pemodelan penurunan permeabilitas akibat · pdf filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2...

13
M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 1 PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT REAKSI KIMIA PADA SISTEM HIDROTHERMAL DENGAN SIMULATOR CHEM-TOUGH2 M. Tamrin Humaedi*, Sutopo** Sari Morrow et al., (1981) telah melakukan percobaan dengan menginjeksikan air bertemperatur tinggi pada granite untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap penurunan permeabilitas pada batuan granite. Dengan tujuan yang sama, studi lebih lanjut dilakukan oleh Moore et al., (1982) dengan menghitung reaksi kimia pada batuan sehingga diperoleh hasil yang lebih akurat. Kedua percobaan tersebut dilakukan dengan menggunakan alat yang sama dengan pola aliran radial dan laminar (Darcy flow). Penelitian mereka menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu pengendapan mineral pada rekahan dapat mengurangi permeabilitas batuan pada sistem hidrothermal. Dalam studi ini dilakukan pemodelan numerik reaksi kimia untuk kedua percobaan di atas dengan menggunakan simulator CHEM-TOUGH2. Dilakukan penyederhanaan komposisi kimia penyusun batuan untuk model numerik. Pola penurunan permeabilitas dari simulasi menunjukkan hasil yang cukup selaras dengan data percobaan yang dilakukan oleh Morrow et al., (1981) dan Moore et al., (1982). Berdasarkan data percobaan dan model numerik, penurunan permeabilitas batuan granite yang disebabkan karena reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur operasi. Temperatur merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap penurunan permeabilitas batuan karena berkaitan erat dengan solubilitas mineral dalam fluida dan batuan. Kata kunci: CHEM-TOUGH2, permeabilitas, granite Abstract Morrow et al., (1981) had been conducted laboratory studies by injecting high temperature water on the granite to determine the effect of temperature on permeability reduction in granite rocks. Further studies conducted by Moore et al., (1982) by considering the chemical reactions in the rocks in order to obtain more accurate results to calculate permeability reduction in granite. Both laboratory studies had been conducted using the same instrument with the pattern of radial and laminar flow (Darcy flow). Their study concluded the same result, deposition of minerals on fracture caused permeability reduction of granite on hydrothermal system. In this study, numerical modeling of chemical reactions for the two experiments above had been conducted using CHEM-TOUGH2 simulator. Simplification of chemical composition for numerical models has been used. The permeability reduction pattern from simulation results show good agreement with the experiment results conducted by Morrow et al., (1981) and Moore et al., (1982). Based on the results of laboratory experiments and numerical models, the decline in granite rock permeability due to chemical reactions is strongly caused by operating pressure and temperature. Temperature is the most important factor of permeability reduction because it is associated closely with the solubility of minerals in the fluid and rock. Keywords: CHEM-TOUGH2, permeability, granite *Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB **Dosen Pembimbing Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB

Upload: dangkien

Post on 01-Feb-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 1

PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT REAKSI KIMIA PADA SISTEM HIDROTHERMAL DENGAN SIMULATOR CHEM-TOUGH2

M. Tamrin Humaedi*, Sutopo**

Sari

Morrow et al., (1981) telah melakukan percobaan dengan menginjeksikan air bertemperatur tinggi pada granite untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap penurunan permeabilitas pada batuan granite. Dengan tujuan yang sama, studi lebih lanjut dilakukan oleh Moore et al., (1982) dengan menghitung reaksi kimia pada batuan sehingga diperoleh hasil yang lebih akurat. Kedua percobaan tersebut dilakukan dengan menggunakan alat yang sama dengan pola aliran radial dan laminar (Darcy flow). Penelitian mereka menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu pengendapan mineral pada rekahan dapat mengurangi permeabilitas batuan pada sistem hidrothermal.

Dalam studi ini dilakukan pemodelan numerik reaksi kimia untuk kedua percobaan di atas dengan menggunakan simulator CHEM-TOUGH2. Dilakukan penyederhanaan komposisi kimia penyusun batuan untuk model numerik. Pola penurunan permeabilitas dari simulasi menunjukkan hasil yang cukup selaras dengan data percobaan yang dilakukan oleh Morrow et al., (1981) dan Moore et al., (1982).

Berdasarkan data percobaan dan model numerik, penurunan permeabilitas batuan granite yang disebabkan karena reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur operasi. Temperatur merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap penurunan permeabilitas batuan karena berkaitan erat dengan solubilitas mineral dalam fluida dan batuan.

Kata kunci: CHEM-TOUGH2, permeabilitas, granite

Abstract

Morrow et al., (1981) had been conducted laboratory studies by injecting high temperature water on the granite to determine the effect of temperature on permeability reduction in granite rocks. Further studies conducted by Moore et al., (1982) by considering the chemical reactions in the rocks in order to obtain more accurate results to calculate permeability reduction in granite. Both laboratory studies had been conducted using the same instrument with the pattern of radial and laminar flow (Darcy flow). Their study concluded the same result, deposition of minerals on fracture caused permeability reduction of granite on hydrothermal system.

In this study, numerical modeling of chemical reactions for the two experiments above had been conducted using CHEM-TOUGH2 simulator. Simplification of chemical composition for numerical models has been used. The permeability reduction pattern from simulation results show good agreement with the experiment results conducted by Morrow et al., (1981) and Moore et al., (1982).

Based on the results of laboratory experiments and numerical models, the decline in granite rock permeability due to chemical reactions is strongly caused by operating pressure and temperature. Temperature is the most important factor of permeability reduction because it is associated closely with the solubility of minerals in the fluid and rock.

