bab ii deskripsi pustaka - eprints.stainkudus.ac.ideprints.stainkudus.ac.id/779/5/file 5.pdf ·...
TRANSCRIPT
7
BAB II
DESKRIPSI PUSTAKA
A. Deskripsi Pustaka Mauidzoh Hasanah
1. Pengertian Metode Dakwah Mauidzoh Hasanah
Secara bahasa metode berasal dari dua kata ‘’meta’’ (melalui) dan
‘’hodos’’ (jalan, cara).1 Dengan demikian kita dapatkan bahwa metode
adalah cara atau jalan yang harus dilalui mencapai suatu tujuan.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa
jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa yunani
metode berasal dari kata methodos artinya jalan yang dalam bahasa arab
disebut thariq. 2
Maka metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses
pemikiran untuk mencapai suatu maksud.3 Sedangkan arti dakwah
menurut pandangan beberapa pakar ilmu adalah sebagai berikut:
a. Pendapat Bakhial Khauli, adalah dakwah suatu proses menghidupkan
peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu
keadaan kepada keadaan yang lain.
b. Pendapat Syaikh Ali Makhfudz, dakwah adalah mengajak manusia
untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh
mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek agar
mereka mendapat kebahagiaaan dunia dan akhirat. 4
Pengertian di atas menunjukkan bahwa metode dakwah adalah cara
cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada
mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih
sayang. Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus
1 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Cet ke 1, Jakarta, 1991, hlm. 61. 2 Hasanuddin, Hukum Dakwah, Pedoman Ilmu Jaya , 1996, hlm. 35. 3 Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, PT Raja Grafindo Persada, Cet ke 1, Jakarta,
2011 hlm. 242. 4 Ibid., hlm. 243.
8
bertumpu pada suatu pandangan human oriented menempatkan
penghargaan yang mulia atas diri manusia.
Secara bahasa, mau’izhah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu
mau’izhah dan hasanah. Kata mau’izhah berasal dari kata wa’adza-
ya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan
dan peringatan, sementara hasanah merupakan kebalikan sayyi’ah yang
artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara
lain:
a. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh
Wahidin Saputra dalam bukunya yang berjudul ‘’, Pengantar Ilmu
Dakwah’, al-Mauidzoh Hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang
tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat
dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Al Qur’an.5
b. Menurut Abdul Hamid al-Bilali yang dikutip oleh Wahidin Saputra
dalam bukunya yang berjudul ‘’ Pengantar Ilmu Dakwah’’ merupakan
salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan
Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah
lembut agar mereka mau berbuat baik.6
c. Menurut Ali Musthafa Yakub yang dikutib oleh Samsul Munir Amin
dalam bukunya yang berjudul ‘’ Ilmu Dakwah’’, menyatakan bahwa
mauidzoh hasanah adalah ucapan yang berisi nasihat-nasihat baik dan
bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-
argumen yang memuaskan sehingga pihak audience dapat
membenarkan apa yang disampaikan oleh subyek dakwah.7
Dari beberapa definisi di atas, mauidhah hasanah tersebut dapat
diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, nssihat atau petuah, bimbingan,
pengajaran (pendidikan), kisah-kisah, kabar gembira dan peringatan
(al-basyir wa al-nadzir), dan wasiat (pesan positif).
5 Ibid., hlm. 251. 6 Hasanudin, Op. Cit., hlm. 37. 7 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 100.
9
Jadi dari definisi di atas dapat disimpulkan secara keseluruhan
bahwa pengertian metode mauidzoh hasanah adalah cara-cara tertentu
yang dilakukan oleh da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai
suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang yang dilakukan dengan
perkataan-perkataan yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih
sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan tidak
membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab
kelemahlembutan dalam menasihati sering kali dapat meluluhkan hati
yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar ia lebih mudah melahirkan
kebaikan daripada larangan dan ancaman.
2. Sumber Metode Dakwah Mauidzoh Hasanah
a. Al-Qur’an
Islam telah menempuh jalan yang paling indah untuk sampai ke
dalam jiwa manusia dengan cara petunjuk, dakwah kepada iman dan
hikmah dalam ajaran yang baik, ayat-ayat dan hadist menjadi solusi.
Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang membahas tentang
masalah dakwah. Di antara ayat-ayat ada yang berhubungan dengan
kisah para rasul dalam menghadapi umatnya. Selain itu, ada ayat-ayat
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad ketika beliau melancarkan
dakwahnya. Semua ayat-ayat tersebut menunjukkan metode yang harus
dipahami dan dipelajari oleh setiap muslim. Karena Allah tidak akan
menceritakan agar dijadikan suri tauladan dan dapat membantu dalam
rangka menjalankan dakwah berdasarkan metode-metode yang tersurat
dan tersirat dalam al-Qur’an.8
Allah SWT berfirman dalam surat Huud ayat 120, sebagai berikut:
8 Wahidin Saputra, Op. Cit., hlm. 255.
10
Artinya: ‘’Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman’’.9
Oleh karena itu sudah selayaknya jika al-Qur’an dijadikan sebagai
pedoman dan sumber dakwah karena tujuan dakwah adalah mengajak
ke jalan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. Sumber dakwah
sebagaimana dijelaskan dalam surat An Nahl ayat 125
Artinya: “Serulah ( manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl 125)
b. Sunnah Rasul
Di dalam sunnah Rasul banyak kita temui hadits-hadits yang
berkaitan dengan dakwah. Begitu juga dalam sejarah hidup dan
perjuangannya dan cara-cara yang dipakai beliau dalam menyiarkan
dakwahnya baik ketika beliau berjuang di Makkah maupun di Madinah.
Semua ini memberikan contoh dalam metode dakwahnya. Karena
setidaknya kondisi yang dihadapi Rasulullah ketika itu dialami juga
oleh juru dakwah sekarang ini.
9 Al-Qur’an Surat Huud ayat 120, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1967, hlm. 345.
11
Setiap Rasul mempunyai ciri khas tersendiri dalam berdakwah
walaupun demikian ciri tersebut dapat disebutkan secara umum yang
dapat dijadikan sebagai tauladan oleh para da’i di masa sekarang.10
c. Sejarah hidup Para Sahabat dan Fuqaha’
Dalam sejarah hidup para sahabat-sahabat besar dan para fuqaha’
cukuplah memberikan contoh baik yang sangat berguan bagi juru
dakwah. Karena mereka adalah orang yang expert dalam bidang agama.
