4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rajungan (Portunus pelagius)
Menurut Saanin (1984) rajungan adalah salah satu anggota filum crustacea
yang memiliki tubuh beruas-ruas. Klasifikasi rajungan (portunus pelagicus) adalah
sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Sub ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portugus
Spesies : Portunus pelagis
Gambar 1. Rajungan Jantan da Rajungan Betina (Sumber: Aslan, dkk 2003)
Rajungan memiliki karapas yang sangat menonjol dibandingkan dengan
abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat mencapai ukuran 18,5 cm.
Abdomennya berbentuk segitiga (meruncing pada jantan dan melebar pada betina),
5
tereduksi dan melipat ke sisi ventral karapas. Kedua sisi muka karapas terdapat 9
buah duri yang disebut sebagai duri marginal. Duri marginal pertama berukuran
lebih besar dari pada ketujuh duri belakangnya, sedangkan duri marginal ke-9 yang
terletak di sisi karapas merupakan duri terbesar. Kaki rajungan berjumlah 5 pasang,
pasangan kaki pertama berubah menjadi capit (cheliped) yang digunakan untuk
memegang serta memasukkan makanan ke dalam mulutnya, pasangan kaki ke-2
sampai ke-4 menjadi kaki jalan, sedangkan pasangan kaki jalan kelima berfungsi
sebagai pendayung atau alat renang, sehingga sering disebut sebagai kepiting
renang (swimming crab). Kaki renang pada rajungan betina juga berfungsi sebagai
alat pemegang dan inkubasi telur (Oemarjati dan Wisnu 1990). Muchtadi dan
Sugiyono (1992) diacu dalam Mirzards (2008) menyatakan bahwa kandungan
karbohidrat, kalsium, besi, phosphor, vitamin A dan vitamin B dari ratarata kepiting
dan rajungan berturut-turut adalah 14,1%, 210 mg/100gr, 1,1 mg/100gr, 200 SI dan
0,05 mg/100gr. Hasil analisa proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan
dan betina (BBPMHP, 1995) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisa Kimia Daging Kepiting dan Rajungan
Jenis Komoditi Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%)
Kepiting Jantan 11,45 0,04 80,68 2,45
Betina 11,90 0,28 82,85 1,08
Rajungan Jantan 16,85 0,10 78,78 2,04
Betina 16,17 0,35 81,27 1,82
Sumber : Laboratorium Kimia BBPMHP (1995) (Balai Bimbingan dan Pengujian
Mutu Hasil Perikanan)
2.1.1 Morfologi Rajungan (portunus pelagius)
Rajungan adalah kepiting yang kuat dan mempunyai kemampuan berenang
cepat sehingga dapat berimigrasi jauh kedalam air. Hal ini disebabkan karena
6
rajungan mempunyai potongan-potongan kaki berbentuk dayung dan pada siang
hari rajungan melintang di dalam pasir dan hanya saja kelihatan. Ukuran rajungan
yang terdapat di alam sangat bervariasi tergantung wilayah dan musim. Perbedaan
yang mencolok antara jantan dan betina terlihat jelas, dimana pada rajungan jantan
mempunyai ukuran tubuh lebih besar, sapitnya pun lebih panjang daripada betina.
Warna dasar pada jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang,
sedangkan pada betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih
agak suram (Kordi 1997).
Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana
rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan
capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada
karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih
runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada
kondisi tanpa air. Bila kepiting hidup di perairan payau, seperti di hutan bakau atau
di pematang tambak, rajungan hidup di dalam laut. Rajungan memang tergolong
hewan yang bermukim di dasar laut, tapi malam hari suka naik ke permukaan untuk
cari makan. Makanya rajungan disebut juga “swimming crab” alias kepiting yang
bisa berenang. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada
karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau.
Rajungan (P. pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan
mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri yang terakhir berukuran lebih
panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit)
berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3
pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi
7
menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung.
Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang (swimming crab).
Kaki jalan pertama tersusun atas daktilus yang berfungsi sebagai capit, propodos,
karpus, dan merus.
Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana
rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan
capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada
karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih
runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada
kondisi tanpa air. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada
karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan kepiting bakau
(Kasry,1996)
Gambar 2. Morfologi Rajungan Jantan dan Betina (Juwana dan
Kasijan, 2000)
Keterangan :
A = Rajungan jantan dilihat dari atas
B = Rajungan jantan dilihat dari bawah
C = Rajungan jantan dengan abdomen (perut) dibuka
8
D = Rajungan betina dilihat dari atas
E = Rajungan betina dilihat dari bawah
F = Rajungan betina dengan embelan (pleopod) pada abdomen
2.1.2 Kandungan Cangkang Rajungan (Portunus pelagius)
Cangkang luar Crustaceae mengandung kitin yang berikatan dengan kalsium
karbonat (CaCO3) dan protein. Kadar protein pada cangkang sekitar 30- 40% dari
komponen organik totalnya, 30-50% mineral berdasarkan bobot kering, dengan
mineral terbanyak berupa CaCO3. Selain itu terdapat pula Ca3(PO4)2 dengan kadar
8-10% dari total bahan anorganik. Senyawa CaCO3 lebih mudah dipisahkan
dibandingkan protein karena garam-garam anorganik hanya terikat secara fisik.
Kulit rajungan mengandung protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat
(53,70% - 78,40%) dan kitin (18,70% - 32,20%), sedangkan kulit udang
mengandung protein (25% - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%) dan kitin (15% -
20%), dinding sel Rajungan yang termasuk dalam Crustaceae berisi kitin,
protein,CaCO3 ditambah sejumlah kecil MgCO3 dan pigmen astaxantine (Harini,
2004).
2.2 Kitin dan Kitosan
Kitin adalah senyawa karbohidrat yang termasuk dalam polisakarida tersusun
atas monomer-monomer asetil glukosamin yang saling berikatan. Struktur kitin
tersusun atas 2000- 3000 satuan monomer N-asetil D-Glukosamin yang saling
berikatan melalui 1,4-glikosidik, Kitosan adalah senyawa kimia yang berasal dari
bahan hayati kitin, suatu senyawa organik yang melimpah di alam ini setelah
selulosa. Kitin ini umumnya diperoleh dari kerangka hewan invertebrate dari
kelompok Arthopoda sp, Molusca sp, Coelenterata sp, Annelida sp, Nematoda sp
9
dengan kandungan kitin antara 65-70 persen , bahan baku kitosan yang lain di
antaranya dari kelompok jamur Selain dari kerangka hewan invertebrata, juga
banyak ditemukan pada bagian insang ikan, trakea, dinding usus dan pada kulit
cumi-cumi dengan kandungan kitin antara 5-45 persen. Sebagai sumber utamanya
ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu udang, lobster, kepiting, dan hewan yang
bercangkang lainnya, terutama asal laut (Suhardi, 1993).
Kitin berbentuk kristal berwarna putih, tidak berasa dan tidak berbau. Kitin
tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol dan
pelarut organik lainnya yang bersifat polikationik. Kitin merupakan polimer (1-4)-
2-asetamido-2-deoksi-ß-Dglukosamin yang dapat dicerna oleh manusia (Harini,
2004).
Kitosan merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga jenis
gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan skunder. Adanya gugus
fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi yang
relatif lebih reaktif dari kitin dan mudah diproduksi dalam bentuk serbuk, pasta,
film, serat. Kitosan merupakan bahan bioaktif dan aktivitasnya dapat diaplikasikan
dalam bidang farmasi, pertanian, lingkungan industri (Killay, 2013).
Kitosan adalah biopolymer dengan sifat-sifat yang khas yang dapat
digunakan untuk berbagai macam keperluan karena keunikannya tersebut dan
sifatnya yang serba guna kitosan memiliki potensi industri yang sangat besar namun
potensi ini belum tergali, kitosan adalah polisakarida yang sangat menarik karena
tiga alasan utama yaitu potensi sumbernya yang melimpah, karakteristik bahannya
yang unik dan kegunaanya yang beranekaragam.
10
Hardjito (2006) menyatakan mekanisme kerja larutan kitosan yang bersifat
bakteriostatik yaitu menghambat metabolisme kerja sel bakteri sehingga dapat
menghambat pertumbuhannya, kitosan memberikan aktivitas antibakteri terhadap
E. coli, S. aureus, Pseudomona aeruginosa dan Salmonella paratyphi. Diduga
terdapat konsentrasi minimum kitosan sebagai antibakteri dalam menghambat
pertumbuhan bakteri.
