pemikiran politik islam iwan swasana, muntasir dan teuku

23
Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 31 PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara) Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh ABSTRAK Pemikiran politik islam merupakan hasil ijtihad dari para ulama untuk mengatur dan mengelola hukum dalam pemerintahan di masanya. Sama seperti dalam penelitian ini penulis meneliti bagai mana Ibnu Taimiyah sebagai salah satu tokoh islam yang memperbaharui pola pikir islam terdahulu dalam melihat tata kelola Negara dan pemerintahan. Peneliti ingin melihat bagaimana hakikat negara yang ideal menurut beliau dengan membandingkan beberapa sumber baik itu dari dunia islam dan dunia barat. Untuk menganalisis data ini mengunakan analisi isi (content analysis) dimana metode yang meliputi semua analisis isi teks. Penelitian dilakukan di pustaka disebabkan banyaknya literatur yang harus diperbandingkan untuk mendapat hasil pemelitian. Dari penelitian ini menghasilkan hakikat negara menurut Ibnu Taimiyah merupakan suatu organisasi, yang kerja sama masyarakat untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam Negara Islam terdapat dua macam kekuasaan yaitu: kekuasaan para Ulama yang disebut dengan syaikkul Ad- Diin, dan kekuasaan para Raja atau kepada Negara. Dan hakikatnya kepala negara yang menjalankan syariat islam yang kaffah itulah negara yang ideal sesungguhnya dalam pemikiran Ibnu Taimiyah. Kata Kunci : Pemikiran, Hakikat Negara, Ibnu Taimiyah A. Latar Belakang Masalah Pemikiran politik Islam sesungguhnya merupakan suatu usaha (ijtihad) ulama yang merefleksikan adanya penjelajahan pemikiran spekulatif rasional dalam rangka mencari landasan intelektual bagi fungsi dan peranan Negara serta pemerintahan sebagai sebuah faktor instrumental bagi pemenuhan kepentingan dan kesajahteraan rakyat, baik yang lahir maupun batin. Disamping itu, barangkali bisa ditambahkan pula bahwa lahirnya ijtihad politik yang spekulatif itu juga didorong oleh suatu keinginan untuk mendapatkan legitimasi dalam rangka mempertahankan sebuah tatanan politik yang ada. Sebagai konsekwesi dari adanya persoalan tersebut, maka setiap konsepsi politik Islam yang lahir, tokoh pencetusnya berusaha untuk menyandarkan ajaran yang dibawanya kepada kedua sumber asasi dalam Islam itu, disamping juga berusaha untuk mengaitkannya dengan pelaksanaan yang bersifat praktis pada masa Khulafa Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman bin Affan dan

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 31

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku MuzaffarsyahProgram Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Malikussaleh

ABSTRAKPemikiran politik islam merupakan hasil ijtihad dari para ulama untuk

mengatur dan mengelola hukum dalam pemerintahan di masanya. Sama sepertidalam penelitian ini penulis meneliti bagai mana Ibnu Taimiyah sebagai salah satutokoh islam yang memperbaharui pola pikir islam terdahulu dalam melihat tatakelola Negara dan pemerintahan. Peneliti ingin melihat bagaimana hakikat negarayang ideal menurut beliau dengan membandingkan beberapa sumber baik itu daridunia islam dan dunia barat. Untuk menganalisis data ini mengunakan analisi isi(content analysis) dimana metode yang meliputi semua analisis isi teks. Penelitiandilakukan di pustaka disebabkan banyaknya literatur yang harus diperbandingkanuntuk mendapat hasil pemelitian. Dari penelitian ini menghasilkan hakikat negaramenurut Ibnu Taimiyah merupakan suatu organisasi, yang kerja sama masyarakatuntuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam Negara Islam terdapat duamacam kekuasaan yaitu: kekuasaan para Ulama yang disebut dengan syaikkul Ad-Diin, dan kekuasaan para Raja atau kepada Negara. Dan hakikatnya kepala negarayang menjalankan syariat islam yang kaffah itulah negara yang ideal sesungguhnyadalam pemikiran Ibnu Taimiyah.

Kata Kunci : Pemikiran, Hakikat Negara, Ibnu Taimiyah

A. Latar Belakang MasalahPemikiran politik Islam

sesungguhnya merupakan suatu usaha(ijtihad) ulama yang merefleksikanadanya penjelajahan pemikiranspekulatif rasional dalam rangkamencari landasan intelektual bagi fungsidan peranan Negara sertapemerintahan sebagai sebuah faktorinstrumental bagi pemenuhankepentingan dan kesajahteraan rakyat,baik yang lahir maupun batin.Disamping itu, barangkali bisaditambahkan pula bahwa lahirnyaijtihad politik yang spekulatif itu juga

didorong oleh suatu keinginan untukmendapatkan legitimasi dalam rangkamempertahankan sebuah tatananpolitik yang ada.

Sebagai konsekwesi dari adanyapersoalan tersebut, maka setiapkonsepsi politik Islam yang lahir, tokohpencetusnya berusaha untukmenyandarkan ajaran yang dibawanyakepada kedua sumber asasi dalamIslam itu, disamping juga berusahauntuk mengaitkannya denganpelaksanaan yang bersifat praktis padamasa Khulafa Rasyidin (Abu Bakar,Umar ibn Khattab, Usman bin Affan dan

Page 2: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

32 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

Ali bin Abi Thalib) yang empat.Akibatnya, setiap konsepsi politik yangdidasarkan pada hal-hal itu dengansendirinya dianggap sebagai konsepsipolitik Islam, dimana dalam perjalananlebih lanjut, umat Islam dituntut untukmengakui dan menjalankan ajaran itusebagai sebuah bagian yang sangatintegral dari sistem keyakinan danhukum yang ada didalamnya. Hal initerlihat dari hasil-hasil ijtihad politik yaglahir pada masa pertengahan atau padamasa kejatuhan Bani Abbas olehserbuan Mongol Tartar yangdirepresentasi paling tidak-oleh Al-Baqillani dan Al-Mawardi, di manamereka berdua menekankan bahwatatanan politik yang sedangberlangsung pada masa itu dianggapsebagai bentuk yang diinginkan syari'ahIslam.

Sejarah Islam mewariskankhazanah tradisi politik yang sangatkaya, dimulai dari masa Rasulullah,khulafaurrasyidin, periode klasik,periode pertengahan hingga masamodern. Jika khazanah itudikonsepsikan sangat mungkinmelahirkan keanekaragaman teoripemikiran politik. Namun yang menarikperhatian setidaknya di masa periodeawal Islam khazanah itu lebih dominanmelahirkan teori-teori firkah dalamIslam yang sekarang sering disebutsebagai aliran teologi/kalam, bukanmelahirkan teori politik, meskipun

1Penulis dapat menyatakan seperti inikarena di masa Bani Umayyah belum ada karyayang dapat dijadikan referensi pemikiran politikIslam. Memasuki pertengahan abad ke-9 barulahlahir karya Ibnu Abi Rabi berjudul “Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” dan abad 10 Mkarya monumental ilmuwan legendaris muslim

sesungguhnya akar persoalannyaberawal dari pertikaian politik.

Memasuki periode klasik yangditandai dengan kemapanan yangterjadi di dunia Islam, di masa initerdapat dua dinasti, yaitu BaniUmayyah (661-750 M) dan Bani Abbas(750-1258 M). Secara politis, masa ituIslam memegang kekuasaan danpengaruhnya di pentas internasional.Pada periode Bani Umayyah, kajian fiqihpolitik (siyasah) masih belum jugamuncul. Bani Ummayah lebihmengarahkan kebijakan padapengembang-an wilayah kekuasaan.Pada masa Bani Abbasiyah barulahkajian fiqih Siyasah ini mulaidikembangkan1. Namun demikian,kuatnya pengaruh negara membuatkajian yang dikembangkan oleh paraulama sunni waktu itu cenderungakomodatif dan mendukung kekuasaan.Sementara itu di sisi yang lain syi’ah,khawarij dan mu’tazilah berkembangmenjadi kelompok oposisi, walaupunbelum memiliki pengaruh kuat.Berdasarkan kenyataan ini, HarunNasution menyimpulkan bahwa teoripolitik sunni abad klasik ini cenderungmemberi legitimasi terhadap kekuasaanditengah kepentingan-kepentingangolongan2. Karena sifat akomodatif itusunni mendominasi percaturan politiksaat itu dan para pemikir politiknyamampu mengembangkan doktrin-doktrin mereka di bawah patronase

yang hidup di masa Dinasti Abbasiyah, yakniAl-Mawardi dengan karyanya yang berjudul AlAhkam al-Sulthania wa al Wilayat al-Diniyyah

2Muhammad Iqbal. (2007). FiqihSiyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,(Jakarta, Gaya Media Pratama), hal 22.

Page 3: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 33

kekuasaan. Memasuki periodepertengahan, kekuatan politik Islammengalami kemunduran. Berbagaidoktrin yang dikembangkan pada masasebelumnya tidak efektif lagidihadapkan kepada situasi obyektif.Maka pada periode pertengahan itulahirlah pemikiran politik yang berbedadengan sunni periode klasik, yang salahsatunya dipresentasikan oleh IbnuTaimiyah.

Ibnu Taimiyah menganggapberkelompok dalam mengelolakapasitas alam, merupakankeniscayaan. Dari konsep ini kemudianakan melahirkan institusi negara.Taimiyah terkenal dengan gagasanorganis dalam memandang institusi. Iamenekankan dengan sangat keraspentingnya institusi dalam pengelolaanmasyarakat untuk mencapai keadilan.

