pemertahanan bahasa daerah di lembaga pendidikan …

21
105 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1) Nur Seha PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS AGAMA KABUPATEN PANDEGLANG LOCAL LANGUAGE MAINTENANCE IN RELIGIOUS-BASED EDUCATIONAL INSTITUTIONS IN PANDEGLANG Nur Seha 1 Alif Fatonah 2 Kantor Bahasa Banten Jalan Letnan Jidun, Lontar Baru, Kota Serang [email protected] 1 , alifbalfi[email protected] 2 Abstrak Kajian ini berdasar pada asumsi bahwa penggunaan bahasa daerah sudah mengalami penurunan pada sebagian besar anak-anak Banten. Sikap negatif pemilik bahasa daerah terutama generasi muda yaitu rasa bangga dan setia terhadap kepemilikan bahasa daerah sama sekali tidak terlihat. Hal itu menyebabkan tidak adanya kemauan dan motivasi untuk mempelajari bahasa daerah. Sumber data kajian adalah kuisoner yang telah diisi oleh 50 responden dan studi pustaka yang telah dilakukan sebelumnya terkait pemertahanan bahasa daerah. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sementara itu, teori dalam kajian ini adalah sosiolinguistik. Berdasar hasil analis, penggunaan bahasa daerah di sekolah berbasis agama masih ditemukan, walaupun tingkat penggunaan bahasa daerah lebih rendah dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Di lingkungan sekolah, sebagian besar responden menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman dan gurunya, baik saat pembelajaran maupun bertemu di lingkungan sekolah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemertahanan bahasa daerah di sekolah berbasis agama Kabupaten Pandeglang masih rendah. Walaupun masih ditemukan penggunaan bahasa daerah, intensitas penggunaannya masih tertinggal daripada bahasa Indonesia. Kata kunci: bahasa daerah, lembaga pendidikan, Pandeglang Abstract This study was based on an assumption that the use of local languages by most children in Banten has experienced a decrease in trend. The negative attitude of the local language owners, especially the younger generation, that is the sense of pride and loyalty towards the ownership of local language, has been completely invisible. This negative attitude has caused the lack of willingness and motivation to learn local languages. The data source of this study were questionnaires that have been filled by 50 respondents and literature study that has been done previously related to maintaining local languages. This research used a descriptive qualitative method. Meanwhile, the theory in this study was sociolinguistics. Based on data analysis, the use of local languages in religious-based schools was still found, although the level of local language use was lower than Indonesian. In the school environment, most respondents used Indonesian to communicate with their friends and teachers during learning activity and outside learning activity. Thus, it can be concluded that the maintenance of local languages in the religious- based schools in Pandeglang Regency was still low. Even though the use of local languages was still found, the intensity of use still lagged behind Indonesian. Keywords: local languages, educational institutions, Pandeglang Naskah Diterima 21 Februari 2020—Direvisi Akhir 22 Juni 2020—Diterima 22 Juni 2020

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1052020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN BERBASIS AGAMA KABUPATEN PANDEGLANG

LOCAL LANGUAGE MAINTENANCE IN RELIGIOUS-BASED EDUCATIONAL INSTITUTIONS IN PANDEGLANG

Nur Seha1

Alif Fatonah2

Kantor Bahasa BantenJalan Letnan Jidun, Lontar Baru, Kota [email protected], [email protected]

AbstrakKajian ini berdasar pada asumsi bahwa penggunaan bahasa daerah sudah mengalami penurunan pada sebagian besar anak-anak Banten. Sikap negatif pemilik bahasa daerah terutama generasi muda yaitu rasa bangga dan setia terhadap kepemilikan bahasa daerah sama sekali tidak terlihat. Hal itu menyebabkan tidak adanya kemauan dan motivasi untuk mempelajari bahasa daerah. Sumber data kajian adalah kuisoner yang telah diisi oleh 50 responden dan studi pustaka yang telah dilakukan sebelumnya terkait pemertahanan bahasa daerah. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sementara itu, teori dalam kajian ini adalah sosiolinguistik. Berdasar hasil analis, penggunaan bahasa daerah di sekolah berbasis agama masih ditemukan, walaupun tingkat penggunaan bahasa daerah lebih rendah dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Di lingkungan sekolah, sebagian besar responden menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman dan gurunya, baik saat pembelajaran maupun bertemu di lingkungan sekolah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemertahanan bahasa daerah di sekolah berbasis agama Kabupaten Pandeglang masih rendah. Walaupun masih ditemukan penggunaan bahasa daerah, intensitas penggunaannya masih tertinggal daripada bahasa Indonesia.

Kata kunci: bahasa daerah, lembaga pendidikan, Pandeglang

AbstractThis study was based on an assumption that the use of local languages by most children in Banten has experienced a decrease in trend. The negative attitude of the local language owners, especially the younger generation, that is the sense of pride and loyalty towards the ownership of local language, has been completely invisible. This negative attitude has caused the lack of willingness and motivation to learn local languages. The data source of this study were questionnaires that have been filled by 50 respondents and literature study that has been done previously related to maintaining local languages. This research used a descriptive qualitative method. Meanwhile, the theory in this study was sociolinguistics. Based on data analysis, the use of local languages in religious-based schools was still found, although the level of local language use wa s lower than Indonesian. In the school environment, most respondents used Indonesian to communicate with their friends and teachers during learning activity and outside learning activity. Thus, it can be concluded that the maintenance of local languages in the religious-based schools in Pandeglang Regency was still low. Even though the use of local languages was still found, the intensity of use still lagged behind Indonesian.

Keywords: local languages, educational institutions, Pandeglang

Naskah Diterima 21 Februari 2020—Direvisi Akhir 22 Juni 2020—Diterima 22 Juni 2020

Page 2: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

106 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

1. PENDAHULUAN

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kelestarian bahasa daerah adalah sikap pemilik bahasa daerah itu sendiri. Sikap positif tersebut dapat ditunjukkan dengan kesetiaan dan kebanggaan menggunakan bahasa daerah dalam ranah keluarga. Namun, realita di masyarakat, bahasa daerah tidak lagi dijadikan sebagai bahasa komunikasi utama. Masyarakat lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya dengan alasan bahasa Indonesia lebih bergengsi dan kelihatan lebih modern. Sikap negatif terhadap bahasa banyak ditunjukkan oleh pemilik bahasa daerah terutama generasi muda. Rasa bangga dan setia terhadap kepemilikan bahasa daerah sama sekali tidak terlihat. Hal itu menyebabkan tidak adanya kemauan dan motivasi untuk mempelajari bahasa daerah (Rahmawati, 2018: 281).

Pemertahanan bahasa daerah sebagai salah satu upaya untuk melestarikan dan menjaganya dari kepunahan harus terus dilakukan karena bahasa daerah memiliki kedudukan yang penting dalam memajukan kebudayaan nasional. Pada pasal 32 UUD 1945, Perubahan Keempat, dinyatakan dalam dua ayat sebagai berikut. Ayat (1) Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ayat (2) Negara memajukan dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dari amanat UUD tersebut, jelaslah bahwa bahasa daerah memiliki kedudukan yang sangat penting. Untuk itu, bahasa daerah harus terus dipelihara dan dipertahankan sehingga ia dapat memainkan perannya di dalam konstelasi pembangunan bangsa ke depan (Maryani, 2015: 23).

Perkembangan zaman yang diiringi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara tidak langsung juga membawa pengaruh terhadap keberadaan bahasa daerah. Masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi memaksa masyarakat untuk mengenal bahasa-bahasa asing dan mempelajari kosa kata bahasa di bidang tersebut. Di sisi lain, perkembangan zaman juga telah mengubah pola pikir masyarakat. Ada gejala di masyarakat yang menganggap bahwa penggunaan bahasa kedua selain bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu, dianggap memiliki kelas sosial yang lebih tinggi. Gambaran tersebut dapat dilihat pada lingkungan keluarga. Banyak orang tua yang mengajarkan dan menggunakan bahasa Indonesia kepada anaknya sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Gejala-gejala sosial tersebut merupakan salah satu penyebab punahnya bahasa daerah di Indonesia. Di samping itu, ada beberapa sebab punahnya bahasa daerah, seperti perkawinan antar suku, migrasi penduduk dari desa ke kota, dan sikap negatif masyarakat terhadap bahasa daerahnya. Berdasarkan hal tersebut, jika penutur bahasa daerah tidak berusaha mempertahankan keberadaan bahasa daerah, tidak dipungkiri

Page 3: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1072020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

ia akan punah dan keberagaman budaya Indonesia pun akan berkurang.

