pembuatan tool analisis spasial bahaya …
TRANSCRIPT
PEMBUATAN TOOL ANALISIS SPASIAL BAHAYA
KEBAKARAN HUTAN MENGGUNAKAN
MODELBUILDER (STUDI KASUS PROVINSI ACEH)
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan
memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Komputer
Oleh:
RAHMA SORAYA
1308107010019
JURUSAN INFORMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
JANUARI, 2018
iii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang
berjudul Pembuatan Tool Analisis Spasial Bahaya Kebakaran Hutan
Menggunakan ModelBuilder (Studi Kasus Provinsi Aceh). Shalawat serta salam
penulis sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa
umat manusia ke dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan saat ini.
Proposal ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
menyelesaikan studi di jurusan Informatika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala. Penulis menyadari bahwa penulisan
proposal ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara
moril maupun materil. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Orang Tua dan Keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa dan
semangat kepada penulis.
2. Bapak Dr. Muhammad Subianto, M.Si, (Ketua Jurusan Informatika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah
Kuala).
3. Bapak Dr. Nizamuddin, M.Info.,Sc., selaku Pembimbing I dan Bapak
Ardiansyah, BSEE, M.Sc, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan
banyak waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan Tugas
Akhir ini.
4. Kak Fitria Rambe, SE dan Kak Liya Novita, S. Kom selaku staf bagian
administrasi Jurusan Informatika Unsyiah yang telah membantu proses
administrasi penulis.
5. Teman-teman mahasiswa/mahasiswi angkatan 2013 Jurusan Informatika
Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan semangat dan motivasi
selama proses penyelesaian Tugas Akhir ini.
iv
Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak akan sangat membantu. Dengan
segala kerendahan hati, harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Banda Aceh, Januari 2018
Rahma Soraya
v
ABSTRAK
Kebakaran hutan di Indonesia saat ini, telah menjadi perhatian internasional yang
tiap tahun menimbulkan dampak kerugian terhadap lingkungan, sosial dan
ekonomi. Menurut Global Forest Watch, di wilayah Aceh pada tahun 2001-2014
tercatat sekitar 464.698 Ha luas hutan yang telah terbakar. Untuk mencegah
terjadinya kebakaran hutan maka salah satu tindakan yang dilakukan adalah dengan
membuat peta bahaya kebakaran hutan. Untuk membuat peta bahaya biasanya
diperlukan berbagai tahapan analisis sehingga memakan waktu dan tenaga. Oleh
sebab itu, diperlukan sebuah tool agar analisis bahaya kebakaran hutan dapat
dilakukan secara praktis dan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sebuah
tool yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menghasilkan peta bahaya
kebakaran hutan di Provinsi Aceh dengan memanfaatkan ModelBuilder. Metode
yang digunakan pada penelitian ini adalah skoring, pembobotan dan overlay.
Setelah tool selesai dibangun dan dijalankan, hasil dari penelitian ini diperoleh
bahwa tingkat bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh terbagi atas lima kelas
yaitu sangat rendah dengan luas 3.341,58 Ha (0,1%), rendah 2.000.383,14 Ha
(38,7%), sedang 1.485.653,35 Ha (28,7%), tinggi 1.251.483,98 Ha (24,2%) dan
sangat tinggi 430.298,80 Ha (8,3%). Selanjutnya dilakukan evaluasi hasil dari tool
dengan menggunakan data titik panas. Hasil yang diperoleh adalah sebanyak 326
titik panas yang terdeteksi di wilayah dengan tingkat kebakaran hutan yang tinggi.
Sedangkan untuk pengujian kelayakan sistem digunakan metode SUS (System
Usability Scale) yang dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada 30
responden dengan jumlah 10 pertanyaan. Hasil yang diperoleh dalam pengujian
kelayakan sistem adalah 77,2 yang berarti tool Forest Fire termasuk ke dalam grade
C (Good).
Kata kunci: Kebakaran Hutan, ModelBuilder, Titik Panas, SUS (System Usability
Scale).
vi
ABSTRACT
Forest fires in Indonesia have become an international concern which have negative
environmental, social and economical impacts every year. According to Global
Forest Watch, in Aceh region in 2001-2014 it was recorded about 464,698 Ha of
forest area that has been burned. In order to prevent the occurrence of forest fires,
one of the actions taken is to make a map of forest fire hazard. Making a map
usually require various stages of analysis so that it takes time and energy. Therefore,
a tool is needed so that forest fires hazard analysis can be done practically and
quickly. The objectives of this study were to identify and to generate a forest fire
hazard map of Aceh province area using ModelBuilder. The method used in this
study were scoring, weighting and overlay. After the tool was completed and
operated, the result showed that the forest fire hazard level of Aceh Province was
divided into five classes, namely very low 3.341,58 Ha (0,1%), low 2.000.383,14
Ha (38,7%), average 1.485.653,35 Ha (28,7%), high 1.251.483,98 Ha (24,2%) and
very high 430.298,80 Ha (8,3%). Then the results of the tool were evaluated by
using hotspot data. The results obtained were 326 hotspots detected in areas as high
forest fire level. The feasibility system was analyzed by using SUS (System
Usability Scale) method which was carried out by distributing questionnaire
consisting of 10 questions which had been validated to 30 respondents. The results
obtained from those questionnaires were calculated using SUS method to yield a
system feasibility score of 77,2. The value means the Forest Fire tool is categorized
to grade C or good.
Keywords: Forest Fire, ModelBuilder, Hotspot, System Usability Scale.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Tugas Akhir………………………………………………………………………...i Pengesahan
………………………………………………………………………...Error!
Bookmark not defined. Kata Pengantar ……………………………………………………………………iii Abstrak …………………………………………………………………………….v
Abstract …………………………………………………………………………...vi Daftar Isi …………………………………………………………………………vii Daftar Tabel ……...………………………………………………………………..x Daftar Gambar…………………………………………………………………….xi Daftar Lampiran ..……………………………………………………………….xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 3
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Gambaran Umum Provinsi Aceh ........................................................ 4
2.2. Hutan ................................................................................................... 6 2.3. Kebakaran Hutan ................................................................................ 6
2.3.1. Pengertian Kebakaran Hutan ............................................................. 6 2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan ....................................... 7 2.3.3. Teknik Pencegahan Kebakaran Hutan ............................................... 7
2.4. Peta Bahaya Kebakaran Hutan ........................................................... 8 2.5. Hotspot (Titik Panas) .......................................................................... 8 2.6. Metode Skoring dan Pembobotan ....................................................... 9
2.6.1. Parameter-Parameter Bahaya Kebakaran Hutan ............................... 9 2.6.1.1. Penutupan Lahan .................................................................. 9 2.6.1.2. Jenis Lahan (gambut dan non-gambut) ............................... 10 2.6.1.3. Kelerengan .......................................................................... 11 2.6.1.4. Ketinggian .......................................................................... 12 2.6.1.5. Jarak dari Permukiman (Desa)............................................ 12 2.6.1.6. Jarak dari Sungai................................................................. 13 2.6.1.7. Jarak dari Jalan ................................................................... 14 2.6.2. Pembobotan .................................................................................... 14
2.7. Analisis Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan ...................................... 15 2.8. Weighted Sum ................................................................................... 16 2.9. Euclidean Distance ........................................................................... 17 2.10. ModelBuilder .................................................................................. 18
2.11. Metode SUS (System Usability Scale) ............................................ 20 2.12. Penelitian Terkait ............................................................................ 22
viii
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 27 3.2. Alat dan Bahan .................................................................................. 27
3.2.1. Alat .................................................................................................. 27 3.2.2. Bahan ............................................................................................... 27
3.3. Prosedur Penelitian ........................................................................... 29 3.3.1. Identifikasi dan Perumusan Masalah ............................................... 30 3.3.2. Studi Literatur .................................................................................. 30 3.3.3. Pengumpulan Data ........................................................................... 30 3.3.4. Perancangan Tool ............................................................................ 31 3.3.5. Pembuatan Tool ............................................................................... 31 3.3.6. Tahap Evaluasi Tool ........................................................................ 32 3.3.7. Peta Bahaya Kebakaran Hutan Provinsi Aceh................................. 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perancangan Tool .............................................................................. 34
4.1.1. Perancangan Peta Penggunaan Lahan ............................................. 34 4.1.2. Perancangan Peta Lahan Gambut .................................................... 34 4.1.3. Perancangan Peta Ketinggian dan Kelerengan Lahan ..................... 35 4.1.4. Perancangan Peta Jarak dari Permukiman, Sungai dan Jalan .......... 36 4.1.5. Pembobotan menggunakan Weighted Sum dan Reklasifikasi Peta
Bahaya Kebakaran Hutan ................................................................ 37 4.2. Pembuatan Tool ................................................................................ 40
4.2.1. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan ................................................ 41 4.2.2. Pembuatan Peta Lahan Gambut dan Non Gambut .......................... 43 4.2.3. Pembuatan Peta Kelerengan Lahan ................................................. 44 4.2.4. Pembuatan Peta Ketinggian Lahan .................................................. 46 4.2.5. Pembuatan Peta Jarak dari Desa ...................................................... 47 4.2.6. Pembuatan Peta Jarak dari Sungai ................................................... 48 4.2.7. Pembuatan Peta Jarak dari Jalan ...................................................... 50 4.2.8. Pemberian Nilai Bobot pada Setiap Parameter ................................ 52 4.2.9. Pengecekan Nilai Bobot .................................................................. 53 4.2.10. Overlay Parameter Bahaya Kebakaran Hutan................................ 54 4.2.11. Reklasifikasi Hasil Berdasarkan Kelas Bahaya Kebakaran Hutan 56 4.2.12. Menghitung Luas Area Berdasarkan Kelas Bahaya Kebakaran
Hutan ............................................................................................... 57 4.3. Tampilan Antarmuka Tool Forest Fire ............................................ 58 4.4. Evaluasi Sistem ................................................................................. 62
4.4.1. Pengujian Validitas Hasil Tool Menggunakan Titik Panas
(Hotspot) .......................................................................................... 62 4.4.2. Pengujian Validitas Tool Forest Fire Menggunakan Metode SUS
(System Usability Scale) .................................................................. 65 4.4.3. Evaluasi Hasil dengan Peta Eksisting .............................................. 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 69 5.2. Saran ................................................................................................. 69
ix
DAFTAR KEPUSTAKAAN ………………...…………………………………70
LAMPIRAN ……………………………………………………………………..74
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Skor kelas penutupan lahan.................................................................. 10
Tabel 2.2. Skor jenis lahan (gambut dan non gambut) ......................................... 11
Tabel 2.3. Skor kelas kelerengan .......................................................................... 12
Tabel 2.4. Skor kelas ketinggian ........................................................................... 12
Tabel 2.5. Skor jarak dari permukiman ................................................................. 13
Tabel 2.6. Skor jarak dari sungai .......................................................................... 14
Tabel 2.7. Skor jarak dari jalan ............................................................................. 14
Tabel 2.8. Pembobotan parameter risiko kebakaran hutan pada penelitian Widodo
............................................................................................................................... 15
Tabel 2.9. Daftar pertanyaan kuesioner SUS ........................................................ 22
Tabel 4.1. Pembobotan parameter kebakaran hutan ............................................. 38
Tabel 4.2. Nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan ................................ 40
Tabel 4.3. Nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan ................................ 57
Tabel 4.4. Luas daerah bahaya kebakaran hutan berdasarkan tingkat bahaya
kebakaran .............................................................................................................. 61
Tabel 4.5. Jumlah hotspot pada wilayah tingkat bahaya kebakaran hutan ........... 62
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Peta batas administrasi Provinsi Aceh ............................................... 5
Gambar 2.2. Ilustrasi cara kerja Weighted Sum .................................................... 17
Gambar 2.3. Ilustrasi cara kerja Euclidean Distance ............................................ 18
Gambar 2.4. Ilustrasi model sederhana pada ModelBuilder ................................. 18
Gambar 2.5. Elemen pada ModelBuilder .............................................................. 19
Gambar 2.6. Skala nilai skor SUS ......................................................................... 21
Gambar 2.7. Pemanfaatan ModelBuilder pada pemetaan rawan kebakaran ......... 24
Gambar 2.8. Pemanfaatan ModelBuilder pada analisa kesesuaian lahan
permukiman di Kota Makassar ............................................................................. 25
Gambar 3.1. Skema kerja pembuatan tool analisis tingkat bahaya kebakaran hutan
............................................................................................................................... 29
Gambar 4.1. Skema perancangan peta penggunaan lahan .................................... 34
Gambar 4.2. Skema perancangan peta lahan gambut ........................................... 35
Gambar 4.3. Skema perancangan peta ketinggian dan kelerengan lahan ............. 36
Gambar 4.4. Skema perancangan peta jarak dari permukiman, sungai dan jalan . 37
Gambar 4.5. Skema overlay Weighted Sum dan reklasifikasi ............................... 39
Gambar 4.6. Tool Feature to Raster pada peta penggunaan lahan ....................... 42
Gambar 4.7. Reclassify penggunaan lahan ............................................................ 42
Gambar 4.8. Proses pembuatan peta penggunaan lahan pada ModelBuilder ....... 43
Gambar 4.9. Tool Feature to Raster pada peta lahan gambut .............................. 43
Gambar 4.10. Reclassify jenis lahan gambut dan non gambut .............................. 44
Gambar 4.11. Proses pembuatan peta penggunaan lahan pada ModelBuilder ..... 44
Gambar 4.12. Tool Slope pada kelerengan lahan .................................................. 45
Gambar 4.13. Reclassify kelerengan lahan ........................................................... 45
Gambar 4.14. Proses pembuatan peta kelerengan lahan pada ModelBuilder ....... 46
Gambar 4.15. Reclassify ketinggian lahan ............................................................ 46
Gambar 4.16. Proses pembuatan peta ketinggian lahan pada ModelBuilder ........ 46
Gambar 4.17. Tool Euclidean Distance pada peta desa ........................................ 47
Gambar 4.18. Reclassify jarak dari permukiman (desa) ....................................... 48
Gambar 4.19. Proses pembuatan peta jarak dari desa pada ModelBuilder ........... 48
Gambar 4.20. Tool Euclidean Distance pada peta desa ........................................ 49
Gambar 4.21. Reclassify jarak dari sungai ............................................................ 49
Gambar 4.22. Proses pembuatan peta jarak dari sungai pada ModelBuilder ........ 50
Gambar 4.23. Tool Euclidean Distance pada peta jaringan jalan ......................... 50
Gambar 4.24. Reclassify jarak dari jalan ............................................................... 51
Gambar 4.25. Proses pembuatan peta jarak dari jalan pada ModelBuilder .......... 51
Gambar 4.26. Pemberian Model Parameter pada variabel ................................... 52
Gambar 4.27. Penggunaan Calculate Value untuk pengecekan pembobotan ....... 53
Gambar 4.28. Tool Calculate Value dan Iteration Stop pada ModelBuilder ........ 54
Gambar 4.29. Tool Weighted Sum untuk analisis parameter bahaya kebakaran
hutan ...................................................................................................................... 54
xii
Gambar 4.30. Overlay menggunakan Weighted Sum............................................ 55
Gambar 4.31. Data raster bahaya kebakaran hutan sebelum di Reclassify ........... 56
Gambar 4.32. Reclassify untuk peta bahaya kebakaran hutan .............................. 57
Gambar 4.33. Proses mencari nilai luas daerah kebakaran menggunakan Tabulate
Area pada ModelBuilder ....................................................................................... 58
Gambar 4.34. Tampilan antarmuka tool Forest Fire ............................................ 59
Gambar 4.35. Output hasil run tool Forest Fire ................................................... 60
Gambar 4.36. Output tabel luas daerah bahaya kebakaran hutan hasil run tool
Forest Fire ............................................................................................................ 61
Gambar 4.37. Peta bahaya kebakaran hutan dengan sebaran hotspot 2016 di
Provinsi Aceh ........................................................................................................ 64
Gambar 4.38. Peta bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh hasil dari tool Forest
Fire ........................................................................................................................ 67
Gambar 4.39. Peta bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh oleh BPBA……...68
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Analisis bahaya kebakaran hutan pada ModelBuilder ...................... 74
Lampiran 2. Keterangan dari tampilan antarmuka tool Forest Fire ..................... 75
Lampiran 3. Peta bahaya kebakaran hutan hasil run tool Forest Fire .................. 78
Lampiran 4. Pertanyaan kuesioner ........................................................................ 79
Lampiran 5. Skor hasil kuesioner dari responden ................................................. 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi perhatian dunia internasional
khususnya sejak kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 80-an (Adiningsih et al,
2005). Kebakaran hutan adalah penyebab utama kerusakan hutan yang paling besar
dan bersifat sangat merugikan. Kebakaran hutan sering terjadi jika musim kemarau
berkepanjangan pada suatu daerah tersebut. Kebakaran hutan dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor alam yang
mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan adalah bahan bakar, iklim dan topografi.
