konsep tuhan menurut perspektif muhammad abduh

95
KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I) Oleh: Josep Iskandar NIM: 101033121751 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)

Oleh:

Josep Iskandar NIM: 101033121751

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/ 2009 M.

Page 2: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai syarat akademisi untuk memenuhi

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)

Oleh Josep Iskandar

NIM: 1010 3312 1751

DI bawah Bimbingan

Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A.

NIP: 150 228 520

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/ 2009 M.

Page 3: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

PEGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari 2009.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 16 Februari 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dra. Ida Rosyidah, M.A. Drs. Maulana, M.A. NIP: 150 243 267 NIP: 150 293 221

Anggota,

Dr. Syamsuri, M.A. Aktobi Gozali, M.A. NIP: 150 240 089 NIP: 150 368 753

Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A. NIP: 150 228 520

Page 4: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah swt.,

Dia-lah Zat Yang Wajib Ada, puncak segala eksistensi, dan atas segala karunia-

Nya yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, dan aqli. Hanya karena-

Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sosok yang

tidak aman sebelum umat-Nya merasa nyaman, dan mendedikasikan hidupnya

untuk membawa umat manusia keluar dari jurang kebiadaban menuju umat yang

dihiasi oleh peradaban, yaitu nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya,

serta para pengikutnya yang selalu mendukung terhadap ajaran yang dibawa

beliau.

Sebagai catatan kecil pembuka ini, sebenarnya belum bisa mewakili

curahan rasa hati penulis. Bahkan dengan jujur seraya tertunduk malu, penulis

berharap tulisan kecil ini dapat mewakili isi kalbu. Dengan penuh hormat, penulis

persembahkan penghargaan yang paling khusus kepada:

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filasafat beserta para pembantu dekan.

2. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Drs. Ramlan Abdul Gani, M.Ag.

selaku ketua dan sekertaris jurusan Aqidah-Filsafat.

3. Bapak Prof. Dr Zainun Kamaluddin K, M.A, selaku Dosen Pembimbing

yang telah memberi pengarahan dalam proses penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen, staf akademik dan staf Perpustakaan Utama UIN, Fakultas

Ushuluddin maupun Perpustakaan Iman Jama.

Page 5: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

5. Kepada kedua orang tuaku, Bapak U. Sukandi dan Ibu Mimin Mintarsih.

Terima kasih atas segala kasih sayang dan dukungannya selama ini, baik

berupa moril, spirituil, maupun materil, yang tanpa dukungan keduanya

mustahil penulis dapat menyelesaikan studi hingga keperguruan tinggi.

Tiada ungkapan dan hadiah yang dapat diberikan untuk menggambarkan

betapa berharganya dan berartinya beliau dihatiku. Aku hanya bisa berdo’a

kepada Allah swt., semoga kesehatan dan keberkahan selalu bersamanya.

Amîn. Terima kasih kepada adik-adikku tersayang (Nur dan Ani) atas

curahan kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepadaku.

6. Teman seperjuangan Aqidah-Filsafat angkatan 2001, Sahal, Faruq, Daus,

Cecep, Ivan, Dahlan, Ikay, Surachman (Dede), Anwar, Ipeh, Ika, dan

semua yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

7. Untuk sahabat-sahabatku Aji, Supri, Ijang, Cumank, Egy, Ali, Yudi, Risti,

Naya, Lilis, Yayi, Sherly, Ia, Sahrul ”TH”, terima kasih atas segala

perhatian, do’a, dan dukungannya selama ini. Untuk terkasih yakni dinda

”Tyan” yang selalu memberi semangat dalam penulisan skripsi ini. Terima

kasih atas segala do’a dan dukungannya.

Akhirnya, segala kebenaran hanya milik-Nya, dan semoga skripsi ini

membawa manfaat bagi khalayak ramai dan akademisi, dan semoga Allah

membalas jasa kebaikan mereka di atas dengan balasan yang setimpal. Âmîn yâ

Rabb al-‘âlamîn.

Jakarta, Februari 2009.

Penulis

Page 6: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ i KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………. v PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………... vii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………... 1

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………. 9

C. Tinjauan Kepustakaan…………………………………………… 9

D. Tujuan Penelitian...……………………………………………... 10

E. Metode Penelitian…..…………………………………………... 11

F. Sistematika Penulisan…………………………………………... 12

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH…………………………….. 13

A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh……………………………. 13

B. Karya-karya Muhammad Abduh……………………………….. 20

C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam………… 22

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN

TUHAN............................................................................................. 27

A. Pengertian Sifat dan Perbuatan………………………………… 27

B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran

Kalam…………………………………………………………... 28

a. Mu’tazilah………………………………………………….. 30

b. Asy’ariyah………………………………………………….. 37

c. Maturidiyyah……………………………………………….. 45

Page 7: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

BAB IV SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH………………………………………….. 51

A. Sifat-sifat Tuhan………………………………………………... 51

B. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada…...………………………… 56

1. Hayah…………………………………………………... 56

2. ‘Ilm……………………………………………………... 57

3. Iradah…………………………………………………... 58

4. Qudrat………………………………………………….. 59

5. Ikhtiar…………………………………………………... 60

6. Wahdah………………………………………………… 61

C. Perbuatan-perbuatan Tuhan……………………………………. 66

D. Analisis Ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh…... 75

BAB V PENUTUP………………………………………………………….. 79

A. Kesimpulan…………………………………………………….. 79

B. Saran-saran……………………………………………………... 82

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 83

Page 8: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

PEDOMAN TRANSLITRASI

Padanan Aksara

ا

ب

ت

ث

ج

ح

خ

د

:tidak

dilambangkan

: b

: t

: ts

: j

: h

: kh

: d

ذ

ر

ز

س

ش

ص

ض

ط

: dz

: r

: z

: s

: sy

: s

: d

: t

ظ

ع

غ

ف

ق

ك

ل

م

: z

: ،

: gh

: f

: q

: k

: l

: m

ن

و

ء

ي

: n

: w

: h

: ,

: y

Vokal Panjang Vokal Tunggal â __ : a : –ا î — : i : –ي û __ : u : –و Vokal Rangkap ai : –ي au : –و

Page 9: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konsep adalah abstrak, entitas1 mental yang universal yang menunjuk

pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Suatu konsep

adalah elemen dari proposisi seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep

adalah abstrak di mana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu

dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah

universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap ekstensinya.

Konsep adalah pembawa arti. Suatu konsep tunggal bisa dinyatakan dengan

bahasa apa pun.2 Contohnya, “Konsep Tuhan” bisa dinyatakan dengan “God”

dalam bahawa Inggris, “Allah” dalam bahasa Arab, “Hyang” dalam bahasa Cina.

Sedangkan kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural,

biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau

jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-

konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang

merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta

ada, sumber segala yang ada, kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua

makhluk hidup atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.3

1 Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, walaupun

tidak harus dalam bentuk fisik. Abstraksi, misalnya, biasanya dianggap juga sebagai suatu entitas. Dalam pengembangan sistem, entitas digunakan sebagai model yang menggambarkan komunikasi dan pemrosesan internal seperti misalnya membedakan dokumen dengan pemrosesan pesanan.

2 Ensiklopedia Bebas, Konsep, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep

3 Ensiklopedia Bebas, Tuhan, artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan

Page 10: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Tuhan merupakan satu entiti kewujudan yang Maha Berkuasa, Maha

Mengetahui, dan Maha Penyanyang yang biasanya disembah oleh manusia.

Tanggapan mengenai Tuhan sebenarnya adalah berbeda-beda dari satu agama ke

satu agama yang lain, contohnya aliran utama agama Kristian manganggap imej

Tuhan adalah seperti manusia, tetapi ada agama lain yang menganggap bahawa

imej Tuhan tidak dapat ditanggapi. Tetapi walaupun demikian, Tuhan merupakan

satu konsep yang boleh dijumpai secara universial di setiap bangsa.4

Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang

Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu

Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik-beratkan konseptualisasi

Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid). Dia itu wahid dan Esa

(ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur'an terdapat 99 Nama

Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan

setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah,

nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas. Diantara 99 nama Allah tersebut, yang

paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahmân)

dan "Maha Penyayang" (ar-rahîm). Penciptaan dan penguasaan alam semesta

dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian-Nya yang paling utama

untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-

Nya dan kuasa-Nya.5

Dan juga dalam Islam dikatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya ma’bûd

(yang ditujukan ibadah kepada-Nya). Tidak ada ma’bûd selain-Nya, dan sama

sekali tidak dibolehkan adanya ibadah kepada sesuatu apapun selain-Nya.

4 Ibid., 5 Ibid.,

Page 11: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Pengertian seperti itu semuanya dilandaskan oleh al-Qur’an, Sunnah, akal dan

ijmâ’.

Konsep Tuhan menurut Muhammad Abduh adalah bahwa Tuhan

merupakan Zat Yang Wajib Ada, Dia qadîm (tidak bermula), dan pula azali (ada

sebelum sesuatu tiada menjadi ada), karena apabila tidak demikian, maka Tuhan

menjadi baharu di mana sesuatu wujud-Nya didahului oleh tiada (‘Adam).

Sekiranya Zat Yang Wajib Ada itu tidak qadîm, maka tentulah Tuhan dalam

wujud-Nya itu diperoleh dengan adanya yang lain yang mewujudkan-Nya. Bahwa

sesungguhnya Zat Yang Wajib Ada itu mempunyai wujud-Nya sendiri. Dan

apabila yang Zat Yang Wajib Ada itu masih didahului oleh tiada, maka bukanlah

dinamakan “Wajib Ada”, melainkan “Mustahil Ada”, karena apabila demikian

sifatnya paradoks.6

Adapun ilmu yang membahas tentang wujud dan sifat-sifat Tuhan disebut

ilmu tauhid. Secara teologis pembahasan tauhid didasarkan pada pengetahuan

tentang ke-Tuhanan. Asal makna tauhid yaitu meyakinkan bahwa Tuhan adalah

satu, tidak ada syârikat bagi-Nya. Tauhid juga merupakan pokok ajaran yang

sangat krusial dalam paham agama monoteisme. Hal yang terpenting yaitu

menetapkan sifat “wahdâh” (satu) bagi Tuhan dalam zat-Nya dan dalam

perbuatan-Nya. Dan juga keyakinan tentang Tuhan sebagai pencipta alam

seluruhnya dan bahwa Tuhan sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini

dan penghabisan segala tujuan.7

Surat al-Ikhlâs, yakni surat Qul huwallâhu ahad, memuat aspek terpenting

dari aspek-aspek ajaran Islam yang dibawa Nabi, yang pada garis besarnya

6 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H), h. 39. 7 Ibid., h.17.

Page 12: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

meliputi tiga aspek, yaitu tauhid, syari’ah, wa’ad (janji Tuhan) dan wa’id

(ancaman Tuhan) aspek pertama tauhid yang dibawa surat ini dimaksudkan untuk

membebaskan bangsa Arab dan yang lainnya dari kemusyrikan, dan merupakan

ajaran keimanan yang paling pertama ditekankan. Maka sudah barang tentu, apa

yang terkandung dalam surat tersebut adalah bersumber dari Tuhan demi

merealisir misi risalah Nabi-Nya dan mengarahkan manusia terhadap apa yang

mereka percayai mengenai Tuhan.8

Semua yang disebut satu selain Tuhan adalah sedikit. Semua yang mulia

selain Dia adalah hina. Semua pemilik selain Dia adalah termiliki. Semua yang

berilmu selain Dia adalah pencari ilmu. Semua yang kuasa selain Dia, adalah

seorang hamba. Semua yang mendengar selain Dia adalah tuli terhadap suara-

suara yang amat lembut, amat keras ataupun amat jauh dari tempatnya. Semua

yang melihat selain Dia adalah buta terhadap warna-warna yang amat lemah

ataupun benda-benda yang amat lembut. Semua yang zhâhir dan yang bâthin

selain Dia tidak mungkin bersifat zhâhir.9

Sering pula “Ilmu Tauhid” dinamakan sebagai “Ilmu Kalâm” yaitu karena

adakalanya masalah yang paling terkenal dan banyak menimbulkan perbedaan

pendapat di antara para sarjana abad-abad pertama, yaitu; apakah “Kalâm Allah”

(wahyu) yang dibacakan itu baru atau qadîm? Dan adakalanya pula, ilmu tauhid

itu dilandaskan dari dalil ‘aqli (rasio), di mana akibatnya nyata terlihat dari

perkataan setiap para ahli yamg turut berbicara tentang ilmu itu. Namun sedikit

sekali orang yang berbicara dengan dasar dalil naqli al-Qur’an dan Sunnah Rasul,

8 Rifat Syauqi Nawawi, Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan

Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. 1, h. 117. 9 Muhammad Abduh, Mutiara Mahjul Balaghah (Bandung: Mizan, 1995), cet. Ke-4, h.

24.

Page 13: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu. Di samping itu ada pula

suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang “Ilmu

Kalâm” karena dalam memberikan dalil tentang pokok agama, ia (tauhid) lebih

menyerupai logika (manthîq), yang digunakan untuk menjelaskan liku-liku

argumentasi dalam ilmu-ilmu para ahli teori (ilmu-ilmu rasional). Kemudian

istilah manthîq diganti dengan kalâm untuk membedakan antara kedua ilmu itu.10

Setelah berlalunya zaman nabi Muhammad, di mana beliau telah

melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhât.

Maka yang memegang khalifah setelahnya adalah sahabat-sahabatnya, dua orang

khalifah sesudah beliau berjuang sepanjang umurnya melawan musuh-musuh

Islam, sehingga tidak ada sedikitpun bagi orang banyak untuk memperdayakan

dan mengutak-utik dasar kepercayaan (aqîdah) yang telah berkembang baik di

masa itu. Bila timbul sedikit saja pertentangan masalah apapun, maka cepat-cepat

persoalan itu di bawa kehadapan khalifah yang dengan putusannya, persoalan

menjadi terselesaikan, yang sebelumnya terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh

para ahli agama yang selalu mendampingi khalifah tersebut.11

Biasanya permasalahan yang menimbulkan perdebatan tersebut muncul

dalam bidang hukum (furû’), bukan mengenai masalah yang pokok atau di luar

masalah itu, yakni mengenai kepercayaan (aqîdah). Keadaan rakyat pada masa

kedua khalifah setelah nabi Muhammad, cukup mengerti akan isyarat-isyarat al-

Qur’an dan nash-nashnya. Mereka menganutnya dengan penuh kesadaran dan

diliputi kesucian. Ayat-ayat yang mutasyâbihat mereka serahkan kepada Tuhan.

Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang

10 Nurchalis Madjid, ed., Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bintang, 1994), h. 366. 11 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 21.

Page 14: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

menimpa khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan), yaitu peristiwa terbunuhnya

khalifah tersebut. Sejak itulah awal umat Islam menjadi terpecah-belah menjadi

beberapa bagian12. Namun demikian, al-Qur’an tetap utuh dan terpelihara menurut

aslinya sampai sekarang dan akhir zaman, seperti yang terkandung dalam al-

Qur’an Surah al-Hijr ayat 9.

Namun setelah berselangnya beberapa periode, maka bermunculan aliran-

aliran kalam yang memiliki nama besar seperti, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan

Maturidiyah. Di mana golongan Mu’tazilah menetapkan kekuasaan akal untuk

mengetahui segala hukum-hukum agama, menentukan mana yang sifatnya furu’

dan yang mana sifatnya ibadat (karena khawatir berlebihan menarik garis al-

Qur’an), maka golongan Mu’tazilah mengkhususkan dalam menentukan

kekuasaan akal tentang pokok-pokok yang sifatnya furû’ saja. Sedangkan

golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa pokok kepercayaan

(aqidah) menurut pokok-pokok yang sesuai dengan tujuan akal, dan dengan

adanya dalil menunjukan kepada tidak adanya barang yang dibuktikan. Artinya

golongan ini lebih mengedepankan wahyu dibanding akal.

Persoalan yang menjadi bahan perdebatan dikalangan aliran-aliran kalam

tersebut di antaranya adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik-menarik di antara

aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh

truth claim (mengaku pendapatnya yang paling benar) yang dibangun atas dasar

kerangka berpikir masing-masing dalam klaim terhadap pentauhidan Tuhan. Tiap-

tiap aliran kalam mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara

ke-Esaan Tuhan.

12 Ibid.,

Page 15: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Perdebatan antar aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan tidak terbatas

pada persoalan apakah Tuhan memiliki sifat ataukah tidak? Tetapi juga pada

persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Tuhan, seperti antropomorphisme melihat

Tuhan, dan esensi al-Qur’an. namun penulis sendiri di sini hanya membahas dan

membatasi pada persoalan sifat-sifat Tuhan saja.

Persoalan lain yang menjadi perdebatan di antara aliran kalam adalah

masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan

ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap

beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian

mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan

manusia, apakah Tuhan ataukah manusia sendiri? Atau kerja sama antara

keduanya. Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam free will yang

diwakili oleh Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah

mengambil sikap pertengahan. Persoalan ini kemudian memperluas lagi dengan

mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau

tidak? Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik

saja, ataukah perbuatan Tuhan terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi

juga mencakup kepada hal-hal yang buruk?

Di masa sekarang pun terdapat pertentangan dikalangan umat Muslim

mengenai masalah sifat dan perbuatan Tuhan, seperti MUI memberikan fatwa

sesat kepada sebagian aliran yang ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam,

misalnya tidak megerjakan dan mewajibkan sebagian rukun Islam. Bagi sebagian

aliran yang dianggap sesat, menurutnya cukup dengan hati untuk mengimani

Tuhan meskipun tanpa syariahnya dikerjakan, karena dengan sifat mengetahui

Page 16: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Tuhan, Dia mampu mengetahui segala apapun termasuk isi hati seseorang. Dan

apakah dalam setiap perbuatan manusia Tuhan ikut andil untuk mengeluarkan

perbuatan manusia tersebut, baik yang bersifat negatif maupun positif? Ataukah

perbuatan tersebut bentuk kerja sama antara Tuhan dan manusia?

Dalam sejarah pembaharuan Islam, Muhammad Abduh adalah salah

seorang tokoh pemikir yang besar. Corak pemikirannya adalah rasional, di mana

pemikirannya sejalan dengan pemikiran golongan Mu’tazilah, yakni

mengedepankan akal dalam menentukan segala persoalan. Dalam pandangannya

mengenai konsep Tuhan di antaranya yaitu permasalahan sifat dan perbuatan

Tuhan yang sampai sekarang masih dalam perdebatan di antara para ulama kalam.

