pemerintah kabupaten pekalongan peraturan … filepenataan transportasi darat dengan rahmat tuhan...

47
PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN TRANSPORTASI DARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan merupakan salah satu urat nadi kehidupan wilayah yang memiliki peranan penting dalam menunjang dan mendorong pertumbuhan di segala bidang; b. bahwa pengaturan operasional masalah lalu lintas dan angkutan jalan yang ada selama ini kurang menunjukkan efektifitas dan efisiensi kinerja bidang lalu lintas dan angkutan jalan; c. bahwa dengan perkembangan kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang semakin meningkat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan kewenangan yang ada di bidang lalu lintas dan angkutan jalan maka dipandang perlu menetapkan penataan transportasi darat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penataan Transportasi Darat. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten Pekalongan dalam lingkungan Propinsi Jawa Tengah; 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Batang dengan mengubah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam

Upload: vunhi

Post on 15-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN

NOMOR 10 TAHUN 2006

TENTANG

PENATAAN TRANSPORTASI DARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PEKALONGAN,

Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan merupakan

salah satu urat nadi kehidupan wilayah yang memiliki peranan penting

dalam menunjang dan mendorong pertumbuhan di segala bidang;

b. bahwa pengaturan operasional masalah lalu lintas dan angkutan jalan

yang ada selama ini kurang menunjukkan efektifitas dan efisiensi

kinerja bidang lalu lintas dan angkutan jalan;

c. bahwa dengan perkembangan kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan

yang semakin meningkat serta memberikan pelayanan kepada

masyarakat berdasarkan kewenangan yang ada di bidang lalu lintas

dan angkutan jalan maka dipandang perlu menetapkan penataan

transportasi darat;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf

a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang

Penataan Transportasi Darat.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan

Daerah-daerah Kabupaten Pekalongan dalam lingkungan Propinsi

Jawa Tengah;

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah

Tingkat II Batang dengan mengubah Undang-undang Nomor 13

Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam

2

Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1965 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 2757);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,

Tambahan Lambaran Negara Nomor 3209 );

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan

Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480);

5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992

tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 14

Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 99, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3494);

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3685 ) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34

Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4389);

8. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132);

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4437)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4548);

3

10. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1986 tentang pemindahan

Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Pekalongan dari Wilayah

Kotamadya Daerah Tingkat II Pekalongan ke Kota Kajen di Wilayah

Kabupaten Daerah Tingkat II Pekalongan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 70);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1988 tentang Perubahan

Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Pekalongan, Kabupaten

Daerah Tingkat II Pekalongan dan Kabupaten Daerah Tingkat II

Batang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor

92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3581);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 59,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3527);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan

Kendaraan Bermotor di Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1993 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3528);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan

Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993

Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3529);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan

Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993

Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3530);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor

119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang pedoman

pemeliharaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor

165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);

18. Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan Nomor 4 Tahun 2004

tentang Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi,

Susunan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Pekalongan

(Lembaran Daerah Kabupaten Pekalongan Tahun 2004 Nomor 7

Seri D Nomor 2).

4

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN PEKALONGAN

DAN

BUPATI PEKALONGAN

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENATAAN TRANSPORTASI

DARAT.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden

Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan

negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Menteri adalah Menteri Perhubungan Republik Indonesia.

3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.

4. Daerah adalah Daerah Kabupaten Pekalongan.

5. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai

unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

6. Bupati adalah Bupati Pekalongan.

7. Dinas adalah Dinas Perhubungan Kabupaten Pekalongan.

8. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten

Pekalongan.

9. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan

kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak

melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan

komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau

daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,

dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

5

massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,

lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.

10. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala

bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya

yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan

tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan /

atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan

lori, dan jalan kabel.

11. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, hewan di jalan.

12. Manajemen dan rekayasa lalu lintas adalah kegiatan yang dilakukan

untuk mengoptimalkan penggunaan seluruh jaringan jalan, guna

peningkatan keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas.

13. Aksesibilitas adalah kemudahan untuk mencapai suatu tujuan

perjalanan orang dan/ atau barang dari suatu tempat ketempat

tujuannya.

14. Perencanaan Jaringan Transportasi Jalan adalah suatu proses yang

mengakomodasi interaksi antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan

pada masing- masing tata guna lahan di kawasan pemukiman,

perniagaan, industri, ataupun pertanian.

15. Kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri

dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor.

16. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh

peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu.

17. Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh

tenaga orang atau hewan.

18. Angkutan adalah pemindahan orang dan / atau barang dari satu

tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan.

19. Mobil bus adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi lebih

dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk

pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan

pengangkutan bagasi.

20. Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang

dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak

termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan atau tanpa

perlengkapan pengangkutan bagasi.

21. Mobil barang adalah setiap kendaraan bermotor selain sepeda

motor, mobil penumpang, mobil bus dan kendaraan khusus.

6

22. Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang

disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut

bayaran.

23. Trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa

angkutan orang dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan

perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak

berjadwal.

24. Jaringan trayek adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi

satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan orang.

25. Angkutan Antar Kota Antar Propinsi adalah angkutan dari satu kota

ke kota lain yang melalui antar daerah kabupaten/ kota yang melalui

lebih dari satu daerah propinsi dengan menggunakan mobil bus

umum yang terikat dalam trayek.

26. Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi adalah angkutan dari satu kota

ke kota yang lain yang melalui antar daerah kabupaten/ kota dalam

satu daerah propinsi dengan menggunakan mobil bus umum yang

terikat dalam trayek.

27. Angkutan kota adalah angkutan dari satu tempat ke tempat lain

dalam satu daerah kota atau wilayah ibukota kabupaten dengan

menggunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang

terikat dalam trayek.

28. Angkutan Perdesaan adalah angkutan dari satu tempat ke tempat

lain dalam satu daerah Kabupaten yang tidak termasuk dalam

trayek kota yang berada pada wilayah ibukota Kabupaten dengan

mempergunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum

yang terikat dalam trayek.

29. Angkutan perbatasan adalah angkutan kota atau angkutan

perdesaan yang melalui wilayah kecamatan yang berbatasan

langsung pada kabupaten atau kota lainnya baik yang melalui satu

propinsi maupun lebih dari satu propinsi.

30. Angkutan khusus adalah angkutan yang mempunyai asal dan/ atau

tujuan tetap, yang melayani antar jemput penumpang umum, antar

jemput karyawan, permukiman dan simpul yang berbeda.

31. Angkutan Taksi adalah Angkutan dengan menggunakan mobil

penumpang umum yang diberi tanda khusus dan dilengkapi

argometer yang melayani Angkutan dari pintu ke pintu dalam

wilayah operasi terbatas.

7

32. Angkutan Sewa adalah Angkutan dengan menggunakan mobil

penumpang umum yang melayani Angkutan dari pintu ke pintu,

dengan atau tanpa pengemudi, dalam wilayah operasi yang tidak

terbatas.

33. Angkutan Pariwisata adalah Angkutan dengan menggunakan mobil

bus umum yang dilengkapi dengan tanda-tanda khusus untuk

keperluan pariwisata atau keperluan lain di luar pelayanan Angkutan

dalam trayek, seperti untuk keperluan keluarga dan sosial lainnya.

34. Angkutan lingkungan adalah Angkutan dengan menggunakan mobil

penumpang umum yang dioperasikan dalam wilayah operasi

terbatas pada kawasan tertentu.

35. Berhenti adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan untuk

sementara dengan pengemudi tidak meninggalkan kendaraan.

36. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak

bersifat sementara.

37. Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat

pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk

melakukan kegiatan pada suatu kurun waktu.

38. Fasilitas parkir pada badan jalan (on street parking) adalah fasilitas

untuk parkir kendaraan dengan menggunakan sebagian badan

jalan.

39. Fasilitas parkir di luar badan jalan (off street parking) adalah fasilitas

parkir kendaraan yang dibuat khusus yang dapat berupa taman

parkir dan atau gedung parkir yang selanjutnya disebut fasilitas

parkir khusus untuk umum.

40. Satuan Ruang Parkir (SRP) adalah ukuran luas efektif untuk

meletakkan kendaraan (mobilpenumpang, bus/ truk, atau sepeda

motor ), termasuk ruang bebas dan lebar buka pintu. Untuk hal-hal

tertentu bila tanpa penjelasan, SRP adalah SRP untuk mobil

penumpang.

41. Juru Parkir adalah petugas parkir yang mengatur secara langsung

kendaraan yang diparkir dan memungut retribusi parkir dari

pengguna jasa perparkiran.

42. Laik jalan adalah persyaratan minimum kondisi suatu kendaraan

yang harus dipenuhi agar terjamin keselamatan dan mencegah

terjadinya pencemaran udara serta kebisingan lingkungan pada

waktu dioperasikan di jalan.

