penalaran sebagai cara merumuskan kesimpulan
TRANSCRIPT
PENALARAN SEBAGAI CARA MERUMUSKAN KESIMPULAN
KARYA TULIS
Diajukan untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Dalam Peningkatan Wawasan Keagamaan (Imtaq) Guru SD, SLTP, dan SLTA Tingkat Nasional Tahun 2003 Derektorat Jenderal
Pendidikan Nasional
oleh
Nama : Dra. N. Sukartinah
NIP : 131408342
Jabatan : Guru Bahasa Indonesia
SMU Negeri 5 Tangerang
TANGERANG
2003
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan karena petunjuk serta kehendak-Nya pula penulis dapat menyelesaikan
pembuatan karya tulis dengan judul “Penalaran Sebagai Cara Untuk Menarik Kesimpulan.”
Penulis menyadari bahwa hasil pekerjaan bagaikan “Tiada Gading Yang Tak Retak.” Maka
dari itu kritik dan saran sangatlah penulis nantikan.
Selanjutnya disertai dengan keyakinan, karya tulis dapat diwujudkan berkat bantuan semua
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan karya tulis ini.
Tangerang,
Penulis
Dra. N. Sukartinah
Abstrak
Penalaran adalah suatu proses berpikir untuk menghubung-hubungkan data atau fakta-fakta
yang ada sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Supaya kesimpulan itu benar, cara kita
menghubung-hubungkan data tidak boleh sembarangan. Kita harus melakukan secara cermat
dengan berdasarkan pikiran yang logis. Penalaran yang salah akan menuntun kita pada
kesimpuan atau pendapat yang salah.
Kesalahan membuat kesimpulan tidak hanya ditentukan oleh kekeliruan dalam cara
bernalar, tetapi dapat pula oleh datanya yang tidak benar. Oleh karena itu, sebelum melakukan
penalaran, perlu diketahui benar tidaknya data yang disimpulkan itu.
Penalaran ada dua macam :
1. Penalaran Induksi
2. Penalaran Deduksi
Melalui penalaran kita dapat memasukkan materi dari pelajaran agama. Khususnya agama
Islam untuk logika / penalaran ini penulis mengambil contoh salah satunya dari surat Ali Imron
ayat 185 mengenai kebakhilan dan dusta serta balasannya, klausa pertama dari ayat tersebut
dapat kita jadikan proposisi dan menghasilkan beberapa kesimpulan.
Dari contoh di atas dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Abstrak
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang
Bab II Permasalahan
Bab III Pembahasan
Bab IV Kesimpulan
Daftar Pustaka
PENALARAN
Penalaran sebagi Cara Merumuskan Kesimpulan
BAB I
A. Latar belakang masalah
1. Penalaran Induksi :
1.1 Penalaran induksi generalisasi
1.2 Penalaran induksi analogi
1.3 Penalaran induksi sebab-akibat / akibat-sebab
2. Penalaran Deduksi
2.1 Penalaran deduksi dengan satu premis
2.2 Silogisme
2.3 Entimen
2.4 Deduksi yang salah
3. Dengan penalaran kita mudah menarik kesimpulan
B. Pengertian
1. Penalaran harus melalui latihan
2. Penalaran sebaiknya diberikan kepada siswa mulai di sekolah
C. Maksud / Tujuan
1. Memberikan pemahaman tentang pentingnya penalaran bagi seseorang
2. Memberikan gambaran bahwa kesimpulan berdasarkan penalaran dapat dibuktikan
kebenarannya
3. Proposisi yang benar menghasilkan kesimpulan yang benar
4. Proposisi yang salah menghasilkan kesimpulan yang salah
BAB II
Permasalahan
Benarkah penalaran sebagai cara merumuskan kesimpulan?
BAB III
Pembahasan
Penalaran yaitu menghubung-hubungkan data sehingga sampai pada kesimpulan atau
pendapat. Dengan kata lain penalaran merupakan proses berpikir yang sistematik (susunan ;
aturan) untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan.
Penalaran ada dua macam :
1. Penalaran Induksi :
1.1 Penalaran induksi generalisasi
1.2 Penalaran induksi analog
1.3 Penalaran induksi sebab-akibat / akibat-sebab
2. Penalaran deduksi :
2.1 Penalaran deduksi dengan satu premis
2.2 Silogisme
2.3 Entimen
2.4 Deduksi yang salah
1. Penalaran Induksi
Penalaran induksi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau
sikap yang berlaku berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus. Penalaran induksi dapat
digambarkan dalam diagram berikut
1.1. Penalaran Induksi Generalisasi
Pada penalaran ini kita memerlukan fakta-fakta yang bersifat khusus tentu saja
memiliki kesamaan, kemudian kita hubung-hubungkan sehingga mendapatkan
kesimpulan.