Keywords: CHEM-TOUGH2, permeability, granite

*Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB

**Dosen Pembimbing Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB

Page 2: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 2

I. PENDAHULUAN

Aliran fluida pada batuan granite dikontrol oleh rekahan karena permeabilitas matriks batuannya sangat kecil (skala nanodarcy). Berkaitan dengan sistem hidrothermal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengendapan silika dan mineral lain yang terendapkan pada rekahan dapat menurunkan permeabilitas batuan secara signifikan.

Percobaan skala laboratorium telah dilakukan pada tekanan dan temperatur bawah permukaan untuk mengetahui pengaruh pengendapan mineral pada rekahan batuan granite. Semua percobaan tersebut menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu pengendapan mineral pada rekahan dapat mengurangi permeabilitas batuan. (Morrow et al., 1981; Moore et al., 1983; and Vaughan et al., 1986).

Penelitian yang dilakukan oleh White dan Weir (1996) dan White dan Mroczek (1998) dapat memprediksi perubahan porositas dan permeabilitas pada batuan disebabkan oleh reaksi pelarutan dan pengendapan pada kuarsa. Dalam penelitian ini, hanya reaksi silika yang dimodelkan. Selain itu, Sutopo et al. (2000) telah membuat model numerik untuk menghitung perubahan laju alir dan permeabilitas pada batuan granite berdasarkan percobaan yang dilakukan Moore et al. (1995) dengan menggunakan simulator CHEM-TOUGH2. Model numerik yang dibuat dapat memperhitungkan reaksi kimia dari mineral lain selain silika dalam proses pelarutan dan pengendapan mineral pada batuan granite.

Hasil perhitungan model numerik Sutopo et al., (2000) dengan menggunakan data percobaan yang dilakukan oleh Moore et al., (1995), dimodelkan menggunakan model aliran fluida secara linear dan menunjukkan hasil yang memuaskan. Dalam studi ini dilakukan pemodelan secara numerik untuk membandingkan data percobaan laboratorium yang dilakukan oleh Morrow et al. (1981) dan Moore et al. (1982). Model grid yang digunakan adalah model aliran fluida secara radial.

Tujuan dilakukannya studi ini adalah untuk membandingkan profil penurunan permeabilitas menggunakan model numerik pada sistem aliran radial dengan data percobaan yang dilakukan oleh Morrow et al. (1981) dan Moore et al. (1982). Tujuan lain adalah untuk mengetahui parameter-parameter yang berpengaruh terhadap penurunan permeabilitas pada sistem aliran radial serta menjelaskan fenomena fisik yang menyebabkan penurunan permeabilitas pada sistem aliran radial.

II. PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT REAKSI KIMIA

II.1. Kondisi Percobaan

Skema alat yang digunakan dalam percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 1. Sampel batuan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Westerly granite untuk percobaan Morrow et al., (1981); dan Westerly granite dan Barre granite untuk percobaan Moore et al., (1982). Pemilihan kedua jenis batuan tersebut didasarkan pada komposisi mineral penyusunnya yang hampir sama dengan mineral pada batuan sistem hidrothermal.

Sampel core yang digunakan memiliki dimensi diameter 7,62 cm dan panjang 8,89 cm. Pada bagian tengah core, terdapat lubang dengan diameter 1,27 cm yang digunakan sebagai sumber panas agar terdapat perbedaan temperatur antara lubang tengah dengan bagian terluar sampel core. Sumber panas dijaga agar selalu konstan dan temperatur di bagian luar sampel core pun dijaga dalam batasan tertentu agar konstan. Selain itu, lubang tengah ini digunakan juga sebagai titik injeksi fluida. Fluida yang digunakan adalah air murni yang telah diionisasi agar reaksi pelarutan mineral batuan yang terjadi merepresentasikan kondisi ideal.

Logam pelapis dari emas digunakan sebagai lapisan impermeable ujung atas dan bawah dari sampel core sedangkan fused silica digunakan sebagai insulator panas. Logam yang berfungsi sebagai sumber panas pada borehole dilapisi dengan emas untuk mencegah kontaminasi fluida pada temperatur tinggi. Terdapat jarak antara bagian terluar sampel dengan jacket agar fluida yang telah melewati sampel dapat keluar untuk kemudian dianalisa kandungan bahan kimianya (percobaan Moore et al., [1982]).

Batasan tekanan yang digunakan dalam percobaan adalah (Pconf=600 bar; Ppore=200 bar) yang sesuai dengan kondisi pada kedalaman sekitar 2,4 km bawah permukaan serta (Pconf =300 bar, Ppore =100 bar) yang sesuai dengan kondisi pada kedalaman sekitar 1,2 Km. Pada kondisi tersebut, air yang diinjeksikan berada pada fasa cair. Perbedaan tekanan antara lubang bor dan bagian terluar dari sample core berkisar sekitar 5 bar dengan tujuan agar perubahan air ke fasa gas tidak terlalu berpengaruh perubahan terhadap gradient tekanan.

Pembebanan confining pressure pada sampel bertujuan untuk meyakinkan bahwa tidak ada air yang diinjeksikan tidak bocor dan hanya mengalir pada sampel core. Oleh karena itu, nilai confining pressure tidak dimasukkan dalam parameter input file untuk simulasi.

Kondisi percobaan yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1 untuk masing-masing percobaan Morrow et al., (1981) dan percobaan Moore et al., (1982).

Page 3: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 3

II.2. Reaksi Kimia pada Sistem Hidrothermal

Komposisi mineral sampel core yang digunakan oleh Moore et al., (1982) dapat dilihat pada Tabel 3. Data komposisi mineral pada percobaan Morrow et al., (1981) tidak dipublikasikan karena percobaan yang dilakukan hanya melihat pengaruh perbedaan temperatur terhadap perubahan permeabilitas tanpa lebih jauh meneliti reaksi kimia yang terjadi.

