pemilihan nilai r

Upload: ockto-ferry-harahap-etsf

Post on 06-Jan-2016

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ZXC

TRANSCRIPT

pemilihan nilai R (faktor reduksigempa)Ditulis pada 26 Juni 20141 Votes

Ini ada PR yang ditanyakan Damar, sbb:

Submitted on2014/06/23 at 15:26Selamat sore pak wir,

Perkenalkan pak, nama saya Damar. Pertama-tama saya ingin bertanya mengenai pemilihan nilai R (faktor reduksi gempa) untuk steel structure gantry di substation.

Setelah saya baca code ASCE 7-10, nampaknya struktur ini termasuk untuk bangunan non-building structure, di bagian ini juga ada pemilihan nilai R untuk kategori seismic Coefficient for Nonbuilding Structure not similar to Building. Ada nilai R untuk tipe struktur trussed tower (free-standing or guyed) dan telecommunication towers.

Nah, apakah nilai R di struktur ini bisa dipakai untuk tipe struktur seperti gantry pada substation? secara general bentuk substation berupa tower rangka baja dan antara towernya dihubungkan dengan beam rangka baja juga sedangkan telecommunication tower atau transmission tower hanya towernya saja, tanpa ada beam.

Pertanyaan yang kedua, dalam mendesain bangunan gedung, ada efek ortogonalitas dalam mendesain beban gempa. bagaimana dengan desain bangunan gantry ini? apakah ada efek ortoghonalitas tersebut?sejauh saya membaca peraturan (ASCE 7-10), saya belum menemukan jawabannya pak.

Pertanyaan yang ke 3, dalam mendesain bangunan gedung, konsep yang saya ketahui, bila kita menginginkan analisis statik, gaya gempa akan dikenakan di pusat massa tiap lantai dari bangunan tersebut. Lalu, bagaimana untuk struktur gantry ini? apakah harus di kenakan di setiap joint dari rangka tersebut atau bisa di asumsikan diletakkan (kira-kira) di titik berat dari struktur gantry tersebut?

Kemudian pertanyaan yang ke 4 mengenai beban angin. Pembebanan angin di struktur tower transmisi atau gantry yang dikenakan pada struktur ada dibagian front face dan rear face (koefisien angin untuk bagian front dan rear disebutkan dalam Pedoman Perencanaan dan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung). Tapi saya cari di code ASCE 7-10, ketentuan untuk koefisien ini tidak saya temukan. Saya pernah dapat cerita dari konsultan yang ada di Singapopre, bahwa koefisien angin ini bisa dikenakan 1 untuk bagian front dan 0,5 untuk bagian rear ATAU dikenakan koefisien sebesar 1,5 untuk bagian front saja. Apakah hal ini dapat dibenarkan?

Code yang saya jadikan acuan sampai saat ini baru ini saja pak :- SNI Gempa 2002 dan 2012- ASCE 7-10- ASCE 7-02 Guide to the used of the wind load provisions- ASCE 10-97 Design of Lattice Transmission Structures

Mohon pencerahannya Pak Wir untuk masalah saya di atas. Saya dengan senang hati bila ada ada referensi terkait masalah di atas Pak.

Thanks and Warm Regards,Damar

Panjang sekali pertanyaannya, tapi menarik juga karena ternyata pak Damar sudah membaca dengan baik buku-buku pendukungnya. Terus terang, sudah lama saya tidak membaca buku ASCE tentang gempa, maklum yang dibaca umumnya kalau ada yang mengajak diskusi, seperti sekarang ini, atau kalau ada makalah dengan permintaan yang tertentu, seperti besok Jumat tanggal 4 Juli 2014, tetapi itu tentang DAM (AISC 2010). Padahal masalah gempa di Indonesia khan kelihatannya lebih mempunyai nilai jual daripada perencanaan baru struktur baja. Betul khan.