8

43. Terminal penumpang adalah prasarana transportasi jalan untuk

keperluan menurunkan dan menaikkan penumpang, perpindahan

intra dan/ atau antar moda transportasi serta mengatur kedatangan

dan pemberangkatan kendaraan umum;

BAB II

MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

Pasal 2

Manajemen dan rekayasa lalulintas dilaksanakan dengan tujuan untuk

mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan guna meningkatkan

keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan, dengan ruang

lingkup seluruh jaringan jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten/

kota dan jalan desa yang terintegrasi, dengan mengutamakan hirarki jalan

yang lebih tinggi.

Pasal 3

(1) Kegiatan manajemen dan rekayasa lalulintas di jalan dilaksanakan

melalui tahapan :

a. Perencanaan lalu lintas;

b. Pengaturan lalulintas;

c. Rekayasa lalu lintas;

d. Pengendalian lalu lintas; dan

e. Pengawasan lalu lintas. (2) Kegiatan perencanaan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi :

a. inventarisasi tingkat pelayanan;

b. evaluasi tingkat pelayanan;

c. penetapan tingkat pelayanan yang diinginkan;

d. penetapan pemecahan permasalahan lalu lintas dan

e. penyusunan rencana dan program pelaksanaan perwujudannya.

(3) kegiatan pengaturan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi kegiatan penetapan kebijakan lalu lintas pada jaringan atau

ruas jalan dan/atau persimpangan tertentu yang merupakan

penetapan aturan perintah dan/atau larangan pada setiap ruas jalan

dan/atau persimpangan yang bersifat mengikat, dengan jenis-jenis

pengaturan lalulintas yang meliputi:

a. penetapan jaringan transportasi jalan Daerah;

9

b. penetapan kinerja jaringan jalan daerah untuk jaringan jalan yang

baru dibangun dan peningkatan pelayanan jalan yang telah ada;

c. penetapan jaringan trayek angkutan penumpang umum;

d. penetapan rencana angkutan dalam berbagai moda;

e. penetapan rencana kebutuhan terminal penumpang dan terminal

barang;

f. penetapan lokasi terminal local;

g. penetapan kecepatan maksimum pada jalan tertentu;

h. penetapan penempatan rambu, papan tambahan, marka jalan,

alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan

pengaman pemakai jalan;

i. penetapan lokasi dan pengelolaan tempat penyeberangan;

j. penetapan lokasi pemberhentian (halte) bagi angkutan umum;

k. penetapan pengaturan sirkulasi lalu lintas dalam wilayah kota;

l. penetapan pembatasan lalu lintas pada jalan-jalan tertentu;

m. mengusulkan rencana lokasi untuk jaringan jalan negara dan jalan

propinsi serta jaringan trayek AKDP/ AKAP kepada Menteri dan

Gubernur;

n. mengusulkan penunjukan lokasi terminal kepada Menteri dan

Gubernur untuk ditetapkan sebagai terminal tertunjuk AKAP dan

terminal tertunjuk AKDP.

(4) Kegiatan Rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi :

a. Perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan jalan;

b. Perencanaan, pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan

perlengkapan jalan.

(5) Penyelenggaraan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) secara teknis akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.

(6) Kegiatan pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf d dan e dilakukan dengan cara :

a. pemberian arahan dan petunjuk dalam penyelenggaraan

manajemen dan rekayasa lalu lintas;.

b. pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat

mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam pelaksanaan

kebijakan lalu lintas.

10

(7) Kegiatan pengawasan lalu lintas meliputi :

a. pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan lalu lintas, untuk

mengetahui tingkat pelayanan dan penerapan kebijakan lalu lintas

meliputi :

1) Kecepatan lau lintas;

2) Volume lalu lintas termasuk Lalu Lintas harian Rata-rata

(LHR);

3) Jumlah kecelakaan lalu lintas;

4) Jumlah pelanggaran berlalu lintas.

b. Penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan lalu lintas untuk

mengetahui efektifitas kebijakan lalu lintas, dilakukan sebagai

tindak lanjut pemantauan meliputi :

1) penentuan tingkat pelayanan yang diinginkan;

2) analisis tingkat pelayanan;

3) analisis tingkat kecelakaan;

4) analisis tingkat pelanggaran.

c. Tindakan korektif terhadap pelaksanaan kebijakan lalu lintas,

untuk penyempurnaan terhadap kebijakan lalu lintas bersifat :

1) legal/hukum;

2) teknis dan / atau ;

3) penegakan hukum.

Pasal 4

Manajemen dan Rekayasa Lalu lintas pada prinsipnya diselenggarakan

oleh Dinas.

BAB III

R U J T J D (Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Daerah)

Bagian Pertama

Jaringan Transportasi Jalan

Pasal 5

Untuk memberikan arahan yang jelas tentang pembangunan transportasi

jalan yang ingin dicapai, terpadu dengan moda transportasi lainnya

Pemerintah Daerah menyusun Jaringan Transportasi Jalan Daerah yang

diwujudkan dengan menetapkan Rencana Umum Jaringan Transportasi

Jalan Daerah.

11

Pasal 6

(1) Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Daerah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 memuat :

a. rencana lokasi ruang kegiatan yang harus dihubungkan oleh

ruang lalu lintas;

b. prakiraan perpindahan orang dan/ atau barang menurut asal dan

tujuan perjalanan;

c. arah kebijaksanaan peranan transportasi di jalan dalam

keseluruhan moda transportasi;

d. rencana kebutuhan lokasi simpul;

e. rencana kebutuhan ruang lalu lintas.

(2) Rencana kebutuhan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a meliputi rencana kebutuhan jaringan jalan perkotaan dan

lingkungan, jaringan jalan Propinsi dan jalan Nasional di daerah serta

jaringan jalan bebas hambatan.

(3) Arah kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi

penetapan rencana angkutan dalam berbagai moda sesuai dengan

potensi yang akan dikembangkan.

(4) Rencana kebutuhan simpul sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf d meliputi rencana kebutuhan Terminal penumpang, Terminal

barang, dan Stasiun Kereta Api.

Pasal 7

Untuk mewujudkan Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Daerah

sebagai mana dimaksud dalam Pasal 6, Bupati menyusun rencana detail

transportasi jalan yang meliputi kegiatan :

a. Penunjukan dan penetapan rencana lokasi untuk pembangunan

jaringan jalan dan terminal, penetapan rencana jaringan trayek,

jaringan lintas, wilayah operasi taksi, kerjasama transportasi antar

daerah untuk pelayanan angkutan umum diperbatasan;

b. Mengusulkan rencana lokasi untuk jaringan jalan Nasional dan jalan

Propinsi, kepada Menteri dan Gubenur untuk ditetapkan kedalam

satu kesatuan sistem jaringan jalan Nasional dan jalan Propinsi;

c. Mengusulkan penetapan rencana jaringan lalu lintas dan trayek

kepada Menteri dan Gubenur untuk ditetapkan dalam kesatuan

sistem jaringan trayek Antar Kota Antar Propinsi dan trayek Antar

Kota Dalam Propinsi;

12

d. Mengusulkan penunjukan lokasi Terminal kepada Menteri dan

Gubenur untuk ditetapkan sebagai Terminal tertunjuk Antar Kota

Antar Propinsi dan Terminal Antar Kota Dalam Propinsi;

e. Rencana lokasi Terminal lokal ditetapkan oleh Bupati.

Pasal 8

Setiap lahan yang ditetapkan sebagai rencana lokasi pembangunan

jaringan jalan dan terminal diberikan atau dipasang tanda batas

peruntukan yang jelas dengan patokan rencana jalan dan terminal, serta

diumumkan kepada masyarakat.

Pasal 9

Untuk kepentingan pengamanan rencana pembangunan jaringan jalan

dan terminal, setiap orang, badan hukum dilarang :

a. Mencabut, menggeser dan atau menghilangkan patok rencana jalan

dan terminal.

b. Membangun dan atau melakukan kegiatan di luar peruntukan sesuai

tata ruang yang telah ditetapkan.

Pasal 10

Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak menghilangkan

hak-hak pemilikan dan/ atau penggunaan bagi pemilik sepanjang tidak

bertentangan dengan peruntukan yang telah ditetapkan.

Bagian Kedua Perencanaan Pembangunan dan Pemeliharaan Jalan Daerah

Pasal 11

Untuk memberikan pelayanan lalu lintas dan menunjang kelancaran

distribusi angkutan ke berbagai pelosok Daerah, Pemerintah Daerah

merencanakan pembangunan dan pemeliharaan jalan dan jembatan.

Pasal 12

Perencanaan Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

tidak boleh bertentangan dan atau keluar dari Rencana Umum Jaringan

Transportasi Jalan Daerah yang telah ditetapkan.

13

Pasal 13 Perencanaan pembangunan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

11 ditetapkan sebagai berikut :

a. Untuk perencanaan pembangunan dan pemeliharaan jalan dan

jembatan Kabupaten dilaksanakan oleh Daerah atas beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Pekalongan, bantuan

Pemerintah dan/ atau Pemerintah Propinsi, pinjaman dalam dan atau

luar negeri, swadaya masyarakat dan partisipasi pihak ketiga;

b. Untuk perencanaan pembangunan dan pemeliharaan jalan Propinsi

diusulkan dan/ atau dilaksanakan oleh Daerah dan/ oleh Propinsi atas

beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi;

c. Untuk perencanaan pembangunan jalan Nasional diusulkan dan atau

dilaksanakan oleh Daerah dan/ atau oleh Pemerintah atas beban

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 14

Untuk merealisasikan pembangunan jalan Propinsi, Nasional dan jalan

bebas hambatan Bupati secara aktif mengusulkan rencana

pembangunannya kepada Pemerintah Propinsi dan/ atau Pemerintah.

