konservasi rajungan berbasis masyarakat

31
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan (Portunus pelagicus) banyak ditemukan pada daerah dengan geografi yang sama seperti kepiting bakau (Scylla serrata). P. pelagicus dikenal dengan nama rajungan, blue swimming crab atau kepiting pasir dan merupakan hasil samping dari tambak tradisional pasang- surut di Asia. Di Indonesia pusat penyebaran rajungan terdapat di Jawa Barat, Sulawaesi Selatan, Selat Malaka dan Sumatra Barat. Sejak tahun 1973 di negara tetangga, rajungan (Portunus pelagicus) merupakan hasil laut yang penting dalam sektor perikanan. Rajungan di Indonesia sampai saat ini masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dieksport terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai 60% dari total hasil tangkapan. Rajungan juga dieksport ke berbagai negara dalam bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan dalam bentuk olahan (dalam kaleng) dieksport ke Belanda. Komoditas ini merupakan komoditas eksport urutan ketiga dalam arti jumlah setelah udang dan ikan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan eksport rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut, 1

Upload: amalia-inndah-kartika

Post on 08-Aug-2015

665 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

review mengenai konsep konservasi rajungan yg berbasis masyarakat

TRANSCRIPT

Page 1: konservasi rajungan berbasis masyarakat

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rajungan (Portunus pelagicus) banyak ditemukan pada daerah dengan

geografi yang sama seperti kepiting bakau (Scylla serrata). P. pelagicus dikenal

dengan nama rajungan, blue swimming crab atau kepiting pasir dan merupakan

hasil samping dari tambak tradisional pasang-surut di Asia. Di Indonesia pusat

penyebaran rajungan terdapat di Jawa Barat, Sulawaesi Selatan, Selat Malaka dan

Sumatra Barat. Sejak tahun 1973 di negara tetangga, rajungan (Portunus

pelagicus) merupakan hasil laut yang penting dalam sektor perikanan.

Rajungan di Indonesia sampai saat ini masih merupakan komoditas

perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dieksport terutama ke negara

Amerika, yaitu mencapai 60% dari total hasil tangkapan. Rajungan juga dieksport

ke berbagai negara dalam bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan

dalam bentuk olahan (dalam kaleng) dieksport ke Belanda. Komoditas ini

merupakan komoditas eksport urutan ketiga dalam arti jumlah setelah udang dan

ikan. Sampai saat ini seluruh kebutuhan eksport rajungan masih mengandalkan

dari hasil tangkapan di laut, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi

di alam. Alternatif yang sangat bijaksana untuk menghindari kepunahan jenis

kepiting ini melalui pengembangan budidaya.

Pada umumnya rajungan Indonesia lebih banyak ditangkap dengan

menggunakan jaring dan memasang perangkap, serta penangkapan secara tidak

sah dengan memasang pukat (pukat kecil). Rajungan merupakan usaha perikanan

skala kecil dan penangkapannya dilakukan oleh nelayan tradisional dengan

menggunakan perahu kurang dari 10 GT, baik perahu bermesin ataupun tidak.

Karena industri rajungan merupakan usaha kecil maka pemerintah setempatlah

yang bertanggung jawab, namun sampai saat pemerintah daerah belum

memberikan regulasi yang jelas pada pengelolaan usaha perikanan tangkap

khususnya rajungan.

1

Page 2: konservasi rajungan berbasis masyarakat

Terkait kondisi tersebut, lama-kelamaan keberadaan rajungan di

habitatnya akan semakin terancam. Maka dari itu perlu adanya upaya konservasi

yang melibatkan masyarakat setempat guna menjaga kelestarian rajungan tersebut.

1.2 Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui potensi rajungan di

kabupaten Bangkalan-Madura dan memberikan alternatif upaya konservasi

rajungan.

2

Page 3: konservasi rajungan berbasis masyarakat

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus)

Rajungan (Portunus pelagicus) termasuk ke dalam kelas crustacea yang

hidup sepenuhnya di air laut. Rajungan dengan mudah dapat dikenali dari bentuk

tubuhnya yang memiliki karapas cukup lebar. Karapas rajungan berbentuk

semitriangular dengan ornamen berbentuk titik-titik putih. Ornamen pada bagian-

bagian tersebut dapat menjadi ciri kematangan kelaminnya. Pada bagian dorsal

tubuh rajungan terdapat toraks (thorachic sterna) dan lipatan abdomen yang

berwarna putih. Bentuk lipatan abdomen berbeda antara jantan dan betina.

