penafsiran ayat-ayat mutasyÂbihÂt dalam tafsir fath...
TRANSCRIPT
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM
TAFSIR FATH AL-QADÎR
KARYA IMAM AL-SYAUKÂNÎ
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Muawwanah
NIM: 11140340000072
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
i
ABSTRAK
Muawwanah, Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir Fatẖ al- Qadîr
Karya Imam al-Syaukânî.
Sebagai umat manusia yang beriman kepada Allah, agar keimanan yang ia
pegangi tidak tergelincir dari keimanan yang sebenarnya tentu diperlukan aturan
atau batasan-batasan tertentu yang harus diketahui. Seperti mengenali sifat Allah
yang telah tertulis dalam al-Qur’an . Terkadang ayat al-Qur’an bila menyebutkan
sifat Allah, diungkapkan dengan bahasa yang tidak jelas sehingga membuat
pemahaman yang berbeda-beda di kalangan para pengkaji. Untuk menyelesaikan
masalah ini maka dibutuhkan penafsiran ayat yang lebih dalam agar tidak salah
dalam memahaminya. Oleh karena itu penulis memilih penafsiran al-Syaukânî
terhadap ayat yang kurang jelas maknanya atau yang lebih dikenal dengan ayat
mutasyâbihât.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam mengungkapkan makna ayat
mutasyâbihât yang terdapat dalam al-Qur’an adalah metode tematik. Penulis
menghimpun ayat-ayat mutasyâbihât yang terdapat dalam al-Qur’an. Kemudian
penulis mengklasifikasikan, dan memilih ayat yang menurut penullis perlu untuk
dijadikan dalam tulisan ini. Dalam hal ini penulis tertarik kepada ayat-ayat sifat
yang disandarkan kepada Allah, seperti : istawâ, ‘ain, wajh, yad, jâ’a Rabbuka, al-
janbu. Penulis juga menambah wawasan terhadap pengertian makna ayat yang
diteliti dengan memuat penafsiran dari ulama lain yang menurut penulis perlu untuk
dimuat.
Adapun kesimpulan yang penulis dapatkan adalah bahwa ayat-ayat
mutasyâbihât yang terdapat dalam al-Qur’an dan menggambarkan bahwa Allah
mempunyai sifat yang sama dengan penciptaan-Nya adalah tidak benar adanya.
Karena Allah mempunya sifat yang tidak sama dengan makhluk-Nya. Contoh:
terdapat ayat yang mengatakan yadullah yang secara arti adalah tangan Allah.
Namun penulis menemukan bahwa tokoh yang penulis pilih mengartikannya tidak
secara harfiyah melainkan secara metafora, untuk menghindarkan adanya kesamaan
Khalik dengan makhluk-Nya. Penafsiran yang dilakukan oleh al-Syaukânî tidak
jauh berbeda dengan penafsiran ulama lainnya terutama dari kalangan
Ahlusunnah,kalaupun ada maka perbedan itu hanyanya berkisar pada penambahan
dan pengurangannya yang tidak samapai pada penafsiran yang bertolak belakang.
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam karya tulis bidang keagamaan (Islam), alih aksara atau yang lebih
dikenal dengan istilah transliterasi, tampaknya merupakan sesuatu yang tak
terhindarkan. Oleh karenanya, untuk menjaga konsistensi, aturan yang berkaitan
dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam
penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementrian Agama dan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulisan tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifîkasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padananya dalam aksara latin:
iii
Huruf Arab Huruf latin Keterangan
tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
‘ عkoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
iv
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Koma atas hadap ke kiri , ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam Bahasa Arab, seperti vokal Bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fatẖah
I kasrah
U ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
و Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam Bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
v
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ــا
Î i dengan topi di atas ــي
Û u dengan topi di atas ـــو
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال, dialih aksarakan menjadi huruf/l/, baik di ikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al- rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf syamsiyyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihkan menjadi huruf /h/ (lihat contoh
1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti kata sifat
(na’t) (lihat contoh 2). Namun, jikah huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda
(ism), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
vi
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
االءسالمية الجامعة 2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah
الوجود وحدة 3 waẖdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Contoh: al-Kindi bukan Al-Kindi, Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari Bahasa Arab. Misalnya ditulis Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr
al-Dîn al-Rânîrî, Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî.
vii
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fî’l), kata benda (ism), maupun huruf (ẖarf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam Bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
تاذ ذهب س اال Dzahaba al-ustâdzu
ر ثبت ج اال Tsabata al- ajru
هد هللا اال اله ال أن أش Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
النا ال صالح ملك مو Maulâna Malik al- Sâliẖ
هللا يؤثركم Yu`atstsrukum Allâh
ال عق لية ال مظاهر Al-maẕâhir al-‘Aqliyyah
يات نية اال ال كو Al-âyât al- kauniyyah
رة رات تبي ح الضرو ظو ال مح Al-ḏarûrat tubîẖu al-mahẕûrât
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr.Wb.
Alhamdulillâhirabbil’âlamîn segala puji hanya milik Allah Sang Pencipta
alam semesta Sang Pengatur segala makhluk-Nya. Kepada-Nyalah penulis meminta
dan memohon kemudahan di setiap langkah dan urusan yang sedang dihadapi.
Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan kepada kita semua sebagai
hamba untuk dapat menghabiskan sisa-sisa umur kita dalam menuntut keridhaan-
Nya.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw
sebagai junjungan alam, penyampai risalah yang benar untuk menuntun manusia
menuju jalan yang diridhai Allah Swt, selanjutnya kepada keluarga, para sahabat,
dan para pengikutnya yang telah rela berjuang dengan mengorbankan harta dan
nyawa demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Penulis selalu merindukan
Roudhoh dan mengingat akan manusia sempurna ini yaitu Rasulullah Saw, semoga
Allah mudahkan kita semua untuk terus mengunjungi makam Rasulullah Saw.
Penulisan skripsi ini menjadi awal dari langkah untuk melanjutkan ketingkat
yang lebih tinggi. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Ayah dan
Mamah tercinta, H. Abd. Ra’uf dan Hj. Imroh, orang tua yang selalu mendoakan,
memberikan motivasi, semangat, materi dan mendukung anak-anaknya untuk terus
semangat dalam menggapai cita-cita dan memberikan kasih sayangnya selama ini
kepada penulis. Teruntuk ayahanda dan mamah tercinta, tulisan ini penulis akan
persembahkan untuk ayahanda yang selalu menanyakan “kak, skripsi udah
ix
selesai?”. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada ayah dan mamah. Selama
penulis menyusun penelitian ini, ayahanda berada di ICU dalam keadaan sakit dan
inilah yang menjadi semangat tak henti untuk menyelesaikan penelitian ini. Dan
ketika skripsi ini telah selesai penulis menyusunnya, ayahanda lebih dahulu pulang
ke hadapan Allah hingga keinginan melihat penulis memakai toga-pun belum
terlaksana, dan skripsi inilah menjadi janji penulis kepada ayah untuk diselesaikan
pada tahun ini. Semoga ayahanda di ampuni segala dosa dan kesalahannya, dan di
terima semua amal kebaikannya. Aamiin..
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih
banyak kekurangan dan keluhan yang di miliki pada diri penulis. Namun berkat
bantuan dan dorongan dari semua pihak, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung, besar atau kecil dan tidak ada kata lain untuk mereka selain ucapan
“terimakasih” semoga Allah Swt membalas semua jasa-jasa mereka sehingga
tercapailah penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis mengungkapkan
ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaranya.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku
Sekertaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
x
4. Bapak Dr. Hasani, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini
di saat penulis sedang kebingunan dalam pembahasan skripsi ini dan
selalu memberikan wejangan, nasihat, dan semangat kepada penulis.
Terimakasih pula kepada bapak Dr. Hasani, M.A., yang telah
meminjamkan kitab Fatẖ al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat
wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr yang menjadi bahan pokok dalam
penelitian ini.
5. Bapak Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, M.A., selaku dosen pembimbing
akademik yang telah banyak membimbing penulis dari semester satu
hingga selesai.
6. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang telah
mengajarkan dan memberikan ilmunya kepada penulis selama proses
perkuliahan berlangsung. Semoga Allah Swt memberikan imbalan serta
pahala yang berlipat ganda atas ilmu yang telah di berikan selama ini.
7. Kakak tercinta dan adik tersayang, Yusuf Abd.Ra’uf, Lia Puspita,
Muammar Khadafi dan dua keponakan terlucu Fatimah Salsabilla
Auliya dan Zaskiya Maulidiyah Makkah yang telah mewarnai dan
memberikan semangat dalam penulisan ini.
8. Calon pendamping dunia akhirat, Rizalludin S.Sy. M.Pd. yang telah
memberikan support dan doanya. Semoga senantiasa Allah limpahkan
keberkahan rezeki, umur, dan ilmu.
xi
9. Para teman-teman dan sahabat satu jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
2014, dan teman-teman kosan permata yang telah mewarnai kehidupan
penulis selama kuliah, terimakasih atas kebersamaannya selama di dunia
perkuliahan. Semoga kita selalu di berikan kesehatan, dan kesuksesan,
amin.
10. Seluruh crew Hafiz Indonesia RCTI yang telah memberikan warna,
semangat, dan motivasi untuk menyelesaikan penelitian ini. Penulis
sangat bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan penulis
dengan para hafidz dan hafidzoh cilik serta para ustad karantina yang
telah memberikan ilmu dan semangat untuk menghafalkan al-Qur’an.
Semoga kelak Allah pertemukan kita kembali dalam keridhaan-Nya.
11. Seluruh crew Ruqyah Trans7, ustad Muhammad Faizar, dan Ustad
Zunaidi, yang telah memaklumi penulis ketika membarengi trip ruqyah
keluar kota dengan mengerjakan penelitian ini. Penulis selalu
menggunakan waktu kosong untuk berdiskusi mengenai penelitian ini
kepada para ustad. Kepada ustad Muhammad Faizar yang telah
meminjamkan kitab-kitabnya, membantu penulis mengartikan kitab
tersebut dan memaknainya, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya semoga Allah membalas kebaikan dengan lipatan kebaikan.
12. Kaka dan adik lintas angkatan yang telah membantu penulis dalam
mengerjakan penulisan ini, meminjamkan buku dan kitab, membantu
menerjemahkan, dan selalu memberikan informasi mengenai pedoman
penulisan, jadwal sidang, persyaratan dan lain sebagainya, kepada
Ahmad Irfan Fauji, S.Ag., Mizan Sya’roni, S.Th.I., Ummu Hafîdzhoh
xii
S.Ag., Lailatul Fajriyyah S.Pd. dan Mohammad Benni, Fauzi Ahmad
Syahreza.
13. Teman-teman seperjuangan dalam menyelesaikan penelitian ini,
dimulai dari ke perpustakaan bareng, mengetik bareng, nginep dalam
satu kost, tidur larut malam, hingga sakit bareng. Kepada Pramudita
Suciati, dan Faizah Mahda semoga Allah lancarkan kesuksesan kalian.
Kemudian teman-teman yang telah membantu mensupport, dan
berjuang bersama kepada Ulfah Azizah, Husnil Mardlliyah, Nur Azizah,
dan Nur Fîkhriyyah, Vcar, Zuqrifa Hayati, Yuli Anggraeni, Fajar
Syahrullah, Sakinah Mudhi’ah, Widya Okta, dan Fatma Semoga Allah
senantiasa memberikan keberkahan kepada kita semua.
Hanya kepada Allah lah penulis berharap siapapun yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, semoga Allah
berikan keberkahan, kesehatan, dan kelancaran rezeki serta urusannya.
Aamiin
Wassalamu’alaikum.Wr. Wb.
Jakarta, 18 Oktober 2018
Muawwanah
xiii
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ...................................................................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................................. 7
1. Identifikasi Masalah ............................................................... 7
2. Batasan Masalah..................................................................... 8
3. Rumusan Masalah .................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian........................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian......................................................................... 10
E. Kajian Pustaka ............................................................................... 11
F. Metode Penelitian .......................................................................... 14
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 15
BAB II KONSEPSI MUTASYÂBIHÂT DALAM STUDI AL-QUR’AN ... 17
A. Mengurai Makna Mutasyâbihât .................................................... 17
B. Ragam Mutasyâbihât dalam Studi Al-Qur’an ............................... 22
xiv
C. Pandangan dan Sikap Ulama terhadap Mutasyâbihât ................... 25
D. Hikmah Adanya Studi Muhkam dan Mutasyâbihât ...................... 29
BAB III MENGENAL IMAM AL-SYAUKÂNÎ DAN TAFSIR FATH
AL-QADÎR ....................................................................................................... 32
A. Biografî dan Rihlah Ilmiah Imam al-Syaukânî ............................. 32
B. Guru dan Murid Imam al-Syaukânî ............................................. 36
C. Karya-Karya Imam al-Syaukânî.................................................... 40
D. Tafsir Fath al-Qadîr ...................................................................... 42
a. Pengenalan Tafsir Fath al-Qadîr .......................................... 42
b. Pendekatan dan Metode Tafsir Fath al-Qadîr ....................... 44
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM
TAFSIR FATH AL-QADÎR KARYA IMAM AL-SYAUKÂNÎ ................. 49
A. Kelompok Ayat-ayat Mutasyâbihât .............................................. 50
B. Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât Menurut Imam al-Syaukânî
....................................................................................................... 53
a. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî
mengenai term istawâ’ ........................................................... 53
b. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî
mengenai term ‘ain ................................................................ 55
c. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî
mengenai term Wajh .............................................................. 59
d. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî
mengenai term yad ................................................................. 62
xv
e. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî
mengenai term Jâ’a Rabbuka................................................. 74
f. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî
mengenai term al-Janb ........................................................... 77
C. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât menurut Imam al-
Syaukânî dengan Mufassir Lain .................................................... 68
a. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan
mufassir lain mengenai term istawâ ....................................... 68
b. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan
mufassir lain mengenai term ‘ain ........................................... 70
c. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan
mufassir lain mengenai term wajh ......................................... 72
d. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan
mufassir lain mengenai term yad ........................................... 74
e. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan
mufassir lain mengenai term Jâ’a Rabbuka ........................... 77
f. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan
mufassir lain mengenai term al-Janb ..................................... 78
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 80
A. Kesimpulan.................................................................................... 80
B. Saran ..................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab hidayah dan mukjizat. Dari kedua sisi inilah al-
Qur’an diturunkan, mengenai kedua persoalan itu pula pembicaraan yang ada di
dalamnya, dan atas dasar keduanya itulah juga al-Qur’an memberikan petunjuk.1
Sebagai sumber tertinggi ajaran Islam, al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad Saw
sudah dipelajari para sahabat dengan tujuan memahami kandungan ajarannya. Di
samping itu, banyak pula ilmu yang sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an.
Para ulama ketika itu berusaha mendalami beberapa bagian tertentu dari al-Qur’an
sampai ke persoalan yang sekecil-kecilnya sehingga melahirkan ilmu-ilmu tertentu
pula. Setiap ilmu itu membahas aspek tertentu dari al-Qur’an, seperti lafalnya,
pengertiannya, sejarahnya, sejarah pembukuannya, bacaannya, dan
kemukjizatannya. Disiplin inilah yang termasuk dalam kategori ‘ulûm (ilmu-ilmu)
al-Qur’ân.2
Menurut al-Suyûṯi (w. 911H/1505 M) dalam kitabnya al-Itqân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, menyebutkan lebih dari 100 ilmu yang termasuk ke dalam kategori ‘Ulûm
al-Qur’ân.3 Mengutip dari kitab al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân disebutkan ruang
1 Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairût:
Dâr al-Fikr), jilid 1, h.23. 2 Quraish Shihab, Sejarah ‘Ulûm al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h.40. 3 Jalaluddin al-Suyûti, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1979), h.7.
‘Ulûm al-Qur’ân menurut al-Suyûti dalam kitab al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân adalah suatu ilmu yang
membahas keadaan al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, maknanya baik yang
berhubungan dengan lafadz maupun yang berhungan dengan hukum. Lihat, Jalaluddin al-Suyûti, al-
Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1979), h.7-8. Lihat juga al-Tibyân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân karya Muhammad ‘Ali al-Sabunî yang mengatakan makna ‘Ulûm al-Qur’ân adalah
rangkaian pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an yang agung lagi kekal, baik dari segi
2
lingkup bahasan al-Qur’an meliputi 30 bidang, hal ini menurut pendapat ‘Alî Ibn
‘Îsâ. Berbeda dengan Ibn ‘Arabî yang menyebutkan 77.450 cabang ilmu.4
Diantaranya, ‘ilm asbâb al-nuzûl5; ‘illm i’jâz al-Qur’ân6; ‘ilm nâsikh wa mansûkh7,
‘ilm aqsam al-Qur’ân8; ‘ilm al-muẖkam wa al-mutasyâbih; dan masih banyak lagi.
Terlalu banyak ilmu-ilmu yang dilahirkan dan dikembangkan dari al-
Qur’an, serta demikian banyak pula ilmu pengetahuan yang dibutuhkan mufassir
untuk memahami dan menguraikan al-Qur’an. Untuk memahami dan menafsirkan
satu ayat al-Qur’an saja, tidak jarang seseorang dituntut mengenali sekian banyak
cabang ilmu pengetahuan.9 Salah satu persoalan ‘ulûm al-Qur’ân yang masih
penurunan dan pengumpulan serta tertib urutan-urutan dan pembukuannya; maupun dari sisi
pengetahuan tentang asbâb al-nuzûl, makiyyah-madaniyyah, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyâbih,
dan berbagai pembahasan lain yang berkenaan dengan al-Qur’an atau yang berhubungan dengan al-
Qur’an. Muhammad ‘Ali al-Sabunî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Maktabah al-
Ghazali, 1390). h.14. 4 Badâr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd Allah al-Zarkasyî , al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Mesir, t.tt. 1972), jilid 1, h.16-18. 5 ‘Ilm Asbâb al-Nuzûl yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat. Lihat,
Syamsu Nahar, Studi Ulumul Quran, (Jakarta: Perdana Publishing, 2015), h.5. Asbâb al-Nuzûl
merupakan pertanyaan, permintaan keterangan, penjelasan, kejadian, peristiwa, yang karenanya al-
Qur’an diturunkan, sebagai jawaban, penjelasan berdasarkan ketetapan Allah. Lihat lebih lanjut,
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.53. 6 I’jâz ialah kelemahan atau ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari
kesanggupan. Apabila i’jâz telah terbukti, nampaklah kekuasaan mu’jiz. Lihat lebih lanjut, Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang,1993), h. 317. I’jâz
bisa juga dikatakan sebagai kekuatan, keunggulan, keistimewaan yang dimiliki al-Qur’an yang
menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun secara berkelompok, untuk
bisa mendatangkan serupa atau menyamainya. Hal ini menunjukkan kebenaran dakwah Rasulullah
atas misi dakwahnya. Lihat lebih lanjut, Abd al-Qadîr ‘Atta, ‘Aḏimah al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmîyah, t.th), h.54. 7 Kata nâsikh dari segi bahasa bermakna menukil atau menyalin, seperti kalimat nâsakhtu
al-kitâb, yakni saya menyalin buku. Kemudian bisa bermakna menghapus seperti kalimat nâsakhtu
al-syams al-zulm yakni matahari menghapus bayangan. Ulama terdahulu memaknai nâsikh dalam
pengertian sangat luas, hampir saja dikatakan bahwa mereka memahaminya dalam pengertian
kebahasaan sehingga menghapus, walau dikit, dari kandungan ayat, maka ulama telah
menganggapnya bagian dari istilah nâsikh. Lihat lebih lanjut, M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir:
Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2015), cet.3, h.281. 8 ‘Ilm Aqsam al-Qur’ân adalah salah satu bentuk pengukuhan yang digunakan al-Qur’an.
Kata ini digunakan dalam arti sumpah, yakni sumpah yang minimal oleh pengucapannya dinilainya
sebagai sumpah yang benar. Lihat lebih lanjut, M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan,
dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera
Hati, 2015), cet.3, h.274. 9 Muhammad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h.141.
3
diperdebatkan sampai sekarang adalah kategori muẖkam-mutasyâbih. Telaah dan
perdebatan seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan
islam, terutama menyangkut penafsiran al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja
melibatkan sarjana-sarjana muslim melainkan sarjana-sarjana barat pun ikut
mewarnainya.10
Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai ayat muẖkam dan
mutasyâbih adalah QS. Alî Imrân ayat 7 :
كم ٱل
ت هن أ م
حك ت م ب منه ءاي
كت
يك ٱل
نزل عل
ذي أ
ا هو ٱل م
أ ف
ت به
ش
ر مت
خ
ب وأ
ذين فت
ي ٱل
فتنة وٱبتغ
ء ٱل
ابه منه ٱبتغ
ش
بعون ما ت
يت
وبهم زيغ ف
ل ٱلق
هۥ إل
ويل
أم ت
ويلهۦ وما يعل
أء ت
ا
ه
ل
ومنا
ن عند رب م
ل ا بهۦ ك ون ءامن
م يقول
عل
ون في ٱل
سخ
ر إ اوٱلرك
ب يذ ب
ل ٱل
وا
ول
أ
ل
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di
antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muẖkam, itulah pokok-pokok isi al-
Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan
fîtnah untuk mencari-cari ta’wîlnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wîlnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. ‘Âli Imrân (3):
7)
Dari ayat tersebut secara tegas disebutkan bahwa dalam al-Qur’an
sebagiannya mengandung ayat-ayat yang muẖkam dan sebagian lainnya
mutasyâbih. Meskipun tidak lepas juga dari berbagai penafsiran para mufassir
mengenai ayat tersebut. Terdapat pula dalam ayat yang lain yang hanya
menjelaskan bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkâm11 dan dalam ayat yang
10 Rosihon Anwar, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h.119 11 Dijelaskan dalam QS. Hūd (11) : 1
بير دن حكيم خ
ت من ل
ل ص
م ف
تهۥ ث
حكمت ءاي
ب أ
ر كت
ال
4
lain pula ditegaskan bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah mutasyâbih.12 Namun,
‘Abd al-Azîm al-Zarqânî dan al-Subhi al-Salîh memandang tidak ada pertentangan
antar ayat-ayat tersebut di atas.13 Hal tersebut dikarenakan dari masing-masing
ketiga ayat tersebut mempunyai ruang lingkup yang berbeda.
