pemilu di indonesia dalam 1st ahun terakhir
TRANSCRIPT
261
PEMILU DI INDONESIA DALAM 1ST AHUN TERAKHIR
Oleh: Drs. Zulfikar Ghazali
PENDAHULUAN
Pemilihan Umum merupakan salah satu upaya perwujudan demokrasi da· lam masyarakat. Di sam ping itu pemilihan umum merupakan salah satu syarat dengan mana pemerintahan demokratis atau pemerintahan ber· dasarkan mandat rakyat bekerja untuk kepentingan masyarakat. .
Dengan menyadari keperluan akan suatu pemerintahan yang dasar pembentukannya secara konstitusional, maka pemerintah Orde Baru merasa perlu untuk melaksanakan pemilu yang semula direncanakan pada tahun 1968 berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966.
Hasrat untuk mengadakan pemiIu dalam kehidupan Orde Baru didasari pertimbangan (I) negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat , (2) pelaksanaan asas kedaulatan rakyat memerJukan lembag~:lembaga permusyawaratan/perwa· kllan berdasarkan pemilu , (3) kehidupan demokratis belum berjalan lancar disebabkan lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan belum terbentuk melalui pemiIu , (4) pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen memerlukan lembaga-Iembaga permusyawaratan/perwakilan dari hasiJ
•
pemilu. 1
Dalam perkem bangan selanju tnya terlihat bahwa pelaksanaan pemilu pertam a dalam pemerintahan Orde Baru baru dapat dilaksanakan pada tahun 1971 , berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968 tanggal 27 Maret 1968 yang penjabarannya diwujudkan dalam UU No. 15 /1 969 dan UU No. 16/1969. Untuk diketahui bahwa UU No. 15/1 969 berisi tentang maksud ; tujuan dan tata cara pelaksanaan pemilihan , sedangkan UU No. 16/ 1969 berisi ten tang susunan MPR, DPR, dan DPRD. Kedua undang-undang ini berkaitan karena pemilu yang diselenggarakan oleh pemerintahan bertujuan (a) menciptakan kemantapan dan stabilitas politik , (b) perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golongan Karya , (c) menciptakan mekanisme dan infrastruktur politik yang dapat bekerja sama dengan pemerintah dalam usaha-usaha pembangunan , dan (d) membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat ba-
lLihat ketetapan MPRS No. XI /MPRS / 1966. Untuk seterusnya peraturan-peraturan tentang pemilihan umum memakai landasan ini, dan rumusan-rumusan di mana pemilu dijadikan topik pembicaraan, maka konsideran daJam ketetapan ini selalu dikemuka-kan. .
Juni 1986
•
262
nyak.2
Dalam UU No. 15/1969 dijelaskan bahwa pemilihan umum merupakan sarana yang bersifat demokratis untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan per· musyawaratan/ perwakilan yang digariskan UUD 1945. Ada pun tujuan pemilu tidaklah memilih wakil rakyat untuk menyusun negara bam dengan
- dasar falsafah negara bam, tetapi . pemilu diadakan untuk mendapatkan
wakil rakyat yang membawakan isi hati nurani raky at dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan , dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945, guna memenuhi dan mengemban Amanat Penderitaan Rakyat. 3 Dengan demikian menjadi jelas hal-hal yang ingin dicapai dari suatu pemilihan
•
umum. Rangkaian pikiran dan pelaksanaan
pemilu 1971 dan yang berikutnya memperlihatkan dengan jelas bagai-
•
mana kedudukan Pancasila , UUD 1945 , dan ABRI yang berperan untuk me· ngendalikan "ketidakstabilan politik" , dan di sam ping mengetahui sampai sejauh mana pemilu 1971 dan yang berikutnya dapat dipakai dan digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik
2 Dasar pikiran daJam ketetapan MPRS No. XLII /MPRS /1968 yang kemudian diperielas dalam UU No. 15/1969 dan UU No. 16/1969. Rumusan ini dipakai standar untuk menjelaskan cita-cita diadakannya pemilu dalam pemerintahan arde Baru. Tujuan ini secara jelas memberikan hal-hal yang mendas.r bagi pengetahuan tentang struktur dan mekanisme daJam pemerintahan arde Baru.
3penielasan atas konsideran dalam UU No. 15/1969 .
Hukum dan Pembangunan
(dalam arti partai politik) untuk menjaga kelangsungan mereka dalam kehidupan politik Indonesia.
. Untuk mempertahankan nilai-nilai dasar dan jaminan bagi berlangsungnya suatu pemilu , maka diatur beberapa hal seperti asas pemilihan, sistem pemilihan , penetapan jumlah anggota da-
•
lam pemilu , keseimbangan antara jum-lah anggota yang dipilih di Jawa dan di luar J awa , kedudukan ABRI , pencalonan, dan yang berhubungan dengan penyelesaian masalah G 30 S/PKI.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mem berikan- gam baran perkem bangan politik Indonesia dalam masa pemerintahan Orde Baru, dengan melihat pada
• konteks pemilu - baik secara ide mau-pun pelaksanaan - yang juga meng· gambarkan suatu kondisi pemahaman politik ten tang demokrasi di Indonesia. Ka jj an dalam tulisan ini diu sahakan secara menyeluruh dalam berbagai aspek yang menonjol dalam suatu pemilu. Aspek terse but meliputi sistem, kampanye dan hasil yang diperoleh oleh kontestan. Untuk itu dimulai dengan melihatnya dalam tatanan dasar kehidupan konstitusi , berupa undang-undang dan berbagai penafsirannya , dan diakhiri dengan hasil-ha sil yang dicapai oleh masing-masing kontestan.
Untuk memudahkan pembicaraan, tulisan ini - setelah pendahuluan - dilanjutkan dengan membicarakan sis· tern yang dipergunakan dalam pemi· lihan umum terse but. Secara seder- ' hana seJama masa pengamatan , hanya dikenal satu sistem, yaitu perwakilan berimbang dengan tambahan sistem daftar , dan di sana-sini beberapa tambahan diberikan tanpa merubah dasaJ
J 5 Tahun Pemilu
maksud sistem yang dianut. Selanjut nya akan dikemukakan masalah-masa· lah yang dihadapi dalam masyarakat yang sedikit banyak memberikan pe· ngaruh pada perkembangan selanjut· nya. Dari rangkaian rna salah yang di uraikan ini terlihat masih diperlukan waktu untuk lebih menyempurnakan suatu kehidupan demokratis. Kemu·
•
dian akan dikemukakan tema ataupun topik yang dipergunakan oleh masingmasing kontestan dan sedikit dikem· bangkan berbagai implikasi yang ditim· bulkannya, dengan sebelumnya juga diusahakan gambaran . yang berkembang selama masa kampanye terse but. Sebelum sampai pada penutup, akan dikemukakan pula hasil·hasil pemilu tersebut dengan beberapa catatan. Di sam ping itu juga akan diusahakan suatu praduga (asumsi) yang mungkin dapat dipergunakan dalam memahami pemilu yang akan berJangsung dalam waktu dekat ini , Mei 1987.
Sistem Pemilihan Umum
UU No. 15/1969 mengatur sistem pemilihan untuk anggota DPR dan DPRD dalam perwakilan berimbang dengan stelsel daftar. Sistem perwa· kilan dimaksudkan agar besarnya atau kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD sejauh mungkin ber· imbang dengan besarnya dukungan da· lam masyarakat pemiIih. Sistem ini rnenggambarkan pembagian jumlah kursi berdasarkan suatu bilangan yang diperoleh dengan membagi jumlah seluruh suara yang masuk dengan jum· lah kursi yang tersedia. Sistem perwakilan berimbang ini diperkuat dengan sistem daftar yang menggambarkan adanya pengakuan terhadap stelsel or-
•
263
ganisasi yang ikut serta dalam kehi· d upan politik . Sistem ini dimaksud· kan juga untuk menjaga, keseimbangan antara jumlah kursi pada daerah pemi· lihan di pulau J awa berdasarkan jumlah rasio 400.000 : 1, dengan jumlah tersedianya kursi pada wilayah pemi· lihan di luar Jawa berdasarkan jumlah wilayall daerah tingkat II. Kombinasi ini dimaksudkan untuk menjaga ke· pentingan daerah di luar Jawa, yang dicerminkan dari batasan bahwa jum· lah anggota DPR yang dipilih dalam pemiludi Jawa ditentukan seimbang dengan jumlah anggota yang dipilih di luar Jawa.