Rajungan memiliki tanda seksual dimorpisme atau perbedaan bentuk

antara jantan dan betina. Umumnya rajungan jantan memiliki ukuran lebih besar

dari yang betina. Jenis kelamin rajungan dapat dikenali dari ornamen pada

karapasnya. Ornamen putih pada rajungan jantan lebih jelas dan besar

dibandingkan betina. Warna biru lebih terlihat pada rajungan jantan yang

mendominasi hampir seluruh tubuh bagian dorsalnya terutama pada kaki dan

capitnya. Rajungan betina memiliki warna karapas hijau kekuningan. Pada bagian

ventral, tempat abdomen berada, warna tubuhnya putih baik pada jantan maupun

betina (Gambar 1. dan 2.).

Gambar 1. Rajungan Jantan

3

Page 4: konservasi rajungan berbasis masyarakat

Gambar 2. Rajungan Betina

2.2 Reproduksi Rajungan

Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan gonad atau

dewasa pada ukuran lebar karapas 70-90 mm, ketika umurnya mendekati 12

sampai 18 bulan. Rajungan jantan dapat kawin dengan sejumlah betina pada saat

musimnya. Rajungan betina dapat mengerami sampai 2 juta telur per kantongnya.

Musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya terjadi

pada musim barat di bulan Desember, musim peralihan pertama di bulan Maret,

musim Timur di bulan Juli, dan musim peralihan kedua di bulan September.

Rajungan jantan yang matang gonad akan melepaskan cangkangnya

(moulting) beberapa minggu sebelum periode moulting betina. Rajungan jantan

membawa seekor betina yang dijepit dibawahnya selama 4 sampai 10 hari

sebelum betina moulting. Ketika rajungan jantan menjepit rajungan betina ini

disebut sebagai ”berpasangan” atau coupling. Perkawinan terjadi setelah betina

moulting dan ketika cangkangnya masih lunak. Sperma disimpan secara internal

dalam spermatheca tetapi pembuahan terjadi secara eksternal. Rajungan betina

yang menggendong telur-telurnya yang telah dibuahi diistilahkan dengan sponge

crab. Telur-telur yang telah dibuahi diletakkan dalam bagian abdomennya dan

memiliki bentuk seperti busa atau sponge. Telur yang masih muda berwarna

oranye dan secara bertahap berubah menjadi coklat dan hitam. Telur-telur yang

bersifat planktonis menetas antara tengah malam sampai pagi setelah sekitar 15

hari pada suhu 24°C.

4

Page 5: konservasi rajungan berbasis masyarakat

Secara umum siklus hidup rajungan melalui beberapa fase yaitu telur,

zoea, megalopa, rajungan muda dan rajungan dewasa (Gambar 3.). Siklus hidup

P. pelagicus tersusun atas beberapa tingkat larva yang dilalui selama 26-45 hari

(Kangas, 2000). Menurut Juwana dan Romimohtarto (2000) terdapat empat fase

zoea dan satu fase megalopa selama perkembangan larva rajungan. Perkembangan

zoea I menjadi zoea II membutuhkan waktu dua sampai tiga hari. Perkembangan

dari zoea II, zoea III dan Zoea IV masing-masing membutuhkan waktu 2 hari.

Setelah fase zoea terlewati maka rajungan memasuki fase megalopa dan

selanjutnya menjadi crab I sampai crab IV yang masing-masing fasenya berselang

sekitar lima sampai 10 hari dan kemudian menjadi rajungan muda (young crab).

Ukuran rajungan yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan

musim. Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat

dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan lebar karapas 20-80 mm,

menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa dengan lebar karapas

150-200 mm (Mossa 1980 dalam Fatmawati 2009).