Sedangkan faktor perilaku manusia disebabkan oleh tindakan kesengajaan maupun
kelalaian yang menyebabkan terjadinya kebakaran seperti penyiapan lahan dengan
tebas bakar serta kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya, faktor
perilaku manusia menjadi penyebab utama kejadian kebakaran hutan di Indonesia
dan sangat kecil terjadinya akibat faktor alam seperti gesekan kayu, fenomena alam
El Nino maupun petir (Widodo, 2014).
Menurut data BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan
LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), beberapa daerah yang
rawan kebakaran hutan dan lahan yaitu Jawa, Sumatera Selatan, Aceh, Bali,
Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara, dan Kalimantan Barat. Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan mengatakan akan memperketat pengawasan di wilayah Aceh
dan Kalimantan Selatan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
wilayah tersebut (Wahyuni, 2015). Wilayah Aceh pada tahun 2001-2014 tercatat
sekitar 464.698 Ha hutan yang telah terbakar. Tahun 2009 adalah wilayah dengan
kebakaran hutan terluas yaitu 69.153 Ha (globalforestwatch.org, 2013).
Berdasarkan data LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), pada
tahun 2014 di Provinsi Aceh terdeteksi titik panas (hotspot) sebanyak 527 titik
(tingkat kepercayaan ≥ 50%) dengan luas kawasan hutan yang terbakar seluas
46.908 Ha (lapan.go.id, 2016).
2
Pencegahan kebakaran hutan merupakan suatu tindakan atau kegiatan yang
dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan-kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran
hutan yaitu pembuatan peta bahaya kebakaran hutan. Informasi mengenai daerah
bahaya kebakaran hutan merupakan informasi yang sangat penting dan diperlukan
oleh petugas pemadam kebakaran hutan dalam kegiatan pengendalian kebakaran
hutan dan lahan (Purbowaseso, 2004).
Peta bahaya kebakaran dibuat berdasarkan analisis spasial sebaran bahaya
kebakaran. Suatu analisis spasial mencakup tumpang susun (overlay) beberapa data
spasial dengan menggunakan metode tertentu. Proses analisis spasial tersebut dapat
dipermudah dengan membangun suatu model. Model adalah alur kerja yang berisi
input, tool geoprocessing, dan output. Sebuah output dari suatu tool dapat menjadi
input bagi tool lainnya sehingga membentuk suatu rangkaian. Model sangat
berguna untuk melakukan analisis yang cukup kompleks. Sebuah fitur pada ArcGIS
yang dapat digunakan untuk membuat, mengedit dan mengelola model tersebut
adalah ModelBuilder (Raharjo dan Ikhsan, 2015).
Proses overlay dengan menggunakan ModelBuilder akan lebih efisien dan
efektif serta mudah untuk dipahami. Hal tersebut karena pada ModelBuilder analisis
yang dikerjakan dapat direpresentasikan menggunakan konsep flow chart atau
diagram alir sehingga dapat memudahkan pengguna dalam memahami proses dari
sebuah model (Buchori dan Susilo, 2012). Oleh karena di Provinsi Aceh mulai
sering terjadinya kebakaran hutan, maka diperlukan sebuah tool untuk menganalisis
bahaya kebakaran hutan agar analisis dapat dijalankan secara praktis. Berdasarkan
pemaparan permasalahan tersebut, maka Tugas Akhir ini mengambil judul
Pembuatan Tool Analisis Spasial Bahaya Kebakaran Hutan Menggunakan
ModelBuilder (Studi Kasus Provinsi Aceh)
3
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya, pembuatan
peta bahaya kebakaran hutan adalah salah satu tindakan awal dalam pencegahan
kebakaran hutan. Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki
potensi bahaya kebakaran hutan. Sementara itu belum tersedia tool yang dapat
mempermudah analisis dan pembuatan peta bahaya kebakaran hutan. Oleh karena
itu, diperlukan sebuah tool untuk pemetaan wilayah bahaya kebakaran hutan di
Provinsi Aceh
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Merancang dan membuat sebuah tool dengan menggunakan ModelBuilder
yang digunakan untuk analisis spasial bahaya kebakaran hutan.
2. Membuat peta bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh dengan
menggunakan tool yang telah dibuat.
3. Mengevaluasi kegunaan dari tool pemetaan bahaya kebakaran hutan yang
telah dibuat dengan menggunakan metode SUS.
4. Mengevaluasi hasil tool dengan data titik panas (hotspot).
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari penelitian ini antara lain:
1. Membuat peta menjadi lebih mudah dengan menggunakan tool yang sudah
dibuat.
2. Adanya peta bahaya kebakaran hutan sebagai dasar referensi tindakan
pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan.
4
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Gambaran Umum Provinsi Aceh
Provinsi Aceh terletak antara 01⁰ 58’ 37,2” – 06⁰ 04’ 33,6” Lintang Utara
dan 94⁰ 57’ 57,6” – 98⁰ 17’ 13,2” Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125
meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terdiri atas 18
Kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong atau desa.
Adapun kabupaten/kota di Provinsi Aceh adalah Simeulue, Aceh Singkil, Aceh
Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Besar,
Pidie, Bireun, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Nagan
Raya, Aceh Jaya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Banda Aceh, Sabang, Langsa,
Lhokseumawe, Subulussalam (BPS, 2015).
Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan
dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah
Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan
Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
dengan Provinsi Sumatera Utara. Luas Provinsi Aceh 5.667.081 ha, dengan hutan
sebagai lahan terluas yang mencapai 2.270.080 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat
seluas 700.350 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 2.096
ha (BPS, 2015). Wilayah Provinsi Aceh dapat kita lihat pada Gambar 2.1. berikut.
5
Gambar 2.1. Peta batas administrasi Provinsi Aceh
6
2.2. Hutan
Menurut Arief (1994), hutan adalah suatu kawasan yang terdapat tumbuh-
tumbuhan dan hewan yang hidup di permukaan dan di dalam lapisan tanah, serta
membentuk suatu ekosistem yang berada dalam sebuah keseimbangan. Hutan
adalah kawasan tumbuh-tumbuhan yang didominasi oleh pohon-pohon dan
mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dari keadaan di luar hutan
(Soerianegara dan Indrawan, 1998).
Secara sederhana, hutan diartikan sebagai suatu komunitas biologi yang
didominasi oleh pohon-pohonan tanaman keras. Sedangkan menurut UU No. 5
tahun 1967, hutan diartikan sebagai lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang
secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya (Subagyo, 1992). Hutan memiliki fungsi yang penting bagi
kehidupan. Keberadaan dan kelangsungan hutan perlu dijaga oleh masyarakat. Atas
dasar itu, perlu pengaturan yang baik dalam memanfaatkan dan mengelolanya.
2.3. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia, khususnya di
wilayah Sumatera dan Kalimantan, termasuk Provinsi Aceh. Mengingat pentingnya
akan sumber daya hutan dalam penambahan devisa negara, agar tidak terjadi
penurunan maka upaya perlindungan hutan dari gangguan luar terutama dari
kebakaran hutan, perlu diusahakan semaksimal mungkin.
2.3.1. Pengertian Kebakaran Hutan
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan (2009) Kebakaran Hutan adalah
suatu kawasan hutan yang dilanda api sehingga menyebabkan kerusakan hutan dan
hasil hutan yang menimbulkan kerugian baik kerugian ekonomis maupun
lingkungan.
Menurut pakar kehutanan, Prof. Bambang Hero Saharjo (2003) Kebakaran
Hutan adalah pembakaran yang penjalaran apinya luas dan cepat serta membakar
bahan bakar alam di hutan seperti rumput, semak belukar, dedaunan, serasah dan
pohon-pohon. Syaufina (2008) mendefinisikan Kebakaran Hutan sebagai
7
kebakaran yang melahap bahan bakar alam tumbuhan yang terjadi secara bebas
sehingga meluas dan tidak terkendali di dalam kawasan hutan.
Menurut Brown dan Davis (1973) Kebakaran Hutan merupakan proses
reaksi oksigen dengan unsur-unsur pendukung lainnya seperti panas, cahaya, serta
api dengan penyebaran yang luas dan membakar bahan bakar tumbuh-tumbuhan
baik yang masih hidup maupun yang sudah mati seperti semak belukar, humus,
gulma dan serasah. Kebakaran Hutan juga didefinisikan sebagai kebakaran hutan
yang terjadi secara keseluruhan maupun sebagian atau juga tumbuh-tumbuhan yang
mudah terbakar lainnya (Hussin, 2008).
2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alam (biofisik)
dan faktor perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya
kebakaran hutan antara lain adalah bahan bakar, cuaca, waktu dan topografi.
Adapun faktor perilaku manusia lebih disebabkan oleh tindakan kesengajaan dan
kelalaian yang menyebabkan terjadinya kebakaran (Purbowaseso, 2004).
Faktor – faktor tindakan kesengajaan penyebab kebakaran hutan misalnya
pembakaran yang dilakukan untuk membuka lahan, Perkebunan Inti Rakyat (PIR),
Hutan Tanaman Industri (HTI), transmigrasi, penyiapan lahan untuk ternak sapi.
Sementara itu, faktor karena kelalaian manusia atau tidak disengaja seperti api dari
bekas puntung rokok yang dibuang, api dari bekas perapian para wisatawan atau
pengunjung yang berekreasi dengan melakukan perkemahan, dan api dari bekas
pekerja yang melakukan survei di hutan.
2.3.3. Teknik Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan merupakan upaya yang dilakukan pada fase sebelum kejadian
berlangsung. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran
hutan meliputi (Purbowaseso, 2004):
1. Membuat peta kerawanan kebakaran hutan
2. Memantau cuaca, akumulasi bahan bakar dan gejala rawan kebakaran
3. Penyiapan regu pemadam kebakaran
4. Membangun menara pengawas
8
5. Penyiapan peralatan pemadam
6. Penyuluhan
2.4. Peta Bahaya Kebakaran Hutan
Bahaya merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian maupun
tidak menimbulkan kerugian. Ketika suatu bahaya menimbulkan kerugian maka
bahaya tersebut dinamakan sebagai suatu bencana. Ancaman sering juga disebut
bahaya adalah lapis data (layer) menggambarkan tingkat dan atau magnitude
kejadian alam yang berpotensi menjadi penyebab peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia
(amazonaws.com, 2013). Pemetaan bahaya bencana dapat diterapkan ke dalam
Sistem Informasi Geografis (SIG) dan kemudian ditampilkan secara spasial.
Peta bahaya adalah representasi atau gambaran suatu wilayah yang
menyatakan suatu bahaya tertentu pada wilayah tersebut (BNPB, 2012). Menurut
Setyawan (2013), peta bahaya kebakaran hutan merupakan peta yang menunjukkan
wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya
kebakaran. Dalam pemilihan parameter penyusun peta tersebut haruslah
disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Dalam penelitian ini data dan
parameter penyusun peta bahaya kebakaran hutan meliputi: penutupan lahan, jenis
lahan (gambut dan non gambut), ketinggian, kelerengan, jarak dari desa, jarak dari
sungai dan jarak dari jalan terhadap kawasan hutan.
2.5. Hotspot (Titik Panas)
Hotspot (titik panas) secara definisi dapat diartikan sebagai daerah yang
memiliki suhu permukaan relatif lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya
berdasarkan ambang batas suhu tertentu yang terpantau oleh satelit pengindraan
jauh. Tipologi nya adalah titik dihitung sebagai jumlah bukan suatu luasan. Hotspot
adalah hasil deteksi kebakaran hutan/lahan pada ukuran piksel tertentu (misal 1 km
x 1 km) yang kemungkinan terbakar pada saat satelit melintas pada kondisi relatif
bebas awan dengan menggunakan algoritme tertentu (Giglio L. et al. 2003).
Sedangkan menurut Purbowaseso (2004) titik panas (hotspot) merupakan daerah
9
dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi dan menyebabkan bahan bakar
cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu yang tinggi
akan mengindikasikan bahwa daerah tersebut cuacanya kering, sehingga rawan
terhadap kebakaran.
Satelit pengindraan jauh yang digunakan untuk deteksi hotspot oleh
LAPAN (2016) adalah Terra/Aqua-MODIS dan Suomi NPP-VIIRS. Penggunaan
Hotspot sangat direkomendasikan untuk kegiatan deteksi dini adanya kebakaran
hutan dan lahan karena merupakan indikator adanya kebakaran hutan dan lahan di
suatu wilayah. Saat ini, satu-satunya alat yang paling efektif dalam mendeteksi
kebakaran hutan dalam wilayah luas adalah menggunakan satelit pengindraan jauh.
Banyaknya titik panas pada suatu wilayah menandakan bahwa daerah tersebut
bahaya terhadap kebakaran hutan. Dalam hal ini terdapat korelasi antara jumlah
titik panas dengan tingkat bahaya kebakaran. Semakin banyak jumlah titik panas,
maka akan semakin tinggi tingkat bahaya terjadinya kebakaran hutan. Data hotspot
ini akan digunakan sebagai pengujian akurasi hasil peta terhadap analisis bahaya
kebakaran hutan.
2.6. Metode Skoring dan Pembobotan
Metode skoring adalah suatu metode pemberian skor atau nilai terhadap
masing-masing parameter untuk menentukan tingkat kemampuannya. Penilaian ini
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Sedangkan metode pembobotan atau
disebut juga weighting adalah suatu metode yang digunakan apabila setiap karakter
memiliki peranan berbeda atau jika memiliki beberapa parameter untuk
menentukan kemampuan lahan atau sejenisnya (Sholahuddin, 2015).
2.6.1. Parameter-Parameter Bahaya Kebakaran Hutan
2.6.1.1. Penutupan Lahan
Komponen utama dari bahaya kebakaran hutan adalah penutupan lahan.
Hal ini dikarenakan pada penutupan lahan tersedianya bahan bakar yang mudah
terbakar seperti pohon-pohon yang daunnya berguguran karena pengaruh suhu dan
cuaca yang panas, daun tersebut akan mengering dan menjadi bahan bakar yang
mudah terbakar bila tersulut api. Sedangkan penutupan lahan yang hanya sebatas
10
tanah terbuka yang tidak menghasilkan bahan bakar maka sangat rendah akan
potensi bahaya kebakaran. Oleh sebab itu, pada setiap penutupan lahan diberikan
nilai atau skor sesuai dengan bahayanya terhadap kebakaran hutan (Setyawan,
2013).
Untuk penutupan lahan pemberian nilai atau skor dilakukan berdasarkan
kepada kepekaan jenis penutupan lahan yang bersangkutan terhadap terjadinya
kebakaran. Nilai skor 7 diberikan kepada jenis penutupan lahan yang sangat peka
yaitu sangat mudah terbakar, sampai nilai 1 untuk sulit terbakar. Tabel 2.1. adalah
pemberian skor yang mengacu pada klasifikasi yang dilakukan oleh Sabaraji
(2005).
Tabel 2.1. Skor kelas penutupan lahan
Jenis Penutupan Lahan Skor
Semak Belukar, Pertanian Lahan Kering Primer 7
Belukar Rawa, Hutan Lahan Kering Sekunder, Hutan Tanaman
Industri, Pertanian Lahan Kering + Semak 6
Hutan Rawa Sekunder, Perkebunan 5
Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Rawa Primer 4
Hutan Mangrove Sekunder 3
Hutan Mangrove Primer 2
Tambak, Tanah Terbuka, Bandara, Pelabuhan, Rawa, Tubuh Air,
Permukiman/ Transmigrasi, Sawah, Pertambangan 1
Sumber: Sabaraji (2005)
2.6.1.2. Jenis Lahan (gambut dan non-gambut)
Gambut merupakan hasil pelapukan tumbuhan dalam jangka waktu yang
lama. Pada saat aerob, gambut akan melepas CO2 dan CH4, tetapi pada suasana
anaerob gambut akan menimbun CO2 dan CH4. Lahan gambut adalah lahan organik
yang dapat menyerap air paling tidak 10 kali bobotnya, apabila air di dalam lahan
gambut di drainase secara berlebihan, maka mengakibatkan lahan menjadi kering
(Bintoro et al, 2010). Lahan gambut yang mengering akan mengurangi kemampuan
daya mengikat air secara drastis dan pada saat musim kemarau panjang, gambut
11
akan lebih cepat mengering dan mudah terbakar. Saluran drainase dapat
menyebabkan menurunnya ketebalan gambut secara permanen.
