pemilu di indonesia dalam 1st ahun terakhir

20
261 PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR Oleh: Drs. Zulfikar Ghazali PENDAHULUAN Pemilihan Umum merupakan salah satu upaya perwujudan demokrasi da· lam masyarakat. Di sam ping itu pemilihan umum merupakan salah satu syarat dengan mana pemerintahan demokratis atau pemerintahan ber· dasarkan mandat rakyat bekerja untuk kepentingan masyarakat. . Dengan menyadari keperluan akan suatu pemerintahan yang dasar pem- bentukannya secara konstitusional, maka pemerintah Orde Baru merasa perlu untuk melaksanakan pemilu yang semula direncanakan pada tahun 1968 berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI /MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966. Hasrat untuk mengadakan pemiIu dalam kehidupan Orde Baru didasari pertimbangan (I) negara Republik Indonesia adalah negara yang berke- daulatan rakyat, (2) pelaksanaan asas kedaulatan rakyat memerJukan lemba- permusyawaratan/perwa· kllan berdasarkan pemilu, (3) kehi- dupan demokratis belum berjalan lan- car disebabkan lembaga-lembaga per- musyawaratan/perwakilan belum ter- bentuk melalui pemiIu, (4) pelaksana- an UUD 1945 secara murni dan kon- sekuen memerlukan lembaga-Iembaga permusyawaratan/perwakilan dari hasiJ pemilu. 1 Dalam perkem bangan selanju tnya terlihat bahwa pelaksanaan pemilu per- tam a dalam pemerintahan Orde Baru baru dapat dilaksanakan pada tahun 1971 , berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968 tanggal 27 Ma- ret 1968 yang penjabarannya diwujud- kan dalam UU No. 15 /1 969 dan UU No. 16/1969. Untuk diketahui bahwa UU No. 15 /1 969 berisi tentang mak- sud; tujuan dan tata cara pelaksanaan pemilihan, sedangkan UU No. 16/ 1969 berisi ten tang susunan MPR, DPR, dan DPRD. Kedua undang-un- dang ini berkaitan karena pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintah- an bertujuan (a) menciptakan keman- tapan dan stabilitas politik, (b) perom- bakan struktur politik dengan penga- kuan bagi Golongan Karya, (c) men- ciptakan mekanisme dan infrastruktur politik yang dapat bekerja sama de- ngan pemerintah dalam usaha-usaha pembangunan, dan (d) membangkit- kan kesadaran demokrasi rakyat ba- lLihat ketetapan MPRS No. XI / MPRS / 1966. Untuk seterusnya peraturan-peraturan tentang pemilihan umum memakai landasan ini, dan rumusan-rumusan di mana pemilu dijadikan topik pembicaraan , maka konsi- deran daJam ketetapan ini selalu dikemuka- kan. . Juni 1986

Upload: others

Post on 05-May-2022

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

261

PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

Oleh: Drs. Zulfikar Ghazali

PENDAHULUAN

Pemilihan Umum merupakan salah satu upaya perwujudan demokrasi da· lam masyarakat. Di sam ping itu pemilihan umum merupakan salah satu syarat dengan mana pemerintahan demokratis atau pemerintahan ber· dasarkan mandat rakyat bekerja untuk kepentingan masyarakat. .

Dengan menyadari keperluan akan suatu pemerintahan yang dasar pem­bentukannya secara konstitusional, maka pemerintah Orde Baru merasa perlu untuk melaksanakan pemilu yang semula direncanakan pada tahun 1968 berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966.

Hasrat untuk mengadakan pemiIu dalam kehidupan Orde Baru didasari pertimbangan (I) negara Republik Indonesia adalah negara yang berke­daulatan rakyat , (2) pelaksanaan asas kedaulatan rakyat memerJukan lemba­g~:lembaga permusyawaratan/perwa· kllan berdasarkan pemilu , (3) kehi­dupan demokratis belum berjalan lan­car disebabkan lembaga-lembaga per­musyawaratan/perwakilan belum ter­bentuk melalui pemiIu , (4) pelaksana­an UUD 1945 secara murni dan kon­sekuen memerlukan lembaga-Iembaga permusyawaratan/perwakilan dari hasiJ

pemilu. 1

Dalam perkem bangan selanju tnya terlihat bahwa pelaksanaan pemilu per­tam a dalam pemerintahan Orde Baru baru dapat dilaksanakan pada tahun 1971 , berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968 tanggal 27 Ma­ret 1968 yang penjabarannya diwujud­kan dalam UU No. 15 /1 969 dan UU No. 16/1969. Untuk diketahui bahwa UU No. 15/1 969 berisi tentang mak­sud ; tujuan dan tata cara pelaksanaan pemilihan , sedangkan UU No. 16/ 1969 berisi ten tang susunan MPR, DPR, dan DPRD. Kedua undang-un­dang ini berkaitan karena pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintah­an bertujuan (a) menciptakan keman­tapan dan stabilitas politik , (b) perom­bakan struktur politik dengan penga­kuan bagi Golongan Karya , (c) men­ciptakan mekanisme dan infrastruktur politik yang dapat bekerja sama de­ngan pemerintah dalam usaha-usaha pembangunan , dan (d) membangkit­kan kesadaran demokrasi rakyat ba-

lLihat ketetapan MPRS No. XI /MPRS / 1966. Untuk seterusnya peraturan-peraturan tentang pemilihan umum memakai landasan ini, dan rumusan-rumusan di mana pemilu dijadikan topik pembicaraan, maka konsi­deran daJam ketetapan ini selalu dikemuka-kan. .

Juni 1986

Page 2: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

262

nyak.2

Dalam UU No. 15/1969 dijelaskan bahwa pemilihan umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan per· musyawaratan/ perwakilan yang diga­riskan UUD 1945. Ada pun tujuan pemilu tidaklah memilih wakil rakyat untuk menyusun negara bam dengan

- dasar falsafah negara bam, tetapi . pemilu diadakan untuk mendapatkan

wakil rakyat yang membawakan isi hati nurani raky at dalam melanjut­kan perjuangan mempertahankan , dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersum­ber pada Proklamasi 17 Agustus 1945, guna memenuhi dan mengemban Ama­nat Penderitaan Rakyat. 3 Dengan de­mikian menjadi jelas hal-hal yang ingin dicapai dari suatu pemilihan

umum. Rangkaian pikiran dan pelaksanaan

pemilu 1971 dan yang berikutnya memperlihatkan dengan jelas bagai-

mana kedudukan Pancasila , UUD 1945 , dan ABRI yang berperan untuk me· ngendalikan "ketidakstabilan politik" , dan di sam ping mengetahui sampai sejauh mana pemilu 1971 dan yang berikutnya dapat dipakai dan diguna­kan oleh kekuatan-kekuatan politik

2 Dasar pikiran daJam ketetapan MPRS No. XLII /MPRS /1968 yang kemudian diper­ielas dalam UU No. 15/1969 dan UU No. 16/1969. Rumusan ini dipakai standar un­tuk menjelaskan cita-cita diadakannya pemi­lu dalam pemerintahan arde Baru. Tujuan ini secara jelas memberikan hal-hal yang mendas.r bagi pengetahuan tentang struktur dan mekanisme daJam pemerintahan arde Baru.

3penielasan atas konsideran dalam UU No. 15/1969 .

Hukum dan Pembangunan

(dalam arti partai politik) untuk men­jaga kelangsungan mereka dalam kehi­dupan politik Indonesia.

. Untuk mempertahankan nilai-nilai dasar dan jaminan bagi berlangsungnya suatu pemilu , maka diatur beberapa hal seperti asas pemilihan, sistem pe­milihan , penetapan jumlah anggota da-

lam pemilu , keseimbangan antara jum-lah anggota yang dipilih di Jawa dan di luar J awa , kedudukan ABRI , pen­calonan, dan yang berhubungan de­ngan penyelesaian masalah G 30 S/PKI.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mem berikan- gam baran perkem bangan politik Indonesia dalam masa pemerin­tahan Orde Baru, dengan melihat pada

• konteks pemilu - baik secara ide mau-pun pelaksanaan - yang juga meng· gambarkan suatu kondisi pemahaman politik ten tang demokrasi di Indone­sia. Ka jj an dalam tulisan ini diu saha­kan secara menyeluruh dalam berbagai aspek yang menonjol dalam suatu pe­milu. Aspek terse but meliputi sistem, kampanye dan hasil yang diperoleh oleh kontestan. Untuk itu dimulai dengan melihatnya dalam tatanan da­sar kehidupan konstitusi , berupa un­dang-undang dan berbagai penafsiran­nya , dan diakhiri dengan hasil-ha sil yang dicapai oleh masing-masing kon­testan.

Untuk memudahkan pembicaraan, tulisan ini - setelah pendahuluan - di­lanjutkan dengan membicarakan sis· tern yang dipergunakan dalam pemi· lihan umum terse but. Secara seder- ' hana seJama masa pengamatan , hanya dikenal satu sistem, yaitu perwakilan berimbang dengan tambahan sistem daftar , dan di sana-sini beberapa tam­bahan diberikan tanpa merubah dasaJ

Page 3: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

J 5 Tahun Pemilu

maksud sistem yang dianut. Selanjut nya akan dikemukakan masalah-masa· lah yang dihadapi dalam masyarakat yang sedikit banyak memberikan pe· ngaruh pada perkembangan selanjut· nya. Dari rangkaian rna salah yang di uraikan ini terlihat masih diperlukan waktu untuk lebih menyempurnakan suatu kehidupan demokratis. Kemu·

dian akan dikemukakan tema ataupun topik yang dipergunakan oleh masing­masing kontestan dan sedikit dikem· bangkan berbagai implikasi yang ditim· bulkannya, dengan sebelumnya juga diusahakan gambaran . yang berkem­bang selama masa kampanye terse but. Sebelum sampai pada penutup, akan dikemukakan pula hasil·hasil pemilu tersebut dengan beberapa catatan. Di sam ping itu juga akan diusahakan suatu praduga (asumsi) yang mungkin dapat dipergunakan dalam memahami pemilu yang akan berJangsung dalam waktu dekat ini , Mei 1987.