“Manusia pada dasarnyaberwatak madani (suka membangun).Itulah sebabnya jika mereka berkumpul,pastilah mereka mengembangkankegiatan-kegiatan yang diperlukanuntuk mewujudkan kemaslahatan danmengatasai persoalan. Untukkepentingan itu, diperlukan kerja samayang padu antara pemerintah (ruler)dan anggota masyarakat (ruled). Tentusaja diperlukan ketentuan-ketentuanyang defenitif yang mengatur tugas danruang gerak masing-masing”.3

Hakikat pemerintahan menurutIbnu Taimiyah, adalah kekuasaanmemaksa, yang diperlukan jika manusiaingin hidup di masyarakat dansolidaritas mereka tidak ingin hancurkarena keegoisan manusia yangalamiah. Karena pemerintahanmerupakan kebutuhan alamiah pada

3Ibnu Taimiyah. (2004). Tugas Negaramenurut Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 35.

masyarakat, ia muncul melalui suatuproses perebutan yang alamiah,memperoleh legitimasi melaluiperjanjian untuk hidup bersama.Penguasa dengan demikian, dapatmenuntut kepatuhan dari rakyatnya,karena sekalipun penguasa tersebuttidak adil, itu masih lebih baik daripadaperselisihan dan bubarnya masyarakat:“berikan apa yang menjadi hakpenguasa dari kita dan mintalah kepadaTuhan apa yang menjadi hak untuk kita.

Hanya saja, Taimiyahmeneruskan pendapatnya itu denganmewajibkan lembaga di bawah kontrolnegara untuk menegakkan keadilan.Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyahadalah lembaga Hisbah yang menjadisalah satu ciri khas pemerintahan Islamdalam mengelola distribusiperekonomian dan pasar. LembagaHisbah adalah lembaga negara yangmemiliki wewenang yang sangat luasdalam bidang perekonomian dan pasardan bertugas mempromosikan apa yangbaik dan mencegah apa yang buruk(amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyahmenekankan prinsip keadilan sebagaipenopang lembaga Hisbah dalampemerintahan Islam. Keadilan adalahpenopang pemerintahan dan syaratdatangnya pertolongan Tuhan.

Untuk mencegah antagonismeyang berujung pada ketidakadilan,Taimiyah berpendapat, hukum harusditegakkan dengan keras oleh Negara.“Menegakkan hukum adalah tugaspemerintah dan hal ini berlaku baikuntuk delik meninggalkan kewajibanmaupun delik mengerjakan larangan”.Untuk itu, sudah pasti dalam sebuahNegara yang kuat memiliki pemimpin

Page 4: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

34 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

yang kuat pula untuk memipinnegaranya dan membuat hukum yangharus ditegakkan.

Kepemimpinan negara,kepemimpinan negara merupakansuatu hal yang urgen dalam sebuahmanajerial dan pengelolaan suatunegara, sebab ia akan mencerminkanbaik dan buruknya dari suatu sistempemerintahan yang dipimpinnya.Kepemimpinan sendiri dapat dipandangsebagai studi tentang kekuasaan danpolitik. Setiap masyarakat terbagikedalam 2 kategori, yaitu pemimpin(penguasa/ pejabat birokrasi) dan yangdipimpin. Untuk menstudikepemimpinan struktural atau birokrasipolitik berarti memahami struktur,proses dan prilaku politik4.

Negara dalam hal ini adalahobyek dari suatu sistem pemerintahannegara yang perlu dikelola oleh seorangpemimpin negara, merupakan suatu haldalam masyarakat yang diintegrasikankarena mempunyai wewenang yangbersifat memaksa dan yang secara sahlebih agung dari pada individu ataukelompok yang merupakan bagian darimasyakat itu. Masyarakat sendirimerupakan suatu kelompok manusiayang hidup dan bekerjasama.Masyarakat adalah cerminan darisebuah negara dimana cara hidup yangharus ditaati baik oleh individu maupunasosiasi, ditentukan oleh suatuwewenang yang bersifat memaksa danmengikat diri mereka sekalian5.

Selanjutnya, Taimiyah jugaberbicara tentang hukum keadilan yangterintegrasi dalam pemerintahan.

4R. Eep Saifullah Fatah,(1994). Masalah dan Prospek Demokrasi diIndonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia,) hlm. 34.

Menurutnya pemerintahan sebagaisyarat mutlak dan fundamental dalamkehidupan bermasyarakat untukmenegakkan keadilan. Tujuan Taimiyahadalah membangun pemerintahanberdasarkan syariat (siyasahsyari’iyyah). Syariat dalampemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai intipemikiran politik Islam, yaitu keadilandan mempromosikan kebaikan danmencegah keburukan (amar ma’ruf nahimunkar).

Cukup menarik, sekalipun IbnuTaimiyah selalu menekankan kekuasaanpolitik, negara, dan pemerintahandalam kehidupan masyarakat, tetapiTaimiyah meragukan validitas pendapatbahwa kekhalifahan berasal dari sumberagama (Al-Quran dan As-Sunnah).Suatu pemikiran ekstrem yangmenentang arus pemikiran teorikekhalifahan yang sangat sakral padamasa itu.

Ibnu Taimiyah juga mengkritikSunni dan Syiah. Menurutpandangannya, tidak ada dasar dalamAl-Quran dan As-Sunnah tentang teorikekhalifahan tradisional ala Sunni dantidak ada teori imamah Syiah yangmutlak. Ia melihat Islam sebagai suatutata sosial yang mempunyai hukumtertinggi: hukum Allah. Oleh sebab itu,ia sama sekali tidak tertarik pada negaradan formasinya. Meskipun menerimanegara itu sebagai suatu kebutuhanagama (a religious necessity). Artinya,negara Islam yang dianggap memenuhisyarat adalah suatu pemerintahan yangmendasarkan pada syariat sebagai

5 Harold J. Laski, The State In Theory andPractice, The Viking Press, New York, 1974, hlm. 8-9

Page 5: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 35

penguasa tertinggi dan tidakmemandang apakah negara ituberbentuk khalifahan, monarki, ataupunrepublik. Ia lebih memilih meletakkankeadilan pada setiap pemerintahansebagai esensi kekuasaan, tinimbangmeributkan bentuk negara.

Teori politik Ibnu Taimiyahmemiliki kemiripan yang lebih dekatkepada konsep pemerintahan modern.Dalam asal-usul negara, ia bermaksudmenawarkan interpretasi sosiologisberdasarkan pada hakikat manusia yangbebas dari penjelasan agama. Sikaptersebut tidak ditemukan pada teoriklasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal darisumber agama. Dari sini kita bisamelihat pemikiran Ibnu Taimiyah“melampaui” tradisi berpikir para filsufIslam tentang teori kekuasaan.6

Mengkaji pemikiran IbnuTaimiyah sangat menarik, karena itulahdi dalam penelitian ini akanmendeskripsikan pemikiran politik IbnuTaimiyah dan menganalisa latarbelakang pemikirannya denganpendekatan sosiopolitik. Kemudianmendeskripsikan secara analitikbagaimana pandangan Ibnu Taimiyahtentang politik dan hakikat negara, ditengah suasana sejarah yang mengitaripemikirannya, serta relevansi gagasanpolitik Ibnu Taimiyah dalam konsepnegara modern dengan caramenempatkan pemikiran Ibnu Taimiyahsebagai cermin dari pemikiran yang lahirdi abad modern.

Dari berbagai permasalahandiatas, membuat peneliti tertarik untuk

6 Khalid Ibrahim Jindan, Teori PolitikIslam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentangPemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti

melakukan penelitian mengenai“PEMIKIRAN POLITIK ISLAM (STUDYKASUS: ANALISIS PEMIKIRAN IBNUTAIMIYAH MENGENAI HAKIKATNEGARA)”.

B. Landasan Teori1. Pengertian Negara

Secara literal istilah negaramerupakan terjemahan dari kata-kataasing, yakni state (bahasa Inggris),staat (bahasa Belanda dan Jerman) danetat (bahasa Prancis). Kata staat, state,etat itu diambil dari kata Bahasa Latinstatus dan statum, yang berarti keadaanyang tegak dan tetap atau sesuatu yangmemiliki sifat-sifat yang tegak dantetap.7

Secara terminologi, negaradiartikan dengan organisasi tertinggidiantara satu kelompok masyarakatyang mempunyai cita-cita untukbersatu, hidup di dalam daerah tertentudan mempunyai pemerintah yangberdaulat. Pengertian ini mengandungnilai konstitutif dari sebuah negara yangmeniscayakan adanya unsur dalamsebuah negara, yakni adanyamasyarakat (rakyat), adanya wilayah(daerah) dan adanya pemerintah yangberdaulat. Sedangkan dalam konsepRobert M. Mac Iver, negara diartikandengan asosiasi yangmenyelenggarakan penertiban di dalamsuatu masyarakat dalam suatu wilayahdengan berdasarkan sistem hukumyang diselenggarakan oleh suatupemerintah yang untuk maksud

7 Dede Rosyada. Pendidikankewargaan (Civic Educational, Demokras, Hakasasi manusia, dan Masyarakat madani).Prenada Media. Jakarta. 2003. Hal 41