2.2.1 Sumber Kitosan
Hardjito (2006) menyatakan mekanisme kerja larutan kitosan yang bersifat
bakteriostatik yaitu menghambat metabolisme kerja sel bakteri sehingga dapat
menghambat pertumbuhannya, kitosan memberikan aktivitas antibakteri terhadap
E. coli, S. aureus, Pseudomona aeruginosa dan Salmonella paratyphi. Diduga
terdapat konsentrasi minimum kitosan sebagai antibakteri dalam menghambat
pertumbuhan bakteri.
Kitosan merupakan biopolimer karbohidrat alami yang dibuat dari deasetilasi
kitin, komponen mayor pada cangkang crustacean seperti kepiting dan udang.
Kitosan juga merupakan fiber seperti halnya selulosa. Cangkang udang
mengandung protein (30–40 %), kalsium karbonat (30-50 %) dan kitin (20-30 %)
pada basis kering (Kim 2004).
Fungsi utama kitin pada krustasea atau pada fungi adalah sebagai struktur
kerangka dalam yang mendukung eksoskelet hewan tersebut atau bagian dari
dinding sel fungi. Kitin yang berasal dari kulit crustacea sebagai komponon
eksoskelet, berbentuk jaring yang kompleks (matriks), yang mengandung protein
dan mineral (CaCO3), sedangkan kompleks jaring kitin dari fungi adalah
polisakarida lain seperti α dan β glukan, manan dan selulosa (Knorr 1982).
11
2.2.2 Struktur Kitin dan Kitosan
Kitin merupakan homopolimer dan Beta -(1,4)-N- asetil – D- glukosanin,
Strukturnya sangat mirip dengan selulosa kecuali pada gugus asetamido diganti
oleh gugus hidroksil pada atom karbon kedua, polimer kitin berbentuk mikrofibril
berdiameter sekitar 3 nm yang distabilkan oleh ikatan hydrogen antara gugus amina
dan karboksil (Rochima, 2007).
Struktur kitin menyerupai selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat
di posisi atom C2. Gugus C2 pada selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada
C2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHCOCH3, asetamida) (Sugita, dkk, 2009).
Kitin adalah amorf berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak larut
dalam air, pelarut organik umumnya, asam-asam anorganik dan basa encer. Sumber
kitin yang sangat potensial adalah kerangka luar Crustacea (seperti udang,
rajungan, dan lobster), serangga, dinding yeast dan jamur, serta mollusca (Harini,
2004). Adapun struktur kitin adalah sebagai berikut:s
Gambar 3. Struktur kitin
Kitin tidak larut dalam air sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan
modifikasi struktur kimianya maka akan diperoleh senyawa turunan kitin yang
mempunyai sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan,
suatu senyawa yang dapat dihasilkan dari proses hidrolisis kitin menggunakan basa
kuat (proses deasetilasi).
12
Kitosan adalah kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya menyisahkan
gugus amina bebas yaitu Beta-(1,4)-D-glukosamin. Berbeda dengan kebanyakan
polisakarida, kitosan memiliki 3 gugus fungsional reaktif berupa gugus amino pada
ikatan ke-2 dan gugus hidroksil pada ikatan karbon ke-3 dan ke-6 yang
menjadikannya bersifat polikationik, Berat molekul kitosan berkisar antara 0,1- 0,5
x 106 Dalton (Rochima, 2007).
Kitosan merupakan turunan kitin yang tidak larut dalam air dan pelarut
organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam format,
asam asetat, asam sitrat, dan asam mineral lain, Kitosan adalah jenis polimer rantai
yang tidak linier yang mempunyai rumus umum (C-6H11O4)n atau disebut sebagai
(1,4)-2-Amino-2-Deoksi-β-D-Glukosa, dimana strukturnya dapat dilihat sebagai
berikut :
Gambar 4. Struktur kitosan
Kitosan mempunyai reaktivitas tinggi daripada kitin karena memiliki gugus
amina bebas yang bersifat nukleofil kuat. Gugus amina ini mudah terprotonasi pada
pH kurang dari 6,5 yang menjadikan kitosan bersifat kationik sehingga dapat
berikatan dengan material bermuatan negatif seperti enzim, sel, polisakarida, asam
nukleat, kulit, dan rambut (Marganov, 2003). Kualitas kitosan dapat ditentukan
berdasarkan parameter fisika dan kimia, parameter fisis diantaranya penampakan,
ukuran (mesh size) dan viskositas, sedangkan parameter kimia yaitu nilai proksimat
13
dan derajat deasetilasi (DD). Standar nilai DD kitosansebagai antimikroba berkisar
antara 70%-95% (Weska, 2007).