Gejala-gejala sosial seperti tersebut di atas, mulai terlihat di wilayah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Hal tersebut disampaikan oleh Kabid Kominfo Dishubkominfo, Kabupaten Pandeglang, Nandar Suptandar kepada Antara (Minggu, 9 Oktober 2016). Beliau menyebutkan bahwa hampir semua orang tua mengajak anaknya untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut baik, akan tetapi orang tua diharapkan tetap mengajak anaknya untuk berbahasa daerah yaitu bahasa Sunda. Beliau khawatir, jika sebagian besar orang tua tidak menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Sunda akan hilang bahkan punah. Menurut beliau, di lingkungan instansi pemerintah para pegawai menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari dan menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi resmi/formal. Pemerintah Kabupaten Pandeglang juga berupaya mempertahankan bahasa daerahnya melalui jalur sekolah. Bahasa daerah dimasukkan dalam kurikulum lokal di sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah atas. Selain itu, diadakan kegiatan lomba cerita berbahasa Sunda oleh Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah (www.liputan6.com).

Dalam buku Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal terbitan Pusat Kurikulum Depdiknas tahun 2006 menyebutkan latar belakang dimunculkannya mulok tidak terlepas dari konteks keragaman budaya. Secara eksplisit dijelaskan bahwa Indonesia memiliki keragaman budaya dan merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Keragaman budaya dan bahasa tersebut harus selalu diapresiasi, direvitalisasi, dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan substansinya. Pengenalan keadaan lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih menunjang peningkatan sumber daya manusia (Sutarto, 2010: 23—24).

Sejalan dengan Pemerintah Kabupaten Pandeglang, Pemerintah Kabupaten Serang juga mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Serang. Pada Bab IV tentang Bentuk Penyelenggaraan Pendidikan Formal, Bagian Kelima pasal 16 disebutkan bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan adalah bahasa Indonesia dan bahasa daerah Serang. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemertahanan bahasa mengacu pada situasi ketika masyarakat penutur bahasa tertentu tetap menggunakan bahasanya di dalam kehidupan sehari-hari (Maryani, 2015: 25).

Sekolah sebagai tempat kedua bagi anak setelah keluarga atau rumah dianggap memiliki peran yang penting dalam kegiatan pemertahanan bahasa daerah. Bertahan atau tidaknya bahasa daerah di lingkungan sekolah bergantung pada peran pemerintah daerah, lembaga pendidikan terkait, dinas pendidikan ataupun kantor kementerian agama di masing-masing kabupaten kota. Selain itu, peran guru juga sangatlah penting

Page 4: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

108 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

dalam upaya mempertahankan bahasa daerah di sekolah.

Terkait dengan paparan di atas, maka dipandang perlu diadakan sebuah penelitian mengenai pemertahanan bahasa daerah di sekolah. Perlu diketahui bahwa muatan lokal bahasa daerah yang telah dilaksanakan di Kabupaten Pandeglang adalah pada jenjang sekolah menengah pertama. Sekolah Menengah Pertama adalah jenjang sekolah yang berada di bawah koordinasi dinas pendidikan kabupaten/kota. Sementara itu, sekolah-sekolah berbasis agama khususnya agama Islam baik yang berada di bawah koordinasi dinas pendidikan dan kementerian agama, biasanya mengajarkan bahasa asing yaitu bahasa Arab, dan bukan bahasa daerah. Hal itu menjadi perhatian peneliti untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu di sekolah-sekolah tersebut. Melalui penelitian ini, akan tergambar seberapa sering bahasa daerah digunakan oleh penuturnya di lingkungan sekolah. Dengan demikian, hasil penelitian akan mendeskripsikan pemertahanan bahasa daerah di sekolah-sekolah. Penelitian ini difokuskan pada sekolah-sekolah berbasis agama (RA, MI, Mts, dan MA), dengan asumsi bahwa sekolah-sekolah tersebut dianggap hanya mengajarkan bahasa Indonesia dan asing (Arab). Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian pemertahanan bahasa daerah oleh penuturnya di sekolah-sekolah berbasis agama, khususnya Kabupaten Pandeglang.

Tujuan penelitain ini adalah mengungkap dan mendeskripsikan penggunaan dan pemertahanan bahasa daerah di lingkungan sekolah berbasis agama. Objek penelitian adalah para siswa sekolah tingkat dasar, menengah pertama, dan menengah atas di lembaga pendidikan berbasis agama Kabupeten Pandeglang.

Penelitian tentang pemertahanan bahasa daerah sebelumnya sudah pernah dilakukan. Arbai’l (2015) melakukan penelitian berjudul Pemertahanan Bahasa Daerah oleh Mahasiswa Asal Sulawesi Tenggara di Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan oleh mahasiswa asal Sulawesi Tenggara di Yogyakarta dalam situasi formal, pemertahanannya sama sekali tidak ada. Hal tersebut berbeda dengan pemakaian bahasa dalam situasi tidak formal. Dalam pemakaian bahasa situasi tidak formal, tingkat pemertahanannya mencapai 60%. Secara keseluruhan, tingkat pemertahanan bahasa daerah oleh mahasiswa asal Sulawesi Tenggara di Yogyakarta dianggap kurang.

Selain itu, penelitian lain yang peneliti ketahui adalah Multamia RMT Lauder (2018) Kebijakan dan Strategi Pelestarian Bahasa Daerah Berdasarkan UU Pemajuan Kebudayaan dan RUU Bahasa Daerah, Rahmawati (2018) Peran Tradisi Lisan Katoba dalam Pemertahanan Bahasa Daerah Muna, dan Yeyen Maryani (2015) Pemertahanan Bahasa Daerah dalam Perspektif Pembinaan Bahasa di Indonesia dalam makalah yang dipaparkan pada Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku di Ambon.

Herawati (2010) melakukan penelitian berjudul Pemertahanan Bahasa Daerah

Page 5: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1092020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

sebagai Identitas Lokal Masyarakat Konjo di Kabupaten Sinjai, Toni Heryadi dan Saluri (2010) Pemertahanan Bahasa Ibu Melalui Pembelajaran Sains di SD: Analisis Terhadap Pembelajaran dengan Metode Dwibahasa Antara Bahasa Ibu dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris dalam makalah yang dipaparkan pada Seminar Internasional Pemertahanan Identitas Masyarakat Multikultural di Era Global, dan Yani Paryono (2014) Strategi Memperkukuh Bingkai Bahasa Negara Melalui Pelestarian Bahasa Daerah dalam makalah yang dipaparkan pada Seminar Bahasa dan Lokakarya Lembaga Adat di Jakarta.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiolinguistik sebagai kajiannya. Metode deskriptif kualitatif merupakan sebuah jenis penelitian yang memanfaatkan data kualitatif dan dijabarkan secara deskriptif (Sendari, 2019). Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket/kuesioner. Angket/kuesioner berisi tentang daftar pertanyaan terkait pemertahanan bahasa daerah di lingkungan sekolah berbasis agama informan. Angket dibagikan oleh peneliti dan pengisian angket/kuesioner dilakukan informan didampingi oleh peneliti.

Setelah terkumpul data berupa hasil angket/kuesioner, peneliti mengklasifikasikan data ke dalam bentuk tabel untuk selanjutnya diolah. Setelah dilakukan pengolahan, data yang berupa angket/kuesioner dianalisis untuk menemukan gambaran penggunaan bahasa daerah dan pemertahanan bahasa daerah di sekolah berbasis agama. Kemudian peneliti mendeskripsikan hasil pengolahan data tersebut dan membuat simpulan berdasarkan data di lapangan.