Muadz bin Jabal dan sahabat lainnya merupakan figur yang patut
dicontoh sebagai kerangka acuan dalam mengembangkan visi dakwah.
d. Pengalaman
Experience Is The Best Teacher, itu adalah motto yang punya
pengaruh besar bagi orang-orang yang suka bergaul dengan orang
banyak. Pengalaman juru dakwah merupakan hasil pergaulannya
dengan orang banyak yang kadangkala dijadikan reference ketika
berdakwah.11
Selain itu mengetahui sumber-sumber metode dakwah sudah
sepantasnya kita menjadikannya sebagai pedoman dalam melaksanakan
aktivitas dakwah yang harus disesuaikan dengan kondisi yang terjadi.
3. Bentuk-bentuk Metode Dakwah Mauidzoh Hasanah
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa mauidzoh hasanah tersebut
bisa diklasifikasikan dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
a. Nasihat atau Petuah
1) Pengertian nasihat
Kata nasihat berasal dari bahasa Arab dari kata kerja
‘’Nashaha’’ (نصح ) yang berarti khalasha ( خلص ) yaitu murni dan
bersih dari segala kotoran, juga berarti ‘’katta’’ ( ط خا ) yaitu
menjahit.12 Dan dikatakan bahwa kata nasihat berasal dari kata
بھ ثو ارجلھ نصح (orang yang menjauhinya) apabila ia menjahutnya,
maka mereka mengumpamakan perbuatan penasehat yang selalu
10 Wahidin Saputra, Op. Cit., hlm. 256. 11 Ibid., hlm. 256.
12
menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya. Dengan jalan
memperbaiki pakaiannya yang robek. Secara terminologi nasihat
adalah memerintah atau melarang, menganjurkan yang dibarengi
dengan motivasi dan ancaman. Dalam kamus bahasa Indonesia
Balai Pustaka adalah memberikan petunjuk ke jalan yang benar.
Juga berarti mengatakan sesuatu yang benar dengan cara
melunakkan hati, nasihat harus berkesan dalam jiwa atau mengikat
jiwa dengan keimanan atau petunjuk.13 Al-Ashfani memberikan
pemahaman terhadapa term tersebut dengan makna al-mau’idzoh
hasanah yaitu merupakan tindakan mengingatkan seseorang
dengan baik dan lemah lembut agar dapat melunakkan hati.
2) Metode Dalam Memberikan Nasihat
Syekh Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang
dihadapi seorang pendakwah secara garis besar membagi 3
golongan yang masing-masing harus dihadapai dengan cara yang
berbeda-beda pula :
a) Ada golongan yang cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran
dan dapat berpikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti
persoalan. Mereka harus dipanggil atau diseru diberi nasihat
dengan hikmah, yaitu dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil
dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan do’a mereka.
b) Ada golongan awam, yang kebanyakan yang belum dapat
berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap
pengertian yang tinggi-tinggi, mereka ini diseru diberi nasihat
dengan cara ‘’Mauidzatun Hasanah’’ dengan anjuran dan
didikan yang baik-baik dengan ajaran-ajaran yang mudah
dipahami.
c) Ada golongan yang kecerdasannya di antara kedua golongan
tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak
13 Harjani Hefni dan Munzier Suparta (ed.), Metode Dakwah, Kencana, Cet. Ke-1, Jakarta,
2003, hlm. 243.
13
sesuai juga bila dinasihati seperti golongan orang awam, mereka
suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas yang
tertentu, tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini diseru atau
dinasihati dengan cara ‘’Mujadalah billati hiya Ahsan’’ yakni
dengan cara bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir
secara sehat dan lainnya dengan yang lebih baik.14
Pokok persoalan bagi seseorang da’i dalam menyampaikan
nasihat ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif
dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam suatu keadaan
dan suasana yang tertentu. Ringkasnya, jika seorang da’i
menginginkan setiap nasihatnya dapat berkesan dan meresap ke
dalam hati pendengarnya, sebaiknya ada beberapa yang harus
dilakukan, yaitu antara lain :
a) Melihat secara langsung atau bisa juga mendengar dari
pembicaraan orang tentang kemungkinan yang tengah
merajalela.
b) Memprioritaskan kemungkaran mana yang lebih besar
bahayanya atau paling besar dampak negatifnya untuk
dijadikan bahan pembicaraan atau nasihat.
c) Menganalisa setiap hal yang membahayakan dari kemungkinan
yang ada. Apakah berupa kerusakan moral, kemusyarakatan,
kesehatan, atau harta benda.
d) Menukil nash-nash Al Qur’an dan hadist shahih perkataan
sahabat.
Dari beberapa metode atau cara memberikan nasihat kita
gunakan, maka tentunya kita harapkan orang yang mendengar
nasihat kita berbuat amal saleh yang bermanfaat dan terkadang pula
dalam memberikan nasihat dengan motivasi dan ancaman.15
14 Harjani Hefni dan Munzier Suparta, Op. Cit., hlm. 253. 15 Ibid., hlm. 254.
14
b. Bimbingan, Pengajaran
Pengertian bimbingan menurut beberapa para ahli diantaranya:
1) Menurut Dewa Ketut Sukardi dalam bukunya yang berjudul
‘’Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di
Sekolah’’ bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan
kepada individu tersebut dapat memahami dirinya dan dapat
bertindak secara wajar sesuai dengan tuntunan dan keadaan
lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat dan kehidupan pada
umumnya.16
2) Menurut Rochman Natawidjaja dalam bukunya yang berjudul ‘’
Landasan bimbingan dan Konseling’’ bahwa bimbingan adalah
suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan
secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat
memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan
dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan
lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada
umumnya. 17
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu
untuk menemukan dan mengembangkan kemampuannya sehingga dia
sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai
dengan tuntunan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, agar
memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.18
Bimbingan tidak sama dengan pendidikan, walaupun
pendidikan sering disebut juga sebagai bimbingan. Bimbingan
merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan lebih luas cakupannya
dibandingkan dengan bimbingan. Bimbingan sendiri didefinisikan
16 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di
Sekolah, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hlm. 19. 17 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, PT Remaja
Rosda Karya, Bandung, 2002, hlm. 6. 18 Ibid., hlm. 6.