Contoh :
Emas apabila dipanaskan memuai. Perak apabila dipanaskan memuai. Perunggu
apabila dipanaskan memuai. Begitu pula dengan besi, alumunium, platina, apabila
dipanaskan memuai. Semua jenis logam dipanaskan memuai.
Pengiriman surat permohonan gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, pembuktian,
putusan hakim. Hal tersebut merupakan kasus perdata.
1.2. Penalaran Induksi Analogi
Dalam penalaran induksi analogi kita membandingkan dua hal atau lebih yang
banyak persamaannya. Kita dapat menarik kesimpulan apabila sudah ada persamaan
dalam berbagai segi, akan ada pula persamaan dalam bidang yang lain.
KhususKhusus
KhususKhusus
KhususKhusus
U
M
U
M
U
M
U
M
Penalaran analogi terdiri atas :
1.1.1 Analogi untuk, rumus A + B = AB (minimal tiga paragraph)
Contoh :
Kolusi – Mengkolosi
Oleh Zaim Saidi
Seseorang perempuan diketahui terserang kanker ganas dan hamper meninggal.
Konon, hanya ada satu obat yang baru ditemukan oleh seorang tabib yang dapat
menyembuhkannya. Sang tabib memasang harga $ 2000 AS, sepuluh kali lipat biaya
pembuatannya. Maka Heinz, sang suami, pergi kesana kemari untuk berhutang. Malang,
dia hanya mampu mengumpulkan sebagian dari yang dibutukan. Kepada sang tabib Heinz
memohon keringanan, agar dia dapat membeli obat itu atau mengicil dengan lebih
murah. : Isteriku dalam keadaan sekarat. Tolonglah,” ujar Heinz mengiba “tidak,” jawab
sang tabib, tanpa bnyak komentar. Esoknya Heinz mendobrak toko sang tabib dan
mencuri pil untuk isteri tercintanya.
Lawrence Kohlberg, seorang psikolog, “mengarang” cerita itu untuk mengetahui
perkembangan moral seseorang. Pertanyaan yang diajukan adalah : “ haruskah sang suami
melakukan perbuatan itu ? ”Tentu, tidak akan ada jawaban yang ideal. Kalau Heinz tidak
mencuri berarti ia seorang yang jujur tapi tega membiarkan isterinya meninggal tapi kalu
pencurian itu dia lakukan berarti Heinz adalah seorang penjahat yang menyayangi
isterinya.
Menurut Kohlberg, setiap orang akhirnya memang akan mengambil sikap berbeda-
beda adat terhadap kasus semacam itu. Tegantung pada kesadaran moralnya. Dan dalam
hidup ini terbukti sulit untuk dapat berhitam putih saja. Dalam kasus Heinz di atas, kita
akan terombang-ambing mengesahkan pencurian versus menelantarkan isteri.
Kohlberg memang ingin menujukan bahwa kesadaran moral seseorang itu bertingkat-
tingkat, dari rendah sampai tinggi. Baik mereka yang membenarkan maupun menyalahkan
tindakan Heinz akan member alas an berbeda, tergantung kesadaran nuraninya.
“Seseorang yang kesadaran moralnya rendah akan mendasarkan keputusan kepada
“hukuman”. Sebaliknya, orang berkesadaran moral tinggi, mengambil sikap atas prinsip-
prinsip etika yang universal.
Maka, menurut teori Kohlberg ini, orang yang kesadaran moralnya rendah akan
memberikan alas an, misalnya saja “daripada dia disalahkan dan dihukum karena
membiarkan isterinya meninggal, lebih baik mencuri”, untuk membenarkan tindakan
Heinz. Sebaliknya orang yang menyalahkan Heinz, mungkin memberikan alasan “daripada
dipenjara karena mencuri, lebih baik membiarkan isterinya meninggal.” Pendeknya
pertimbangan adalah rasa takut akan hukuman. Bagaimana dengan orang-orang
berkesadaran tinggi ?. pasti ada yang membenarkan dan menyalahkan Heinz, hanya
pertimbangannya lain. Bukan karena takut melainkan prinsip.