Dalam artikel yang ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli yang berjudul ayat
muhkamat dan ayat mutasyabihat, mengatakan bahwa ayat tersebut mengecam
orang-orang yang mengikuti ayat yang mutasyâbihât dengan tujuan menimbulkan
fîtnah. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok diluar Ahlussunnah
Wa al-Jama’ah seperti kelompok Musyabbihah dan Mujassimah, agar orang
Ahlussunah terjerumus dalam pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat al-
Qur’an. Sedangkan yang dimaksud dengan “orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan” dalam ayat di atas adalah pengikut-pengikut ahli
bid’ah seperti Mu’tazilah dan lain-lainnya.14
Pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khatab ada seorang laki-laki bernama
Shabigh, sering menanyakan maksud ayat-ayat mutasyabihat yang dapat
menimbulkan fîtnah. Lalu ‘Umar memukulnya dengan keras sehingga darah
mengalir ke kedua tumitnya, kemudian mendeportasikannya dari Madinah dan
melarang kaum Muslimin bergaul dengannya.15
12 Dijelaskan dalam QS. Al-Zumar (39) : 23
اني ث بها م
ش
ت با م
حديث كت
حسن ٱل
ل أ ز
ه ن
ٱلل
13 Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.227 14 Muhammad Idrus Ramli, Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat, (Jawa Timur:
Khalista, t.th), h. 2 15 Al-Hafîz Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, edisi Sami Muhammad Salamah, (Riyâd:
Dâr al-Taibah, 1999), juz 4, h.6.
5
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan defînisi muẖkam dan
mutasyâbih. Al-Zarqânî mengemukakan 11 defînisi mengenai pengertian muẖkam
dan mutasyâbih. Diantara defînisi yang dikemukakan al-Zarqânî ialah:
1. Muẖkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata. Tidak
mengandung kemungkinan nâsakh. Mutasyâbih ialah ayat yang
tersembunyi maknanya, tidak diketahui maknanya baik secara ‘aqli
maupun naqli dan hanya Allah lah yang mengetahuinya.
2. Muẖkam adalah ayat yang diketahui maksudnya baik secara nyata
maupun ta’wîl. Mutasyâbih ialah ayat yang hanya Allah mengetahui
maksudnya.
3. Muẖkam adalah ayat yang tunjukkan maknanya kuat, yaitu lafaz nash
dan lafaz zahir. Mutasyâbih ialah ayat yang tunjukkan maknanya tidak
kuat, yaitu lafaz mujmâl (nash yang menunjukkan kepada petunjuk
yang tidak terang apa yang dikehendaki sebelum datang penafsirnya,
atau pen-tabyin-annya, atau pen-tafsil-annya), mu’awwal (perkataan
yang dipindahkan dari petunjuk yang lahir kepada petunjuk yang
mungkin dapat juga diterima oleh lafaz itu), dan musykil (nas yang
tersembunyi maknanya dengan suatu sebab pada lafaz itu sendiri).16
Dari uraian-uraian di atas, dapat diketahui dua hal penting, yaitu dalam
membicarakan muẖkam tidak ada kesulitan, dan merupakan ayat yang jelas atau
rajiẖ(kuat) maknanya. Sedangkan, pembicaraan tentang mutasyâbih menimbulkan
masalah yang perlu dibahas lebih lanjut.
16 Muhammad Abd al-Azim Al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairût: Dâr
al-Fikr, 1988), jilid II, h.272.
6
Ayat mutasyâbihât dalam al-Qur’an banyak sekali contohnya, salah satu
contoh ayat mutasyâbihât adalah QS. Tâhâ ayat 5 :
عرش ى ٱل
ن عل حم ٱستوىٱلر
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘arsy.”
Bagi Abû Hasan dan ulama-ulama yang men-ta’wîl ayat istawâ adalah Allah
tidak duduk atau bersinggasana di atas ‘arsy. Tetapi dia tidak memerintahkan dari
suatu kedudukan yang tak tertandingikan oleh kekuasaan manapun.17
Ketika Imam Mâlik ditanya perihal bagaimana Allah bersemayam di ‘arsy.
Dia menjawab, “bersemayam itu hal yang sudah diketahui. Tapi bagaimana
bersemayamnya Allah itu, tidak bisa diketahui. Tidak bisa diakal-akal oleh akal.
Pokoknya wajib diimani, dan mempertanyakannya adalah bid’ah.”18
Selain itu, ulama yang menafsirkan ayat mutasyâbihât ialah Imam al-
Syaukânî. Imam al-Syaukânî ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât
sebenarnya lebih cenderung memahami ayat tersebut tidak dalam makna
harfîyahnya, tetapi dalam makna metaforisnya. Terkadang pula menggunakan
ta’wîl, terkadang juga menyerahkan maknanya kepada Allah Swt. Hal in membuat
penulis semakin ingin mengetahui cara pandang Imam al-Syaukânî ketika
berhadapan dengan ayat mutasyâbihât. Imam al-Syaukânî ini bermazhab Syi’ah
Zaidiyah yang memiliki beberapa karya tafsir, salah satu diantaranya adalah Fath
17 Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosdakarya 1994), cet.2
h.116. 18 Muhammad Ibnu Jamil Zainuu, Pemahaman al-Qur’an, (Bandung: Gema Risalah Press
1997), h. 79.
7
al-Qadîr. Bentuk penafsirannya adalah gabungan dari bi al-riwâyat dan bi al-
dirâyah, sedangkan metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlîlî.19
Imam al-Syaukânî berpendapat, bahwa kata istawâ dikinayahkan dengan
raja. Jadi bisa dipahami bahwa istawâ ‘alâ al-‘arsy yakni Allah mempunyai
singgasana. Yang jelas, hakikat makna tersebut pada ayat ini tidak diketahui
manusia.20
Berdasarkan paparan di atas penulis merasa tertarik untuk mengetahui
makna ayat mutasyâbih yang telah disebutkan di atas menurut al-Syaukânî dengan
membuat sebuah penelitian yang berjudul “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât
dalam Tafsir Fath al-Qadîr Karya Imam al-Syaukânî”. Menurut penulis
pembahasan ini adalah pembahasan yang menarik dan bagus untuk diteliti.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas banyaknya perdebatan mengenai ayat-ayat
mutasyâbihât di kalangan ulama, dan banyaknya penafsiran mengenai ayat-
ayat mutasyâbihât menjadi daya tarik penulis untuk mengkaji lebih dalam
mengenai ayat yang sering diperdebatkan tersebut. Dari sinilah penulis
mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :
Pertama, manusia memiliki al-Qur’an sebagai petunjuk dalam segala
hal kehidupannya sehingga manusia perlu untuk memehami al-Qur’an
termasuk memahami ayat mutasyâbihât.
19 Lebih lanjut akan dijelaskan pada bab 3. 20 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrîj Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 448.
8
Kedua, ayat mutasyâbihât memiliki makna yang sangat banyak,
sangat luas, dan sangat dalam. Hal ini belum banyak diketahui banyak
orang.
Ketiga, ayat mutasyâbihât di dalam al-Qur’an memiliki banyak term,
diantaranya sifat-sifat Allah, huruf muqotho’ah, hal-hal ghaib dan lain
sebagainya. Hal ini menarik untuk dibahas.
Keempat, Imam al-Syaukânî memiliki pandangan khusus mengenai
ayat mutasyâbihât, sehingga perlu untuk mengetahui pandangan Imam al-
Syaukânî mengenai ayat mutasyâbihât.
2. Batasan Masalah
Banyaknya perbedaan pandangan mengenai ayat-ayat mutasyâbihât
membuat pembahasan ini menjadi begitu luas. Dalam penelitian ini yang
menjadi inti permasalahan adalah ayat mutasyâbih makna atau dikenal
dengan “antropomorfîsme”. Tulisan ini difokuskan membahas mutasyâbih
makna yang menyangkut masalah sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah al-
Suyûtî disebut dengan “ayat al-Sifat” dan dalam istilah Subhi al-Salîh
“Mutasyâbih al-Sifat”.21 Masalah ayat mutasyâbih menjadi bahan
perdebatan dikalangan ulama kalam, apakah ayat-ayat yang
menggambarkan bahwa Allah punya sifat-sifat jasmani cukup dipahami
menurut makna harfîyahnya atau harus dipahami dalam makna
metaforisnya.
21 Istilah antropomorfîsme, mutasyâbih makna, ayat al-Sifat, mutasyâbih al-Sifat,
mempunyai tujuan yang sama, yaitu ayat-ayat yang menggambarkan penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya. Seperti, tangan, kaki, mata, duduk, dan yang lainnya. Dalam tulisan ini selanjutnya
akan dituliskan dengan mutasyâbihât.
9
Semua ayat seperti ini menyangkut masalah aqidah, maka ketika salah
dalam memahami ayat berarti salah dalam ber-aqidah. Selanjutnya jika
salah dalam ber-aqidah berarti salah dalam iman yang akhirnya jatuh pada
kemusyrikan. Ayat mutasyâbih yang berkaitan dengan sifat Tuhan dalam al-
Qur’an sangat banyak, namun penulis hanya fokuskan membahas sebagian
saja.
Al-Syaukânî dalam tafsirnya membicarakan masalah-masalah yang
diperdebatkan dalam sifat-sifat Tuhan, yakni: tasybîh (antrpomorfîsme),
ru’yatullah (melihat Tuhan), dan khalq al-Qur’ân (al-Qur’an qadîm atau
baharu).
Penulis membatasi ayat-ayat sifat (tasybîh) yang akan diteliti yaitu :
QS. al-A’râf (7): 54, QS. Tâhâ (20): 5, QS. al-Raẖmân (55): 27, QS. al-
Qasas (28): 88, QS.al-An’âm (6): 52, QS. Sâd (38): 75, QS. al-Zumar (39):
67, QS. Hûd (11): 37, QS. Tâhâ: 39, QS. al-Zumar (39): 56, QS. al-Fajr (89):
22.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana penafsiran ayat-ayat
mutasyâbihât yang dilakukan oleh al-Syaukânî pada karya tafsirnya Fath
al-Qadîr. Tafsir Fath al-Qadîr ini menggabungkan antara dirâyah dan
riwâyah, dan karena al-Syaukânî seorang Syi’ah Zaidiyah, serta tafsir Fath
al-Qadîr yang tidak banyak membawa madzhabnya tersebut dalam
karyanya. Tafsir Fath al-Qadîr disusun pada bulan Rabiul Awal tahun 1223
H. Dalam penyusunannya beliau merujuk kepada Abû Ja’far al-Nuhâs,
10
Atîyyah al-Dimasyqî, Ibn Atîyyah al-Andalûsî, Qûrtûbî, Zamakhsyârî dan
ulama-ulama lainnya.22
C. Tujuan Penelitian
Secara formal penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non formal
penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengenalkan tokoh al-Syaukânî dan tafsirnya yaitu Tafsîr Fath
al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm
al-Tafsîr.
2. Untuk mengetahui makna ayat mutasyâbihât dan mengetahui
penafsiran al-Syaukânî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât.
D. Manfaat Penelitian
Selain memiliki tujuan, penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi dan
manfaat, yaitu :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
tentang penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât dalam kepustakaan ilmu al-
Qur’an dan teologi sekaligus.
2. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi dalam pemahaman teologis dalam memahami sifat-sifat
Allah yang ditunjukkan al-Qur’an secara abstrak dan mengetahui lebih
lanjut penafsiran yang dilakukan al-Syaukânî terhadap ayat
mutasyâbihât dalam al-Qur’an.
22 Muẖammad ibn ‘Ali Muẖammad al-Syaukânî, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij
Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid 1, h. 31.
11
3. Secara aspek teologis dan agama, diharapkan hasil penelitian ini dapat
menambah kekuatan dan keteguhan iman kita sebagai orang beriman.
E. Kajian Pustaka
Ayat-ayat mutasyâbihât khususnya dalam penelitian ini adalah ayat-ayat
yang merupakan salah satu dari sekian ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah yang
sampai sekarang menjadi pembahasan menarik untuk dikaji. Upaya pengkajian
tentang masalah ini telah dilakukan oleh para mufassir dalam bentuk dan corak yang
berbeda-beda, ada yang memahaminya dari segi i’jâz, segi bahasa, dan lain
sebaginya.
Dalam penelusuran penulis terhadap bebagai karya tulis yang membahas
tentang ayat-ayat mutasyâbihât memang banyak terutama dalam bentuk makalah,
atau dalam buku-buku ilmu al-Qur’an, akan tetapi yang membahas tentang ayat
mutasyâbihât dalam tafsir Fath al-Qadîr penulis belum menemukannya. Di antara
beberapa karya tulis yang membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât secara
komprehensif antara lain dapat dilihat dalam al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya
al-Zarkasyî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Sûyûti, dan kitab atau buku-buku
ilmu al-Qur’ân lainnya seperti Manâhîl al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-
Zarqânî, dan Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Qattan.
Di samping itu, karya tulis yang membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât
juga tidak asing lagi di kalangan mahasiswa, baik berupa skripsi, tesis, dll. Di antara
karya tulis mahasiswa yang membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât adalah :
Pertama, karya Asep Fathurrahman yang berjudul Penafsiran ayat-ayat
Mutasyâbihât “Studi Komparatif Tafsîr Marâh Labîd dan Tafsîr Al-Kasysyâf”.
Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2016. Dalam skripsi ini,
12
penulis meneliti penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât menurut dua tokoh yang
berbeda zaman, berbeda kitab, dan berbeda pemikiran. Di antara tokohnya ialah
Syaikh Nawâwî al-Bantanî dengan kitabnya Marâh Labîd dan al-Zamakhsyârî
dengan kitabnya Tafsîr al-Kasysyâf. Dipilihnya Syaikh Nawâwî al-Bantanî karena
beliau seorang ulama Nusantara yang menganut paham ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah dalam pemikiran kalam atau teologi, dan menganut mazhab Syafî’i dalam
bidang fîqh. Sedangkan, al- Zamakhsyârî berbeda dengan Syekh Nawâwî al-
Bantanî, pada al-Zamakhsyârî beliau seorang mufasir dengan bermadzhabkan
Mu’tazilah, dimana menurut para rivalnya beliau terkesan membela secara mati-
matian ideologi Mu’tazilah dengan menggunakan segala macam argumen yang
dapat diajukan untuk kepentingan tersebut.23
Kedua, Moh. Hidayat, skripsi Penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât dalam
Tafsîr al-Jîlânî karya Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî. Prodi Tafsîr Hadits, Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2012. Dalam skripsi ini hanya meneliti
tentang kajian penafsiran Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî terhadap beberapa contoh
ayat mutasyâbihât (term wajẖ, yad, istawâ, ‘ain) yang berbicara seakan-akan Allah
menyerupai makhluk-Nya, dan juga dibahas aspek yang terkandung di dalam ayat
tersebut menurut Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî. Moh. Hidayat menemukan adanya
perbedaan penafsiran Syaikh ‘Abd al- Qadîr al-Jîlânî terhadap ayat yang terdapat
empat kata tersebut dengan mufassir lainnya namun ada beberapa penafsirannya
yang sama persis dengan mufassir lain yang non sufî.24
23 Asep Fathurrahman, Skripsi: “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât “Studi Komparatif
Tafsîr Marâh Labîd dan Tafsîr Al-Kasysyâf”, Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2016. 24 Mohammad Hidayat, Skripsi: Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyâbihât dalam Tafsîr Al-Jîlânî
Karya Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2012.
13
Ketiga, Jurnal yang ditulis oleh Machasin, al-Qaḏi’ ‘Abd al Jabbâr dan
ayat-ayat mutasyâbihât dalam al-Qur’ân. Al-Jami’ah UIN , No. 27 tahun 1994.
Disini membahas tentang kitab mutasyâbihât. Kitab yang dikarang oleh al-Qaḏi’
‘Abd al Jabbâr berkesimpulan bahwa dalam memecahkan persoalan ayat-ayat yang
dianggap mutasyâbihât, ‘Abd Jabbâr mendasarkan pada pengertian logis dari
bentuk lahiriah ayat itu dan penakwilannya yang logis.25
Keempat, Muhammad Ihsan, jurnal Metodologi Tafsir Imam Al-Shawkânî
dalam Kitab Fath Al-Qadîr Kajian terhadap Surah Al-Fâtihah, Jurnal Hunafa,
STAIN Datokarama Palu, Vol. 5, No.2, Agustus 2008. Dalam jurnal ini dijelaskan
mengenai metode Imam al-Syaukânî dalam menafsirkan surat Al-Fâtihah bahwa
metode yang digunakan al-Syaukânî di dalam tafsir Fath al-Qadîr ialah metode
tahlîlî yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan urutan surah dan ayat dalam al-
Qur’an. Metode ini digunakan dengan menggunakan bentuk tafsir bi al-ma'thûr
karena penafsirannya lebih banyak disandarkan kepada riwayat hadis. Sumber-
sumber yang digunakan oleh al-Shawkânî di dalam kitab tafsirnya tersebut ialah
riwayat, ayat-ayat al-Qur’an dan kebiasaan-kebiasaan orang Arab, namun yang
paling menonjol ialah penggunaan riwayat. Di dalam menggunakan riwayat sebagai
sumber analisis penafsirannya, al-Syaukânî tidak membatasi diri pada hadis-hadis
sahîh, walaupun dia juga menegaskan kesahihan beberapa buah hadis yang
dijadikannnya sebagai bahan analisis penafsirannya.26
Kelima, Tesis karya Hasani Ahmad Syamsuri, prodi Tafsîr Hadits,
pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007 dengan judul Corak
25 Machasin, Al-Qaḏi’ ‘Abd al-Jabbâr dan Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam al-Qur’an, (Al-
Jami’ah, No. 27 tahun 1994). 26 Muhammad Ihsan, Metodologi Tafsir Imam Al-Shawkânî Dalam Kitab Fath Al-Qadîr:
Kajian Terhadap Surah Al-Fâtihah, Jurnal Hunafa Vol. 5, No.2, Agustus 2008.
14
Pemikiran Kalam Tafsîr Fatẖ al-Qadîr Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî dalam
Teologi Islam. Dalam tesis ini, dijelaskan sangat detail mengenai riwayat hidup
Imam al-Syaukânî, metode kitab Tafsîr Fatẖ al-Qadîr dan pemikirannya terhadap
al-Qur’an yang dituang dalam karyanya. Dalam karya lebih menitik fokuskan
adalah corak kalam al-Syaukani.27
Dari pemaparan kajian pustaka diatas penulis belum menemukan fokus
kajian terhadap pemikiran al-Syaukânî mengenai konsep penafsiran ayat-ayat
mutasyâbihât. Oleh karena itu penulis mengangkat judul tersebut.
F. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset kepustakaan (library research)
yaitu dengan membaca karya al-Syaukânî yaitu Tafsir Fatẖ al-Qadîr sebagai data
primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang al-
Syaukânî dan ayat-ayat mutasyâbihât sebagai data sekunder.28 Dan kajiannya
secara deskriptif29 dan analitis30, yakni mendeskripsikan data-data yang ada
kemudian menganalisanya secara proporsial. Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan-kesimpulan yang berhubungan dengan pokok masalah dalam skripsi
ini.
27 Hasani Ahmad Syamsuri, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Fatẖ al-Qadîr Telaah atas
Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam, Tesis Konsentrasi Tafsir Hadis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007. 28 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 145, Lihat pula, Noeng
Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996), h. 49. 29 Deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya. Lihat, Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. ke 3, h. 258. 30 Analitis adalah penguraian sesuatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian
itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman
arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Lihat,
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
cet. ke 3, h. 43.
15
Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berasal dari data primer (primary resources) dan sekunder (secondary resources).
Sumber primernya adalah karya al-Syaukâni sendiri yakni tafsir Fath al-Qadîr al-
Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr dan Irsyâd al-
Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul.
Sedangkan sumber sekundernya adalah yang dapat mendukung dan
memperkuat data primer dalam kajian ini. Penulis merujuk kepada buku-buku,
skripsi, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât
dan yang berkaitan dengan tokoh al-Syaukânî.
Adapun teknis penulisan dalam skripsi ini berdasarkan pedoman akademik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017 Program
Strata 1, yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaaan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam membahas skripsi ini, maka karya ilmiah ini
ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang terkait
antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan, yang mencakup latar belakang
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kajian kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua dari kajian ini akan memuat mengurai makna mutasyâbihât,
ragam mutasyâbihât dalam studi al-Qur’an, pandangan dan sikap ulama terhadap
mutasyâbihât, hikmah adanya studi muhkam dan mutasyâbihât.
16
Bab ketiga dalam bab ini penulis berbicara mengenai biografî dan rihlah
ilmiah Imam al-Syaukânî, guru dan murid Imam al-Syaukânî, karya-karya Imam
al-Syaukânî, tafsir Fath al-Qadîr.
Bab keempat dalam bab ini penulis menjelaskan inti dari penulisan karya
ilmiah ini, yaitu berbicara mengenai klasifîkasi ayat-ayat mutasyâbihât, penafsiran
ayat-ayat mutasyâbihât menurut Imam al- Syaukânî dalam kitab Fath al-Qadîr
yang berkenaan dengan istawâ, ‘ain, wajh, yad, jâ’a Rabbuka, al-janbu.
Bab kelima ialah bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
17
BAB II
KONSEPSI MUTASYÂBIHÂT DALAM STUDI AL-QUR’AN
A. Mengurai Makna Mutasyâbihât
Sebelum membahas bagaimana pandangan Imam al-Syaukânî terhadap ayat
mutasyâbih, penulis merasa perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu pengertian
mutasyâbih dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Pembahasan masalah ayat
mutasyâbih sudah menjadi bahan pembicaraan dikalangan mufassirîn dari zaman
dahulu hingga saat ini, baik dari segi makna mutasyâbih itu sendiri maupun makna
dari ayat yang digolongkan kepada ayat mutasyâbih. Setiap generasi melakukan
penelitian yang mengakibatkan munculnya ilmu-ilmu baru yang belum tergali pada
masa sebelumnya. Ketika ingin menjelaskan pengertian mutasyâbih,
pembahasannya tidak sempurna sebelum menjelaskan hal yang bersangkutan
dengannya yaitu muẖkam. Muẖkam dan mutasyâbih adalah dua istilah yang saling
bergandengan dan tidak bisa dipisahkan antara keduanya.
Dimulai dari pengertian yang pertama adalah ditinjau dari segi aspek
etimologi. Secara bahasa, muẖkam memiliki makna al-mutqonu yang berarti
unggul/sempurna. Sedangkan muẖkam dalam al-Qur’an adalah tidak adanya
18
keserupaan pada dhozir ayat, sehingga tidak dibutuhkan ta’wîl1 lagi.2 Muhkam
dalam Mu’jam al-Wâsit3 juga mengartikan sama dengan apa yang terdapat dalam
kitab Mu’jam al-Lughoh al-‘Arabiyyah yaitu muhkam memiliki makna tidak
adanya keserupaan pada dzohir ayat, sehingga tidak dibutuhkan ta’wîl lagi.
Mutasyâbih dalam Mu’jam al-Wâsit, yang memiliki beberapa makna4.
Sehingga membutuhkan ta’wîl untuk menafsrkan ayat mutasyâbih. Mutasyâbih
dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan adalah sesuatu makna yang di ambil bukan dari
lafadznya. Mutasyâbih dibagi menjadi dua yang pertama, jika dikembalikan ke
makna yang muẖkam maka akan diketahui maknanya. Kedua, tidak ada jalan lain
untuk mengetahuinya.5
Dari pemaparan diatas, sangatlah jelas makna muẖkam dan mutasyâbih.
