pembuatan dan karakterisasi nanopartikel perak

12
Universitas Indonesia 1 Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak Termodifikasi L-Sistein Sebagai Elemen Sensor untuk Pendeteksian Pestisida Indra Setia Permana, Dr.-Ing Cuk Imawan Departemen Fisika, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 [email protected], [email protected] Abstrak Elemen sensor berbasis nanopartikel perak (NPP) termodifikasi l-sistein untuk mendeteksi pestisida telah dikembangkan. NPP tersebut dibuat melalui proses biosintesis dengan memanfaatkan air rebusan daun bisbul (Diospyros blancoi) sebagai agen pereduksi. Pestisida yang sering digunakan oleh petani diantaranya cartap, bisultap, monosultap, propineb dan sipermetrin dideteksi dengan mencampur masing-masing pestisida tersebut kedalam elemen sensor untuk mengamati selektivitasnya. Konsentrasi pestisida yang terpilih divariasikan sebesar 0, 20, 50, dan 100 ppm untuk mengamati sensitivitasnya. NaCl 1M ditambahkan pada elemen sensor untuk meningkatkan sensitivitasnya. Pembentukan elemen sensor dan proses pendeteksian pestisida diamati menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan fotografi. Hasil menunjukkan bahwa elemen sensor memiliki puncak absorbansi diantara 400-500 nm dan memiliki warna kuning kecokelatan. Sensor elemen hanya selektif terhadap sipermetrin 100 ppm yang ditandai dengan penurunan absorbansi dan perubahan warna menjadi bening. Semakin besar konsentrasi sipermetrin yang diberikan absorbansinya semakin menurun dan perubahan warna semakin bening. Resolusi dari elemen sensor adalah 16,7 ppm dengan kesalahan total absorbansi sebesar 0,1. Kata kunci : elemen sensor, nanopartikel perak, pestisida, l-sistein 1. Pendahuluan Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif dan digunakan untuk mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tumbuhan (OPT). OPT tersebut diantaranya, aneka jenis serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan, atau mikroba yang dianggap mengganggu produksi pertanian. Pada dasarnya pestisida pertanian adalah racun. yang digunakan untuk meracuni OPT. Penggunaan yang tidak bijak, berlebihan dan terus menerus dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun konsumen produk pertanian. Dampak negatif pestisida bagi manusia diantaranya keracunan ringan yang menimbulkan gejala mual, kejang perut, sulit bernafas dan denyut nadi meningkat. Bahkan keracunan pestisida dengan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kematian (Djojosumarto, 2008). Besarnya ambang batas penggunaan pestisida di Indonesia diatur oleh SNI (Standar Nasional Indonesia), sedangkan di Amerika Serikat diatur oleh EPA (Environmental Protection Agency). Ambang batas tersebut berbeda-beda tergantung jenis pestisida yang digunakan. Metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi pestisida adalah liquid chromatography dan capillary electrophoresis. Metode ini memiliki efisensi yang tinggi dan dapat membedakan beberapa tipe senyawa tertentu, tetapi mengharuskan preparasi sampel yang rumit, teknisi dengan kualifikasi tertentu, dan peralatan yang canggih (Liu et al., 2008). Oleh sebab itu, dibutuhkan metode alternatif yang lebih sederhana. Metode alternatif ini harus dapat digunakan secara insitu, murah, sederhana dan tidak memerlukan operator ahli, sehingga manfaatnya lebih luas dan dapat digunakan tanpa melalui preparasi yang rumit. Metode tersebut adalah metode kolorimetri, metode yang memanfaatkan karakterisasi visual dan juga spektroskopi UV-Vis. Karakterisasi visual yang dimaksud yakni dapat memanfaatkan mata telanjang untuk melihat perubahan warna ketika larutan nanopartikel (indikator) ditetesi pestisida. Sementara itu, pada karakterisasi spektroskopi UV-Vis, hasilnya ditunjukkan dengan berubahnya pola kurva absorbansi akibat penambahan pestisida dengan konsentrasi tertentu. Penelitian ini memanfaatkan sifat optis dari nanopartikel perak. Nanopartikel logam mulia seperti perak, telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain di bidang lingkungan, biomedis, perawatan kesehatan, pertanian dan pangan, tekstil, industri, elektronika, serta energi terbarukan (Tsuzuki, 2009). Di bidang elektronik, salah satu pemanfaatan nanopartikel perak digunakan sebagai sensor. Besaran yang telah berhasil dideteksi diantaranya ion-ion logam berat (Li et al., 2009), melamin (Han & Li, 2010), asam amino, DNA, dan pestisida (Liu et al., 2008); (Vamvakaki, et.al., 2007); (Dubas & Pimpan, 2008). Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Upload: others

Post on 27-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

Universitas Indonesia 1  

Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak Termodifikasi L-Sistein Sebagai Elemen Sensor untuk Pendeteksian Pestisida

Indra Setia Permana, Dr.-Ing Cuk Imawan

Departemen Fisika, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424

[email protected], [email protected]

Abstrak

Elemen sensor berbasis nanopartikel perak (NPP) termodifikasi l-sistein untuk mendeteksi pestisida telah dikembangkan. NPP tersebut dibuat melalui proses biosintesis dengan memanfaatkan air rebusan daun bisbul (Diospyros blancoi) sebagai agen pereduksi. Pestisida yang sering digunakan oleh petani diantaranya cartap, bisultap, monosultap, propineb dan sipermetrin dideteksi dengan mencampur masing-masing pestisida tersebut kedalam elemen sensor untuk mengamati selektivitasnya. Konsentrasi pestisida yang terpilih divariasikan sebesar 0, 20, 50, dan 100 ppm untuk mengamati sensitivitasnya. NaCl 1M ditambahkan pada elemen sensor untuk meningkatkan sensitivitasnya. Pembentukan elemen sensor dan proses pendeteksian pestisida diamati menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan fotografi. Hasil menunjukkan bahwa elemen sensor memiliki puncak absorbansi diantara 400-500 nm dan memiliki warna kuning kecokelatan. Sensor elemen hanya selektif terhadap sipermetrin 100 ppm yang ditandai dengan penurunan absorbansi dan perubahan warna menjadi bening. Semakin besar konsentrasi sipermetrin yang diberikan absorbansinya semakin menurun dan perubahan warna semakin bening. Resolusi dari elemen sensor adalah 16,7 ppm dengan kesalahan total absorbansi sebesar 0,1.