15
orang bermacam-macam ada yang sedimikian itu singkat rumusnya,
ada pula yang amat panjang dengan merinci berbagai aspek yang
terkandung dalam proses atau kegiatan bimbingan tersebut.19
Pendidikan dan pengajaran dapat pula dijadikan sebagai
metode dakwah. Hakikat pendidikan agama adalah penanaman moral
beragama kepada seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan
pengajaran agama adalah pemberian pengetahuan-pengetahuan agama
kepada seseorang atau sekelompok orang. Antara aktifitas pengajaran
agama dan pendidikan agama, keduanya saling berkaitan bahkan
pengajaran merupakan alat perantara pendidikan.20
Sedangkan pengajaran adalah alat perantara bagi
pencapaian tujuan pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu cara
yang ditempuh untuk mencapai tujuan dakwah. Oleh karena itu, aspek-
aspek yang ada pada dakwah yang terpenting dan harus mendapatkan
perhatian yang serius adalah pembiasaan untuk menjalankan syariat
agama dan menjauhkan larangan, sebab bila seseorang sudah bisa
melakukan perbuatan yang baik, beribadah, berbudi pekerti yang baik
dan sebagainya, imannya akan menjadi kuat. Selain itu perlu juga
adanya nasihat-nasihat, pengajaran, peringatan, teguran dan sebagainya
agar tujuan pendidikan atau dakwah dapat berhasil dengan baik.21
c. Kisah-kisah
Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai metode untuk
mengajak manusia ke jalan yang benar, antara lain adalah dengan
kisah atau cerita. al-Qur’an dan hadist banyak memuat kisah-kisah
sejarah umat terdahulu yang dapat dijadikan sebagai bahan yang dapat
menjadikan perbandingan untuk menjalankan aktifitas kita dalam
berdakwah.22
19 Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, UII Press, Yogyakarta,
2001, hlm 5-9. 20 Asmuni Syakir, Op. Cit., hlm.15. 21 Ibid., hlm. 5-9 22 Harjani Hefni, Op. Cit., hlm. 290.
16
1) Pengertian Qashash
Secara epistimologis lafadzh qashash merupakan jamak
dari kata qishah, lafaddz ini merupakan bentuk masdar dari kata
qassa ya qussu’. Dari lafadz qashash dapat diklasifikasikan ke
dalam dua (2) makna, yaitu qashash berarti menceritakan dan
lafadz qashash mengandung arti menelusuri atau mengikuti jejak.23
Secara terminologis qashash berarti:
a) Menurut Abdul Karim al-Khatib, kisah-kisah al-Qur’an adalah
berita Al Qur’an tentang umat terdahulu.
b) Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang menceritakan ihwal umat-
umat terdahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan
datang.24
2) Macam-Macam Kisah
Dalam bentuk menuturkan tentang kisah-kisah keadaan umat
masa lalu, baik yang taat menjalankan perintah Allah SWT, seperti
para Rasul para sahabat ra, orang –orang yang shaleh dan lain-lain,
maupun orang yang durhaka seperti malapetaka yang menimpa
Fir’aun yang mengakui dirinya Tuhan, Qorun yang musnah dengan
kejayaannya, Abu Jahal dan lain-lainnya.25
Di dalam al-Qur’an kita mendapatkan banyak kisah nabi dan
umat terdahulu, maka yang dimaksudkan dengan kisah adalah
pengajaran dan petunjuk yang berguna bagi para penyeru
kebenaran dan bagi orang yang diseru kepada kebenaran.26
Lantaran inilah maka al-Qur’an tidak menguraikan kisahnya
seperti kitab sejarah tetapi memberi petunjuk. Petunjuk itu bukan
dalam mengetahui kelahiran Rasul dan keturunan serta kejadian-
23 Ibid., hlm. 291. 24 Abdul Djalil H.A, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2000, hlm. 296. 25 M. Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral, Al-Amin Press, Yogyakarta, 1997,
hlm. 26. 26 Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an Tafsir,
PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002 hlm. 123.
17
kejadiannya. Tetapi petunjuk itu didapatkan dalam cara Rasul
mengembangkan kebenaran dan dalam penderitaan yang dialami
oleh para Rasul.
Maka di antara maksud-maksud yang paling nyata dari kisah
al-Qur’an ialah pengajaran yang tinggi yang menjadi cermin
perbandingan bagi semua umat. Di dalamnya kita mendapatkan
akibat kesabaran, sebagaimana sebaliknya kita mendapatkan
akibat keingkaran.27
Dalam bentuk kisah yang bermacam-macam maka para ahli
mengklasifikasikan muatan kisah-kisah dalam al-Qur’an yang
dikemukakan oleh Abdul Djalil yang dikutip oleh Harjani Hefni
dalam bukunya yang berjudul ‘’Metode Dakwah’’, yaitu tentang
a) Qashash jika ditinjau dari segi waktu
Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam al-Qur’an ada tiga (3) macam yaitu :
1) Kisah hal-hal ghaib pada masa lalu, yaitu kisah yang
menceritakan kejadian-kejadian ghaib yang sudah tidak bisa
ditangkap panca indera dan terjadi di masa lampau, seperti
kisah-kisah para nabi.
2) Kisah hal-hal ghaib pada masa kini, yaitu kisah yang
menerangkan hal-hal yang ghaib pada masa sekarang (meski
sudah ada sejak dahulu dan masih akan tetap ada sampai
pada masa yang akan datang) dan menyingkap rahasia
orang-orang munafik.
3) Kisah hal-hal ghaib pada masa yang akan datang yang
belum pernah terjadi pada waktu turunnya al-Qur’an,
kemudian peristiwa itu betul-betul terjadi.
b) Qashash ditinjau dari segi materi
1) Kisah para nabi, mukjizat mereka, fase-fase dakwah mereka
dan pemenang serta pengikut mereka
27 Ibid., hlm. 124.
18
2) Kisah-kisah orang yang belum tentu nabi dan kelompok
manusia tertentu, seperti kisah Lukmanul Hakim, Ashabul
Kahfi dan lain-lain.28
3) Tujuan Kisah
Makna Khalil al-Qatthan memberikan pemaparan tersendiri
tentang tujuan adanya kisah-kisah tersebut antara lain :
a) Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT dan
keterangan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh masing-
masing nabi dan rasul.
b) Memantapkan hati Rasulullah serta umatnya serta
memperkuat keyakinan kaum muslimin terhadap kebenaran
yang benar dan kehancuran yang fatal.
c) Lebih meresapkan pendengaran dan memantapkan
keyakinan dalam jiwa pendengarnya, karena kisah-kisah itu
merupakan salah satu bentuk peradaban.
d) Menanamkan pendidikan akhlakul karimah karena dari
keterangan kisah-kisah yang baik itu dapat meresap ke
dalam hati nurani dengan mudah dan baik serta mendidik
dalam meneladani perbuatan baik dan menghindari dari
perbuatan buruk.
