penampilan reproduksi dan kualitas larva rajungan dengan pemberian biomass artemia

15
PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA 1 Oleh: Lisa Ruliaty Anindiastuti Nur Hamid 1 Makalah di presentasikan pada Seminar Hasil Kegiatan Perekayasaan BBPBAP Jepara tahun 2008 tanggal 19 – 22 Januari di BBPBAP Jepara.

Upload: lisa-ruliaty-631971

Post on 29-May-2015

4.069 views

Category:

Technology


4 download

DESCRIPTION

Dalam kajian ini, induk rajungan di beri pakan berupa campuran pakan segar (cumi-cumi, udang dan ikan rucah) sebagai kontrol dan pakan segar dengan penambahan 50% biomasa artemia tanpa diperkaya.

TRANSCRIPT

Page 1: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA1

Oleh:Lisa Ruliaty AnindiastutiNur Hamid

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYABALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU

JEPARA1 Makalah di presentasikan pada Seminar Hasil Kegiatan Perekayasaan BBPBAP Jepara tahun 2008 tanggal 19 – 22 Januari di BBPBAP Jepara.

Page 2: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

2008PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA

RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

Oleh:Lisa Ruliaty, Anindiastuti dan Nur Hamid

ABSTRAK

Kajian pengaruh penambahan biomasa artemia ke dalam pakan induk telah dilakukan. Dalam kajian ini, induk rajungan di beri pakan berupa campuran pakan segar (cumi-cumi, udang dan ikan rucah) sebagai kontrol dan pakan segar dengan penambahan 50% biomasa artemia tanpa diperkaya. Induk rajungan yang diberi pakan campuran biomasa artemia menunjukkan penampilan reproduksi yang lebih baik dibandingkan perlakuan kontrol dalam hal persentase induk yang berhasil matang gonad, persentase daya tetas telur, latency period serta persentase induk yang matang gonad kembali. Larva yang dihasilkan dari induk yang diberi pakan berbeda menunjukkan respon yang berbeda selama uji starvasi yang diamati setiap 12 jam selama 72 jam. Nilai protein dan lemak pada perlakuan penambahan biomas artemia memberikan nilai tinggi protein dan lemak dibandingkan pakan kontrol. Pada kajian ini juga memperlihatkan rasio DHA/EPA yang lebih besar pada telur maupun pada larva yang baru menetas dari induk ablasi yang diberi pakan yang berbeda dibandingkan larva maupun telur dari induk asal alam.

Kata Kunci : Reproduksi, kualitas larva, biomasa artemia

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangSebagai komoditas ekspor yang hampir seluruh produksinya mengandalkan hasil

tangkapan dari laut, tekanan terhadap populasi alami rajungan (Portunus pelagicus) makin besar dari hari ke hari. Eksploitasi yang berlebihan terhadap rajungan di alam telah mengancam kelestarian spesies ini. Gejalanya cukup mudah dilihat, yakni berkurangnya hasil tangkapan nelayan dan semakin kecilnya ukuran yang berhasil ditangkap. Walaupun data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan potensi yang diperkirakan sebesar 7,2 juta ton/tahun, dan yang dimanfaatkan baru sekitar 40% atau 2,7 juta ton/tahun, namun kenyataan semakin langkanya rajungan telah memaksa dikembangkannya budidaya komoditas ini. Rajungan saat ini merupakan komoditas ekspor unggulan hasil perikanan, khususnya untuk ekspor ke Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara telah merintis budidaya rajungan di tambak sejak tahun 1993 dan telah berhasil memproduksi benih massal pada tahun 2002. Pengembangan usaha pembenihan yang meliputi manajemen induk, pemeliharaan larva hingga menjadi benih terus disempurnakan. Teknologi tersebut kemudian berkembang tidak hanya sampai pada benih stadia Crab 5 namun juga pada stadia juvenile (baby crab).