Bagian Ketiga Pengaturan Penggunaan Jalan

Paragraf 1

Penetapan Kinerja Jaringan Jalan

Pasal 15 Setiap jaringan jalan yang telah selesai dibangun, sebelum dioperasikan

dilakukan penetapan kinerja jaringan jalan yang meliputi penetapan

status, fungsi, kelas jalan muatan sumbu terberat yang diijinkan dan

kecepatan setempat yang diperbolehkan.

Pasal 16

Bagi jalan- jalan yang dibangun oleh Badan Hukum tertentu baik

pemerintah maupun swasta yang merupakan jalan konsensi, kawasan,

jalan lingkungan tertentu dinyatakan terbuka untuk lalu lintas umum

setelah pengelola jalan menyerahkan kewenangan pengaturannya

kepada Pemerintah Daerah untuk ditetapkan sebagai jalan umum.

14

Paragraf 2 Pengendalian Lingkungan Sisi Jalan

Pasal 17

(1) Jalan sebagai jalan prasarana fisik terdiri dari Daerah Manfaat Jalan,

Daerah Milik Jalan dan Daerah Pengawasan Jalan yang harus

dikendalikan pemanfaatan dan penggunaanya agar tidak

menimbulkan kerusakan, kerancuan, dan/ atau menimbulkan

gangguan lalu lintas.

(2) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

melalui :

a. Penetapan dan/atau pengaturan batas garis sempadan bangunan;

b. Pengendalian, pembukaan jalan masuk;

c. Pengaturan dan pengendalian pemanfaatan tanah pada Daerah

Milik Jalan dan Daerah Pengawasan Jalan.

Pasal 18

Penetapan garis sepadan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

17 ayat (2) huruf a sesuai dengan ketentuan dan/ atau pedoman yang

telah ditetapkan, yang diukur bukan dari jalan eksisting melainkan dari

rencana jalan.

Pasal 19

Pengendalian pembukaan jalan dan pemanfaatan tanah pada daerah

milik jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan c

dilaksanakan melaluli perijinan.

Bagian Keempat Pengaturan Terminal

Pasal 20

(1) Terminal terdiri dari :

a. Terminal penumpang;

b. Terminal barang.

(2) Terminal penumpang merupakan prasarana transportasi jalan untuk

keperluan menurunkan dan menaikkan penumpang, perpindahan

intra dan / atau antar moda transportasi serta mengatur kedatangan

dan pemberangkatan kendaraan umum.

15

(3) Terminal barang merupakan prasarana transportasi jalan untuk

keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intra

dan/atau antar moda transportasi.

Pasal 21

Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2)

dikelompokkan menjadi :

a. Terminal penumpang Tipe A, berfungsi melayani kendaraan umum

untuk angkutan antar kota antar propinsi, dan/atau angkutan lintas

batas negara, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota, dan

angkutan perdesaan;

b. Terminal penumpang Tipe B, berfungsi melayani kendaraan umum

untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota, dan/atau

angkutan perdesaan.

c. Terminal penumpang Tipe C, berfungsi melayani kendaraan umum

untuk perdesaan.

Pasal 22

(1) Penentuan lokasi terminal dilakukan dengan mempertimbangkan

Rencana Umum Jaringan Transportasi Jalan Daerah.

(2) Pembangunan terminal pada lokasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan :

a. Rencana umum tata ruang;

b. Kapasitas jalan;

c. Kepadatan lalu lintas;

d. Keterpaduan dengan moda transportasi lain;

e. Kelestarian lingkungan.

(3) Penyelenggaraan terminal yang meliputi pengelolaan, pemeliharaan

dan penertiban terminal dilakukan oleh Dinas.

Pasal 23

(1) Terhadap penggunaan jasa pelayanan terminal dapat dikenakan

pungutan.

(2) Jasa terminal sebagaiman dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. Jasa tempat bongkar muat barang dan/atau naik turun

penumpang yang dinikmati oleh pengusaha angkutan;

16

b. Fasilitas parkir kendaraan umum menunggu waktu keberangkatan

yang dinikmati oleh pengusaha angkutan;

c. Fasilitas parkir untuk umum selain tersebut pada huruf b, yang

dinikmati oleh pengguna jasa.

(3) Tata cara pemungutan, besarnya pungutan serta penggunaan hasil

pungutan terminal ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 24

(1) Kegiatan usaha penunjang pada terminal dilakukan oleh badan

hukum Indonesia atau Warga Negara Indonesia setelah mendapat

persetujuan Bupati.

(2) Usaha penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat

dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsi terminal.

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, pembangunan dan

penyelenggaraan terminal serta usaha penunjang pada terminal diatur

dengan Peraturan Daerah.

BAB IV PENGELOLAAN PARKIR UMUM

Bagian Pertama

Ketentuan Parkir Umum

Pasal 26

(1) Parkir untuk umum diselenggarakan di tepi jalan umum dan atau

dengan fasilitas khusus berupa gedung parkir atau taman parkir.

(2) Parkir untuk umum di tepi jalan umum dilaksanakan pada badan jalan

dan atau pada daerah milik jalan, daerah pengawasan jalan yang

merupakan satu kesatuan wilayah lalu lintas dan angkutan jalan.

(3) Penyelenggaraan parkir untuk umum dengan fasilitas khusus berupa

gedung parkir dan atau taman parkir dilaksanakan di pusat-pusat

kegiatan, baik di dalam kota pada kawasan wisata, kawasan

pendidikan, atau di tempat-tempat lain yang ditetapkan

peruntukannya.

(4) Ketentuan dalam Pengelolaan Parkir Umum diatur oleh Bupati.

17

Bagian Kedua Ketentuan Fasilitas Parkir

Pasal 27

(1) Penyelenggaraan parkir untuk umum di badan jalan dilaksanakan dan

memperhatikan :

a. Satuan Ruang Parkir (SRP) ditetapkan berdasarkan V/C ratio,

jenis kendaraan dengan konfigurasi arah parkir sejajar atau

serong.

b. Dinyatakan oleh rambu-rambu peruntukan parkir dan marka jalan.

(2) Penyelenggaraan parkir untuk umum di daerah milik jalan atau

daerah pengawasan jalan dilaksanakan dengan memperhatikan :

a. Keluar masuk kendaraan ke atau dari tempat parkir diatur

sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan hambatan,

gangguan, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas pada jaringan

jalan yang secara langsung dipengaruhi.

b. Tidak menimbulkan kerusakan terhadap perlengkapan jalan

antara lain saluran air

(3) Tempat parkir ditetapkan dalam Keputusan Bupati sebagai tempat

parkir untuk umum dan dilengkapi dengan rambu-rambu peruntukan

parkir.

Bagian Ketiga Tata Cara Parkir

Pasal 28

Pada setiap jalan yang tidak dapat dipergunakan sebagai tempat parkir

harus dinyatakan dengan rambu-rambu atau marka atau tanda-tanda lain

kecuali di tempat-tempat tertentu.

Pasal 29

Tata cara parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diatur sebagai

berikut :

a. Parkir kendaraan bermotor di jalan dilakukan secara sejajar atau

membentuk sudut menurut arah lalu lintas.

b. Parkir secara sejajar membentuk sudut 00 menurut arah lalu lintas.

18

c. Parkir dengan membentuk sudut, terdiri dari sudut 300, sudut 450,

sudut 600, dan sudut 900.

Pasal 30

Penentuan sudut parkir harus memperhatikan :

a. Lebar jalan.

b. Volume lalu lintas.

c. Karakteristik kecepatan.

d. Dimensi kendaraan.

e. Sifat peruntukan lahan sekitar dan fungsi jalan.

Pasal 31

(1) Pengemudi maupun juru parkir harus memperhatikan :

a. Batas parkir yang dinyatakan dengan marka pembatas.

b. Keamanan kendaraan.

(2) Untuk fasilitas parkir tanpa pengendalian parkir, juru parkir dapat

memandu pengemudi kendaraan dan memberikan karcis bukti

pembayaran sebelum kendaraan meninggalkan ruang parkir.

(3) Untuk fasilitas parkir dengan pengendalian parkir :

a. Pada pintu masuk, pengemudi harus mendapatkan karcis tanda

parkir yang mencantumkan jam masuk.

b. Dengan atau tanpa juru parkir, pengemudi memarkir kendaraan

sesuai dengan tata cara parkir.

c. Pada pintu keluar, petugas harus memeriksa kebenaran karcis

tanda parkir, mencatat lama parkir, menghitung tarip parkir, serta

menerima pembayaran retribusi parkir.