Gambar 3. Siklus hidup Rajungan

5

Page 6: konservasi rajungan berbasis masyarakat

2.3 Habitat Rajungan

Rajungan hidup pada habitat yang bermacam-macam seperti pantai dengan

dasar pasir, pasir lumpur, berpasir putih atau pasir lumpuran dengan rumput laut

di pulau-pulau karang dan di laut terbuka. Menurut Nontji (2007), rajungan

dewasa hidup di dasar perairan sedangkan stadia larva dan megalopa berenang

terbawa arus dan hidup sebagai plankton. Habitat rajungan adalah perairan dengan

dasar pasir berlumpur.

Baik dewasa maupun juvenil P. pelagicus menempati lingkungan dasar

pantai yang terlindung dan betinanya bermigrasi ke laut lepas untuk memijah dan

kembali ke estuari selama beberapa waktu setelah memijah. Baik jantan maupun

betina bermigrasi dari estuari sebagai reaksi rendahnya salinitas

Rajungan juga terdapat pada zona intertidal sampai pada kedalaman

mencapai 50 m (Williams, 1982; Edgar, 1990). Pada perairan pantai rajungan

yang lebih kecil ditemukan pada perairan lebih dangkal sedangkan terdapat pada

habitat lamun dan rumput laut yang tersebar luas dan pada substrat lumpur yang

dewasa ditemukan pada perairan lebih dalam. Juvenil rajungan terdapat pada

daerah mangrove dan hamparan lumpur (mud flat) selama 8 sampai 12 bulan

hingga mencapai ukuran lebar karapas 80-100 mm.

2.4 Potensi Rajungan

Rajungan merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting

dan merupakan komoditas eksport yang permintaannya dari tahun ke tahun

semakin meningkat. Umumnya seluruh kebutuhan rajungan diperoleh dari hasil

tangkapan di alam dan usaha eksploitasi hewan ini telah lama dilakukan, sehingga

kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan populasi di alam. Tingkat

pemanfaaatan potensi perikanan khususnya rajungan akan berpengaruh terhadap

kelesatarian stok.

Berdasarkan data statistik perikanan tahun 2006, jumlah produksi eksport

rajungan pada tahun 2005 sebesar 18.593 ton dengan nilai produksi sebesar

130.905.000 US$ (Statistik Perikanan, 2006). Sementara itu pada tahun 2004

menunjukkan bahwa produksi rajungan seluruh Indonesia mencapai 36.130 ton

6

Page 7: konservasi rajungan berbasis masyarakat

(Statistik Perikanan, 2006), namun jumlah produksi tersebut mencukupi

kebutuhan eksport seluruh perusahaan pengeksport rajungan. Masuknya rajungan

di pasar eksport secara tidak langsung merupakan salah satu motivasi nelayan di

Indonesia untuk melakukan penangkapan rajungan sepanjang tahun.

Perairan Laut Jawa Kabupaten Bangkalan meliputi wilayah perairan

Bangkalan, Arosbaya, Tanjung Bumi, Klampis dan sebagian wilayah utara Socah.

Menurut data statistik perikanan di Kabupaten Bangkalan (2003) menunjukkan

bahwa penggunaan alat tangkap yang dipakai oleh nelayan Laut Jawa berupa

jaring tetap (26,23%) kemudian diikuti oleh jaring insang hanyut (19,74%) dan

purse sine (16,87%).

Rajungan merupakan usaha perikanan skala kecil dan mudah ditangkap di

daerah pantai. Rajungan biasanya ditangkap oleh usaha perikanan skala kecil yang

menggunakan perahu dibawah tonase 10 GT baik bermesin maupun tidak, namun

tidak jarang para nelayan yang tidak memiliki perahu. Hasil tangkapan kemudian

didaratkan di pelabuhan dan langsung di kumpulkan pada para

tengkulak.Diketahui bahwa sebanyak 65.000 nelayan dan sekitar 13.000

tengkulak yang mendapat keuntungan dari hasil perikanan khusus rajungan.

Jumlah produksi rajungan di kabupaten Bangkalan pada periode 1995 –

2000 menunjukkan hasil yang meningkat (Gambar 4.), namun jumlah produksi

rajungan semakin menurun pada periode tahun 2006 – 2010 (Gambar 5.).