Page 6: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

36 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

tersebut diberikan kekuasaanmemaksa.8

2. Negara Pada Pandangan BaratPada dasarnya letak perbedaan

yang paling mendasar terhadap konsepantara paham Barat dan Islam adalahterletak pada kedaulatan sebuahnegara. Dalam teori sekuler manusia(rakyat) yang menadi pusat kedaulatansedangkan dalam Islam Kedaulatantertinggi tetap berada ditangan Tuhan.Berikut ini adalah beberapa pandanganpara ahli tentang apa itu negara yangbila kita lihat tidak satupun yangmengkaitkan permasalah seputarnegara dengan prinsip-prinsipkeTuhanan dan tentu memiliki bentukyang cendrung mengarah kepadabentuk negara bangsa nation. Negaramerupakan merupakan integrasi darikekuasaan politik, ia adalah organisasipokok dari kekuasaan politik. Ia adalahaghency (alat) dari masyarakat yangmempunyai kekuasaan untuk mengaturhubungan-hubungan manusia dalammasyarakat. Roger H Soltau : “ Negaraadalah alat (agency) atau wewenang(authority) yang mengatur ataumengendalikan persoalan-persoalanbersama, atas nama masyarakat”(agency or authoritymanaging orcontrolling these (common) affairs onbehalf of and in the name of thecommunity.9

8 Dede Rosyada. Pendidikankewargaan (Civic Educational, Demokras, Hakasasi manusia, dan Masyarakat madani).Prenada Media. Jakarta. 2003. Hal 42

9 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar IlmuPolitik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2008), hal 45

Harold J Laski : “Negara adalahsuatu masayrakat yang diintegrasikankarena mempunyai wewenang yangbersifat memaksa dan yang secara lebihagung daripada individu atau kelompokyang merupakan bagian darimasyarakat itu. Masyarakat adalahsuatu kelompok manusia yang hidupdan bekerja sama untuk mencapaiterkabulnya keinginan-keinginanmereka bersama. Masyarakatmerupakan Negara kalau cara hidupyang harus ditaati baik oleh individumaupun oleh asosiasi-asosiasiditentukan oleh suatu wewenang yangbersifat memaksa dan mengikat.10

Sedangkan menurut Platotujuan negara diartikan secara lebihsederhana namun sangat mendasar,yakni tujuan negara adalahmengarahkan kehidupan manusia agarmanusia mencapai kebahagiaan.Mungkin bila kita melihat pandanganPlato ini kita akan merasa pandangan inisangat simpel, tapi tentu saja kita akanmengalami perdebatan di seputarapakah kebahagiaan yang di maksudPlato disni? Apakah kebahagiaan tiaporang adalah sama? Mungkin kita akanberusaha memetakan apa kebagaiaanitu secara universal.11

Sedangkan menurut Dr. C.S.TKansil . S.H dan Crhistine Kansil S.T,S.H, M.H dapat kita lihat hakikat tujuannegara antara lain:

10 http://kuliahfilsafat.blogspot.comdefinisi-negara-oleh-para-ahli.html di akses 20april 2015

11 Henry Jschmanot, Filsafat Politik;Kajian Historis dari zaman Yunani Kuno sampaiZaman Modern Yogyakarta: Pustaka Pelajar2003 hal 63

Page 7: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 37

1. Dalam teori kenegaraan,kelompok pertama dari teori-teorimengenai tujuan negara adalahmenganggap tujuan negaraadalah memperoleh, mencapai,mempertahankan kekuasaanorang atau kelompok yangberkuasa. Jadi tujuan negaraadalah kekuasaan.

2. Yang kedua adalah kelompokteori-teori yang mengutamakankemakmuran “negara” (etatisme).Teori ini berpangkal pada, bahwayang penting ialah negara. Dannegara itulah yang menjaditujuannya sendiri, dan bukanuntuk mencapai kemakmuranrakyat (type polizeistaat).

3. Yang ketiga adalah kelompokteori-teori yang mengutamakanorang - seseorang (individu)kebebasan untuk mencapaikemakmuran ini dijamin denganUU (Hak Asasi) jadi adakebebasan sepenuhnya (liberte–liberal) untuk mencapaikemakmuran tanpamemerhatikan yang tidak mampu(type formele staat).

4. Yang keempat ialah sekelompokyang mengutamakankemakmuran rakyat dicapaisecara adil sebagai tujuanbernegara tipe negara hukum(material–social service state).12

Definisi negara dalam artiformal, juga diungkapkan Ileh MiriamBudiarjo. Menurutnya, negara adalahsuatu daerah teritorial yang rakayatnyadiperintah oleh sejumlah penjabat(pemerintahan) dan yang berhasil

12 Drs. C. S. T. Kansil, S.H danChristine S. T Kansil, Ilmu Negara UntukPerguruan Tinggi. Jakarta: Sinar Grafika hal. 18

menuntut warga negaranya ketaatanpada peraturan perundang-perundangan melaluai penguasaankontrol monopolistis dari kekuasaanyang sah. Budiarjo jelas memodifikasipengertian negara yang jugamemasukan unsur pemerintah baikekskutif, legisatif, yudikatif bahkankepolisian dan atau militer. Disampingitu, Budiarjo juga menyorot ketaatanpada perturan perundang-undangansebagai salah satu unsur terpentingdalam negara. Ini sangat menarikkarena negara dilibatkan dalampembentukan hukum, sebagaimanadiperlihatkan oleh Hans Kelsen. Karena,negara adalah indentik dengan hukumitu sendiri. Kelsen mengandaikanhubungan yang tak terpisahkan antaranegara dengan hukum, disana pastiterdapat negara. Dengan perkataanlain, negara merupakan suatu lembagatertib hukum yang bersifat memaksa.13

Gagasan tentang negara adalahsetua umur manusia, karena gagasanini telah ditemukan sejak manusiasebagai mahluk sosial. Lebih tepatnya,sejak manusia merupakan “zoonpoliticon”, mahluk berpolitik. Sebagaimahluk dan hasrta berorganisasi. Tidakhanya untuk mengatur dan mengeloladiri dan keluarganya, akan tetapi jugajalinan atau hubungan antarsesamanya. Negara merupakann wujuddari hasrat berorganisasi yangberkehendak mengartur hubunganantar sesama manusia. Dalamkaitannya ini, negara dipahami sebagailembaga politik yang merupakanmanifestasi dari kebersamaan dankeberserikatan sekelompok manusia

13 Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2008), hal 57

Page 8: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

38 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

untuk mewujudakan kebaikan dankesejahteraan bersama.

Eksistensi negara membutuhkanperpaduan antara kebebasan subyekltif(subyektif liberty), dan kebebasanobyektif (obyektif liberty). jikakebebasan subyektif mengambil bentukdari kesadraan individual untukmengapai tujuan, maka kesadaranobyektif lebih mengarah pada kehendakumum yang lebih mendasar. Lebih dariitu, negara juga merupakan wadah ataumedium untuk memajukan peradaabanmanusia yang disebut bangsa. Jikadefinisi yang pertama mengacu padasiapa yang menciptakan, maka yangkedua lebih mengarah pada tujuanutama negara.14

3. Negara Dalam PandanganIslam

Di dalam kitab suci Al-Qur’anada kata-kata balad disebut sampaisembilan kali, kata-kata bilad, disebutlima kali, dan kata-kata baldah, disebutlima kali, bahkan sedangkan didalam Al-Qur’an terdapat suatu surat yangbernama balad, surat kesembilan puluhyang mengisahkan kota Mekkah,tempat Rasulullah SAW. Pada waktusurat itu turun. Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung kata-katabaldah, ada ayat yang mengadung cita-cita Negara Islam, yaitu surat ketigapuluh empat yaitu Surat Saba’ ayatkelima belas “Negeri yang bagus danTuhan pun memberi ampun”.15

Kata-kata tersebut berhubungandengan teritorial baldah adalah daerahyang merupakan satu bagian tertentu

14 Miriam Budiardjo, Dasar-DasarIlmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2008), hal 43

dari balad Basrah dan Dimasyq disebutbaldah, sedangkan Irak dan Syamdisebut balad. Kata balad tersebutditerjemahkan dengan negeri daerah,wilayah yang mejadi salah satu unsurberdirinya suatu negara.

Dalam lingkup khazanahkeilmuan Islam, konsep negara selalumendapatkan tempat yang istimewa.Hal ini terlihat sejak awalperkembangan ilmu politik, dimananegara telah menjadi salah satu kajianyang dipandang cukup penting dansentral. Salah satu pemikir berpengaruhdi dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagiproses pembentukan kekuasaan politik(siyâsah) atau pemerintahan menjaditiga jenis. Pertama, politik ataupemerintahan yang prosespembentukannya didasarkan atas naluripolitik manusia untuk bermasyarakatdan membentuk kekuasaan. Kedua,politik atau pemerintahan yang prosespembentukannya didasarkan ataspertimbangan akal semata dengantanpa berusaha mencari petunjuk daricahaya ilahi. Ia hanya ada dalamspekulasi pemikiran para filosof. Ketiga,politik atau pemerintahan yang prosespembentukannya dilakukan denganmemperhatikan kaidah-kaidah agamayang telah digariskan oleh shari’ah.Politik ini didasarkan atas keyakinanbahwa Tuhan sebagai pembuat shari‟ahadalah yang paling tahu maslahat yangdiperlukan manusia agar mereka bisabahagia di dunia dan akhirat.

Masyarakat sebagai penghuninegeri itu satu sama lain salingmembutuhkan dan tolong menolong

15 Sjechul Hadi Purnomo. Islam dalamLintas Sejarah Perpolitikan. (teori dan praktik).CV. Aulia. Surabaya. 2004. hal : 1

Page 9: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 39

dalam memnuhi kebutuhanya danmempertahankan eksitensinya. Prosesasosiasilisasi pun bertambah menjadidan integari pun bertambah erat. Akantetapi, kata Al-Ghazali, semuanya ituberebut berlomba dan bersaing untukmendapatkan kebutuhannya,memuaskan nafsunya. Sesudahberkumpul sampai mendirikan “Negeri”kemudian berebut dan bersaing untukmendapatkan kebutuhan masing-masing. Hal demikinan pasti menibulkanpermuasuhan, kekacauan, kejahatandan berbagai tindakan yangmengganggu keselamatan mayarakatdan keselamatan anggotanya, untuk itu,dibutuhkan pranata-pranata sosial yangdijabat oleh orangorang yangberpengatahuan dan berwibawa yangmempimpin seluruh rakyat, yaitu kepalanegara, dan sampai pada tahap inilahnegeri berkembang menjadi negara.

