pemikiran muhammad abduh

24
1 PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH TENTANG IJTIHAD DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM A. Pendahuluan Islam adalah agama akhir zaman, dimana kesempurnaan dan kebenarannya diciptakan oleh Allah SWT. Kehadirannya dalam sejarah membawa perubahan dan kemajuan besar bagi adab dan budaya umat manusia karena ia menganjurkan agar setiap kaum selalu berusaha untuk mengubah nasibnya 1 . Di awal perkembangannya sewaktu nabi Muhammad SAW., masih ada dan pengikutnya baru terbatas pada bangsa Arab yang terpusat di Makkah dan Madinah, dia diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya sama berkata “kami telah mendengar dan kami taat” 2 . Akan tetapi, perjalanan sejarahnya selama kurun waktu empat abad yang sudah dilaluinya dan bergerak oleh watak aslinya yang membawa dan menganjurkan perubahan itu, setiap mencapai suatu daerah atau memasuki suatu bangsa, ia terpaksa dihadapkan dengan tradisi asli daerah dan suku bangsa tersebut dalam segala bentuk dan aspeknya. Perhadapan muka ini telah menimbulkan aksi dan 1 Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), hal. 1. 2 Ibid, hal. 2

Upload: muhammad-ghozali

Post on 06-Aug-2015

709 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemikiran Muhammad Abduh

1

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

TENTANG IJTIHAD DAN MODERNISASI PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan

Islam adalah agama akhir zaman, dimana kesempurnaan dan

kebenarannya diciptakan oleh Allah SWT. Kehadirannya dalam sejarah

membawa perubahan dan kemajuan besar bagi adab dan budaya umat

manusia karena ia menganjurkan agar setiap kaum selalu berusaha untuk

mengubah nasibnya1.

Di awal perkembangannya sewaktu nabi Muhammad SAW., masih

ada dan pengikutnya baru terbatas pada bangsa Arab yang terpusat di Makkah

dan Madinah, dia diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya

sama berkata “kami telah mendengar dan kami taat”2.

Akan tetapi, perjalanan sejarahnya selama kurun waktu empat abad

yang sudah dilaluinya dan bergerak oleh watak aslinya yang membawa dan

menganjurkan perubahan itu, setiap mencapai suatu daerah atau memasuki

suatu bangsa, ia terpaksa dihadapkan dengan tradisi asli daerah dan suku

bangsa tersebut dalam segala bentuk dan aspeknya. Perhadapan muka ini

telah menimbulkan aksi dan reaksi, membuahkan berbagai hal dan peristiwa,

sebanyak yang positif ada juga yang negatifnya.

Sebenarnya Tajdid atau Pembaharuan dapat ditelusuri latar

belakangnya yang dapat dilihat dalam beberapa faktor, yaitu faktor politik,

sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah pembaharuan terdapat

beberapa tokoh yang cukup terkenal yaitu, Muhammad Abduh. Dimana

pikiran-pikirannya cukup besar pengaruhnya terhadap pembaharuan di dalam

Islam dan Dunia Islam.

 Muhammad Abduh adalah seorang tokoh salaf, tetapi tidak

menghambakan diri pada teks-teks agama. Ia memegangi teks-teks agama

tapi dalam hal ini ia juga menghargai akal. Ia terkenal sebagai bapak peletak

1 Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), hal. 1.2 Ibid, hal. 2

Page 2: Pemikiran Muhammad Abduh

2

aliran modern dalam Islam karena kemauannya yang keras untuk

melaksanakan pembaruan dalam Islam dan menempatkan Islam secara

harmonis dengan tuntutan zaman modern dengan cara kembali kepada

kemurnian Islam.

Kemudian, berdasarkan pandangan sejarah tampak jelas bahwa

aktivitas  ijtihad memang diakui keberadaannya dalam setiap generasi.