Oleh karena kebetulan ada pertanyaan yang dapat memicu diskusi tentang hal itu, maka mari kita bersama-sama membahasnyanya. Untuk itu tentu saja saya akan menyampaikan pendapatnya lebih dahulu, dan agar pendapat itu dapat menjadi ilmu pengetahuan yang baik, tentu perlu ada yang mengevaluasi. O ya, dalam menyampaikan pendapat yang dimaksud, jangan heran jika formatnya terkesan tidak formal. Maklum, ini diskusinya santai saja ya, cerita tentang prinsip-prinsip yang tentunya karena sudah mengendap (di benak) lebih gampang diungkapkan, tidak seperti studi literatur, harus buka buku sana-sini, sekaligus harus ditampilkan daftar rujukannya.

Baik, mulai saja pembahasannya tentang perencanaan tahan gempa ini. Untuk itu, sebelum dapat dijelaskan berapa nilai R (faktor reduksi gempa) yang benar, maka tentunya kita harus tahu apa maksud dari adanya nilai R tersebut.

Seperti kita ketahui bersama, dalam perencanaan struktur terhadap gempa, selain faktor kekuatan (strength) atau kekakuan (stiffness) maka faktor daktilitas (ductility) dari suatu struktur adalah sangat penting. Bahkan yang terakhir itu selalu digembar-gemborkan, diutamakan karena dapat digunakan sebagai solusi untuk mengantisipasi gempa yang tak terduga besarnya. Karena besarnya gempa tidak ada kepastian, maka jika dipaksa direncanakan dengan gaya gempa yang besar, tentunya akan berdampak pada biaya yang membengkak. Jadi untuk menghindari keluarnya biaya yang pasti padahal bebannya saja tidak pasti, maka satu-satunya cara adalah kompromi, yaitu struktur daktail karena biayanya relatif masih ekononomis tetapi ada harapan untukmengatisipasi ketidak pastian akibat beban yang besar.

Untuk struktur yang memenuhi kriteria di atas, yaitu struktur daktail, maka ketika gempa besar terjadi, yang lebih besar dari beban rencana, dan ketika terjadi overstress (dengan cara yielding) akan terjadilah dissipasi energi. Itu berarti gaya gempa yang berlebihan dapat diantisipasi. Kalaupun ternyata gempanya besar sekali sehingga struktur tidak kuat lagi, maka adanya perilaku daktail, yaitu terjadinya deformasi yang besar sebelum runtuh, akan tersedianya waktu yang cukup agar penghuni dapat menyelamatkan diri. Itu berarti jurus akhir ambil langkah seribu, masih diperlukan. :D

Sampai disini tentu para insinyur atau mahasiswa teknik sipil akan paham apa yang saya maksud. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, hanya mengandalkan ilmu analisa struktur yang dipelajari di level S1, yaitu metode Cross, atau metode slope deflection, termasuk juga metode matrik kekakuan dengan komputer, maka itu semua hanya dapat menjelaskan apa itu strength atau stiffness dari suatu struktur. Maklum semuanya masih metode elastis-linier. Adapun ductility, jelas-jelas tidak pernah dapat disinggung dengan ilmu tersebut. Kesannya profokasi ya, tapi benar, coba pikirkan betul, pada sesi apa penjelasan ductility itu terungkap di level S1, >

Kalaupun ada yang ngotot, bahwa ductility atau daktilitastelah dijelaskan ketika kuliah dulu maka mestinya itu adalahdimata kuliah struktur beton, yang perencanaannya selalu menekankan agar perilaku penampangnya daktail sehingga perlu pembatasan jumlah tulangan tarik. Itu dimaksud agar keruntuhannya bersifat under-reinforced, yaitu tulangan beton yang mengalami leleh terlebih dahulu dibanding betonnya.

Bagaimana . . . . . . . . . . . masih Ingat.