2. KAJIAN TEORI

Terkait masalah bahasa sebagai penyimpan tata nilai budaya dan pembentuk jati diri, UNESCO mendukung riset mengenai proses pewarisan bahasa ibu di seluruh dunia yang dilakukan oleh Barrena dkk. Hasil riset Barrena mendeskripsikan bahwa hanya sekitar 30% kegiatan trasmisi bahasa ibu dari generasi orang tua ke generasi anak yang berjalan dengan lancar, sedangkan 70% lainnya terkendala. Kendala yang dihadapi antara lain sikap bahasa yang negatif, perkawinan tidak seetnis, minimnya jumlah penutur, tidak adanya perhatian pemerintah, tekanan dari pihak sekolah, emigrasi, penjajahan, diskriminasi kultural termasuk asimilasi oleh kelompok budaya yang dominan, peperangan, dan penyakit (Lauder, 2018: 91).

Bertolak pada fenomena sosial yang multietnik, kebijaksanaan pemerintah harus bersikap objektif dengan menetapkan multilingual untuk muatan lokal sesuai dengan dominasi etnik terhadap wilayah tertentu. Secara objektif, kebijakan bilingual (pengguanaan bahasa Indonesia dan daerah) di pendidikan dasar untuk mempromosikan bahasa ibu dalam upaya pembentukan identitas dengan menjaga nilai dan budaya tradisi, sekaligus menanamkan pentingnya memahami dan

Page 6: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

110 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

menghargai bahasa secara pantas dan tradisi budaya melalui pendidikan. Penggunaan dan perencanaan bahasa sebagai muatan lokal seharusnya ditekankan pada nilai kompetensi bahasa ibu sebagai “penjaga” terhadap terjadinya dekulturisasi karena pengaruh budaya nasional dan global (Wahyuni dalam Budiyono, 2010: 371).

Berdasarkan amanat UUD 1945 pasal 32 ayat 1 dan UU Nomor 24 tahun 2009, permasalahan yang terjadi antara bahasa Indonesia, daerah, dan asing dapat ditengahi oleh sistem pembelajaran muatan lokal daerah di setiap jenjang sekolah. Hasil penelitian Djamudi (2018: 156-160) mengungkapkan tantangan pembelajaran muatan lokal bahasa daerah adalah (1) harus disesuaikan dengan wilayah dan etnisnya; (2) peran pemerintah pusat dan daerah dalam penataan muatan lokal; (3) ketersediaan dan kesiapan sumber daya manusia sebagai pengajar bahasa daerah bersangkutan.

Adapun peluang pembelajaran muatan lokal bahasa daerah adalah (1) perlindungan dan pelestariaan bahasa daerah; (2) perlakuan adil terhadap pemertahanan bahasa daerah yang ada; (3) menumbuhkan kebanggaan bagi penutur dari generasi muda; (4) alat ungkap budaya setempat yang dapat dituturkan sejak dini. Hal tersebut harus memperhatikan beberapa fungsi bahasa daerah sebagai (a) lambang kebanggaan daerah; (b) lambang identitas daerah; (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Selain itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (a) pendukung bahasa nasional; (b) bahasa pengantar di sekolah; dan (c) alat pengembangan serta pendukung kebuadayaan daerah (Mahsun, 2011: 40).

Bidang ilmu bahasa yang mengkaji mengenai hubungan bahasa dan masyarakat, yaitu sosiolinguistik. Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara bahasa dan masyarakat, khususnya masyarakat penutur bahasa tertentu. Dengan kata lain, sosiolinguistik mempertimbangkan keterkaitan antara dua hal, yaitu linguistik untuk segi kebahasaannya dan sosiologi untuk segi kemasyarakatannya (Rahardi, 2010: 16). Para ahli bahasa mengatakan bahwa sosiolingistik bermula dari adanya asumsi akan keterkaitan bahasa dengan faktor-faktor kemasyarakatan sebagai dampak dari keadaan komunitasnya yang tidak homogen (Wardaugh dalam Wijana, 2013: 8).

Longman Dictionary of Applied Linguistics 1985 (dalam Maryani, 2015: 24) menyebutkan bahwa pengertian pemertahanan bahasa adalah tingkatan seseorang atau sekelompok orang secara terus menerus menggunakan bahasanya. Pemertahanan bahasa biasanya terjadi di dalam masyarakat yang dwibahasa atau multibahasa atau masyarakat imigran. Ada beberapa ciri sebuah bahasa bertahan atau tidak, yaitu (a) dipakai atau tidaknya bahasa itu sebagai bahasa resmi, (b) dipakai atau tidaknya bahasa itu dalam media tertentu, untuk tujuan tertentu, dan (c) berapa jumlah penutur yang menggunakan bahasa tersebut dalam wilayah yang sama.

Page 7: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1112020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

Pemertahanan bahasa sering didefinisikan sebagai upaya yang disengaja untuk mempertahankan penggunaan bahasa tertentu di tengah “ancaman” bahasa yang lain. Upaya pemertahanan bahasa penting untuk dilakukan, karena kehilangan bahasa dapat bererti kehilangan kekayaan budaya. Menurut Crystal (dalam Herawati, 2010: 117—118), pemertahanan bahasa dapat mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, menjaga adaptabilitas sosial, dan meningkatkan kepekaan linguistis serta secara psikologis dapat menambah rasa aman bagi anak. Pemertahanan bahasa merupakan ciri khas masyarakat dwibahasa atau multibahasa yang dapat terjadi pada masyarakat yang diglosik, yaitu masyarakat yang mempertahankan penggunaan beberapa bahasa untuk fungsi yang berbeda pada ranah yang berbeda pula. Pemertahanan bahasa banyak ditentukan oleh kerentanan masyarakat terhadap proses industrialisasi, urbanisasi, politik bahasa nasional, dan tingkat mobilitas anggota masyarakat bahasa itu.

Menurut Chaer (dalam Herawati, 2010: 118), pemertahanan bahasa erat kaitannya dengan bilingualisme atau multilingualisme. Berdasarkan kajian sosialinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Agar dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas atau kedwibahasawanan.

UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Dalam penjelasan ayat tersebut, pengajaran bahasa daerah pada jenjang pendidikan dasar di suatu daerah disesuaikan dengan intensitas penggunaannnya dalam wilayah yang bersangkutan (Frans: 2018: 200).

Faktor yang melatarbelakangi minimnya penggunaan bahasa daerah adalah (1) faktor keluarga yang cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi; (2) faktor lingkungan tempat penutur tinggal; (3) faktor pembelajaran di sekolah. Menjaga eksistensi bahasa daerah tidaklah mudah, pemertahanan dan revitalisasi akan tercapai jika semua pihak saling mendukung, baik pihak keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Proses pemertahanan dan perluasan penggunaan bahasa daerah dapat diartikan sebagai salah satu upaya revitalisasi bahasa daerah. Hal itu membutuhkan peran serta masyarakat terutama generasi muda, pemilik bahasa untuk sama-sama melindungi bahasa daerah setempat. Keterlibatan masyarakat sebagai pemilik bahasa bukan sekadar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas saja,

Page 8: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

112 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

tetapi masyarakat itu sendiri sebagai faktor intern pemberdayaan yang mengarah pada kekuatan dasar masyarakat mandiri dan kreatif. Selain masyarakat, peran pemangku kepentingan untuk memberikan perhatian dan kontribusi dalam melindungi bahasa daerah juga sangat dibutuhkan (Ismadi, 2018: 188-191).

Strategi memperkukuh bingkai bahasa negara dalam rangka pelestarian bahasa daerah dapat melalui pembuatan kebijakan pemerintah daerah setempat; kegiatan pembinaan bahasa daerah yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat umum; serta pengembangan bahasa daerah dengan cara penelitian, penyusunan, dan penerbitan bahan bacaan berbahasa daerah (Paryono, 2014: 234-238).