Bagian Keempat Pengoperasian Fasilitas Parkir Di Tepi Jalan Umum

Pasal 32

Penyelenggaraan fasilitas parkir di badan jalan dilaksanakan oleh Dinas.

Pasal 33

Berdasarkan jenis fasilitas pengoperasian, parkir di jalan digolongkan

menjadi :

a. Golongan A.

19

1) kawasan parkir pada fasilitas parkir umum dengan maksud

pengendalian parkir.

2) keluar masuk kendaraan dikendalikan melalui karcis dengan

waktu tercatat, dapat diberlakukan tarif parkir secara progresif,

yang dapat meningkat sesuai dengan lamanya parkir.

3) daerah dengan derajat pengendalian lalu lintas tinggi.

b. Golongan B.

1) badan jalan tanpa untuk maksud pengendalian parkir.

2) daerah dengan frekuensi parkir relatif tinggi.

3) daerah komersial atau pertokoan.

4) daerah dengan derajat pengendalian lalu lintas tinggi.

c. Golongan C.

1) badan jalan tanpa untuk maksud pengendalian parkir.

2) daerah dengan frekuensi parkir relatif rendah.

3) parkir dengan waktu lama.

4) daerah perumahan

5) daerah dengan derajat pengendalian lalu lintas rendah.

Pasal 34

Penggolongan pengoperasian fasilitas parkir di jalan diatur oleh Bupati.

Bagian Kelima Penetapan Lokasi dan Pembangunan Fasilitas Parkir Khusus Untuk Umum

Pasal 35

(1) Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir khusus untuk

umum dilakukan dengan memperhatikan :

a. Rencana Umum Tata Ruang Daerah ( RUTRD );

b. keselamatan dan kelancaran lalu lintas;

c. kelestarian lingkungan;

d. kemudahan bagi pengguna jasa.

(2) Lokasi fasilitas parkir khusus untuk umum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), diatur oleh Bupati.

20

Pasal 36

(1) Penggunaan fasilitas parkir khusus untuk umum harus memenuhi

persyaratan :

a. dapat menjamin keselamatan dan kelancaran lalu lintas.

b. mudah dijangkau oleh pengguna jasa.

c. apabila berupa gedung parkir, harus memenuhi persyaratan

konstruksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. apabila berupa taman parkir harus memiliki batas tertentu.

e. dalam gedung parkir atau taman parkir di atur sirkulasi dan posisi

parkir kendaraan yang dinyatakan dalam rambu lalu lintas atau

marka jalan.

f. Setiap lokasi yang dipergunakan untuk parkir kendaraan diberi

tanda berupa huruf atau angka yang memberikan kemudahan

bagi pengguna jasa untuk menemukan kendaraannya.

(2) Fasilitas parkir khusus untuk umum dinyatakan dengan rambu yang

menyatakan tempat parkir khusus.

Bagian Keenam Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Khusus

Pasal 37

(1) Penyelenggaraan fasilitas parkir khusus untuk umum dapat dilakukan

oleh pemerintah, badan, swasta atau perorangan.

(2) Dalam pelaksanaannya, secara operasional penyelenggaraan fasilitas

parkir khusus yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dilakukan

oleh Dinas.

Pasal 38

Penyelenggaraan fasilitas parkir khusus untuk umum oleh Badan,

Swasta, atau Perorangan, meliputi :

a. Pembangunan

b. Pengoperasian

c. Pemeliharaan.

Pasal 39

Penyelenggaraan fasilitas parkir khusus untuk umum yang dilaksanakan

di gedung parkir atau taman parkir dapat berupa usaha parkir secara

21

penuh atau usaha tambahan yang memanfaatkan fasilitas pendukung

dari suatu sistem kegiatan.

Pasal 40

(1) Untuk penyelenggaraan fasilitas parkir khusus untuk umum oleh

Badan, Swasta, atau Perorangan harus memperoleh izin dari Bupati.

(2) Persyaratan dan tata cara permohonan izin penyelenggaraan fasilitas

parkir khusus untuk umum diatur oleh Bupati.

Pasal 41

Penyelenggara fasilitas parkir khusus untuk umum yang telah

memperoleh izin, wajib :

a. Memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam izin

penyelenggaraan fasilitas parkir khusus untuk umum.

b. Menjaga keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dalam

kawasan fasilitas parkir khusus untuk umum.

c. Melaporkan kepada pemberi izin apabila dilakukan perubahan /

penggantian penanggung jawab.

Bagian Ketujuh Juru Parkir

Pasal 42

(1) Juru parkir adalah petugas parkir yang bertanggung jawab untuk

pengaturan keluar dan masuknya kendaraan ke tempat parkir.

(2) Pengangkatan dan penugasan juru parkir umum dilaksanakan oleh Dinas.

(3) Setiap juru parkir berhak mendapatkan penghasilan yang diatur

berdasarakan prosentase dari pendapatan bruto setiap hari, yang

besarnya ditetapkan oleh Bupati.

(4) Pembinaan terhadap juru parkir ditetapkan sebagai berikut :

a. Seragam juru parkir ditetapkan dengan warna tertentu yang

dilengkapi atribut atau tanda-tanda yang jelas dan lengkap.

b. Minimal satu tahun dua kali terhadap juru parkir dilakukan pendidikan

atau pelatihan ketrampilan, disiplin, dan sopan santun pelayanan

parkir.

22

(5) Pembinaan terhadap juru parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

termasuk juga pembinaan terhadap juru parkir yang bekerja dan atau

ditugaskan di tempat parkir khusus yang dikelola oleh Badan, Swasta,

atau Perorangan.

BAB V

PERSYARATAN TEKNIS DAN LAIK JALAN

KENDARAAN BERMOTOR Bagian Pertama

Jenis dan Konstruksi Kendaraan Bermotor

Pasal 43 (1) Kendaraan bermotor dikelompokkan dalam beberapa jenis yaitu:

a. sepeda motor;

b. mobil penumpang;

c. mobil bus;

d. mobil barang;

e. kendaraan khusus.

(2) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan

harus memenuhi persyaratan umum tentang rangka landasan, motor

penggerak, sistem pembuangan, penerus daya, sistem roda, sistem

suspensi, alat kemudi, sistem rem, lampu-lampu dan alat pemantul

cahaya, komponen pendukung, badan kendaraan bermotor, peralatan

dan perlengkapan kendaraan, ukuran dan muatan kendaraan

bermotor, rancang bangun dan rekayasa, maupun tambahan

persyaratan khusus untuk jenis-jenis kendaraan tertentu.

(3) Kendaraan bermotor harus memenuhi ambang batas laik jalan, yang

meliputi: emisi gas buang kendaraan bermotor; kebisingan suara

kendaraan bermotor; efisiensi sistem rem utama; efisiensi sistem rem

parkir; kincup roda depan; tingkat suara klakson; kemampuan pancar

dan arah sinar lampu utama; radius putar; alat penunjuk kecepatan;

kekuatan unjuk kerja dan ketahanan ban luar untuk masing-masing

jenis ukuran dan lapisan; kedalaman alur ban luar.

(4) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan

baik yang dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri maupun impor,

harus memenuhi persyaratan teknis dan ambang batas laik jalan

sesuai dengan peruntukannya.

23

(5) Kendaraan bermotor jenis kendaraan khusus dapat diberikan

pengecualian dan/atau penambahan persyaratan teknis dan/atau laik

jalan.

Bagian Kedua Pengujian Kendaraan Bermotor

Pasal 44

(1) Pengujian kendaraan bermotor dilaksanakan dalam rangka menjamin

keselamatan, kelestarian lingkungan dan pelayanan umum.

(2) Pelaksanaan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan tanggung jawab pemerintah.

(3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi uji tipe

dan/atau uji berkala.

Pasal 45

(1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 dilakukan oleh

tenaga penguji yang memiliki kualifikasi teknis.

(2) Kualifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dikelompokkan berdasarkan pertimbangan tingkat wewenang dan

tanggung jawab tenaga penguji secara berjenjang.

(3) Kualifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh

setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan penguji kendaraan

bermotor.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan umum penguji diatur

oleh Bupati.

Pasal 46

(1) Setiap kendaraan bermotor jenis mobil bus, barang, kendaraan

khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf c, huruf

d dan huruf e, kereta gandengan dan kereta tempelan, kendaraan

umum yang dioperasikan di jalan, wajib dilakukan uji berkala.

(2) Masa uji berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku

selama 6 (enam ) bulan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala kendaraan bermotor,

kereta gandengan dan kereta tempelan diatur dengan Peraturan

Daerah.

24

BAB VI

BENGKEL UMUM KENDARAAN BERMOTOR

Bagian Pertama Klasifikasi Bengkel

Pasal 47

(1) Bengkel umum kendaraan bermotor berfungsi untuk membetulkan,

memperbaiki, dan merawat kendaraan bermotor agar tetap memenuhi

persyaratan teknis dan laik jalan.

(2) Bengkel umum kendaraan bermotor di Wilayah Daerah diatur dan

ditetapkan dalam klasifikasi :

a. Bengkel konstruksi;

b. Bengkel perawatan dan pemeliharaan;

c. Bengkel perbaikan dan suku cadang;

d. Bengkel uji asap.