Untuk model numerik, data komposisi mineral yang digunakan tidak sekompleks data mineral pada percobaan, namun cukup mewakili komposisi mineral penyusun pada umumnya. Komposisi mineral yang digunakan dalam model numerik dapat dilihat pada Tabel 4.

Data kecepatan reaksi dan konstanta kesetimbangan untuk proses pelarutan dan pengendapan kuarsa pada tekanan dan temperatur percobaan didapatkan dari White dan Mroczek (1998). Manning (1994) menurunkan sebuah persamaan analitik untuk menghitung daya pengendapan/solubilitas kuarsa pada air (mol/kg) dengan persamaan:

log(퐾) = 퐴+퐵푇 +

퐶푇 +

퐷푇 + 퐸 +

퐹푇 +

퐺푇 log 휌 (1)

Dimana konstanta A-G dapat dilihat pada Tabel 5.

Selain itu digunakan pula digunakan program SUPCRT92 (Johnson et al., 1992) untuk menghitung konstanta kesetimbangan mineral pada proses pelarutan sebagai fungsi dari temperatur dan tekanan. Persamaan empirik untuk program ini dapat dituliskan dalam bentuk: log(퐾) = ∑ 푎 푇 + (푎 휏+ 푎 휏 )푃′ (2) Dimana T adalah temperatur dalam oC, 휏 = (T – 300), P’ = (P – 9×107)/108 dan P adalah tekanan dengan satuan Pa. Nilai koefisien ai diberikan pada Tabel 6. Korelasi ini valid untuk tekanan dan temperatur dalam range (250 < T < 500), (9×107< P <1×108). Konstanta reaksi penguraian untuk air dihitung berdasarkan cara yang sama.

Karena tidak ada data reaksi kinetik untuk mineral lain selain kuarsa pada tekanan dan temperatur percobaan, maka diasumsikan bahwa semua mineral selain kuarsa dalam berada kesetimbangan kinetik untuk setiap tekanan dan temperatur percobaan.

Reaksi kimia yang dimodelkan dalam studi ini, dapat dilihat pada Tabel 7. Mineral-mineral yang terdapat pada batuan akan bereaksi dengan ion yang berasal dari air dan terlarut membentuk larutan silika. Larutan tersebut akan terendapkan jika silika yang terlarut melebihi kesetimbangan/solubilitas pada kondisi tertentu.

II.3. Numerical Simulator

Untuk melakukan studi mengenai perubahan permeabilitas yang disebabkan oleh reaksi kimia antara mineral yang terendapkan dalam fluida dan batuan, maka digunakan perangkat lunak simulasi TOUGH2 (Pruess, 1991) yang telah dimodifikasi dengan menambahkan fitur reaksi kimia. Kode yang telah dimodifikasi ini mampu untuk memodelkan temperatur sampai 800oC dan tekanan sampai 100 Mpa (White dan Mroczek, 1998).

Secara matematis, persamaan konservasi yang digunakan dalam model numerik yaitu: Untuk air,

휕휕푡 휙 푠 휌 푥 + 푠 휌 푥 = −∇.퐹 + 푞 (3)

untuk energi,

휕휕푡

(1−휙)휌 퐶 푇 + ∅ 푠 휌 푥 + 푠 휌 푥= −∇.퐹 + 푞 (4)

dan untuk spesies kimia i,

휕휕푡

(1−휙)휌 푥푀 + ∅ 푠 휌 푥 + 푠 휌 푥

= −∇.퐹 + 푞 (5)

Subscript l, g, s menunjukkan kondisi untuk fasa liquid, fasa gas, dan fasa solid; subscript w, i, H menunjukkan air, spesies kimia i, dan panas. sβ adalah saturasi fasa β, ϕ adalah porositas, ρβ adalah densitas fasa β; xwβ adalah fraksi mol air pada fasa β; xiβ adalah fraksi mol spesies kimia i pada fasa β; k adalah permeabilitas, krβ adalah permeabilitas relatif untuk fasa β; µβ adalah viskositas pada fasa β; qi, qw, dan qH adalah kecepatan pembentukan untuk fasa kimia i, air dan panas pada batuan. F adalah molar flux yang ditinjau pada grid tertentu (mol.s-1.m-2).

Model reaksi batch digunakan dalam setiap reaksi kimia yang terjadi sehingga reaksi berlangsung pada kondisi tercampur sempurna dan tidak ada transfer massa, baik keluar maupun ke dalam sistem.

TOUGH2 menghitung solusi persamaan konservasi untuk air, energi, dan spesies kimia dengan menggunakan Integrated Finite Difference Method (IFDM) yakni dengan membagi domain menjadi banyak elemen. Elemen dibagi dengan ukuran sekecil mungkin sehingga diasumsikan bahwa properti fluida pada elemen tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti. Dengan IFDM, persamaan (3) untuk elemen i dapat ditulis sebagai,

푓 ( ) =휌 ∆ − 휌

∆푡 +1푉 퐴 퐹 ∆ −푄 ∆ = 0 (6)

Page 4: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 4

Volum flux Fw yang melewati batas antara grid i dan j pada persamaan (6) dihitung dengan menggunakan hukum Darcy:

−퐹 ∆ = 푥∗ 휌∗푘∗푘∗

휇∗푃 − 푃

퐷 − 휌∗푔

+ 푥∗ 휌∗푘∗푘∗

휇∗푃 − 푃

퐷 − 휌∗푔 (7)

Lambang asterisk (*) menunjukkan properti rata-rata pada grid ke-i dan ke-j. D adalah jarak antara titik tengah grid ke-i dan ke-j, gij adalah parameter gravitasi antara titik tengah grid ke-i dan ke-j. Persamaan (6) dan (7) dievaluasi pada t+Δt sehingga diselesaikan dengan perhitungan numerik secara implisit menggunakan iterasi Newton-Raphson. Persamaan konservasi untuk batuan dan spesies kimia diselesaikan dengan cara yang sama menggunakan IFDM. Perhitungan solusi untuk semua persamaan konservasi dilakukan secara simultan pada setiap elemen untuk suatu waktu tertentu.