Besarnya nilai parameter standar yang dikehendaki untuk kitosan dalam
dunia perdagangan dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Kualitas Standar Kitosan
Parameter Ciri
Ukuran partikel
Kadar abu
Kadar air
Kadar N
Derajat Deasetilasi
Butiran-bubuk
≤ 10 %
≤ 2 %
>5,0%
≥ 70 %
Sumber : Protan laboratories dalam Sedjati (2006)
Hasil penelitian Puspawati (2010) dengan variasi konsentrasi NaOH pada
proses deasetilasi yakni 50%, 55%, dan 60% (temperatur dan waktu yang sama)
menunjukkan konsentrasi yang optimum pada NaOH 60% suhu 1200C selama 4
jam. Kitosan diperoleh dengan derajat deasetilasi sebesar 88,04%. Kondisi
optimum pada reaksi deasetilasi juga telah dilaporkan oleh Weska (2007) yakni
pada temperatur 1300C selama 90 menit diperoleh nilai DD 90%. Semakin besar
konsentrasi NaOH maka gugus asetil dapat lebih banyak dihilangkan melalui
pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asetil sehingga nilai DD nya makin
tinggi. Hal inilah yang membuktikan semakin besar konsentrasi zat yang bereaksi,
makin cepat reaksinya berlangsung. Besar kemungkinan terjadinya tumbukan,
dengan demikian semakin besar pula kemungkinan terjadinya reaksi (Puspawati,
2010).
Muatan positif yang dimiliki kitosan juga menyebabkan kitosan dapat larut
dan tidak terdegradasi dalam larutan asam-netral, seperti asam asetat (Herliana,
2010). Kerja asam asetat dalam melarutkan kitosan, yakni sebagai kation kitosan
mempunyai potensi untuk mengikat banyak komponen, seperti protein, pektin,
14
alginate dan polielelarolit anorganik (Andriani, dkk 2007). Oleh karena itu kitosan
relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industi terapan dan industri
kesehatan.
Perbedaan kitin dan kitosan terletak pada gugus asetamida pada gugus
asetamida pada karbon kedua (C2) dalam struktur molekulnya. Sebagian dari gugus
asetil pada kitosan digantikan dengan atom hidrogen melalui reaksi hidrolisis
dengan alkali pekat dan juga didasarkan pada kandungan nitrogennya. Bila nitrogen
kurang dari 7%, maka polimer disebut kitin dan apabila kandungan total
nitrogennya lebih dari 7% maka disebut kitosan, Tahapan isolasi kitin dan
pembuatan kitosan adalah sebagai berikut :
1. Deproteinisasi
Deproteinasi kitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa.
Lazimnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa menggunakan larutan NaOH.
Pada tahap deproteinasi ini, protein diubah menjadi natrium proteinat yang larut
dalam air.
2. Demineralisasi
Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain
seperti H2SO4.
3. Deasetilasi
Kandungan gugus asetil pada kitin secara teoritis adalah 21,2%. Deasetilasi
secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH.
Penggunaan KOH dapat memutuskan ikatan hidrogen yang kuat antar rantai kitin,
sehingga NaOH sering dipakai pada tahap deasetilasi (Harini, 2004).
15
2.3 Teknologi Ekstraksi Kitin dan Kitosan
Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa yang diinginkan untuk
dipisahkan dari senyawa lain yang tidak diinginkan. Selain itu ekstraksi adalah
proses pemisahan bahan atau senyawa berdasarkan partisi senyawa diantara dua
cairan yang tidak bisa bercampur biasanya pelarut organik dengan air. Hasil
ekstraksi dinamakan ekstrak (Widjanarko, 1996).
Pada pembuatan kitin, ada dua tahap proses ekstraksi yang harus dilakukan
yaitu proses deproteinasi (pengurangan protein) dengan menggunakan basa, dan
proses demineralisasi (pengurangan mineral) dengan menggunakan asam encer,
sedangkan untuk memperoleh kitosan, dilakukan deasetilasi (pengurangan asetil)
dengan menggunakan basa kuat.