4) Fungsi atau Peranan Kisah
a) Memberikan pelajaran untuk dijadikan teladan yang baik.
b) Mengubah hati untuk memahami hal-hal yang bersifat
maknawi, pengaruhnya.
c) Menciptakan bagian dari kesenangan manusia.29
28 Harjani Hefni dan Munzier Suparta, Op. Cit., hlm. 293-297. 29 Ibid., hlm. 298.
19
d. Kabar gembira dan Peringatan (al-Basyir wa al- Nadzir)
1) Pengertian Tabsyir
Tabsyir secara bahasa dari basyara yang mempunyai arti
memperhatikan, merasa senang. Menurut Quraish Shihab basyara
berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah.30
Menurut Harjani Hefni dan Munzier Suparta, secara
terminologi tabsyir dalam konteks dakwah adalah informasi, berita
yang baik dan indah sehingga bisa membuat orang gembira untuk
menguatkan keimanan sekaligus sebagai sebuah harapan dan
menjadi motivasi dalam beribadah serta beramal shalih.31
Tabsyir juga diartikan sebagai pengumuman berita yang
menggembirakan. Basyir, mubasyir, artinya pembawa kabar
gembira, yakni da’i atau muballigh yang menyampaikan berita
gembira tentang rahmat dan nikmat yang akan diperoleh bagi
orang-ornag yang beriman.32
2) Tujuan Tabsyir
Kegiatan dakwah sesungguhnya mempunyai orientasi yang
jelas, yaitu mengajak, mengarahkan orang untuk mengikuti jalan
yang benar, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Adapun
tujuan-tujuan tabsyir antara lain sebagai berikut : menguatkan atau
memperkokoh keimanan, memberi harapan, menumbuhkan
semangat untuk beramal, menghilangkan sifat keragu-raguan.33
Tujuan-tujuan di atas diharapkan menjadi motivasi di dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agama Adapun motivasi tersebut oleh
Said Ali al-Qahtani dibagi menjadi dua yaitu Pertama, pemberian
motivasi dengan janji, kedua pemberian motivasi dengan
30 M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Cet Ke 1, Bandung, 1996, hlm. 279. 31 Ibid., hlm..257. 32 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997,
hlm. 50. 33 Harjani Hefni, Op. Cit., hlm. 259.
20
menyebutkan bermacam-macam ketaatan. Adapun penjelasan
masing-masing secara singkat adalah sebagai berikut :
a) Pemberian motivasi dengan janji
(1) Janji berupa kehidupan yang baik, yakni selamat dari segala
yang dibenci Allah.
(2) Janji berupa pemberian kekuasaan di atas bumi.
(3) Janji berupa segal penambahan kebaikan yang disertai
dengan rasa syukur.
(4) Janji berupa umur panjang.
(5) Janji berupa pertolonngan dan taufik-Nya
b) Menyebutkan motivasi dengan menyebutkan bermacam-
macam kekuatan
Motivasi ini dimaksudkan untuk mengajak manusia agar
berlomba-lomba buat bermacam-macam ketaatan. Seorang da’i
harus memperhatikan hal ini, yaitu senantiasa mendorong agar
orang-orang mau mengerjakan shalat, zakat, haji, shodaqoh,
jihad, silaturahim dan sebagainya.34
3) Pengertian Tandzir
Kata tandzkir atau indzar secara bahasa berasal dari kata
nadza-ra, menurut Ahmad bin Faris adalah suatu kata yang
menunjukkan untuk penakutan (takhwif). Adapaun tandzir menurut
istilah dakwah adalah penyampaian dakwah dimana isinya berupa
peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat
dengan segala konsekuensinya.35 Sedang indzar artinya memberi
peringatan atau mengingatkan umat manusia agar selalu
menjauhkan perbuatan yang menyesatkan serta agar selalu ingat
kepada Allah SWT dimana saja berada.36
Jadi tandzir adalah ungkapan yang mengandung unsur
peringatan kepada orang yang tidak beriman atau kepada orang
34 Harjani Hefni dan Munzier Suparta, Loc. Cit., hlm. 262. 35 Ibid., hlm. 263. 36 Asmuni Syukir,Op. Cit., hlm. 26.
21
yang melakukan perbuatan dosa atau hanya untuk tindakan
preventif agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa dengan bentuk
ancaman berupa siksaan di hari kiamat.
4) Bentuk Tandzir
Adapun bentuk-bentuk tandzir adalah sebagai berikut :
penyebutan nama Allah, menunjukkan keburukan, pengungkapan
bahayanya, penegasan adanya bencana segera, penyebutan
peristiwa akhirat.37
e. Wasiat (Pesan-pesan Positif)
1) Pengertian Wasiat
Secara etimologi kata wasiat berasal dari bahasa Arab,
terambil dari kata washa-washiya-washiyah ( ة صیا و-وصیا -ص و )
yang berarti pesan penting berhubungan dengan sesuatu hal.
Secara terminologi ada beberapa pendapat yang akan
dikemukakan berikut ini :
a) Wasiat adalah sekumpulan kata-kata yang berupa peringatan,
support, dan perbaikan.
b) Wasiat adalah pelajaran tentang amar ma’ruf nahi mungkar
atau berisi anjuran berbuat baik dan ancaman berbuat jahat.
c) Wasiat adalah pesan kepada seseorang untuk melaksanakan
sesuatu sesudah orang berwasiat meninggal disampaikan
kepada seseorang.
d) Wasiat adalah ucapan yang mengandung perintah tentang
sesuatu yang bewrmanfaat dan mencakup kebaikan yang
banyak.38
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka wasiat dapat
dibagi pada dua (2) kategori, yaitu :
a) Wasiat orang masih hidup kepada orang hidup, yaitu berupa
ucapan, pelajaran, arahan tentang sesuatu.
37 Harjani Hefni dan Munzier Suparta, Op. Cit., hlm. 265-268. 38 Ibid., hlm. 274.
22
b) Wasiat orang yang telah meninggal (ketika menjelang ajalnya
tiba) kepada orang masih hidup berupa ucapan atau berupa
harta benda atau warisan.