Kecepatan reaksi untuk pembentukan larutan dan endapan silika dihitung dengan menggunakan persamaan dari White dan Mroczek (1998). Perubahan permeabilitas yang disebabkan oleh pelarutan dan pengendapan dihitung dengan menggunakan persamaan yang diturunkan oleh Weir dan White (1996). Nilai permeabilitas dapat dihitung dengan persamaan:

푘 = 푘 1− 1−휙 −휙휙 −휙

. .

(8)

Dimana k adalah permeabilitas, k0 adalah permeabilitas awal, ϕ adalah porositas, ϕ0 adalah porositas awal dan ϕc adalah porositas kritik saat nilai permeabilitas bernilai nol.

Sutopo et al., (2000) menambahkan kode SOURCE pada blok GENER yang disebut dengan PRES. Kode tambahan ini memungkinkan pemasangan nilai tekanan pada grid tertentu untuk menghitung laju alir diantara grid satu dengan lainnya.

Model numerik yang dibuat memperhitungkan proses reaksi kimia yang terjadi sehingga menyebabkan perubahan properti dari batuan. Properti batuan yang berubah karena proses kimia adalah permeabilitas. Reaksi kimia yang terjadi melibatkan proses pelarutan dan pengendapan mineral pada batuan sehingga sifat fisik batuan pun akan berubah.

II.4. Deskripsi Model

Model satu dimensi telah dibuat untuk memodelkan penurunan permeabilitas pada percobaan granite dengan dimensi panjang 8,89 cm dan diameter 7,62 cm serta lubang di bagian tengah dengan diameter 1,27 cm. Model yang dibuat terdiri dari 2 grid blok dengan spasi jari-jari yang sama. Selain itu dibuat 2 grid

sebagai boundary pada bagian tengah lubang dan pada bagian terluar sampel (Gambar 2).

Pemilihan jumlah grid yang tepat untuk model numerik didapatkan setelah dilakukan sensitivitas jumlah grid yang hasilnya paling mendekati data percobaan. Untuk jumlah grid yang lebih banyak, sama sekali tidak ditemukan pola penurunan permeabilitas seperti hasil data percobaan.

Data permeabilitas awal yang dipakai diambil dari data percobaan Moore et al. (1982) dan Morrow et al., (1981) (Tabel 1). Untuk memperoleh matching yang mendekati data percobaan, parameter yang diubah adalah porositas. Properti batuan yang digunakan dalam simulasi dapat dilihat pada Tabel 2.

CHEM-TOUGH2 belum memiliki interface sehingga proses pengubahan parameter masih dilakukan dengan menggunakan notepad. Struktur input data yang digunakan sama dengan input data pada TOUGH2. Contoh input data yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3. Untuk menjalankan proses simulasi digunakan aplikasi command prompt. Screenshot proses running simulasi dapat dilihat pada Gambar 4.

Langkah pertama yang dilakukan untuk menjalankan simulasi adalah memasukkan parameter input file seperti: data properti batuan (porositas, permeabilitas, densitas, konduktivitas panas batuan, dan spesifik panas batuan), data tekanan dan temperatur, time step, jumlah grid, dan parameter reaksi kimia. Langkah selanjutnya adalah menjalankan aplikasi CHEM-TOUGH2 dengan menggunakan command prompt. Hasil keluaran simulasi diolah dengan menggunakan macro excel untuk diambil nilai permeabilitasnya. Nilai permeabilitas yang telah dirata-ratakan akan dibandingkan dengan data percobaan Morrow et al. (1981) dan Moore et al. (1982).

Jika hasil simulasi jauh berbeda dengan data percobaan, maka parameter yang diubah untuk matching adalah nilai porositas. Setelah porositas pada input file diubah, maka simulasi akan kembali dijalankan dan hasil simulasi kembali dibandingkan dengan data percobaan. Secara umum, proses yang dikerjakan (flow process) sampai mendapatkan data simulasi dapat dilihat pada Gambar 5.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1. Perhitungan Permeabilitas Rata-rata

Pententuan besaran permeabilitas pada batuan ketika dilakukan percobaan dihitung menggunakan model aliran radial Darcy:

푄2휋푙 =

푘푟푣푑푃푑푟 (9)

atau

Page 5: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 5

푘 =푄

2휋푙∆푃 푣푑푟푟 (10)

Dimana Qm adalah laju alir fluida yang keluar dari sampel (cc/detik), l adalah panjang sampel (cm), k adalah permebilitas sampel (darcy), r adalah radius sampel (cm), dP/dr adalah perbedaan tekanan antara bagian tengah sampel dan bagian terluar sampel (atm/cm), v adalah viskositas dinamik air yang merupakan fungsi dari temperatur (cp). Oleh karena itu nilai v secara tidak langsung merupakan fungsi dari jari-jari sampel.

Dengan menggunakan model numerik, nilai permeabilitas akan dihitung per grid sehingga nilai permeabilitas rata-rata pada model aliran radial dapat dihitung dengan rumus:

푘 =퐿푛(푟 /푟 )

∑퐿푛(푟 /푟 )

(11)

Dimana kavr adalah permeabilitas rata-rata pada sampel, rw adalah jari-jari lubang bagian tengah sampel core, re adalah jari-jari sampel core, dan kj adalah nilai permeabilitas pada grid ke-j setelah model dijalankan.

III.2. Hasil Simulasi

Besaran porositas untuk ketujuh sampel tidak diukur pada percobaan laboratorium sehingga besaran inilah yang diubah untuk mendapatkan hasil yang mendekati dengan data percobaan.