Kredibilitas hasil ijtihad senantiasa tidaksama antara mujtahid yang satu

dengan yang lainnya, tergantung pada kemampuan individu atau kelompok

serta kondisi menyeluruh yang melingkupi mujtahid. Hal ini tampak jelas

dalam bidang-bidang yang sudah dihasilkan3.

B. Mengenal Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di Mahallat Nashr, Delta Mesir, Al-

Buhairoh, Provinsi Gharbiyyah (kini wilayah Mesir), pada tahun 1849 dan

meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), tanggal 11 Juli 1905 pada

umur 56 tahun. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairallah memiliki

silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya memiliki silsilah

yang menyambung kepada Umar bin Khaththab, khalifah kedua. Berasal dari

keluarga petani sederhana yang taat beragama dan cinta ilmu. Dia belajar

membaca dan menulis dari kedua orang tuanya. Berkat otaknya yang

cemerlang, Muhammad Abduh bisa menghafal Al Quran dalam waktu 2 (dua)

tahun pada usia 12 (dua belas) tahun4.

Ketika usianya sekitar 13 (tiga belas) tahun, ia dikirim untuk belajar di

Masjid Ahmadi di Tanta yang kemudian menjadi pusat terbesar dari

kebudayaan agama di Mesir di luar al-Azhar. Ia merasa tidak puas dengan

metode mengajar yang digunakan disana (pengajaran dengan menghafal

ulasan teks-teks kuno tanpa memahami maknanya) sehingga setelah beberapa

lama, ia lari dari sana. Ia ingin meninggalkan pelajarannya, tetapi dibujuk

untuk kembali oleh pamannya dari pihak ibu, Syaikh Darwis, yang

3 Munir A dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hal. 6

4 http://susiyanto.wordpress.com, diakses 30 November 2012.

Page 3: Pemikiran Muhammad Abduh

3

pengaruhnya paling menentukan dalam kehidupannya sebelum al-Afghani5,

sehingga ia mau kembali untuk belajar. Kepribadian Syaikh Darwis lembut

yang langka terdapat di Mesir. Ia ahli tasawuf yang bening mata hatinya,

lebih luas ilmunya, yang mengetahui masalah-masalah dunia, namun ia

menjadi orang yang zuhud, menekuni ilmu dan tidak menekuni kekayaan.

Syaikh memandang bahwa dunia sebagai jembatan menuju akhirat.6

Setelah selesai studi di Tanta, Abduh kemudian melanjutkan

perjalanan studinya ke al-Azhar di Kairo, tempat ia tinggal disana dari 1869

M hingga 1877 M. Ia terutama tertarik kepada seorang syaikh yang memberi

kuliah mengenai logika dan filsafat, tetapi juga tertarik lebih jauh pada

teologi mistik. Mistisisme masih menjadi bahan kajian dari karyanya yang

pertama diterbitkan. Ia pernah menjalani kehidupan asketis yang berlebihan,

menghindari hubungan dengan manusia lain, tetapi ia diselamatkan dari

bahaya kehidupan itu mula-mula oleh campur tangan Syaikh Darwis,

kemudian melalui pertemuan pertamanya dengan Jamaluddin al-Afghani

tahun 1871 M.7 Abduh menjadi murid dari Jamaluddin al-Afghani, seorang

filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan Islamisme untuk

menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad

Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena

keterlibatannya dalam pemberontakan Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat

dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah

ke Paris, dan bersama al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest

Bond. Salah satu karya Abduh yang terkenal adalah buku berjudul Risalah at-

Tauhid yang diterbitkan pada tahun 1897. Abduh menjadi sorang pemikir

Muslim dari Mesir dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam.8

5 Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Penerjemah: Suparno, dkk, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 211.

6 H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 432.

7 Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 212.8 http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh, diakses 29 November 2012.