Orang berkessadaran moral tinggi membenarkan Heinz dengan pertimbangan bahwa
“menyelamatkan nyawa” adalah prinsip utama. Benar, mencuri adalah perbuatan tidak
jujur dan jahat. Tapi “tidak sejahat” membiarkan seseorang mati sia-sia. Sebaliknya
meraka yang menyalahkan Heinz, memberikan alas an “seseorang harus berpegang teguh
pada prinsip moral “nyawa seseorang jelas harus diselamatkan, tapi tidak dengan
melanggar prinsip etis lainnya, yakni berlaku jujur. Pasti ada jalan lain yang lebih dapat
dibenarkan.
Jelas bahwa dalam kenyataan sehari-hari kita sering dihadapkan pada dilema moral
semacam itu. Banyak diantara kita dalam posisi Heinz. Baru- baru ini, misalnya seorang
pekerja bangunan di tangkap karena membunuh temannya sendiri, dan mencoba merampok
harta yang tidak seberapa. Kepada petugas dia mengakui melakukan kekejian itu karena
menerima surat isterinya di kampung menggambarkan perlu uang untuk selamatan nujuh
bulan anak mereka. Banyak orang mencuri demi memberi makan anak dan isteri. Kita
memang boleh tidak acuh dengan persoalan orang-orang ini karena tidak terlibat. Tapi
bagaimana kalau kita terlibat di dalamnya?
Contoh sehari-hari adalah pada kita menghadapi jajaran birokrasi, entah untuk urusan
KTP, akta kelahiran, surat nikah, atau kena tilang polisi. Kita semua tahu dan merasakan,
sedang berhadapan dengan pegawai kecil dengan gaji lebih kecil lagi adalah biasa : semua
urusan perlu “ Uang administrasi”, “ uang pelumas”, “uang damai”, atau apapun namanya.
Bukanlah disini sesungguhnya kita dihadapkan pada dilema moral?
Kita bisa bilang karena mereka pegawai kecil, perlu uang tambahan, dan sebagai rasa
terima kasih atas “ bantuan” mereka, kita rela memberikan berbagai pungli itu. Tapi
tidaklah hal ini sangat problematis ! perbuatan korupsi itu sendiri jelas tercela. Dengan
menuruti kemauan mereka kita membiarkan perbuatan jahat itu berlangsung. Akhirnya
benar, urusan pun terkatung-katung kecuali ada campur tangan rupiah. Lebih dari itu
akibatnya adalah ketidakadilan terhadap mereka yang tidak mampu. Layanan umum
birokerasi, akhirnya hanya berjalan bagi orang yang berduit. Peraturan dan hukum menjadi
pilih kasih.
Saudara boleh seorang insinyur, dokter, pengusaha, apa saja. Kyai sekalipun.
Begitulah yang kita jalani sehari-hari. Kita berada dalam situasi yang runyam, tapi kita
anggap beres-beres saja. Banyak orang berkorupsi, dan kita rela dikorupsi. Ada pihak yang
mengajak kolusi karena banyak yang senang dikolusi. Masalah skala bukan lagi menjadi
soal. Kita sudah sangat terlatih kok. Kata seorang yang ada teri, makan teri, yang bersedia
kakap sifat kakap. Kita membuat KTP ya urusannya dengan pegawai kecil kelurahan
berskala lima ribuan. Kita memperoleh kasasi ya urusannya dengan para hakim agung dan
berskala miliaran. Apa bedanya? Kita senang urusannya beres, mereka bahagia kantong
beres.
Kalau Kohlberg sekali lagi melakukan riset, dengan kita sebagai responden, boleh
jadi hasilnya sedikit berbeda. Tingkat kesadaran moral yang ditemukannya mungkin
bertambah satu. Selain dari yang “ berkesadaran moral tinggi sampai rendah “, adalah
kelompok “ tanpa kesadaran moral.”
Dari “Refleksi”
Republika, 5 Mei 1996 : 2
1.1.2 Analogi sebagian, rumus A/B =A/B = AB (minimal satu paragraf)
Contoh :
Seorang bayi dilahirkan dalam keadaan suci seperti kertas putih. Bayi akan dibentuk
pribadinya sesuai dengan didikan yang diterimanya seperti kertas dapat diisi dengan
berbagai hal sesuai dengan keinginan pemiliknya. Bila bayi dididik dengan baik, dia akan
seperti kertas yang diisi dengan hal yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Jadi, membentuk kepribadian baik seorang anak ibarat menulis kertas putih dengan hal-hal
yang bermanfaat.
