioedema is more common in females than in
males. Other types of angioedema do not show a strong sex
preponderance.
Age
• Angioedema can affect patient of all ages. Allergic reactions to food are
more common in children. For patients with HAE, the onset of symptoms
is often around puberty.
Clinical
History
• Patients usually describe swelling of the face (eg, eyelids, lips), tongue,
hands, and feet. It can be acute or chronic, and each episode of
angioedema may last a few hours to a few days. A local burning sensation
and pain can be observed without pronounced itchiness or local
erythema. Abdominal pain can sometimes be the only presenting
symptom of angioedema. Throat tightness, voice changes, and trouble
breathing may indicate airway involvement.
For acute and new-onset angioedema, special attention should be directed
to the potential relationship with food or drug intake, insect stings, or
other unusual exposures. For chronic and recurrent cases, ask the patient
about potential triggers, medication use and associated medical history,
family history, and past evaluation.
Physical
For skin involvement, examination can easily identify areas of swelling with
or without erythematous skin, often with ill-defined margins. Some cases of
angioedema occur in patients with urticaria.
The examination of abdominal (intestinal mucosal) angioedema can be
32
challenging. The patient may have changes in bowel sounds and diffuse or
localized tenderness. Some cases may resemble an acute abdomen.
Uvula or tongue swelling can be visualized directly. However, a laryngoscopy is
needed to assess laryngeal or vocal cord involvement.
Documentation of swelling by physician notes, photographs, or both is
important.
Angioedema pada bibir
Angioedema pada wajah
Angioedema can be categorized :
• as allergic,
• pseudoallergic,
• nonallergic, or idiopathic.
More than 40% of chronic angioedema is idiopathic.
All cases of angioedema pose significant diagnostic and treatment
challenges.
Allergic angioedema
• Allergic angioedema is often associated with urticaria. It is typically
observed within 30 minutes to 2 hours after exposure to the allergen (eg,
food, drug, venom, latex).
• Brown et al reported 142 patients with anaphylaxis who presented in the
emergency department. Angioedema was present in 40% of the cases
(49.3% of those with urticaria).
Pseudoallergic angioedema
• Pseudoallergic angioedema is not IgE-mediated.
• However, its clinical course and presentation is very similar to allergic
angioedema.
33
• Typical examples are angioedema induced by nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs) and intravenous contrast material; aspirin
(ASA) is the most common culprit.
• True IgE-mediated reactions to ASA or other NSAIDs are uncommon.
The angioedema (with or without urticaria) reflects the pharmacologic
properties of the drugs.
By inhibiting cyclooxygenase (COX), ASA and NSAIDs lead to
overproduction of proinflammatory and vasoactive leukotrienes.
COX-2 inhibitors and acetaminophen do not usually cause angioedema.
Nonallergic angioedema
Nonallergic angioedema does not involve IgE or histamine; urticaria is
generally not associated with this type of angioedema.
• Hereditary angioedema (HAE) is perhaps the prototype of this type of
angioedema.
Decreased functional C1-INH production leading to unchecked
bradykinin production are believed to be the fundamental changes in HAE types
I and II.
Acquired angioedema (AAE) also has decreased C1-INH function due to
autoantibody production or accelerated consumption of C1-INH.
• ACE inhibitor–induced angioedema (AIIA) is bradykinin-mediated, as in
cases of HAE and AAE. ACE inhibitors interfere with the degradation of
bradykinin, a potent vasoactive nonapeptide.
Hereditary angioedema
Idiopathic angioedema (1)
The causes of idiopathic angioedema are, by definition, not identifiable.
Furthermore, the exact mechanisms are unclear. ]Some may be associated with
urticaria. Based on responses to medication, some cases are thought to be
mediated by mast cell activation, albeit IgE-independent.
34
Physical urticaria/angioedema: Common triggers include heat, cold,
emotional stress, and exercise. Nonspecific mast cell activation and
degranulation are suspected causes.
Autoimmune conditions: Thyroid autoantibodies are found in 14-28% of
patients with chronic urticaria/angioedema, and IgG autoantibodies to either the
high affinity receptor for IgE (FceRI) or to IgE are found in 30-50% of patients
with chronic urticaria/angioedema.[11,22 ]In affected individuals, autoantibody
(IgG) has been found to crosslink FceRI on mast cells, resulting in mast cell
activation and release of histamine, cytokines, and other proinflammatory
mediators. Immunomodulatory drugs may be beneficial for this type of
angioedema.[23 ]
Idiopathic angioedema (2)
Infections:
The link between infection and angioedema is vague at best. Helicobacter
pylori infection has been found to be associated with HAE exacerbation.
Treatment of H pylori infection has led to clinical improvement of chronic
urticaria and angioedema.
Systemic viral, bacterial, or parasitic infection may stimulate the immune
system and cause improper activation or inflammatory changes.
Estrogen-dependent angioedema:
C1-INH functions normally in estrogen-dependent angioedema.
This has been proposed as HAE type III.
The exact mechanism of angioedema in these patients is still unclear.]In
some of the affected patients, FXII point mutation results in a gain of function
that can potentially affect the metabolism of bradykinin.
Gleich syndrome: Patients with this syndrome exhibit elevated eosinophil
with angioedema. It responds well to corticosteroids. It is thought to be related
to hypereosinophilic syndrome.
In addition to the elevated eosinophils count, IgG autoantibody against
endothelial cells has been identified.