Page 4: Pemikiran Muhammad Abduh

4

C. Latar Belakang dan Corak Pemikiran Muhammad Abduh

Pemikirannya banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah dan

pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, Abduh berpendapat,

Islam akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi

juga ilmu sains. Latar belakang pemikiran Abduh banyak lahir atas refleksi

terhadap kondisi realitas masyarakat kala itu yang memprihatinkan. Terjadi

kemunduran intelektual umat Islam dengan ditandai beberapa hal :

1. Bahwa masyarakat Muslim mengalami kemunduran akibat kepercayaan

terhadap taqlid “mengalahkan” kepercayaan terhadap teks ajaran agama

(al-Qur’an dan hadis) yang sesungguhnya;

2. Stagnasi (kemandegan) pemikiran masyarakat Muslim. Abduh melihat

bahwa salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam yang amat

memprihatinkan adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya

ialah kebebasan berpikir.

3. Kondisi lemah dan terbelakang kaum Muslim disebabkan oleh faktor

eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi

masyarakat Muslim dan realitas internal seperti situasi yang diciptakan

oleh kaum Muslim sendiri.9

D. Beberapa Pemikiran Muhammad Abduh

Diantara sekian banyaknya pemikir muslim, pemikiran Muhammad

Abduhlah adalah salah satu yang mendapat tanggapan dari masyarakat luas.

Baik yang pro maupun yang kontra. Hal ini disebabkan buah pikirannya dan

tulisan-tulisan Abduh yang bersifat apologetik yang menyangkut aspek

politik, pendidikan tafsir, tauhid, sastra dan lain sebagainya. Ide dan

pemikiran Abduh ini kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh murid

terbaiknya Rasyid Ridha. Selain itu, Muhammad Abduh dikenal sebagai

tokoh pemikir yang independen dan bersikap liberal, karena ia banyak

9 Yuliani Lupito, Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah: Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 41

Page 5: Pemikiran Muhammad Abduh

5

bersentuhan dengan peradaban Barat. Berikut ini merupakan pemikiran-

pemikiran dari Muhammad Abduh

1. Ketauhidan (Akal dan Wahyu)

Secara umum, ada 2 (dua) pemikiran pokok yang menjadi fokus

utama pemikiran Muhammad Abduh, yaitu:10

a. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang

menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya

salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-

Qur’an dan Hadits. Sehingga ini memberikan anggapan bahwa setiap

orang boleh berijtihad.

b. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam

percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam

tulisan-tulisan di media massa. Hal ini juga merupakan salah satu point

yang ditekankan Hasan al-Banna yang merupakan salah satu

pengagum Muhammad Abduh dan Al-Manarnya.11

Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Abduh memberikan peranan

yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan

olehnya, sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad

Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada

Mu’tazilah.12 Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini :

a) Tuhan dan sifat-sifat-Nya;

b) Keberadaan hidup di akhirat;

c) Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan

dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap

tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;

d) Kewajiban manusia mengenal Tuhan;

10 M. Quraisy Syihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 19.

11 http://samadaranta.wordpress.com/2010/10/19/sejarah-dan-pemikiran-muhammad-abduh,

diakses 30 November 2012.12 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, (Jakarta: UI Press, 1978), hlm.

57.

Page 6: Pemikiran Muhammad Abduh

6

e) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat

untuk kebahagiaan di akhirat;

f) Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu;

2. Pendidikan Islam

Pendidikan pada umumnya tidak diberikan kepada kaum wanita,

sehingga wanita tetap tinggal dalam kebodohan dan penderitaan. Abduh

berpandangan bahwa penyakit tersebut antara lain berpangkal dari

ketidaktahuan umat Islam pada ajaran agama yang sebenarnya, karena

mereka mempelajari dengan cara yang tidak tepat. Menurut Abduh,

penyakit tersebut dapat diobati dengan cara mendidik mereka dengan

sistem pengajaran (tepatnya pembelajaran) yang tepat.