Yup, baguslah jika masih ingat. Fenomena keruntuhan yang dijelaskan pada waktu perkuliahan struktur beton itu adalah suatu bentuk daktilitas lokal, setempat pada penampang. Bagaimanapun juga, kondisi itu memang diperlukan agar struktur secara keseluruhan nantinya juga bersifat daktail. Itu mengapa, ketika membicarakan hal itu maka bentuk struktur secara keseluruhan tidak perlu dibahas.

Istilah penampang under-reinforced cocoknya untuk penampang balok beton bertulang, yang kekuatannya ditentukan oleh kuat momen lentur penampang, oleh karena itu keruntuhan yang dimaksud adalah terjadinya leleh pada bagian tulangan baja tarik. Adapun struktur balok baja, hal itu akan terjadi pada penampang kompak. Ketika beban lebih besar dari My maka mulai bekerjalah fenomena inelastis sampai maksimum sebesarkuat lentur nominal pada kondisipenampang plastis (Mp). Jika momen sebesar itu terjadi maka dapat terbentuk sendi plastis. Besara Mp yang terbentuk pada penampang kompak adalah kapasitas momen ultimate (maksimum) penampang balok baja.He, he, sabar. Apa yang saya uraikan ini masih dalam rangka menjawab apa itu faktor R tadi. Ini nggak nglantur lho.

Jadi kalau hanya belajar berdasarkan materi S1 (analisa struktur elastis-linier dan struktur beton / struktur baja) maka pembahasan daktilitas masih terbatas pada kondisi lokal (penampang). Padahal yang diharapkan pada perencanaan gempa adalah daktilitas lokal (penampang) dan juga daktilitas global (struktur keseluruhan).

Pak Wir, bagaimana dengan ilmu analisa struktur dinamik, yang biasanya dijadikan prasyarat pada waktu mengambil mata kuliah perencanaan tahan gempa ?

Tergantung, tetapi umumnya yang diajarkan pada analisa struktur dinamik itu juga masih dalam kriteria elastik-linier. Jadi dengan demikian, meskipun sudah mendapat mata kuliah struktur dinamik tetapi kondisinya masih elastik-linier maka jelas soal daktilitas tidak akan diulas secara komprehensif.

Pak Wir, yang di mata kuliah struktur baja III, yang bapak ajarkan di Jurusan Teknik Sipil UPH , apakah ada mata topik yang membahas tentang daktilitas globa tersebut ?

Daktilitas global saya ajarkan melalui mata kuliah analisa struktur cara plastik yang diberikan terbatas pada balok menerus. Memang tidak terlalu canggih sih, tetapi sekedar memberi gambaran mengapa sampai ada strategi redistribusi momen, yaitu mengalihkan momen negatif ke momen lapangan, tanpa suatu analisis yang khusus. Kesannya itu seperti engineering judgement. Itulah alasannya, mengapa meskipun mahasiswaku di Jurusan Teknik Sipil UPH telah mendapat beberapa mata kuliah analisa struktur, tetapi karena yang didapat masih dalam kategori elastis-linier, maka mata kuliah cara plastik aku sisipkan juga dalam mempelajari struktur baja.

Pemahaman tentang daktilitas global, selain dengan analisa struktur dengan cara plastis, untuk kasus sederhana, maka jika ingin diaplikasikan pada struktur yang rumit maka perlu mempelajari lagi analisa struktur statik pushover. Untuk melakukannya tentu memerlukan program komputer khusus, salah satunya SAP2000 atau yang sejenis. Yakin deh, materi tersebut tentu tidak diajarkan secara resmi di level S1, kecuali digunakan sebagai materi tugas akhir. Tentang strategi nonlinier dengan teknik pushover telah dijadikan topik dari beberapa mahasiswa bimbinganku, baik yang di level S1 atau S2.

Satu-satunya pintu masuk bagi sarjana di level S1 untuk memahami konsep struktur daktail adalah melalui pelajaran analisa struktur cara plastik, suatu metode paling sederhana yang dapat digunakan untuk mengungkapkan perilaku daktail struktur secara global (menyeluruh). Itu terjadi tentunya jika pada tingkat penampang juga berperilaku daktail (misal terjadinya momen plastis Mp pada penampang profil baja kompak).