Page 3: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

Pada manajemen induk, dari ujicoba yang dilakukan pada tahun 2007 didapatkan bahwa kesulitan dalam mendapatkan induk rajungan dapat diatasi dengan mempergunakan induk rajungan yang dihasilkan pada tambak pembesaran maupun dari induk yang diablasi. Walaupun dari segi performance reproduksi dari induk tersebut belum dapat menyaingi performance reproduksi induk bertelur dari alam. Namun, dengan perbaikan nutrisi yang harus terus dikaji dapat menjadi peluang bagi induk tambak maupun induk ablasi dalam menggantikan induk bertelur dari alam.

Telah dibuktikan pada krustasea bahwa nutrisi bagi calon induk berperan dalam meningkatkan laju kematangan gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup dan kualitas larva yang dihasilkan (Teshima dan Kanazawa,1983 dalam Djunaidah, 2000). Penambahan biomasa artemia ke dalam campuran pakan segar terbukti berpengaruh baik terhadap penampilan reproduksi induk beberapa spesies udang penaeid seperti Penaeus semisulcatus (Browdy et al. 1989), P. Stylirostris (Bray et al.1990), P.vannamei (Naessen et al. 1997; Wouters et al. 1999). Untuk meningkatkan kandungan nutrisi pada artemia dewasa, Lavens dan Sorgeloos (1996) menganjurkan pengkayaan dengan asam lemak esensial, vitamin atau astaxanthin melalui teknik bioenkapsulasi sehingga dapat meningkatkan penampilan reproduksi induk yang mengkonsumsinya. Tidak seperti halnya pada udang, ujicoba penggunaan biomasa artemia sebagai komponen pakan pada induk rajungan belum pernah di laporkan. Oleh karena itu, ujicoba penambahan biomasa artemia perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh penggunaan biomasa artemia terhadap peningkatan penampilan reproduksi induk rajungan.

1. 2. TujuanInformasi penampilan reproduksi induk rajungan dengan penambahan artemia biomas artemia dan dapat meningkatkan mutu induk rajungan yang dipergunakan.

1.3. SasaranPeningkatan mutu induk rajungan ablasi.

II. METODE

2.1. Alat dan BahanPeralatan : - Bak pematangan gonad

- Bak inkubasi (pengeraman)- Bak Kultur biomasa artemia- Wadah penetasan artemia- Peralatan lapangan (jaringan aerasi, perlengkapan bak, perlengkapan

tagging dan ablasi, ember, beaker glass,gayung dll)- Peralatan monitoring (mikroskop, beaker glas, refraktometer,

termometer dll)- Freezer dan kulkas

Bahan - Induk rajungan bertelur- Pakan segar (cumi-cumi, ikan rucah dan udang)

Page 4: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

- Bubuk agar-agar- Petis Udang

2.2. Waktu dan TempatKegiatan ini akan dilaksanakan di Instalasi Pembenihan Balai Besar

Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara pada tahun 2008.

2.3. Metode Induk rajungan yang akan digunakan berasal dari pedagang pengumpul di

Jepara. Induk rajungan yang dipergunakan adalah induk matang telur tk.III. Induk kemudian diukur karapasnya (panjang dan lebar) dan diberi kode atau penandaan pada bagian karapasnya. Setelah telur menetas sebagian induk dilakukan ablasi pada tangkai mata dan sebagian lagi tidak dilakukan ablasi. Induk tersebut kemudian dimasukkan kedalam bak pematangan induk. Setiap bak dilengkapi dengan aerasi serta diberi substrat dasar berupa pasir setebal 10 cm. Air laut yang telah melalui penyaringan diisikan kedalam bak sampai mencapai ketinggian 60 cm.

Biomass artemia yang digunakan dihasilkan dari kultur massal Artemia pada bak semen yang dipelihara selama 14 hari. Artemia dipanen dan kemudian dicuci dengan air laut dan air tawar. Artemia tersebut kemudian di bungkus dengan kantong plastik dan selanjutnya di simpan dalam freezer (-20oC). Sebelum diberikan sebagai pakan tambahan bagi induk rajungan, biomass artemia dijadikan puding terlebih dahulu dengan penambahan 28 g agar bubuk (dua pak agar komersial) ditambahkan 2 -3 sendok makan petis sebagai atraktan pada setiap satu kg biomass artemia sehingga Artemia lebih menyatu. Kemudian puding Artemia tersebut disimpan dalam kulkas untuk persediaan pakan.