Mengenai sifat Tuhan menurut Abduh adalah sifat Tuhan sama dengan esensi

Tuhan, meskipun ia tidak tegas mengatakannya. Menurutnya, Sifat-sifat Tuhan

atau Zat Yang Wajib Ada di antaranya ‘Ilm, Hayat, Qudrat, Iradah, Ikhtiar dan

Wahdah.13 Sedangkan tentang perbuatan Tuhan menurut Abduh adalah kewajiban

Tuhan untuk berbuat baik kepada manusia dengan tidak memberikan beban atau

tugas di luar kemampuan manusia, mengirimkan para rasul untuk memberikan

contoh teladan, dan menepati janji-Nya memasukan orang Mukmin ke dalam

surga, dan memasukan orang yang berbuat dosa besar ke dalam neraka.14

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis merasa tertarik untuk

mengkaji lebih dalam lagi mengenai konsep Tuhan yang dikemukakan oleh

Muhammad Abduh. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba menulis skripsi ini

dengan judul Konsep Tuhan menurut Persfektif Muhammad Abduh.

13 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 67. 14 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI

Press, 1987), h. 85.

Page 17: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pada dasarnya banyak yang menarik untuk dibahas mengenai Muhammad

Abduh dilihat dari corak pemikirannya. Dengan latar belakang masalah yang telah

dipaparkan sebelumnya, maka dalam kesempatan ini menurut penulis perlu

membatasi objek kajian penelitian untuk menghidari pelebaran masalah. Untuk itu

penulis membatasi pembahasan pada permasalahan Sifat-sifat dan Perbuatan-

perbuatan Tuhan dalam pandangan Muhammad Abduh.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusannya adalah

bagaimana Muhammad Abduh menjelaskan dan memaparkan pendapatnya

mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan? Dan apakah sifat dan

perbuatan Tuhan mempunyai hubungan dengan makhluk-Nya, khususnya

manusia?

C. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian pemikiran Muhammad Abduh bukanlah hal yang baru. Kajian

dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak lama. Apalagi

penelitian dengan mengambil sebagian pemikiran darinya, beberapa tema yang

mempunyai intensitas rasional dengan karakteristik pemikirannya sudah banyak

dilakukan. Adanya kecendrungan untuk mengungkap sisi lain dari pemikiran

Muhammad Abduh, yaitu dalam bidang teologi adalah hal yang jarang dilakukan

mengingat ia juga dikenal sebagai ahli fiqh, tasawuf, bahasa, dan tafsir.

Dalam dunia akademis ditemukan juga beberapa karya ilmiyah yang

mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi,

maupun disertasi. Terdapat beberapa nama yang berhasil menyumbangkan

karyanya yang membahas tokoh ini Harun Nasution dengan bukunya yang

Page 18: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, yang membahas

tentang filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi wahyu, permasalahan Tuhan secara

umum, dan konsep iman.

Di samping itu, Muhammad Abduh tidak asing lagi dikalangan mahasiswa

di antaranya adalah skripsi yang ditulis oleh H. Ansoriyah dalam skripsinya,

Konsep Tauhid dalam Al-Quran: Telaah atas Penafsiran Muhammad Abduh

terhadap surat Al-Ikhlas ayat 1-4, yang membicarakan mengenai tauhid secara

umum dan implikasinya dalam kehidupan serta menafsirkan dalam surat al-Ikhlas

ayat 1-4. Sedangkan Khairuddin dalam skripsinya, Pemikiran Teologi Muhammad

Abduh: Kehendak serta Kekuasaan Mutlak Ilmiah dan Kebebasan Manusia,

dalam skripsi ini hanya menekankan pada akal manusia sebagai kebebasan yang

mutlak dalam berpikir.

Dari buku dan judul skripsi yang telah disebutkan di atas, ternyata yang

membahas tentang Konsep tauhid pemikiran Muhammad Abduh secara khusus

belum ada, Oleh karena itu sudah pasti berbeda dengan skripsi yang telah ada.

Dengan itu, penulis tidak ragu lagi dalam menulis skripsi ini.

D. Tujuan Penelitian

Secara formal skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi syarat

memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) pada jurusan Aqidah Filasafat, fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tujuan non

formal penulis skripsi ini adalah untuk menambah literatur tentang pemikiran

Pemikiran Muhammad Abduh dengan harapan dapat merangsang kajian-kajian

berikutnya.

Page 19: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Tujuan penelitian skripsi ini adalah di antaranya:

7. Guna mengetahui lebih jauh lagi mengenai Muhammad Abduh dalam

bidang yang sedang dikaji.

8. Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam pemikiran Muhammad

Abduh, yakni ilmu dalam bidang yang dikaji.

9. Mengungkap sesuatu dari pemikiran Muhammad Abduh yang sedang dikaji

sehingga membuka ruang kritik terhadapnya.

E. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data skripsi ini menggunakan kajian kepustakaan

(library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada kaitannya

dengan tema skripsi ini. Data-data tersebut diambil dari tulisan Muhammad

Abduh sendiri yang terdokumentasikan dalam bentuk kitab, baik yang berbahasa

Arab maupun yang sudah diterjemahkan. Risalah at-Tauhid merupakan salah satu

sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.

Sedangkan tulisan-tulisan tentang Muhammad Abduh baik yang

terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang

mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber

sekunder yang menjadi penunjang sumber primer.

Metode pembahasan yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.

Metode ini digunakan untuk menjelaskan segala persoalan teologi Muhammad

Abduh, serta untuk mengangkat pemikiran Muhammad Abduh dalam

menggambarkan tentang Tuhan.

Teknik penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi edisi tahun 2007, yang dikeluarkan oleh UIN

Page 20: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentang transliterasi, penulis juga menggunakan

pedoman transliterasi yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pedoman transliterasi tersebut dilampirkan sebelum bab ini.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan lebih sistematis dan

menjadi standar penulisan skripsi S-1, maka penulisan ini disusun dalam lima bab

yang masing-masing memiliki sub-sub bab diantaranya yaitu:

Bab pertama, pendahuluan yang mencakup, latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan kepustakaan, tujuan penulisan,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas tentang biografi Muhammad Abduh mencakup

riwayat hidup Muhammad Abduh, karya-karya Muhammad Abduh, dan pengaruh

Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam.

Bab ketiga, yang menjelaskan gambaran umum tentang sifat dan perbuatan

Tuhan yang meliputi pengertian sifat dan perbuatan Tuhan, pandangan tentang

sifat dan perbuatan Tuhan menurut aliran kalam seperti Mu’tazilah, dan

Asy’ariyah, Maturidiyah.

Bab keempat, membahas tentang sifat dan perbuatan Tuhan menurut

perspektif Muhammad Abduh yang berisikan sifat-sifat Tuhan, perbuatan-

perbuatan Tuhan, serta analisis ke-Tuhanan dalam pemikiran Muhammad Abduh.

Sedangkan pada bab kelima adalah penutup yang terdiri atas kesimpulan

dan saran-saran serta diakhiri dengan daftar pustaka.

Page 21: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH

A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di desa Mahallat Nasr,

kabupaten al-Buhairah Mesir dan wafat tahun 1905. Nama panjangnya adalah

Page 22: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.15 Ayahnya bernama Abduh bin

Hasan Kharullah, dan ibunya menurut riwayat dari bangsa Arab yang silsilahnya

menurun dari suku bangsa Umar bin Khattab.16 Muhammad Abduh mengawali

pendidikan dalam lingkungan petani di Pedesaan. Di bawah asuhan ibu-bapak

yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah, namun memiliki jiwa

religius yang kuat.

Pendidikannya

Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran pada

umumnya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an pada ayahnya di

rumah. Berkat otaknya yang cemerlang, hanya dalam jangka waktu dua tahun ia

mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya, ketika itu ia berusia 12 tahun.17

Kemudian diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim ayahnya ke Thanta untuk

belajar di Masjid al-Ahmâdi (al-Jami’ al-Ahmâdi). Di sini, di samping

melancarkan hafalan al-Qur’annya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih.18

Setelah belajar selama satu setengah tahun, metode hafalan yang dipakai

sebagai sistem pengajaran di tempat ini membuat Abduh yang sedari kecil sudah

terlihat nalar kritisnya menjadi kecewa. Dalam riwayatnya ia menulis, “aku

menghabiskan satu setengah tahun tanpa mengerti sesuatu apa pun”, karena

metode dan sistem belajar yang buruk, guru-guru mengajar dengan menghafal

istilah-istilah tentang nahwu dan fikih yang tidak dimengerti. Guru-guru bahkan

15 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), h.

11. 16 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), cet. IX, h. 59. 17 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987,

cet. I, h, 11. 18 Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 255.

Page 23: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

tidak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti istilah-istilah

tersebut”.19 Dengan rasa kecewa Abduh pun kembali ke Mahallat Nasr.20

Kemudian ayahnya tetap memaksakan agar ia meneruskan belajar di

Thanta, dan akhirnya ia terpaksa pergi, namun bukan ke Thanta melainkan ke

rumah paman ayahnya yang bernama Syeikh Darwisy Khadr untuk bersembunyi.

Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk belajar dan mencintai ilmu dan buku.

Darwisy juga memberikan imbauan dan dorongan serta nasihat kepada Abduh

agar kembali bersamangat dan bergairah dalam menuntut ilmu. Didikan Darwisy

ternyata berhasil dan akhirnya Abduh mau meneruskan studinya di Thanta.21

Karir awalnya berangkat dari studi-studi ilmu tradisional di Universitas al-

Azhar, dan komitmen awalnya berdasarkan sufisme tarekat Syâdziliyah, praktik

zikir dan ta’wîdz. Studi-studi universitasnya mengukuhkan tidak hanya seorang

‘âlim yang disegani, tetapi juga menyadarkan diri terhadap belenggu taqlîd

(keterikatan pada tradisi), yang kemudian menjadi sumber energi

pembaharuannya. Meskipun secara intelektual meninggalkan latar belakang

sufinya, dia menanamkan kualitas keshalehan dalam kehidupan akademisnya

untuk membebaskan dari dampak taqlîd yang merusak.22

Berguru dengan Said Jamaluddin al-Afghani

Pada tahun 1871 adalah awal pertemuan dan interaksi intelektual Abduh

dengan salah satu pembaharu Islam, yaitu sorang ‘âlim besar bernama Said

Jamaluddin al-Afghani yang sudah terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujâhid

19 Sami Abdullah Kaloti, The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin al-

Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education (Marquette: University, 1974), h. 96. 20 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 59. 21 M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 12-13. 22 Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern (Bandung : Mizan, 2001), h. 12.

Page 24: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

(pejuang), Mujaddîd (pembaharu/ reformer) dan ulama yang sangat ‘âlim, yang

pada saat itu datang ke Mesir. Muhammad Abduh bertemu dengan al-Afghani

untuk pertama kalinya, ketika Abduh datang ke rumahnya bersama-sama dengan

Hasan at-Tawîl, di mana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu

tasawuf dan tafsir.23

Al-Afghanilah yang menempa Abduh dengan ilmu pengetahuan, walaupun

sebelumnya telah didapatkan dari luar al-Azhar, namun menancapkan kesan dan

pandangan berbeda bagi Abduh, karena metode yang dipakai al-Afghani adalah

studi kritis seperti berdiskusi dan yang lainnya, metode pengajaran yang

diterapkan al-Afghani membuat Abduh tertarik dan termotivasi untuk tetap kritis,

al-Afghani juga memberikan penjelasan yang luas, mendalam dan mengagumkan

pada setiap kajiannya.24

Dalam tatanan dunia ilmiah dan wawasan pengetahuan umum, al-Afghani

mungkin bisa dikatakan yang paling berjasa dalam hidup Abduh dan

mempengaruhinya dalam banyak hal, tidak hanya pengetahuan teoritis, al-Afghani

juga mengajarkan Abduh pengetahuan praktis, politik, berpidato, menulis artikel,

dan sebagainya. Kecakapan yang membawanya tampil di depan publik dan jeli

melihat situasi sosial politik di negerinya.25

Sejak itulah abduh tertarik kepada al-Afghani oleh ilmunya yang dalam

dan cara berfikirnya yang modern, sehingga akhirnya Abduh benar-benar dan

selalu di sampingnya. Selain Abduh, bayak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar

23 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Cet-V (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 17. 24 M Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustazd al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Kairo: al-

Manar, 1931), h. 20. 25 Arbiah Lubis, Pemikiran dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.

114.

Page 25: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

yang ditarik Abduh untuk ikut datang kepada al-Afghani untuk belajar.26 Di

samping diskusi-diskusi ilmu-ilmu agama, mereka belajar pula pengetahuan-

pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ke-tata-negaraan dan lain-lain.

Pelajaran yang diberikan kepada mereka oleh al-Afghani yaitu semangat berbakti

kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara berfikir

yang fanatik serta merombaknya dengan cara berfikir yang lebih maju.

Abduh telah memiliki cara berfikir yang lebih maju, karena telah banyak

membaca buku-buku filsafat dan banyak mempelajari perkembangan jalan

berfikir kaum Rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka para guru al-Azhar pernah

menuduhnya telah meninggalkan mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu Abduh

menjawab; “sudah jelas saya telah meninggalkan taklid Asy’ari, maka kenapa

saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah? Saya akan meninggalkan taklid

kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan”.27

Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar

Setelah Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas nama usaha

Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas

“Darul Ulûm”, di samping itu pula ia menjadi dosen pada di al-Azhar. Di saat

memangku jabatannya, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal

sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara segar ke dalam Perguruan-

perguruan Tinggi Islam itu, dengan cara menghidupkan Islam dengan metode-

metode baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan

26 Abduh, Risalah Tauhid, h. 17. 27 Ibid., h.18.

Page 26: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

kesusastraan Arab, sehingga menjadi bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta

melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.28

Dibuang ke Syria (Beirut)

Pada tahun 1882 terjadi di Mesir suatu pemberontakan, Abduh dituduh

terlibat di dalamnya yang kemudian diusir.. Pemberontakan itu di awali oleh suatu

gerakan yang dipimpin oleh Arabia Pasya, di mana Abduh dipilih sebagai

penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, maka Abduh di

buang ke Syiria (Beirut). Di sana ia mendapat kesempatan mengajar pada

Perguruan Tinggi Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun. Kemudian pada

permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan al-Afghani yang waktu itu

berada di Paris.29

Gerakan Al-Urwâtul Wutsqâ

Bersama-sama dengan al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan yang

bernama “al-Urwâtul Wutsqâ”, di Paris, yakni gerakan kesadaran umat Islam

sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah

dengan nama yang sama pula dengan gerakan itu yaitu majalah “al-Urwâtul

Wutsqâ”. Dengan perantara majalah itulah ditiupkannya suara keinsyafan ke

seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara

berfikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan Islam di dunia.

Suara itu lantang sekali terdengar yang kemudian memperlihatkan pengaruhnya

dikalangan umat Islam sehingga dalam waktu singkat, kaum imperialis menjadi

gempar dan cemas karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke

28 Ibid., h. 19. 29 Ibid., h. 19.

Page 27: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Mesir dan India. Kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18

halaman, pemerintah Perancis melarangnya terbit dan beredar. Karena mendapat

tekanan dari pihak Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. Keduanya

lalu berpisah, dan Abduh diperbolehkan kembali ke Beirut via Tunis pada tahun

1885.30

Menjadi Mufti Mesir

Setelah kepulangannya ke Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah

Mesir sebagai “Mufti” pada tahun 1899, yakni suatu jabatan yang paling tinggi

dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, Abduh

tidak mau membatasi dirinya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan

pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan

kaum Muslimin. Di samping itu ia pun diangkat sebagai anggota Majlis

Perwakilan. Dalam badan ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya dan karena

itu pula ia sering ditunjuk sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh

pernah juga diserahi jabatan sebagai Hakim Mahkamah dan dalam tugas ini ia

dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.31

Demikian jabatan tersebut dijabatnya sampai beliau meninggal dunia

akibat menderita kangker hati. Abduh meningal dunia di Iskandaria tanggal 11

Juli 1905 dan jenazahnya dimakamkan dikawasan Qurafat al-Mujâwirîn, ia hanya

meniggalkan empat orang putri saja.32

Pembela Islam yang Gagah Berani

30 Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 256. 31 Abduh, Risalah Tauhid, h. 20. 32 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah, h. 27.

Page 28: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Karena Ghîrâh dan Ghairâhnya terhadap Islam, maka Abduh sering

tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang

datang. Pernah ditantangnya G. Hanotaux, seorang menteri luar negeri Perancis,

karena tulisannya tentang Islam yang menurut Abduh tidak benar dan merupakan

suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanataux seolah-olah minta maaf dalam

sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Muayyâd”. Kemudian diasah

penanya untuk menghadapi Farah Anton, seorang Kristen, pemimpin umum

majalah “al-Jamî’ah”, yaitu sebuah majalah dari orang Kristen yang terbit di

Kairo, karena Anton menulis dalam majalah tersebut mengenai hal-hal yang

menyinggung Islam dan menghinannya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang

menunjukan keberanian Abduh dalam membela Islam.33

B. Karya-karya Muhammad Abduh

Sebenarnya Abduh tidak terlalu tertarik menerangkan pemikiran-

pemikirannya dalam buku. Abduh lebih memilih metode pidato dalam

menyampaikan ide dan pandangannya. Menurutnya, pemikiran yang disampaikan

lewat ucapan lebih menyentuh hati sanubari pendengar, ketimbang menerangkan

dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena waktu yang ia miliki

habis terpakai untuk mengajar ketimbang untuk menulis. Abduh pernah mengajar

di al-Azhar, Masjid Raya Beirut, Masjid Raya al-Basyrah, Dâr al-‘Ulûm, dan

masih banyak lagi. Pada umumnya materi yang diajarkan di Masjid-masjid

tersebut adalah tafsir al-Qur’an. Berikut ini beberapa bentuk buku dan majalah

yang pernah ia tulis, di antaranya:34

33 Abduh, Risalah Tauhid, h. 21. 34 M Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Manar, 1365 H), jilid ke-8, h. 77-778.