Kedaulatan adalah atributhukum dari negara. Kedaulatan menjadikonkret dari pemerintah, karena itu,negara dipandang sebagai suatukepribadian hukum yang abstrakdengan atribut kedaulantanynya yangmembedakan negara dari pribadipribadiabstrak lainnya dalam hukum. Negaradipandang dari segi hukum publik inilahyang akan dijadikan kerangka acuanpada pembahasan ini, karena relevandengan permasalahannya. Dalamkonsepsi Islam, dengan mengacu padaAl-Qur’an dan Al-Sunnah, tidakditemukan rumusan tentang negarasecara eksplisit, hanya saja di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Selain itu,konsep Islam tentang negara jugaberasal dari 3 (tiga) paradima, yaitu :

a. Paradigma tentang teori khilafahyang dipraktikan sesudahRasulullah Saw, terutamabiasanya merujuk pada masaKhulafa al Rasyidin.

b. Paradigma yang bersumberpada teori Imamah dalampaham Islam Syi’ah.

c. Paradigma yang bersumber dariteori Imamah atau pemerintah,Dari beberapa pendapat tentang

negara tersebut, dapat dipahami secarasederhana bahwa yang dimaksuddengan negara adalah suatu daerahteritorial yang rakyatnya diperintah(governed) oleh sejumlah pejabat yangberhak menuntut dari warga negaranyauntuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol)monopolistis dari kekuasaan yang sah.

Dalam lingkup khazanahkeilmuan Islam, konsep negara selalumendapatkan tempat yang istimewa.Hal ini terlihat sejak awalperkembangan ilmu politik, dimananegara telah menjadi salah satu kajianyang dipandang cukup penting dansentral. Salah satu pemikir berpengaruhdi dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagiproses pembentukan kekuasaan politik(siyâsah) atau pemerintahan menjaditiga jenis. Pertama, politik ataupemerintahan yang prosespembentukannya didasarkan atas naluripolitik manusia untuk bermasyarakatdan membentuk kekuasaan. Kedua,politik atau pemerintahan yang prosespembentukannya didasarkan ataspertimbangan akal semata dengantanpa berusaha mencari petunjuk daricahaya ilahi. Ia hanya ada dalamspekulasi pemikiran para filosof. Ketiga,politik atau pemerintahan yang prosespembentukannya dilakukan dengan

Page 10: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

40 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

memperhatikan kaidah-kaidah agamayang telah digariskan oleh shari’ah.Politik ini didasarkan atas keyakinanbahwa Tuhan sebagai pembuat shari‟ahadalah yang paling tahu maslahat yangdiperlukan manusia agar mereka bisabahagia di dunia dan akhirat Madaniyahdan yang ketiga dengan sebutan Al-siyasah al-diniyah atau syar’iyyah.16

Mengenai relasi agama dannegara, Islam sejak awal tidakmemberikan ketentuan yang pastitentang bagaimana konsep dan bentuknegara yang dikehendaki. 17 Dalamkonsep Islam, dengan mengacu padaal-Quran dan al-Hadith, tidak ditemukanrumusan tentang negara secaraeksplisit, hanya di dalam kedua sumberhukum Islam itu terdapat prinsip-prinsipdasar dalam bermasyarakat, berbangsadan bernegara, di antaranya adalah:

1. Keadilan (QS. 5:8)Berlaku adillah kalian karenaadil itu lebih dekat kepada ta-qwa.

2. Musyawarah (QS. 42:38)Sedang urusan merekadiputuskan denganmusyawarah di antara mereka.

3. Menegakkan kebaikan danmencegah kemungkaran (QS.3:110)Kamu adalah umat yang terbaikyang dilahirkan untuk manusia,menyuruh kepada yang ma'rufdan mencegah dari yang

16 Nurcholish Madjid, Telaah atas FiqhSiyasy Sunni, www.artikelislam.com di aksestanggal 30 april

17 Abd. Salam Arif, Relasi Agama danNegara dalam Perspektif Islam, Jurnal Herme-nia, h. 279

munkar, dan berimanlahkepada Allah.

4. Perdamaian dan persaudaraan(QS. 49:10)Sesungguhnya orang-orangyang beriman adalahbersaudara karena itudamaikanlah antara keduasaudaramu dan ber-taqkwalahkepada Allah supaya kamumendapat rahmat.

5. Keamanan (QS. 2:126)Dan ingatlah ketika Ibrahimberdo'a, Ya Tuhanku jadikanlahnegeri ini negeri yang amansentosa.

6. Persamaan (QS. 16:97)Barang siapa yang mengerjakanamal saleh, baik laki-lakimaupun perempuan dalamkeadaan beriman, makasesungguhnya akan Kamiberikan kepadanya kehidupanyang baik.

Di sinilah muncul berbagaipenafsiran terhadap doktrin agamayang berkaitan dengan relasinyadengan negara. Agama ini hanyameletakkan beberapa prinsip dasaryang bersifat umum tanpa dibatasi olehruang dan waktu, dan memung-kinkandibangunnya suatu pemerintahan untukkesejahteraan rakyat.18

Secara historis, cikal bakalnegara Islam, meski dalam bentuk yangsangat sederhana dan tidak tersebut

18 Engineer, Asghar Ali, DevolusiNegara Islam, (terj) Imam Muttaqin,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000 hal 58

Page 11: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 41

secara yuridis formal, dapat dirunutsejak pasca lahirnya perjanjianHudaybi-yah II (Piagam Madinah).Meskipun pendirian negara, termasukagama negara, tidak diartikulasikansecara tegas oleh nabi, per-syaratansebagai negara telah terpenuhi:wilayah, pemerintahan, rakyat,kedaulatan, dan konstitusi. Yangpenting untuk digarisbawahi adalah,bahwa tidak adanya penyebutan NegaraMadinah pada saat itu sehingga banyakkalangan yang menye-but perjanjian itusebagai bentuk kerjasama antarberbagai ele-men masyarakat di sebuahwilayah. Inilah yang hingga saat inimasih menjadi perdebatan dan bahankajian untuk mencari formulasi apayang disebut sebagai negara Islam.19

Hampir tidak ada kesepakatanyang bulat di kalangan pakar politikMuslim modern tentang apasesungguhnya yang terkandung dalamkonsep negara Islam. Kenyataan inisangat mudah terlihat dengan begituberagamnya sistem negara danpemerintahan di dunia ini yangmenganggap dirinya sebagai negaraIslam.

Namun begitu, secara teoritik,sudah ada berbagai upaya untukmencoba merumuskan sebuah konsepformal mengenai apa yang dimaksudNegara Islam. Paling tidak telah adakesepakatan minimal bahwa suatunegara disebut sebagai nega-ra Islamjika menerapkan hukum Islam. Dengankata lain, pelaksanaan hukum Islammerupakan prasyarat formal dan utamabagi adanya suatu negara Islam.

Rasyid Ridha, seorang ulamaterkemuka Islam, yang di-anggap paling

19 Wahib Wahab, MenggagasReformulasi Relasi Negara dan Rakyat:

bertanggung jawab dalam merumuskankonsep negara Islam modern,menyatakan bahwa premis pokok darikonsep negara Islam adalah bahwashari‟ah merupakan sumber hukumpaling tinggi. Dalam pandangannya,shari‟ah harus membutuhkan bantuankekuasaan untuk tujuan implementa-sinya, dan adalah mustahil untukmenerapkan hukum Islam tanpa adanyaNegara Islam. Karena itu, dapatdikatakan bahwa penerapan hukumIslam merupakan satu-satunya kriteriauta-ma yang sangat menentukan untukmembedakan antara suatu NegaraIslam dengan negara non-Islam.

Sedangkan Fazlurrahman,kendati tidak menyatakan secaragamblang pendapatnya mengenaikonsep Islam mengenai negara,memberkan definisi negara Islamsecara fleksibel, tak begitu ketat dengansyarat-syarat tertentu. Rahman menilainegara Islam adalah suatu negara yangdidirikan atau dihuni oleh umat Islamdalam rangka memenuhi keinginanmereka un-tuk melaksanakan perintahAllah melalui wahyu-Nya. Tentangbagaimana implementasipenyelenggaraan negara itu, Rahmantidak memformat secara kaku, tetapielemen yang paling penting yang harusdimiliki adalah Shura sebagai dasarnya.Dengan adanya lembaga Shura itusudah tentu dibutuhkan ijtihad darisemua pihak yang berkompeten.Dengan demikian, kata Rah-man, akansangat mungkin antara satu NegaraIslam dengan Negara Islam yang lain,implementasi shari‟ah Islam akan ber-beda, oleh karena tergantung hasilijtihad para mujtahid di negara yang

Perspektif Teo-logi Politik Islam-Hermeneutik,dalam Jurnal Paramedia, h. 27

Page 12: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

42 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

bersangkutan. Dari pemahaman bahwamustahil menerapkan hukum Islamtanpa adanya negara Islam ini secaraotomatis timbul juga perdebatanmengenai hubungan antara agama(dalam hal ini Islam) dan negara olehpara sarjana Muslim. Perbedaan pema-haman tentang hubungan ini sesuaidengan setting sosiologis, historis,antropologis, dan intelektual parasarjana tersebut. Hal itu juga dicampurdengan pelbagai corak penafsiranterhadap teks Al-Qur‟an dan Al-Hadithyang dijadikan rujukan utama.