Upaya pengembangan dalam rangka pemertahanan bahasa adalah penyusunan kamus bahasa daerah dan pengayaan kosakata kamus bahasa Indonesia. Upaya pembinaan yang dapat dilakukan sebagai usaha pemertahanan bahasa daerah adalah (1) pewarisan bahasa daerah di lingkungan keluarga; (2) pengajaran bahasa daerah; (3) penciptaan iklim “cinta bahasa daerah”; (4) pemanfaatan bahasa daerah dalam media massa; (5) pemasyarakatan bahasa daerah; dan (6) pembuatan regulasi tentang bahasa daerah (Maryani, 2015).

3. PEMBAHASAN Sampel lima puluh responden berasal dari sebelas sekolah berbasis agama yang ada di Kabupaten Pandeglang yaitu SMPIT Irsyadul Ibad, Pondok Pesantren Al-Hijrah, MTS At-taubah, MAN 2 Pandeglang, Pondok Pesantren Kobong AlMubtadin, Pondok Pesantren Kobong Ustanuril Qur’an, MTsN l Pandeglang 1, MI Arruhama, MAN 1 Pandeglang, MDA Cihideung Batubantar; dan RA AlMusthafa Cimanuk. Responden merupakan siswa atau guru yang berasal, bertempat tinggal, dan terlahir dari orang tua asli Pandeglang, Banten. Kesebelas lembaga pendidikan tersebut mewakili jenjang dasar, menengah, dan atas.

3.1 Identitas Responden Responden penelitian pemertahanan bahasa ibu di sekolah berbasis agama

Kabupaten Pandeglang berjumlah 50 orang. Jumlah lima puluh orang itu terdiri atas 18 laki-laki dan 32 perempuan. Sebagian besar (48 orang) responden merupakan pelajar dari sekolah tingkat dasar, sekolah menengah tingkat pertama, dan sekolah menengah tingkat atas yang berbasis agama. Dua responden merupakan guru sekolah taman kanak-kanak yang berbasis agama juga.

Tim peneliti memetakan karakteristik responden berdasarkan pada tujuh informasi yang dibutuhkan yaitu jenis kelamin, kelompok usia, suku bangsa ayah, suku bangsa ibu, lama tinggal, pekerjaan, dan bahasa ibu. Informasi pertama berdasarkan jenis kelamin. Dari 50 responden, 32 berjenis kelamin perempuan (64%) sementara sisanya 18 (36%) berjenis kelamin laki-laki.

Page 9: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1132020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

Informasi kedua berdasarkan rentang usia. Tim peneliti membagi rentangan usia para responden dalam empat kelompok usia yaitu usia 9 sampai dengan 12 tahun, usia 13 sampai dengan 15 tahun, usia 16 sampai dengan 18 tahun, serta rentang usia 20 tahun ke atas. Dari 50 responden sebagian besar berusia antara 13 sampai dengan 15 tahun, yaitu sebanyak 27 orang (54%). Sebanyak 6 orang (12%) berusia 9 sampai dengan 12 tahun. Usia 16 sampai 18 tahun sebanyak 15 orang (30%) dan usia di atas 20 tahun sebanyak 2 orang (4%).

Dari informasi suku bangsa, tim peneliti mengelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu suku bangsa ayah dan suku bangsa ibu. Dari kelompok suku bangsa ayah, 43 responden (86%) berasal dari suku Sunda. Sebanyak 5 responden (10%) berasal dari suku Jawa. Hanya 2 responden (4%) yang tidak menjawab suku bangsa ayahnya, sedangkan kriteria yang berdasarkan pada suku bangsa ibu menunjukkan bahwa 40 responden (80%) berasal dari suku Sunda. Sebanyak 4 responden (8%) berasal dari suku Jawa dan 2 responden (4%) berasal dari suku Lampung. Hanya 4 responden (8%) yang tidak menjawab asal suku bangsa ibunya.

Informasi selanjutnya adalah berdasarkan lama tinggal di Kabupaten Pandeglang. Tim peneliti mengelompokkan rentang lama tinggal menjadi empat kelompok, yaitu sejak lahir, kurang dari lima tahun, lebih dari 5 sampai dengan 10 tahun, lebih dari 10 sampai dengan 20 tahun. Mayoritas responden tinggal di Kabupaten Pandeglang sejak lahir, yaitu sebanyak 37 orang (74%), 7 responden (14%) tinggal antara 5 sampai dengan 10 tahun, 4 responden (8%) tinggal antara 10 sampai dengan 20 tahun, dan hanya 2 responden (4%) yang tinggal kurang dari 5 tahun.

Pada informasi pekerjaan, sebanyak 48 responden (96%) menjawab pekerjaan mereka adalah pelajar. Hal itu sesuai dengan sasaran penelitian ini adalah para siswa/pelajar sekolah-sekolah berbasis agama dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah tingkat pertama, dan sekolah menengah tingkat atas. Hanya 2 responden (4%) yang merupakan guru RA atau setingkat dengan taman kanak-kanak.

Informasi terakhir yang diajukan oleh tim peneliti adalah bahasa ibu yang dikuasai responden sejak lahir. Secara umum, bahasa ibu didefinisikan sebagai bahasa pertama yang diperoleh oleh anak ketika ia berbicara. Mayoritas responden menjawab jika bahasa ibunya adalah bahasa Sunda, yaitu 33 responden (66%), 16 responden (32%) menjawab bahasa Indonesia, dan hanya satu responden (2%) yang menjawab bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya.

3.2 Penggunaan Bahasa Daerah di Sekolah Berbasis AgamaBagian kuisoner selanjutnya adalah penggunaan bahasa daerah di sekolah

berbasis agama Kabupaten Pandeglang. Pada butir pernyataan pertama tim peneliti menyodorkan pernyataan kepada responden tentang penggunaan bahasa daerah oleh bapak/ ibu guru sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Respon responden terhadap

Page 10: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

114 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

pernyataan tersebut kurang positif. Dari 50 responden, 32 responden (64%) memilih tidak sepakat dengan pernyataan jika bapak/ibu guru menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Hanya 18 responden (36%) memilih sepakat dengan pernyataan tersebut.

Butir pernyataan kedua, tim mengajukan pernyataan bapak/ ibu guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Sebagian besar responden sepakat dengan pernyataan tersebut, yaitu 47 responden (94%), sedangkan 3 responden (6%) tidak sepakat. Dari kedua pernyataan tersebut terlihat persentase penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran lebih besar dibandingkan dengan bahasa daerah. Bahasa daerah tetap digunakan, akan tetapi persentasenya sangat kecil. Butir pernyataan ketiga adalah waktu penggunaan bahasa daerah dalam percakapan sebelum pembelajaran. Respon dari pernyataan tersebut adalah 32 responden (64%) tidak sepakat dengan pernyataan tersebut, sedangkan 18 responden (36%) sepakat dengan pernyataan tersebut.

Butir pernyataan keempat menyodorkan tentang penggunaan bahasa Indonesia oleh bapak/ ibu guru dalam percakapan sebelum pembelajaran. Sebanyak 43 responden (86%) sepakat dan 7 responden (14%) menyatakan tidak sepakat. Dari pernyataan tersebut masih tergambar jika presentase penggunaan bahasa Indonesia lebih besar dibandingkan dengan bahasa daerah.

Mulai butir pernyataan kelima fokus pernyataan beralih dari guru kepada responden. Jika pada butir pernyataan pertama sampai dengan keempat tim peneliti menanyakan pendapat responden tentang penggunaan bahasa yang digunakan gurunya, pada butir pernyataan keenam sampai dengan pernyataan kedua belas tim peneliti menanyakan penggunaan bahasa pada responden sendiri. Pada butir pernyataan kelima, tim mengajukan pernyataan penggunaan bahasa daerah pada saat bertanya kepada guru. Mayoritas responden tidak sepakat dengan pernyataan tersebut yaitu 45 responden (90%), sedangkan 5 responden (10%) sepakat dengan pernyataan tersebut.