Parameter porositas yang digunakan dalam model numerik berkisar antara 1,5% - 7%. Data lengkap penggunaan porositas awal dapat ditabelkan pada Tabel 1.

Nilai penurunan permeabilitas dari model numerik tidak bisa match dengan data percobaan dan hanya match untuk beberapa titik saja. Namun secara umum, kecenderungan penurunan permeabilitas pada model numerik menunjukkan pola yang sama dengan data percobaan laboratorium.

Gambar 6 menunjukkan hasil yang cukup selaras antara data percobaan sampel B250-1 dengan hasil simulasi. Nilai porositas awal yang dipakai untuk data simulasi pada sampel B250-1 adalah 7%. Dibandingkan dengan sampel lain, B250-1 memiliki tingkat penurunan permeabilitas paling kecil. Gambar 7 menunjukkan profil penurunan permeabilitas pada sampel B250-2 dengan tingkat penurunan permeabilitas paling besar. Hal ini dikarenakan semakin mudah fluida mengalir pada batuan, maka proses pelarutan dan pengendapan mineral akan semakin mudah sehingga terjadi penurunan permeabilitas yang sangat cepat pada waktu yang relatif cepat.

Gambar 8 menunjukkan data percobaan sampel B275. Hasil simulasi mendekati data percobaan setelah waktu 7 hari. Nilai porositas awal pada percobaan ini adalah 1.58%. Gambar 9 menunjukkan data percobaan sampel W250. Pada temperatur operasi yang sama dengan sampel B250-1, tingkat penurunan permeabilitas pada Westerley granite lebih besar.

Pada sampel dengan temperatur sekitar 300oC (Gambar 10, 11, 12), permeabilitas akhir data percobaan maupun setelah dilakukan simulasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan permeabilitas yang drastis, kecuali untuk sampel B300. Hal ini disebabkan karena pada temperatur yang lebih tinggi, konsentrasi mineral batuan yang terlarutkan akan semakin banyak sehingga jumlah mineral yang terendapkan pada batuan dengan temperatur lebih rendah pun akan semakin banyak.

Berdasarkan data percobaan di laboratorium, pengaruh temperatur terhadap penurunan permeabilitas adalah berbanding lurus. Sampel dengan temperatur yang lebih tinggi akan mengalami penurunan permeabilitas yang lebih besar. Model simulasi pun menunjukkan hasil yang sama seperti pada sampel W300 dan TG-3 (Gambar 11 dan Gambar 12) dimana terjadi penurunan permeabilitas yang sangat besar pada kedua sampel tersebut.

Faktor penting lain yang menyebabkan kurang bagusnya hasil simulasi numerik jika dibandingkan dengan data percobaan adalah penggunaan komposisi mineral penyusun sampel. Pada model numerik, komposisi mineral yang digunakan relatif lebih sederhana dibandingkan dengan komposisi sebenarnya. Komposisi mineral ini akan berpengaruh pada konsentrasi masing-masing mineral yang terlarutkan dalam fasa cair.

Pada sampel dengan temperatur sekitar 300oC (Gambar 10, 11, 12), penurunan permeabilitas dari hasil perhitungan simulasi lebih kecil dibanding data data percobaan. Diduga bahwa kompleksitas mineral penyusun batuan berperan dalam hal ini. Karena komposisi untuk model simulasi lebih sederhana, maka jenis mineral yang terlarutkan pun akan semakin sedikit yang berarti solubilitasnya lebih besar dibanding dengan sampel core pada kondisi sebenarnya.

Sama dengan percobaan laboratorium, pada model simulasi pun yang dijadikan batasan adalah tekanannya, yaitu perbedaan tekanan antara lubang tengah sampel dengan bagian terluar sampel adalah 5 bar untuk temperatur di bawah 300oC dan 10 bar di atas sama dengan 300oC. Dengan perlakuan tersebut, maka kecepatan alir fluida akan turun seiring dengan penurunan permeabilitas.

Gambar 13 menjelaskan dengan jelas bahwa penurunan kecepatan yang paling besar terjadi pada sampel dengan temperatur tertinggi dan sampel yang memiliki

Page 6: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 6

permeabilitas paling besar. Berdasarkan hasil eksperimen Morrow et al., temperatur diatas 300oC lebih memudahkan terjadinya reaksi pelarutan mineral batuan sehingga jumlah mineral yang terendapkan akan lebih banyak dibanding temperatur di bawah 300oC. Dengan demikian, maka jumlah mineral yang terendapkan pada batuan temperatur lebih rendah pun akan semakin banyak sehingga terjadi penurunan kecepatan alir fluida yang semakin besar.

Selain itu, peningkatan confining pressure pun dapat menyebabkan penurunan permeabilitas yang relatif lebih cepat. Hasil pengamatan tersebut sesuai dengan hasil model pada sampel B300 dan W300 (Gambar 10 dan Gambar 11), perbedaan tekanan yang diberlakukan adalah dua kali lebih besar dari sampel lain. Peningkatan tekanan dapat menyebabkan penurunan lebar rekahan pada sampel sehingga permeabilitas batuan berkurang dan laju alir pada sampel pun berkurang.

Pada semua hasil simulasi maupun data percobaan, grafik kecenderungan penurunan permeabilitas rata-rata akan semakin landai. Hal ini disebabkan karena reaksi kimia pada waktu awal akan lebih intens dibanding waktu akhir.

Hasil simulasi dengan menggunakan model numerik menunjukkan bahwa pada awal perhitungan, terjadi penurunan permeabilitas yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan data percobaan. Fenomena ini disebabkan karena pada simulasi, sebaran porositas diasumsikan seragam atau homogen. Dengan asumsi tersebut, maka proses pengendapan mineral akan berlangsung lebih mudah dibandingkan dengan kondisi sebenarnya, yaitu sebaran porositas yang heterogen.