Muẖkam ialah jelas, sempurna, dan tidak adanya keserupaan. Sedangkan
mutasyâbih ialah sebaliknya dari makna muẖkam. Setelah penulis memaparkan
pengertian dari masing-masing muẖkam dan mutasyâbih secara etimologi, maka
1 Makna ta’wîl dalam kamus al-Munawwir disebutkan bahwa awwalahu ‘alaih artinya
mengembalikan, tetapi jika dikatakan awwala al-kalâm berarti menafsirkan dan menjelaskan dan
jika dikatakan awwala al-ru’ya berarti menjelaskan arti mimpi. Dalam konteks ini makna ta’wîl
sama dengan makna tafsir yang fi’il mâdi nya berupa fassara yaitu penjelasan, komentar atau
keterangan. Lihat, Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002),
h. 48. Kata ta’wîl dalam penggunaanya oleh para ulama tafsir memiliki berbagai pengertian yang
berbeda-beda. Ada beberapa ulama yang menyamakan ta’wîl dengan tafsir. Pendapat ini oleh al-
Suyûtî dinisbatkan kepada Abî Ubaidah dan beberapa ulama lainnya. Lihat lebih lanjut, Jalâl al-Dîn
al-Suyûtî, al-Itqân, (Bairût: Dâr al-Fikr, t.th.), vol. II, h.173. Pendapat ini berdasarkan pada sebuah
hadis Nabi Saw. Ketika mendoakan Ibn ‘Abbâs, yang berbunyi “Allâhumma faqqihu fî al-dîn wa
‘allimhu al-ta’wîl”, juga ungkapan Ibn ‘Abbâs sendiri yang mengatakan: “ana min man ya’lam
ta’wîlahu”, dan ungkapan-ungkapan al-Tabarî dalam kitab tafsirnya, “al-qaul fî ta’wîl qaulihi
ta’âlâ...”. Kata-kata ta’wîl yang dikehendaki dalam doa Nabi Saw., ungkapan Ibn ‘Abbâs, dan
ungkapan al-Tabarî dalam kitab tafsirnya adalah tafsir. Lihat lebih lanjut, Forum Karya Ilmiah Purna
Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), cet.ke 3, h.192. 2 Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu’jam al-Lughoh al-‘Arabiyyah al-Ma’asirah, (Mesir:
‘Alim al-Kutûb, 2008), juz 1, h.289. 3 Majma’ al-Lughoh al-Arabiyyah Bi al-Qâhirah, Mu’jam al-Wâsit, (t.tp, Dâr al-
Da’wah,t.th.), juz 1, h.190. 4 Majma’ al-Lughoh al-Arabiyyah Bi al-Qâhirah, Mu’jam al-Wâsit, (t.tp, Dâr al-
Da’wah,t.th.), juz 1, h.471. 5 Jamâluddin Ibn Mudzîr, Lisân al-‘Arab, (Bairût: Dâr al-Sadar, 1992), juz 13, h.505.
19
mini penulis beralih kepada pengertian secara terminologi. Dalam pengertian ini,
muẖkam dan mutasyâbih diperselisihkan oleh banyak kalangan ulama, dan bahkan
mereka memiliki versi masing-masing tentang pengertian dari kedua konsep
tersebut. Sebagaimana dalam penjelasan al-Suyûtî defînisi tersebut kurang lebih
terdapat sembilan macam6: Pertama, muẖkam adalah lafaz yang mudah dipahami,
baik karena memang sudah jelas maknanya dan maupun dengan cara penta’wilan,
dan mutasyâbihât adalah kebalikannya, yaitu lafaz yang hanya diketahui oleh Allah
swt seperti kepastian tentang waktu terjadinya hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-
huruf al-muqata’ah di awal surat al-Qur’an . Kedua, muẖkam adalah lafaz yang
sudah jelas maknanya dan sedangkan mutasyâbihât adalah lafaz yang tidak jelas
maknanya. Ketiga, muẖkam adalah lafaz yang tidak bisa di-ta’wîl kecuali dengan
satu aspek sedangkan mutasyâbihât adalah lafaz yang memungkinkan banyak aspek
penakwilan. Keempat, muẖkam adalah lafaz yang rasional mananya atau mudah
diterima oleh akal, seperti perintah melaksanakan shalat. Sedangkan mutasyâbihât
sebaliknya yaitu lafaz yang sulit diterima oleh akal, seperti ketentuan waktu dan
jumlah rakaat shalat, diwajibkan puasa hanya khusus di bulan ramadhan dan
sebagainya.
Masih tentang macam-macam definisi dari muẖkam dan mutasyâbihât.
Kemudian definisi lainnya yang mnempati urutan kelima ialah muẖkam adalah lafaz
yang berdiri sendiri dan mutasyâbih adalah lafaz yang tidak bisa berdiri sendiri
kecuali dengan mengembalikan kepada lafaz yang lain. Keenam, muẖkam adalah
penakwilan lafaznya melalui turunnya dan mutasyâbihât adalah lafaz yang tidak
dapat dipahami kecuali setelah melalui proses penta’wîlan. Ketujuh, muẖkam
6 Abû al-Fadl Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, (al-Saudiyyah: al-Mamlakat al- ‘Arabiyyah, t.t.h), juz 4, h.1336.
20
adalah lafaz yang tidak diulang-ulang dan sebaliknya disebut dengan mutasyâbih.
Kedelapan, muẖkam adalah lafaz-lafaz yang menjelaskan tentang kewajiban
(farâ’id), janji pahala,dan janji siksaan, dan sedangkan mutasyâbihât adalah lafaz
yang menjelaskan tentang kisah, dan perumpamaan (al-amtsal). Kesembilan,
muẖkam adalah lafaz dimana di dalamnya menjelaskan tentang hal-hal yang
hukumnya halal, haram dan lain sebagainya. Sementara mutasyâbihât adalah lafaz
yang saling membenarkan satu dengan yang lain.
Menurut istilah, muẖkam juga dikatakan sebagai ayat yang jelas maksud dan
maknanya, rasional, mandiri, menerangkan masalah kewajiban, janji dan ancaman.7
Dalam jurnal yang berjudul “Pemahaman Ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif
Bahasa”, mengatakan bahwa penulis mengutip makna mutasyâbihât secara istilah
menurut Imam al-Ghazali, bahwa al-Ghazali melihat bahwa ayat-ayat mutasyâbihât
adalah ayat-ayat yang secara literalistik menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmaniyah (antropomorfîsme). Ayat-ayat tersebut meliputi: pertama,
sifat-sifat dzat seperti bertangan, berwajah, bermata dan mengambil tempat seperti
di atas di sebelah dan lain sebagainya. Kedua, sifat perbuatan seperti turun, datang,
tertawa, duduk dan bersemayam. Ketiga, emosi seperti bosan, marah, rela, cinta,
dan lain sebagainya.8
Imam al-Alûsî9 dalam kitab tafsîr Rûh al-Ma’ânî membuat defenisi tentang
ayat muẖkam dan mutasyâbih yaitu: muẖkam adalah ayat yang terang maknanya,
7 Tarmana Abdul Qasim, Samudera Ilmu-Ilmu al-Qur`an, (Bandung: Mizan Pustaka,
2003), h. 140-141. 8 Husein Aziz, jurnal “Pemahaman Ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif Bahasa”, dalam
journal Madaniya, vol. 11, no 1, 2012 h. 31-32. 9 Al-Alûsî adalah seorang pemikir muslim yang ahli dalam bidang ilmu agama., baik yang
bersifat usulî maupun furu’î. Beliau lahir di Baghdad pada hari Jum’at tahun 1217 H/1802 M. Nama
lengkapnya adalah Mahmûd bin Abdillâh bin Muhammad bin Darwisy al-Husainî al-Alûsî Syihâb
al-Dîn al-Shana’. Al-Alûsî memulai proses intelektualnya dengan mempelajari Bahasa Arab, fiqh,
mantiq, dan hadis dari ayahnya sendiri. Karena kekuatan hafalannya, pada umur lihat tahun beliau
21
jelas dilalahnya terpelihara dari adanya kemungkinan terjadi pemalingan makna
dan penyerupaan dengan yang lain. Mutasyâbih yaitu ayat yang mungkin di artikan
kepada beberapa makna, tidak bisa membedakan sebagian dengan sebagian yang
lain, untuk mengahasilkan makna yang dimaksud tidak bisa didapat tanpa adanya
penelitian yang lebih dalam. Ketidakjelasan makna ayat terkadang karena
banyaknya pengertian suatu ayat atau penjelasannya terlalu umum.10
Ada sebagian ulama memberikan tanda-tanda kapan suatu ayat al-Qur’an
masuk dalam golongan muẖkam dan mutasyâbih, yaitu jika suatu ayat tersebut
membicarakan tentang ayat yang menasakh, menjelaskan tentang halal dan haram,
batasan dan kewajiban-kewajiban, serta tentang janji pahala dan jani siksaan, maka
masuk dalam golongan ayat-ayat muẖkam. Sedangkan jika ayat tersebut
membicarakan tentang nama dan sifat-sifat Allah, sifat surga dan neraka, dan lain
sebagainya maka ayat tersebut adalah ayat mutasyâbihât, misalnya seperti QS. Tâhâ
(20): 5, QS. al-Fath (48): 10, QS. al-Fajr (89): 22. QS. al-Fath (48): 6, QS. al-
Bayyinah (98): 8, dan lain sebagainya.11
Menyikapi macam-macam defînisi yang telah dipaparkan di atas, penulis
perlu menetapkan definisi operasional. Hal ini dilakukan agar mejadi definisi
pedoman dalam penelitian ini. Nampak jelas perbedaan antara muẖkam dan
mutasyâbih. Secara garis besarnya perbedaan di antara muẖkam dan mutasyâbih
sudah hafal matan beberapa kitab dan bahkan al-Qur’an. Lihat lebih lanjut, Faizah Ali Syibromalisi,
Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,
2011), h.71-72. 10 Syihâb al-Dîn Sayyid Mahmud al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, (Lebanon: Dâr al-Fikr,2003
M/1423 H), cet.1, jilid 2, h. 99. 11 Abû al-Fadl Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, (al-Saudiyyah: al-Mamlakat al-‘Arabiyyah, t.t.h), juz 4, h.1354. Lihat juga dalam Manna’
al-Qattan, Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 207.
22
adalah bahwa muẖkam jelas maknanya dan mutasyâbih tidak jelas sehingga masih
membutuhkan penafsiran untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas.
B. Ragam Mutasyâbihât dalam Studi Al-Qur’an
Letak ayat mutasyâbih dalam al-Qur’an terdapat dalam beberapa tempat
yaitu, terkadang dari segi lafaz, terkadang dari segi makna dan terkadang dari segi
lafaz dan makna. Untuk lebih jelasnya bisa diperhatikan contoh di bawah ini.
1. Mutasyâbih dari segi lafaz, konsep mutasyâbih dari segi lafaz ini dibagi
menjadi dua macam. Pertama, mutasyâbih dalam lafaz tunggal. Bagian
pertama ini dibagi menjadi dua macam yaitu pertama, mutasyâbih dalam
lafaz tunggal (mufrad), yaitu karena dengan adanya penggunaan lafaz asing
dan jarang dipakai, seperti lafaz اب وأ
كهة
Pada .(QS. ‘Abasa (80): 31) وف
hakikatnya lafaz tersebut bermakna semacam sayur-sayuran. Lafaz itu sulit
dipahami maknanya, karena memang selain jarang dipakai, juga terasa asing
bagi orang-orang Arab yang notabennya hidup di tanah gersang. Masuk
dalam cakupan pembahasan ini adalah huruf al-muqata’ah (huruf-huruf
yang terputus-putus) di dalam beberapa awal surat, seperti م , طه , يس ال
Huruf-huruf yang terputus tersebut sulit untuk dipahami maknanya,
sehingga ulama klasik lebih banyak pemasrahannya kepada Allah Swt
dengan menafsirkannya dengan “Allah ‘a`lam bi muradihi (Allah Maha
Mengetahui dengan apa yang dikehendaki-Nya), namun ada beberapa
23
ulama kontemporer yanng mencoba memberikan interpretasi kepada huruf-
huruf tersebut.12
Kedua, mutasyâbih dalam lafaz tunggal bermakna ganda (musyarakah),
seperti makna dari lafaz al-yad, al-‘ain, al-yamîn, dan lafaz-lafaz
semacamnya. Lafaz tersebut bisa menjadi bermakna ganda, mana kala
ketika ia berada dalam suatu kalimat sempurna dan bisa dibawa kepada
beberapa makna, misalnya seperti lafaz al-yamîn dalam QS. al-Saffat (37):
93. Ayat ini menjelaskan tentang berhala-berhala yang dihancurkan oleh
Nabi Ibrâhim a.s. Lafaz al-yamîn pada ayat tersebut bisa bermakna tangan
kanan, maka pemahamannya menjadi: “Nabi Ibrâhim a.s. memukul dengan
tangan kanan”, bermakna kuat, pengertiannya menjadi: “Nabi Ibrâhim a.s.
memukul berhala-berhala itu dengan sangat kuat”, dan juga bisa bermakna
sumpah, menjadi: “Nabi Ibrâhim a.s. pernah bersumpah akan
menghancurkan behala-berhala tersebut”.13
Kemudian bagian kedua kelanjutan dari pembagian di atas adalah
mutasyâbih dalam lafaz murakkab. Mutasyâbih dalam lafaz murakkab ini
dibagi menjadi 3 di antaranya, pertama, mutasyâbih dalam lafaz tersusun
karena terlalu ringkas, misalnya tentang anak yatim dan masalah poligami
dalam QS. al-Nisâ`: 3. Kedua, mutasyâbih (kemiripan) dalam lafaz tersusun
karena terlalu luas cakupannya, seperti adanya penambahan huruf kaf pada
lafaz mitsli (كمثل) padahal keduanya sama-sama memiliki arti “seperti”,
12 Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h.245. 13 Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h.245.
24
yaitu: (ليس مثله ش ئ). Ketiga, Mutasyâbih (kemiripan) dalam lafaz tersusun
karena susunan kalimatnya.
2. Mutasyâbih dari segi makna yaitu ayat yang berkaitan dengan sifat Allah
atau hari kiamat. Dari segi lafaz dapat dipahami dengan jelas akan tetapi
tidak dapat dirincikan bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Seperti
dalam surah Tâhâ ayat 5 .
“ ن حم ٱلر عرش ٱستوىى ٱل
عل ”
Pada kalimat istawâ’ lafaznya dapat diketahui, tapi makna yang
sesungguhnya tidak diketahui. Bila diartikan dengan arti lahirnya akan
bertentangan dengan keadaan Allah yang sesungguhnya, karena sifat istiwa
(duduk) adalah sifat makhluk bukan sifat Allah.
3. Mutasyâbih dari segi makna dan lafaz. Dalam konteks kali ini, mutasyâbih
terbagi menjadi lima bagian. Pertama, yaitu mutasyâbih secara kuantitas,
seperti bersifat umum dan khusus. Contohnya QS. al-Taubah (9): 5. Dalam
ayat ini, orang-orang muslim diperintahkan untuk membunuh orang-orang
musyrik dimanapun jika bertemu dengan mereka. Tentu saja hal ini masih
samar tentang batas-batas boleh dan tidaknya mereka dibunuh. Kedua,
mutasyâbih dalam cara praktik, seperti tentang perintah yang hukum wajib,
sunnah, dan lain sebagainya. Contoh adalah QS. al-Nisâ` (4): 3. Ketiga,
mutasyâbih dalam aspek masa, seperti dalam perintah untuk bertakwa yang
sebenar-benarnya yaitu sebagaimana yang diperintahkan dalam QS. Âli
Imrân (3): 102. Ayat ini memerintahkan untuk bertakwa, tetapi tidak ada
keterangan batas tertentunya. Keempat, mutasyâbih dalam temapat atau
25
suatu perkara, dimana ketika itu al-Qur’an langsung meresponnya seperti
tentang penjelasan bahwa bukan suatu perbuatan baik dan terpuji ketika
memasuki rumah dari belakang, seperti dalam QS. al-Baqarah (2):189.
Maksud di belakang rumah di dalam ayat tersebut nash samar. Orang yang
tidak mengetahui ada kebiasaan orang-orang Jahiliyyah tidak bisa
memahami ayat tersebut. Kelima, mutasyâbih dari aspek syarat-syarat
sahnya suatu perintah. Biasanya al-Qur’an hanya memerintah suatu perkara,
tetapi tidak dengan perincian syarat-syaratnya sehingga menimbulkan
kesamaran yang tidak dipahami dan perlu ada perincian dari pembaca atau
pendengar seperti tentang syarat melaksanakan shalat, syarat pernikahan
dan lain sebagainya.14
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mutasyâbih dalam ayat
terdapat pada tiga tempat. Yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini
adalah mutasyâbih makna karena ayat ini berkaitan dengan sifat Tuhan,
maka yang selalu memperbincangkannya adalah dari kalangan ulama
kalam. Mereka berusaha menafsirkan ayat sesuai dengan keyakinan mereka
masing-masing. Munculnya perbedaan penafsiran di antara mereka
dipengaruhi oleh aliran yang mereka pegangi.
C. Pandangan dan Sikap Ulama terhadap Mutasyâbihât
Problem utama dalam pembahasan muẖkam dan mutasyâbih kembali
kepada pengertian dari lafaz ayatun dalam QS. Alî Imrân (3): 7.
14 Ainun Najib, Tesis: Konsep al-Muhkam dan al-Mutasyâbih menurut Muhammad Abîd
al-Jabirî, (Jakarta, UIN Jakarta, 2016), h. 106-107.
26
مت هن أ م
حك ت م ب منه ءاي
كت
يك ٱل
نزل عل
ذي أ
ا هو ٱل م
أ ف
ت به
ش
ر مت
خ
ب وأ
كت
ٱل
وبهم زيغلذين في ق
ء ٱ ٱل
ابه منه ٱبتغ
ش
بعون ما ت
يت
ويلهۦ وماف
أء ت
افتنة وٱبتغ
ل
م يعل
ا ب ون ءامنم يقول
عل
ون في ٱل
سخ
وٱلره
ٱلل
هۥ إل
ويل
أر إت
ك
وما يذ
نا
ن عند رب م
ل هۦ ك
ل
ب بل ٱل
وا
ول
أ
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muẖkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât
daripadanya untuk menimbulkan fîtnah untuk mencari-cari ta’wîlnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wîlnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal”
Dalam ayat ini menjadi dasar di mana para ulama berbeda pendapat
mengenai tafsir15 dari ayat tersebut. Ada sebagian dari mereka yang tidak
membolehkan menafsirkan dan mentakwilnya, dan ada sebagian lagi yang
membolehkan. Diantara mereka yang tidak membolehkan adalah ‘Âisyah ra, istri
Rasulullah Saw. Beliau menyatakan bahwa ayat-ayat mutasyâbihât hanya Allah
Swt yang mengetahuinya, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa
menakwilkannya. Hal ini karena menurut ‘Âisyah ra, huruf wau sbelum kata al-
râsikhûna dalam QS. Âli Imrân (3): 7, itu berarti isti’inaf (kata yang menunjukkan
awal kalimat). Sedangkan kata râsikhûna itu marfu’ sebagai mubtada’. Sehingga
15 Tafsir dalam kamus al Munawwir al-tafsîrû yang berarti tafsiran, interpretasi. Lihat,
Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), h.1055. Sedangkan tafsir menurut terminologi (istilah), sebagaimana didefinisikan Abû
Hayyân yang dikutip oleh Manna’ al-Qattân ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafaz-lafaz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya. Lihat, Halimudin, Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995),
h. 164.
27
kalimat sebelumnya tidak ada kaitannya dengan kalimat sesudahnya.16 Hal ini
diperkuat dalam tafsirannya tentang QS. Âli Imrân (3): 7, yang dikutip oleh al-
Tabarî sebagai berikut:
“Al-Tabarî meriwayatkan dari Muhammad ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd al-
Hakam. Ia meriwayatkan berdasarkan penuturan Khalid ibn Nazzar dari Nâfî’, dari
Ibn Abi Malikah, dari ‘Âisyah berkenaan dengan fîrman Allah Swt, “Wa al-
râsikhûna fî al-‘ilmi yaqûlûna âmanna bih” (dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat mutasyâbih). ‘Âisyah
berpendapat, “diantara kedalaman ilmu mereka adalah mereka beriman dengan
ayat-ayat muhkam dan mutasyâbihât, meskipun mereka tidak mengetahui
ta’wilannya”.17
Berbeda dengan ‘Âisyah, Abû Hasan al-Asy’arî (w. 935 M) berpendapat
ayat tersebut berhenti atau berakhir pada kalimat “dan orang-orang yang
mendalam ilmunya”. Dengan demikian para ulama mengetahui ta’wîlnya. Pendapat
tersebut diperjelas oleh Abû Ishaq al-Syirazî (w. 476 H) yang mendukungnya dan
mengatakan: “Pengetahuan Allah mengenai ta’wîl ayat-ayat mutasyâbihât itu
dilimpahkan juga kepada para ulama yang ilmunya dalam, sebab fîrman tersebut
diturunkan adalah pujian bagi ulama yang ilmunya mendalam. Kalau mereka tidak
mengetahui maknanya, berarti mereka sama dengan kaum awam.18
Dua pendapat di atas setidaknya telah mewakili masing-masing kelompok
yang setuju apakah sebaiknya ayat-ayat mutasyâbihât ditakwilkan atau tidak.
Keduanya sama-sama memiliki pandangan dan alasan yang kuat untuk
mempertahankan pendapatnya.
16 Abdullah Abu al-Su’ud Badr, Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, terj, Gazi Saloom,
dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 154-155. 17 Abdullah Abu al-Su’ud Badr, Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, terj, Gazi Saloom,
dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 189-190. 18 Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur`an, (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005), cet.1, h. 76. Lihat juga, Subhi Ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
terj, Team Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 373.
28
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyâbih terbagi dalam dua
kelompok19, yaitu:
1) Mazhab salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-
ayat mutasyâbih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka
menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah
dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an. Di antara
ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Mâlik, ketika
ditanya tentang istawâ’ ia menjawab:
والسؤال عن هذا بدعة واظنك رجل سوء مجهول الستواء معلوم والكيف
أخرجوه عني
“istawâ itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui dan
mempelajarinya bid’ah. Aku mengira bahwa kau adalah orang yang tidak
baik, keluarkan dia dari tempatku”.
Ibn al-Sâlah (w. 643 H) menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut
oleh generasi dari para pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pula yang
dipilih imam-imam dan para pemuka fîqih.
2) Mazhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menta’wilkan
ayat-ayat mutasyâbih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti
yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari
kalangan ulama mutaakhirin.
Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian
lahir ayat-ayat mutasyâbih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana
dituturkan al-Qur’an, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu
19 Rosihon Anwar, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet. ke-2, h. 123-128
29
kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat
mutasyâbih. Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn al-
Daqîq al-‘Id (w. 702 M)20 mengatakan bahwa apabila penakwilan yang
dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyâbih dikenal oleh lisan Arab,
penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita
harus mengambil sikap tawaqquf21 dan mengimani maknanya sesuai apa
yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah.22
D. Hikmah Adanya Studi Muẖkam dan Mutasyâbihât
Sebagai kitab suci, al-Qur’an yang identik dengan fîrman-fîrman Allah Swt,
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk kepada umat
manusia, sebagaimana dikemukakan dalam QS. al-Baqarah (2): 185. Oleh karena
itu, al-Qur’an sebagai dasar hukum yang pertama dan tidak ada keraguan di
dalamya selalu dikaji pesan-peannya agar manusia mampu mengambil berbagai
pelajaran untuk menjadi dasar dalam menjalani kehidupan di dunia.
Penulis mengemukakan hikmah dari ayat-ayat muẖkam dan mutasyâbih
yang dikutip dari Fakhr al-Dîn al-Razî,23 diantaranya:
20 Ibn al-Daqîq al-‘Id adalah pakar dalam fikih Mazhab Syâfi’i, ushul fikih, hadis dan
bahasa Arab. Nama lengkapnya Taqî al-Dîn Abû al-Fath Muhammad bin ‘Ali bin Wahhab bin Muti’
al-Daqîq al-‘Id al-Qusyairî. (Mesir: 25 Sya’ban 625 – Kairo, 15 Safar 702). Selengkapnya Lihat
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Hukum Islam, h. 604 21 Tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya. 22 Rosihon Anwar, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 123-128. 23 Fakhr al-Dîn al-Razî adalah salah satu ulama besar dalam dunia khazanah Islam, secara
khusus dalam bidang tafsir. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullâh Muhammad ibn Umar ibn
Husain bin Husain bin Hasan bin ‘Ali al-Tamîmî, al-Bakâri, al-Tibristâni, al- Razî dan diberi gelar
Fakhruddin. Beliau lahir di Ray pada tanggal 25 Ramadhan tahun 544 H. Beliau berasal dari dari
keluarga yang berpendidikan shingga bukan hal yang aneh kalau beliau sejak kecil menggeluti dunia
agama. Lihat lebih lanjut, Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 53.
30
Pertama, untuk menemukan makna dalam ayat mutasyâbihât membutuhkan
kejelian dan kepekaan yang begitu mendalam. Artinya, untuk mencari makna
mutasyâbihât tidak mudah karen masih rancu dan samar, maka dibutuhkan usaha
dan upaya besar dan hati yang cukup jernih. Oleh karena itu, kesulitan tersebut
sebenarnya memberikan tambahan pahala yang besar di sisi Allah swt sebagai
bentuk usahanya. Hal ini dikemukakan di dalam QS. Alî Imrân (3): 142.24
Kedua, seandainya seluruh ayat al-Qur’an hanya dihukumi sebagai
muẖkam, maka sudah pasti hanya akan ada satu aliran (madzhab) pemahaman
terhadap al-Qur’an. Dimana pemahaman-pemahaman lain sudah tentu tidak benar
kecuali mengikuti dan sesuai dengan pemahaman aliran tersebut. Namun karena
realitanya ayat al-Qur’an terbagi menjadi muẖkam sebagai induknya (umm al-kitab)
dan mutasyâbihât sebagai cabangnya, maka pemahaman terhadap teks al-Qur’an
mengalami variasi sehingga melahirkan banyak aliran yang bermacam-macam.
Dari kemunculan setiap aliran itu mereka aka berlomba-lomba dan bersungguh-
sungguh dalam mendalami ilmu penta’wilan untuk dijadikan sebagai pisau analisis
dalam mencari makna yang benar-benar dimaksud. Dari hal ini, penafsiran terhadap
ayat muẖkam menjadi acuan dasar dalam penafsiran ayat mutasyâbih dan akhirnya
akan teridentifîkasi pemahaman yang benar dan membuang pemahaman yang
salah.
Ketiga, dalam memahami ayat muẖkam dan mutasyâbih memerlukan
logika. Hal ini memberikan kesadaran secara tidak langsung dan sekaligus
برين 24 هدوا منكم ويعلم ٱلص أ م حسبتم أن تدخلوا ٱلجنة ولما يعلم ٱلل ٱلذين ج
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar” QS. Alî Imrân
(3): 142.
31
menganjurkan kepada peran akal dalam menganalisis teks al-Qur’an. Keempat,
adanya ayat muẖkam dan mutasyâbih menjadi tuntunan bagi seseorang untuk
belajar secara serius tentang cara-cara penakwilan dan cara mempertimbangkan
(tarjîh) terhadap penakwilan tersebut. Karena pemahaman ayat mutasyâbih harus
dikembalikan kepada pemahaman ayat muẖkam sebagai patokan utamanya. Alhasil
manfaat dari adanya pembelajaran terhadap dua konsep ini dapat melahirkan dan
berkembangnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti ilmu bahasa,
gramatika, ilmu usul fîqh dan lain sebagainya. Keempat, hikmah yang keempat bagi
Fakhr al-Dîn al-Razî25 merupakan sebab yang paling mendasar dari adanya
muẖkam dan mutasyâbih, yakni al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya meliputi
seruan Allah Swt agar diamalkan oleh siapapun yang hendak mendapatkan
petunjuk dan kebenaran dalam meniti jalan kehidupan. Seruan tersebut ada yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Ketika al-Qur’an diturunkan pertama
kali maka ia disesuaikan dengan keadaan pikologis orang-orang yang mendapatkan
kitab darinya, yaitu dengan menggunakan lafaz-lafaz yang sesuai dengan apa yang
disangkakannya oleh penerima kitab pertama sehingga sapaan al-Qur’an terselip
dalam pemahaman mereka. Dengan adanya hal ini, agar al-Qur’an mudah diterima
dengan baik dan kemudian direspon positif oleh mereka. Sebab itu, pertama kali al-
Qur’an menyapa mereka dengan menggunakan redaksi ayat yang masuk dalam
cakupan mutasyâbih yang kemudian dilanjutkan dengan ayat muhkam agar menjadi
penjelas bagi mutasyâbih.26
25 Lihat hikmah dari adanya ayat-ayat muẖkam dan mutasyâbih dalam penjelasan,
Muhammad Fakhr al-Dîn al-Razî, Mafâtîh al-Ghaib, (t.tp: Dâr al-Fikr, 1981), juz 7, h.185-186. 26 Fakhr al-Dîn al-Razî, Mafâtîh al-Ghaib, (t.tp: Dâr al-Fikr, 1981), juz 7, h.185-186.
32
BAB III
MENGENAL IMAM AL-SYAUKÂNÎ DAN TAFSIR FATH AL-QADÎR
A. Biografi dan Rihlah Ilmiah Imam al-Syaukânî
Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad bin
‘Abd Allah al-Syaukânî al-San’anî al-Yamânî. Beliau lahir di Syaukan,1 Yaman
Utara, bertepatan dengan hari Senin tanggal 28 Dzu al-Qa’dah tahun 1173 H.2
Sebelum kelahirannya orangtuanya tinggal di San’a.3 Ketika musim gugur, mereka
pulang ke Syaukan, kampung asal mereka dan pada waktu itu al-Syaukânî lahir dan
tidak berapa lama setelah itu, ia dibawa oleh orang tuannya kembali ke San’a.
Beliau meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Jumad al-Akhir tahun 1250 H
pada usia sekitar 77 tahun.4 Beliau di shalatkan di Masjid Jâmi’ al-Kabîr5 dan
dimakamkan di San’a satu wilayah dengan Khuzaimah.
Semasa hidupnya al-Syaukânî dalam asuhan kedua orangtuanya. Ayahnya,
‘Alî al-Syaukânî (1130-1211H) adalah seorang ulama terkemukan di Yaman, yang
bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintah imam-imam Qasimiyah (sebuah dinasti
1 Syaukan adalah sebuah desa yang jaraknya dengan kota San’a sejauh perjalanan suatu
hari, dengan berjalan kaki. Desa tersebut dihuni oleh suku Suhamiyyah, termasuk rumpun kabilah
Khaulan. Lihat, al-Syaukânî , Al-Badr al-Tâli’ bi Mahâsin Man Ba’d al-Qarn al-Sâbi’, (Bairût: Dâr
al-Ma’rifah, t. th.), jilid I, h. 480. Desa tersebut biasa disebut Hijrah Syaukan, karena tempat yang
banyak diriwayatkan oleh para ulama. 2 Muhammad Ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h 4-8. 3 Kota San’a dianggap sebagai kota yang tertua di dunia yang dibangun oleh putra Nabi
Nuh as, yang bernama Syam. Di kota tua ini terdapat istana Gamadan yang didirikan oleh raja
bernama al-Jasrah Jahsab. Pada masa khalifah Utsman berkuasa (6 H), istana tersebut rusak
kemudian dibangun kembali oleh Abraham al-Habsyi, demikian pula dengan gereja Qalis, sebagai
salah satu rumah ibadah untuk menandingi umat Islam yang pergi melakukan ibadah haji ke
Mekkah. Lihat, Muhammad Ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-
Akhbar, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1961). Juz 1, cet.3, h.3. 4 Muhammad Ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h 4-8. 5 Syaikh Hasan al-Jamal, Hayatul Aimmah (Biografi 10 Imam Besar), terj. M.Khaled
Muslih dan Imam Awaluddin (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2005), cet.I h. 277
33
di Yaman) untuk memegang jabatan sebagai Qadi (hakim). Pada masa kecil, al-
Syaukânî belajar al-Qur’an pada beberapa guru, yang diselesaikannya pada al-
Faqih Hasan ibn ‘Abdullah al-Habi. Kemudian, ia meneruskan pelajarannya dengan
mempelajari ilmu tajwid pada beberapa guru (masyayikh) di San’a. Sehingga ia
menguasai bacaan al-Qur’an dengan baik.6 Dalam usia muda al-Syaukânî telah
menghafal al-Qur’an. Kemudian, al-Syaukânî belajar berbagai bidang ilmu agama,
seperti ilmu agama, seperti Fîqh7, Hadîts8, Usul Fîqih9, Tafsîr, Nahwu10, Adâb al-
Bahs wa al-Munazarah (etika berdiskusi), dan sejarah, kepada ulama di
zamannya.11
6 Al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Bairût: Dâr al-
Ma‘rifah, t. th.), jilid II, h. 215. 7 Kata fiqh secara bahasa punya dua makna. Makna pertama adalah al-fahmu al-mujarrad,
yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja. Makna yang kedua adalah
al-fahmu al-daqîq, yang artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas.
Lihat Muhammad bin Mandzûr, Lisân al-Arâb, (Bairût: Dâr Sadir, t.t.h), cet. I, h. 711. Sedangkan
secara istilah, kata fiqh didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda.
Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong, tapi ada juga yang memang sudah
mencakup semua batasan ilmu fiqih itu sendiri. Lihat Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan, (Jakarta:
DU Publishing, 2011), h. 27. 8 Hadîts secara etimologis berarti al-jadîd yaitu sesuatu yang baru, menujukkan sesuatu
yang dekat dan waktu yang singkat. Hadits juga berarti al-khabar yang artinya berita, maksudnya
adalah sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang
lain. Lihat lebih lanjut, Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 11. Pengertian
hadits yang dikemukakan oleh Jumhûr al-Muhaddîts ialah apa yaang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya. Lihat Fathur
Rahman, Ikhtisar Mustalah al-hadîts, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1987), h. 6. 9 Usul Fiqih adalah cara mengetahui dan menggunakan dalil secara global (ijmal),
mengetahui keadaan penggunanya (mujtahid atau ahli ijtihad), dan mengetahui kaidah kulli (umum)
yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan syara’ (hukum islam) dari dalil yang terperinci. Tujuan
ushul fiqih addalah untuk mengetahui dalil-dalil syara’ baik yang menyangkut bidang akidah,
ibadah, muamalah, akhlak, dan uqubah. Lihat lebih lanjut Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), vol.7, h.207 10 Nahwu adalah salah satu cabang ilmu bahasa arab yang mempelajari kaidah susunan
katadalam kalimat bahasa arab. Cabang ilmu ini memfokuskan kajian pada keadaan baris huruf
terakhir kata dalam dalam bahasa arabkarena kedudukan kata dalam kalimat berubah. Nama lain
ilmu nahwu adalah ilmu qawâ’id. Penyebutan ilmu nahwu ini sering dikaitkan dengan saraf (shorof),
suatu cabang ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata bahasa arab. Lihat lebih lanjut, Nina
M. Armando , Ensiklopdia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), vol. 5, h.171. 11 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî , Fath al- Qadir, Tahqiq dan Takhrij
Sayyid Ibrahim, terj. Amir Hamzah Fachruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j. 1 h. 32.
34
Dari sini terlihat bahwa sejak kecil, al-Syaukânî mempunyai minat kepada
ilmu pengetahuan. disebutkannya sendiri, sebelum mendapatkan bimbingan guru
secara formal ia telah dapat membaca buku-buku ringan secara mandiri. Ia
mendapat bimbigan secara formal dari beberapa guru setelah lebih dahulu
menghafal dan membaca sendiri beberapa karya dalam berbagai bidang ilmu.
Imam al-Syaukânî sangat kuat ingatannya, dari kecil ia telah banyak
menghafal matan.12 Di usia mudanya ia telah menggeluti kitab sejarah dan
kumpulan sastra-sastra. Kelebihan ini sampai pada puncaknya ketika semangatnya
semakin menyala dalam mencari ilmu. Ia mengeluarkan fatwa di usianya yang ke
20 tahun. Perumpamaan Imam al-Syaukânî saat itu sama dengan posisi ulama besar
amirul mukminin13 dalam hadis.14
Dengan ketekunannya menimba berbagai bidang ilmu agama, akhirnya ia
menjadi seorang ulama besar dan mujtahid serta digelari “Syaikh al-Islam” (gelar
kehormatan bagi seorang ulama yang berilmu dan luas). Setelah cukup berilmu, ia
mulai mengajarkan ilmunya kepada generasi di bawahnya. Ketika ia merasa dirinya
12 Matan secara bahasa ialah sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah).
Secara terminologi ialah, sesuatu yang berakhi padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa
perkataan. Lihat, Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (t.t: PT Mutiara Sumber Widya, 2010), h. 163. Lihat
juga, Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Alma Arif, 1974), h. 39 dikatakan
bahwa yang disebut dengan matan dalam hadis ialah pembicaraan atau memberi berita yang diover
oleh sanad yang terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat ataupun tabi’in. Baik
isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh
Nabi. 13 Amîrul Mukminîn dalam ilmu hadits tidak terkait dengan kekhalifahan dalam
politik/kenegaraan, melainkan berkaitan dengan penguasaan hadits seseorang. Amîrul Mukminîn
dalam ilmu hadits merupakan julukan ini diberikan kepada orang yanng populer pada masanya
dalam bidang hafalan dan dirayah hadits, sehingga menjadi tokoh dan imam pada masanya. Julukan
ini telah diberikan kepada orang-orang semisal ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Abdi Allah Ibn Dzakwân al-
Madanî (Abû al-Zanad), Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyân al-Tsaurî Imam Malik Ibn Anas, Imam al-
Bukhârî, dan lain-lain. Mereka merupakan imam-imam hadis terkemuka. Lihat, Muhammad ‘Ajaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.441. 14 Mani’ ‘Abd Halîm Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, terj. Manhâj al-Mufassirîn Faisal Saleh dan Syahdianor, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), h. 188.
35
telah memahami hadits Nabi saw secara baik, ia berusaha memberantas taklid15
yang merajalela di zamannya dan mengumandangkan perlunya pengembangan
sikap ijtihad16 dalam hal ini ia mendapatkan tantangan besar dari ulama yang
berpendapat bahwa mujtahid tidak ada lagi dan pintu ijtihad telah tertutup.17
Pada tahun 1209 H. meninggallah qadi Yaman yaitu Syaikh Yahya bin Salih
al-Syajari al-Sahuli. Khalifah al-Mansur18 meminta kepada Imam al-Syaukânî agar
menggantikan Syaikh Yahya sebagai qadi negeri Yaman. Pada awalnya beliau
menolak jabatan tersebut karena takut disibukkan dengan jabatannya dari pada
ilmu. Kemudian datanglah para ulama San’a kepada beliau untuk meminta agar
beliau menerima jabatan tersebut, karena jabatan tersebut adalah rujukan syar’i bagi
para penduduk negeri Yaman yang dikhawatirkan akan diduduki oleh seseorang
yang tidak amanah dalam agama dan keilmuannya. Akhirnya beliau menerima
jabatan tersebut sebagai qadi Yaman hingga beliau wafat pada masa pemerintahan
tiga khalifah: al-Mansur, al-Mutawakkil, dan al-Mahdi. Ketika menjabat sebagai
hakim, al-Syaukânî dikenal sebagai hakim teladan. Ia mampu menegakkan
15 Akar kata taklid adalah qallada, yuqallid, taqlîdan yang berarti melingkungi, mengalungi
leher, dan mengikuti. Dalam terminologi islam taklid berarti mengikuti perkataan, ide, atau pendapat
orang lain tanpa tahu alaan perkataan tersebut, baik alasan itu dalil al-qur’an, sunnah Nabi atau
ijjtihad. Al-Ghazali, Imam al-Syaukânî , Imam al-San‘ani dan para ahli fiqih lainnya menyatakan
bahwa taklid adalah menerima, mengamalkan, pendapat atau ide orang lain yang tidak disertai atau
tidak diketahui alasan dan dasar hukumnya apakah berasal dari al-Qur’an atau sunnah Nabi
Muhammad Saw. Lihat lebih lanjut, Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 2005), jlidi 7, h. 48. 16 Ijtihad berasal dari kata jahada yang berartii berusaha dengan sungguh-sungguh.
Menurut Imam Alamidi dalam bukunya yang berjudul al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (penyempurnaan
dalam dasar hukum), ijtihad mempunyai arti mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syara’
yang bersifat zhanni (dugaan) samapai merasa diri tidak mampu mencari tambahan kemampuan itu.
Lihat, Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), jilid 3,
h. 136. 17 Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
jilid VI, h. 306. 18 Di dalam buku karangan Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, bahwa nama Khalifah
yang meminta al-Syaukânî menggantikan Syaikh Yahya sebagai hakim di Yaman adalah Khalifah
al-Makmun. Lihat, Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, (Insan madani press, t. th), h.175.
36
keadilan, memberantas kezaliman, menghilangkan fanatik buta, dan mengajak umat
menuju al-Qur’an dan sunnah.19
Penulis menemukan dalam disertasi karya Nasrun Rusli yang berjudul
“Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia”, bahwa dalam perekonomian, al-Syaukânî sangat beruntung karena
dilahirkan dalam keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai.
Jabatan qadi yang dipegang ayahnya, dan menempatkan keluarganya dalam
peringkat kedudukan sosial yang tinggi, telah membawa kemudahan dalam bidang
ekonomi.20
Oleh karena itu, singkat penulis jika dilihat dari penjelasan di atas bahwa
tidaklah heran jika al-Syaukânî memiliki kesempatan yang besar untuk menimba
ilmu dalam berbagai bidang dan dari sekian banyak guru. Jika diperhatikan
biografînya, nyaris masa-masa remaja al-Syaukânî dihabiskan untuk menuntut ilmu
agama. Untuk itu, tentu diperlukan biaya atau kemampuan ekonomi yang memadai.
B. Guru dan murid al-Syaukânî
1. Guru-guru Imam al-Syaukânî
‘Alî al-Syaukânî adalah ayahnya yang menjadi guru bagi anaknya
Imam al-Syaukânî.21 Kemudian ia juga berguru dengan ulama-ulama
kenamaan di San’a, diantaranya:
19 Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, (Insan madani press, t. th), h.177. 20 Nasrun Rusli, Disertasi: Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta,1998), h.89.
21 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-Akhbar,
(Bairût: Dâr al-Fikr, 1983), juz I, h. 4.
37
a) al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Madanî (1121-
1211 H.) yang membimbing mempelajari fîqih;
b) al-Allâmah Ahmad ibn Amîr al-Hadâ’I (1127-1197 H.)
c) al-Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Harâzî yang mengajarkan
fîqih dan usul fîqih hampir selama 13 tahun.
d) al-Sayyid al-‘Allâmah Ismâ‘il ibn Hasan ibn al-Imâm al-Qâsim ibn
Muhammad (1120-1206 H.) yang mengajarkan ilmu nahwu;
e) ‘Alî ibn Hadi Urbah, yang mengajarkan usûl fîqih;
f) Abdullah ibn Ismaîl al-Nahwi (w. 1228 H.) yang mengajarkan
berbagai bidang ilmu seperti nahwu, mantiq, fîqh, usul fîqh, hadits,
mustalah al-hadits, dan tafsîr;
g) al-Qâsim ibn Yahya al-Khaulânî (1162-1209 H.), yang
mengajarkan berbagai bidang ilmu seperti fîqh, usul fîqih, hadits,
mustalah al-hadits, tafsîr, mantiq, adâb al-bahts wa al-munazarah
(metodologi penalaran dan diskusi);
h) al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdullah bin al-Husain ibn Ali bin al-
Imâm al-Mutawakkil alallâh
Selain dari guru-guru yang disebutkan di atas, masih banyak lagi guru-
guru al-Syaukânî yang lain, yang tidak disebutkan dalam kitab al-Badr al-
Tâlli. Dan guru yang paling sering disebut oleh al-Syaukânî dan paling
banyak memberikan pelajaran adalah al-Qasîm ibn Yahya al-Khaulânî,
38
‘Abd al-Qadîr ibn Ahmad al-Kaukabânî, ‘Abd Allah ibn Ismâ’il al-Nahmi,
dan al-Lisan ibn Isma’il al-Magribi.22
Demikianlah sebagian dari guru-guru yang pernah medidik serta
mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada al-Syaukânî , dan
masih banyak lagi guru-gurunya.
2. Murid-murid Imam al-Syaukânî
Selain menimba ilmu dari para ulama besar, al-Syaukânî menebarkan
ilmu tersebut kepada masyarakat luas. Para penuntut ilmu ia layani dengan
penuh cinta dan telaten. Karenanya, banyak sekali murid yang belajar
kepadanya. Diantara murid-muridnya adalah kedua putranya sendiri, Ali bin
Muhammad al-Syaukânî dan Ahmad bin Muhammad al-Syaukânî.23
Anaknya yang masih muda ini dikenal sebagai anak yang salih dan banyak
menguasai berbagai macam cabang ilmu pengetahuan.