(3) Penetapan klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam

rangka menciptakan iklim usaha yang sehat, profesional dan

produktif, mampu membangun, memelihara, memperbaiki, kendaraan

sesuai dengan persyaratan teknis dan laik jalan.

Bagian Kedua Bengkel Konstruksi

Pasal 48

(1) Bengkel konstruksi adalah bengkel yang kegiatannya memproduksi

landasan atau chasis, rumah-rumah kendaraan atau karoseri dan bak

muatan barang.

(2) Untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

bengkel konstruksi wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut :

a. Mengajukan spesifikasi teknis, design konstruksi dan atau proto type

kendaraan yang akan dibuat, kepada Direktorat Jendral

Perhubungan Darat untuk mendapatkan penetapan :

1. Pengesahan rancang bangun (desain) dan spesifikasi teknis;

2. Pendaftaran jenis landasan dan konstruksi;

3. Jumlah berat yang diperbolehkan (Gross Vehicle Weight);

4. Muatan susunan sumbu;

5. Pemegang keputusan ( lisensi ).

b. Pembuatan landasan dan karoseri harus sesuai dengan ketentuan

yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.

25

c. Melaksanakan uji mutu kepada Dinas teknis bagi kendaraan yang

telah selesai dibuat sebelum didaftarkan untuk mendapatkan Surat

Tanda Nomor Kendaraan.

d. Dalam hal pembuatan karoseri dilaksanakan perusahaan lain yang

ditunjuk oleh pemegang keputusan (lisensi), tanggung jawab

terhadap produksinya tetap berada pada pemegang keputusan yang

bersangkutan.

Bagian Ketiga Bengkel Pemeliharaan dan Perawatan

Pasal 49

(1) Bengkel perawatan dan pemeliharaan adalah bengkel umum yang

kegiatannya melaksanakan pemeliharaan dan perawatan komponen

teknis kendaraan dan atau penggantian suku cadang.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan baik

dengan menggunakan peralatan mekanis maupun manual.

(3) Bengkel umum perawatan yang menggunakan peralatan mekanis

wajib melakukan kalibrasi alat secara berkala setiap tahun dan

hasilnya dilaporkan kepada Dinas.

(4) Kalibrasi alat dilaksanakan oleh Dinas dan atau konsultan yang

ditunjuk oleh Bupati atas permohonan pemilik bengkel.

(5) Dalam hal pengujian alat (kalibrasi) dilakukan oleh konsultan, beban

biaya menjadi tanggung jawab pemilik bengkel.

(6) Sebagai tanda bukti telah dilakukan kalibrasi diterbitkan tanda

pengesahan.

(7) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemeriksaan alat (kalibrasi)

diatur lebih lanjut oleh Bupati.

Bagian Keempat Bengkel Perbaikan dan Suku Cadang

Pasal 50

(1) Bengkel perbaikan dan suku cadang adalah bengekel umum yang

melaksanakan perbaikan terhadap kendaraan dan atau penjualan

suku cadang sesuai dengan standart yang telah ditetapkan.

(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengelasan,

pengetokan, pengecatan, perbaikan dan penjualan shock breker,

knalpot, penggantian kaca.

26

(3) Setiap bengkel umum perbaikan dilarang membangun, merubah,

menambah ukuran landasan dan rumah-rumah kendaraan dan atau

memodifikasi kendaraan yang akan berakibat ketidakseimbangan

kinerja kendaraan.

(4) Atas izin dan atau penunjukan Dinas, bengkel umum perbaikan dapat

merubah bentuk dan atau membuat ruang muatan bagi kendaraan

angkutan yang bersifat perintisan, sepanjang tidak menambah atau

mengurangi landasan dan spesifikasi teknis kendaraan yang

bersangkutan.

(5) Ketentuan lebih lanjut tentang pembinaan bengkel umum perbaikan

diatur dan ditetapkan dalam Keputusan Bupati.

Bagian Kelima Bengkel Uji Asap

Pasal 51

(1) Bengkel uji asap adalah bengkel umum yang melaksanakan

pengujian terhadap ketebalan asap kendaraan bermotor dan atau

pengukuran sisa gas buang.

(2) Pengujian ketebalan asap dan atau pengukuran sisa gas buang

dilaksanakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pengujian ketebalan asap dan atau pengukuran sisa gas buang

diselenggarakan oleh Daerah dan atau oleh bengkel umum yang

ditunjuk oleh Bupati di bawah pengawasan Dinas.

(4) Pengujian ketebalan asap dan atau sisa gas buang dikenakan

pungutan retribusi berdasarkan Peraturan daerah yang ditetapkan.

(5) Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan bengkel uji asap dan

prosedur penunjukan ditetapkan dan diatur lebih lanjut oleh Bupati.

Bagian Keenam Pembinaan dan Perijinan

Pasal 52

Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kepada bengkel yang

meliputi:

27

a. Pemberian bimbingan dan arahan tentang ketentuan-ketentuan teknis

dan laik jalan kendaraan;

b. Pengawasan mutu produksi dan pemeriksaan peralatan yang

digunakan;

c. Bantuan modal usaha dan peningkatan profesionalisme baik langsung

maupun tidak langsung;

d. Penetapan dan pembangunan kawasan bengkel umum terpadu.

Pasal 53

(1) Penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor dapat

dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Badan, atau Perorangan.

(2) Penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor yang

dilaksanakan oleh Badan atau Perorangan baru dapat dilakukan

setelah mendapat izin dari Bupati.

(3) Setiap bengkel umum kendaraan bermotor yang telah mendapat izin

dari Bupati wajib memasang papan nama bengkel dengan

mencantumkan klasifikasi dan nomor izin.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara perizinan diatur dan

ditetapkan oleh Bupati.

BAB VII

PEMERIKSAAN PERSYARATAN TEKNIS DAN LAIK JALAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN

Pasal 54

(1) Pemeriksaan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor di

jalan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Daerah

yang dilengkapi dengan Surat Perintah.

(2) Surat Perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikeluarkan

oleh Kepala Dinas.

(3) Tata cara pemeriksaan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan

bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur oleh Bupati.

28

Pasal 55 Peralatan pemeriksaan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan

bermotor di jalan meliputi :

a. alat uji rem;

b. alat uji emisi gas buang;

c. alat uji penerangan;

d. alat uji sistim kemudi dan kedudukan roda depan;

e. alat uji standar kecepatan;

f. alat uji kebisingan;

g. alat uji timbang berat kendaraan;

h. alat uji lainnya yang dibutuhkan.

Pasal 56

(1) Pelanggaran terhadap persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan

bermotor dapat dilakukan uji ulang.

(2) Uji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Dinas.

(3) Tata cara uji ulang dan tingkat pelanggaran persyaratan teknis dan

laik jalan diatur oleh Bupati.

Pasal 57

(1) Terhadap pelanggaran kelebihan muatan dapat diberikan izin

dispensasi kelebihan muatan.

(2) Kelebihan muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan

bagi kelebihan muatan paling tinggi 30 % (tiga puluh perseratus) dari

daya angkut yang ditetapkan.

(3) Izin Dispensasi Khusus diberikan terhadap mobil barang yang

mengangkut sebagai berikut :

a. angkutan barang umum yang muatannya tidak dapat dipotong-

potong;

b. angkutan barang berbahaya;

c. angkutan barang khusus;

d. angkutan peti kemas;

e. angkutan alat berat.

(4) Izin dispensasi dan izin dispensasi khusus sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (3), diberikan oleh Kepala Dinas.

29

BAB VIII

KENDARAAN TIDAK BERMOTOR

Pasal 58 (1) Kendaraan tidak bermotor yang dioperasikan sebagai angkutan

umum wajib dilengkapi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan

Tanda Nomor Kendaraan.

(2) Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Tanda Nomor Kendaraan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikeluarkan oleh Dinas.

(3) Ketentuan mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan ( STNK ) dan

Tanda Nomor Kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diatur oleh Bupati.

(4) Masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan ( STNK ) selama 1

(satu) tahun dan wajib daftar ulang.

Pasal 59

(1) Pengemudi kendaraan tidak bermotor yang dioperasikan sebagai

angkutan umum di Kabupaten Pekalongan wajib memiliki Surat Izin

Mengemudi Kendaraan Tidak Bermotor.

(2) Surat Izin Mengemudi Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat

diperpanjang.

(3) Tata cara dan persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi

Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ditetapkan oleh Bupati.

Pasal 60

(1) Khusus kendaraan tidak bermotor becak dan dokar dari dalam kota

dan luar kota yang beroperasi di Wilayah Kabupaten Pekalongan

jumlahnya dibatasi dan ditetapkan oleh Bupati.

(2) Untuk becak dan dokar luar Kabupaten Pekalongan dapat beroperasi

di Wilayah Kabupaten Pekalongan dengan terlebih dahulu

mendapatkan izin operasi dari Kepala Dinas.