Page 29: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

a. Al-Wâridâh, sebuah karya dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan

metode dan pendekatan tasawuf. Inilah karya pertama Muhammad Abduh.

b. Risâlah fi wahdâti al-Wûjûd. Karya ini memang tidak terbit, namun karya

ini merupakan karya Muhammad Abduh yang kedua sebagaimana

diinformasikannya kepada Rasyid Ridha. Akan tetapi karya ini bukan

merupakan karya Abdul Karim al-Jilli dan semisalnya yang mendekati

mazhab hulul. Karya ini dengan pendekatan dan metode yang berbeda

dengan yang lainnya.

c. Târîkh Ismail Basyâ. Karya ini diberitahukan salah satu murid Muhammad

Abduh yang pertama-tama belajar bersamanya. Dikatakan bahwa

Abdullah an-Nadzim telah banyak mengutip buku ini ketika terjadi

pemberontakan orang-orang Arab dan ia telah mempublikasikan sebagian

isinya di media massa menurut sistematika aslinya atau tidak. Rasyid

Ridha tidak pernah mendengar isi buku tersebut dari Abdullah an-Nadzim,

hanya saja an-Nadzim memberitahu Ridha sejarah buku ini dengan rinci

dan an-Nadzim menulis kembali secara global isi buku ini kepada Ridha

sebagaimana an-Nadzim membacanya.

d. Falsafatul al-Ijtimâ’iyyah wa at-Târîkh. Buku ini adalah karya

Muhammad Abduh yang dikarang ketika ia mengajar Muqaddimah Ibnu

Khaldun di Madrasah Darul Ulum. Buku ini telah hilang ketika Sayyid

Jamaluddin dibuang dan Rasyid mengambil lembaran-lembarannya.

Thaibullah menganjurkan Rasyid Ridha untuk menyempurnakan buku itu

agar berguna bagi pembaca yang ingin mengetahuinya.

Page 30: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

e. Hâsyiyah ‘Aqâidi al-Jalâli ad-Dawwânî li al-Adûdiyah. Buku ini adalah

karya terbaik Muhammad abduh dalam ilmu kalam. Sayyid Umi al-

Khasyab berencana mencetaknya, dan semoga ia mampu mencetaknya

dalam waktu dekat.

f. Syarh Nahjul Balâghah. Buku ini sangat terkenal dan telah diterbitkan di

Beirut dua kali, di Tharabulis sekali dan di Mesir sekali.

g. Syarh Maqâmat Badî’ al-Zamân al-Hamdânî. Buku ini terbit di Beirut,

buku ini berisikan tentang maqamat.

h. Syarh al-Bashâri al-Hamdânî al-Nâshiriyyah fi al-Manthiq. Ini adalah

buku mantiq dengan pendekatan logika yang tinggi.

i. Nizhâmu al-Tarbîyah wa al-Ta’lim bi Mishr. Buku ini berisikan tentang

pendidikan dengan metode praktis yang dilaksanakan di Mesir. Ini adalah

buku pendidikan terbaik karya Muhammad Abduh.

j. Risalâh at-Taûhîd. Yang berisikan tentang sistem teologi. Buku ini

diajarkan Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar dan kepada Rasyid

Ridha.

k. Taqrîru al-Mahâkim al-Syarîyyah. Buku ini sangat khusus, tema-temanya

berguna bukan saja bagi para hakim, tetapi juga bagi semua pencinta ilmu

dan budaya, apalagi bagi para pelajar fiqih.

l. Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilmi wa al-Madaniyyah. Berisikan

tentang semangat kaum muslimin. Buku ini adalah kumpulan makalah-

makalah dari majalah al-Manar yang diedit dan diterbitkan oleh Rasyid

Ridha.

Page 31: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

m. Tafsir Surat al-‘Ashr. Buku ini dipublikasikan di majalah al-Manar atas

permintaan muridnya dan lainnya di kota-kota.

n. Tafsir Juz ‘Amma

o. Tafsir al-Manâr

Sebenarnya karya Abduh cukup sedikit untuk ukuran pemikir yang cukup

berpengaruh dalam dunia intelektual keislaman. Meskipun demikian, ide-ide

pembaharuanya baik dalam bidang syariat, aqidah maupun pendidikan begitu

berpengaruh di dunia Islam. Ide-ide Abduh menyebar ke dunia Islam melalui

karya-karya Abduh sendiri maupun melalui murid dan pengikutnya.

C. Pengaruh Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam

Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan

dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang

besar dalam tubuh pemikiran umat islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak

dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada

manusia. Walau guru beliau Jamaluddin Al-Afghani adalah sebagai orang pertama

yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Muhammad

Abduh sebagaimana diungkapkan DR. Mohammad Imarah, bahwa Abduh adalah

seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau

sekolah pemikiran modern, bisa dikatakan melebihi guru beliau sendiri yaitu

Jamaluddin Al-Afghani.

Page 32: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan

pembaharuan pemikiran islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang

beliau lakukan di antaranya:35

1. Reformasi Pendidikan

Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan.

Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat

mesir. Menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak

muslim yang shaleh.

2. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial

Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak

hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan

dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-

lembaga sosial. Di antaranya, Jami’ah Khairîyah Islamîyah, Jamî’ah Ihyâ al-Ulûm

al-Arabîyah, dan juga Jamî’ah at-Taqorrûb bainâ al-Adyan.

3. Mendirikan Sekolah Pemikiran

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah

pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan

pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-

musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.

Bahwa pusat perhatiannya adalah pengajaran dan pendidikan dan bukan

politik ternyata juga dari tujuan hidupnya. Ia menulis bahwa tujuan hidupnya

adalah dua, yakni:36

35 Istiqamah Kapu, Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan, artikel diakses pada 30

Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3 36 Tahir Tanahi, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh (Cairo: Dar Al-Hilal, t.t), h.

18.

Page 33: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

1. Membebaskan pemikiran dari ikatan taklid dan memahami ajaran agama

sesuai jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf), zaman sebelum

timbulnya perbedaan-perbedaan paham, yaitu dengan kembali kepada

sumber-sumber utamanya.

2. Memperbaiki bahasa Arab yang dipakai baik oleh instansi-instansi

pemerintah maupun surat-surat kabar dan masyarakat pada umumnya

dalam surat-menyurat mereka.

Usaha Abduh yang gigih untuk merekontruksi Syari’at dari bangunan

yang sudah mapan bertahun-tahun, karena dijaga oleh ulama-ulama, tapi tak ideal,

rigid dan jumud menuju tatatan teologi yang lebih berdimensi humanis dan

dinamis. Untuk menggapai tujuan tersebut, hemat Abduh, diperlukan dua syarat

yang mutlak ada. Pertama, memberi kebebasan mutlak pada akal. Dan kedua,

membuang jauh-jauh sikap taqlid dalam berfikir dan berkreasi. Karena taqlid

hanya menganggurkan seseorang dari peran sejarah yang harus ia isi. Dua dasar

itu mengindikasikan kita akan konsepsi teologi Abduh yang menyandarkan ruh

Syari’at tak hanya pada dalil naqli an sich yang berkecenderungan “sami’nâ wa

`atha’nâ” namun lebih mengkristal pada hubungan sinergis antara dalil naqli dan

akal manusia.37

Secara hirarki, ada delapan dasar (ushûl) yang pertama kali dikreasikan

Abduh untuk membentuk konsep teologinya,38 yaitu:

1. Perspektif akal dalam menuntun jalan menuju keimanan.

2. Mendahulukan akal daripada maksud dzhahir nash apabila terjadi

kontradiksi.

37 Asyraf Abdul Wahab, Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur (Kairo: Maktabah Usrah, 2006) cet. 1, h. 115.

38 Ibid., h. 116.

Page 34: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

3. Menjunjung toleransi dan mengubur pentakfiran (klaim kebenaran

sepihak). Seperti larangan Abduh untuk mengkafirkan seseorang yang

ucapannya mengandung seratus kesalahan dan satu kebenaran di satu sisi

saja.

4. Merenungi “sunnah-sunnah” Tuhan yang terpendam di setiap makhluk-

Nya.

5. Mengeliminasi segala bentuk kekuasaan yang berlandaskan pada agama

tertentu. Otomatis, “undang-undang” ini melarang segala bentuk intervensi

dari peroangan atau golongan tertentu untuk mencampuri keimanan setiap

pemeluk agama.

6. Ajakan untuk mengakhiri fitnâh (perpecahan dan pertikaian).

7. Menumbuhkan sikap tenggang rasa pada siapapun yang berbeda pikiran

dan keyakinan.

8. Mempertemukan kemashlahatan duniawi dan ukhrawi.

Peran dan kiprah Muhammad Abduh dalam mengangkat citra Islam dan

kualitas umatnya dari keterpurukan memang tak kecil. Dialah seorang mujaddid

dan mujtahid sekaligus, yang pada masanya, bukan saja mengalami tentangan

internal maupun eksternal. Berkat upayanya, meski belum begitu maksimal,

modernisme pemikirannya mulai kelihatan. Dalam amatan cendekiawan Muslim

Dr Nurcholish Madjid (Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, Mizan : 1987),

'modernisme' Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apresiatif

terhadap filsafat. Ia peroleh wawasan itu dari gurunya, Jamaluddin Al-Afghani,

seorang penganjur gigih Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau. Di

Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi perjalanan dan patron ormas

Page 35: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Islam, Muhammadiyah, di mana banyak persamaan antara keduanya. Di antara

warisan intelektualnya adalah Risalah al-Tauhid. Sedangkan Tafsir al-Manar

merupakan kumpulan pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya

yang ditulis oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha. [Republika.co.id]39

39 Kotasantri, Muhammad Abduh, artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-

Page 36: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Bab III

GAMBARAN UMUM TENTANG SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN

A. Pengertian Sifat dan Perbuatan

Secara etimologi, kata sifat berasal dari bahasa Arab yakni al-shifah. Kata

tersebut merupakan derivasi dari kata kerja washafa-yashifu-wasfhan-wa shifatan

yang artinya “mensifati”. Dalam kamus al-Munjid karangan Louis ma’louf

mengartikan bahwa sifat (al-shifah) sebagai sesuatu yang berdiri dan melekat

pada suatu benda yang disifati (al-mawshûf),40 seperti sifat bagus, baik, tinggi,

besar dan lain sebagainya, yang melekat pada sebuah kursi, misalnya.

Dalam sebuah kamus besar bahasa Indonesia, kata sifat memiliki beberapa

pengertian sebagai berikut:41

1. Rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, tanda lahiriah

2. Perikeadaan yang menurut kodratnya ada pada sesuatu (benda, orang, dsb)

3. Ciri khas pada suatu benda (untuk membedakan diri dengan yang lain)

4. Dasar watak (dibawa sejak lahir)

Dengan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa sifat adalah

sesuatu yang menjadi ciri khas yang tampak pada suatu benda yang disifati untuk

membedakan benda tersebut dari benda yang lain.

40 Louis Ma’louf, Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm (Bairut: Dar el-Mashreq Sari,

1984), h. 903. 41 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indoneisa (Jakarta:

Balai Pustaka, 1988), cet. I.

Page 37: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Sedangkan perbuatan berasal dari kata “buat” yang artinya berbuat,

membuat, untuk, bagi. Berbuat artinya melakukan (suatu pekerjaan), sedang

mengadakan. Membuat artinya mengadakan, melakukan, mengerjakan, memakai

untuk, menyebabkan, mendatangkan, menjadikan. Perbuatan artinya sesuatu yang

dilakukan, kelakuan, tingkah laku. Jadi, perbuatan merupakan sesuatu yang

dilakukan dan dikerjakan yang dilekati oleh sifat, khususnya makhluk hidup yang

berhubungan dengan nilai, seperti perbuatan baik, buruk, adil, dan lain

sebagainya, yang dilakukan manusia misalnya.42

Memang sifat dan perbuatan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena

keduanya saling terkait, misalnya seorang memiliki sifat pemaaf, maka

perbuatannya adalah memaafkan. Ada juga yang mengatakan sifat dan perbuatan

itu tidak berbeda, dengan kata lain bahwa sifat dan perbuatan adalah sama, seperti

halnya api, sifatnya adalah panas dan membakar, sedang perbuatan api adalah

membuat panas dan membakar.

B. Pandangan tentang Sifat dan Perbuatan Tuhan Menurut Aliran Kalam

Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat

diketahui melalui kekayaan aneka ragam seni, budaya, dan pemikiran para

pemikir Muslim, baik tentang hukum, politik, sosial maupun ketuhanan atau

dikenal dengan sebutan ilmu tauhid atau ilmu kalam, dan orang yang ahli dalam

ilmu ini disebut mutakallim.

Karena yang dibahas adalah kalam Tuhan dan kalam manusia, maka ilmu

ini disebut Ilmu kalam. Kalau yang dimaksud dengan kalam Tuhan adalah firman-

Nya (al-Qur’an), maka kalam Tuhan pernah menimbulkan perdebatan sengit

42 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Kartika, 1997), h. 88.

Page 38: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

dikalangan umat Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Perdebatan yang

muncul adalah mengenai apakah kalam Tuhan itu qadîm atau hadits. Karena

firman Tuhan pernah diperdebatkan, maka ilmu ini dinamakan ilmu kalam. Kalau

yang dimaksud kalam manusia adalah kata-kata manusia, maka kaum teolog

dalam Islam selalu menggunakan dalil-dalil logika untuk mempertahankan

pendapat dan pendirian masing-masing. Kaum teolog dalam Islam memang

dinamakan mutakallimûn karena mereka ahli debat yang mahir memainkan kata-

kata.43

Ilmu tersebut juga bisa dinamakan ushuluddin, karena membahas pokok-

pokok ajaran agama, seperti masalah dan keesaaan Tuhan. Selain itu, ilmu ini juga

bisa disebut ilmu tauhid, karena ajaran pokok Islam adalah tentang tauhid. Kata

tauhid mengandung arti satu atau Esa, dan keesaan dalam pandangan Islam

merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan.44

Asal ilmu tauhid sendiri, baik ‘aqlî maupun naqlî, masih bersifat

spekulasi. Ini merupakan konsekuensi dari ketidakjelasan batasan akal dan adanya

kontaminasi antara qath’î dengan zhannî dalam naqlî, baik dalam konteks sumber

(tsubût) maupun makna (dalâlah)-nya.45 Dari kalangan tâbi’în, ahli kalam

pertama adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, Zayd ibn ‘Ali Zayn al-Âbidîn, Hasan al-

Bashrî, dan lain-lain. Sesudah masa tâbi’în adalah Ja’far ibn Muhammad al-

43 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat:Logos, 1999), cet. Ke 2, h, 17. 44 Ibid., h. 17. 45 M. Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam, (Bangil: al-Izzah, 2002)

cet. 1, h. 35.

Page 39: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Shâdiq. Sedangkan dari kalangan ulama fikih ada Imam Abû Hanîfah dan Imam

Syafi’î.46

Masalah yang diperdebatkan oleh kalangan mutakallimûn, antara lain

tentang pengetahuan dan cara memperolehnya, tentang kebaharuan alam, keesaan

Tuhan, tanzîh (penyucian Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan Tuhan), tentang

kalam Tuhan (apakah qadîm atau hâdits), tentang kenabian sekaligus kesucian

para nabi dari dosa (ma’shûm), tentang al-mî’âd (tempat kembali), tentang sifat

Tuhan yang berhubungan dengan zat-Nya, perbuatan Tuhan. Di antara aliran-

aliran kalam yang pernah ada, dua di antaranya merupakan yang paling banyak

sorotan hingga saat ini, yaitu Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Hubungan

ketiga aliran ini sendiri adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama saat

Mu’tazilah dijadikan ideologi negara oleh Khalifah al-Ma’mûn dan al-Mu’tashim

dari dinasti ‘Abbâsiyah. Daktrin Mu’tazilah yang diperkenalkan oleh dua

penguasa ‘Abbâsiyah itu memaksa semua umat Islam pada masa itu untuk

meyakini al-Qur’an sebagai ciptaan (makhlûq).47

a. Pandangan Mu’tazilah

Mu’tazilah merupakan aliran dalam teologi yang sangat rasionalis, bahwa

meyakini sepenuhnya kemampuan akal merupakan ciri khas paling khusus dari

aliran tersebut. Prinsip itu mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal.

Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka merupakan kelompok

yang paling mirip dengan Deskartes dari kalangan ilmu Rasionalis modern.

46 Noer Iskandar al-Barsany, Pemaknaan Ulang Ahlu Sunnah wal Jama’ah dari Mazhab

Aqwâlî ke Mazhab Manhaji ,dalam Imam Baehaqi (ed), Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan Rainterpretasi (Yogyakarta: LKiS, 1999) cet. 1, h. 144.

47 Thoha Hamim, Paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah; Proses pembentukan dan Tantangannya, dalam Imam Baehaqi (ed), Kontroversi Aswaja, h. 151.

Page 40: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Mereka tidak mengingkari teks al-Qur’an dan hadis, tetapi tanpa keraguan mereka

menundukan kedua teks di atas hukum akal. Untuk itu, mereka mentakwilkan

ayat-ayat mutasyabbihât, serta menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal.

Aliran ini juga mensucikan kemerdekaan berpikir baik ketika menghadapi pihak

lawan maupun sesama mereka sendiri.48

Pendiri sekaligus pemuka aliran Mu’tazilah adalah Wâshil ibn ‘Atha.

Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-Ushûl al-Khasanah

adalah at-Tauhid (pengesaan Tuhan dengan meniadakan sifat-sifat Tuhan), al-Adl

(keadilan Tuhan), al-Wa’ad wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah

bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-

Nahy an al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran).49

Pada ajaran tauhidnya, Wâshil mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki

sifat. Pada umumnya, doktrin ini tidak begitu berkembang dan hanya diterangkan

oleh Wâshil secara ssederhana saja, sebagai berikut: “Secara umum telah sepakat

bahwa eksistensi dua Tuhan yang sama-sama kekal adalah mustahil; maka

kalaulah bersitegang mempertahankan pendapat bahwa ada kesatuan sifat Tuhan

yang kekal, itu pun berarti ada dua Tuhan (yang kekal). Para pengikutnya yang

disebut al-Wâshiliyah, lebih kuat lagi memegang doktrin ini setelah mereka

mengkaji buku-buku filsafat karya filosof. Sifat-sifat Tuhan mereka simpulkan

hanya dengan al-‘Ilm dan al-Qudrah saja. Kedua sifat ini merupakan aspek-aspek

48 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin

(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 1. h. 48. 49 Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 80.

Page 41: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

dari esensi zat Tuhan yang kekal (eternal). Abû al-Husayn al-Bishrî di lain pihak,

cenderung menyimpulkan sifat-sifat Tuhan itu dengan al-‘Ilm saja.50

Oleh karena itu, berarti bahwa Wâshil dan pengikut-pengikutnya menolak

ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahmân, al-Rahîm, al-

Qâdir, al-‘Âlim, dan seterusnya. Mereka menerima kebenaran ayat-ayat tersebut

bersama dengan kebenaran seluruh ayat lainnya. Hanya saja penafsiran tentang

ayat-ayat tersebut berlainan dengan penafsiran aliran teologi lain dalam Islam.