Dalam sistem perwakilan berimbang ini , semua suara dari berbagai golongan dapat ditampung. Hal ini tentu dapat dengan mudall dipahami oleh masya· rakat banyak , bahwa suatu pemilihan umum semacam ini memberi arti pengikutsertaan mereka dalam kehidupan yang demokratis. Akan tetapi sistem ini sulit untuk diketahu i secara pasti dan tepat ten tang siapa·siapa yang sebenarnya representative untuk mengisi lembaga perwakilan rakyat terse· but. Salah satunya, yang utama , ka· rena para pemilih tidak dapat meng· ikuti secara jelas figur-figur yang me· rebut suara mereka , karena persaingan terjadi dalanl gam bar organisasi yang ikut dalam pemilihan. Di sam ping itu upaya menyederhanakan berbagai tingkah laku politik yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat , tidak men· dapat tempa t dalam sistem semacam • • In!.
Dalam ketentuan mengenai penca· lonan ditegaskan bahwa susunan DPR dan DPRD terdiri dari golongan politik dan karya. Organisasi politi!< dan
Juni 1986
264
karya yang dirnaksud adalah organisasi-organisasi yang mudah mempunyai perwakilan di DP!{ GR dan/atau DPRD GR. Mereka ini yang dapat ikut serta dalam pemilu. Pembatasan ini memberikan gambaran bahwa organisasi atau kekuatan poUtik yang -. tidak ada dalam perwakilan semasa DPR GR dan/atau DPRD GR tidak dapat ikut serta , misalnya partai politik Majlis Sjuro Muslirnin Indonesia (Masjumi) , Partai Sosialis Indonesia (PSI) kelompok (-penekanan) mahasiswa, dan sudah paling jelas bagi para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembatasan ini juga memperlihatkan keterbatasan daya tampung stmktur palitik yang ingin dibangun.
Dalam hubungan dengan PKI, secara jelas peraturan menyebutkan bahwa hak memilih dan dipilih bagi bekas anggotaG 30 S/PKI harus dibatalkan/ dicabut. Pembatasan/ pencabutan hak ikut serta ini didasarkan at as pendirian bahwa "hak demokrasi untuk menyatakan bahwa suatu organisasi yang mempergimakan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya dengan menghancurkan demokrasi , tidak mempunyai hak hidup dalam suatu negara demokrasi" .4 Oleh karen a itu diperlukan ketegasan untuk mencabut/ meniadakan kesempatan ikut serta dalam pembentukan pemerintahan dan mempunyai perwakilan dalam pemerintahan bagi bekas anggota G 30 S/ PKJ.5 Hal ini agak berbeda dengan
4pandangan ini bersifat umum; demokrasi diartikan perubahan pemerintahan secara damai dan berkala.
5Hal ini memperjelas pandangan peme.rintah dan masyarakat. seperti yang diper-
Hukum dan Pembangunan
para bekas anggota partai terlarang lainnya. Para bekas anggota partai
•
terlarang , Masjumi dan PSI, hanya tidak diizinkan untuk dipiUh , tetapi mempunyai hak untuk memilih.
Dalam penetapan jumlah anggota DPR yang sebanyak 460 orang, dilaksanakan atas dasar dipilih melalui
•
pemilu sebanyak 360 orang , dan atas dasar diangkat sebanyak 100 orang. Untuk menentukan besarnya wakil dalam tiap-tiap daerah pemilihan didasarkan pada ukuran daerah tingkat 1. Untuk itu dipakai dasar perhitungan tiap-tiap , sekurang-kurangnya, 400.000 penduduk melnperoleh seorang wakil dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pen'lilihan tingkat II terdapat dalam daerah tingkat I tersebut , mempunyai sekurang-kurangnya seorang wakil. Ada pun anggota atas dasar diangkat sebanyak 100 orang diberikan kepada ' ABRI dalam kedudukannya sebagai stabiUsator dan dinamisator . daTi maksud adanya Dwi Fungsi ABR1. Hal ini didasarkan pad a pandangan
•
bahwa ABRI merupakan "pengawal dan pengaman Pancasila dan UUD 1945" yang harus kompak dan mempakan satu kesatuan sehingga untuk memenuhi fungsi dan tujuan tersebut , ABRI tidak ikut serta dalam pemilu. Sementara itu seperti sudah sama diketahui ABRI sendiri merupakan kekuatan . . dalam masyarakar, yang dengan mana dirnungkinkan oleh UUD 1945 duduk dalam lembaga-Iembaga permusyawaratan/ perwakilan. Hal ini
lihatkan dalam persidangan. terutama SU MPRS 1966. SU MPRS 1967. SU MPRS 1968 dan SU MPR 1983 tentang kedudukan paham Marxisme-Leninisme dalam masyarakat Indonesia .
15 Tahun Pemilu
didapat melalui pengangkatan.6
Untuk memudahkan pemahaman tentang beberapa hal pokok di atas , perlu digambarkan perkembangan dan suasana yang mewarnai pem ben tukan atu ran yang menjadi dasar sistem pe· mi1u yang dipakai.
Dengan mendasarkan diri kepada ketetapan MPRS No. XJ/MPRS/1966 maka DPR GR segera mempersiapkan pembicaraan tentang RUU Pemilu dap. RUU lainnya (susunan MPR, DPR, dan DPRD; dan kepartaian , keormas· an dan kekaryaan). Pembicaraan tentang RUU Pemilu dengan segera menghangat, dimulai dengan adanya penolakan dari kekuatan-kekuatan sosial politik pendukung Orde Barn dengan alasan materi isi RUU tersebut merupakan produk dari perwakilan yang masih mengandung kekriatan Orde La; ma. 7 Di sam ping . itu RUU terse but. dianggapbertentangan dengan maksud dan tujuan yang telah dihasilkan oleh Seminar Angkatan Darat II, di mana sistem pemilihan yang diinginkan
6Masalah ini ramai dibicarakan pada muJanya, tetapi setelah ditempuh berbagai cara politik konstitusional dapat diselesai!tan. Untuk gambaran tentang suasana dalam konsensus nasional, lihat Nugroho Noto susanto dkk., Terjadin ya Konsensus Na· sional. (Jakarta : Balai Pustaka. 1985). Sangat disayangkan buku ini mengandung kelemahan dalam data dan banyak kesalahan teknis ·percetakan. Perlu pula diketahui bahwa pengisian lembaga perwakilan secara teoretis dapat dibenarkan dengan cara pengangkatan. Cara ini ditempuh dengan pertimbangan jaminan untuk mempertahankan struktur politik tertentu dan mungkin berhubungan dengan kontribusi suatu kelomPok /gOlongan terhadap bertahannya struktur politik.
7 A. Samsuddin dkk., Pemilihan Umum
1971. Sen Benta dan Pendapat (Jakarta: Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers. 1972), hUn. 33.
•
265
adalah berwujud sistem distrik. 8
Dalam perkembangan selanjutnya, Ketua Presidium Kabinet AMPERA mengadakan pembicaraan dengan segenap pimpinan partai. Dicapai kesepa· katan bahwa sistem pemilihan memakai perwakilan berimbang dan ada· nya kesepakatan untuk mengangkat militer dalam lembaga·Iembaga permu>'yawaratan/perwakilan. Dan terlihat RUU ini yang kemudian l11enjadi UU No. 15/1 969 mengandung beberapa keIel11ahan 9: (1) pengertian "stabHitas" untuk pembangunan , (2) harns adanya dukungan persetujuan golongan di Iuar golongan pendukung sendiri, (3) adanya "screen" oleh panitia pusat tentang sikap politik dan kecakapan , (4) adanya batasan wewenang dan fungsi 1embaga-Iel11bagC) permusyawa·
.. ratarit perwakilan , dan (5) terbatasnya organisasi p'Olitik , organisasi massa dan
•
kekaryaan yang dapat mengikuti pemi· lu.
Setelah UU Pemi1u disahkan oleh DPR GR, pemerintah segera menge-1uarkan peraturan pelaksana teknis untuk dapat melaksanakan pel11ilu tersebut. Pemerintah membentuk 7 buah instansi yang mempunyai hubungan kerja secara vertikal , yaitu : Lembaga Pemilihan Umum (LPU) , Panitia Pemilihan Indonesia (PPJ) tingkat pusat , PPI daerah tingkat I dan II , Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelom· pok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS). Di samping itu pemerintah
•
8lbid. , him. 34, 37, 45 dan 49; juga op . cit. , Nugroho, ...
9 Ali Murtopo, Strategi Politi/, Na.ional (Jakarta: Yayasan ProkJamasi-CSIS 1974), him. 56-57.
Juni 1986
•
266
juga mempersiapkan saran a dan fasHitas administratif bagi kelanearan pelaksanaan pemilu tersebut . Hal lain yang diatur adalah ditentukannya jenis-jenis pelanggaran dan sanksi-sanksinya. Peraturan yang dikeluarkan juga meneakup sanksi-sanksi bagi aparat pelaksana pemilihan_ Kesemuanya ini dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan pemilu berdasarkan jaminan hukum_
Di samping UU No . 15/1969 yang mengatur tata ' eara pemilihan ditambah dengan peraturan pemerintah dan peraturan lainnya , perhatian perlu pula ditujukan kepada UU No_ 16/1969. Undang-undang ini mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Susunan ini memberikan gambaran lebih jelas dari Pasal 1, Pasal 2 ayat (J) , Pasal 5 ayat (l) , Pasal 19 ayat (l) , dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Di samping itu juga dimaksudkan juga sebagai kelanjutan dari ketetapan MPRS No_ X/MPRS/1 966, XI/MPRS/1 966, XIX/ MPRS/1966, XXII/MPRS/1 966, dan XLII/MPRS/1966. IO Singkatnya , susunan mana dimaksudkan untuk menegakkan , mempertahankan, mengamankan dan mengamalkan Paneasila dan UUD 1945 sebagai yang diperjuangkan oleh Orde Baru.
