ii. tinjauan pustaka 2.1 rajungan (portunus pelagiuseprints.umm.ac.id/43312/3/bab ii.pdf6 rajungan...

23
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rajungan (Portunus pelagius) Menurut Saanin (1984) rajungan adalah salah satu anggota filum crustacea yang memiliki tubuh beruas-ruas. Klasifikasi rajungan (portunus pelagicus) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Eucaridae Sub ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portugus Spesies : Portunus pelagis Gambar 1. Rajungan Jantan da Rajungan Betina (Sumber: Aslan, dkk 2003) Rajungan memiliki karapas yang sangat menonjol dibandingkan dengan abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat mencapai ukuran 18,5 cm. Abdomennya berbentuk segitiga (meruncing pada jantan dan melebar pada betina),

Upload: trinhlien

Post on 18-Jun-2019

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rajungan (Portunus pelagius)

Menurut Saanin (1984) rajungan adalah salah satu anggota filum crustacea

yang memiliki tubuh beruas-ruas. Klasifikasi rajungan (portunus pelagicus) adalah

sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Sub Kelas : Malacostraca

Ordo : Eucaridae

Sub ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Genus : Portugus

Spesies : Portunus pelagis

Gambar 1. Rajungan Jantan da Rajungan Betina (Sumber: Aslan, dkk 2003)

Rajungan memiliki karapas yang sangat menonjol dibandingkan dengan

abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat mencapai ukuran 18,5 cm.

Abdomennya berbentuk segitiga (meruncing pada jantan dan melebar pada betina),

5

tereduksi dan melipat ke sisi ventral karapas. Kedua sisi muka karapas terdapat 9

buah duri yang disebut sebagai duri marginal. Duri marginal pertama berukuran

lebih besar dari pada ketujuh duri belakangnya, sedangkan duri marginal ke-9 yang

terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar. Kaki rajungan berjumlah 5 pasang,

pasangan kaki pertama berubah menjadi capit (cheliped) yang digunakan untuk

memegang serta memasukkan makanan ke dalam mulutnya, pasangan kaki ke-2

sampai ke-4 menjadi kaki jalan, sedangkan pasangan kaki jalan kelima berfungsi

sebagai pendayung atau alat renang, sehingga sering disebut sebagai kepiting

renang (swimming crab). Kaki renang pada rajungan betina juga berfungsi sebagai

alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan Wisnu 1990). Muchtadi dan

Sugiyono (1992) diacu dalam Mirzards (2008) menyatakan bahwa kandungan

karbohidrat, kalsium, besi, phosphor, vitamin A dan vitamin B dari ratarata kepiting

dan rajungan berturut-turut adalah 14,1%, 210 mg/100gr, 1,1 mg/100gr, 200 SI dan

0,05 mg/100gr. Hasil analisa proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan

dan betina (BBPMHP, 1995) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisa Kimia Daging Kepiting dan Rajungan

Jenis Komoditi Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)

Kepiting Jantan 11,45 0,04 80,68 2,45

Betina 11,90 0,28 82,85 1,08

Rajungan Jantan 16,85 0,10 78,78 2,04

Betina 16,17 0,35 81,27 1,82

Sumber : Laboratorium Kimia BBPMHP (1995) (Balai Bimbingan dan Pengujian

Mutu Hasil Perikanan)

2.1.1 Morfologi Rajungan (portunus pelagius)

Rajungan adalah kepiting yang kuat dan mempunyai kemampuan berenang

cepat sehingga dapat berimigrasi jauh kedalam air. Hal ini disebabkan karena

6

rajungan mempunyai potongan-potongan kaki berbentuk dayung dan pada siang

hari rajungan melintang di dalam pasir dan hanya saja kelihatan. Ukuran rajungan

yang terdapat di alam sangat bervariasi tergantung wilayah dan musim. Perbedaan

yang mencolok antara jantan dan betina terlihat jelas, dimana pada rajungan jantan

mempunyai ukuran tubuh lebih besar, sapitnya pun lebih panjang daripada betina.

Warna dasar pada jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang,

sedangkan pada betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih

agak suram (Kordi 1997).

Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana

rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan

capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada

karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih

runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada

kondisi tanpa air. Bila kepiting hidup di perairan payau, seperti di hutan bakau atau

di pematang tambak, rajungan hidup di dalam laut. Rajungan memang tergolong

hewan yang bermukim di dasar laut, tapi malam hari suka naik ke permukaan untuk

cari makan. Makanya rajungan disebut juga “swimming crab” alias kepiting yang

bisa berenang. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada

karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau.

Rajungan (P. pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan

mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri yang terakhir berukuran lebih

panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit)

berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3

pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi

7

menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung.

Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang (swimming crab).

Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodos,

karpus, dan merus.

Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana

rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan

capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada

karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih

runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada

kondisi tanpa air. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada

karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau

(Kasry,1996)

Gambar 2. Morfologi Rajungan Jantan dan Betina (Juwana dan

Kasijan, 2000)

Keterangan :

A = Rajungan jantan dilihat dari atas

B = Rajungan jantan dilihat dari bawah

C = Rajungan jantan dengan abdomen (perut) dibuka

8

D = Rajungan betina dilihat dari atas

E = Rajungan betina dilihat dari bawah

F = Rajungan betina dengan embelan (pleopod) pada abdomen

2.1.2 Kandungan Cangkang Rajungan (Portunus pelagius)

Cangkang luar Crustaceae mengandung kitin yang berikatan dengan kalsium

karbonat (CaCO3) dan protein. Kadar protein pada cangkang sekitar 30- 40% dari

komponen organik totalnya, 30-50% mineral berdasarkan bobot kering, dengan

mineral terbanyak berupa CaCO3. Selain itu terdapat pula Ca3(PO4)2 dengan kadar

8-10% dari total bahan anorganik. Senyawa CaCO3 lebih mudah dipisahkan

dibandingkan protein karena garam-garam anorganik hanya terikat secara fisik.

Kulit rajungan mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat

(53,70% - 78,40%) dan kitin (18,70% - 32,20%), sedangkan kulit udang

mengandung protein (25% - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%) dan kitin (15% -

20%), dinding sel Rajungan yang termasuk dalam Crustaceae berisi kitin,

protein,CaCO3 ditambah sejumlah kecil MgCO3 dan pigmen astaxantine (Harini,

2004).

2.2 Kitin dan Kitosan

Kitin adalah senyawa karbohidrat yang termasuk dalam polisakarida tersusun

atas monomer-monomer asetil glukosamin yang saling berikatan. Struktur kitin

tersusun atas 2000- 3000 satuan monomer N-asetil D-Glukosamin yang saling

berikatan melalui 1,4-glikosidik, Kitosan adalah senyawa kimia yang berasal dari

bahan hayati kitin, suatu senyawa organik yang melimpah di alam ini setelah

selulosa. Kitin ini umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrate dari

kelompok Arthopoda sp, Molusca sp, Coelenterata sp, Annelida sp, Nematoda sp

9

dengan kandungan kitin antara 65-70 persen , bahan baku kitosan yang lain di

antaranya dari kelompok jamur Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga

banyak ditemukan pada bagian insang ikan, trakea, dinding usus dan pada kulit

cumi-cumi dengan kandungan kitin antara 5-45 persen. Sebagai sumber utamanya

ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan hewan yang

bercangkang lainnya, terutama asal laut (Suhardi, 1993).

Kitin berbentuk kristal berwarna putih, tidak berasa dan tidak berbau. Kitin

tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan

pelarut organik lainnya yang bersifat polikationik. Kitin merupakan polimer (1-4)-

2-asetamido-2-deoksi-ß-Dglukosamin yang dapat dicerna oleh manusia (Harini,

2004).

Kitosan merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis

gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus

fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi yang

relatif lebih reaktif dari kitin dan mudah diproduksi dalam bentuk serbuk, pasta,

film, serat. Kitosan merupakan bahan bioaktif dan aktivitasnya dapat diaplikasikan

dalam bidang farmasi, pertanian, lingkungan industri (Killay, 2013).

Kitosan adalah biopolymer dengan sifat-sifat yang khas yang dapat

digunakan untuk berbagai macam keperluan karena keunikannya tersebut dan

sifatnya yang serba guna kitosan memiliki potensi industri yang sangat besar namun

potensi ini belum tergali, kitosan adalah polisakarida yang sangat menarik karena

tiga alasan utama yaitu potensi sumbernya yang melimpah, karakteristik bahannya

yang unik dan kegunaanya yang beranekaragam.

