penanganan farmakologi nyeri akut pada kasus trauma

Upload: ridwan-fajiri

Post on 30-Oct-2015

100 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Penanganan Farmakologi Nyeri Akut Pada Kasus Trauma

Pendahuluan

Keluhan nyeri merupakan keluhan yang paling umum kita temukan atau dapatkan ketika kita sedang melakukan tugas kita sebagai bagian dari tim kesehatan, baik itu di tataran pelayanan rawat jalan maupun rawat inap, yang karena seringnya keluhan itu kita temukan kadang kala kita sering menganggap hal itu sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita berikan tidak cukup memberikan hasil yang memuaskan di mata pasien.

Nyeri sesungguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi dan perilaku, sehingga dalam penangananya pun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan.Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.

Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :

Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.

Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori

subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception).

Patofisiologi nyeri dari respon stress akibat trauma

Nyeri merupakan respon protektif dari tubuh. Respon ini bersifat refleks dan memiliki efek keberbagai sistem dalam tubuh manusia.

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

( Tipe Serabut Saraf )

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri

dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat.

Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).

Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :

1. Transduksi

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).

2. Transmisi

Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3. Modulasi

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

(Mekanisme perjalanan nyeri)Penatalaksanaan nyeri

Garis besar terapi farmakologi mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder. Tiga

langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri terdiri dari:

1. Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.2. Tahap kedua, diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat lemah misalnya kodein.

3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih kuat.

Tiga langkah pemberian analgetik menurut WHO

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3 sedangkan pada nyeri akut mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

Multimodal Analgesia

Multimodal analgesia adalah penggunaan lebih dari satu macam obat analgetik yang memiliki mekanisme yang berbeda guna mendapatkan efek aditif dan sinergis dalam upaya menurunkan efek samping yang berhubungan dengan penggunaan opioid daripada digunakan

sebagai monoterapi.5,6 Konsepnya adalah dengan menggunakan obat-obat analgetik secara multiple yang memiliki cara kerja yang berbeda-beda (contohnya non-opioid dikombinasikan dengan opioid) atau cara pemberian yang berbeda (contohnya blok anestesi lokal dikombinasikan dengan analgetik sistemik).

Tujuan dari multimodal analgesia yaitu:

1. Mengurangi efek samping opioid

2. Mencegah nyeri akut menjadi nyeri kronik melalui mekanisme sensitisasi sentral

3. Mempercepat pemulihan pasien

4. Memperpendek lama tinggal di rumah sakit

Perjalanan nyeri dan terapi multimodal analgesia

Penggunaan obat-obatan nonopioid terbatas pada penggunaan untuk nyeri ringan sampai sedang. Sedangkan analgetik narkotika efektif untuk nyeri berat. Terkadang, untuk mencapai efek yang adekuat diperlukan penggunaan dalam dosis besar. Namun penggunaan dosis yang besar diikuti oleh efek samping yang besar pula. Untuk menghindari hal tersebut, dapat digunakan metode polifarmasi atau analgesia balans yang menggunakan lebih dari satu jenis obat yang titik tangkapnya berbeda, sehingga dapat dicapai efek yang adekuat dan efek samping yang minimal dari masing-masing obat karena penggunaan dosis yang lebih kecil.

Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri dengan jalan mendepresi Sistem Saraf Pusat pada Thalamus dan Korteks Cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri. Untuk alasan ini maka analgesik dianjurkan untuk diberikan secara teratur dengan interval, seperti setiap 4 jam pasca pembedahan.

a. Obat Non Opioid

Asetaminofen

Asetaminofen merupakan terapi awal untuk nyeri ringan sampai sedang dan sebagai adjunct pada kasus nyeri yang lebih berat. Ketika obat ini dikombinasikan dengan opioid akan memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian opiod dalam dosis tunggal.

Obat ini memiliki khasiat analgesik dan antipiretik yang baik, namun tidak memiliki efek anti inflamasi. Mekanisme aksinya menghambat prostaglandin, tetapi target aksi sebenarnya yang membedakannya dengan NSAID yang lain masih menjadi perdebatan. Ia dikatakan bekerja secara spesifik pada enzim siklooksigenase (COX)-3 yang berada di sistem saraf pusat, sehingga efeknya terhadap COX-1 dan COX-2 perifer relative rendah.

Dengan mekanismenya itu, ia menghambat pembentukan prostaglandin secara sentral, namun tidak di jaringan, sehingga kurang berefek sebagai anti-inflamasi. Hal ini juga yang menyebabkan parasetamol tidak berefek buruk pada lambung karena tidak menghambat sintesis prostaglandin yang dibutuhkan untuk proteksi lambung. Namun, pada dosis besar (6-12g) dapat menyebabkan kerusakan hati karena terbentuknya metabolit toksik yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI). Pada paparan paracetamol yang melebihi dosis, jumlah dan kecepatan pembentukan NAPQI melebihi kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang cadangan glutation yang diperlukan untuk mendetoksikasinya. Karena itu penggunaannya harus dibatasi maksimal 4g/24 jam (setara dengan 8 tablet @500mg). Paracetamol dapat merusak hati, maka bila ditambah dengan mengkonsumsi alkohol secara berlebihan maka akan mempercepat terjadinya kerusakan hati.

NSAID ( Non Steroid Anti Inflamation Drugs )NSAID efektif dalam menangani nyeri terutama yang melibatkan inflamasi. NSAID menghambat enzim cyclooxygenase (COX) dan memberikan efek analgesik dan antiinflamasi. Selain bekerja di perifer, NSAID juga bekerja di sentral pada otak atau medulla spinalis memberikan efek analgesik. NSAID merupakan inhibitor kuat sintesis prostaglandin. Kerjanya yaitu mencegah enzim cyclooxygenase (COX) untuk mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini. Prostaglandin sebenarnya bukan merupakan mediator nyeri yang penting, tetapi dapat menyebabkan hiperalgesia melalui sensitisasi nosiseptor perifer terhadap berbagai jenis mediator nyeri dan radang seperti somatostatin, bradikinin, dan histamin.

Terdapat 2 isoform COX yang telah dikenali. COX-1 diekspresikan pada seluruh jaringan dalam kondisi fisiologis, sementara COX-2 diinduksi oleh mediator radang dalam kondisi patologis. Penghambatan terhadap COX-1 sering dikaitkan dengan terjadinya efek samping NSAID, sedangkan efek anti radang adalah sebagai akibat dari penghambatan COX-2.

Terdapat beberapa efek samping dari penggunaan NSAID. Efek samping tersebut, antara lain:

- Diare, perdarahan gastrointestinal

- Dispepsia, peptic ulcer

- Disfungsi dan gagal ginjal (nekrosis papiler akut, nefritis interstial

kronis, penurunan aliran darah ginjal, penurunan kecepatan filtrasi

glomerulus, retensi air dan garam.

- Penghambatan agregasi platelet dan peningkatan waktu pendarahan

- Gangguan fungsi hati, jaundice

- Menghambat perbaikan tulang rawan pada osteoartirtis.

NSAID sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengobati nyeri ringan dan sedang dan harus dikombinasi dengan opioid, bila tidak ada kontraindikasi, pada nyeri yang lebih berat. Beberapa peneliti melaporkan kombinasi NSAID dengan opioid menurunkan kejadian dan tingkat keparahan efek samping dari penggunaan opioid. Peneliti lain melaporkan adanya peningkatan analgesia dan penurunan efek samping bila NSAID dikombinasi dengan opioid intratekal. Obat ini perlu mendapat perhatian pada penggunaannya pada sakit dan trauma akut karena obat ini melemahkan fungsi ginjal dan platelet dan menyebabkan perdarahan gastrointestinal.

Resiko terjadinya efek samping pada penggunaan NSAID meningkat bila dikombinasikan dengan beberapa obat seperti penggunaan bersama diuretik pada pasien insufisiensi ginjal kronis, penggunaan bersama steroid, coumadin atau heparin.

Tempat kerja NSAID yang utama diyakini berada di perifer meskipun barubaru ini penelitian menunjukkan bahwa penghambatan siklooksigenase-pusat 2 (COX-2) juga mungkin memainkan peran penting dalam modulasi nosisepsi. NSAID menghambat sintesis prostaglandin baik di sumsum tulang belakang dan di perifer, sehingga mengurangi keadaan hyperalgesic setelah bedah trauma. NSAID berguna sebagai analgesik tunggal setelah prosedur bedah minor dan mungkin memiliki opioid-sparing effect yang signifikan setelah operasi besar. NSAID sangat berguna dalam mengurangi jumlah opioid yang dibutuhkan oleh pasien dan dengan demikian dapat mengurangi efek samping opioid. NSAID juga memainkan peranan penting sebagai adjuvant pada obat lain, seperti analgesia epidural, dan ketorolac IV dapat diberikan sebagai analgesia preemptif.

Ketorolac Trometamin adalah obat non-steroid anti-inflamasi (NSAID) yang bekerja pada cyclooxigenase menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang kuat, baik perifer dan sentral, selain memiliki efek antiinflamasi dan antipiretik, ketorolac dapat mengurangi nyeri ringan sampai nyeri berat pada kasus-kasus darurat, nyeri musculosceletal, pasca operasi kecil atau besar, dan nyeri kanker pada orang dewasa atau anak-anak. Ketorolac memiliki khasiat analgesik setara dengan morfin atau pethidin. Efek analgesik awal ketorolac mungkin lebih lambat, namun durasi lebih lama dari opioid.

Dosis ketorolac yang biasa digunakan adalah 30 mg diberikan secara intravena. Kombinasi terapi ketorolac dan opioid dapat mengurangi 25-50% dari kebutuhan opioid dan secara tidak langsung menurunkan efek samping opioid seperti ileus, mual, dan muntah, normalisasi fungsi saluran pencernaan lebih cepat dan tinggal di rumah sakit lebih pendek. Formulasi parenteral ketorolak trometamin telah tersedia selama bertahuntahun dan saat ini hanya NSAID intravena yang digunakan untuk pengobatan nyeri pasca operasi muncul di Amerika Serikat. Sebuah rute baru pemberian ketorolak melalui intranasal semprot. Dalam sebuah studi double-blind placebo-dikontrol, pasien menjalani operasi besar (abdomen atau ortopedi) menerima 30mg ketorolac, 10mg ketorolac, atau plasebo semprot pada pemulihan dari anestesi umum. Semua pasien kemudian menggunakan Patient Control Analgesia (PCA) morfin untuk 40 jam berikutnya. Konsumsi morfin selama 24 jam awal berkurang pada kelompok ketorolak 30mg (37,8 mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (56.5mg) dan kelompok ketorolak 10mg (54.3mg). Pengurangan nyeri selama 6 jam pertama pasca operasi lebih tinggi pada kelompok ketorolak 30mg dibandingkan plasebo. Efek samping yang muncul terkait pemberian opioid, seperti mual atau pruritus, tidak berbeda antara ketiga kelompok. Di Eropa, Penggunaan intravena acetaminophen digunakan sebagai landasan analgesia perioperatif multimoda.

COX-2-selektif inhibitor memiliki keuntungan lebih dibandingkan NSAID pada perioperatif dimana COX-2-selektif inhibitor tidak meningkatkan risiko perdarahan. Satu kelompok pasien menjalani artroplasti lutut total di bawah anestesi spinal yang menggunakan COX-2-selektif inhibitor celecoxib 200mg pada 1 jam sebelum operasi dan setiap jam 12 selama 5 hari. Kelompok yang lainnya menerima plasebo pada titik waktu yang sama. Selama 24 jam pertama, penggunaan morfin PCA berkurang pada kelompok celecoxib (15,1 mg) dibandingkan kelompok plasebo (19,7 mg). Selama periode 48 jam, skala analog visual (VAS) skor nyeri pada sisanya lebih rendah pada kelompok celecoxib dibandingkan kelompok plasebo. Celecoxib juga meningkatkan jangkauan gerak lutut selama 3 hari pertama pasca operasi. Insiden mual dan muntah pasca operasi (PONV) tidak berbeda pada kedua kelompok.

Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak sepenuhnya dipahami. Dalam sebuah referensi, NSAID merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofili, sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan.

Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun secara bermakna. Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan epitel defensif. Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaan mukosa, dengan demikian mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.Selain itu, prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum (terutama di antara antrum lambung), dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas proliferasi. Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan prostaglandin endogenous yang di sintesis di mukosa traktus gastrointestinal bagian atas. COX (siklooksigenase) merupakan tahap katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat ini dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2.COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan trombosit serta berperan penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal yag juga bertanggung jawab dalam respon inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.

Mekanisme NSAID merusak mukosaPenghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan produksi mediator inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis leukotrien yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme asam arakidonat terhadap-lipoxygenase jalur 5. Leukotrien yang memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa lambung dengan mendorong iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor- mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi neutrofil-endotel.

Wallace mendalilkan bahwa pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren mungkin berkontribusi terhadap patogenesis kerusakan mukosa lambung melalui dua mekanisme utama: (1) oklusi microvessels lambung oleh microthrombi menyebabkan aliran darah lambung berkurang dan kerusakan sel iskemik, (2) meningkatkan pembebasan dari radikal bebas yang berasal oksigen. Oksigen radikal bebas bereaksi dengan poli asam lemak tak jenuh dari mukosa menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan jaringan. NSAID tidak hanya merusak perut, tetapi dapat mempengaruhi saluran pencernaan seluruh dan dapat menyebabkan berbagai komplikasi ekstraintestinal parah seperti kerusakan ginjal sampai gagal ginjal akut pada pasien yang memiliki faktor risiko, retensi natrium dan cairan, hipertensi arterial, dan, kemudian, gagal jantung.

b. Obat Opioid

Opioid adalah obat yang biasa digunakan sebagai analgesik pada pasien bedah dan

merupakan standar emas. Penekananan terhadap sistem pernafasan dapat terjadi pada pemberian dosis tinggi dan sering terjadi saat dikombinasikan dengan benzodiazepine. Hipotensi setelah pemberian opioid dapat terjadi pada pasien dengan hipovolemia atau pada

pasien yang telah menunjukkan kolaps kardiovaskular. Durasi analgesik dan toleransi terhadap efek samping dalam bentuk oral membuat pemberian obat secara oral lebih dipilih. Pada pasien dengan kasus akut, pemberian obat diberikan secara intravena dan epidural. Morfin

Morfin adalah opioid yang paling dikenal dan sering digunakan. Dari segi harga morfin cukup terjangkau dan memiliki efek analgesik yang baik. Morfin memiliki beberapa metabolit aktif yang membutuhkan clearance ginjal dan penggunaannya pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko toksisitas dan efek samping. Selain itu morfin juga berhubungan dengan pelepasan histamine yang menyebabkan terjadinya pruritus.

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi. Kombinasi analgetik opiate dengan alkohol atau depresan sistem saraf pusat yang lain akan menguatkan depresi pernafasan dan berpotensi berbahaya menyebabkan kematian. Morfin dapat menyebabkan dilatasi vena dan arteriol sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.

Fentanil

Fentanil memiliki onset yang cepat dan durasi yang singkat, menyebabkan dosis intermiten untuk kontrol nyeri berkelanjutan menjadi sebuah problema. Fentanil diberikan kepada mereka yang memiliki alergi terhadap morfin dan tidak menimbulkan pelepasan histamine. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif yang membutuhkan clearance dan aman digunakan pada pasien dengan gagal ginjal.

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin.Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.3 Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestesi lokal yang lemah (dosis yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi.

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml. Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol.c. Anestesi Lokal

Anestetik lokal dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan ester dan amida. Golongan

Ester terdiri dari prokain, kloroprokain dan tetrakain, sedangkan golongan amida terdiri dari lidokain, etidokain, bupivakain, prilokain, mevipakain, ropivakain dan levobupivakain. Anestetik lokal bekerja langsung pada sel saraf dan menghambat kemampuan sel saraf mentransmisikan impuls melalui aksonnya. Target anestetik lokal adalah saluran Na+ yang ada pada semua neuron, dimana anestetik lokal berikatan secara selektif pada saluran Na+, sehingga mencegah terbukanya saluran tersebut. Saluran Na+ bertanggung jawab menimbulkan potensial aksi sepanjang akson dan membawa pesan dari badan sel ke terminal

saraf.Lidokain, prokain, dan klorprokain adalah agen yang paling sering digunakan, diberikan secara slow bolus maupun infus kontinyu. Lidokain diberikan melalui infuse selama 5-30 menit untuk dosis total 1-5 mg/kg. Prokain 200-400 mg dapat diberikan secara intravena selama 1-2 jam. Klorprokain (1% solution) diinfuskandengan kecepatan 1 mg/kg/min untuk total dosis 10-20 mg/kg. Monitoring yang harus dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), tekanan darah, respirasi dan status mental. Alat resusitasi harus selalu tersedia. Tanda-tanda toksisitas meliputi tinnitus, slurring, sedasi esksesif dan nistagmus.