Sistem Pemilihan Umum

UU No. 15/1969 mengatur sistem pemilihan untuk anggota DPR dan DPRD dalam perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Sistem perwa· kilan dimaksudkan agar besarnya atau kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD sejauh mungkin ber· imbang dengan besarnya dukungan da· lam masyarakat pemiIih. Sistem ini rnenggambarkan pembagian jumlah kursi berdasarkan suatu bilangan yang diperoleh dengan membagi jumlah se­luruh suara yang masuk dengan jum· lah kursi yang tersedia. Sistem perwa­kilan berimbang ini diperkuat dengan sistem daftar yang menggambarkan adanya pengakuan terhadap stelsel or-

263

ganisasi yang ikut serta dalam kehi· d upan politik . Sistem ini dimaksud· kan juga untuk menjaga, keseimbangan antara jumlah kursi pada daerah pemi· lihan di pulau J awa berdasarkan jum­lah rasio 400.000 : 1, dengan jumlah tersedianya kursi pada wilayah pemi· lihan di luar Jawa berdasarkan jumlah wilayall daerah tingkat II. Kombinasi ini dimaksudkan untuk menjaga ke· pentingan daerah di luar Jawa, yang dicerminkan dari batasan bahwa jum· lah anggota DPR yang dipilih dalam pemiludi Jawa ditentukan seimbang dengan jumlah anggota yang dipilih di luar Jawa.

Dalam sistem perwakilan berimbang ini , semua suara dari berbagai golongan dapat ditampung. Hal ini tentu dapat dengan mudall dipahami oleh masya· rakat banyak , bahwa suatu pemilihan umum semacam ini memberi arti peng­ikutsertaan mereka dalam kehidupan yang demokratis. Akan tetapi sistem ini sulit untuk diketahu i secara pasti dan tepat ten tang siapa·siapa yang sebenarnya representative untuk meng­isi lembaga perwakilan rakyat terse· but. Salah satunya, yang utama , ka· rena para pemilih tidak dapat meng· ikuti secara jelas figur-figur yang me· rebut suara mereka , karena persaingan terjadi dalanl gam bar organisasi yang ikut dalam pemilihan. Di sam ping itu upaya menyederhanakan berbagai tingkah laku politik yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat , tidak men· dapat tempa t dalam sistem semacam • • In!.

Dalam ketentuan mengenai penca· lonan ditegaskan bahwa susunan DPR dan DPRD terdiri dari golongan po­litik dan karya. Organisasi politi!< dan

Juni 1986

Page 4: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

264

karya yang dirnaksud adalah organisa­si-organisasi yang mudah mempunyai perwakilan di DP!{ GR dan/atau DPRD GR. Mereka ini yang dapat ikut serta dalam pemilu. Pembatasan ini memberikan gambaran bahwa or­ganisasi atau kekuatan poUtik yang -. tidak ada dalam perwakilan semasa DPR GR dan/atau DPRD GR tidak dapat ikut serta , misalnya partai politik Majlis Sjuro Muslirnin Indone­sia (Masjumi) , Partai Sosialis Indonesia (PSI) kelompok (-penekanan) maha­siswa, dan sudah paling jelas bagi para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembatasan ini juga memper­lihatkan keterbatasan daya tampung stmktur palitik yang ingin dibangun.

Dalam hubungan dengan PKI, seca­ra jelas peraturan menyebutkan bahwa hak memilih dan dipilih bagi bekas anggotaG 30 S/PKI harus dibatalkan/ dicabut. Pembatasan/ pencabutan hak ikut serta ini didasarkan at as pendiri­an bahwa "hak demokrasi untuk me­nyatakan bahwa suatu organisasi yang mempergimakan kekerasan sebagai sa­rana untuk mencapai tujuannya de­ngan menghancurkan demokrasi , tidak mempunyai hak hidup dalam suatu negara demokrasi" .4 Oleh karen a itu diperlukan ketegasan untuk mencabut/ meniadakan kesempatan ikut serta da­lam pembentukan pemerintahan dan mempunyai perwakilan dalam peme­rintahan bagi bekas anggota G 30 S/ PKJ.5 Hal ini agak berbeda dengan

4pandangan ini bersifat umum; demokra­si diartikan perubahan pemerintahan secara damai dan berkala.

5Hal ini memperjelas pandangan peme­.rintah dan masyarakat. seperti yang diper-

Hukum dan Pembangunan

para bekas anggota partai terlarang lainnya. Para bekas anggota partai

terlarang , Masjumi dan PSI, hanya tidak diizinkan untuk dipiUh , tetapi mempunyai hak untuk memilih.

Dalam penetapan jumlah anggota DPR yang sebanyak 460 orang, dilak­sanakan atas dasar dipilih melalui

pemilu sebanyak 360 orang , dan atas dasar diangkat sebanyak 100 orang. Untuk menentukan besarnya wakil dalam tiap-tiap daerah pemilihan di­dasarkan pada ukuran daerah tingkat 1. Untuk itu dipakai dasar perhitungan tiap-tiap , sekurang-kurangnya, 400.000 penduduk melnperoleh seorang wakil dengan ketentuan bahwa tiap-tiap dae­rah pen'lilihan tingkat II terdapat da­lam daerah tingkat I tersebut , mempu­nyai sekurang-kurangnya seorang wa­kil. Ada pun anggota atas dasar diang­kat sebanyak 100 orang diberikan kepada ' ABRI dalam kedudukannya sebagai stabiUsator dan dinamisator . daTi maksud adanya Dwi Fungsi ABR1. Hal ini didasarkan pad a pandangan

bahwa ABRI merupakan "pengawal dan pengaman Pancasila dan UUD 1945" yang harus kompak dan mem­pakan satu kesatuan sehingga untuk memenuhi fungsi dan tujuan tersebut , ABRI tidak ikut serta dalam pemilu. Sementara itu seperti sudah sama diketahui ABRI sendiri merupakan ke­kuatan . . dalam masyarakar, yang de­ngan mana dirnungkinkan oleh UUD 1945 duduk dalam lembaga-Iembaga permusyawaratan/ perwakilan. Hal ini

lihatkan dalam persidangan. terutama SU MPRS 1966. SU MPRS 1967. SU MPRS 1968 dan SU MPR 1983 tentang keduduk­an paham Marxisme-Leninisme dalam ma­syarakat Indonesia .

Page 5: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

15 Tahun Pemilu

didapat melalui pengangkatan.6

Untuk memudahkan pemahaman tentang beberapa hal pokok di atas , perlu digambarkan perkembangan dan suasana yang mewarnai pem ben tukan atu ran yang menjadi dasar sistem pe· mi1u yang dipakai.

Dengan mendasarkan diri kepada ketetapan MPRS No. XJ/MPRS/1966 maka DPR GR segera mempersiapkan pembicaraan tentang RUU Pemilu dap. RUU lainnya (susunan MPR, DPR, dan DPRD; dan kepartaian , keormas· an dan kekaryaan). Pembicaraan ten­tang RUU Pemilu dengan segera meng­hangat, dimulai dengan adanya peno­lakan dari kekuatan-kekuatan sosial politik pendukung Orde Barn dengan alasan materi isi RUU tersebut meru­pakan produk dari perwakilan yang masih mengandung kekriatan Orde La; ma. 7 Di sam ping . itu RUU terse but. dianggapbertentangan dengan maksud dan tujuan yang telah dihasilkan oleh Seminar Angkatan Darat II, di mana sistem pemilihan yang diinginkan

6Masalah ini ramai dibicarakan pada muJanya, tetapi setelah ditempuh berbagai cara politik konstitusional dapat diselesai­!tan. Untuk gambaran tentang suasana da­lam konsensus nasional, lihat Nugroho No­to susanto dkk., Terjadin ya Konsensus Na· sional. (Jakarta : Balai Pustaka. 1985). Sangat disayangkan buku ini mengandung kelemahan dalam data dan banyak kesalah­an teknis ·percetakan. Perlu pula diketahui bahwa pengisian lembaga perwakilan secara teoretis dapat dibenarkan dengan cara peng­angkatan. Cara ini ditempuh dengan pertim­bangan jaminan untuk mempertahankan struktur politik tertentu dan mungkin ber­hubungan dengan kontribusi suatu kelom­Pok /gOlongan terhadap bertahannya struk­tur politik.