Kata kunci : elemen sensor, nanopartikel perak, pestisida, l-sistein

1. Pendahuluan

Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia atau bahan-bahan lain yang bersifat bioaktif dan digunakan untuk mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tumbuhan (OPT). OPT tersebut diantaranya, aneka jenis serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan, atau mikroba yang dianggap mengganggu produksi pertanian. Pada dasarnya pestisida pertanian adalah racun. yang digunakan untuk meracuni OPT. Penggunaan yang tidak bijak, berlebihan dan terus menerus dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun konsumen produk pertanian. Dampak negatif pestisida bagi manusia diantaranya keracunan ringan yang menimbulkan gejala mual, kejang perut, sulit bernafas dan denyut nadi meningkat. Bahkan keracunan pestisida dengan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kematian (Djojosumarto, 2008). Besarnya ambang batas penggunaan pestisida di Indonesia diatur oleh SNI (Standar Nasional Indonesia), sedangkan di Amerika Serikat diatur oleh EPA (Environmental Protection Agency). Ambang batas tersebut berbeda-beda tergantung jenis pestisida yang digunakan.

Metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi pestisida adalah liquid chromatography dan capillary electrophoresis. Metode ini memiliki efisensi yang tinggi dan dapat membedakan beberapa tipe senyawa tertentu, tetapi mengharuskan preparasi sampel yang

rumit, teknisi dengan kualifikasi tertentu, dan peralatan yang canggih (Liu et al., 2008). Oleh sebab itu, dibutuhkan metode alternatif yang lebih sederhana. Metode alternatif ini harus dapat digunakan secara insitu, murah, sederhana dan tidak memerlukan operator ahli, sehingga manfaatnya lebih luas dan dapat digunakan tanpa melalui preparasi yang rumit. Metode tersebut adalah metode kolorimetri, metode yang memanfaatkan karakterisasi visual dan juga spektroskopi UV-Vis. Karakterisasi visual yang dimaksud yakni dapat memanfaatkan mata telanjang untuk melihat perubahan warna ketika larutan nanopartikel (indikator) ditetesi pestisida. Sementara itu, pada karakterisasi spektroskopi UV-Vis, hasilnya ditunjukkan dengan berubahnya pola kurva absorbansi akibat penambahan pestisida dengan konsentrasi tertentu.

Penelitian ini memanfaatkan sifat optis dari nanopartikel perak. Nanopartikel logam mulia seperti perak, telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, antara lain di bidang lingkungan, biomedis, perawatan kesehatan, pertanian dan pangan, tekstil, industri, elektronika, serta energi terbarukan (Tsuzuki, 2009). Di bidang elektronik, salah satu pemanfaatan nanopartikel perak digunakan sebagai sensor. Besaran yang telah berhasil dideteksi diantaranya ion-ion logam berat (Li et al., 2009), melamin (Han & Li, 2010), asam amino, DNA, dan pestisida (Liu et al., 2008); (Vamvakaki, et.al., 2007); (Dubas & Pimpan, 2008).

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 2: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 2  

2. Metode Penelitian

Pembuatan dan Pemodifikasian Elemen Sensor

Proses pembuatan dan pemodifikasian elemen sensor dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu preparasi larutan AgNO3, proses pembuatan air rebusan daun bisbul, pembuatan nanopartikel perak, dan pemodifikasian nanopartikel perak dengan asam amino yakni L-sistein. Karakterisasi elemen sensor dilakukan dengan menggunakan kamera (visual) dan spektrofotometer UV-Vis (spektrum absorbansi). Proses pembuatan dan pemodifikasian elemen sensor ditunjukkan oleh diagram berikut :

Proses pertama yang dilakukan dalam pembuatan elemen sensor pestisida adalah pembuatan nanopartikel perak. Pembuatan nanopartikel perak dilakukan melalui proses biosintesis larutan AgNO3 0,2 mM dengan air rebusan daun bisbul. Proses ini merupakan proses pencampuran kedua larutan tersebut dengan perbandingan volume masing-masing 10:1 (larutan AgNO3 : air rebusan daun bisbul) dan distirrer selama dua jam. Kemudian hasil pencampuran ini didiamkan selama 24 jam (Windri,2011) untuk selanjutnya dikarakterisasi dengan kamera dan spektrofotometer UV-Vis. Karakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis ini dilakukan untuk memastikan keberadaan nanopartikel perak serta mengetahui puncak absorbansi yang terbentuk.

Sebelum digunakan untuk mendeteksi pestisida, dilakukan proses pemodifikasian NPP terlebih dahulu. Proses modifikasi dilakukan dengan menggunakan asam amino L-sisteine. Tujuan dari proses ini adalah untuk meningkatkan sensitivitas elemen sensor (nanopartikel perak) dalam pendeteksian pestisida. Proses ini dilakukan dengan cara mencampurkan larutan L-sisteine 1 mM kedalam larutan nanopartikel perak (NPP) dengan perbandingan volume 55:1 (NPP : L-sistein) dan distirrer selama 30 menit. Setelah proses pencampuran, larutan tersebut kemudian didiamkan selama 24 jam. Larutan NPP yang telah dimodifikasi (NPP-L-Cys) dikarakterisasi kembali dengan kamera dan UV-Vis. Larutan NPP-L-Cys siap digunakan untuk tahapan pengujian.

Gambar 1. Diagram tahapan pabrikasi dan pemodifikasian elemen sensor pendeteksi pestisida

(NPP dan NPP termodifikasi asam amino).

Uji Selektivitas Elemen Sensor

Selektivitas menjelaskan seberapa besar sensor merespon hanya terhadap analit tertentu dengan sedikit atau tanpa interferensi dari zat lain. Uji selektivitas dilakukan dengan cara mencampurkan 2 mL larutan elemen sensor dengan 1 mL larutan pestisida. Pestisida yang diuji adalah cartap, bisultap, monosultap, sipermetrin dan propineb dengan konsentrasi masing-masing 20 ppm. Konsentrasi sebesar 20 ppm adalah batas maksimum residu pestisida yang diperbolehkan berada didalam produk pertanian berdasarkan SNI. Pengamatan dilakukan untuk melihat dan mengambil data perubahan yang terjadi secara visual dengan menggunakan kamera digital dan secara instrumen dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan elemen sensor yang selektif terhadap salah satu pestisida yang diuji. Apabila dari elemen sensor belum terlihat selektif terhadap salah satu analit maka dilakukan strategi lain diantaranya menaikkan konsentrasi analit, melakukan modifikasi elemen sensor atau dengan penambahan garam NaCl.

Uji Sensitivitas Elemen Sensor

Sensitivitas merupakan kemampuan sensor yang menggambarkan seberapa baik sensor dapat mengenali analit. Uji sensitivitas dilakukan dengan cara mencampurkan 2 mL larutan elemen sensor dengan 1 mL larutan pestisida. Pestisida yang digunakan untuk pengujian ini hanya pestisida selektif. Variasi konsentrasi pestisida yang digunakan adalah 0; 20; 50; 100 ppm.

