penafsiran ayat-ayat mutasyÂbihÂt dalam tafsir fath...

106
PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR KARYA IMAM AL-SYAUKÂNÎ SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh Muawwanah NIM: 11140340000072 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Upload: phamngoc

Post on 17-Aug-2019

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM

TAFSIR FATH AL-QADÎR

KARYA IMAM AL-SYAUKÂNÎ

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh

Muawwanah

NIM: 11140340000072

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

i

ABSTRAK

Muawwanah, Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir Fatẖ al- Qadîr

Karya Imam al-Syaukânî.

Sebagai umat manusia yang beriman kepada Allah, agar keimanan yang ia

pegangi tidak tergelincir dari keimanan yang sebenarnya tentu diperlukan aturan

atau batasan-batasan tertentu yang harus diketahui. Seperti mengenali sifat Allah

yang telah tertulis dalam al-Qur’an . Terkadang ayat al-Qur’an bila menyebutkan

sifat Allah, diungkapkan dengan bahasa yang tidak jelas sehingga membuat

pemahaman yang berbeda-beda di kalangan para pengkaji. Untuk menyelesaikan

masalah ini maka dibutuhkan penafsiran ayat yang lebih dalam agar tidak salah

dalam memahaminya. Oleh karena itu penulis memilih penafsiran al-Syaukânî

terhadap ayat yang kurang jelas maknanya atau yang lebih dikenal dengan ayat

mutasyâbihât.

Adapun metode yang penulis gunakan dalam mengungkapkan makna ayat

mutasyâbihât yang terdapat dalam al-Qur’an adalah metode tematik. Penulis

menghimpun ayat-ayat mutasyâbihât yang terdapat dalam al-Qur’an. Kemudian

penulis mengklasifikasikan, dan memilih ayat yang menurut penullis perlu untuk

dijadikan dalam tulisan ini. Dalam hal ini penulis tertarik kepada ayat-ayat sifat

yang disandarkan kepada Allah, seperti : istawâ, ‘ain, wajh, yad, jâ’a Rabbuka, al-

janbu. Penulis juga menambah wawasan terhadap pengertian makna ayat yang

diteliti dengan memuat penafsiran dari ulama lain yang menurut penulis perlu untuk

dimuat.

Adapun kesimpulan yang penulis dapatkan adalah bahwa ayat-ayat

mutasyâbihât yang terdapat dalam al-Qur’an dan menggambarkan bahwa Allah

mempunyai sifat yang sama dengan penciptaan-Nya adalah tidak benar adanya.

Karena Allah mempunya sifat yang tidak sama dengan makhluk-Nya. Contoh:

terdapat ayat yang mengatakan yadullah yang secara arti adalah tangan Allah.

Namun penulis menemukan bahwa tokoh yang penulis pilih mengartikannya tidak

secara harfiyah melainkan secara metafora, untuk menghindarkan adanya kesamaan

Khalik dengan makhluk-Nya. Penafsiran yang dilakukan oleh al-Syaukânî tidak

jauh berbeda dengan penafsiran ulama lainnya terutama dari kalangan

Ahlusunnah,kalaupun ada maka perbedan itu hanyanya berkisar pada penambahan

dan pengurangannya yang tidak samapai pada penafsiran yang bertolak belakang.

ii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam karya tulis bidang keagamaan (Islam), alih aksara atau yang lebih

dikenal dengan istilah transliterasi, tampaknya merupakan sesuatu yang tak

terhindarkan. Oleh karenanya, untuk menjaga konsistensi, aturan yang berkaitan

dengan alih aksara ini penting diberikan.

Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja

oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,

khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam

penerapan dan konsistensinya.

Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara

lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementrian Agama dan

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,

kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan

digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New

Roman atau Times New Arabic.

Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulisan tugas akhir,

pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi

di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifîkasi beberapa ciri

hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini

disusun dengan logika yang sama.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padananya dalam aksara latin:

iii

Huruf Arab Huruf latin Keterangan

tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H ha dengan garis di bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di bawah ص

D de dengan garis di bawah ض

T te dengan garis di bawah ط

Z zet dengan garis di bawah ظ

‘ عkoma terbalik di atas hadap

kanan

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

iv

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Koma atas hadap ke kiri , ء

Y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam Bahasa Arab, seperti vokal Bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A fatẖah

I kasrah

U ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i ي

و Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam Bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

v

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dengan topi di atas ــا

Î i dengan topi di atas ــي

Û u dengan topi di atas ـــو

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ال, dialih aksarakan menjadi huruf/l/, baik di ikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al- rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf syamsiyyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-

darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihkan menjadi huruf /h/ (lihat contoh

1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti kata sifat

(na’t) (lihat contoh 2). Namun, jikah huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda

(ism), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

vi

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة 1

االءسالمية الجامعة 2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah

الوجود وحدة 3 waẖdat al-wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis

dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata

sandangnya. Contoh: al-Kindi bukan Al-Kindi, Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû

Hâmid Al-Ghazâlî

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari Bahasa Arab. Misalnya ditulis Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr

al-Dîn al-Rânîrî, Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî.

vii

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fî’l), kata benda (ism), maupun huruf (ẖarf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam Bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

تاذ ذهب س اال Dzahaba al-ustâdzu

ر ثبت ج اال Tsabata al- ajru

هد هللا اال اله ال أن أش Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

النا ال صالح ملك مو Maulâna Malik al- Sâliẖ

هللا يؤثركم Yu`atstsrukum Allâh

ال عق لية ال مظاهر Al-maẕâhir al-‘Aqliyyah

يات نية اال ال كو Al-âyât al- kauniyyah

رة رات تبي ح الضرو ظو ال مح Al-ḏarûrat tubîẖu al-mahẕûrât

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr.Wb.

Alhamdulillâhirabbil’âlamîn segala puji hanya milik Allah Sang Pencipta

alam semesta Sang Pengatur segala makhluk-Nya. Kepada-Nyalah penulis meminta

dan memohon kemudahan di setiap langkah dan urusan yang sedang dihadapi.

Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongan kepada kita semua sebagai

hamba untuk dapat menghabiskan sisa-sisa umur kita dalam menuntut keridhaan-

Nya.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw

sebagai junjungan alam, penyampai risalah yang benar untuk menuntun manusia

menuju jalan yang diridhai Allah Swt, selanjutnya kepada keluarga, para sahabat,

dan para pengikutnya yang telah rela berjuang dengan mengorbankan harta dan

nyawa demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Penulis selalu merindukan

Roudhoh dan mengingat akan manusia sempurna ini yaitu Rasulullah Saw, semoga

Allah mudahkan kita semua untuk terus mengunjungi makam Rasulullah Saw.

Penulisan skripsi ini menjadi awal dari langkah untuk melanjutkan ketingkat

yang lebih tinggi. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Ayah dan

Mamah tercinta, H. Abd. Ra’uf dan Hj. Imroh, orang tua yang selalu mendoakan,

memberikan motivasi, semangat, materi dan mendukung anak-anaknya untuk terus

semangat dalam menggapai cita-cita dan memberikan kasih sayangnya selama ini

kepada penulis. Teruntuk ayahanda dan mamah tercinta, tulisan ini penulis akan

persembahkan untuk ayahanda yang selalu menanyakan “kak, skripsi udah

ix

selesai?”. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada ayah dan mamah. Selama

penulis menyusun penelitian ini, ayahanda berada di ICU dalam keadaan sakit dan

inilah yang menjadi semangat tak henti untuk menyelesaikan penelitian ini. Dan

ketika skripsi ini telah selesai penulis menyusunnya, ayahanda lebih dahulu pulang

ke hadapan Allah hingga keinginan melihat penulis memakai toga-pun belum

terlaksana, dan skripsi inilah menjadi janji penulis kepada ayah untuk diselesaikan

pada tahun ini. Semoga ayahanda di ampuni segala dosa dan kesalahannya, dan di

terima semua amal kebaikannya. Aamiin..

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih

banyak kekurangan dan keluhan yang di miliki pada diri penulis. Namun berkat

bantuan dan dorongan dari semua pihak, baik secara langsung maupun secara tidak

langsung, besar atau kecil dan tidak ada kata lain untuk mereka selain ucapan

“terimakasih” semoga Allah Swt membalas semua jasa-jasa mereka sehingga

tercapailah penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis mengungkapkan

ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaranya.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku

Sekertaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

x

4. Bapak Dr. Hasani, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini

di saat penulis sedang kebingunan dalam pembahasan skripsi ini dan

selalu memberikan wejangan, nasihat, dan semangat kepada penulis.

Terimakasih pula kepada bapak Dr. Hasani, M.A., yang telah

meminjamkan kitab Fatẖ al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat

wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr yang menjadi bahan pokok dalam

penelitian ini.

5. Bapak Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, M.A., selaku dosen pembimbing

akademik yang telah banyak membimbing penulis dari semester satu

hingga selesai.

6. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang telah

mengajarkan dan memberikan ilmunya kepada penulis selama proses

perkuliahan berlangsung. Semoga Allah Swt memberikan imbalan serta

pahala yang berlipat ganda atas ilmu yang telah di berikan selama ini.

7. Kakak tercinta dan adik tersayang, Yusuf Abd.Ra’uf, Lia Puspita,

Muammar Khadafi dan dua keponakan terlucu Fatimah Salsabilla

Auliya dan Zaskiya Maulidiyah Makkah yang telah mewarnai dan

memberikan semangat dalam penulisan ini.

8. Calon pendamping dunia akhirat, Rizalludin S.Sy. M.Pd. yang telah

memberikan support dan doanya. Semoga senantiasa Allah limpahkan

keberkahan rezeki, umur, dan ilmu.

xi

9. Para teman-teman dan sahabat satu jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

2014, dan teman-teman kosan permata yang telah mewarnai kehidupan

penulis selama kuliah, terimakasih atas kebersamaannya selama di dunia

perkuliahan. Semoga kita selalu di berikan kesehatan, dan kesuksesan,

amin.

10. Seluruh crew Hafiz Indonesia RCTI yang telah memberikan warna,

semangat, dan motivasi untuk menyelesaikan penelitian ini. Penulis

sangat bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan penulis

dengan para hafidz dan hafidzoh cilik serta para ustad karantina yang

telah memberikan ilmu dan semangat untuk menghafalkan al-Qur’an.

Semoga kelak Allah pertemukan kita kembali dalam keridhaan-Nya.

11. Seluruh crew Ruqyah Trans7, ustad Muhammad Faizar, dan Ustad

Zunaidi, yang telah memaklumi penulis ketika membarengi trip ruqyah

keluar kota dengan mengerjakan penelitian ini. Penulis selalu

menggunakan waktu kosong untuk berdiskusi mengenai penelitian ini

kepada para ustad. Kepada ustad Muhammad Faizar yang telah

meminjamkan kitab-kitabnya, membantu penulis mengartikan kitab

tersebut dan memaknainya, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-

besarnya semoga Allah membalas kebaikan dengan lipatan kebaikan.

12. Kaka dan adik lintas angkatan yang telah membantu penulis dalam

mengerjakan penulisan ini, meminjamkan buku dan kitab, membantu

menerjemahkan, dan selalu memberikan informasi mengenai pedoman

penulisan, jadwal sidang, persyaratan dan lain sebagainya, kepada

Ahmad Irfan Fauji, S.Ag., Mizan Sya’roni, S.Th.I., Ummu Hafîdzhoh

xii

S.Ag., Lailatul Fajriyyah S.Pd. dan Mohammad Benni, Fauzi Ahmad

Syahreza.

13. Teman-teman seperjuangan dalam menyelesaikan penelitian ini,

dimulai dari ke perpustakaan bareng, mengetik bareng, nginep dalam

satu kost, tidur larut malam, hingga sakit bareng. Kepada Pramudita

Suciati, dan Faizah Mahda semoga Allah lancarkan kesuksesan kalian.

Kemudian teman-teman yang telah membantu mensupport, dan

berjuang bersama kepada Ulfah Azizah, Husnil Mardlliyah, Nur Azizah,

dan Nur Fîkhriyyah, Vcar, Zuqrifa Hayati, Yuli Anggraeni, Fajar

Syahrullah, Sakinah Mudhi’ah, Widya Okta, dan Fatma Semoga Allah

senantiasa memberikan keberkahan kepada kita semua.

Hanya kepada Allah lah penulis berharap siapapun yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, semoga Allah

berikan keberkahan, kesehatan, dan kelancaran rezeki serta urusannya.

Aamiin

Wassalamu’alaikum.Wr. Wb.

Jakarta, 18 Oktober 2018

Muawwanah

xiii

DAFTAR ISI

COVER

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ...................................................................................................... i

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Permasalahan ................................................................................. 7

1. Identifikasi Masalah ............................................................... 7

2. Batasan Masalah..................................................................... 8

3. Rumusan Masalah .................................................................. 9

C. Tujuan Penelitian........................................................................... 10

D. Manfaat Penelitian......................................................................... 10

E. Kajian Pustaka ............................................................................... 11

F. Metode Penelitian .......................................................................... 14

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 15

BAB II KONSEPSI MUTASYÂBIHÂT DALAM STUDI AL-QUR’AN ... 17

A. Mengurai Makna Mutasyâbihât .................................................... 17

B. Ragam Mutasyâbihât dalam Studi Al-Qur’an ............................... 22

xiv

C. Pandangan dan Sikap Ulama terhadap Mutasyâbihât ................... 25

D. Hikmah Adanya Studi Muhkam dan Mutasyâbihât ...................... 29

BAB III MENGENAL IMAM AL-SYAUKÂNÎ DAN TAFSIR FATH

AL-QADÎR ....................................................................................................... 32

A. Biografî dan Rihlah Ilmiah Imam al-Syaukânî ............................. 32

B. Guru dan Murid Imam al-Syaukânî ............................................. 36

C. Karya-Karya Imam al-Syaukânî.................................................... 40

D. Tafsir Fath al-Qadîr ...................................................................... 42

a. Pengenalan Tafsir Fath al-Qadîr .......................................... 42

b. Pendekatan dan Metode Tafsir Fath al-Qadîr ....................... 44

BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM

TAFSIR FATH AL-QADÎR KARYA IMAM AL-SYAUKÂNÎ ................. 49

A. Kelompok Ayat-ayat Mutasyâbihât .............................................. 50

B. Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât Menurut Imam al-Syaukânî

....................................................................................................... 53

a. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî

mengenai term istawâ’ ........................................................... 53

b. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî

mengenai term ‘ain ................................................................ 55

c. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî

mengenai term Wajh .............................................................. 59

d. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî

mengenai term yad ................................................................. 62

xv

e. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî

mengenai term Jâ’a Rabbuka................................................. 74

f. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî

mengenai term al-Janb ........................................................... 77

C. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât menurut Imam al-

Syaukânî dengan Mufassir Lain .................................................... 68

a. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan

mufassir lain mengenai term istawâ ....................................... 68

b. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan

mufassir lain mengenai term ‘ain ........................................... 70

c. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan

mufassir lain mengenai term wajh ......................................... 72

d. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan

mufassir lain mengenai term yad ........................................... 74

e. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan

mufassir lain mengenai term Jâ’a Rabbuka ........................... 77

f. Penafsiran ayat Mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan

mufassir lain mengenai term al-Janb ..................................... 78

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 80

A. Kesimpulan.................................................................................... 80

B. Saran ..................................................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab hidayah dan mukjizat. Dari kedua sisi inilah al-

Qur’an diturunkan, mengenai kedua persoalan itu pula pembicaraan yang ada di

dalamnya, dan atas dasar keduanya itulah juga al-Qur’an memberikan petunjuk.1

Sebagai sumber tertinggi ajaran Islam, al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad Saw

sudah dipelajari para sahabat dengan tujuan memahami kandungan ajarannya. Di

samping itu, banyak pula ilmu yang sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an.

Para ulama ketika itu berusaha mendalami beberapa bagian tertentu dari al-Qur’an

sampai ke persoalan yang sekecil-kecilnya sehingga melahirkan ilmu-ilmu tertentu

pula. Setiap ilmu itu membahas aspek tertentu dari al-Qur’an, seperti lafalnya,

pengertiannya, sejarahnya, sejarah pembukuannya, bacaannya, dan

kemukjizatannya. Disiplin inilah yang termasuk dalam kategori ‘ulûm (ilmu-ilmu)

al-Qur’ân.2

Menurut al-Suyûṯi (w. 911H/1505 M) dalam kitabnya al-Itqân fî ‘Ulûm al-

Qur’ân, menyebutkan lebih dari 100 ilmu yang termasuk ke dalam kategori ‘Ulûm

al-Qur’ân.3 Mengutip dari kitab al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân disebutkan ruang

1 Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairût:

Dâr al-Fikr), jilid 1, h.23. 2 Quraish Shihab, Sejarah ‘Ulûm al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h.40. 3 Jalaluddin al-Suyûti, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1979), h.7.

‘Ulûm al-Qur’ân menurut al-Suyûti dalam kitab al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân adalah suatu ilmu yang

membahas keadaan al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, maknanya baik yang

berhubungan dengan lafadz maupun yang berhungan dengan hukum. Lihat, Jalaluddin al-Suyûti, al-

Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1979), h.7-8. Lihat juga al-Tibyân fî ‘Ulûm al-

Qur’ân karya Muhammad ‘Ali al-Sabunî yang mengatakan makna ‘Ulûm al-Qur’ân adalah

rangkaian pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an yang agung lagi kekal, baik dari segi

2

lingkup bahasan al-Qur’an meliputi 30 bidang, hal ini menurut pendapat ‘Alî Ibn

‘Îsâ. Berbeda dengan Ibn ‘Arabî yang menyebutkan 77.450 cabang ilmu.4

Diantaranya, ‘ilm asbâb al-nuzûl5; ‘illm i’jâz al-Qur’ân6; ‘ilm nâsikh wa mansûkh7,

‘ilm aqsam al-Qur’ân8; ‘ilm al-muẖkam wa al-mutasyâbih; dan masih banyak lagi.

Terlalu banyak ilmu-ilmu yang dilahirkan dan dikembangkan dari al-

Qur’an, serta demikian banyak pula ilmu pengetahuan yang dibutuhkan mufassir

untuk memahami dan menguraikan al-Qur’an. Untuk memahami dan menafsirkan

satu ayat al-Qur’an saja, tidak jarang seseorang dituntut mengenali sekian banyak

cabang ilmu pengetahuan.9 Salah satu persoalan ‘ulûm al-Qur’ân yang masih

penurunan dan pengumpulan serta tertib urutan-urutan dan pembukuannya; maupun dari sisi

pengetahuan tentang asbâb al-nuzûl, makiyyah-madaniyyah, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyâbih,

dan berbagai pembahasan lain yang berkenaan dengan al-Qur’an atau yang berhubungan dengan al-

Qur’an. Muhammad ‘Ali al-Sabunî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Maktabah al-

Ghazali, 1390). h.14. 4 Badâr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd Allah al-Zarkasyî , al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,

(Mesir, t.tt. 1972), jilid 1, h.16-18. 5 ‘Ilm Asbâb al-Nuzûl yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat. Lihat,

Syamsu Nahar, Studi Ulumul Quran, (Jakarta: Perdana Publishing, 2015), h.5. Asbâb al-Nuzûl

merupakan pertanyaan, permintaan keterangan, penjelasan, kejadian, peristiwa, yang karenanya al-

Qur’an diturunkan, sebagai jawaban, penjelasan berdasarkan ketetapan Allah. Lihat lebih lanjut,

Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.53. 6 I’jâz ialah kelemahan atau ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari

kesanggupan. Apabila i’jâz telah terbukti, nampaklah kekuasaan mu’jiz. Lihat lebih lanjut, Teungku

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang,1993), h. 317. I’jâz

bisa juga dikatakan sebagai kekuatan, keunggulan, keistimewaan yang dimiliki al-Qur’an yang

menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun secara berkelompok, untuk

bisa mendatangkan serupa atau menyamainya. Hal ini menunjukkan kebenaran dakwah Rasulullah

atas misi dakwahnya. Lihat lebih lanjut, Abd al-Qadîr ‘Atta, ‘Aḏimah al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmîyah, t.th), h.54. 7 Kata nâsikh dari segi bahasa bermakna menukil atau menyalin, seperti kalimat nâsakhtu

al-kitâb, yakni saya menyalin buku. Kemudian bisa bermakna menghapus seperti kalimat nâsakhtu

al-syams al-zulm yakni matahari menghapus bayangan. Ulama terdahulu memaknai nâsikh dalam

pengertian sangat luas, hampir saja dikatakan bahwa mereka memahaminya dalam pengertian

kebahasaan sehingga menghapus, walau dikit, dari kandungan ayat, maka ulama telah

menganggapnya bagian dari istilah nâsikh. Lihat lebih lanjut, M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir:

Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an,

(Tangerang: Lentera Hati, 2015), cet.3, h.281. 8 ‘Ilm Aqsam al-Qur’ân adalah salah satu bentuk pengukuhan yang digunakan al-Qur’an.

Kata ini digunakan dalam arti sumpah, yakni sumpah yang minimal oleh pengucapannya dinilainya

sebagai sumpah yang benar. Lihat lebih lanjut, M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan,

dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera

Hati, 2015), cet.3, h.274. 9 Muhammad Amin Suma, ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), h.141.

3

diperdebatkan sampai sekarang adalah kategori muẖkam-mutasyâbih. Telaah dan

perdebatan seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan

islam, terutama menyangkut penafsiran al-Qur’an. Perdebatan itu tidak saja

melibatkan sarjana-sarjana muslim melainkan sarjana-sarjana barat pun ikut

mewarnainya.10

Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai ayat muẖkam dan

mutasyâbih adalah QS. Alî Imrân ayat 7 :

كم ٱل

ت هن أ م

حك ت م ب منه ءاي

كت

يك ٱل

نزل عل

ذي أ

ا هو ٱل م

أ ف

ت به

ش

ر مت

خ

ب وأ

ذين فت

ي ٱل

فتنة وٱبتغ

ء ٱل

ابه منه ٱبتغ

ش

بعون ما ت

يت

وبهم زيغ ف

ل ٱلق

هۥ إل

ويل

أم ت

ويلهۦ وما يعل

أء ت

ا

ه

ل

ومنا

ن عند رب م

ل ا بهۦ ك ون ءامن

م يقول

عل

ون في ٱل

سخ

ر إ اوٱلرك

ب يذ ب

ل ٱل

وا

ول

أ

ل

“Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di

antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muẖkam, itulah pokok-pokok isi al-

Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang

dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti

sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan

fîtnah untuk mencari-cari ta’wîlnya, padahal tidak ada yang mengetahui

ta’wîlnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya

berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya

itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran

(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. ‘Âli Imrân (3):

7)

Dari ayat tersebut secara tegas disebutkan bahwa dalam al-Qur’an

sebagiannya mengandung ayat-ayat yang muẖkam dan sebagian lainnya

mutasyâbih. Meskipun tidak lepas juga dari berbagai penafsiran para mufassir

mengenai ayat tersebut. Terdapat pula dalam ayat yang lain yang hanya

menjelaskan bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkâm11 dan dalam ayat yang

10 Rosihon Anwar, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h.119 11 Dijelaskan dalam QS. Hūd (11) : 1

بير دن حكيم خ

ت من ل

ل ص

م ف

تهۥ ث

حكمت ءاي

ب أ

ر كت

ال

4

lain pula ditegaskan bahwa seluruh ayat al-Qur’an adalah mutasyâbih.12 Namun,

‘Abd al-Azîm al-Zarqânî dan al-Subhi al-Salîh memandang tidak ada pertentangan

antar ayat-ayat tersebut di atas.13 Hal tersebut dikarenakan dari masing-masing

ketiga ayat tersebut mempunyai ruang lingkup yang berbeda.