Muridnya yang lain adalah al-Allamah Husein ibn Muhsin al-Sabl
Ansari al-Yamini, Muhammad bin Hasan al-Syajânî, al-Allamah al-Syaikh
‘Abd al-Haqq ibn Fadal al-Hindî, al-Syarîf al-Imam Muhammad ibn Nasir
al-Nazimî, dan lain sebagainya.24 Di samping itu banyak murid hasil
didikannya al-Syaukânî yang telah menjadi ulama dan juga qadi,
diantaranya: Muhammad bin al-Hasan al-Syajni, al-Hasan bin Ahmad
Akisy al-Damâdî, Lutfullah bin Ahmad Hajaf al-San’ani, Muhammad bin
22 Al-Syaukânî, al-Badr al-tali bi Mahâsin man ba’d al-Qarn al-Sabi’,(Bairût: Dâr al-
Ma’rifah, t.th.), h.215-218. 23 Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadits, (Insan madani press, t. th), h.176. 24 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij
Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir, Dâr al-Hadîts, 2007), jilid 1, h.23.
39
Ahmad Musyahham, Abdul al-Rahmân bin Ahmad al-Haikali.25 Di antara
murid-murid al-Syaukânî adalah:
a) Muhammad ibn Ahmad Musyim al-Sa’di al- San’ânî (1186-1223
H) adalah murid al-Syaukânî yang pernah memegang jabatan qadi
di San’a dan sering dipuji oleh gurunya.
b) Al-Sayyid Ahmad ibn ‘Alî Muhsin ibn Imam al-Mutawakkil ‘alâ
Allah Ismail ibn al-Qasim (1150-1223 H), yang belajar pada al-
Syaukânî ketika usianya hampir mencapai lima puluh tahun dan
menyertai gurunya selama hampir sepuluh tahun.
c) Al-Sayyid Muhammad ibn Muhamad Hasyim ibn Yahya al-Syami
(1178-1251 H).
d) Al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Zabarah al-Hasani al-
Yamani al-San’ani (w.1381 H/1962 M), yang menulis biografî para
tokoh Yaman abad ke 13 H. Murid al-Syaukânî yang satu ini adalah
termasuk generasi kedua, dan turut berperan menyebarkan karya-
karya al-Syaukânî di Mesir.
e) ‘Abd Allah ibn Muhsin al-Haimî (117—1240 H), ia adalah salah
seorang murid yang dicintai oleh al-Syaukânî, karena sangat
banyak menimba ilmu dari guru itu.
f) Al-Qadi Muhammad ibn Hasan al-Syajni al-Zammarî (1200-1286
H), yang mendapat ijazah dari al-Syaukânî pada tahun 1239 H)
25Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrahim, terj. Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 1,h. 34.
40
dialah orang yang pertama menulis biografî gurunya, yang berjudul
al-Tiqsâr fî Jayyid Zamân ‘Alamah al-Aqalim wa al-Amsar.
g) Al-Qadi Ahmad ibn Muhammad al-Syaukânî (1229-1281 H), ia
adalah putra al-Syaukânî sendiri dan dipandanng sebagai ulama
Yaman terbesar sesudah ayahnya. Seperi ayahnya, ia juga pernah
memegang jabatan qadi di San’a.26
Itulah sebagian kecil murid-murid al-Syaukânî yang mewarisi ilmunya
dan mengembangkan ilmu tersebut ke berbagai daerah Yaman dan
sekitarnya. Dengan demikian, apa yang dihimbau oleh al-Syaukânî di dalam
karya-karyanya disebarkan oleh para murid tersebut.
C. Karya - Karya Imam al-Syaukânî
Dalam kitab Fath al-Qadîr, tercatat 36 karya yang diterbitkan dalam bentuk
buku dan 14 buah karya tulisnya dalam bentuk manuskrip. Semua karya tulisnya
itu, diselesaikan oleh al-Syaukânî dalam usia 36 tahun. Kemudian
produktifîtasannya mulai menurun ketika pada usia 36 tahun pasca diangkatnya al-
Syaukânî menjadi hakim di San’a pada masa pemerintahan al-Imam al-Mansur ‘Alî
bin Abbas (1775-1809M) dan masa pemerintahan al-Mahdi Abdullah (1815-
1835M.)27 Imam al-Syaukânî mempunyai kesibukan kesehariannya berkecimpung
dengan urusan hukum, namun beliau tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai
ulama. Ia terhitung sebagai ulama yang produktif menghasilkan karya. Imam al-
Syaukânî terkenal sebagai ualama yang menguasai beberapa cabang ilmu
26Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h.23. Lihat pula dalam
Tesis Hasani Ahmad Syamsuri, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr: Telaah Atas
Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h.44. 27 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij
Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid 1, h.22-26.
41
pengetahuan, seperti tafsir, hadits, fîqih, sejarah, ilmu kalam, mantiq, dan lain
sebagainya.
Dari keluasan ilmu pengetahuan dan kedalaman wawasannya, Imam al-
Syaukânî dijuluki orang pada zamannya sebagai lautan ilmu yang tak bertepi,
matahari pengetahuan, Syaikh al-Islam, Qadi al-Qudat dan lain sebagainya.28 Al-
Syaukânî mencurahkan pemikirannya melalui karya ilmiah dalam berbagai cabang
ilmu, diantaranya :
- Tafsir
1. Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Baina Fanni al-Riwâyah wa al-Dirâyah min
al-Tafsîr
2. Isykâl al-Sail ilâ Tafsîr ”Wa al-Qamara Qaddarnâhu Manâzil”
- Hadits
1. Nail al-Autar Syarh Muntaqa al-Ikhbar
2. Bulûgh al-Sa’il Amaniyahu bi al-Takallum ‘alâ Atraf al-Tamaniyah
3. Al-Qaul al-Maqbûl fî Radd Khabar al-Majhûl min Ghairi Sahâbat al-
Rasûl
- Fîqih
1. Irsyâd al-Sâ’il Ilâ Dalâ’il al-Masâil
2. al-Misk al-Fâtih fî Hat al-Jawâ’ih
3. al-Dur al-‘Âjil fî Daf‘ al-‘Adad al-Sâ’il
4. al-Dur al-nadîd fî ikhlâs kalimat al-tauhîd
28 Lebih lanjut lihat Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq
dan Takhrij Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir, Dâr al-Hadîts, 2007), juz 1, h. 23-26. Bisa dilihat pula
pada pendahuluan Fath al-Qadîr cetakan Mesir, Dâr al-Fikr, tahun 1973 bahwa karangan-karangan
Imam Syaukânî melingkupi berbagai ilmu pengetahuan agama, seperti kitab tafsir Fath al-Qadîr,
kitab Nail al-Autar, kitab Tuhfât al-Dzakirîn, kitab Irsyâd al-Siqât.
42
- Ushul Fîqih
1. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usul
2. Al-Qaul al-Mufîd fî Adillat al-ijtiha wa al-taqlîd
3. Adâb al-Talab wa Muntaha al-Arab
- Sastra
1. Bahts fî al-Nahl Mudah Ikhwanal su
2. Bahts fî ma Isyatahara ‘alâ al-Sunnah al-Nas Biannahu La’ahd
Lidalm
3. Bahts fî al-Salah ‘alâ al-Nabi Muhammad Saw.
- Sejarah (Târîkh)
1. Al-Qaul al-Hasan fî Lada’il Ahl al-Yumn
2. Al-Qaul al-Maqbûl fî Faidan al-Guyûl wa al-Suyûl
- Mantiq
1. Bahts fî Al-Had al-Tâm wa al-Had al-Nâqis
2. Fath al-Khilâf fî jawab mas’il ‘Abd al-Razâq al-Hind fî ‘Ilm al-
Mantiq
- Terjemah
1. Al-Badr al-Tali’ bi Mahâsin min Ba’d al-Qur’ân al-Sabi’.
D. Tafsir Fath al-Qadîr
a. Pengenalan Tafsir Fath al-Qadîr
Tafsir Fath al-Qadîr merupakan salah satu sumber utama dan menjadi
referensi penting, dikarenakan tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan
riwâyah. Dalam pendahuluan tafsir ini, dijelaskan bahwa tafsir ini disusun
pada bulan Râbi’ al-Awwal tahun 1223 H. Rujukan yang digunakan oleh
43
Imam al-Syaukânî dalam penyusunan kitab Fath al-Qadîr ialah Abû Ja’far
al-Nuhas, Atiyyah al-Dimasyqi, Ibnu Atiyyah al-Andalûsi, Qurtubi,
Zamaksyarî dan ulama-ulama lainnya.29
Sosok al-Syaukânî tidak bisa terluput dari perhatian kita terhadap kitab
tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min
‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Al-Syaukânî
merupakan salah satu ulama Yaman yang banyak menulis dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadits, fiqih, usl fiqh, sejarah, ilmu
kalam, filsafat, balaghah, mantiq, dan lainnya.
Dalam kata pengantar pada tafsir Fath al-Qadîr, Imam al-Syaukânî
menjelaskan latar belakang keinginan Imam al-Syaukânî dalam menulis
tafsir ini, adapun kata pengantarnya sebagai berikut:
شامال ملا لعباده من الحالل حكام ، عل كتابه املبين كافال ببيان الالحمد هلل الذي ج
والحرام ، مرجعا لآلعالم عند تفوت الفهام وتباين القدام وتخالف الكالم ، قاطعا
يا للسقام مرهما لآلوهام ، فهو العروة الوثقى التي من تمسك بها فاز للخضام شاف
الواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط ، والجادة القويم بدرك الحق
املستقيم .........30
“segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas
bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang
menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat
di antara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang
sakit, sekaligus penjelas bagi yag ragu kitab ini merupakan pegangan hidup
yang kokoh, siapa yang berpegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan
29 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Tahrij
Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h.31. 30 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Tahrij
Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h.29.
44
mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan
ditunjukkan kepada jalan yang lurus.”
Berdasarkan data diatas terlihat bahwa Imam al-Syaukânî bersemangat
untuk menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya, karena melihat
kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah, al-
Syaukânî mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar
jika beliau senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti
untuk mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari
kebenaran dan kepastian hukum.
Tafsir Fath al-Qadîr merupakan salah satu kitab tafsir yang cukup
penting dan tafsir ini juga salah satu kitab yanng mu’tabar di abad modern,
bukan hanya dikalangan Syi’ah Zaidiyah, namun juga dikalangan
Ahlussunnah wa al-jama’ah. Meskipun al-Syaukânî menganut Zaidiyah,
namun buku-bukunya dijadikan rujukan oleh para penulis modern Suni,
khususnya dibidang tafsir, hadits, dan usul fiqih.31
b. Pendekatan (Manhâj) dan Metode (Tariqoh) Tafsir Fath Al-Qadîr
Karya Imam al-Syaukânî
Nama tafsir Imam al-Syaukânî ialah Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Bain
Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari
nama tafsirnya saja sudah bisa kita ketahui bahwa pendekatan (manhâj)
31 Di antara sekian karya-karya al-Syaukânî, yaitu Fath al-Qadîr (tafsir), Nail al- Autâr
Syarh Muntaqâ al-Akhbâr (hadits), dan Irsyâd al-Fuhûl (usul fiqih). Hal yang menarik dari uraian
ketiga bukunya ini adalah bahwa ia menguraikan suatu persoalan secara objektif tanpa dibarengi
subjektifitas madzhabnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika para penulis kumpulan biografi
tokoh, seperti al-Marâghi (188-1945), ahli usul fikih dari Mesir dan penulis buku al-Fath al-Mubîn
fi Tabaqât al-Usûliyyîn (kumpulan tokoh biografi ushul fikih), mengemukakan bahwa unsur
Zaidiyah dalam kitab-kitab al-Syaukânî tidak terlihat sama sekali. Lihat lebih lanjut, Hasan Mu’arif
Ambary (et al.), pembaca ahli, Taufik Abdullah (ed.), Abdul Aziz Dahlan (et al.), Suplemen
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. 1, h. 189-190.
45
yang dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya al-Syaukânî menggunakan
dua pendekatan yaitu bi al-riwâyah 32 dan bi al- dirâyah.33
Tafsîr al-riwayah atau dalam sebutan lain tafsîr bi al-ma’tsûr ialah
tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an atau riwayat yang shahih.
Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al-Qur’an
dengan sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling
mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in.
Pada umumnya mereka menerimanya dari pada sahabat.34
Dalam al-Tibyân karya Muhammad ‘Alî al-Sabûnî dikataan bahwa
tafsîr al-riwâyah ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah
atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki
Allah Swt tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-Sunnah
Nabawiyyah. Dengan demikian tafsîr bi al-ma’tsûr adakalanya menafsirkan
al-Qur’an dnegan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan Sunnah
Nabawiyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat
sahabat.35
32 Tafsir al-riwâyah atau dengan sebutan lain tafsir bi al-ma’tsûr ialah tafsir yang terdapat
dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang
dikehendaki Allah Swt. Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-sunnah Nabawiyyah. Dengan
demikian, tafsir bi al-ma’tsûr adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau
menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang
dikutip dari pendapat sahabat. Lihat, Muhammad ‘Alî al-Sabunî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Damsyik: Maktabah al-Ghazâli, 1981), h.63. 33 Tafsir al-dirâyah atau dalam istilah lain bi al-Ra’yi, bi al-Ma’qûl ialah penafsiran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari segi
argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan sya’ir-sya’ir jahili serta mempertimbangkan
sebab nuzul dan lain-lain yang dibutuhkan oleh mufassir. Lihat, Muhammad Husein al-Dzahâbi, al-
Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz.1, h.295. 34 Manna’ al-Qattan, Mabahîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj. Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar,2014), cet.14, h. 434. 35 Muhammad ‘Alî al-Sabuni, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyik: Maktabah al-
Ghazali, 1981), h.63.
46
Sedangkan tafsîr bi al-dirâyah atau dalam istilah lainnya bi al-ra’yi.
Secara bahasa al-ra’yu berarti al-i’tiqâdu (keyakinan), al-‘aqlu (akal). Ahli
fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra’yi. Karena itu
tafsîr bi al-ra’yi disebut juga sebagai tafsîr bi al-’aqly dan bi al-ijtihâdi,
tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.36
Menurut istilah, tafsîr bi al-ra’yi adalah upaya untuk memahami nas al-
Qur’an atas dasar ijtiihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami
betul bahasa arab dari segala sisinya, memahami betul lafaz-lafaznya, dan
dalalahnya, mengerti syair-syair arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui
betul asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur’an, dan
menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.37
Secara selintas tafsir yang menggunakan pendekatan dirâyah lebih
berorientasi kepada penalaran yang bersifat ‘aqli (akal) dengan
menggunakan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya.
Itulah sebabnya mengapa ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai
tafsîr bi al-ra’yi. Begitu juga hanya dengan ijtihad dan tafsîr bi al-ra’yi yang
memungkinkan hasilnya akan benar dan salah.
Penulis menarik kesimpulan bahwa Imam al-Syaukânî menggunakan
kedua pendekatan ini yaitu dengan pendekatan bi al-riwâyah dan bi al-
dirâyah, yang mana ini akan membuat tafsir Fath al-Qadîr semakin mapan
atas kajian yang dilakukan Imam al-Syaukânî.
36 Anshori, Ulumul Qur’an, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2016), h.174. 37 Husein al-Dzahâbi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbab, 2003),
jilid 1, h. 183.
47
Di dalam pendahuluan tafsir Fath al-Qadîr terdapat perkataan al-
Syaukânî yang membuat penulis semakin yakin tujuan da manfaat Imam al-
Syaukânî menggunakan dua pendekatan ini. Imam al-Syaukânî
mengatakan:
“Pada dasarnya para mufassir berbeda pendapat pada dua masalah,
mereka mengambil jalan atas dua cara: golongan yang pertama adalah
para mufasir yang memakai pendekatan riwayah, kedua adalah ulama
yang memakai pendekatan dirayah yang membahas hanya sebatas
telaah bahasa dan kandungan isinya tanpa melirik segi periwayatannya
dan kalaupun mereka mencamtukan hanya sebatas pelengkap, masing-
masing kelompok, yang menganggap pendekatan yang mereka gunakan
adalah benar, padahal menurut hemat saya (al-Syaukânî) kedua metode
di atas bisa saling melengkapi satu sama lain”
Dalam perkataannya bisa dipahami bahwa ketika menafsirkan al-
Qur’an kemudian menggunakan kedua pendekatan tersebut akan
menjadikan keduanya saling melengkapi satu sama lain, harapan inilah yang
al-Syaukânî pakai selama ini yaitu dengan cara meneliti buku-buku tafsir
yang bertentangan satu sama lain mulai dari segi makna, i’rab dan
balaghahnya. Selain itu berusaha untuk menunjukkan penafsiran-penafsiran
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in dan
imam-imam yang dapat dipercaya.
48
Adapun dengan metode al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qadîr
ialah menggunakan metode tahlîlî. Para ulama tafsir membagi metode tafsir
menjadi empat bagian: tahlîlî38, ijmâli39, muqarran40, maudû’î41.42
Penulis bisa katakan bahwa al-Syaukânî menggunakan dua pendekatan
(manhâj), yakni riwâyah dan dirâyah seperti yang tertulis dalam nama
tafsirnya. Sedangkan metode yang bisa dipahami dari penafsiran al-
Syaukânî di atas, adalah lebih kepada metode tahlîlî. Dikatakan tahlîlî
karena al-Syaukânî melakukan penafsiran dari awal surat, sampai surat
terakhir, indikasi lain adalah karena al-Syaukânî menggunakan penelaahan
secara bahasa, munasabah ayat atau surat, dan asbâb al-nuzûl.
38 Metode tahlîlî adalah salah satu cara kerja penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan
runtutan ayat dan surat yang terdapat dalam al-Qur’an, serta menjelaskan hal-hal yang berhubungan
dengan setiap ayat, baik berupa makna, kosa kata, gramatika, sastra, huum, sebab-sebab turunnya
ayat dan yang lainnya. Metode ini oleh Baqîr al-Shadr dinamakan sebagai metode tajzî’î. Lihat lebih
lanjut, Muhammad Baqîr al-Shadr, al-Tafsîr al-Maudû’î wa al-Tafsîr al-Tajzî’î Fi al-Qur’ân al-
Karîm, (Bairût: Dar al-Tatuf Al-Matbû’ât, 1980), h.10. 39 Metode ijmâli adalah suatu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, dimana penjelasan yang
dilakukan cukup singkat dan global. Dengan kata lain penafsiran dengan metode ini berusaha
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi dengan menggunakan bahasa yang populer,
mudah dimengerti dan enak dibaca. Di samping itu, penyajian tafsir yang menggunakan metode
ijmâli tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-
akan masih tetap mendengar al-Qur’an. Lihat lebih lanjut, Fahd Ibn ‘Abd al-Rahmân al-Rûmi,
Bûhûts Fi Usul al-Tafsîr wa Manâhijuhu, (t.tp: Maktabah al-Taubah, t.th.),h.59. 40 Muqarran merupakan suatu metode penafsiran yang mengumpulkan berbagai
keterangan-keterangan tentang penafsiran sebuah ayat yang masih dalam suatu pembahasan baik
berupa ayat- al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dengan hadis, pendapat sahabat, tabiin, para mufassir
atau bahakan dengan kitab-kitab samawî (Taurat dan Injil), kemudian membandingkan dan
menyeleksinya dengan menggunakan dalil-dalil lain. Lihat lebih lanjut, Fahd Ibn ‘Abd al-Rahmân
al-Rûmi, Bûhûts Fi Usul al-Tafsîr wa Manâhijuhu, (t.tp: Maktabah al-Taubah, t.th.),h.60. 41 Metode maudu’i disebut juga tafsir tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-
tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an. Al-Farmawî dalam membahasa metode ini membagi
menjadi dua macam. Pertama, membahas ayat al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan
menjelaskan maksud-maksud umum dan khusus secara garis besar. Kedua, menghimpun dan
menyusun ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan
penjelasan dan mengambil kesimpulan. Lihat, ‘Abd al-Hayy al- Farmawî, al-Bidâyah Fî al-Tafsîr
al-Maudu’i, (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1997), h.26.
Dalam karya ini, penulis menitik beratkan metode maudu’i. Dalam hal ini penulis
membahas ayat-ayat mutasyâbihât, kemudian penulis akan mencari kesamaan ayat dan tema yang
terdapat dalam al-Qur’an. Setelah itu penulis akan menjelaskan dan mengambil kesimpulan. 42 Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (Kediri: Lirboyo Press, 2013),
cet. ke-3, h.226
49
BAB IV
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATH
AL-QADÎR KARYA IMAM SYAUKÂNÎ
Sebelum penulis memaparkan penafsiran pandangan Imam al-Syaukânî
mengenai ayat mutasyâbihât, terlebih dahulu penulis akan memaparkan bagaimana
pandangan Imam al-Syaukânî ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât.
Imam al-Syaukânî memberikan penjelasannya dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl, sebagai
berikut:
“Tentang teks yang dapat di ta’wîl, yaitu ada dua bagian. Pertama, teks
yang berkaitan dengan furu’ (cabang dan ranting) yang sebagian besar
memang di-ta’wîl, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh kalangan ulama.
Kedua, teks-teks yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok agama) seperti
akidah, dasar-dasar agama dan sifat-sifat Allah Swt. Para pakar berbeda
pendapat mengenai bagian kedua ini menjadi tiga aliran. Pertama,
kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh di-ta’wîl,
tetapi diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan tidak boleh
melakukan ta’wîl apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah
(faham yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Kedua, kelompok
yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh di-ta’wîl, tetapi kami
menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari
menyerupakan (Allah dengan makhluk-Nya) dan menafîkan (sifat-sifat
yang ada dalam teks-teks tersebut), karena fîrman Allah, “tidak ada yang
mengetahui ta’wîlnya melainkan Allah”. Ibn Burhan berkata, ini adalah
pendapat ulama salaf. Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-
teks tersebut harus di ta’wîl. Ibn Burhân berkata, madzhab yang pertama,
dari ketiga madzhab ini adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua
madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi Saw. Bahkan madzhab
yang ketiga ini diriwayatkan dari Sayidina 'Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan
Ummu Salamah.1
Perlu diketahui bahwasannya sifat-sifat Allah banyak diperdebatkan oleh
para ulama dan aliran kalam. Perdebatan tentang sifat-sifat Allah terbatas pada
persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak. Al-Syaukânî dalam tafsirnya
1 Muhammad bin ‘Alî al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul,
(Bairût: Dâr al-Fikr, t.th), h. 176.
50
membicarakan masalah-masalah yang diperdebatkan dalam sifat-sifat Allah, yakni:
tasybîh (antrpomorfîsme), ru’yatullah (melihat Allah), dan khalq al-Qur’ân (al-
Qur’anqadîm atau baharu). Oleh karena itu sesuai dengan pembatasan dan
perumusan masalah maka penulis hanya meneliti masalah sifat Allah pada cabang
tasybih (antropomorfîsme).