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 3: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 3  

Uji Repeatability Elemen Sensor

Sensor yang ideal akan menghasilkan nilai output yang sama apabila diuji terhadap analit yang sama dengan konsentrasi dan kondisi lainnya yang sama. Namun pada kenyataannya tidak ada sensor yang ideal, akan selalu terdapat error didalam setiap pengujian meskipun terhadap analit yang sama dengan konsentrasi dan kondisi lainnya yang sama. Uji repeatability ini bertujuan untuk mengetahui repeatability error dari elemen sensor. Uji repeatability dilakukan dengan cara mengulang pengukuran analit dengan elemen sensor dengan produksi elemen sensor (stok) yang sama. Pengujian dilakukan dengan mencampurkan 2 ml larutan elemen sensor dengan 1 ml larutan pestisida. Pestisida yang diuji menggunakan konsentrasi 50 ppm dengan pengulangan sebanyak lima kali. Konsentrasi 50 ppm adalah konsentrasi tengah dari variasi konsentrasi pada uji sensitivitas.

Uji Reproducibility Elemen Sensor

Sensor yang ideal akan memiliki karakteristik yang sama apabila diproduksi secara berulang. Namun pada kenyataannya akan selalu ada perbedaan karakteristik pada setiap produksi suatu sensor. Kesalahan ini dapat disebabkan karena sifat material, gangguan temperatur, dan kondisi lingkungan lainnya yang tidak dapat dihindari. Kesalahan ini disebut sebagai reproducibility error. Uji reproducibility bertujuan untuk mengetahui reproducibility error dari elemen sensor ini. Uji reproducibility dilakukan dengan cara membuat ulang elemen sensor sebanyak tiga kali menggunakan parameter dan kondisi yang sama. Masing-masing produksi elemen sensor (stok) elemen sensor dikarakterisasi secara visual dengan foto dan secara spektroskopi dengan UV-Vis.

Uji Agging Efek Elemen Sensor

Uji agging efek dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik elemen sensor yang disimpan selama waktu tertentu. Pengujian dilakukan dengan cara mengkarakterisasi elemen sensor yang disimpan didalam ruang gelap selama waktu tertentu. Waktu pengujian elemen sensor adalah hari ke 1, 7, 10, 14, dan 22. Kemudian dilakukan karakterisasi secara visual dengan menggunakan kamera digital dan secara spektroskopi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

3. Hasil dan Pembahasan

Biosintesis Nanopartikel Perak Menggunakan Air Rebusan Daun Bisbul

Gambar 2 merupakan foto perbandingan antara larutan AgNO3, Air rebusan daun bisbul dan campuran

antara kedua larutan tersebut setelah distirrer selama dua jam serta didiamkan selama 24 jam.

Gambar 2 Foto a) Larutan AgNO3 b) Air rebusan daun bisbul c) Pembentukan NPP setelah stirrer dua jam d)

Pembentukan NPP setelah 24 jam.

200 400 600 800

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

Pabrikasi Elemen Sensor

Abs

orba

nsi

Panjang gelombang (nm)

AgNO3 Air Rebusan Bisbul NPP Setelah Stirrer 2 Jam NPP 1 Hari

Gambar 3 Grafik perbandingan absorbansi pembentukan nanopartikel perak (NPP).

Perbandingan ini dilakuan untuk mengetahui dan membuktikan terjadinya pembentukan nanopartikel perak didalam larutan tersebut.

Dapat dilihat bahwa larutan AgNO3 tidak memilik warna (bening), air rebusan daun bisbul berwarna kuning muda, sedangkan campuran antara kedua larutan tersebut dengan perbandingan 10:1 (AgNO3 : air rebusan bisbul) setelah distirrer selama dua jam menunjukan warna kuning kecokelatan dan setelah didiamkan selama 24 jam menunjukan warna cokelat. Karakterisasi menggunakan spektrofotometer UV-Vis untuk larutan AgNO3, air rebusan daun bisbul dan campuran antara keduanya setelah distirrer selama 2 jam dan setelah didiamkan selama 24 jam ditunjukan pada Gambar Dapat dilihat bahwa campuran antara larutan AgNO3 dan air rebusan daun bisbul dengan perbandingan 10:1 (AgNO3 : air rebusan bisbul) setelah distirrer selama dua jam memiliki spektrum absorbansi dengan puncak pada panjang gelombang di antara 400-500 nm. Setelah larutan didiamkan selama 24 jam, puncak absorbansi tersebut meningkat dari sekitar 0,55 menjadi 1,151 pada panjang gelombang yang sama yaitu pada 420-422nm. Sedangkan spektrum absorbansi masing-masing larutan AgNO3 maupun air rebusan daun bisbul sebelum keduanya dicampurkan tidak

a b c d

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 4: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 4  

menunjukan puncak pada panjang gelombang di antara 400-500 nm. Terbentuknya NPP dalam suatu larutan dapat ditandai oleh beberapa hal, antara lain warna larutannya kuning hingga kecokelatan (Shankar, Rai, Ahmad, & Sastry, 2004). Selain itu terbentuknya NPP ditandai dengan adanya puncak absorbansi di panjang gelombang 400-500 nm (Solomon, Bahadory, Jeyarajasingam, Rutkowsky, & Boritz, 2007). Hal ini terjadi karena proses reduksi dari ion perak sehingga terbentuk nanopartikel perak (V. Kumar & S. K. Yadav, 2009). Berdasarkan hasil yang diperoleh ( Gambar 2), campuran AgNO3 dan air rebusan bisbul berwarna kuning kecokelatan setelah distirrer selama dua jam. Hal ini terjadi diduga karena telah terbentuknya nanopartikel perak didalam larutan tersebut. Dugaan tersebut diperkuat dengan terbentuknya puncak pada kurva absorbansi di panjang gelombang antara 400-500nm (Gambar ). Sementara itu, air rebusan daun bisbul memiliki puncak absorbansi pada sekitar 320 nm, pada panjang gelombang yang lebih besar tidak terjadi absorpsi cahaya. Larutan AgNO3 sama sekali tidak memiliki puncak absorbansi. Kedua larutan tersebut tidak memiliki puncak absorbansi pada panjang gelombang 400-500 nm. Setelah kedua larutan tersebut dicampur dan kemudian distirrer selama dua jam, larutan tersebut memiliki puncak absorbansi pada 400-500 nm. Puncak absorbansi larutan tersebut masih rendah yaitu 0,55. Setelah larutan didiamkan selama 24 jam, puncak absorbansi meningkat menjadi 1,151 pada panjang gelombang yang sama yaitu pada 420-422nm. Semakin tinggi nilai absorbansi maka semakin banyak jumlah nanopartikel yang terbentuk. Maka, dapat dikatakan bahwa nanopartikel perak pada larutan tersebut masih terus terbentuk sehingga jumlahnya semakin banyak, namun tidak ada perubahan ukuran yang berarti pada nanopartikel tersebut. Ukuran dari nanopartikel perak dapat diperkirakan berdasarkan panjang gelombang dari absorbansi maksimum. Berdasarkan panjang gelombang puncak absorbansi yang diperoleh maka dapat diperkirakan bahwa nanopartikel yang terbentuk berukuran sekitar 35-50nm (Solomon, Bahadory, Jeyarajasingam, Rutkowsky, & Boritz, 2007).