Butir pernyataan keenam, respoden disodorkan dengan pernyataan penggunaan bahasa Indonesia saat bertanya kepada guru. Sebagian besar responden (94%) sepakat dengan pernyataan tersebut, yaitu menggunakan bahasa Indonesia ketika bertanya kepada guru, hanya 3 responden (6%) memilih tidak menggunakan bahasa Indonesia saat bertanya kepada guru. Berdasarkan pernyataan tersebut diperoleh gambaran jika responden lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia pada saat bertanya kepada guru. Hanya sedikit responden yang menggunakan bahasa daerah saat bertanya kepada gurunya. Pada butir pernyataan ketujuh, tim menyodorkan pernyataan tentang penggunaan bahasa daerah pada saat responden berdiskusi dengan teman. Sebanyak 28 responden (56%) responden memilih menggunakan bahasa daerah pada

Page 11: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1152020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

saat berdiskusi dan sisanya yakni 22 responden (44%) memilih tidak menggunakan bahasa daerah.

Butir pernyataan kedelapan masih berhubungan dengan pernyataan ketujuh, yaitu penggunaan bahasa Indonesia pada saat responden berdiskusi dengan temannya. Sebanyak 35 responden (70%) memilih menggunakan bahasa Indonesia saat berdiskusi, sedangkan 15 responden (30%) memilih tidak menggunakan bahasa Indonesia pada saat berdiskusi. Dari dua pernyataan tersebut terlihat bahwa penggunaan bahasa Indonesia pada saat berdiskusi dengan teman masih tinggi. Akan tetapi, penggunaan bahasa daerah pada saat berdiskusi dengan teman lebih besar dibandingkan dengan penggunaan bahasa daerah pada saat responden bertanya kepada guru, sebagai bahasa pengantar pembelajaran, dan bahasa yang digunakan pada saat bercakap-cakap sebelum pembelajaran.

Pada butir pernyataan kesembilan, tim mengalihkan situasi penggunaan bahasa. Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya masih dalam situasi di kelas atau pembelajaran, mulai pernyataan kesembilan tim mengalihkan situasi ke luar kelas. Pernyataan tersebut yaitu penggunaan bahasa daerah untuk menyapa guru ketika bertemu di lingkungan sekolah. Mayoritas responden (86%) tidak sepakat dan hanya 7 responden (14%) yang sepakat dengan pernyataan penggunaan bahasa daerah pada saat bertemu guru di lingkungan sekolah.

Butir pernyataan kesepuluh, tim mengajukan tentang penggunaan bahasa Indonesia untuk menyapa guru pada saat bertemu di lingkungan sekolah. Hampir semua responden memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk menyapa guru di lingkungan sekolah, yaitu sebanyak 49 responden (98%). Hanya 1 responden (2%) memilih tidak menggunakan bahasa Indonesia. Pada kedua pernyataan tersebut tergambar jika penggunaan bahasa Indonesia lebih besar dibandingkan dengan bahasa daerah. Bahkan pada butir pernyataan kesepuluh terlihat jika penggunaan bahasa Indonesia untuk menyapa guru saat bertemu (98%) lebih besar dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia pada saat bertanya kepada guru (94%).

Butir pernyataan kesebelas tentang penggunaan bahasa daerah saat responden bermain dengan teman. Sebanyak 27 responden (54%) memilih sepakat dengan pernyataan tersebut, sedangkan sisanya atau 23 responden (46%) memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah saat bermain dengan teman. Pada butir pernyataan kedua belas, tim mengganti pernyataan bahasa daerah dengan bahasa Indonesia pada saat bermain dengan teman. Responden lebih memilih sepakat jika pada saat bermain dengan teman menggunakan bahasa Indonesia, yaitu sebanyak 36 responden (72%), sisanya yaitu 14 responden (28%) tidak sepakat dengan pernyataan tersebut. Dari pernyataan tersebut diperoleh gambaran jika penggunaan bahasa daerah pada waktu responden bermain dengan teman lebih besar dibandingkan dengan penggunaan

Page 12: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

116 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

bahasa daerah pada saat responden bertanya ataupun menyapa guru. Hal tersebut disebabkan karena responden lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia pada saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua (guru) untuk menghindari kesalahan penggunaan tingkatan dalam bahasa daerah. Namun, berkomunikasi dengan teman sebayanya mereka masih menggunakan bahasa daerah.

Butir pernyataan ketiga belas menyatakan bahwa responden diajarkan bahasa daerah di sekolahnya. Sebagian besar responden memilih tidak sepakat dengan pernyataan tersebut, yaitu sebesar 37 responden (74%). Sisanya 13 responden (26%) memilih tidak sepakat jika bahasa daerah diajarkan di sekolahnya. Hal tersebut wajar, karena berdasarkan pernyataan dari beberapa responden menyatakan jika mulai sekolah menengah tingkat atas sudah tidak diajarkan bahasa daerah di sekolahnya. Bahkan ada sekolah tingkat menengah pertama yang sudah tidak mengajarkan bahasa daerah. Akan tetapi, masih ada beberapa sekolah tingkat menengah pertama yang mengajarkan bahasa daerah.

Pada butir pernyataan keempat belas menyatakan bahwa ada buku pelajaran bahasa daerah di sekolahnya. Mayoritas responden memilih tidak sepakat dengan pernyataan tersebut, yaitu 42 responden (84%), sedangkan 8 responden (16%) memilih untuk sepakat jika di sekolahnya masih ada buku pelajaran bahasa daerah. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan ketiga belas, yang menyatakan bahwa di sekolah sebagian besar responden sudah tidak diajarkan bahasa daerah sehingga buku-buku pelajaran bahasa daerah pun jarang ditemukan atau bahkan tidak ditemukan lagi.

Butir pernyataan kelima belas hampir sama dengan pernyataan keempat belas yang menyatakan bahwa responden dapat menemukan dengan mudah buku/bacaan berbahasa daerah di perpustakaan sekolah. Pilihan sebagian besar responden menyatakan jika mereka tidak sepakat jika di sekolahnya dapat dengan mudah ditemukan buku/bacaan berbahasa daerah. Sebanyak 43 responden (86%) sepakat, sisanya yaitu 7 responden (14%) memilih untuk sepakat dengan pernyataan tersebut. Pada butir pernyataan keenam belas hampir sama dengan pernyataan kelima belas. Bunyi butir pernyataan keenam belas menyatakan jika ada buku/bacaan berbahasa daerah di perpustakaan sekolah responden. Pilihan dari sebagian responden menyatakan jika mereka tidak sepakat jika di sekolahnya ada buku/bacaan berbahasa daerah, yaitu sebanyak 40 responden (80%). Sisanya 10 responden (20%) memilih untuk tidak sepakat dengan pernyataan tersebut.

Butir pernyataan ketujuh belas menyatakan bahwa ada kebijakan sekolah yang menganjurkan bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Pernyataan ini mengajak responden untuk mengingat dan berpikir adakah kebijakan sekolah yang mendukung penggunaan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, misalnya anjuran penggunaan bahasa daerah untuk berkomunikasi di salah satu hari tiap pekannya. Pilihan sebagian

Page 13: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1172020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

responden menyatakan jika di sekolah mereka tidak ada kebijakan tersebut, yaitu sebanyak 41 responden (82%). Hanya 9 responden (18%) menyatakan jika di sekolah mereka ada kebijakan yang menganjurkan penggunaan bahasa daerah sebagai alat komunikasi.

Butir pernyataan kedelapan belas, tim peneliti menanyakan kemampuan responden menguasai bahasa daerah. Dari 50 responden yang menguasai bahasa daerah dengan baiksebanyak 33 responden (66%). Sisanya 17 responden tidak menguasai bahasa daerah dengan baik. Butir pernyataan kesembilan belas menyatakan bahwa orang tua responden mengajarkan bahasa daerah. Sebanyak 35 responden (70%) menyatakan sependapat jika orang tua mereka mengajarkan bahasa daerah. Sisanya 15 responden (30%) menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Hal tersebut wajar karena beberapa orang tua memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi di rumah. Sehingga sebagian responden tidak diajarkan bahasa daerah oleh orang tuanya. Mereka mendapatkan pelajaran bahasa daerah dari sekolah dasar dan pergaulan dengan teman-teman di lingkungan rumah.