Dalam artikel yang ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli yang berjudul ayat

muhkamat dan ayat mutasyabihat, mengatakan bahwa ayat tersebut mengecam

orang-orang yang mengikuti ayat yang mutasyâbihât dengan tujuan menimbulkan

fîtnah. Hal ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok diluar Ahlussunnah

Wa al-Jama’ah seperti kelompok Musyabbihah dan Mujassimah, agar orang

Ahlussunah terjerumus dalam pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat al-

Qur’an. Sedangkan yang dimaksud dengan “orang-orang yang dalam hatinya

condong kepada kesesatan” dalam ayat di atas adalah pengikut-pengikut ahli

bid’ah seperti Mu’tazilah dan lain-lainnya.14

Pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khatab ada seorang laki-laki bernama

Shabigh, sering menanyakan maksud ayat-ayat mutasyabihat yang dapat

menimbulkan fîtnah. Lalu ‘Umar memukulnya dengan keras sehingga darah

mengalir ke kedua tumitnya, kemudian mendeportasikannya dari Madinah dan

melarang kaum Muslimin bergaul dengannya.15

12 Dijelaskan dalam QS. Al-Zumar (39) : 23

اني ث بها م

ش

ت با م

حديث كت

حسن ٱل

ل أ ز

ه ن

ٱلل

13 Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.227 14 Muhammad Idrus Ramli, Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat, (Jawa Timur:

Khalista, t.th), h. 2 15 Al-Hafîz Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, edisi Sami Muhammad Salamah, (Riyâd:

Dâr al-Taibah, 1999), juz 4, h.6.

5

Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan defînisi muẖkam dan

mutasyâbih. Al-Zarqânî mengemukakan 11 defînisi mengenai pengertian muẖkam

dan mutasyâbih. Diantara defînisi yang dikemukakan al-Zarqânî ialah:

1. Muẖkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata. Tidak

mengandung kemungkinan nâsakh. Mutasyâbih ialah ayat yang

tersembunyi maknanya, tidak diketahui maknanya baik secara ‘aqli

maupun naqli dan hanya Allah lah yang mengetahuinya.

2. Muẖkam adalah ayat yang diketahui maksudnya baik secara nyata

maupun ta’wîl. Mutasyâbih ialah ayat yang hanya Allah mengetahui

maksudnya.

3. Muẖkam adalah ayat yang tunjukkan maknanya kuat, yaitu lafaz nash

dan lafaz zahir. Mutasyâbih ialah ayat yang tunjukkan maknanya tidak

kuat, yaitu lafaz mujmâl (nash yang menunjukkan kepada petunjuk

yang tidak terang apa yang dikehendaki sebelum datang penafsirnya,

atau pen-tabyin-annya, atau pen-tafsil-annya), mu’awwal (perkataan

yang dipindahkan dari petunjuk yang lahir kepada petunjuk yang

mungkin dapat juga diterima oleh lafaz itu), dan musykil (nas yang

tersembunyi maknanya dengan suatu sebab pada lafaz itu sendiri).16

Dari uraian-uraian di atas, dapat diketahui dua hal penting, yaitu dalam

membicarakan muẖkam tidak ada kesulitan, dan merupakan ayat yang jelas atau

rajiẖ(kuat) maknanya. Sedangkan, pembicaraan tentang mutasyâbih menimbulkan

masalah yang perlu dibahas lebih lanjut.

16 Muhammad Abd al-Azim Al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairût: Dâr

al-Fikr, 1988), jilid II, h.272.

6

Ayat mutasyâbihât dalam al-Qur’an banyak sekali contohnya, salah satu

contoh ayat mutasyâbihât adalah QS. Tâhâ ayat 5 :

عرش ى ٱل

ن عل حم ٱستوىٱلر

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘arsy.”

Bagi Abû Hasan dan ulama-ulama yang men-ta’wîl ayat istawâ adalah Allah

tidak duduk atau bersinggasana di atas ‘arsy. Tetapi dia tidak memerintahkan dari

suatu kedudukan yang tak tertandingikan oleh kekuasaan manapun.17

Ketika Imam Mâlik ditanya perihal bagaimana Allah bersemayam di ‘arsy.

Dia menjawab, “bersemayam itu hal yang sudah diketahui. Tapi bagaimana

bersemayamnya Allah itu, tidak bisa diketahui. Tidak bisa diakal-akal oleh akal.

Pokoknya wajib diimani, dan mempertanyakannya adalah bid’ah.”18

Selain itu, ulama yang menafsirkan ayat mutasyâbihât ialah Imam al-

Syaukânî. Imam al-Syaukânî ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât

sebenarnya lebih cenderung memahami ayat tersebut tidak dalam makna

harfîyahnya, tetapi dalam makna metaforisnya. Terkadang pula menggunakan

ta’wîl, terkadang juga menyerahkan maknanya kepada Allah Swt. Hal in membuat

penulis semakin ingin mengetahui cara pandang Imam al-Syaukânî ketika

berhadapan dengan ayat mutasyâbihât. Imam al-Syaukânî ini bermazhab Syi’ah

Zaidiyah yang memiliki beberapa karya tafsir, salah satu diantaranya adalah Fath

17 Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosdakarya 1994), cet.2

h.116. 18 Muhammad Ibnu Jamil Zainuu, Pemahaman al-Qur’an, (Bandung: Gema Risalah Press

1997), h. 79.

7

al-Qadîr. Bentuk penafsirannya adalah gabungan dari bi al-riwâyat dan bi al-

dirâyah, sedangkan metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlîlî.19

Imam al-Syaukânî berpendapat, bahwa kata istawâ dikinayahkan dengan

raja. Jadi bisa dipahami bahwa istawâ ‘alâ al-‘arsy yakni Allah mempunyai

singgasana. Yang jelas, hakikat makna tersebut pada ayat ini tidak diketahui

manusia.20

Berdasarkan paparan di atas penulis merasa tertarik untuk mengetahui

makna ayat mutasyâbih yang telah disebutkan di atas menurut al-Syaukânî dengan

membuat sebuah penelitian yang berjudul “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât

dalam Tafsir Fath al-Qadîr Karya Imam al-Syaukânî”. Menurut penulis

pembahasan ini adalah pembahasan yang menarik dan bagus untuk diteliti.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas banyaknya perdebatan mengenai ayat-ayat

mutasyâbihât di kalangan ulama, dan banyaknya penafsiran mengenai ayat-

ayat mutasyâbihât menjadi daya tarik penulis untuk mengkaji lebih dalam

mengenai ayat yang sering diperdebatkan tersebut. Dari sinilah penulis

mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :

Pertama, manusia memiliki al-Qur’an sebagai petunjuk dalam segala

hal kehidupannya sehingga manusia perlu untuk memehami al-Qur’an

termasuk memahami ayat mutasyâbihât.

19 Lebih lanjut akan dijelaskan pada bab 3. 20 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrîj Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 448.

8

Kedua, ayat mutasyâbihât memiliki makna yang sangat banyak,

sangat luas, dan sangat dalam. Hal ini belum banyak diketahui banyak

orang.

Ketiga, ayat mutasyâbihât di dalam al-Qur’an memiliki banyak term,

diantaranya sifat-sifat Allah, huruf muqotho’ah, hal-hal ghaib dan lain

sebagainya. Hal ini menarik untuk dibahas.

Keempat, Imam al-Syaukânî memiliki pandangan khusus mengenai

ayat mutasyâbihât, sehingga perlu untuk mengetahui pandangan Imam al-

Syaukânî mengenai ayat mutasyâbihât.

2. Batasan Masalah

Banyaknya perbedaan pandangan mengenai ayat-ayat mutasyâbihât

membuat pembahasan ini menjadi begitu luas. Dalam penelitian ini yang

menjadi inti permasalahan adalah ayat mutasyâbih makna atau dikenal

dengan “antropomorfîsme”. Tulisan ini difokuskan membahas mutasyâbih

makna yang menyangkut masalah sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah al-

Suyûtî disebut dengan “ayat al-Sifat” dan dalam istilah Subhi al-Salîh

“Mutasyâbih al-Sifat”.21 Masalah ayat mutasyâbih menjadi bahan

perdebatan dikalangan ulama kalam, apakah ayat-ayat yang

menggambarkan bahwa Allah punya sifat-sifat jasmani cukup dipahami

menurut makna harfîyahnya atau harus dipahami dalam makna

metaforisnya.

21 Istilah antropomorfîsme, mutasyâbih makna, ayat al-Sifat, mutasyâbih al-Sifat,

mempunyai tujuan yang sama, yaitu ayat-ayat yang menggambarkan penyerupaan Allah dengan

makhluk-Nya. Seperti, tangan, kaki, mata, duduk, dan yang lainnya. Dalam tulisan ini selanjutnya

akan dituliskan dengan mutasyâbihât.

9

Semua ayat seperti ini menyangkut masalah aqidah, maka ketika salah

dalam memahami ayat berarti salah dalam ber-aqidah. Selanjutnya jika

salah dalam ber-aqidah berarti salah dalam iman yang akhirnya jatuh pada

kemusyrikan. Ayat mutasyâbih yang berkaitan dengan sifat Tuhan dalam al-

Qur’an sangat banyak, namun penulis hanya fokuskan membahas sebagian

saja.

Al-Syaukânî dalam tafsirnya membicarakan masalah-masalah yang

diperdebatkan dalam sifat-sifat Tuhan, yakni: tasybîh (antrpomorfîsme),

ru’yatullah (melihat Tuhan), dan khalq al-Qur’ân (al-Qur’an qadîm atau

baharu).

Penulis membatasi ayat-ayat sifat (tasybîh) yang akan diteliti yaitu :

QS. al-A’râf (7): 54, QS. Tâhâ (20): 5, QS. al-Raẖmân (55): 27, QS. al-

Qasas (28): 88, QS.al-An’âm (6): 52, QS. Sâd (38): 75, QS. al-Zumar (39):

67, QS. Hûd (11): 37, QS. Tâhâ: 39, QS. al-Zumar (39): 56, QS. al-Fajr (89):

22.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan

permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana penafsiran ayat-ayat

mutasyâbihât yang dilakukan oleh al-Syaukânî pada karya tafsirnya Fath

al-Qadîr. Tafsir Fath al-Qadîr ini menggabungkan antara dirâyah dan

riwâyah, dan karena al-Syaukânî seorang Syi’ah Zaidiyah, serta tafsir Fath

al-Qadîr yang tidak banyak membawa madzhabnya tersebut dalam

karyanya. Tafsir Fath al-Qadîr disusun pada bulan Rabiul Awal tahun 1223

H. Dalam penyusunannya beliau merujuk kepada Abû Ja’far al-Nuhâs,

10

Atîyyah al-Dimasyqî, Ibn Atîyyah al-Andalûsî, Qûrtûbî, Zamakhsyârî dan

ulama-ulama lainnya.22

C. Tujuan Penelitian

Secara formal penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat

memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,

Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non formal

penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengenalkan tokoh al-Syaukânî dan tafsirnya yaitu Tafsîr Fath

al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm

al-Tafsîr.

2. Untuk mengetahui makna ayat mutasyâbihât dan mengetahui

penafsiran al-Syaukânî terhadap ayat-ayat mutasyâbihât.

D. Manfaat Penelitian

Selain memiliki tujuan, penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi dan

manfaat, yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

tentang penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât dalam kepustakaan ilmu al-

Qur’an dan teologi sekaligus.

2. Secara praktis, hasil pembahasan ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi dalam pemahaman teologis dalam memahami sifat-sifat

Allah yang ditunjukkan al-Qur’an secara abstrak dan mengetahui lebih

lanjut penafsiran yang dilakukan al-Syaukânî terhadap ayat

mutasyâbihât dalam al-Qur’an.

22 Muẖammad ibn ‘Ali Muẖammad al-Syaukânî, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij

Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid 1, h. 31.

11

3. Secara aspek teologis dan agama, diharapkan hasil penelitian ini dapat

menambah kekuatan dan keteguhan iman kita sebagai orang beriman.

E. Kajian Pustaka

Ayat-ayat mutasyâbihât khususnya dalam penelitian ini adalah ayat-ayat

yang merupakan salah satu dari sekian ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah yang

sampai sekarang menjadi pembahasan menarik untuk dikaji. Upaya pengkajian

tentang masalah ini telah dilakukan oleh para mufassir dalam bentuk dan corak yang

berbeda-beda, ada yang memahaminya dari segi i’jâz, segi bahasa, dan lain

sebaginya.

Dalam penelusuran penulis terhadap bebagai karya tulis yang membahas

tentang ayat-ayat mutasyâbihât memang banyak terutama dalam bentuk makalah,

atau dalam buku-buku ilmu al-Qur’an, akan tetapi yang membahas tentang ayat

mutasyâbihât dalam tafsir Fath al-Qadîr penulis belum menemukannya. Di antara

beberapa karya tulis yang membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât secara

komprehensif antara lain dapat dilihat dalam al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya

al-Zarkasyî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Sûyûti, dan kitab atau buku-buku

ilmu al-Qur’ân lainnya seperti Manâhîl al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-

Zarqânî, dan Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya al-Qattan.

Di samping itu, karya tulis yang membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât

juga tidak asing lagi di kalangan mahasiswa, baik berupa skripsi, tesis, dll. Di antara

karya tulis mahasiswa yang membahas tentang ayat-ayat mutasyâbihât adalah :

Pertama, karya Asep Fathurrahman yang berjudul Penafsiran ayat-ayat

Mutasyâbihât “Studi Komparatif Tafsîr Marâh Labîd dan Tafsîr Al-Kasysyâf”.

Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2016. Dalam skripsi ini,

12

penulis meneliti penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât menurut dua tokoh yang

berbeda zaman, berbeda kitab, dan berbeda pemikiran. Di antara tokohnya ialah

Syaikh Nawâwî al-Bantanî dengan kitabnya Marâh Labîd dan al-Zamakhsyârî

dengan kitabnya Tafsîr al-Kasysyâf. Dipilihnya Syaikh Nawâwî al-Bantanî karena

beliau seorang ulama Nusantara yang menganut paham ahl al-Sunnah wa al-

Jama’ah dalam pemikiran kalam atau teologi, dan menganut mazhab Syafî’i dalam

bidang fîqh. Sedangkan, al- Zamakhsyârî berbeda dengan Syekh Nawâwî al-

Bantanî, pada al-Zamakhsyârî beliau seorang mufasir dengan bermadzhabkan

Mu’tazilah, dimana menurut para rivalnya beliau terkesan membela secara mati-

matian ideologi Mu’tazilah dengan menggunakan segala macam argumen yang

dapat diajukan untuk kepentingan tersebut.23

Kedua, Moh. Hidayat, skripsi Penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât dalam

Tafsîr al-Jîlânî karya Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî. Prodi Tafsîr Hadits, Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2012. Dalam skripsi ini hanya meneliti

tentang kajian penafsiran Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî terhadap beberapa contoh

ayat mutasyâbihât (term wajẖ, yad, istawâ, ‘ain) yang berbicara seakan-akan Allah

menyerupai makhluk-Nya, dan juga dibahas aspek yang terkandung di dalam ayat

tersebut menurut Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî. Moh. Hidayat menemukan adanya

perbedaan penafsiran Syaikh ‘Abd al- Qadîr al-Jîlânî terhadap ayat yang terdapat

empat kata tersebut dengan mufassir lainnya namun ada beberapa penafsirannya

yang sama persis dengan mufassir lain yang non sufî.24

23 Asep Fathurrahman, Skripsi: “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât “Studi Komparatif

Tafsîr Marâh Labîd dan Tafsîr Al-Kasysyâf”, Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2016. 24 Mohammad Hidayat, Skripsi: Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyâbihât dalam Tafsîr Al-Jîlânî

Karya Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2012.

13

Ketiga, Jurnal yang ditulis oleh Machasin, al-Qaḏi’ ‘Abd al Jabbâr dan

ayat-ayat mutasyâbihât dalam al-Qur’ân. Al-Jami’ah UIN , No. 27 tahun 1994.

Disini membahas tentang kitab mutasyâbihât. Kitab yang dikarang oleh al-Qaḏi’

‘Abd al Jabbâr berkesimpulan bahwa dalam memecahkan persoalan ayat-ayat yang

dianggap mutasyâbihât, ‘Abd Jabbâr mendasarkan pada pengertian logis dari

bentuk lahiriah ayat itu dan penakwilannya yang logis.25

Keempat, Muhammad Ihsan, jurnal Metodologi Tafsir Imam Al-Shawkânî

dalam Kitab Fath Al-Qadîr Kajian terhadap Surah Al-Fâtihah, Jurnal Hunafa,

STAIN Datokarama Palu, Vol. 5, No.2, Agustus 2008. Dalam jurnal ini dijelaskan

mengenai metode Imam al-Syaukânî dalam menafsirkan surat Al-Fâtihah bahwa

metode yang digunakan al-Syaukânî di dalam tafsir Fath al-Qadîr ialah metode

tahlîlî yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan urutan surah dan ayat dalam al-

Qur’an. Metode ini digunakan dengan menggunakan bentuk tafsir bi al-ma'thûr

karena penafsirannya lebih banyak disandarkan kepada riwayat hadis. Sumber-

sumber yang digunakan oleh al-Shawkânî di dalam kitab tafsirnya tersebut ialah

riwayat, ayat-ayat al-Qur’an dan kebiasaan-kebiasaan orang Arab, namun yang

paling menonjol ialah penggunaan riwayat. Di dalam menggunakan riwayat sebagai

sumber analisis penafsirannya, al-Syaukânî tidak membatasi diri pada hadis-hadis

sahîh, walaupun dia juga menegaskan kesahihan beberapa buah hadis yang

dijadikannnya sebagai bahan analisis penafsirannya.26

Kelima, Tesis karya Hasani Ahmad Syamsuri, prodi Tafsîr Hadits,

pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007 dengan judul Corak

25 Machasin, Al-Qaḏi’ ‘Abd al-Jabbâr dan Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam al-Qur’an, (Al-

Jami’ah, No. 27 tahun 1994). 26 Muhammad Ihsan, Metodologi Tafsir Imam Al-Shawkânî Dalam Kitab Fath Al-Qadîr:

Kajian Terhadap Surah Al-Fâtihah, Jurnal Hunafa Vol. 5, No.2, Agustus 2008.

14

Pemikiran Kalam Tafsîr Fatẖ al-Qadîr Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî dalam

Teologi Islam. Dalam tesis ini, dijelaskan sangat detail mengenai riwayat hidup

Imam al-Syaukânî, metode kitab Tafsîr Fatẖ al-Qadîr dan pemikirannya terhadap

al-Qur’an yang dituang dalam karyanya. Dalam karya lebih menitik fokuskan

adalah corak kalam al-Syaukani.27

Dari pemaparan kajian pustaka diatas penulis belum menemukan fokus

kajian terhadap pemikiran al-Syaukânî mengenai konsep penafsiran ayat-ayat

mutasyâbihât. Oleh karena itu penulis mengangkat judul tersebut.

F. Metode Penelitian

Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset kepustakaan (library research)

yaitu dengan membaca karya al-Syaukânî yaitu Tafsir Fatẖ al-Qadîr sebagai data

primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang al-

Syaukânî dan ayat-ayat mutasyâbihât sebagai data sekunder.28 Dan kajiannya

secara deskriptif29 dan analitis30, yakni mendeskripsikan data-data yang ada

kemudian menganalisanya secara proporsial. Dengan demikian dapat diambil

kesimpulan-kesimpulan yang berhubungan dengan pokok masalah dalam skripsi

ini.

27 Hasani Ahmad Syamsuri, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Fatẖ al-Qadîr Telaah atas

Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam, Tesis Konsentrasi Tafsir Hadis UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2007. 28 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 145, Lihat pula, Noeng

Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996), h. 49. 29 Deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya. Lihat, Departemen Pendidikan

Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. ke 3, h. 258. 30 Analitis adalah penguraian sesuatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian

itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman

arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Lihat,

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),

cet. ke 3, h. 43.

15

Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

berasal dari data primer (primary resources) dan sekunder (secondary resources).

Sumber primernya adalah karya al-Syaukâni sendiri yakni tafsir Fath al-Qadîr al-

Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr dan Irsyâd al-

Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul.

Sedangkan sumber sekundernya adalah yang dapat mendukung dan

memperkuat data primer dalam kajian ini. Penulis merujuk kepada buku-buku,

skripsi, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât

dan yang berkaitan dengan tokoh al-Syaukânî.

Adapun teknis penulisan dalam skripsi ini berdasarkan pedoman akademik

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017 Program

Strata 1, yang diterbitkan oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaaan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam membahas skripsi ini, maka karya ilmiah ini

ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang terkait

antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan, yang mencakup latar belakang

masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kajian kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua dari kajian ini akan memuat mengurai makna mutasyâbihât,

ragam mutasyâbihât dalam studi al-Qur’an, pandangan dan sikap ulama terhadap

mutasyâbihât, hikmah adanya studi muhkam dan mutasyâbihât.

16

Bab ketiga dalam bab ini penulis berbicara mengenai biografî dan rihlah

ilmiah Imam al-Syaukânî, guru dan murid Imam al-Syaukânî, karya-karya Imam

al-Syaukânî, tafsir Fath al-Qadîr.

Bab keempat dalam bab ini penulis menjelaskan inti dari penulisan karya

ilmiah ini, yaitu berbicara mengenai klasifîkasi ayat-ayat mutasyâbihât, penafsiran

ayat-ayat mutasyâbihât menurut Imam al- Syaukânî dalam kitab Fath al-Qadîr

yang berkenaan dengan istawâ, ‘ain, wajh, yad, jâ’a Rabbuka, al-janbu.

Bab kelima ialah bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

17

BAB II

KONSEPSI MUTASYÂBIHÂT DALAM STUDI AL-QUR’AN

A. Mengurai Makna Mutasyâbihât

Sebelum membahas bagaimana pandangan Imam al-Syaukânî terhadap ayat

mutasyâbih, penulis merasa perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu pengertian

mutasyâbih dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Pembahasan masalah ayat

mutasyâbih sudah menjadi bahan pembicaraan dikalangan mufassirîn dari zaman

dahulu hingga saat ini, baik dari segi makna mutasyâbih itu sendiri maupun makna

dari ayat yang digolongkan kepada ayat mutasyâbih. Setiap generasi melakukan

penelitian yang mengakibatkan munculnya ilmu-ilmu baru yang belum tergali pada

masa sebelumnya. Ketika ingin menjelaskan pengertian mutasyâbih,

pembahasannya tidak sempurna sebelum menjelaskan hal yang bersangkutan

dengannya yaitu muẖkam. Muẖkam dan mutasyâbih adalah dua istilah yang saling

bergandengan dan tidak bisa dipisahkan antara keduanya.

Dimulai dari pengertian yang pertama adalah ditinjau dari segi aspek

etimologi. Secara bahasa, muẖkam memiliki makna al-mutqonu yang berarti

unggul/sempurna. Sedangkan muẖkam dalam al-Qur’an adalah tidak adanya

18

keserupaan pada dhozir ayat, sehingga tidak dibutuhkan ta’wîl1 lagi.2 Muhkam

dalam Mu’jam al-Wâsit3 juga mengartikan sama dengan apa yang terdapat dalam

kitab Mu’jam al-Lughoh al-‘Arabiyyah yaitu muhkam memiliki makna tidak

adanya keserupaan pada dzohir ayat, sehingga tidak dibutuhkan ta’wîl lagi.