Modifikasi Nanopartikel Perak dengan L-Sistein ( NPP-Lcys )

Penambahan modifikator terhadap NPP bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas dan selektivitas nanopartikel terhadap analit. Senyawa yang digunakan sebagai modifikator merupakan salah satu senyawa asam amino yaitu L-cystein dengan konsentrasi 1mM.

Gambar 4 Foto a) NPP b) L-cystein 1mM c) NPP termodifikasi L-cystein 1mM.

200 400 600 800

0

1

2

3

Modifikasi Elemen Sensor

Abs

orba

nsi

Panjang gelombang (nm)

NPP L-Cysteine NPP Termodifikasi

Gambar 5. Grafik perbandingan absorbansi NPP, L-

cystein, dan NPP termodifikasi L-cystein 1mM.

Gambar menunjukan data visual larutan L-cystein 1mM, larutan NPP, dan campuran keduanya dengan perbandingan 11:1 (NPP:L-cystein). Larutan L-cystein tidak memilik warna (bening), Larutan NPP berwarna kuning kecokelatan, sedangkan campuran keduanya setelah didiamkan kembali selama satu hari memiliki warna yang sedikit lebih tua dibandingkan dengan larutan NPP sebelum dimodifikasi. Secara spektroskopi dapat dilihat perbedaan spektrum absorbansi larutan NPP sebelum dan sesudah dimodifikasi (Gambar ). larutan L-cystein 1mM tidak memiliki puncak pada panjang gelombang antara 400-500 nm seperti yang terjadi pada larutan NPP. Spektrum absorbansi larutan NPP yang telah dimodifikasi dan didiamkan selama 24 jam memiliki puncak absorbansi yang lebih tinggi, dan kurva yang lebih lebar. Penambahan modifikator terhadap nanopartikel perak diharapkan mampu meningkatkan sensitivitas dan selektivitas terhadap suatu pestisida. Diketahui bahwa beberapa jenis asam amino dan polimer dapat digunakan sebagai agen penstabil nanopartikel perak (Galina A. Petkova, 2012). Pada penelitian ini, modifikator yang digunakan sebagai penstabil nanopartikel perak tersebut adalah l-cystein. L-cystein yang merupakan salah satu jenis asam amino diketahui dapat berikatan dengan permukaan nanopartikel perak serta membantu menstabilkan nanopartikel perak dalam suatu larutan. (Saikat Mandal, 2001).

a b c

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 5: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 5  

Pada penelitian ini, modifikasi dilakukan setelah

terjadi pembentukan nanopartikel perak selama 24

jam. L-cystein 1mM dicampurkan kedalam larutan

nanopartikel perak dengan perbandingan volume 1:11.

Berdasarkan Gambar dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan warna yang signifikan pada larutan nanopartikel perak sebelum dan sesudah dimodifikasi. Spektrum absorbansi pada Gambar menunjukan adanya peningkatan nilai absorbansi larutan nanopartiel perak dari 1,151 menjadi 1,287 setelah dimodifikasi dan didiamkan selama 24 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah nanopartikel didalam larutan bertambah namun tidak terlalu signifikan. Penambahan usia nanopartikel selama 24 jam selama proses modifikasi memiliki pengaruh terhadap bertambahnya jumlah nanopartikel. Pergeseran panjang gelombang maksimum juga terjadi sebesar 1 nm kearah kanan dari sebelumnya 421 nm menjadi 422 nm. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi sedikit penambahan ukuran nanopartikel perak. Hal ini terjadi karena l-cystein yang berikatan pada permukaan nanopartikel perak tersebut menyebabkan ukuran total dari nanopartikel juga ikut bertambah.

Selektivitas Elemen Sensor

NPP yang telah terbentuk melalui proses biosintesis digunakan untuk mendeteksi keberadaan pestisida. Sensor yang baik memiliki kemampuan untuk merespon analit tertentu dengan sedikit atau tanpa dipengaruhi oleh analit lain. Penelitian pada sub bab ini dilakukan untuk memperoleh elemen sensor yang selektif terhadap salah satu pestisida yang diuji. Pengujian dilakukan menggunakan lima jenis pestisida dengan bahan aktif yang berbeda. Masing-masing pestisida tersebut diteteskan pada NPP dengan perbandingan volume 1:2. Dengan menambahkan garam NaCl 1 M, larutan NPP termodifikasi l-cystein diuji terhadap lima jenis pestisida diantaranya cartap, bisultap, monosultap, sipermetrin, dan propineb. Data secara visual yang ditunjukan pada Gambar menunjukan bahwa telah terjadi perubahan warna dari kuning kecokelatan menjadi tidak berwarna (bening) pada pestisida dengan bahan aktif sipermetrin. Sedangkan terhadap empat jenis pestisida lainnya tidak menunjukan perubahan warna yang berarti. Secara spektroskopi pun (Gambar 7) dapat dilihat bahwa tidak ada puncak diantara panjang gelombang 400-500 nm pada pestisida berbahan aktif sipermetrin, sedangkan untuk empat pestisida lainnya masih terbentuk puncak pada panjang gelombang antara 400-500 nm. Dapat dikatakan bahwa larutan NPP yang telah dimodifikasi L-sistein dengan penambahan garam NaCl, selektif terhadap pestisida dengan bahan aktif sipermetrin.

Gambar 6 Foto NPP termodifikasi L-Cystein 1mM dengan penambahan NaCl 1 M yang ditetesi pestisida a) Kartap b) Bisultap c) Monosultap d) Sipermetrin e)

Propineb masing-masing 100ppm.