Penulis akan membahas ayat-ayat tersebut yang di mana ayat ini jika tidak
dipahami dengan metode-metode tertentu akan mengalami keganjalan. Seperti,
yadullah yang artinya tangan Allah. Jika dipahami secara bahasa saja ini akan
membuat orang berpikir bahwa Allah memiliki tangan. Sebagaimana diketahui,
masalah anthropomorphisme atau ayat mutasyâbihât banyak diperdebatkan.
Apakah ayat yang menggambarkan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat jasmani,
cukup dipahami dalam makna harfîyahnya, ataukah harus dipahami dalam makna
metaforanya? Kemudian, bagaimana penafsiran al-Syaukânî mengenai hal ini?
A. Kelompok Ayat Mutasyâbihât
TERM AYAT AL-QUR’AN KETERANGAN
al-‘Arsy dan
Istawâ
QS. al-A’râf (7) 54;
QS. al-Taubah (9)129;
QS. Yunus (10) 3;
QS. Hûd (11) 7;
QS. al-Ra’d (13) 2;
QS. Tâhâ (20) 5;
QS. al-Anbiy â’ (21) 22;
QS. al-Mu’minûn (23)
86;
QS. al-Furqân (25) 59;
QS. al-Naml (27) 23,26;
QS. al-Sajadah (32) 4;
QS. al-Zumar (39) 75;
QS. Ghâfîr (40) 15;
QS. al-Hadîd (57) 4;
Tahta atau singgasana
Tuhan disebut ‘arsy.
Kata dasarnya dalam
bahasa Arab adalah
‘arasya-ya’risyu-
‘arsy, yang berarti
bangunan, singgasana,
istana, atau tahta. Arsy
merupakan salah satu
persoalan yang
diperbincangkkan
para mutakallimin
yakni apakah arsy itu
bersifat fisik/materil
51
QS. al-Haqqah (69) 17.2
atau
nonfisik/immateril.3
‘Ain QS. Hûd (11) 37;
QS. Tâhâ (20) 39;
QS. al- Mu’minûn (23)
27;
QS. Tur (52) 48;
QS. Qomar (54)14.4
‘Ain yang terdapat
dalam kamus Arab-
Indonesia5 diartikan
sebagai mata/alat
penglihatan bagi
manusia. Pada ayat
yang terdapat di
samping menunjukkan
arti yang di sandarkan
kepada Allah.
Wajh
QS. Alî Imrân (3) 73;
QS. al-Mâidah (5) 64;
QS. Yâsîn (36) 83;
QS. Sad (38) 75;
QS. al-Zumar (39) 67;
QS. Fath (48) 10;
QS. al-Hujûrat (49) 1;
QS. al-Hadîd (57) 29;6
Yad yang berarti
tangan7. Jika merujuk
kepada manusia maka
tangan manusia ada 2,
kanan dan kiri. Dalam
bahasa Arab tangan
kanan yaitu yamîn8
dan tangan kiri adalah
syimâl9. Ada juga ayat
al-Qur’an yang
menunjukkan yamîn
sebagai sumpah.
2 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts
al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 491-492. 3 Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), vol.1,
h.199-200. 4 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts
al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 537 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2010), h.290. 6 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts
al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 791. 7 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2010), h.510. 8 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2010), h.512. 9 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2010), h.207.
52
Dalam hal ini, penulis
meneliti dan merujuk
kepada kitab Fath al-
Rahmân untuk
mencari tangan kanan
atau kiri yang
disandarkan
maknanya kepada
Allah.
jâ’a Rabbuka QS. Fajr 22.10
Memiliki arti “Telah
datang Tuhanmu”
al-Janbu
(lambung)
QS. al-Zumar 56.11
Ayat yang
disandarkan kepada
Allah hanya terdapat
pada satu surat saja.
Tabulasi di atas menyatakan bahwa ayat-ayat diatas adalah ayat sifat yang
disandarkan kepada Allah, maka penulis akan meneliti ayat-ayat tersebut menurut
penafsiran Imam al-Syaukânî dalam Tafsir Fath al-Qadîr yang diantaranya ;
1. Istawâ’ al-arsy : QS. al-A’raf 54, QS. Tâhâ 5
2. ‘Ain : QS. Tâhâ 39, QS. Hûd 37
3. Wajh : QS. al-Qasas 88, QS. al-An‘âm 52, QS. al-Rahmân 77
4. Yad : QS. al-Zumar 67, QS. Sad 27
5. jâ’a Rabbuka: QS. al-Fajr 22
6. Al-Janbu : QS. al- Zumar 56
10 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts
al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 167. 11 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts
al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 156
53
B. Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyâbihât menurut Imam al-Syaukânî
a. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai
term istawâ’
Kata istawâ’ dalam al-Qur’an terdapat pada 9 tempat, diantaranya
adalah surah al-Baqarah ayat 29, al-A’râf ayat 54, Yûnus ayat 3, al- Ra‘d
ayat 2, Tâhâ ayat 5, al-Furqân ayat 59, al-Sajdah ayat 4, Fusilat ayat 11, al-
Hadîd ayat 4.12
Salah satu ayat al-Qur’an yang mengandung kata “istawâ’” yang di
tafsirkan oleh Imam al-Syaukânî adalah QS. al-A’râf (7): 54.
ية أ رض في ست
ت وٱل و م ق ٱلس
لذي خ
ه ٱل
م ٱلل
ك ام إن رب عرش
ى ٱل
م ٱستوى عل
ث
ج قمر وٱلنمس وٱل ا وٱلش
بهۥ حثيث
لهار يط يل ٱلن
ي ٱل ش
ه يغ
ل
ل
مرهۦ أ
ت بأ ر وم مسخ
مين ل ع
ه رب ٱل
بارك ٱلل
ت
مر
ق وٱل
لخ
ٱل
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-
masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”
،ثم استوى على العرش": قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قول
وأحقها وأولها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه استوى سبحانه عليه بال كيف
بل على الوجه الذي يليق به مع تنزهه عما ل يجوز عليه13
12 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jâm al-Mufahrâs li al-Faz al-Qur’ân al-Karîm,
(Dâr al-Fikr: 1414 H/1994 M), h. 473.
13 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan Takhrîj Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 269.
54
Artinya: Sesungguhnya para ulama telah berbeda pendapat
tentang makna ini “Tuhan bersemayam di atas ‘arasy’ atas empat belas
pendapat, yang paling benar dan paling dekat dengan yang seharusnya
adalah paham salaf yang saleh, yaitu Allah Swt. bersemayam, tanpa
(diketahui) caranya, tetapi dalam proporsi yang layak dengan-Nya serta
(dalam) ketransendenan-Nya dari segala yang tidak boleh atas (diri)-
Nya”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah adalah Rabb yang telah
menciptakan alam ini diantaranya langit, bumi dan juga seisinya dalam
enam hari. Di dalamnya lah seluruh penciptaan diselesaikan dan di
dalamnya pula Nabi Adam diciptakan. Setelah itu, Allah bersemayam di
atas Arsy. Allah berkuasa dan mengatur segala yang diciptakan-Nya,
sehingga berfungsi sebagaimana yang Dia kehendaki. Al-Syaukânî dalam
menafsirkan bersemayamnya Allah di atas Arsy, dengan tanpa diketahui
caranya.
Kemudian Imam al-Syaukânî juga menafsirkan penggalan ayat “alâ al-
‘arsyi istawâ” yang terdapat dalam surat Tâhâ ayat 5,
عرش ٱستوىى ٱل
ن عل حم ٱلر
Al-Syaukânî yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dengan tahrif
dan ta’wîl, adapun penafsirannya sebagai berikut:
الرحمن على العرش استوى قال أحمد بن يحيى: قال ثعلب: الستواء اإلقبال على
الش يء، وكذا قال الزجاج والفراء. وقيل هو كناية عن امللك والسلطان، والذي ذهب
إليه أبو الحسن الشعري أنه سبحانه مستو على عرشه بغير حد ول كيف، وإلى هذا
55
الذي يروون الصفات كما وردت من القول سبقه الجماهير من السلف الصالح
دون تحريف ول تأويل14
Artinya: “Arrahmân ‘alâ al-arsy istawâ” Ahmad bin Yahya
berkata: Sa’lab berkata: bersemayam atas sesuatu sebagaiaman al-
Zujaz dan al-Farra berkata. Dan menurut satu pendapat, istawâ adalah
kinâyah atas raja dan penguasa. Yang sependapat dengannya adalah
Abû Hasan Al-Asy’ari karena Allah Swt menduduki arsy’-Nya tanpa
batas dan sekendak-Nya, sesuai dengan pendapat ini adalah Imam al-
Jamahir dari kalangan ulama salaf yang menjelaskan tentang sifat-sifat
Tuhan dengan tanpa tahrîf dan ta’wîl”.
Ayat ini mengabarkan sifat Allah yaitu al-Rahmân Tuhan Yang Maha
Pemurah. Kemudian Allah yang bersemayam yang dapat berkuasa penuh di
atas arsy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya Kemudian al-Syaukânî
berpendapat, bahwa kata istawâ di kinayahkan dengan raja. Jadi bisa
dipahami bahwa istawâ ‘ala al-‘arsy yakni Allah memiliki kerajaan dan
berkuasa menduduki arsy-Nya tanpa batas dan sekehendak-Nya Allah.
Yang jelas, hakikat makna tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia.
b. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai
term ‘ain
Dalam Mu’jam al-Wasit kata ‘ain memiliki banyak makna, di antaranya
mata, bagian anggota tubuh yang memiliki fungsi melihat baik untuk
manusia atau selainnya, sumberan, al-jasus (mata-mata), pemimpin tentara,
dan zat sesuatu/esensi.15 Adapun kata ‘ain disebutkan sebanyak 61 kali dan
14 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan Takhrîj Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 449. 15 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasit, (Mesir: Maktabah al-Shurûq al-
Dauliyah, 2008), h.663.
56
4 diantaranya adalah menunjukkan pada mata Allah, yaitu QS. Hûd (11):
37, QS. al-Mu’minûn (23): 27, QS. Tur (52): 48, QS. al-Qamar (54): 14.16
Selain kata istawâ, Imam al-Syaukânî juga mengurai kata ‘ain dalam
surat Tâhâ 39
ي وعدو
ل
ه عدو ذ
خ
احل يأ يم بٱلس
قه ٱل
يل
ل ف
يم ذفيه في ٱل
ٱق
ابوت ف ذفيه في ٱلت
ن ٱق
أ
ى عيني ي ولتصنع عل
ن م
ة يك محب
قيت عل
لهۥ وأ
ل
Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian
lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke
tepi, supaya diambil oleh (Fîr’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku
telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan
supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.”
Imam al-Syaukânî juga mengurai kata ‘ain dalam surat Tâhâ 39 yang
dinisbahkan kepada Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an, dipahami oleh al-
Syaukânî sebagai di bawah pangkuan-Ku, sebagaimana penafsiran al-
Syaukânî sebagai berikut:
ولتصنع على عيني أي ولتربى وتعذى بمرأى مني ، يقال صنع الرجل جاريته : إذا
رباها ، وصنع فرسه : إذا داوم على علفه والقيام عليه , وتفسير على عيني بمرأى
مني صحيح17
“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku” yakni agar kamu
dididik dibawah pangkuanku, dikatakan seseorang mengasuh
tetangganya, ketika mendidik dan menggembala kudanya, serta
memberi makan kudanya, penafsiran kata “ain” dengan dibawah
pangkuanku itu adalah riwayat yang shohih”.
16 Fu’ad ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahrâs li alfaz al-Qur’ân, (Dâr al-Fikr 1414
H/1994 M), h. 629. 17 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid 3, h. 458.
57
Ayat ini menjelaskan peristiwa yang terjadi kepada Nabi Musa as.
Ketika itu, ibunda dari Nabi Musa as diperintahkan oleh Allah untuk
meletakkan bayi Musa dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai Nil.
Kemudian Allah memberikan karunia kepada bayi Musa agar selamat dari
rencana Fir’aun. Karunia tersebut adalah perintah meletakkan dan
menghanyutkan Nabi Musa, kemudian Allah melimpahkan kasih sayang
yang tulus kepada Musa dan kasih sayang tersebut ditanamkan ke dalam
setiap hati orang yang memandangnya dan karunia yang lainnya adalah
diasuhnya Musa di istana Fir’aun di bawah pengawasan Allah Swt. Al-
Syaukânî menafsirkan ‘ain dengan di bawah pangkuan-Ku. Artinya Nabi
Musa diasuh oleh Istri Fîr’aun laksana mengasuh anaknya sendiri.
Imam al-Syaukânî juga memberikan penafsiran kata ‘ain yang terdapat
pada surat QS. Hûd (11): 37.
ذطبني في ٱل
خ
ت
عيننا ووحينا ول
ك بأ
فل
هموٱصنع ٱل إن
موا
لون ين ظ
رق
غ م
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu
Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang
zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”
Dalam tafsir Fath Al-Qadîr, Imam al-Syaukânî mengatakan
أى اعمل السفينة متلبسا بأعيننا أى : بمرأى منا ، واملراد بحراستنا لك وحفظنا
لك ، وعبر عن ذلك بالعين لنها آ لة الرؤية هى التى تكون بها الحراسة الحفظ في
الغالب ، وجمع العين للتعظيم ل للتكثير ، وقيل املعنى) بأعيننا( أى بأعين مالئكتنا
58
لى حفظك ، وقيل )بأعيننا( بعلمنا ، وقيل : بأمرنا ومعنى الذين جعلناهم عيونا ع
بوحينا : بما أوحينا إليك من كيفية صنعتها18
Artinya “ (dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan
petunjuk wahyu kami) maksudnya adalah buatlah perahu dengan
pengawasan Kami terhadapmu. Ini diungkapkan dengan lafaz al-
a’yun (yang secara harfîyah berarti mata), karena alat untuk melihat
dan dengan melihat itu bisa dilakukan pengawasan dan penjagaan.
Penggunaan bentuk jamak yakni al-a’yun sebagai bentuk jamak dari
aynun adalah sebagai pengagungan dan bukan untuk penunjukkan
banyak. Satu pendapat menyebutkan bahwa kata bi a’yuninâ adalah
dengan pengawasan para malaikat Kami yang Kami jadikan mereka
para pengawas untuk menjagamu. Pendapat lain menyebutkan
bahwa makna bi a’yuninâ adalah dengan sepengetahuan Kami, dan
ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah dengan perintah
Kami.”
Ayat ini menceritakan kaum Nabi Nuh yang enggan beriman kepada
Allah, kemudian Allah memerintahan Nabi Nuh untuk membuat
bahtera/perahu. Nabi Nuh menjalankan perintah Allah dengan membuat
bahtera tersebut dalam pengawasan Allah. Imam al-Syaukânî menjelaskan
pada kajian balaghah dan arti mufradat bahwa lafaz bi a’yuninâ diartikan
sebagai “pengawasan Kami” ketika Nabi Nuh membuat bahtera tersebut.
Adapun penggunaan bentuk jamak yakni al-a’yun dari asal kata ‘ainun
adalah sebagai pengagungan terhadap Allah dan bukannya untuk
menunjukkan arti banyak. Ada juga yang berpendapat bahwa bi a’yuninâ
adalah sebagai pengetahuan, dan perintah.
18 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid 2, h. 626.
59
c. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai
term Wajh
Dituturkan dalam kamus al-Mu’jam al-Wasit bahwa makna wajh
adalah Sayyid dan Syarîf yang bermakna yang mulia. Di samping itu ia juga
bermakna bagian dari kepala yang terdapat dua mata, mulut, dan hidung.
Bisa juga bermakna setiap yang menghadap dari segala sesuatu, zat,
permulan waktu, yang tampak, arah yan ada pintunya, arah dan sisi.19
Kata wajh dengan berbagai derivasinya disebutkan di al-Qur’an
sebanyak 76 kali, 11 kali menujuk pada wajah Allah, yaitu QS. al-Baqarah
(2): 115 dan 272, QS. An‘âm (6): 52, QS. al-Ra’d (13): 22, QS. al-Kahf (18):
28, QS. al-Rûm (30): 22 dan 38, QS. al-Rahmân (55): 27, QS. al-Insân (76):
9, QS. al-Insân (76): 9 dan lain-lain.20
Dalam kamus Bahasa Indonesia, arti wajah adalah sebagai bagian
depan dari kepala. Sebagaimana contoh, ketika aku datang tampak wajah
ibu berseri-seri.21 Ini mengartikan bahwa wajah dalam KBBI menunjukkan
anggota tubuh yang ada pada manusia. Penulis juga menemukan makna
wajh dalam kalimat “li wajhillah” yang bermakna “karena mengharapkan
keridhaan-Nya.22 Makna dalam kamus yang mengartikan kata “wajh” ini
adalah keridhaan Allah kepada hamba-Nya. Hal ini juga penulis temukan
dalam kamus Arab-Indonesia lainnya, yang menyatakan bahwa kalimat “li
19 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasit, (Mesir: Maktabah al-Shurûq al-
Dauliyah, 2008), h.1057.
20 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz al-Qur’ân al-Karim,
(Bairût: Dâr al-Fikr, 1992), h.936. 21 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2008), edisi ke-4, h. 1553. 22 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2010), h.495.
60
wajhillah” adalah “li mardhatillah” yaitu untuk mengharapkan keridhaan
Allah.23
Al-Syaukânî menafsirkan “wajh” dalam surat al-Qasas ayat 88, sebagai
berikut :
يء
ل ش هو ك
ه إل
إل
ر ل
ها ءاخ
ه إل
دع مع ٱلل
ت
ول
يه وجههۥهالك إل
م وإل
حك
ه ٱل
ل
رجعون ت
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah,
tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-
Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan”
قالت املالئكة :هلك أهل "كل من عليها فان" وأخرج ابن مردويه عنه قال : ملا نزلت :
قالت املالئكة هلك كل نفس ، فلما "كل نفس ذائقة املوت" الرض ، فلما نزلت :
قالت املالئكة : هلك أهل السماء والرض ، وأخرج "كل ش ىء هالك إل وجهه" نزلت :
قال : إل ما أريد به "كل ش ىء هالك إل وجهه" عبد بن حميد عن ابن عباس
وجهه24
Imam Mardawih ikut mentakhrij ketika turun ayat “semua yang ada
di muka bumi ini akan binasa”. Malaikat berkata: celakalah penduduk bumi,
maka ketika turun ayat “setiap orang akan merasakan kematian”
malaikatpun berkata celakalah setiap orang, dan ketika turun ayat “Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” Malaikat berkata lagi celakalah
penduduk langit dan penghuni bumi. Dan Imam Abd bin Hamid dari Ibnu
Abbas mentakhrij “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” dia
menafsirkan dengan “kecuali sesuatu apa yang Allah kehendaki”.
23 Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum
Pondok Pesantren Krapyak, t.th), h. 2003.
24 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 228.
61
Dari penafsiran al-Syaukânî di atas, memberikan titik terang bahwa
ayat ini melukiskan bahwa segala sesuatu akan binasa, harta, kedudukan,
kekuasaan, dunia, dan bahkan segala penghuninya bahkan alam raya dan
segala isinya, penduduk langit dan bumi. Baik yang kita ketahui atau tidak.
Dan yang tinggal hanya Allah. Kepada-Nya segala sesuatu akan kembali
dan tiada tempat berlindung kecuali Allah semata. Dan al-Syaukânî
mengakhiri penafsirannya, “tiap-tiap sesuatu pasti binasa” dengan kecuali
sesuatu yang Allah kehendaki.
Kemudian al-Syaukânî menafsirkan kata wajh pada surat al-An‘âm ayat
52
يريدون ي عش
ة وٱل دو
غ
هم بٱل ذين يدعون رب
رد ٱل
ط
ت
ۥ وجههول
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki
keridhaan-Nya.”
al-Syaukânî menafsirkan ayat tersebut, sebagaimana dalam kitabnya
Fath al-Qadîr yaitu :
على الحال ، واملعنى أنهم مخلصون فى عبادتهم ، ل )يريدون وجهه( فى محل نصب
يريدون بذالك إل وجه هللا تعالى يتوجهون بذلك إليه ل إلى غيره25
Artinya : يريدون وجههۥ( sedang mereka menghendaki keridhaan-
Nya) berada pada posisi nashab sebagai hal (keterangan kondisi),
maknanya adalah mereka ikhlas dalam beribadah, tidak ada yang
mereka harapkan selain keridhaan Allah, yaitu dengan itu mmereka
hanya menghadap kepada-Nya, tidak kepada selain-nya”.
25 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 154.
62
Imam al-Syaukânî menafsirkan wajh pada ayat ini sebagai keridhaan-
Nya.26 Maksud dari keridhaan-Nya adalah orang yang memelihara shalat
jama’ah, memelihara dzikir, membaca al-Qur’an, orang yang berdoa kepada
Allah,orang yang ikhlas dalam beribadah dan orang yang dzikir pada pagi
hari dan petang hari secara rutin dan terus menerus dialah orang yang
mendapatkan keridhaan dari Allah.
Namun tidak semua ayat wajh menunjukkan makna sebagai tempat
yang diridhai Allah atau dengan makna keridhaan Allah seperti halnya
dalam surat al-Rahmân ayat 27 :
لجل
و ٱل
ك ذ
رام ويبقى وجه رب ك
وٱإل
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan”
الوجه : عبارة عن ذاته سبحانه ووجوده...27
Ayat ini ditafsirkan oleh Imam al-Syaukânî sebagai Dzat Allah.
d. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai
term yad
Kata yad banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an baik yang
disandarkan kepada Allah Swt, seperti lafaz yadullah, atau disandarkan
kepada manusia seperti kata fauqo aydihim. Dalam kamus Fath al-Rahmân
disebutkan kata yad dalam al-Qur’an terdapat 90 ayat lebih.28
26 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, terj. Amir hamzah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jilid III, h.702 27 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 162.
28 ‘Alami Zadah Fayd al-Lah Ibn Musa al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Talîb
ayat al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), cet.1, h.791-793.
63
Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasit yad memiliki arti salah satu bagian
anggota tubuh dari bahu sampai ujung jari jemari. Apabila digunakan untuk
baju dan semisalnya maka kata yad artinya lengan baju. Selain makna diatas,
yad juga bisa bermakna al-ni’mah (kemikmatan), al-ihsan (kebaikan), al-
sultân (kekuasaan), al-qudrah (kemampuan), al-quwwah (kekuatan), al-
milk (kepemilikan), al-ta’ah (ketaatan), al-istilam (kepasrahan).29
Penulis juga menemukan lafaz yad yang mengandung sifat Allah
terdapat dalam al-Qur’an : QS. Âli ‘Imran (3): 73, QS. al-Mâ’idah (5): 64,
QS. al-Fath (48): 10, al-Hadîd (57): 29, QS. Yâsîn (36): 83, al-Hujurat (49):
1, QS. Sad [38]: 37, dan lain-lain. 30
Dalam menafsirkan surat al-Zumar ayat 67 yang didalamnya terdapat
kata biyamînih (tangan kanan).