Oleh karena itu, pengertian wasiat dalam konteks dakwah
adalah ucapan berupa arahan (taujih) kepada orang lain (mad’u)
terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi (amran Sayaqa
Mua’yan)
2) Konsepsi wasiat Dalam Dakwah
a) Esensi Wasiat dalam Dakwah
Bila dikaitkan dengan kebenaran, wasiat adalah profil
paling cemerlang untuk tegak menjaga kebenaran dan
kebaikan. Bila dikaitkan dengan kesabaran, wasiat mampu
menggerakkan potensi umat untuk semakin kuat dan tegar
dalam kebenaran. Bila dikaitkan dengan kasih sayang, wasiat
adalah upaya menyebarluaskan perasaan kasih sayang, dan
saling mencintai sesama umat sehingga bangunan umat
semakin solid. Maka esensi wasiat dalam dakwah adalah
ucapan seorang da’i berupa peran penting dalam upaya
mengarahkan (taujih) mad’u tentang suatu yang bermanfaat
dan bermuatan kebaikan.39
b) Kapan wasiat diberikan ke mad’u
Seorang da’i harus sensitif dan cerdas dalam menangkap
kondisi mad’u. Wasiat yang merupakan peran penting seorang
da’i kepada mad’u, maka perlu dicari saat yang tepat dalam
memberikan wasiat. Ketepatan yang dimaksud disini adalah
ketepatan waktu dan terkait dengan model dan media dakwah
yang dipakai oleh da’i. Namun prinsip umum dalam
memberikan wasiat kepada mad’u, bila seruan dakwah telah
39 Harjani Hefni dan Munzier Suparta, Loc. Cit., hlm. 269.
23
diterima, bila dakwah belum diterima maka wasiat tidak tepat
diberikan.40
3) Materi Wasiat
Materi wasiat yang diberikan kepada obyek dakwah adalah
materi wasiat berdasarkan al-Qur’an dan Al Hadist, maka materi
dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Materi secara umum
Materi yang berupaya menggiring mad’u menuju
ketakwaan yang ada gilirannya mampu berorientasi hidup
bersih.
b) Materi secara khusus
Diantara materi wasiat khusus itu adalah sebagai berikut :
larangan menyekutukan Allah, berbuat baik kepada orang tua,
larangan menghilangkan nyawa orang lain, larangan berbuat
keji baik terang-terangan maupun bersembunyi, larangan
menggunakan harta anak yatim dengan jalan yang tidak benar,
perintah menepati janji, perintah berkata dengan baik, perintah
bersabar, perintah menegakkan kebenaran, dan perintah saling
menyayangi.
Perlu diperhatikan dalam penyampaian materi tersebut
harus menyentuh akal dan perasaan. Seorang da’i harus mampu
menggugah daya nalar mad’u dan menggugah daya nalar
mad’u dan menggugah daya ingat untuk selalu berbuat
kebaikan. Begitu juga seorang da’i harus mampu menajamkan
perasaan mad’u untuk istiqomah dalam menjalankan perintah
Allah.41
40 Ibid., hlm. 288. 41 Harjani Hefni dan Munzier Suparta, Loc. Cit hlm. 290.
24
4) Efek Wasiat bagi Mad’u
Efek wasiat terhadap mad’u antara lain sebagai berikut :
a) Dapat mengarahkan mad’u untuk dalam merealisasikan
keterikatan yang erat antara materi dakwah yang telah
disampaikan dengan pengalaman menuju ketakwaan.
b) Memberdayakan daya nalar intelektual mad’u untuk
memahami ajaran-ajaran Islam.
c) Membnagun daya ingat (remember) mad’u secar kontinu,
karena ada persoalan agama yang sulit untuk dianalisa.
d) Mengembalikan (irja’) umat atau mad’u kepada eksistensi
ajaran Islam untuk selalu menjaga amal Islami.
e) Membangun nilai-nilai kesabaran, kasih sayang dan kebenaran
bagi kehidupan mad’u atau umat.42
B. Keberagamaan
1. Pengertian Keberagamaan
‘’Keberagamaan’’ dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti
perihal beragama.43 Keberagamaan berasal dari kata beragama yang
menurut Ma’mun Mu’min dalam bukunya yang berjudul ‘’ Teknologi
Beragama’’ didefinisikan sebagai buah/hasil kepercayaan dalam hati yaitu
ibadah yang muncul lantaran ada keyakinan terlebih dahulu menuntut
serta patuh karena iman.44
Keberagamaan merupakan gejala yang terbentuk dari berbagai
unsur, di mana satu dengan yang lainnya berkaitan untuk melahirkan
suatu kesatuan pengalaman yaitu pengalaman beragama.
Inti beragama adalah iman, dalam iman terdapat unsur pelakunya
memahami isi wahyu, berarti memahami al-Qur’an dan As-Sunnah.
42 Ibid., hlm. 290-291. 43 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hlm. 12. 44 Ma’mun Mu’min Teknologi Beragama (Suatu Ikhtiar Implementasi Islam Praktis dalam
Menyongsong Era Global, STAIN Kudus Press, Kudus, 2006, hlm. 106.
25
Pemahaman al-Qur’an dan As-Sunnah seharusnya tercermin dalam
pembenaran (tasdiq), perkataan (qaul) dan amal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
keberagamaan adalah sesuatu yang didasarkan pada nilai-nilai agama.
Dalam hal ini tentu saja nilai ajaran Islam hasil keimanannya terhadap
Allah SWT.
2. Faktor-faktor Keberagamaan
Menurut Robert H. Thoules dalam bukunya yang berjudul ‘’
Pengantar Ilmu Jiwa Agama’’ mengemukakan empat faktor
keberagamaan yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:45
a. Pengaruh-pengaruh sosial
b. Berbagai pengalaman
c. Kebutuhan
d. Proses pemikiran
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi-
tradisi sosial dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan
diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama
adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna,
sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama.
Kebutuhan–kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian,
antara lain kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan
untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya
kematian.
Faktor terakhir adalah pemikiran yang relevan untuk masa
remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam menyikapi
soal-soal keagamaan, terutapa bagi mereka yang mempunyai keyakinan
secara sadar dan bersikap terbuka.
45 Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012, hlm. 38.