(3) Tata cara untuk mendapatkan izin operasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), diatur oleh Bupati.

Pasal 61

Pengemudi kendaraan tidak bermotor :

30

a. wajib memasang isyarat sinar atau tanda lainnya pada waktu malam

hari.

b. dilarang membawa atau memuat barang atau benda yang dapat

merintangi atau membahayakan pemakai jalan lain.

c. dilarang menggunakan jalur kendaraan bermotor jika telah disediakan

jalur jalan khusus bagi kendaraan tidak bermotor.

BAB IX

KETERTIBAN DAN PENGGUNAAN JALAN

Bagian Pertama

Ketentuan bagi pemakai jalan

Pasal 62

(1) Setiap pemakai jalan wajib mematuhi rambu, papan tambahan, marka

jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan

pengaman pemakai jalan.

(2) Setiap pemakai jalan dilarang membuat, memasang, memindahkan,

merusak atau membuat tidak berfungsinya rambu, papan tambahan,

marka jalan, dan alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali

dan pengaman pemakai jalan.

Pasal 63

Setiap pengemudi kendaraan bermotor di jalan wajib memenuhi

ketentuan tentang penggunaan jalur jalan, gerakan lalu lintas kendaraan

bermotor, berhenti dan parkir, penggunaan komponen pendukung dan

perlengkapan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan

penggunaan lampu, kecepatan maksimum dan/atau minimum kendaraan

bermotor, perilaku pengemudi terhadap pejalan kaki dan ketentuan

mengenai larangan penggunaan jalan yang telah ditetapkan.

Pasal 64

(1) Setiap pejalan kaki harus berjalan di atas trotoar, atau pada bagian

jalan yang paling kiri apabila tidak terdapat trotoar.

(2) Setiap pejalan kaki yang menyeberang jalan wajib menggunakan

jembatan penyeberangan atau rambu penyeberangan ( zebra cross )

pada jalan yang telah dilengkapi dengan sarana tersebut.

31

Pasal 65

(1) Kecuali atas izin Bupati, setiap orang/ badan dilarang:

a. Membuat dan memasang portal, pengaman jalan dan pintu

penutup jalan.

b. Menutup terobosan atau putaran jalan.

c. Membongkar, merusak jalur pemisah, pulau-pulau lalu lintas dan

pagar pengaman jalan.

d. Menggunakan badan jalan, bahu jalan, dan trotoar tidak sesuai

dengan fungsinya.

e. Melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan

kerusakan sebagian atau seluruh badan jalan dan atau

membahayakan keselamatan lalu lintas.

(2) Setiap orang/ badan dilarang mengangkut bahan-bahan beracun,

berdebu, berbau busuk, bahan yang mudah terbakar, bahan yang

mudah meledak, dan bahan-bahan lain yang dapat membahayakan

keselamatan umum dengan alat angkut yang terbuka.

(3) Alat atau tempat untuk mengangkut bahan-bahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), harus ditutup dan tidak mencemari

lingkungan, dengan ketentuan alat dan tempat mengangkut setelah

selesai pemakaian segera dibersihkan atau dimusnahkan.

(4) Setiap kendaraan yang melalui jalan-jalan dalam wilayah daerah

dilarang mengotori jalan.

Pasal 66

Setiap angkutan penumpang umum dengan pelayanan tetap dan teratur

harus berjalan melalui jalan-jalan pada rute yang telah ditetapkan.

Pasal 67

(1) Setiap angkutan penumpang umum dengan mobil bus harus

menaikkan dan atau menurunkan penumpang di tempat yang telah

ditetapkan, yakni di terminal, sub terminal, dan di tempat

pemberhentian atau halte.

(2) Setiap taksi yang parkir menunggu penumpang harus menggunakan

pangkalan taksi yang telah ditetapkan.

(3) Setiap pemakai jasa angkutan dengan kendaraan umum wajib

menunggu kendaraan di tempat pemberhentian yang telah ditetapkan.

32

Bagian Kedua

Penggunaan Jalan Selain Untuk Kepentingan Lalu Lintas

Pasal 68

(1) Setiap orang/ badan dilarang menyelenggarakan kegiatan dengan

menggunakan jalan kecuali telah memperoleh izin penggunaan jalan.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian izin

penggunaan jalan, diatur oleh Bupati.

Bagian Ketiga

Pemasangan Reklame / Spanduk, Pipa, Kabel,

Atau Pekerjaan Lain Di Jalan

Pasal 69

(1) Pemasangan reklame/ spanduk, pipa, kabel, atau pekerjaan lain di

jalan harus tetap memperhatikan keselamatan dan ketertiban lalu

lintas umum.

(2) Pemasangan dan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapatkan

rekomendasi yang diberikan oleh Dinas.

(3) Syarat untuk mendapatkan Rekomendasi akan di atur oleh Bupati.

Bagian Keempat

Analisis Dampak Lalu Lintas

Pasal 70

(1) Untuk menghindarkan terjadinya konflik lalu lintas akibat terjadinya

sistem kegiatan pada tata guna lahan tertentu, dilakukan analisis

dampak lalu lintas.

(2) Analisis Dampak Lalu Lintas, meliputi kegiatan :

a. Analisis sistem kegiatan yang direncanakan;

b. Perhitungan dan perkiraan bangkitan dan tarikan perjalanan;

c. Analisis kebutuhan pelayanan angkutan;

d. Analisis dampak lalu lintas terhadap jaringan jalan yang secara

langsung dipengaruhi;

e. Rencana penanggulangan dan atau pengelolaan dampak.

33

(3) Analisis dampak lalu lintas dibuat oleh badan atau, perorangan, yang

akan membangun pusat kegiatan.

(4) Dinas melakukan penilaian dan merekomendasikan hasil analisa

dampak lalu lintas dan menjadi syarat dikeluarkannya perijinan lokasi

site plan dan atau izin bangunan.

(5) Jenis kegiatan dan tata cara penyusunan analisis dampak lalu lintas

diatur lebih lanjut oleh Bupati.

Bagian Kelima

Pemindahan Kendaraan

Pasal 71

(1) Untuk keamanan, kelancaran, ketertiban, dan keselamatan lalu lintas,

Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan pemindahan kendaraan

bermotor di jalan.

(2) Pemindahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), dilakukan dalam hal :

a. Kendaraan yang patut diduga terlibat dalam tindak kejahatan;

b. Kendaraan bermotor yang mengalami kerusakan teknis dan

berhenti atau parkir pada tempat yang dilarang untuk berhenti

atau parkir;

c. Kendaraan yang berhenti atau parkir pada tempat-tempat yang

dilarang, baik yang dinyatakan dengan rambu-rambu lalu lintas

atau tidak;

d. Kendaraan yang disimpan di jalan sehingga jalan berfungsi

sebagai garasi atau tempat penyimpanan kendaraan;

e. Kendaraan yang ditinggalkan oleh pemiliknya di jalan selama dua

kali dua puluh empat jam ( 2 x 24 jam );

f. Menggunakan ruang parkir atau tempat parkir umum lebih dari

dua jam tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan

sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pemakai jalan lainnya.

(3) Pemindahan terhadap kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), dilaksanakan oleh petugas yang berwenang, kecuali kendaraan

yang mengalami kerusakan teknis dan atas prakarsa pemilik atau

pengemudi dipindahkan ke tempat yang aman.

34

Pasal 72

(1) Pemindahan kendaraan bermotor di jalan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 29 diselenggarakan dengan memperhatikan hal-hal

sebagai berikut :

a. Pemindahan kendaraan dilakukan dengan menggunakan mobil

derek yang sesuai dengan peruntukannya;

b. Tersedia areal tempat penyimpanan kendaraan yang memadai;

c. Adanya jaminan keamanan.

(2) Mobil derek yang sesuai dengan peruntukannya sebagaimana

dimaksud ayat (1) huruf a, adalah :

a. Mobil derek dilengkapi dengan peralatan teknis penderekan baik

bersifat mekanik maupun manual;

b. Dilengkapi alat pengaman berupa lampu isyarat (rotary), isyarat

bunyi (sirene);

c. Dioperasikan oleh operator derek yang memiliki kecakapan atau

kemampuan teknis penderekan.

(3) Areal tempat penyimpanan yang memadai sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b, berupa lapangan parkir yang dibangun secara

khusus dan atau tempat penyimpanan yang ditetapkan oleh Bupati,

dilengkapi fasilitas pendukung dan sistem keamanan yang memadai.

(4) Jaminan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,

yaitu :

a. Pemindahan dilakukan oleh petugas dengan tanda atau seragam

yang lengkap.

b. Pemindahan kendaraan diusahakan diketahui atau disaksikan

oleh pemilik atau pengemudi kendaraan yang bersangkutan.

c. Sistem informasi pemindahan kepada pemilik.

d. Berita acara pemindahan/ penyimpanan.

e. Pemindahan diusahakan dengan memperkecil resiko dan atau

kerusakan serta kehilangan perlengkapan akibat proses

penderekan.

f. Mobil derek harus lebih besar atau lebih kuat dari pada kendaraan

yang diderek baik konstruksi, berat, dimensi, ukuran, maupun

daya mesinnya ( power engine ).

g. Pemindahan kendaraan yang melanggar ketentuan berhenti dan

atau parkir dilakukan setelah terlebih dahulu diberikan peringatan

dan kesempatan selama lima belas menit kepada pemilik atau

pengemudi untuk memindahkan kendaraannya ke tempat yang

aman dan apabila dalam waktu yang telah ditetapkan tidak

dilakukan, baik diketahui atau tidak kendaraan dilakukan

pemindahan atau penderekan.