Lahan gambut merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap potensi
dan dampak kebakaran yang terjadi. Kebakaran lahan gambut sangat sulit
dipadamkan dan proses penyebarannya cepat meluas sehingga menyebabkan polusi
kabut asap Solichin et al (2007). Dalam pemberian skor untuk jenis lahan gambut
diberikan nilai skor 5 dan skor untuk jenis lahan non gambut adalah 1. Tabel 2.2.
adalah pemberian nilai skor untuk kelas jenis lahan (gambut dan non gambut).
Tabel 2.2. Skor jenis lahan (gambut dan non gambut)
Jenis Lahan Kelas Kerawanan Skor
Gambut Tinggi 5
Non Gambut Rendah 1
Sumber: Solichin et al. (2007)
2.6.1.3. Kelerengan
Pada suatu kawasan hutan pengaruh angin sangat berbahaya pada
kebakaran hutan yaitu angin dapat memperluas area kebakaran hutan. Dimana cepat
lambatnya penyebaran api tergantung dari kecepatan angin tersebut. Selain itu,
angin juga dapat membesarkan titik api sehingga dapat meluas secara cepat untuk
membakar bahan bakar. Dalam penelitian ini besarnya kecepatan angin ditentukan
juga dari kemiringan lereng. Hal ini dikarenakan semakin curam/terjal suatu
tempat, semakin rendah pula angin yang bertiup hal ini disebabkan oleh pengaruh
gaya gesekan yang menghambat laju udara (Setyawan, 2013).
Adanya gunung, pohon dan permukaan yang tidak rata memberikan gaya
gesekan yang besar pada pergerakan angin. Gaya gesekan tersebutlah yang
menyebabkan angin mengalami penurunan kecepatan atau melambat. Untuk
dataran dengan kelerengan rendah maka sangat berpotensi tinggi terjadinya
kebakaran, diberi nilai skor 5. Begitu juga seterusnya untuk dataran dengan
kelerengan tinggi maka sangat rendah berpotensi terjadinya kebakaran dan diberi
skor 1. Tabel 2.3. adalah penentuan skor kelas kelerengan lahan.
12
Tabel 2.3. Skor kelas kelerengan
Kemiringan Lereng (%) Kelas Kerawanan Skor
< 8 Sangat Tinggi 5
8 – 15 Tinggi 4
16 – 25 Sedang 3
26 – 40 Rendah 2
>40 Sangat Rendah 1
Sumber: SK Dirjen RRL No: 041/Kpts/V/1998 Tentang Kriteria Lahan Menggunakan Aspek
Spasial
2.6.1.4. Ketinggian
Daerah yang memiliki dataran yang tinggi maka memiliki gaya gesekan
yang tinggi apabila dibandingkan dengan daerah yang memiliki dataran rendah.
Sehingga sulit terjadinya kebakaran. Dan juga daerah tersebut jauh dari permukaan
laut dan tidak banyaknya akses masyarakat ke daerah tersebut. Pada tempat-tempat
yang rendah dikatakan bahwa memiliki potensi yang tinggi untuk terbakar dan
diberi nilai skor 5 dan seterusnya pada tempat yang tinggi maka memiliki potensi
yang sangat rendah/sulit terbakar diberi nilai skor 1 Solichin et al. (2007).
Penentuan skor kelas ketinggian lahan ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Skor kelas ketinggian
Ketinggian (m) Skor
< 50 6
50 – 100 5
100 – 200 4
200 – 500 3
500 – 1.000 2
> 1.000 1
Sumber: Sabaraji (2005)
2.6.1.5. Jarak dari Permukiman (Desa)
Jarak dari permukiman penduduk pada dasarnya digunakan untuk
menentukan pengaruh aktivitas manusia terhadap kebakaran hutan oleh sebab itu
permukiman penduduk memiliki peranan sangat penting yaitu semakin jauh lokasi
13
hutan terhadap permukiman penduduk dan jalan maka kemungkinan hutan untuk
terbakar semakin kecil (Arianti, 2006). Pada musim kemarau aktivitas masyarakat
sekitar hutan untuk memperoleh penghidupan dari hutan cenderung meningkat. Hal
ini disebabkan lahan untuk bercocok tanam masyarakat menjadi tidak produktif lagi
karena kekeringan. Pembuatan arang kayu dari pohon di hutan dapat menyebabkan
bahaya kebakaran hutan (Qodariah dan Wijanarko, 2008). Berdasarkan pembagian
kelas jarak dari permukiman diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Suparni
(2014). Dasar untuk membagi kelas jarak dari permukiman tertera pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Skor jarak dari permukiman
Jarak dari Permukiman (m) Kelas Kerawanan Skor
< 1000 Sangat Tinggi 5
> 1000 – 2000 Tinggi 4
> 2000 – 3000 Sedang 3
> 3000 – 4000 Rendah 2
> 4000 Sangat Rendah 1
Sumber: Suparni (2014)
2.6.1.6. Jarak dari Sungai
Fungsi sungai dalam kebakaran hutan berkaitan dengan ketersediaan air
untuk pemadaman kebakaran hutan. Dimana semakin jauh jarak hutan dengan
sungai maka semakin rawan terjadi kebakaran hutan begitu juga sebaliknya.
Sehingga walaupun hutan termasuk dalam wilayah bahaya kebakaran tinggi dengan
jarak hutan dengan sungai dekat maka akan mempermudah dalam pemadaman
kebakaran hutan sebelum api menyebar lebih luas. Serta dengan adanya sungai
maka dapat digunakan sebagai langkah pertama dalam memadamkan api sebelum
mobil pemadam kebakaran sampai di lokasi kebakaran (Setyawan, 2013). Dalam
pemberian nilai atau skor, skor terendah untuk jarak dari sungai yang dekat dengan
hutan begitupun sebaliknya. Tabel 2.6. adalah skor jarak dari sungai oleh Jaiswal et
al. (2002).
14
Tabel 2.6. Skor jarak dari sungai
Jarak dari Sungai (m) Kelas Kerawanan Skor
0 – 100 Sangat Rendah 1
100 – 200 Rendah 2
200 – 300 Sedang 3
300 – 400 Tinggi 4
> 400 Sangat Tinggi 5
Sumber : Jaiswal et al. (2002)
2.6.1.7. Jarak dari Jalan
Jarak jalan terhadap hutan dalam pengaruhnya terhadap kebakaran hutan
hampir sama dengan jarak desa terhadap hutan. Hal ini dikarenakan dengan
dekatnya jarak jalan terhadap hutan maka akses menuju hutan di sekitar jalan pun
juga akan sering terjadi. Sehingga tindakan ceroboh ketika sedang berkendara
seperti membuang puntung rokok diluar area jalan akan memicu timbulnya api yang
berakhir dengan kebakaran hutan. Selain itu, dengan adanya akses jalan tersebut
dapat mempermudah masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan hutan.
Interaksi tersebut dapat berdampak buruk akibat dari kelalaian masyarakat yang
menyebabkan timbulnya api sebagai pemicu kebakaran hutan (Setyawan, 2013).
Selanjutnya pemberian nilai atau skor sesuai dengan jauh dekatnya jarak jalan
terhadap hutan. Dimana skor terendah untuk jarak jalan yang jauh dari hutan dan
sebaliknya. Tabel 2.7. adalah pemberian nilai skor untuk kelas jarak dari jalan.
Tabel 2.7. Skor jarak dari jalan
Jarak dari Jalan (m) Kelas Kerawanan Skor
0 – 500 Tinggi 3
500 – 1000 Sedang 2
> 1000 Rendah 1
Sumber: Arianti (2006)
2.6.2. Pembobotan
Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta tematik masing-masing
parameter yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan dengan didasarkan atas
15
pertimbangan seberapa besar pengaruh masing-masing parameter penentu tersebut
terhadap tingkat bahaya kebakaran hutan. Parameter yang memiliki pengaruh yang
sangat besar sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan, maka parameter
tersebut diberi bobot paling tinggi, begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini bobot
terbesar diberikan untuk parameter penutupan lahan karena penutupan lahan
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran hutan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Widodo, terdapat 8 parameter risiko
kebakaran hutan yang digunakan yaitu Penutupan Lahan, Jenis Tanah (gambut dan
non-gambut), Ketinggian, Kelerengan, Jarak dari Desa, Jarak dari Sungai, Jarak
dari Jalan dan Jarak dari Daops Manggala Agni. Adapun nilai bobot pada parameter
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.8. berikut.
Tabel 2.8. Pembobotan parameter risiko kebakaran hutan pada penelitian Widodo
No. Parameter Bobot (%)
1 Penutupan Lahan 15
2 Jenis Lahan (gambut dan non gambut) 4
3 Ketinggian 13
4 Kelerengan 14
5 Jarak dari Permukiman (desa) 14
6 Jarak dari Sungai 13
7 Jarak dari Jalan 12
8 Jarak dari Daops Manggala Agni 15
Total 100
Sumber: Widodo (2014)
2.7. Analisis Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan
Tingkat bahaya suatu daerah/wilayah ditentukan dari nilai kombinasi
berbagai parameter bahaya kebakaran hutan. Tingkat bahaya berdasarkan hasil
kombinasi berbagai faktor tersebut disajikan dalam 5 kelas yaitu sangat rendah,
rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Kelas bahaya kebakaran hutan ditentukan
oleh penjumlahan dari semua nilai/bobot parameter penyusunannya. Menurut
16
Suhadirman (2012), nilai bahaya ditentukan dengan menggunakan Persamaan 2.1
sebagai berikut:
𝐾 = ∑ (𝑾𝒊 𝐱 𝑿𝒊)𝒏𝒊=𝟏 …............................................................................... (2.1)
Keterangan:
K = Nilai Kerawanan
Wi = Bobot untuk parameter ke-i
Xi = Skor kelas untuk parameter ke-i
Daerah dengan tingkat bahaya yang tinggi terhadap kebakaran hutan akan
menghasilkan nilai kerawanan yang tinggi dan sebaliknya, daerah yang tidak
bahaya terhadap kebakaran hutan akan menghasilkan nilai kerawanan yang rendah.
Untuk mengetahui interval nilai kelas kerawanannya digunakan Persamaan 2.2
sebagai berikut.
KI = 𝐊𝐦𝐚𝐱−𝐊𝐦𝐢𝐧
𝐧..................................................................................... (2.2)
Keterangan:
KI = Kelas Interval
Kmax = Nilai Kerawanan Terbesar
Kmin = Nilai Kerawanan Terkecil
n = Jumlah Kelas
(Sumber: Heryani et al, 2014)
2.8. Weighted Sum
Weighted sum merupakan analisis spasial dengan menggunakan teknik
overlay beberapa peta yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap suatu penilaian. Analisis ini biasanya dilakukan untuk menganalisis suatu
wilayah dalam suatu kawasan dan mengklasifikasikannya ke dalam zona yang
memiliki tingkatan (Rachmat, 2014). Sedangkan menurut Fristyananda dan Idajati
(2017) weighted sum adalah teknik analisis spasial dengan melakukan tumpang
tindih pada peta untuk menghasilkan suatu peta baru dengan menggunakan
17
pembobotan pada tiap input peta. Dengan kata lain, tool weighted sum adalah
sebuah tool yang dapat melakukan overlay beberapa data raster dengan mengalikan
masing-masing skor dengan bobot yang telah diberikan dan menjumlahkan
keduanya (ESRI, 2017).
Gambar 2.2. Ilustrasi cara kerja Weighted Sum Sumber: ESRI (2017)
Berdasarkan ilustrasi Gambar 2.2. di atas, cara kerja weighted sum adalah
nilai (skor) yang terdapat di dalam sel dikalikan dengan bobot dari masing-masing
parameter kemudian hasilnya dijumlahkan. Seperti contoh ilustrasi di atas, nilai
masing-masing dari sel kiri bawah ialah Input Raster 1: 1.1 * 0.75 (bobot) = 0.8
dan Input Raster 2: 2 * 0.25 = 0.5. Hasil penjumlahannya adalah 0.8 + 0.5 = 1.3.
2.9. Euclidean Distance
Euclidean Distance adalah perhitungan jarak dari titik pusat ke titik di
sekitarnya dengan mencari jarak terdekat dari titik pusat tersebut. Euclidean
Distance dapat ditemukan pada ArcToolbox → Spatial Analyst Tools → Distance →
Euclidean Distance. Secara konsep, algoritma Euclidean Distance bekerja sebagai
berikut : jarak pada masing-masing sel dilakukan perhitungan dengan menghitung
sisi miring pada x_max dan y_max sebagai dua sisi lainnya pada kaki segitiga.
Perhitungan ini menghasilkan jarak pada diantara 2 titik bukan jarak diantara sel.
Setelah jarak terpendek telah diketahui dan jika jaraknya kurang dari jarak
maksimum yang telah ditentukan maka nilainya diberikan ke lokasi sel pada raster
output. Berikut Gambar 2.3. adalah ilustrasi cara kerja Euclidean Distance (ESRI,
2016).
18
Gambar 2.3. Ilustrasi cara kerja Euclidean Distance
Nilai output raster untuk Euclidean Distance adalah nilai float. Jika sel
berada pada jarak yang sama dengan dua sumber atau lebih, sel tersebut diberikan
ke sumber yang pertama kali ditemukan dalam proses pemindaian. Proses
pemindaian ini tidak dapat dikontrol.
2.10. ModelBuilder
ModelBuilder adalah sebuah fitur pada ArcGIS yang digunakan untuk
mengedit, membuat dan mengelola sebuah model. Sedangkan model adalah sebuah
alur kerja yang menggabungkan tool geoprocessing dan mengumpan output dari
suatu tool menjadi input untuk tool lainnya sehingga membentuk sebuah rangkaian
(ESRI, 2014). Prinsip dasar dalam mempelajari ModelBuilder adalah memahami
struktur paling sederhana dari model yaitu input-proses-output. Berikut Gambar
2.4. adalah model sederhana sebagai suatu proses input-geoprocessing-output.
Input Geoprocessing Output
Gambar 2.4. Ilustrasi model sederhana pada ModelBuilder Sumber: ESRI (2014)
19
ModelBuilder terdiri atas tiga komponen dasar yaitu variabel, tool dan
konektor. Ketiga komponen tersebut tersusun satu sama lain sehingga membentuk
serangkaian input-proses-output yang utuh. Model yang sederhana maupun yang
sangat kompleks selalu terdiri dari ketiga elemen tersebut (Raharjo dan Ikhsan,
2015).
1.) Variabel
Variabel dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu data dan nilai (value).
Misalnya data vektor, data raster ataupun nilai tertentu yang di-input oleh
pengguna.
2.) Tool
Pada model terdapat tool ataupun model itu sendiri. Pengguna dapat
menggunakan tool yang tersedia dalam bawaan instalasi ArcGIS Desktop
(built-in).
3.) Konektor
Konektor yaitu penghubung antara variabel dengan tool. Tipe konektor dapat
berupa konektor data, environment, prakondisi maupun feedback. Berikut
elemen-elemen pada ModelBuilder dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Elemen pada ModelBuilder Sumber: ESRI (2014)
20
Menurut Raharjo dan Ikhsan (2015), model sangat berguna untuk
melakukan analisis yang cukup kompleks. Untuk melakukan analisis yang
kompleks, pengguna dapat membuat sebuah framework atau diagram alir yang
menggambarkan bagaimana analisis yang akan dilakukan. Diagram alir tersebut
biasa dibuat menggunakan Ms. Word atau digambar dengan tangan pada sebuah
kertas. ModelBuilder tidak saja dapat digunakan untuk melakukan analisis tetapi
juga untuk menggambarkan suatu diagram analisis. Dengan ModelBuilder,
pengguna akan sangat mudah melakukan pengecekan apakah analisis sudah sesuai
dengan diagram alir atau tidak.