Sistem pendidikan yang ada pada masanya yang selanjutnya

melatarbelakangi pemikiran pendidikan Muhammad Abduh. Sebelumnya,

pembaruan pendidikan Mesir diawali oleh Muhammad Ali. Dia hanya

menekankan pada perkembangan aspek intelektual dan mewariskan dua

tipe pendidikan pada masa berikutnya. Model pertama ialah sekolah-

sekolah moderen, sedang model kedua adalah sekolah agama. Masing-

masing sekolah berdiri sendiri, tanpa mempunyai hubungan satu sama

lain. Pada sekolah agama tidak diberikan pelajaran ilmu-ilmu moderen

yang berasal dari Barat, sehingga perkembangan intelektual berkurang.

Sedangkan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya

diberikan ilmu pengetahuan Barat, tanpa memberikan ilmu agama.

Dualisme pendidikan yang memunculkan dua kelas sosial yang

berbeda. Yang pertama menghasilkan ulama serta tokoh masyarakat yang

enggan menerima perubahan dan mempertahankan tradisi, sedang sekolah

yang kedua menghasilkan kelas elit. Generasi muda yang dimulai pada

abad 19, dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh, membuat mereka

dapat menerima ide-ide Barat. Abduh melihat segi negatif dari dua model

pendidikan tersebut, sehingga mendorongnya untuk mengadakan

perbaikan pada dua instansi tersebut.

Page 7: Pemikiran Muhammad Abduh

7

Pendidikan adalah satu-satunya cara yang efektif untuk mencapai

kedewasaan nasional dan kemerdekaan yang sejati.13 Ketika mendekati

akhir abad ke-19 (Sembilan belas), ide ini mendapatkan dukungan yang

kuat dari sebuah buku yang kini dilupakan, tetapi mendapat sambutan

besar pada masanya. Karya E. Demolins, A quoi tient la superiorite des

Anglo Saxons?. Dalam buku ini, Demolins, menjelaskan mengapa

masyarakat Anglo-Saxon menaklukkan dunia dan menjadi yang terkuat

dan termakmur di dunia. Alasan yang ia kemukakan adalah bahwa mereka

telah mengembangkan inisiatif individu sampai pada suatu tingkat yang

belum pernah terbayangkan sebelumnya. Selanjutnya, mengenai hal ini

terdapat dua alasan: tujuan utama dari pendidikan mereka adalah untuk

melatih manusia dalam kehidupan dunia modern, sementara pendidikan

Perancis ditujukkan untuk menyesuaikan manusia hanya pada kehidupan

di tengah masyarakat yang tidak berubah berdasarkan keluarga dan negara

dan sementara semangat nasional Perancis bersifat militeristik, menuntut

pengorbanan individu demi kebesaran dan kekuatan bangsa, nasionalisme

Anglo-Saxon adalah personal berdasarkan pada kebebasan individu dan

bertujuan demi kesejahteraan individu.14 Dari latar realitas dualisme

pendidikan diatas, kemudian Abduh melakukan pembaruan dan perubahan

pendidikan diantaranya :

a. Tujuan Pendidikan

Menurut Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan

jiwa dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang

mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang

dirumuskan Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual.

Dengan tujuan tersebut ia menginginkan terbentuknya pribadi yang

mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya

menekankan pengembangan akal, tetapi juga pengembangan spiritual.

Abduh berkeyakinan apabila aspek akal dan spiritual dididik dengan

13 Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 291.14 Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 291.

Page 8: Pemikiran Muhammad Abduh

8

cara dicerdaskan dan jiwa dengan agama, maka umat Islam akan

dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan baru, dan dapat

mengimbangi mereka dalam kebudayaan.

b. Kurikulum Sekolah

Kurikulum yang dirumuskan Muhammad Abduh adalah

sebagai berikut: (a) Untuk tingkat sekolah dasar: membaca, menulis,

berhitung, dan pelajaran agama dengan materi akidah, fikih, akhlak,

serta sejarah Islam. (b) Untuk tingkat menengah: manthiq dan dasar,

dasar penalaran, akidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil

yang pasti, fikih dan akhlak, dan sejarah Islam. (c) Untuk tingkat atas:

tafsir, hadits, bahasa Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan

pembahasan yang rinci, sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar

berdiskusi, dan ilmu kalam. Dari penerapan kurikulum di atas, tampak

bahwa Abduh ingin menghilangkan dualisme pendidikan yang ada

pada saat itu. Dia menginginkan sekolah-sekolah umum memberikan

pelajaran agama dan al-Azhar diharapkan menerapkan ilmu-ilmu

yang datang dari Barat.