Perdebatan ini akhirnyabermuara pada dua kutub pemikiranyang sangat radikal. Pertama,menandaskan bahwa negara harusdikendalikan oleh institusi agama.Setidak-tidaknya, agama mempunyaiandil dalam menentukan suatukebijakan politik. Aliran pemikiran inimemandang agama se-bagai suatuyang sempurna (perfect) dan manusiasebagai wakil Tuhan di muka bumi. Takterkecuali dalam dunia Islam, di ma-naIslam dipandang sebagai agama yangsempurna, mengatur segala aspek,termasuk tata ruang kehidupan negara(politik).

Pada garis pemikiran kedua,secara radikal, pemikir mus-lim asalMesir, Thaha Husein menegaskanbahwa negara tid-aklah harusdikendalikan oleh institusi-institusiagama. Menurut Husein, sistempemerintahan dan pembentukan negarabukanlah atas dasar prinsip keagamaan,tetapi lebih merupakan asas manfaatalamiah dan kepentingan-kepentingan

20 Fanani, Ahmad Fuad, “ReposisiHubungan Agama dan Negara”, HarianKompas, Senin, 1 April 2015

praktis, yang bertautan langsungdengan ruang waktu kehidupan masakini

Lebih lanjut, konstruk berpikirseperti itu melahirkan trikotomi yanghingga kini menguasai perdebatantentang bagaimana relasi agama dannegara. Pertama, pola liberal yangmenekankan pemisahan antara agamadan negara, yang menya-takan bahwadalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalahkenegaraan. Islam hanyalah menga-turhubungan antara manusia dan Tuhan.

Kedua, pola tradisionalis, yangmengungkapkan bahwa Islammencakup semua aturan kehidupantermasuk urusan kenegaraan. Argumenyang diberikan oleh kelompok ini adalahbahwa tugas Nabi telah selesai dantelah memberikan garis panduan yangjelas seperti ketika Nabi berada diMadinah. Ketiga, pola reformis atausintesis, yang mengutarakan bahwadalam Islam tidak ada aturan yang pastitentang masalah kenegaraan, namunada prinsip asas yang harus ditegakkan.20

Pola-pola pemikiran di atas,paling tidak lahir dari dua maksud.Pertama, mencoba menelusuri danmenentukan sejauh mana Islammenggariskan kosep secara jelastentang negara, politik, dan sistempemerintahan. Pendekatan yangmenekankan aspek teoritis formalis inibertolak pada asumsi bahwa Islammemiliki konsep tertentu tentangnegara. Kedua, penelusuran itudilakukan untuk mengidentifkasi sebuah

Page 13: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 43

idealitas dari perspektif Islam terhadapproses penyelenggaraan negara.Maksud kedua ini agaknya lebihmenekankan pada aspek praktissubstansial.

Pendekatan ini didasarkan padaasumsi bahwa Islam tidak membawakonsep negara tertentu, tetapi hanyamenawarkan prinsip-prinsip dasarberupa etika dan moral. Bentuk negarayang ada pada suatu masyarakatmuslim dapat diterima sejauh tidakmenyimpang dari nilai-nilai dasarIslam.21

C. Metode PenelitianDalam penelitian ini, perhatian

penulis lebih terwujud kepadapermasalahan-permasalahan ataukeadaan yang berkenaan denganperkembangan politik dan bagaimanaIbnu Taymiya melihat sebuah negarayang ideal untuk dijalankan denganmengambungkan dua pemikiran baratdan dunia Islam.

Teknik analisis data yang penulislakukan terhadap data yang diperolehyaitu bersifat deskriptif, lebih terdahuludiadakan pemeriksaan dan evaluasiterhadap semua data yang ada untukdapat memperoleh gambaran atausuatu kesimpulan atas fakta yangdiamati, analisis yang dilakukan jugabersifat deduktif, yaitu suatu prosespengambilan keputusan berdasarkanteori yang sebenarnya telah diterimasecara umum sabagai dasar kebenarandan keadilan, yang diambil suatu

21 Abd. Moqsith Ghazali dan Suwendi,Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif AliAbdurraziq dan Abdurrahman Wahid, MajalahAula, No 6 th. XXI 1999, h. 83

kesimpulan terhadap fakta yangdiamati.

Selanjutnya data yang sejenisakan direduksi untuk menguranggijumlah data yang terlalu banyak untukkemudian dianalisis denganmengunakan pendekatan contentanalisis (analisis isi) yaitu penelitianyang bersifat pembahasan mendalamterhadap isi suatu informasi tertulis atautercetak dalam media massa. Danmenurut Holsti, metode analisis isiadalah suatu tehnik untuk menggambilkesimpulan dari mengidentifikasiberbagai karakteristik khusus suatupesan secara objektif.22

Analisis ini dilakukanberdasarkan tema-tema tertentu yangdiangap bisa menjawab penelitian ini.Hasil analisis ini akan dituliskan dalamlapolran penelitan sederhana untukkemudian akan diinterprestasikandalam suatu seminar hasil penelitian.

D. Pembahasan1. Pemikiran Ibnu Taimiyah

Tentang NegaraParadigma pemikiran politik

Ibnu Taimiyah tentang pembentukanNegara berdasarkan pemahamanyaterhadap hadist Rasulullah SAW, yangmewajibkan seseorang harus dipilihmenjadi pemimpin dalam sebuahperkumpulan yang kecil atauperkumpulan yang bersipat semntara.Rasulullah SAW bersabda dalam sebuahhadist yang artinya:Tidak halal bagi tiga orang yang beradadi padang pasir dari bagian bumi ini(dalam rangka berpergian) kecuali

22Moleong, 2005. Metode penelitiankualitatif. Hal 108

Page 14: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

44 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

hendaklah mereka menjadikan salahsatu menjadi pemimpin di kalanganmereka. (H.R. Ahmad).

Justru itu Ibnu Taimiyahmenyatakan jika pada kelompok yangsedemikian kecil dipilih pemimpin,maka pada kelompak yang lebih besardia berstatus masyarakat serta lebihdi utamakan dan peluang adanyaseorang pemimpin untuk mengatur tatadan kehidupan sosial dalam sebuahmasyarakat.23

Selanjutnya Ibnu Taimiyahmenyatakan, Negara adalah suatuorganisasi, kerja sama masyarakat yangdapat mendekatkan diri kepada AllahSwt. Kedudukan seorang pemimpindalam sebuah pemerintahanmempunyai tanggung jawab yangpaling besar dalam masyarakat. Karenaitu pemerintah adalah satu-satunyajalan untuk menyatukan agama Islam.Akan tetapi dalam agama Islam Al-Quran dan Hadist tidak menuntutdibentuk sebuah Negara Islam, akantetapi dalam Al-Quran terdapat unsure-unsur yang esensial yang menjadi dasarpembentukan sebuah Negara. Unsur-unsur tersebut adalah keadilan,persaudaraan, keputusan yangditekankan oleh Ibnu Taimiyahselanjutnya beliau menyatakankekuasaan negara bersifat menjadikanagama dalam bahaya, bahkan jikaagama tidak diposisikan ditempatnya,negara tersebut akan tirani.

Kedudukan imam dalam dokrinsyiah merupakan jabatan yang tinggidalam senuah pemerintahan islam dansalah satu dari rukun Islam, Karena itutidak pantas jabatan itu ditentukan oleh

23 Ibnu Taimiyah, Terjemahan. RofiqMunawar 1995, Siyasah Syar’iyyah Etik a

pilihan rakyat, Imam harus di tunjukolah Nabi, dan Imam-imam berikutnyaharus oleh imam sebelumnya, seorangimam harus berperan sebagaiseorang pemelihara syariat danmemberikan penafsiran hukum yangsebenarnya serta harusmempertanggung jawabkannya.

A. Hasymi pernah menyatakan,khalifah dalam istilah syiah disebutdengan imam. Setelah wafanya NabiMuhammad Saw, Ali yang menjadiimam. Mengakui imam danmentaatinya adalah sebahagian dariiman karena mereka guru yang tertinggidan maksum. Demikian juga dengandokrin sunni: seperti Al-mawardi yaituseorang politikus terkenala abad ke1019 menyatakan seorang imam harusmemiliki syarat sebagai berikut:1. Keadilan dengan syarat-syarat yang

berkaitan.2. Pengetahuan yang memungkinkan

ia mempertimbangkan dalammengahadapi problema yang harusdi pecahakan.

3. Integritas indra pendengara,pengelihatan dan pembicaraansehingga ia dapat memahamimasalah secara langsung.

4. Keberaniaan dan kekuatan yangperlu untuk mempertahankanNegara islam dan memerangimusuh

5. Kebijaksanaan yang perlu untukmengatur dan memperlancarurusan-urusan kemasyarakatan.

6. Integritas anggota-anggota fisiksehingga ia dapat bergerak denganbebas

7. Garis keturunan, berasal dari suku

Politik Islam. Cet. I, Risalah Gusti, Bandung,hal. 157

Page 15: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 45

Quraisy.24

Menanggapi masalah ini, Ibnutaimiyah menyatakan argumentasisyiah tidak rasional karena tidakmampu membedakan antara seorangNabi dengan imam. Ibnu Taimiyah jugamenolak konsep perpaduan sejumlahkualitas dan persaratan yangbermacam-macam dari seorangkhalifah. Perpaduan ini hanya sekalisaja terwujud dalam sejarah islam yaitupada masa kalangan Rasyidin dan tidakakan terulang kembali.

