pembinaan anak didik pemasyarakatan

58
PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN BAGIAN I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan berbangsa dan bernegara mengenal institusi kecil dalam suatu masyarakat yaitu sebuah keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat di mana anak tumbuh dewasa secara wajar menuju generasi muda yang potensial untuk pembangunan nasional. Pada dasarnya anak adalah tunas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi Nusa dan Bangsa Indonesia. Anak sebagai anggota keluarga mempunyai hak yang perlu dan seharusnya diperhatikan oleh orang tuanya, perlu mendapat bimbingan dan peran orang tua. Pasal 44 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa : ”kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri dan berlaku terus meskipun perkawinan antar orang tua putus.” Keberadaan seorang anak ditinjau dari sudut pandangan hukum, menimbulkan konsekuensi yuridis yang sangat mendalam karena keberadaan anak tersebut menimbulkan hak dan kewajiban dalam proses pelaksanaan pendidikan keluarga. Kewajiban orang tua terhadap anak dilandasi oleh falsafah moralitas bahwa anak itu sebagai amanat Tuhan, bahkan tidak dapat dipisahkan dari hukum perkawinan sebagai asal mula keluarga dibentuk. Salah satu kewajiban orang tua terhadap anak adalah memberikan pendidikan yang terbaik dalam rangka membangun generasi yang lebih baik dimasa mendatang. Pendidikan terbaik yang harus diutamakan orang tua terhadap anak adalah pendidikan agama dan wawasan moral. Apabila hal tersebut diabaikan, maka anak akan memilki moral dan karakter yang buruk atau jahat. Seorang anak yang melakukan tindak pidana tetap harus diproses sesuai hukum yang berlaku, namun berbeda dengan

Upload: saut-marulitua-silalahi

Post on 30-Jun-2015

804 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

BAGIAN I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan berbangsa dan bernegara mengenal institusi kecil dalam suatu masyarakat yaitu sebuah keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat di mana anak tumbuh dewasa secara wajar menuju generasi muda yang potensial untuk pembangunan nasional. Pada dasarnya anak adalah tunas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi Nusa dan Bangsa Indonesia.

Anak sebagai anggota keluarga mempunyai hak yang perlu dan seharusnya diperhatikan oleh orang tuanya, perlu mendapat bimbingan dan peran orang tua. Pasal 44 Undang-Undang No.1  Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa : ”kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri dan berlaku terus meskipun perkawinan antar orang tua putus.”

Keberadaan seorang anak ditinjau dari sudut pandangan hukum, menimbulkan konsekuensi yuridis yang sangat mendalam karena keberadaan anak tersebut menimbulkan hak dan kewajiban dalam proses pelaksanaan pendidikan keluarga. Kewajiban orang tua terhadap anak dilandasi oleh falsafah moralitas bahwa anak itu sebagai amanat Tuhan, bahkan tidak dapat dipisahkan dari hukum perkawinan sebagai asal mula keluarga dibentuk. Salah satu kewajiban orang tua terhadap anak adalah memberikan pendidikan yang terbaik dalam rangka membangun generasi yang lebih baik dimasa mendatang. Pendidikan terbaik yang harus diutamakan orang tua terhadap anak adalah pendidikan agama dan wawasan moral. Apabila hal tersebut diabaikan, maka anak akan memilki moral dan karakter yang buruk atau jahat.

Seorang anak yang melakukan tindak pidana tetap harus diproses sesuai hukum yang berlaku, namun berbeda dengan proses hukum terhadap orang dewasa, proses peradilan terhadap anak didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi anak.

Masalah kepedulian terhadap perlindungan anak telah menjadi perhatian, bukan saja dalam lingkungan Nasional bahkan dalam lingkungan global/Internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya konvensi hak-hak anak (Convention Of  The Right Child) pada Tahun 1989 bahkan pada Tahun 1990 konvensi hak-hak anak tersebut sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui keputusan presiden RI No. 36  Tahun 1990 tentang konvensi hak-hak anak Indonesia. Konvensi hak-hak anak tersebut terpusat pada 4 (empat) masalah penting, yaitu sebagai berikut :[1])

1. penyebaran seluas-luasnya nilai-nilai dan prinsip dasar perlindungan hak-hak anak yang diakui secara Internasional.