Bagi Mu’tazilah khususnya para pengikut Abû Hudzail al-Allâf (135 H- 235 H)51

bahwa al-Rahmân, al-Rahîm, al-Qâdir, al-‘Âlim, dan sebagainya bukanlah sifat

Tuhan, tetapi aspek dari zat atau esensi Tuhan itu sendiri. Lafaz-lafaz tersebut

mereka anggap hanya sebagai keadaan atau nama, dan bukanlah sifat. Bagi

mereka, Tuhan mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui zat-Nya.

Dengan penafsiran serupa ini, kaum Mu’tazilah memberi gambaran Esa kepada

diri Tuhan, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat

yang mempunyai berbagai aspek.52

Tuhan menurut Hudzayl, bahwa betul mengetahui itu bukan dengan sifat,

melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya tersebut

adalah zat atau esensi-Nya.

23 ذا21/ري 1,/%0 (/%+ ب,)+ و ()'ان& ا%

50 Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Syahratani, Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat

(Bandung: Pustaka, 1996), h. 60-61. 51 Ia tinggal di Bashsrah dan menjadi pimpinan kedua daru cabang Bashrah setelah

Wâshil. Pengetahuannya tentang filsafat melapangkan jalan baginya untuk menyusun dasar-dasar Mu’tazilah secara teratur. Dan pengetahuannya tentang logika membuat ia menjadi pejabat mahil dalam melawan golongan Majusi, Ateis, dan lain sebagainya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Prees, 2002), cet. I, h. 47.

52 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful Muzani (ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1998), cet. 5, h. 131.

Page 42: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

“Sesungguhnya al-Bârî Ta’âlâ (Allah) mengetahui dengan ilmu. Dan ilmu yang dimiliki-Nya tersebut tidak lain adalah dzat-Nya.”53 Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan, dan kekuasaan merupakan zat-

Nya. Tuhan Maha Bijaksana dengan kebijaksanaan-Nya, dan kebijksanaan-Nya

adalah zat-Nya. Demikianlah seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.

Lebih jelasnya, Hudzayl mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa Tuhan

itu bersifat tahu, maka artinya pun aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat

pengetahuan, sementara pengetahuan itu sendiri adalah Dia. Sehingga dengan

begitu aku tegas-tegas menolak anggapan Tuhan itu bodoh (jahl) terhadap sesuatu

yang sudah ataupun yang akan terjadi. Dan kalau aku tanyakan Tuhan bersifat

kuasa, maka artinya pun aku tegas-tegas menolak anggapa bahwa Tuhan itu lemah

(‘ajz) dan aku tetapkan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan sendiri adalah Dia,

tetapi kekuasaan-Nya itu terbatas pada apa yang dikuasai-Nya semata. Begitu pun

kalau aku katakan, pada-Nya itu terdapat keperihidupan (hayâh), maka artinya

pun aku tetapkan bahwa keperihidupan itu sendiri adalah Dia, karena aku tegas-

tegas menolak anggapan bahwa Tuhan itu mati.54

Di antara pemimpin Mu’tazilah lainnya yang kemasyhurannya seperti

Wâshil dan Abû Hudzayl adalah Abû ‘Ali Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhâb al-

Jubâ’î (w. 295 H) dan anaknya Abû Hâsyim ‘Abd al-Salam (w. 321 H). mengenai

peniadaan sifat Tuhan, al-Jubâ’î berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui

esensi-Nya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Dengan

demikian, untuk mengetahui Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui dan pada

dalam keadaan mengetahui. Adapun bagi anaknya, Abû Hâsyim, bahwa Tuhan

53 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 47-48. 54 Abû al-Hasan al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (Bandung:

Pustaka Setia, 1998), cet. I, h. 230.

Page 43: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

mengetahui melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat

tetapi hâl (state, keadaan).55

Apabila dikatakan Tuhan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat

unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang

melekat pada zat tersebut. Kalau dikatakan Tuhan memiliki 20 sifat, maka Tuhan

akan terdiri dari 21 unsur, jika dikatakan memiliki 99 sifat, maka Tuhan akan

terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada

banyaknya jumlah yang qadîm (terdahulu), sedang dalam teologi, sifat qadîm itu

esa. Secara sederhana arti Iman adalah tiada Tuhan selain Allah, sedangkan iman

dalam teologi, mengambil bentuk tiada yang qadîm selain Allah. Oleh karena itu,

paham banyak yang qadîm membawa manusia kepada syirik, dan syirik dalam

Islam adalah dosa besar yang tak diampuni Tuhan.56 Dengan kata lain mereka

menegaskan bahwa Tuhan dengan zat dan sifat-Nya adalah Esa, dan tidak ada

pluralitas pada diri-Nya dari sisi manapun.

Secara keseluruhan, golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak

memiliki sifat. Sebab, jika Tuhan memiliki sifat mestilah sifat itu juga kekal

seperti Tuhan.57 Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat, maka dalam diri Tuhan

terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat

yang melekat pada zat. Di sana terdapat unsur yang sama-sama kekal.

Paham peniadaan sifat Tuhan ini kelihatannya berasal dari Jahm, karena

Jahm menurut al-Syahratani, berpendapat bahwa sifat-sifat yang ada pada

manusia tidak dapat diberikan kepada Tuhan, karena itu akan membawa kepada

55 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.51-52 56 Harun Nasution, “Kaum Mu’tazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Saiful muzani

(ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. 130. 57 Muhammad Abû Zahrah, Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah

Aqidah, Politik dan Fikih (Jakarta: Lentera, 2005), cet.I, h. 226.

Page 44: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

antropomorfisme (penyamaan Tuhan dengan manusia), atau dalam bahasa Arab

disebut Mujassimah dan Hawwâsîyah, yaitu mereka yang percaya pada arti

harfiah dan nash-nash Tuhan.58

Golongan Mu’tazilah mentakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang arti lahirnya

menunjukan bahwa Tuhan itu berjisim, seperti surat al-Fath (48) ayat 10: (Tangan

Allah di atas tangan mereka); Surat Thâhâ (20) ayat 5:”al-Rahmân ‘alâ al-‘arsy

istwâ” (Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arasy). Sehingga kata-

kata tersebut bermaksud majazî (kiasan), bukan bermakna hakiki, sebab yang

hakiki bertentangan dengan ke-Maha-Esa-an Tuhan. Paham seperti ini semata-

mata bertujuan untuk men-tanzih-kan (mensucikan) Tuhan. Dari sinilah, maka

kemudian Mu’tazilah menamakan dirinya ahl al-Tawhîd, dan lawan mereka

menyebutnya Mu’aththilah.

Zaman keemasan Mu’tazilah selama lebih dari tiga dekade ini berakhir

akibat perbuatan mereka sendiri. Mereka terlalu mengagung-agungkan kebebasan

berpikir, mereka juga memaksa dan membelenggu kebebasan berpikir orang lain

untuk mengikuti pahamnya, dengan melakukan al-Mihnah (inquisition). Pada

masa itu masyarakat dipaksa untuk mengikuti pendapat aliran tersebut bahwa al-

Qur’an adalah makhluk.59

Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional,

berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan

58 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 46. 59 Bisa dikatakan bahwa hilangnya Mu’tazilah adalah hilangnya pola pikir rasional dalam

dunia Islam yang sangat kentara mulai abad kelima. Ditambah dengan situasi politik yang tak menguntungkan, yakni penyerangan bangsa Mongolia yang membabat dan memporak-porandakan Bagdad. Dan sayangnya umat Islam melarikan diridari kenyataan. Melihat kekalahan-kekalahan, mereka lari ke “sudut-sudut kehidupan”. Mereka mengasingkan diri (‘uzlah) bukan hanya secara fisik tetapi bahkan secara pemikiran. Maka dimulailah masa kemunduran bagi Islam. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990), cet. I, h. 189.

Page 45: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

baik. Namun, itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan

buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan

dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun dijelaskan bahwa Tuhan

tidaklah berbuat zalim.60 Ayat-ayat al’Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah

untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat al-AnBiya [21]:2361, dan surat

ar-Rum [30]:8.62

Abd al-Jabbar, tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut

memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari

perbuatan buruk. Dengan demikian, perbuatan Tuhan tidak perlu ditanya. Ia

menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat

baik, maka tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu. Adapun

ayat kedua, menurut al-Jabbar , mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah

dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata Tuhan

melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi

beserta isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.63

Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang sejajar

dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan,

mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai

kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam

satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik terhadap manusia.64 Faham kewajiban

Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah)

60 M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam: Pemikiran Kalam (Jakarta: Perkasa Jakarta,

1990), h. 89. 61 Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. 62 Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduany,

melainkan dengan (tujuan) yang benar. 63 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 89. 64 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 154.

Page 46: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Tuhan

berikut ini:

1. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia

Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan

faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka

tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat adil kalau Dia memberi beban yang

terlalu berat terhadap manusia.65

2. Kewajiban mengirim rasul

Bagi Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal mengetahui hal-hal

ghaib,66 pengiriman rasul tidak begitu penting. Namun, mereka memasukan

pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan.

Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa

yang diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan

berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul.

Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan

akhrat nanti.67

3. Kewajiban menepati janji dan ancaman

Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan

Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan

65 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129. 66 Sebagimana telah dilihat pembahasan tentang wahyu, fungsi wahyu bagi aliran

Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui akalnya.

67 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 131.

Page 47: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahal

kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang

berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan

ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan mannusia. Oleh karena

itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.68

b. Pandangan Asy’ariyah

Sebagai reaksi dari timbulnya berbagai firqah (Qadariyâh, Khawârij,

Mu’tazilah, dsb), maka lahirlah aliran baru yang dipelopri oleh Abû Hasan al-

Asy‘arî.69 Beliau dilahirkan di Bashrah tahun 260 H dan di sana pula beliau

meninggal dunia pada tahun 324 H. Pada mulanya berpegang pada paham

Mu’tazilah sebagaimana diajarkan oleh gurunya al-Jubba’î. Setelah 40 tahun

menjadi pengikut Mu’tazilah, akhirnya ia merasa kecewa. Paham yang diikutinya

terlampau mengagungkan akal dan sering mengabaikan teks-teks hadis. Di lain

pihak, ia juga tidak menyukai kaum tekstualis, yang hanya percaya pada bunyi

teks dan mengindahkan spiritnya. Kitab-kitab yang pernah dihasilkannya antara

lain al-Ibanâh fi Ushul al-Diyânah, Maqâlât al-Islâmîyîn, dan al-Mujâz.

Di antara ulama besar yang menyebarkan aliran Asy’ariyah ini yaitu Abû

Bakr al-Qaffâl (w. 365 H), Imam al-Bâqillânî, dengan kitab al-Tamhîd-nya yang

terkenal (w. 403 H), Imam Abû Ishâq al-Isfahânî (w. 411 H), Imam Hâfizh al-

Bayhaqî (w. 458 H), Imam al-Juwaynî atau dikenal dengan sebutan Imam al-

Harâymayn, guru Imam al-Ghazâlî (w. 460 H), Imam al-Qusyayrî (w. 465 H),

68 Ibid., h. 132-133. 69 Beliau dan Maturidi adalah ahli teologi yang mengambil jalan tengah antara pemikiran

Mu’tasilah yang lebih liberal dengan faham ahl al-hadîts yang terlalu tekstual. Para pengikut kedua tokoh ini biasa disebut Sunni, Asy ‘ariyah, atau Asyâ’irah. Lihat Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 13.

Page 48: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Imam al-Ghazâlî (w. 505 H), Imam Fakhr al-Râzî (w. 606 H), dan Imam ‘Izz al-

Din ibn ‘Abd al-Salâm (w. 606 H). dalam masa-masa kemudian, para ulama yang

mendukung paham Asy’ariyah ini di antaranya seperti Syekh al-Islâm ‘Abd Allâh

al-Syarqâwî (w. 1227 H), Syekh Ibrâhîm al-Bâjûrî (w. 1272 H), Syekh Nawawî

al-Bantanî (w. 1315 H), Syekh Zayn al-‘Âbidîn ibn Muhammad al-Fathanî dengan

kitab ‘Aqîdat al-Nâjîn-nya, Syekh Husayn al-Tarabalâsî dengan kitab al-Hushûn

alHamîdîyah-nya yang terkenal itu.70

Dalam doktrin Asy’ariyah, bahawa Tuhan merupakan zat yang mutlak

mempunyai sifat. Sifat inilah yang ada relasinya dengan alam semesta ini. Tuhan

memiliki sifat-sifat seperti Qudrah, Irâdah, ‘Ilm, dan Sam’, dan lain sebagainya.

Dengan adanya qudrah maka ada maqdûr; dengan adanya irâdah maka ada

murâd; ada ‘ilm ada ma’lûm; dan ada sam’ maka ada masmû’. Semua itu adalah

relasi sifat Tuhan dengan makhluk. Hanya saja dalam Islam, sifat-sifat itu tidak

menjelma, sifat tidak bisa dipisah dengan Tuhan. Maka dalam ilmu kalam

dikatakan, misalnya al-‘Ilm shifah qadimah azaliyah laysat hiya dzatan wa lâ

ghayrahâ (ilmu itu merupakan sifat azali yang berbeda dengan zat Tuhan, dan

bukan pula zat-Nya).71

Dalam memperkuaat pendapatnya itu, ia mengemukakan ayat-ayat al-

Qur’an, di antaranya:

أ45ا%2 ب,)23

Artinya: “Allah menurunkan dengan ilmu-Nya” (QS. an-Nisâ [4] : 166)

70 Muslim, Asy’ariyah, artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari

http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9b123e6d26ab120be5b54dfc

71 Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 180.

Page 49: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

1<3= م> أ5;0 و%/ 1:9 إ%&/ ب,)23 وم/

Artinya: “Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan pengetahuan-Nya”.

(QS. al-Fâthir [35] : 11)

Menurut Asy’ari, kedua ayat di atas menunjukan bahwa Tuhan

mengetahui dengan ilmu. Oleh karena itu, mustahil ilmu Tuhan itu adalah zat-

Nya, maka zat-Nya itu merupakan pengetahuan. Mustahil al-‘Ilm (pengetahuan)

merupakan al-‘Alim (Yang Mengngetahui), atau sebaliknya al-‘Alim (Yang

Mengetahui) merupakan al-‘Ilm (pengetahuan), atau zat Tuhan diartikan sebagai

sifat-sifat. Oleh karena mustahil Tuhan merupakan pengetahuan, maka mustahil

pula Tuhan mengetahui zat-Nya sendiri. Dengan demikian, menurut al-Asy’ari

Tuhan mengetahui dengan ilmu. Ilmu Tuhan tersebut bukan merupakan zat-Nya.

Demikian pula sifat-sifat lainnya. Bagi Asy’ari, seluruh sifat Tuhan itu qâ’imah bi

dzâtih (berdiri sendiri).72

Dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyâbihât seperti:

وFG'H و2E ربCD ذوا ا%B)/ل واAآ?ام

Artinya: “Dan tetap kekal wajh Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulilaan.”

(QS. al-Rahmân [55] :27)

/IJووح /IJIJ)Lب C(M%9 اINوا

Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan ‘ayn dan petunjuk kami.”

72 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan

dengan al-Asy’ari (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. I, h. 43.

Page 50: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

(QS. Hûd [11] :37)

+OHPHق أQR Sا PH

Artinya:“Yad Allah di atas tangan mereka.” (QS. al-Fath [48] : 10)

Dalam persoalan ayat-ayat di atas, al-Asy’ari dapat dianggap mengambil

jalan tengah dengan mengemukakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, mata dan

tangan73 yang tidak akan hancur seperti yang telah disebut dalam al-Qur’an, tetapi

dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya (bi lâ kayf).74 Sifat Tuhan bukan

esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan adalah berbeda.

Proposisi “sifat itu bukan zat” (laysat hiya dzâtan) digunakan untuk

menjawab argumentasi Mu’tazilah yang mengaitkan sifat itu adalah zat. Dan

proposisi “sifat itu bukan selain zat” (wa lâ ghayrahâ) digunakan untuk

menyanggah orang-orang Nasrani yang meyakini bahwa sifat Tuhan itu dapat

dipisahkan dari zat-Nya. Sifat “kalam” (berfirman), misalnya, dapat dipisahkan

karena “kalam” tersebut telah menjelma dalam bentuk Yesus.

Kalau mengikuti lebih lanjut, paham Asy’ariyah ini sebenarnya sudah jauh

berkembang. Al-Râzî, misalnya itu sudah jauh sekali dari Asy’ari. Sebab dia

mengatakan bahwa sifat Tuhan itu hanya al-‘Ilm (ilmu). Pendapat itu justru lebih

mengarah ke paham Mu’tazilah.75

Bahkan al-Juwaynî, pengikut golongan Asy’ariyah, juga condong kepada

paham Mu’tazilah, menurutnya Allah Swt., suci dari pengkhudusan dengan arah,

dengan sifat-sifat beharu serta bebas pula dari adanya betasan dan ukuran.

73 Ibid., h. 44. 74 Maksud dari tidak bisa ditentukan bagaimana (bi lâ kayf) adalah dengan tidak

mempunyai bentuk dan batasan (lâ yukayyaf wa lâ yuhadd). Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, h. 71.

75 Mastuki HS (ed), Kiyai Menggugat Pemikiran Kang Said, h. 13

Page 51: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Baginya, setiap yang menempati arah mestilah terbatas, setiap yang terbatas

mestilah terdiri dari jawhar yang dapat berkumpul dan bercerai. Sedangkan Allah

Maha Suci dari bertempat (al-Tahayyuz) dan lepas dari arah tertentu, dan juga

tidak terdiri dari tubuh (jism) tertentu. Oleh karenanya, ayat 5 surat Thâhâ di atas

harus ditakwilkan al-qahr (keperkasaan), al-ghalabah (kekuasaan), atau al-uluww

(keluhuran).76

Al-Bâgillanî, sebagaimana disebut oleh al-Syahrastânî, setuju jika hâl

digunakan untuk menyebut dan menetapkan sifat Tuhan seperti pandangan Abû

Hâsyim dari kalangan Mu’tazilah. Tampaknya ia setuju karena umumnya kaum

Mu’tazilah mengunakan pendapat Abû Hâsyim tersebut dalam rangka untuk

menetapkan ke-Esaan dan ke-qadîm-an Tuhan.

Al-Bâqillânî mengatakan bahwa sifat terdapat pada zat. Gerak dan warna

misalnya, keduanya terdapat zat yang bergerak dan berwarna. Sifat adalah sesuatu

yang tampak pada perbuatan, seperti corak atau bentuk. Ada yang hitam, putih,

panjang, atau pendek. Sifat juga bisa merupakan pekerjaan, seperti katîb (penulis),

bisa juga berdasarkan agama, seperti mukmin atau kafir. Selain itu, bisa juga

berdasarkan kebangsaan, seperti ‘Arabi (yang berkebangsaan Arab), ‘Ajami (yang

berkebangsaan non-Arab), atau Hâsyimî (yang berasal dari keturunan Hâsyim).

Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli bahasa bahwa sifat adalah sesuatu

yang menempel pada nama-nama.77 Tetapi kecenderungan tokoh-tokoh aliran

Asy’ariyah terhadap pemikiran Mu’tazilah ini dianggap oleh Said Aqiel Siradj

sebagai usaha adaptasi Sunni yang menurutnya sangat fleksibel.

76 Sjechul Hadi Purmono “Aswaja: Aqidah dan Syari’ah”, dalam Imam Baehaqi (ed)

Kontroversi Aswaja, h. 49. 77 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan

dengan al-Asy’ari, h. 50.

Page 52: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Sedangkan Abû Hâmid al-Ghazâlî (1058-1111 M), salah seorang pengikut

al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya dalam umat Islam, ternyata

berlainan pendapat dengan gurunya yakni al-Juwaynî dan al-Bâqillânî. Paham

teologi yang diajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham

Asy’ari. Al-Ghazâlî, seperti al-Asy’ari, tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai

sifat-sifat qadîm yang tidak identik dengan zat Tuhan itu sendiri, dan mempunyai

wujud di luar zat-Nya.78

Menurut aliran Asy’ariyah tentang perbuatan Tuhan, bahwa kewajiban

Tuhan berbuat baik danterbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah),

sebagaimana dikatakan Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan

dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan al-

Ghazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhantidak berkewajiban berbuat baik dan

terbaik bagi manusia. Dengan demikian, Asy’ari tidak menerima bahwa Tuhan

mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap

makhluk-Nya. Sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, perbuatan-perbuatan Tuhan

bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satu pun dari-Nya yang mempunyai sifat

wajib.79

Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa

Tuhan tidak memepunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ari menerima faham

pemberian beban di luar kemampuan manusia. Asy’ari sendiri dengan tegas

mengatakan dalam bukunya al-Lamâ, bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang

78 Said Aqiel Siradj, “Ahlussunnah wal Jama’ah di awal Abad XXI” dalam Imam

Baehaqi (ed.), Kontroversi Aswaja, h. 140. 79 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 129-

130.

Page 53: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

tidak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazâlî pun mengatakan hal ini dalam

karyannya al-Iqtisad.80

Walupun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran

Asy’ari menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal ini bertentangan dengan

keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap

manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan

tidak mengutus rasul kepada manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan.

Tanpa wahyu, manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Dia

akan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Namun, sesuai dengan faham

Asy’ari tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi

masalah bagi eologi mereka. Kalau Tuhan menghendaki manusia hidup dalam

masyarakat kacau. Tuhan dalam hal ini tidak berbuat untuk kepentingan

manusia.81

Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa

Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman. Di

sini timbul persoalan bagi Asy’ari karena dalam al-Qur’an dikatakan dengan tegas

bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-

kata Arab “man alladzîna” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi

interpretasi oleh Asy’ari, “bukan semua orang tetapi sebagian”. Dengan demikian

kata siapa dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara

tidak adil, maka sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya,”

mengandung arti bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian.

Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukanlah semua orang,

80 Ibid., h. 129. menurut faham Asy’ari, perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan daya manusia.

81 Ibid., h.131-132.

Page 54: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapaun sebagian

lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Dengan interpretasi demikianlah Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan

menepati janji dan ancaman.82

c. Pandangan Maturidiyah

Aliran ini dinisbahkan kepada Imam al-Huda Abu Mansur Muhammad bin

Muhammad al-Maturidi dari Samarkand. Dari segi pemikirannya, al-Maturidi

banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy’ari, sekalipun ada beberapa perbedaan

cukup signifikan antara keduanya. Misalnya terkait persoalan ma’rifah

(mengetahui Allah), Asy’ariyah menganggapnya wajib berdasarkan syara’,

sedangkan Maturidiyah melihat kewajiban ini juga dapat dicapai melalui

penalaran akal. Demikian pula perihal kebaikan, Asy’ariyah tidak mengakui

bahwa penilaian atas hal itu dapat dicapai melalui penalaran akal atas

substansinya. Sementara Maturidiyah menerima kemampuan akal untuk menilai

kebaikan sesuatu berdasarkan substansinya. Dari sini dapat diketahui bahwa

Maturidiyah memberikan otoritas lebih besar kepada akal manusia dibandingkan

dengan Asy’ariyah. Sekalipun demikian, pemikiran keagamaan Maturidiyah

senantiasa menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai rujukan dan bingkai

penafsirannya.

Aliran penentang Mu’tazilah di Basrah dipimpin oleh Abu Hasan al-

Asy’ari, sedangkan di Samarkand dipimpin oleh al-Maturidi.83 Walaupun kedua

aliran tersebut sama-sama sebagai Ahlussunnah wal Jama’aah, tetapi antara

82 Ibid., h.133. 83 Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), h. 91.

Page 55: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

keduanya terdapat perbedaan. Menurut Muhammad Abduh, bahwa perbedaan itu

bukanlah pada soal-soal yang prinsipil, serta jumlahnya tidak lebih dari 40

masalah.84 Sedangkan menurut Abû Zahrah, perbedaan itu terletak pada, bahwa

Maturidi lebih banyak memberikan peranan kebebasan kepada akal dibanding

dengan Asy’ari, sehingga hasil pemikirannya banyak juga yang berbeda.85

Al-Maturidi mempunyai banyak pengikut, salah satunya bernama al-

Bazdawi. Al-Maturidi dan al-Bazdawi walaupun sama-sama pengembang aliran

tersebut, tetapi antara keduanya memiliki beberapa perbedaan paham.

Maturidiyah yang pusat kegaiatannya di Samarkand disebut Maturidiyah

Samarkand yang dipimpin oleh al-Maturidi sendiri, pendapat-pendapatnya banyak

yang sejalan dengan paham Mu’tazilah yang rasionil, sedang Maturidiyah yang

pusat kegiatannya di Bukhara yang dipimpin al-Bazdawi disebut Maturidi

Bukhara, paham-pahamnya banyak berdekatan dengan paham Asy’ariyah.86

Dengan demikian, aliran Maturidiyah memiliki dua cabang yakni Maturidiyah

Samarkand dan Matiridiyanh Bukhara.

Maturidi mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat Tuhan harus

didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman

‘azali, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat seperti qudrat, dan sifat-sifat aktif

(perbuatan, sifat af’al). seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan

lainnya. Sifat-sifat tersebut kesemuanya tidak boleh diperbincangkan, apakah itu

hakekat zat ataukah bukan?87

84 Abul Hasan al-Nadawi, Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam (Kuwait: Darul

Kalam,1969), h. 159. 85 Muhammad Abû Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr, t.t), h.

199. 86 Harun Nasution, Theologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 8-9. 87 A Hanapi, Theologi Islam (Jakarta: Al-Husna, 1996), h. 94.

Page 56: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Akan tetapi paham tersebut membelok kepada Asy’ari dengan mengatakan

bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui sifat ‘ilm-Nya, bukan

dengan zat-Nya. Tuhan berkuasa dengan sifat qudrah-Nya, bukan dengan zat-

Nya.88 Timbul persoalan yang sama seperti di atas. Kalau sifat-sifat itu bukan

hakekat zat, tidak pula dari zat, apa jadinya sifat-sifat itu? Maturidi menjawab,

bahwa sifat Tuhan itu adalah sifat Tuhan, tidak lebih dari itu.

Dengan kata lain Maturidi tidak bisa menyelesaikan kontradiktif.

Sebenarnya ia bisa saja membelok kepada Mu’tazilah atau orang-orang filosof,

dengan mengatakan tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan

sifat Tuhan adalah hakekat zat-Nya. Ia juga bisa melangkah kearah aliran salaf

dengan pengakuan bahwa mazhab itu lebih selamat dan bahwa pembahasan sifat

akan menyeret kita kepada bid’ah Mu’tazilah dan Asy’ariyah.89

Meskipun demikian, sikap Maturidi terhadap Mu’tazilah lebih lunak.

Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak seperti tasybîh (mempersamakan

Tuhan dengan manusia) dan mereka mengingkari sifat-sifat (Mu’tazilah) dengan

alasan mensucikan Tuhan tidak perlu disebut Mu’attilah, tidak pula kafir,

meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya sebab bisa

menjadikan Tuhan suatu gambaran pikiran yang kosong.

Dalam pembicaraan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidi, harus digunakan

cara tasybîh bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadîm dan tidak bisa diterangkan

kecuali dengan menggunakan kata-kata yang biasa digunakan untuk lingkungan

manusia, yang berarti mempersamakan (tasybih). Akan tetapi dalam hal itu

haruslah dipakai jalan tanzîh untuk meniadakan setiap persamaan antara sifat

88 M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 128. 89 A Hanapi, Theologi Islam h. 95.

Page 57: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat

‘ilm dan qudrat Tuhan itu, sebab petanyaan ini masih memaksakan adanya

persamaan.90

Berbicara sifat-sifat Tuhan lagi, Maturidi juga sejalan dengan Mu’tazilah

bahwa sifat-sifat tersebut tidak memiliki eksistensi mandiri yang berada di luar

zat-Nya. Padahal Asy’ariyah justru berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan memiliki

eksistensi sendiri di luar zat-Nya. Hanya saja ia sepakat dengan Asy’ariyah bahwa

Tuhan dapat dilihat oleh mata manusia penghuni surga di hari kiamat. Adapun

persoalan al-Qur’an, Maturidiyah menyifatinya sebagai baru, tetapi tidak

menyebutnya makhluk. Ini berbeda dengan Mu’tazilah yang menegaskan

kemakhlukan al-Qur’an dan Asyariyah yang menyifatinya bukan makhluk tetapi

tidak menyatakannya qadîm. Sedangkan kalam dilihat Maturidiyah sebagai salah

satu sifat Tuhan yang melekat dengan zat-Nya. Terhadap ayat-ayat sifat yang

mutasyabbih, Maturidiyah memilih melakukan pentakwilan dengan membawanya

kepada arti yang muhkâm dengan tetap menghindari jebakan antropomorfisme. 91

Perbedaan lainnya juga nampak seputar perbuatan Tuhan di mana

Asy’ariyah menyatakannya tidak terkait dengan sebab karena Tuhan tidak dikenai

pertanggung jawaban. Sedangkan Maturidiyah dengan redaksi berbeda lebih

cenderung sejajar dengan pemikiran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa dalam

tiap perbuatan-Nya pasti terdapat hikmah dan tujuan, karena mustahil Tuhan

Yang Maha Bijaksana sampai berbuat iseng dan kesia-siaan. Tentang konsep

kasb, antara keduanya juga terdapat titik perbedaan yang signifikan. Asy’ariyah

90 Ibid., h.95 91 Pejiarah, Maturidiyah, artikel diakses pada 30 Mai dari

http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/

Page 58: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

menetapkan kasb dalam kebersamaan antara perbuatan yang diciptakan Tuhan

dan ikhtiar hamba. Tetapi, hamba sendiri tidak memiliki pengaruh terhadap kasb

tersebut karena Tuhan-lah yang menciptakannya. Implikasi logis pandangan ini

memang bersifat fatalis karena ikhtiar hamba menjadi tidak berarti karena iapun

dipengaruhi oleh Tuhan. Sedangkan Maturidiyah memberi pengakuan bahwa

hamba memiliki potensi kebebasan dalam kasb. Dengan potensinya itu ia bebas

memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan

dalam perbuatan itulah kebersamaan dengan penciptaan Tuhan terjadi. 92

Mengenai perbuatan Tuhan ini, terdapat perbedaan pandangan pendapat

antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidi

Samarkand yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan, berpendapat perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik

bagi manusia. Dengan demikian juga dengan pengiriman rasul dipandang

Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.93 Adapun mengenai

pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan

Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin.

Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari

mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana

dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah

kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan

ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara

92 Ibid., 93 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam, h. 91.

Page 59: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.94

Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya,

Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil

meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.

Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah.

Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapataliran

Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak

membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.

94 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128-133.

Page 60: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Bab IV

SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF

MUHAMMAD ABDUH

E. Sifat-sifat Tuhan

Terdapat pertentangan dalam teologi Islam dalam hal apakah Tuhan

mempunyai sifat ataukah tidak. Apakah sifat tersebut esensi Tuhan itu sendiri

ataukah mempunyai wujud tersendiri di luar zat-Nya? Sebagian aliran

mengatakan ada dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Dalam hal ini,

Muhammad Abduh telah menyinggung dan menyebutkan sifat-sifat Tuhan dalam

karyanya yang berjudul Risalah al-Tauhid. Mengenai masalah tersebut, Abduh

tidak tegas dalam mengatakan bahwa sifat Tuhan adalah esensi Tuhan, karena hal

itu terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuainya. 95

Dalam karyanya yang lain yaitu Hasyiah ’alâ Syarh al-Dawwânî li al-

’Aqaid’id al-’Adudiah, Abduh menjelaskan bahwa sifat Tuhan menurut pendapat

para filosof Islam, adalah esensi. Maksudnya, bahwa esensi Tuhan adalah sebagai

satu-satunya sumber dari segala yang ada, yang merupakan sumber yang timbul

akibat dari sifat. Akibat dari sifat mengetahui, ialah “memperoleh pengetahuan”

tentang objek pengetahuan, dan “memperoleh pengetahuan” tersebut timbul

karena akibat dari esensi. Dengan kata lain, bahwa esensi dan sifat mengetahui

adalah satu, karena keduanya sama-sama “memperoleh pengetahuan.” Begitu pula

halnya dengan sifat berkuasa. Akibat dari sifat kekuasaan adalah “pelaksanaan

perbuatan”. Dan “pelaksanaan perbuatan” tersebut juga timbul karena sumber dari

95 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI-Press, 1987), cet-1, h. 71.

Page 61: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

segala yang ada yaitu akibat dari esensi. Maka dari itu, esensi dan sifat berkuasa

adalah pula satu, karena keduanya sama-sama mengakibatkan “pelaksaana

perbuatan.” Dengan demikian, esensi ditinjau dari segi tercapainya pengetahuan

tentang sesuatu adalah memperoleh pengetahuan, dan ditinjau dari segi kekuasaan

adalah terlaksananya perbuatan.96

Abduh lebih cenderung kepada pandangan para filosof. Karena dapat

disimpulkan dari kritik yang diberikan terhadap definisi al-’alim adalah sebagai

orang yang mempunyai sifat mengetahui, yang disebut pengetahuan, dan sifat

pengetahuan itu melekat pada esensinya. Dalam pendapatnya al-’alim adalah

orang yang bagi hakekatnya sesuatu telah menjadi nyata. Definisi ini sudah jelas

menolak adanya sifat yang disebut pengetahuan.

Abduh juga mengkritik pendapat yang menyebutkan bahwa sifat Tuhan

adalah lain atau berbeda dari Tuhan. Dengan argumennya, mereka menjelaskan

bahwa Tuhan untuk menjadi sempurna, berhajat pada sesuatu di luar esensi-Nya,

yaitu sifat-Nya. Itu berarti bahwa ada yang membuat Tuhan untuk menjadi

sempurna, dengan begitu terdapat hal-hal yang lebih tinggi dari Tuhan, dan hal

tersebut tidak dapat diterima oleh akal. Bahwa sifat adalah satu dan sama dengan

esensi, untuk menjadi sempurna, Tuhan tidak perlu berhajat kepada sesuatu di

luar-Nya. Dengan demikian, Muhammad Abduh di sini jelas memihak pada

golongan yang meniadakan sifat, karena itu merupakan sesuatu yang lebih masuk

akal. 97

96 Ibid., h. 72. Lihat Muhammad Abduh, Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid

al-Adûdiah, ed. Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsafi wa Al-Kalamiyin (Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958), h. 280-282.

97 Ibid., h. 72.

Page 62: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Di sini dapat dijumpai lagi paham peniadaan sifat. Abduh berpendapat

bahwa pengikut-pengikut Asy’ari salah tangkap apa yang dimaksud imam

mereka. Dengan argumen Asy’ari yang menyatakan bahwa tidak dapat dikatakan

sifat yang disifati adalah lain dari pasangan maing-masing. Dengan perumpamaan

bahwa “tidak ada di rumah selain Zaid”, maka sifat dan bagian dari Zaid adalah

bukan dari Zaid, dengan begitu sifat dan bagian dari Zaid tidak ada di rumah,

tetapi sifat dan bagian dari Zaid itu ada di sana, karena Zaid tidak dapat berwujud

tanpa adanya sifat dan bagiannya itu. Menurut pendapat Abduh perumpamaan

“tidak ada di rumah selain Zaid”, menurutnya adalah lemah karena setiap orang

kecuali Zaid dengan sifat dan bagiannya itu tetap ada di rumah. Oleh kerena itu,

Abduh tidak setuju dengan pendapat Asy’ari bahwa sifat adalah bukan Tuhan

tetapi bukan pula lain dari Tuhan. Dan Abduh mempertanyakan pendapat Asy’ari

dan pengikutnya apabila seseorang menyembah sifat-sifat di luar Tuhan?

Bukankah itu menjadi syirik (politheisme)? 98

Dalam tulisannya, Abduh tidak pernah memberikan definisi tentang “lain”,

dan ia meragukan bahwa konsep tersebut di atas datangnya dari Asy’ari sendiri,

karena menurut al-Syahratani yang merupakan salah satu pendiri aliran Asy’ari

berpendapat sebaliknya. Dalam bukunya al-Milal wa al-Nihal. Menurutnya “…

Tidak dapat disebut sifat adalah Tuhan (hiya huwa), pula bukan lain dari Tuhan

(hiya ghairuhu), pula bukan Tuhan (la huwa) dan pula bukan lain dari Tuhan (la

ghairuhu). Jelas kata Muhammad Abduh, bahwa kata yang dari padanya

dikeluarkan pengertian “lain” (ghairuhu), adalah bukan “lain” (la ghairuhu), itu

sendiri dan kata yang dari padanya dikeluarkan pengertian “Ia adalah Tuhan”

98 Ibid., h. 73.

Page 63: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

(hiya huwa), adalah “bukan Tuhan” (la huwa) sendiri. Ungkapan itu membawa

kepada peniadaan yang bersifat majemuk. Jelasnya sifat-sifat itu tidak bisa

dikatakan Tuhan, tidak pula “bukan Tuhan”, tidak pula “lain dari Tuhan”, dan

bukan pula “lain dari Tuhan”. Ungkapan demikian, katanya lebih lanjut, tidak ada

artinya kecuali diberi interpretasi bahwa yang dimaksud dengan sifat hanyalah

keadaan mental, dan pada hakikatnya tidak mempunyai wujud…”99 Menurut

Abduh, Asy’ari dalam menerima konsep peniadaan Tuhan berbeda dengan

pengikut-pengikutnya karena para pengikut-pengikutnya tidak menerima konsep

tersebut, sedangkan bagi Mu’tazilah, hanya sebagai keadaan mental dalam hal

memandang sifat.