Rumusan-rumusan dalam UU No. 16/1 969 berpokok pad a pengakuan adanya golongan politik dan karya seperti yang telah ada pada susunan DPR GR yang lalu. Di samping itu
-dimuat ketentuan tentang pengisian golongan-golongan atas dasar pengangkatan sebagai jaminan bagi kelangsungan pelaksanaan UUD 1945 dan
IOLihat hasil-hasil SU MPRS 1966_ Dokumentasi pada Sekretariat MPR/DPR RI.
Hukum dan Pembangunan
konsensus nasional Orde Baru. 11 Dalam hubungan dengan pengangkatan ini , terpola pada golongan ABRI, golongan karya ABRI , golongan karya daerah , dan utusan daerah. Pengangkatan ini dimaksudkan untuk meneegah perubahan Paneasila dan UUD 1945 , terutama dengan adanya kemungkirian dalam UUD 1945 ten tang perubahan UUD oleh MPR.
Berbagai peraturan di atas menggambarkan juga pandangan yang kuat dalam elit dan masyarakat ten tang arti dan kedudukan pemilu itu sendiri. Sudah jelas suasana dan lingkungan ketika itu berpengaruh dalam pelak· sanaan pemilu tersebut. Dengan perubahan di sana-sini peraturan pemilu selanjutnya juga menggambarkan ke majuan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat , terutama
•
dengan adanya keadaan tertentu dan berbagai masalah yang dihadapi.
Pemilu 1977 dalam pelaksanaannya diatur sesuai dengan UU No. 4/ 1975 tentang perubahan UU No. 15/ 1969 dan UU No. 5/ 1975 tentang perubahan UU No. 16/ 1969. Kedua UU ini mempertegas dan memperjelas tentang organisasi politik yang dibenarkan mengikuti pemilu. Sementara hal-hal yang berhubungan dengan asas dan sistem pemilihan, penealonan atas dasar dua partai dan satu golongan karya, dan penetapan jumlah anggota ti·
11 Konsensus Utama Or d e Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen. Rumusan ini diketengahkan dan dipegang sebagai gambaran harapan kehidupan yang dicita-citakan. Kelak di kemudian hari konsensus ini diperluas dan menimbulkan perdebatan antara para pemuka militer yang semula merumuskannya_
15 Tahun Pemilu
dak berbeda dengan materi isi UU No . 15/ 1969 dan UU No. 16/1 969. Di samping itu UU ini memasukkan UU No. 5/ 1974 tentang Pokok·pokok Pe· merintahan di Daerah , dan UU No. 6 / 1974 ten tang Pokok·pokok Kepega· waian. Hal ini disebabkan kedua UU tersebut berkaitan dengan adanya per· ubahan dalam susunan pemerintahan di daerah dan perlunya usaha untuk lebih menempatkan pegawai negeri sebagai abdi negara dan masyarakat guna menghindarkan mereka dari ke· terlibatan politik.12
Dalam pemilu 1977 terlihat partai· partai politik dan golongan karya telah terwujud dalam dua patai politik , yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Gol· kar). Hal ini sesuai dengan UU No. 3/ 1975 tentang partai politik dan go·
-longan karya. Melalui UU ini kekuat· an·kekuatan politik dengan segera mengetahui secara pasti tentang kedu· dukan, fungsi, hak dan kewajiban me· reka. Peraturan ini juga mengatur tentang asas dan tujuan organisasi politik bersangkutan. Perlu diketahui bahwa di sam ping Pancasila dan UUD 1945 , partai politik dan golongan karya dibenarkan juga memakai asas/ ciri yang telah ada pada saat UU tersebut diberlakukan .13
Suatu perkembangan lagi terjadi yaitu semakin tum buh kesadaran dalam masyarakat akan perlunya pemi· lu untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Di samping itu struktur politik yang diba-
. 12 Lihat penjelasan UU No. 5 /1975.
13Lihat penjelasan UU No. 3 /1975.
267
ngun selamaini juga semakin menun· jukkan kemantapannya , jika dilihat semakin menyempitnya ruang gerak organisasi politik dalam rumusan da· sarnya. Berbagai suasana menjelang pemilu 1977 dipengaruhi oleh pandangan tentang strategi pembangunan dan ketahanan nasional.
Dalam pada itu kehidupan politik Indonesia dalam masa 1978-1982 ikut pula mewarnai suasana pelaksana· an pemilu. Sejak pemerintah mengajukan usulan tentang aturan pemilu , dengan secara kekuatan-kekuatan politik di lem baga perwakilan (dalam hal ini PPP dan PDI berada dalam satu front, sedangkan Karya Pembangunan dan ABRI berada pada front lain dan lebih banyak mendukung usul peme· rintah) memberikan perhatiannya.l 4
Dengan tetap mendasarkan diri ke· pada asas , tujuan , dansistem pemilih· an yang sama dengan pemilihan sebelumnya, partai-partai polit ik memper·
•
soalkan beberapa hal. Yang utama adalah ten tang pengertian keterlibatan partai politik yang lebih dibanding· kan dengan masa sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan adanya ketetapan
MPR No. VII/MPR/ 1978 yang membe· rikan peluang hal demikian.15 Part aipartai politik mengajukan usul untuk ikut serta aktif dalam struktur pelak· sanaan yaitu Panitia Pemilihan Indo·
•
nesia dan lem baga struktur vertikal ke bawah selanjutnya, sedangkan pe· merintah menempatkan partai-partai
14 A.S. Djiwandono, "Pernilihan Urn urn dan Pendidikan Politik", Analisa, No.3 Ta· hun 1983, hlm. 202.
15Lihat ketetapan MPR No . VII /MPR / 1978 tentang pernilihan umurn, terutarna Pasal 6.
Juni1986
268
politik dalam Dewan Pertimbangan yang kedudukannya lebih sebagai penasihat. Selanjutnya berkembang masalah pengangkatan 25 anggota perwakilan sebagai hak Presiden sesuai dengan konsensus selama ini. Hal ini
•
dipertanyakan karen a ada kesan kuat hal itu merupakan penambahan untuk suatu golongan terientu , Golkar; sedangkan partai politik melihatnya tidak saja untuk satu golongan seperti yang terjadi selama ini.16
Dari pem bicaraan di sekitar ketentuan bagi pelaksanaan pemilu , partaipartai politik beranggapan bahwa peru bahan aturan pelaksana pemilu tidak bersifat mendasar, dan mateJi isi umum dan khusus tidak mendapat pembahasan yang mendalam. Beberapa hal yang juga menghangatkan pembicaraan ketika itu adalah ten tang pengertian ' "massa mengambang" , hari !ibur untuk penusukan dan adanya kemungkinan walk out dalam persidangan lembaga permusyawaratanjperwakilan. Kelihatannya kedudukan pihak pemerintah cukup kuat , semen tara partai-partai politik masih disibukkan dengan persoalan internnya. 17
•
Dengan sistem yang juga menggam-barkan asas, tujuan dan maksud seria tata cara pel11ilihan , aiuran-a turan yang mendasari pemilu di Indonesia masih terus perlu disempurnakan.
•
Keinginan untuk itu sebagian besar didorong oleh kesadaran dan pan dangan bahwa pemilu yang merupakan
•
16Harmaily Ibrahim, Proses dan Komentar Undang-undang Pemilihan Umum No. 21 198 0 (Jakarta: Sinar Bhakti, 1980), him. 54.
17Lihat uraian pada bagian selaniutnya.
Hukum dan Pe m bangunan
sarana demokrasi itu harus memberi kebaikan bagi hidup bersama. Mungkin sistem dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu tidak l11engalami perubahan mendasar , akan tetapi diperlukan modifikasi dalam pelaksanaan dan karenanya dapat diletakkan pada satu pandangan yaitu "mereka yang bergumul dalam rangka pemilu untuk menegakkan demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah orang-orang ·Indonesia".