7 A. Samsuddin dkk., Pemilihan Umum

1971. Sen Benta dan Pendapat (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers. 1972), hUn. 33.

265

adalah berwujud sistem distrik. 8

Dalam perkembangan selanjutnya, Ketua Presidium Kabinet AMPERA mengadakan pembicaraan dengan sege­nap pimpinan partai. Dicapai kesepa· katan bahwa sistem pemilihan mema­kai perwakilan berimbang dan ada· nya kesepakatan untuk mengangkat militer dalam lembaga·Iembaga permu­>'yawaratan/perwakilan. Dan terlihat RUU ini yang kemudian l11enjadi UU No. 15/1 969 mengandung beberapa keIel11ahan 9: (1) pengertian "stabHi­tas" untuk pembangunan , (2) harns adanya dukungan persetujuan golong­an di Iuar golongan pendukung sendiri, (3) adanya "screen" oleh panitia pusat tentang sikap politik dan kecakapan , (4) adanya batasan wewenang dan fungsi 1embaga-Iel11bagC) permusyawa·

.. ratarit perwakilan , dan (5) terbatasnya organisasi p'Olitik , organisasi massa dan

kekaryaan yang dapat mengikuti pemi· lu.

Setelah UU Pemi1u disahkan oleh DPR GR, pemerintah segera menge-1uarkan peraturan pelaksana teknis untuk dapat melaksanakan pel11ilu ter­sebut. Pemerintah membentuk 7 buah instansi yang mempunyai hubungan kerja secara vertikal , yaitu : Lembaga Pemilihan Umum (LPU) , Panitia Pemi­lihan Indonesia (PPJ) tingkat pusat , PPI daerah tingkat I dan II , Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelom· pok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS). Di samping itu pemerintah

8lbid. , him. 34, 37, 45 dan 49; juga op . cit. , Nugroho, ...

9 Ali Murtopo, Strategi Politi/, Na.ional (Jakarta: Yayasan ProkJamasi-CSIS 1974), him. 56-57.

Juni 1986

Page 6: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

266

juga mempersiapkan saran a dan fasHi­tas administratif bagi kelanearan pelak­sanaan pemilu tersebut . Hal lain yang diatur adalah ditentukannya jenis-jenis pelanggaran dan sanksi-sanksinya. Per­aturan yang dikeluarkan juga menea­kup sanksi-sanksi bagi aparat pelaksana pemilihan_ Kesemuanya ini dimaksud­kan untuk menjamin pelaksanaan pe­milu berdasarkan jaminan hukum_

Di samping UU No . 15/1969 yang mengatur tata ' eara pemilihan ditam­bah dengan peraturan pemerintah dan peraturan lainnya , perhatian perlu pula ditujukan kepada UU No_ 16/1969. Undang-undang ini mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Susunan ini memberikan gambaran le­bih jelas dari Pasal 1, Pasal 2 ayat (J) , Pasal 5 ayat (l) , Pasal 19 ayat (l) , dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Di sam­ping itu juga dimaksudkan juga sebagai kelanjutan dari ketetapan MPRS No_ X/MPRS/1 966, XI/MPRS/1 966, XIX/ MPRS/1966, XXII/MPRS/1 966, dan XLII/MPRS/1966. IO Singkatnya , su­sunan mana dimaksudkan untuk mene­gakkan , mempertahankan, mengaman­kan dan mengamalkan Paneasila dan UUD 1945 sebagai yang diperjuangkan oleh Orde Baru.

Rumusan-rumusan dalam UU No. 16/1 969 berpokok pad a pengakuan adanya golongan politik dan karya seperti yang telah ada pada susunan DPR GR yang lalu. Di samping itu

-dimuat ketentuan tentang pengisian golongan-golongan atas dasar pengang­katan sebagai jaminan bagi kelang­sungan pelaksanaan UUD 1945 dan

IOLihat hasil-hasil SU MPRS 1966_ Do­kumentasi pada Sekretariat MPR/DPR RI.

Hukum dan Pembangunan

konsensus nasional Orde Baru. 11 Da­lam hubungan dengan pengangkatan ini , terpola pada golongan ABRI, go­longan karya ABRI , golongan karya daerah , dan utusan daerah. Pengang­katan ini dimaksudkan untuk menee­gah perubahan Paneasila dan UUD 1945 , terutama dengan adanya ke­mungkirian dalam UUD 1945 ten tang perubahan UUD oleh MPR.

Berbagai peraturan di atas meng­gambarkan juga pandangan yang kuat dalam elit dan masyarakat ten tang arti dan kedudukan pemilu itu sendiri. Sudah jelas suasana dan lingkungan ketika itu berpengaruh dalam pelak· sanaan pemilu tersebut. Dengan per­ubahan di sana-sini peraturan pemilu selanjutnya juga menggambarkan ke ­majuan yang tumbuh dan berkem­bang dalam masyarakat , terutama

dengan adanya keadaan tertentu dan berbagai masalah yang dihadapi.

Pemilu 1977 dalam pelaksanaan­nya diatur sesuai dengan UU No. 4/ 1975 tentang perubahan UU No. 15/ 1969 dan UU No. 5/ 1975 tentang per­ubahan UU No. 16/ 1969. Kedua UU ini mempertegas dan memperjelas tentang organisasi politik yang dibe­narkan mengikuti pemilu. Sementara hal-hal yang berhubungan dengan asas dan sistem pemilihan, penealonan atas dasar dua partai dan satu golongan kar­ya, dan penetapan jumlah anggota ti·

11 Konsensus Utama Or d e Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 se­cara mumi dan konsekuen. Rumusan ini diketengahkan dan dipegang sebagai gambar­an harapan kehidupan yang dicita-citakan. Kelak di kemudian hari konsensus ini diper­luas dan menimbulkan perdebatan antara para pemuka militer yang semula merumus­kannya_

Page 7: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

15 Tahun Pemilu

dak berbeda dengan materi isi UU No . 15/ 1969 dan UU No. 16/1 969. Di samping itu UU ini memasukkan UU No. 5/ 1974 tentang Pokok·pokok Pe· merintahan di Daerah , dan UU No. 6 / 1974 ten tang Pokok·pokok Kepega· waian. Hal ini disebabkan kedua UU tersebut berkaitan dengan adanya per· ubahan dalam susunan pemerintahan di daerah dan perlunya usaha untuk lebih menempatkan pegawai negeri sebagai abdi negara dan masyarakat guna menghindarkan mereka dari ke· terlibatan politik.12

Dalam pemilu 1977 terlihat partai· partai politik dan golongan karya telah terwujud dalam dua patai politik , yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Gol· kar). Hal ini sesuai dengan UU No. 3/ 1975 tentang partai politik dan go·

-longan karya. Melalui UU ini kekuat· an·kekuatan politik dengan segera me­ngetahui secara pasti tentang kedu· dukan, fungsi, hak dan kewajiban me· reka. Peraturan ini juga mengatur ten­tang asas dan tujuan organisasi politik bersangkutan. Perlu diketahui bahwa di sam ping Pancasila dan UUD 1945 , partai politik dan golongan karya dibenarkan juga memakai asas/ ciri yang telah ada pada saat UU tersebut diberlakukan .13

Suatu perkembangan lagi terjadi yaitu semakin tum buh kesadaran da­lam masyarakat akan perlunya pemi· lu untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Di sam­ping itu struktur politik yang diba-

. 12 Lihat penjelasan UU No. 5 /1975.

13Lihat penjelasan UU No. 3 /1975.

267

ngun selamaini juga semakin menun· jukkan kemantapannya , jika dilihat semakin menyempitnya ruang gerak organisasi politik dalam rumusan da· sarnya. Berbagai suasana menjelang pemilu 1977 dipengaruhi oleh pan­dangan tentang strategi pembangunan dan ketahanan nasional.

Dalam pada itu kehidupan politik Indonesia dalam masa 1978-1982 ikut pula mewarnai suasana pelaksana· an pemilu. Sejak pemerintah menga­jukan usulan tentang aturan pemilu , dengan secara kekuatan-kekuatan poli­tik di lem baga perwakilan (dalam hal ini PPP dan PDI berada dalam satu front, sedangkan Karya Pembangunan dan ABRI berada pada front lain dan lebih banyak mendukung usul peme· rintah) memberikan perhatiannya.l 4

Dengan tetap mendasarkan diri ke· pada asas , tujuan , dansistem pemilih· an yang sama dengan pemilihan sebe­lumnya, partai-partai polit ik memper·

soalkan beberapa hal. Yang utama adalah ten tang pengertian keterlibatan partai politik yang lebih dibanding· kan dengan masa sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan adanya ketetapan

MPR No. VII/MPR/ 1978 yang membe· rikan peluang hal demikian.15 Part ai­partai politik mengajukan usul untuk ikut serta aktif dalam struktur pelak· sanaan yaitu Panitia Pemilihan Indo·

nesia dan lem baga struktur vertikal ke bawah selanjutnya, sedangkan pe· merintah menempatkan partai-partai

14 A.S. Djiwandono, "Pernilihan Urn urn dan Pendidikan Politik", Analisa, No.3 Ta· hun 1983, hlm. 202.

15Lihat ketetapan MPR No . VII /MPR / 1978 tentang pernilihan umurn, terutarna Pasal 6.