1. Deproteinasi
Menurut Angka dan Suhartono (2000), komponen hasil buangan cangkang
rajungan yang masih sering kali dilupakan adalah protein yang berikatan dengan
kitin dan kalsium karbonat. Sebelum ekstraksi kitin, dilakukan ekstraksi protein.
Protein dapat mencapai 30-40% berat bahan organik. Proses ekstraksi protein dapat
dilakukan dengan penambahan 1 atau 2% sodium hidroksida dan membiarkan
campuran pada suhu 60-70°C selama beberapa kali. Dalam penggunaan konsentrasi
sodium hidroksida dapat ditingkatkan sampai 6%. Ekstrak protein yang dihasilkan
dibersihkah dari padatan kontaminasi dengan proses penyaringan (Winterowd dan
Sanford, 1995).
Cara untuk mengatasi masalah degradasi mutu produk kitin adalah
mengekstrak kandungan protein terlebih dahulu sampai tercapai tingkat yang
16
rendah. Pada keadaan ini kitin akan menjadi lebih tahan terhadap serangan bakteri
(Angka dan Suhartono, 2000).
2. Demineralisasi untuk Memperoleh Kitin
Golongan Crustacea pada umumnya mengandung 30-50% (berat kering)
mineral yang berikatan dengan kitin. Komposisi mineral yang utama adalah
kalsium karbonat dan kalsium fosfat.
Demineralisasi adalah proses penghilangan mineral dengan cara melarutkan
komponen mineral dengan penambahan asam encer seperti asam klorida atau asam
sulfat. Muzzarelli (1977), menyatakan bahwa demineralisasi adalah proses penting
dalam rangka mempersiapkan kitosan. Hal ini dapat mempengaruhi mutu akhir dari
kitosan, yakni viskositas dan derajat deasetilasi.
Kitin didapat dengan jalan ekstraksi untuk memisahkan komponen-
komponen mineral, protein, lemak dan lain-lain sebagai komponen pengotor.
Proses demineralisasi dan deproteinasi sangat perlu dilakukan dalam pemurnian
kitin (Hardjito dan Linawati, 1992). Proses demineralisasi bertujuan untuk
menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada cangkang kepiting.
Proses demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah melakukan ekstraksi
protein, karena akan mendapatkan hasil yang maksimal. Apabila proses
demineralisasi dilakukan sebelum ekstraksi protein maka dapat terjadi kontaminasi
protein terhadap cairan ekstrak mineral, sehingga merugikan hasil ekstrak
proteinnya kelak (Angka dan Suhartono, 2000).
Komponen mineral dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti asam
klorida atau asam sulfat. Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan
menambahkan HC1 (asam klorida) 1 N dengan perbandingan berat bahan dan
17
volume pengekstrak 1:7 (b/v) yang dipanaskan pada suhu 70-75° C (Hardjito dan
Linawati, 1992).
Selama proses demineralisasi dapat terjadi kerusakan kitin oleh proses
penguraian hidrolik pada keadaan atau lingkungan reaksi yang agak keras.
Kerusakan ini terutama disebabkan oleh adanya penyerapan sisa asam selama
pengeringan produk kitin. Senyawa kitin dapat mengandung beberapa gugus amino
bebas, karena proses deasetilasi ringan selama pengolahan. Oleh karena itu,proses
pencucian disempurnakan dengan penambahan sejumlah kecil basa untuk
menjamin pH diatas 7 pada suspensi kitin. Dengan cara ini kerusakan selama
pengeringan dapat ditekan.
3. Deasetilisasi untuk Memperoleh Kitosan
Deasetilasi adalah proses untuk mengubah kitin menjadi kitosan dengan
mengubah gugus asetil yang terdapat pada kitin dan mengganti dengan gugus NH2
(Santoso, 1990).
Untuk mengubah kitin menjadi kitosan dilakukan dengan
penambahan NaOH pekat (45-50%) dan kondisi suhu yang tinggi (110-140 °C).
Untuk menghasilkan kitosan, dibutuhkan waktu pembuatan sekitar 4-5
jam. Proses deproteinasi satu jam, demineralisasi 2 jam dan proses deasetilasi
tergantung kemurnian yang diinginkan. Semakin murni proses deasetilasi maka
waktu yang diperlukan akan semakin lama (Hardjito dan Linawati, 1992).
2.4 Karakteristik Kitosan
Kitosan merupakan senyawa yang disebut juga dengan β-1,4-2 amino-2-
dioksi-D-glukosa merupakan senyawa tidak larut dalam air pelarut-pelarut organik,
juga tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5, larutan
18
basa, sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4.
Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik
(Silvia dkk, 2014).
Kitosan memiliki gugus fungsional amina (NH2) yang bermuatan positif yang
sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan dinding sel bakteri yang
bermuatan negative, kitosan juga memiliki sifat afinitas yang sangat kuat dengan
DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu
mRNA dan sintesa protein, Bakteri gram-negative memiliki kutub negatif yang
sangat sensitive terhadap kitosan, dengan demikian kitosan dapat digunakan
sebagai bahan antibakteri (Killay, 2013).
Karakteristik fisiko-kimia kitosan yaitu: berwarna putih dan berbentuk
serpihan seperti bubuk. Kelarutan kitosan yang baik adalah dalam asam asetat 1-
2%. Selain itu kitosan larut dalam HCL encer, HNO3 encer, H3PO4 0,5% dan tidak
larut dalam asam pekat dan basa kuat. Dalam kondisi asam berair, gugus amino (-
NH2), kitosan akan menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus aminonya
terprotonasi menjadi –NH3+. Gugus -NH3+ inilah yang menyebabkan kitosan
bertindak sebagai garam, sehingga dapat larut dalam air. Perlu diketahui bahwa
kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi dan rotasi
spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasinya (Sugita
dkk, 2009).
2.5 Manfaat Kitin dan Kitosan
Menurut Suhardi, (1993) menjelaskan bahwa kitosan telah banyak
dimanfaatkan dalam beragam industri, antara lain sebagai agen penstabil lemak
dan penstabil rasa dalam industri makanan, bahan aditif untuk samphoo dan
19
kosmetik, bahan antibakteri, absorban untuk penghilangan logam berat dan
pemurnian air. Pemanfaatan kitosan untuk pemurnian air telah dilakukan dengan
menyebarkan kitosan ke permukaan air yang tercemar, zat-zat pencemar (minyak,
logam berat dan makromolekul lain) akan diserap oleh kitosan. Selain itu,
pemanfaatan kitosan yang fantastik yaitu kitosan banyak dibuat untuk tablet/pil
penurun berat badan. Kitosan dapat menyerap lemak dalam tubuh dengan cukup
baik. Dalam kondisi optimal, kitosan dapat menyerap lemak sejumlah 4-5 kali
berat kitosan.
Kitosan memiliki gugus aktif yang akan berikatan dengan mikroba
sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, kitosan
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan daya simpan bahan makanan yang
mudah mengalami kerusakan (Knoor 1982).
2.6 Kitosan Sebagai Bahan Pengawet
Sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat, pola konsumen bahan
pangan juga mengalami perubahan. Perubahan ini membawa akibat meningkatnya
kesadaran konsumen untuk memilih bahan pangan yang lebih baik mutunya. Oleh
karena itu, peran penanganan dan pengawetan selain sangat besar artinya dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan yang berasal dari ikan sebagai
sumber protein hewani (Ima Wijayanti dan Apri Dwi Anggo, 2006).
Kitosan memiliki sifat antimikroba, karena dapat menghambat bakteri
patogen dan mikroorganisme pembusuk, termasuk jamur, bakteri gram-positif ,
bakteri gram negatif (Hafdani, 2011). Kitosan digunakan sebagai pelapis (film)
pada berbagai bahan pangan, tujuannya adalah menghalangi oksigen masuk dengan
baik, sehingga dapat digunakan sebagai kemasan berbagai bahan pangan dan juga
20
dapat dimakan langsung, karena kitosan tidak berbahaya terhadap kesehatan
(Henriette, 2010). Senyawa Chitosan mempunyai sifat mengganggu aktivitas
membran luar bakteri gram negatif (Helander, 2001). Pemakaian kitosan sebagai
bahan pengawet juga tidak menimbulkan perubahan warna dan aroma. Senyawa
kitosan yang berpotensi sebagai bahan antimikrobial bisa ditambahkan pada bahan
makanan karena tidak berbahaya bagi manusia. Pada manusia kitosan tidak dapat
dicerna sehingga tidak punya nilai kalori dan langsung dikeluarkan oleh tubuh
bersama feces. Kitosan memiliki sifat penghalang metabolisme sel membran bagian
luar (Helander, 2001).
Kitosan mempunyai bentuk spesifik mengandung gugus amino dalam rantai
karbonnya yang bermuatan positif, sehingga dalam keadaan cair sensitif terhadap
kekuatan ion tinggi. Kitosan memiliki gugus fungsional amina (–NH2) yang
bermuatan positif yang sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan dinding
sel bakteri yang bermuatan negatif. Selain itu kitosan memiliki struktur yang
menyerupai dengan peptidoglikan yang merupakan struktur penyusun 90% dinding
sel bakteri gram positif (Hafdani, 2011). Mekanisme kerja kitosan sebagai
antibakteri adalah sifat afinitas yang dimiliki oleh kitosan yang sangat kuat dengan
DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu
mRNA dan sintesa protein. Sifat afinitas antimikroba dari kitosan dalam melawan
bakteri atau mikroorganisme tergantung dari berat molekul dan derajat deasetilasi.
Berat molekul dan derajat deasetilasi yang lebih besar menunjukkan aktifitas
antimikroba yang lebih besar. Kitosan memiliki gugus fungsional amina (–NH2)
yang bermuatan positif yang sangat reaktif, sehingga mampu berikatan dengan
dinding sel bakteri yang bermuatan negatif. Ikatan ini terjadi pada situs
21
elektronegatif di permukaan dinding sel bakteri. Selain itu, karena -NH2 juga
memiliki pasangan elektron bebas, maka gugus ini dapat menarik mineral Ca2+
yang terdapat pada dinding sel bakteri dengan membentuk ikatan kovalen
koordinasi. Bakteri gram negatif dengan lipopolisakarida dalam lapisan luarnya
memiliki kutub negatif yang sangat sensitif terhadap kitosan.
2.7 Pengawetan Makanan
Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, salah satu bahan
tambahan pangan yang diizinkan digunakan pada makanan dantaranya pengawetan
yaitu untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar
kerusakan bahan makanan, khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas
mikroba yang memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan
pengawet bersifat menghambat atau mematikan pertumbuhan mkroba penyebab
kerusakan ini sehingga sering juga disebut dengan senyawa antimikroba
Dengan semakin berkembang ilmu dan teknologi makanan, semakin banyak
inteverensi manusia dalam pembentukan atau pengolahan bahan makanannya yang
mendorong penambahan bahan-bahan lain ke dalam bahan makanan. Bahan-bahan
yang ditambahkan tersebut dapat berasal dari bahan alamiah yang dipisahkan dan
dimurnikan ataupun hasil buatan secara kimiawi ataupun sintesis. Tujuan
pertambahan bahan-bahan ini dapat sebagai pengawet,pewarna, penyedap,
pengental, penstabil, pembasah (humektan) maupun pengering, pemanis dan lain-
lain. Termasuk kelompok bahan tambahan (food additive) ini misalnya asam
benzoat dan garam-garamnya, karoten atau klorofil, monosodium glutamate
(MSG), gula, gliserol, asam fosfat, esens uah-buahan dan lain-lain (Sudarmadji,
1997).
22
Secara garis besar teknik pengawetan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu
pengawetan secara alami pengawetn secara biologis, dan pengawetan secara kimia
(Margono, 2003).
a. Pengawetan Secara Alami
Proses pengawetan secara alami meliputi proses pemanasan dan pendinginan
b. Pengawetan Secara Biologis
Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi
(peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol. Zat-zat yang
bekerja pada proses ini adalahenzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya
proses peragian tergantung pada ahan yang akan diragikan.
c. Pengawetan Secara Kimia
Pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang
bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah
penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam
propionat, asam sitrat, garam sulfat dan lain-lain. Proses pengasapan juga
termasuk cara kimia, sebab bahan-bahan kimia dalam asam dimasukkna ke
dalam bahan makanan yang akan diawetkan.
2.8 Klasifikasi Ikan Nila
Ikan nila merupakan jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai konsumsi
cukup tinggi. Bentuk tubuh memanjang dan pipih ke samping dan warna putih
kehitaman atau kemerahan. Ikan nila berasal dari Sungai Nil dan danau-danau
sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang
beriklim tropis dan subtropis. Di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat
23
hidup baik (Sugiarto, 1988). Ikan Nila disukai oleh berbagai bangsa karena
dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah (Sumantadinata, 1981).
Gambar 5. Ikan nila
Terdapat tiga jenis ikan nila yang dikenal, yaitu nila biasa, nila merah (nirah)
dan nila albino (Sugiarto, 1988). Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis
niloticus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Ordo : Perciformes
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
2.9 Morfologi Ikan Nila
Morfologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin (1968),
mempunyai ciri-ciri bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan
dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Pada sirip punggung
24
ditemukan garis lurus memanjang. Ikan Nila (oreochormis niloticus) dapat hidup
diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip
dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya. Nila memiliki
lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip data (pectoral fin) sirip perut
(ventral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya
memanjang dari bagian atas tutup ingsang sampai bagian atas sirip ekor. Terdapat
juga sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil dan sirip anus yang
hanya satu buah berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip ekornya hanya
satu buah dengan bentuk bulat.
2.10 Kerusakan Ikan
Penanganan ikan memegang perana penting dalam mempertahankan
kesegaran ikan sebagai bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan lebih
lanjut. Penanganan tersebut dimulai dari arah penangkapan atau pemanenan ikan
yag baik, pengolaha, sampai proses distribusi kepada konsumen (Moeljanto, 1992).
Menurut Standar Nasional Inonesia (SNI) 01-2346-2006, ikan yang masih segar
mempunyai ciri-ciri antara lain mata cerah, bola mata menonjol dan kornea jernih.
Insang berwarna merah cemerlang dan tanpa lendir. Tekstur dagingnya padat,
elastis, sayatan daging sangat cemerlang. Permukaan badannya mengkilat dengan
lapisan lendir jernih dan berbau sangat segar sesuai jenisnya (BSN, 2006). Setelah
ikan mati terjadi perubahan penampakan, tekstur, dan aktivitas kimiawi dalam
tubuh ikan. Perubahan mutu pada ikan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu enzim,
bakteri dan biokimia (Govindan, 1985).
25
2.11 Fillet Ikan
Fillet ikan sebagai suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahna baku
ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa
pembuangan kulit, perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan,
pengepakan dan penyimpanan segar atau beku. Bentuk fillet ikan terbagi dalam dua
jenis yaitu fillet ikan dengan kulit (skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less).
Pada setiap jenis fillet tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu fillet
yang masih memiliki bagian dinding perut (belly-on) dan fillet yang tidak memiliki
bagian dinding perut (belly-of) (Ditjn P2HP, 1989)
Fillet ikan merupakan empengan ikan yang ukuran dan bentuknya tidak
beraturan yang dipisahkan dari kerangka tubuh ikan dengan cara menyayat sejajar
dengan tulang belakang (Ilyas,1983).
Menurut Moelyanto (1978) fillet ikan yaitu daging ikan tanpa sisik dan tulang
(kadang-kadang juga tanpa kulit) diambil dari kedua sisi badan ikan biasanya kedua
potong fillet itu salinng bergandengan (butterfly fillet) atau bagian yang diperoleh
dengan penyayatan ikan utuh sepanjang tulang belakang mulai dari belakang kepaa
hingga mendekati ekor.
Fillet ikan yang masih dengan kulitnya disebut skin on fillet dan fillet yang
tana kulit disebut skin less fillet (Tanikawa,1985).
Berbagai tipe fillet dibedakan (Ilyas,1983) sebagai berikut :
1. Fillet berkulit (skin-on fillet), yaitu lempengan daging ikan yang telah
dipisahkan dari kerangkanya tanpa dilakukan dengan perlakuan lainnya
26
2. Fillet tidak berkulit (skin-less fillet), yaitu berupa lempengan daging ikan yang
telah dipisahkan dari kerangkanya serta dilakukan perlakuan tambahan berupa
pemisahan kulit yang terdapat pada lempengan daging tersebut
3. Fillet tunggal (single fillet), yaitu berupa lempenga daging ikan yang telah
dipisahkan dari kerangkanya dan masing-masing sisi tubuh ikan dibuat menjadi
sebuah fillet
4. Fillet kupu-kupu (butterfly fillet), yaitu berupa lempengan daging ikan yang
berasal dari kedua sisi tubuh ikan, biasanya kedua bagian daging tersebut tidak
terputus.