Page 2: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

2. Pengkajian terhadap perundang-undangan (legislasi) berdasarkan konvensi anak 1989.

3. Pemberdayaan kapasitas untuk memperluas kerangka Institusional (kelembagaan) dalam upaya memperkenalkan dan melaksanakan secara nyata hak-hak anak.

4. Mempercepat pemberdayaan masyarakat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvensi anak 1989.

Perlakuan hukum terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa, perbedaan tersebut berdasarkan 3 (tiga) kriteria yaitu segi prosesnya, segi pengaturannya dan segi cara-caranya. Keharusan dibedakan antara pengadilan anak dengan orang dewasa antara lain sebagai berikut :

1. Anak memiliki ciri dan sifat khusus. 2. Anak berada pada tahap usia memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam

rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi atau selaras dan seimbang.

3. Anak memerlukan dukungan secara kelembagaan maupun perangkat hukum untuk melaksanakan pembinaan.

Anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial belum memiliki kemampuan berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi orangtua untuk menjamin, memelihara, dan menyamakan kepentingan anak itu. Pemberian jaminan dan pengamanan kepentingan ini selayaknya dilakukan oleh pihak-pihak yang mengurusnya di bawah pengawasan dan bimbingan Negara, dan bilamana perlu oleh Negara sendiri.

Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi anak yang telah diputuskan oleh hakim, maka anak tersebut sebaiknya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Hal ini dinyatakan pula dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No. 3  Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat Undang-Undang Pengadilan Anak) yang berbunyi bahwa : “Anak didik pemasyarakatan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak yang harus terpisah dari orang dewasa.” Dan diatur pula dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No.12  Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disingkat Undang-Undang Pemasyarakatan), yang berbunyi : “Anak pidana ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.“

Namun kedua ketentuan di atas belum dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini dapat dilihat dalam kenyataan di lapangan khususnya di Rumah Tahanan (selanjutnya disingkat RUTAN) Klas I A Bandung, di mana di RUTAN Klas I A Bandung ini masih terdapat anak pidana sebagai warga binaan pemasyarakatan yang tidak dipisahkan dengan orang dewasa.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :

Page 3: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

1. Apakah akibat dari pelaksanaan pembinaan anak didik pemasyarakatan di RUTAN Klas I A Bandung ?

2. Apakah kendala dalam melaksanakan pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan di RUTAN Klas I A Bandung ?

BAGIAN II

TINJAUAN UMUM MENGENAI ANAK DAN

LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK

A. Pengertian Anak

Pengertian anak dapat dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut :

a).  Anak menurut Undang-Undang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun belum genap 18 (delapan belas) tahun.

b).  Anak menurut KUHP

Pasal 45 KUHP merumuskan, anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si terdakwa itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakannya sesuatu hukuman atau ketentuan lain Pasal 45, 46, dan 47 KUHP, pasal-pasal ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

c). Anak menurut Hukum Perdata

Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) menyatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu telah kawin atau belum menikah.

d). Anak menurut Undang-Undang Perkawinan

Page 4: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan, seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan wanita telah mencapai 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat diminta dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

Soepomo mengutip pendapat Soerojo Wongjadipoetro mengatakan ciri-ciri seseorang telah dianggap dewasa dalam masyarakat yaitu:[2])

1. Dapat bekerja sendiri (mandiri);

2.   Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab;

3.   Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.

e). Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merumuskan bahwa: “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin “. Kemudian dalam penjelasan undang-undang tersebut diuraikan bahwa: “Batas usia 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usia kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut”. Batas usia 21 (dua puluh satu) tahun tersebut tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan berdasarkan hukum yang berlaku.