Selama ujicoba (60 hari pemeliharaan) suhu dan salinitas dipertahankan pada kisaran 27 ± 1oC dan 32 ± 1 ppt. Pakan diberikan 2 kali sehari (pagi dan sore hari) sebanyak 10 – 15 % dari berat total biomas. Penggantian dengan air laut baru dilakukan setiap hari sebanyak 100% dan pada waktu yang bersamaan sisa pakan dan hewan uji yang mati dikeluarkan dari dalam bak. Pengamatan perkembangan gonad dilakukan 7 hari setelah ablasi mata, selanjutnya pengamatan kematangan gonad dan kelangsungan hidup dilakukan setiap hari bersamaan dengan saat penggantian air laut. Induk matang telur, segera dipindahkan ke dalam bak fiber kapasitas 200 liter untuk proses inkubasi pengeraman. Penggantian air didalam bak penetasan dilakukan setiap hari sebanyak 100%.

Adapun perlakuan yang dipergunakan dalam kegiatan rekayasa ini antara lain:A. Kontrol (pakan campuran ikan rucah, cumi-cumi dan udang).B. Kontrol + 50 % Biomass artemia

Dilakukan pencatatan data penampilan reproduksi induk yang meliputi laju kematangan gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup. Fekunditas induk yang dihasilkan dari setiap induk perlakuan dihitung dengan cara pengambilan sampel di bagian yang berbeda dari massa telur sebanyak 3 sampel, ditimbang kemudian dihitung jumlahnya. Jumlah larva rajungan yang menetas dari setiap induk, dihitung dengan cara pengambilan sampel dengan menggunakan gelas beaker 100 ml sebanyak 3 kali ulangan dari bak penetasan. Setiap 10

Page 5: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

hari sekali, seluruh hewan uji dikeluarkan dari dalam bak untuk penghitungan ulang jumlah induk yang masih hidup serta dilakukan penandaan ulang individu bagi induk yang hampir hilang kodenya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penampilan reproduksi dari induk rajungan dengan pemberian pakan yang berbeda tersaji pada Tabel. 1. Selama 60 hari pemeliharaan setelah ablasi diperoleh rerata tingkat kelangsungan hidup sebesar 50,0% dan 52,17% masing-masing untuk perlakuan pakan kontrol dan penambahan biomasa artemia, tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan. Persentase induk yang berhasil matang gonad meningkat sangat nyata dengan persentase tertinggi diperoleh pada perlakuan biomass artemia (82,61%) dan terendah pada perlakuan kontrol (55,56%). Pengaruh nyata dari pakan ditunjukkan pada persentase daya tetas telur. Induk rajungan pada perlakuan kontrol secara nyata lebih rendah daya tetasnya (50,16%) dibandingkan dengan induk yang diberi pakan biomass artemia (72,95%). Pengaruh positif pemberian biomass artemia ditunjukkan pula pada persentase induk yang mampu matang gonad kembali, dimana induk dengan perlakuan kontrol menunjukkan persentase terendah (33,33%) dibandingkan perlakuan penambahan biomas artemia (39,13%).

Tabel 1. Penampilan Reproduksi Induk Rajungan yang diberi pakan berbeda

No Parameter Perlakuan Pakan BerbedaKontrol Biomass Artemia

1. Berhasil matang gonad (%) 55,56 82,612. Kelulushidupan induk hingga akhir (%) 50,00 52,173. Fekunditas (butir) 1.324.387 818.7174. Daya tetas telur (%) 50,16 72,955. Fototaksis larva (%) 88,58 82,296. Kelulushidupan benih Crab 5 (%) 1,20 0,327. Matang gonad kembali (%) 33,33 39,138. Waktu inkubasi (hari) 8,17 7,149. Latency period (hari) 13,5 16,9

Larva yang dihasilkan dari induk yang diberi pakan berbeda menunjukkan respon yang berbeda selama uji starvasi (Tabel 2). Larva dari perlakuan penambahan biomasa artemia menampilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Kematian tidak terjadi pada saat uji starvasi berlangsung 12 jam pertama untuk semua perlakuan, hanya saja terjadi kematian secara perlahan-lahan hingga pengamatan 60 jam dan kematian hingga 90% pada pengamatan 72 jam. Tingkat kelangsungan hidup larva yang dicapai pada uji starvasi sampai dengan 72 jam berkisar antara 1,1 – 6,2%.