Dari pemaparan di atas, sudah jelas terlihat bahwa Abduh lebih cenderung

kepada pendapat konsep peniadaan sifat Tuhan, meskipun dalam Risalah ia

berbicara mengenai sifat-sifat Tuhan namun tidak membahas pakah sifat itu esensi

atu lain dari esensi. Dan tidak ada pertentangan antara tulisannya tentang sifat

dalam Risalah dengan tulisannya yang lain dalam hasyiyah. Dengan begitu,

karena Abduh tidak berpegang kepada paham mutlaknya kehendak dan kekuasaan

Tuhan, maka bisa saja Abduh memasukan teori peniadaan sifat Tuhan dalam

teologinya. 100

Dalam pandangan Muhammad Abduh, berfikir tentang zat Tuhan sama

artinya dengan mencari hakikat zat yang menjadikan dari satu sudut pandang. Hal

ini terlarang bagi manusia sebab terjadi sebuah ketidak-seimbangan dua wujud

yang berbeda antara wujud khalik dan wujud akal manusia. Sedang dari sudut

pandang lain hal ini merupakan sebuah kesia-siaan sebab manusia akan gagal

99 Ibid., h. 74. 100 Ibid., h. 74.

Page 64: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

mengenali zat Tuhan sekalipun dengan mengerahkan kemampuan akalnya.

Dengan demikian, pandangan Muhammad Abduh tentang penggunaan hukum

akal wajib dalam pengenalan terhadap Tuhan bukan merupakan upaya untuk

menelusuri hakikat zat Tuhan namun terbatas dengan mengamati ciptaan dan

melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan di dalam ciptaan tersebut. Dalam hal ini ia

juga menolak penggunaan akal secara berlebihan sehingga keluar dari kaidah

berfikir yang benar.101

Menurut Abduh, Yang wajib “ada” itu hanyalah Tuhan, yang menjadi

sumber bagi segala yang mungkin ada, seperti yang telah diterangkan dengan jelas

beserta bukti yang meyakinkan. Dengan demikian, Dia merupakan wujud yang

paling kuat dan yang paling tinggi. Dia diiringi dengan sifat-sifat (atribut-atribut)

wujudiah yang sesuai dengan kedudukan dan martabat-Nya yang tinggi itu.

Segala apa yang dapat dibayangkan oleh akal tentang wujud yang sempurna yang

dapat dicakup oleh makna tetap, kekal dan nyata, serta sifat yang mungkin dapat

dilekatkan kepada wujud yang sempurna itu wajiblah hal itu disifatkan kepada

diri-Nya. Dan karena Dia merupakan sumber dari kesempurnaan wujud-Nya

seperti yang telah disebutkan, maka wijiblah sifat-sifat wujudiah yang diperlukan

oleh martabat yang mulia ini, sifat-sifat yang melekat pada zat-Nya.102

Para ahli kalam membagi yang Maklum (yang dapat dicapai oleh akal)

kepada tiga bagian yaitu mustahil, mungkin dan wajib bagi zat-Nya. Adapun yang

“mustahil” bagi zat-Nya ialah sesuatu zat yang tidak mungkin ada. Apabila

sekiranya berwujud, maka tentulah menjadi tidak lazim bentuk mahiyahnya

101 Susiyanto, Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran Muhammad Abduh,

artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/

102 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid (Cairo: Dar al-Manar, 1366 H). h. 40.

Page 65: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

(kenyataan sesuatu benda). Oleh karena itu, sesuatu yang mustahil memang tidak

bisa diwujudkan dan memang tidak akan ada dengan pasti.103

Yang “mungkin” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang tidak ada wujudnya

kecuali dengan suatu sebab, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada zatnya,

karena ia juga bisa terwujud karena adanya sebab. Dengan demikian tidak ada

satu pun di antara kedua perkara tersebut (ada dan tiada) yang dimiliki oleh

sesuatu itu sekaligus. Sedangkan yang “wajib” bagi zat-Nya adalah sesuatu yang

zatnya memang sudah semestinya ada.104

F. Sifat-sifat Tuhan Yang Wajib Ada

Sifat-sifat Tuhan yang wajib ada adalah sifat yang memang sudah

semestinya ada. Sebagaimana sifat atau zat Tuhan yang wajib ada itu tidak

tersusun (tarkib) dari beberapa bagian, dan juga tidak bisa dibagi-bagi, karena

apabila dapat dibagi-bagi, maka tentulah Dia berbeda dari wujudNya semula dan

akan menjadi berbagai macam wujud atau wujud-Nya menjadi banyak. Maka

apabila demikian halnya , tentulah Dia bisa menerima tiada dan bisa dibagi-bagi,

karena keduanya adalah mustahil bagi-Nya.105

Adapun sifat-sifat Tuhan yang wajib ada menurut Muhammad Abduh,

sebagian di antaranya adalah:

1. Hayah

Di antara sifat-sifat yang wajib ada pada diri-Nya ialah, sifat hidup (al-

Hayah). Sifat itu diiringi oleh sifat-sifat lain seperti sifat ‘Ilm (Maha Mengetahui)

dan Iradah (Maha Berkehendak). Demikian itu, disebabkan karena hayat adalah

103 Ibid., h. 33. 104 Ibid., h. 34. 105 Ibid., h. 39.

Page 66: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

jelas sifat kesempurnaan bagi wujud-Nya. Oleh karena itu, sifat hidup dan sifat

yang mengiringinya adalah menjadi sumber segala peraturan dan menjadi

kebijaksanaan. Al-Hayat dalam segala martabatnya, menjadi pangkal bagi segala

macam kenyataan yang lahir dan yang kekal. Nyatalah, bahwa Dia mempunyai

wujud yang sempurna dan bersifat dengan Dia zat yang wajib ada. Begitu juga

segala yang mempunyai wujud yang sempurna yang mungkin menjadi sifat-Nya,

wajiblah sifat itu tetap bagi-Nya.106

Untuk itu yang wajib ada itu pastilah Dia hidup, sekalipun hidupnya

berlainan dengan segala sesuatu yang mungkin hidup. Maka sesungguhnya

sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia merupakan

sumber dari ‘ilm dan iradat. Maksudnya adalah apabila Tuhan tidak hidup, maka

tidak ada ‘ilm dan iradat, untuk itu hayah merupakan sumber dari ‘ilm dan iradat

dan juga merupakan wujud kesempurnaan-Nya. Zat yang wajib ada itulah yang

memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu

dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki hidup yang akan diberikan-Nya.

Oleh karena itu Ia wajib hidup sebagaimana Dia adalah sumber dari yang hidup.

2. ‘Ilm

Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib ada, adalah sifat ‘Ilm (Maha

Mengetahui). Bahwa sifat ‘ilm menjadi kesempurnaan bagi segala yang wajib

wujud itu ialah zat yang mempunyai ilmu. Oleh karena itu sifat mengetahui wajib

ada, karena dengan adanya sifat ‘ilm, Ia menjadi sempurna dengan mengetahui

segala hal pengetahun yang diketahui maupun yang belum diketahui oleh

106 Ibid., h. 41.

Page 67: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

makhluk ciptaan-Nya. Dan segala kenyataan bahwa hanya Dia yang paling

mengetahui segala apa yang ada maupun yang tidak ada sekalipun.107

Dengan begitu yang wajib ada pastilah Dia mengetahui, sekalipun

pengetahuan-Nya berlainan dengan segala yang mungkin mengetahui. Maka

sesungguhnya sesuatu yang merupakan kesempurnaan bagi wujud, tentulah Dia

merupakan sumber dari sifat-sifat yang lain. Zat yang wajib ada itulah yang

memberi wujud, begitu pula sifat-sifat yang mengiringinya. Sebagaimana hal itu

dapat terjadi kalau Dia sendiri tidak memiliki pengetahuan yang akan diberikan-

Nya. Oleh karena itu Ia wajib mengetahui sebagaimana Dia adalah sumber dari

pengetahuan.

3. Iradah

Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib wujud, adalah Iradah. Dia

adalah sifat yang dapat menentukan untuk penciptaan alam ini dengan salah satu

jalan-Nya yang mungkin. Setelah tetap bahwa zat yang memberikan wujud

kepada segala yang mungkin ada, wajib adanya, dan bahwa Dia adalah

mengetahui, dan bahwa segala yang mungkin tidak dapat tidak mesti sesuai

dengan ilmu-Nya, tetap pulalah dengan pasti, bahwa Tuhan mempunyai kehendak

untuk melakukan sesuatu, sebab Dia membuat segala sesuatu keinginan-Nya

sesuai dengan ilmu-Nya..108

Kemudian perlu dijelaskan, bahwa segala yang maujud harus menurut

ketentuan yang khusus dan sifat tertentu, menurut waktu, tempat dan ruang yang

tertentu pula, jalan ini sudah ditentukan bagi yang maujud itu dan bukanlah jalan-

107 Ibid., h. 42. 108 Ibid., h. 45.

Page 68: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

jalan yang lain. Ketentuaan yang demikian itu harus sesuai dengan ilmu, dan tidak

ada makna lain bagi Iradah kecuali ini.

Apa yang dikenal orang selama ini tentang arti iradah ialah bahwa orang

yang berkemauan leluasa melaksanakan kehendaknya atau mengurungkannya

dengan semaunya. Pengertian seperti itu adalah mustahil bagi zat yang wajib

wujud. Karena makna seperti itu merupakan keinginan-keinginan manusia biasa,

dan merupakan pencapaian yang dapat merusak, karena makna yang demikian

adalah kelanjutan dari kelemahan ilmu pengetahuan. Dalam arti, keinginan-

keinginan manusia terbatas pada kemampuannya, dengan demikian setiap

keinginannya tidak selalu tercapai. Dan juga kehendak manusia itu akan berubah-

ubah menurut perubahan hukum, dan meragukan manusia yang mempunyai

keinginan itu sendiri, untuk membuat keputusan dalam situasi, melakukan atau

tidak

4. Qudrah

Di antara sifat yang wajib bagi zat yang wajib itu adalah qudrah. Dia

merupakan suatu sifat yang dengannya zat yang wajib itu mengadakan dan

meniadakan apa yang dikehendaki-Nya. Bahwa telah jelas, zat yang wajib ada

itulah yang menciptakan alam semesta menurut iradah dan ‘ilm-Nya, maka tidak

dapat diragukan lagi, bahwa Dia berkuasa dengan pasti. Karena perbuatan zat

yang mengetahui lagi mempunyai kehendak dalam apa-apa yang diketahui dan

dikehendaki-Nya.tentu hanya bisa terjadi dengan adanya kekuasaan bagi-Nya

untuk berbuat. Dan tidak lain makna qudrah kecuali kekuasaan yang penuh dan

mutlak itu.109

109 Ibid., h. 45.

Page 69: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Dengan demikian yang wajib bagi-Nya harus mempunyai kekuasan

mutlak atas segala sesuatu yaitu qudrah. Dengan qudrah itu, maka Tuhan berhak

berkuasa di atas ciptaan-Nya yakni alam ini. Namun, Dia berkuasa bukan seperti

orang yang berkuasa atas apa yang dikuasainya, melainkan Dia berkuasa atas

ciptaan-Nya dengan iradah dan ‘ilm-Nya. Dan meskipun Tuhan mampu berkuasa

sekehendak diri-Nya terhadap makhluk-Nya, namun Dia akan melakukan-Nya

dengan adil dan bijaksana. Karena itu, Tuhan menginginkan makhluk-Nya agar

berjalan di muka bumi ini dengan baik dan tidak melanggar aturan-aturan yang

sudah ditetapkan-Nya.

Meskipun Tuhan sudah menetapkan aturan-aturan-Nya dalam al-Qur’an

bagi manusia untuk berbuat baik, namun masih banyak manusia yang melanggar

aturan tersebut, dikarenakan manusia diberikan akal dan nafsu untuk berpikir dan

dapat memilih mana yang baik dan tidak baik baginya.

5. Ikhtiar

Tetapnya sifat-sifat yang tiga ini (‘Ilm, Iradah, dan Qudrah) bagi zat yang

wajib wujud, melazimkan pula tetapnya sifat ikhtiar bagi-Nya dengan pasti.

Karena tidak ada arti bagi ikhtiar itu kecuali mengakibatkan perbuatan dengan

kekuasaan-Nya menurut ketentuan ilmu dan hukum kehendak-Nya. Adapun yang

dimaksud dengan ilmu Tuhan adalah contohnya bahwa Dia mengetahui segala

sesuatu yang diketahui dan bahkan tidak diketahui siapapun, sedangkan contoh

hukum Tuhan yaitu akibat yang akan timbul apabila sesuatu ketentuannya

dilanggar, seperti manusia akan dimasukan ke dalam neraka apabila bersalah.

Dengan demikian, maka Tuhan berbuat dengan kemauan yang bebas, dan tidak

satu pun di antara perbuatan-Nya dengan segala aktifitas-Nya menciptakan

Page 70: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

makhluk-makhluk-Nya, yang ada karena sesuatu sebab yang datang. Atau karena

adanya sesuatu tekanan, tanpa kehendak-Nya sendiri. Tidak satu pun di antara

kepentingan-kepentingan alam yang dapat memaksa-Nya untuk mengawasi

semuanya. Hingga sekiranya Tuhan tidak berbuat demikian.110 Apabila Dia dapat

dipaksa untuk mengawasi, maka Dia akan menjadi sasaran kritik karena cacat dan

cela, padahal Dia bersih dari hal itu. Maha suci Allah dari keadaan yang demikian

itu.

Dengan kebebasan menentukan, Tuhan pun tidak semena-mena

menentukan sesuatu dengan tidak adil, karena janji Tuhan terhadap makhluk-Nya

yang berbuat baik akan dimasukkan ke dalam surga, sebaliknya makhluk-Nya

yang berbuat jahat akan dimasukkan ke dalam neraka. Meskipun Tuhan mampu

melakukan sebaliknya dengan kekuasaan-Nya yaitu memasukan orang yang

berbuat baik ke dalam neraka dan memasukan orang jahat ke dalam surga. Namun

sekiranya Dia tidak berbuat demikian.

6. Wahdah

Di antara sifat yang wajib juga bagi-Nya yaitu sifat Esa. Esa dalam zat,

dalam sifat, dalam wujud dan dalam perbuatan. Adapun Esa dalam zat, maka telah

diterangkan dalam keterangan yang tedahulu, bahwa zat itu tidak menerima tarkib

(tidak tersusun dari berbagai unsur), baik dari luar maupun dari dalam akal.

Tentang wahdah dalam sifat-Nya ialah bahwa tidak ada yang menyamai-Nya

dalam sifat-sifat yang tetap bagi-Nya di antara yang maujud ini. Sebagaimana

telah dikemukakan sebelumnya, bahwa sifat itu harus mengikuti bagi martabat

sesuatu yang maujud, tetapi tidak ada sesuatu pun di antara yang maujud ini yang

110 Ibid., h. 46.

Page 71: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

dapat menyamai yang wajib wujud dalam martabat wujudnya. Maka karena itu

juga, hal itu berlaku pada sifat-sifat yang menyertai-Nya.111 Dengan kata lain,

tidak ada yang menyamai sifat-sifat Tuhan yakni esensi Tuhan itu sendiri.

Adapun mengenai Esa dalam wujud dan perbuatan, maksudnya ialah zat-

Nya sendiri yang wajib wujud, dan Tuhan sendirilah yang mengadakan segala apa

yang mungkin ada. Memang benar demikian, karena sekiranya zat yang wajib

wujud itu terdiri dari beberapa wujud (zat) yang banyak, maka pastilah masing-

masing mempunyai wujud (substansi) yang berbeda dengan substansi yang lain.

Ketika Muhammad Abduh menafsirkan ayat pertama dari surat al-Ikhlâs

yaitu, qulhuwallâhu ahad, ia menjelaskan bahwa dengan kata ahad dimaksud

bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak banyak dalam zat-Nya. Dia tidak tersusun

(composite) dari jauhar 112(subtansi) yang beraneka ragam. Dengan demikian

menurut Abduh, Tuhan bukanlah materi dan juga bukan semacam asal yang

berbilang yang immateri, sebagaimana hal itu disangkakan oleh sebagian pemuka

agama Kristen, bahwa Tuhan merupakan tiga unsur asal yang menjadi satu, baik

hal itu masuk akal maupun tidak. Yang benar, menurut Abduh, Tuhan benar-benar

bebas dari hal yang serupa itu, dengan alasan para filosof sendiri telah sepakat

bahwa “yang mengadakan alam” (mujîd al-‘âlam), yakni Allah, adalah wajib al-

wujûd (yang mesti ada). Sesuatu yang mesti ada menurut akal sehat, haruslah Esa

dalam Esensi (wahdat al-dzât), karena setiap yang terbilang dalam esensinya

111 Ibid., h. 47. 112 Dalam pengertian umum, term jauhar berarti segala sesuatu yang mewujud (exsist)

dalam realitas. Lihat Muhammad Saeed Sheikh, a Dictionary of Muslim Philosophy (Lahore, Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976), h. 40.

Page 72: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

mesti membutuhkan pada bagian-bagian. Dengan demikian, menurut Abduh,

setiap yang membutuhkan pada bagian-bagian bukanlah wajîb al-wujûd.113

Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan

mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Definisi mereka tentang Tuhan,

sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif, seperti Tuhan tidak

hidup, tidak mempunyai pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan

sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak hidup, tidak

memiliki pengetahuan, tidak berkehendak, tidak berkuasa, dan sebagainya. Tuhan

bagi mereka tetap hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan

sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, Tuhan

mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan. Dengan

demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu al-Huzail (salah

seorang tokoh Mu’tazilah), bahwa sifat Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, yaitu zat

atau esensi Tuhan. 114

Untuk mengetahui lebih jelas pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat

Tuhan dalam pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah, di antaranya an-Nazhzham dan

Abu Hudzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran,

penglihatan, dan sifat-sifat lainnya. Tuhan dalam pandangannya senantiasa tahu,

hidup, kuasa, mendengar, melihat, dan qadîm dengan diri-Nya sendiri, bukan

dengan pengetahuan, kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan

keqadîm-an.115 Menurut Abu Hudzail bahwa esensi pengetahuan Tuhan adalah

Tuhan itu sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan,

113 Muhammad Abduh, Al-Quran al-Karim Tafsir Juz’ ‘Ammâ (Al-Azhar: Muhammad

Subaih, 1986), h. 174. 114 Al-Asy’ari, al-Ibanah an-Ushul ad-Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi

Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 200. 115 Ibid., h. 200-201.