Penurunan permeabilitas terjadi karena adanya fine grain pada sampel yang terlarutkan oleh air ketika diinjeksikan dan terendapkan pada bagian core dengan temperatur lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan solubilitas mineral pada air akan menurun dengan penurunan temperatur sehingga proses pengendapan akan terjadi pada bagian core dengan temperatur lebih rendah. Hal ini disebabkan juga karena

Morrow et al., (1981) mengamati endapan yang terjadi pada sampel core dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Dari hasil penelitian tersebut, endapan mineral yang paling banyak ditemukan pada jarak 8mm – 10 mm sekitar borehole dan hampir tidak ditemukan endapan pada jarak diatas 10 mm. Hasil simulasi pun menunjukkan hal yang sama, pengendapan mineral yang paling banyak terjadi pada grid yang paling dekat dengan borehole. Alasan ini yang mempengaruhi profil perubahan permeabilitas terhadap jumlah grid yang dibuat. Untuk grid yang lebih banyak, permeabilitas pada grid yang paling dekat dengan borehole mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini menyebabkan penurunan permeabilitas rata-rata yang signifikan pada hasil

simulasi. Gambar 14 menunjukkan dengan jelas bahwa jumlah grid yang digunakan berpengaruh pada perhitungan penurunan permeabilitas.

III.3. Aplikasi

a. Geothermal Hot Dry Rock

Geothermal hot dry rock adalah sistem geothermal dimana fluida produksi berasal dari fluida permukaan yang diinjeksikan melalui sumur injeksi ke batuan panas di bawah permukaan. Fluida yang diinjeksikan akan mengalir melalui rekahan-rekahan batuan dan terjadi heat transfer dari batuan ke fluida. Di lokasi lain dibor sumur produksi untuk memproduksikan fluida yang telah terpanasi oleh batuan tersebut.

Kaitannya dengan hasil studi yang telah dilakukan, fluida injeksi yang melewati rekahan-rekahan batuan sumber panas akan melarutkan mineral-mineral yang akan diendapkan di bagian lain dari rekahan. Jika pengendapan terjadi pada rekahan didekat sumur injeksi, maka permeabilitas rekahan sekitar sumur injeksi akan turun dan secara tidak langsung akan mengurangi performa injektivitas.

Untuk menghilangkan blockage sekitar lubang sumur injeksi, bisa dilakukan stimulasi sumur dengan cara perekahan hidraulik yang berarti menambah biaya perawatan sumur.

Penelitian mengenai komposisi kimia batuan granite yang menjadi heat source sangat penting untuk mempelajari pola penurunan permeabilitas batuan yang disebabkan fluida injeksi. Lebih jauh lagi, engineer dapat memprediksi kapan waktu yang tepat untuk dilakukan stimulasi sebelum terjadi penurunan injektivitas.

Selain itu, perlu juga dilakukan sensitivitas laju alir yang berkaitan erat dengan waktu reaksi. Semakin kecil laju alir, maka waktu reaksi akan semakin lama yang berarti akan semakin banyak mineral yang terlarutkan untuk temperatur yang sama dan akhirnya semakin banyak yang terendapkan. Oleh karena itu, untuk hot dry rock sistem , perlu dilakukan sensitivitas laju alir agar menghasilkan pengendapan mineral yang lebih sedikit sehingga stimulasi dengan refracturing tidak terlalu sering dilakukan.

b. Pembuangan Limbah Nuklir

Limbah nuklir biasanya dibuang pada batuan yang memiliki permeabilitas dan porositas yang sangat kecil agar limbah terjaga untuk waktu yang lama dan tidak bocor ke batuan lain. Batuan yang sering digunakan untuk pembuangan limbah ini adalah batuan granite karena memiliki permeabilitas dan porositas yang sangat kecil. Salah satu contohnya adalah batuan granite di cekungan Illionis.

Page 7: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 7

Selain itu, limbah nuklir biasanya disimpan pada struktur batuan yang relatif tenang dari proses tektonik. Hasil studi yang dilakukan oleh Moore et al., (1982) menunjukkan bahwa pemanasan lokal pada batuan dapat menurunkan resiko kebocoran limbah. Pemanasan ini dapat dilakukan dengan injeksi fluida panas bertekanan tinggi sehingga mineral pada batuan terlarut dengan baik. Mineral yang terlarut akan diendapkan pada batuan yang relatif lebih dingin sehingga terdapat efek “sealing” pada rekahan yang bisa menurunkan resiko bocornya limbah nuklir melalui rekahan yang diakibatkan oleh proses tektonik.

KESIMPULAN

Pemodelan numerik dengan menggunakan simulator CHEM-TOUGH2 dapat digunakan untuk menghitung perubahan permeabilitas pada batuan yang diakibatkan oleh reaksi kimia antara fluida dengan mineral yang ada pada batuan.

Penurunan permeabilitas batuan granite yang disebabkan karena reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur operasi.

Temperatur merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap penurunan permeabilitas batuan karena berkaitan erat dengan solubilitas mineral pada air yang diinjeksikan. Semakin tinggi temperatur operasi, maka mineral yang terlarutkan akan semakin banyak.

Hasil model simulasi menunjukkan bahwa pengendapan terjadi pada grid yang paling dekat dengan borehole. Hasil ini sepakat dengan penelitian yang dilakukan oleh Morrow et al., (1981) dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM).

SARAN

Untuk mendapatkan hasil model numerik yang lebih baik, maka perlu diketahui komposisi mineral penyusun batuan granite sehingga lebih merepresentasikan kondisi nyata.

Kurang bagusnya hasil simulasi disebabkan karena pada model simulasi, diasumsikan bahwa karakteristik batuannya adalah homogen, sedangkan pada kenyataan lapangan, karakteristik batuan sangat heterogen.