Pernyataan kedua puluh, tim menanyakan lebih jauh tentang kebiasaan orang tua di rumah dalam penggunaan bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Sebagain besar responden memilih sepakat jika orang tua mereka menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi, yaitu sebanyak 34 responden (68%). Sisanya 16 responden (32%) menyatakan tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Butir pernyataan kedua puluh satu, tim menanyakan tentang kebiasaan responden dalam penggunaan bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Sebanyak 32 responden (64%) memilih untuk sepakat dengan pernyataan tersebut. sisanya 18 responden (36%) menyatakan tidak sepakat jika mereka berkomunikasi dengan teman menggunakan bahasa daerah.

Butir pernyataan kedua puluh dua hampir sama dengan pernyataan kedua puluh tentang kebiasaan orang tua dalam menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi. Akan tetapi, pada butir pernyataan kedua puluh dua responden diminta untuk mengamati kebiasaan penggunaan bahasa daerah di lingkungan rumahnya. Pernyataan tentang penggunaan bahasa daerah oleh orang tua saat berkomunikasi kepada anak di lungkungan rumah. Sebanyak 34 responden (68%) memilih jika di lingkungan rumahnya, orang tua menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan anaknya. Sisanya 16 responden (32%) memilih tidak sepakat dengan pernyataan tersebut.

Butir pernyataan kedua puluh tiga, tim menyodorkan pernyataan tentang keberadaan tulisan/bacaan berbahasa daerah di lingkungan rumah responden. Sebanyak 33 responden (66%) memilih untuk tidak sepakat dengan pernyataan tersebut. Sisanya 17 responden (34%) memilih sepakat dengan pernyataan jika dapat menemukan tulisan/bacaan berbahasa daerah di lingkungan rumahnya.

Page 14: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

118 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

Pada butir pernyataan kedua puluh empat sampai dengan pernyataan terakhir (dua puluh sembilan) responden diajak memberikan pendapatnya mengenai pernyataan-pernyataan yang disodorkan. Seperti butir pernyataan kedua puluh empat tentang kebanggan responden menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Sebagian besar responden sepakat dengan pernyataan tersebut, yaitu sebanyak 44 responden (88%). Hanya 6 responden (12%) yang tidak bangga menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi.

Butir pernyataan kedua puluh lima memuat pernyatan tentang bahasa daerah merupakan salah satu budaya yang perlu dilestarikan. Sebanyak 43 responden (86%) memilih sepakat dengan pernyataan tersebut. Hanya 7 responden (14%) memilih tidak sepakat dengan pernyataan jika bahasa daerah merupakan salah satu budaya yang perlu dilestarikan. Butir pernyataan kedua puluh enam sampai pernyataan kedua puluh sembilan merupakan penegasan dari pernyataan-pernyataan sebelumnya. Responden diajak lebih tegas menentukan pilihan dari pernyataan yang disodorkan. Pernyataan kedua puluh enam memuat peluang bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Sebanyak 36 responden (72%) dari 50 responden menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut. Sisanya 14 responden (28%) menyatakan tidak setuju jika bahasa daerah dijadikan bahasa pengantar pembelajaran.

Pada butir pernyataan kedua puluh tujuh, tim menyodorkan pernyataan lebih jauh dibandingkan pernyataan kedua puluh enam. Jika pernyataan kedua puluh enam hanya menanyakan jika bahasa daerah dijadikan bahasa pengantar, pada pernyataan kedua puluh tujuh tim langsung menanyakan pendapat responden jika bahasa daerah diajarkan di sekolah. Bunyi pernyataan kedua puluh tujuh adalah ‘Saya setuju jika bahasa daerah diajarkan di sekolah’. Sebanyak 29 responden (58%) setuju dengan pernyataan tersebut. Sisanya 21 responden (42%) tidak setuju jika bahasa daerah diajarkan di sekolah. Butir pernyataan kedua puluh delapan menyatakan ‘Saya setuju jika bahasa daerah digunakan saat berkomunikasi di luar pembelajaran’. Jika pada pernyataan sebelumnya sebagian besar responden tidak setuju bahasa daerah diajarkan di sekolah, responden lebih setuju jika bahasa daerah digunakan sebagai alat komunikasi di luar pembelajaran. Jumlah responden yang setuju jika bahasa daerah dijadikan alat komunikasi di luar pembelajaran sebanyak 39 responden (78%), sedangkan 11 responden (22%) tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

Pada butir pernyataan terakhir responden diajak berpikir mengenai pendapat mereka tentang masyarakat pemilik bahasa daerah. Bunyi pernyataan kedua puluh sembilan adalah ‘Saya setuju jika masyarakat pemilik bahasa daerah harus menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi’. Pernyataan ini menegaskan bahwa masyarakat pemilik bahasa daerah harus memiliki rasa bangga terhadap bahasa daerah yang dimiliki. Salah satunya dengan tetap menggunakan bahasa daerah

Page 15: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1192020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

tersebut sebagai alat komunikasi sehari-hari. Dengan demikian, bahasa daerah akan tetap terjaga keberadaannya. Jawaban respoden pada butir pernyataan kedua puluh sembilan menunjukkan sebanyak 33 responden (66%) setuju jika masyarakat pemilik bahasa daerah harus menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, sisanya yaitu 17 responden (34%) menyatakan tidak setuju dengan pendapat tersebut.

Berdasarkan pernyatan-pernyataan tersebut diperoleh gambaran tentang penggunaan bahasa daerah di sekolah berbasis agama Kabupaten Pandeglang. Penggunaan bahasa daerah di lembaga pendidikan berbasis agama Kabupaten Pandeglang masih dapat ditemukan, persentase penggunaan bahasa daerah lebih besar daripada penggunaan bahasa Indonesia. Responden lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia pada saat berkomunikasi dengan guru di sekolah. Responden lebih seimbang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah saat berdiskusi atau bermain dengan teman sebaya. Hal tersebut wajar, karena sebagian besar responden hanya menguasai bahasa daerah ‘tingkat rendah’. Sehingga mereka ragu, takut salah, dan merasa tidak sopan menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau guru.

3.3 Intensitas Penggunaan Bahasa Daerah Intensitas penggunaan bahasa daerah di sekolah berbasis agama juga diajukan

oleh tim kepada responden. Intensitas penggunaan bahasa daerah dalam bahasan ini adalah seberapa sering pengguna menggunakan bahasa daerah di lingkungan sekolah. Di samping itu, peneliti juga menanyakan keberadaan tulisan/bacaan berbahasa daerah di lingkungan sekolah. Data pendukung lainnya diperoleh dari penggunaan bahasa daerah di lingkungan rumah responden.

Butir pertama, tim menanyakan seberapa sering bapak/ibu guru responden menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Sebanyak 28 responden (56%) menjawab bapak/ibu guru kadang-kadang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran, sedangkan 16 responden (16%) menjawab bapak/ibu guru tidak pernah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Hanya 6 responden (6%) yang menjawab bapak/ibu guru sering menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran.