Pengaruh positif dari penambahan biomas artemia ke dalam ransum pakan induk rajungan terhadap beberapa parameter reproduksi nampak dalam kajian ini. Selain memperbaiki penampilan beberapa parameter reproduksi secara nyata, tingkat daya tetas telur dari induk yang diberi pakan biomas artemia 20 -22% lebih tinggi dibandingkan

Page 6: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

dengan perlakuan kontrol. Beberapa peneliti menemukan bahwa kualitas larva yang dihasilkan berkaitan dengan energi metabolik (utamanya lemak) pada telur dan larva seperti ditunjukkan pada udang Macrobrachium rosenbergii (Laven dan Sorgeloos, 1991), Penaeus indicus (Cahu et al., 1991) dan Penaeus vannamei (Wouters et al. dalam Djunaidah.I.S., 2001 ; Palacios et al., 1998).

Tabel 2. Kelangsungan hidup (%) larva rajungan yang diamati setiap 12 jam pada uji starvasi selama 72 jam.

W a k t u( J a m )

J e n i s P a k a n I n d u k

K o n t r o l B i o m a s s A r t e m i a

0 1 0 0 1 0 0

1 2 9 1 . 7 9 6 . 2

2 4 7 0 . 6 8 9 . 0

3 6 6 3 . 9 8 8 . 1

4 8 4 7 . 8 6 0 . 5

6 0 1 8 . 9 4 9 . 5

7 2 1 . 1 6 . 2

Konsentrasi lemak dan protein dalam % berat basah pada pakan, ovari maupun larva di sajikan dalam Tabel 3. Sedangkan komposisi asam lemak dalam pakan, telur tk.III rajungan serta larva dari induk yang diberi pakan berbeda dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai protein dan lemak pada perlakuan penambahan biomas artemia memberikan nilai tinggi protein dan lemak dibandingkan pakan kontrol. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai protein pada telur baik pada perlakuan kontrol maupun perlakuan penambahan biomas artemia. Nilai tertinggi diberikan oleh perlakuan penambahan biomas artemia (19,99%) kemudian pakan kontrol (14,31%). Nilai protein kemudian menurun pada saat telur menetas menjadi larva, nilainya tidak berbeda nyata antar perlakuan masing-masing 3,71% untuk perlakuan kontrol dan 3,88% untuk perlakuan penambahan biomas artemia. Komposisi lemak pada pakan ternyata tidak mempengaruhi penyerapan lemak pada telur maupun larva, hanya saja kandungan lemak pada larva yang beru menetas lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan kandungan lemak pada telur rajungan.

Peningkatan yang sangat nyata atas kandungan lemak pada ovari selama proses pematangan gonad telah ditemukan pada rajungan (Radhakrishnan, 1996), dimana dilaporkan bahwa kenaikan kandungan lemak pada tingkat ovari pada rajungan diduga disebabkan oleh penyimpanan lemak sebagai nutrien awal yang diperlukan oleh larva. Dimana di ketahui bahwa kandungan lemak pada larva jauh lebih kecil dibandingkan dengan kandungan lemak pada ovari. Hal ini menunjukkan bahwa lemak memegang peranan penting sebagai sumber energi metabolik pada saat perkembangan larva krustacea. Hasil kajian menggambarkan bahwa larva dari induk yang diberi pakan penambahan biomas artemia memiliki kandungan lemak sedikit lebih tinggi dibandingkan larva dengan pakan kontrol. Tampaknya hal ini berhubungan dengan pengaruh penambahan artemia yang diberikan sehingga memberikan pengaruh positif terhadap tampilan reproduksi induk rajungan. Sheen dan Wu (1999) melaporkan bahwa pakan dengan kandungan lemak antara 5,3 – 13,8% (% berat kering) di butuhkan oleh spesies kepiting dan tidak didapatkan adanya timbunan lemak dalam jaringan tubuh

Page 7: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

kepiting setinggi ini. Kebutuhan kepiting terhadap lemak nampaknya lebih tinggi daripada spesies krustasea lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pakan dengan kandungan lemak relatif tinggi dapat menekan penambahan bobot krustasea (Castell dan Covey, 1976; Davis dan Robinson, 1986; Sheen dan D’Abramo, 1991; Sheen, 1997). Mereka menyimpulkan bahwa kepiting secara efektif dapat menggunakan pakan dengan kandungan lemak tinggi.