35

Pasal 73

(1) Selain Pemerintah Daerah, penyelenggaraan pemindahan kendaraan

di jalan dapat dilaksanakan oleh badan hukum atau perorangan

dengan menggunakan derek umum yang memenuhi persyaratan :

a. Memiliki izin penyelenggaraan derek umum dari Bupati;

b. Memiliki tempat penyimpanan atau garasi;

c. Kendaraan derek yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2);

d. Dalam hal penyelenggaraan derek umum tidak memiliki garasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyimpanan

kendaraan dapat dilakukan di areal fasilitas penyimpanan yang

disediakan oleh Pemerintah Daerah setelah mendapat izin.

Pasal 74

Pemindahan kendaraan dengan menggunakan derek umum hanya

dilakukan terhadap kendaraan yang mengalami kerusakan teknis atau

mogok atau mengalami kecelakaan dan atas permintaan pemilik

kendaraan dan atau atas perintah petugas yang berwenang yang bersifat

bantuan.

Pasal 75

Pemindahan kendaraan dapat dipungut bayaran yang besarnya masing-

masing :

a. Ditetapkan dalam Peraturan Daerah tersendiri bagi pemindahan

kendaraan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

b. Ditetapkan oleh Bupati, bagi pemindahan kendaraan yang

menggunakan jasa derek umum atas usul penyelenggara derek

umum.

Pasal 76

(1) Untuk menyelenggarakan pemindahan kendaraan, Pemerintah

Daerah dapat melakukan kerjasama dengan pihak ketiga mengenai

hal-hal penyediaan derek dan areal tempat penyimpanan kendaraan.

(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pemindahan kendaraan, prosedur

perijinan derek umum dan kerjasama pengelolaan diatur dan

ditetapkan oleh Bupati.

36

BAB X

PENDIDIKAN MENGEMUDI

Pasal 77

(1) Penyelenggaraan pendidikan mengemudi kendaraan bermotor

bertujuan mendidik dan melatih calon pengemudi kendaraan bermotor

untuk menjadi pengemudi yang memiliki pengetahuan di bidang lalu

lintas angkutan jalan, disiplin dan bertanggung jawab.

(2) Penyelenggaraan pendidikan mengemudi dapat dilaksanakan oleh

Pemerintah Daerah, Badan atau Perorangan.

(3) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 84

Peraturan Daerah ini, Bupati melakukan pembinaan terhadap

penyelenggaraan pendidikan mengemudi yang meliputi pengarahan,

bimbingan, dan bantuan teknis serta pengawasan terhadap

ketentuan-ketentuan :

a. Penyediaan fasilitas belajar berupa ruang kelas dan peralatan

mengajar yang memadai;

b. Penyediaan fasilitas berupa lokasi lapangan untuk praktek

mengemudi.

c. Memiliki dan menggunakan kendaraan bermotor untuk praktek

latihan mengemudi yang dilengkapi :

1. Tanda bertuliskan LATIHAN / BELAJAR yang jelas kelihatan

dari depan dan dari belakang;

2. Rem tambahan yang dioperasikan oleh instruktur;

3. Tambahan kaca spion belakang dan samping khusus untuk

instruktur.

d. Penyusunan dan pengesahan kurikulum yang terdiri dari mata

pelajaran teori dan praktek :

1. Pendidikan Pancasila.

2. Peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan

angkutan jalan;

3. Pengetahuan praktis mengenai teknis dasar kendaraan

bermotor, kecelakaan lalu lintas, dan pertolongan pertama

pada kecelakaan, serta sopan santun atau etika berlalu lintas

di jalan;

4. Praktek mengemudikan kendaraan bermotor di lapangan

praktek;

5. Praktek mengemudikan kendaraan bermotor dalam berlalu

lintas di jalan;

6. Praktek perawatan kendaraan bermotor.

e. Persyaratan untuk calon siswa pendidikan sekolah mengemudi;

f. Persyaratan instruktur pendidikan mengemudi.

37

(4) Persyaratan dimaksud dalam Pasal 86 huruf e dan f ditentukan oleh

Dinas.

Pasal 78

(1) Penyelenggaraan pendidikan mengemudi dapat menerbitkan surat

tanda lulus pendidikan mengemudi yang telah mendapat pengesahan

dari Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk.

(2) Surat tanda lulus pendidikan mengemudi dapat dijadikan

pertimbangan untuk mendapat Surat Izin Mengemudi untuk yang

pertama kalinya.

(3) Pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan mengemudi hanya dapat

dilaksanakan setelah mendapat izin dari Bupati.

(4) Ketentuan tentang persyaratan, tata cara, pembinaan, dan proses

perizinan penyelenggaraan pendidikan mengemudi diatur dan

ditetapkan oleh Bupati.

BAB XI

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN JALAN

Bagian Pertama

Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor

Pasal 79

(1) Pengangkutan orang dengan kendaraan bermotor dilakukan dengan

menggunakan sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus, dan

kendaraan khusus.

(2) Pengangkutan penumpang dengan kendaraan umum dilakukan

dengan menggunakan mobil penumpang dan mobil bus.

(3) Pengangkutan orang dengan kendaraan umum, dilayani dengan:

a. trayek tetap dan teratur, dan

b. tidak dalam trayek.

(4) Untuk pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dalam

trayek tetap dan teratur, dilakukan dalam jaringan trayek.yang terdiri

dari :

a. Trayek angkutan Perdesaan,

b. Trayek Perbatasan,

c. Trayek angkutan Antar Kota Dalam Propinsi;

d. Trayek angkutan Antar Kota Antar Propinsi.

38

(5) Pengangkutan orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek

terdiri dari :

a. pengangkutan dengan menggunakan taksi;

b. pengangkutan dengan cara sewa;

c. pengangkutan untuk keperluan wisata;

d. pengangkutan karyawan perusahaan;

e. pengangkutan anak sekolah.

Bagian Kedua

Angkutan Barang Dengan Kendaraan Bermotor

Pasal 80

(1) Pengangkutan barang dengan kendaraan bermotor pada dasarnya

dilakukan dengan menggunakan mobil barang.

(2) Pengangkutan barang terdiri dari :

a. barang umum

b. barang berbahaya, barang khusus, peti kemas, dan alat berat.

BAB XII

PERIJINAN ANGKUTAN

Bagian Pertama

Izin Usaha Angkutan

Pasal 81

(1) Kegiatan usaha angkutan orang dan atau angkutan barang dengan

kendaraan bermotor dengan dipungut bayaran, dilakukan oleh :

a. BUMN / BUMD

b. Badan Usaha Milik Swasta Nasional.

c. Koperasi.

d. Perorangan Warga Negara Indonesia.

(2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha angkutan, wajib memiliki izin

usaha angkutan yang diberikan oleh Bupati.

(3) Izin usaha angkutan meliputi perizinan sebagai berikut :

a. Angkutan orang dengan trayek tetap dan teratur;

b. Angkutan orang tidak dalam trayek;

c. Angkutan barang untuk mengangkut barang umum.

39

(4) Izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan

untuk jangka waktu selama perusahaan yang bersangkutan masih

menjalankan usahanya.

(5) Untuk mendapatkan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), yang bersangkutan harus mengajukan permohonan

secara tertulis kepada Bupati.

(6) Tata cara dan persyaratan permohonan izin usaha angkutan, diatur

oleh Bupati.

Pasal 82

(1) Sebelum mendapatkan izin usaha angkutan pemohon terlebih dahulu

mengajukan permohonan persetujuan untuk mendirikan usaha

angkutan kepada Bupati.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan untuk

jangka waktu 1 (satu) tahun.

(3) Tata cara dan persyaratan permohonan persetujuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diatur oleh Bupati.

Pasal 83

(1) Izin usaha angkutan, dilengkapi dengan Kartu Izin Usaha Angkutan

untuk masing-masing kendaraan, berlaku untuk jangka waktu 1 (satu)

tahun dan wajib dilakukan daftar ulang.

(2) Kartu Izin Usaha Angkutan, dikeluarkan oleh Kepala Dinas.

Pasal 84

Pengusaha angkutan yang telah mendapatkan izin usaha angkutan

diwajibkan :

a. memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam ijin usaha;

b. melakukan kegiatan usahanya paling lambat 6 (enam) bulan setelah

izin usaha angkutan diterbitkan;

c. melaporkan bila terjadi perubahan pemilikan perusahaan, peremajaan,

dan penambahan kendaraan kepada Bupati;

d. melaporkan kegiatan usahanya setiap bulan kepada Kepala Dinas.