Mutasyâbih dalam Mu’jam al-Wâsit, yang memiliki beberapa makna4.

Sehingga membutuhkan ta’wîl untuk menafsrkan ayat mutasyâbih. Mutasyâbih

dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan adalah sesuatu makna yang di ambil bukan dari

lafadznya. Mutasyâbih dibagi menjadi dua yang pertama, jika dikembalikan ke

makna yang muẖkam maka akan diketahui maknanya. Kedua, tidak ada jalan lain

untuk mengetahuinya.5

Dari pemaparan diatas, sangatlah jelas makna muẖkam dan mutasyâbih.

Muẖkam ialah jelas, sempurna, dan tidak adanya keserupaan. Sedangkan

mutasyâbih ialah sebaliknya dari makna muẖkam. Setelah penulis memaparkan

pengertian dari masing-masing muẖkam dan mutasyâbih secara etimologi, maka

1 Makna ta’wîl dalam kamus al-Munawwir disebutkan bahwa awwalahu ‘alaih artinya

mengembalikan, tetapi jika dikatakan awwala al-kalâm berarti menafsirkan dan menjelaskan dan

jika dikatakan awwala al-ru’ya berarti menjelaskan arti mimpi. Dalam konteks ini makna ta’wîl

sama dengan makna tafsir yang fi’il mâdi nya berupa fassara yaitu penjelasan, komentar atau

keterangan. Lihat, Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002),

h. 48. Kata ta’wîl dalam penggunaanya oleh para ulama tafsir memiliki berbagai pengertian yang

berbeda-beda. Ada beberapa ulama yang menyamakan ta’wîl dengan tafsir. Pendapat ini oleh al-

Suyûtî dinisbatkan kepada Abî Ubaidah dan beberapa ulama lainnya. Lihat lebih lanjut, Jalâl al-Dîn

al-Suyûtî, al-Itqân, (Bairût: Dâr al-Fikr, t.th.), vol. II, h.173. Pendapat ini berdasarkan pada sebuah

hadis Nabi Saw. Ketika mendoakan Ibn ‘Abbâs, yang berbunyi “Allâhumma faqqihu fî al-dîn wa

‘allimhu al-ta’wîl”, juga ungkapan Ibn ‘Abbâs sendiri yang mengatakan: “ana min man ya’lam

ta’wîlahu”, dan ungkapan-ungkapan al-Tabarî dalam kitab tafsirnya, “al-qaul fî ta’wîl qaulihi

ta’âlâ...”. Kata-kata ta’wîl yang dikehendaki dalam doa Nabi Saw., ungkapan Ibn ‘Abbâs, dan

ungkapan al-Tabarî dalam kitab tafsirnya adalah tafsir. Lihat lebih lanjut, Forum Karya Ilmiah Purna

Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), cet.ke 3, h.192. 2 Ahmad Mukhtar Abdul Hamid, Mu’jam al-Lughoh al-‘Arabiyyah al-Ma’asirah, (Mesir:

‘Alim al-Kutûb, 2008), juz 1, h.289. 3 Majma’ al-Lughoh al-Arabiyyah Bi al-Qâhirah, Mu’jam al-Wâsit, (t.tp, Dâr al-

Da’wah,t.th.), juz 1, h.190. 4 Majma’ al-Lughoh al-Arabiyyah Bi al-Qâhirah, Mu’jam al-Wâsit, (t.tp, Dâr al-

Da’wah,t.th.), juz 1, h.471. 5 Jamâluddin Ibn Mudzîr, Lisân al-‘Arab, (Bairût: Dâr al-Sadar, 1992), juz 13, h.505.

19

mini penulis beralih kepada pengertian secara terminologi. Dalam pengertian ini,

muẖkam dan mutasyâbih diperselisihkan oleh banyak kalangan ulama, dan bahkan

mereka memiliki versi masing-masing tentang pengertian dari kedua konsep

tersebut. Sebagaimana dalam penjelasan al-Suyûtî defînisi tersebut kurang lebih

terdapat sembilan macam6: Pertama, muẖkam adalah lafaz yang mudah dipahami,

baik karena memang sudah jelas maknanya dan maupun dengan cara penta’wilan,

dan mutasyâbihât adalah kebalikannya, yaitu lafaz yang hanya diketahui oleh Allah

swt seperti kepastian tentang waktu terjadinya hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-

huruf al-muqata’ah di awal surat al-Qur’an . Kedua, muẖkam adalah lafaz yang

sudah jelas maknanya dan sedangkan mutasyâbihât adalah lafaz yang tidak jelas

maknanya. Ketiga, muẖkam adalah lafaz yang tidak bisa di-ta’wîl kecuali dengan

satu aspek sedangkan mutasyâbihât adalah lafaz yang memungkinkan banyak aspek

penakwilan. Keempat, muẖkam adalah lafaz yang rasional mananya atau mudah

diterima oleh akal, seperti perintah melaksanakan shalat. Sedangkan mutasyâbihât

sebaliknya yaitu lafaz yang sulit diterima oleh akal, seperti ketentuan waktu dan

jumlah rakaat shalat, diwajibkan puasa hanya khusus di bulan ramadhan dan

sebagainya.

Masih tentang macam-macam definisi dari muẖkam dan mutasyâbihât.

Kemudian definisi lainnya yang mnempati urutan kelima ialah muẖkam adalah lafaz

yang berdiri sendiri dan mutasyâbih adalah lafaz yang tidak bisa berdiri sendiri

kecuali dengan mengembalikan kepada lafaz yang lain. Keenam, muẖkam adalah

penakwilan lafaznya melalui turunnya dan mutasyâbihât adalah lafaz yang tidak

dapat dipahami kecuali setelah melalui proses penta’wîlan. Ketujuh, muẖkam

6 Abû al-Fadl Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-

Qur’ân, (al-Saudiyyah: al-Mamlakat al- ‘Arabiyyah, t.t.h), juz 4, h.1336.

20

adalah lafaz yang tidak diulang-ulang dan sebaliknya disebut dengan mutasyâbih.

Kedelapan, muẖkam adalah lafaz-lafaz yang menjelaskan tentang kewajiban

(farâ’id), janji pahala,dan janji siksaan, dan sedangkan mutasyâbihât adalah lafaz

yang menjelaskan tentang kisah, dan perumpamaan (al-amtsal). Kesembilan,

muẖkam adalah lafaz dimana di dalamnya menjelaskan tentang hal-hal yang

hukumnya halal, haram dan lain sebagainya. Sementara mutasyâbihât adalah lafaz

yang saling membenarkan satu dengan yang lain.

Menurut istilah, muẖkam juga dikatakan sebagai ayat yang jelas maksud dan

maknanya, rasional, mandiri, menerangkan masalah kewajiban, janji dan ancaman.7

Dalam jurnal yang berjudul “Pemahaman Ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif

Bahasa”, mengatakan bahwa penulis mengutip makna mutasyâbihât secara istilah

menurut Imam al-Ghazali, bahwa al-Ghazali melihat bahwa ayat-ayat mutasyâbihât

adalah ayat-ayat yang secara literalistik menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai

sifat-sifat jasmaniyah (antropomorfîsme). Ayat-ayat tersebut meliputi: pertama,

sifat-sifat dzat seperti bertangan, berwajah, bermata dan mengambil tempat seperti

di atas di sebelah dan lain sebagainya. Kedua, sifat perbuatan seperti turun, datang,

tertawa, duduk dan bersemayam. Ketiga, emosi seperti bosan, marah, rela, cinta,

dan lain sebagainya.8

Imam al-Alûsî9 dalam kitab tafsîr Rûh al-Ma’ânî membuat defenisi tentang

ayat muẖkam dan mutasyâbih yaitu: muẖkam adalah ayat yang terang maknanya,

7 Tarmana Abdul Qasim, Samudera Ilmu-Ilmu al-Qur`an, (Bandung: Mizan Pustaka,

2003), h. 140-141. 8 Husein Aziz, jurnal “Pemahaman Ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif Bahasa”, dalam

journal Madaniya, vol. 11, no 1, 2012 h. 31-32. 9 Al-Alûsî adalah seorang pemikir muslim yang ahli dalam bidang ilmu agama., baik yang

bersifat usulî maupun furu’î. Beliau lahir di Baghdad pada hari Jum’at tahun 1217 H/1802 M. Nama

lengkapnya adalah Mahmûd bin Abdillâh bin Muhammad bin Darwisy al-Husainî al-Alûsî Syihâb

al-Dîn al-Shana’. Al-Alûsî memulai proses intelektualnya dengan mempelajari Bahasa Arab, fiqh,

mantiq, dan hadis dari ayahnya sendiri. Karena kekuatan hafalannya, pada umur lihat tahun beliau

21

jelas dilalahnya terpelihara dari adanya kemungkinan terjadi pemalingan makna

dan penyerupaan dengan yang lain. Mutasyâbih yaitu ayat yang mungkin di artikan

kepada beberapa makna, tidak bisa membedakan sebagian dengan sebagian yang

lain, untuk mengahasilkan makna yang dimaksud tidak bisa didapat tanpa adanya

penelitian yang lebih dalam. Ketidakjelasan makna ayat terkadang karena

banyaknya pengertian suatu ayat atau penjelasannya terlalu umum.10

Ada sebagian ulama memberikan tanda-tanda kapan suatu ayat al-Qur’an

masuk dalam golongan muẖkam dan mutasyâbih, yaitu jika suatu ayat tersebut

membicarakan tentang ayat yang menasakh, menjelaskan tentang halal dan haram,

batasan dan kewajiban-kewajiban, serta tentang janji pahala dan jani siksaan, maka

masuk dalam golongan ayat-ayat muẖkam. Sedangkan jika ayat tersebut

membicarakan tentang nama dan sifat-sifat Allah, sifat surga dan neraka, dan lain

sebagainya maka ayat tersebut adalah ayat mutasyâbihât, misalnya seperti QS. Tâhâ

(20): 5, QS. al-Fath (48): 10, QS. al-Fajr (89): 22. QS. al-Fath (48): 6, QS. al-

Bayyinah (98): 8, dan lain sebagainya.11

Menyikapi macam-macam defînisi yang telah dipaparkan di atas, penulis

perlu menetapkan definisi operasional. Hal ini dilakukan agar mejadi definisi

pedoman dalam penelitian ini. Nampak jelas perbedaan antara muẖkam dan

mutasyâbih. Secara garis besarnya perbedaan di antara muẖkam dan mutasyâbih

sudah hafal matan beberapa kitab dan bahkan al-Qur’an. Lihat lebih lanjut, Faizah Ali Syibromalisi,

Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,

2011), h.71-72. 10 Syihâb al-Dîn Sayyid Mahmud al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, (Lebanon: Dâr al-Fikr,2003

M/1423 H), cet.1, jilid 2, h. 99. 11 Abû al-Fadl Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-

Qur’ân, (al-Saudiyyah: al-Mamlakat al-‘Arabiyyah, t.t.h), juz 4, h.1354. Lihat juga dalam Manna’

al-Qattan, Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 207.

22

adalah bahwa muẖkam jelas maknanya dan mutasyâbih tidak jelas sehingga masih

membutuhkan penafsiran untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas.

B. Ragam Mutasyâbihât dalam Studi Al-Qur’an

Letak ayat mutasyâbih dalam al-Qur’an terdapat dalam beberapa tempat

yaitu, terkadang dari segi lafaz, terkadang dari segi makna dan terkadang dari segi

lafaz dan makna. Untuk lebih jelasnya bisa diperhatikan contoh di bawah ini.

1. Mutasyâbih dari segi lafaz, konsep mutasyâbih dari segi lafaz ini dibagi

menjadi dua macam. Pertama, mutasyâbih dalam lafaz tunggal. Bagian

pertama ini dibagi menjadi dua macam yaitu pertama, mutasyâbih dalam

lafaz tunggal (mufrad), yaitu karena dengan adanya penggunaan lafaz asing

dan jarang dipakai, seperti lafaz اب وأ

كهة

Pada .(QS. ‘Abasa (80): 31) وف

hakikatnya lafaz tersebut bermakna semacam sayur-sayuran. Lafaz itu sulit

dipahami maknanya, karena memang selain jarang dipakai, juga terasa asing

bagi orang-orang Arab yang notabennya hidup di tanah gersang. Masuk

dalam cakupan pembahasan ini adalah huruf al-muqata’ah (huruf-huruf

yang terputus-putus) di dalam beberapa awal surat, seperti م , طه , يس ال

Huruf-huruf yang terputus tersebut sulit untuk dipahami maknanya,

sehingga ulama klasik lebih banyak pemasrahannya kepada Allah Swt

dengan menafsirkannya dengan “Allah ‘a`lam bi muradihi (Allah Maha

Mengetahui dengan apa yang dikehendaki-Nya), namun ada beberapa

23

ulama kontemporer yanng mencoba memberikan interpretasi kepada huruf-

huruf tersebut.12

Kedua, mutasyâbih dalam lafaz tunggal bermakna ganda (musyarakah),

seperti makna dari lafaz al-yad, al-‘ain, al-yamîn, dan lafaz-lafaz

semacamnya. Lafaz tersebut bisa menjadi bermakna ganda, mana kala

ketika ia berada dalam suatu kalimat sempurna dan bisa dibawa kepada

beberapa makna, misalnya seperti lafaz al-yamîn dalam QS. al-Saffat (37):

93. Ayat ini menjelaskan tentang berhala-berhala yang dihancurkan oleh

Nabi Ibrâhim a.s. Lafaz al-yamîn pada ayat tersebut bisa bermakna tangan

kanan, maka pemahamannya menjadi: “Nabi Ibrâhim a.s. memukul dengan

tangan kanan”, bermakna kuat, pengertiannya menjadi: “Nabi Ibrâhim a.s.

memukul berhala-berhala itu dengan sangat kuat”, dan juga bisa bermakna

sumpah, menjadi: “Nabi Ibrâhim a.s. pernah bersumpah akan

menghancurkan behala-berhala tersebut”.13

Kemudian bagian kedua kelanjutan dari pembagian di atas adalah

mutasyâbih dalam lafaz murakkab. Mutasyâbih dalam lafaz murakkab ini

dibagi menjadi 3 di antaranya, pertama, mutasyâbih dalam lafaz tersusun

karena terlalu ringkas, misalnya tentang anak yatim dan masalah poligami

dalam QS. al-Nisâ`: 3. Kedua, mutasyâbih (kemiripan) dalam lafaz tersusun

karena terlalu luas cakupannya, seperti adanya penambahan huruf kaf pada

lafaz mitsli (كمثل) padahal keduanya sama-sama memiliki arti “seperti”,

12 Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h.245. 13 Abdul Djalal, ‘Ulum al-Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h.245.

24

yaitu: (ليس مثله ش ئ). Ketiga, Mutasyâbih (kemiripan) dalam lafaz tersusun

karena susunan kalimatnya.

2. Mutasyâbih dari segi makna yaitu ayat yang berkaitan dengan sifat Allah

atau hari kiamat. Dari segi lafaz dapat dipahami dengan jelas akan tetapi

tidak dapat dirincikan bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Seperti

dalam surah Tâhâ ayat 5 .

“ ن حم ٱلر عرش ٱستوىى ٱل

عل ”

Pada kalimat istawâ’ lafaznya dapat diketahui, tapi makna yang

sesungguhnya tidak diketahui. Bila diartikan dengan arti lahirnya akan

bertentangan dengan keadaan Allah yang sesungguhnya, karena sifat istiwa

(duduk) adalah sifat makhluk bukan sifat Allah.

3. Mutasyâbih dari segi makna dan lafaz. Dalam konteks kali ini, mutasyâbih

terbagi menjadi lima bagian. Pertama, yaitu mutasyâbih secara kuantitas,

seperti bersifat umum dan khusus. Contohnya QS. al-Taubah (9): 5. Dalam

ayat ini, orang-orang muslim diperintahkan untuk membunuh orang-orang

musyrik dimanapun jika bertemu dengan mereka. Tentu saja hal ini masih

samar tentang batas-batas boleh dan tidaknya mereka dibunuh. Kedua,

mutasyâbih dalam cara praktik, seperti tentang perintah yang hukum wajib,

sunnah, dan lain sebagainya. Contoh adalah QS. al-Nisâ` (4): 3. Ketiga,

mutasyâbih dalam aspek masa, seperti dalam perintah untuk bertakwa yang

sebenar-benarnya yaitu sebagaimana yang diperintahkan dalam QS. Âli

Imrân (3): 102. Ayat ini memerintahkan untuk bertakwa, tetapi tidak ada

keterangan batas tertentunya. Keempat, mutasyâbih dalam temapat atau

25

suatu perkara, dimana ketika itu al-Qur’an langsung meresponnya seperti

tentang penjelasan bahwa bukan suatu perbuatan baik dan terpuji ketika

memasuki rumah dari belakang, seperti dalam QS. al-Baqarah (2):189.

Maksud di belakang rumah di dalam ayat tersebut nash samar. Orang yang

tidak mengetahui ada kebiasaan orang-orang Jahiliyyah tidak bisa

memahami ayat tersebut. Kelima, mutasyâbih dari aspek syarat-syarat

sahnya suatu perintah. Biasanya al-Qur’an hanya memerintah suatu perkara,

tetapi tidak dengan perincian syarat-syaratnya sehingga menimbulkan

kesamaran yang tidak dipahami dan perlu ada perincian dari pembaca atau

pendengar seperti tentang syarat melaksanakan shalat, syarat pernikahan

dan lain sebagainya.14

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mutasyâbih dalam ayat

terdapat pada tiga tempat. Yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini

adalah mutasyâbih makna karena ayat ini berkaitan dengan sifat Tuhan,

maka yang selalu memperbincangkannya adalah dari kalangan ulama

kalam. Mereka berusaha menafsirkan ayat sesuai dengan keyakinan mereka

masing-masing. Munculnya perbedaan penafsiran di antara mereka

dipengaruhi oleh aliran yang mereka pegangi.

C. Pandangan dan Sikap Ulama terhadap Mutasyâbihât

Problem utama dalam pembahasan muẖkam dan mutasyâbih kembali

kepada pengertian dari lafaz ayatun dalam QS. Alî Imrân (3): 7.

14 Ainun Najib, Tesis: Konsep al-Muhkam dan al-Mutasyâbih menurut Muhammad Abîd

al-Jabirî, (Jakarta, UIN Jakarta, 2016), h. 106-107.

26

مت هن أ م

حك ت م ب منه ءاي

كت

يك ٱل

نزل عل

ذي أ

ا هو ٱل م

أ ف

ت به

ش

ر مت

خ

ب وأ

كت

ٱل

وبهم زيغلذين في ق

ء ٱ ٱل

ابه منه ٱبتغ

ش

بعون ما ت

يت

ويلهۦ وماف

أء ت

افتنة وٱبتغ

ل

م يعل

ا ب ون ءامنم يقول

عل

ون في ٱل

سخ

وٱلره

ٱلل

هۥ إل

ويل

أر إت

ك

وما يذ

نا

ن عند رب م

ل هۦ ك

ل

ب بل ٱل

وا

ول

أ

“Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara

(isi)nya ada ayat-ayat yang muẖkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang

lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong

kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât

daripadanya untuk menimbulkan fîtnah untuk mencari-cari ta’wîlnya, padahal tidak

ada yang mengetahui ta’wîlnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam

ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya

itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)

melainkan orang-orang yang berakal”

Dalam ayat ini menjadi dasar di mana para ulama berbeda pendapat

mengenai tafsir15 dari ayat tersebut. Ada sebagian dari mereka yang tidak

membolehkan menafsirkan dan mentakwilnya, dan ada sebagian lagi yang

membolehkan. Diantara mereka yang tidak membolehkan adalah ‘Âisyah ra, istri

Rasulullah Saw. Beliau menyatakan bahwa ayat-ayat mutasyâbihât hanya Allah

Swt yang mengetahuinya, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa

menakwilkannya. Hal ini karena menurut ‘Âisyah ra, huruf wau sbelum kata al-

râsikhûna dalam QS. Âli Imrân (3): 7, itu berarti isti’inaf (kata yang menunjukkan

awal kalimat). Sedangkan kata râsikhûna itu marfu’ sebagai mubtada’. Sehingga

15 Tafsir dalam kamus al Munawwir al-tafsîrû yang berarti tafsiran, interpretasi. Lihat,

Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,

1997), h.1055. Sedangkan tafsir menurut terminologi (istilah), sebagaimana didefinisikan Abû

Hayyân yang dikutip oleh Manna’ al-Qattân ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan

lafaz-lafaz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuk, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri

maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang

melengkapinya. Lihat, Halimudin, Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995),

h. 164.

27

kalimat sebelumnya tidak ada kaitannya dengan kalimat sesudahnya.16 Hal ini

diperkuat dalam tafsirannya tentang QS. Âli Imrân (3): 7, yang dikutip oleh al-

Tabarî sebagai berikut:

“Al-Tabarî meriwayatkan dari Muhammad ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd al-

Hakam. Ia meriwayatkan berdasarkan penuturan Khalid ibn Nazzar dari Nâfî’, dari

Ibn Abi Malikah, dari ‘Âisyah berkenaan dengan fîrman Allah Swt, “Wa al-

râsikhûna fî al-‘ilmi yaqûlûna âmanna bih” (dan orang-orang yang mendalam

ilmunya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat mutasyâbih). ‘Âisyah

berpendapat, “diantara kedalaman ilmu mereka adalah mereka beriman dengan

ayat-ayat muhkam dan mutasyâbihât, meskipun mereka tidak mengetahui

ta’wilannya”.17

Berbeda dengan ‘Âisyah, Abû Hasan al-Asy’arî (w. 935 M) berpendapat

ayat tersebut berhenti atau berakhir pada kalimat “dan orang-orang yang

mendalam ilmunya”. Dengan demikian para ulama mengetahui ta’wîlnya. Pendapat

tersebut diperjelas oleh Abû Ishaq al-Syirazî (w. 476 H) yang mendukungnya dan

mengatakan: “Pengetahuan Allah mengenai ta’wîl ayat-ayat mutasyâbihât itu

dilimpahkan juga kepada para ulama yang ilmunya dalam, sebab fîrman tersebut

diturunkan adalah pujian bagi ulama yang ilmunya mendalam. Kalau mereka tidak

mengetahui maknanya, berarti mereka sama dengan kaum awam.18

Dua pendapat di atas setidaknya telah mewakili masing-masing kelompok

yang setuju apakah sebaiknya ayat-ayat mutasyâbihât ditakwilkan atau tidak.

Keduanya sama-sama memiliki pandangan dan alasan yang kuat untuk

mempertahankan pendapatnya.

16 Abdullah Abu al-Su’ud Badr, Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, terj, Gazi Saloom,

dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 154-155. 17 Abdullah Abu al-Su’ud Badr, Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, terj, Gazi Saloom,

dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 189-190. 18 Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur`an, (Bogor: Granada

Sarana Pustaka, 2005), cet.1, h. 76. Lihat juga, Subhi Ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an,

terj, Team Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 373.

28

Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyâbih terbagi dalam dua

kelompok19, yaitu:

1) Mazhab salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-

ayat mutasyâbih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka

menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah

dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an. Di antara

ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Mâlik, ketika

ditanya tentang istawâ’ ia menjawab:

والسؤال عن هذا بدعة واظنك رجل سوء مجهول الستواء معلوم والكيف

أخرجوه عني

“istawâ itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui dan

mempelajarinya bid’ah. Aku mengira bahwa kau adalah orang yang tidak

baik, keluarkan dia dari tempatku”.