Pada simulasi numerik yang dilakukan, tekanan operasi dan gradient tekanan dibuat konstan sehingga kurang merepresentasikan kondisi lapangan. Untuk itu perlu dilakukan sensitivitas laju alir agar diketahui laju alir optimum terhadap penurunan permeabilitas sehingga bisa diterapkan dalam skala lapangan.

Selain itu, perlu juga dilakukan pemodelan numerik untuk aliran fluida non-darcy atau turbulen untuk mengetahui profil penurunan permeabilitas yang diakibatkan oleh reaksi kimia antara fluida dengan batuan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih saya ucapkan sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang sabar dan telah banyak membantu studi ini. Selain itu, saya ucapkan juga rasa terima kasih yang tak berhingga kepada seluruh staf Lab. Geothermal Teknik Perminyakan ITB atas penggunaan software simulasi TOUGH2 yang digunakan untuk pembuatan model grid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed, Tarek, “Reservoir Engineering Handbook.”

2. Darot, Michel, Y.Gueguen, and M.L. Baratin, “Permeability of Thermally Cracked Granite.” Geophysical Research Letters Vol. 19, No. 9, Pages 869-872, May 1992.

3. Malate, R.C.M. and M.J. O’Sullivan, “Mathematical Modelling of Silica Deposition in a Porous Medium.” Geothermics Vol.21, No. 3, pp.377-400, November 1991.

4. Manning, C.E. “The solubility of quartz in H2O in the lower crust and upper mantle. Geochim. Cosmochim. Acta, Vol.58, pp.4831-4839. 1994.

5. Martin, J.T. and R. P. Lowell, “On Thermoelasticity and Silica Precipitation in Hydrothermal Sistems: Numerical Modeling of Laboratory Experiments.” Journal of Geophysical Research Vol. 102 No. B6, Pages 12,095-12,107, June 1997.

6. Moore, D.E., D. A. Lockner, and J. D. Byerlee, “Reduction of Permeability in Granite at Elevated Temperaturs.” Science Vol.265. 9 September 1994.

7. Morrow, C.A., D. Lockner, D. Moore, and J. Byerlee, “Permeability of Granite in a Temperatur Gradient.” Journal of Geophysical Research, Vol. 86, No. B4, Pages 3002-3008, April 1981.

8. Morrow, C.A. and D.A. Lockner, “Permeability and Porosity of the Illionis UPH 3 Drillhole Granite and a Comparison with other Deep Drillhole Rocks.” Journal of Geophysical Research Vol.102 No. B2, Pp. 3067-3075, February 1997.

9. Sutopo, “Modeling Silica Deposition in Geothermal Injection Wells.” Thesis Master of Engineering, Waseda University, February 1999.

10. Sutopo, Stephen P. White, and Norio Arihara, “Modelling the Evolution of Granite Permeability at High Temperatur.” Proceedings World Geothermal Congress 2000 Kyushu - Tohoku, Japan, May 28 - June 10, 2000.

11. Vaughan, P.J., D.E.Moore, C.A.Morrow, and J.D.Byerlee, “Role of Cracks in Progressive Permeability Reduction During Flow of Heated Aqueous Fluids Through Granite.” Journal of Geophysical Research Vol. 91, No. B7, Pages 7157-7530, June 1986.

12. Walder, Joseph and Amos Nur, “Porosity Reduction and Crustal Pore Pressure

Page 8: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 8

Development.” Journal of Geophysical Research Vol. 89, No. B13, Pages 11,539-11,548, December 1984.

13. Weir, G.J. and Stephen P.White, “Surface Deposition from Fluid Flow in a Porous Medium.” Transport in Porous Media 25: 79-96, 1996.

14. White, S.P. and Mroczek, E.K. Permeability changes during the evolution of a geothermal field

due to the dissolution and precipitation of quartz. Transport in Porous Media, Vol.33, pp.81-101. 1998.

15. White, S.P. Multiphase nonisothermal transport of sistems of reacting chemical. Water Resources Research, Vol. 31 No.7, pp.1761-1772, 1995.

Page 9: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 9

Tabel 1. Data Sampel pada Percobaan Laboratorium.

Moore et al., (1982)

Experiment Rock Type

Temp Grad (oC)

Conf Pr (bars)

Pore Pr (bars)

Diff. Pore Pr (bars)

Duration (Days)

Permeability (nda)

Initial matching

porosity (%) Initial Final

B250-1 Barre 80-250 300 100 5 18 790 160 7.58

B250-2 Barre 103-250 300 100 5 9 2000 30 2.58

B275 Barre 104-275 300 100 5 13 49 17 1.58

B300 Barre 94-300 600 200 10 20 74 7.6 1.60

W250 Westerley 84-250 300 100 5 12 740 47 2.81

W300 Westerley 92-300 600 200 10 13 240 9.3 2.26

Morrow et al., (1981)

TG3 Westerley 115-310 300 100 5 12 300 2.2 1.08

Tabel 2. Properti Batuan yang digunakan pada Simulasi.

Densitas (kg/m3) 2.720

Konduktivitas Panas Formasi (W/moC) 2,5

Spesifik Panas Batuan (J/kgoC) 1.000

Tabel 3. Komposisi Mineral Penyusun Sampel Core pada Percobaan Moore at al., (1982).