Tabel 3. Hasil analisa proximat (% berat basah) dalam pakan, telur tk.III rajungan serta larva dari induk yang diberi pakan berbeda

  Air(%)

Abu(%)

Protein(%)

Lemak(%)

Pakan Induk:Perlakuan A: FreshfoodPerlakuan B: Biomass Artemia

87,8790,61

1,752,07

0,585,47

0,581,06

Telur TK..III:Perlakuan A: FreshfoodPerlakuan B: Biomass Artemia

75,6667,79

1,831,82

14,3219.99

0,450,39

Larva :Perlakuan A: FreshfoodPerlakuan B: Biomass Artemia

89,5889,40

4,524,91

3,713,88

0,450,50

Kandungan ∑n-3 HUFA (Omega 3 Highly Unsaturated Fatty Acid) dalam persentase menunjukkan nilai tertinggi pada pakan kontrol (31,88%), sementara pada pakan penambahan biomas artemia menunjukkan nilai asam lemak yang lebih rendah (6,56%). Perbedaan mencolok ditemukan dalam proporsi DHA (docosahexaenoic acid) yang masing-masing terukur dengan nilai 23,65% pada pakan kontrol dan 0,71% pada pakan penambahan biomas artemia. Variasi yang kecil pada proporsi dan konsentrasi EPA (eicosapentaenoic acid) masing-masing dengan nilai 6,68% dan 5,85%. Hal ini yang kemudian menyebabkan besarnya rasio DHA/EPA pada pakan kontrol (3,54) dibanding dengan pakan penambahan biomas artemia (0,12). Tingginya kandungan DHA pada kontrol mempengaruhi kandungan DHA pada telur yang menunjukkan adanya perpindahan DHA mengarah pada telur rajungan. Telur rajungan yang diberi pakan kontrol dan penambahan biomass artemia memiliki konsentrasi DHA (8,20% dan 12,21%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur dari alam (6,95%). Oleh sebab itu, rasio DHA/EPA yang terdapat pada telur rajungan yang diberi pakan kontrol dan penambahan biomas artemia lebih tinggi (1,12 dan 2,38) daripada rasio DHA/EPA pada telur alam induk rajungan. Pengamatan lebih lanjut pada larva yang baru menetas dari induk yang diberi pakan kontrol mempunyai proporsi DHA lebih tinggi (11,35%) dibandingkan dengan larva dari induk yang diberi pakan penambahan biomas artemia (4,22%).

Pengamatan selanjutnya memperlihatkan bahwa proporsi kandungan EPA pada telur maupun larva baru menetas dari alam lebih tinggi dibandingkan kandungan DHA hal ini menyebabkan rasio DHA/EPA-nya lebih kecil (0,82 dan 0,70). Sementara pada kajian ini memperlihatkan rasio DHA/EPA yang lebih besar pada telur maupun pada

Page 8: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

larva yang baru menetas dari induk ablasi yang diberi pakan yang berbeda. Lebih tingginya kandungan EPA pada telur dan larva baru menetas dari induk alam, diduga menyebabkan kualitas larva alam hingga menjadi benih rajungan lebih baik dibandingkan dengan telur dan larva dari induk ablasi yang diberi pakan yang berbeda. Seperti yang dinyatakan oleh Kanazawa et al dalam Furita et al (1996), bahwa EPA lebih superior pengaruhnya dibandingkan dengan DHA. DHA berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan sedangkan EPA efektif untuk kelangsungan hidup. Pakan pertama-tama akan dimanfaatkan oleh organisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup, apabila ada kelebihan baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Kekurangan EPA dapat mengurangi kemampuan penglihatan dan terjadinya pigmentasi abnormal. EPA sangat berguna untukmengembangkan otak dan retina larva ikan, karena ikan tergantung pada mata dan otak untuk mengidentifikasi sesutau, untuk berburu dan untuk memangsa pakan hidup.