35
Allergic
Inhalants
Bites and stings
Natural rubber latex
Foods (eg, milk, eggs, peanuts, tree nuts, soy, wheat, seafood, sulfites)
Drugs
ACE inhibitors
Beta-lactam antibiotics
Sulfonamides
Aspirin/nonsteroidal anti-inflammatory drugs
Insulin
Dilantin
Streptokinase
Viral infections
Herpes simplex
Hepatitis B
Hepatitis C
Mononucleosis
Coxsackieviruses A and B
Bacterial infections
Dental caries/abscesses
Pharyngitis
Tonsillitis
Sinusitis
Otitis media
Upper respiratory infection
Urinary tract infection
Parasitic infections
Ascaris species
Strongyloides species
36
Echinococcus species
Toxocara species
Fasciola species
Filaria species
Schistosoma species
Histamine-mediated angioedema
Histamine-mediated angioedema is either IgE-dependent (eg, allergic
reaction due to food or drug) or IgE-independent (eg, radiocontrast media).
NSAIDs related and most idiopathic angioedema are treated with same
measures.
Most cases can be managed well with outpatient treatment alone.
Antihistamines as described in the urticaria article are often used as the first-
line treatment for angioedema. Leukotriene antagonists may be helpful in
theory; however, clinical observation has not confirmed their benefits in
urticaria or angioedema.
For moderate to severe cases, close monitoring is often necessary.
Diphenhydramine (50) mg IM/IV is helpful. Hydrocortisone (200 mg) or Solu-
Medrol (40-60 mg) IV may reduce the possibility of relapse.
For laryngeal swelling and airway obstruction, close monitoring of the
airway is mandatory. Epinephrine (1:1,000) should be administrated IM at 0.01
mg/kg or 0.3 mg repeated every 10-15 min, if necessary. Occasionally, intubation
or even tracheostomy may be necessary. These patients should be admitted for
at least 24 hours of observation.
Prophylactic second-generation antihistamines, often at doses up to 4 times
the standard dose, with or without H2 blockers are often used to help reduce the
severity or frequency of attacks.
Corticosteroid use should be limited to severe cases.
Cyclosporin A and various other immunomodulatory drugs, including
omalizumab, have shown to be effective for many recalcitrant cases of chronic
idiopathic urticaria and angioedema
37
Bradykinin-mediated angioedema
• ACE inhibitor–induced angioedema is a classic example of this type of
angioedema.
• HAE, AAE, estrogen-dependent angioedema, and certain idiopathic
angioedema are bradykinin-mediated.
• Antihistamines do not work for these patients.
• Cortical steroids have limited or no value.
Treatment of acute angioedema:
includes the following:
– Monitor and support airway as in histamine-mediated
angioedema.
– Epinephrine does not work as well as in histamine-mediated
angioedema. Its value for treating acute HAE attacks is limited.
– Severe abdominal pain may sometimes be the only presenting
symptom for these patients when seeking emergency medical care.
– Supportive care includes pain control and relief of nausea.
– Fresh frozen plasma (2 units) has been shown to be helpful in
certain patients. However, fresh frozen plasma worsening an acute
attack of laryngoedema has also been reported. If this treatment is
used, be ready to intubate or perform a tracheostomy, if
necessary.
– Antifibrinolytics (eg, Amicar or Traxeminic acid) may be helpful.
– C1-INH infusion (Berinert, 20 U/kg) can be used for acute HAE
attacks. It is reportedly used in other types of angioedema attacks.
However, its clinical efficacy in other types of angioedemas has not
been fully studied.
– Ecallantide (Kalbitor, a kallikrein inhibitor that suppresses
bradykinin generation), received FDA approval for treatment of
acute HAE attacks in December 2009. During attacks, unregulated
plasma kallikrein activity results in excessive bradykinin
38
generation, resulting in swelling, inflammation, and pain.
Ecallantide is a potent, selective, reversible inhibitor of plasma
kallikrein, thereby reducing the conversion of kininogen to
bradykinin.
– Icatibant 30 mg (a B2 bradykinin receptor antagonist) SC may be
used for moderate to severe acute HAE attacks (approved only in
Europe).
Prevention of attacks
(short-term and long-term prophylaxis)
– Remove ACE inhibitors from the patient's regimen. Most patients
with angioedema induced by ACE inhibitors can tolerate an
angiotensin II receptor blocker (ARB). In rare patients, even an
ARB must be avoided.
– Avoid estrogen-based oral contraceptives.
– May consider androgen derivatives or antifibrinolytics.
– May consider C1-INH infusion. Purified C1-INH (Cinryze) is
currently FDA-approved only for prophylactic treatment (see
Medication section below).
– May consider fresh frozen plasma for short-term prophylaxis.
Treatment of the underlying disorder associated with AAE usually
results in correction of the abnormality.
Surgical Care
Surgical intervention may be necessary in case of severe laryngeal edema,
when intubation is difficult to perform and tracheotomy is needed.
Use in case of laryngeal edema.
Has alpha-agonist effects that include increased peripheral vascular
resistance and reduced vascular permeability.
Dosing
Pediatric
39
0.01 mg/kg (max. dose 0.3 mg) IM prn
EpiPen Jr with 0.15 mg dose, is available for children <30 kg; EpiPen may be
used for children >30 kg
Twinject is pen-sized device containing two doses of epinephrine available either
as 0.15 or 0.3 mg formulation; first of two doses is delivered by autoinjector
while second is injected manually as needed
40
41
42
43
44
45