1.3. Penalaran Induksi Sebab-akibat/ Akibat –sebab
Hubungan sebab-akibat mulai dari beberapa fakta yang menjadi sebab yang kita
ketahui. Dengan menghubungkan fakta yang satu yang lain dapatlah kita sampai kepada
kesimpulan yang menjadi akibat dari fakta itu, atau sebaliknya.
Contoh penalaran induksi sebab-akibat :
Korupsi, kolusi, dan nepotisme mengakibatkan reformasi.
Contoh penalaran induksi akibat-sebab :
Setiap umat hidup rukun. Setiap bangsa Indonesia memiliki adat istiadat. Setiap
warga Negara berdeda pendapat tetapi satu tujuan. Setiap warga bermusyawarah untuk
mufakat. Setiap bangsa Indonesia memperoleh keadilan yang merata. Ini karena pancasila
berusaha menjamin hidup di Indonesia.
Dari contoh di atas proses induksi menghasilkan suatu pengetahuan baru di akhir
paragraf sebagai sebuah / suatu kesimpulan.
Penalaran Deduksi
U
M
U
M
U
M
U
M
KhususKhusus
KhususKhusus
KhususKhusus
Dari contoh deduksi dimulai dengan suatu premis, yaitu pernyataan dasar untuk menarik
kesimpulan. Kesimpulannya merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya, apa yang
dikemukakan di dalam kesimpulan secara tersirat telah ada dalam pernyataan itu. Jadi
sebenarnya proses deduksi tidak menghasilkan suatu penghasilan baru, tetapi kesimpulan yang
konsisten dengan pernyataan dasarnya.
Implikasi :
1. Keterlibatan atau keadaan terlibat
2. Yang termasuk atau simpul
3. Yang disugestikan, tetapi tidak dinyatakan
2. Penalaran deduksi :
2.1 Penalaran deduksi dengan satu premis
Contoh diambil dari surat Ali Imron ayat 185
Kebakhilan dan Dusta serta balasannya
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Siapa pun orangnya dijauhkan dari neraka dan dimasukan
ke dalam surge, maka sunggguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan”.
Paragraf di atas terdiri dari tiga kalimat. Kalimat pertama terdiri dari klausa bebas dan klausa
terikat. Klausa bebas dapat dijadikan premis :
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Kesimpulan
1. Manusia akan merasakan mati.
2. Hewan akan merasakan mati.
3. Tumbuh-tumbuhan akan merasakan mati.
4. Makhluk hidup akan merasakan mati.
5. Benda mati tidak akan merasakan mati.
6. Bukan makhluk hidup apabila tidak akan merasakan mati.
7. Benda mati sudah pasti mati.
1.2 Penalaran Deduksi dengan dua premis / silogisme.
1.2.1 Silogisme Kategorial
1.2.2 Silogisme Hippotesis
1.2.3 Silogisme Alternatif
Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penalaran yagn menghubungkan dua proposisi yang
berlainan untuk memperoleh inferensi yang menjadi pernyataan ketiga. Kedua proposisi yang
telah ada disebut premis sedangkan proposisi yang dihasilkan dari inferensi disebut konklusi.
Proposisi : Pernyataan
Inferensi : simpulan yang disimpulkan
Konklusi : kesimpulan yang diperoleh berdasarkan metode berfikir induktif atau deduktif
Rumus silogisme kategorial (golongan)
1. Silogisme Positif
PU : A = B PU : A = B
PK : C = A PK : C = B
K : C = B K : C = A
2. Silogisme Negatif menggunakan kata ingkar tidak atau bukan
2.1 PU : A ≠ B
PK : C = A
K : C ≠ B
2.2 PU : A = B
PK : C ≠ A
K : C ≠ B
PU : Premis umum menyatakan bahwa semua anggota golongan tertentu (A) memiliki sifat atau
hal tertentu (B)
PK : Premis khusus menyatakan bahwa sesuatu / seseorang (C) termasuk anggota golongan
tertentu (A)
K : Kesimpulan menyatakan bahwa sesuatu / seseorang (C) memiliki sifat / hal tertentu (B)
Silogisme positif
Contoh :
PU : Setiap pihak yang mengingkari janji akan mendapat risiko untuk digugat oleh pihak yang
A B
dirugikan.
PK : Si Badu mengingkari janji
C A
K : Si Badu akan mendapatkan risiko untuk digugat oleh pihak yang dirugikan.
C B
PU : Setiap orang yang berkulit hitam yang dikenai tuduhan pembunuhan atas petugas dalam
insiden di Amerika Serikat dijatuhi hukuman mati di Philadelpia.