Selain dari sudut pandang hukum, pengertian anak dapat dilihat dari :

1.   Aspek religius

Anak mempunyai kedudukan yang mulia dalam Al-Quran dan Al-Hadist, oleh karena itu anak harus diperlakukan secara manusiawi dan diberikan pendidikan, pengajaran, keterampilan dari akhlak yang baik agar anak tersebut kelak akan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup dimasa depan. Masalah anak dalam pandangan Al-Quran menjadi tanggung jawab kedua orang tua.[3])

2.  Aspek sosiologi

Anak dalam aspek sosiologis, kedudukan anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi. Status sosial yang dimaksud adalah pada kemampuan untuk menterjemahkan ilmu dan teknologi sebagai ukuran interaksi yang dibentuk dari esensi-esensi kemampuan komunikasi sosial yang berada dalam skala yang paling rendah. Hal tersebut sebenarnya lebih mengarahkan pada lingkungan kodrati anak karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa. Faktor keterbatasan

Page 5: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

kemampuan dikarenakan anak berada pada proses pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa yang disebabkan daya nalar atau akal dan kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spiritual yang berada dibawah kelompok orang dewasa.[4])

3.   Aspek ekonomi

Status anak sering dikelompokan pada golongan yang non produktif. Jika terdapat kemampuan ekonomi yang persuasif pada kelompok anak, kemampuan tersebut dikarenakan anak mengalami transformasi finansial yang disebabkan dari terjadinya interaksi dalam lingkungan keluarga. Pengertian anak dalam bidang ekonomi adalah elemen yang mendasar untuk menciptakan kesejahteraan anak dalam suatu konsep normatif, agar status anak tidak menjadi korban (victim) dari ketidakmampuan ekonomi keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Namun kesejahteraan anak diperoleh dari faktor internal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal dari keluarga anak itu.[5])

B. Anak Didik Pemasyarakatan

Anak didik pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Pemasyarakatan, terdiri dari :

1). Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan keputusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Darwan Prinst mengatakan : hak-hak anak pidana adalah sebagai berikut :[6])

1. Berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. 2. Berhak mendapatkan perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani. 3. Berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. 4. Berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. 5. Berhak menyampaikan keluhan. 6. Berhak mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang. 7. Berhak menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu

lainnya. 8. Berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). 9. Berhak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi

keluarga. 10. Berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. 11. Berhak mendapatkan cuti menjelang bebas. 12. Berhak mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Page 6: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

2).  Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Negara untuk dididik. Untuk itu anak Negara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Hak-hak anak Negara adalah sama dengan hak-hak anak pidana namun anak Negara tidak berhak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya dan juga tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), karena anak Negara tidak dipidana.

3). Anak Sipil, yaitu anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Pasal 384 KUHPerdata mengatakan dasar permintaan menempatkan si anak menjadi anak sipil haruslah berdasarkan alasan-alasan yang sungguh-sungguh merasa tidak puas atas kelakuan si belum dewasa.

Anak sipil tidak berhak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya, karena anak belum boleh bekerja. Demikian juga tidak berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) karena anak sipil bukan dipidana, selanjutnya juga tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat maupun cuti menjelang bebas.

C. Kesejahteraan Anak dan Hak-hak Anak

Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Undang-Undang Kesejahteraan Anak menguraikan tentang adanya jaminan atas hak-hak anak, jaminan atas hak-hak anak tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum dan kesejahteraan bagi anak-anak agar mereka nantinya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan usianya.

Mengenai perlindungan anak, baik dalam lingkup sosial dan hukum, ada beberapa hak yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut:

1.   Hak untuk pengayoman

Artinya hak untuk dilindungi dan mendapat rasa aman, kepentingan hak asasinya terjamin bahkan diusahakan dan dikembangkan, sehingga dapat mencapai pertumbuhan mental, fisik dan sosial yang maksimal yang melindungi harus mendapat dan merasa dirinya dapat perlindungan dalam menjalankan kegiatan perlindungan sebagai tugasnya, bahkan mendapat dukungan dari anggota masyarakat dan pemerintah.

2.   Hak untuk berusaha bersama

Yaitu hak untuk melakukan kegiatan perlindungan, kegiatan yang menjadi tanggung jawab bersama dari pihak-pihak yang dilindungi.

Page 7: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Dalam perlindungan ini haruslah ada pengertian antara pihak yang bersangkutan agar mencapai hasil yang baik. Pihak yang dilindungi harus diyakinkan bahwa ia juga ikut serta dalam kegiatan perlindungan anak ini dengan berusaha sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan perlindungan ini bukan monopoli seseorang atau badan atau organisasi swasta maupun pemerintah.