Ibn al-Sâlah (w. 643 H) menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut

oleh generasi dari para pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pula yang

dipilih imam-imam dan para pemuka fîqih.

2) Mazhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menta’wilkan

ayat-ayat mutasyâbih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti

yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari

kalangan ulama mutaakhirin.

Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari pengertian

lahir ayat-ayat mutasyâbih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana

dituturkan al-Qur’an, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu

19 Rosihon Anwar, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet. ke-2, h. 123-128

29

kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat

mutasyâbih. Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn al-

Daqîq al-‘Id (w. 702 M)20 mengatakan bahwa apabila penakwilan yang

dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyâbih dikenal oleh lisan Arab,

penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita

harus mengambil sikap tawaqquf21 dan mengimani maknanya sesuai apa

yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah.22

D. Hikmah Adanya Studi Muẖkam dan Mutasyâbihât

Sebagai kitab suci, al-Qur’an yang identik dengan fîrman-fîrman Allah Swt,

yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk kepada umat

manusia, sebagaimana dikemukakan dalam QS. al-Baqarah (2): 185. Oleh karena

itu, al-Qur’an sebagai dasar hukum yang pertama dan tidak ada keraguan di

dalamya selalu dikaji pesan-peannya agar manusia mampu mengambil berbagai

pelajaran untuk menjadi dasar dalam menjalani kehidupan di dunia.

Penulis mengemukakan hikmah dari ayat-ayat muẖkam dan mutasyâbih

yang dikutip dari Fakhr al-Dîn al-Razî,23 diantaranya:

20 Ibn al-Daqîq al-‘Id adalah pakar dalam fikih Mazhab Syâfi’i, ushul fikih, hadis dan

bahasa Arab. Nama lengkapnya Taqî al-Dîn Abû al-Fath Muhammad bin ‘Ali bin Wahhab bin Muti’

al-Daqîq al-‘Id al-Qusyairî. (Mesir: 25 Sya’ban 625 – Kairo, 15 Safar 702). Selengkapnya Lihat

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Hukum Islam, h. 604 21 Tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya. 22 Rosihon Anwar, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 123-128. 23 Fakhr al-Dîn al-Razî adalah salah satu ulama besar dalam dunia khazanah Islam, secara

khusus dalam bidang tafsir. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullâh Muhammad ibn Umar ibn

Husain bin Husain bin Hasan bin ‘Ali al-Tamîmî, al-Bakâri, al-Tibristâni, al- Razî dan diberi gelar

Fakhruddin. Beliau lahir di Ray pada tanggal 25 Ramadhan tahun 544 H. Beliau berasal dari dari

keluarga yang berpendidikan shingga bukan hal yang aneh kalau beliau sejak kecil menggeluti dunia

agama. Lihat lebih lanjut, Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 53.

30

Pertama, untuk menemukan makna dalam ayat mutasyâbihât membutuhkan

kejelian dan kepekaan yang begitu mendalam. Artinya, untuk mencari makna

mutasyâbihât tidak mudah karen masih rancu dan samar, maka dibutuhkan usaha

dan upaya besar dan hati yang cukup jernih. Oleh karena itu, kesulitan tersebut

sebenarnya memberikan tambahan pahala yang besar di sisi Allah swt sebagai

bentuk usahanya. Hal ini dikemukakan di dalam QS. Alî Imrân (3): 142.24

Kedua, seandainya seluruh ayat al-Qur’an hanya dihukumi sebagai

muẖkam, maka sudah pasti hanya akan ada satu aliran (madzhab) pemahaman

terhadap al-Qur’an. Dimana pemahaman-pemahaman lain sudah tentu tidak benar

kecuali mengikuti dan sesuai dengan pemahaman aliran tersebut. Namun karena

realitanya ayat al-Qur’an terbagi menjadi muẖkam sebagai induknya (umm al-kitab)

dan mutasyâbihât sebagai cabangnya, maka pemahaman terhadap teks al-Qur’an

mengalami variasi sehingga melahirkan banyak aliran yang bermacam-macam.

Dari kemunculan setiap aliran itu mereka aka berlomba-lomba dan bersungguh-

sungguh dalam mendalami ilmu penta’wilan untuk dijadikan sebagai pisau analisis

dalam mencari makna yang benar-benar dimaksud. Dari hal ini, penafsiran terhadap

ayat muẖkam menjadi acuan dasar dalam penafsiran ayat mutasyâbih dan akhirnya

akan teridentifîkasi pemahaman yang benar dan membuang pemahaman yang

salah.

Ketiga, dalam memahami ayat muẖkam dan mutasyâbih memerlukan

logika. Hal ini memberikan kesadaran secara tidak langsung dan sekaligus

برين 24 هدوا منكم ويعلم ٱلص أ م حسبتم أن تدخلوا ٱلجنة ولما يعلم ٱلل ٱلذين ج

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah

orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar” QS. Alî Imrân

(3): 142.

31

menganjurkan kepada peran akal dalam menganalisis teks al-Qur’an. Keempat,

adanya ayat muẖkam dan mutasyâbih menjadi tuntunan bagi seseorang untuk

belajar secara serius tentang cara-cara penakwilan dan cara mempertimbangkan

(tarjîh) terhadap penakwilan tersebut. Karena pemahaman ayat mutasyâbih harus

dikembalikan kepada pemahaman ayat muẖkam sebagai patokan utamanya. Alhasil

manfaat dari adanya pembelajaran terhadap dua konsep ini dapat melahirkan dan

berkembangnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti ilmu bahasa,

gramatika, ilmu usul fîqh dan lain sebagainya. Keempat, hikmah yang keempat bagi

Fakhr al-Dîn al-Razî25 merupakan sebab yang paling mendasar dari adanya

muẖkam dan mutasyâbih, yakni al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya meliputi

seruan Allah Swt agar diamalkan oleh siapapun yang hendak mendapatkan

petunjuk dan kebenaran dalam meniti jalan kehidupan. Seruan tersebut ada yang

bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Ketika al-Qur’an diturunkan pertama

kali maka ia disesuaikan dengan keadaan pikologis orang-orang yang mendapatkan

kitab darinya, yaitu dengan menggunakan lafaz-lafaz yang sesuai dengan apa yang

disangkakannya oleh penerima kitab pertama sehingga sapaan al-Qur’an terselip

dalam pemahaman mereka. Dengan adanya hal ini, agar al-Qur’an mudah diterima

dengan baik dan kemudian direspon positif oleh mereka. Sebab itu, pertama kali al-

Qur’an menyapa mereka dengan menggunakan redaksi ayat yang masuk dalam

cakupan mutasyâbih yang kemudian dilanjutkan dengan ayat muhkam agar menjadi

penjelas bagi mutasyâbih.26

25 Lihat hikmah dari adanya ayat-ayat muẖkam dan mutasyâbih dalam penjelasan,

Muhammad Fakhr al-Dîn al-Razî, Mafâtîh al-Ghaib, (t.tp: Dâr al-Fikr, 1981), juz 7, h.185-186. 26 Fakhr al-Dîn al-Razî, Mafâtîh al-Ghaib, (t.tp: Dâr al-Fikr, 1981), juz 7, h.185-186.

32

BAB III

MENGENAL IMAM AL-SYAUKÂNÎ DAN TAFSIR FATH AL-QADÎR

A. Biografi dan Rihlah Ilmiah Imam al-Syaukânî

Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad bin

‘Abd Allah al-Syaukânî al-San’anî al-Yamânî. Beliau lahir di Syaukan,1 Yaman

Utara, bertepatan dengan hari Senin tanggal 28 Dzu al-Qa’dah tahun 1173 H.2

Sebelum kelahirannya orangtuanya tinggal di San’a.3 Ketika musim gugur, mereka

pulang ke Syaukan, kampung asal mereka dan pada waktu itu al-Syaukânî lahir dan

tidak berapa lama setelah itu, ia dibawa oleh orang tuannya kembali ke San’a.

Beliau meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Jumad al-Akhir tahun 1250 H

pada usia sekitar 77 tahun.4 Beliau di shalatkan di Masjid Jâmi’ al-Kabîr5 dan

dimakamkan di San’a satu wilayah dengan Khuzaimah.

Semasa hidupnya al-Syaukânî dalam asuhan kedua orangtuanya. Ayahnya,

‘Alî al-Syaukânî (1130-1211H) adalah seorang ulama terkemukan di Yaman, yang

bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintah imam-imam Qasimiyah (sebuah dinasti

1 Syaukan adalah sebuah desa yang jaraknya dengan kota San’a sejauh perjalanan suatu

hari, dengan berjalan kaki. Desa tersebut dihuni oleh suku Suhamiyyah, termasuk rumpun kabilah

Khaulan. Lihat, al-Syaukânî , Al-Badr al-Tâli’ bi Mahâsin Man Ba’d al-Qarn al-Sâbi’, (Bairût: Dâr

al-Ma’rifah, t. th.), jilid I, h. 480. Desa tersebut biasa disebut Hijrah Syaukan, karena tempat yang

banyak diriwayatkan oleh para ulama. 2 Muhammad Ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h 4-8. 3 Kota San’a dianggap sebagai kota yang tertua di dunia yang dibangun oleh putra Nabi

Nuh as, yang bernama Syam. Di kota tua ini terdapat istana Gamadan yang didirikan oleh raja

bernama al-Jasrah Jahsab. Pada masa khalifah Utsman berkuasa (6 H), istana tersebut rusak

kemudian dibangun kembali oleh Abraham al-Habsyi, demikian pula dengan gereja Qalis, sebagai

salah satu rumah ibadah untuk menandingi umat Islam yang pergi melakukan ibadah haji ke

Mekkah. Lihat, Muhammad Ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-

Akhbar, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1961). Juz 1, cet.3, h.3. 4 Muhammad Ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h 4-8. 5 Syaikh Hasan al-Jamal, Hayatul Aimmah (Biografi 10 Imam Besar), terj. M.Khaled

Muslih dan Imam Awaluddin (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2005), cet.I h. 277

33

di Yaman) untuk memegang jabatan sebagai Qadi (hakim). Pada masa kecil, al-

Syaukânî belajar al-Qur’an pada beberapa guru, yang diselesaikannya pada al-

Faqih Hasan ibn ‘Abdullah al-Habi. Kemudian, ia meneruskan pelajarannya dengan

mempelajari ilmu tajwid pada beberapa guru (masyayikh) di San’a. Sehingga ia

menguasai bacaan al-Qur’an dengan baik.6 Dalam usia muda al-Syaukânî telah

menghafal al-Qur’an. Kemudian, al-Syaukânî belajar berbagai bidang ilmu agama,

seperti ilmu agama, seperti Fîqh7, Hadîts8, Usul Fîqih9, Tafsîr, Nahwu10, Adâb al-

Bahs wa al-Munazarah (etika berdiskusi), dan sejarah, kepada ulama di

zamannya.11

6 Al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Bairût: Dâr al-

Ma‘rifah, t. th.), jilid II, h. 215. 7 Kata fiqh secara bahasa punya dua makna. Makna pertama adalah al-fahmu al-mujarrad,

yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar mengerti saja. Makna yang kedua adalah

al-fahmu al-daqîq, yang artinya adalah mengerti atau memahami secara mendalam dan lebih luas.

Lihat Muhammad bin Mandzûr, Lisân al-Arâb, (Bairût: Dâr Sadir, t.t.h), cet. I, h. 711. Sedangkan

secara istilah, kata fiqh didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda.

Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong, tapi ada juga yang memang sudah

mencakup semua batasan ilmu fiqih itu sendiri. Lihat Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan, (Jakarta:

DU Publishing, 2011), h. 27. 8 Hadîts secara etimologis berarti al-jadîd yaitu sesuatu yang baru, menujukkan sesuatu

yang dekat dan waktu yang singkat. Hadits juga berarti al-khabar yang artinya berita, maksudnya

adalah sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang

lain. Lihat lebih lanjut, Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 11. Pengertian

hadits yang dikemukakan oleh Jumhûr al-Muhaddîts ialah apa yaang disandarkan kepada Nabi

Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya. Lihat Fathur

Rahman, Ikhtisar Mustalah al-hadîts, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1987), h. 6. 9 Usul Fiqih adalah cara mengetahui dan menggunakan dalil secara global (ijmal),

mengetahui keadaan penggunanya (mujtahid atau ahli ijtihad), dan mengetahui kaidah kulli (umum)

yang dapat digunakan untuk mengistinbatkan syara’ (hukum islam) dari dalil yang terperinci. Tujuan

ushul fiqih addalah untuk mengetahui dalil-dalil syara’ baik yang menyangkut bidang akidah,

ibadah, muamalah, akhlak, dan uqubah. Lihat lebih lanjut Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam,

(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), vol.7, h.207 10 Nahwu adalah salah satu cabang ilmu bahasa arab yang mempelajari kaidah susunan

katadalam kalimat bahasa arab. Cabang ilmu ini memfokuskan kajian pada keadaan baris huruf

terakhir kata dalam dalam bahasa arabkarena kedudukan kata dalam kalimat berubah. Nama lain

ilmu nahwu adalah ilmu qawâ’id. Penyebutan ilmu nahwu ini sering dikaitkan dengan saraf (shorof),

suatu cabang ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata bahasa arab. Lihat lebih lanjut, Nina

M. Armando , Ensiklopdia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), vol. 5, h.171. 11 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî , Fath al- Qadir, Tahqiq dan Takhrij

Sayyid Ibrahim, terj. Amir Hamzah Fachruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j. 1 h. 32.

34

Dari sini terlihat bahwa sejak kecil, al-Syaukânî mempunyai minat kepada

ilmu pengetahuan. disebutkannya sendiri, sebelum mendapatkan bimbingan guru

secara formal ia telah dapat membaca buku-buku ringan secara mandiri. Ia

mendapat bimbigan secara formal dari beberapa guru setelah lebih dahulu

menghafal dan membaca sendiri beberapa karya dalam berbagai bidang ilmu.

Imam al-Syaukânî sangat kuat ingatannya, dari kecil ia telah banyak

menghafal matan.12 Di usia mudanya ia telah menggeluti kitab sejarah dan

kumpulan sastra-sastra. Kelebihan ini sampai pada puncaknya ketika semangatnya

semakin menyala dalam mencari ilmu. Ia mengeluarkan fatwa di usianya yang ke

20 tahun. Perumpamaan Imam al-Syaukânî saat itu sama dengan posisi ulama besar

amirul mukminin13 dalam hadis.14

Dengan ketekunannya menimba berbagai bidang ilmu agama, akhirnya ia

menjadi seorang ulama besar dan mujtahid serta digelari “Syaikh al-Islam” (gelar

kehormatan bagi seorang ulama yang berilmu dan luas). Setelah cukup berilmu, ia

mulai mengajarkan ilmunya kepada generasi di bawahnya. Ketika ia merasa dirinya

12 Matan secara bahasa ialah sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah).

Secara terminologi ialah, sesuatu yang berakhi padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa

perkataan. Lihat, Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (t.t: PT Mutiara Sumber Widya, 2010), h. 163. Lihat

juga, Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Alma Arif, 1974), h. 39 dikatakan

bahwa yang disebut dengan matan dalam hadis ialah pembicaraan atau memberi berita yang diover

oleh sanad yang terakhir, baik pembicaraan itu sabda Rasulullah saw, sahabat ataupun tabi’in. Baik

isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh

Nabi. 13 Amîrul Mukminîn dalam ilmu hadits tidak terkait dengan kekhalifahan dalam

politik/kenegaraan, melainkan berkaitan dengan penguasaan hadits seseorang. Amîrul Mukminîn

dalam ilmu hadits merupakan julukan ini diberikan kepada orang yanng populer pada masanya

dalam bidang hafalan dan dirayah hadits, sehingga menjadi tokoh dan imam pada masanya. Julukan

ini telah diberikan kepada orang-orang semisal ‘Abd al-Rahmân Ibn ‘Abdi Allah Ibn Dzakwân al-

Madanî (Abû al-Zanad), Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyân al-Tsaurî Imam Malik Ibn Anas, Imam al-

Bukhârî, dan lain-lain. Mereka merupakan imam-imam hadis terkemuka. Lihat, Muhammad ‘Ajaj

al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h.441. 14 Mani’ ‘Abd Halîm Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli

Tafsir, terj. Manhâj al-Mufassirîn Faisal Saleh dan Syahdianor, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2006), h. 188.

35

telah memahami hadits Nabi saw secara baik, ia berusaha memberantas taklid15

yang merajalela di zamannya dan mengumandangkan perlunya pengembangan

sikap ijtihad16 dalam hal ini ia mendapatkan tantangan besar dari ulama yang

berpendapat bahwa mujtahid tidak ada lagi dan pintu ijtihad telah tertutup.17

Pada tahun 1209 H. meninggallah qadi Yaman yaitu Syaikh Yahya bin Salih

al-Syajari al-Sahuli. Khalifah al-Mansur18 meminta kepada Imam al-Syaukânî agar

menggantikan Syaikh Yahya sebagai qadi negeri Yaman. Pada awalnya beliau

menolak jabatan tersebut karena takut disibukkan dengan jabatannya dari pada

ilmu. Kemudian datanglah para ulama San’a kepada beliau untuk meminta agar

beliau menerima jabatan tersebut, karena jabatan tersebut adalah rujukan syar’i bagi

para penduduk negeri Yaman yang dikhawatirkan akan diduduki oleh seseorang

yang tidak amanah dalam agama dan keilmuannya. Akhirnya beliau menerima

jabatan tersebut sebagai qadi Yaman hingga beliau wafat pada masa pemerintahan

tiga khalifah: al-Mansur, al-Mutawakkil, dan al-Mahdi. Ketika menjabat sebagai

hakim, al-Syaukânî dikenal sebagai hakim teladan. Ia mampu menegakkan

15 Akar kata taklid adalah qallada, yuqallid, taqlîdan yang berarti melingkungi, mengalungi

leher, dan mengikuti. Dalam terminologi islam taklid berarti mengikuti perkataan, ide, atau pendapat

orang lain tanpa tahu alaan perkataan tersebut, baik alasan itu dalil al-qur’an, sunnah Nabi atau

ijjtihad. Al-Ghazali, Imam al-Syaukânî , Imam al-San‘ani dan para ahli fiqih lainnya menyatakan

bahwa taklid adalah menerima, mengamalkan, pendapat atau ide orang lain yang tidak disertai atau

tidak diketahui alasan dan dasar hukumnya apakah berasal dari al-Qur’an atau sunnah Nabi

Muhammad Saw. Lihat lebih lanjut, Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar

Baru van Hoeve, 2005), jlidi 7, h. 48. 16 Ijtihad berasal dari kata jahada yang berartii berusaha dengan sungguh-sungguh.

Menurut Imam Alamidi dalam bukunya yang berjudul al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (penyempurnaan

dalam dasar hukum), ijtihad mempunyai arti mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syara’

yang bersifat zhanni (dugaan) samapai merasa diri tidak mampu mencari tambahan kemampuan itu.

Lihat, Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), jilid 3,

h. 136. 17 Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),

jilid VI, h. 306. 18 Di dalam buku karangan Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, bahwa nama Khalifah

yang meminta al-Syaukânî menggantikan Syaikh Yahya sebagai hakim di Yaman adalah Khalifah

al-Makmun. Lihat, Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, (Insan madani press, t. th), h.175.

36

keadilan, memberantas kezaliman, menghilangkan fanatik buta, dan mengajak umat

menuju al-Qur’an dan sunnah.19

Penulis menemukan dalam disertasi karya Nasrun Rusli yang berjudul

“Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam

di Indonesia”, bahwa dalam perekonomian, al-Syaukânî sangat beruntung karena

dilahirkan dalam keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai.

Jabatan qadi yang dipegang ayahnya, dan menempatkan keluarganya dalam

peringkat kedudukan sosial yang tinggi, telah membawa kemudahan dalam bidang

ekonomi.20

Oleh karena itu, singkat penulis jika dilihat dari penjelasan di atas bahwa

tidaklah heran jika al-Syaukânî memiliki kesempatan yang besar untuk menimba

ilmu dalam berbagai bidang dan dari sekian banyak guru. Jika diperhatikan

biografînya, nyaris masa-masa remaja al-Syaukânî dihabiskan untuk menuntut ilmu

agama. Untuk itu, tentu diperlukan biaya atau kemampuan ekonomi yang memadai.

B. Guru dan murid al-Syaukânî

1. Guru-guru Imam al-Syaukânî

‘Alî al-Syaukânî adalah ayahnya yang menjadi guru bagi anaknya

Imam al-Syaukânî.21 Kemudian ia juga berguru dengan ulama-ulama

kenamaan di San’a, diantaranya:

19 Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, (Insan madani press, t. th), h.177. 20 Nasrun Rusli, Disertasi: Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan

Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta,1998), h.89.

21 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-Akhbar,

(Bairût: Dâr al-Fikr, 1983), juz I, h. 4.

37

a) al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Madanî (1121-

1211 H.) yang membimbing mempelajari fîqih;

b) al-Allâmah Ahmad ibn Amîr al-Hadâ’I (1127-1197 H.)

c) al-Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Harâzî yang mengajarkan

fîqih dan usul fîqih hampir selama 13 tahun.

d) al-Sayyid al-‘Allâmah Ismâ‘il ibn Hasan ibn al-Imâm al-Qâsim ibn

Muhammad (1120-1206 H.) yang mengajarkan ilmu nahwu;

e) ‘Alî ibn Hadi Urbah, yang mengajarkan usûl fîqih;

f) Abdullah ibn Ismaîl al-Nahwi (w. 1228 H.) yang mengajarkan

berbagai bidang ilmu seperti nahwu, mantiq, fîqh, usul fîqh, hadits,

mustalah al-hadits, dan tafsîr;

g) al-Qâsim ibn Yahya al-Khaulânî (1162-1209 H.), yang

mengajarkan berbagai bidang ilmu seperti fîqh, usul fîqih, hadits,

mustalah al-hadits, tafsîr, mantiq, adâb al-bahts wa al-munazarah

(metodologi penalaran dan diskusi);

h) al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdullah bin al-Husain ibn Ali bin al-

Imâm al-Mutawakkil alallâh

Selain dari guru-guru yang disebutkan di atas, masih banyak lagi guru-

guru al-Syaukânî yang lain, yang tidak disebutkan dalam kitab al-Badr al-

Tâlli. Dan guru yang paling sering disebut oleh al-Syaukânî dan paling

banyak memberikan pelajaran adalah al-Qasîm ibn Yahya al-Khaulânî,

38

‘Abd al-Qadîr ibn Ahmad al-Kaukabânî, ‘Abd Allah ibn Ismâ’il al-Nahmi,

dan al-Lisan ibn Isma’il al-Magribi.22

Demikianlah sebagian dari guru-guru yang pernah medidik serta

mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada al-Syaukânî , dan

masih banyak lagi guru-gurunya.

2. Murid-murid Imam al-Syaukânî

Selain menimba ilmu dari para ulama besar, al-Syaukânî menebarkan

ilmu tersebut kepada masyarakat luas. Para penuntut ilmu ia layani dengan

penuh cinta dan telaten. Karenanya, banyak sekali murid yang belajar

kepadanya. Diantara murid-muridnya adalah kedua putranya sendiri, Ali bin

Muhammad al-Syaukânî dan Ahmad bin Muhammad al-Syaukânî.23

Anaknya yang masih muda ini dikenal sebagai anak yang salih dan banyak

menguasai berbagai macam cabang ilmu pengetahuan.