Selanjutnya akan dikemukakan masalah-masalah menjelang pemilu berlangsung. Masalah-masalah ini berpengaruh kuat , terutama ketika kampanye , da~am pem bentukan pandangan masyarakat terhadap ke berhasilan pemerintah. Pem bentukan pandangan tadi semakin diperjelas oleh faktor
•
emosional dan situasional. Mungkin suatu masalah dengan dasar objektif masih belum berkembang, dan berbagai faktor dapat dikemukakan. Yang menonjol adalah masih adanya hu· bungan primordial dalam wujud patron-client dan patrimonial, ditambah
•
kepekatan struktur yang sulit mem-bantu ke arah objektifnya suatu pandangan.
Masalah-masalah Antara dan Menjelang PemiIu
Pemilu 1971 diwarnai oleh ke-•
inginan pihak pemerintah untuk me · nang gun a mencegah kemungkinan adanya perubahan ideologi. Dengan demikian pemilu 1971 dibatasi pada usaha pemerintah mewujudkan suatu kehidupan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal mana dirasakan perJu apalagi telah ditegaskan dalam ketetapan MPRS No. XX jMPRSj 1966
1.5 Tahun Pemilu
yang berbunyi "pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan terperinci mengandung suatu cit a-cit a luhur dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan suatu rangkaian, dan oleh karen a itu t idak dapat dirubah oleh siapa pun juga , tennasuk MPR hasil pemilu yang berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 berwenang menetapkan dan merubal1 UUD; karena merubah isi Pembukaan berarti pembubaran negara".18 Ru · musan manakemudian diperluas dan dipertegas dengan pendapat bahwa an tara "pembukaan UUD 1945 dengan batang tubuh dan isi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan".19
Beberapa catatan yang perlu diberi· kan adalah keluarnya peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1 969 , pem· bentukan Kokarmendagri sebagai ci · kal Korpri , masalah urutan tanda gambar , dan pembatasan partisipasi bekas anggota PKI.
Ada pun peraturan Mendagri tersebut dikeluarkan dengan maksud m e· murnikan Golkar di DPRD t ingkat I dan II. Usaha ini sudah tentu mendapat reaksi. Reaksi mana diwujud · kan dalam pengertian akan adanya ketidakstabilan palitik dan akan me · ngendurkan . semangat berpartisipasi' nya kelompok-kelompok tertentu da· lam masyarakat. Juga reaksi ini terwu· jud pada pandangan akan bahaya ada· nya tekanan ataupun paksaan bagi kepentingan penguasa yang diidentik·
, 18Lihat ketetapan MPRS No. XX/MPRS/
1966.
19Lihat penjeJasan konsideran dalam UU No . 15 /1969.
269
kan dengan pemerintah. Lebih lanjut lagi reaksi tadi dihu bungkan dengan persoalan bahwa landasan hukum peraturan menteri tersebut , yaitu UU No. 18/1965 merupakan produk Orde La· rna yang berbau N asakam. 20
Dalam pada itu Golkar yang men· dapat keuntungan dari peraturan ini, juga mengeluarkan pendapat bahwa kebijaksanaan terse but diperlukan bagi stabilitas politik yang sebagaimana diketahui merupakan prasyarat pemba· ngunan menuju cita -cita Or.de Baru. Namun pada akhirnya dua kekuatan besar partai politik Indonesia , Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nahdatul Ulama (NU) , dapat menerirna per· aturan menteri terse but dengan dicap ai pengertian bahwa peraturan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan Pancasila, dan dianggap merupakan suatu kewajaran bahwa peraturan tersebut adaJah urusan intern Golkar di samping adanya ke sepakatan yang me· netapkan bahwa jumlah wakil Golkar di DPRD I dan II sarna banyak dengan wakil ·wakil partai politik . Mungkin yang penting dan utama dari penyele·
•
saian ini adalah tekad pemerintah Or-de Baru melalui lembaga ·legislatif menegakkan hukum dan konstitusi
. .
serta menyehatkan demokrasi. Hal lain yang penting, juga berhu ·
bungan dengan pelaksanaan pemilu 1971, adalah berkembangnya dengan pesat Korps Karyawan Departemen Dalam Negeri (Kokarmendagri) yang didirikan 7 Desember 1966. Organisasi ini menghimpun seluruh pegawai negeri yang berada di dalam naungan Departemen Dalam Negeri. Sementara
20Sinar Harapan, 23 Januari 1970.
Juni 1986
•
. . -.
270
itu Departemen Dalam Negeri sendiri merupakan komponen terbesar yang berperan dalam melaksanakan pemilu.
Dalam kaitandengan pesatnya perkembangan Kokannendagri , timbul pertanyaan yang bermula dari sejumlah anggota DPRD Kotamadya (Kodya) Medan yang melihat adanya paksaan/tekanan dari beredarnya fo rmulir keanggotaan Kokarmendagri yang kemudian dihubungkan dengan peraturan pemerintah -No. 6/1970, yang berisi petunjuk agar pegawai negeri jangan melakukan kegiatan politik . Peraturan ini mendasari pegawai negeri di departemen-departemen maupun badan usaha pemerintah lainnya menuju ke arah monoloyalitas. Hal ini di· hubungkan dengan kewajiban memiliki loyalitas tunggal kepada pemerintah.
Reaksi-keras, terutama, datang dari - ,
partai poJitik yang mempunyai basis pendukung pegawainegeri yaitu PNI. Semen tara itu Menteri Dalam Negeri menegaskan bahwa monoloyalitas ini tidak saja pada pegawai di Departe· men Dalam Negeri, tetapi seluruh karyawan Departemen lainnya.21 Untuk masa kini dan seterusnya dapat dimengerti keperluan pemerintah akan sikap tersebut. KeperIuan mana d-apat berarti ganda, di satu pihak mencegah keterJibatan pegawai negeri dalam partai politik, yang dilihat oleh pemerintah sebagai sesuatu yang diharamkan; di lain pihak diperlukan untuk lebih
21pembicaraan tentang-monoloyalitas ini kemudian berkembang dan berwujud denllan berdirinya Korps Pegawai Republik Indonesia tanggai 29 November 1971. Oreanisasi ini, KORPRI, kemudian semakin mantap perkembangan dan pembinaannya sehubungan dengan keluarnya UU No. 8/1974 tentang pokok-pokok kepegawajan.
Hukum dan P emoon/Tunan
memastikan daya tahan dari struktur yang dibangun.
Di sam ping persoalan monoloyalitas bagi pegawai negeri , masalah penentuan nomor umt tanda gambar juga men· jadi masalah perdebatan. Pe rsoalan ini berakar pada adanya pendapat yang •
berkembang bahwa Golkar tidak perlu diundi, 'sebab Sekber Golkar adalah organisasi karya di luar kelompok politik. Pendapat ini ditentang oleh par· tai-partai politik , sehingga kemu dian diadakan pengundian. Pengundian ini menghasilkan urutan Partai Katolik nomor I , Partai Syarikat Islam Indonesia nomor 2, Partai Nahdatul Ulama nomor 3, Partai Muslimin Indonesia nomor 4, Sekretariat Bersama Golongan Karya nomor 5, Partai Kristen Indonesia nomor 6, Partai Murba nomOI' 7, Partai Nasional Indonesia nomor 8 , Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia nomor 9 , dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia nomOT 10. Dengan demikian pemilu 1971 diikuti oleh 9 partai politik dan 1 golongan karya.
Dalam pada itu untuk wilayah Irian Jaya diJakukan pelaksanaan yang berlainan dengan wilayah lainnya . Perbedaan ini terletak pada diperlukannya peraturan pelaksana yang khusus mengingat latar belakang geografis, luar wilayah, tingkat kesadaran dan pendidikan masyarakatnya.
Di luar hal-hal di atas, pelaksanaan pemilu 1971 juga menghadapi rna salah bekas anggota PKI. Mereka dibagi dalam tiga pengelompokkan. Pertama, rakyat pendukung PKI , kedua, simpatisan PKI, dan ketiga, calon anggota PKI. Kesulitannya terletak pada ketidaksesuaian antara catatan yang ada
15 Tahun Pemilu
pada Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), suatu aparat yang menangani dan menanggulangi akibat-akibat dari penyelesaian persoalan pemberontakan G 30 S/PKI , dengan yang diperkirakan masih ada lagi di luar itu_ Kopkamtib mencatat dalam hubungan ini, calon anggota/anggota gelap berjumlah setengah juta orang_ Akhirnya ditentukan mereka yang terlibat G 30 S/PKI dilarang memilih apalagi dipilih. Keputusan ini disalurkan pelaksanaannya pada saat penyaringan calon oleh aparat keamanan.
Suasana pemilu 1971 masih diwarnai oleh pengalaman di masa lalu , pemerintahan Sukarno , di mana tidak pernah diadakan pemilihan apa pun. Dj samping itu semua kekuatan politik masih berada pada tahap menata diri , dan mencoba dengan pemilu ini untuk mengetahui seberapa jauh dukungan masyarakat kepada mereka; apalagi masih kuat adanya "primordialisme" dalam · kehidupan politik ~· Indonesia .