توي
ت مط و م مة وٱلس قي
بضتهۥ يوم ٱل
رض جميعا ق
درهۦ وٱل
ه حق ق
ٱلل
دروا
وما ق
ون رك
ا يش ى عم
ل ع
نهۥ وت
بيمينهۦ سبح
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan
yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya
pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.
Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan”
Sebagaimana al-Syaukânî menafsirkannya sebagai berikut:
29 Majma’ al-Lughah al’arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasit,(Mesir: Maktabah al-Syurûq Al-
Dauliyyah, 2008), cet.4, h. 1107. 30 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’ân al-Karim,
(Bairût: Dâr al-Fikr, 1992), h.473.
64
والسموات مطويات بيمينه ، فإنه ذكر اليمين للمبالغه فى كمال القدرة كما يطوى
العرب قد تكون بمعنى الواحد منا الش يء املقدور له طيه بيمينه ، واليمين فى كالم
31القدرة وامللك
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan
tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam
kekuasaanya, sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu
dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya dalam bahasa Arab
bermakna kekuasaan dan kerajaan.
Ayat ini mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan bahwa
mereka itu mengetahui dan tidak mengangungkan Allah sebagaimana
mestinya, karena mereka menyekutukan Allah dengan yang lain. Padahal
bumi dengan segala isinya berada dalam genggaman Allah, dan langit
dengan seluruh lapisannya berada tangan kanan-Nya. Al-Syaukânî
memahami yamînih sepertinya secara metafora dalam arti kekuasaan atau
kerajaan. Sepertinya yang dimaksud di sini adalah kekuasaan Allah Swt.
Dalam ayat lain yang mnggandung kata yad juga ditafsir oleh Imam al-
Syaukânî dalam surat Sad (38) : 75
البق
ستك
أ
قت بيديلا خ
سجد مل
ن ت
إبليس ما منعك أ
عالين ينت من ٱل
م ك
رت أ
“Allah berfîrman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah
kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-
orang yang (lebih) tinggi?"
Imam al-Syaukânî menafsirkan QS. Sad (38) : 75 sebagai berikut:
أى ماصرفك و صدك عن : قال يا إبليس ما منعك أن تسجد ملا خلقت بيدي
سه تكريما له السجود ملا توليت خلقه من غير واسطة ، وأضاف خلقه إلى نف
31 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 565.
65
وتشريفا مع أنه سبحانه خالق كل ش ىء، كما أضاف إلى نفسه الروح والبيت والناقة
واملساجد32
“Allah berfîrman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni
apa yang membuat kamu enggan dan membangkan untuk berusujud
terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan
kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemuliaan, sebagaimana Allah
adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa,
rumah, onta serta masjid-masjid.”
Imam al-Syaukânî memaknai yadai disini adalah tanpa adanya
perantara. Allah menciptakan seorang hamba tanpa adanya bantuan atau
perantara lain.
e. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai
term Jâ’a Rabbuka
Dalam kamus al-Munawwir disebutkan lafaz (جاء) berarti datang.33
Datang diartikan hadirnya seseorang dalam suatu tempat, atau di tengah
perkumpulan. Dalam surat al-Fajr ayat 22 terdapat kata (جاء) yang
disandarkan kepada Allah Swt, yang memberikan kesan bahwa Allah datang
seperti layaknya datangnya manusia ke dalam sebuah perkumpulan atau
suatu tempat.
Imam al-Syaukânî memberikan penafsiran pula pada kata jâ’a Rabbuka
(telah datang Tuhanmu) dalam ayat 22 surat al-Fajr (89), al-Syaukânî
menafsirkan sebagai berikut:
32 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), j.IV, h. 528. 33 Achmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007), cet, 1, h. 217
66
املعنى: أنها زالت الشبه وقضاؤه وظهرت اياته ، وقيل : جاء أمره" وجاء ربك " أى :
فى ذلك اليوم وظهرت املعارف وصارت ضرورية كما يزول الشك عند مجىء الش ىء
الذى كان يشك فيه ، وقيل : جاء قهر ربك وسلطانه وانفراده بالمر والتدبير من
صفا انتصاب )"وامللك صفا صفا" دون أن يجعل إلى أحد من عباده شيئا من ذلك
صفا( على الحال ، أى : مصطفين ..34
“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya
dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang mengartikan “bahwasannya
hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-
keterangan itu sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika
datang sesuatu yang membuat dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan
datanglah yang memaksamu atas perintahnya “dan sedang malaikat
berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan karena sebagai hal
posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris.”
Al-Syaukânî memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu”
yakni Allah datang dengan segla perintah dan ketentuan-Nya, tanpa harus
memikirkan bagaimana caranya Allah datang/hadir. Datangnya Allah ini
akan terjadi pada hari kiamat, yaitu Allah datang dengan segala ketentuan-
Nya dan seluruhnya akan terliat jelas bukan Dzat-Nya Allah secara
langsung. Dalam hal ini Imam al-Syaukânî menta’wil ayat tersebut dengan
makna metafora/majazi.
34 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid V, h. 522.
67
f. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai
term al-Janb
Lafaz al-Janb ( yang dinisbahkan kepada Allah terdapat hanya ( الجنب
satu yaitu pada QS. al-Zumar [39]: 56.35 al-Janb ( الجنب) disebutkan dalam
kamus al-Munawwir berarti lambung yang menandakan anggota tubuh
bagian dalam yang menempel dengan tulang rusuk.36
Dalam al-Qur’an penulis mendapati ayat yang menyebutkan kata “al-
janb” (lambung) yang disandarkan kepada Allah, yaitu pada QS. Al-Zumar
[39]: 56:
نته وإن ك
ب ٱلل طت في جن ر
ى ما ف
ى عل
حسرت فس ي
قول ن
ن ت
خرين أ
ن ٱلس مل
“supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar
penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap
Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang
memperolok-olokkan (agama Allah)”
Imam al-Syaukânî menafsirkan kata “ dengan keta’atan. Jadi ” جنب هللا
yang dimaksudkan ayat ini adalah “alangkah ruginya aku telah lalai dalam
ketaatanku terhadap Allah”.37
35 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts
al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), cet.1, h.491, 537 dan 756. 36 Achmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007) h. 491 37 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 560.
68
C. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât menurut Imam al-
Syaukânî dengan Mufassir Lain
a. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir
lain mengenai term istawâ
Imam al-Syaukânî memaknai istawâ dalam QS. al-A’râf (7): 54 yaitu
bersemayam tanpa diketahui caranya. Menurut Imam al-Syaukânî ini adalah
pendapat yang paling benar dan paling dekat dengan paham yang saleh.
Sama halnya dengan penafsiran Ibnu Katsir38 dalam tafsirnya al-Qur’an
al-Azîm. Beliau menjelaskan dalam tafsirnya mengenai ثم استوى على العرش
yang terdapat pada QS. al-A’râf (7): 54. Beliau menukil pendapat dari Salâf
al-Salîh, diantaranya Imam Mâlik, al-Auza’i, al-Tsaurî, al-Lait bin Sa’ad,
al-Syâfî’i, Ishâq bin Rahawaih, dan yang lainnya, yaitu dengan
membiarkannya seperti apa adanya tanpa adanya takyif (mempersoalkan
hakikatnya), tasybih (penyerupaan), dan ta’til (penolakan/pengosongan),
dan setiap makna zahir yang terlintas pada benak orang yang menganut
paham musyâbbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), maka
makna tersebut terjauh dari Allah, karena tidak ada sesuatupun dari ciptaan
38 Ibnu Katsir bernama lengkap Imaduddin Ismâ’il bin Umar bin Katsir adalah ulama
terkenal dalam ilmu tafsir, hadis, sejarah, dan fikih. Ia dididik di Damacus dan tamat pada tahun
1341. Ia pernah menjadi anggota komisi inkuisisi yang mengkaji masalah bid’ah. Ibnu katsir
dikenang karena karyanya al bidayah wa al-nihayah (awal dan akhir), yang menjadi bahan acuan
utama sejarahwan kemudia ia juga menulis buku tentang ilmu hadis. Lihat, Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 80.
69
Allah Swt yang menyerupai-Nya.39 Seperti fîrman Allah يء
لهۦ ش
مث
يس ك
ل
بصيرميع ٱل Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan“ وهو ٱلس
Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat (QS. Al-Syû’arâ: 11).
Pada penggalan ayat “alâ al-‘arsyi istawâ” yang terdapat dalam surat
Tâhâ ayat 5, Imam al-Syaukânî berpendapat bahwa kata istawâ di
kinayahkan dengan raja. Jadi bisa dipahami bahwa istawâ ‘ala al-‘arsy
yakni Allah memiliki kerajaan dan berkuasa menduduki arsy-Nya tanpa
batas dan sekehendak-Nya Allah. Yang jelas, hakikat makna tersebut pada
ayat ini tidak diketahui manusia.
Penulis juga menemukan penafsiran dari ulama tafsir Indonesia yaitu
Nawawi al-Bantani40 dalam tafsirnya Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-
Qur’ân al-Majîd yang menafsirkan istawâ dengan tasarraf (mengatur).
Makna dari istawâ adalah tassarraf (mengatur) adalah setelah Allah
menciptakan semua makhluk, Allah mengatur kerajaan-Nya itu dengan
pengaturan yang sempurna.41
Makna yang ditemukkan oleh Imam al-Syaukânî dan Nawawi al-
Bantani dalam memahami penggalan “alâ al-‘arsyi istawâ” yang terdapat
39 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an Al Adzhim, Tahqiqi Sami bin Muhammad Salamah,
(Saudi Arabia: Dâr Tayyibah, t.t.), h. 392. 40 Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi ibn Umar ibn Arabi al-
Tanara al-Jawi al-Bantani, dan lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Bantani. Ia
dilahirkan di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25
Syawwal 1314, dan meninggal pada usia 84 tahun. Karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran
pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi ke dalam tujuh kategorisasi bidang,
yakni bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis, sejarah nabi serta bahasa. Lihat lebih lanjut Chaidar,
Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi Al-Bantani, (Banten: Yayasan Pendidikan Pelajar al-
Haddad Pandeglang, 1999), h.3. 41 Nawawi al-Jawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-Qur’ân al-Majîd, (Bairût: Dâr al Kutub
al-‘Ilmiyah, 1417 H), cet I, jilid II, h.138.
70
dalam surat Tâhâ ayat 5, memiliki perbedaan namun dengan tujuan yang
sama. Makna raja ini di pahami Imam al-Syaukânî yaitu Allah memiliki
kerajaan dan berkuasa menduduki Arsy-Nya dan dipahami Nawawi al-
Bantani adalah mengatur kerajaan-Nya dengan pengaturan yang sempurna.
b. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir
lain mengenai term ‘ain
Imam al-Syaukânî dalam memahami kata ‘ain yang terdapat dalam
surat Tâhâ 39
sebagai pangkuan-Ku. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tafsirnya.
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menta’wil QS. Tâhâ ayat 39
yang terdapat kata “’ain (mata)”. Kaum Mu’tazilah menakwil kata “’ain
(mata)” sebagai “ ني العلموالعين تورد بمع ” yang artinya ilmi
(pengetahuan).42
Penulis dapati bahwa Imam al-Syaukânî menafsirkan kata ‘ain pada
ayat tersebut dengan memaknainya sebagai pangkuan Allah terhadap Nabi
Musa as. Sedangkan kamu Mu’tazilan menta’wilnya sebagai pengetahuan.
Hal ini mempunyai makna dan tujuan sama, yaitu Allah menjaga Nabi Musa
dalam pangkuan dan pengetahuan Allah Swt.
Selain itu, Imam al-Syaukânî juga memberikan penafsiran kata ‘ain
yang terdapat pada surat QS. Hûd (11): 37 sebagai “pengawasan Kami”
ketika Nabi Nuh membuat bahtera yang diperintahkan oleh Allah.
42 Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960),
h. 227. Lihat juga, Hasani Ahmad Syamsuri,Tesis: Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath Al-Qadîr:
Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam, (Jakarta: UIN Jakarta, 2007), h. 138.
71
Penulis juga menemukan penafsiran yang dikemukakan oleh ‘Abd al-
Qadîr al-Jilanî43. Beliau menafsirkan surat QS. Hûd ayat 37 dengan
menafsirkan bi a’yuninâ dengan bikanfînâ wa jiwarinâ wa hifzinâ wa
hasaninâ yang artinya perlindungan, ketetanggaan, penjagaan, dan
benteng.44 Hal ini sesuai dengan konteks ayat yang sedang berbicara tentang
kondisi Nabi Nuh yang sedang dilanda kesedihan dan kegelisahan karena
umatnya tidak mengindahkan seruannya.
Selain itu, penafsiran lafaz ‘ain juga menarik perhatian ulama tafsir
yang menganut paham Mu’tazilah, beliau adalah Zamaksyarî.45 Dalam
kitabnya al-Kasysyâf dijelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah Allah
memerintahkan kepada Nabi Nuh as. agar membuat kapal, Allah berkata
“hai Nuh buatlah kapal untuk tempat berlindung”. Zamakhsyarî mengatakan
bahwa lafazh a’yun pada ayat tersebut seolah-olah bahwa Allah memiliki
43 ‘Abd al-Qadîr al-Jilanî, ia lahir di Persia dari kampung Niff (wilayah yang bertanah
subuh dan memiliki aliran sungai yang banyak. Niff adalah saah satu ibu kota yang terdapat di Jilan
atau Kaylan) di daerah djilan yang berada di wilayah selatan laut Caspia. Beliau adalah anak terakhir
yang dilahirkan saat ibunya memasuki masa menopause yaitu berumur sekitar 60 tahun. Beliau
meninggal di usia 91 tahun pada malam Sabtu tanggal 8 Râbi’ al-akhir tahun 561 H di Baghdad.
Dalam menulis dan mengucapkan al-Jilani, orang-orang berbeda pendapat, ada yang membaca al-
Jilani (jim dibaca kasrah), ada juga yang membaca al-Jaylani (jim dibaca fathah) seperti kebanyakan
orang Indonesia, bahkan banyak di antaranya menamakan anaknya dengan nama Jailani. Namun,
menurut keterangan dalam kitab al-Ansab huruf jim dikasrah (baca : al-jilani) sebuah penisbatan
yang disematkan pada sebuah negara di belakang Thibristan, seperti keterangan yang dikutip oleh
al-Sam’ani dalam kitab al-Ansab, juz 2 h.146. Selain perbedaan dalam harakat jim para penulis
biografi bebeda pendapat dalam huruf jim itu sendiri, apakah dibaca jim dengan lahjah orang arab
(baca: al-Jilani). Dan di sini berbeda lagi apakah penisbatannya kepada al-Jilani atau al-Jili, atau
dibaca kaf seperti lahjah orang Persia/Mesir (baca: al-Kaylani). Lihat lebih lanjut, Mohammad
Hidayat, Skripsi: “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir al-Jilani”, (Jakarta: UIN
Jakarta, 2012), h. 13-15. 44 ‘Abd Al-Qadîr Al-Jilani, Tafsir al-Jilâni, (Istanbul: Marka al-Jilâni li al-Buhuth al
‘Ilmiyyah, 2009), vol.2, h. 389. 45 Zamakhsyarî dengan nama lengkap Abû al-Qasîm Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad
ibn ‘Umar al-Khawarizmî. Dalam kitab al-Kasysyâf tertulis nama Abi al-Qasîm Mahmud ibn ‘Umar
ibn Muhammad al-Zamaksyarî, adapun gelarnya adalah Jarallah yang berarti tetangga Allah. Tokoh
Mu’tazilah ini lahir pada hari rabu 27 Rajab 467 H di Zamaksyar. Dalam aqidah Zamakhsyarî adalah
seorang Mu’tazili. dalam bidang fikih dia mengikuti kajiah fikih mazhab Hanafi yang disampaikan
oleh al-Damaghani al-Syarif ibn al-Sajari. Salah satu karyanya adalah tafsir al-Kasysyâf. Lihat lebih
lanjut, Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h.39.
72
‘ain (mata), akan tetapi maksud ayat tersebut adalah Allah memerintah
kepada Nabi Nuh agar membuat kapal dengan penuh penjagaan dari Allah
supaya tetap dalam kebenaran, dan tidak ada yang menghalangi antara Nuh
dan pekerjaannya dari musuh-musuhnya.46
c. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir
lain mengenai term wajh
Imam al-Syaukânî dalam menafsirkan “wajh” dalam surat al-Qasas ayat
88 memberikan titik terang bahwa ayat tersebut melukiskan bahwa segala
sesuatu akan binasa, harta, kedudukan, kekuasaan, dunia, dan bahkan segala
penghuninya bahkan alam raya dan segala isinya, penduduk langit dan
bumi. Baik yang kita ketahui atau tidak. Dan yang tinggal hanya Allah.
Kepada-Nya segala sesuatu akan kembali dan tiada tempat berlindung
kecuali Allah semata. Dan al-Syaukânî mengakhiri penafsirannya, “tiap-tiap
sesuatu pasti binasa” dengan kecuali sesuatu yang Allah kehendaki.
Zamaksyarî dalam menafsirkan kata wajh yang terdapat pada surat al-
Qasas ayat 88 adalah dzat, hal ini sesuai dengan tafsiran Zamaksyarî yang
terdapat pada al-Kasysyâf.
ال وجهه ال اياه والوجه يعبر به عن الذات47
Kata wajh yang dinisbahkan kepada Allah Swt dalam al-Qur’an
ternyata sangat banyak. Namun tidak satu pun ayat yang ditafsirkan Imam
al-Syaukânî dengan muka, sebagaimana makna literalnya akan tetapi di
46 Al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasysyâf, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 2008), j. 2, h. 286 47 ‘Abi Al-Qasîm Mahmud Ibn ‘Umar Ibn Muhammad Al-Zamaksyarî, Al-Kasysyâf ‘An
Haqâiq Ghawamid Al-Tanzîl, (Bairût: Dâr al-Kutub al-Arabi, 1407 H), juz 3, h. 481.
73
ta’wîl-kan kepada makna lain yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran
Allah Swt. Sama halnya dengan Zamaksyarî yang memaknai wajh sebagai
Dzat Allah.
Dalam surat al-An‘âm ayat 52, Imam al-Syaukânî memahami wajh
sebagai keridhaan Allah terhadap orang yang memelihara shalat jama’ah,
memelihara dzikir, membaca al-Qur’an, orang yang berdoa kepada
Allah,orang yang ikhlas dalam beribadah dan orang yang dzikir pada pagi
hari dan petang hari secara rutin dan terus menerus dialah orang yang
mendapatkan keridhaan dari Allah.
Berbeda dengan Nawawi al-Bantani yang menafsirkan kata wajh dalam
QS. al-An’âm 52 adalah mahabbah yang berarti kasih sayang. Hal ini sesuai
dengan tafsirnya dalam kitab Marâh Labîd.48 Maksudnya adalah orang-
orang yang menyeru Allah di pagi dan petang dengan keikhlasan akan
mendapatkan mahabbah dari Allah Swt.
تعالى ورضاه اى مخلصين في ذالكيريدون وجهه اى يريدون بذالك محبة هللا
48 Muhammad Nawawi al-Jawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-Qur’ân al-Majîd, (Bairût:
Dâr Al-Kitub Al-Ilmiyah, 1417H), j.1, h. 320.
74
Kemudian, penulis menemukan persamaan makna yang dipahami oleh
Imam al-Syaukânî dan Wahbah Zuhaili49 dalam menta’wil kata wajh dalam
QS. al-Rahmân (55): 27. Keduanya menta’wil wajh sebagai Dzat Allah.50
d. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir
lain mengenai term yad
Dalam menafsirkan surat al-Zumar ayat 67 yang didalamnya terdapat
kata biyamînih (tangan kanan), Al-Syaukânî memahami yamînih sepertinya
secara metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Sepertinya yang
dimaksud di sini adalah kekuasaan Allah Swt.
Penafsiran ini sama halnya dengan Mutawalli al-Sya’râwi51 dalam
tafsirnya mengatakan bahwa “yamînih” yang terdapat pada surat al-Zumar
ayat 67 ini ditafsirkan sebagai berikut:
49 Syaikh Prof. Dr. Wahbah Zuhaili adalah seorang ulama fikih kontemporer peringkat
dunia. Pemikiran fikihnya menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama
kitabnya yang berjudul al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Wahbah Zuhaili lahir di desa Dir `Athiah,
Siria pada tahun 1932 M dari pasangan H. Mustafa dan Hj. Fatimah binti Mustafa Sa`dah. Syaikh
Wahbah Zuhaili sangat produktif menulis, mulai dari artikel dan makalah sampai kepada kitab besar
yang terdiri atas enam belas jilid. Dr. Badi’ al-Sayyid al-Lahham dalam biografi Syaikh Wahbah
yang ditulisnya dalam buku yang berjudul, Wahbah Zuhaili al-‘Alim, al-Faqih. Dr. Badi’ al-Sayyid
al-Lahham menyebutkan 199 karya tulis Syaikh Wahbah selain jurnal. Demikian produktifnya
Syaikh Wahbah dalam menulis sehingga Dr. Badi` mengumpamakannya seperti Imam Suyuti (w.
1505 M) yang menulis 30 judul buku di masa lampau. Beberapa karyanya adalah al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuh, al-Tafsir al-Munir. Lihat lebih lanjut, Shabra Syatila dalam sebuah artikel “Syaikh
Wahbah Az Zuhaili” di http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/, diakses pada tanggal:
17 Maret 2016. 50 Wahbah Zuhaili yang menafsirkan kata wajh pada surat al-Rahmân ayat 27 sebagai Dzat
Allah. Maksudnya adalah Allah mensifati Dzat-Nya dengan sifat “Dzu al-Jalâl wa al-ikrâm” Lihat,
Wahbah Al-Zuhaili Tafsir al-Munir, terj. Al-Tafsir (al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdatwa al-Syarîatwa
al-Manhâj), terj. Abdul Hayyie al-Katani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2013), jil.4, cet. 1, h. 466 51 Mutawalli al-Sya’râwi adalah seorang ulama besar Mesir kontemporer yang terkenal
karena ceramah dan tulisannya serta mantan menteri agama Mesir. Sejak berusia muda al-Sya’râwi
dikenal sebagai orang yang berjiwa revolusioner. Ia adalah pelopor berdirinya Bank Islam Faisal di
Mesir pada awal 1987. Pandangannya dalam bidang teologi sangat dipengaruhi paham Asy’ariyyah.