10

Hardjito (2006) menyatakan mekanisme kerja larutan kitosan yang bersifat

bakteriostatik yaitu menghambat metabolisme kerja sel bakteri sehingga dapat

menghambat pertumbuhannya, kitosan memberikan aktivitas antibakteri terhadap

E. coli, S. aureus, Pseudomona aeruginosa dan Salmonella paratyphi. Diduga

terdapat konsentrasi minimum kitosan sebagai antibakteri dalam menghambat

pertumbuhan bakteri.

2.2.1 Sumber Kitosan

Hardjito (2006) menyatakan mekanisme kerja larutan kitosan yang bersifat

bakteriostatik yaitu menghambat metabolisme kerja sel bakteri sehingga dapat

menghambat pertumbuhannya, kitosan memberikan aktivitas antibakteri terhadap

E. coli, S. aureus, Pseudomona aeruginosa dan Salmonella paratyphi. Diduga

terdapat konsentrasi minimum kitosan sebagai antibakteri dalam menghambat

pertumbuhan bakteri.

Kitosan merupakan biopolimer karbohidrat alami yang dibuat dari deasetilasi

kitin, komponen mayor pada cangkang crustacean seperti kepiting dan udang.

Kitosan juga merupakan fiber seperti halnya selulosa. Cangkang udang

mengandung protein (30–40 %), kalsium karbonat (30-50 %) dan kitin (20-30 %)

pada basis kering (Kim 2004).

Fungsi utama kitin pada krustasea atau pada fungi adalah sebagai struktur

kerangka dalam yang mendukung eksoskelet hewan tersebut atau bagian dari

dinding sel fungi. Kitin yang berasal dari kulit crustacea sebagai komponon

eksoskelet, berbentuk jaring yang kompleks (matriks), yang mengandung protein

dan mineral (CaCO3), sedangkan kompleks jaring kitin dari fungi adalah

polisakarida lain seperti α dan β glukan, manan dan selulosa (Knorr 1982).

11

2.2.2 Struktur Kitin dan Kitosan

Kitin merupakan homopolimer dan Beta -(1,4)-N- asetil – D- glukosanin,

Strukturnya sangat mirip dengan selulosa kecuali pada gugus asetamido diganti

oleh gugus hidroksil pada atom karbon kedua, polimer kitin berbentuk mikrofibril

berdiameter sekitar 3 nm yang distabilkan oleh ikatan hydrogen antara gugus amina

dan karboksil (Rochima, 2007).

Struktur kitin menyerupai selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat

di posisi atom C2. Gugus C2 pada selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada

C2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida) (Sugita, dkk, 2009).

Kitin adalah amorf berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak larut

dalam air, pelarut organik umumnya, asam-asam anorganik dan basa encer. Sumber

kitin yang sangat potensial adalah kerangka luar Crustacea (seperti udang,

rajungan, dan lobster), serangga, dinding yeast dan jamur, serta mollusca (Harini,

2004). Adapun struktur kitin adalah sebagai berikut:s

Gambar 3. Struktur kitin

Kitin tidak larut dalam air sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan

modifikasi struktur kimianya maka akan diperoleh senyawa turunan kitin yang

mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan,

suatu senyawa yang dapat dihasilkan dari proses hidrolisis kitin menggunakan basa

kuat (proses deasetilasi).

12

Kitosan adalah kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya menyisahkan

gugus amina bebas yaitu Beta-(1,4)-D-glukosamin. Berbeda dengan kebanyakan

polisakarida, kitosan memiliki 3 gugus fungsional reaktif berupa gugus amino pada

ikatan ke-2 dan gugus hidroksil pada ikatan karbon ke-3 dan ke-6 yang

menjadikannya bersifat polikationik, Berat molekul kitosan berkisar antara 0,1- 0,5

x 106 Dalton (Rochima, 2007).