c. Metode Pengajaran

Abduh menekankan pemberian pengertian (pemahaman)

dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para

pendidik untuk tidak mengajar murid dengan metode hapalan, karena

metode hapalan menurutnya hanya akan merusak daya nalar. Abduh

menekankan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang

mendalam kepada murid.

d. Pendidikan bagi Perempuan

Menurut Abduh, pendidikan harus diikuti oleh semua orang,

baik laki-laki maupun perempuan. Menurutnya perempuan haruslah

mendapat hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini

didasarkan kepada QS al-Baqarah (02): 228 dan QS al-Ahzab (33):

35.

Page 9: Pemikiran Muhammad Abduh

9

3. Ijtihad

Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang dipandangnya

sebagai faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh

tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian

lama mengalami pengerakan tersebut akan melahirkan ide tentang

perlunya melaksanakan kegiatan ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan

menghentikan akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat

bertentangan dengan akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan,

dan taklid itu juga bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam15.

Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam

bentuknya yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah

dengan pengkultusan. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan

pemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat Islam.

Ijtihad menurut Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu

dilakukan. Namun, menurut ia bukan berati setiap orang boleh berijtihad.

Hanya orang-orang tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan

ijtihadlah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan

langsung terhadap al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dari ajaran Islam16.

Lapangan ijtihad adalah mengenai soal-soal muamalah yang ayat-ayat dan

haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah

bukanlah bagian dari lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan

hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan

manusia yang tidak menghendaki perubahan menurut zaman.

Bahwasanya keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat

Islam disebabkan oleh pandangan dan sikap jumud. Maka untuk

membebaskan umat Islam dari taklid, dan kembali kepada ajaran Islam

yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Bahkan Abduh mengecam

orang yang melakuakan taqlid. Orang yang melakukan taqlid

15 Muhammad Al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet. I, hal. 91

16 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 64

Page 10: Pemikiran Muhammad Abduh

10

(muqallid), menurut Abduh, memiliki derajat yang lebih rendah dari orang

yang diikutinya. Karena muqallid hanya melihat lahir perbuatan

orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan rahasia

perbuatannya. Hal ini  membuat pekerjaan muqallid menjadi tanpa

dasar dan tidak karuan.

Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan

pemberantasan taklid, tampaknya didasari atas kepercayaannya yang

tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam menempatkan akal

pada kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat membedakan antara baik

dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Islam

adalah agama yang rasional, dan menggunakan akal merupakan salah satu

dari dasar-dasar Islam. Kebenaran yang dicapai akal tidak bertentangan

dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu. Menurutnya dalil akal

yang meyakinkan bertentangan dengan dalil naql yang tidak meyakinkan.

Namun, masih menurut Abduh, ada dua cara yang dapat

ditempuh jika ditemukan adanya kontradiksi antara dalil akal dengan dalil

naql. Pertama, kita menerima dalil naql itu sebagai dalil yang sah, tetapi

kita mengakui bahwa kita tidak mampu untuk memahaminya dan

menyerahkan hal yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Kedua, kita

menta’wilkan dalil naql itu sesuai dengan tata bahasa sehingga artinya

dapat menjadi sesuai dengan yang ditetapkan oleh akal17.

Meskipun begitu, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal 

manusia. Menurutnya, selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab,

tanpa wahyu akal tidak mampu membawa manusia untuk mencapai

kebahagiaan. Selanjutnya, Abduh berpendapat bahwa masalah-

masalah yang berkenaan dengan hakekat Tuhan dan masalah-

masalah metafisika, bukan merupakan wilayah sepenuhnya dapat

dijangkau akal. Karena itu, penjelajahan akal dalam hal seperti itu

perlu dibatasi.