Page 73: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

kebijaksanaan dan sifat-sifat Tuhan yang lainnya. Ia berkata, “Kalau aku nyatakan

Tuhan bersifat tahu, artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat

pengetahuan, dan pengetahun itu adalah zat-Nya itu sendiri.” Dengan begitu, aku

tegas-tegas menolak bahwa Tuhan itu bodoh terhadap sesuatu yang sudah atau

akan terjadi.116

Sedangkan menurut aliran Asy’ari yang pendapatnya belawanan dengan

Mu’tazilah, mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.

Menurut Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena

perbuatan-perbuatan-Nya. Asy’ari juga mengatakan bahwa Tuhan itu hidup,

mengetahui, berhendak, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai

pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Tuhan

memang memiliki sifat dan bahwa sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki,

tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya

Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Tuhan itu unik, karenanya tidak dapat

dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Tuhan berbeda dengan Tuhan

sendiri, tetapi sejauh menyangkut hakikatnya tidak terpisah dari esensi-Nya,

dalam arti sifat adalah esensi.117

Sementara itu, al-Baghdadi melihat adanya konsensus dikalangan kaum

Asy’ariyah bahwa Tuhan itu hidup, memiliki pengetahuan, berkehendak,

berkuasa, dan sebagainya, maka semua itu adalah kekal. Sifat-sifat tersebut

menurut al-Ghazâlî tidaklah sama dengan esensi Tuhan, melainkan lain dari

esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uraian ini juga

membawa kepada faham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum

116 Ibid., h. 198-199. 117 C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor,

1991), h. 67.

Page 74: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak

pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat Tuhan itu tidak lain dari Tuhan, maka

adanya sifat-sifat Tuhan itu tidak membawa kepada faham banyak kekal.118

Kaum al-Maturidiyah berpendapat tentang masalah sifat-sifat Tuhan,

namun dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Maturidi dan Asy’ari, seperti

dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti hidup, memiliki

pengetahuan, berkehendak, berkuasa, dan sebagainya. Walaupun begitu,

pengertian Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari

mengartikan bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan

pula lain dari esensi-Nya, sedangkan menurut Maturidi, sifat Tuhan sebagai

sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sifat-sifat Tuhan

itu mulzamah (ada bersama) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Tuhan tidak

harus membawa kepada penggertian anthropomorphisme, karena sifat tidak

berwujud dan tersendiri dari zat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa

pada berbilangnya yang kekal.119

Dan tampaknya faham Maturidi tentang sifat Tuhan cenderung mendekati

faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan,

sedangkan Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.

Sementara itu, Maturidi Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan

mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan

banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat

Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan

118 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:

UI Prees, 2002), cet. I, h. 136. 119 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 135.

Page 75: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga mengatakan bahwa Tuhan bersama-

sama sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.120

G. Perbutan-perbuatan Tuhan

Muhammad Abduh dalam berbicara tentang perbuatan Tuhan, bahwa

perbuatan Tuhan adalah apakah perbuatan Tuhan mengandung arah dan tujuan?

Ataukah perbuatan Tuhan itu sama sekali tidak mempunyai arah dan tujuan

khusus? Permasalahan ini berhubungan langsung dengan persoalan hikmah

Tuhan, karena salah satu definisi dan pengertian hikmah adalah pelaku tertentu

mustahil melakukan suatu perbuatan sia-sia dan tidak bermanfaat serta segala

perbuatannya mengandung tujuan-tujuan rasional dan masuk akal. Dengan begitu,

menolak keberadaan suatu arah dan tujuan dalam perbuatan-perbuatan Tuhan

adalah sama dengan menolak hikmah Tuhan. Namun menurut Abduh bahwa

setiap perbuatan-perbuatan Tuhan tidak terlepas dari hikmah-Nya.121

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Abduh berkeyakinan

bahwa segala perbuatan Tuhan memiliki dan mengandung tujuan khusus.

Dengan memperhatikan dan mencermati perbuatan-perbuatan kita yang

bersifat ikhtiari dan mengandung tujuan, maka dapat kita memahami bahwa

sebelum kita melakukan perbuatan-perbuatan itu pertama-tama kita menentukan

suatu tujuan di mana dengan mencapai dan meraih tujuan tersebut kita dapat

memenuhi segala kebutuhan kita. Jadi, keberadaan penggambaran dan penetapan

120 Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.

177.

121Isyraq, Perspektif Umum Perbuatan Tuhan, artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://isyraq.wordpress.com/2008/01/27/ada-tujuan-di-balik-perbuatan-tuhan-11/, dan lihat juga Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 56.

Page 76: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

suatu tujuan perbuatan tersebut dalam pikiran kita niscaya sebelum melakukan

perbuatan itu, tujuan perbuatan inilah yang kemudian mendorong dan memotivasi

kita untuk segera mengimplementasikan perbuatan tersebut, dengan suatu harapan

bahwa apabila kita melaksanakan perbuatan yang demikian itu kita akan

mendapatkan suatu manfaat dan faedah. Oleh karena itu, minimal dalam

perbuatan-perbuatan kita terdapat dua sifat dan karakteristik: pertama, tujuan

perbuatan di mana bermaksud untuk memenuhi segala kebutuhan pelaku dan

untuk mendapatkan segala kesempurnaan atau kemashlahatan tertentu; Dan

kedua, penggambaran dan penetapan tujuan perbuatan mestilah sebelum

melakukan perbuatan di mana nantinya akan berpengaruh pada seorang pelaku

dan menggerakkannya untuk segera melaksanakan perbuatan itu demi mencapai

tujuan yang dikandungnya.122 Para filosof menamakan penjelasan di atas dengan

“penggambaran tujuan perbuatan sebelum pelaksanaannya” itu sebagai “sebab

tujuan”.

Perbuatan-perbuatan Tuhan terhadap Manusia

Segala perbuatan Tuhan berawal dari ‘Ilm dan Iradah-Nya. Setiap sesuatu

yang berawal dari ‘Ilm dan Iradah berpangkal pula kepada Ikhtiar, tidak satu pun

yang wajib dilakukan oleh yang mempunyai ikhtiar. Oleh karena itu, tidak ada

satu pun di antara perbuatan-perbuatan-Nya yang wajib dilakukan oleh zat-Nya.

Maka segala perbuatan Tuhan seperti mencipta, memberi rizki, menyuruh dan

mencegah, mengazab dan memberi nikmat, itu semua merupakan suatu yang tetap

bagi Tuhan dengan kemungkinan yang khusus. Tidak dapat dipikirkan oleh akal,

apabila dengan ilmu dan kehendak-Nya, Tuhan berbuat dengan perbuatan-

122 Ibid.,

Page 77: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

perbuatan-Nya wajib dilakukan oleh zat-Nya, seperti halnya susuatu barang yang

terpaksa karena keperluannya. Atau menggambarkan bahwa Tuhan itu wajib

bersifat dengan sifat sesuatu yang menyerupai-Nya. Demikian itu jelas suatu hal

yang paradox, yang mustahil terjadi seperti diisyaratkan di atas.123

Semua telah sepakat atas keterangan yang mengatakan bahwa perbuatan-

perbuatan Tuhan tidak lepas dari hikmah-Nya. Baik pihak yang bersalah (orang

yang berlebihan menganggap bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kepada

manusia) maupun pihak yang benar, yang terang-terangan mengatakan bahwa

Tuhan bersih dari kesia-siaan dalam segala perbuatan-Nya, dan bersih dari dusta

dalam perkataan-perkataan-Nya.

Hikmah tiap-tiap perbuatan itu terletak dalam apa yang ditimbulkannya,

yang dapat menjaga ketertiban ataupun menolak kerusakan baik khusus maupun

umum, yang andai kata dibukakan kepada akal dari segi apa saja Dia berpikir dan

memberikan hokum karena Dia mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak

sia-sia dan tidak main-main. Hikmah inilah yang dikenal sekarang dengan sebutan

meletakan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing yang memberikan

kepada tiap-tiap yang berkehendak terhadap yang dikehendaki-Nya. Adakala

ilmu-Nya itu disertai dengan kemauan berbuat atau tidak. Dan tidak akan terjadi

karena tidak ada artinya ilmu itu tanpa kemauan, atau bisa dikatakan Tuhan itu

lalai sekiranya perbuatan-perbuatan-Nya itu dilakukan tanpa kemauan. Padahal

sudah jelas bahwa ilmu Tuhan meliputi segala sesuatu, dan mustahil akibat

perbuatan-Nya itu lepas dari kemauan-Nya. Untuk itu Tuhanlah yang

menghendaki hikmah yang lahir dari perbuatan-Nya.124

123 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, h. 55. 124 Ibid., h. 57.

Page 78: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Maka ketentuan wajibnya hikmah dalam segala perbuatan Tuhan,

mengikuti pula akan wajib sempurnanya ‘ilm dan iradah-Nya. Begitu juga Tuhan

wajib membuktikan bahwa pahala dan ancaman yang telah dijanjikan akan

terlaksana nantinya, dan itu merupakan kesempurnaan ‘ilm dan iradah-Nya dan

Tuhan adalah Yang Maha Benar.

Kewajiban Tuhan Terhadap Manusia

Uraian mengenai keadilan Tuhan secara implisit menggambarkan

keyakinan Muhammad Abduh akan adanya perbuatan-perbuatan wajib bagi

Tuhan. Faham adanya kewajiban bagi Tuhan adalah sejalan dengan pendapatnya

Mu’tazilah yang mengatakan bahwa kehendak Tuhan tidak bersifat absolut.

Teorinya tentang sunnah Allah, mengandung arti bahwa Tuhan tidak bertindak

sebagai raja yang zalim, yang tidak tunduk kepada hukum, tetapi Tuhan mengatur

segalanya sesuai dengan hukum-Nya yang tidak berubah-ubah.125

Karena hukum itu dibuat Tuhan tidak berubah-ubah, Tuhan menjadi

terikat pada-Nya. Perlu ditegaskan bahwa Tuhanlah, dan bukan manusia, yang

membuat diri-Nya untuk mengatur hukum itu. Dengan kata lain Tuhan

mewajibkan diri-Nya untuk mengatur alam ini sesuai dengan sunnah-Nya,

sebagaimana seorang raja kostitusional berkewajiban mengatur segalanya sesuai

dengan undang-undang negaranya.

Di dalam pembicaraan mengenai keadilan Tuhan juga sudah disebut

pendapat Abduh bahwa alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia,

dan bahwa tidak satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat

bagi manusia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan

125 Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV (Cairo: Dar al-Manar, 1365 H), h. 141.

Page 79: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

manusia. Jika pendapatnya yang terakhir ini dikaitkan dengan pendapatnya

tentang adanya perbuatan Tuhan yang bersifat wajib sebagai terkandung dalam

teorinya tentang hukum alam, dapat diambil kesimpulan bahwa Abduh juga

berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kedua

pendapat tersebut di atas memang berarti bahwa semua perbuatan Tuhan mestinya

sesuai dengan sunnah-Nya yang tidak beubah-ubah dan bahwa semua perbuatan-

Nya adalah untuk kepentingan manusia.

Kewajiban Berbuat Baik

Karena Abduh berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang bersifat

wajib, ia sepaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan

untuk berbuat apa yang baik dan terbaik bagi manusia, seperti kewajiban tidak

memberikan beban di luar kemampuan manusia, karena bertentangan dengan

faham keadilan Tuhan. Tuhan akan bersikap tidak adil apabila Dia memberikan

beban yang tidak sanggup manusia jalani. Kewajiban mengirim rasul, karena

tanpa rasul manusia tidak akan memperoleh hidup yang baik dan terbaik di dunia

dan di akhirat kelak, karena dengan mengirim rasul yang akan menjadi teladan

bagi manusia, maka manusia akan menjadi lebih baik. Kewajiban menepati janji

dan ancaman, hal ini erat hubungannya dengan dasar keadilan Tuhan. Tuhan akan

bersikap tidak adil apabila tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada

orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat

jahat.126

126 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Page 80: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Pendapatnya ini dapat dibaca dalam bukunya Hasyiah ’ala Syarh Al-

Dawwani li Al-’Aqaid’id Al-’Adudiah.127. Lebih lanjut ia tegaskan bahwa jika

kaum Mu’tazilah mengartikan wajib di sini sebagai yang terdapat dalam kalangan

manusia yaitu yang ada kaitannya dengan upah dan hukuman, maka pendapat

Mu’tazilah itu adalah salah. Karena dengan demikian, mereka meletakan Tuhan di

bawah hukum yang tak boleh Ia langgar.128

Dalam pendapat Abduh, kewajiban Tuhan bersumber pada sifat

kesempurnaan-Nya, kewajiban ini Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan

kemauan dan pilihan-Nya sendiri.129 Kewajiban itu konsekuensi logis dari

sunnah-Nya.

Berlainan dengan apa yang terdapat di atas, pengarang-pengarang menulis

bahwa Abduh tidak berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban.

Adam mengutip tulisan Abduh dalam Risalah yang secara implisit menyebut

Tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban. Honten menulis bahwa dengan

meniadakan kewajiban bagi Tuhan, Abduh menolak pendapat para teolog liberal

mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi

manusia. Demikian pula pendapat Casper dan Cragg. 130

Memang dalam Risalah, Abduh menulis: “Tidak satu pun dari perbuatan-

perbuatan Tuhan Wajib muncul dari diri-Nya”. Tetapi perlu diperhatikan bahwa

yang ditolak Abduh dalam ungkapan ini ialah wajib atau mesti munculnya

perbuatan-perbuatan dari diri Tuhan karena esensi-Nya. Dengan kata lain yang ia

127 Rasyid Rida, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Cairo: al-Manar,

1931), h. 442. 128 Ibid., h. 549. 129 Rasyid Rida, al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, jil IV, h. 442. 130 Adam, Charles C. Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Perss,

1933), h. 148.

Page 81: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

tolak ialah bahwa perbuatan-perbuatan-Nya adalah sesuatu kemestian bagi esensi

Tuhan, sebagaimana sifat dasar adalah suatu kemestian bagi esensi sesuatu benda.

Tetapi beberapa halaman sesudahnya, Abduh menyebut adanya kemestian dalam

bentuk lain, yaitu kemestian terjadinya apa yang diketahui dan dikehendaki Tuhan

semenjak azali. Sebagai dijelaskannya, janji dan ancaman Tuhan, sebagai

diketahui dan dikehendaki, mesti terjadi. Jadi, jika di satu pihak ia menolak

adanya kemestian yang timbul dari esensi Tuhan, di lain pihak ia mengaku adanya

kemestian yang timbul dari pengetahuan dan kehendak azali Tuhan. Pendapatnya

yang tercantum dalam Risalah ini dengan demikian tidak bertentangan dengan

pendapatnya tentang kewajiban Tuhan yang ia jelaskan dalam Hasyiyah dan

Tafsir al-Manar.131

Menurut para aliran kalam mengenai perbuatan Tuhan, seperti Mu’tazilah

berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan

baik saja. Tetapi tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu untuk melakukan hal-hal

yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Dia mengetahui

keburukan dari perbuatan tersebut. Karena di dalam al-Qur’an pun sudah jelas

dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berlaku zalim.

Dan mengenai konsep keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham

adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong

kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban

tehadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu hal,

yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik

dan yang terbaik menkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham

131 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 86

Page 82: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

kewajiban Tuhan di antaranya, kewajiban tidak memberikan beban di luar

kemampuan manusia, karena Tuhan akan bersikap tidak adil apabila memberikan

beban kepada manusia yang manusia itu tidak mampu mengatasinya Kewajiban

mengirimkan rasul, karena dengan mengirim rasul sebagai teladan, manusia akan

menjadi baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti. Dan kewajiban menepati

janji dan ancaman, Tuhan akan tidak adil apabila tidak memberikan pahala bagi

orang yang baik dan tidak memberi ancaman bagi orang yang berbuat jahat.

Menurut aliran Asy’ariyah, mengenai perbuatan Tuhan dengan paham

kewajiban Tuhan berbuat baik untuk manusia, sebagaimana dikatakan Mu’tazilah,

tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan. Ditegaskan al-Ghazâlî ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak

berkewajiban berbuat baik bagi manusia. Dengan demikian Asy’ari tidak

menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak

hati-Nya terhadap makhluk-Nya. Aliran Asy’ari tidak menerima faham tidak

memberikan beban di luar kemampuan manusia. Dan dengan tegas mengatakan

dalam bukunya al-Luma’, bahwa Tuhan dapat memberikan beban yang tak dapat

dipikul oleh manusia. Mengenai pengiriman rasul, Asy’ari mengatakan bahwa

Tuhan tidak wajib akan hal itu, karena bertentangan dengan kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan. Tuhan dalam paham Asy’ari tidak berbuat untuk

kepentingan manusia. Dan Tuhan pun tidak mempunyai kewajiban untuk

menepati janji dan memberikan ancaman.

Sedangkan menurut aliran Maturidiyah mengenai perbuatan Tuhan,

terdapat perbedaan antara Maturidi Samarkand dan Maturidi Bukhara. Maturidi

Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,

Page 83: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal yang baik saja.

Dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi

manusia. Demikian pula pengiriman rasul dipandang Maturidi Samarkand sebagai

kewajiban Tuhan. `

Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari

mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana

dijelaskan Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah

kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan

ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara

tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan

kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.132

Maturidi Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban bagi Tuhan,

sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan

pemberian hukuman.

Mengenai pemberian beban kepada manusia di luar batas kemampuannya,

Maturidi Bukhara menerimanya. Tuhan kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil

meletakan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.

Sebaliknya aliran Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah.

Menurut Syarh al-Fiqh al-Akbar, Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran

Asy’ari dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak

membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul.

132 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 128-

133.

Page 84: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Adapun mengenai pengiriman rasul, Maturidi Bukhara, sesuai dengan

faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham

yang sama dengan Asy’ari. Bahwa pengiriman rasul tidak bersifat wajib dan

hanya bersifat mungkin.

C. Analisis ke-Tuhanan dalam Pemikiran Muhammad Abduh

Mengenai sifat dan perbuatan Tuhan yang telah dipaparkan di atas, maka

penulis dapat menganalisis masalah tersebut di antaranya:

- Muhammad Abduh dan aliran-aliran kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah

dan Maturidiyah Samarkand maupun Maturidiyah Bukhara memiliki

persamaan, yaitu sama-sama membahas tentang sifat-sifat dan perbuatan-

perbuatan Tuhan.