Anak perlu dihindarkan dari perbuatan pidana yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik mental dan rohaninya tersebut, menyadari kenyataan yang demikian, norma sosial, moral atau etika dan norma hukumnya memberikan perlindungan demikian khusus kepada anak, karena apabila dilakukan terhadap orang dewasa tidak dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum tetapi apabila dilakukan terhadap anak itu menjadi tindak pidana.[7])

Undang-Undang Kesejahteraan Anak mengatur tentang hak-hak anak atas kesejahteraan, yaitu sebagai berikut :

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan

Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang.

Asuhan adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

1. Hak atas pelayanan

Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.

1. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

1. Hak atas perlindungan lingkungan hidup

Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

1. Hak mendapat pertolongan pertama

Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapatkan pertolongan dan bantuan serta perlindungan.

Page 8: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

1. Hak memperoleh asuhan

Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh Negara atau orang atau badan lain. Dengan demikian anak yang tidak mempunyai orang tua dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial.

1. Hak memperoleh bantuan

Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Menurut Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan anak bagi yang mempunyai masalah bahwa bantuan itu bersifat tidak tetap dan diberikan dalam jangka waktu tertentu kepada anak yang tidak mampu.

1. Hak diberi pelayanan dan asuhan

Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan mendorong guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan itu diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.

1. Hak memperoleh pelayanan khusus

Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupannya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1980 berbagai upaya dilaksanakan untuk memulihkan dan mengembangkan anak cacat agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

10. Hak mendapat bantuan dan pelayanan

Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak, tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendidikan, dan kedudukan sosial.

D.  Arti dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Anak

Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah tempat pendidikan dan pembinaan bagi Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil. Pasal 60 Undang-Undang Pengadilan Anak menyatakan bahwa : “Anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa”.

Anak pidana yang belum selesai menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan telah berusia 18 (delapan belas) tahun akan tetapi belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Anak ke Lembaga Pemasyarakatan.

Page 9: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Pemasyarakatan berarti bahwa suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Pemasyarakatan).

Sistem Pemasyarakatan berarti suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembinaan, binaan (yang dibina) dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.

Sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab.

BAGIAN III

PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

DI RUMAH TAHANAN KLAS 1 A BANDUNG

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG

NO. 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK

A. Akibat dari Pelaksanaan Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan di RUTAN Klas I A Bandung

Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan warga binaan  pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sistem pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan, dan bimbingan bagi warga binaan dan masyarakat.

RUTAN berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) PP Pelaksanaan KUHAP mempunyai kewenangan sebagai lembaga untuk menempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, yang berfungsi juga sebagai tempat untuk pembinaan warga binaan pemasyarakatan.

RUTAN mempunyai tugas dan wewenang yang sama dengan lembaga pemasyarakatan yaitu menampung, merawat, dan membina para warga binaan, sehingga fungsi RUTAN pada saat ini tidak hanya sebagai tempat pembinaan bagi tahanan dari tingkat penyidikan,

Page 10: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan melainkan juga sebagai tempat pembinaan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Hal ini dapat ditemukan secara nyata di RUTAN Klas 1 A Bandung, di mana dari hasil penelitian penulis ditemukan bahwa di RUTAN Klas 1 A Bandung terdapat juga Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang telah divonis oleh pengadilan, yang bahkan vonisnya ada yang mencapai bertahun-tahun.

Pihak RUTAN sesuai dengan fungsinya tersebut di atas tidak dapat disalahkan telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak di mana dinyatakan bahwa Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di lembaga pemasyarakata anak yang harus terpisah dari orang dewasa, karena mengingat pada zaman sekarang ini telah banyak dan semakin meningkatnya angka kriminalitas yang secara otomatis meningkat pula jumlah  Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan sedangkan sarana Lembaga Pemasyarakatan yang sudah ada tidak cukup untuk menampung sekian banyak Narapidana/Anak Didik Pemasyarakatan, apalagi di Kota Bandung ini belum terdapat Lembaga Pemasyarakatan Anak.

Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan di RUTAN Klas 1 A Bandung yang didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing Anak Didik Pemasyarakatan dengan tujuan agar Anak Didik Pemasyarakatan tersebut menjadi anak yang baik dan berguna tidak dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Hal ini dapat dilihat dari alasan-alasan sebagai berikut :

1. Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan dalam kamar hunian yang terpisah dengan Narapidana/Tahanan dewasa, tetapi pada rutinitas harian/aktivitas sehari-hari Anak Didik Pemasyarakatan bersatu dengan Narapidana/Tahanan dewasa, sehingga hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengadilan anak.