Hal-hal di atas berbeda dengan suasana menjelang pemilu 1977 . Dalam pemilu 1977, kekuatan politik , partai politll<, sudah lebih jelas pemetaan diri mereka dalam kehidupan politik nasional ; di samping itu perkembangan dari pembangunan telah pula mempersoalkan strategi yang dijalankan selama ini. Dalam konteks lingkungan internasional, jatuhnya Vietnam d~an Laos ke tangan komunis mendorong suatu kesadaran yang melihat ancaman ini dalam skala yang lebih luas. Bebe· rapa masalah yang menonjol adalah masalah lam bang partai politik dan GOlkar , penyaringan calon anggota permusyawaratan/perwakilan , dan lain
271
sebagainya. Masalah pertama yang timbul dalam
menghadapi pemilu 1977 adalah memilih lambang partai dan golongan karya. PPP memilih gambar Ka 'bah sebagai lambang mereka yang secara jelas ingin mempertegas identitas par· tai tersebut mewakili aspirasi . umat Islam Indonesia. Partai Demokrasi Indo nesia (PDI) dipaksa merubah lambang dari penonjolan lam bang Pancasi· la ke pemakai perisai dengan kepala banteng dari PNI dahulu. Sementara Golkar tetap memakai lam bang yang sama dengan pemilu sebelumnya.
Pada mulanya pemerintah melalui Mendagri menolak pemakaian . lam bang Ka'bah bagi PPP. Hal ini kemu· dian menjadi perdebatan panjang hing· ga: menjadi pertemuan antara pimp in an PPP de ngan Presiden. Dalam pert emu· an tersebut beberapa tokoh PPP (dari kalangan NU) menyampaikan alasan pemiIihan terse but dan menghubung· kannya dengan keikutsertaan mereka dalam pemilu. Pada akhirnya PPP di · izinkan memakai lambang tersebut.22
Persoalan berikutnya adalah penyaringan calon yang akan dipilih. Dalam penyaringan ini beberapa tokoh Masjumi diperkenankan masuk dalam daftar calon PPP. Pada akhirnya dari jumlah yang diajukan terlihat 19% dari PDt 16% dari PPP dan 5% dari Golkar
-
22Lihat Delia r Noer, "Islam as a Political Force in Indonesia", J .J. F o x. et al. , Indones ia : Australian Perspective (Canberra: Australian National University. 19S0).~ Untuk suatu st udi yang menggambarkan pola pe' nawaran politik (political bargainning) dati penyusunan calon pada wilayah tertentu dapat dilihat Indra NUtlllatias. ABRI dan Pemilihan Umum 19 77 (Jakarta: Sktipsi pada FIS UI,19S1).
Juni 1986
282
an pada masalah hak asasi manusia dalam politik luar negerinya. Hal ini menimbulkan masalah pelepasan tao han an di pulau Buru sebagai salah satu upaya penyelesaian politik peristiwa G 30 SjPKI.
Kalau suasana kampanye pemilu 1977 menggambarkan pencampuradukkan dari berbagai kepentingan , teru tama setelah dilakukan evaluasi terhadap hasil -hasil pembangunan , ma· ka kampanye pemilu 1982 kern bali mempersoalkan hal·hal yang lebih berkaitan dengan ideologi. Perwujudan ideologi ini digambarkan lebih secara simbolik .
Kampanye pemilu 1982 berpola , pada pemakaian simbol-simbol yang
bersifat ideologis_ Hal ini berkem bang dalam pertarungan mendapatkan dukungan bagi program-program yang diajukan oleh masing-masing kontestan_ Dengan segera tema-tema ideologi dan religi tampil ke depan . "Islam agamaku, Ka'bah pilihanku"; "Ka'bah di Mekkah, Beringin di Indonesia", demi· kian juga dengan saling tuduh-menuduh Iea/ir dan murtad memperlihatkan gambaran tersebut. 63 Pertentangan terna religi ini difokuskan dalam kaitan dengan slogan yang menggambarkan masalah ekonomi Indonesia yang kini berkem bang. "Di atas Golkar, di bawah Ka'bah ; boss pilih Golkar , pekerja pilih PPP" dita~bah lagi dengan isyu "Kaya bertambah kaya , miskin bertambah miskin" merupakan gambaran kesenjangan ekonomi akibat pemba-
63FERR• 23- 29 April 1982; Van Dijk. "The General ... ", RIMA . VoL 16. No.2. 19B2; lihat juga Abdurrahman Wahid. "Agama dan Politik d alam Kampanye Pemilu 19 82". K ompa,. 10 Mei 1 9 82 .
Hukum dan Pembangunan
ngunan. Kalau tema·tema ideologi tadi menggambarkan pertarungan antara PPP dan Golkar , maka tern a PDI lebih dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat dengan mengingatkan kembali perjuangan Sukarno . " Hidup Bung Karno, Hidup PDI" yang kem udian dikembangkan dengan keterlibatan me · reka dehgan pemerintah Orde Baru dengan slogan " Dua pahlawan repu blik, Sukarno proklamator dan Soeharto mengisinya".
Dalam hubungan dengan kampanye, suasana dipanaskan dengan adanya isyu tentang kecenderungan untuk tidak memilih kontestan . Hal ini tidak saja pada pandangan yang dilancarkan
,
oleh beberapa tokoh kelompok Islam sebagai reaksi kekecewaan mereka dengan masalah asas tunggal , tetapi
•
juga dikeluarkan oleh pemerintah .64
Catatan yang perlu diketengahkan adalah adanya "peristiwa · Lapangan Banteng", Jakarta pad a tanggal 18 Maret 1982_ Peristiwa ini menimbulkan korban dan penangkapan-penangkapan. Dengan seketika saja terjadi ,saling tuduh-menuduh antara PPP dengan Golkar , dan untuk mengatasi hal ini dikeluarkan pernyataan bersama oleh ketiga kontestan dan meminta aparat keamanan menindak para perusuh dan menjamin keamanan para kontestan. Menurut pihak pemerintah,
64Tempo. 13 Maret 1982 ; Mendagri/ Ketua LPU mensinyalir adanya golongan putih (Golput) yaitu orang /golongan yang tidak menggunakan haknya untuk memilih. atau y ang menganjurkan dan "~llempengaruhi orang lain untuk tidak m enggunakan hak pilihnya. Ini menangg .. pi adanya isyu untuk tidak mernilih dari tokoh-tokoh Islam. Golput keterangan Amir Mahmud bersifat politis. berbeda dengan Golput 1971 yang bersifat gerakan moral.
,
282
an pada masalah hak asasi manusia dalam politik luar negerinya. Hal ini menimbulkan masalah pelepasan tao hanan di pulau Buru sebagai salah satu upaya penyelesaian politik peristiwa G 30 S/PKl. .
Kalau suasana kampanye pemilu 1977 menggambarkan pencampur· adukkan dari berbagai kepentingan , teru tama setelah dilakukan evaluasi terhadap hasil·h asil pembangunan , rna · ka kampanye pemilu 1982 kern bali mempersoalkan hal ·hal yang lebih ber· kaitan dengan ideologi . Perwuj udan ideologi ini digambarkan lebih secara si.mbolik.
Kampanye pemilu 1982 berpola . pada pemakaian sim bol-simbol yang
bersifat ideologis. Hal ini berkem· bang dalam pertarungan mendapatkan dukungan bagi program-program yang diajukan oleh masing·masing ko nte stan. Dengan segera tema·tema ideologi dan religi tampil ke depan. "Islam agamaku, Ka'bah pilihanku"; "Ka'bah di Mekkah, Beringin di Indonesia", demi· kian juga dengan saling tuduh-menu· duh kafir dan murtad memperlihatkan gambaran terse but. 63 Pertentangan tema religi ini difokuskan dalam kaitan dengan slogan yang menggambarkan masalah ekonomi Indonesia yang kini berkem bang. "Di atas Golkar , di ba· wah Ka 'bah; boss pilih Golkar , pekerja pilih PPP" ditall\bah lagi dengan isyu "Kaya bertambah kaya , miskin bertambah miskin" merupakan gambaran kesenjangan ekonomi akibat pemba·
63FERR • 23- 29 April 1982 ; Van Dijk, "The General ... ", RIMA . VoL 16, No.2, 1982; lihat juga Abdurrahman Wahid, " Agarna dan Politik dalam Kampanye Pernio lu 1982", Kam paB. 10 Mei 1982 ,
•
Hukum dan Pembangunan
ngunan. Kalau tema·tema ideologi tadi m barkan pertarungan antara PPP dan Golkar , maka tema PDI lebih dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat dengan mengingatkan kembali perjuangan Sukarno . "Hidup Bung Kamo, Hidup PDI" yang kemudian dikembangkan dengan keterliba tan me · reka dehgan pemerintah Orde Baru dengan slogan " Dua pahlawan repu blik, Sukamo proklamator dan Soeharto mengisinya".
Dalam hubungan dengan kampany e, suasana dipanaskan dengan adanya isyu tentang kecenderungan untuk tidak memilih kontestan. Hal ini tidak saja pada pandangan yang dilancarkan
• oleh beberapa tokoh kelompok Islam sebagai reaksi kekecewaan mereka dengan masaJah asas tunggaJ , tetapi
•
juga dikeluarkan oleh pemerintah. 64
Catatan yang perl u diketengahkan adalah adanya "peristiwa · Lapangan Banteng", Jakarta pada tanggal18 Maret 1982. Peristiwa ini menimbulkan korban dan penangkapan-penangkapan. Dengan seketika saja terjadi .saling tuduh-menuduh antara PPP dengan Golkar , dan untuk mengatasi hal ini dikeluarkan pernyataan bersama oleh ketiga kontestan dan meminta aparat keamanan menindak para perusuh dan menjamin keamanan para kontestan. Menurut pihak pemerintah,
•
64Tempo. 13 Maret 1982 ; Mendagri/ Ketua LPU mensinyalir adanya golongan putih (Golput) yaitu orang /golongan yang tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau y ang menganjurkan dan ''1:nernpengaruhi orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Ini menangg2.pi adanya isyu u ntuk tidak rnemilih dari tokoh-tokoh Islam. Golput keterangan Amir Mahmud bersifat politis. berbeda dengan Golput 1971 yang bersifat gerakan moral.
•
15 Tahun Pemilu
peristiwa ini dimaksudkan untuk menggoyahkan pemerintah dan mendiskritkan pemerintah , sehingga terjadi kondisi di mana rakyat benci pemerintah dan menimbulkan oposisi untuk melawan pemerintah dan selanjutnya meng-
•
gulingkan dan mengganti pemerin-
tah. 65
Dalam mengatasi hal ini , karen a persoalan di Jakarta dapat berakibat nasional , maka diadakan konsensus pada tanggal 8 April 1982 antara para kontestan dan aparat keamanan.66
Konsensus ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan kem balinya masalah semacam itu. Perlu diketahu i kerusuhan juga terjadi di beberapa kota yang mengakibatkan korban , apalagi dengan adanya pamplet gelap yang menimbulkan pra sangka salah antara para kontestan.6 7
Korban k embali berjatuhan papa waktu kampanye kendaraan keliling kota Jakarta yang dilakukan oleh Golkar pada tanggal 25 April 1982. Hal ini merupakan reaksi atas pawai yang diadakan sebelul11nya oleh PPP. Dari kedua kasus ini PDI kemudian l11engadakan pawai sederhana dan di bebe.rapa tempat dengan PPP, sehingga menm1bulkan kecenderungan adanya kefjasal11a antara partai politik menghadapi Golkar.68
65 Te mpo, 1 0 April 1982. 661 . k . 51 onsensu s 8 April 1 982 (1) pener-
t lban ke dal 1 h ' · . am 0 e m a5mg-ma5mg konte5-tan, (2 ) penertiban para juru kamp anve
d(3) dalam kampanye para konte5tan men-ga:
akan . pengamanan intern, (4) ke5epakatan , ~ntuk menertibkan pawa i kendaraan b ermo-
or, dan (5) tidak akan menyiarkan bentrok-an-bentr ka k I on antar ont estan ke pers sebe-Urn per50 alannya menjadi jelas.
67V D"k" 68 an 1J , General Elee , . . " , op. cit, Van Dijk, Ib id.
•
•
• •
• 283 •
•
Hasil-hasil Pemilu: Beberapa Catatan
Dengan berdasarkan sistem yang sama dari asas , tujuan dan pelaksanaan yang berlangsung, maka hasil-hasil pemilu sedikit banyak dapat diduga. Pemilu yang berlangsung dalam 15 tahun terakhir ini mewujudkan suatu perkembangan politik yang cenderung menggambarkan soal soa1 dasar dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Dukungan masyarakat t erhadap kontestan dalam pemilu sedikit ban yak diwarnai oleh faktor-faktor " kepasrahan dan keluguan". Kini dapat dilihat hasil-hasil pemilu tersebut.
Pada hari .Sabtu 3 Juli 1971 , anggota masyarakat yang berhak memilih datang ke kotak-kotak suara untuk mel11berikan dukungan pada salah satu kontestan . Pemilili yang menggunakan haknya mencapai 54.696.887 da ri 58.179.245 pemilih yang terdaftar atas sama dengan 94.02 %. Jumlah ini tidak tell nasuk daerah pemilihan Irian Jaya.
Hasil pemilu yang disahkan tanggal 7 Agustus 1971 dan diumumkan keesokan harinya memper liha tkan uru tan kemenangan sebagai berikut 69 : (1 ) Sekber Golkar dengan jumlah suara 34.348.673 (62.8%) daTi seluruh jumlah pemilili yang menghasilkan 227 kursi, (2) Partai NU dengan jumlah suara 10.213.650 (18.67%) daTi selurull jumlah pemilili yang menghasllkan 58 kursi ; (3) Part ai Muslimin Indonesia denganjumlah suara 4 .930.746 (7 .36%) daTi seluruh jumlah pemilili y ang meng-
69 Lembaga Pemilihan Umum, Daftar Pe mbaglan Kurs i Hasil Pe m iWJan Umum A l1 ggo ta De wan Perw akilan Raky at Tahul1 19 ~1 terpe.rinci un /uk m asin g·masing organisasl bagl hap dae rah p em l1ihan serta penye·
. barannya · untuk tiap daerah tingkat 1I (Ja karta, 1971),
JUlli 1986 •
•
284
hasilkan 24 kursi; (4) PNI dengan jumlah suara 3.793.266 (6.94%) dari seluruh jumlah suara yang menghasilkan 20 kursi; (5) PSII dengan suara
•
1.308.237 (2.39%) dari seluruhjumlah suara yang menghasilkan 10 kursi ; (6) Partai Kristen Indonesia dengan jumlah suara 745.359 (1.34%) dari seluruh jumlah pemilih yang mengha· silkan 7 kursi; (7) partai Katolik Indonesia dengan jumlah suara 606.747 (lJl %) dari seluruh jumlah pemilih yang menghasilkan 3 kursi; (8) Partai Islam Perti dengan jumlah 381.309 (0.7%) dari jumlah pemilih yang menghasilkan 2 kursi. Dua partai politik yang ikut pemilihan um1:lm ini, Partai Murba dan Partai IPKI,tidak dapat mengumpulkan suara sebanyak 400 .000 untuk 1 kursi sehingga tidak memiliki kursi sarna sekali. Walaupun demikian berdasarkan UU No. 16/ 1969, kedua organisasi tersebu t masih memiliki wakil masing-masing di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada mUlanya masih terdengar suara-suara yang tidak puas dengan pelaksanaan dan hasil pemilihan urn urn ini. Umumnya digambarkan telah teIjadi insiden berupa pemukulan, penganiayaan, sampai kepada berbagai ben-
. .
tuk manipulasi pemungutan!perhitung-an suara sehingga dirasakan perlu untuk mengajukan hal ini ke depan
•
pengadilan . Dalam menanggapi hal ini, . Presiden Soeharto menyatakan ·bahwa pelaksanaan Pemilu .. sah dan tidak dapat diganggu gugat lagi. Adapun pro tes partai politik yang sifatnya konstruktif agar disalurkan secara konstitusional. 70
- .- . - -
70Hman Kami, 14 Juli 1971; Ka mp as, 15 Juli 1971 .
•
Hukum dan Pembangunan •
Erat kaitannya dengan hasil pemi. lihan umum, maka pad a tanggal 13 Oktober 1971 ditetapkan nama-nama terpilihnya anggota DPR yang pelantikannya diadakan pada tan~ga! 28 Oktober 1971 oleh Ketua Mahkamah
•
Agung. Untuk selanjutnya diadakan pemilihan pimpinan DPR yang menghasilkan Ketua DPR dari partai Nahdatu! Ulama dibantu oleh 4 Wakil Ketua yang mewakili Fraksi Golkar, Fraksi ABRI, Fraksi ,Persatuan Pembangunan dan Fraksi Demokrasi Pembangunan. .
Dalam pada itu pada tanggal 1 Oktober 1972 dilantik anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berjumlah 920 orang. MPR di· bentuk dari ta DPR ditambah utusan daerah dan golongan-golongan. Dalam MPR, Golkar ldiwakili 392 anggota, ABRI 230 anggota, Persatuan Pem bangunan 126 anggota , Demokrasi Pembangunan 42 anggota, dan utusan daerah 130 anggota. Adapum pimpinan MPR terdiri dari pimpinan DPR dhambah seorang Wakil Ketua mewakili utusan daerah.
Sudah jelas hasil pemilu 1971 memberikan kekuatan yang besar bagi Golkar yang sekaligus juga adalah pemerintah. Hasil pemilu 1971 memberikan kesempatan yang luas bagi Golkar . melaksanakan program-programnya. Hal ini kemudian berpengarull pula dalam hasil pemilu 1977.