Ibnu Taimiyah juga mencelaseorang imam itu harus dari sukuQuraisy ia dengan tegasmempertahankan prinsip persaudaraandan persamaan sebagai landasan bagitata sosial politik dalam islam. Mengenaipemilihan seorang khalifah, IbnuTaimiyah tidak sependapat denganSyiah, yaitu seorang khalifah harusdipilih dari akhlul bait dan golongansunni juga menyatakan harus melaluiconsensus para ulama atau cendikiawanyang dinamakan dengan “Akhlul HilliWal Aqhdi” yang di jaman modern inidinamakan dengan anggota DPD atauDPR (Indonesia) yang berfungsi untukmengangkat atau memberhentiakanseorang imam atau kepala Negara.25

Secara teoritis dokrin golongansunni tersebut tidak pernahmenyatakan secara terperinci bahwakedaulatan berada di tangan rakyatsedangkan Akhlul Hilli Wal Akhdi adalahwakil-wakil rakyat. Hal ini lah yangmembuat Ibnu Taimiyah berselisihpendapat dan mengecam Akhlul Hilli

24 Munawir Sjadzali, 1990Islam danTata Nega ra Ajara, Sejarah dan Pemik iran,Cet. II, UI Press, Jakarta, hal. 63-64

25Ibnu Taimiyah, Terjemahan. RofiqMunawar 1995, Siyasah Syar’iyyah Etik a

Wal Akhdi. Ibnu Taimiyahmengkhawatirkan konsep ini akan akanmenjadi suatu lembaga diktatoran yangmenghalangi unsur-unsur kenyataandalam pemilihan. Jadi terciptanyasebuah Negara dengan melalui kerjasama antara anggota-anggotamasyarakat, penguasa yang dipilih olehrakyat yang memiliki kekuatan danotoritas dalam masyarakat.

Dalam hal ini Hasby Ash Shidikqimemberi komentar terhadap pendapatIbnu Taimiyah sebagai berikut: Tidaklahseseorang menjadi kepala Negarasebelum disetujui oleh orang-orangyang mempunyai syaukah denganketaatan merekalah hasilnya maksudpengangkatan. Sesungguhnya maksudpengangkatan seorang menjadi imamhanyalah hasil dengan kekuasaan.Imam itu seorang raja denganpersetujuan orang-orang 2 atau 3 dan 4orang, terkecuali dalam persetujuanmereka itu merupakan persetujuanorang lain pula.26 Menurut IbnuTaimiyah seorang khalifah ataupemimpin dalam menjalankan rodapemerintahan harus mempunya duasifat yaitu, kesanggupan dan kesetiaandalam menjalankan dan melaksanakankewajiban yang telah di gariskan dalamislam dengan demikian tidakseharusnya semua kualitas yang diperlukan itu terkumpul pada seorangimam, karena sudah menemukan orangyang semua kualitas terkumpul padadirinya. Kualitas yang diperlukan adalahmempunyai kekuatan setiap wewenangatau amanah, yaitu jujur dan bisa

Politik Islam. Cet. I, Risalah Gusti, Bandunghal 11

26 Has il As h-Skiddiqj 1997: IlmuKenegaraan dalam Fiqh Is lam, Cet.I, BulanBintang, Jakarta. hal.7

Page 16: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

46 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

dipercaya.Karena sesungguhnya

kepemimpinan itu adalah amanah Allahyang wajib ditunaikan, kualitas yangditentukan oleh Ibnu Taimiyah ituharuslah sesuai dengan situasi suatudaerah atau jabatan yangdidudukinya. Jika terdapat dua orangyang berbeda karakter, yang satumenonjol kekuatan sementara yangsatu lagi sifat amanahnya. Maka dalammenghadapi kenyataan seperti ini,prioritas utamanya, harus dilihatkebutuhan masyarakat dan kapasitascalon yang akan dipilih.27

Pernyataan Ibnu Taimiyahtersebut berdasarkan Firman AllahSWT di dalam surat Al- Qashash :Artinya: Sesungguhnya orang yangpaling baik yang kamu ambil untukbekerja (pada kita) ialah orang yangkuat lagi dapat dipercaya.( Q.S. Al-Qashash 26).

Kualitas yang ditentukan olehIbnu Taimiyah tersebut berlaku bagisemua pejabat terutama sekali bagiyang tertinggi, di antaranya pemimpinsebagai kekuasaan yang palingbertanggung jawab. Ibnu Taimiyahsangat menghargai para ulama dalampengangkatan seorang. Khalifah danmendirikan sebuah Negara, karena iaberpegang pada hadis yangmenyatakan bahwa, kedudukan paraulama adalah orang yang meneruskanperjuangan Nabi. Sebagaimana yangdisebutkan dalam hadits Nabi:Artinya: Sesungguhnya para ulama itu

27 Ibnu Taimiyah,diterjmh. RafiqMenewai, 1995. As -Siyas ah As -Syai’ah FilIslami Ra’ayiwar Raiyah.. Siasah Syariah EtikaPolitik Islam, Cet.I Risalah Gusti Bandung, hal11

pewaris para nabi. (H.R. Al-Bukhari).Ibnu Taimiyah mengartikan

secara luas tentang pengertian ulama.Menurutnya, semua orang yangberpengetahuan dan berpendidikantergolong ulama. Karena mereka dapatmenginterpretasikan secara tepat danbenar serta dapat menyesuaikan diridengan kondisi, waktu dan tepat yangberbeda. Dalam kitabnya As-Siyasahasy-Syariat Fi istilah al- Ra’i Wal-Raiyatdikatakan: ada dua golongan yangmasuk katagori ulil amri, yaitu ulamadan umara. Jika keduanya itu salah,maka akan salah seluruh manusia. Olehkarena itu keduanya harus hati-hatibetul dalam berucap dan bertindaksebagai realisasi ketaatan kepada Allahdan Rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwaIbnu Taimiyah menempatkan ulamapada posisi yang sangat penting danistimewa, karena ilmu pengertahuanyang mereka miliki dan telah menjagaserta menyebar luaskan syariat dalammasyarakat,sedangkan penguasa harusbertindak dan memerintahkan sesuaidengan nasehat dan petunjuk paraulama. Ini pendapat yang lebih kuat diantara pendapat ulama.28

Ini menunjukkan bahwa IbnuTaimiyah menempatkan ulama padaposisi yang sangat penting danistimewa, karena ilmu pengertahuanyang mereka miliki dan telah menjagaserta menyebar luaskan syariat dalammasyarakat, sedangkan penguasa harusbertindak dan memerintahkan sesuaidengan nasehat dan petunjuk para

28 Ibnu Taimiyah,diterjmh. RafiqMenewai, 1995. As-Siyasah As-Syai’ah FilIslami Ra’ayiwar Raiyah.. Siasah Syariah EtikaPolitik Islam, Cet.I Risalah Gusti Bandung,hal 154

Page 17: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 47

ulama.Menurut Ibnu Taimiyah, dalam

Negara Islam terdapat dua macamkekuasaan yaitu kekuasaan para ulamayang disebut dengan Syaikhul Ad-Diin,dan kekuasaan para raja atau kepalaNegara. Mareka itu dipatuhi sesuaidengan bidangnya masing-masing.Ulama dipatuhi yang berkenaan denganibadah dan pernafsiran Al-Qur’an danHadis. Sedangkan penguasaan dipatuhidalam hal-hal yang berhubungandengan jiwa dan hukum-hukum yangsesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnahdan serta tindakan-tindakan yangdiperintahkan dari Allah. Jadi, dalam iniulama berperan sebagai penafsiran danpenasehat, sedangkan penguasasebagai pelaksanaan hukum.

Seorang imam atau pemimpin,pemerintahan Islam menurutnya harusmampu memimpin shalat danmengorganisasikan jihad. Ini karenakeduanya merupakan tugas terpentingdalam Islam. Jadi apabila seorangimam telah mampu menegakkan tiangagama secara baik. Maka masyarakatdapat terhindar dari kejahatan ataudapat menolong masyarakat untukmentaati perintah Allah dan Rasulnya.Kewajiban mengorganisasikan jihadbagi seorang imam penting dalampandangan Ibnu Taimiyah. Apabilaorang-orang diluar Islam menghambatdan menghalang-halangi seruan Islam,yaitu seruan Allah, maka kaum musliminberkewajiban untuk memerangimereka. Dan membebaskan dunia darihamba-hambanya yang maksiat. Dalamhal ini Ibnu Taimiyah orang yang palingkeras menghadapi orang kafir dancukup beramsumsi dalammelaksanakan jihad, sehingga digelarsebagai palahwan, karena

penampilannya yang cukupmenyakinkan dalam perang melawantentara Mongolia. Ini semua dipergaruhioleh politik Islam yang sangatmemprihatikan, dan islam pada masaitu bersifat depensif.

Seorang khalifah dalammenjalankan tugasnya tidak terlepasdari sistem permusyawaratan, karenatanpa adanya konsultasi dari semuapihak, maka sesuatu tujuan tidak akanterwujud. Menanggapi hal tersebut IbnuTaimiyah mempunyai cara tersendiri,ia menginginkan adanya pengertianyang lebih luas tentang posisi ulamadan cendekiawan. Menurutnyaseseorang khalifah harus menerimapendapat dari para ulama dancendekiawan serta menerima jugapendapat dari semua orang yangmempunyai oteritas dari lapisanmasyarakat.

Ibnu Taimiyah senantiasamempunyai kecendrungan untukmemperhatikan kebutuhan masyarakatsampai kelapisan masyarakat yangpaling bawah. Dalam Islam adalah Hasilsumpah setia antara warga Negara danpemimpinnya serta mendapatdukungan serta kesertian darimasyarakat. Sumpah setia inimerupakan keputusan paling utamabagi warga Negara dari merupakansebuah perjanjian untuk ditaati Imanselama tindakannya sesuai denganperintah Allah dan RasulNya. Keputusankepada pemimpin mempunyaipengertian yang berbeda antara IbnuTaimiyah dengan pendahuluannya.Ibnu Taimiyah tidak menghendakiketaatan yang beku dan pasif, tetapiketaatan menurut beliau adalah harusdisertai dengan berpartisipesi dalamkehidupan masyarakat.