Kitosan merupakan turunan kitin yang tidak larut dalam air dan pelarut

organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam format,

asam asetat, asam sitrat, dan asam mineral lain, Kitosan adalah jenis polimer rantai

yang tidak linier yang mempunyai rumus umum (C-6H11O4)n atau disebut sebagai

(1,4)-2-Amino-2-Deoksi-β-D-Glukosa, dimana strukturnya dapat dilihat sebagai

berikut :

Gambar 4. Struktur kitosan

Kitosan mempunyai reaktivitas tinggi daripada kitin karena memiliki gugus

amina bebas yang bersifat nukleofil kuat. Gugus amina ini mudah terprotonasi pada

pH kurang dari 6,5 yang menjadikan kitosan bersifat kationik sehingga dapat

berikatan dengan material bermuatan negatif seperti enzim, sel, polisakarida, asam

nukleat, kulit, dan rambut (Marganov, 2003). Kualitas kitosan dapat ditentukan

berdasarkan parameter fisika dan kimia, parameter fisis diantaranya penampakan,

ukuran (mesh size) dan viskositas, sedangkan parameter kimia yaitu nilai proksimat

13

dan derajat deasetilasi (DD). Standar nilai DD kitosansebagai antimikroba berkisar

antara 70%-95% (Weska, 2007).

Besarnya nilai parameter standar yang dikehendaki untuk kitosan dalam

dunia perdagangan dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2. Kualitas Standar Kitosan

Parameter Ciri

Ukuran partikel

Kadar abu

Kadar air

Kadar N

Derajat Deasetilasi

Butiran-bubuk

≤ 10 %

≤ 2 %

>5,0%

≥ 70 %

Sumber : Protan laboratories dalam Sedjati (2006)

Hasil penelitian Puspawati (2010) dengan variasi konsentrasi NaOH pada

proses deasetilasi yakni 50%, 55%, dan 60% (temperatur dan waktu yang sama)

menunjukkan konsentrasi yang optimum pada NaOH 60% suhu 1200C selama 4

jam. Kitosan diperoleh dengan derajat deasetilasi sebesar 88,04%. Kondisi

optimum pada reaksi deasetilasi juga telah dilaporkan oleh Weska (2007) yakni

pada temperatur 1300C selama 90 menit diperoleh nilai DD 90%. Semakin besar

konsentrasi NaOH maka gugus asetil dapat lebih banyak dihilangkan melalui

pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asetil sehingga nilai DD nya makin

tinggi. Hal inilah yang membuktikan semakin besar konsentrasi zat yang bereaksi,

makin cepat reaksinya berlangsung. Besar kemungkinan terjadinya tumbukan,

dengan demikian semakin besar pula kemungkinan terjadinya reaksi (Puspawati,

2010).

Muatan positif yang dimiliki kitosan juga menyebabkan kitosan dapat larut

dan tidak terdegradasi dalam larutan asam-netral, seperti asam asetat (Herliana,

2010). Kerja asam asetat dalam melarutkan kitosan, yakni sebagai kation kitosan

mempunyai potensi untuk mengikat banyak komponen, seperti protein, pektin,

14

alginate dan polielelarolit anorganik (Andriani, dkk 2007). Oleh karena itu kitosan

relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industi terapan dan industri

kesehatan.

Perbedaan kitin dan kitosan terletak pada gugus asetamida pada gugus

asetamida pada karbon kedua (C2) dalam struktur molekulnya. Sebagian dari gugus

asetil pada kitosan digantikan dengan atom hidrogen melalui reaksi hidrolisis

dengan alkali pekat dan juga didasarkan pada kandungan nitrogennya. Bila nitrogen

kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total

nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan, Tahapan isolasi kitin dan

pembuatan kitosan adalah sebagai berikut :

1. Deproteinisasi

Deproteinasi kitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa.

Lazimnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa menggunakan larutan NaOH.

Pada tahap deproteinasi ini, protein diubah menjadi natrium proteinat yang larut

dalam air.

2. Demineralisasi

Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain

seperti H2SO4.

3. Deasetilasi

Kandungan gugus asetil pada kitin secara teoritis adalah 21,2%. Deasetilasi

secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH.

Penggunaan KOH dapat memutuskan ikatan hidrogen yang kuat antar rantai kitin,

sehingga NaOH sering dipakai pada tahap deasetilasi (Harini, 2004).

15

2.3 Teknologi Ekstraksi Kitin dan Kitosan

Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa yang diinginkan untuk

dipisahkan dari senyawa lain yang tidak diinginkan. Selain itu ekstraksi adalah

proses pemisahan bahan atau senyawa berdasarkan partisi senyawa diantara dua

cairan yang tidak bisa bercampur biasanya pelarut organik dengan air. Hasil

ekstraksi dinamakan ekstrak (Widjanarko, 1996).