Juni1986

Page 8: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

268

politik dalam Dewan Pertimbangan yang kedudukannya lebih sebagai pe­nasihat. Selanjutnya berkembang ma­salah pengangkatan 25 anggota per­wakilan sebagai hak Presiden sesuai dengan konsensus selama ini. Hal ini

dipertanyakan karen a ada kesan kuat hal itu merupakan penambahan untuk suatu golongan terientu , Golkar; se­dangkan partai politik melihatnya ti­dak saja untuk satu golongan seperti yang terjadi selama ini.16

Dari pem bicaraan di sekitar keten­tuan bagi pelaksanaan pemilu , partai­partai politik beranggapan bahwa per­u bahan aturan pelaksana pemilu tidak bersifat mendasar, dan mateJi isi umum dan khusus tidak mendapat pembahasan yang mendalam. Beberapa hal yang juga menghangatkan pembi­caraan ketika itu adalah ten tang pe­ngertian ' "massa mengambang" , hari !ibur untuk penusukan dan adanya kemungkinan walk out dalam persi­dangan lembaga permusyawaratanjper­wakilan. Kelihatannya kedudukan pi­hak pemerintah cukup kuat , semen tara partai-partai politik masih disibukkan dengan persoalan internnya. 17

Dengan sistem yang juga menggam-barkan asas, tujuan dan maksud seria tata cara pel11ilihan , aiuran-a turan yang mendasari pemilu di Indonesia masih terus perlu disempurnakan.

Keinginan untuk itu sebagian besar didorong oleh kesadaran dan pan dang­an bahwa pemilu yang merupakan

16Harmaily Ibrahim, Proses dan Komen­tar Undang-undang Pemilihan Umum No. 21 198 0 (Jakarta: Sinar Bhakti, 1980), him. 54.

17Lihat uraian pada bagian selaniutnya.

Hukum dan Pe m bangunan

sarana demokrasi itu harus memberi kebaikan bagi hidup bersama. Mung­kin sistem dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu tidak l11enga­lami perubahan mendasar , akan tetapi diperlukan modifikasi dalam pelak­sanaan dan karenanya dapat diletak­kan pada satu pandangan yaitu "mere­ka yang bergumul dalam rangka pemi­lu untuk menegakkan demokrasi ber­dasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah orang-orang ·Indonesia".

Selanjutnya akan dikemukakan ma­salah-masalah menjelang pemilu ber­langsung. Masalah-masalah ini berpe­ngaruh kuat , terutama ketika kampa­nye , da~am pem bentukan pandangan masyarakat terhadap ke berhasilan pe­merintah. Pem bentukan pandangan tadi semakin diperjelas oleh faktor

emosional dan situasional. Mungkin suatu masalah dengan dasar objektif masih belum berkembang, dan berba­gai faktor dapat dikemukakan. Yang menonjol adalah masih adanya hu· bungan primordial dalam wujud pa­tron-client dan patrimonial, ditambah

kepekatan struktur yang sulit mem-bantu ke arah objektifnya suatu pan­dangan.

Masalah-masalah Antara dan Menjelang PemiIu

Pemilu 1971 diwarnai oleh ke-•

inginan pihak pemerintah untuk me · nang gun a mencegah kemungkinan adanya perubahan ideologi. Dengan demikian pemilu 1971 dibatasi pada usaha pemerintah mewujudkan suatu kehidupan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal mana dirasakan perJu apalagi telah ditegaskan dalam kete­tapan MPRS No. XX jMPRSj 1966

Page 9: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

1.5 Tahun Pemilu

yang berbunyi "pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan terperinci mengandung suatu cit a-cit a luhur dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan suatu rang­kaian, dan oleh karen a itu t idak dapat dirubah oleh siapa pun juga , tennasuk MPR hasil pemilu yang berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 ber­wenang menetapkan dan merubal1 UUD; karena merubah isi Pembukaan berarti pembubaran negara".18 Ru · musan manakemudian diperluas dan dipertegas dengan pendapat bahwa an tara "pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuh dan isi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah­kan".19

Beberapa catatan yang perlu diberi· kan adalah keluarnya peraturan Men­teri Dalam Negeri No. 12/1 969 , pem· bentukan Kokarmendagri sebagai ci · kal Korpri , masalah urutan tanda gam­bar , dan pembatasan partisipasi bekas anggota PKI.

Ada pun peraturan Mendagri terse­but dikeluarkan dengan maksud m e· murnikan Golkar di DPRD t ingkat I dan II. Usaha ini sudah tentu men­dapat reaksi. Reaksi mana diwujud · kan dalam pengertian akan adanya ketidakstabilan palitik dan akan me · ngendurkan . semangat berpartisipasi' nya kelompok-kelompok tertentu da· lam masyarakat. Juga reaksi ini terwu· jud pada pandangan akan bahaya ada· nya tekanan ataupun paksaan bagi kepentingan penguasa yang diidentik·

, 18Lihat ketetapan MPRS No. XX/MPRS/

1966.

19Lihat penjeJasan konsideran dalam UU No . 15 /1969.

269

kan dengan pemerintah. Lebih lanjut lagi reaksi tadi dihu bungkan dengan persoalan bahwa landasan hukum per­aturan menteri tersebut , yaitu UU No. 18/1965 merupakan produk Orde La· rna yang berbau N asakam. 20

Dalam pada itu Golkar yang men· dapat keuntungan dari peraturan ini, juga mengeluarkan pendapat bahwa kebijaksanaan terse but diperlukan bagi stabilitas politik yang sebagaimana diketahui merupakan prasyarat pemba· ngunan menuju cita -cita Or.de Baru. Namun pada akhirnya dua kekuatan besar partai politik Indonesia , Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nahda­tul Ulama (NU) , dapat menerirna per· aturan menteri terse but dengan dicap ai pengertian bahwa peraturan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan Pancasila, dan dianggap merupakan suatu kewajaran bahwa peraturan ter­sebut adaJah urusan intern Golkar di samping adanya ke sepakatan yang me· netapkan bahwa jumlah wakil Golkar di DPRD I dan II sarna banyak dengan wakil ·wakil partai politik . Mungkin yang penting dan utama dari penyele·

saian ini adalah tekad pemerintah Or-de Baru melalui lembaga ·legislatif menegakkan hukum dan konstitusi

. .

serta menyehatkan demokrasi. Hal lain yang penting, juga berhu ·

bungan dengan pelaksanaan pemilu 1971, adalah berkembangnya dengan pesat Korps Karyawan Departemen Dalam Negeri (Kokarmendagri) yang didirikan 7 Desember 1966. Organisa­si ini menghimpun seluruh pegawai negeri yang berada di dalam naungan Departemen Dalam Negeri. Sementara

20Sinar Harapan, 23 Januari 1970.

Juni 1986

Page 10: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

. . -.

270

itu Departemen Dalam Negeri sendiri merupakan komponen terbesar yang berperan dalam melaksanakan pemilu.

Dalam kaitandengan pesatnya per­kembangan Kokannendagri , timbul pertanyaan yang bermula dari sejum­lah anggota DPRD Kotamadya (Kod­ya) Medan yang melihat adanya pak­saan/tekanan dari beredarnya fo rmulir keanggotaan Kokarmendagri yang ke­mudian dihubungkan dengan peratur­an pemerintah -No. 6/1970, yang ber­isi petunjuk agar pegawai negeri ja­ngan melakukan kegiatan politik . Per­aturan ini mendasari pegawai negeri di departemen-departemen maupun badan usaha pemerintah lainnya menu­ju ke arah monoloyalitas. Hal ini di· hubungkan dengan kewajiban memiliki loyalitas tunggal kepada pemerintah.

Reaksi-keras, terutama, datang dari - ,

partai poJitik yang mempunyai basis pendukung pegawainegeri yaitu PNI. Semen tara itu Menteri Dalam Negeri menegaskan bahwa monoloyalitas ini tidak saja pada pegawai di Departe· men Dalam Negeri, tetapi seluruh kar­yawan Departemen lainnya.21 Untuk masa kini dan seterusnya dapat dime­ngerti keperluan pemerintah akan si­kap tersebut. KeperIuan mana d-apat berarti ganda, di satu pihak mencegah keterJibatan pegawai negeri dalam par­tai politik, yang dilihat oleh pemerin­tah sebagai sesuatu yang diharamkan; di lain pihak diperlukan untuk lebih

21pembicaraan tentang-monoloyalitas ini kemudian berkembang dan berwujud de­nllan berdirinya Korps Pegawai Republik In­donesia tanggai 29 November 1971. Oreani­sasi ini, KORPRI, kemudian semakin man­tap perkembangan dan pembinaannya sehu­bungan dengan keluarnya UU No. 8/1974 tentang pokok-pokok kepegawajan.

Hukum dan P emoon/Tunan

memastikan daya tahan dari struktur yang dibangun.

Di sam ping persoalan monoloyalitas bagi pegawai negeri , masalah penentu­an nomor umt tanda gambar juga men· jadi masalah perdebatan. Pe rsoalan ini berakar pada adanya pendapat yang •

berkembang bahwa Golkar tidak perlu diundi, 'sebab Sekber Golkar adalah organisasi karya di luar kelompok po­litik. Pendapat ini ditentang oleh par· tai-partai politik , sehingga kemu dian diadakan pengundian. Pengundian ini menghasilkan urutan Partai Katolik nomor I , Partai Syarikat Islam Indo­nesia nomor 2, Partai Nahdatul Ulama nomor 3, Partai Muslimin Indonesia nomor 4, Sekretariat Bersama Golong­an Karya nomor 5, Partai Kristen In­donesia nomor 6, Partai Murba nomOI' 7, Partai Nasional Indonesia nomor 8 , Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indo­nesia nomor 9 , dan Partai Ikatan Pen­dukung Kemerdekaan Indonesia no­mOT 10. Dengan demikian pemilu 1971 diikuti oleh 9 partai politik dan 1 golongan karya.