A B
PK : Mumia Abdul Jamal dikenai tuduhan pembunahan atas petugas dalam insiden di AS.
C B
K : Mumia Abdul Jamal dijatuhi hukuman mati di Philadelpia.
C B
E : Munia Abu Jamal dijatuhi hukuman mati di Philadelpia karena ia dikenai tuduhan
pembunuhan atas petugas dalam insiden di AS
Silogisme negatif
Contoh :
PU : Setiap penderita diabetes tidak boleh memakana makanan yang banyak mengandung gula.
A ≠ B
PK : Pak Iwan ayahku penderita diabetes.
C ≠ A
K : Pak Iwan tidak boleh memakan makanan yang bnyak mengandung.
C ≠ B
PU : Setiap pengendara bermotor harus memiliki SIM.
A B
PK : Pak Uci bukan pengendara kendaraan bermotor.
C ≠ A
K : Pak Uci tidak wajib memiliki SIM.
C ≠ B
Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya atau
keputusan yang kebenarannya berdasarkan syarat-syarat tertentu.
Hipotesis sering seiring dengan reori da kebenarannya diuji lewat penelitian dengan
mengumpulkan data empiris berupa fakta-fakta.
Empiris artinya bedasarkan pengalaman terutama yang diperoleh dari penemuan
percobaan, pengamatan yang telah dilakukan.
Dalam penelitian teori dan fakta memegang peranan penting. Teori berperan untuk :
1. Mengarahkan penelitian.
2. Merangkum keberadaan fakta.
Fakta berperan untuk :
1. Mempertajam atau memperkuat teori.
2. Menimbulkan teori baru.
3. Menolak teori.
Meramalkan artinya melihat menduga keadaan (hal) yagn akan terjadi.
Silogisme hipotesis adalah penalaran yang ditarik dari suatu anggapan dasar dan masih
memerlukan pembuktian. Silogisme ini ditandai dengan adanya kalimat pengandaian.
Contoh :
PU : Jika dalam kasus perdata tergugat dan penggugat tidak menyetujui perundangan maka
putusan hakim harus diberlakukan.
PK : Penggugat dan tergugat menyetujui perundingan.
K : Putusan hakim tidak berlaku jika penggugat dan tergugat menyetujui perundingan.
Silogisme alternative adalah penalaran yang proposisi mayornya mengemukakan
kemungkinan-kemungkinan sedangkan proposisi minor berbicara tentang salah satu dari
kemungkina tersebut. Konklusi tergantung dari premis minor. Apabila premis minor menerima
satu alternative, maka alternative yang lain ditolak.
Contoh :
PU : Di pengadilan negeri penggugat dan tergugat harus memilih yaitu menyetujui perundingan
atau melanjutkannya kepada keputusan hakim.
PK : Penggugat dan tergugat menyetujui perundingan.
K : Maka keputusan hakim tidak dilaksanakan.
Entimen adalah silogisme yang diperpendek.
Rumus entimen C = B karena C = A
2.3 Entimen
Contoh :
Zarima harus dihukum karena ia pengedar narkoba.
C = B C = A
Entimen diatas dikembalikan kedalam silogisme :
PU : Setiap pengedar narkoba harus dihukum.
A B
PK : Zarima pengedar narkoba.
C A
K : Zarima harus dihukum.
C B
2.4 Deduksi yang salah
Apabila salah satu premis salah maka kesimpulan juga salah.
Contoh :
PU : Setiap perempuan berambut panjang
PK : Mayang seorang perempuan (rambutnya pendek)
K : Mayang pasti berambut panjang ?
Dari contoh di atas pada kenyataannya tidak semua perempuan berambut panjang.
Bab IV
Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut pernyataan-pernyataan yang dijadikan premis / proposisi harus
merupakan fakta.
Premis harus benar karena proposisi yang benar menghasilkan kesimpulan yang benar.
Dan proposisi yang salah menghasilkan kesimpulan yang salah.
Penalaran sebagai cara merumuskan kesimpulan harus melalui latihan. Data / fakta-fakta
yang dihubungkan harus dapat dibuktikan kebenarannya, karena penalaran induksi maupun
penalaran deduksi termasuk kedalam jenis karangan argumentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Firman, M. Bahasa Indonesia 2B dan 2C. Jakarta : PT. Intimedia Cipta Nusantara, 1977.
Kosasih, E. Kompetensi Ketata Bahasaan. Cermat Berbahasa Indonesia. Cetakan 1. Bandung :
CV. Yaama Widya, 2002.