26
3. Dimensi Keberagamaan
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya yang berkaitan
dengan aktivitas (ibadah) yang tampak dan dapat dilihat mata saja, tetapi
juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena
itu keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau
dimensi. Dengan demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi
banyak.46
Menurut Glock & Stark, ada lima macam dimensi keberagamaan,
yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan atau praktek
agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperensial), dimensi
pengetahuan agama (intelektual), dimensi pengamalan agama
(konsekuensial).
a. Dimensi keyakinan
Dimensi ini, berisi pengharapan-pengharapan di mana orang
religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut
Dalam Islam, dimensi keyakinan menunjuk pada seberapa
tingkat keyakinan Muslim terhadap ajaran-ajaran yang bersifat
fundamental atau dogmatik. Dimensi ini menyangkut keyakinan
kepada Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan
neraka, serta qadha dan qadar.47
b. Dimensi Praktik Agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-
hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap
agama yang dianutnya.
Dalam Islam, dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat
kepatuhan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya,
terutama ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik.
46 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 76.
47 Ibid., hlm. 77.
27
Dimensi peribadatan ini menyangkut pelaksaaan shalat, puasa, zakat,
haji, membaca al-Qur’an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid di
bulan puasa, dan sebagainya.48
c. Dimensi Penghayatan
Dimensi pengalaman atau penghayatan menunjuk seberapa
jauh tingkat manusia dalam merasakan dan mengalami perasaan-
perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam Islam, dimensi
ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, khusuk
ketika melaksanakan shalat atau berdo’a, perasaan sabar ketika
mendapat cobaan dari Allah, tergetar ketika mendengar adzan atau
ayat-ayat al-Qur’an, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan
dari Allah.49
d. Dimensi Pengetahuan Agama
Dalam Islam, dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat
pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya,
seperti : pengetahuan tentang isi al-qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus
diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun iman), hukum-hukum
Islam dan sebagainya.
e. Dimensi Pengalaman Agama
Dimensi pengamalan menunjuk pada seberapa tingkatan
muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu
bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan
manusia lain. Dalam Islam, dimensi ini meliputi perilaku suka
menolong, bekerjasama, berlaku jujur, tidak mencuri, tidak menipu,
tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi
norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup
sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.
48 Ibid., hlm. 78. 49 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Op. Cit., hlm. 80.
28
4. Sikap Keberagamaan
a. Keberagamaan Ekstrinsik
Keberagamaan ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu
yang dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan. Orang berpaling
kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama
digunakan untuk menunjang motif-motif lain seperti kebutuhan akan
status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama seperti ini,
melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, salat, naik haji,
dan sebagainya tetapi tidak di dalamnya.50
b. Keberagamaan Intrinsik
Keberagamaan intrinsik dianggap menunjang kesehatan jiwa
dan kedamaian masyarakat. Agama diterima sebagai faktor pemadu
(unifying factor). Cara beragama seperti ini, terhunjam ke dalam diri
penganutnya. Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan
lingkungan yang penuh kasih sayang.51
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere
yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”.
Menurut WHO dalam bukunya yang berjudul “Psikologi
Remaja” bahwa remaja adalah suatu masa di mana individu berkembang
dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
sampai saat ia mencapai kematangan seksual di mana individu mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang
penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.52
50 Jalaludin Rahmat, Ceramah-Ceramah di Kampus, Mizan, Cet Ke 1, Bandung, 1986,
hlm. 26. 51 Ibid., hlm. 27. 52 Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013,
hlm.10.
29
Menurut Hurlock dalam bukunya yang berjudul “Psikologi
Remaja” bahwa remaja adalah suatu usia di mana anak tidak merasa
bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan
merasa sama, atau paling tidak sejajar.53
2. Ciri-ciri remaja
Mengingat ciri umum ini banyak ditentukan oleh dunia sekitar,
maka masyarakat sekeliling remaja mengambil peranan penting dalam
terbentuknya ciri-ciri umum mereka. Masyarakat sebagai ruang gerak di
mana para remaja mengembangkan diri dan menempatkan diri, turut
berperan dalam memberikan corak khusus sesuai dengan keadaan yang
khusus pula pada masyarakat.54
a. Remaja dalam menghadapi masyarakat luas, akan selalu berada dalam
keadaan bimbang dalam menghadapi berbagai macam pilihan.
b. Keanekaragaman masyarakat di daerah maupun di kota disebabkan
perbedaan tempat asal, latar belakang kehidupan, norma-norma
kebudayaan, adat-istiadat, nilai moral dan etik, dan nilai sosial.
c. Mudahnya seorang berpindah dan bergerak dalam waktu yang singkat
ke tempat-tempat yang lain. Mudah menghilangnya seseorang di antara
banyak orang
d. Memperoleh tokoh yang konstruktif dan dikagumi, berarti mengikuti
jejak hidup tokoh tersebut yang akan membawa si remaja ke suatu
kehidupan yang wajar.
e. Melakukan pengamatan baik terhadap si remaja itu sendiri maupun
terhadap remaja dalam hubungan dengan lingkungannya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Keagamaan Remaja
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu,
kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih
menggamambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya
53 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, Sinar Grafika Offset, Jakarta,
2004, hlm. 9. 54 N. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, PT BPK Gunung
Mulia, Jalarta, 2007, hlm. 71.
30
dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama ini,
muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.55
Sikap keagamaan adalah suatu kondisi diri seseorang yang dapat
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya
terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut disebabkan oleh adanya
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif,
perasaaan unsur agama sebagai unsur efektif, dan perilaku terhadap
agama sebagai unsur konatif.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sikap keagamaan merupakan
integrasi secara kompleks anatara pengetahuan agama, perasaan agama,
serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa
sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala
kejiwaan.
Beranjak dari kenyataan yang ada, sikap keagamaan seseorang
terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.56
a. Faktor Intern
Perkembangan jiwa keagamaan, selain ditentukan oleh faktor
ekstern, juga ditentukan oleh faktor intern seseorang. Seperti halnya
aspek kejiwaan lainnya, para ahli psikologi agama mengemukakan
berbagai teori berdasarkan pendekatan masing-masing. Akan tetapi,
secara garis besarnya, faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap
perkembangan jiwa keagamaan, antara lain adalah faktor hereditas,
tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan seseorang.
1) Faktor Hereditas
Sejak penemuan sifat kebakaan pada tanaman oleh Johann
Gregor Mendel, telah dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan
dan manusia. Kajian genetika modern terhadap manusia kemudian
dikembangkan oleh H. Nilsson Ehle dan R. Emerson serta E. East.
Mereka meneliti tentang pengaruh genetika terhadap perbedaan
55 Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 76. 56 Bambang Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 77.