Dalam pada itu untuk wilayah Irian Jaya diJakukan pelaksanaan yang ber­lainan dengan wilayah lainnya . Perbe­daan ini terletak pada diperlukannya peraturan pelaksana yang khusus meng­ingat latar belakang geografis, luar wi­layah, tingkat kesadaran dan pendidik­an masyarakatnya.

Di luar hal-hal di atas, pelaksanaan pemilu 1971 juga menghadapi rna salah bekas anggota PKI. Mereka dibagi da­lam tiga pengelompokkan. Pertama, rakyat pendukung PKI , kedua, simpa­tisan PKI, dan ketiga, calon anggota PKI. Kesulitannya terletak pada keti­daksesuaian antara catatan yang ada

Page 11: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

15 Tahun Pemilu

pada Komando Operasi Pemulihan Ke­amanan dan Ketertiban (Kopkamtib), suatu aparat yang menangani dan menanggulangi akibat-akibat dari pe­nyelesaian persoalan pemberontakan G 30 S/PKI , dengan yang diperkirakan masih ada lagi di luar itu_ Kopkamtib mencatat dalam hubungan ini, calon anggota/anggota gelap berjumlah se­tengah juta orang_ Akhirnya ditentu­kan mereka yang terlibat G 30 S/PKI dilarang memilih apalagi dipilih. Kepu­tusan ini disalurkan pelaksanaannya pada saat penyaringan calon oleh aparat keamanan.

Suasana pemilu 1971 masih diwar­nai oleh pengalaman di masa lalu , pemerintahan Sukarno , di mana tidak pernah diadakan pemilihan apa pun. Dj samping itu semua kekuatan politik masih berada pada tahap menata diri , dan mencoba dengan pemilu ini un­tuk mengetahui seberapa jauh dukung­an masyarakat kepada mereka; apalagi masih kuat adanya "primordialisme" dalam · kehidupan politik ~· Indonesia .

Hal-hal di atas berbeda dengan suasa­na menjelang pemilu 1977 . Dalam pe­milu 1977, kekuatan politik , partai politll<, sudah lebih jelas pemetaan diri mereka dalam kehidupan politik nasional ; di samping itu perkembang­an dari pembangunan telah pula mem­persoalkan strategi yang dijalankan se­lama ini. Dalam konteks lingkungan internasional, jatuhnya Vietnam d~an Laos ke tangan komunis mendorong suatu kesadaran yang melihat ancaman ini dalam skala yang lebih luas. Bebe· rapa masalah yang menonjol adalah masalah lam bang partai politik dan GOlkar , penyaringan calon anggota permusyawaratan/perwakilan , dan lain

271

sebagainya. Masalah pertama yang timbul dalam

menghadapi pemilu 1977 adalah me­milih lambang partai dan golongan karya. PPP memilih gambar Ka 'bah sebagai lambang mereka yang secara jelas ingin mempertegas identitas par· tai tersebut mewakili aspirasi . umat Islam Indonesia. Partai Demokrasi In­do nesia (PDI) dipaksa merubah lam­bang dari penonjolan lam bang Pancasi· la ke pemakai perisai dengan kepala banteng dari PNI dahulu. Sementara Golkar tetap memakai lam bang yang sama dengan pemilu sebelumnya.

Pada mulanya pemerintah melalui Mendagri menolak pemakaian . lam bang Ka'bah bagi PPP. Hal ini kemu· dian menjadi perdebatan panjang hing· ga: menjadi pertemuan antara pimp in an PPP de ngan Presiden. Dalam pert emu· an tersebut beberapa tokoh PPP (dari kalangan NU) menyampaikan alasan pemiIihan terse but dan menghubung· kannya dengan keikutsertaan mereka dalam pemilu. Pada akhirnya PPP di · izinkan memakai lambang tersebut.22

Persoalan berikutnya adalah penya­ringan calon yang akan dipilih. Dalam penyaringan ini beberapa tokoh Masju­mi diperkenankan masuk dalam daftar calon PPP. Pada akhirnya dari jumlah yang diajukan terlihat 19% dari PDt 16% dari PPP dan 5% dari Golkar

-

22Lihat Delia r Noer, "Islam as a Political Force in Indonesia", J .J. F o x. et al. , Indone­s ia : Australian Perspective (Canberra: Aus­tralian National University. 19S0).~ Untuk suatu st udi yang menggambarkan pola pe' nawaran politik (political bargainning) dati penyusunan calon pada wilayah tertentu dapat dilihat Indra NUtlllatias. ABRI dan Pemilihan Umum 19 77 (Jakarta: Sktipsi pada FIS UI,19S1).

Juni 1986

Page 12: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

282

an pada masalah hak asasi manusia dalam politik luar negerinya. Hal ini menimbulkan masalah pelepasan tao han an di pulau Buru sebagai salah satu upaya penyelesaian politik peristiwa G 30 SjPKI.

Kalau suasana kampanye pemilu 1977 menggambarkan pencampur­adukkan dari berbagai kepentingan , teru tama setelah dilakukan evaluasi terhadap hasil -hasil pembangunan , ma· ka kampanye pemilu 1982 kern bali mempersoalkan hal·hal yang lebih ber­kaitan dengan ideologi. Perwujudan ideologi ini digambarkan lebih secara simbolik .

Kampanye pemilu 1982 berpola , pada pemakaian simbol-simbol yang

bersifat ideologis_ Hal ini berkem ­bang dalam pertarungan mendapatkan dukungan bagi program-program yang diajukan oleh masing-masing kontes­tan_ Dengan segera tema-tema ideologi dan religi tampil ke depan . "Islam aga­maku, Ka'bah pilihanku"; "Ka'bah di Mekkah, Beringin di Indonesia", demi· kian juga dengan saling tuduh-menu­duh Iea/ir dan murtad memperlihatkan gambaran tersebut. 63 Pertentangan te­rna religi ini difokuskan dalam kaitan dengan slogan yang menggambarkan masalah ekonomi Indonesia yang kini berkem bang. "Di atas Golkar, di ba­wah Ka'bah ; boss pilih Golkar , pekerja pilih PPP" dita~bah lagi dengan isyu "Kaya bertambah kaya , miskin ber­tambah miskin" merupakan gambaran kesenjangan ekonomi akibat pemba-

63FERR• 23- 29 April 1982; Van Dijk. "The General ... ", RIMA . VoL 16. No.2. 19B2; lihat juga Abdurrahman Wahid. "Agama dan Politik d alam Kampanye Pemi­lu 19 82". K ompa,. 10 Mei 1 9 82 .

Hukum dan Pembangunan

ngunan. Kalau tema·tema ideologi tadi menggambarkan pertarungan antara PPP dan Golkar , maka tern a PDI lebih dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat dengan mengingatkan kem­bali perjuangan Sukarno . " Hidup Bung Karno, Hidup PDI" yang kem udian dikembangkan dengan keterlibatan me · reka dehgan pemerintah Orde Baru dengan slogan " Dua pahlawan repu b­lik, Sukarno proklamator dan Soehar­to mengisinya".

Dalam hubungan dengan kampa­nye, suasana dipanaskan dengan ada­nya isyu tentang kecenderungan untuk tidak memilih kontestan . Hal ini tidak saja pada pandangan yang dilancarkan

,

oleh beberapa tokoh kelompok Islam sebagai reaksi kekecewaan mereka dengan masalah asas tunggal , tetapi

juga dikeluarkan oleh pemerintah .64

Catatan yang perlu diketengahkan adalah adanya "peristiwa · Lapangan Banteng", Jakarta pad a tanggal 18 Ma­ret 1982_ Peristiwa ini menimbulkan korban dan penangkapan-penangkap­an. Dengan seketika saja terjadi ,sa­ling tuduh-menuduh antara PPP de­ngan Golkar , dan untuk mengatasi hal ini dikeluarkan pernyataan bersama oleh ketiga kontestan dan meminta aparat keamanan menindak para peru­suh dan menjamin keamanan para kontestan. Menurut pihak pemerintah,

64Tempo. 13 Maret 1982 ; Mendagri/ Ke­tua LPU mensinyalir adanya golongan putih (Golput) yaitu orang /golongan yang tidak menggunakan haknya untuk memilih. atau y ang menganjurkan dan "~llempengaruhi orang lain untuk tidak m enggunakan hak pilihnya. Ini menangg .. pi adanya isyu untuk tidak mernilih dari tokoh-tokoh Islam. Golput keterangan Amir Mahmud bersifat politis. berbeda dengan Golput 1971 yang bersifat gerakan moral.

,

Page 13: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

282

an pada masalah hak asasi manusia dalam politik luar negerinya. Hal ini menimbulkan masalah pelepasan tao hanan di pulau Buru sebagai salah satu upaya penyelesaian politik peristiwa G 30 S/PKl. .

Kalau suasana kampanye pemilu 1977 menggambarkan pencampur· adukkan dari berbagai kepentingan , teru tama setelah dilakukan evaluasi terhadap hasil·h asil pembangunan , rna · ka kampanye pemilu 1982 kern bali mempersoalkan hal ·hal yang lebih ber· kaitan dengan ideologi . Perwuj udan ideologi ini digambarkan lebih secara si.mbolik.