Di tingkat nasional, hasH pemilu 1971 dan 1977 adalah sarna. Perbedaan kelihatan kalau diadakan perbandingan atas dasar kecenderungan umum bahwa di mana kekalahan Golkar diimbangi oleh kemenangan PPP. Con· toh paling menarik adalah kemenangaJl
J 5 Tahun Pem ilu .
pppdi Jakarta . Kemenangan PPP di Jakarta disebabkan hal·hal adanyapan· dangan bahwa Jakarta adalah kota kalangan Islam, kejujuran sikap Ali Sadikin sebagai "wasit yang adil" , penduduk yang sinis terhadap pemerintah dan memilih PPP sebagai protes makin meningkatnya kesenjangan , dan sebagainya.71 Di samping Jakarta , rna· ka kekalahan Golkar terlihat juga di Aceh. " Wilayah in i terkenal dengan fanatisme agama Islam, di samping pengaruh kuat alim ulama yang tidak sepandangan dengan pihak pemerin· tah.72
Adapun partisipasi pemilih menea· pai 63.998 .344 dibanding terdaftar 70.662.1 55 (90 .57%). Hal ini agak menurun karen a dalam pemilu 197 1 meneapai 94.2% di luar wilayah Irian Jaya,73 . .
Dari hasil pell1ilu 1977, Golkar mendapat 232 kursi yang berarti kurang 4 kursi dibandingkan pemilu 1971. PPP mendapat 99 kursi yang berarti penall1bahan 5 kursi diban· dingkan pemilu 1971, sedangkan PDI mendapat 29 kursi yang berarti kehi · langan 1 kursi dari hasil pemilu sebe· lumnya . Dalall1 pada itu ABRI mendapat 75 kursi sesuai dengan ketentuan, sedangkan 25 kursi lagi ditall1bahkan ke dalall1 Golkar sehingga berjumlah 257 kursi.
Selanjutnya diadakan pelantikan anggota DPR 1977-1982 pada tanggal 1 Oktober 1977 . Dengan segera diadakan pemilihan pimpinan yang meng·
.'-----7 1 Liddle. op. cit.
72 Rusli K - "P'al " . b
anm . er] anan ...• op_ CIt., 1m. 184.
73 . Sam suddin . dkk .• op. c it.
285 . •
hasilkan seorang Ketua daTi Karya Pembangunan dibantu 4 wakil yang terdiri dati masing·masing fraksi dalam DPR. Perlu diketahui tidak lama ke· mudian , menjelang SU MPR 1978, diadakan perubahan pimpinan di mana Ketua dijabat dari fraksi ABRI sedang· kan yang lainnya tetap.74
Erat kaitannya dengan DPR adalah susunan MPR. Dalam MPR 133 mewa -
•
kili PPP , 39 mewakili PDI, 331 mewa' •
kili Golkar , 230 utusan golongan karya ABR!, 52 utusan golongan karya non·ABRI, dan 135 utusan daerah. Untuk ll1emberikan jaminan fraksi utusan daerah dalam MPR, maka pill1pinan MPR ditambah dengan yang mewakili maksud tersebut.
Kalau pada pemilu 197 1 Golkar ll1endapat jumlah suara yang besar. sell1entara partai·partai politik menjadi lebih ll1engetahui posisi mereka dalam masyarakatlndonesia; ll1aka dalam pell1ilu 1977, Golkar ll1endapat lin· bangan berat dari PPP. Hal ini berarti PPP ll1enjadi oposisi (dalam arti penglinbang). Dan ini sendiri teIjadi karena peru bahan dalall1 masyarakat terhadap beberapa keeenderungan, se· perti perlu adanya pengurangan kekua· saan di tangan pemerintah, terll1asuk Golkar. Suasana ll1enjelang pemilu dan masa kall1panye dalam pemilu 1982 tidak pula mell!bah kemenangan yang dieapai Golkar dalam pemilu 1971.
Seusai pemilu tanggal 4 Mei 1982,
74Ketua MPR jDPR dija bat oleh Adam Malik. seorang yang keterlibatan dalam duo nia politik sudah sejak zaman pendudu kan Jepang (sebagai wartawan). tah u n 1945 dan seterusnya. Ada m Malik kemudian di· angkat menjadi WakiJ Presiden Kabinet Pembangnnan III (1978--1983). Jabatan Ketu a MPRjDPR dipegang oleh Darjatmo .
• JUrli 1986
•
•
286
didapat hasil PPP 94 kursi, Golkar 246 kursi (kemudian ditambah 25 kursi sehingga seluruhnya 271 kursi), dan PDI 24 kursi. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu 1977, maka pee nambahan kursi Golkar didapat dari kekalahan PPP 3 kursi, dan PDI 5 kursi , serta 4 kursi dari wakil Timor Timur sehingga tambahan be~umlah 12 kursi. Dalam pada itu di Aceh dan Sumatra Barat , . PPP mengungguli Golkar dari sudut persentase, semen· tara di Jakarta PPP kehilangan lkur· si. 7S ~
Kekalahan partai·partai politik disebabkan perasaan emosional dalam kampanye , semakin asingnya partai dalam kehidupan masyarakat , dugaan adanya manipulasi dalam pemungutan, penghitungan dan pelaporan hasil pe· milu , dan keunggulan Golkar dari penguasaan jaringan pemerintahan. 76
Golkar sendiri me nang disebabkan kekompakkan relatif da lam eli t pernerintahan , membaiknya citra ABRI-Rakyat, adanya pemenuhan kebutuhan da· sar rakyat oleh pemerintah , dan kelemahan intern partai politik , teru tama, dalam hal kepernimpinan .77
Di samping susunan DPR di atas sebagai perwujudan kemenangan dalam pemilu , maka susunan MPR terdiri dari 123 mewakili PPP , 31 mewakili PD! , 343 mewakili Golkar, . 230 mewakili golongan karya ABRI , 52 utusan golongan karya non-ABRI, dan 140 utusan daerah. Menjabat sebagai
7STempo, 19 Juni 1982. -76 Rusli Karim, "P.erj"lanan . .. ", op. cit.
hlm.212-217.
77 Sigid P. K usumowidagdo, "Kemenangan Golkar dan Tantangan Masa Depan" Kompas, 18 Mei 1982.
•
Hukum dan Pembangunan • •
.
Ketua DPR dari fraksi ABRI dibantu oleh 4 wakil ketua dari masirig-masing fraksi , sedangkan di MPR, seperti bia. sa, ditambah 1 wakil ketua mewakili utusan daerah.
Lebih lanjut terlihat pembahasan dalam SU MPR .1983 sesuai dengan materi yang diajukan Presiden kepada pimpinan MPR/DPR. Materi tersebut diperkuat lagi dari pembahasan oleh Badan Pekerja MPR/DPR. Kelihatannya di samping pemberian gelar "Bapak Pembangunan" · kepada lenderal Soeharto, juga ketetapan tentang asas tunggal bagi partai politik dan golongan karya serta reforendum bagi kedudukan d,an peran militer dalam ketetapan MPR menjadi topik yang hangat dibicarakan dan akan mewarnai sistem dan struktur politik Indonesia di masa mendatang, .
• •
PENUTUP
Dari rangkaian uraian sebelumnya, terlihat naik-turunnya demokrasi dalam kehidupan politik Indonesia, Pemilu dengan sis tern yang sarna, masalah yang dihadapi pemerintah dan masyarakat , kampanye dalam pemilihan dan hasil-hasil yang dicapai sudah tentu menggambarkan salah satu bagian saja dari hidup bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian dad pemahaman akan demokrasi , dan yang penting pelaksanaannya, semakin tumbuh kesadaran dalam masyarakat keperluan mereka akan pemilu. Sedikit banyak tumbuhnya keceriderungan semacam ini mendukung pemahaman utama dalam hidup berbangsa dan bernegara,
Perjuangan untuk mencapai masyarakat
•
terus-menerus adil dan mak-
•
•
•
J6 Tahun Pemilu
r menuntut kesadaran dan keterlimu ,
b tan masyarakat dalam kehldupan a b . oJitik. Politik jangan diartikan se agru
P 'd'l' esuatu yang diharamkan, tetap1 1 1-~at sebagai konsekuen~i dari hidup bersama untuk mengatur kekuasaan dan mencip takan masyarakat yang sesuai dengan konstitusi.
