penatalaksanaan tb paru pada anak

17
PENATALAKSANAAN TB PARU PADA ANAK 1. Medikmentosa Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR. Isoniazid Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.

Upload: nabilapratiwy

Post on 01-Dec-2015

121 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

terapi tb

TRANSCRIPT

Page 1: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

PENATALAKSANAAN TB PARU PADA ANAK

1. Medikmentosa

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),

isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin

dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,

etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-

aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,

ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,

amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.

Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang

sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam

keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik

terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman,

dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan

pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang

(adverse reaction) yang sangat rendah.

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah

5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali

pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300

mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak

stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam

darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling

sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak

mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan

dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu

Page 2: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi

kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan

neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien

dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian

besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar

transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan

menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar

transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila

ada gejala dan tanda klinis.

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki

semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat

dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem

gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum

puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral

dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali

pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin

tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.

Distribusinya sama dengan isoniazid.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang

kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum,

dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping

rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan

hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan

kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan

isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara

menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.

Page 3: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan

kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa

obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol,

kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian

kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk

anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan

menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum

bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan

dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan

diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai

dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum

puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif

karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul

akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman

pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami

efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada

anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya

adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi

hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk

tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan

makanan.

Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada

mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid

jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,

berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap

obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25

Page 4: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam.

Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi

dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu

tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada

keadaan meningitis.

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan

etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan

buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak

yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang

terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya

pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada

anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya

tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman

ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk

membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam

pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase

intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular

dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50

µg/ml dalam waktu 1-2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi

tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik

pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan

utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap

isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi

pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran

dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal

jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati

Page 5: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf

pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan

tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,

buta warna merah-hijau, penyempitan lapang

pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Gambar 1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

1.1 Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan

pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga

macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase

lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk

membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang,

selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari,

Page 6: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan

setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada

anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif

diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan

hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti

milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif

diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan

etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan

isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB

milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB

diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam

tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah

2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid

Rifampisin

Pirazinamid

Etambutol

Streptomisin

Prednison

Gambar 2. Paduan Obat Antituberkulosis

1.2 Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan

setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada

anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan

dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan

Page 7: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau

membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,

misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan

nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan

dilanjutkan.

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan

secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti

TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto

rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,

sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan

setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila

pada awal pengobatan nilainya tinggi.

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan

tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan

evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi

adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya

pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang

lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi

evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,

kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi.

Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat

dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu

dilakukan secara rutin.

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu

subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan

dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya

kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi

menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan

pengobatan 6 bulan

1.3 Evaluasi efek samping pengobatan

Page 8: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang

cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek

samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak

melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15

mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan

Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat

Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40

U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta

peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai

dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati

yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak

membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan

enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi

spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala,

atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian

rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat

pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya

penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan

rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan

dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.

Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali

batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian

kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT

diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya

dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang

dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan

laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada

Page 9: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose)

dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.

1.4 Putus obat

Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2

minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi

klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan

berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan

selanjutnya.

1.5 Multi Drug Resistance (MDR) TB

Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten

terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan

rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada

perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan

meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa

penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,

penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang

tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji

kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB

tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus

meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah

di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut

WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %,

sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi

directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya

1,6% saja.

2. Nonmedikamentosa

2.1 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Page 10: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan

obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan

dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps

dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah

dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed

treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang

telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan

TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB

dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen

yaitu sebagai berikut :

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan

langsung oleh pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB.

2.2 Sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari

sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber

penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan

anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan

radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan

sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di

sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak

disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB

Page 11: Penatalaksanaan Tb Paru Pada Anak

(pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.

2.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena

pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu

yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan

juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin,

dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan

medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan

kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak

tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada

orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali

pada TB berat.