Ini dapat ditelusuri dalam bukunya al-Qada’ wa al-Qadar. Ia termasuk ulama penulis yang
produktif. Kemampuannya mengungkapkan pikiran dalam bentuk tulisan ternyata mengimbangi
kemampuan retorikanya yang mengagumkan. Ia banyak menulis pada berbagai majalah dan surat
kabar, anatara lain liwa al-islam (bendera islam), minbâr al-islam (mimbar islam), al-mukhtar
(pilihan), al-i’tisâm (pedoman), dan al-ahram (piramida). Lihat lebih lanjut Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), jilid 6, h.299-300.
75
“langit digulung dengan tangan kanan-Nya, digulung berkat
kekuasaan-Nya. Disebut kanan karena kanan adalah sumber kekuatan
dan ialah anggota tubuh yang lebih aktif dibandingkan kiri.52
Penulis berpendapat bahwa Mutawalli al-Sya’râwi memaknai
“biyaminihi” sebagai kekuasaan Allah, maksudnya adalah langit berada
dalam kekuasaan Allah yang di kinayahkan dengan tangan kanan yang
merupakan anggota tubuh yang lebih aktif dibandingkan kiri.
Dalam ayat lain yang mengandung kata yad juga ditafsir oleh Imam al-
Syaukânî dalam surat Sad (38) : 75. Imam al-Syaukânî memaknai yadai
dalam surat Sad (38) : 75 adalah tanpa adanya perantara. Allah menciptakan
seorang hamba tanpa adanya bantuan atau perantara lain.
Sama hal nya dengan al-Zamaksyari yang memaknai yadai dalam QS.
Sad 75 yang menafsirkan sebagai penciptaan dengan tanpa perantara.
Berikut penafsiran Zamaksyarî dalam kitab tafsirnya al-Kasysyâf,
نت منم ك
برت أ
ستك
أ
قت بيديلا خ
سجد مل
ن ت
إبليس ما منعك أ
ال يعالين معنى ق
ٱل
ملا خلقت بيدي ملاخلقت بغير واسطة53
Quraish Sihihab54 juga memaknai “yadai” dalam tafsr al-Misbah.
Menurutnya ada tiga pendapat, diantaranya :
52 Muhammad Mutawalli al-Sya’râwi, Tafsir Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2011), terj.
Safir Al-Azhar, j.11, h.605 53 Abi al-Qasîm Mahmud Ibn ‘Umar Ibn Muhammad al-Zamaksyarî, al-Kasysyâf ‘An
Haqâiq Ghawamid Al-Tanzîl, (Bairût: Dâr al-Kutub al-Arabi, 1407 H), j.IV, h. 107. 54 Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, lahir di Rappang Sulawesi Selatan, pada tanggal 16
Februari 1944. Di luar aneka jabatan dan keterlibatan dalam institusi pemerintah dan organisasi yang
sangat dan beragam, belakangan jabatan formal yang kerap disandangnya pada perbagai kesempatan
adalah Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ), Jakarta. Lebih dari 40 judul buku telah ditulisnya.
Diantara karya-karyanya adalah membumuikan al-qur’an, tafsir al-misbah, dia di mana-mana,
membaca sirah Nabi Muhammad. MQS, demikian beliau biasa disapa di lingkungan PSQ, juga
menjadi narasumber sejumlah tayangan keagamaan di beberapa stasiun televisi. Lihat, M.Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), cet.3.
76
“Pertama, mengambil jalan pintas dengan mengatakan bahwa
ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama tersebut sambil
menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat
kebendaan/jasmani dan keserupaan dengan makluk. Pendapat kedua,
memahami kata yad dalam arti kekuasaan. Pendapat ketiga mengatakan
bahwa kata “kedua tangan” adalah anugerah duniawi dan ukrawi yang
dilimpahkan Allah kepada manusia atau sebagai isyarat mengenai
kejadian manusia dari dua unsur utama, yakni debu, tanah dan juga ruh
Ilahi. Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah makna “kholaqtu
bi-yadai” ialah betapa manusia memperoleh penanganan khusus dan
penghormatan dari sisi Allah Swt.55
Dari penjelasan tersebut menurut penulis, Quraish Shihab tidak
menerangkan secara terperinci bagaimana penakwilan terhadap lafaz بيد ي
, apakah dengan makan hakiki atau dengan makna majazi seperti kekuasan
dan lainnya. Dalam hal ini penulis menemukan makna “yadai” dalam al-
Qur’an dimaknai sebagai penanganan khusus dan penghormatan dari sisi
Allah untuk menciptkan hamba-Nya.
Singkat penulis Imam al-Syaukânî dalam memaknai biyaminih
mengalihkan makna biyaminih sebagai kekuasaan Allah dan keagungan
Allah. Begitupun dengan Mutawalli Sya’râwi ketika memaknai biyaminihi,
beliau memaknai sebagai kekuasaan Allah. Namun berbeda maknanya
ketika ditemukan kata yad yang terdapat dalam QS. Sad 75 yang dipahami
Imam al-Syaukânî sebagai penanganan khusus dan penghormatan dari Allah
kepada hamba-Nya yang telah Allah ciptakan dengan kedua tangan-Nya.
Sehingga QS. Sad ayat 75 ini tidak menggunakan kata tunggal untuk kata
yadai/tangan tetapi bentuk dual yaitu yadayya/kedua tangan-Ku. Begitupun
dengan Quraish Shihab yang memaknai yadayya sebagai anugerah duniawi
55 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2012), cet.5, vol.11, h. 419.
77
dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat
tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah dan juga
ruh Ilahi.
e. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir
lain mengenai term Jâ’a Rabbuka
Al-Syaukânî memberikan penafsiran pada kata Jâ’a Rabbuka dalam
surat al-Fajr (89) ayat 22, beliau memberikan keterangan bahwa “dan datang
Tuhanmu” yakni Allah datang dengan segla perintah dan ketentuan-Nya,
tanpa harus memikirkan bagaimana caranya Allah datang/hadir. Datangnya
Allah ini akan terjadi pada hari kiamat, yaitu Allah datang dengan segala
ketentuan-Nya dan seluruhnya akan terliat jelas bukan Dzat-Nya Allah
secara langsung. Dalam hal ini Imam al-Syaukânî menta’wil ayat tersebut
dengan makna metafora/majazi.
Sedangkan dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan lafaz
ك :sebagai berikutجاء رب
“Dan datanglah Tuhanmu” : Wahai Nabi Muhammad atau wahai
manusia, dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-
Nya atau hadirlah ketetapan-Nya serta tampaklah dengan jelas kuasa
dan keagungan-Nya.56
Dari penafsiran Quraish Shihab ini agaknya penulis memahami bahwa
Quraish Shihab menafsirkan ك dengan datangnya Tuhan secara و جاء رب
hakiki disertai dengan ketetapan dan kekuasan-Nya pada hari kiamat kelak.
56 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an),
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 297.
78
Hal ini ditegaskan dari kata-kata “Dan datanglah Tuhanmu dalam bentuk
yang sesuai degan keagungan dan kesucian-Nya”.
Kemudian, penulis juga mengutip penafsiran Ibnu Katsir mengenai
ك Ibnu Katsir tidak menelusurinya secara bahasa dan teologis, beliau و جاء رب
langsung melakukan pemaknaan pada ayat tersebut. Bahwa Allah akan
mengadili makhluk-makhluk-Nya memberikan keputusan di antara hamba-
hamba-Nya, hal itu terjadi setelah mereka mengharapkan syafaat mulai dari
Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, setelah sebelumnya mereka telah
meminta syafa’at kepada para Rasul ulul azmi, satu persatu.57
Penulis dapat berkesimpulan bahwa jâ’a Rabbuka yang dikemukakan
Imam al-Syaukânî ditakwil dengan makna majazi bahwa Allah akan datang
bersama ketentuan-Nya. Berbeda dengan Quraish Shihab yang menafsirkan
bahwa datangnya Allah secara hakiki dengan ketetapan-Nya. Sedangkan
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah akan hadir untuk mengadili hamba-
hamba-Nya.
f. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir
lain mengenai term al-Janb
Imam al-Syaukânî menafsirkan kata al-Janb pada QS. Al-Zumar (39):
56 sebagai keta’atan. Jadi yang dimaksudkan ayat ini adalah “alangkah
ruginya aku telah lalai dalam ketaatanku terhadap Allah”.58
57 Ibnu Katsir, Shahih Ibnu Katsîr, al-Mishbaahul Munîr fii Tahdzibi Tafsiri ibni Katsîr,
terj. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2016), j.9, cet. 11, h. 587 58 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid
Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 560.
79
Penulis temukan penafsiran al-janb yang ditafsirkan al-Sabûni59,
menurutnya, kata al-janb yang disandarkan pada Allah menunjukkan makna
kinâyah (kiasan), yang berarti hak Allah dan taat kepada-Nya. Ini bentuk
dari kiasan yang halus.60
Penulis juga temukan penafsiran al-janb oleh al-Sawî yang dalam
bentuk majaz dari taat, karena pada asalnya kata al-janb menunjukkan arti
arah atau lambung, yang bersinonim dengan kata al-janib, yang berarti di
samping. Jika kata arah disebutkan maka berkaitan dengan seseorang yang
berada di tempat tersebut, dan dalam kaitannya lafaz al-janb, ketika disebut
kata taat dan disandarkan kepada Allah maka berhubungan dengan Allah.61
59 Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin Jamil al-Sabuni. Beliau dilahirkan pada
tahun 1347 H/1928 M. Beliau adalah dosen di Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyyah di Makkah.
Al-Sabuni memulai belajarnya dari kecil di Suria, sehingga menanamkan Tsanawiyah, itu
merupakan akhir belajarnya di Suria. Kemudia ia meneruskan belajarnya di Universitas al-Azhar
Mesir, sehingga ia mendapatkan gelar LC pada tahun 1371 H/1952 M. Setelah selesai mendapatkan
gelar tersebut, al-sabuni meneruskan belajarnya di Universitas yang sama sampai ia mendapatkan
gelar Magister pada tahun 1954 M dalam bidang spesialisasi hukum syar’i. Ia menjadi utusan dari
Kementrian Wakaf Suria untuk menyelesaikan al-Dirasah al-‘Ulya. Lihat, Ahmad Fauzi, Skripsi:
Safwat al-Tafâsir: Studi Analisis Metodelogi Penafsiran al-Qur’an Karya al-Sabuni, (Jakarta: UIN
Jakarta 2010), h. 45. 60 Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), terj.
Yasin, jilid 4, h.546-561. 61 Ahmad bin Muhammad al-Mâlikî al-Sâwî, Hâsyiah al-Sâwî ‘ala tafsîr al-Jalâlain,
(Surabaya, al-Haramain, t.th.), j.3 hlm. 466.
80
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan penafsiran Imam al-Syaukânî terhadap ayat-
ayat mutasyâbihât yang tertuang di dalam tafsirnya yang berjudul Fath al-Qadîr al-
Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr, maka pada bab
ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Imam al-Syaukânî dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât dengan
metode ta’wîl yaitu dengan memahami ayat mutasyâbihât dan mengalihkan makna
sebuah lafadz ayat ke makna lain yang lebih sesuai dan alasan yang dapat diterima
oleh akal manusia. Namun terkadang Imam al-Syaukânî tidak mentakwilnya, akan
tetapi menyandarkannya kepada Allah Swt. Pada penelitian ayat-ayat yang terdapat
di bab IV, disebut yakni: ‘alâ al-‘arsyi istawâ,‘ain, wajh, biyamînih/yad, jâ’a
Rabbuka, dan al-janb dipahami al-Syaukânî tidak dalam makna harfîyahnya, tetapi
ia mempergunakan makna metaforis.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakikatnya al-Syaukânî,
bila berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut, cenderung menggunakan
ta’wîl atau mempergunakan makna metaforis dan kadang juga memaknai secara
lahir atau harfiyahnya.
B. SARAN
Pembahasan yang penulis angkat merupakan pembahasan yang selalu
menarik dan luas untuk dibicarakan. Terbukti banyaknya perdebatan dari berbagai
81
ulama mazhab atau golongan dengan pendapat dan argumentainya masing-
masing, baik melalui buku-buku bahkan di media sosial sekarang ini. Jika
dikemudian hari ada peneliti yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut, penulis
sangat berharap dapa membahasanya secara detail dari setiap bagian bahasan, serta
dapat memberikan informasi baru yang mungkin belum pernah dibahas. Sehingga
hal tersebut dapat memeberikan khazanah bagi para pembaca, khususnya bagi yang
ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana para ulama tafsir menafsirkan ayat-ayat
mutasyâbihât dalam al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
‘Atta, Abd al-Qadîr. ‘Aḏimah al-Qur’ân. Bairût. Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah. t.th.
Abdullah, Mawardi. Ulumul Qur’an. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2011.
al-Alûsi, Syihâb al-Dîn Sayyid Mahmud. Rûh al-Ma’ânî. Lebanon. Dâr al-Fikr.
2003 M/1423 H. Cet.1
al-Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd. Mu’jâm al-Mufahrâs li al-Faz al-Qur’ân al-
Karîm. Dâr al-Fikr. 1414 H/1994 M.
al-Dzahâbi, Muhammad Husein. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo. Maktabah
Wahbah. 2000.
al-Farmawî ‘Abd al-Hayy. al-Bidâyah Fî al-Tafsîr al-Maudu’i. Kairo. Al Hadharah
al-‘Arabiyyah. 1997.
al-Harari, Abdullah. al-Maqalat al-Sunniyyah fi Kasyf Dhalalat Ahmad bin
Taimiyyah. Bairût. Dâr al-Masyari’. 2007.
Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta. Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, t.th.
al-Jamal, Syaikh Hasan. Hayatul Aimmah Biografi 10 Imam Besar, terj. M.Khaled
Muslih dan Imam Awaluddin. Jakarta. Pustaka Kautsar. 2005.
al-Jawi, Nawawi. Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-Qur’ân al-Majîd. Bairût. Dâr al
Kutub al-‘Ilmiyah. 1417 H.
Al-Jilani, ‘Abd Al-Qadîr. Tafsir al-Jilâni. Istanbul. Marka al-Jilâni li al-Buhuth al
‘Ilmiyyah. 2009.
al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits.
Jakarta. Gaya Media Pratama.2007.
al-Maqdisi, ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani. Fath al-Rahmân Li Tâlib
Âyâts al-Qur’ân. Bairût. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2005.
Al-Qadi, ‘Abd al-Jabbar. Syarh al-Usûl al-Khamsah. Kairo. Maktabah Wahbah.
1960.
al-Qattan, Manna’. Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Kairo. Maktabah Wahbah. 2000.
al-Razî, Muhammad Fakhr al-Dîn. Mafâtîh al-Ghaib. t.tp. Dâr al-Fikr. 1981.
al-Sabunî, Muhammad ‘Alî. al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Damsyik. Maktabah al-
Ghazâli. 1981.
......., al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Damaskus. Maktabah al-Ghazali. 1390.
al-Sâwî, Ahmad bin Muhammad al-Mâlikî. Hâsyiah al-Sâwî ‘ala tafsîr al-Jalâlain.
Surabaya. Al-Haramain, t.th.
al-Shadr Muhammad Baqîr. al-Tafsîr al-Maudû’î wa al-Tafsîr al-Tajzî’î Fi al-
Qur’ân al-Karîm. Bairût. Dar al-Tatuf Al-Matbû’ât. 1980.
Al-Suyûtî, Abû al-Fadl Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr. al-Itqân fî
‘Ulûm al-Qur’ân. al-Saudiyyah. al-Mamlakat al- ‘Arabiyyah, t.t.h.
......., al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Lebanon. Dâr al-Fikr. 1979.
al-Sya’râwi, Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya’rawi, terj. Safir Al-Azhar. Medan.
Duta Azhar. 2011.
al-Syaukânî, Muhammad bin ‘Alî. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-
Usul. Bairût. Dâr al-Fikr, t.th.
……., Al-Badr al-Tâli’ bi Mahâsin Man Ba’d al-Qarn al-Sâbi’. Bairût. Dâr al-
Ma’rifah. t. th.
……., Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid Ibrahim. Mesir. Dâr al-Fikr. 1973.
…….., Fath al-Qadîr. Tahqiq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, terj. Amir Hamzah
Fachruddin. Jakarta. Pustaka Azzam. 2008.
……., Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-Akhbar. Bairût. Dâr al-Fikr. 1961. cet.ke-3
……., Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-Akhbar. Bairût. Dâr al-Fikr, 1983.
……., Fath al-Qadîr. Tahqiq dan Takhrîj Sayyid Ibrâhîm. Kairo-Mesir. Dâr al-
Hadîts. 2007.
Al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasysyâf. Lebanon. Dâr al-Fikr. 2008.
……., Al-Kasysyâf ‘An Haqâiq Ghawamid Al-Tanzîl. Bairût. Dâr al-Kutub al-
Arabi. 1407 H.
al-Zarkasyî, Badâr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî
‘Ulûm al-Qur’ân. . Mesir. t.tt. 1972.
al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azim. Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân.
Bairût. Dâr al-Fikr. T.th.
al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdatwa al-Syarîatwa al-Manhâj,
terj. Abdul Hayyie al-Katani, dkk. Jakarta. Gema Insan. 2013.
Ambary, Hasan Mu’arif, Taufik Abdullah, Abdul Aziz Dahlan. Suplemen
Ensiklopedi Islam. Jakarta. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996.
Anshori. Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2016.
Anwar, Rosihon. ‘Ulum al-Qur’an. Bandung. Pustaka Setia. 2007.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta. Bulan
Bintang. 1993.
Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj, Team Pustaka Firdaus.
Jakarta. Pustaka Firdaus.1995.
Aziz, Husein. Pemahaman Ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif Bahasa. Journal
Madaniya. vol. 11. no 1.
Badr, Abdullah Abu al-Su’ud. Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, terj, Gazi
Saloom, dkk. Jakarta. Serambi Ilmu Semesta. 2000.
Buchori, Didin Saefudin. Pedoman Memahami Kandungan al-Qur`an. Bogor.
Granada Sarana Pustaka. 2005. cet.ke-1.
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani. Banten. Yayasan
Pendidikan Pelajar al-Haddad Pandeglang. 1999.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai
Pustaka. 2005.
Djalal, Abdul. ‘Ulum al-Qur’an. Surabaya. Dunia Ilmu. 2000.
Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis. Insan madani press, t. th.
Fauzi, Ahmad Safwat al-Tafâsir: Studi Analisis Metodelogi Penafsiran al-Qur’an
Karya al-Sabuni. Skripsi Prodi Tafsir Hadits. Fakultas Ushuluddin. UIN
Jakarta. 2010.
Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita. Kediri. Lirboyo Press.
2013. cet.ke-3.
Halimudin. Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2. Jakarta. PT Rineka Cipta. 1995.
Hamid, Ahmad Mukhtar Abdul. Mu’jam al-Lughoh al-‘Arabiyyah al-Ma’asirah.
Mesir. ‘Alim al-Kutûb. 2008.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 2010
Hidayat, Mohammad.“Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir al-Jilani”.
Skripsi Program Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, Jakarta. 2012.
Ibn Mandzûr, Muhammad. Lisân al-Arâb. Bairût. Dâr Sadir. t.t.h. cet. I
Ihsan, Muhammad. Metodologi Tafsir Imam Al-Shawkânî Dalam Kitab Fath Al-
Qadîr: Kajian Terhadap Surah Al-Fâtihah. Jurnal Hunafa Vol. 5, No.2,
Agustus 2008.
Katsîr, Al-Hafîz Ibn. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, edisi Sami Muhammad Salamah.
Riyâd. Dâr al-Taibah. 1999.
Katsir, Ibnu. Shahih Ibnu Katsîr al-Mishbaahul Munîr fii Tahdzibi Tafsiri ibni
Katsîr, terj. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. Jakarta. Pustaka Ibnu
Katsir. 2016.
……., Tafsir al-Qur’an Al Adzhim, Tahqiqi Sami bin Muhammad Salamah. Saudi
Arabia. Dâr Tayyibah, t.t.h.
Komaruddin, Kamus Riset. Bandung. Angkasa. 1984.
M. Armando, Nina. Ensiklopedia Islam. Jakarta. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005.
vol.7
Machasin, Al-Qaḏi’ ‘Abd al-Jabbâr dan Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam al-Qur’an.
Jurnal Al-Jami’ah, No. 27 tahun 1994.
Mahmud, Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir, terj. Manhâj al-Mufassirîn, Faisal Saleh dan
Syahdianor. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2006.
Majma’ al-Lughoh al-Arabiyyah Bi al-Qâhirah, Mu’jam al-Wâsit. t.tp. Dâr al-
Da’wah. t.th.
Marzuki, Kamaluddin.‘Ulum al-Qur’an. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994.
Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. 2010.
Mudzîr, Jamâluddin Ibn. Lisân al-‘Arab. Bairût. Dâr al-Sadar. 1992.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Yake Sarasin.
1996.
Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsir, terj. Yasin. Jakarta. Pustaka al-
Kautsar. 2001.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya. Pustaka Progressif. 2002.
Nahar, Syamsu. Studi Ulumul Quran. Jakarta Perdana Publishing. 2015.
Najib, Ainun. Konsep al-Muhkam dan al-Mutasyâbih menurut Muhammad Abîd al-
Jabirî. Tesis Prodi Tafsir Hadits. Fakultas Ushuluddin. UIN
Jakarta.2016.
Qasim, Tarmana Abdul. Samudera Ilmu-Ilmu al-Qur`an. Bandung. Mizan Pustaka.
2003.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung. Alma Arif. 1974.
……., Ikhtisar Mustalah al-hadîts. Bandung. PT al-Ma’arif. 1987.
Ramli, Muhammad Idrus. Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat. Jawa Timur.
Khalista. t.th.
Rusli, Nasrun. Disertasi: Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. UIN Jakarta. 1998.
Sarwat, Ahmad. Seri Fiqh Kehidupan. Jakarta. DU Publishing. 2011.
Shabra Syatila. Artikel “Syaikh Wahbah Az Zuhaili” di
http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/, diakses pada
tanggal 17 Maret 2016.
Shihab, M.Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda
Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. Tangerang. Lentera
Hati. 2015.
……., Sejarah ‘Ulûm al-Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2013.
……., Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta. Lentera
Hati. 2012.
Suma, Muhammad Amin. ‘Ulumul Qur’an. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2014.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Tesis: Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Fatẖ al-Qadîr
Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam. Jakarta. UIN
Syarif Hidayatullah. 2007.
Syibromalisi, Faizah Ali. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Ciputat.
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. 2011.
Usman, Ulumul Qur’an. Yogyakarta. Teras. 2009.
Wahab, Muhammad Rashidi. Takwilan Nas-nas Sifat Mutashabihat dalam
Kalangan Salaf , jurnal GJAY Malaysia. Usuluddin Fakulti Pengajian
Kontemporari Islam, Universiti Sultan Zainal Abidin. 2012. vol.2.
Yunus, Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. Jakarta. PT.Mahmud Yunus Wa
Dzurriyah. 2010.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. PT Mutiara Sumber Widya. 2010
Yusuf, M. Yunan. Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam. Jakarta. 1990