2.11. Metode SUS (System Usability Scale)
Evaluasi dari berbagai macam layanan dan produk termasuk perangkat
keras dan perangkat lunak yang diukur nilai kegunaannya tidak dapat hanya
dirasakan oleh pengguna saja, namun terdapat sebuah metode untuk mengukur nilai
usability (kegunaan) tersebut (HR, 2016). Usability adalah analisis kualitatif untuk
menentukan seberapa mudah pengguna menggunakan antarmuka pada suatu
sistem/aplikasi (Nurhadryani et al, 2013). Menurut Dumas dan Redish (1999)
Usability mengacu kepada bagaimana pengguna bisa mempelajari dan
menggunakan sistem untuk memperoleh tujuannya dan untuk melihat seberapa
puaskah penggunaan sistem tersebut terhadap penggunanya.
Ada beberapa teknik pengujian usability, salah satunya adalah dengan
menggunakan metode SUS (System Usability Scale). Untuk menguji usability
sistem dari penelitian ini digunakan metode SUS untuk melihat apakah sistem
sudah terintegrasi dengan baik atau tidak. SUS merupakan salah satu metode yang
terpercaya untuk mengukur usability, SUS terdiri dari pemberian kuesioner kepada
pengguna dengan jumlah 10 pertanyaan dan terdapat 5 pilihan jawaban pada
masing-masing pertanyaan yang telah disediakan, dari sangat setuju sampai sangat
tidak setuju. Metode dan kuesioner ini awalnya dibuat oleh John Brooke pada tahun
1986. SUS telah menjadi standar industri dalam mengukur tingkat usability dengan
referensi lebih dari 1000 artikel dan publikasi. SUS juga merupakan kuesioner yang
paling umum digunakan untuk menilai usability (Lewis, 2006).
21
Hal yang dilakukan dalam menghitung nilai skor dari SUS adalah dengan
menjumlahkan skor pada masing-masing pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki
skala nilai dari 0 hingga 4. Untuk pertanyaan positif pada soal nomor 1, 3, 5, 7 dan
9 perhitungan skor dilakukan dengan cara mengurangi nilai poin skala dengan nilai
1. Sedangkan untuk pertanyaan negatif pada soal nomor 2, 4, 6, 8, 10 perhitungan
skor dilakukan dengan cara mengurangi nilai 5 dengan nilai skor. Nilai akhir pada
SUS adalah rata-rata dari total keseluruhan nilai pada setiap pertanyaan dan nilai
hasilnya dikalikan dengan 2.5 (Brooke, 1986). Rumus yang digunakan untuk
menghitung skor SUS dapat dilihat pada Persamaan 2.3. berikut.
Skor SUS = Rata-Rata Skor * 2.5....................................................... (2.3)
Skor SUS dapat menunjukkan penerimaan penggunaan sebuah sistem
berdasarkan tingkat usability. Skor yang diperoleh dari perhitungan SUS berada
rentang nilai dari 0 sampai 100. Sebuah sistem termasuk pada kategori “Not
Acceptable” bila skor SUS berada pada range 0-50 yang artinya sistem tersebut
tidak layak digunakan karena tingkat penggunaan sistem yang tidak memuaskan.
Skor SUS pada range 51-70 termasuk kategori “Marginal”. Sedangkan suatu sistem
berada pada kategori “Acceptable” jika skor SUS berada pada rentang nilai 71-100
yang artinya sistem tersebut terintegrasi dengan baik dan layak digunakan (Bangor
et al, 2009). Berikut skala nilai skor SUS dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Skala nilai skor SUS
Penelitian ini menggunakan kuesioner SUS versi Indonesia yang dihasilkan
dari penelitian yang dilakukan oleh Mariani et al (2017) dengan beberapa
modifikasi penulis. Berikut Tabel 2.9. adalah daftar pertanyaan dari kuesioner SUS.
22
Tabel 2.9. Daftar pertanyaan kuesioner SUS
No. Pertanyaan
1. Saya berpikir bahwa saya ingin sering menggunakan sistem ini.
2. Saya merasa sistem tidak perlu terlalu kompleks/rumit.
3. Saya merasa sistem mudah untuk digunakan.
4. Saya rasa saya membutuhkan bantuan dari orang teknis untuk dapat
menggunakan sistem ini.
5. Saya menemukan berbagai fungsi dalam sistem ini yang terintegrasi
dengan baik.
6. Saya rasa banyak hal yang tidak konsisten terdapat pada sistem.
7. Saya rasa mayoritas pengguna akan belajar menggunakan sistem ini secara
cepat.
8. Saya menemukan bahwa sistem sangat tidak praktis.
9. Saya sangat percaya diri dalam menggunakan sistem ini.
10. Saya harus belajar banyak hal terlebih dahulu sebelum saya dapat
menggunakan sistem ini.
Sumber: Mariani et al (2014) berdasarkan modifikasi dan penyesuaian penulis
2.12. Penelitian Terkait
Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pemetaan rawan
kebakaran hutan dan ModelBuilder adalah sebagai berikut:
1) Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2014) yang berjudul ‘Pemodelan
Spasial Risiko Kebakaran Hutan (Studi Kasus Provinsi Jambi, Sumatera)’.
Penelitian ini menerapkan 3 tahap analisis yaitu: analisis tabulasi silang (cross-
tabulation), analisis regresi linear dan analisis spasial integrasi antara
Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Terdapat 9 variabel-
variabel prediktor penyebab kebakaran hutan yang terbagi menjadi variabel
terikat dan variabel bebas. Variabel terikat adalah jumlah titik panas (hotspot)
sedangkan variabel bebas adalah penutupan lahan, jenis tanah (gambut dan
non-gambut), ketinggian (m), kelerengan (%), jarak dari desa (km), jarak dari
sungai (km), jarak dari jalan (km), jarak dari Daops Manggala Agni (km).
Pengembangan model spasial risiko kebakaran hutan di Jambi dibuat dengan
23
mengacu pada hasil analisis regresi dan analisis tabulasi silang. Kedua analisis
tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai bobot yang mempengaruhi
masing-masing variabel dan skor masing-masing kelas dalam setiap variabel
terhadap risiko terjadinya kebakaran hutan. Bobot pengaruh variabel prediktor
terhadap kebakaran hutan di Provinsi Jambi adalah penutupan lahan (15%),
jenis tanah (4%), ketinggian (13%), kelerengan (14%), jarak dari desa (14%),
jarak dari sungai (13%), jarak dari jalan (12%) dan jarak dari Daops MA (15%)
dengan nilai total seluruh variabel prediktor adalah 100%. Setelah nilai skor
dan bobot diperoleh maka proses analisis ModelBuilder dapat dilakukan.
Analisis ModelBuilder berjalan dalam skema analisis raster sehingga seluruh
data spasial yang berformat vektor harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam
format raster agar bisa dianalisis. Tingkat risiko kebakaran hutan dibagi
menjadi 5 kelas yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, sangat rendah.
2) Penelitian yang dilakukan oleh Solichin et al (2007) yang berjudul ‘Pemetaan
Daerah Rawan Kebakaran’. Peta rawan kebakaran merupakan model spasial
yang digunakan untuk merepresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan
risiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Model ini dibuat menggunakan
aplikasi SIG untuk memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab
kebakaran. Karenanya, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku
kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan pemodelan
ini. Solichin menggunakan 3 parameter untuk pemetaan daerah rawan
kebakaran antara lain penutupan lahan, penyebaran lahan gambut, dan
ketinggian (elevasi). Skor untuk tiap parameter ialah menggunakan rentang
nilai 1-5. Selain itu, bobot untuk tiap parameter yaitu penutupan lahan (40%),
ketinggian (30%) dan lahan gambut (30%). Penelitian ini menggunakan
ArcView GIS 3.2. untuk menjalankan ModelBuilder. Proses analisis yang
dilakukan adalah dengan melakukan konversi data Vector to Grid untuk data
penutupan lahan karena data yang didapat berupa shapefile kemudian proses
klasifikasi kembali (Reclassify) untuk data ketinggian. Selanjutnya dilakukan
proses pembobotan dan penilaian terhadap masing-masing parameternya. Hasil
dari nilai tingkat kerawanan kebakaran hutan dikelompokkan menjadi 5 kelas
24
yaitu tidak rawan, rendah, sedang, tinggi, sangat rawan. Contoh pemanfaatan
ModelBuilder pada pemetaan rawan kebakaran yang dilakukan oleh Solichin
dkk dapat dilihat pada Gambar 2.7. sebagai berikut.
Gambar 2.7. Pemanfaatan ModelBuilder pada pemetaan rawan kebakaran Sumber: Solichin et al (2007)
3) Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat (2014) dengan judul ‘Analisa
Kesesuaian Lahan Permukiman di Kota Makassar’. Kesesuaian lahan adalah
tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Analisis
kesesuaian lahan untuk permukiman bertujuan untuk mengetahui wilayah yang
memiliki karakteristik fisik yang sesuai dengan pengembangan permukiman.
Penelitian ini menggunakan parameter-parameter antara lain ketinggian lahan,
kelerengan lahan, jenis tanah, curah hujan, jarak dari jalan, dan kerawanan
banjir. Pada tahapan pertama analisis kesesuaian lahan permukiman di Kota
Makassar dengan menggunakan ModelBuilder adalah menyeragamkan
bentukan data tiap kriteria yang digunakan. Untuk setiap kriteria dilakukan
analisis konversi dengan tool Feature to Raster, untuk mengubah data vektor
menjadi data raster. Setelah seluruh data dikonversi ke dalam bentuk raster
kemudian dilakukan reklasifikasi (Reclassify). Skor untuk setiap parameter
adalah menggunakan rentang nilai 1-3. Setelah dilakukan analisis Reclassify,
output masing-masing kriteria kemudian dianalisis lebih lanjut dengan
menggunakan analisis overlay. Analisis overlay yang digunakan adalah
Weighted Sum overlay. Setelah melalui analisis overlay, langkah terakhir yang
dilakukan adalah melakukan Reclassify. Analisis ini perlu dilakukan karena
25
pada peta kesesuaian lahan yang didapatkan sebelumnya masih terdiri dalam
banyak nilai. Dalam analisis Reclassify ini nilainya dibagi ke dalam tiga kelas
yaitu tinggi, sedang, rendah. Berikut Gambar 2.8. adalah contoh pemanfaatan
ModelBuilder pada penelitian ini.
Gambar 2.8. Pemanfaatan ModelBuilder pada analisa kesesuaian lahan
permukiman di Kota Makassar Sumber: Rachmat (2014)
Dari ketiga penelitian tersebut, diketahui bahwa keduanya menggunakan
nilai skor dan bobot yang berbeda. Meskipun berbeda, konsep yang digunakan
adalah sama yaitu semakin tinggi tingkat pengaruh suatu kriteria terhadap bahaya
kebakaran hutan, maka nilai skor yang diberikan juga semakin tinggi, begitupun
sebaliknya. Demikian juga dengan nilai bobot, semakin tinggi pengaruh suatu
26
parameter terhadap bahaya kebakaran hutan maka nilai bobot yang diberikan juga
akan semakin tinggi, begitupun sebaliknya.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sistem Informasi Geografis (SIG),
Jurusan Informatika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh. Waktu yang dibutuhkan untuk
penelitian ini adalah enam bulan terhitung dari bulan Agustus 2017 hingga Januari
2018.
3.2. Alat dan Bahan
Berikut adalah alat yang digunakan pada penelitian ini berupa perangkat
lunak dan perangkat keras. Sedangkan bahan yang digunakan berupa data spasial
dan data non spasial.
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini terdapat 2 jenis yaitu :
a) Perangkat Lunak
ArcMap
b) Perangkat Keras
Laptop
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data-data yang
digunakan untuk menganalisis tingkat bahaya kebakaran hutan. Data tersebut
meliputi Data Spasial dan Data non-Spasial. Berikut Data Spasial dan Data non-
Spasial yang termasuk pada parameter bahaya kebakaran hutan Provinsi Aceh.
28
a) Data Spasial
Peta Penggunaan Lahan Provinsi Aceh (Bappeda Aceh)
Peta Lahan Gambut (Bappeda Aceh)
DEM (Digital Elevation Model) SRTM 30m (Lab. SIG Universitas Syiah
Kuala)
Peta Pusat Desa Provinsi Aceh (Bappeda Aceh)
Peta Jaringan Sungai Provinsi Aceh (Bappeda Aceh)
Peta Jaringan Jalan Provinsi Aceh (Bappeda Aceh)
Peta kawasan Hutan Provinsi Aceh (Bappeda Aceh)
Peta Batas Administrasi Provinsi Aceh (Bappeda Aceh)
b) Data Non-Spasial
Data titik panas (hotspot) Provinsi Aceh. Data titik panas yang digunakan
yaitu titik panas pada tahun 2016. Data titik panas di seluruh Indonesia dapat
diunduh pada website http://Lapan.go.id/. Setelah diunduh data hotspot di
Provinsi Aceh, data titik panas yang diperoleh adalah dalam bentuk file .xls
(Ms. Excel) yang selanjutnya di konversikan menjadi shapefile.
29
3.3. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian ini digambarkan dalam skema kerja penelitian
yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. sebagai berikut.
Gambar 3.1. Skema kerja pembuatan tool analisis tingkat bahaya kebakaran hutan
Mulai
Identifikasi Masalah
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Perancangan Tool
Pembuatan Tool
Pengg
unaan
Lahan
DEM
SRTM
30m
Lahan
Gambut
Pusat
Desa
Jaringan
Sungai
Jaringan
Jalan
Peta
Penggu
naan
Lahan
Peta
Jarak
dari
Desa
Peta
Kemiri
ngan
Lereng
Peta
Keting
gian
Peta
Jarak
dari
Jalan
Peta
Jarak
dari
Sungai
Peta
Lahan
Gambut
Hasil Peta
Bahaya
Kebakaran
Hutan
Data
Hotspot
Evaluasi
Peta Bahaya
Kebakaran
Hutan di
Provinsi Aceh
Selesai
30
3.3.1. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Identifikasi dan perumusan masalah merupakan inti dari pemecahan dari
suatu permasalahan yang akan dilakukan berdasarkan manfaat serta tujuannya.
Identifikasi masalah dilakukan berdasarkan kejadian kebakaran hutan yang kerap
terjadi di kawasan hutan Indonesia khususnya kawasan hutan Provinsi Aceh.
3.3.2. Studi Literatur
Pada tahap ini dilakukan pencarian beberapa buku maupun jurnal terkait
sebagai referensi yang berkaitan dengan teori pembuatan tool analisis spasial
bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh dengan menggunakan ModelBuilder.
Teori tersebut berkenaan dengan topik yang akan dibahas dan dikerjakan. Cara
pengolahan data menggunakan perangkat lunak seperti ArcGIS, serta kaitan dan
integrasi berbagai perangkat lunak yang dapat mendukung pembuatan tool untuk
analisis bahaya kebakaran hutan.
3.3.3. Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data spasial dan
data non spasial yang berkaitan dengan pembuatan tool spasial bahaya kebakaran
hutan yang meliputi data titik panas (hotspot), peta penggunaan lahan, peta sebaran
lahan gambut, DEM SRTM 30m, peta pusat desa, peta jaringan sungai, peta
jaringan jalan, peta batas administrasi Provinsi Aceh serta data-data lain yang
dianggap penting dan dapat mendukung dalam penelitian ini. Untuk shapefile hutan
adalah didapatkan dari ekstraksi peta penggunaan lahan yang berupa wilayah hutan
saja.
Data hotspot yang didapat dari website http://Lapan.go.id/ adalah dalam
bentuk file .xls (Ms. Excel) yang kemudian di konversikan menjadi shapefile. Data
DEM SRTM 30m didapatkan dari Lab. SIG Universitas Syiah Kuala. Sedangkan
data lainnya berupa shapefile didapatkan dari divisi Unit Pelaksana Teknis Badan
– Pusat Data Geospasial Aceh (UPTD-PDGA) BAPPEDA Provinsi Aceh.
Parameter-parameter tersebut akan dilakukan pengolahan data menggunakan
31
aplikasi ArcMap. Khusus untuk parameter penutupan lahan menggunakan data
penggunaan lahan karena data penutupan lahan yang tidak tersedia.
3.3.4. Perancangan Tool
Tahap perancangan tool adalah tahap yang dilakukan setelah semua data
dari tiap parameter telah tersedia. Pada tahap ini dilakukan proses penentuan nilai
skoring dan pembobotan sesuai dengan parameter yang telah ditentukan dan juga
menentukan input dan output tool yang akan dibuat. Nilai skoring yang digunakan
pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 sampai dengan Tabel 2.7. Adapun
untuk pembobotan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Untuk input tool, data yang
digunakan adalah data penggunaan lahan, lahan gambut, DEM SRTM, desa, sungai
dan jalan. Setelah itu output yang dihasilkan adalah peta raster dari setiap parameter
yang selanjutnya dilakukan overlay dan reklasifikasi berdasarkan nilai klasifikasi
tingkat bahaya kebakaran hutan yang telah dilakukan perhitungan. Output akhir dari
tool ini adalah peta bahaya kebakaran hutan dengan tingkat kerawanan sangat
rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Proses perancangan di atas akan
dilakukan di dalam ModelBuilder.
3.3.5. Pembuatan Tool
Setelah perancangan tool selesai dilakukan maka selanjutnya dilakukan
tahap pembuatan tool. Pada tahap ini juga dilakukan proses skoring, pembobotan,
reklasifikasi dsb. Seluruh proses ini dilakukan dalam ModelBuilder. Pada proses ini
kita dapat membuat, mengedit dan mengelola model dengan membentuk
serangkaian input-proses-output. Adapun output dari suatu proses dapat menjadi
input untuk proses selanjutnya. Model yang valid akan ditandai dengan semua
elemen berwarna; biru untuk variabel, orange untuk proses dan hijau untuk output.
Jika model sudah valid, model dapat disimpan dan dijalankan. Secara otomatis
model disimpan di dalam toolbox yang telah dibuat. Setelah pembuatan tool selesai,
maka tool tersebut dapat dijadikan sebuah tool baru pada ArcToolbox yang dapat
digunakan secara praktis oleh pengguna dan dapat digunakan seperti tool lainnya.
Tool yang digunakan untuk menganalisis dan membuat peta bahaya kebakaran
hutan tersebut dinamakan Forest Fire.
32
3.3.6. Tahap Evaluasi Tool
1.) Pengujian Peta Bahaya Kebakaran Menggunakan Sebaran Data Hotspot
Setelah hasil peta bahaya kebakaran hutan didapatkan, maka selanjutnya
dilakukan evaluasi sebagai pengujian keakuratan data pada hasil dari tool yang
sudah dikerjakan. Peta bahaya kebakaran hutan hasil dari tool tersebut dilakukan
pengujian dengan menggunakan sebaran titik panas (hotspot) untuk melihat apakah
peta yang dihasilkan sesuai dengan sebaran titik panas pada suatu daerah tertentu.
Data sebaran titik panas adalah berbentuk point yang kemudian di tumpang tindih
di atas hasil peta tersebut. Pengujian tersebut dilakukan jika pada daerah yang
memiliki tingkat bahaya yang tinggi maka terdapat sebaran hotspot pada daerah
tersebut, begitu pula sebaliknya. Jika hasil tumpang tindih sebaran titik panas sesuai
dengan peta bahaya kebakaran hutan maka hasil peta tersebut benar dan tool
tersebut layak digunakan.
2.) Pengujian Usability Tool Forest Fire Menggunakan Metode SUS (System
Usability Scale)
Tahap ini adalah tahap pengujian usability tool yang dilakukan setelah
selesai dari tahap pembuatan tool. Pengujian sistem yang digunakan pada tool
Forest Fire adalah menggunakan metode SUS. Tahapan pengujian SUS ini terdiri
dari beberapa langkah yaitu penyusunan pertanyaan kuesioner, pembagian
kuesioner kepada responden dan analisis data kuesioner. Kuesioner SUS terdiri dari
10 pertanyaan yang di ikuti dengan pilihan 5 jawaban pada masing-masing
pertanyaannya, mulai dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju.
3.3.7. Peta Bahaya Kebakaran Hutan Provinsi Aceh
Hasil akhir dari tool Forest Fire yang telah dibuat menggunakan
ModelBuilder adalah peta bahaya kebakaran. Peta bahaya kebakaran hutan
memberikan informasi mengenai daerah-daerah yang memiliki tingkat bahaya
kebakaran hutan berdasarkan analisis yang telah dilakukan. Tingkat bahaya
kebakaran hutan dikelompokkan menjadi 5 kelas yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang,
33
rendah dan sangat rendah yang selanjutnya akan ditunjukkan dengan gradasi warna
dari tiap kelas tersebut.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perancangan Tool
4.1.1. Perancangan Peta Penggunaan Lahan
Peta penggunaan lahan Provinsi Aceh yang diperoleh adalah berbentuk
shapefile, maka dari itu harus di konversikan terlebih dahulu ke dalam bentuk raster.
Kemudian setelah di konversikan, peta penggunaan lahan dilakukan reklasifikasi
dan diberikan nilai skor sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan yang dapat
dilihat pada Tabel 2.1. pada bab sebelumnya. Berikut Gambar 4.1. adalah skema
kerja perancangan peta penggunaan lahan.
Gambar 4.1. Skema perancangan peta penggunaan lahan
4.1.2. Perancangan Peta Lahan Gambut
Peta lahan gambut Provinsi Aceh yang diperoleh adalah berbentuk
shapefile, maka dari itu harus di konversikan terlebih dahulu ke dalam bentuk raster.
Kemudian setelah di konversikan, peta lahan gambut dilakukan reklasifikasi dan
diberikan nilai skor sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Dimana terdapat
2 kriteria yaitu lahan gambut dan lahan non gambut. Skema perancangan peta lahan
gambut dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Shapefile
Penggunaan
Lahan
Konversi vektor ke
raster
Reklasifikasi
Peta raster
Penggunaan
Lahan
35
Gambar 4.2. Skema perancangan peta lahan gambut
4.1.3. Perancangan Peta Ketinggian dan Kelerengan Lahan
Data DEM SRTM 30m yang diperoleh adalah data raster sehingga tidak
perlu dilakukan konversi. Untuk data DEM hanya dilakukan reklasifikasi hal ini
dikarenakan DEM merupakan peta elevasi (ketinggian) permukaan bumi.
Kemudian data elevasi diklasifikasi dan diberikan nilai skor. Namun untuk
mendapatkan peta kelerengan, perlu dilakukan analisis Slope terhadap data DEM
tersebut. Analisis Slope tersebut didapatkan dari ArcToolbox di Spatial Analyst →
Surface → Slope. Setelah itu dilakukan reklasifikasi dan diberikan nilai skor pada
masing-masing kriteria. Berikut Gambar 4.3. skema perancangan peta ketinggian
dan kelerengan lahan.
Shapefile
Lahan
Gambut
Konversi vektor ke
raster
Reklasifikasi
Peta raster
Lahan
Gambut
36
Gambar 4.3. Skema perancangan peta ketinggian dan kelerengan lahan
4.1.4. Perancangan Peta Jarak dari Permukiman, Sungai dan Jalan
Untuk membuat peta jarak dari permukiman, sungai dan jalan digunakan
data shapefile desa, sungai, dan jaringan jalan. Untuk menghitung jarak dari semua
data tersebut dilakukan analisis jangkauan menggunakan tool Euclidean Distance.
Hasil dari analisis tersebut berbentuk data raster sehingga tidak perlu dilakukan
konversi dari data vektor ke raster. Tool Euclidean Distance bagian dari
ArcToolbox dapat dilihat pada Spatial Analyst Tools → Distance → Euclidean
Distance. Setelah dilakukan analisis Euclidean Distance, maka hasil analisis
tersebut dilakukan klasifikasi dan diberikan nilai skor sesuai dengan kriteria yang
sudah ditentukan. Berikut skema perancangan peta jarak dari permukiman, sungai
dan jalan dapat dilihat pada Gambar 4.4.
DEM
SRTM 30m
Pemotongan dengan
Peta Batas
Administrasi Aceh
Analisis Slope
Peta raster
Ketinggian
Lahan
Peta raster
Kelerengan
Lahan
Reklasifikasi
Kelerengan
Reklasifikasi
Ketinggian
37
Gambar 4.4. Skema perancangan peta jarak dari permukiman, sungai dan jalan
4.1.5. Pembobotan menggunakan Weighted Sum dan Reklasifikasi Peta Bahaya
Kebakaran Hutan
Setelah peta raster tematik dari masing-masing parameter telah dilakukan
analisis maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah overlay terhadap
peta raster tersebut dengan memberikan nilai bobot pada masing-masing peta.
Pemberian nilai bobot diberikan sesuai dengan tingkat besar pengaruhnya
parameter tersebut terhadap analisis bahaya kebakaran hutan. Semakin tinggi
tingkat pengaruhnya parameter tersebut terhadap analisis bahaya kebakaran hutan
maka nilai bobot yang akan diberikan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Nilai
bobot yang diberikan pada setiap parameter adalah penutupan lahan 18%, lahan
gambut 6%, kelerengan 16%, ketinggian 15%, jarak dari permukiman 16%, jarak
dari sungai 15%, dan jarak dari jalan 14% dengan total 100%. Berikut Tabel 4.1.
adalah nilai pembobotan parameter kebakaran hutan.
Shapefile
Desa
Shapefile
Sungai
Shapefile
Jalan
Analisis Euclidean
Distance
Reklasifikasi
Peta Jarak
dari Desa
Peta Jarak
dari
Sungai
Peta Jarak
dari Jalan
38
Tabel 4.1. Pembobotan parameter kebakaran hutan
No. Parameter Bobot (%)
1 Penutupan Lahan 18
2 Jenis Lahan (gambut dan non gambut) 6
3 Kelerengan 16
4 Ketinggian 15
5 Jarak dari Permukiman (desa) 16
6 Jarak dari Sungai 15
7 Jarak dari Jalan 14
Total 100
Sumber: Widodo (2014) Berdasarkan Modifikasi dan Penyesuaian Penulis
Berdasarkan nilai pembobotan parameter kebakaran hutan di atas, terdapat
beberapa modifikasi dan penyesuaian nilai bobot yang dilakukan dari penelitian
Widodo (2014) yang dapat dilihat pada Tabel 2.8. Modifikasi tersebut dilakukan
untuk disesuaikan dengan parameter yang digunakan pada penelitian ini.
Berdasarkan parameter risiko kebakaran hutan yang diperoleh dari
penelitian Widodo terdapat perbedaan parameter yang digunakan pada penelitian
yang dilakukan oleh peneliti. Pada penelitian ini parameter yang tidak digunakan
adalah Jarak dari Daops Manggala Agni karena tidak tersedianya data mengenai
jarak dari pemadam kebakaran hutan di Provinsi Aceh. Untuk mendapatkan nilai
bobot agar sesuai dengan penelitian Widodo maka seluruh dibagi dengan 85 karena
total nilai bobot 100 dikurangi dengan 15 (nilai bobot Jarak dari Daops MA).
Setelah dilakukan perhitungan dan penyesuaian, maka hasil untuk nilai pembobotan
pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 di atas.
Tool yang digunakan untuk melakukan overlay dan pembobotan adalah
Weighted Sum. Tool Weighted Sum dapat dilihat pada ArcToolbox → Spatial
Analyst Tools → Overlay → Weighted Sum. Selanjutnya dilakukan reklasifikasi nilai
sesuai dengan kelas bahaya kebakaran hutan. Berikut Gambar 4.5. adalah skema
overlay Weighted Sum dan reklasifikasi.
39
Cara kerja dari Weighted Sum adalah sama dengan Persamaan 2.2. yaitu
mencari nilai bahaya berdasarkan dari penjumlahan skor dan bobot dari masing-
masing parameternya. Pemberian nilai bobot masing-masing parameter digunakan
sesuai dengan ketentuan pada Tabel 4.1. untuk melakukan overlay ini, dibutuhkan
beberapa variabel untuk menampung nilai bobot dari tiap parameter. Masing-
masing variabel nilai bobot tersebut dijadikan Model Parameter, agar dapat
ditampilkan pada tampilan jendela tool Forest Fire sehingga pengguna juga dapat
memasukkan variasi nilai bobot sesuai dengan kebutuhan analisis yang diinginkan.
Selanjutnya pada Weighted Sum untuk kolom Weight diisi berupa variabel yang
menampung nilai bobot tersebut.
Setelah didapatkan hasil dari overlay tersebut, maka langkah selanjutnya
dilakukan reklasifikasi pada peta tersebut. Reklasifikasi dilakukan untuk
pengelompokan nilai pada peta tersebut sesuai dengan kelas yang sudah ditentukan.
Pada penelitian ini, terdapat 5 kelas tingkat bahaya kebakaran yaitu sangat rendah,
rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Hasil dari peta bahaya kebakaran hutan
akan ditampilkan dalam gradasi warna dari setiap kelasnya. Untuk mengetahui nilai
interval kelas bahaya kebakaran hutan digunakan Persamaan 2.2. sebagai berikut.
Peta
raster
Pengg
unaan
Lahan
Peta
raster
Lahan
Gamb
ut
Peta
raster
Ketin
ggian
Peta
raster
Kelere
ngan
Peta
raster
Jarak
dari
Desa
Peta
raster
Jarak
dari
Sungai
Peta
raster
Jarak
dari
Jalan
Overlay Weighted Sum
Reklasifikasi
Peta Bahaya
Kebakaran
Hutan
Gambar 4.5. Skema overlay Weighted Sum dan reklasifikasi
40
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai bahaya tertinggi yang diperoleh adalah
5,23. Sedangkan nilai bahaya terendah adalah 1. Nilai interval dari tiap kelas
dengan jumlah 5 kelas adalah 0,84.
Kmax = Penggunaan Lahan + Gambut + Kelerengan + Ketinggian + Desa +
Sungai + Jalan
= (7 x 0,18) + (5 x 0,06) + (5 x 0,16) + (6 x 0,15) + (5 x 0,16) + (5 x
0,15) + (3 x 0,14) = 5,23
Kmin = (1 x 0,18) + (1 x 0,06) + (1 x 0,16) + (1 x 0,15) + (1 x 0,16) +
(1 x 0,15) + (1 x 0,14) = 1
Kelas Interval = (Kmax−Kmin)
n
= (5,23−1)
5 = 0,84
Nilai ini digunakan untuk mengelompokkan atau reklasifikasi nilai-nilai
berdasarkan kelas analisis bahaya kebakaran hutan yaitu sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi dan sangat tinggi. Berikut nilai klasifikasi dari tingkat bahaya
kebakaran hutan yang ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan
No. Nilai Kerawanan (K) Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan
1 1 – 1,84 Sangat Rendah
2 1,84 – 2,68 Rendah
3 2,68 – 3,52 Sedang
4 3,52 – 4,36 Tinggi
5 4,36 – 5,2 Sangat Tinggi
Sumber: Data hasil perhitungan
4.2. Pembuatan Tool
Berdasarkan prosedur penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya
maka terdapat beberapa tahap dalam proses perancangan tool yaitu persiapan data,
reklasifikasi kelas nilai masing-masing parameter, overlay parameter bahaya
kebakaran hutan, reklasifikasi hasil analisis bahaya kebakaran hutan dan beberapa
41
tahap analisis lainnya. Setelah proses perancangan tool selesai maka dilakukan
proses pembuatan tool dimana seluruh rancangan tersebut dijalankan di dalam
ModelBuilder. Hasil dari seluruh proses tersebut dijadikan sebuah tool analisis
spasial bahaya kebakaran hutan yang diberi nama Forest Fire. Terdapat 2 output
yang dihasilkan dari tool Forest Fire yaitu peta bahaya kebakaran hutan dan tabel
yang berisi nilai luas daerah bahaya kebakaran hutan berdasarkan kelas bahaya
kebakaran hutan.
Adapun terdapat 7 parameter penyusun peta bahaya kebakaran hutan yaitu
penutupan lahan, jenis lahan (gambut dan non gambut), kelerengan, ketinggian,
jarak dari permukiman (desa), jarak dari sungai dan jarak dari jalan. Kemudian data-
data dari parameter tersebut dimasukkan ke dalam ModelBuilder untuk di analisis
sehingga mendapatkan hasil peta bahaya kebakaran hutan dengan memasukkan
nilai bobot dari tiap-tiap parameter yang dinilai berdasarkan tingkat pengaruhnya
parameter tersebut terhadap bahaya kebakaran hutan. Pemberian nilai bobot
tersebut merujuk pada jurnal penelitian dari Widodo (2014) yang telah melakukan
perhitungan nilai bobotnya menggunakan analisis statistik. Berikut proses dari
pembuatan tool bahaya kebakaran hutan menggunakan ModelBuilder.
4.2.1. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan
Pada pembuatan peta penggunaan lahan, tahap awal yang dilakukan yaitu
dilakukan analisis konversi dari data vektor ke raster dengan menggunakan tool
Feature to Raster. Pada ArcToolbox dapat dilihat pada Conversion Tools → To
Raster → Feature to Raster. Adapun tool Feature to Raster pada peta penggunaan
lahan dapat dilihat pada Gambar 4.6. berikut.
42
Gambar 4.6. Tool Feature to Raster pada peta penggunaan lahan
Data penggunaan lahan yang telah di konversikan dari vektor ke raster
selanjutnya dilakukan reklasifikasi (Reclassify) values pada field Keterangan.
Kemudian dilakukan reklasifikasi berdasarkan kriteria-kriteria dan nilai skornya
(telah dibahas pada Bab II Tinjauan Kepustakaan). Selanjutnya dilakukan
reklasifikasi skor kriteria penggunaan lahan menggunakan tool Reclassify yang
ditunjukkan pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7. Reclassify penggunaan lahan
Proses pembuatan peta penggunaan lahan yang dilakukan dalam
ModelBuilder dapat dilihat pada Gambar 4.8.
43
Gambar 4.8. Proses pembuatan peta penggunaan lahan pada ModelBuilder
4.2.2. Pembuatan Peta Lahan Gambut dan Non Gambut
Sama seperti parameter penggunaan lahan, untuk menganalisis peta lahan
gambut hal yang dilakukan adalah mengonversikan data vektor ke raster. Hal
tersebut dilakukan karena data lahan gambut yang diperoleh adalah data vektor.
Oleh karena itu, hal yang perlu dilakukan adalah dengan mengubah data vektor
menjadi raster dengan menggunakan tool Feature to Raster. Berikut tool Feature
to Raster pada peta lahan gambut dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9. Tool Feature to Raster pada peta lahan gambut
Data lahan gambut yang telah di konversikan dari vektor ke raster
selanjutnya dilakukan reklasifikasi (Reclassify) values pada field Peat. Kemudian
dilakukan reklasifikasi berdasarkan kriteria-kriteria dan nilai skornya (telah dibahas
pada Bab II Tinjauan Kepustakaan). Selanjutnya dilakukan reklasifikasi skor lahan
gambut menggunakan tool Reclassify yang ditunjukkan pada Gambar 4.10.
44
Gambar 4.10. Reclassify jenis lahan gambut dan non gambut
Proses pembuatan peta lahan gambut yang dilakukan dalam ModelBuilder
dapat dilihat pada Gambar 4.11.
Gambar 4.11. Proses pembuatan peta penggunaan lahan pada ModelBuilder
4.2.3. Pembuatan Peta Kelerengan Lahan
Parameter kelerengan lahan didapatkan dari analisis Slope yang diperoleh
dari data DEM (Digital Elevation Model) SRTM. Data DEM merupakan data
ketinggian lahan pada suatu daerah tertentu. Kelas pada parameter kelerengan
memiliki nilai persentase yang berurutan. Analisis Slope pada ArcToolbox
terdapat di Spatial Analyst Tools → Surface → Slope. Pada Output Measurement
pilih PERCENT_RISE karena nilai kelas pada parameter kelerengan berbentuk
persentase. Berikut tool Slope pada Gambar 4.12.
45
Gambar 4.12. Tool Slope pada kelerengan lahan
Data kelerengan yang telah di konversikan menjadi raster setelah dilakukan
analisis Slope selanjutnya dilakukan reklasifikasi (Reclassify) values pada field
Value. Kemudian dilakukan reklasifikasi berdasarkan kriteria-kriteria dan nilai
skornya (telah dibahas pada Bab II Tinjauan Kepustakaan). Berikut reklasifikasi
pada parameter kelerengan pada Gambar 4.13.
Gambar 4.13. Reclassify kelerengan lahan
Proses pembuatan peta kelerengan lahan yang dilakukan dalam
ModelBuilder dapat dilihat pada Gambar 4.14.
46
Gambar 4.14. Proses pembuatan peta kelerengan lahan pada ModelBuilder
4.2.4. Pembuatan Peta Ketinggian Lahan
Data DEM (Digital Elevation Model) yang diperoleh merupakan data yang
berisi nilai ketinggian lahan dari suatu daerah. Oleh karena itu, peta ketinggian
lahan tidak perlu dilakukan analisis dan langsung diturunkan dari data DEM.
Selanjutnya, analisis yang dilakukan yaitu dilakukan reklasifikasi (Reclassify)
values pada field Value. Kemudian dilakukan reklasifikasi berdasarkan kriteria-
kriteria dan nilai skornya (telah dibahas pada Bab II Tinjauan Kepustakaan).
Berikut reklasifikasi pada parameter ketinggian pada Gambar 4.15.
Gambar 4.15. Reclassify ketinggian lahan
Proses pembuatan peta ketinggian lahan yang dilakukan dalam
ModelBuilder dapat dilihat pada Gambar 4.16.
Gambar 4.16. Proses pembuatan peta ketinggian lahan pada ModelBuilder
47
4.2.5. Pembuatan Peta Jarak dari Desa
Beberapa parameter yang menggunakan analisis Euclidean Distance adalah
Input data yang digunakan berupa data shapefile jaringan jalan, sungai dan desa
Provinsi Aceh. Tool Euclidean Distance pada ArcToolbox dapat dilihat pada Spatial
Analyst Tools → Distance → Euclidean Distance. Gambar 4.17. berikut adalah tool
Euclidean Distance pada peta pusat desa.
Gambar 4.17. Tool Euclidean Distance pada peta desa
Peta pusat desa yang telah dihitung jaraknya menggunakan analisis Euclidean
Distance selanjutnya dilakukan reklasifikasi (Reclassify) values pada field Value.
Kemudian dilakukan reklasifikasi berdasarkan kriteria-kriteria dan nilai skornya
(telah dibahas pada Bab II Tinjauan Kepustakaan). Berikut reklasifikasi pada
parameter jarak dari permukiman pada Gambar 4.18.
48
Gambar 4.18. Reclassify jarak dari permukiman (desa)
Proses pembuatan peta jarak dari desa yang dilakukan dalam ModelBuilder
dapat dilihat pada Gambar 4.19.
Gambar 4.19. Proses pembuatan peta jarak dari desa pada ModelBuilder
4.2.6. Pembuatan Peta Jarak dari Sungai
Untuk menganalisis parameter jarak dari sungai digunakan data jaringan
sungai. Tool Euclidean Distance pada ArcToolbox dapat dilihat pada Spatial
Analyst Tools → Distance → Euclidean Distance. Gambar 4.20. berikut adalah tool
Euclidean Distance pada peta jaringan sungai.
49
Gambar 4.20. Tool Euclidean Distance pada peta desa
Peta jaringan sungai yang telah dihitung jaraknya menggunakan analisis
Euclidean Distance selanjutnya dilakukan reklasifikasi (Reclassify) values pada
field Value. Kemudian dilakukan reklasifikasi berdasarkan kriteria-kriteria dan nilai
skornya (telah dibahas pada Bab II Tinjauan Kepustakaan). Berikut reklasifikasi
pada parameter jarak dari sungai pada Gambar 4.21.
Gambar 4.21. Reclassify jarak dari sungai
Proses pembuatan peta jarak dari sungai yang dilakukan dalam
ModelBuilder dapat dilihat pada Gambar 4.22.
50
Gambar 4.22. Proses pembuatan peta jarak dari sungai pada ModelBuilder
4.2.7. Pembuatan Peta Jarak dari Jalan
Untuk menganalisis parameter jarak dari jalan digunakan data jaringan
jalan. Tool Euclidean Distance pada ArcToolbox dapat dilihat pada Spatial Analyst
Tools → Distance → Euclidean Distance. Gambar 4.23. berikut adalah tool
Euclidean Distance pada peta jaringan jalan.
Gambar 4.23. Tool Euclidean Distance pada peta jaringan jalan
51
Peta jaringan jalan yang telah dihitung jaraknya menggunakan analisis
Euclidean Distance selanjutnya dilakukan reklasifikasi (Reclassify) values pada
field Value. Kemudian dilakukan reklasifikasi berdasarkan kriteria-kriteria dan nilai
skornya (telah dibahas pada Bab II Tinjauan Kepustakaan). Berikut reklasifikasi
pada parameter jarak dari jalan pada Gambar 4.24.
Gambar 4.24. Reclassify jarak dari jalan
Proses pembuatan peta jarak dari jalan yang dilakukan dalam ModelBuilder
dapat dilihat pada Gambar 4.25.
Gambar 4.25. Proses pembuatan peta jarak dari jalan pada ModelBuilder
52
4.2.8. Pemberian Nilai Bobot pada Setiap Parameter
Ketika pengguna membuka tool Forest Fire maka akan muncul tampilan
antarmuka dari tool tersebut. Pengaturan variabel input maupun output yang ingin
ditampilkan pada tampilan awal dapat dijadikan Model Parameter pada variabel
tersebut. Variabel yang dijadikan Model Parameter akan ditandai dengan flag P
pada variabel tersebut. Nama variabel untuk input nilai bobot pada setiap parameter
adalah Penggunaan Lahan → Bobot_PL, Jenis Lahan (Gambut dan non Gambut
Gambar) → Bobot_Gambut, Ketinggian → Bobot_Ketinggian, Kelerengan →
Bobot_Kelerengan, Jarak dari Desa → Bobot_Desa, Jarak dari Sungai →
Bobot_Sungai, Jarak dari Jalan → Bobot_Jalan. Gambar 4.26. adalah contoh
pemberian Model Parameter pada variabel yang ditandai dengan flag P.
Gambar 4.26. Pemberian Model Parameter pada variabel
Pada penelitian ini variabel yang dijadikan Model Parameter adalah seluruh
parameter bahaya kebakaran hutan, output hasil akhir dan variabel bobot dari setiap
parameter. Dengan begitu, pengguna dapat memasukkan data, nilai bobot dan
memilih lokasi penyimpanan output hasil akhir dari tool Forest Fire.
53
Terdapat beberapa fitur yang ditambahkan pada tool Forest Fire. Salah
satunya yaitu pengguna dapat memasukkan nilai bobot yang bervariasi sesuai
dengan kebutuhan analisis yang dilakukan. Berikut syarat ketentuan dalam
memasukkan nilai bobot untuk setiap parameter bahaya kebakaran hutan:
1. Nilai bobot yang dimasukkan harus berupa nilai desimal positif.
2. Total nilai bobot keseluruhan harus sama dengan 1. Tidak boleh lebih dan
kurang dari 1.
4.2.9. Pengecekan Nilai Bobot
Pada tool Forest Fire ini, tool juga dapat melakukan pengecekan jika
pengguna memasukkan nilai bobot dengan total lebih dari atau kurang dari 1 maka
sistem langsung berhenti dan tidak dapat dijalankan. Untuk melakukan pengecekan
pada ModelBuilder digunakan tool Calculate Value. Pada Calculate Value terdapat
Code Block untuk menuliskan code yang didukung dengan menggunakan bahasa
Python. Berikut Gambar 4.27. adalah penggunaan Calculate Value untuk
melakukan pengecekan pembobotan.
Gambar 4.27. Penggunaan Calculate Value untuk pengecekan pembobotan
Setelah itu, Calculate Value dihubungkan dengan Iteration Stop yang
berfungsi untuk menghentikan sistem jika telah dikondisikan pada suatu kondisi
tertentu. Variabel Continue dari Iteration Stop dihubungkan ke seluruh tool
geoprocessing yang pertama kali dieksekusi. Agar ketika pengguna memasukkan
54
kondisi yang salah maka sistem tidak akan menjalankan geoprocessing awal
sehingga sistem tidak dapat dijalankan, begitu pula sebaliknya. Gambar 4.28.
berikut adalah tool Calculate Value dan Iteration Stop pada ModelBuilder.
Gambar 4.28. Tool Calculate Value dan Iteration Stop pada ModelBuilder
4.2.10. Overlay Parameter Bahaya Kebakaran Hutan
Setelah reklasifikasi telah selesai dilakukan, output dari masing-masing
parameter dianalisis menggunakan analisis overlay. Analisis overlay yang
digunakan adalah Weighted Sum. Weighted Sum adalah teknik overlay beberapa
peta yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap suatu
penilaian dengan menggunakan nilai pembobotan pada tiap input peta. Pada
ArcToolbox, tool Weighted Sum dapat dilihat pada Spatial Analyst Tools → Overlay
→ Weighted Sum. Berikut Gambar 4.29. adalah tool Weighted Sum untuk analisis
parameter bahaya kebakaran hutan.
Gambar 4.29. Tool Weighted Sum untuk analisis parameter bahaya kebakaran hutan
55
Pada analisis Weighted Sum di input data output dari analisis sebelumnya
dan diberikan nilai bobot sesuai dengan pengaruhnya parameter tersebut terhadap
bahaya kebakaran hutan. Nilai bobot masing-masing parameter yaitu untuk
Penutupan Lahan 18%, Jenis Lahan (Gambut dan non Gambut) 6%, Kelerengan
16%, Ketinggian 15%, Jarak dari Permukiman (Desa) 16%, Jarak dari Sungai 15%
dan Jarak dari Jalan 14%. Total dari seluruh nilai bobot dari parameter tersebut
adalah 100%. Proses untuk overlay parameter bahaya kebakaran hutan
menggunakan Weighted Sum pada ModelBuilder dapat dilihat pada Gambar 4.30.
Setelah dilakukan analisis Weighted Sum, maka didapatkanlah hasil peta bahaya
kebakaran hutan di Provinsi Aceh yang dapat dilihat pada Gambar 4.31.
Gambar 4.30. Overlay menggunakan Weighted Sum
56
Gambar 4.31. Data raster bahaya kebakaran hutan sebelum di Reclassify
4.2.11. Reklasifikasi Hasil Berdasarkan Kelas Bahaya Kebakaran Hutan
Setelah didapatkan hasil peta bahaya kebakaran hutan melalui analisis
Weighted Sum, maka langkah selanjutnya adalah dilakukan analisis Reclassify.
Reklasifikasi ini perlu dilakukan karena pada peta bahaya kebakaran hutan masih
terdiri dari banyak nilai sehingga harus dikelompokkan sesuai dengan nilai yang
sudah ditentukan. Tingkat bahaya kebakaran hutan dibagi menjadi 5 kelas yaitu
sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Reclassify
mengelompokkan nilai sesuai dengan kelas yang sudah ditentukan. Berikut Tabel
4.3. nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan. Pada tool Reclassify
dimasukkan nilai sesuai dengan nilai klasifikasi yang telah ditentukan. Gambar
4.32. adalah tool Reclassify untuk klasifikasi peta bahaya kebakaran hutan yang
ditunjukkan dengan gradasi warna dari setiap kelas tersebut.
57
Tabel 4.3. Nilai klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan
Skor Nilai Kerawanan (K) Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan
1 1 – 1,84 Sangat Rendah
2 1,84 – 2,68 Rendah
3 2,68 – 3,52 Sedang
4 3,52 – 4,36 Tinggi
5 4,36 – 5,2 Sangat Tinggi
Gambar 4.32. Reclassify untuk peta bahaya kebakaran hutan
4.2.12. Menghitung Luas Area Berdasarkan Kelas Bahaya Kebakaran Hutan
Setelah tool Forest Fire dijalankan maka terdapat 2 output yang dihasilkan
yaitu peta bahaya kebakaran hutan dan tabel nilai luas daerah bahaya kebakaran
hutan. Berdasarkan Gambar 4.36. pada tabel Luas_Ha, kolom VALUE berisi nilai
skor berdasarkan tingkat bahaya kebakaran yaitu skor 1 – sangat rendah, skor 2 –
rendah, skor 3 – sedang, skor 4 – tinggi, dan skor 5 – sangat tinggi. Kemudian
perhitungan luas daerah bahaya kebakaran hutan dapat dilihat pada kolom Luas_Ha
yang berisi nilai luas daerah bahaya kebakaran hutan dengan satuan luas hektare.
Untuk menghitung luas daerah tersebut digunakan tool Tabulate Area yang
dapat dilihat pada ArcToolbox → Spatial Analyst Tools → Zonal → Tabulate Area.
Hasil dari perhitungan luas daerah bahaya kebakaran hutan yang dilakukan
58
menggunakan Tabulate Area, diperoleh dalam satuan luas m2. Untuk mengubahnya
ke dalam Ha (Hektare), hasil tersebut kemudian dibagi dengan 10.000, dikarenakan
1 Ha = 10.000. Tool Calculate Field digunakan untuk membagi masing-masing
nilai yang dihasilkan pada Tabulate Area dengan 10.000. Berikut proses untuk
mendapatkan nilai luas daerah kebakaran berdasarkan tingkat bahaya kebakaran
hutan yang dilakukan menggunakan ModelBuilder dapat dilihat Gambar 4.33.
Gambar 4.33. Proses mencari nilai luas daerah kebakaran menggunakan Tabulate
Area pada ModelBuilder
Setelah tool analisis bahaya kebakaran hutan dibuat dan dapat dijalankan
maka selanjutnya tool dapat di embed di dalam ArcToolbox. Tool juga dapat
digunakan oleh pengguna lainnya yang ingin melakukan analisis bahaya kebakaran
hutan dengan menggunakan beberapa parameter yang telah ditentukan. Tool
analisis bahaya kebakaran hutan pada ModelBuilder dapat dilihat pada Lampiran 1.
4.3. Tampilan Antarmuka Tool Forest Fire
Setelah pembuatan tool Forest Fire selesai dilakukan maka tool dapat di
embed di dalam toolbox Kebakaran Hutan yang telah dibuat pada ArcToolbox.
Ketika tool Forest Fire dibuka maka akan muncul tampilan dialog dimana
pengguna dapat memasukkan peta dari setiap parameter bahaya kebakaran hutan,
memasukkan nilai bobot sesuai dengan analisis serta dapat memilih lokasi
penyimpanan dari hasil akhir tool tersebut. Pada penelitian ini tool Forest Fire di
ujicobakan pada Provinsi Aceh.
Tampilan antarmuka pada tool Forest Fire dapat dilihat pada Gambar 4.34.
dimana terdapat 6 peta yang dapat dimasukkan yaitu peta penggunaan lahan, peta
lahan gambut, DEM, peta pusat desa, peta jaringan sungai dan peta jaringan jalan.
Setelah itu pengguna dapat memasukkan variasi nilai bobot dengan syarat bobot
yang dimasukkan adalah nilai desimal positif dan total keseluruhan nilai bobot
59
harus sama dengan 1 atau dapat memakai nilai bobot default dari penelitian dari
Widodo (2014). Kemudian pengguna dapat memilih lokasi untuk menyimpan
output hasil peta dan tabel keterangan luas daerah bahaya kebakaran hutan sesuai
dengan yang diinginkan. Pada jendela disebelah kanan dari proses tersebut terdapat
beberapa uraian informasi dari tool Forest Fire. Informasi tersebut berupa
penjelasan singkat apa itu tool Forest Fire, cara menggunakan tool Forest Fire,
parameter apa saja yang digunakan, syarat-syarat dalam melakukan variasi nilai
bobot, jenis data apa yang digunakan dsb. Informasi tersebut juga dapat dilihat
dengan menekan tombol Tool Help yang terletak pada bagian bawah.
Gambar 4.34. Tampilan antarmuka tool Forest Fire
Adapun hasil output peta setelah tool Forest Fire dijalankan dapat dilihat
pada Gambar 4.35. Output peta yang dihasilkan setelah tool Forest Fire dijalankan
berupa peta bahaya kebakaran hutan yang sudah diklasifikasi berdasarkan 5 kelas
bahaya kebakaran hutan yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat
tinggi yang selanjutnya ditampilkan dengan tingkatan warna dari tiap kelas tersebut.
60
Dimulai dari warna hijau tua untuk kelas sangat rendah, hijau muda untuk kelas
rendah, kuning untuk kelas sedang, jingga untuk kelas tinggi dan merah untuk kelas
sangat tinggi.
Gambar 4.35. Output hasil run tool Forest Fire
Berdasarkan Gambar 4.35. di atas, hasil dari overlay beberapa peta dari
masing-masing parameter sebelumnya, dapat dilihat bahwa daerah dengan tingkat
bahaya yang rendah dan sangat rendah berada di kawasan pegunungan yang
memiliki ketinggian dataran yang tinggi. Daerah tersebut juga memiliki jarak yang
jauh dari jalan, permukiman warga dan sungai sehingga terlihat bahwa minimnya
akses masyarakat untuk dapat masuk ke kawasan hutan. Seperti yang kita ketahui
bahwa faktor atau penyebab utama dari kebakaran hutan adalah faktor perilaku
manusia. Untuk layout peta bahaya kebakaran hutan hasil dari tool Forest Fire
dapat dilihat pada Lampiran 2.
61
Adapun output tabel keterangan luas daerah bahaya kebakaran hutan dapat
dilihat pada Gambar 4.36. Tabel keterangan luas daerah bahaya kebakaran hutan
yang dihasilkan diurutkan berdasarkan kelas bahaya kebakaran hutan yang dimulai
dengan kelas sangat rendah sampai sangat tinggi. Nilai luas yang dihasilkan
ditunjukkan pada kolom terakhir di dalam tabel dengan satuan luas Ha (Hektare).
Gambar 4.36. Output tabel luas daerah bahaya kebakaran hutan hasil run tool
Forest Fire
Berdasarkan hasil dari nilai tabel Luas_Ha, luas daerah bahaya kebakaran
hutan berdasarkan tingkat bahaya kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 4.4.
sebagai berikut.
Tabel 4.4. Luas daerah bahaya kebakaran hutan berdasarkan tingkat bahaya
kebakaran
Tingkat Bahaya Kebakaran Luas (Ha) Persen (%)
Sangat Rendah 3.341,58 0,1
Rendah 2.000.383,14 38,7
Sedang 1.485.653,35 28,7
Tinggi 1.251.483,98 24,2
Sangat Tinggi 430.298,80 8,3
Total 5.171.160,88 100
Berdasarkan Tabel 4.4. di atas, menunjukkan bahwa daerah bahaya
kebakaran hutan terluas berada pada tingkat bahaya kebakaran hutan rendah dengan
daerah seluas 2.000.383,14 Ha (38,7%). Kemudian diikuti dengan tingkat bahaya
kebakaran hutan sedang dengan luas 1.485.653,35 Ha (28,7%), tingkat bahaya
kebakaran hutan tinggi 1.251.483,98 Ha (24,2%), tingkat bahaya kebakaran hutan
62
sangat tinggi 430.298,80 Ha (8,3%) dan tingkat bahaya kebakaran hutan sangat
rendah 3.341,58 Ha (0,6%). Berdasarkan hasil di atas, kawasan hutan di Provinsi
Aceh termasuk ke dalam tingkat bahaya kebakaran hutan rendah dengan mendekati
sedang dan tinggi. Oleh sebab itu, kawasan hutan di Provinsi Aceh perlu
pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan yang lebih luas.
Pada total luas Provinsi Aceh yang didapat dari tool terdapat perbedaan luas
dengan data dari BPS (2015). Perbedaan ini disebabkan karena pada tool daerah
pemukiman dilakukan pemotongan dengan daerah hutan dan yang digunakan hanya
daerah hutan saja. Sehingga terjadinya pengurangan luas daerah Provinsi Aceh
yang dihasilkan oleh tool.
4.4. Evaluasi Sistem
4.4.1. Pengujian Validitas Hasil Tool Menggunakan Titik Panas (Hotspot)
Peta bahaya kebakaran hutan dari hasil overlay beberapa peta
menggunakan tool Forest Fire dilakukan pengujian atau evaluasi. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan data hotspot (titik panas) yang diperoleh dari
website LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) di http://modis-
catalog.lapan.go.id/monitoring/. Setelah di unduh dalam bentuk excel kemudian
data tersebut di konversi menjadi shapefile di ArcGIS. Evaluasi daerah bahaya
kebakaran hutan Provinsi Aceh dengan data sebaran titik panas tahun 2016, dapat
dilihat pada Tabel 4.5. sebagai berikut.
Tabel 4.5. Jumlah hotspot pada wilayah tingkat bahaya kebakaran hutan
Tingkat Bahaya
Kebakaran
Hotspot Persen (%)
2016
Sangat Rendah 0 0 %
Rendah 77 10,7 %
Sedang 283 39,1 %
Tinggi 326 45,1%
Sangat Tinggi 38 5,1 %
Total 723 100 %
63
Berdasarkan data tersebut sebaran hotspot pada umumnya terjadi pada
wilayah atau kawasan dengan klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan tinggi
(45,1%) dan sedang (39,1%). Untuk klasifikasi tingkat bahaya kebakaran hutan
sangat tinggi adalah sebesar (5,1%). Sedangkan pada klasifikasi tingkat bahaya
kebakaran hutan rendah dan sangat rendah hanya ditemukan (10,7%) dari seluruh
jumlah hotspot. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah bahaya kebakaran hutan yang
dibuat menggunakan tool Forest Fire mempunyai hubungan yang positif atau
cukup erat dengan terjadinya kebakaran hutan, terbukti dengan banyaknya
ditemukan titik panas (hotspot) pada wilayah atau zona bahaya kebakaran sedang
sampai dengan sangat tinggi. Sebaliknya pada wilayah bahaya kebakaran rendah
hanya ditemukan sedikit hotspot dan untuk wilayah bahaya kebakaran hutan sangat
rendah tidak ditemukan hotspot pada wilayah tersebut. Berikut Gambar 4.37. adalah
peta bahaya kebakaran hutan dengan sebaran hotspot 2016 di Provinsi Aceh.
64
Gambar 4.37. Peta bahaya kebakaran hutan dengan sebaran hotspot 2016 di
Provinsi Aceh
65
4.4.2. Pengujian Validitas Tool Forest Fire Menggunakan Metode SUS (System
Usability Scale)
Pengujian usability tool Forest Fire dilakukan menggunakan metode SUS
(System Usability Scale), dengan melakukan pengisian kuesioner yang melibatkan
pengguna dari pihak Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi
Aceh dan mahasiswa. Pengujian usability yang dilakukan adalah untuk
memperoleh tanggapan-tanggapan dan penilaian dari pengguna dengan tujuan
untuk mengetahui dan mempelajari sebaik apa tool yang telah dibuat.
Pengujian usability dilakukan dengan memberikan kuesioner SUS yang
valid kepada 30 responden. Responden terdiri dari 10 orang kalangan Bappeda
Aceh dan 20 orang dari kalangan mahasiswa yang mengerti menggunakan ArcGIS.
Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan pilihan ganda dan 1 pertanyaan uraian. Pada
pertanyaan pilihan ganda terdapat 5 skala pilihan jawaban yang berbeda-beda yaitu
dari sangat tidak setuju, tidak setuju, cukup setuju, setuju dan sangat setuju. Setiap
pertanyaan memiliki nilai skor dari 0 hingga 4. Untuk pertanyaan positif pada soal
nomor 1, 3, 5, 7, dan 9 perhitungan skor dilakukan dengan cara mengurangi nilai
skala poin dengan nilai 1. Sedangkan untuk negatif pada soal 2,4,6,8 dan 10
perhitungan skor dilakukan dengan cara 5 dikurangi nilai skala poin. Untuk soal
uraian berupa tanggapan dan saran pengguna mengenai tool tersebut. Skor hasil dari
responden dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil yang didapat pada Lampiran 4 tersebut telah dilakukan perhitungan
menggunakan metode SUS sehingga mendapatkan hasil rata-rata skor 30,9. Nilai
keseluruhan SUS adalah nilai rata-rata dari total masing-masing nilai jumlah pada
setiap pertanyaan. Selanjutnya nilai akhirnya adalah nilai skor rata-rata dikalikan
dengan 2,5 yang dilakukan berdasarkan Persamaan 2.3. yang berada pada Bab II.
Skor SUS = Nilai rata-rata skor * 2,5
= 30,9 * 2,5
= 77,2
Nilai skor SUS yang didapatkan berdasarkan nilai rata-rata skor dari seluruh
jawaban yang diberikan oleh responden adalah 77,2. Dengan demikian,
66
berdasarkan hasil perhitungan rata-rata skor SUS dari seluruh responden adalah tool
Forest Fire layak digunakan dan diterima. Karena tool berada pada kategori
“Acceptable” atau dapat diterima. Berdasarkan Acceptable Range yang diberikan
pada skor SUS terletak pada rentang nilai 70-100. Dan sistem berada grade C
(Good).
4.4.3. Evaluasi Hasil dengan Peta Eksisting
Berdasarkan hasil peta dari tool Forest Fire yang telah dijalankan dilakukan
evaluasi hasil peta bahaya kebakaran hutan dari instansi terkait yaitu BPBA (Badan
Penanggulangan Bencana Aceh). Peta bahaya kebakaran hutan hasil dari tool
Forest Fire dapat dilihat pada Gambar 4.38. Sedangkan hasil peta bahaya
kebakaran hutan yang diperoleh dari BPBA dapat dilihat pada Gambar 4.39. Secara
garis besar peta bahaya kebakaran hutan yang diperoleh dari BPBA dengan hasil
peta dari tool Forest Fire adalah sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan
analisis yang dilakukan yaitu parameter yang digunakan dan pemberian nilai bobot.
Adapun metode penyusunan data spasial untuk setiap parameter penentuan
bahaya kebakaran hutan yang dilakukan oleh BPBA sesuai dengan Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Terdapat 3 parameter yang
digunakan untuk membuat peta bahaya kebakaran hutan yaitu jenis hutan dan lahan,
iklim dan jenis tanah. Sedangkan pedoman yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu merujuk pada jurnal Widodo (2014) dimana terdapat 7 parameter yang
digunakan yaitu penutupan lahan, lahan gambut dan non gambut, ketinggian,
kelerengan, jarak dari desa, jarak dari sungai dan jarak dari jalan. Pada hasil peta
bahaya kebakaran hutan oleh BPBA, nilai bobot yang digunakan untuk setiap
parameter yaitu jenis hutan dan lahan (40%), iklim (30%) dan jenis tanah (30%)
dengan jumlah total bobot 100%. Sedangkan untuk perhitungan nilai bobot yang
dilakukan oleh Widodo menggunakan analisis statistik yaitu analisis regresi linier
dan tabulasi silang. Adapun nilai bobot yang digunakan pada setiap parameter
adalah penutupan lahan (18%), lahan gambut dan non gambut (6%), ketinggian
(15%), kelerengan (16%), jarak dari desa (16%), jarak dari sungai (15%) dan jarak
dari jalan (14%) dengan jumlah total bobot 100%. Adapun parameter yang
67
digunakan oleh BPBA mengacu pada faktor alam sebagai penyebab terjadinya
kebakaran hutan. Sementara itu, parameter yang digunakan oleh Widodo lebih
mengacu pada faktor perilaku manusia sebagai penyebab utama terjadinya
kebakaran hutan. Seperti yang diketahui bahwa penyebab sering terjadinya
kebakaran hutan di Indonesia adalah karena kelalaian dan tindakan kesengajaan
oleh manusia.
Gambar 4.38. Peta bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh hasil dari tool Forest
Fire
68
Gambar 4.39. Peta bahaya kebakaran hutan di Provinsi Aceh oleh BPBA
69
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Pembuatan peta bahaya kebakaran hutan menjadi lebih mudah dan praktis
dengan menggunakan tool Forest Fire yang dibangun menggunakan
ModelBuilder.
2. Pengujian validitas peta bahaya kebakaran hutan hasil dari tool Forest Fire
dilakukan pengujian dengan menggunakan data sebaran hotspot Provinsi Aceh
2016. Pengujian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 326 hotspot atau 45,1%
dari jumlah hotspot tersebar di wilayah tingkat bahaya kebakaran hutan yang
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
hotspot dengan terjadinya kebakaran hutan pada peta hasil tool Forest Fire.
3. Pengujian usability untuk tool Forest Fire dilakukan menggunakan metode SUS.
Pengujian menggunakan SUS menunjukkan bahwa tool Forest Fire memperoleh
skor nilai 77,2 dimana hasil tersebut menunjukkan bahwa tool tergolong ke
dalam kategori “Acceptable” atau dapat dikatakan cukup baik oleh pengguna dan
grade C (Good).