d. N-Methyl-D-Aspartate Antagonists

KetaminKetamin merupakan derivate phencyclidine yang memiliki efek analgesik dan dapat mengontrol nyeri tanpa menyebabkan penekanan terhadap sistem pernafasan, airway compromise, kerusakan hemodinamik. Ketamin berinteraksi dengan antagonist reseptor N-methyl-D-aspartate, yang dikenal sebagai analgesik dan menyebabkan efekpsikomimetik. Obat ini dapat berhubungan dengan terjadinya halusinasi, delirium, dan aspirasi sehingga penggunaannya harus dalam pengawasan. Ketamin biasanya digunakan pada kondisi yang dimonitoring seperti pada ruang rawat intensif (intensive care unit) dan kamar operasi.Pada dosis yang kecil (0,1-0,5 mg/kgBB) ketamin memiliki efek analgesia yang kuat. Reseptor NMDA berperan terhadap memori nyeri. Antagonis terhadap NMDA akan menghambat induksi sensitisasi nyeri sentral dan menekan hipersensitivitas nyeri setelah terjadi stimulasi nyeri. Meskipun dosis tinggi ketamin telah menyebabkan efek psikomimetik (sedasi berlebihan, disfungsi kognitif, halusinasi, mimpi buruk), dosis rendah atau subanestetik ketamin telah menunjukkan kemampuan analgesik yang signifikan tanpa efek samping. Ada bukti bahwa dosis rendah ketamin mungkin memainkan peran penting dalam pasca operasi manajemen nyeri ketika digunakan sebagai tambahan untuk opioid, anestesi lokal, dan agen analgesik lain. Pada pasien menjalani operasi penggantian lutut total di bawah anestesi umum, ketamin atau plasebo diberikan selama bedah (0,2 mg / kg diikuti oleh 2mg/kg/min) dan hari kedua pasca operasi (10mg/kg/min). Penggunaan PCA morfin selama periode 48 jam pasca operasi pada kelompok ketamin (50,5 mg) dibandingkan dengan kelompok plasebo (72,1 mg). Skor nyeri saat istirahat dan dengan gerakan pada kelompok ketamin lebih rendah dibandingkan plasebo. Waktu untuk mencapai lutut fleksi 908 lebih pendek pada kelompok ketamin, dan kejadian PONV berkurang. Pasien yang menjalani pembedahan perut di bawah anestesi umum secara acak tiga kelompok: perioperatif ketamin (intraoperatif, 0,5mg / kg kemudian 2 mg / kg / menit, dan pasca operasi, 2 mg / kg / menit untuk selanjutnya 48 jam), intraoperatif ketamin saja, atau plasebo. Penggunaan PCA morfin berkurang dalam kelompok ketamin perioperatif (27 mg) dibandingkan dengan kelompok intraoperatif ketamin (48mg) atau plasebo (50 mg). Menariknya, skor nyeri pada 24 dan 48 jam lebih rendah yang perioperatif dan intraoperatif ketamin dibandingkan dengan kelompok plasebo. Insiden PONV lebih besar pada kelompok plasebo dari perioperatif ketamin kelompok. Namun, penelitian lain gagal untuk menunjukkan opioid-sparing effect ketamin. Setelah pembedahan ginekologis besar dengan anestesi umum, ketamin (0,15 mg /kg sebelum sayatan, kemudian digabungkan PCA ketamin 0,5 mg / ml dengan 1mg/ml morfin selama 48 jam) atau plasebo (PCA morfin saja) tidak mengurangi kebutuhan PCA morfin. Total dosis ketamin 44mg pasca operasi. Skor nyeri juga tidak berbeda antara kelompok. Setelah anak (12-18 tahun) operasi skoliosis, intraoperatif

ketamin (0,5 mg / kg, kemudian 4 mg / kg / menit) tidak mengurangi PCA pascaoperasi menggunakan morfin selama 24, 48, atau 72 jam berikutnya dibandingkan dengan plasebo. Skor nyeri dan kejadian PONV tidak berbeda antara kedua kelompok. Kurangnya efek klinis dalam dua studi mungkin karena ketamin dosis rendah (sekitar 0,2 mg / kg / menit) atau tidak melanjutkan dosis ke periode pasca operasi.