Pada pembuatan kitin, ada dua tahap proses ekstraksi yang harus dilakukan

yaitu proses deproteinasi (pengurangan protein) dengan menggunakan basa, dan

proses demineralisasi (pengurangan mineral) dengan menggunakan asam encer,

sedangkan untuk memperoleh kitosan, dilakukan deasetilasi (pengurangan asetil)

dengan menggunakan basa kuat.

1. Deproteinasi

Menurut Angka dan Suhartono (2000), komponen hasil buangan cangkang

rajungan yang masih sering kali dilupakan adalah protein yang berikatan dengan

kitin dan kalsium karbonat. Sebelum ekstraksi kitin, dilakukan ekstraksi protein.

Protein dapat mencapai 30-40% berat bahan organik. Proses ekstraksi protein dapat

dilakukan dengan penambahan 1 atau 2% sodium hidroksida dan membiarkan

campuran pada suhu 60-70°C selama beberapa kali. Dalam penggunaan konsentrasi

sodium hidroksida dapat ditingkatkan sampai 6%. Ekstrak protein yang dihasilkan

dibersihkah dari padatan kontaminasi dengan proses penyaringan (Winterowd dan

Sanford, 1995).

Cara untuk mengatasi masalah degradasi mutu produk kitin adalah

mengekstrak kandungan protein terlebih dahulu sampai tercapai tingkat yang

16

rendah. Pada keadaan ini kitin akan menjadi lebih tahan terhadap serangan bakteri

(Angka dan Suhartono, 2000).

2. Demineralisasi untuk Memperoleh Kitin

Golongan Crustacea pada umumnya mengandung 30-50% (berat kering)

mineral yang berikatan dengan kitin. Komposisi mineral yang utama adalah

kalsium karbonat dan kalsium fosfat.

Demineralisasi adalah proses penghilangan mineral dengan cara melarutkan

komponen mineral dengan penambahan asam encer seperti asam klorida atau asam

sulfat. Muzzarelli (1977), menyatakan bahwa demineralisasi adalah proses penting

dalam rangka mempersiapkan kitosan. Hal ini dapat mempengaruhi mutu akhir dari

kitosan, yakni viskositas dan derajat deasetilasi.

Kitin didapat dengan jalan ekstraksi untuk memisahkan komponen-

komponen mineral, protein, lemak dan lain-lain sebagai komponen pengotor.

Proses demineralisasi dan deproteinasi sangat perlu dilakukan dalam pemurnian

kitin (Hardjito dan Linawati, 1992). Proses demineralisasi bertujuan untuk

menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada cangkang kepiting.

Proses demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah melakukan ekstraksi

protein, karena akan mendapatkan hasil yang maksimal. Apabila proses

demineralisasi dilakukan sebelum ekstraksi protein maka dapat terjadi kontaminasi

protein terhadap cairan ekstrak mineral, sehingga merugikan hasil ekstrak

proteinnya kelak (Angka dan Suhartono, 2000).

Komponen mineral dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti asam

klorida atau asam sulfat. Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan

menambahkan HC1 (asam klorida) 1 N dengan perbandingan berat bahan dan

17

volume pengekstrak 1:7 (b/v) yang dipanaskan pada suhu 70-75° C (Hardjito dan

Linawati, 1992).

Selama proses demineralisasi dapat terjadi kerusakan kitin oleh proses

penguraian hidrolik pada keadaan atau lingkungan reaksi yang agak keras.

Kerusakan ini terutama disebabkan oleh adanya penyerapan sisa asam selama

pengeringan produk kitin. Senyawa kitin dapat mengandung beberapa gugus amino

bebas, karena proses deasetilasi ringan selama pengolahan. Oleh karena itu,proses

pencucian disempurnakan dengan penambahan sejumlah kecil basa untuk

menjamin pH diatas 7 pada suspensi kitin. Dengan cara ini kerusakan selama

pengeringan dapat ditekan.

3. Deasetilisasi untuk Memperoleh Kitosan

Deasetilasi adalah proses untuk mengubah kitin menjadi kitosan dengan

mengubah gugus asetil yang terdapat pada kitin dan mengganti dengan gugus NH2

(Santoso, 1990).

Untuk mengubah kitin menjadi kitosan dilakukan dengan

penambahan NaOH pekat (45-50%) dan kondisi suhu yang tinggi (110-140 °C).

Untuk menghasilkan kitosan, dibutuhkan waktu pembuatan sekitar 4-5

jam. Proses deproteinasi satu jam, demineralisasi 2 jam dan proses deasetilasi

tergantung kemurnian yang diinginkan. Semakin murni proses deasetilasi maka

waktu yang diperlukan akan semakin lama (Hardjito dan Linawati, 1992).

2.4 Karakteristik Kitosan

Kitosan merupakan senyawa yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-

dioksi-D-glukosa merupakan senyawa tidak larut dalam air pelarut-pelarut organik,

juga tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5, larutan

18

basa, sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4.

Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik

(Silvia dkk, 2014).

Kitosan memiliki gugus fungsional amina (NH2) yang bermuatan positif yang

sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan dinding sel bakteri yang

bermuatan negative, kitosan juga memiliki sifat afinitas yang sangat kuat dengan

DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu

mRNA dan sintesa protein, Bakteri gram-negative memiliki kutub negatif yang

sangat sensitive terhadap kitosan, dengan demikian kitosan dapat digunakan

sebagai bahan antibakteri (Killay, 2013).

Karakteristik fisiko-kimia kitosan yaitu: berwarna putih dan berbentuk

serpihan seperti bubuk. Kelarutan kitosan yang baik adalah dalam asam asetat 1-

2%. Selain itu kitosan larut dalam HCL encer, HNO3 encer, H3PO4 0,5% dan tidak

larut dalam asam pekat dan basa kuat. Dalam kondisi asam berair, gugus amino (-

NH2), kitosan akan menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus aminonya

terprotonasi menjadi –NH3+. Gugus -NH3+ inilah yang menyebabkan kitosan

bertindak sebagai garam, sehingga dapat larut dalam air. Perlu diketahui bahwa

kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi dan rotasi

spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasinya (Sugita

dkk, 2009).

2.5 Manfaat Kitin dan Kitosan

Menurut Suhardi, (1993) menjelaskan bahwa kitosan telah banyak

dimanfaatkan dalam beragam industri, antara lain sebagai agen penstabil lemak

dan penstabil rasa dalam industri makanan, bahan aditif untuk samphoo dan

19

kosmetik, bahan antibakteri, absorban untuk penghilangan logam berat dan

pemurnian air. Pemanfaatan kitosan untuk pemurnian air telah dilakukan dengan

menyebarkan kitosan ke permukaan air yang tercemar, zat-zat pencemar (minyak,

logam berat dan makromolekul lain) akan diserap oleh kitosan. Selain itu,

pemanfaatan kitosan yang fantastik yaitu kitosan banyak dibuat untuk tablet/pil

penurun berat badan. Kitosan dapat menyerap lemak dalam tubuh dengan cukup

baik. Dalam kondisi optimal, kitosan dapat menyerap lemak sejumlah 4-5 kali

berat kitosan.

Kitosan memiliki gugus aktif yang akan berikatan dengan mikroba

sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, kitosan

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya simpan bahan makanan yang

mudah mengalami kerusakan (Knoor 1982).

2.6 Kitosan Sebagai Bahan Pengawet

Sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, pola konsumen bahan

pangan juga mengalami perubahan. Perubahan ini membawa akibat meningkatnya

kesadaran konsumen untuk memilih bahan pangan yang lebih baik mutunya. Oleh

karena itu, peran penanganan dan pengawetan selain sangat besar artinya dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan yang berasal dari ikan sebagai

sumber protein hewani (Ima Wijayanti dan Apri Dwi Anggo, 2006).

Kitosan memiliki sifat antimikroba, karena dapat menghambat bakteri

patogen dan mikroorganisme pembusuk, termasuk jamur, bakteri gram-positif ,

bakteri gram negatif (Hafdani, 2011). Kitosan digunakan sebagai pelapis (film)

pada berbagai bahan pangan, tujuannya adalah menghalangi oksigen masuk dengan

baik, sehingga dapat digunakan sebagai kemasan berbagai bahan pangan dan juga

20

dapat dimakan langsung, karena kitosan tidak berbahaya terhadap kesehatan

(Henriette, 2010). Senyawa Chitosan mempunyai sifat mengganggu aktivitas

membran luar bakteri gram negatif (Helander, 2001). Pemakaian kitosan sebagai

bahan pengawet juga tidak menimbulkan perubahan warna dan aroma. Senyawa

kitosan yang berpotensi sebagai bahan antimikrobial bisa ditambahkan pada bahan

makanan karena tidak berbahaya bagi manusia. Pada manusia kitosan tidak dapat

dicerna sehingga tidak punya nilai kalori dan langsung dikeluarkan oleh tubuh

bersama feces. Kitosan memiliki sifat penghalang metabolisme sel membran bagian

luar (Helander, 2001).

Kitosan mempunyai bentuk spesifik mengandung gugus amino dalam rantai

karbonnya yang bermuatan positif, sehingga dalam keadaan cair sensitif terhadap

kekuatan ion tinggi. Kitosan memiliki gugus fungsional amina (–NH2) yang

bermuatan positif yang sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan dinding

sel bakteri yang bermuatan negatif. Selain itu kitosan memiliki struktur yang

menyerupai dengan peptidoglikan yang merupakan struktur penyusun 90% dinding

sel bakteri gram positif (Hafdani, 2011). Mekanisme kerja kitosan sebagai

antibakteri adalah sifat afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat dengan

DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu

mRNA dan sintesa protein. Sifat afinitas antimikroba dari kitosan dalam melawan

bakteri atau mikroorganisme tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasi.

Berat molekul dan derajat deasetilasi yang lebih besar menunjukkan aktifitas

antimikroba yang lebih besar. Kitosan memiliki gugus fungsional amina (–NH2)

yang bermuatan positif yang sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan

dinding sel bakteri yang bermuatan negatif. Ikatan ini terjadi pada situs

21

elektronegatif di permukaan dinding sel bakteri. Selain itu, karena -NH2 juga

memiliki pasangan elektron bebas, maka gugus ini dapat menarik mineral Ca2+

yang terdapat pada dinding sel bakteri dengan membentuk ikatan kovalen

koordinasi. Bakteri gram negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya

memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap kitosan.

2.7 Pengawetan Makanan

Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, salah satu bahan

tambahan pangan yang diizinkan digunakan pada makanan dantaranya pengawetan

yaitu untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar

kerusakan bahan makanan, khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas

mikroba yang memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan

pengawet bersifat menghambat atau mematikan pertumbuhan mkroba penyebab

kerusakan ini sehingga sering juga disebut dengan senyawa antimikroba

Dengan semakin berkembang ilmu dan teknologi makanan, semakin banyak

inteverensi manusia dalam pembentukan atau pengolahan bahan makanannya yang

mendorong penambahan bahan-bahan lain ke dalam bahan makanan. Bahan-bahan

yang ditambahkan tersebut dapat berasal dari bahan alamiah yang dipisahkan dan

dimurnikan ataupun hasil buatan secara kimiawi ataupun sintesis. Tujuan

pertambahan bahan-bahan ini dapat sebagai pengawet,pewarna, penyedap,

pengental, penstabil, pembasah (humektan) maupun pengering, pemanis dan lain-

lain. Termasuk kelompok bahan tambahan (food additive) ini misalnya asam

benzoat dan garam-garamnya, karoten atau klorofil, monosodium glutamate

(MSG), gula, gliserol, asam fosfat, esens uah-buahan dan lain-lain (Sudarmadji,

1997).

22

Secara garis besar teknik pengawetan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu

pengawetan secara alami pengawetn secara biologis, dan pengawetan secara kimia

(Margono, 2003).

a. Pengawetan Secara Alami

Proses pengawetan secara alami meliputi proses pemanasan dan pendinginan

b. Pengawetan Secara Biologis

Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi

(peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol. Zat-zat yang

bekerja pada proses ini adalahenzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya

proses peragian tergantung pada ahan yang akan diragikan.

c. Pengawetan Secara Kimia

Pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang

bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah

penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam

propionat, asam sitrat, garam sulfat dan lain-lain. Proses pengasapan juga

termasuk cara kimia, sebab bahan-bahan kimia dalam asam dimasukkna ke

dalam bahan makanan yang akan diawetkan.

2.8 Klasifikasi Ikan Nila

Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai konsumsi

cukup tinggi. Bentuk tubuh memanjang dan pipih ke samping dan warna putih

kehitaman atau kemerahan. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau

sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang

beriklim tropis dan subtropis. Di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat

23

hidup baik (Sugiarto, 1988). Ikan Nila disukai oleh berbagai bangsa karena

dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Sumantadinata, 1981).

Gambar 5. Ikan nila

Terdapat tiga jenis ikan nila yang dikenal, yaitu nila biasa, nila merah (nirah)

dan nila albino (Sugiarto, 1988). Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis

niloticus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Ordo : Perciformes

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

2.9 Morfologi Ikan Nila

Morfologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin (1968),

mempunyai ciri-ciri bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan

dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Pada sirip punggung

24

ditemukan garis lurus memanjang. Ikan Nila (oreochormis niloticus) dapat hidup

diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip

dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya. Nila memiliki

lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip data (pectoral fin) sirip perut

(ventral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya

memanjang dari bagian atas tutup ingsang sampai bagian atas sirip ekor. Terdapat

juga sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anus yang

hanya satu buah berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip ekornya hanya

satu buah dengan bentuk bulat.

2.10 Kerusakan Ikan

Penanganan ikan memegang perana penting dalam mempertahankan

kesegaran ikan sebagai bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan lebih

lanjut. Penanganan tersebut dimulai dari arah penangkapan atau pemanenan ikan

yag baik, pengolaha, sampai proses distribusi kepada konsumen (Moeljanto, 1992).

Menurut Standar Nasional Inonesia (SNI) 01-2346-2006, ikan yang masih segar

mempunyai ciri-ciri antara lain mata cerah, bola mata menonjol dan kornea jernih.

Insang berwarna merah cemerlang dan tanpa lendir. Tekstur dagingnya padat,

elastis, sayatan daging sangat cemerlang. Permukaan badannya mengkilat dengan

lapisan lendir jernih dan berbau sangat segar sesuai jenisnya (BSN, 2006). Setelah

ikan mati terjadi perubahan penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam

tubuh ikan. Perubahan mutu pada ikan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu enzim,

bakteri dan biokimia (Govindan, 1985).

25

2.11 Fillet Ikan

Fillet ikan sebagai suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahna baku

ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa

pembuangan kulit, perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan,

pengepakan dan penyimpanan segar atau beku. Bentuk fillet ikan terbagi dalam dua

jenis yaitu fillet ikan dengan kulit (skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less).

Pada setiap jenis fillet tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu fillet

yang masih memiliki bagian dinding perut (belly-on) dan fillet yang tidak memiliki

bagian dinding perut (belly-of) (Ditjn P2HP, 1989)

Fillet ikan merupakan empengan ikan yang ukuran dan bentuknya tidak

beraturan yang dipisahkan dari kerangka tubuh ikan dengan cara menyayat sejajar

dengan tulang belakang (Ilyas,1983).

Menurut Moelyanto (1978) fillet ikan yaitu daging ikan tanpa sisik dan tulang

(kadang-kadang juga tanpa kulit) diambil dari kedua sisi badan ikan biasanya kedua

potong fillet itu salinng bergandengan (butterfly fillet) atau bagian yang diperoleh

dengan penyayatan ikan utuh sepanjang tulang belakang mulai dari belakang kepaa

hingga mendekati ekor.

Fillet ikan yang masih dengan kulitnya disebut skin on fillet dan fillet yang

tana kulit disebut skin less fillet (Tanikawa,1985).

Berbagai tipe fillet dibedakan (Ilyas,1983) sebagai berikut :

1. Fillet berkulit (skin-on fillet), yaitu lempengan daging ikan yang telah

dipisahkan dari kerangkanya tanpa dilakukan dengan perlakuan lainnya

26

2. Fillet tidak berkulit (skin-less fillet), yaitu berupa lempengan daging ikan yang

telah dipisahkan dari kerangkanya serta dilakukan perlakuan tambahan berupa

pemisahan kulit yang terdapat pada lempengan daging tersebut

3. Fillet tunggal (single fillet), yaitu berupa lempenga daging ikan yang telah

dipisahkan dari kerangkanya dan masing-masing sisi tubuh ikan dibuat menjadi

sebuah fillet

4. Fillet kupu-kupu (butterfly fillet), yaitu berupa lempengan daging ikan yang

berasal dari kedua sisi tubuh ikan, biasanya kedua bagian daging tersebut tidak

terputus.