Pada butir pertanyaan kedua, tim membandingkan penggunaan bahasa daerah dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Bunyi pernyataan kedua adalah bapak/ibu guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Jawaban responden yang memilih sering menggunakan bahasa Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan yang menggunakan bahasa daerah, yaitu sebanyak 39 responden (78%). Sisanya memilih kadang-kadang sebanyak 10 responden (20%). Hanya 1 responden (2%) yang memilih bapak/ibu guru

Page 16: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

120 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Butir pernyataan ketiga menyatakan bapak/ibu guru menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sebelum pembelajaran. Jawaban dari 50 responden menunjukkan bahwa 25 responden (50%) menyatakan bapak/ibu guru tidak pernah menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sebelum pembelajaran. Sebanyak 19 responden (38%) menyatakan bapak/ibu guru kadang-kadang menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sebelum pembelajaran. Hanya 6 responden (12%) yang menyatakan bapak/ibu guru sering menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sebelum pembelajaran. Butir pernyataan keempat hampir sama dengan pernyataan kedua, yang membandingkan penggunaan bahasa daerah dengan bahasa Indonesia, hanya waktu penggunaannya yang berbeda. Bunyi butir pernyataan keempat adalah bapak/ibu guru menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sebelum pembelajaran. Lebih dari setengah responden memilih bapak/ibu guru sering menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sebelum pembelajaran, yaitu sebanyak 42 responden (84%). Hanya 7 responden (14%) yang memilih kadang-kadang dan 1 responden (2%) memilih bapak/ibu guru tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sebelum pembelajaran.

Butir pernyataan kelima menyatakan penggunaan bahasa daerah saat bertanya kepada guru. Sebagian besar responden yaitu 27 responden (54%) menyatakan jika responden kadang-kadang menggunakan bahasa daerah saat bertanya kepada guru. Sebanyak 15 responden (30%) menyatakan tidak pernah dan hanya 8 responden (16%) yang menyatakan sering menggunakan bahasa daerah saat bertanya kepada guru.

Butir keenam menyatakan penggunaan bahasa Indonesia saat bertanya kepada guru. Mayoritas responden memilih sering menggunakan bahasa Indonesia saat bertanya kepada guru, yaitu sebanyak 45 responden (90%). Bahkan pilihan tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia tidak ada (0) responden yang memilih (0%). Hanya 5 responden (10%) memilih kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia saat bertanya kepada guru. Pada butir pernyataan ketujuh, tim menanyakan tentang penggunaan bahasa daerah pada saat responden berdiskusi dengan teman. Setengah dari jumlah responden memilih kadang-kadang menggunakan bahasa daerah saat berdiskusi dengan teman, yaitu sebanyak 25 responden (50%). Pilihan jawaban sering menggunakan bahasa daerah saat berdiskusi dengan teman dipilih oleh responden sebanyak 15 orang (30%). Sisanya 10 responden (20%) memilih jawaban tidak pernah menggunakan bahasa daerah saat berdiskusi dengan teman.

Butir pernyataan kedelapan mengenai penggunaan bahasa Indonesia saat berdiskusi dengan teman. Mayoritas responden memilih sering menggunakan bahasa Indonesia saat berdiskusi dengan teman, yaitu sebanyak 31 responden (62%). Sebanyak 18 responden (36%) memilih kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia saat

Page 17: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1212020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

berdiskusi dengan teman. Hanya 1 responden (2%) memilih jawaban tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia saat berdiskusi dengan teman. Butir pernyataan kesembilan, tentang penggunaan bahasa daerah saat menyapa guru di sekolah. Bunyi pernyataan tersebut adalah saya berbahasa daerah untuk menyapa guru saat bertemu di lingkungan sekolah. Sebagian besar responden tidak pernah menggunakan bahasa daerah untuk menyapa guru, yaitu sebanyak 28 responden (56%). Sebanyak 17 responden (34%) kadang-kadang menggunakan bahasa daerah untuk menyapa guru. Hanya 5 responden (10%) sering menggunakan bahasa daerah untuk menyapa guru.

Pada butir pernyataan kesepuluh, tim menanyakan penggunaan bahasa Indonesia saat menyapa guru di lingkungan sekolah. Tim ingin melihat seberapa sering responden menggunakan bahasa Indonesia untuk menyapa guru. Sebagian besar responden sering menggunakan bahasa Indonesia untuk menyapa guru, yaitu sebanyak 43 responden (86%). Responden yang memilih kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia untuk menyapa guru sebanyak 6 orang respoden (12%). Hanya 1 responden (2%) memilih tidak pernah menggunakan bahasa daerah untuk menyapa guru. Butir pernyataan kesebelas menanyakan tentang penggunaan bahasa daerah pada saat bermain dengan teman. Sebanyak 23 responden (46%) memilih sering menggunakan bahasa daerah pada saat bermain dengan teman. Pilihan jawaban kadang-kadang menggunakan bahasa daerah saat bermain dengan teman dipilih oleh 17 responden (34%). Sisanya 10 responden (20%) memilih tidak pernah menggunakan bahasa daerah saat bermain dengan teman.

Butir pernyataan kedua belas hampir sama dengan pernyataan kesebelas. Pernyataan kedua belas menanyakan tentang penggunaan bahasa Indonesia saat bermain dengan teman. Sebanyak 32 responden (64%) memilih sering menggunakan bahasa Indonesia saat bermain dengan teman, sedangkan 16 responden (32%) memilih kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia saat bermain dengan teman. Hanya 2 responden (4%) yang memilih tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia saat bermain dengan teman. Pada butir pernyataan ketiga belas, tim menanyakan tentang pengajaran bahasa daerah di sekolah, khususnya sekolah berbasis agama sesuai dengan sasaran penelitian. Pilihan jawaban antara sering dan kadang-kadang diajarkan bahasa daerah di sekolah jumlahnya sama, yaitu dipilih oleh 22 responden (44%). Hanya 6 responden (12%) memilih tidak pernah diajarkan bahasa daerah di sekolahnya.

Butir pernyataan keempat belas menanyakan tentang keberadaan buku pelajaran berbahasa daerah di sekolah. Responden diajak untuk mengingat seberapa sering mereka menemukan buku pelajaran berbahasa daerah di sekolahnya. Responden memilih kadang-kadang menemukan buku pelajaran berbahasa daerah di sekolahnya, yaitu sebanyak 21 responden (42%). Sebanyak 23 responden (46%) memilih sering menemukan buku-buku tersebut. Hanya 6 responden (12%) yang memilih tidak

Page 18: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

122 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

pernah menemukan buku pelajaran berbahasa daerah di sekolahnya. Pada pernyataan terakhir atau kelima belas hampir sama dengan pernyataan keempat belas. Pernyataan kelima belas menanyakan tentang keberadaan tulisan/bacaan berbahasa daerah di sekolah responden, tidak hanya buku pelajaran. Sebanyak 34 responden memilih sering menemukan buku/ bacaan tersebut. Sebanyak 12 responden (24%) memilih kadang-kadang menemukan buku/bacaan berbahasa daerah di perpustkaan sekolah. Hanya 4 responden (8%) memilih tidak pernah menemukan buku/bacaan berbahasa daerah di perpustakaan sekolah.

Dari paparan di atas, tim mendapatkan gambaran intensitas penggunaan bahasa daerah di sekolah berbasis agama Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan jawaban-jawaban dari responden diketahui jika bahasa daerah kadang-kadang digunakan di sekolah sebagai alat komunikasi. Mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi baik dalam pembelajaran maupun di luar pembelajaran.

4. SIMPULAN Dari 50 orang responden, sebagian besar merupakan anak-anak usia sekolah, baik

sekolah dasar, menengah tingkat pertama, dan menengah tingkat atas yang berprofesi sebagai pelajar. Responden tersebut berjumlah 48 orang yang terdiri dari 18 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Hanya 2 orang perempuan yang usianya di atas dua puluh lima tahun ke atas. Mereka merupakan guru dari sebuah sekolah taman kanak-kanak yang berbasis agama. Suku bangsa ayah dan ibu responden sebagian besar berasal dari suku Sunda. Akan tetapi, bahasa ibu yang mereka kuasai tidak semua berbahasa Sunda. Ada sebagian kecil respoden yang menguasai bahasa ibunya bahasa Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena orang tua mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi di rumah. Sehingga bahasa ibu yang dikuasai anaknya adalah bahasa Indonesia.