Muridnya yang lain adalah al-Allamah Husein ibn Muhsin al-Sabl

Ansari al-Yamini, Muhammad bin Hasan al-Syajânî, al-Allamah al-Syaikh

‘Abd al-Haqq ibn Fadal al-Hindî, al-Syarîf al-Imam Muhammad ibn Nasir

al-Nazimî, dan lain sebagainya.24 Di samping itu banyak murid hasil

didikannya al-Syaukânî yang telah menjadi ulama dan juga qadi,

diantaranya: Muhammad bin al-Hasan al-Syajni, al-Hasan bin Ahmad

Akisy al-Damâdî, Lutfullah bin Ahmad Hajaf al-San’ani, Muhammad bin

22 Al-Syaukânî, al-Badr al-tali bi Mahâsin man ba’d al-Qarn al-Sabi’,(Bairût: Dâr al-

Ma’rifah, t.th.), h.215-218. 23 Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadits, (Insan madani press, t. th), h.176. 24 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij

Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir, Dâr al-Hadîts, 2007), jilid 1, h.23.

39

Ahmad Musyahham, Abdul al-Rahmân bin Ahmad al-Haikali.25 Di antara

murid-murid al-Syaukânî adalah:

a) Muhammad ibn Ahmad Musyim al-Sa’di al- San’ânî (1186-1223

H) adalah murid al-Syaukânî yang pernah memegang jabatan qadi

di San’a dan sering dipuji oleh gurunya.

b) Al-Sayyid Ahmad ibn ‘Alî Muhsin ibn Imam al-Mutawakkil ‘alâ

Allah Ismail ibn al-Qasim (1150-1223 H), yang belajar pada al-

Syaukânî ketika usianya hampir mencapai lima puluh tahun dan

menyertai gurunya selama hampir sepuluh tahun.

c) Al-Sayyid Muhammad ibn Muhamad Hasyim ibn Yahya al-Syami

(1178-1251 H).

d) Al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Zabarah al-Hasani al-

Yamani al-San’ani (w.1381 H/1962 M), yang menulis biografî para

tokoh Yaman abad ke 13 H. Murid al-Syaukânî yang satu ini adalah

termasuk generasi kedua, dan turut berperan menyebarkan karya-

karya al-Syaukânî di Mesir.

e) ‘Abd Allah ibn Muhsin al-Haimî (117—1240 H), ia adalah salah

seorang murid yang dicintai oleh al-Syaukânî, karena sangat

banyak menimba ilmu dari guru itu.

f) Al-Qadi Muhammad ibn Hasan al-Syajni al-Zammarî (1200-1286

H), yang mendapat ijazah dari al-Syaukânî pada tahun 1239 H)

25Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrahim, terj. Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jilid 1,h. 34.

40

dialah orang yang pertama menulis biografî gurunya, yang berjudul

al-Tiqsâr fî Jayyid Zamân ‘Alamah al-Aqalim wa al-Amsar.

g) Al-Qadi Ahmad ibn Muhammad al-Syaukânî (1229-1281 H), ia

adalah putra al-Syaukânî sendiri dan dipandanng sebagai ulama

Yaman terbesar sesudah ayahnya. Seperi ayahnya, ia juga pernah

memegang jabatan qadi di San’a.26

Itulah sebagian kecil murid-murid al-Syaukânî yang mewarisi ilmunya

dan mengembangkan ilmu tersebut ke berbagai daerah Yaman dan

sekitarnya. Dengan demikian, apa yang dihimbau oleh al-Syaukânî di dalam

karya-karyanya disebarkan oleh para murid tersebut.

C. Karya - Karya Imam al-Syaukânî

Dalam kitab Fath al-Qadîr, tercatat 36 karya yang diterbitkan dalam bentuk

buku dan 14 buah karya tulisnya dalam bentuk manuskrip. Semua karya tulisnya

itu, diselesaikan oleh al-Syaukânî dalam usia 36 tahun. Kemudian

produktifîtasannya mulai menurun ketika pada usia 36 tahun pasca diangkatnya al-

Syaukânî menjadi hakim di San’a pada masa pemerintahan al-Imam al-Mansur ‘Alî

bin Abbas (1775-1809M) dan masa pemerintahan al-Mahdi Abdullah (1815-

1835M.)27 Imam al-Syaukânî mempunyai kesibukan kesehariannya berkecimpung

dengan urusan hukum, namun beliau tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai

ulama. Ia terhitung sebagai ulama yang produktif menghasilkan karya. Imam al-

Syaukânî terkenal sebagai ualama yang menguasai beberapa cabang ilmu

26Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h.23. Lihat pula dalam

Tesis Hasani Ahmad Syamsuri, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr: Telaah Atas

Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h.44. 27 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij

Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid 1, h.22-26.

41

pengetahuan, seperti tafsir, hadits, fîqih, sejarah, ilmu kalam, mantiq, dan lain

sebagainya.

Dari keluasan ilmu pengetahuan dan kedalaman wawasannya, Imam al-

Syaukânî dijuluki orang pada zamannya sebagai lautan ilmu yang tak bertepi,

matahari pengetahuan, Syaikh al-Islam, Qadi al-Qudat dan lain sebagainya.28 Al-

Syaukânî mencurahkan pemikirannya melalui karya ilmiah dalam berbagai cabang

ilmu, diantaranya :

- Tafsir

1. Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Baina Fanni al-Riwâyah wa al-Dirâyah min

al-Tafsîr

2. Isykâl al-Sail ilâ Tafsîr ”Wa al-Qamara Qaddarnâhu Manâzil”

- Hadits

1. Nail al-Autar Syarh Muntaqa al-Ikhbar

2. Bulûgh al-Sa’il Amaniyahu bi al-Takallum ‘alâ Atraf al-Tamaniyah

3. Al-Qaul al-Maqbûl fî Radd Khabar al-Majhûl min Ghairi Sahâbat al-

Rasûl

- Fîqih

1. Irsyâd al-Sâ’il Ilâ Dalâ’il al-Masâil

2. al-Misk al-Fâtih fî Hat al-Jawâ’ih

3. al-Dur al-‘Âjil fî Daf‘ al-‘Adad al-Sâ’il

4. al-Dur al-nadîd fî ikhlâs kalimat al-tauhîd

28 Lebih lanjut lihat Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq

dan Takhrij Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir, Dâr al-Hadîts, 2007), juz 1, h. 23-26. Bisa dilihat pula

pada pendahuluan Fath al-Qadîr cetakan Mesir, Dâr al-Fikr, tahun 1973 bahwa karangan-karangan

Imam Syaukânî melingkupi berbagai ilmu pengetahuan agama, seperti kitab tafsir Fath al-Qadîr,

kitab Nail al-Autar, kitab Tuhfât al-Dzakirîn, kitab Irsyâd al-Siqât.

42

- Ushul Fîqih

1. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usul

2. Al-Qaul al-Mufîd fî Adillat al-ijtiha wa al-taqlîd

3. Adâb al-Talab wa Muntaha al-Arab

- Sastra

1. Bahts fî al-Nahl Mudah Ikhwanal su

2. Bahts fî ma Isyatahara ‘alâ al-Sunnah al-Nas Biannahu La’ahd

Lidalm

3. Bahts fî al-Salah ‘alâ al-Nabi Muhammad Saw.

- Sejarah (Târîkh)

1. Al-Qaul al-Hasan fî Lada’il Ahl al-Yumn

2. Al-Qaul al-Maqbûl fî Faidan al-Guyûl wa al-Suyûl

- Mantiq

1. Bahts fî Al-Had al-Tâm wa al-Had al-Nâqis

2. Fath al-Khilâf fî jawab mas’il ‘Abd al-Razâq al-Hind fî ‘Ilm al-

Mantiq

- Terjemah

1. Al-Badr al-Tali’ bi Mahâsin min Ba’d al-Qur’ân al-Sabi’.

D. Tafsir Fath al-Qadîr

a. Pengenalan Tafsir Fath al-Qadîr

Tafsir Fath al-Qadîr merupakan salah satu sumber utama dan menjadi

referensi penting, dikarenakan tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan

riwâyah. Dalam pendahuluan tafsir ini, dijelaskan bahwa tafsir ini disusun

pada bulan Râbi’ al-Awwal tahun 1223 H. Rujukan yang digunakan oleh

43

Imam al-Syaukânî dalam penyusunan kitab Fath al-Qadîr ialah Abû Ja’far

al-Nuhas, Atiyyah al-Dimasyqi, Ibnu Atiyyah al-Andalûsi, Qurtubi,

Zamaksyarî dan ulama-ulama lainnya.29

Sosok al-Syaukânî tidak bisa terluput dari perhatian kita terhadap kitab

tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min

‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Al-Syaukânî

merupakan salah satu ulama Yaman yang banyak menulis dalam berbagai

disiplin ilmu pengetahuan seperti tafsir, hadits, fiqih, usl fiqh, sejarah, ilmu

kalam, filsafat, balaghah, mantiq, dan lainnya.

Dalam kata pengantar pada tafsir Fath al-Qadîr, Imam al-Syaukânî

menjelaskan latar belakang keinginan Imam al-Syaukânî dalam menulis

tafsir ini, adapun kata pengantarnya sebagai berikut:

شامال ملا لعباده من الحالل حكام ، عل كتابه املبين كافال ببيان الالحمد هلل الذي ج

والحرام ، مرجعا لآلعالم عند تفوت الفهام وتباين القدام وتخالف الكالم ، قاطعا

يا للسقام مرهما لآلوهام ، فهو العروة الوثقى التي من تمسك بها فاز للخضام شاف

الواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط ، والجادة القويم بدرك الحق

املستقيم .........30

“segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas

bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang

menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat

di antara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang

sakit, sekaligus penjelas bagi yag ragu kitab ini merupakan pegangan hidup

yang kokoh, siapa yang berpegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan

29 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Tahrij

Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h.31. 30 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Tahrij

Sayyid Ibrahim, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h.29.

44

mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan

ditunjukkan kepada jalan yang lurus.”

Berdasarkan data diatas terlihat bahwa Imam al-Syaukânî bersemangat

untuk menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya, karena melihat

kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah, al-

Syaukânî mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar

jika beliau senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti

untuk mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari

kebenaran dan kepastian hukum.

Tafsir Fath al-Qadîr merupakan salah satu kitab tafsir yang cukup

penting dan tafsir ini juga salah satu kitab yanng mu’tabar di abad modern,

bukan hanya dikalangan Syi’ah Zaidiyah, namun juga dikalangan

Ahlussunnah wa al-jama’ah. Meskipun al-Syaukânî menganut Zaidiyah,

namun buku-bukunya dijadikan rujukan oleh para penulis modern Suni,

khususnya dibidang tafsir, hadits, dan usul fiqih.31

b. Pendekatan (Manhâj) dan Metode (Tariqoh) Tafsir Fath Al-Qadîr

Karya Imam al-Syaukânî

Nama tafsir Imam al-Syaukânî ialah Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Bain

Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari

nama tafsirnya saja sudah bisa kita ketahui bahwa pendekatan (manhâj)

31 Di antara sekian karya-karya al-Syaukânî, yaitu Fath al-Qadîr (tafsir), Nail al- Autâr

Syarh Muntaqâ al-Akhbâr (hadits), dan Irsyâd al-Fuhûl (usul fiqih). Hal yang menarik dari uraian

ketiga bukunya ini adalah bahwa ia menguraikan suatu persoalan secara objektif tanpa dibarengi

subjektifitas madzhabnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika para penulis kumpulan biografi

tokoh, seperti al-Marâghi (188-1945), ahli usul fikih dari Mesir dan penulis buku al-Fath al-Mubîn

fi Tabaqât al-Usûliyyîn (kumpulan tokoh biografi ushul fikih), mengemukakan bahwa unsur

Zaidiyah dalam kitab-kitab al-Syaukânî tidak terlihat sama sekali. Lihat lebih lanjut, Hasan Mu’arif

Ambary (et al.), pembaca ahli, Taufik Abdullah (ed.), Abdul Aziz Dahlan (et al.), Suplemen

Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. 1, h. 189-190.

45

yang dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya al-Syaukânî menggunakan

dua pendekatan yaitu bi al-riwâyah 32 dan bi al- dirâyah.33

Tafsîr al-riwayah atau dalam sebutan lain tafsîr bi al-ma’tsûr ialah

tafsir yang berdasarkan pada al-Qur’an atau riwayat yang shahih.

Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), al-Qur’an

dengan sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling

mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi’in.

Pada umumnya mereka menerimanya dari pada sahabat.34

Dalam al-Tibyân karya Muhammad ‘Alî al-Sabûnî dikataan bahwa

tafsîr al-riwâyah ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah

atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki

Allah Swt tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-Sunnah

Nabawiyyah. Dengan demikian tafsîr bi al-ma’tsûr adakalanya menafsirkan

al-Qur’an dnegan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan Sunnah

Nabawiyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat

sahabat.35

32 Tafsir al-riwâyah atau dengan sebutan lain tafsir bi al-ma’tsûr ialah tafsir yang terdapat

dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang

dikehendaki Allah Swt. Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-sunnah Nabawiyyah. Dengan

demikian, tafsir bi al-ma’tsûr adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau

menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang

dikutip dari pendapat sahabat. Lihat, Muhammad ‘Alî al-Sabunî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,

(Damsyik: Maktabah al-Ghazâli, 1981), h.63. 33 Tafsir al-dirâyah atau dalam istilah lain bi al-Ra’yi, bi al-Ma’qûl ialah penafsiran yang

dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari segi

argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan sya’ir-sya’ir jahili serta mempertimbangkan

sebab nuzul dan lain-lain yang dibutuhkan oleh mufassir. Lihat, Muhammad Husein al-Dzahâbi, al-

Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz.1, h.295. 34 Manna’ al-Qattan, Mabahîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân, terj. Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar,2014), cet.14, h. 434. 35 Muhammad ‘Alî al-Sabuni, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyik: Maktabah al-

Ghazali, 1981), h.63.

46

Sedangkan tafsîr bi al-dirâyah atau dalam istilah lainnya bi al-ra’yi.

Secara bahasa al-ra’yu berarti al-i’tiqâdu (keyakinan), al-‘aqlu (akal). Ahli

fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra’yi. Karena itu

tafsîr bi al-ra’yi disebut juga sebagai tafsîr bi al-’aqly dan bi al-ijtihâdi,

tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.36

Menurut istilah, tafsîr bi al-ra’yi adalah upaya untuk memahami nas al-

Qur’an atas dasar ijtiihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami

betul bahasa arab dari segala sisinya, memahami betul lafaz-lafaznya, dan

dalalahnya, mengerti syair-syair arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui

betul asbab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur’an, dan

menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.37

Secara selintas tafsir yang menggunakan pendekatan dirâyah lebih

berorientasi kepada penalaran yang bersifat ‘aqli (akal) dengan

menggunakan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya.

Itulah sebabnya mengapa ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai

tafsîr bi al-ra’yi. Begitu juga hanya dengan ijtihad dan tafsîr bi al-ra’yi yang

memungkinkan hasilnya akan benar dan salah.

Penulis menarik kesimpulan bahwa Imam al-Syaukânî menggunakan

kedua pendekatan ini yaitu dengan pendekatan bi al-riwâyah dan bi al-

dirâyah, yang mana ini akan membuat tafsir Fath al-Qadîr semakin mapan

atas kajian yang dilakukan Imam al-Syaukânî.

36 Anshori, Ulumul Qur’an, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2016), h.174. 37 Husein al-Dzahâbi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbab, 2003),

jilid 1, h. 183.

47

Di dalam pendahuluan tafsir Fath al-Qadîr terdapat perkataan al-

Syaukânî yang membuat penulis semakin yakin tujuan da manfaat Imam al-

Syaukânî menggunakan dua pendekatan ini. Imam al-Syaukânî

mengatakan:

“Pada dasarnya para mufassir berbeda pendapat pada dua masalah,

mereka mengambil jalan atas dua cara: golongan yang pertama adalah

para mufasir yang memakai pendekatan riwayah, kedua adalah ulama

yang memakai pendekatan dirayah yang membahas hanya sebatas

telaah bahasa dan kandungan isinya tanpa melirik segi periwayatannya

dan kalaupun mereka mencamtukan hanya sebatas pelengkap, masing-

masing kelompok, yang menganggap pendekatan yang mereka gunakan

adalah benar, padahal menurut hemat saya (al-Syaukânî) kedua metode

di atas bisa saling melengkapi satu sama lain”

Dalam perkataannya bisa dipahami bahwa ketika menafsirkan al-

Qur’an kemudian menggunakan kedua pendekatan tersebut akan

menjadikan keduanya saling melengkapi satu sama lain, harapan inilah yang

al-Syaukânî pakai selama ini yaitu dengan cara meneliti buku-buku tafsir

yang bertentangan satu sama lain mulai dari segi makna, i’rab dan

balaghahnya. Selain itu berusaha untuk menunjukkan penafsiran-penafsiran

yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in dan

imam-imam yang dapat dipercaya.

48

Adapun dengan metode al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qadîr

ialah menggunakan metode tahlîlî. Para ulama tafsir membagi metode tafsir

menjadi empat bagian: tahlîlî38, ijmâli39, muqarran40, maudû’î41.42

Penulis bisa katakan bahwa al-Syaukânî menggunakan dua pendekatan

(manhâj), yakni riwâyah dan dirâyah seperti yang tertulis dalam nama

tafsirnya. Sedangkan metode yang bisa dipahami dari penafsiran al-

Syaukânî di atas, adalah lebih kepada metode tahlîlî. Dikatakan tahlîlî

karena al-Syaukânî melakukan penafsiran dari awal surat, sampai surat

terakhir, indikasi lain adalah karena al-Syaukânî menggunakan penelaahan

secara bahasa, munasabah ayat atau surat, dan asbâb al-nuzûl.

38 Metode tahlîlî adalah salah satu cara kerja penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan

runtutan ayat dan surat yang terdapat dalam al-Qur’an, serta menjelaskan hal-hal yang berhubungan

dengan setiap ayat, baik berupa makna, kosa kata, gramatika, sastra, huum, sebab-sebab turunnya

ayat dan yang lainnya. Metode ini oleh Baqîr al-Shadr dinamakan sebagai metode tajzî’î. Lihat lebih

lanjut, Muhammad Baqîr al-Shadr, al-Tafsîr al-Maudû’î wa al-Tafsîr al-Tajzî’î Fi al-Qur’ân al-

Karîm, (Bairût: Dar al-Tatuf Al-Matbû’ât, 1980), h.10. 39 Metode ijmâli adalah suatu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, dimana penjelasan yang

dilakukan cukup singkat dan global. Dengan kata lain penafsiran dengan metode ini berusaha

menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi dengan menggunakan bahasa yang populer,

mudah dimengerti dan enak dibaca. Di samping itu, penyajian tafsir yang menggunakan metode

ijmâli tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-

akan masih tetap mendengar al-Qur’an. Lihat lebih lanjut, Fahd Ibn ‘Abd al-Rahmân al-Rûmi,

Bûhûts Fi Usul al-Tafsîr wa Manâhijuhu, (t.tp: Maktabah al-Taubah, t.th.),h.59. 40 Muqarran merupakan suatu metode penafsiran yang mengumpulkan berbagai

keterangan-keterangan tentang penafsiran sebuah ayat yang masih dalam suatu pembahasan baik

berupa ayat- al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dengan hadis, pendapat sahabat, tabiin, para mufassir

atau bahakan dengan kitab-kitab samawî (Taurat dan Injil), kemudian membandingkan dan

menyeleksinya dengan menggunakan dalil-dalil lain. Lihat lebih lanjut, Fahd Ibn ‘Abd al-Rahmân

al-Rûmi, Bûhûts Fi Usul al-Tafsîr wa Manâhijuhu, (t.tp: Maktabah al-Taubah, t.th.),h.60. 41 Metode maudu’i disebut juga tafsir tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-

tema tertentu yang terdapat dalam al-Qur’an. Al-Farmawî dalam membahasa metode ini membagi

menjadi dua macam. Pertama, membahas ayat al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan

menjelaskan maksud-maksud umum dan khusus secara garis besar. Kedua, menghimpun dan

menyusun ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan

penjelasan dan mengambil kesimpulan. Lihat, ‘Abd al-Hayy al- Farmawî, al-Bidâyah Fî al-Tafsîr

al-Maudu’i, (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1997), h.26.

Dalam karya ini, penulis menitik beratkan metode maudu’i. Dalam hal ini penulis

membahas ayat-ayat mutasyâbihât, kemudian penulis akan mencari kesamaan ayat dan tema yang

terdapat dalam al-Qur’an. Setelah itu penulis akan menjelaskan dan mengambil kesimpulan. 42 Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita, (Kediri: Lirboyo Press, 2013),

cet. ke-3, h.226

49

BAB IV

PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATH

AL-QADÎR KARYA IMAM SYAUKÂNÎ

Sebelum penulis memaparkan penafsiran pandangan Imam al-Syaukânî

mengenai ayat mutasyâbihât, terlebih dahulu penulis akan memaparkan bagaimana

pandangan Imam al-Syaukânî ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât.

Imam al-Syaukânî memberikan penjelasannya dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl, sebagai

berikut:

“Tentang teks yang dapat di ta’wîl, yaitu ada dua bagian. Pertama, teks

yang berkaitan dengan furu’ (cabang dan ranting) yang sebagian besar

memang di-ta’wîl, dan hal ini tidak diperselisihkan oleh kalangan ulama.

Kedua, teks-teks yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok agama) seperti

akidah, dasar-dasar agama dan sifat-sifat Allah Swt. Para pakar berbeda

pendapat mengenai bagian kedua ini menjadi tiga aliran. Pertama,

kelompok yang berpendapat bahwa teks-teks tersebut tidak boleh di-ta’wîl,

tetapi diberlakukan sesuai dengan pengertian literalnya, dan tidak boleh

melakukan ta’wîl apapun terhadapnya. Mereka adalah aliran Musyabbihah

(faham yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Kedua, kelompok

yang berpandangan bahwa teks-teks tersebut boleh di-ta’wîl, tetapi kami

menghindar untuk melakukannya serta menyucikan keyakinan kami dari

menyerupakan (Allah dengan makhluk-Nya) dan menafîkan (sifat-sifat

yang ada dalam teks-teks tersebut), karena fîrman Allah, “tidak ada yang

mengetahui ta’wîlnya melainkan Allah”. Ibn Burhan berkata, ini adalah

pendapat ulama salaf. Ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa teks-

teks tersebut harus di ta’wîl. Ibn Burhân berkata, madzhab yang pertama,

dari ketiga madzhab ini adalah pendapat yang batil. Sedangkan dua

madzhab yang terakhir dinukil dari sahabat Nabi Saw. Bahkan madzhab

yang ketiga ini diriwayatkan dari Sayidina 'Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dan

Ummu Salamah.1

Perlu diketahui bahwasannya sifat-sifat Allah banyak diperdebatkan oleh

para ulama dan aliran kalam. Perdebatan tentang sifat-sifat Allah terbatas pada

persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak. Al-Syaukânî dalam tafsirnya

1 Muhammad bin ‘Alî al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul,

(Bairût: Dâr al-Fikr, t.th), h. 176.

50

membicarakan masalah-masalah yang diperdebatkan dalam sifat-sifat Allah, yakni:

tasybîh (antrpomorfîsme), ru’yatullah (melihat Allah), dan khalq al-Qur’ân (al-

Qur’anqadîm atau baharu). Oleh karena itu sesuai dengan pembatasan dan

perumusan masalah maka penulis hanya meneliti masalah sifat Allah pada cabang

tasybih (antropomorfîsme).