Kampanye pemilu 1982 berpola . pada pemakaian sim bol-simbol yang

bersifat ideologis. Hal ini berkem· bang dalam pertarungan mendapatkan dukungan bagi program-program yang diajukan oleh masing·masing ko nte s­tan. Dengan segera tema·tema ideologi dan religi tampil ke depan. "Islam aga­maku, Ka'bah pilihanku"; "Ka'bah di Mekkah, Beringin di Indonesia", demi· kian juga dengan saling tuduh-menu· duh kafir dan murtad memperlihatkan gambaran terse but. 63 Pertentangan te­ma religi ini difokuskan dalam kaitan dengan slogan yang menggambarkan masalah ekonomi Indonesia yang kini berkem bang. "Di atas Golkar , di ba· wah Ka 'bah; boss pilih Golkar , pekerja pilih PPP" ditall\bah lagi dengan isyu "Kaya bertambah kaya , miskin ber­tambah miskin" merupakan gambaran kesenjangan ekonomi akibat pemba·

63FERR • 23- 29 April 1982 ; Van Dijk, "The General ... ", RIMA . VoL 16, No.2, 1982; lihat juga Abdurrahman Wahid, " Agarna dan Politik dalam Kampanye Pernio lu 1982", Kam paB. 10 Mei 1982 ,

Hukum dan Pembangunan

ngunan. Kalau tema·tema ideologi tadi m barkan pertarungan antara PPP dan Golkar , maka tema PDI lebih dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat dengan mengingatkan kem­bali perjuangan Sukarno . "Hidup Bung Kamo, Hidup PDI" yang kemudian dikembangkan dengan keterliba tan me · reka dehgan pemerintah Orde Baru dengan slogan " Dua pahlawan repu b­lik, Sukamo proklamator dan Soehar­to mengisinya".

Dalam hubungan dengan kampa­ny e, suasana dipanaskan dengan ada­nya isyu tentang kecenderungan untuk tidak memilih kontestan. Hal ini tidak saja pada pandangan yang dilancarkan

• oleh beberapa tokoh kelompok Islam sebagai reaksi kekecewaan mereka dengan masaJah asas tunggaJ , tetapi

juga dikeluarkan oleh pemerintah. 64

Catatan yang perl u diketengahkan adalah adanya "peristiwa · Lapangan Banteng", Jakarta pada tanggal18 Ma­ret 1982. Peristiwa ini menimbulkan korban dan penangkapan-penangkap­an. Dengan seketika saja terjadi .sa­ling tuduh-menuduh antara PPP de­ngan Golkar , dan untuk mengatasi hal ini dikeluarkan pernyataan bersama oleh ketiga kontestan dan meminta aparat keamanan menindak para peru­suh dan menjamin keamanan para kontestan. Menurut pihak pemerintah,

64Tempo. 13 Maret 1982 ; Mendagri/ Ke­tua LPU mensinyalir adanya golongan putih (Golput) yaitu orang /golongan yang tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau y ang menganjurkan dan ''1:nernpengaruhi orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Ini menangg2.pi adanya isyu u ntuk tidak rnemilih dari tokoh-tokoh Islam. Golput keterangan Amir Mahmud bersifat politis. berbeda dengan Golput 1971 yang bersifat gerakan moral.

Page 14: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

15 Tahun Pemilu

peristiwa ini dimaksudkan untuk meng­goyahkan pemerintah dan mendiskrit­kan pemerintah , sehingga terjadi kon­disi di mana rakyat benci pemerintah dan menimbulkan oposisi untuk mela­wan pemerintah dan selanjutnya meng-

gulingkan dan mengganti pemerin-

tah. 65

Dalam mengatasi hal ini , karen a persoalan di Jakarta dapat berakibat nasional , maka diadakan konsensus pada tanggal 8 April 1982 antara para kontestan dan aparat keamanan.66

Konsensus ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan kem balinya masalah semacam itu. Perlu diketahu i kerusuhan juga terjadi di beberapa kota yang mengakibatkan korban , apa­lagi dengan adanya pamplet gelap yang menimbulkan pra sangka salah antara para kontestan.6 7

Korban k embali berjatuhan papa waktu kampanye kendaraan keliling kota Jakarta yang dilakukan oleh Golkar pada tanggal 25 April 1982. Hal ini merupakan reaksi atas pawai yang diadakan sebelul11nya oleh PPP. Dari kedua kasus ini PDI kemudian l11engadakan pawai sederhana dan di bebe.rapa tempat dengan PPP, sehingga menm1bulkan kecenderungan adanya kefjasal11a antara partai politik meng­hadapi Golkar.68

65 Te mpo, 1 0 April 1982. 661 . k . 51 onsensu s 8 April 1 982 (1) pener-

t lban ke dal 1 h ' · . am 0 e m a5mg-ma5mg konte5-tan, (2 ) penertiban para juru kamp anve

d(3) dalam kampanye para konte5tan men-ga:

akan . pengamanan intern, (4) ke5epakatan , ~ntuk menertibkan pawa i kendaraan b ermo-

or, dan (5) tidak akan menyiarkan bentrok-an-bentr ka k I on antar ont estan ke pers sebe-Urn per50 alannya menjadi jelas.

67V D"k" 68 an 1J , General Elee , . . " , op. cit, Van Dijk, Ib id.

• •

• 283 •

Hasil-hasil Pemilu: Beberapa Catatan

Dengan berdasarkan sistem yang sama dari asas , tujuan dan pelaksanaan yang berlangsung, maka hasil-hasil pemilu sedikit banyak dapat diduga. Pemilu yang berlangsung dalam 15 tahun terakhir ini mewujudkan suatu perkembangan politik yang cenderung menggambarkan soal soa1 dasar dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Du­kungan masyarakat t erhadap kontes­tan dalam pemilu sedikit ban yak di­warnai oleh faktor-faktor " kepasrahan dan keluguan". Kini dapat dilihat ha­sil-hasil pemilu tersebut.

Pada hari .Sabtu 3 Juli 1971 , anggo­ta masyarakat yang berhak memilih datang ke kotak-kotak suara untuk mel11berikan dukungan pada salah satu kontestan . Pemilili yang menggunakan haknya mencapai 54.696.887 da ri 58.179.245 pemilih yang terdaftar atas sama dengan 94.02 %. Jumlah ini tidak tell nasuk daerah pemilihan Irian Jaya.

Hasil pemilu yang disahkan tanggal 7 Agustus 1971 dan diumumkan ke­esokan harinya memper liha tkan uru t­an kemenangan sebagai berikut 69 : (1 ) Sekber Golkar dengan jumlah suara 34.348.673 (62.8%) daTi seluruh jum­lah pemilili yang menghasilkan 227 kursi, (2) Partai NU dengan jumlah suara 10.213.650 (18.67%) daTi selu­rull jumlah pemilili yang menghasllkan 58 kursi ; (3) Part ai Muslimin Indonesia denganjumlah suara 4 .930.746 (7 .36%) daTi seluruh jumlah pemilili y ang meng-

69 Lembaga Pemilihan Umum, Daftar Pe mbaglan Kurs i Hasil Pe m iWJan Umum A l1 ggo ta De wan Perw akilan Raky at Tahul1 19 ~1 terpe.rinci un /uk m asin g·masing organi­sasl bagl hap dae rah p em l1ihan serta penye·

. barannya · untuk tiap daerah tingkat 1I (Ja karta, 1971),

JUlli 1986 •

Page 15: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

284

hasilkan 24 kursi; (4) PNI dengan jumlah suara 3.793.266 (6.94%) dari seluruh jumlah suara yang menghasil­kan 20 kursi; (5) PSII dengan suara

1.308.237 (2.39%) dari seluruhjumlah suara yang menghasilkan 10 kursi ; (6) Partai Kristen Indonesia dengan jumlah suara 745.359 (1.34%) dari seluruh jumlah pemilih yang mengha· silkan 7 kursi; (7) partai Katolik In­donesia dengan jumlah suara 606.747 (lJl %) dari seluruh jumlah pemilih yang menghasilkan 3 kursi; (8) Partai Islam Perti dengan jumlah 381.309 (0.7%) dari jumlah pemilih yang meng­hasilkan 2 kursi. Dua partai politik yang ikut pemilihan um1:lm ini, Partai Murba dan Partai IPKI,tidak da­pat mengumpulkan suara sebanyak 400 .000 untuk 1 kursi sehingga tidak memiliki kursi sarna sekali. Walaupun demikian berdasarkan UU No. 16/ 1969, kedua organisasi tersebu t masih memiliki wakil masing-masing di Maje­lis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Pada mUlanya masih terdengar sua­ra-suara yang tidak puas dengan pelak­sanaan dan hasil pemilihan urn urn ini. Umumnya digambarkan telah teIjadi insiden berupa pemukulan, pengania­yaan, sampai kepada berbagai ben-

. .

tuk manipulasi pemungutan!perhitung-an suara sehingga dirasakan perlu untuk mengajukan hal ini ke depan

pengadilan . Dalam menanggapi hal ini, . Presiden Soeharto menyatakan ·bahwa pelaksanaan Pemilu .. sah dan tidak dapat diganggu gugat lagi. Adapun pro tes partai politik yang sifatnya konstruktif agar disalurkan secara konstitusional. 70

- .- . - -

70Hman Kami, 14 Juli 1971; Ka mp as, 15 Juli 1971 .

Hukum dan Pembangunan •

Erat kaitannya dengan hasil pemi. lihan umum, maka pad a tanggal 13 Oktober 1971 ditetapkan nama-nama terpilihnya anggota DPR yang pelan­tikannya diadakan pada tan~ga! 28 Oktober 1971 oleh Ketua Mahkamah

Agung. Untuk selanjutnya diadakan pemilihan pimpinan DPR yang meng­hasilkan Ketua DPR dari partai Nah­datu! Ulama dibantu oleh 4 Wakil Ketua yang mewakili Fraksi Golkar, Fraksi ABRI, Fraksi ,Persatuan Pem­bangunan dan Fraksi Demokrasi Pem­bangunan. .