Tabel 4. Komposisi asam lemak dalam pakan, telur tk.III rajungan serta larva dari induk yang diberi pakan berbeda

EPA(%)

DHA(%)

∑n-3 HUFA(%)

∑n-3 PUFA

(%)

∑n-6 PUFA(%)

DHA/EPA

n-3/n-6

Pakan Induk:A: FreshfoodB: Biomass Artemia

6,685,85

23,650,71

31,886,56

34,62-

12,875,25

3,540,12

2,691,25

Telur TK..III:AlamA: FreshfoodB: Biomass Artemia

8,437,345,12

6,958,2012,21

15,3715,5417,33

0,663,943,24

9,702,883,45

0,821,122,38

1,655,725,65

Larva :AlamA: FreshfoodB: Biomass Artemia

13,707,7911,79

9,4711,354,22

23,1719,1416,01

0,722,955,37

14,092,842,90

0,701,460,36

1,707,787,37

Pentingnya asam lemak esensial dalam merangsang laju kematangan gonad udang penaeid telah banyak diteliti. Penemuan asam lemak dalam ovari induk alam menunjukkan pentingnya asam lemak untuk merangsang proses pematangan gonad (Teshima dan Kanazawa, 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Cahu et al (1994) menunjukkan adanya hubungan antara komposisi asam lemak pada telur dengan jenis pakan yang diberikan untuk induk. Millamena et al (1989) melaporkan adanya perbaikan penampilan reproduksi dari induk P. Monodon bila ransum pakannya ditambahkan minyak ikan sebagai sumber n-3 HUFA. Dari kajian ini diketahui bahwa kandungan DHA pada telur lebih tinggi daripada EPA baik pada perlakuan kontrol maupun penambahan biomas artemia, hal ini memberi petunjuk bahwa DHA di butuhkan rajungan pada masa perkembangan embrio. Hal ini sejalan dengan laporan penelitian pada udang P.vannamei (Cahu et al., 1994) dan ikan (Leray dan Pelettier, 1985). Namun

Page 9: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

demikian, dalam kajian ini diketahui bahwa kandungan DHA biomasa artemia dalam pakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan DHA yang terdapat pada pakan kontrol sehingga rasio DHA/EPA lebih kecil dibandingkan dengan pakan kontrol. Walaupun demikian, pada kajian ini perlakuan penambahan biomas artemia menunjukkan hasil yang lebih baik pada reproduksi induk rajungan. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin bukan karena n-3 HUFA atau khususnya DHA yang menyebabkan perlakuan penambahan biomas artemia menghasilkan penampilan reproduksi lebih baik, sejalan dengan penemuan Naessen et al (1997) pada udang Penaeus vannamei dan penelitian Djunaidah et al (2001) pada kepiting bakau. Mereka menduga mungkin yang berpengaruh adalah kandungan hormon atau steroid seksual yang dikandungnya. Browdy et al (1989) dalam Djunaidah et al (2001) mengemukakan banyak faktor yang memungkin Artemia merangsang pematangan gonad, diantaranya mungkin karena kandungan hormon reproduksi, asam lemak essensial, caroteniod serta faktor nutrisi lainnya.

IV. KESIMPULAN

1. Penambahan biomass artemia ke dalam pakan induk rajungan Portunus pelagicus secara nyata meningkatkan persentase matang gonad, daya tetas telur dan persentase induk yang mampu bertelur kembali serta mempercepat waktu inkubasi.

2. Terjadi peningkatan sintasan benih rajungan dari induk yang di ablasi dibandingkan hasil pada tahun 2007 (Sintasan benih 0,11%), dimana sintasan yang dihasilkan sebesar 1,20% pada perlakuan pakan Freshfood dan 0,32% pada perlakuan dengan penambahan biomass artemia.