200 400 600 800

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Selektivitas NPP termodifikasi L-Cystein 1mM dengan penambahan NaCl 1MTerhadap Lima Jenis Pestisida

Abs

orba

nsi

Panjang gelombang (nm)

NPP-L-cys+NaCl (X) X+Cartap 100ppm X+Bisultap100ppm X+Monosultap 100ppm X+Sipermetrin 100ppm X+Propineb 100ppm

Gambar 7. Grafik selektivitas NPP termodifikasi L-

Cystein 1mM dengan penambahan NaCl 1M terhadap lima jenis pestisida dengan masing-masing konsentrasi

100ppm.

Gambar 8. Grafik Selektivitas NPP termodifikasi L-

sistein dengan penambahan NaCl 1M Terhadap Pestisida

Grafik pada Gambar memperjelas adanya perbedaan respon NPP termodifikasi l-cystein dengan penambahan NaCl terhadap pestisida sipermetrin dibandingkan terhadap empat jenis pestisida lainnya. Terlihat sudah tidak ada lagi puncak pada panjang gelombang 400-500 nm. Artinya sudah tidak terdapat nanopartikel perak didalam larutan tersebut.

Gambar merupakan grafik selektivitas yang dibentuk berdasarkan kurva absorbansi pada Gambar Pengamatan nilai absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 422 nm yang merupakan puncak

a b c d

e

e

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 6: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 6  

absorbansi NPP termodifikasi l-cystein yang belum ditambahkan dengan pestisida. Kemudian, nilai absorbansi masing-masing pestisida pada panjang gelmbang tersebut dibandingkan secara relatif terhadap absorbansi NPP termodifikasi l-cystein melalui persamaan:

|!!!!!|!!

(1) Dengan A0 merupakan puncak absorbansi NPP termodifikasi l-cystein yaitu 1,287 pada panjang gelombang 422 nm. Sedangkan Ax merupakan absorbansi masing-masing pestisida pada panjang gelombang 422 nm. Dari grafik tersebut terlihat bahwa NPP termodifikasi l-cystein yang ditambahkan dengan NaCl memiliki respon yang sangat baik terhadap pestisida berbahan aktif sipermetrin dibandingkan terhadap empat jenis pestisida lainnya. Meskipun memiliki respon terhadap empat jenis pestisida yang lain, namun respon terhadap sipermetrin lebih tinggi daripada empat jenis pestisida yang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa NPP termodifikasi l-cystein yang ditambahkan NaCl 1M selektif terhadap sipermetrin. Pada penulisan selanjutnya, larutan NPP termodifikasi l-cystein 1mM disebut elemen sensor. Penambahan pestisida sipermetrin ini menyebabkan NPP yang ada menjadi berkurang atau bahkan menghilang. Berkurang atau menghilangnya NPP diduga karena telah terjadi reaksi antara elemen sensor, NaCl dan sipermetrin yang menyebabkan rusaknya NPP. Untuk mengetahui lebih detail respon elemen sensor yang ditambahkan NaCl ini, dilakukan pengujian terhadap variasi konsentrasi sipermetrin pada uji sensitivitas.

Sensitivitas Elemen Sensor

Hanya pestisida sipermetrin yang akan digunakan untuk pengujian selanjutnya, karena elemen sensor selektif terhadap sipermetrin. Pengamatan yang dilakukan pada saat elemen sensor dicampurkan dengan pestisida sipermetrin yakni secara visual (fotografi) dan spektroskopi (spektrum UV-Vis). Pengujian ini dilakukkan dengan cara mencampurkan elemen sensor sebanyak 2ml dengan 1ml pestisida sipermetrin berbagai variasi konsentrasi. Hasil pengujian ditunjukan oleh

Gambar .

Gambar 9 Foto elemen sensor dengan penambahan NaCl 1 M yang ditetesi pestisida Sipermetrin dengan konsentrasi a) 0ppm b) 20ppm c) 50ppm d) 100ppm.

200 400 600 800

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Sensitivitas Elemen Sensor Terhadap Sipermetrin

Abs

orba

nsi

Panjang gelombang (nm)

Elemen Sensor (EL) EL+Sipermetrin 20 ppm EL+Sipermetrin 50 ppm EL+Sipermetrin 100 ppm

Gambar 10 Kurva absorbansi dari elemen sensor dengan penambahan NaCl yang dicampurkan dengan

pestisida sipermetrin beberapa konsentrasi.

0 50 100

0.2

0.4

0.6

0.8

Fungsi Transfer Elemen Sensor terhadap SipermetrinA

bsor

bans

i

Konsentrasi (ppm)

y=-0,006x+0,789R2= 0,976

Gambar 11 Kurva sensitivitas elemen sensor dengan

penambahan NaCl 1M terhadap sipermetrin pada λpuncak = 417 nm.

Gambar menunjukkan adanya perubahan warna

dari kuning kecokelatan menuju bening (tidak berwarna) seiring bertambahnya konsentrasi pestisida sipermetrin. Sementara itu, berdasarkan pengamatan secara spektroskopi, yang ditunjukkan pada Gambar terlihat adanya perubahan absorbansi pada setiap perubahan konsentrasi. Puncak absorbansi yang dideteksi semakin menurun seiring dengan penambahan konsentrasi sipermetrin.

Kurva sensitivitas pada Gambar menunjukan tingkat sensitivitas elemen sensor untuk mendeteksi pestisida sipermetrin. Data absorbansi yang digunakan pada grafik sensitifitas merupakan nilai absorbansi puncak pada masing-masing kurva absorbansi pada Gambar 10. Pengamatan absorbansi dilakukan pada kisaran panjang gelombang 417 nm yang merupakan karakter dari NPP.

Gambar 1 menunjukkan adanya perubahan absorbansi pada konsentrasi pestisida yang berbeda.

a b c d

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 7: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 7  

Secara keseluruhan grafik tersebut menunjukkan bahwa absorbansi yang dideteksi elemen sensor semakin kecil dengan penambahan konsentrasi pestisida sipermetrin. Perubahan tersebut menunjukan adanya pola yang hampir linier antara input konsentrasi pestisida sipermetrin terhadap outputnya yaitu absorbansi pada panjang gelombang operasi (417nm). Hal ini bersesuaian dengan hukum Beer-Lambert yang mengatakan bahwa nilai absorbansi sebanding dengan nilai konsentrasi yang diukur. Adanya kesesuaian hubungan input dan output pada eksperimen dengan hukum Beer-Lambert ini menunjukkan bahwa elemen sensor dapat digunakan dengan baik untuk mendeteksi pestisida sipermetrin. Persamaan yang didapat dari grafik sensitivitas ini yaitu y = 0,78496 - 0,0062x dengan y adalah absorbansi dan x konsentrasi pestisida. Sementara itu, fungsi transfernya memiliki COD (Coefficient of Determination) atau R2 sebesar 0,97579. Dari nilai R2 yang diperoleh dapat diketahui bahwa linearitas dari kurva karakteristik cukup baik.