Penulis akan membahas ayat-ayat tersebut yang di mana ayat ini jika tidak

dipahami dengan metode-metode tertentu akan mengalami keganjalan. Seperti,

yadullah yang artinya tangan Allah. Jika dipahami secara bahasa saja ini akan

membuat orang berpikir bahwa Allah memiliki tangan. Sebagaimana diketahui,

masalah anthropomorphisme atau ayat mutasyâbihât banyak diperdebatkan.

Apakah ayat yang menggambarkan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat jasmani,

cukup dipahami dalam makna harfîyahnya, ataukah harus dipahami dalam makna

metaforanya? Kemudian, bagaimana penafsiran al-Syaukânî mengenai hal ini?

A. Kelompok Ayat Mutasyâbihât

TERM AYAT AL-QUR’AN KETERANGAN

al-‘Arsy dan

Istawâ

QS. al-A’râf (7) 54;

QS. al-Taubah (9)129;

QS. Yunus (10) 3;

QS. Hûd (11) 7;

QS. al-Ra’d (13) 2;

QS. Tâhâ (20) 5;

QS. al-Anbiy â’ (21) 22;

QS. al-Mu’minûn (23)

86;

QS. al-Furqân (25) 59;

QS. al-Naml (27) 23,26;

QS. al-Sajadah (32) 4;

QS. al-Zumar (39) 75;

QS. Ghâfîr (40) 15;

QS. al-Hadîd (57) 4;

Tahta atau singgasana

Tuhan disebut ‘arsy.

Kata dasarnya dalam

bahasa Arab adalah

‘arasya-ya’risyu-

‘arsy, yang berarti

bangunan, singgasana,

istana, atau tahta. Arsy

merupakan salah satu

persoalan yang

diperbincangkkan

para mutakallimin

yakni apakah arsy itu

bersifat fisik/materil

51

QS. al-Haqqah (69) 17.2

atau

nonfisik/immateril.3

‘Ain QS. Hûd (11) 37;

QS. Tâhâ (20) 39;

QS. al- Mu’minûn (23)

27;

QS. Tur (52) 48;

QS. Qomar (54)14.4

‘Ain yang terdapat

dalam kamus Arab-

Indonesia5 diartikan

sebagai mata/alat

penglihatan bagi

manusia. Pada ayat

yang terdapat di

samping menunjukkan

arti yang di sandarkan

kepada Allah.

Wajh

QS. Alî Imrân (3) 73;

QS. al-Mâidah (5) 64;

QS. Yâsîn (36) 83;

QS. Sad (38) 75;

QS. al-Zumar (39) 67;

QS. Fath (48) 10;

QS. al-Hujûrat (49) 1;

QS. al-Hadîd (57) 29;6

Yad yang berarti

tangan7. Jika merujuk

kepada manusia maka

tangan manusia ada 2,

kanan dan kiri. Dalam

bahasa Arab tangan

kanan yaitu yamîn8

dan tangan kiri adalah

syimâl9. Ada juga ayat

al-Qur’an yang

menunjukkan yamîn

sebagai sumpah.

2 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts

al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 491-492. 3 Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), vol.1,

h.199-200. 4 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts

al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 537 5 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,

2010), h.290. 6 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts

al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 791. 7 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,

2010), h.510. 8 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,

2010), h.512. 9 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,

2010), h.207.

52

Dalam hal ini, penulis

meneliti dan merujuk

kepada kitab Fath al-

Rahmân untuk

mencari tangan kanan

atau kiri yang

disandarkan

maknanya kepada

Allah.

jâ’a Rabbuka QS. Fajr 22.10

Memiliki arti “Telah

datang Tuhanmu”

al-Janbu

(lambung)

QS. al-Zumar 56.11

Ayat yang

disandarkan kepada

Allah hanya terdapat

pada satu surat saja.

Tabulasi di atas menyatakan bahwa ayat-ayat diatas adalah ayat sifat yang

disandarkan kepada Allah, maka penulis akan meneliti ayat-ayat tersebut menurut

penafsiran Imam al-Syaukânî dalam Tafsir Fath al-Qadîr yang diantaranya ;

1. Istawâ’ al-arsy : QS. al-A’raf 54, QS. Tâhâ 5

2. ‘Ain : QS. Tâhâ 39, QS. Hûd 37

3. Wajh : QS. al-Qasas 88, QS. al-An‘âm 52, QS. al-Rahmân 77

4. Yad : QS. al-Zumar 67, QS. Sad 27

5. jâ’a Rabbuka: QS. al-Fajr 22

6. Al-Janbu : QS. al- Zumar 56

10 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts

al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 167. 11 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts

al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 156

53

B. Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyâbihât menurut Imam al-Syaukânî

a. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai

term istawâ’

Kata istawâ’ dalam al-Qur’an terdapat pada 9 tempat, diantaranya

adalah surah al-Baqarah ayat 29, al-A’râf ayat 54, Yûnus ayat 3, al- Ra‘d

ayat 2, Tâhâ ayat 5, al-Furqân ayat 59, al-Sajdah ayat 4, Fusilat ayat 11, al-

Hadîd ayat 4.12

Salah satu ayat al-Qur’an yang mengandung kata “istawâ’” yang di

tafsirkan oleh Imam al-Syaukânî adalah QS. al-A’râf (7): 54.

ية أ رض في ست

ت وٱل و م ق ٱلس

لذي خ

ه ٱل

م ٱلل

ك ام إن رب عرش

ى ٱل

م ٱستوى عل

ث

ج قمر وٱلنمس وٱل ا وٱلش

بهۥ حثيث

لهار يط يل ٱلن

ي ٱل ش

ه يغ

ل

ل

مرهۦ أ

ت بأ ر وم مسخ

مين ل ع

ه رب ٱل

بارك ٱلل

ت

مر

ق وٱل

لخ

ٱل

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit

dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia

menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan

(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-

masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan

memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”

،ثم استوى على العرش": قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قول

وأحقها وأولها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه استوى سبحانه عليه بال كيف

بل على الوجه الذي يليق به مع تنزهه عما ل يجوز عليه13

12 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Mu’jâm al-Mufahrâs li al-Faz al-Qur’ân al-Karîm,

(Dâr al-Fikr: 1414 H/1994 M), h. 473.

13 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan Takhrîj Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 269.

54

Artinya: Sesungguhnya para ulama telah berbeda pendapat

tentang makna ini “Tuhan bersemayam di atas ‘arasy’ atas empat belas

pendapat, yang paling benar dan paling dekat dengan yang seharusnya

adalah paham salaf yang saleh, yaitu Allah Swt. bersemayam, tanpa

(diketahui) caranya, tetapi dalam proporsi yang layak dengan-Nya serta

(dalam) ketransendenan-Nya dari segala yang tidak boleh atas (diri)-

Nya”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah adalah Rabb yang telah

menciptakan alam ini diantaranya langit, bumi dan juga seisinya dalam

enam hari. Di dalamnya lah seluruh penciptaan diselesaikan dan di

dalamnya pula Nabi Adam diciptakan. Setelah itu, Allah bersemayam di

atas Arsy. Allah berkuasa dan mengatur segala yang diciptakan-Nya,

sehingga berfungsi sebagaimana yang Dia kehendaki. Al-Syaukânî dalam

menafsirkan bersemayamnya Allah di atas Arsy, dengan tanpa diketahui

caranya.

Kemudian Imam al-Syaukânî juga menafsirkan penggalan ayat “alâ al-

‘arsyi istawâ” yang terdapat dalam surat Tâhâ ayat 5,

عرش ٱستوىى ٱل

ن عل حم ٱلر

Al-Syaukânî yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dengan tahrif

dan ta’wîl, adapun penafsirannya sebagai berikut:

الرحمن على العرش استوى قال أحمد بن يحيى: قال ثعلب: الستواء اإلقبال على

الش يء، وكذا قال الزجاج والفراء. وقيل هو كناية عن امللك والسلطان، والذي ذهب

إليه أبو الحسن الشعري أنه سبحانه مستو على عرشه بغير حد ول كيف، وإلى هذا

55

الذي يروون الصفات كما وردت من القول سبقه الجماهير من السلف الصالح

دون تحريف ول تأويل14

Artinya: “Arrahmân ‘alâ al-arsy istawâ” Ahmad bin Yahya

berkata: Sa’lab berkata: bersemayam atas sesuatu sebagaiaman al-

Zujaz dan al-Farra berkata. Dan menurut satu pendapat, istawâ adalah

kinâyah atas raja dan penguasa. Yang sependapat dengannya adalah

Abû Hasan Al-Asy’ari karena Allah Swt menduduki arsy’-Nya tanpa

batas dan sekendak-Nya, sesuai dengan pendapat ini adalah Imam al-

Jamahir dari kalangan ulama salaf yang menjelaskan tentang sifat-sifat

Tuhan dengan tanpa tahrîf dan ta’wîl”.

Ayat ini mengabarkan sifat Allah yaitu al-Rahmân Tuhan Yang Maha

Pemurah. Kemudian Allah yang bersemayam yang dapat berkuasa penuh di

atas arsy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya Kemudian al-Syaukânî

berpendapat, bahwa kata istawâ di kinayahkan dengan raja. Jadi bisa

dipahami bahwa istawâ ‘ala al-‘arsy yakni Allah memiliki kerajaan dan

berkuasa menduduki arsy-Nya tanpa batas dan sekehendak-Nya Allah.

Yang jelas, hakikat makna tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia.

b. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai

term ‘ain

Dalam Mu’jam al-Wasit kata ‘ain memiliki banyak makna, di antaranya

mata, bagian anggota tubuh yang memiliki fungsi melihat baik untuk

manusia atau selainnya, sumberan, al-jasus (mata-mata), pemimpin tentara,

dan zat sesuatu/esensi.15 Adapun kata ‘ain disebutkan sebanyak 61 kali dan

14 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan Takhrîj Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 449. 15 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasit, (Mesir: Maktabah al-Shurûq al-

Dauliyah, 2008), h.663.

56

4 diantaranya adalah menunjukkan pada mata Allah, yaitu QS. Hûd (11):

37, QS. al-Mu’minûn (23): 27, QS. Tur (52): 48, QS. al-Qamar (54): 14.16

Selain kata istawâ, Imam al-Syaukânî juga mengurai kata ‘ain dalam

surat Tâhâ 39

ي وعدو

ل

ه عدو ذ

خ

احل يأ يم بٱلس

قه ٱل

يل

ل ف

يم ذفيه في ٱل

ٱق

ابوت ف ذفيه في ٱلت

ن ٱق

أ

ى عيني ي ولتصنع عل

ن م

ة يك محب

قيت عل

لهۥ وأ

ل

Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian

lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke

tepi, supaya diambil oleh (Fîr’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku

telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan

supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.”

Imam al-Syaukânî juga mengurai kata ‘ain dalam surat Tâhâ 39 yang

dinisbahkan kepada Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an, dipahami oleh al-

Syaukânî sebagai di bawah pangkuan-Ku, sebagaimana penafsiran al-

Syaukânî sebagai berikut:

ولتصنع على عيني أي ولتربى وتعذى بمرأى مني ، يقال صنع الرجل جاريته : إذا

رباها ، وصنع فرسه : إذا داوم على علفه والقيام عليه , وتفسير على عيني بمرأى

مني صحيح17

“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku” yakni agar kamu

dididik dibawah pangkuanku, dikatakan seseorang mengasuh

tetangganya, ketika mendidik dan menggembala kudanya, serta

memberi makan kudanya, penafsiran kata “ain” dengan dibawah

pangkuanku itu adalah riwayat yang shohih”.

16 Fu’ad ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahrâs li alfaz al-Qur’ân, (Dâr al-Fikr 1414

H/1994 M), h. 629. 17 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid 3, h. 458.

57

Ayat ini menjelaskan peristiwa yang terjadi kepada Nabi Musa as.

Ketika itu, ibunda dari Nabi Musa as diperintahkan oleh Allah untuk

meletakkan bayi Musa dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai Nil.

Kemudian Allah memberikan karunia kepada bayi Musa agar selamat dari

rencana Fir’aun. Karunia tersebut adalah perintah meletakkan dan

menghanyutkan Nabi Musa, kemudian Allah melimpahkan kasih sayang

yang tulus kepada Musa dan kasih sayang tersebut ditanamkan ke dalam

setiap hati orang yang memandangnya dan karunia yang lainnya adalah

diasuhnya Musa di istana Fir’aun di bawah pengawasan Allah Swt. Al-

Syaukânî menafsirkan ‘ain dengan di bawah pangkuan-Ku. Artinya Nabi

Musa diasuh oleh Istri Fîr’aun laksana mengasuh anaknya sendiri.

Imam al-Syaukânî juga memberikan penafsiran kata ‘ain yang terdapat

pada surat QS. Hûd (11): 37.

ذطبني في ٱل

خ

ت

عيننا ووحينا ول

ك بأ

فل

هموٱصنع ٱل إن

موا

لون ين ظ

رق

غ م

“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu

Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang

zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”

Dalam tafsir Fath Al-Qadîr, Imam al-Syaukânî mengatakan

أى اعمل السفينة متلبسا بأعيننا أى : بمرأى منا ، واملراد بحراستنا لك وحفظنا

لك ، وعبر عن ذلك بالعين لنها آ لة الرؤية هى التى تكون بها الحراسة الحفظ في

الغالب ، وجمع العين للتعظيم ل للتكثير ، وقيل املعنى) بأعيننا( أى بأعين مالئكتنا

58

لى حفظك ، وقيل )بأعيننا( بعلمنا ، وقيل : بأمرنا ومعنى الذين جعلناهم عيونا ع

بوحينا : بما أوحينا إليك من كيفية صنعتها18

Artinya “ (dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan

petunjuk wahyu kami) maksudnya adalah buatlah perahu dengan

pengawasan Kami terhadapmu. Ini diungkapkan dengan lafaz al-

a’yun (yang secara harfîyah berarti mata), karena alat untuk melihat

dan dengan melihat itu bisa dilakukan pengawasan dan penjagaan.

Penggunaan bentuk jamak yakni al-a’yun sebagai bentuk jamak dari

aynun adalah sebagai pengagungan dan bukan untuk penunjukkan

banyak. Satu pendapat menyebutkan bahwa kata bi a’yuninâ adalah

dengan pengawasan para malaikat Kami yang Kami jadikan mereka

para pengawas untuk menjagamu. Pendapat lain menyebutkan

bahwa makna bi a’yuninâ adalah dengan sepengetahuan Kami, dan

ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah dengan perintah

Kami.”

Ayat ini menceritakan kaum Nabi Nuh yang enggan beriman kepada

Allah, kemudian Allah memerintahan Nabi Nuh untuk membuat

bahtera/perahu. Nabi Nuh menjalankan perintah Allah dengan membuat

bahtera tersebut dalam pengawasan Allah. Imam al-Syaukânî menjelaskan

pada kajian balaghah dan arti mufradat bahwa lafaz bi a’yuninâ diartikan

sebagai “pengawasan Kami” ketika Nabi Nuh membuat bahtera tersebut.

Adapun penggunaan bentuk jamak yakni al-a’yun dari asal kata ‘ainun

adalah sebagai pengagungan terhadap Allah dan bukannya untuk

menunjukkan arti banyak. Ada juga yang berpendapat bahwa bi a’yuninâ

adalah sebagai pengetahuan, dan perintah.

18 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid 2, h. 626.

59

c. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai

term Wajh

Dituturkan dalam kamus al-Mu’jam al-Wasit bahwa makna wajh

adalah Sayyid dan Syarîf yang bermakna yang mulia. Di samping itu ia juga

bermakna bagian dari kepala yang terdapat dua mata, mulut, dan hidung.

Bisa juga bermakna setiap yang menghadap dari segala sesuatu, zat,

permulan waktu, yang tampak, arah yan ada pintunya, arah dan sisi.19

Kata wajh dengan berbagai derivasinya disebutkan di al-Qur’an

sebanyak 76 kali, 11 kali menujuk pada wajah Allah, yaitu QS. al-Baqarah

(2): 115 dan 272, QS. An‘âm (6): 52, QS. al-Ra’d (13): 22, QS. al-Kahf (18):

28, QS. al-Rûm (30): 22 dan 38, QS. al-Rahmân (55): 27, QS. al-Insân (76):

9, QS. al-Insân (76): 9 dan lain-lain.20

Dalam kamus Bahasa Indonesia, arti wajah adalah sebagai bagian

depan dari kepala. Sebagaimana contoh, ketika aku datang tampak wajah

ibu berseri-seri.21 Ini mengartikan bahwa wajah dalam KBBI menunjukkan

anggota tubuh yang ada pada manusia. Penulis juga menemukan makna

wajh dalam kalimat “li wajhillah” yang bermakna “karena mengharapkan

keridhaan-Nya.22 Makna dalam kamus yang mengartikan kata “wajh” ini

adalah keridhaan Allah kepada hamba-Nya. Hal ini juga penulis temukan

dalam kamus Arab-Indonesia lainnya, yang menyatakan bahwa kalimat “li

19 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam al-Wasit, (Mesir: Maktabah al-Shurûq al-

Dauliyah, 2008), h.1057.

20 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz al-Qur’ân al-Karim,

(Bairût: Dâr al-Fikr, 1992), h.936. 21 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta, Gramedia

Pustaka Utama, 2008), edisi ke-4, h. 1553. 22 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,

2010), h.495.

60

wajhillah” adalah “li mardhatillah” yaitu untuk mengharapkan keridhaan

Allah.23

Al-Syaukânî menafsirkan “wajh” dalam surat al-Qasas ayat 88, sebagai

berikut :

يء

ل ش هو ك

ه إل

إل

ر ل

ها ءاخ

ه إل

دع مع ٱلل

ت

ول

يه وجههۥهالك إل

م وإل

حك

ه ٱل

ل

رجعون ت

“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah,

tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)

melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-

Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu

dikembalikan”

قالت املالئكة :هلك أهل "كل من عليها فان" وأخرج ابن مردويه عنه قال : ملا نزلت :

قالت املالئكة هلك كل نفس ، فلما "كل نفس ذائقة املوت" الرض ، فلما نزلت :

قالت املالئكة : هلك أهل السماء والرض ، وأخرج "كل ش ىء هالك إل وجهه" نزلت :

قال : إل ما أريد به "كل ش ىء هالك إل وجهه" عبد بن حميد عن ابن عباس

وجهه24

Imam Mardawih ikut mentakhrij ketika turun ayat “semua yang ada

di muka bumi ini akan binasa”. Malaikat berkata: celakalah penduduk bumi,

maka ketika turun ayat “setiap orang akan merasakan kematian”

malaikatpun berkata celakalah setiap orang, dan ketika turun ayat “Tiap-tiap

sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” Malaikat berkata lagi celakalah

penduduk langit dan penghuni bumi. Dan Imam Abd bin Hamid dari Ibnu

Abbas mentakhrij “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” dia

menafsirkan dengan “kecuali sesuatu apa yang Allah kehendaki”.

23 Atabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum

Pondok Pesantren Krapyak, t.th), h. 2003.

24 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 228.

61

Dari penafsiran al-Syaukânî di atas, memberikan titik terang bahwa

ayat ini melukiskan bahwa segala sesuatu akan binasa, harta, kedudukan,

kekuasaan, dunia, dan bahkan segala penghuninya bahkan alam raya dan

segala isinya, penduduk langit dan bumi. Baik yang kita ketahui atau tidak.

Dan yang tinggal hanya Allah. Kepada-Nya segala sesuatu akan kembali

dan tiada tempat berlindung kecuali Allah semata. Dan al-Syaukânî

mengakhiri penafsirannya, “tiap-tiap sesuatu pasti binasa” dengan kecuali

sesuatu yang Allah kehendaki.

Kemudian al-Syaukânî menafsirkan kata wajh pada surat al-An‘âm ayat

52

يريدون ي عش

ة وٱل دو

غ

هم بٱل ذين يدعون رب

رد ٱل

ط

ت

ۥ وجههول

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru

Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki

keridhaan-Nya.”

al-Syaukânî menafsirkan ayat tersebut, sebagaimana dalam kitabnya

Fath al-Qadîr yaitu :

على الحال ، واملعنى أنهم مخلصون فى عبادتهم ، ل )يريدون وجهه( فى محل نصب

يريدون بذالك إل وجه هللا تعالى يتوجهون بذلك إليه ل إلى غيره25

Artinya : يريدون وجههۥ( sedang mereka menghendaki keridhaan-

Nya) berada pada posisi nashab sebagai hal (keterangan kondisi),

maknanya adalah mereka ikhlas dalam beribadah, tidak ada yang

mereka harapkan selain keridhaan Allah, yaitu dengan itu mmereka

hanya menghadap kepada-Nya, tidak kepada selain-nya”.

25 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 154.

62

Imam al-Syaukânî menafsirkan wajh pada ayat ini sebagai keridhaan-

Nya.26 Maksud dari keridhaan-Nya adalah orang yang memelihara shalat

jama’ah, memelihara dzikir, membaca al-Qur’an, orang yang berdoa kepada

Allah,orang yang ikhlas dalam beribadah dan orang yang dzikir pada pagi

hari dan petang hari secara rutin dan terus menerus dialah orang yang

mendapatkan keridhaan dari Allah.

Namun tidak semua ayat wajh menunjukkan makna sebagai tempat

yang diridhai Allah atau dengan makna keridhaan Allah seperti halnya

dalam surat al-Rahmân ayat 27 :

لجل

و ٱل

ك ذ

رام ويبقى وجه رب ك

وٱإل

“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan

kemuliaan”

الوجه : عبارة عن ذاته سبحانه ووجوده...27

Ayat ini ditafsirkan oleh Imam al-Syaukânî sebagai Dzat Allah.

d. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai

term yad

Kata yad banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an baik yang

disandarkan kepada Allah Swt, seperti lafaz yadullah, atau disandarkan

kepada manusia seperti kata fauqo aydihim. Dalam kamus Fath al-Rahmân

disebutkan kata yad dalam al-Qur’an terdapat 90 ayat lebih.28

26 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, terj. Amir hamzah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jilid III, h.702 27 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 162.

28 ‘Alami Zadah Fayd al-Lah Ibn Musa al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Talîb

ayat al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), cet.1, h.791-793.

63

Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasit yad memiliki arti salah satu bagian

anggota tubuh dari bahu sampai ujung jari jemari. Apabila digunakan untuk

baju dan semisalnya maka kata yad artinya lengan baju. Selain makna diatas,

yad juga bisa bermakna al-ni’mah (kemikmatan), al-ihsan (kebaikan), al-

sultân (kekuasaan), al-qudrah (kemampuan), al-quwwah (kekuatan), al-

milk (kepemilikan), al-ta’ah (ketaatan), al-istilam (kepasrahan).29

Penulis juga menemukan lafaz yad yang mengandung sifat Allah

terdapat dalam al-Qur’an : QS. Âli ‘Imran (3): 73, QS. al-Mâ’idah (5): 64,

QS. al-Fath (48): 10, al-Hadîd (57): 29, QS. Yâsîn (36): 83, al-Hujurat (49):

1, QS. Sad [38]: 37, dan lain-lain. 30

Dalam menafsirkan surat al-Zumar ayat 67 yang didalamnya terdapat

kata biyamînih (tangan kanan).