Kalau diperhatikan pada persentase hasil pemilu selama masa pengamatan, kelihatan Golkar cukup mendominasi suara dalam lembaga perwakilan; akan tetapi jika diperhatikan secarakeseluruhan maka terlihat berbagai penlla-
. salahan yang sedikit bany'ak menumbuhkan kesadaran bahwa forum perwakilan perlu terus-menerus mengkaji permasalahan dalam masyarakat. Sudah pada tempatnya, lembaga permusyawaratan!perwakilan yang dimaksudkan oleh UUD 1945 adalah lembaga yang dapat menampung dan merumuskan keinginan masyarakat dengan tetap mempertahankan kesatuan dan persatuan serta identitas nasional Indo-
• neS1a. •
Epilog
Perj alanan sejarah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan, ' dan terutama selama ... pemerintahan sejak 1966, menumbuhkan kesadaran tnasyarakat akan perlunya berantisipasi dalam program-program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Mungkin sangat sedikit yang membicarakan hal ini dalam konteks partisipasi atau mobilisasi, yang pasti pemerintah dilihat sebagai motor utama dalam pembangunan sejak tahun 1968.
Kedudukan dan peran pemerintah sebagai motor utama pembangunan, membawa risiko pada tumbuhnya ke-
. 287
sinisan pandangan dan ketidaksukaan dalam pendapat yang beredar dalam masyarakat_ Mungkin hal ini tidak menonjol selama pemerintah masih mampu melaksanakan pembangunan dengan hasil ekspor minyak dan gas bumi, akan tetapi dengan merosotnya pendapatan nasional dari sektor ini, maka masyarakat akan semakin gencar mempersoalkan segala kegiatan peme· rintah , kredibilitas pemerintah diperta· nyakan dan mungkin terancam.
Di samping kesuIitan akan dana untuk pembangunan nasional yang kurang dikelola dengan baik selama ini. maka pembebanan biaya pembangunan melalui pajak dapat membuka kesempatan pada lapisan tertentu dalam masyarakat untuk mempertanyakan peran dan kedudukan mereka. Apalagi jika pembebanan pajak ini dilihat ti dilk adil dan aparatnya tidak cakap pula dalam pengelolaannya.
Satu hal yang penting pula diperhatikan yaitu makin banyak para pemimpin militer di awal . Orde Baru yang kini telah menjadi orang ba · nyak dalam masyarakat. Sudah tentu mereka mempunyai persepsi dan pandangan , yang diben tuk selama ini, dalam . menilai pembangunan y ang . telah dilaksanakan oleh pemeri ntah . Adanya kecendeningan untuk berbeda pendapat dengan pemerintah tidak berarti mereka ingin menggantikan pemerintahan yang sah secara inskontotusional , akan tetapi perbedaan ini perlu pula dipelajari untuk menjadi bekal bagi semua pihak yang terlibat dalam pembangunan nasional Indone-
• Sla.
Demikian juga dengan keberhasilan pemerintah di bidang pangan, tidak
Juni 1986
•
- , -
•
288 Hukum dan Pembangunan
berarti telah selesai pengembangan usaha terse but. Malahan berbagai bahaya dapat muncul se-andainya para perumus kebijaksanaan , dan terutama
. para pelaksana , masih diliputi prasangka salah terhadap masyarakat lapisan bawah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Dokumen:
Kumpulan Ketetapan MPRS Tahun 1966, 1967 dan 1968. Ke tetapan-ke tetapan MPR Tahun 1973. Ke tetapan-ketetapan MPRTahun 1978. Ketetapan-ketetapan MPR Tahun 1983. Undang-undang No. 18/1965. Undang-undang No. 15/1969 dan N o. 16/1969. Undang-undang N o. 5/1974 dan No. 8/1974. Undang-un dong No. 3 /1973,No. 4/1975 dan No. 5/1975. Peraturan PWlerin tah No. 6/1970. Tata Tertib DPR RI 1978- 1983 . .
-
•
,
Lembaga Pemilihan Umum, Daftar Pembagian K ursi Hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakil-an R akyat Tahun 1971 terperinci untuk masing-masing organisasi bagi liap dlierah pemilihan serta penjabarannya untuk tiap daerah tingkat II.
Kelompok Kerja Petisi 50/Pernyataan Keprihatinan . Meluruskan Perjalanan Orde Saru: Pertanggung Jaw{[ban Petisi 50 kepada Rakyat Indonesia. .
Buku-buku:
Crouch, H., The Army and Politics in Indonesia (Ithaca, New York: Cornell University Press , 1978).
-Fox , J .J. , et al., Indonesia: Australian PerspectiJ.'e (Canberra: Australian National Univer-
sity, 1980). . Ibrahim , H. , Proses don Komentar Undong-undang Pemilu No. 2/1980 (Jakar ta : Sinar
Bhakti, 1980). Ka.rim , R. , Perjalanan Panai Politik di Indonesia : suatu potret pasang-surut (Jakarta: CV.
Rajawali , 1983). May, B. , The Indon esian Tragedy (London: Londers, 1978). Murtopo,A., Strategi Politik Nasional (Jakarta: Yayasan Proklamasi- CSIS, 1974) . . Nishihara, M., GolkaT and the Indonesian Elections of 19-71. Modern Indonesia Project.
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1972). Noer , D., Bunga Rampai dari Negeri Kanguru (Jakarta: Penerbit Panji Masyarakat, 1981). - - - - ., Ideologi, Politik dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983). - - - -., Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan , 1983). - - - -', Administration of Islam in Indonesia. Monograph Sereis. Modern Indonesia Pro-
ject. (Ithaca, New York : Cornell University Press, 1980). Notosusanto, N. , dkk. , Terjadinya Konsensus Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 1985). . Dey Hong Lee (ed.), Indonesia After the 19 71 Election . Hull University Publication, 1974 Rasjidi , H.M., Sekali Lagi Umat Is/am Indonesia di Persimpngan Jalan (Jakarta: PT. Sinar
Hudaya, tanpa tahun terbit). . Samsuddin, A., dkk. , Pemilihan Umum 1971: Seri Berita dan Pendapat. (Jakarta: Lembaga
Pendidikan dan Konsultasi Pers, 1972). Saidi, R., Palitik Pembangunan dan Pembangunan Politik (Jakarta: Penerbit Nurul Islam,
1983).
15 Tahun Pemilu 289
.
Ward, K. , TIle 1971 Election in Indonesill: an East Java Case Study. Modem Indonesia Pro-ject. (Ithaca , N·ew York: Cornell Vniversity Press , 1973).
Zuhri , S., Kaleidoskop 1 dan 11 (Bandung: Alma Arif, 1983).
Skripsi:
Asjik, H., Pemilihan Umum 19 71 di Daerah Istimewa Aceh (J akarta: Skripsi pada FIS V I , 1972)
Julianto, P.A., Kekuatan-kekuatan Politik di Sekitar Pemilu 19 71 (Jakarta : Skripsi pada FIS VI , 1976) .
Kushara, A., Golkar dan Pemilihan Umum 1977: studi kasus di Kelurahan Manggarai , Keca matan Tebet, Jakarta Selatan (Jakarta : Skripsi pada FIS VI, 1979) .
Napitupulu, S , Pembentukan Partai Demokrasi Indonesill: proses fusi lima partai poJitik . 1973- 1976 (Jakarta : Skripsi pada FIS VI , 1981).
Nurmatias, I., ABRI dan Pemilihan Umum 19 77 (Jakarta: Skripsi pada FIS V I , 1981 ). Pribadi, T., PPP dan Massa Pelldukungnya dalam Pemilihan Umum 1977 di Jakarta : studi
analisi~ tentang tingkah laku pemilih . (Ja kar ta : Skripsi pada FJS VI , 1980). Singgih , S. , Partai Muslimillindon esill : Berdiri dan Perkembangannya Hingga 1970 (Jakarta:
Skripsi pada FIS VI , 1971). Soedirdjo, C.H., Perkembangan Partai Demokrasi Illdonesill Periode 1976- 1981 (Jakarta :
Skripsi pada FIS VI, 1971). Sudarman , Sri S.S., Politik Pembinaan Kekualan ABR1: studi kasus di OPR RI. 19 71 - 19 77.
(Jakarta :.Skripsi dan FJS VI , 1981). Yusuf, J .R., Partai Persatuall Pemballgunan : suatu tinjauan konflik daJam parta i. (Jakarta :
Skripsi dan FIS VJ , 1984) .
Majalah :
Analisa, No.3, 1983. Asia Yearbook 19 78. Asian Survey, Vol. XV III , No.2 dan No . 6 ; Vol. VIII No. 12 . Far Eastern Economic Review, April 1982 . Indonesia , April 19 71. Prisma, No. 12 Desember 1981.
.
•
Review of Indonesilln and Malayan Affairs, Vol. 12 , No. I ; VoI.13 , No. I dan 2; VoI. 14 , .. No. I dan 2; Vol. 16 , No. 2.
Southeast Asian Affairs 19 78. Tempo, Maret, April dan Juni 1982.
Surat kabar:
Kami, 14 Juni 1971. Kompas , 15 Juli 1971, dan 18 Mei 1982. Sinar Harapan, Juni 1970.
• •
..
,,--
•
- '
•
-
•
Juni 1986