Repeatability Elemen Sensor

Repeatability merupakan kemampuan sensor untuk memiliki output yang akurat ketika dilakukan pengukuran secara berulang-ulang. Nilai repeatability error disebabkan karena ketidakmampuan sensor untuk menghasilkan nilai yang sama pada kondisi yang sama. Uji repeatability dilakukan dengan cara mengulang pengukuran analit menggunakan elemen sensor dengan stok yang sama.

Gambar 13 menunjukan grafik elemen sensor setelah dilakukan lima kali terhadap pestisida sipermetrin dengan yang sama yaitu 50 ppm. Seluruh pengukuran menunjukan kurva yang saling berdekatan ada perbedaan yang signifikan. Sementara berdasarkan pengamatan secara visual yang ditunjukan oleh Gambar 12 Foto elemen sensor dengan

penambahan NaCl 1 M yang ditetesi pestisida Sipermetrin dengan konsentrasi 50ppm pada pengulangan ke-1 sampai ke-5juga tidak terlihat perbedaan warna yang signifikan dari elemen sensor setelah pengujian. Berdasarkan pengolahan data (Tabel 1), perbedaan nilai absorbansi yang dihasilkan untuk setiap pengulangan relatif kecil. Deviasi nilai absorbansi tersebut adalah 0,015. Pengujian terhadap satu konsentrasi pestisida sipermetrin ini memiliki nilai error yang dapat mewakili pengukuran elemen sensor terhadap pestisida berbagai konsentrasi. Artinya dapat dikatakan bahwa elemen sensor ini memiliki repeatability error sebesar 0,015 untuk pengukuran terhadap pestisida sipermetrin.

Tabel 1. Tabel hasil uji Repeatability

Data Nilai rata-rata

Standar deviasi Satuan

Amax 0.84 0.02 λmax 416,8 0.8 Nm

FWHM 105 2 Nm

Gambar 12 Foto elemen sensor dengan penambahan NaCl 1 M yang ditetesi pestisida Sipermetrin dengan

konsentrasi 50ppm pada pengulangan ke-1 sampai ke-5.

200 400 600 8000.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Repeatability Elemen Sensor pada Sipermetrin 50ppm

Abs

orba

nsi

Panjang gelombang (nm)

Pengukuran ke-1 Pengukuran ke-2 Pengukuran ke-3 Pengukuran ke-4 Pengukuran ke-5

Gambar 13 Kurva absorbansi elemen sensor dengan

penambahan NaCl 1 M yang ditetesi pestisida Sipermetrin dengan konsentrasi 50ppm dengan 5 kali

pengulangan.

Reproducibility Elemen Sensor

Reproducibility merupakan kemampuan sensor yang menggambarkan seberapa identik karakteristik dan kualitas sensor jika dibuat secara berulang. Uji reproducibility dilakukan dengan cara membuat elemen sensor dengan komposisi dan kondisi material yang identik, dan juga mengupayakan variable lainnya berupa faktor lingkungan berada pada kondisi yang identik pula. Setelah dilakukan proses pembuatan elemen sensor kemudian dilakukan karakterisasi secara spektroskopi untuk mengetahui karakteristik elemen sensor tersebut.

a b c d e

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 8: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 8  

200 400 600 800

0

1

2

3

Reproducibility Elemen Sensor

Abs

orba

nsi

Panjang gelombang (nm)

Stock 1 Stock 2 Stock 3

Gambar 14 Kurva absorbansi elemen sensor stok ke-1 hingga stok ke-3 dengan penambahan NaCl 1 M yang

ditetesi pestisida sipermetrin dengan konsentrasi 50ppm.

Gambar 14 merupakan perbandingan kurva absorbansi elemen sensor pada tiga eksperimen yang berbeda. Ketiga eksperimen pembuatan elemen sensor tersebut dibuat dengan material dan komposi serta kondisi yang identik. Terlihat bahwa adanya perbedaan karakteristik yang dihasilkan pada setiap pembuatan elemen sensor. Perbedaan nilai absorbansi maksimum setiap stok elemen sensor dapat dilihat pada Gambar 15 Nilai absorbansi dapat menunjukkan secara kualitatif jumlah NPP yang terbentuk. Semakin tinggi nilai absorbansi maksimum maka semakin banyak jumlah NPP yang terbentuk. Absorbansi maksimum pada stok 1 adalah 1,287 pada panjang gelombang 422 nm. Pada stok 2 absorbansi maksimumnya adalah 1,451 pada panjang gelombang 416 nm. Sedangkan pada stok 3 absorbansi maksimumnya adalah 1,447 pada panjang gelombang 419 nm. Berdasarkan absorbansi maksimum yang diperoleh dari ketiga kurva tersebut dapat diduga bahwa jumlah nanopartikel yang terbentuk berbeda-beda pada setiap eksperimen. Stok 2 memiliki absorbansi maksium yang lebih tinggi dari pada stok lainnya yang berarti bahwa jumlah NPP yang terdispersi didalam larutan stok 2 lebih banyak daripada jumlah NPP yang terdispersi dalam larutan stok lainnya. Selain itu, ditinjau dari panjang gelombang maksimumnya, ketiga stok tersebut juga memiliki perbedaan, dapat dilihat pada Gambar 16 Panjang gelombang maksimum (nm) dapat menunjukkan ukuran dari NPP yang dihasilkan. Semakin besar lambda maskimum semakin besar pula ukuran NPP. Namun, perbedaan panjang gelombang maksimum untuk ketiga stok tersebut tidak terlalu signifikan yaitu masih berada pada kisaran 419 nm. Berdasarkan kisaran panjang gelombang tersebut, dapat diduga bahwa ketiga eksperimen tersebut menghasilkan NPP yang berukuran 35-50 nm (Solomon, Bahadory, Jeyarajasingam, Rutkowsky, & Boritz, 2007). FWHM memberikan informasi tentang distribusi ukuran NPP (Pimpang,2011). Perbedaan karakteristik yang terjadi diperkirakan terdapat faktor

pengganggu yang sulit untuk dihindari dalam proses pembuatan elemen sensor. Berbedanya karakteristik elemen sensor yang dihasilkan pada setiap pembuatan kemungkinan dapat mengkasilkan perbedan hasil pengukuran terhadap pestisida. Setelah dilakukan pengolahan data, didapat standar deviasi dari absorbansi maksimum, panjang gelombang maksimun dan FWHM yang dapat dilihat pada Tabel 2. Deviasi nilai absorbansi maksimum adalah 0,094. Pengujian terhadap satu konsentrasi pestisida sipermetrin ini memiliki nilai error yang dapat mewakili pengukuran elemen sensor terhadap pestisida berbagai konsentrasi. Artinya dapat dikatakan bahwa elemen sensor ini memiliki repeatability error sebesar 0,094 untuk pengukuran terhadap pestisida sipermetrin.