17 Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo, 2003), hal. 24

Page 11: Pemikiran Muhammad Abduh

11

Disamping itu, akal juga memiliki keterbatasan dalam

mengetahui kegunaan perbuatan-perbuatan tertentu, seperti jumlah

raka’at shalat dan amalan-amalan dalam ibadah haji, dan

sebagainnya. Dengan demikian, ijtihad menurut Abduh sangat diperlukan

dalam Islam, agar umat tidak terbelenggu oleh taklid dan memberikan

kebebasan bagi umatnya untuk berijtihad selagi tidak bertentangan dengan

ajaran Islam.

4. Politik

Menurut Muhammad Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk

tertentu dalam pemerintahan. Jika bentuk khalifah masih tetap menjadi

pilihan dalam pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti

perkembangan masyarakat18. Ini mengandung maksud bahwa apa pun

bentuk dari suatu pemerintahan, Abduh menghendaki pemerintahan yang

dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan

zaman.

Abduh mengatakan bahwa rakyat merupakan sumber kekuasaan

bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan memiliki hak memaksa

pemerintah. Oleh karena itu rakyat harus menjadi pertimbangan utama

dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan meraka19. Karena sumber

kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama, maksud

dari Muhammad Abduh, bahwa Islam tidak mengenal adanya kekuasaan

agama yakni, Pertama, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada

seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama

agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan. Kedua,Islam tidak

membenarkan campur tangan seseorang, penguasa, dalam kehidupan dan

urusan keagamaan orang lain. Ketiga, Islam tidak mengakui hak seseorang

untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang

agama atas orang lainseperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada

18 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hal. 282

19 Ibid, hal. 286

Page 12: Pemikiran Muhammad Abduh

12

abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada

seorangpun selain kepada Allah dan Rasul-Nya.

Menurut Abduh, salah satu prinsip ajaran Islam adalah mengikis

habis kekuasaan agama sehingga setelah Allah dan Rasul-Nya, tidak ada

seorangpun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan agama orang

lain20.Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi

peringatan tanpa adanya pemaksaan untuk mengikuti ajarannya.

Pendapatnya ini mengisyaratkan ketidaksepakatannya dengan para pemikir

politik pada masa klasik dan masa pertengahan, yang menyatakan bahwa

kekuasaan khalifah atau kepala negara itu merupakan mandat dari Allah,

maka dengan demikian ia harus bertenggungjawab kepada Allah pula.

Menurut Abduh, khalifah atau kepala negara hanya seorang penguasa sipil

yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat dan bukanlah hak Tuhan

untuk mengangkat dan memberhentikannya.

Dalam hal ketaatan, menurut Abduh rakyat tidak boleh menaati

pemimpin yang berbuat maksiat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan

hadits, jika pemimpin berbuat sesuatu yang bertentangan, rakyat harus

menggantinya dengan orang lain, selama proses itu tidak menimbulkan

bahaya yang lebih besar dari pada maslahatnya. Dengan kekuasaan politik

yang dipegang oleh pemimpin, hendaknya prinsip-prinsip ajaran Islam

dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang. Usaha

pemimpin atau pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam

disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada

prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Abduh mengatakan bahwa

harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara

setempat21. Karena setiap negara berbeda menurut perbedaan tempat,

20 Munawir Syadzali, Islam dan Tatanegara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), 131

21 Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo,

2003), hal. 33

Page 13: Pemikiran Muhammad Abduh

13

kondisi perdagangan dan pertanian. Warganya pun berbeda-beda dalam

tradisi, moral, keyakinan, dan sebagainya. Peraturan yang cocok dan

bermanfaat untuk satu bangsa, belum tentu cocok dan sesuai untuk bangsa

yang lainnya. Maka perundang-undangan harus memperhatikan dengan

benar perbedaan manusia, sesuai dengan tingkat, kondisi, tempat tinggal,

keyakinan dan tradisinya. Hal tersebut akan memudahkan baginya untuk

mengambil hal yang berguna dan mencegah dari  yang bahaya.