- Sifat Tuhan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh, memiliki

persamaan dengan aliran Mu’tazilah dan para filosof, yang menyatakan

bahwa menolak adanya sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa sifat Tuhan

adalah esensi Tuhan atau zat Tuhan. Dan menurut para filosof bahwa

esensi, sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada, merupakan

sumber dari akibat yang timbul dari sifat adalah satu. Dengan demikian,

esensi dan sifat-sifat Tuhan adalah satu. Berbeda dengan Asy’ari dan

Maturidi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat, menurut

Asy’ari bahwa sifat Tuhan adalah bukan Tuhan dan bukan pula lain dari

Tuhan. Meskipun Maturidi menyatakan bahwa sifat Tuhan melekat pada

esensi atau zat-Nya.

- Namun terdapat perbedaan dalam pembahasan sifat Tuhan antara

Muhammad Abduh dan Mu’tazilah, yaitu meskipun Muhammad Abduh

Page 85: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

menolak adanya sifat Tuhan, tetapi Muhammad Abduh tetap menulis dan

menyebutkan sifat-sifat Tuhan dalam karyanya yang berjudul Risâlah at-

Tauhîd.

- Mengenai kekekalan sifat Tuhan, Muhammad Abduh pun berpendapat

sama dengan Mu’tazilah, bahwa sifat Tuhan tidaklah kekal, namun apabila

dikatakan kekal, maka selain Tuhan ada juga yang kekal. Kekalnya sifat-

sifat Tuhan membawa pada faham banyak yang kekal. Ini selanjutnya

membawa pula kepada faham syirik atau politheisme. Suatu hal yang tidak

dapat diterima dalam teologi. Lebih lanjut lagi, Wasil bin Atha

menegaskan bahwa siapa saja yang menetapkan adanya sifat qadîm

(kekal) bagi Tuhan, berarti ia telah menetapkan adanya dua Tuhan atau

lebih. Sedangkan Asy’ari dan Maturidi meskipun sama mengatakan bahwa

sifat Tuhan itu tidak kekal, namun berbeda argumen dalam pendapatnya.

Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukanlah Tuhan dan

bukan pula lain dari Tuhan, karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya

sifat-sifat itu tidak membawa kepada faham banyak Tuhan. Maturidi

berpendapat bahwa bahwa sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang

terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui sifat-sifat-Nya, juga

dengan mengatakan bahwa ketika Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah

kekal, tetapi bila sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.

- Mengenai perbuatan Tuhan menurut Muhammad Abduh pun tidak jauh

berbeda dengan apa yang menjadi faham Mu’tazilah dan Maturidi

Samarkand. Yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai kewajiban untuk

berbuat baik terhadap manusia, seperti tidak memberikan beban di luar

Page 86: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

kemampuan manusia, kewajiban mengirimkan rasul, dan kewajiban

menepati janji dan ancaman. Dalam hal ini, berbeda dengan pendapat

Abduh, bahwa kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaan-Nya,

kewajiban ini Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan kemauan dan

pilihan-Nya sendiri. Kewajiban itu konsekuensi logis dari paham sunnah-

Nya, sedangkan menurut Mu’tazilah yang mengartikan wajib di sini

sebagai yang terdapat dalam kalangan manusia, maka pendapat Mu’tazilah

itu adalah salah. Karena dengan demikian, mereka meletakan Tuhan di

bawah hukum yang tak boleh Ia langgar. Berbeda dengan Asy’ari dan

Maturidi Bukhara, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai

kewajiban berbuat baik kepada manusia Menurut Asy’ari, sebagaimana

dikatakan al-Ghazâlî, bahwa perbuatan Tuhan tidak wajib (ja’iz) dan tidak

satu pun dari-Nya yang mempunyai sifat wajib. Menurut Maturidi

Bukhara bahwa Tuhan memeang tidak mempunyai kewajiban terhadap

manusia, namun hanya berisfat mungkin saja.

- Mengenai perbuatan Tuhan yakni hikmah, Muhammad Abduh,

Mu’tazilah, dan Maturidi Samarkand berpendapat sama, bahwa wajib bagi

Tuhan untuk berbuat apa yang baik dan terbaik bagi manusia. Oleh karena

itu, setiap perbuatan Tuhan terhadap manusia memiliki tujuan untuk

kebaikan manusia dan Tuhan tidak akan sia-sia melakukan sesuatu. Tujuan

dalam setiap perbuatan Tuhan bukan bermakna untuk mencapai

kesempurnaan zat Tuhan, karena zat Tuhan telah memiliki kesempurnaan

mutlak dan bahkan Tuhan merupakan kesempurnaan mutlak itu sendiri

serta sama sekali tidak memiliki kekurangan di mana dengan mencapai

Page 87: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

tujuan perbuatan-Nya itu zat-Nya menjadi sempurna, melainkan tujuan

perbuatan Tuhan berhubungan dengan semua makhluk-Nya dan

bermaksud untuk menyempurnakannya. Dengan demikian, maksud dari

kebertujuan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah bahwa perbuatan-

perbuatan-Nya mengandung manfaat dan mashlahat untuk semua

makhluk-Nya, yakni tujuan setiap perbuatan Tuhan itu niscaya

berhubungan dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri. Oleh karena itu,

tujuan perbuatan-perbuatan Tuhan adalah terkait dengan makhluk-

makhluk-Nya dan bukan berhubungan dengan zat Tuhan, karena Tuhan

memiliki kesempurnaan mutlak. Tidak satu pun tujuan dan arah yang

dapat digambarkan dan dibayangkan bagi kesempurnaan zat-Nya.

Sedangkan Asy’ari dan Maturidi Bukhara yang menolak bahwa Tuhan

tidak wajib untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia, maka dengan

begitu aliran tersebut tidak menolak faham hikmah.

Page 88: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah membahas bagaimana Muhammad Abduh menjelaskan

pendapatnya mengenai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan, dari uraian

tesebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

- Mengenai sifat-sifat Tuhan, Abduh menjelaskan bahwa sifat Tuhan adalah

esensi atau zat Tuhan. Dengan begitu, Abduh menolak adanya sifat-sifat

Tuhan, untuk itu dia meniadakan sifat Tuhan. Karena Tuhan merupakan

satu-satunya sumber dari segala yang ada, yang merupakan sumber yang

timbul akibat dari sifat. Sebagai contoh Akibat dari sifat mengetahui, ialah

“memperoleh pengetahuan” tentang objek pengetahuan, dan “memperoleh

pengetahuan” tersebut timbul karena akibat dari esensi. Dengan kata lain,

bahwa esensi dan sifat mengetahui adalah satu, karena keduanya sama-

sama “memperoleh pengetahuan.”

- Muhammad Abduh juga menyebutkan sifat-sifat yang wajib ada bagi

Tuhan seperti, Hayah, ‘Ilm, Iradah, Qudrah, Ikhtiar, dan wahdah, sifat-

sifat tersebut merupakan contoh bahwa semua sifat-sifat Tuhan adalah zat

atau esensi Tuhan. Bahwa esensi sebagai satu-satunya sumber dari segala

yang ada, merupakan sumber dari akibat yang timbul. Tuhan hidup dengan

sifat Hayah-Nya, maka Tuhan memiliki kehidupan, yang timbul sebagai

akibat yang timbul dari esensi. Dengan demikian, sifat hidup dan esensi

adalah satu, begitu pula dengan sifat-sifat yang lain. Tuhan mengetahui

Page 89: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

dengan sifat ‘Ilm-Nya, maka Tuhan memperoleh pengetahuan yang timbul

sebagai akibat yang timbul dari esensi, yang adalah sumber dari segala

yang ada. Tuhan berkehendak dengan sifat Iradah-Nya, maka Tuhan

memperoleh kehendak/ kemauan yang timbul akibat yang ditimbulkan

esensi, yang merupakan sumber dari sumber yang ada. Tuhan berkuasa

dengan Qudrah-Nya, maka Tuhan memiliki kekuasaan yang timbul akibat

yang ditimbulkan esensi, yang merupakan sumber dari segala yang ada.

Tuhan bebas menentukan dengan Ikhtiar-Nya, maka Tuhan memiliki

kebebasan menentukan untuk melakukan segalanya yang timbul akibat

yang ditimbulkan dari esensi, yang adalah sumber dari segala yang ada.

Tuhan esa dengan sifat Wahdah-Nya, maka Tuhan memperoleh ke-esa-an

yang timbul akibat yang ditimbulkan dari esensi, yang merupakan sumber

dari segala yang ada.

- Pandangan Muhamad Abduh dan Mu’tazilah dalam memandang sifat-sifat

dan perbuatan-perbuatan Tuhan tidak jauh berbeda, atau bisa dikatakan

sepaham atau sejalan. Sedangkan Asy’ari dalam memandang sifat-sifat

dan perbuatan-perbuatan Tuhan berseberangan paham dengan Muhammad

Abduh. Dan Maturidi dalam memandang sifat-sifat dan perbuatan-

perbuatan Tuhan, sebagian bependapat sama dan sebagian berpendapat

berbeda dengan pandangan Muhammad Abduh dalam hal itu. Karena

Maturidi di bagi atas dua bagian yaitu Maturidi Samarkand dan Bukhara.

- Di dalam perbuatan-perbuatan Tuhan, Muhammad Abduh berpendapat

bahwa Tuhan mempunyai kewajiban untuk berbuat baik terhadap manusia,

Page 90: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

yaitu dengan tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia,

mengirimkan rasul dan menepati janji dan ancaman.

- Mengenai hikmah dalam perbuatan Tuhan, Abduh berpendapat bahwa

alam ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bahwa tidak

satu pun yang datang dari Tuhan yang tidak membawa manfaat atau sia-

sia bagi manusia. Ini berarti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah untuk

kepentingan manusia.

- Sifat dan perbuatan Tuhan ternyata sangat berhubungan dengan makhluk-

Nya, khususnya manusia. Karena dengan mengetahui sifat atau zat Tuhan

itu, manusia menjadi tahu lebih jauh tentang Sang Penciptanya, meskipun

sifat pegetahuan manusia tentang Tuhannya terbatas, dengan begitu

manusia dapat lebih mensyukuri atas apa yang telah diberikan-Nya. Dan

dengan perbuatan Tuhan yang syarat akan hikmah, dengan begitu manusia

dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, karena manusia

diciptakan dengan diberi akal dan nafsu untuk memilih, maka manusia

pula yang akan bertanggung-jawab atas perbuatannya.

- Mengenai sifat dan perbuatan Tuhan, Abduh lebih cenderung kepada

pemikiran Mu’tazilah, namun bukan berarti Abduh adalah seorang

Mu’tazilah. Karena Abduh hanya melandaskan pemikirannya berdasarkan

hukum akal sebagaimana yang digunakan dalam paham Asy’ariyah.

- Pada hakikatnya Muhammad Abduh dan semua aliran tersebut tidaklah

keluar atau pun melenceng dari Islam, namun tetap dalam Islam

Walaupun di antaranya berbeda pendapat dalam memberikan pandangan

tentang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan berbeda-beda.

Page 91: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

B. Saran-saran

Penulis mengakui bahwa skripsi ini belumlah sempurna dalam

mengeksplorasi dan memetakan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang yang

sedang dikaji yakni teologi secara komprehensif, mengenai sifat dan perbuatan

Tuhan. Untuk itu, masih perlu membutuhkan beberapa penelitian lagi guna lebih

menyempurnakan dalam memetakan wilayah pemikiran Muhammad Abduh,

dengan melakukan analisa kritis-komparatif.

Dan masih banyak pula persoalan-persoalan teologi dalam pemikiran

Muhammad Abduh yang belum sempat terangkat dan terungkap di dalam tulisan

ini. Misalkan, metode apa yang dipakai oleh Muhammad Abduh dalam

menjelaskan mengenai sifat dan perbuatan Tuhan? Dan apakah pemikiran teologi

Muhammad Abduh mempengaruhi pemikirannya dalam bidang lain yang ia

kuasai, seperti fikh, tasawuf dan tafsir? Serta, mengapa di Indonesia Muhammad

Abduh lebih dikenal sebagai ahli fikh dan mufassir dibanding ahli teologi, padahal

dalam pemikiran teologinya, dia pun telah menulis dan mengkaji lebih mendalam,

dan seorang Harun Nasution pun tertarik pada teologi yang Abduh kaji, dengan

tulisan dalam disertasinya? Yang tidak kalah pentingnya adalah penelitian tentang

pengaruh sifat dan perbuatan Tuhan serta relevansinya terhadap kehidupan masa

sekarang? Dan masih banyak lagi. Semua ini menjadi pekerjaan rumah buat kita,

yang mau tidak mau harus kita pikirkan guna memperluas cakrawala pemikiran

kita dalam bidang ini. Semoga skripsi ini sedikit banyaknya membantu dan

mempermudah kita semua dalam menjawabnya. Âmîn yâ Rabb al-‘âlamîn.

DAFTAR PUTAKA

Page 92: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Abduh, Muhammad. Hasyiyah ‘alâ Syarh al-Dawwânî li al-Aqaid al-Adûdiah, ed.

Dr. Sulaiman Dunia dalam Al-Syaikh Muhammad Abduh bain Al-Falsâfi wa al-Kalâmîyîn. Cairo: Isa Al-Babi Al-Halabi, 1958.

_____. Mutiara Mahjul Balaghâh. Bandung: Mizan, 1995. Cet. IV _____. Risalah al-Tauhid. Cairo: Dar al-Manar, 1366 H.

_____. Risalah Tauhid. Terj. Cet ke-V . Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

_____. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm Juz ’Ammâ. Al-Azhar: Muhammad Subaih, 1986.

Abdullah Kaloti, Sami. The Reformation of Islam and The Impact of Jamaluddin al-Afghani and Muhammad Abduh On Islamic Education. Marquette: University, 1974.

______. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t.

Adams, Charles C. Islam and Modernism in Egypt. London: Oxford University Perss, 1933.

Asy’ari, Abû al-Hasan. al-Ibanah an-Ushul ad- Dîyanâh: Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Amin, Ahmad. Muhammad Abduh. Cairo: Muassasah al-Khanji, 1960. ______. Dzuhr al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1969. Amin, Usman. Muhammad Abduh, Essai sur ses Idees Philosophiques et

Religieuses. Cairo, Imprimerie Misr SAE, 1944. Asmuni, M Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Anwar, Rosihan dan Rozak, Abdul. Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Ciputat: Logos, 1999.

Baehaqi, Imam, ed. Kontrofersi Aswaja; Aula Perdebatan dan Rainterpretasi. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994. Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam Modern. Bandung Mizan, 2001.

Ensiklopedia Bebas. Konsep. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Konsep

Page 93: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Ensiklopedia Bebas. Tuhan. Artikel diakses pada 20 Februari 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan

Hadi W.M, Abdul. Tasawuf yang tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.

Hanafi, A. Teologi Islam. Jakarta: al-Husna Zikra, 1996.

Ilhamuddin. Pemikiran Kalam al-Bâqillânî: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asy’ari. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.

Isyraq. Perspektif Umum Perbuatan Tuhan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://isyraq.wordpress.com/2008/01/27/ada-tujuan-di-balik-perbuatan-tuhan-11/

Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika, 1997.

Kapu, Istiqamah. Imam Muhammad Abduh Dan Pembaharuan. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://istiqomahkapu.multiply.com/journal/item/3

Kotasantri. Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 29 Oktober 2008 dari http://www.kotasantri.com/mobile/Artikel/galeria-detail.php?id2=177.

Lubis, Arbiah. Pemikiran dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Madjid, Nurchalis, ed. Khasanah Intelektual Islam. Jakarta: Bintang, 1994.

Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyuni Asmin. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Majid, Abdul. Abduh dan Ilmu Kalam. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://bp1.blogger.com/_ypRoTdOrLiY/RhP7awcJyoI/AAAAAAAAABE/zGs4RFC1KA8/s1600-h/abduh

Majid, Abduh, Al-Muhtasib. Abduh al-Salam. Ijtihad al-Tafsir fi al-Asr al-Rahim.

Oman-Ordon: Maktabah an-Nahdha al-Salamiyyah, 1982, cet. II. Ma’louf, Louis. Al- Manjid fi al-Lughah wa al-A’lâm. Bairut: Dar el-Mashreq

Sari, 1984.

Musa’ad, Ishaq dan Kenneth Cragg. The Theology of Unity. London: G. Allen and Unwin Ltd., 1966.

Mastuki HS, ed. Kiyai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1990.

Muslim. Asy’ariyah. Artikel diakses pada 27 Mai 2008 dari http://.bicaramuslim.com/bicara6/viewtopic.php?p=145248&sid=bf82a5c9b123e6d26ab120be5b54dfc

Page 94: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Muzani, Saiful, ed. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1998.

Nadawi Abul Hasan. Rijalul Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam. Kuwait: Darul Kalam,1969.

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan.

Jakarta: UI Press, 1983. _____. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press,

1987. _____. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:

Bulan Bintang, 1992.

_____. Tasawuf. Artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://haizam.tripod.com/tasauf/tasawuf.htm

_____. Theologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Pejiarah. Maturidiyah. Artikel diakses pada 30 Mai 2008 dari http://peziarah.wordpress.com/2007/03/07/maturidiyah/

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indoneisa. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Qadir, C. A.,. Filsafat dan Ilmu pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor, 1991.

Ridha, M Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Syahir bi Tafsir al-Manar, Kairo:

Dar al-Manar, 1931. jilid. I-VIII.

_____. Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh. Cairo: al-Manar, 1931

Sheikh, M Saeed. a Dictionary of Muslim Philosophy. Lahore, Pakistan: Institute on Islamic culture, 1976.

Shihab, M Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994.

Susiyanto. Melacak Pemahaman Asy’ariyah dalam Pemikiran Muhammad Abduh. Artikel diakses pada 5 November 2008 dari http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/melacak-pemahaman-asyariyah-dalam-pemikiran-muhammad-abduh/

Syahratani, Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm. Sekte-sekte Islam, terj. Karsidi Diningrat. Bandung: Pustaka, 1996.

Page 95: KONSEP TUHAN MENURUT PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH

Syauqi Nawawi, Rifat. Rasional Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina, 2002.

Tanahi, Tahir, ed. Muzakkirat al-Imam Muhammad Abduh. Cairo: Dar Al-Hilal,

t.t.

W, M. Maghfur. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam. Bangil: al-Izzah, 2002.

Wahab, Abdul Asyraf. Al-Tasâmuh al-Ijtimâi baina al-Turâts wa al-Taghayur, Kairo: Maktabah Usrah, 2006.

Yunan, M Yusuf. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990

Zahrah, Muhammad Abû. Imam Syâfî’î: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Aqidah, Politik dan Fikih. Jakarta: Lentera, 2005.

_____. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t