Berdasarkan pada paparan pembahasan, secara umum penggunaan bahasa daerah di sekolah berbasis agama Kabupaten Pandeglang masih ditemukan, walaupun tingkat penggunaan bahasa daerah lebih rendah dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Di lingkungan sekolah, sebagian besar responden menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman dan gurunya, baik saat pembelajaran maupun bertemu di lingkungan sekolah. Pada saat pembelajaran, guru juga lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan muridnya. Di samping itu, belum adanya kebijakan dari pihak sekolah yang menganjurkan penggunaan bahasa daerah sebagai alat komunikasi di sekolah menyebabkan penggunaan bahasa daerah di lingkungan sekolah masih rendah.

Keberadaan bahasa daerah sebagai muatan lokal hanya ditemukan di beberapa sekolah. Dari jawaban responden diketahui jika muatan lokal bahasa daerah ditemukan

Page 19: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1232020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

hanya di sekolah dasar dan sebagian sekolah menengah tingkat pertama. Di sekolah menengah tingkat atas sudah tidak diajarkan bahasa daerah sebagai muatan lokal. Buku pelajaran, tulisan, atau bacaan berbahasa daerah di perpustakaan juga sulit ditemukan. Di lingkungan rumah, penggunaan bahasa daerah masih ditemukan. Pada saat berkomunikasi dengan orang tua maupun teman sebaya, responden masih menggunakan bahasa daerah. Bahkan sebagian besar responden merasa menguasai bahasa daerah mereka dengan baik.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat pemilik bahasa daerah tersebut masih ditemukan. Dapat dikatakan jika bahasa daerah di Kabupaten Pandeglang belum punah. Akan tetapi, tingkat penggunaan bahasa daerah lebih rendah dibandingkan dengan tingkat penggunaan bahasa Indonesia. Hal tersebut telihat jelas ketika berada di lingkungan sekolah, mayoritas pengguna bahasa daerah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dibandingkan dengan bahasa daerah. Mereka memilih bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan guru atau orang yang lebih tua. Bahasa daerah digunakan oleh pemilik bahasa daerah jika berkomunikasi dengan teman sebaya.

Dari segi intensitas penggunaan bahasa daerah, dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah kadang-kadang digunakan oleh masyarakat pemiliknya. Bahasa Indonesia justru lebih sering digunakan oleh masyarakat pemilik bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemertahanan bahasa daerah di sekolah berbasis agama Kabupaten Pandeglang masih rendah. Walau pun masih ditemukan penggunaan bahasa daerah, akan tetapi intensitas penggunaannya masih tertinggal daripada bahasa Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan-kebijakan dari pemerintah, terutama pemerintah daerah untuk mempertahankan bahasa daerah tersebut.

Dari simpulan di atas, tim merangkum sejumlah saran yang dapat ditindaklanjuti yaitu;

a) Pemerintah daerah hendaknya tetap melestarikan bahasa daerah dengan memasukkannya sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah, bisa sebagai muatan lokal, materi pengayaan, maupun ekstrakurikuler yang bisa dilakukan oleh para siswa usia sekolah dasar, atau menengah. Selain itu, pemerintah daerah hendaknya mengeluarkan kebijakan yang mendorong penggunaan bahasa daerah di sekolah sebagai alat komunikasi.

b) Orang tua hendaknya tetap mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya sehingga mereka dapat menguasai bahasa daerah dan menjadi ciri khas daerahnya. Selain itu, orang tua hendaknya membiasakan anak untuk berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Hal tersebut akan mendukung generasi muda memiliki rasa bangga akan bahasa daerahnya. Sehingga mereka percaya diri dan bangga menggunakan

Page 20: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

124 2020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Pemertahanan Bahasa ...

bahasa daerah.

c) Masyarakat hendaknya memfasilitasi generasi muda untuk tetap menggunakan bahasa daerah di lingkungan sekitarnya. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang terbiasa menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, pembiasaan penggunaan bahasa daerah di masyarakat akan sangat mendukung pembiasaan penggunaan bahasa daerah di rumah.

DAFTAR PUSTAKA

Deslatama, Yandhi. 2016. Pemkab Pandeglang: Orang tua, Ajari Anak-Anak Bahasa Sunda (10 Oktober 2016, pukul 10.01 WIB), dari https://www.liputan6.com/regional/read/2621914/pemkab-pandeglang-orangtua-ajari-anak-anak-bahasa-sunda

Djamudi, Nadir La. 2018. Pengajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah di Pulau Buton: Peluang dan Tantangan. Prosiding Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku, Ambon: 7—9 September 2017. Hlm.153—162

Frans, Thomas. 2018. Pengajaran Muatan Lokal Bahasa Daerah: Peluang dan Tantangan. Prosiding Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku, Ambon: 7—9 September 2017. Hlm. 195—204.

Herawati. 2010. Pemertahanan Bahasa Daerah sebagai Identitas Lokal Masyarakat Konjo di Kabupaten Sinjai. Prosiding Seminar Internasional Pemertahanan Identitas Masyarakat Multikultural di Era Global, Surabaya: 23—24 Juni 2010. Hlm. 117—124.

Heryadi, Toni dan Saluri. 2010. Pemertahanan Bahasa Ibu Melalui Pembelajaran Sains di SD: Analisis Terhadap Pembelajaran dengan Metode Dwibahasa Antara Bahasa Ibu dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Prosiding Seminar Internasional Pemertahanan Identitas Masyarakat Multikultural di Era Global, Surabaya: 23—24 Juni 2010. Hlm. 325—334.

Ismadi, Hurip Danu. 2018. Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah. Prosiding Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku, Ambon: 7—9 September 2017. Hlm. 185—194.

Lauder, Multamia RMT. 2018. Kebijakan dan Strategi Pelestarian Bahasa Daerah Berdasarkan UU Pemajuan Kebudayaan dan RUU Bahasa Daerah. Prosiding Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku, Ambon: 7—9 September 2017. Hlm. 89—122).

Mahsun. 2011. Bahasa Daerah sebagai Sarana Peningkatan Pemahaman Kondisi Kebhinekaan dalam Ketunggalikaan Masyarakat Indonesia: ke arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah. Risalah Seminar Politik Bahasa, Jakarta: 8—11 November 1999. Hlm. 38—58.

Maryani, Yeyen. 2015. Pemertahanan Bahasa Daerah dalam Perspektif Pembinaan Bahasa di Indonesia. Prosiding Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku, Ambon: 7—9 September 2017. Hlm. 23—29.

Paryono, Yani. 2014. Strategi Memperkukuh Bingkai Bahasa Negara Melalui Pelestarian Bahasa Daerah. Prosiding Seminar Bahasa dan Lokakarya Lembaga Adat,

Page 21: PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DI LEMBAGA PENDIDIKAN …

1252020, Jurnal Lingko Volume 2 (1)

Nur Seha

Jakarta: 17—20 Agustus 2014. Hlm. 229—239.Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan

Pendidikan di Kabupaten Serang, dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/116379/perda-kab-serang-no-1-tahun-2019

Rahardi, Kunjana. 2010. Kajian Sosiolingistik: Ihwal Kode dan Alih Kode. Bogor: Ghalia Indonesia

Rahmawati. 2018. Peran Tradisi Lisan Katoba dalam Pemeertahanan Bahasa Daerah Muna. Prosiding Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku, Ambon: 7—9 September 2017. Hlm. 281—

Sutarto, Ayu. 2010. Kearifan Lokal untuk Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Prosiding Seminar Internasional Pemertahanan Identitas Masyarakat Multikultural di Era Global, Surabaya: 23—24 Juni 2010. Hlm. 23—28.

Tobari. 2016. Pemkab Pandeglang Imbau Orang tua Ajari Anaknya Bahasa Sunda. Minggu, 9 Oktober 2016. Diakses dari http://infopublik.id/kategori/nusantara/174556/pemkab-pandeglang-imbau-orangtua-ajari-anaknya-bahasa-sunda?video=

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan

Wahyuni, Lilik. 2010. Bahasa Using: Pertarungan Identitas di Era Global. Prosiding Seminar Internasional Pemertahanan Identitas Masyarakat Multikultural di Era Global, Surabaya: 23—24 Juni 2010. Hlm. 365—375.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2013. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar