pemeriksaan diagnosis nyeri

30
MANAJEMEN NYERI Disusun oleh: Aldi Lazuardi Pembimbing : dr. Irmawati Nurdin, Sp.An Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas YARSI 2

Upload: satya-nagara

Post on 09-Feb-2016

17 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

cara pemeriksaan dan mendiagnosisae

TRANSCRIPT

Page 1: pemeriksaan diagnosis Nyeri

MANAJEMEN NYERI

Disusun oleh:Aldi Lazuardi

Pembimbing :dr. Irmawati Nurdin, Sp.An

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran

Universitas YARSI

2015

2

Page 2: pemeriksaan diagnosis Nyeri

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya

kerusakan atau penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi

adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan

pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah

mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan

mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dirangkum

sebagai faktor klinis, patient-related factors, dan faktor lokal. Pada analisa akhir,

ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda nyeri pascaoperasi adalah

persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit.

Efektivitas dari pereda rasa nyeri pascaoperasi adalah sangat penting untuk

menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani

operasi. Hal ini awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian

ditemukan bahwa dengan adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka

keadaan fisiologis pasien pun akan menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik

tidak hanya akan membantu penyembuhan pascaoperasi secara lebih signifikan

sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset

terjadinya chronic pain syndrome.

Karya tulis ini bertujuan untuk membahas mengenai metode-metode yang

dapat dipakai untuk manajemen pascaoperasi. Akan didiskusikan bagaimana caranya

menggunakan obat-obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi Non

Steroid), obat-obat yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi

lokal untuk mencapai tujuan ini. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana cara

menangani pasien usia tua dan anak-anak.

3

Page 3: pemeriksaan diagnosis Nyeri

BAB II

NYERI

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori

subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan

kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya

kerusakan

Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang

nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas

dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial

merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri

(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf

perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada

daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga

memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub

kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan

didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan

sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat

pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena

4

Page 4: pemeriksaan diagnosis Nyeri

struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan

sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi

sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana

nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai

teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang

kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari

Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau

dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini

mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan

impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan

tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol

desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan

substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme

pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal,

yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan

yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme

pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang dokter

menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan

menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut

delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien

mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak,

terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf

desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh

nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme

pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling

dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

5

Page 5: pemeriksaan diagnosis Nyeri

Respon fisiologis terhadap nyeri

a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

ii. Peningkatan heart rate

iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

iv. Peningkatan nilai gula darah

v. Diaphoresis

vi. Peningkatan kekuatan otot

vii. Dilatasi pupil

viii. Penurunan motilitas GI

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

i. Muka pucat

ii. Otot mengeras

iii. Penurunan HR dan BP

iv. Nafas cepat dan irreguler

v. Nausea dan vomitus

vi. Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan

jari & tangan

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas

menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi

sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi

kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk

merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat

6

Page 6: pemeriksaan diagnosis Nyeri

tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan

perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini

bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang

belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran

dokter dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi

pada klien.

b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat

subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.

Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang

lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan

mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi

terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri

kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan

nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya

rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang

yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin

berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri

dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari

ekspres, wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah

yang digunakan dokter untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.

Dokter harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit

mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak

mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu

tentunya membutuhkan bantuan dokter untuk membantu klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

7

Page 7: pemeriksaan diagnosis Nyeri

c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien

masih membutuhkan kontrol dari dokter, karena nyeri bersifat krisis,

sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila

klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)

dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Dokter berperan dalam

membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan

kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga dokter harus mengkaji

respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika

sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung

memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal

alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat

atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

b. Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara

signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex:

tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

c. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon

terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa

nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan,

jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

d. Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan

dan bagaimana mengatasinya.

e. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang

meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya

8

Page 8: pemeriksaan diagnosis Nyeri

distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Teknik relaksasi,

guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

f. Anxietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan

seseorang cemas.

g. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini

nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.

Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa

lalu dalam mengatasi nyeri.

h. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan

sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang

mengatasi nyeri.

i. Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Penilaian Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh

individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua

orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik

tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak

dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1. Skala intensitas nyeri deskritif

9

Page 9: pemeriksaan diagnosis Nyeri

2. Skala identitas nyeri numerik

3. Skala analog visual

4. Skala nyeri menurut Bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

10

Page 10: pemeriksaan diagnosis Nyeri

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,

tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau

intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri

sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda

bagi dokter dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk

dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan

sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun

dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak

terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Dokter menunjukkan klien skala

tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan.

Dokter juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan

seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan

klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik

(Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi

kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala

paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah

intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka

direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala analog visual (Visual

analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang

mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap

ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi

keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih

11

Page 11: pemeriksaan diagnosis Nyeri

sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada

dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

12

Page 12: pemeriksaan diagnosis Nyeri

BAB III

MANAJEMEN NYERI PASCAOPERASI

The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk

meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini

dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis

untuk mengatasi nyeri.

Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan

adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan

obat-obatan yang bekerja di

perifer. Apabila dengan obat-

obatan ini, nyeri tidak dapat

teratasi, maka diberikan obat-

obatan golongan Opioid

lemah seperti kodein dan

dextropropoxyphene disertai

dengan obat –obat lain untuk

meminimalisasi efek samping

yang timbul. Apabila regimen

ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-

obatan golongan Opioid Kuat, misalnya Morfin.

Belakangan, World

Federation of Societies of

Anaesthesiologists (WFSA)

Analgesic Ladder telah

dikembangkan untuk

mengobati nyeri akut. Pada

awalnya, nyeri dapat

dianggap sebagai keadaan

yang berat sehingga perlu

dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan

berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan

melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder

13

Page 13: pemeriksaan diagnosis Nyeri

adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat

tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan

menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah.

Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan

menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.

Anestesi Lokal

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif

terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan

dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang dapat

digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk

menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga melebihi

durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat

dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang efektif.

Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi anestesi

lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau sentral.

Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat mengatasi

nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor penyebab.

Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri pascaoperasi haruslah

terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil terbaik.

Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti

Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila

nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus.

Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di bagian-

bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat

digunakan untuk memberikan anestesi untuk pembedahan atau khusus untuk nyeri

pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok simpatik

diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila blokade pusat

seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.

Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh

bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi

jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor.

Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan

pelatihan khusus bagi staf dokter dalam pengelolaan pasca-operasi pasien. Kateter

14

Page 14: pemeriksaan diagnosis Nyeri

epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau daerah lumbal tetapi blokade

epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan. Meskipun infus kontinu

anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat efektif, teknik ini juga

menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik

dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang

diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.

Analgesik Non-Opioid

Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh

dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama

untuk nyeri ringan sampai sedang.

Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh

dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme

menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi.

Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam.

Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat

diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika

bersama-sama dengan antasida.

Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,

menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek

antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain

relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif

lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reye’s Syndrome

dan harus dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada anak-anak usia di bawah

12 tahun.

Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum

4g, per oral per hari.

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan

antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin

oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi

prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja

dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu

OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang

timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang.

15

Page 15: pemeriksaan diagnosis Nyeri

Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya

tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang

panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang

lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping

penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS

mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu

perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa

lambung dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek

samping.

Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap

riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan

dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat ,

dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.

Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara

klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah

dibandingkan dengan OAINS lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak,

naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin dan asam mefenamat. Apabila rute oral

tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau

topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap

dengan baik.

Opioid Lemah

16

Page 16: pemeriksaan diagnosis Nyeri

Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid

(seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat

diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga

sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati

untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan

kombinasi parasetamol tablet.

Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg

setiap hari.

Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi

memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam

kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus

diawasi.

Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai

60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.

Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat

berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak

diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:

Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai

maksimum 8 tablet perhari.

Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan

Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat

digunakan.

Opioid Kuat

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan

Opioid kuat sebagai analgesianya. Dokteran yang tepat dimulai dengan pemahaman

yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan. Pemberian awal akan

mencapai konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih mudah untuk

mempertahankan tingkat terapeutik obat di dalam darah.

17

Page 17: pemeriksaan diagnosis Nyeri

Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah

pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau

besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia pada

pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti

morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat

mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan. Secara

umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui suntikan.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada variasi

yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi intramuskular.

Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit ginjal, usia yang

ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi apapun yang mengurangi aliran

darah perifer dapat mengganggu penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi

suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi semua ini akan mengakibatkan menurunnya

penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan hipotiroidisme keduanya menyebabkan

penurunan metabolisme yang menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap obat-

obatan.

Metode menggunakan obat opioid

Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang

paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk mengobati nyeri

akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan

pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah dapat mencegah penyerapan

obat-obatan yang diberikan secara oral dan di samping itu,bioavailabilitas berkurang

setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi rute oral mungkin tidak cocok

dalam banyak kasus.

Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat.

Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati metabolisme

lintas pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah

buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam).

Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme

jika diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama

jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat

diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera

nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu,

meskipun secara ideal cocok untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk

18

Page 18: pemeriksaan diagnosis Nyeri

sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral.

Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia.

Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara

berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek analgesia

akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk mengatasi

masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara reguler setiap 4 jam.

Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular opioid dapat sebagus yang dari

Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat ini diperlukan

penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan pengembangan algoritme

pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.

Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk

memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-operasi

untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan fluktuasi

produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan

hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih cepat dari metode

lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan intermiten atau dengan

infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan berada dalam unit terapi

intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien dibiarkan tanpa pengawasan

bahkan untuk periode singkat.

Patient Controlled Analgesia (PCA)

Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa

kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem di

mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis

titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor kecil

yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial sekarang

tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan tingkat

analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma

dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang disebabkan oleh fluktuasi

tingkat plasma akan dihilangkan.

Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka

pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci

sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA. Secara teori,

obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang, dan memiliki

19

Page 19: pemeriksaan diagnosis Nyeri

margin keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya

tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah

dibuat parameter-parameter lainnya perlu ditentukan termasuk ukuran bolus dosis,

jangka waktu minimum antara dosis (kunci-habis) dan dosis maksimum yang

diperbolehkan.

Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh.

Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang diperlukan

dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai. Tujuan

jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya overdosis.

Jangka waktu minimum antar dosis harus cukup lama untuk dosis sebelumnya

memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5 dan 10 menit

cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih logis untuk

menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi dan beberapa

pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk mencapai nyeri yang

memadai.

Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke titik

di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan untuk hal ini

adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran akan overdosis,

kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf rumah sakit dan harapan setelah

operasi.

20

Page 20: pemeriksaan diagnosis Nyeri

BAB IV

KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu

kerusakan atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan

yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah

mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain

(IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang

didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri pascaoperasi

haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang

baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga

pemulangan pasien dari dokteran yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri

pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi

lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna.

Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan

Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan

menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa

mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.

21

Page 21: pemeriksaan diagnosis Nyeri

DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies

of Anaesthesiologists http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm

2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute

postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds.

Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book;

1992:253-68

3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral

catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior

cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.

4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill

Livingstone. 2006

22