5.2. Saran
Saran yang perlu dilakukan untuk pengembangan terhadap penelitian yang
telah dilakukan yaitu:
1. Menganalisis daerah kebakaran hutan di wilayah kabupaten dengan data yang
lebih detail.
2. Tool juga perlu diujicobakan lagi di beberapa provinsi yang lain, sehingga
validitas tool menjadi semakin dapat dipertanggungjawabkan.
3. Jika memungkinkan, data-data setiap parameter seperti data penggunaan lahan
dsb menggunakan data dengan tahun terbaru atau up to date.
70
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adiningsih, E.S., P.A. Winarso, Z.L. Dupe dan A. Buono. 2005. Improvement of
Land and Forest Fire Hazard Mapping Method for Sumatera and
Kalimantan Based on Remote Sensing Data. Prosiding Pertemuan Ilmiah
Tahunan (PIT) MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Surabaya. Hal 96-101.
Amazonaws.com. 2013. Sistem Informasi Geografis: Modul Pelatihan Tingkat
Lanjut. https://s3-ap-southeast1.amazonaws.com/geoinformatika
/file/gisspatialanalysis/ModulPelatihanAdvance.pdf. Tanggal akses 9 Mei
2017.
Arianti, I. 2006. Pemodelan Tingkat Dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan
Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Sub Das Kapuas
Tengah Provinsi Kalimantan Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Arief, A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012. Peraturan Kepala BNPB No. 02
Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2015. Aceh Dalam Angka 2015. BPS Provinsi Aceh, Banda
Aceh.
Bangor, A., Kortum, P., Miller, J. 2009. Determining What Individual SUS Scores
Mean: Adding an Adjective Rating Scale. Journal of Usability Studies. IV.
121.
Bintoro, M. H., Purwanto, M.Y.J., dan Amarilis, S. 2010. Sagu di Lahan Gambut.
IPB PRESS, Bogor.
Brooke, J. 1986. SUS - A quick and dirty usability scale.
http://www.usabilitynet.org/trump/documents/Suschapt.doc. Tanggal akses
20 Desember 2017.
Brown, A.A., K.P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. McGraw-Hill
Company, New York.
Buchori, I., Susilo, J. 2012, Model Keruangan untuk Identifikasi Kawasan Rawan
Longsor. Jurnal Tata Loka. 14 (4): 282-294.
Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta.
Dumas, J.S., and Redish, J. 1999. A practical guide to usability testing: Intellect
books.
71
ESRI. 2014. ArcGIS Help 10.2, 10.2.1. and 10.2.2.
http://resources.arcgis.com/en/help/main/10.2/index.html. Tanggal akses:
15 Mei 2017.
ESRI. 2016. Understanding Euclidean Distance Analysis .
http://desktop.arcgis.com/en/arcmap/10.3/tools/spatial-analyst-
toolbox/understanding-euclidean-distance-analysis.htm. Tanggal akses: 21
Maret 2018.
ESRI. 2017. Weighted Sum. http://pro.arcgis.com/en/pro-app/tool-
reference/spatial-analyst/weighted-sum.htm. Tanggal akses: 9 Juni 2017.
Fristyananda, M.A., dan Idajati, H. 2017. Tingkat Bahaya Bencana Banjir di Kali
Lamong Kabupaten Gresik. Jurnal Teknik. 6 (1): 56 – 59.
Giglio, L., Descloitres, J., Justice, C.O., & Kaufman, Y. J. (2003). An enhanced
contextual fire detection algorithm for MODIS. Remote Sensing of
Environment, 87, 273-282.
Globalforestwatch.org. 2013. Global Forest Watch: Indonesia, Aceh.
http://www.globalforestwatch.org/country/IDN/1. Tanggal Akses 1 Maret
2017.
Heryani, R., Paharuddin., Arif, Samsu. 2014. Analisis Kerawanan Banjir Berbasis
Spasial Menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) Kabupaten
Marcos. Program Studi Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin. Makasar.
HR., T. 2016. Implementasi dan Analisa Sistem Penyajian Informasi Harga
Komoditi Utama Wilayah Provinsi Aceh Berbasis Web. Skripsi. Universitas
Syiah Kuala, Banda Aceh.
Hussin, Y.A., 2008. The Application of Remote Sensing and GIS in Modelling
Forest Fire Hazards in Mongolia. Int. jour. The International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol.
XXXVIII. Part B8. Beijing. 8.
Jaiswal RK, Mukherjee S, Raju KD, Saxena R. 2002. Forest fire risk zone mapping
from satellite imagery and GIS. International Journal of Applied Earth
Observation and Geoinformation. 4:1–10.
Lapan.go.id. 2017. Hotspot Information as Forest/Land Fire’s Alert. http://modis-
catalog.lapan.go.id/monitoring/. Tanggal akses 10 Maret 2017.
Lewis, J.R., 2006. System Usability Testing. IBM Software Group.
Mariani. Tolle, H., dan Ananta, M.T. 2017. Pengembangan Aplikasi Respons Sms
Dan Panggilan Telepon Menggunakan Android Text To Speech Dan
Proximity Sensor Bagi Pengemudi Mobil. Jurnal Pengembangan Teknologi
Informasi dan Ilmu Komputer. 1 (8): 688-696.
Nurhadryani, Y., Sianturi, SK., Hermadi, I., dan Khotimah, H. 2013. Pengujian
Usability untuk Meningkatkan Antarmuka Aplikasi Mobile. Jurnal Ilmu
Komputer, Agri-Informatika. 2 (2): 83-93.
72
Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan: Suatu Pengantar. PT
Rineka Cipta, Jakarta.
Qodariah, L. dan Wijanarko, S. 2 Juni 2008. Pengelolaan Pengendalian Kebakaran
Hutan Berbasis Masyarakat (Di Hutan Jati Perhutani).
http://Elqodara.Multiply.com/journal/item/20. Tanggal akses 12 Juni 2017.
Rachmat, A.R. 2014. Analisa Kesesuaian Lahan Permukiman di Kota Makassar.
Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Raharjo, B. dan Ikhsan, M. 2015. Belajar ArcGIS Desktop 10: ArcGIS 10.2/10.3.
Geosiana Press, Indonesia.
Sabaraji, A, 2005. Identifikasi Zone Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan
Aplikasi SIG di Kabupaten Kutai Timur. Universitas Mulawarman,
Samarinda.
Saharjo, B. H. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang Lestari
Perlukah Dilakukan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Setyawan, D. 2013. Pemetaan Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Di
Kawasan Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa
Timur. Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sholahuddin, M. 2015. SIG Untuk Memetakan Daerah Banjir Dengan Metode
Skoring dan Pembobotan (Studi Kasus Kabupaten Jepara). Skripsi.
Universitas Dian Nuswantoro Semarang, Semarang.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Solichin, L. Tarigan, P. Kimman, B. Firman, dan Bagyono, R., 2007. Pemetaan
Rawan Kebakaran. SSFFMP, Palembang.
Subagyo, P. Joko. 1992. Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya.
PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Suhadirman. 2012. Zonasi Tingkat Kerawanan Banjir Dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG) Pada Sub DAS Walane Hilir. Program Studi Keteknikan
Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Suparni. 2014. Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Tahura Sultan
Adam Provinsi Kalimantan Selatan. Program S-1 Non Reguler Fakultas
Kehutanan Universitas Lambung Mangkura, Banjarbaru.
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang: Bayumedia
Publishing.
Wahyuni, T. 2015. Menteri Siti: Aceh Masuk Area Rawan Kebakaran Hutan.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150617212833-20-
60710/menteri-siti-aceh-masuk-area-rawan-kebakaran-hutan/. Tanggal
akses 2 Maret 2017.
73
Widodo, R. B. 2014. Pemodelan Spasial Resiko Kebakaran Hutan (Studi Kasus
Provinsi Jambi, Sumatera). Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota. 10 (2):
127-1
74
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis bahaya kebakaran hutan pada ModelBuilder
75
Lampiran 2. Keterangan dari tampilan antarmuka tool Forest Fire
Keterangan :
1. Guna_lahan; pada bagian ini data yang di input adalah shapefile penggunaan
lahan. Digunakan untuk menganalisis parameter penggunaan lahan. Adapun
pada data penggunaan lahan harus memiliki kolom KETERANGAN. Berikut isi
dari kolom KETERANGAN : Peternakan, Semak Belukar, Gambut, HGU,
Hutan Lindung, Hortikultura, Hutan Produksi, Hutan, Hutan Alam, Hutan
Bakau, Hutan Gambut, Hutan Lahan Kering Primer, Hutan Lahan Kering
Sekunder, Hutan Lahan Kering Sekunder Campur Semak Belukar, Hutan
Lindung Darat, Hutan Mangrove, Hutan Mangrove Sekunder, Hutan Primer,
Hutan Produksi Konversi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Rakyat, Hutan Rawa,
Hutan Rawa Primer, Hutan Rawa Primer, Hutan Rawa Sekunder, Hutan Rimba,
Hutan Sekunder, Hutan Tanaman, Kawasan Pantai Berhutan Bakau, Kawasan
Pertanian Terpadu Sawang, Kawasan Perternakan, Kebun, Kebun Campuran,
Kebun Campuran dan Ladang, Kebun Campuran dan Semak Belukar, Kebun
Campuran/Perkebunan Masyarakat, Kebun Coklat, Kebun Karet Rakyat,
Ladang dan Semak Belukar, Lahan Terbuka untuk Tanaman Kelapa Sawit,
Mangrove, Perkebunan, Perkebunan Karet, Perkebunan Kelapa Sawit,
76
Perkebunan Masyarakat, Perkebunan PT Timbang Langsa, Perkebunan PTPN I,
Perkebunan Rakyat, Perkebunan Sawit, Perkebunan Swasta, Pertanian Lahan
Basah, Pertanian Lahan Kering, Pertanian Lahan Kering Campuran, Pertanian
Pangan Lahan Basah, Rumput Rawa/Paku-pak-uan Rawa, Savana, Semak,
Semak Belukar, Semak Belukar/Alang-Alang, Semak dan Belukar,
Semak/Belukar, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Taman Nasional Gunung
Lauser, Taman Wisata Alam, Tanaman Campuran, Tanaman Kelapa Sawit,
Tanaman Pantai.
2. Bobot_PL; pemberian nilai bobot untuk parameter penggunaan lahan telah
tertera secara default yaitu 0,18. Pada bagian ini bobot juga dapat diubah secara
bervariasi sesuai dengan kebutuhan analisis, dimana syarat pemberian nilai
bobot dapat dilihat pada kolom item description di sebelah kanan.
3. Gambut; pada bagian ini data yang di input adalah shapefile gambut. Digunakan
untuk menganalisis parameter lahan gambut.
4. Bobot_Gambut; pemberian nilai bobot untuk parameter gambut telah tertera
secara default yaitu 0,06. Pada bagian ini bobot juga dapat diubah secara
bervariasi sesuai dengan kebutuhan analisis, dimana syarat pemberian nilai
bobot dapat dilihat pada kolom item description di sebelah kanan.
5. DEM; pada bagian ini data yang di input adalah data raster DEM. Digunakan
untuk menganalisis parameter kelerengan dan ketinggian.
6. Bobot_Kelerengan; pemberian nilai bobot untuk parameter kelerengan telah
tertera secara default yaitu 0,16. Pada bagian ini bobot juga dapat diubah secara
bervariasi sesuai dengan kebutuhan analisis, dimana syarat pemberian nilai
bobot dapat dilihat pada kolom item description di sebelah kanan.
7. Bobot_Ketinggian; pemberian nilai bobot untuk parameter ketinggian telah
tertera secara default yaitu 0,15. Pada bagian ini bobot juga dapat diubah secara
bervariasi sesuai dengan kebutuhan analisis, dimana syarat pemberian nilai
bobot dapat dilihat pada kolom item description di sebelah kanan.
8. Desa; pada bagian ini data yang di input adalah shapefile pusat desa. Digunakan
untuk menganalisis parameter desa (permukiman penduduk).
9. Bobot_Desa; pemberian nilai bobot untuk parameter desa telah tertera secara
default yaitu 0,16. Pada bagian ini bobot juga dapat diubah secara bervariasi
sesuai dengan kebutuhan analisis, dimana syarat pemberian nilai bobot dapat
dilihat pada kolom item description di sebelah kanan.
77
10. Sungai; pada bagian ini data yang di input adalah shapefile sungai. Digunakan
untuk menganalisis parameter sungai.
11. Bobot_Sungai; pemberian nilai bobot untuk parameter sungai telah tertera
secara default yaitu 0,15. Pada bagian ini bobot juga dapat diubah secara
bervariasi sesuai dengan kebutuhan analisis, dimana syarat pemberian nilai
bobot dapat dilihat pada kolom item description di sebelah kanan.
12. Jaringan_Jalan; pada bagian ini data yang di input adalah shapefile jaringan
jalan. Digunakan untuk menganalisis parameter jaringan jalan.
13. Bobot_Jalan; pemberian nilai bobot untuk parameter jaringan jalan telah tertera
secara default yaitu 0,14. Pada bagian ini bobot juga dapat diubah secara
bervariasi sesuai dengan kebutuhan analisis, dimana syarat pemberian nilai
bobot dapat dilihat pada kolom item description di sebelah kanan.
14. Hasil_Peta; pada bagian ini pengguna dapat memilih lokasi untuk menyimpan
output hasil peta.
15. Luas_Ha; pada bagian ini pengguna dapat memilih lokasi untuk menyimpan
output tabel luas daerah bahaya kebakaran hutan.
16. OK; setelah seluruh data telah terisi maka pengguna dapat menjalankan tool
dengan meng-klik OK.
17. Item Description; berisi informasi atau keterangan mengenai setiap kolom di
sebelah kiri.
78
Lampiran 3. Peta bahaya kebakaran hutan hasil run tool Forest Fire
79
Lampiran 4. Pertanyaan kuesioner
80
81
82
Lampiran 5. Skor hasil kuesioner dari responden
Responden Skor Untuk Setiap Pertanyaan
Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 3 1 3 1 4 1 4 1 3 1 32
2 3 1 3 1 3 1 4 1 3 1 31
3 4 1 4 1 3 1 3 1 3 1 32
4 4 1 4 1 3 1 3 1 3 2 31
5 3 1 4 2 3 0 4 1 4 1 33
6 4 1 3 1 4 1 3 0 3 0 34
7 3 1 4 1 3 1 3 1 3 1 31
8 3 1 4 1 3 1 3 1 3 1 31
9 3 0 4 1 3 2 3 1 3 1 31
10 4 1 3 1 3 1 3 1 3 1 31
11 3 1 3 1 4 1 3 1 3 1 31
12 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
13 3 1 3 2 3 1 3 1 3 1 29
14 3 1 4 2 3 1 3 1 3 2 29
15 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
16 3 1 3 1 3 0 3 1 3 1 31
17 3 1 4 0 4 1 3 1 3 2 32
18 3 1 4 1 3 1 3 1 3 0 32
19 3 1 4 1 3 1 3 1 3 1 31
20 3 1 3 1 3 1 3 1 3 2 29
21 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
22 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
23 4 1 4 1 4 1 4 0 3 1 35
24 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
25 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
26 3 1 4 1 3 1 3 1 3 1 31
27 4 1 3 1 3 1 3 1 3 1 31
28 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
29 3 2 3 1 3 1 3 1 3 1 29
30 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 30
Rata-Rata Skor 30,9
83
BIODATA
1. Nama : Rahma Soraya
2. Tempat & Tanggal Lahir : Banda Aceh, 10 Januari 1996
3. Alamat : Jalan Turi II No. 6 Cot Mesjid,
Kec. Lueng Bata, Banda Aceh.
4. Nama Ayah : Alm. Syahril
5. Pekerjaan Ayah : -
6. Nama Ibu : Sa’diyah
7. Pekerjaan Ibu : Guru
8. Alamat Orang Tua : Jalan Turi II No. 6, Cot Mesjid,
Kec. Lueng Bata, Banda Aceh.
9. Riwayat Pendidikan :
Jenjang Nama Sekolah Bidang
Studi Tempat
Tahun
Ijazah
SD SD Kartika XIV-I - Banda Aceh 2007
SMP MTsN Model
Banda Aceh - Banda Aceh 2010
SMA SMA Negeri 4
Banda Aceh IPA Banda Aceh 2013
Banda Aceh, Januari 2018
Rahma Soraya
NIM. 1308107010019