0 1 2 3 40

1

2

3

Data Absorbansi MaksimumTiga Stok Elemen Sensor

Abs

orba

nsi M

ax.

Stok ke-

Gambar 15 Perbedaan Nilai Absorbansi Maksimum

dari Tiga Stok Elemen Sensor

0 1 2 3 4400

410

420

430

440

450

Data Panjang Gelombang MaksimumTiga Stok Elemen Sensor

Pan

jang

Gel

omba

ng M

ax. (

nm)

Stok ke-

Gambar 16 Perbedaan Nilai Panjang Gelombang

Maksimum dari Tiga Stok Elemen Sensor

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 9: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 9  

0 1 2 3 4

60

80

100

120

140

Data FWHM Tiga Stok Elemen Sensor

FWH

M (n

m)

Stok ke-

Gambar 17 Perbedaan Nilai FWHM dari Tiga Stok

Elemen Sensor

Untuk mengetahui kesalahan relatif total dari elemen sensor, dilakukan penjumlahan error statistik (repeatability error dan reproducibility error) serta error sistematik yang berasal dari Spektrofotometer UV-Vis. Nilai reproducibility error adalah 0,093, repeatability error bernilai 0,015 dan ralat sistematik bernilai 0,005. Maka, diketahui kesalahan relatif total yaitu 0,114. Dengan demikian dapat dibuat kurva sensitivitas elemen sensor dengan kesalahan relatif total yang ditunjukan Gambar 18.

Tabel 2 Tabel hasil uji Reproducibility

Data Nilai rata-rata

Standar deviasi Satuan

Amax 1.4 0.09 λmax 419 3 nm

FWHM 100 10 nm

0 30 60 90

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

y=-0,006x+0,789R2= 0,976

Fungsi Transfer Elemen Sensor terhadap Sipermetrin

Abs

orba

nsi

Konsentrasi (ppm)

Gambar 18 Fungsi transfer elemen sensor dengan kesalahan relatif total.

Agging Efek Elemen Sensor

Uji Agging Efek diperlukan untuk mengetahui seberapa lama elemen sensor dapat menunjukan performa yang baik sesuai fungsinya. Untuk mengetahui hal tersebut dapat dilakukan dengan mengamati perubahan karakteristik dari elemen sensor selama waktu tertentu. Pengujian dilakukan dengan cara mengkarakterisasi elemen sensor yang disimpan selama waktu tertentu. Kemudian dilakukan karakterisasi secara visual dengan menggunakan kamera digital dan secara spektroskopi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Gambar 19 menunjukkan spektrum UV-Vis hasil karakterisasi elemen sensor yang dilakukan pada hari ke 1, 7, 10, 14, dan 22. Secara keseluruhan terlihat bahwa spektrum absorbansi UV-Vis cenderung naik seiring bertambahnya waktu. Dicermati dari nilai absorbansi maksimumnya yang dapat dilihat pada Gambar 20, absorbansi maksimum semakin meningkat seiring bertambahnya waktu. Peningkatan nilai absorbansi maksimum yang signifikan terjadi pada hari ke 1 sampai hari ke 7. Nilai absorbansi maksimum naik sebesar 0,341 dalam 7 hari dari 1,37 menjadi 1,711. Pada hari ke 7 hingga hari ke 22 masih terjadi peningkatan walaupun tidak signifikan. Hanya terjadi kenaikan absorbansi sebesar 0,119 dalam 15 hari. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa nilai absorbansi dapat menunjukkan secara kualitatif jumlah NPP yang terbentuk, dapat diketahui bahwa jumlah NPP terus bertambah hingga hari ke 22. Peningkatan jumlah NPP secara signifikan terjadi dari hari pertama hingga hari ke 7. Peningkatan jumlah NPP masih terus terjadi dari hari ke 7 hingga hari ke 22 namun tidak begitu signifikan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada hari pertama hingga hari ke 7 masih terdapat ion Ag+ didalam larutan yang terus mengalami reduksi oleh senyawa-senyawa yang ada didalam air rebusan daun bisbul sehingga terjadi pembentukan NPP. Reaksi pembentukan tersebut semakin melambat hingga hari ke 22 yang kemungkinan disebabkan karena ion Ag+

yang terdapat didalam larutan semakin berkurang karena telah membentuk NPP. Dapat dikatakan pada periode ini NPP sudah mulai stabil.

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 10: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 10  

300 400 500 600 700

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

Agging Effek Elemen Sensor

abso

rban

si

Panjang Gelombang (nm)

D1 D7 D10 D14 D22

Gambar 19 Grafik Karakterisasi Elemen Sensor Tiap

Waktu

Selain dapat diketahui bahwa jumlah NPP terus bertambah seiring bertambahnya waktu, ukuran dan distribusi NPP pun dapat diketahui masing-masing dengan mengamati perubahan panjang gelombang maksimum serta perubahan FWHM. Gambar 21 Grafik Perubahan Nilai Panjang Gelombang Maksimum Elemen Sensor Terhadap Waktu. Sedangkan Gambar 22 Grafik Perubahan Nilai FWHM Elemen Sensor Terhadap Waktu. Dapat dilihat bahwa panjang gelombang maksimum pada hari pertama sampai hari ke 7 adalah 419 nm. Kemudian terjadi pergeseran dari 419 nm menjadi 418 nm pada hari ke 10 dan tidak berubah hingga hari ke 22. Perubahan yang terjadi tidak signifikan hanya sebesar 1 nm. Sementara itu nilai FWHM juga tidak mengalami perubahan yang signifikan sampai hari ke 22. Nilai FWHM dari hari pertama sampai hari ke 22 bernilai 92 nm sampai 93 nm. Berdasarkan data tersebut, dapat diduga bahwa ukuran NPP masih berkisar antara 35-50 nm (Solomon, Bahadory, Jeyarajasingam, Rutkowsky, & Boritz, 2007). Dengan distribusi ukuran yang relatif tidak berubah. Karakteristik dari elemen sensor tidak banyak berubah hingga hari ke 22 sehingga dapat dikatakan cukup stabil untuk dijadikan elemen sensor pendeteksi pestisida.

0 5 10 15 20 25

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

Perubahan Absorbansi Maksimum Elemen Sensor Terhadap Waktu

Abs

orba

nsi M

ax.

stok hari ke-

Gambar 20 Grafik Perubahan Nilai Absorbansi Maksimum Elemen Sensor Terhadap Waktu

0 5 10 15 20 25410

415

420

425

Perubahan Panjang Gelombang Maksimum Elemen Sensor Terhadap Waktu

Pan

jang

Gel

omba

ng M

ax. (

nm)

stok hari ke-

Gambar 21 Grafik Perubahan Nilai Panjang Gelombang Maksimum Elemen Sensor Terhadap

Waktu

0 5 10 15 20 25

86

88

90

92

94

96

98

100

Perubahan FWHM Elemen Sensor Terhadap Waktu

FWH

M (n

m)

stok hari ke-

Gambar 22 Grafik Perubahan Nilai FWHM Elemen Sensor Terhadap Waktu

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 11: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 11  

4. Kesimpulan

Nanopartikel perak (NPP) hasil biosintesis yang memanfaatkan air rebusan daun bisbul sebagai agen pereduksi telah berhasil dilakukan. Elemen sensor yang merupakan larutan NPP termodifikasi L-cystein dengan penambahan garam NaCl 1 M, selektif terhadap pestisida sipermetrin. Sensitivitas elemen sensor terhadap pestisida sipermetrin menunjukan pola yang cukup baik dengan pendekatan secara linear, fungsi transfernya memiliki COD (Coefficient of Determination) atau R2 sebesar 0,97579. Kesalahan relative total elemen sensor adalah 0,114. Pendeteksian sipermetrin dengan memanfaatkan elemen sensor dapat dilakukan secara visual (perubahan warna), dan tidak memerlukan karakterisasi secara spektroskopi. Penambahan rhodamin-B 0,03 mM belum berhasil meningkatkan sensitivitas atau memperjelas perubahan warna elemen sensor terhadap pestisida sipermetrin. Meski memiliki linearitas yang baik, sensitivitas elemen sensor tanpa penambahan rhodamin-B 0,03 justru lebih baik daripada dengan penambahan rhodamin-B 0,03

Referensi

Chui, Z., Han, C., & Li, H. (2011). Dual-signal fenamithion probe by combining fluorescence with colorimetry based on Rhodamine B modified silver nanoparticles. Analyst, 1351–1356.

Cuiping Han, a. H. (2010). Visual detection of melamine in infant formula at 0.1 ppm level based on silver nanoparticles. Retrieved from www.rsc.org/analyst

Djojosumarto, P. (2008). Pestisida & Aplikasinya. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Dubas, S. T., & Pimpan, V. (2008). Green Synthesis of Silver Nanoparticlesfor Ammonia Sensing. Talanta, 29–33.

Fang Chai, C. W. (2009). L-cysteine functionalized gold nanoparticles for the colorimetric detection of Hg2+ induced by ultraviolet light. IOP Publishing.

Fang Wei, R. L. (2010). Rapid detection of melamine in whole milk mediated by unmodified gold nanoparticle.

Fraden, J. (2004). Handbook Of Modern Sensor. New York: Springer-Verlag.

Haibing Li, Q. Z. (2010). Click synthesis of podand triazole-linked gold nanoparticles as highly elective and sensitive colorimetric probes for lead(II) ions.

Leela, A., & Vivekanandan, M. (2008). Tapping the Unexploited Plant Resources for the Synthesis of Silver Nanoparticles. African Journal of Biotechnology, 7 (17), 3162—3165.

Lian-Yang Bai, Y.-P. Z.-M.-F. (2010). Rapid, sensitive and selective detection of pymetrozine using gold nanoparticles as colourimetric probes.

Liz-Marzan, L. M. (2004). Nanometals: formation and color. Materialstoday.

Marry Louise Flint, R. V. (1991). Pengendalian Hama Terpadu. Yogyakarta: Penerbit Karnisius.

Moores, A. &. (2006). The Plasmon Band in Noble Metal Nanoparticles: an Introduction to Theory and Applications.

Moores, A., & Goettmann, F. (2006). The Plasmon Band in Noble MetalNanoparticles: An Introduction to Theory and Applications. New J. Chem, (30), 1121-1132.

Nagarajan, R. &. (2008). Nanoparticles: Synthesis, Stabilization, Passivation and Functionalization.

Nagarajan, R., & Hatton, T. A. (2008). Nanoparticles: synthesis, stabilization, passivation, and functionalization. London: Oxford University Press.

Perumal, S. (2012). Mono and Multivalent Interactions between Thiol and Amine Ligands with Noble Metal Nanoparticles. Freie Universität Berlin, Department of Biology, Chemistry and Pharmacy . Berlin: Freie Universität.

Poole, C. P., & Owens, F. J. (2003). Introduction to nanotechnology. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Saikat Mandal, A. G. (2001). Studies on the Reversible Aggregation of Cysteine-Capped Colloidal Silver Particles Interconnected via Hydrogen Bonds. Langmuir, 6262-6268.

Salata, O. (2004). Applications of nanoparticles in biology and medicine.

Shankar, S. S., Rai, A., Ahmad, A., & Sastry, M. (2004). Rapid Synthesis of Au, Ag, and Bimetallic Au. Core-Ag Shell Nanoparticles Using Neem (Azadirachta indica) Leaf Broth. J. Coloid Interface Science, 275, 496-502.

Solomon, W. S., Bahadory, M., Jeyarajasingam, A. V., Rutkowsky, S. A., & Boritz, C. (2007). Synthesis and Study of Silver Nanoparticles. . Journal of Chemical Education, 84(2), 322-325.

Vamvakaki, V., & Chaniotakis, N. (2007). Pesticide Detection with a Liposome-Based Nano-Biosensor. Biosens Bioelectron, 2848–2853.

Wei Liu, D. Z. (2012). Highly sensitive and selective colorimetric detection of cartap residue in agricultural products. Talanta, 382-387.

Xiong, D., & Li, H. (2008). Colorimetric Detection of Pesticides Based on Calixarene Modified Silver Nanoparticles in Water. Nanotechnology, 19, 465502–465507.

Yao, Y., Tian, D., & Li, H. (2010). Cooperative Binding of Bifunctionalized and Click Synthesized Silver Nanoparticles for

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014

Page 12: Pembuatan dan Karakterisasi Nanopartikel Perak

 

Universitas Indonesia 12  

Colorimetric Co2+ Sensing. ACS Applied Materials and Interfaces, 2(3), 684–690.  

Pembuatan dan…, Indra Setia Permana, FMIPA UI, 2014