Dalam pada itu pada tanggal 1 Oktober 1972 dilantik anggota-anggo­ta Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berjumlah 920 orang. MPR di· bentuk dari ta DPR ditambah utusan daerah dan golongan-golongan. Dalam MPR, Golkar ldiwakili 392 anggota, ABRI 230 anggota, Persa­tuan Pem bangunan 126 anggota , De­mokrasi Pembangunan 42 anggota, dan utusan daerah 130 anggota. Adapum pimpinan MPR terdiri dari pimpinan DPR dhambah seorang Wakil Ketua mewakili utusan daerah.

Sudah jelas hasil pemilu 1971 mem­berikan kekuatan yang besar bagi Golkar yang sekaligus juga adalah pemerintah. Hasil pemilu 1971 mem­berikan kesempatan yang luas bagi Golkar . melaksanakan program-pro­gramnya. Hal ini kemudian berpenga­rull pula dalam hasil pemilu 1977.

Di tingkat nasional, hasH pemilu 1971 dan 1977 adalah sarna. Perbeda­an kelihatan kalau diadakan perban­dingan atas dasar kecenderungan umum bahwa di mana kekalahan Golkar diimbangi oleh kemenangan PPP. Con· toh paling menarik adalah kemenangaJl

Page 16: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

J 5 Tahun Pem ilu .

pppdi Jakarta . Kemenangan PPP di Jakarta disebabkan hal·hal adanyapan· dangan bahwa Jakarta adalah kota kalangan Islam, kejujuran sikap Ali Sadikin sebagai "wasit yang adil" , penduduk yang sinis terhadap peme­rintah dan memilih PPP sebagai protes makin meningkatnya kesenjangan , dan sebagainya.71 Di samping Jakarta , rna· ka kekalahan Golkar terlihat juga di Aceh. " Wilayah in i terkenal dengan fanatisme agama Islam, di samping pengaruh kuat alim ulama yang tidak sepandangan dengan pihak pemerin· tah.72

Adapun partisipasi pemilih menea· pai 63.998 .344 dibanding terdaftar 70.662.1 55 (90 .57%). Hal ini agak menurun karen a dalam pemilu 197 1 meneapai 94.2% di luar wilayah Irian Jaya,73 . .

Dari hasil pell1ilu 1977, Golkar mendapat 232 kursi yang berarti kurang 4 kursi dibandingkan pemilu 1971. PPP mendapat 99 kursi yang berarti penall1bahan 5 kursi diban· dingkan pemilu 1971, sedangkan PDI mendapat 29 kursi yang berarti kehi · langan 1 kursi dari hasil pemilu sebe· lumnya . Dalall1 pada itu ABRI menda­pat 75 kursi sesuai dengan ketentuan, sedangkan 25 kursi lagi ditall1bahkan ke dalall1 Golkar sehingga berjumlah 257 kursi.

Selanjutnya diadakan pelantikan anggota DPR 1977-1982 pada tanggal 1 Oktober 1977 . Dengan segera diada­kan pemilihan pimpinan yang meng·

.'-----7 1 Liddle. op. cit.

72 Rusli K - "P'al " . b

anm . er] anan ...• op_ CIt., 1m. 184.

73 . Sam suddin . dkk .• op. c it.

285 . •

hasilkan seorang Ketua daTi Karya Pembangunan dibantu 4 wakil yang terdiri dati masing·masing fraksi dalam DPR. Perlu diketahui tidak lama ke· mudian , menjelang SU MPR 1978, diadakan perubahan pimpinan di mana Ketua dijabat dari fraksi ABRI sedang· kan yang lainnya tetap.74

Erat kaitannya dengan DPR adalah susunan MPR. Dalam MPR 133 mewa -

kili PPP , 39 mewakili PDI, 331 mewa' •

kili Golkar , 230 utusan golongan kar­ya ABR!, 52 utusan golongan karya non·ABRI, dan 135 utusan daerah. Untuk ll1emberikan jaminan fraksi utusan daerah dalam MPR, maka pill1pinan MPR ditambah dengan yang mewakili maksud tersebut.

Kalau pada pemilu 197 1 Golkar ll1endapat jumlah suara yang besar. sell1entara partai·partai politik menjadi lebih ll1engetahui posisi mereka dalam masyarakatlndonesia; ll1aka dalam pell1ilu 1977, Golkar ll1endapat lin· bangan berat dari PPP. Hal ini ber­arti PPP ll1enjadi oposisi (dalam arti penglinbang). Dan ini sendiri teIjadi karena peru bahan dalall1 masyarakat terhadap beberapa keeenderungan, se· perti perlu adanya pengurangan kekua· saan di tangan pemerintah, terll1asuk Golkar. Suasana ll1enjelang pemilu dan masa kall1panye dalam pemilu 1982 tidak pula mell!bah kemenangan yang dieapai Golkar dalam pemilu 1971.

Seusai pemilu tanggal 4 Mei 1982,

74Ketua MPR jDPR dija bat oleh Adam Malik. seorang yang keterlibatan dalam duo nia politik sudah sejak zaman pendudu kan Jepang (sebagai wartawan). tah u n 1945 dan seterusnya. Ada m Malik kemudian di· angkat menjadi WakiJ Presiden Kabinet Pembangnnan III (1978--1983). Jabatan Ketu a MPRjDPR dipegang oleh Darjatmo .

• JUrli 1986

Page 17: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

286

didapat hasil PPP 94 kursi, Golkar 246 kursi (kemudian ditambah 25 kursi sehingga seluruhnya 271 kursi), dan PDI 24 kursi. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu 1977, maka pee nambahan kursi Golkar didapat dari kekalahan PPP 3 kursi, dan PDI 5 kursi , serta 4 kursi dari wakil Timor Timur sehingga tambahan be~umlah 12 kursi. Dalam pada itu di Aceh dan Sumatra Barat , . PPP mengungguli Golkar dari sudut persentase, semen· tara di Jakarta PPP kehilangan lkur· si. 7S ~

Kekalahan partai·partai politik dise­babkan perasaan emosional dalam kampanye , semakin asingnya partai da­lam kehidupan masyarakat , dugaan adanya manipulasi dalam pemungutan, penghitungan dan pelaporan hasil pe· milu , dan keunggulan Golkar dari penguasaan jaringan pemerintahan. 76

Golkar sendiri me nang disebabkan ke­kompakkan relatif da lam eli t pernerin­tahan , membaiknya citra ABRI-Rak­yat, adanya pemenuhan kebutuhan da· sar rakyat oleh pemerintah , dan kele­mahan intern partai politik , teru tama, dalam hal kepernimpinan .77

Di samping susunan DPR di atas sebagai perwujudan kemenangan da­lam pemilu , maka susunan MPR terdiri dari 123 mewakili PPP , 31 mewakili PD! , 343 mewakili Golkar, . 230 mewakili golongan karya ABRI , 52 utusan golongan karya non-ABRI, dan 140 utusan daerah. Menjabat sebagai

7STempo, 19 Juni 1982. -76 Rusli Karim, "P.erj"lanan . .. ", op. cit.

hlm.212-217.

77 Sigid P. K usumowidagdo, "Kemenang­an Golkar dan Tantangan Masa Depan" Kompas, 18 Mei 1982.

Hukum dan Pembangunan • •

.

Ketua DPR dari fraksi ABRI dibantu oleh 4 wakil ketua dari masirig-masing fraksi , sedangkan di MPR, seperti bia. sa, ditambah 1 wakil ketua mewakili utusan daerah.

Lebih lanjut terlihat pembahasan dalam SU MPR .1983 sesuai dengan materi yang diajukan Presiden kepada pimpinan MPR/DPR. Materi tersebut diperkuat lagi dari pembahasan oleh Badan Pekerja MPR/DPR. Kelihatan­nya di samping pemberian gelar "Ba­pak Pembangunan" · kepada lenderal Soeharto, juga ketetapan tentang asas tunggal bagi partai politik dan golong­an karya serta reforendum bagi kedu­dukan d,an peran militer dalam kete­tapan MPR menjadi topik yang hangat dibicarakan dan akan mewarnai sistem dan struktur politik Indonesia di masa mendatang, .

• •

PENUTUP

Dari rangkaian uraian sebelumnya, terlihat naik-turunnya demokrasi da­lam kehidupan politik Indonesia, Pe­milu dengan sis tern yang sarna, masa­lah yang dihadapi pemerintah dan masyarakat , kampanye dalam pemilih­an dan hasil-hasil yang dicapai sudah tentu menggambarkan salah satu ba­gian saja dari hidup bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian dad pemahaman akan demokrasi , dan yang penting pelaksanaannya, semakin tum­buh kesadaran dalam masyarakat ke­perluan mereka akan pemilu. Sedikit banyak tumbuhnya keceriderungan semacam ini mendukung pemahaman utama dalam hidup berbangsa dan ber­negara,

Perjuangan untuk mencapai masyarakat

terus-menerus adil dan mak-

Page 18: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

J6 Tahun Pemilu

r menuntut kesadaran dan keterli­mu ,

b tan masyarakat dalam kehldupan a b . oJitik. Politik jangan diartikan se agru

P 'd'l' esuatu yang diharamkan, tetap1 1 1-~at sebagai konsekuen~i dari hidup bersama untuk mengatur kekuasaan dan mencip takan masyarakat yang se­suai dengan konstitusi.