Jadi bagi yang merasa sudah menjadi ahli gempa, tetapi tidak memahami analisa struktur cara plastik atau juga analisa statik pushover, maka keahliannya tentu hanya didasarkan pada kerajinannya membaca design code. :D

Itulah mengapa kalau anda tidak memahami analisa struktur cara plastis tentu akan kesulitan untuk menjelaskan bagaimana perilaku struktur yang daktail.

Pemahaman tentang perencanaan bangunan tahan gempa yang didasarkan design code adalah bisa seperti ini :

merencanakan penampang balok bersifat under-reinforced (beton bertulang) atau penampang kompak (struktur baja), keduanya harus diproporsikan sehingga memenuhi syarat Mu < phi Mn. Sisi kiri adalah beban batas perlu hasil kombinasi gaya-gaya beban dengan memasukkan faktor beban yang sesuai.hal yang sama juga perlu dikerjakan untuk kolom. Hanya saja faktor tekuk dan efek P-delta perlu dimasukkkan dalam desainnya.Dua langkah di depan tersebut pada dasarnya adalah prinsip perencanaan struktur secara umum. Kekhususan untuk bangunan tahan gempa adalah ketika menentukan besarnya beban akibat gempa. Besarnya beban gempa (lateral) yang harus diterapkan pada bangunan tersebut dapat disederhanakan sebagai V (gaya gempa dasar), yang merupakan fungsi dari berat struktur dan beban-beban rencana yang dipikulnya, Wt. Fungsi yang dimaksud ditentukan oleh faktor Cs atau koefisien respon gempa. yang dapat dirumuskan sebagai : V = Cs. Wt. Nah di dalam faktor Cs tersebut terdapat parameter koefisienR atau faktor modifikasi respon, I (importan factor) dan Sds atau spectral rencana.Cs ditentukan oleh kondisi tanah dan wilayah tempat bangunan itu dibangun (nanti), yang merupakan faktor geografi tempat struktur dibangun, adapun Iditentukan oleh fungsi atau kegunaan bangunan yang merupakan refleksi terhadap kepentingan pemakai (relatif), sedangkan faktorR adalah sangat ditentukan oleh jenis struktur dan juga detailing dari elemen-elemen batang dan sambungan penyusunnya.

Nah di sini mulai terbuka rahasianya, jadi sebenarnya faktor R digunakan untuk merepresentasikan pengaruhadanyadaktilitas ketika terjadi gempa. Meskipun demikian dari sisi praktis, faktor R bukan seperti itu maksudnya, tetapi sebagai faktor reduksi gaya gempa, jadi lebih ditekankan pada kaca mata penghematan biaya. Maklum rumusannya adalah sebegai berikut Cs = Sds * I/R. Jadi terlihat sekali nilai R akan secara langsung berpengaruh pada besarnya beban gempa, dimana V = Cs * Wt.

Semakin besar V maka tentunya gaya gempa akan semakin besar, meskipun tentu itu tergantung dari bagaimana mendistribusikan beban V tersebut ke struktur. Tapi jelas jika pola distribusinya sama, maka tentu semakin besar V, semakin besar gaya, dan semakin besar gaya akan berkorelasi langsung pada biaya yang harus dikeluakan, karena itu akan berdampak pada penampang elemen struktur dan tulangannya yang harus disediakan, juga lainnya, seperti pondasi dan sebagainya.

Secara umum orang berkepentingan terhadap R karena dapat dilakukan penghematan dan bukan pada daktilitas yang dihasilkannya. Maklum jika R semakin besar nilainya maka gaya gempa dasar rencana menjadi lebih kecil. Kecil, karena dianggap sistem strukturnya lebih daktail . Perilaku daktail inilah yang dianggap akan menimbulkan reduksi kekakuan bangunan sekaligus terjadinya enerji dissipasi gaya gempa. Tetapi untuk memastikan bahwa bangunannya daktail maka setiap pilihanR akan menentukan juga detailing yang harus diaplikasikan pada strukturnya. Jadi tiap pilihan pada dasarnya ada konsekuensi logis yang harus dipenuhi.