40

Bagian Kedua

Rekomendasi Izin Trayek dan Izin Operasi

Pasal 85

(1) Setiap penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan umum,

baik usaha baru,perubahan komposisi kendaraan, maupun

penambahan kendaraan harus mendapatkan Rekomendasi Izin

Trayek atau Surat Persetujuan Izin Operasi dari Dinas.

(2) Untuk memperoleh izin trayek atau izin operasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan :

a. memiliki izin usaha angkutan.

b. memiliki atau menguasai kendaraan bermotor sesuai yang

diajukan perijinannya dan dalam kondisi laik jalan.

c. memiliki atau menguasai fasilitas penyimpanan dan perawatan

kendaraan.

(3) Surat Persetujuan Izin Trayek atau Surat Persetujuan Izin Operasi

berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang.

(4) Persyaratan dan tatacara permohonan Surat Persetujuan Izin Trayek

dan Surat Persetujuan Izin Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), diatur oleh Bupati.

Bagian Ketiga

Izin Trayek dan Izin Operasi

Pasal 86

(1) Izin trayek atau izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79

diberikan dalam bentuk Keputusan yang berlaku untuk jangka waktu 5

(lima) tahun dan dapat diperpanjang.

(2) Pemberian izin trayek atau izin operasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dilengkapi dengan Kartu Pengawasan berlaku untuk jangka

waktu 1 (satu) tahun dan wajib dilakukan daftar ulang.

Pasal 87

(1) Dalam rangka menjamin pelayanan dan kelangsungan usaha

angkutan, setiap kendaraan angkutan umum yang sudah tidak laik

jalan harus diremajakan.

41

(2) Pelaksanaan peremajaan kendaraan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dilakukan berdasarkan hasil penilaian teknis yang dilakukan

5 (lima) tahun sekali.

Pasal 88

Izin trayek atau izin operasi tidak berlaku lagi bila :

a. telah berakhir usaha angkutan yang bersangkutan.

b. dikembalikan oleh pemegang izin.

c. pencabutan izin

d. habis masa berlaku izin

Bagian Keempat

Izin Insidentil

Pasal 89

(1) Perusahaan angkutan yang telah memiliki izin trayek dapat diberikan

izin insidentil untuk menggunakan kendaraan bermotor cadangan

menyimpang dari trayek yang dimiliki.

(2) Izin insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan oleh

Dinas.

(3) Dalam keadaan tertentu, izin insidentil dapat diterbitkan bagi

kendaraan tertentu yang telah memiliki izin trayek tetap dan teratur

atau izin operasi.

(4) Izin insidentil diberikan hanya untuk satu kali perjalanan pergi pulang,

dan berlaku paling lama 14 (empat belas) hari serta tidak dapat

diperpanjang.

(5) Tata cara dan persyaratan untuk memperoleh izin insidentil diatur

oleh Bupati.

BAB XII

S A N K S I

Bagian Pertama

(Untuk Pelanggaran Mengenai Penyelenggaraan Parkir Khusus)

Pasal 90

(1) Izin penyelenggaraan fasilitas parkir khusus untuk umum dapat

dicabut apabila :

42

a. Pemegang izin melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 41;

b. Dalam penyelenggaraan fasilitas parkir khusus untuk umum

mengakibatkan pencemaran lingkungan.

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan

melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut

dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

diindahkan, dilanjutkan dengan pembekuan izin untuk jangka waktu 1

(satu) bulan.

(4) Jika pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) habis

jangka waktunya dan tidak ada usaha perbaikan maka izin dicabut.

Bagian Kedua

(Untuk Pelanggaran ANDA LALIN)

Pasal 91

(1) Setiap orang atau badan, yang melaksanakan pembangunan pusat-

pusat kegiatan dengan tidak melakukan analisis dampak lalu lintas

dan atau tidak melaksanakan rencana pengelolaan dampak lalu lintas

yang telah direkomendasikan dan dipersyaratkan dalam perijinan

lokasi, site plan dan atau izin bangunan, dapat dilakukan penghentian

kegiatan dan atau penutupan jalan masuk.

(2) Penghentian kegiatan dan atau penutupan jalan masuk dilaksanakan

setelah terlebih dahulu diterbitkan Keputusan dan atau Surat Perintah

Bupati.

(3) Keputusan atau Surat Perintah penghentian dan atau penutupan jalan

masuk diterbitkan apabila kepada pemegang izin dan atau

pembangunan tidak mengindahkan peringatan atau teguran sebanyak

tiga kali.

(4) Penghentian kegiatan dan atau penutupan jalan masuk dapat dicabut

setelah pemegang menyatakan kesanggupan secara tertulis untuk

melengkapi persyaratan yang telah ditetapkan.

43

Bagian Ketiga

(Untuk Pelanggaran Mengenai Bengkel Konstruksi)

Pasal 92

Bengkel karoseri yang melakukan penyimpangan terhadap ketentuan

spesifikasi teknis dan design yang telah ditetapkan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a Peraturan Daerah ini dapat

diperintahkan membongkar kembali konstruksi landasan untuk

disesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dan memberikan

laporan kepada instansi yang berwenang.

Bagian Keempat

(Untuk Pelanggaran Mengenai Bengkel Pemeliharaan

dan Perawatan)

Pasal 93

Bengkel umum pemeliharaan dan perawatan yang tidak melaksanakan

kalibrasi terhadap peralatan yang digunakan dapat dikenakan sanksi

pencabutan izin apabila setelah diberikan peringatan tertulis tidak

ditanggapi dan atau tidak dapat memberikan keterangan yang dapat

dipertanggung jawabkan.

Bagian Kelima

(Untuk Pelanggaran Mengenai Izin Usaha Angkutan)

Pasal 94

(1) Izin Usaha Angkutan dicabut apabila :

a. Perusahaan angkutan melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 81 Peraturan Daerah ini.

b. Perusahaan angkutan tidak melakukan kegiatan usaha angkutan.

(2) Pencabutan izin usaha angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali

berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

44

Pasal 95

Izin usaha angkutan dapat dicabut tanpa melalui proses peringatan dalam

hal perusahaan :

a. Melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara.

b. Memperoleh izin usaha angkutan dengan cara tidak sah.

Bagian Keenam

(Untuk Pelanggaran Mengenai Izin Trayek dan Izin Operasi)

Pasal 96

(1) Izin trayek atau izin operasi dicabut apabila :

a. Pemegang izin melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam izin

yang diberikan.

b. Tidak mengoperasikan kendaraan angkutan umum sesuai izin

trayek atau ijin operasi yang telah diberikan selambat-lambatnya 6

(enam) bulan.

c. Melakukan pengangkutan melebihi daya angkut.

d. Tidak lulus hasil penilaian teknis dan tidak melakukan

peremajaan.

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan

melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut

dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

BAB XIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 97

(1) Sepanjang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam Peraturan

Daerah ini, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan

atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah

pelanggaran.

45

BAB XIV

PENYIDIKAN

Pasal 98

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah

Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan

penyidikan tindak pidana di bidang lalu lintas angkutan jalan, serta

tindak pidana di bidang retribusi daerah sebagaimana dimaksud

dalam Undang Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini,

adalah :

a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau

laporan berkenaan dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) pasal ini, agar keterangan atau laporan tersebut

menjadi lengkap dan jelas.

b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai

orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang

dilakukan sehubungan dengan tindak pidana tersebut.

c. Meminta keterangan dan tanda bukti dari pribadi atau badan

sehubungan dengan tindak pidana tersebut.

d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen

lain yang berkenaan dengan tindak pidana tersebut.

e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti

pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta

melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.

f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas

penyidikan tindak pidana tersebut.

g. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan

ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung

dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa

sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf e. pasal ini.

h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana

tersebut.

i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa

sebagai tersangka atau saksi.

46

j. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan

tindak pidana tersebut menurut hukum yang dapat dipertanggung

jawabkan.

(3) Mekanisme pelaksanaan penyidikan dan kewenangan

penanganannya akan diatur lebih lanjut oleh Bupati.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 99

Semua ketentuan yang dikeluarkan oleh Bupati sebelum berlakunya

Peraturan Daerah ini yang berkaitan dengan Penataan Transportasi

Darat sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini

dinyatakan tetap berlaku.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 100

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang

mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Bupati.

Pasal 101

Untuk pengaturan mengenai retribusi penyelenggaraan parkir di tepi jalan

umum, retribusi penyelenggaraan parkir di tempat khusus, retribusi

penyelenggaraan lalu lintas angkutan jalan dan retribusi izin trayek di

wilayah Kabupaten Pekalongan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

tersendiri.

47

Pasal 102

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah

Kabupaten Pekalongan.

Ditetapkan di Kajen

pada tanggal 30 Nopember 2006

BUPATI PEKALONGAN

TTD

SITI QOMARIYAH

Diundangkan di Kajen Pada tanggal 30 November 2006 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN

TTD SUDIYANTORO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2006

NOMOR 10