31
warna kulit manusia.
Selanjutnya kajian mengenai genetika pada manusia
berlanjut hingga ke unsur gen manusia yang terkecil, yaitu
deoxyribonnucleit acid (DNA). Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa DNA yang berbentuk tangga yang berpilin itu terdiri atas
pembawa sifat yang berisi informasi gen. Secara garis besarnya,
pembawa sifat turunan itu terdiri atas genotipe dan fenotipe.
Genotipe merupakan keseluruhan faktor bawaan seseorang
walaupun dapat dipengaruhi lingkungan, tak jauh menyimpang dari
sifat dasar yang ada. Fenotipe adalah karakteristik seseorang yang
tampak dan dapat diukur seperti warna mata, warna kulit ataupun
bentuk fisik. Temuan ini menginformasikan bahwa pada manusia
juga terdapat sifat turunan yang abadi.57
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai
faktor bawaan yang diwariskan secara turun temurun, melainkan
terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup
kognitif, afektif, dan konatif.
2) Tingkat Usia
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para
remaja menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung
mempengaruhi terjadinya konversi agama. Bahkan menurut
Starbuck pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadi
konversi agama.
Hubungan antara perkembangan usia dan perkembangan
jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja.
Apabila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, tentunya konversi
akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat pada tibgkat
usia tersebut, mereka lebih bisa menerima sugesti. Namun,
kenyataannya, hingga usia baya pun, masih terjadi konversi agama.
57 Ibid., hlm. 78.
32
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan
tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan
perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan
begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan
adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan
merupakan satu-satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa
keagamaan seseorang.58
3) Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua
unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan
antara unsur hereditas dan pengaruh lingkungan inilah yang
membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang membentuk
kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan
karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan,
sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh
lingkungan,.
Beranjak dari pemahaman tersebut, para psikolog
cenderung berpendapat bahwa manusia memiliki kepribadian yang
unik dan bersifat individu yang masing-masing berbeda.
Sebaliknya, karakter menunjukkan bahwa kepribadian manusia
terbentuk berdasarkan pengalamannya dengan lingkungan. Dilihat
dari pandangan psikologis, kepribadian manusia tak dapat diubah
karena sudah terbentuk berdasarkan komposisi yang terdapat
dalam tubuh. Sebaliknya, dilihat dari pendekatan karakterologis,
kepribadian manusia dapat diubah dan bergantung pada pengaruh
lingkungan masing-masing.59
Berangkat dari pendekatan tipologis ataupun
karakterologis, terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan
unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian
58 Ibid., hlm. 80. 59 Ibid., hlm. 81.
33
manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur
bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter. Namun
karakter pun menurut Erich Fromm relatif bersifat permanen.
4) Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan terkait dengan kepribadian sebagai
faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang
mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang
dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan bahwa gangguan
kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam
ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi gejala kejiwaan
yang abnormal.
Gejala-gejala yang abnormal ini bersumber dari kondisi
syaraf (neurosis), kejiwaan (psychosis), dan kepribadian
(personality). Kondisi kejiwaan yang bersumber dari neurose ini
menimbulkan gejala kecemasan neurose, absesi, dan kompulsi
serta amnesia. Kemudian, kondisi kejiwaan yang disebabkan oleh
gejala psikosis umunya menyebabkan seseorang kehilangan kontak
hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita
schizoprenia, paranoia, maniac, serta inflantileautism (berperilaku
seperti anak-anak).60
b. Faktor Ekstern
Faktor ekstern berpengaruh dalam perkembangan jiwa
keagamaan dapat dilihat dari lingkungan tempat seseorang itu hidup.
Umumnya, lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu keluarga,
institusi dan masyarakat
1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana
dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah,
ibu, dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan
lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. Dengan demikian,
60 Bambang Syamsul Arifin, Loc. Cit., hlm. 81-85.
34
kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi aqal bagi pembentukan
jiwa keagamaannya.
2) Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional ikut mempengaruhi
perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal
seperti sekolah ataupun yang non formal seperti berbagi
perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi
pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak.
Menurut Singgih S. Gunarsa, pengaruh itu dapat dibagi tiga
kelompok, yaitu kurikulum dan anak, hubungan guru dan murid,
dan hubungan antar anak-anak. Dilihat dari kaitannya dengan
perkembangan jiwa keagamaan, ketoga kelompok tersebut ikut
berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya, perkembangan jiwa
keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk
kepribadian yang luhur.
3) Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan
yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya
merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang
ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang
pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan,
baik dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya lingkungan
masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan
berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak,
sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai dan
institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan
berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya, dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair
atau bahkan cenderung sekuler, kondisi seperti itu jarang dijumpai.
Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut
35
mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan warganya.
4. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:61
a. Percaya ikut-ikutan
Percaya ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh pendidikan
agama secara sederhana yaang didapat dari keluarga dan
lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa
remaja awal (13-16 tahun). Setelah itu, biasanya berkembang kepada
cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan fisiknya.
b. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang
masalah-masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka
ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk
membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara
ikut-ikitan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17
tahun atau 18 tahun. Semangat agama mempunyai dua bentuk:
1) Dalam bentuk positif
Semangat agama yang positif, yaitu berusaha melihat
agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal-hal
yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan
agama dari bid’ah dan kurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
2) Dalam bentuk negatif
Semanagat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan
menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu
kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar ke dalam
masalh-masalh keagamaan, seperti bid’ah, khurafat, dan
kepercayaan-kepercayaan lainnya.
c. Percaya, tetapi agak ragu-ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi
menjadi dua:
61 Raharjo, Op. Cit., hlm. 36.
36
1) Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses
perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
2) Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang
dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan
yang dimiliki.
d. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan ke arah tidak percaya pada Tuhan sebenarnya
mempunyai atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa
tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah
memendam suatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya
terhadap kekuasaan apapun, termasuk kekuasaan Tuhan.
D. Hasil Penelitian Terdahulu
Sebelum penelitian ini dilakukan memang sudah ada penelitian yang
sejenis akan tetapi dalam hal tertentu penelitian ini menunjukkan adanya
perbedaan. Berikut ini penelitian sebelumnya yang dapat penulis
dokumentasikan sebagai hasil penelitian terdahulu diantaranya :
Pertama Khaerul Amri (2012) STAIN Kudus dalam skripsinya
yang berjudul ‘’Rebana Al Mubarok sebagai Media Dakwah dalam
Membentuk Keberagamaan Remaja di Madrasah Aliyah Qudsiyyah Kudus’’.