1995 1996 1997 1998 1999 20000

20000400006000080000

100000120000140000

Tahun

Prod

uksi

(Kg)

Gambar 4. Produksi Rajungan Kabupaten Bangkalan Tahun 1995-2000

7

Page 8: konservasi rajungan berbasis masyarakat

2006 2007 2008 2009 20100

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

800000

Tahun

Pro

duks

i (Kg

)

Gambar 5. Produksi Rajungan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006–2010

Semakin meningkatnya kebutuhan rajungan secara tidak langsung

menuntut nelayan untuk melakukan penangkapan bahkan tidak jarang

penangkapan tersebut hingga menyebabkan over fishing yang justu dapat

mengakibatkan semakin berkurangnya hasil tangkapan pada maasa mendatang.

Pada perikanan tangkap yang telah berkembang pesat upaya konservasi sangat

diperlukan, sehingga pembangunan berkelanjutan dan kelestarian sumberdaya

perikanan dapat dijamin keberadaannya.

2.5 Upaya Konservasi

Pemanfaatan sumberdaya hayati perairan harus selalu diikuti dengan

pengendaliannya, antara lain dengan penerapan budidaya dan konservasi. Upaya

Konservasi dilakukan dengan cara budidaya Rajungan di karamba dan tambak.

Namun terdapat beberapa permasalahan dalam upaya konservasi rajungan tersebut

diantaranya permasalahan lingkungan dan ketersediaan benih baik kualitas dan

kuantitas.

8

Page 9: konservasi rajungan berbasis masyarakat

2.5.1 Langkah-langkah melakukan Konservasi Rajungan1. Analisis Status Produksi Rajungan

Potensi rajungan yang terdapat di pesisir wilayah Pulau Madura, Jawa

Timur cukup tinggi. Daerah-daerah di Pulau Madura yang dikenal memiliki

potensi rajungan yang tinggi antara lain Desa Tengket di Kecamatan Arosbaya,

Desa Junganyar di Kecamatan Socah dan Desa Pulau Mandangin di Kecamatan

Sampang. Menurut DKP Kabupaten Bangkalan tahun 2006-2010, Hasil Produksi

Perikanan Laut menurut jenis rajungan yaitu terlihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Produksi Rajungan Kabupaten Bangkalan Tahun 2006-2010

TahunJenis

Tangkapan

Produksi

(Kg)Harga/Kg (Rp)

Nilai Produksi

(x Rp. 1000)

2006 Rajungan 692.658,00 25.000 17.316.450.000

2007 Rajungan 678.801,00 25.000 16.970.025.000

2008 Rajungan 699.600,00 25.000 17.490.075.000

2009 Rajungan 588.830,00 25.000 14.720.750.000

2010 Rajungan 525.925,00 25.000 13.148.125.000

Tabel diatas menunjukkan bahwa hasil produksi rajungan dari tahun 2006-

2010 menunjukan kondisi yang menurun, hal ini dikarenakan banyak nelayan

yang menangkap rajungan kecil dan petelur, serta kurangnya kesadaran nelayan

akan pentingnya kelestarian rajungan untuk masa depan. Kurangnya sosialisasi

dari pemerintah terkait tentang pembatasan ukuran rajungan yang diperbolehkan

ditangkap dan tidak boleh ditangkap.

2. Analisis Habitat Rajungan

Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan

di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 meter)

sampai kedalaman 65 meter (Moosa, 1980). Rajungan hidup di daerah estuaria

kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan

telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria

(Nybakken, 1986).

9

Page 10: konservasi rajungan berbasis masyarakat

Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan

tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu

ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau

dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang

jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu

perkawinan dengan berenang (Susanto 2010).

Rajungan hidup di berbagai ragam habitat, termaksud tambak-tambak ikan

di perairan pantai yang mendapatkan masukan air laut dengan baik. Kedalaman

perairan tempat rajungan ditemukan berkisar antara 0-60 meter. Substrat dasar

habitat sangat beragam mulai dari pasir kasar, pasir halus, pasir bercampur

lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun (Juwana, 1997).