Page 18: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

48 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

Menurut beliau Negara adalahsuatu organisasi yang didalamnyaterdapat Imam atau pemimpin danrakyat yang sama-sama berjuang untukmerealisasikan hal-hal yangdikehendaki Allah dan Rasulnya. IbnuTaimiyah dalam hal ini banyakmemberikan penjelasan kepadadisiplin pribadi yang dapat memberikanjaminan dan dorongan kepada setiapwarga Negara. Di mana setiap anggotamasyarakat berperan untukmenyerukan kepada kebaikan danmemerangi kejahatan serta berperanuntuk berpartisipasi meningkatkanmoral dan memberikan kritik-kritik yangmembangun. Warga Negaraberkewajiban pula untuk mengawasipemerintah dan aparatnya dalammenjalankan tugas yangberhubungan dengan kepentinganNegara.

Kepantasan rakyat kepadaNegara adalah dalam bentuk mentaatisegala peraturan undang-undang yangtelah ditetapkan untuk menjagakepentingan umum dan tujuan yanghendak dicapai. Kewajiban dan taatkepada Negara bukanlah suatukepatuhan yang mutlak, akan tetapidibatasi dengan syarat-syaratnya, yaituselama tidak bertentangan denganIslam maka masyarakat mematuhinya.Dalam menghadapi Imam ataupemimpin yang fasik. Ibnu Taimiyahmembuat perbedaan antarapengingkaran dan pemberontakan:menurutnya rakyat dibenarkanmengingkari perintah-perintah yangmenyeleweng dari ajaran Islam tetapi

29 Qamaruddin Kham: The PaliticalThanght Of Ibnu Taimiyah, Terj. Anas

tidak dibenarkan memberontak danmengangkat senjata untukmelawannya. Ia menegaskan bahwapenguasaan yang bagaimanapun lebihbaik dari pada tidak ada penguasanatau perang saudara.

Ibnu Taimiyah juga berpendapatbahwa pemerintahan Rasul MuhammadSaw, hanyalah sebuah pemerintahankenabian yang ditentukan oleh Allah.Ibnu Taimiyah enggan menyebut NabiMuhammad sebagai khalifah yangmerangkap sebagai Rasul karenamenurut pendapatnya istilah khalifahatau imam timbul setelah wafatnyaRasulullah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyahmempunyai alasan yang kuat untukmembedakan pemerintahan kenabiandengan pemerintahan kerajaan, danuntuk menjaga martabat kenabianMuhammad jangan sampai disamakandengan martabat seorang raja.Menurutnya, Nabi Muhammad Sawharus dibatasi bukan karena beliausebagai kepala Negara, tetapi karenabeliau Rasulullah yang menerimaamanat dari Allah dan bukan diangkatoleh orang-orang kuat ataupendungkung-pendungkungnya dan iatidak pula mempertanggung jawabkankepada mereka. Ringkasnya, keputusankepada Nabi Muhammad bukanlahkarena ia mempunyai otaritas sebagaiseorang kepala pemerintahan atauraja. Tetapi keputusan kepadanyasemata-mata Allah telah mewajibkansupaya kita mematuhinya.29

Ibnu Taimiyah tidak bermaksudmenyatakan pemerintahan NabiMuhammad tidak terdapat otaritas, ia

Mahyuddin 1983, Pemikiran Politik IbnuTaimiyah, Cet,1. Pustaka Bandung, hal. 142.

Page 19: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 49

hanya ingin mengemukakan bahwaoteritas pada waktu itu tunduk kepadaoteritas Nabi, bahwa oteritas politiktersebut tidak memperoleh kekuatandari sektor lain, melainkan darikehendak moral rakyat. Dan IbnuTaimiyah berkeberatan untukmenyebutkan pemerintahan Nabisebagai sebuah Negara.

2. Tujuan Negara Menurut IbnuTaimiyah

Mengenai tujuan Negara,menurut Ibnu Taimiyah tujuan negaraadalah berlakunya syari’ah danmenjadikan syari’ah kekuasaan tertinggidi negara tersebut (mewujudkankepatuhan hanya kepada Allah). Makakewajiban seorang imam ditentukanoleh fungsi dan tujuan syari’ah. Selainitu juga mengubah bangunan danfondasi serta kaitan-kaitan masyarakat,bahkan membangun akidah, akhlak,kebudayaan dan tradisi sosial.Menurutnya negara timbul karenaperlunya menegakkan doktrin amarma’ruf nahî munkar. Baginya, Amarma’ruf nahi mungkar tidak mungkindiwujudkan tanpa adanya negara.Negara adalah amanah, dan negarabertujuan untuk menegakkan syariah.Mengurusi masalah-masalahkemanusiaan adalah salah satu diantarasyarat-syarat terpenting dari agamaIslam, bahkan lebih dari itu, tanpamengurusi masalah-masalah manusia,agama tidak dapat bertahan. Tugasuntuk menyeru kebaikan dan mencegahkejahatan tidak dapat dilaksanakandengan sempurna tanpa kekuasaan danotoritas, tanpa adanya Negara. Kitatidak mungkin mewujudkan politik dan

30 Wagar Ahmad, Al-Hasaini, 1994Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Pustaka

keadilan ekonomi Islam, melaksanakanhukum-hukum Islam, menciptakansistem pendidikan Islam danmempentahankan kebudayaan Islamdari dalam dan luar Islam. Tidak adaNya Negara menyebabkan masyarakattidak berdaya menghadapi penguasa-penguasa yang kejam, dan Islam akanmenyempit menjadi ibadah teoribelaka. Selama dari itu janji Islamsebagai petunjuk bagi kebahagiaanmanusia didunia dan di akhirat tidakakan terbukti karena merupakan suatuperjuangan untuk merealisasi hal-halyang spiritual dalam organisasimanusia.30

Ibnu Taimiyah dalammengemukakan argumentasinyapercaya bahwa negara sangatdiperlukan untuk melindungi agama,bahkan merupakan kesatuan yang takdapat dipisahkan, tapi beliau tidakberanggapan bahwa negara bukanlahtujuan utama dari Rasullah di sampingitu beliau menyetujui pendapat filosofmuslim yang mengemukakan bahwasatu-satunya misi Nabi adalahmenciptakan tata kelola politik yangadil.

Ibnu Taimiyah tidak maumempersamakan Rasulullah denganprolitikus-prolitikus lainnya dalampembentukan sebuah Negara.Walaupun ia percaya bahwa Negarapada dasarnya merupakan sebuah tatasosial politik yang akanmempertahankan ajaran-ajaran. IbnuTaimiyah sama sekali tidakmeremehkan masalah memdirikanNegara sebagai sebuah alat untukmewujudkan tujuan-tujuan agamadengan sempurna. Ibnu Taimiyah tidak

Salam Bandung, hal. 10

Page 20: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

50 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

memandang khalifah secara universaldari tunggal. Menurutnya dibolehkanpengangkatan beberapa khalifah atauimam dalam jumlah yang banyak untukberkuasa, jika situasi mengizinkan yangterpenting menurut Ibnu Taimiyahadalah kekuatan dan kesanggupanseorang khalifah atau imam itu dalammenjaga amanah yang diberikankepadanya.

Kedudukan kepala Negara ataukhalifah menurut Ibnu Taimiyahhanyalah menjalankan amanah. Dalamhal ini beliau sangat menghargaiperanan para ulama dalampengangkatan seorang khalifah danmendirikan sebuah Negara. IbnuTaimiyah menafsirkan ulama dalam artiyang sangat luas, karena menurutnyapengertian ulama disini termasuksemua orang yang berpengetahuandan berpendidikan, mereka yangmenginterpertasikan syariat Islamsecara tepat dan benar sertamenyesuaikandengan situasi dankondisi dalam struktur pemerintahan.Persoalan utama dalam teori politikIbnu Taimiyah adalah memberlakukanhukum syari’ah yaitu hukum syari’ahdijadikan sebagai penguasa tertinggi(kedaulatan syari’ah) dalam suatupemerintah.

Posisi rakyat pada polapemerintahan hanyalah sebagaipembantu kepimpinan dan berfungsidalam batas tertentu. Pemerintahandan rakyat tidak mempunyaiwewenang untuk menciptakan hukumtetapi berkewajiban melaksanakanperaturan-peraturan yang telah

31 Abul A’la Al-Mandudi, 1995.Hukum dan Konstitusi Sistem politik Islam(Terjemahan) dari The Islamic Saw and Cons

ditentukan oleh Allah Swt. IbnuTaimiyah dalam kebebasan berfikirmengeluarkan kritikan terhadappemerintah bukan lah berarti bebasmengeluarkan pendapat sesuai hawanafsu tapi prinsip kebebasan itu harussesuai dengan syariat dan tidakmenolak atau membantah kekuasaanislam.31 Politik yang dikembangkanoleh Ibnu Taimiyah mendekati kepadasistem demokrasi, karena peran rakyattetap diakui, dan konsep kedaulatansyariah yang dikembangkan oleh IbnuTaimiyah menjadikan pemerintahanIslam bersifat Negara hukum.

E. KesimpulanIbnu Taimiyah merupakan salah

satu ulama islam yang memilikipandangan tentang politik yangmodern, tapi dari cara pandang politikyang beliau kemukakan selaluberpegangan pada hukum syari’ah.Walaupun banyak dari paracendikiawan islam mengagangap beliausudah menyimpang sehingga harus dipenjara. Dari paparan beberapa babyang sudah penulis utarakan makapenulis dapat menarik kesimpulanbahwa.

1. Ibnu Taimiyah mewakilipemikiran politik klasik danpertengahan mengembangkanteori politik kedaulatan syariat,yaitu meletakkan syariat Islamsebagai hukum tertinggi dalampemerintahan. Di sini berartipemimpin Negara tidakmempunyai kuasa mutlak.

titutiof Cet. Iv, Mizan Bandung, hal.203

Page 21: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 51

2. Ibnu Taimiyah menyatakan,Negara adalah suatu organisasi,kerja sama masyarakat yangdapat mendekatkan diri kepadaAllah. Kedudukan seorangpemimpin dalam sebuahpemerintahan mempunyaitanggung jawab yang palingbesar dalam masyarakat.Karena itu pemerintah adalahsatu-satunya jalan untukmenyatukan agama Islam.Akan tetapi dalam agama IslamAl-Quran dan Hadist tidakmenuntut di bentuk sebuahNegara Islam, akan tetapidalam Al-Quran terdapat unsur-unsur yang esensial yangmenjadi dasar pembentukansebuah Negara

3. Menurut Ibnu Taimiyah, dalamNegara Islam terdapat duamacam kekuasaan yaitu:kekuasaan para ulama yangdisebut dengan syaikkul Ad-Diin,dan kekuasaan para raja ataukepada Negara. Mareka itudipatuhi sesuai denganbidangnya masing-masing.Ulama dipatuhi yang berkenaandengan ibadah dan pernafsiranAl-Qur’an dan Hadis. Sedangkanpenguasaan dipatuhi dalam hal-hal yang berhubungan denganjiwa dan hukum-hukum yangsesuai dengan Al-Qur’an danSunnah dan serta tindakan-tindakan yang diperintahkan dariAllah. Jika jelaslah disini bahwaperanan ulama sebagaipenafsiran dan penasehat,sedangkan penguasa sebagaipelaksanaan hukum.

4. Ibnu Taimiyah tidakmenetapkan model atau jenisdari pemerintahan tersebut,yang penting adalahdiberlakukannya syariat Islamhasil dari pernafsiran paraulama dan cendekiawan yangbersikap terbuka dan parapemimpin Negara hanyamenjalankan peraturantersebut. Inilah politik Islamideal menurut Ibnu Taimiyah.

F. Daftar Pustaka1. Buku

Abd. Moqsith Ghazali dan Suwendi,1999, Relasi Agama dan NegaraDalam Perspektif Ali Abdurraziqdan Abdurrahman Wahid, MajalahAula, No 6 th. XXI

Abdul Rojak , Jeje.1999 PolitikKenegaraan, Pemikiran-pemikiranal-Ghazali dan Ibnu taimiyyah,(Surabaya. PT.Bina Ilmu)

Abd. Salam Arif, Relasi Agama danNegara dalam Perspektif Islam,Jurnal Herme-nia

Arikunto, Suharsmi, 2002, Prosedurpenelitian, suatu pendekatanpraktek, Jakarta: PT. Rineka cipta

Black, Antony, 2001, Pemikiran PolitikIslam: Dari Masa Nabi HinggaMasa Kini (Jakarta: Serambi)

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-DasarIlmu Politik (Jakarta: GramediaPustaka Utama)

Basyir, Ahmad Azhar, 1990, RefleksiAtas Persoalan Keislaman,Seputar Filsafat Hukum, Politikdan Ekonomi, editor FauziRahman, Mizan, Bandung

C.E. Bosworth, 1993, “The IslamicDynasties”, Terj. Ilyas Hasan,

Page 22: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku Muzaffarsyah

52 Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016

”Dinasti-dinasti Islam”, Bandung:Mizan

Drs. C. S. T. Kansil, S.H dan Christine S.T Kansil, 2010, Ilmu Negara UntukPerguruan Tinggi. Jakarta: SinarGrafika

Engineer, Asghar Ali, 2000, DevolusiNegara Islam, (terj) ImamMuttaqin, Yogyakarta, PustakaPelajar

Fatah, R. Eep Saifullah, 1994, Masalahdan Prospek Demokrasi diIndonesia, Jakarta, GhaliaIndonesia

Firdaus A.N. 2003, “Pedoman Islamdalam Bernegara”, Jakarta: PT.Bulan Bintang, Th, HenryJschmanot, Filsafat Politik; KajianHistoris dari zaman Yunani Kunosampai Zaman ModernYogyakarta: Pustaka Pelajar

Hamid, Sha’ib Abdul, 2009. IbnuTaimiyyah Rekam Jejak SangPembaharu Jakarta: Citra

Iqbal, Muhammad, 2007., Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin PolitikIslam, (Jakarta, Gaya MediaPratama)

Ishak, Muslim, 1988, “Sejarah danPerkembangan Teologi Islam”,Semarang: Duta Grafik

J. Laski, Harold, 1974, The State InTheory and Practice, The VikingPress, New York

Jindan, Khalid Ibrahim, 1995, TeoriPolitik Islam, Telaah Kritis IbnuTaimiyah tentang PemerintahanIslam, Surabaya: Risalah Gusti

Mas’adi, Ghufran A., 1993,“Ensiklopedia Islam”, Jakarta : PTIntermasa, Cet Ke-1

Moleong, 2005. Metodologi KualitatifEdisi Revisi. Bandung: PT RemajaRosdakarya

Pulungan, Suyuthi. 2002. Fiqih Siyasah:Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Kham, Qamaruddin: The Palitical Thangkt Of Ibnu Taimiyah, Terj.Anas Mahyuddin 1983, PemikiranPolitik Ibnu Taimiyah

Purnomo, Sjechul Hadi, 2004, Islamdalam Lintas Sejarah Perpolitikan.(teori dan praktik). CV. Aulia.Surabaya.

Rosyada, Dede, 2003, Pendidikankewargaan (Civic Educational,Demokras, Hak asasi manusia,dan Masyarakat madani). PrenadaMedia. Jakarta.

Rasul Jakfarian, 2003 Sejarah Islam,Sejak wafat Nabi SAW HinggaRuntuhnya Dinasti Umayya,(Jakarta, Penerbit Lentera)

Salim, M. Arskal, 1999, “Etika IntervensiNegara Perspektif politik IbnuTaimiyah”, Jakarta: Logos, Cet ke-1

Sjadzali, Munawir, 1990 Islam dan TataNegara: ajaran, sejarah danpemikiran (Jakarta : UI Press)

Sjadzali, Munawir. 1990. Islam Dan TataNegara: Ajaran, Sejarah danPemikiran. Jakarta: UI-Press. Hal

Taimiyah, Ibnu, 2004, Tugas Negaramenurut Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar)

______________diterjmh. RafiqMenewai, 1995. As -Siyas ah As -Syai’ah Fil Islami Ra’ayiwarRaiyah.. Siasah Syariah EtikaPolitik Islam, Cet.I Risalah GustiBandung

Page 23: PEMIKIRAN POLITIK ISLAM Iwan Swasana, Muntasir dan Teuku

Pemikiran Politik Islam(Studi Analisis Pemikiran Ibnu Taimiyah Mengenai Hakikat Negara)

Jurnal Politik dan Pemerintahan Volume 1 Nomor 2 Oktober 2016 53

___________________, 1994, “TheIslamic Theory Of Govermentaccording To Ibnu Taimiyah”,Terj. Rineka Cipta “TeoriPemerintahan Islam Menurut IbnuTaimiyah “, Jakarta : Rineka Cipta

_________________, “al-Furqan BainaAwliyah al-Rahman Wa-Awliyahal- Syaitan”, Terj, AbdurahmanMasykur, Jakarta: Pusta Pancimas

Wahib Wahab, Menggagas ReformulasiRelasi Negara dan Rakyat:Perspektif Teo-logi Politik Islam-Hermeneutik, dalam JurnalParamedia

Wagar Ahmad, Al-Has aini, 1994, Sistem Pembinaan Mas yarakat Islam, Pus taka Salam Bandung

2. SkripsiAzis, Taefur 2008, Bentuk Negara

Menurut Ibnu Timiyah. (SkripsiUniversitas Islam Sunan Kalijaga)Yogyakarta

Dedi Syaputra, 2011 ETIKA POLITIK(Studi Pemikiran Ibnu Taimiyahdalam Kitab al-Siyâsah al-Syar’îyyah fî Ishlâh al-Râ’î wa al-Ra’îyyah)., UIN Sunan KalijagaYogyakarta.

Juharmen, (2010) Konsep Negara StudiKomparasi Pemikiran IbnuTaimiyah Dan Muhammad 'AbidAl-Jabiri. Skripsi, UIN SunanKalijaga Yogyakarta.

3. Internethttp://kuliahfilsafat.blogspot.com

definisi-negara-oleh-para-ahli.html di akses 20 april 2015

Nurcholish Madjid, Telaah atas FiqhSiyasy Sunni, www.artikelislam.com di akses tanggal 30 april

Fanani, Ahmad Fuad, “ReposisiHubungan Agama dan Negara”,Harian Kompas, Senin, 1 April2015

http://madalogi.blogspot.com/2012/12/perkembangan-politik-islam-pada-masa.html di akses tanggal4 Agustus 2015

https://prabowosetiyobudi.wordpress.com/2012/08/28/politik-islam-dan-masyarakat-madani/. Di aksestanggal 4 Agustus 2015

www.islam-blogsome.co./islam/2005/12/10/penjara-Ibnu-Taimiyah diakses 1 september 2015