Hasil penelitian ini adalah data berdirinya rebana al mubarok di Madrasah
Qudsiyyah Kudus berdasar akan kecintaan pada Rasulullah, syair-syair dizikir
dan sholawat tercipta dikumandangkan di seluruh pelosok tempat umat
muslim berada. Dalam perkembangannyapun bervariatif, yaitu menyajikan
serangkaian sholawat dengan membubuhkan nilai nilai nasionalisme atau yang
disebut dengan “Sholawat Kebangsaan’’ serta juga ada yang menambahkan
lirik tentang jasa atau profil seorang guru besar,”62
Kedua Fithrotun Niswah (2008) STAIN Kudus dalam skripsinya
yang berjudul ‘’Peranan Kiai dalam Membentuk Perilaku Keberagamaan
62 Khaerul Amri, ‘’Rebana Al Mubarok sebagai Media Dakwah dalam Membentuk Keberagamaan Remaja di Madrasah Aliyah Qudsiyyah Kudus’’, (Skripsi Jurusan Dakwah : STAIN Kudus, 2012).
37
Santri di Pondok Pesantren Tahfidzh Al Ghuroba Tumpang Krasak Jati
Kudus. Hasil Penelitian ini adalah berdirinya Pondok Pesantren Tahfizh Al
Ghuroba tidak terlepas dari situasi dan kondisi masyarakat yang melatar
belakanginya, yakni sekitar 1995 M. Di Desa ini masyarakatnya cenderung
menginginkan anaknya agar bisa membaca Al Qur’an. Hal ini terbukti dari
banyaknya remaja serta orang tua yang mengikuti pengajian K.H.
Mustamir.”63
Adapun penelitian ketiga Muhammad Nor Rohim (2011) dalam
skrisinya yang berjudul “Peranan Bimbingan Penyuluhan Islam yang
Diselenggarakan oleh Ikatan Remaja Masjid (IRMAS) dalam Meningkatkan
Perilaku Keberagamaan Remaja di Jambean Kidul, Kecamatan Margo Rejo,
Kabupaten Pati Tahun 2011”. Hasil Penelitian perilaku keberagamaan remaja
di Desa Jambean Kidul, Kecamatan Margo Rejo, Kabupaten Pati adalah baik.
Hal ini terlihat dari adanya remaja yang sekarang aktif mengikuti kegiatan
keagamaan yang diselenggarakan IRMAS, seperti pengajian selapanan, sholat
berjamaah, melakukan bersih-bersih masjid, tahlilan dan lain sebagainya.
Semua kegiatan di atas telah tercover dalam dimensi keberagamaan, yaitu
dimensi ideologis, ritual konsekuensional, eksperiensial dan intelektual.”64
E. Kerangka Berpikir
Islam adalah agama dakwah, Islam disampaikan dan diperkenalkan
kepada umat manusia melalui aktivitas dakwah, tidak melalui kekerasan,
pemaksaan atau kekuatan senjata tetapi melalui ucapan yang halus dan santun
serta tindakan yang baik. Islam merupakan agama yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.
63 Fithrotun Niswah,‘’Peranan Kiai dalam Membentuk Perilaku Keberagamaan Santri di
Pondok Pesantren Tahfidzh Al Ghuroba Tumpang Krasak Jati Kudus’’, (Skripsi Jurusan Dakwah : STAIN Kudus, 2008)
64 Muhammad Nor Rohim ,“Peranan Bimbingan Penyuluhan Islam yang Diselenggarakan oleh Ikatan Remaja Masjid (IRMAS) dalam Meningkatkan Perilaku Keberagamaan Remaja di Jambean Kidul, Kecamatan Margo Rejo, Kabupaten Pati”, (Skripsi Jurusan Dakwah : STAIN Kudus, 2011)
38
Sebagaimana diketahui bahwa dakwah adalah usaha yang
dilaksanakan dengan sadar dan terencana. Usaha yang dilakukan adalah
menyeru umat manusia ke jalan Allah, memperbaiki kondisi yang lebih baik.
Usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yakni hidup
bahagia selamat di dunia dan di akhirat.
Untuk itu dakwah harus dikemas dengan cara dan metode yang pas
dan cocok. Pemakaian metode dan cara yang baik adalah satu bagian dari
keberhasilan dakwah, sebaliknya bila metode dan cara yang digunakan dalam
menyampaikan sesuatu tidak cocok dan tidak pas akan mengakibatkan hal
yang tidak diinginkan.65
Dalam Islam terdapat metode dakwah yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dakwah pada manusia, yaitu metode hikmah, mauidzoh
hasanah dan mujadalah.
Sebagaimana telah diketahui bahwa mauidzoh hasanah adalah
memberikan nasihat yang baik yang berupa petunjuk ke arah kebaikan dengan
bahasa yang mudah dipahami sehingga pihak obyek dakwah dengan rela hati
dan atas kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak
subyek dakwah.66
Telah diketahui bersama bahwa remaja mempunyai kecenderungan
untuk meniru segala apa yang dilihatnya dari lingkungan ia berada, karena
lingkungan hidup manusia ada yang merusak dan ada yang baik. Remaja bisa
salah dalam mengambil pegangan pedoman hidupnya, karena lingkungan
tersebut sedikit banyak akan membentuk kepribadian remaja. Oleh sebab itu
perlunya dibentuk suatu lembaga atau wadah bagi remaja yang positif yang
diilhami oleh nilai-nilai sakral keagamaan. Dengan wadah tersebut diharapkan
dapat mencetak generasi yang selalu berpegang pada al-Qur’an dan as-
Sunnah.
65 Samsul Munir Amin,Op. Cit., hlm. 236. 66 Siti Muri’ah, Op. Cit., hlm. 162.
39
Berkaitan dengan hal di atas, IRMAS merupakan kegiatan positif
dikarenakan segala aktivitas (kegiatan) remajanya memuat kegiatan-kegiatan
keagamaan yaitu tadarus al-Qur’an, berjanjen dan santunan anak yatim.
Dengan demikian dalam proses dakwah maka seorang da’i hendaknya
berusaha menjalankan ajaran Islam, sehingga tugas dari da’i dapat terlaksana
dengan baik serta mencetak generasi remaja yang beriman dan mematuhi
perintah Allah SWT sesuai dengan norma serta beradab.