Rajungan merupakan salah satu jenis dari famili Portunidae yang

habitatnya dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, bahkan

ditemukan pula pada daerah-daerah subtropis (Nontji, 1986). Rajungan hidup

sebagai binatang dewasa di daerah estuaria dan di teluk pantai. Rajungan betina

bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya

dan begitu stadium larvanya dilewati rajungan muda tersebut bermigrasi kembali

ke muara estuaria (Nybakken, 1986). Rajungan hidup pada kedalaman air laut

sampai 40 meter, pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur (Coleman,

1991).

3. Analisis Siklus Hidup Rajungan

Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang

mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap

memasuki masa perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan

perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya (Effendy

dkk, 2006).

ketika fase larva masih bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas

pantai dan kembali ke daerah estuaria setelah mencapai rajungan muda. Larva

rajungan cenderung sebagai pemakan plankton. Semakin besar ukuran tubuh,

rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan yang disukai

10

Page 11: konservasi rajungan berbasis masyarakat

larva rajungan antara lain udang-udangan seperti rotifera sedangkan rajungan

dewasa lebih menyukai ikan rucah, bangkai binatang, siput, kerang-kerangan,

tiram, mollusca dan jenis krustacea lainnya terutama udang-udang kecil, pemakan

bahan tersuspensi di daratan lumpur (Effendy dkk, 2006).

4. Analisis Pertumbuhan Rajungan

Pertumbuhan pada rajungan adalah perubahan ukuran, dapat berupa

panjang atau berat dalam waktu tertentu setelah moulting. Pertumbuhan

dipengaruhi oleh faktor jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen

terlarut, kualitas air, umur dan ukuran organisme (Fatmawati, 2010).

Rajungan dalam siklus hidupnya, mulai dari fase zoea sampai dewasa

mengalami pergantian kulit sekitar 20 kali dan ukuran lebar karapaksnya dapat

mencapai 18 cm (Nonji, 1986). Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan rajungan

jantan memiliki pertumbuhan lebar karapaks lebih baik dibandingkan dengan

betina (Soim, 1994).

5. Analisis Musim Pemijahan Rajungan

Pemijahan rajungan lebih mudah diamati dari pada ikan, hal ini dapat

ditandai dengan terdapatnya telur-telur yang sudah dibuahi yang masih terbawa

induknya yang melekat pada lipatan abdomen bersama pleopodanya

(Romimohtarto, 2005). Musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun

dengan puncaknya terjadi pada musim barat di bulan Desember, musim peralihan

pertama di bulan Maret, musim Timur di bulan Juli, dan musim peralihan kedua

di bulan September.

Untuk mengetahui kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan

(larva/anak) dapat dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan oleh individu betina

dalam suatu pemijahan. Perhitungan fekunditas umumnya dilakukan dengan

mengestimasi jumlah telur yang ada di dalam ovarium pada organisme matang

gonad. Jumlah telur yang dihasilkan oleh rajungan bervariasi tergantung besarnya

individu. Rajungan dengan panjang karapas 140 mm dapat menghasilkan 800.000

11

Page 12: konservasi rajungan berbasis masyarakat

butir, sedangkan rajungan dengan panjang karapaks 160 mm dapat menghasilkan

2.000.000 dan rajungan dengan panjang karapaks 220 mm menghasilkan

4.000.000 butir (Nakamura, 1990).

Seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva mencapai lebih

sejuta ekor. Selanjutnya massa telur rajungan yang berwarna kuning atau jingga

berisi antara 1.750.000 hingga 2.000.000 butir telur (Nontji, 1986).

6. Analisis Permasalahan Sosial dan Ekonomi Masyarakatr Sekitar

Rajungan merupakan salah satu jenis komoditas perikanan yang

mempunyai nilai ekonomis penting di Indonesia. Beberapa species rajungan yang

memiliki nilai ekonomis adalah Portunus trituberculatus, P. gladiator, P.

sanguinus, P. astatoides, dan P. pelagicus (Nakamura, 1990 dan Supriyatna,

1990). Berdasarkan data terakhir Kabupaten Bangkalan (Anonim, 2007) bahwa

pada sentra (pusat) pengolahan rajungan tersebut telah melibatkan tenaga kerja

sebanyak 450 orang, dengan rincian tugas sebagai berikut : (1) tenaga pengukus

20 orang, (2) tenaga pengupas sebanyak 150 orang, dan (3) tenaga penangkap

sebagai nelayan sebanyak 300 orang. Basis pemasaran rajungan di Indonesia

cukup luas mulai dari Asia, Amerika dan Afrika. Volume eksport rajungan terus

mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Rajungan yang bernama latin P.

Pelagicus, merupakan jenis kepiting yang sangat populer dimanfaatkan sebagai

sumber pangan dengan harga yang cukup mahal (Direktorat Jendral perikanan,

1994 dalam Fatmawati, 2009). Rajungan yang memiliki beberapa keunggulan

yang sangat potensial untuk dikembangkan. Keunggulan nilai gizi rajungan adalah

kandungan proteinnya yang cukup besar, yaitu sekitar 16-17 g/100 gram daging.

Angka tersebut membuktikan bahwa rajungan dapat dimanfaatkan sebagai sumber

protein yang cukup baik dan sangat potensial (Coleman, 1991). Adapun harga

rajungan yang tergantung dari statusnya yaitu untuk rajungan segar dengan harga

berkisar Rp 22.500-25.000/kg, rajungan yang sudah direbus dengan harga

Rp 27.500-30.000/kg, dan daging rajungan dalam bentuk kemasan dengan harga

Rp 250.000-300.000/kg tergantung dari kualitas dan mutunya (Anonim, 2007).

12

Page 13: konservasi rajungan berbasis masyarakat

2.5.2 Konservasi Rajungan

1. Penggunaan Alat Tangkap yang Ramah Lingkungan

Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap

yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana

alat tangkap tersebut merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat

tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Faktor lain adalah dampak

terhadap biodiversity dan target resources yaitu komposisi hasil tangkapan,

adanya bycatch serta tertangkapnya ikan-ikan muda. Menurut Balai Besar

Pengembangan Penangkapan Ikan, alat tangkap yang ramah lingkungan untuk

rajungan yaitu alat tangkap bubu.

Nelayan rajungan didesa Tengket, kecamatan Arosbaya, kabupaten

Bangkalan merupakan salah satu kelompok nelayan yang menggunakan bubu lipat

sebagai alat tangkap rajungan. Rata-rata nelayan rajungan memiliki 200-600 bubu

lipat dengan ukuran mata jaring pada kisaran 1,5 inchi – 2,5 inchi. Ukuran mata

jaring pada kisaran tersebut masih kurang besar untuk kelestarian sumberdaya

rajungan, ukuran mata jarring untuk alat tangkap rajungan yang berwawasan

lingkungan yaitu >4 inchi. Kecilnya ukuran mata jarring membuat anakan

rajungan yang berukuran kurang dari 8 cm tertangkap, pada dasarnya rajungan

yang berukuran <8 kurang memiliki nilai ekonomis, sehingga sangat disayangkan

apabila rajungan-rajungan kecil ikut tertangkap. Tertangkapnya rajungan-rajungan

kecil akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya rajungan yang ada. Untuk itu

perlu adanya perhatian terhadap keberadaan ukuran mata jaring pada alat tangkap

bubu lipat yang digunakan oleh nelayan rajungan.

13

Page 14: konservasi rajungan berbasis masyarakat

Gambar 6. Prosentase ukuran rajungan yang tertangkap

Desa junganyar, kecamatan socah, kabupaten bangkalan menggunakan

jaring sebagai alat tangkap rajungan. Panjang jaring yang digunakan nelayan di

kecamatan socah yitu 10 meter/unit, dan lebar 1,5 meter/unit. Rata-rata nelayan di

Kecamatan Socah membawa 10 unit jaring dalam setiap trip penangkapan

rajungan. Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan kebanyakan berukuran

2,5 – 3,5 inci. Berdasarkan pengamatan dilapang, banyak rajungan kecil yang

tertangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring. Rajungan kecil yang

tertangkap tidak dilepaskan kembali ke laut, akan tetapi tetap dijual. Hal tersebut

dikarenakan minimnya tangkapan, sehingga semua hasil yang tertangkap entah

dalam ukuran kecil atau besar tetap dijual.

2. Konservasi Rajungan Petelur

Pengertian pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI) berkelanjutan adalah

pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana SDI yang ada saat ini mampu

memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, di mana

aspek keberlanjutan harus meliputi aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat

dan institusi. Pengelolaan SDI berkelanjutan tidak melarang aktifitas penangkapan

yang bersifat ekonomi/komersial, tetapi menganjurkan dengan persyaratan bahwa

tingkat pemanfaatan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan

perairan atau kemampuan pulih SDI (MSY), sehingga generasi mendatang tetap

memiliki asset sumberdaya ikan yang sama atau lebih banyak dari generasi saat

14

Page 15: konservasi rajungan berbasis masyarakat

ini. Suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat

mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutan secara

ekologi, sosial dan ekonomi (Bengen, 2005).

Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa kegiatan

pengelolaan SDI dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistim,

memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya ikan termasuk

keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan SDI dapat

berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan

pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas

sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas

sosial, dan pengembangan kelembagaan Sedang keberlanjutan secara ekonomi

berarti bahwa kegiatan pengelolaan SDI harus dapat membuahkan pertumbuhan

ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan SDI serta investasi secara efisien.

Penangkapan rajungan di pulau Madura tidak berwawasan lingkungan.

Hal ini dikarenakan banyak nelayan yang tetap menangkap rajungan kecil dan

rajungan petelur. Rajungan kecil dan rajungan petelur sangat mempengaruhi

keberadaan sumberdaya rajungan di masa mendatang, karena terputusnya

regenerasi dari sumberdaya rajungan yang ada. Komposisi rajungan petelur dari

1000 sampel rajungan dapat dilihat pada gambar 7 berikut.

Gambar 7. Komposisi Rajungan Bertelur

15

Page 16: konservasi rajungan berbasis masyarakat

Dari gambar diatas dapat dilihat komposisi rajungan yang tertangkap

dalam kondisi bertelur cukup besar yaitu 21%. Dari 1000 sampel rajungan apabila

dalam 1 ekor rajungan yang bertelur mempunyai 4000 telur, maka ada 840.000

calon rajungan muda yang akan hilang. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi

kelestarian rajungan di masa mendatang. Kondisi tersebut perlu mendapatkan

perhatian yang serius, konservasi sumberdaya rajungan dirasakan perlu dilakukan

untuk menekan kelestarian sumberdaya rajungan. Konservasi rajungan yang

bertelur bisa dilakukan dalam suatu karamba percontohan.

3. Konservasi Rajungan Pembesaran

Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan juga berpengaruh

terhadap hasil tangkapan rajungan yang berukuran kecil. Komposisi rajungan

yang ukuran kecil dari 1000 sampel rajungan dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Komposisi Ukuran Rajungan

Dari gambar diatas dapat dilihat komposisi rajungan yang tertangkap

dalam ukuran <8 sebanyak 9%. Untuk rajungan ukuran >8<12 sebanyak 48% dan

rajungan yang berukuran >12 sebanyak 43%. Maka perlu dilakukan

pembudidayan untuk rajungan kecil untuk menekan kelestarian sumberdaya

16

Page 17: konservasi rajungan berbasis masyarakat

rajungan.Konservasi rajungan yang kecil bisa dilakukan dalam suatu karamba

percontohan.

4. Pengalokasian Area Pembesaran dan Penetasan Telur Rajungan

Areal tempat pemeliharan rajungan pembesaran dan bertelur di tempatkan

di desa Tengket, kecamatan Aroesbaya, kabupaten Bangkala, Madura, Jawa

Timur. Tempat tersebut memiliki arus laut yang tidak terlalu besar dan tempat

pemeliharaan aman dari gangguan predator atau dari gangguan manusia. Daerah

pembesaran berada pada kordinat E 1120 49’ 250” untuk mencapai lokasi

pembesaran membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Kegiatan pembesaran rajungan

bertujuan untuk mengetahui berapa persen pakan optimum yang dibutuhkan,

karena dengan mengetahui berapa pakan optimum dapat diperkirakan besarnya

biaya yang dibutuhkan untuk pembesaran rajungan.