توي

ت مط و م مة وٱلس قي

بضتهۥ يوم ٱل

رض جميعا ق

درهۦ وٱل

ه حق ق

ٱلل

دروا

وما ق

ون رك

ا يش ى عم

ل ع

نهۥ وت

بيمينهۦ سبح

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan

yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya

pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.

Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka

persekutukan”

Sebagaimana al-Syaukânî menafsirkannya sebagai berikut:

29 Majma’ al-Lughah al’arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasit,(Mesir: Maktabah al-Syurûq Al-

Dauliyyah, 2008), cet.4, h. 1107. 30 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’ân al-Karim,

(Bairût: Dâr al-Fikr, 1992), h.473.

64

والسموات مطويات بيمينه ، فإنه ذكر اليمين للمبالغه فى كمال القدرة كما يطوى

العرب قد تكون بمعنى الواحد منا الش يء املقدور له طيه بيمينه ، واليمين فى كالم

31القدرة وامللك

“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan

tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam

kekuasaanya, sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu

dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya dalam bahasa Arab

bermakna kekuasaan dan kerajaan.

Ayat ini mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan bahwa

mereka itu mengetahui dan tidak mengangungkan Allah sebagaimana

mestinya, karena mereka menyekutukan Allah dengan yang lain. Padahal

bumi dengan segala isinya berada dalam genggaman Allah, dan langit

dengan seluruh lapisannya berada tangan kanan-Nya. Al-Syaukânî

memahami yamînih sepertinya secara metafora dalam arti kekuasaan atau

kerajaan. Sepertinya yang dimaksud di sini adalah kekuasaan Allah Swt.

Dalam ayat lain yang mnggandung kata yad juga ditafsir oleh Imam al-

Syaukânî dalam surat Sad (38) : 75

البق

ستك

أ

قت بيديلا خ

سجد مل

ن ت

إبليس ما منعك أ

عالين ينت من ٱل

م ك

رت أ

“Allah berfîrman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu

sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah

kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-

orang yang (lebih) tinggi?"

Imam al-Syaukânî menafsirkan QS. Sad (38) : 75 sebagai berikut:

أى ماصرفك و صدك عن : قال يا إبليس ما منعك أن تسجد ملا خلقت بيدي

سه تكريما له السجود ملا توليت خلقه من غير واسطة ، وأضاف خلقه إلى نف

31 Muhammad ibn ‘Alî Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 565.

65

وتشريفا مع أنه سبحانه خالق كل ش ىء، كما أضاف إلى نفسه الروح والبيت والناقة

واملساجد32

“Allah berfîrman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu

sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni

apa yang membuat kamu enggan dan membangkan untuk berusujud

terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan

kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemuliaan, sebagaimana Allah

adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa,

rumah, onta serta masjid-masjid.”

Imam al-Syaukânî memaknai yadai disini adalah tanpa adanya

perantara. Allah menciptakan seorang hamba tanpa adanya bantuan atau

perantara lain.

e. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai

term Jâ’a Rabbuka

Dalam kamus al-Munawwir disebutkan lafaz (جاء) berarti datang.33

Datang diartikan hadirnya seseorang dalam suatu tempat, atau di tengah

perkumpulan. Dalam surat al-Fajr ayat 22 terdapat kata (جاء) yang

disandarkan kepada Allah Swt, yang memberikan kesan bahwa Allah datang

seperti layaknya datangnya manusia ke dalam sebuah perkumpulan atau

suatu tempat.

Imam al-Syaukânî memberikan penafsiran pula pada kata jâ’a Rabbuka

(telah datang Tuhanmu) dalam ayat 22 surat al-Fajr (89), al-Syaukânî

menafsirkan sebagai berikut:

32 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), j.IV, h. 528. 33 Achmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2007), cet, 1, h. 217

66

املعنى: أنها زالت الشبه وقضاؤه وظهرت اياته ، وقيل : جاء أمره" وجاء ربك " أى :

فى ذلك اليوم وظهرت املعارف وصارت ضرورية كما يزول الشك عند مجىء الش ىء

الذى كان يشك فيه ، وقيل : جاء قهر ربك وسلطانه وانفراده بالمر والتدبير من

صفا انتصاب )"وامللك صفا صفا" دون أن يجعل إلى أحد من عباده شيئا من ذلك

صفا( على الحال ، أى : مصطفين ..34

“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya

dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang mengartikan “bahwasannya

hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-

keterangan itu sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika

datang sesuatu yang membuat dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan

datanglah yang memaksamu atas perintahnya “dan sedang malaikat

berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan karena sebagai hal

posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris.”

Al-Syaukânî memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu”

yakni Allah datang dengan segla perintah dan ketentuan-Nya, tanpa harus

memikirkan bagaimana caranya Allah datang/hadir. Datangnya Allah ini

akan terjadi pada hari kiamat, yaitu Allah datang dengan segala ketentuan-

Nya dan seluruhnya akan terliat jelas bukan Dzat-Nya Allah secara

langsung. Dalam hal ini Imam al-Syaukânî menta’wil ayat tersebut dengan

makna metafora/majazi.

34 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid V, h. 522.

67

f. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî mengenai

term al-Janb

Lafaz al-Janb ( yang dinisbahkan kepada Allah terdapat hanya ( الجنب

satu yaitu pada QS. al-Zumar [39]: 56.35 al-Janb ( الجنب) disebutkan dalam

kamus al-Munawwir berarti lambung yang menandakan anggota tubuh

bagian dalam yang menempel dengan tulang rusuk.36

Dalam al-Qur’an penulis mendapati ayat yang menyebutkan kata “al-

janb” (lambung) yang disandarkan kepada Allah, yaitu pada QS. Al-Zumar

[39]: 56:

نته وإن ك

ب ٱلل طت في جن ر

ى ما ف

ى عل

حسرت فس ي

قول ن

ن ت

خرين أ

ن ٱلس مل

“supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar

penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap

Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang

memperolok-olokkan (agama Allah)”

Imam al-Syaukânî menafsirkan kata “ dengan keta’atan. Jadi ” جنب هللا

yang dimaksudkan ayat ini adalah “alangkah ruginya aku telah lalai dalam

ketaatanku terhadap Allah”.37

35 ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani al-Maqdisi, Fath al-Rahmân Li Tâlib Âyâts

al-Qur’ân, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), cet.1, h.491, 537 dan 756. 36 Achmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 2007) h. 491 37 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 560.

68

C. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât menurut Imam al-

Syaukânî dengan Mufassir Lain

a. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir

lain mengenai term istawâ

Imam al-Syaukânî memaknai istawâ dalam QS. al-A’râf (7): 54 yaitu

bersemayam tanpa diketahui caranya. Menurut Imam al-Syaukânî ini adalah

pendapat yang paling benar dan paling dekat dengan paham yang saleh.

Sama halnya dengan penafsiran Ibnu Katsir38 dalam tafsirnya al-Qur’an

al-Azîm. Beliau menjelaskan dalam tafsirnya mengenai ثم استوى على العرش

yang terdapat pada QS. al-A’râf (7): 54. Beliau menukil pendapat dari Salâf

al-Salîh, diantaranya Imam Mâlik, al-Auza’i, al-Tsaurî, al-Lait bin Sa’ad,

al-Syâfî’i, Ishâq bin Rahawaih, dan yang lainnya, yaitu dengan

membiarkannya seperti apa adanya tanpa adanya takyif (mempersoalkan

hakikatnya), tasybih (penyerupaan), dan ta’til (penolakan/pengosongan),

dan setiap makna zahir yang terlintas pada benak orang yang menganut

paham musyâbbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), maka

makna tersebut terjauh dari Allah, karena tidak ada sesuatupun dari ciptaan

38 Ibnu Katsir bernama lengkap Imaduddin Ismâ’il bin Umar bin Katsir adalah ulama

terkenal dalam ilmu tafsir, hadis, sejarah, dan fikih. Ia dididik di Damacus dan tamat pada tahun

1341. Ia pernah menjadi anggota komisi inkuisisi yang mengkaji masalah bid’ah. Ibnu katsir

dikenang karena karyanya al bidayah wa al-nihayah (awal dan akhir), yang menjadi bahan acuan

utama sejarahwan kemudia ia juga menulis buku tentang ilmu hadis. Lihat, Ensiklopedia Islam,

(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 80.

69

Allah Swt yang menyerupai-Nya.39 Seperti fîrman Allah يء

لهۦ ش

مث

يس ك

ل

بصيرميع ٱل Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan“ وهو ٱلس

Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat (QS. Al-Syû’arâ: 11).

Pada penggalan ayat “alâ al-‘arsyi istawâ” yang terdapat dalam surat

Tâhâ ayat 5, Imam al-Syaukânî berpendapat bahwa kata istawâ di

kinayahkan dengan raja. Jadi bisa dipahami bahwa istawâ ‘ala al-‘arsy

yakni Allah memiliki kerajaan dan berkuasa menduduki arsy-Nya tanpa

batas dan sekehendak-Nya Allah. Yang jelas, hakikat makna tersebut pada

ayat ini tidak diketahui manusia.

Penulis juga menemukan penafsiran dari ulama tafsir Indonesia yaitu

Nawawi al-Bantani40 dalam tafsirnya Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-

Qur’ân al-Majîd yang menafsirkan istawâ dengan tasarraf (mengatur).

Makna dari istawâ adalah tassarraf (mengatur) adalah setelah Allah

menciptakan semua makhluk, Allah mengatur kerajaan-Nya itu dengan

pengaturan yang sempurna.41

Makna yang ditemukkan oleh Imam al-Syaukânî dan Nawawi al-

Bantani dalam memahami penggalan “alâ al-‘arsyi istawâ” yang terdapat

39 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an Al Adzhim, Tahqiqi Sami bin Muhammad Salamah,

(Saudi Arabia: Dâr Tayyibah, t.t.), h. 392. 40 Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi ibn Umar ibn Arabi al-

Tanara al-Jawi al-Bantani, dan lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Bantani. Ia

dilahirkan di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25

Syawwal 1314, dan meninggal pada usia 84 tahun. Karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran

pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi ke dalam tujuh kategorisasi bidang,

yakni bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis, sejarah nabi serta bahasa. Lihat lebih lanjut Chaidar,

Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi Al-Bantani, (Banten: Yayasan Pendidikan Pelajar al-

Haddad Pandeglang, 1999), h.3. 41 Nawawi al-Jawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-Qur’ân al-Majîd, (Bairût: Dâr al Kutub

al-‘Ilmiyah, 1417 H), cet I, jilid II, h.138.

70

dalam surat Tâhâ ayat 5, memiliki perbedaan namun dengan tujuan yang

sama. Makna raja ini di pahami Imam al-Syaukânî yaitu Allah memiliki

kerajaan dan berkuasa menduduki Arsy-Nya dan dipahami Nawawi al-

Bantani adalah mengatur kerajaan-Nya dengan pengaturan yang sempurna.

b. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir

lain mengenai term ‘ain

Imam al-Syaukânî dalam memahami kata ‘ain yang terdapat dalam

surat Tâhâ 39

sebagai pangkuan-Ku. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tafsirnya.

Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menta’wil QS. Tâhâ ayat 39

yang terdapat kata “’ain (mata)”. Kaum Mu’tazilah menakwil kata “’ain

(mata)” sebagai “ ني العلموالعين تورد بمع ” yang artinya ilmi

(pengetahuan).42

Penulis dapati bahwa Imam al-Syaukânî menafsirkan kata ‘ain pada

ayat tersebut dengan memaknainya sebagai pangkuan Allah terhadap Nabi

Musa as. Sedangkan kamu Mu’tazilan menta’wilnya sebagai pengetahuan.

Hal ini mempunyai makna dan tujuan sama, yaitu Allah menjaga Nabi Musa

dalam pangkuan dan pengetahuan Allah Swt.

Selain itu, Imam al-Syaukânî juga memberikan penafsiran kata ‘ain

yang terdapat pada surat QS. Hûd (11): 37 sebagai “pengawasan Kami”

ketika Nabi Nuh membuat bahtera yang diperintahkan oleh Allah.

42 Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960),

h. 227. Lihat juga, Hasani Ahmad Syamsuri,Tesis: Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath Al-Qadîr:

Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam, (Jakarta: UIN Jakarta, 2007), h. 138.

71

Penulis juga menemukan penafsiran yang dikemukakan oleh ‘Abd al-

Qadîr al-Jilanî43. Beliau menafsirkan surat QS. Hûd ayat 37 dengan

menafsirkan bi a’yuninâ dengan bikanfînâ wa jiwarinâ wa hifzinâ wa

hasaninâ yang artinya perlindungan, ketetanggaan, penjagaan, dan

benteng.44 Hal ini sesuai dengan konteks ayat yang sedang berbicara tentang

kondisi Nabi Nuh yang sedang dilanda kesedihan dan kegelisahan karena

umatnya tidak mengindahkan seruannya.

Selain itu, penafsiran lafaz ‘ain juga menarik perhatian ulama tafsir

yang menganut paham Mu’tazilah, beliau adalah Zamaksyarî.45 Dalam

kitabnya al-Kasysyâf dijelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah Allah

memerintahkan kepada Nabi Nuh as. agar membuat kapal, Allah berkata

“hai Nuh buatlah kapal untuk tempat berlindung”. Zamakhsyarî mengatakan

bahwa lafazh a’yun pada ayat tersebut seolah-olah bahwa Allah memiliki

43 ‘Abd al-Qadîr al-Jilanî, ia lahir di Persia dari kampung Niff (wilayah yang bertanah

subuh dan memiliki aliran sungai yang banyak. Niff adalah saah satu ibu kota yang terdapat di Jilan

atau Kaylan) di daerah djilan yang berada di wilayah selatan laut Caspia. Beliau adalah anak terakhir

yang dilahirkan saat ibunya memasuki masa menopause yaitu berumur sekitar 60 tahun. Beliau

meninggal di usia 91 tahun pada malam Sabtu tanggal 8 Râbi’ al-akhir tahun 561 H di Baghdad.

Dalam menulis dan mengucapkan al-Jilani, orang-orang berbeda pendapat, ada yang membaca al-

Jilani (jim dibaca kasrah), ada juga yang membaca al-Jaylani (jim dibaca fathah) seperti kebanyakan

orang Indonesia, bahkan banyak di antaranya menamakan anaknya dengan nama Jailani. Namun,

menurut keterangan dalam kitab al-Ansab huruf jim dikasrah (baca : al-jilani) sebuah penisbatan

yang disematkan pada sebuah negara di belakang Thibristan, seperti keterangan yang dikutip oleh

al-Sam’ani dalam kitab al-Ansab, juz 2 h.146. Selain perbedaan dalam harakat jim para penulis

biografi bebeda pendapat dalam huruf jim itu sendiri, apakah dibaca jim dengan lahjah orang arab

(baca: al-Jilani). Dan di sini berbeda lagi apakah penisbatannya kepada al-Jilani atau al-Jili, atau

dibaca kaf seperti lahjah orang Persia/Mesir (baca: al-Kaylani). Lihat lebih lanjut, Mohammad

Hidayat, Skripsi: “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir al-Jilani”, (Jakarta: UIN

Jakarta, 2012), h. 13-15. 44 ‘Abd Al-Qadîr Al-Jilani, Tafsir al-Jilâni, (Istanbul: Marka al-Jilâni li al-Buhuth al

‘Ilmiyyah, 2009), vol.2, h. 389. 45 Zamakhsyarî dengan nama lengkap Abû al-Qasîm Mahmud ibn ‘Umar ibn Muhammad

ibn ‘Umar al-Khawarizmî. Dalam kitab al-Kasysyâf tertulis nama Abi al-Qasîm Mahmud ibn ‘Umar

ibn Muhammad al-Zamaksyarî, adapun gelarnya adalah Jarallah yang berarti tetangga Allah. Tokoh

Mu’tazilah ini lahir pada hari rabu 27 Rajab 467 H di Zamaksyar. Dalam aqidah Zamakhsyarî adalah

seorang Mu’tazili. dalam bidang fikih dia mengikuti kajiah fikih mazhab Hanafi yang disampaikan

oleh al-Damaghani al-Syarif ibn al-Sajari. Salah satu karyanya adalah tafsir al-Kasysyâf. Lihat lebih

lanjut, Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat: UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011), h.39.

72

‘ain (mata), akan tetapi maksud ayat tersebut adalah Allah memerintah

kepada Nabi Nuh agar membuat kapal dengan penuh penjagaan dari Allah

supaya tetap dalam kebenaran, dan tidak ada yang menghalangi antara Nuh

dan pekerjaannya dari musuh-musuhnya.46

c. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir

lain mengenai term wajh

Imam al-Syaukânî dalam menafsirkan “wajh” dalam surat al-Qasas ayat

88 memberikan titik terang bahwa ayat tersebut melukiskan bahwa segala

sesuatu akan binasa, harta, kedudukan, kekuasaan, dunia, dan bahkan segala

penghuninya bahkan alam raya dan segala isinya, penduduk langit dan

bumi. Baik yang kita ketahui atau tidak. Dan yang tinggal hanya Allah.

Kepada-Nya segala sesuatu akan kembali dan tiada tempat berlindung

kecuali Allah semata. Dan al-Syaukânî mengakhiri penafsirannya, “tiap-tiap

sesuatu pasti binasa” dengan kecuali sesuatu yang Allah kehendaki.

Zamaksyarî dalam menafsirkan kata wajh yang terdapat pada surat al-

Qasas ayat 88 adalah dzat, hal ini sesuai dengan tafsiran Zamaksyarî yang

terdapat pada al-Kasysyâf.

ال وجهه ال اياه والوجه يعبر به عن الذات47

Kata wajh yang dinisbahkan kepada Allah Swt dalam al-Qur’an

ternyata sangat banyak. Namun tidak satu pun ayat yang ditafsirkan Imam

al-Syaukânî dengan muka, sebagaimana makna literalnya akan tetapi di

46 Al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasysyâf, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 2008), j. 2, h. 286 47 ‘Abi Al-Qasîm Mahmud Ibn ‘Umar Ibn Muhammad Al-Zamaksyarî, Al-Kasysyâf ‘An

Haqâiq Ghawamid Al-Tanzîl, (Bairût: Dâr al-Kutub al-Arabi, 1407 H), juz 3, h. 481.

73

ta’wîl-kan kepada makna lain yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran

Allah Swt. Sama halnya dengan Zamaksyarî yang memaknai wajh sebagai

Dzat Allah.

Dalam surat al-An‘âm ayat 52, Imam al-Syaukânî memahami wajh

sebagai keridhaan Allah terhadap orang yang memelihara shalat jama’ah,

memelihara dzikir, membaca al-Qur’an, orang yang berdoa kepada

Allah,orang yang ikhlas dalam beribadah dan orang yang dzikir pada pagi

hari dan petang hari secara rutin dan terus menerus dialah orang yang

mendapatkan keridhaan dari Allah.

Berbeda dengan Nawawi al-Bantani yang menafsirkan kata wajh dalam

QS. al-An’âm 52 adalah mahabbah yang berarti kasih sayang. Hal ini sesuai

dengan tafsirnya dalam kitab Marâh Labîd.48 Maksudnya adalah orang-

orang yang menyeru Allah di pagi dan petang dengan keikhlasan akan

mendapatkan mahabbah dari Allah Swt.

تعالى ورضاه اى مخلصين في ذالكيريدون وجهه اى يريدون بذالك محبة هللا

48 Muhammad Nawawi al-Jawi, Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-Qur’ân al-Majîd, (Bairût:

Dâr Al-Kitub Al-Ilmiyah, 1417H), j.1, h. 320.

74

Kemudian, penulis menemukan persamaan makna yang dipahami oleh

Imam al-Syaukânî dan Wahbah Zuhaili49 dalam menta’wil kata wajh dalam

QS. al-Rahmân (55): 27. Keduanya menta’wil wajh sebagai Dzat Allah.50

d. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir

lain mengenai term yad

Dalam menafsirkan surat al-Zumar ayat 67 yang didalamnya terdapat

kata biyamînih (tangan kanan), Al-Syaukânî memahami yamînih sepertinya

secara metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Sepertinya yang

dimaksud di sini adalah kekuasaan Allah Swt.

Penafsiran ini sama halnya dengan Mutawalli al-Sya’râwi51 dalam

tafsirnya mengatakan bahwa “yamînih” yang terdapat pada surat al-Zumar

ayat 67 ini ditafsirkan sebagai berikut:

49 Syaikh Prof. Dr. Wahbah Zuhaili adalah seorang ulama fikih kontemporer peringkat

dunia. Pemikiran fikihnya menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab fikihnya, terutama

kitabnya yang berjudul al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Wahbah Zuhaili lahir di desa Dir `Athiah,

Siria pada tahun 1932 M dari pasangan H. Mustafa dan Hj. Fatimah binti Mustafa Sa`dah. Syaikh

Wahbah Zuhaili sangat produktif menulis, mulai dari artikel dan makalah sampai kepada kitab besar

yang terdiri atas enam belas jilid. Dr. Badi’ al-Sayyid al-Lahham dalam biografi Syaikh Wahbah

yang ditulisnya dalam buku yang berjudul, Wahbah Zuhaili al-‘Alim, al-Faqih. Dr. Badi’ al-Sayyid

al-Lahham menyebutkan 199 karya tulis Syaikh Wahbah selain jurnal. Demikian produktifnya

Syaikh Wahbah dalam menulis sehingga Dr. Badi` mengumpamakannya seperti Imam Suyuti (w.

1505 M) yang menulis 30 judul buku di masa lampau. Beberapa karyanya adalah al-Fiqh al-Islami

wa Adillatuh, al-Tafsir al-Munir. Lihat lebih lanjut, Shabra Syatila dalam sebuah artikel “Syaikh

Wahbah Az Zuhaili” di http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/, diakses pada tanggal:

17 Maret 2016. 50 Wahbah Zuhaili yang menafsirkan kata wajh pada surat al-Rahmân ayat 27 sebagai Dzat

Allah. Maksudnya adalah Allah mensifati Dzat-Nya dengan sifat “Dzu al-Jalâl wa al-ikrâm” Lihat,

Wahbah Al-Zuhaili Tafsir al-Munir, terj. Al-Tafsir (al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdatwa al-Syarîatwa

al-Manhâj), terj. Abdul Hayyie al-Katani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2013), jil.4, cet. 1, h. 466 51 Mutawalli al-Sya’râwi adalah seorang ulama besar Mesir kontemporer yang terkenal

karena ceramah dan tulisannya serta mantan menteri agama Mesir. Sejak berusia muda al-Sya’râwi

dikenal sebagai orang yang berjiwa revolusioner. Ia adalah pelopor berdirinya Bank Islam Faisal di

Mesir pada awal 1987. Pandangannya dalam bidang teologi sangat dipengaruhi paham Asy’ariyyah.

Ini dapat ditelusuri dalam bukunya al-Qada’ wa al-Qadar. Ia termasuk ulama penulis yang

produktif. Kemampuannya mengungkapkan pikiran dalam bentuk tulisan ternyata mengimbangi

kemampuan retorikanya yang mengagumkan. Ia banyak menulis pada berbagai majalah dan surat

kabar, anatara lain liwa al-islam (bendera islam), minbâr al-islam (mimbar islam), al-mukhtar

(pilihan), al-i’tisâm (pedoman), dan al-ahram (piramida). Lihat lebih lanjut Ensiklopedia Islam,

(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), jilid 6, h.299-300.