Selain detailling, perlu dipastikan juga kekuatan penampang balok dan kolomnya, yaitu untuk memastikan konsep strong-column & weak-beam akan terjadi. Itulah mengapa konsep capacity design harus diterapkan.

Apakah dengan demikian jika hal-hal di atas sudah terpenuhi, lalu dapat dipastikan bahwa bangunannya tahan gempa. >

Nah menjawabnya harus hati-hati, jangan terjebak untuk sekedar menjawab pasti dong. Maklum fenomena strong-column & weak beam hanya cocok untuk struktur tertentu, yaitu portal daktail. Jika strukturnya bukan itu, maka bisa dijawab belum tentu. Nah gimana itu ?

Jadi dalam menentukan R maka perilaku keruntuhan struktur yang akan menerapkan nilai tersebut harus diketahui, maklum daktail tidaknya struktur sangat terkait dengan sifat keruntuhannya. Memahami perilaku keruntuhan bagi engineer tukang hitung di kantor, jarang membaca buku tentu akan kesulitan. Untuk itulah maka code seperti ASCE 7-10 di Chapter 15 untuk non-building structure menyediakan Table 15.4-1 yang memerinci nilai R. Nilai R yang paling besar menunjukkan suatu struktur yang daktail, nilai 1 menunjukkan tingkat daktilitas rendah bahkan tidak ada, sehingga dalam perencanaannya harus direncanakan secara elastis.

Nah kalau begitu silahkan dapat dipikirkan, nilai R berapa yang diperlukan. Tapi ingat, semakin daktail maka tentu saja deformasi yang dihasilkan juga besar. Nah kalau itu digunakan untuk mesin atau alat maka tentu perlu diperhatikan. Bisa-bisa akibat gempat besar, strukturnya tidak runtuh, tetapi karena berdeformasi maka mesin yang dipasang menjadi tidak bisa digunakan. Saya ingat betul dulu pada waktu mendesain bangunan yang di atasnya ada mesin, pihak pengembang meminta persyaratan serviceability yang tinggi, seperti lendutan tidak boleh kurang dari 1/800.

Resikonya apa kalau dipakai R yang rendah, jadi boros karena struktur tersebut ketika gempa akan meresponnya secara elastis. Keuntungannya untuk mendetailkan sambungan menjadi relatif mudah, pokoknya kalau sudah memenuhi syarat gaya-gaya internal yang terjadi maka ok-ok saja.

Tentang ortogonalitas beban, ini tergantung dari sistem struktur, jika ternyata sistem struktur pada arah tertentu berbeda dengan arah lainnya, maka jelas persyaratan tersebut diharuskan, yaitu untuk mengantisipasi efek puntir bangunan. Tetapi jika kantilever, yang di kesemua arah sama, maka apa itu perlu ?

Penempatan beban gempa bagaimana ?

Untuk struktur bukan bangunan gedung, yang tidak ada lantainya, maka paling gampang adalah mennempatkan beban pada titik berat massa. Karena tidak ada lantai diagfragma, maka tentu saja diberikan pada tiap nodal, sesuai dengan proporsional massanya. Tentu saja jika digunakan konsep beban statik eqivalent memang agak membingungkan. Oleh sebab itu sebaiknya memakai saja pola beban dinamik respon spektrum. Hanya hati-hati, kalau beban dinamik, arah beban tidak ada, hanya nilai maksimum, jadi perlu dikonversi jadi statik, hanya pola beban yang digunakan.

Untuk angin, memang ada beban tekan atau hisap.

Nah kelihatannya terlalu panjang, sekian dulu ya. O ya, jika ada masukan silahkan lho . . . . pasti diterima dengan tangan terbuka untuk memulai diskusi.