Westerley Barre

Plagioclase Plagioclase Cores Rims Biotite Chlorite Cores Rims Biotite Chlorite

SiO2 63,7 54,6 37,2 26,2 65,1 67,7 36,7 26,3

TiO2 2,6 0,1 2,7 0,1

Al2O3 22,8 22,2 15,9 19,1 21,8 20 16,2 19,7

Fe2O3 0,1 0,1 0,1 FeO 19,8 27,6 20,9 29

MgO 9,8 13,9 8,7 12,4

MnO 0,5 0,6

CaO 3,7 1,9 0,1 0,1 2,8 0,7 0,1

Na2O 9,2 10,3 0,1 9,8 11,2 0,1 K2O 0,3 0,3 8,2 0,1 0,3 0,2 9,8 0,1

Total 99,8 89,4 93,7 87,6 99,9 99,8 95,1 88,3

Tabel 4. Komposisi Mineral Penyusun pada Model Numerik.

Mineral Albite Anorthite K-feldspar Quartz Annite (Biotite) Fraksi Massa 22,50% 22,50% 25% 25% 5%

Page 10: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 10

Tabel 5. Konstanta untuk Persamaan (1).

A B C D E F G

4,262 -5764,2 1,75E+06 -1,2869×10+8 2,8454 -1006,9 3,5689×10+5

Tabel 6. Konstanta untuk Persamaan (2).

Mineral a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7

Albite 11,6726 -0,11087 0,355548×10-3 -0,63121×10-6 0,476326×10-9 0,030003 -0,20744×10-3

Anorthite 41,3839 -0,2895 0,843097×10-3 -0,14771×10-5 0,113016×10-8 0,057315 -0,45901×10-3

K-feldspar 6,90926 -0,08863 0,301236×10-3 -0,56162×10-6 0,438459×10-9 0,029263 -0,20277×10-3

Annite 42,7425 -0,25624 0,75366×10-3 -0,13113×10-5 0,99593×10-9 0,055307 -0,42028×10-3

Tabel 7. Persamaan Reaksi Kimia untuk Mineral pada Model Numerik.

No Mineral or OH- Reaction equation 1 OH- OH- + H+ ⇋ H2O 2 Quartz SiO2 (s) ⇋ SiO2 (aq) 3 K-feldspar KAlSi3O8 + 4 H+ ⇋ K+ + Al+++ + 3 SiO2 (aq) + 2 H2O 4 Albite NaAlSi3O8 + 4 H+ ⇋ Na+ + Al+++ + 3 SiO2 (aq) + 2 H2O 5 Anorthite CaAl2Si2O8 + 8 H+ ⇋ Ca++ + 2 Al+++ + 2 SiO2 (aq) + 4 H2O 6 Annite KFe3AlSi3O10(OH)2 + 10 H+ ⇋ K+ + 3 Fe++ + Al+++ + 3 SiO2 (aq) + 6 H2O

Gambar 1: Skema alat yang digunakan dalam percobaan

Gambar 2: Model sampel core untuk simulasi

Gambar 3: Contoh input data untuk simulasi

Gambar 4: Screenshot ketika menjalankan proses simulasi

Page 11: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 11

Gambar 5: Flow process untuk simulasi

Gambar 6: Perbandingan hasil simulasi pada sampel B250-1

Gambar 7: Perbandingan hasil simulasi pada sampel B250-2

Gambar 8: Perbandingan hasil simulasi pada sampel B275

Gambar 9: Perbandingan hasil simulasi pada sampel W250

Gambar 10: Perbandingan hasil simulasi pada sampel B300

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Data_B250-1

Calc

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Data_B250-2

Calc

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Data_B275

Calc

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Calc

Data_W250

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Data_B300

Calc

k f/k i

Day

k f/k i

Day

k f/k i

Day

k f/k i

Day

Day

k f/k i

Day

Page 12: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 12

Gambar 11: Perbandingan hasil simulasi pada sampel W300

Gambar 12: Perbandingan hasil simulasi pada sampel TG-3

Gambar 13: Penurunan kecepatan aliran fluida pada tiap sampel

Gambar 14: Hubungan jumlah grid dengan hasil simulasi

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Calc

Data_W300

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Calc

Data_TG-3

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

0 2 4 6 8 10 12

W250

TG-3

B250-2

B250-1

B275

W300

B300

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

B250-1

1Grid

2Grid

4Grid

7Grid

10Grid

25Grid

k f/k i

Day

k f/k i

Day

fluid

rate

(E-0

8 cm

3 /s)

Day

k f/k i

Day

Page 13: PEMODELAN PENURUNAN PERMEABILITAS AKIBAT · PDF filem. tamrin humaedi, 12206089, semester 2 2009/2010 1 pemodelan penurunan permeabilitas akibat reaksi kimia pada sistem hidrothermal

M. Tamrin Humaedi, 12206089, Semester 2 2009/2010 13

LAMPIRAN I

Simbol

T = Temperatur (oC)

P = Tekanan (bar)

F = molar flux (mol.s-1.m-2)

ρr = densitas batuan (kg.m-3)

ρβ = molar densitas pada fasa β (mol.m-3)

Ai = spesies kimia

V = volume bulk batuan (m3)

* = properti rata-rata pada grid ke-i dan ke- j

ø = porositas

k = permeabilitas (m2)

krβ = permeabilitas relatif untuk fasa β

µβ = viskositas pada fasa β (cp)

qi, qw, qH = kecepatan pembentukan untuk fasa kimia i, air dan panas pada batuan (mol.s-1)

gij = gravitasi antara titik tengah grid ke-i dan ke-j (m.s-2)

t = waktu (detik)

Qm = laju alir fluida yang keluar dari sampel (cc/detik)

l = panjang sampel (cm)

kavr = permeabilitas rata-rata pada sampel (m2)

kj = nilai permeabilitas pada grid ke-j (m2)

rw = jari-jari lubang bagian tengah sampel core (cm)

re = jari-jari sampel core (cm)

Faktor Konversi

1 atm = 14.6959 Psi

1 bar = 14.5038 Psi

1 MPa = 10 bar

1 darcy = 9.87 x 10-13 m2

Singkatan

Pconf: Confining Pressure

Ppore: Pore Pressure