75

“langit digulung dengan tangan kanan-Nya, digulung berkat

kekuasaan-Nya. Disebut kanan karena kanan adalah sumber kekuatan

dan ialah anggota tubuh yang lebih aktif dibandingkan kiri.52

Penulis berpendapat bahwa Mutawalli al-Sya’râwi memaknai

“biyaminihi” sebagai kekuasaan Allah, maksudnya adalah langit berada

dalam kekuasaan Allah yang di kinayahkan dengan tangan kanan yang

merupakan anggota tubuh yang lebih aktif dibandingkan kiri.

Dalam ayat lain yang mengandung kata yad juga ditafsir oleh Imam al-

Syaukânî dalam surat Sad (38) : 75. Imam al-Syaukânî memaknai yadai

dalam surat Sad (38) : 75 adalah tanpa adanya perantara. Allah menciptakan

seorang hamba tanpa adanya bantuan atau perantara lain.

Sama hal nya dengan al-Zamaksyari yang memaknai yadai dalam QS.

Sad 75 yang menafsirkan sebagai penciptaan dengan tanpa perantara.

Berikut penafsiran Zamaksyarî dalam kitab tafsirnya al-Kasysyâf,

نت منم ك

برت أ

ستك

أ

قت بيديلا خ

سجد مل

ن ت

إبليس ما منعك أ

ال يعالين معنى ق

ٱل

ملا خلقت بيدي ملاخلقت بغير واسطة53

Quraish Sihihab54 juga memaknai “yadai” dalam tafsr al-Misbah.

Menurutnya ada tiga pendapat, diantaranya :

52 Muhammad Mutawalli al-Sya’râwi, Tafsir Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2011), terj.

Safir Al-Azhar, j.11, h.605 53 Abi al-Qasîm Mahmud Ibn ‘Umar Ibn Muhammad al-Zamaksyarî, al-Kasysyâf ‘An

Haqâiq Ghawamid Al-Tanzîl, (Bairût: Dâr al-Kutub al-Arabi, 1407 H), j.IV, h. 107. 54 Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA, lahir di Rappang Sulawesi Selatan, pada tanggal 16

Februari 1944. Di luar aneka jabatan dan keterlibatan dalam institusi pemerintah dan organisasi yang

sangat dan beragam, belakangan jabatan formal yang kerap disandangnya pada perbagai kesempatan

adalah Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ), Jakarta. Lebih dari 40 judul buku telah ditulisnya.

Diantara karya-karyanya adalah membumuikan al-qur’an, tafsir al-misbah, dia di mana-mana,

membaca sirah Nabi Muhammad. MQS, demikian beliau biasa disapa di lingkungan PSQ, juga

menjadi narasumber sejumlah tayangan keagamaan di beberapa stasiun televisi. Lihat, M.Quraish

Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami

Ayat-ayat al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), cet.3.

76

“Pertama, mengambil jalan pintas dengan mengatakan bahwa

ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama tersebut sambil

menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat

kebendaan/jasmani dan keserupaan dengan makluk. Pendapat kedua,

memahami kata yad dalam arti kekuasaan. Pendapat ketiga mengatakan

bahwa kata “kedua tangan” adalah anugerah duniawi dan ukrawi yang

dilimpahkan Allah kepada manusia atau sebagai isyarat mengenai

kejadian manusia dari dua unsur utama, yakni debu, tanah dan juga ruh

Ilahi. Menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah makna “kholaqtu

bi-yadai” ialah betapa manusia memperoleh penanganan khusus dan

penghormatan dari sisi Allah Swt.55

Dari penjelasan tersebut menurut penulis, Quraish Shihab tidak

menerangkan secara terperinci bagaimana penakwilan terhadap lafaz بيد ي

, apakah dengan makan hakiki atau dengan makna majazi seperti kekuasan

dan lainnya. Dalam hal ini penulis menemukan makna “yadai” dalam al-

Qur’an dimaknai sebagai penanganan khusus dan penghormatan dari sisi

Allah untuk menciptkan hamba-Nya.

Singkat penulis Imam al-Syaukânî dalam memaknai biyaminih

mengalihkan makna biyaminih sebagai kekuasaan Allah dan keagungan

Allah. Begitupun dengan Mutawalli Sya’râwi ketika memaknai biyaminihi,

beliau memaknai sebagai kekuasaan Allah. Namun berbeda maknanya

ketika ditemukan kata yad yang terdapat dalam QS. Sad 75 yang dipahami

Imam al-Syaukânî sebagai penanganan khusus dan penghormatan dari Allah

kepada hamba-Nya yang telah Allah ciptakan dengan kedua tangan-Nya.

Sehingga QS. Sad ayat 75 ini tidak menggunakan kata tunggal untuk kata

yadai/tangan tetapi bentuk dual yaitu yadayya/kedua tangan-Ku. Begitupun

dengan Quraish Shihab yang memaknai yadayya sebagai anugerah duniawi

55 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:

Lentera Hati, 2012), cet.5, vol.11, h. 419.

77

dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat

tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah dan juga

ruh Ilahi.

e. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir

lain mengenai term Jâ’a Rabbuka

Al-Syaukânî memberikan penafsiran pada kata Jâ’a Rabbuka dalam

surat al-Fajr (89) ayat 22, beliau memberikan keterangan bahwa “dan datang

Tuhanmu” yakni Allah datang dengan segla perintah dan ketentuan-Nya,

tanpa harus memikirkan bagaimana caranya Allah datang/hadir. Datangnya

Allah ini akan terjadi pada hari kiamat, yaitu Allah datang dengan segala

ketentuan-Nya dan seluruhnya akan terliat jelas bukan Dzat-Nya Allah

secara langsung. Dalam hal ini Imam al-Syaukânî menta’wil ayat tersebut

dengan makna metafora/majazi.

Sedangkan dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan lafaz

ك :sebagai berikutجاء رب

“Dan datanglah Tuhanmu” : Wahai Nabi Muhammad atau wahai

manusia, dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-

Nya atau hadirlah ketetapan-Nya serta tampaklah dengan jelas kuasa

dan keagungan-Nya.56

Dari penafsiran Quraish Shihab ini agaknya penulis memahami bahwa

Quraish Shihab menafsirkan ك dengan datangnya Tuhan secara و جاء رب

hakiki disertai dengan ketetapan dan kekuasan-Nya pada hari kiamat kelak.

56 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an),

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 297.

78

Hal ini ditegaskan dari kata-kata “Dan datanglah Tuhanmu dalam bentuk

yang sesuai degan keagungan dan kesucian-Nya”.

Kemudian, penulis juga mengutip penafsiran Ibnu Katsir mengenai

ك Ibnu Katsir tidak menelusurinya secara bahasa dan teologis, beliau و جاء رب

langsung melakukan pemaknaan pada ayat tersebut. Bahwa Allah akan

mengadili makhluk-makhluk-Nya memberikan keputusan di antara hamba-

hamba-Nya, hal itu terjadi setelah mereka mengharapkan syafaat mulai dari

Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, setelah sebelumnya mereka telah

meminta syafa’at kepada para Rasul ulul azmi, satu persatu.57

Penulis dapat berkesimpulan bahwa jâ’a Rabbuka yang dikemukakan

Imam al-Syaukânî ditakwil dengan makna majazi bahwa Allah akan datang

bersama ketentuan-Nya. Berbeda dengan Quraish Shihab yang menafsirkan

bahwa datangnya Allah secara hakiki dengan ketetapan-Nya. Sedangkan

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah akan hadir untuk mengadili hamba-

hamba-Nya.

f. Penafsiran ayat mutasyâbihât oleh Imam al-Syaukânî dan mufassir

lain mengenai term al-Janb

Imam al-Syaukânî menafsirkan kata al-Janb pada QS. Al-Zumar (39):

56 sebagai keta’atan. Jadi yang dimaksudkan ayat ini adalah “alangkah

ruginya aku telah lalai dalam ketaatanku terhadap Allah”.58

57 Ibnu Katsir, Shahih Ibnu Katsîr, al-Mishbaahul Munîr fii Tahdzibi Tafsiri ibni Katsîr,

terj. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2016), j.9, cet. 11, h. 587 58 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid

Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 560.

79

Penulis temukan penafsiran al-janb yang ditafsirkan al-Sabûni59,

menurutnya, kata al-janb yang disandarkan pada Allah menunjukkan makna

kinâyah (kiasan), yang berarti hak Allah dan taat kepada-Nya. Ini bentuk

dari kiasan yang halus.60

Penulis juga temukan penafsiran al-janb oleh al-Sawî yang dalam

bentuk majaz dari taat, karena pada asalnya kata al-janb menunjukkan arti

arah atau lambung, yang bersinonim dengan kata al-janib, yang berarti di

samping. Jika kata arah disebutkan maka berkaitan dengan seseorang yang

berada di tempat tersebut, dan dalam kaitannya lafaz al-janb, ketika disebut

kata taat dan disandarkan kepada Allah maka berhubungan dengan Allah.61

59 Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali bin Jamil al-Sabuni. Beliau dilahirkan pada

tahun 1347 H/1928 M. Beliau adalah dosen di Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyyah di Makkah.

Al-Sabuni memulai belajarnya dari kecil di Suria, sehingga menanamkan Tsanawiyah, itu

merupakan akhir belajarnya di Suria. Kemudia ia meneruskan belajarnya di Universitas al-Azhar

Mesir, sehingga ia mendapatkan gelar LC pada tahun 1371 H/1952 M. Setelah selesai mendapatkan

gelar tersebut, al-sabuni meneruskan belajarnya di Universitas yang sama sampai ia mendapatkan

gelar Magister pada tahun 1954 M dalam bidang spesialisasi hukum syar’i. Ia menjadi utusan dari

Kementrian Wakaf Suria untuk menyelesaikan al-Dirasah al-‘Ulya. Lihat, Ahmad Fauzi, Skripsi:

Safwat al-Tafâsir: Studi Analisis Metodelogi Penafsiran al-Qur’an Karya al-Sabuni, (Jakarta: UIN

Jakarta 2010), h. 45. 60 Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), terj.

Yasin, jilid 4, h.546-561. 61 Ahmad bin Muhammad al-Mâlikî al-Sâwî, Hâsyiah al-Sâwî ‘ala tafsîr al-Jalâlain,

(Surabaya, al-Haramain, t.th.), j.3 hlm. 466.

80

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari pembahasan penafsiran Imam al-Syaukânî terhadap ayat-

ayat mutasyâbihât yang tertuang di dalam tafsirnya yang berjudul Fath al-Qadîr al-

Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr, maka pada bab

ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:

Imam al-Syaukânî dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât dengan

metode ta’wîl yaitu dengan memahami ayat mutasyâbihât dan mengalihkan makna

sebuah lafadz ayat ke makna lain yang lebih sesuai dan alasan yang dapat diterima

oleh akal manusia. Namun terkadang Imam al-Syaukânî tidak mentakwilnya, akan

tetapi menyandarkannya kepada Allah Swt. Pada penelitian ayat-ayat yang terdapat

di bab IV, disebut yakni: ‘alâ al-‘arsyi istawâ,‘ain, wajh, biyamînih/yad, jâ’a

Rabbuka, dan al-janb dipahami al-Syaukânî tidak dalam makna harfîyahnya, tetapi

ia mempergunakan makna metaforis.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakikatnya al-Syaukânî,

bila berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut, cenderung menggunakan

ta’wîl atau mempergunakan makna metaforis dan kadang juga memaknai secara

lahir atau harfiyahnya.

B. SARAN

Pembahasan yang penulis angkat merupakan pembahasan yang selalu

menarik dan luas untuk dibicarakan. Terbukti banyaknya perdebatan dari berbagai

81

ulama mazhab atau golongan dengan pendapat dan argumentainya masing-

masing, baik melalui buku-buku bahkan di media sosial sekarang ini. Jika

dikemudian hari ada peneliti yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut, penulis

sangat berharap dapa membahasanya secara detail dari setiap bagian bahasan, serta

dapat memberikan informasi baru yang mungkin belum pernah dibahas. Sehingga

hal tersebut dapat memeberikan khazanah bagi para pembaca, khususnya bagi yang

ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana para ulama tafsir menafsirkan ayat-ayat

mutasyâbihât dalam al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

‘Atta, Abd al-Qadîr. ‘Aḏimah al-Qur’ân. Bairût. Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah. t.th.

Abdullah, Mawardi. Ulumul Qur’an. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2011.

al-Alûsi, Syihâb al-Dîn Sayyid Mahmud. Rûh al-Ma’ânî. Lebanon. Dâr al-Fikr.

2003 M/1423 H. Cet.1

al-Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd. Mu’jâm al-Mufahrâs li al-Faz al-Qur’ân al-

Karîm. Dâr al-Fikr. 1414 H/1994 M.

al-Dzahâbi, Muhammad Husein. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo. Maktabah

Wahbah. 2000.

al-Farmawî ‘Abd al-Hayy. al-Bidâyah Fî al-Tafsîr al-Maudu’i. Kairo. Al Hadharah

al-‘Arabiyyah. 1997.

al-Harari, Abdullah. al-Maqalat al-Sunniyyah fi Kasyf Dhalalat Ahmad bin

Taimiyyah. Bairût. Dâr al-Masyari’. 2007.

Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta. Yayasan Ali

Maksum Pondok Pesantren Krapyak, t.th.

al-Jamal, Syaikh Hasan. Hayatul Aimmah Biografi 10 Imam Besar, terj. M.Khaled

Muslih dan Imam Awaluddin. Jakarta. Pustaka Kautsar. 2005.

al-Jawi, Nawawi. Marâh Labîd li Kasyf Ma’ani al-Qur’ân al-Majîd. Bairût. Dâr al

Kutub al-‘Ilmiyah. 1417 H.

Al-Jilani, ‘Abd Al-Qadîr. Tafsir al-Jilâni. Istanbul. Marka al-Jilâni li al-Buhuth al

‘Ilmiyyah. 2009.

al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits.

Jakarta. Gaya Media Pratama.2007.

al-Maqdisi, ‘Alami Zadah Faîr al-lah ibn Musâ al-Hasani. Fath al-Rahmân Li Tâlib

Âyâts al-Qur’ân. Bairût. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2005.

Al-Qadi, ‘Abd al-Jabbar. Syarh al-Usûl al-Khamsah. Kairo. Maktabah Wahbah.

1960.

al-Qattan, Manna’. Mabâhîts fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Kairo. Maktabah Wahbah. 2000.

al-Razî, Muhammad Fakhr al-Dîn. Mafâtîh al-Ghaib. t.tp. Dâr al-Fikr. 1981.

al-Sabunî, Muhammad ‘Alî. al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Damsyik. Maktabah al-

Ghazâli. 1981.

......., al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Damaskus. Maktabah al-Ghazali. 1390.

al-Sâwî, Ahmad bin Muhammad al-Mâlikî. Hâsyiah al-Sâwî ‘ala tafsîr al-Jalâlain.

Surabaya. Al-Haramain, t.th.

al-Shadr Muhammad Baqîr. al-Tafsîr al-Maudû’î wa al-Tafsîr al-Tajzî’î Fi al-

Qur’ân al-Karîm. Bairût. Dar al-Tatuf Al-Matbû’ât. 1980.

Al-Suyûtî, Abû al-Fadl Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn Abî Bakr. al-Itqân fî

‘Ulûm al-Qur’ân. al-Saudiyyah. al-Mamlakat al- ‘Arabiyyah, t.t.h.

......., al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Lebanon. Dâr al-Fikr. 1979.

al-Sya’râwi, Muhammad Mutawalli. Tafsir Sya’rawi, terj. Safir Al-Azhar. Medan.

Duta Azhar. 2011.

al-Syaukânî, Muhammad bin ‘Alî. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-

Usul. Bairût. Dâr al-Fikr, t.th.

……., Al-Badr al-Tâli’ bi Mahâsin Man Ba’d al-Qarn al-Sâbi’. Bairût. Dâr al-

Ma’rifah. t. th.

……., Fath al-Qadîr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid Ibrahim. Mesir. Dâr al-Fikr. 1973.

…….., Fath al-Qadîr. Tahqiq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, terj. Amir Hamzah

Fachruddin. Jakarta. Pustaka Azzam. 2008.

……., Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-Akhbar. Bairût. Dâr al-Fikr. 1961. cet.ke-3

……., Nail al-Autâr Syarh Muntaqa al-Akhbar. Bairût. Dâr al-Fikr, 1983.

……., Fath al-Qadîr. Tahqiq dan Takhrîj Sayyid Ibrâhîm. Kairo-Mesir. Dâr al-

Hadîts. 2007.

Al-Zamakhsyarî, Tafsir al-Kasysyâf. Lebanon. Dâr al-Fikr. 2008.

……., Al-Kasysyâf ‘An Haqâiq Ghawamid Al-Tanzîl. Bairût. Dâr al-Kutub al-

Arabi. 1407 H.

al-Zarkasyî, Badâr al-Dîn Muhammad bin ‘Abd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî

‘Ulûm al-Qur’ân. . Mesir. t.tt. 1972.

al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azim. Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân.

Bairût. Dâr al-Fikr. T.th.

al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdatwa al-Syarîatwa al-Manhâj,

terj. Abdul Hayyie al-Katani, dkk. Jakarta. Gema Insan. 2013.

Ambary, Hasan Mu’arif, Taufik Abdullah, Abdul Aziz Dahlan. Suplemen

Ensiklopedi Islam. Jakarta. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996.

Anshori. Ulumul Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2016.

Anwar, Rosihon. ‘Ulum al-Qur’an. Bandung. Pustaka Setia. 2007.

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta. Bulan

Bintang. 1993.

Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj, Team Pustaka Firdaus.

Jakarta. Pustaka Firdaus.1995.

Aziz, Husein. Pemahaman Ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif Bahasa. Journal

Madaniya. vol. 11. no 1.

Badr, Abdullah Abu al-Su’ud. Tafsil Umm al-Mukminîn ‘Âisyah ra, terj, Gazi

Saloom, dkk. Jakarta. Serambi Ilmu Semesta. 2000.

Buchori, Didin Saefudin. Pedoman Memahami Kandungan al-Qur`an. Bogor.

Granada Sarana Pustaka. 2005. cet.ke-1.

Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani. Banten. Yayasan

Pendidikan Pelajar al-Haddad Pandeglang. 1999.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai

Pustaka. 2005.

Djalal, Abdul. ‘Ulum al-Qur’an. Surabaya. Dunia Ilmu. 2000.

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis. Insan madani press, t. th.

Fauzi, Ahmad Safwat al-Tafâsir: Studi Analisis Metodelogi Penafsiran al-Qur’an

Karya al-Sabuni. Skripsi Prodi Tafsir Hadits. Fakultas Ushuluddin. UIN

Jakarta. 2010.

Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, al-Qur’an Kita. Kediri. Lirboyo Press.

2013. cet.ke-3.

Halimudin. Pembahasan Ilmu al-Qur’an 2. Jakarta. PT Rineka Cipta. 1995.

Hamid, Ahmad Mukhtar Abdul. Mu’jam al-Lughoh al-‘Arabiyyah al-Ma’asirah.

Mesir. ‘Alim al-Kutûb. 2008.

Hanafi, Ahmad. Teologi Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 2010

Hidayat, Mohammad.“Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir al-Jilani”.

Skripsi Program Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, Jakarta. 2012.

Ibn Mandzûr, Muhammad. Lisân al-Arâb. Bairût. Dâr Sadir. t.t.h. cet. I

Ihsan, Muhammad. Metodologi Tafsir Imam Al-Shawkânî Dalam Kitab Fath Al-

Qadîr: Kajian Terhadap Surah Al-Fâtihah. Jurnal Hunafa Vol. 5, No.2,

Agustus 2008.

Katsîr, Al-Hafîz Ibn. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, edisi Sami Muhammad Salamah.

Riyâd. Dâr al-Taibah. 1999.

Katsir, Ibnu. Shahih Ibnu Katsîr al-Mishbaahul Munîr fii Tahdzibi Tafsiri ibni

Katsîr, terj. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. Jakarta. Pustaka Ibnu

Katsir. 2016.

……., Tafsir al-Qur’an Al Adzhim, Tahqiqi Sami bin Muhammad Salamah. Saudi

Arabia. Dâr Tayyibah, t.t.h.

Komaruddin, Kamus Riset. Bandung. Angkasa. 1984.

M. Armando, Nina. Ensiklopedia Islam. Jakarta. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005.

vol.7

Machasin, Al-Qaḏi’ ‘Abd al-Jabbâr dan Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam al-Qur’an.

Jurnal Al-Jami’ah, No. 27 tahun 1994.

Mahmud, Mani’ ‘Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif

Metode Para Ahli Tafsir, terj. Manhâj al-Mufassirîn, Faisal Saleh dan

Syahdianor. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2006.

Majma’ al-Lughoh al-Arabiyyah Bi al-Qâhirah, Mu’jam al-Wâsit. t.tp. Dâr al-

Da’wah. t.th.

Marzuki, Kamaluddin.‘Ulum al-Qur’an. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994.

Mudasir. Ilmu Hadis. Bandung. Pustaka Setia. 2010.

Mudzîr, Jamâluddin Ibn. Lisân al-‘Arab. Bairût. Dâr al-Sadar. 1992.

Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Yake Sarasin.

1996.

Muhammad ‘Alî al-Sâbûnî, Safwah al-Tafâsir, terj. Yasin. Jakarta. Pustaka al-

Kautsar. 2001.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya. Pustaka Progressif. 2002.

Nahar, Syamsu. Studi Ulumul Quran. Jakarta Perdana Publishing. 2015.

Najib, Ainun. Konsep al-Muhkam dan al-Mutasyâbih menurut Muhammad Abîd al-

Jabirî. Tesis Prodi Tafsir Hadits. Fakultas Ushuluddin. UIN

Jakarta.2016.

Qasim, Tarmana Abdul. Samudera Ilmu-Ilmu al-Qur`an. Bandung. Mizan Pustaka.

2003.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung. Alma Arif. 1974.

……., Ikhtisar Mustalah al-hadîts. Bandung. PT al-Ma’arif. 1987.

Ramli, Muhammad Idrus. Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat. Jawa Timur.

Khalista. t.th.

Rusli, Nasrun. Disertasi: Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan

Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. UIN Jakarta. 1998.

Sarwat, Ahmad. Seri Fiqh Kehidupan. Jakarta. DU Publishing. 2011.

Shabra Syatila. Artikel “Syaikh Wahbah Az Zuhaili” di

http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah-az-zuhaili/, diakses pada

tanggal 17 Maret 2016.

Shihab, M.Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda

Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. Tangerang. Lentera

Hati. 2015.

……., Sejarah ‘Ulûm al-Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2013.

……., Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta. Lentera

Hati. 2012.

Suma, Muhammad Amin. ‘Ulumul Qur’an. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2014.

Syamsuri, Hasani Ahmad. Tesis: Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Fatẖ al-Qadîr

Telaah atas Pemikiran al-Syaukânî dalam Teologi Islam. Jakarta. UIN

Syarif Hidayatullah. 2007.

Syibromalisi, Faizah Ali. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Ciputat.

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. 2011.

Usman, Ulumul Qur’an. Yogyakarta. Teras. 2009.

Wahab, Muhammad Rashidi. Takwilan Nas-nas Sifat Mutashabihat dalam

Kalangan Salaf , jurnal GJAY Malaysia. Usuluddin Fakulti Pengajian

Kontemporari Islam, Universiti Sultan Zainal Abidin. 2012. vol.2.

Yunus, Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. Jakarta. PT.Mahmud Yunus Wa

Dzurriyah. 2010.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. PT Mutiara Sumber Widya. 2010

Yusuf, M. Yunan. Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam. Jakarta. 1990

Zainuu, Muhammad Ibnu Jamil. Pemahaman al-Qur’an. Bandung. Gema Risalah

Press. 1997.