Kalau diperhatikan pada persentase hasil pemilu selama masa pengamatan, kelihatan Golkar cukup mendominasi suara dalam lembaga perwakilan; akan tetapi jika diperhatikan secarakeselu­ruhan maka terlihat berbagai penlla-

. salahan yang sedikit bany'ak menum­buhkan kesadaran bahwa forum per­wakilan perlu terus-menerus mengkaji permasalahan dalam masyarakat. Su­dah pada tempatnya, lembaga permu­syawaratan!perwakilan yang dimak­sudkan oleh UUD 1945 adalah lemba­ga yang dapat menampung dan meru­muskan keinginan masyarakat dengan tetap mempertahankan kesatuan dan persatuan serta identitas nasional Indo-

• neS1a. •

Epilog

Perj alanan sejarah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan, ' dan terutama selama ... pemerintahan sejak 1966, menumbuhkan kesadaran tnasyarakat akan perlunya berantisipasi dalam pro­gram-program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Mung­kin sangat sedikit yang membicarakan hal ini dalam konteks partisipasi atau mobilisasi, yang pasti pemerintah dili­hat sebagai motor utama dalam pem­bangunan sejak tahun 1968.

Kedudukan dan peran pemerintah sebagai motor utama pembangunan, membawa risiko pada tumbuhnya ke-

. 287

sinisan pandangan dan ketidaksukaan dalam pendapat yang beredar dalam masyarakat_ Mungkin hal ini tidak menonjol selama pemerintah masih mampu melaksanakan pembangunan dengan hasil ekspor minyak dan gas bumi, akan tetapi dengan merosotnya pendapatan nasional dari sektor ini, maka masyarakat akan semakin gencar mempersoalkan segala kegiatan peme· rintah , kredibilitas pemerintah diperta· nyakan dan mungkin terancam.

Di samping kesuIitan akan dana untuk pembangunan nasional yang ku­rang dikelola dengan baik selama ini. maka pembebanan biaya pembangun­an melalui pajak dapat membuka ke­sempatan pada lapisan tertentu dalam masyarakat untuk mempertanyakan peran dan kedudukan mereka. Apalagi jika pembebanan pajak ini dilihat ti ­dilk adil dan aparatnya tidak cakap pula dalam pengelolaannya.

Satu hal yang penting pula diper­hatikan yaitu makin banyak para pemimpin militer di awal . Orde Baru yang kini telah menjadi orang ba · nyak dalam masyarakat. Sudah tentu mereka mempunyai persepsi dan pan­dangan , yang diben tuk selama ini, dalam . menilai pembangunan y ang . telah dilaksanakan oleh pemeri ntah . Adanya kecendeningan untuk berbeda pendapat dengan pemerintah tidak berarti mereka ingin menggantikan pemerintahan yang sah secara inskon­totusional , akan tetapi perbedaan ini perlu pula dipelajari untuk menjadi bekal bagi semua pihak yang terlibat dalam pembangunan nasional Indone-

• Sla.

Demikian juga dengan keberhasilan pemerintah di bidang pangan, tidak

Juni 1986

Page 19: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

- , -

288 Hukum dan Pembangunan

berarti telah selesai pengembangan usaha terse but. Malahan berbagai ba­haya dapat muncul se-andainya para perumus kebijaksanaan , dan terutama

. para pelaksana , masih diliputi pra­sangka salah terhadap masyarakat lapisan bawah ini.

DAFTAR KEPUSTAKAAN Dokumen:

Kumpulan Ketetapan MPRS Tahun 1966, 1967 dan 1968. Ke tetapan-ke tetapan MPR Tahun 1973. Ke tetapan-ketetapan MPRTahun 1978. Ketetapan-ketetapan MPR Tahun 1983. Undang-undang No. 18/1965. Undang-undang No. 15/1969 dan N o. 16/1969. Undang-undang N o. 5/1974 dan No. 8/1974. Undang-un dong No. 3 /1973,No. 4/1975 dan No. 5/1975. Peraturan PWlerin tah No. 6/1970. Tata Tertib DPR RI 1978- 1983 . .

-

,

Lembaga Pemilihan Umum, Daftar Pembagian K ursi Hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakil-an R akyat Tahun 1971 terperinci untuk masing-masing organisasi bagi liap dlierah pemilihan serta penjabarannya untuk tiap daerah tingkat II.

Kelompok Kerja Petisi 50/Pernyataan Keprihatinan . Meluruskan Perjalanan Orde Saru: Pertanggung Jaw{[ban Petisi 50 kepada Rakyat Indonesia. .

Buku-buku:

Crouch, H., The Army and Politics in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press , 1978).

-Fox , J .J. , et al., Indonesia: Australian PerspectiJ.'e (Canberra: Australian National Univer-

sity, 1980). . Ibrahim , H. , Proses don Komentar Undong-undang Pemilu No. 2/1980 (Jakar ta : Sinar

Bhakti, 1980). Ka.rim , R. , Perjalanan Panai Politik di Indonesia : suatu potret pasang-surut (Jakarta: CV.

Rajawali , 1983). May, B. , The Indon esian Tragedy (London: Londers, 1978). Murtopo,A., Strategi Politik Nasional (Jakarta: Yayasan Proklamasi- CSIS, 1974) . . Nishihara, M., GolkaT and the Indonesian Elections of 19-71. Modern Indonesia Project.

(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1972). Noer , D., Bunga Rampai dari Negeri Kanguru (Jakarta: Penerbit Panji Masyarakat, 1981). - - - - ., Ideologi, Politik dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983). - - - -., Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan , 1983). - - - -', Administration of Islam in Indonesia. Monograph Sereis. Modern Indonesia Pro-

ject. (Ithaca, New York : Cornell University Press, 1980). Notosusanto, N. , dkk. , Terjadinya Konsensus Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 1985). . Dey Hong Lee (ed.), Indonesia After the 19 71 Election . Hull University Publication, 1974 Rasjidi , H.M., Sekali Lagi Umat Is/am Indonesia di Persimpngan Jalan (Jakarta: PT. Sinar

Hudaya, tanpa tahun terbit). . Samsuddin, A., dkk. , Pemilihan Umum 1971: Seri Berita dan Pendapat. (Jakarta: Lembaga

Pendidikan dan Konsultasi Pers, 1972). Saidi, R., Palitik Pembangunan dan Pembangunan Politik (Jakarta: Penerbit Nurul Islam,

1983).

Page 20: PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR

15 Tahun Pemilu 289

.

Ward, K. , TIle 1971 Election in Indonesill: an East Java Case Study. Modem Indonesia Pro-ject. (Ithaca , N·ew York: Cornell Vniversity Press , 1973).

Zuhri , S., Kaleidoskop 1 dan 11 (Bandung: Alma Arif, 1983).

Skripsi:

Asjik, H., Pemilihan Umum 19 71 di Daerah Istimewa Aceh (J akarta: Skripsi pada FIS V I , 1972)

Julianto, P.A., Kekuatan-kekuatan Politik di Sekitar Pemilu 19 71 (Jakarta : Skripsi pada FIS VI , 1976) .

Kushara, A., Golkar dan Pemilihan Umum 1977: studi kasus di Kelurahan Manggarai , Keca ­matan Tebet, Jakarta Selatan (Jakarta : Skripsi pada FIS VI, 1979) .

Napitupulu, S , Pembentukan Partai Demokrasi Indonesill: proses fusi lima partai poJitik . 1973- 1976 (Jakarta : Skripsi pada FIS VI , 1981).

Nurmatias, I., ABRI dan Pemilihan Umum 19 77 (Jakarta: Skripsi pada FIS V I , 1981 ). Pribadi, T., PPP dan Massa Pelldukungnya dalam Pemilihan Umum 1977 di Jakarta : studi

analisi~ tentang tingkah laku pemilih . (Ja kar ta : Skripsi pada FJS VI , 1980). Singgih , S. , Partai Muslimillindon esill : Berdiri dan Perkembangannya Hingga 1970 (Jakarta:

Skripsi pada FIS VI , 1971). Soedirdjo, C.H., Perkembangan Partai Demokrasi Illdonesill Periode 1976- 1981 (Jakarta :

Skripsi pada FIS VI, 1971). Sudarman , Sri S.S., Politik Pembinaan Kekualan ABR1: studi kasus di OPR RI. 19 71 - 19 77.

(Jakarta :.Skripsi dan FJS VI , 1981). Yusuf, J .R., Partai Persatuall Pemballgunan : suatu tinjauan konflik daJam parta i. (Jakarta :

Skripsi dan FIS VJ , 1984) .

Majalah :

Analisa, No.3, 1983. Asia Yearbook 19 78. Asian Survey, Vol. XV III , No.2 dan No . 6 ; Vol. VIII No. 12 . Far Eastern Economic Review, April 1982 . Indonesia , April 19 71. Prisma, No. 12 Desember 1981.

.

Review of Indonesilln and Malayan Affairs, Vol. 12 , No. I ; VoI.13 , No. I dan 2; VoI. 14 , .. No. I dan 2; Vol. 16 , No. 2.

Southeast Asian Affairs 19 78. Tempo, Maret, April dan Juni 1982.

Surat kabar:

Kami, 14 Juni 1971. Kompas , 15 Juli 1971, dan 18 Mei 1982. Sinar Harapan, Juni 1970.

• •

..

,,--

- '

-

Juni 1986