5. Kebebasan

Bagi Abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga

mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami

(natural) yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan

dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia

dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang

dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya

sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang

ada dalam dirinya.22 Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan

manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah

membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan dan

kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-

perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunatullah

secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunatullah yang telah

ditetapkan-Nya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan

kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunatullah

yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.23.

E. Kontribusi dan Kontekstualisasi Pemikiran Muhammad Abduh

Urgensi mengkaji pemikiran Muhammad Abduh adalah mencoba

menelaah lebih jauh tentang modernisasi pendidikan Islam misalnya, bahwa

22 Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 65.23 Harun Nasution, Muhammad Abduh, hlm. 75 dan 77.

Page 14: Pemikiran Muhammad Abduh

14

manusia hidup untuk menghadapi (bertemu) zaman (kemajuan). Pendidikan

Islam hadir menjawab tantangan zaman yang identik dengan sebutan

modernisasi. Maka pendidikan harus mampu mengemban amanah kemajuan

modernisasi pendidikan. Peta pemikiran Abduh ingin menunjukkan bahwa

Islam mengandung pada dirinya kualitas agama rasional. Ilmu Pengetahuan

sosial dan aturan moral berfungsi sebagai landasan kehidupan modern dan

untuk menciptakan elite yang harus memelihara dan menafsirkannya, jenis

ulama baru yang mampu menyampaikan dan mengajarkan Islam yang

sebenarnya. Memberikan landasan bagi suatu masyarakat yang stabil dan

maju, sebuah kelompok pertengahan diantara kekuatan tradisional dan

revolusioner.24

F. Kesimpulan

Pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan dinilai sebagai awal

dari kebangkitan umat Islam di awal abad ke 20. Pemikiran Muhammad

Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di majalah al-Manar dan al-

Urwatul Wutsqa yang menjadi rujukan para tokoh pembaru dalam dunia

Islam, hingga di berbagai negara Islam muncul gagasan mendirikan sekolah-

sekolah dengan menggunakan kurikulum seperti yang dirintis Abduh.

Nilai-nilai yang ingin ditegakkan Muhammad Abduh melalui

perjuangan dan pemikirannya: (1) Nilai persatuan dan nilai solidaritas, yaitu

usaha yang dilakukan Abduh guna memulihkan kembali kekuatan Islam

dengan membentuk urwatul wutsqa di bawah panji bersama dengan semangat

ukhuwah Islamiyah; (2) Nilai pembaruan. Abduh berusaha mencanangkan

gerakan pembaruan, berusaha membuka pemikiran di kalangan umat Islam

yang beranggapan pintu ijtihad telah tertutup dan taklid; (3) Nilai perjuangan,

yaitu gerakan yang dicanangkan Abduh baik dalam politik secara diplomatis,

maupun dalam bidang pendidikan dan sosial mengandung unsur perjuangan

untuk membela Islam; (4) Nilai-nilai kemerdekaan. Abduh berusaha

membuka pemikiran (bebas mengemukakan pemikiran) umat Islam yang

24 Albert Hourani, Pemikiran Liberal, hlm. 225.

Page 15: Pemikiran Muhammad Abduh

15

selama ini terlalu bergantung dengan pemerintah dan terbelenggu dengan

pemikiran sempit yang statis.

Page 16: Pemikiran Muhammad Abduh

16

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. A. Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan.

Hourani, Albert. 2004. Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Penerjemah: Suparno, dkk, Bandung: Mizan.

http://susiyanto.wordpress.com, diakses 30 November 2012.

http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Abduh, diakses 29 November 2012.

http://samadaranta.wordpress.com/2010/10/19/sejarah-dan-pemikiran-muhammad-abduh, diakses 30 November 2012.

Lupito, Yuliani. 1996. Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.

Nasution, Harun. 1978. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI Press.

Shihab, M. Quraisy. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Jakarta: Pustaka Hidayah.