V. SARAN

Pemberian pakan freshfood dengan penambahan artemia biomass dengan persentase yang lebih kecil ke dalam pakan induk rajungan dapat diterapkan di dalam pemeliharaan induk rajungan.

Ucapan Terima KasihPenulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada rekan-rekan di

tim rajungan (Sdr. Rudi Prastowo dan Jasmo) atas kerjasama yang solid selama ini di dalam pengembangan teknologi pembenihan rajungan.

DAFTAR PUSTAKA

Cahu,C.L., Gouillou-Coustans, M.F., Fakhfakh, M and Quazuguel,P. 1991. The effect of

ascorbic acid concentration in broodstock feed on reproduction of Penaeus indicus. ICES 1991 Mariculture Committee Paper F:40.

Page 10: PENAMPILAN REPRODUKSI DAN KUALITAS LARVA  RAJUNGAN DENGAN PEMBERIAN BIOMASS ARTEMIA

Cahu, C.L., Gullaume,J.C., Stephen,G and Chim,L. 1994. Influence of phospholipid and highly unsaturated fatty acids on spwning rate and egg and tissue composition in Penaeus vannamei fed semi purified diets. Aquaculture, 126:159-170.

Castell, J.D and Covey, J.F. 1979. Dietary lipid requirements of adult lobster (Homarus americanus). J. Nutr., 106:159-1165.

Djunaidah,I.S dkk. 2001. Penampilan Reproduksi dan Kualitas Larva Kepiting Bakau Scylla paramamosain Yang Diberi Pakan Biomasa Artemia. Makalah pada Seminar Akuakultur Indonesia. Semarang. 30 – 31 Oktober 2001.

Kontara, E.K.M. 1997. Nutritional requirement of Penaeid Shrimp postlarvae for essential fatty acids, phospholipids and vitamin C. Faculty of Agricultural and Applied Biological Science. Universiteit Gent.

Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller and D.R.M. Passino.1997. Ichtyology. John Wiley and Sons, New York. Hlm 43-47

Lavens. P. And P.Sorgeloos. 2000. Experiences on importance of diet for shrimp postlarval quality. Aquaculture. 191 (2000) 169 – 176.

Leray,C and Pelletier, X., 1085. Fatty acid composition of trout phospholipids: effect of (n-3) essential fatty acid deficiency. Aquaculture. 50:51-59.

Millamena,O.M. 1989. Effect of fatty acid composition of broodstock diet on tissue fatty acid pattern and egg fertilization and hatching in pond reared Penaeus monodon Fabricus broodstock. Asian Fisheries Sciences, 22:127-134.

Millamena, O.M and Quinitio,E. 2000. The effects of diets on reproductive performance of eyestalk ablated and intact mud crab Scylla serrata. Aquaculture. 181 (2000): 81-90.

Naessens, E., Lavens,P., Gomez,L.,Browdy,C.L., McGovern-Hopkins,K., Spencer,A.W., Kawahigashi,D and Sorgeloos, P. 1997. Maturation performance of Penaeus vannamei co-fed Artemia biomass preparation or a formulated pellets diet. Aquaculture. 155 (1-4): 97-101.

Palacios,E.,Ibarra,A.M., Ramirez,J.M., Portillo,G and Racotta, I.S. 1998. Biochemical composition of eggs and nauplii in White Pacific Shrimp, Penaeus vannamei (Boone) in relation to the physiological condition of spawners in coomercial hatchery. Aquaculture. 29:183-189.

Radhakrishnan,C.K. 2000. The Eggs of Marine Crabs - An Unexploited Resource. The ICLARM Quartely (Vol 23 No 3) July – September 2000.

Ruliaty,L. dkk. 2007. Produksi Baby Crab di Hapa dan Bak Terkendali. Makalah pada Seminar Indonesian Aquaculture 2007. 30 Juli – 2 Agustus 2007 di Nusa Dua Bali. 11 hal.

Suprayudi,M.A; T.Takeuchi and K.Hamasaki. 2004. Essential fatty Acid for larval mud crab Scylla serrata: implication of lack of the ability to bioconvert C18 unsaturated fatty acids to highly unsaturated fatty acids. Aquaculture 231 (2004) 403 – 416.