5. Penjelasan Konservasi Rajungan (Edukasi) kepada Masyarakat Sekitar

Upaya penyuluhan yang telah dilakukan di Sekolah Dasar (SD) Kab.

Bangkalan, dilakukan dengan sangat menarik yaitu dengan menggunakan poster-

poster bergambar, sehingga para siswa tertarik akan masalah penangkapan

rajungan dan konservasi. Selain itu penyuluhan dilakukan dengan cara menonton

film yang bertemakan rajungan. Diharapkan setelah mereka mengenal rajungan,

maka usaha untuk melestarikan rajungan dengan cara melarang pengambilan

rajungan yang sedang bertelur dan yang masih kecil dapat memberi kesadaran

bagi mereka pula bagi orang tua masing-masing.

17

Page 18: konservasi rajungan berbasis masyarakat

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan

Rajungan merupakan hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi

dan merupakan komoditas eksport. Kabupaten bangkalan merupakan salah satu

daerah penghasil rajungan, namun penangkapan yang dilakukan oleh para nelayan

tidak ramah lingkungan sehingga dapat mengancam keberadaan rajungan untuk

generasi yang akan dating.

Melihat kondisi tersebut maka perlu adanya upaya konservasi yang

dilakukan yaitu dengan cara penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan

seperti bubu lipat dengan ukuran mata jaring 2,5-4,5 inchi, tidak menangkap

rajungan yang sedang bertelur, melakukan upaya budidaya serta penyuluhan pada

masyarakat sekitar tentang pentingnya kelestarian sumberdaya ikan, khususnya

rajungan.

3.2 Saran

Upaya konservasi rajungan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang

sadar akan pentingnya kelestarian SDI, namun harus melibatkan stekholder

lainnya, terutama pemerintah dalam menetapkan peraturan yang berkaitan dengan

kelestarian rajungan. Pemerintah diharapkan mampu memberikan regulasi yang

jelas tentang batasan ukuran rajungan yang diperbolehkan untuk ditangkap serta

pelarangan menangkap rajungan yang serta bertelur dan pemerintah harus

memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar.

18

Page 19: konservasi rajungan berbasis masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus & Robertson, An Inprint of harper colling Publishers. Australia, 324 pp.

Edgar, G.J. 1990. Predator-prey interactions in seagrass beds. II. Distribution in diet of the blue manna crab, Portunus pelagicus (L.) at Cliff Head,Western Australia. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 139:23–32.

Effendy, S., Sudirman, S. Bahri, E. Nurcahyono, H. Batubara, dan M. Syaichudin. 2006. Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaenus). Diterbitkan Atas Kerjasama Departemen Kealutan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan dengan Balai Budidaya Air Payau, Takalar.

Fatmawati. 2009. Kelimpahan Relatif dan Struktur Ukuran Rajungan Di Daerah Mangrove Kecamatan Tekolabbua Kabupaten Pangkep.Skripsi jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Nontji, A.1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan .Jakarta.

Potter, I.,P.Christal dan N. Loneragan. 1983. The Biology of the blue manner crab Portunus pelagicus in an Australian Estuary. Mar Biol. 78:75-85.

Williams M.J. 1982. Natural food and feeding in the commercial sand crab Portunus pelagicus Linnaeus, 1766 (Crustacea: Decapoda: Portunidae) in Moreton Bay Queensland. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology.Vol.59,no.2-3,pp.165-176.1982.

Juwana, S. 1997. Tinjauan tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus,Linn). Oseana 22(4); 1-12.

Moosa, M.K. 1980. Beberapa catatan mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Pulau-pulau Seribu. Rangkuman Hasil Penenlitian Pelita II LON. Jakarta.

Nakamura K dan Supriyatna. 1990, Organogenesis dirung methamorphosis in the swimming crab, portunus trituberculatus, Nippon Suisan Gakkaishi, 56 (10): 1,561-1,564.

Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105 hlm.

Nybakken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Biologi. Penerbit Gramedia, Jakarta.

19

Page 20: konservasi rajungan berbasis masyarakat

Soim, A. 1994. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya. Jakarta.

20