1. Dengan disatukannya Anak Didik Pemasyarakatan dengan Narapidana/tahanan dewasa, menyebabkan hak anak tidak dapat terpenuhi, yaitu mengenai hak anak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Bersatunya Anak Didik Pemasyarakatan dan Narapidana/Tahanan dewasa dapat menimbulkan efek psikologis anak terganggu, anak dapat terpengaruhi oleh perilaku-perilaku buruk dari Narapidana/Tahanan dewasa tersebut mengingat anak berada pada proses pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa yang disebabkan daya nalar atau akal dan kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spiritual yang berada dibawah kelompok orang dewasa.

1. Anak dapat menjadi sasaran/objek tindak pidana yang dilakukan Narapidana/tahanan dewasa, yaitu misalnya dapat terjadi tindak pidana pencabulan, pemerasan, dan sebagainya, sehingga  hak anak atas perlindungan dari tindak pidana tidak dapat tercapai, keadaan yang demikian sangat bertentangan dengan tujuan kesejahteraan anak yaitu untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Page 11: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

1. Sejumlah Anak Didik Pemasyarakatan yang ditempatkan terlalu lama di dalam RUTAN dapat menjadi lebih rusak perilakunya dibandingkan dengan keadaan-keadaan pada saat Anak Didik Pemasyarakatan tersebut masuk dalam RUTAN, hal ini dapat disebabkan karena terpengaruhnya Anak Didik Pemasyarakatan tersebut oleh kelakuan Narapidana/Tahanan dewasa.

1. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya tetapi karena satu dan lain hal, anak tersebut tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka sengaja maupun tidak sengaja anak dapat terpengaruhi dan mudah terseret dalam arus pergaulan dan lingkungannya yang kurang sehat, dalam hal ini pergaulan dengan Narapidana/Tahanan dewasa sehingga dapat merugikan perkembangan pribadinya.

B. Kendala dalam Melaksanakan Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan di RUTAN Klas 1 A Bandung

Bertitik tolak dari tujuan pelaksanaan pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan di RUTAN Klas 1 A Bandung yakni mempersiapkan untuk kembali ke masyarakat dan memberikan bekal untuk hidup bermasyarakat dengan cara diadakan pembinaan (mental, sosial, dan keterampilan).

Dalam pelaksanaan pembinaan tersebut di atas, ditemukan berbagai kendala yang dihadapi oleh petugas dalam rangka mengayomi serta memasyarakatkan Anak Didik Pemasyarakatan sebagai warga binaan, yaitu sebagai berikut :

1. Kurangnya sarana dan prasarana untuk menempatkan warga binaan. RUTAN Klas 1 A Bandung di bangun dengan kapasitas penghuni 800 (delapan ratus) orang, namun kenyataan yang ada RUTAN ini dihuni oleh 2475 (dua ribu empat ratus tujuh puluh lima) orang dengan jumlah kamar sebanyak 49 (empat puluh sembilan) kamar. Sehingga penempatkan warga binaan khususnya Anak Didik Pemasyarakatan tidak sesuai dengan kapasitasnya.

2. Fasilitas dana pengayoman serta pemasyarakatan (pembinaan warga binaan sangat terbatas).

Berbicara soal dana memang sangat riskan namun dalam teknis pelaksanaannya dana merupakan faktor yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan, apalagi menyangkut masalah pengayoman yang meliputi pembinaan dalam bidang keterampilan karena pembinaan keterampilan ini yang sangat memerlukan dana banyak, sehingga sering terjadi kekurangan dana misalnya dana yang seharusnya disediakan untuk 1 (satu) tahun kegiatan pembinaan keterampilan ternyata hanya 3 (tiga) bulan dipergunakan sudah habis.

1. Kurangnya tenaga ahli

Page 12: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Tujuan pemidanaan adalah mengandung berbagai aspek kehidupan meliputi nilai-nilai yang bersifat yuridis, sosiologis , ekonomis, religius, serta psikologis untuk itu diperlukan tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidang di atas. Akan tetapi di RUTAN Klas 1 A Bandung tenaga ahli yang dimaksud sangat terbatas.

1. Program pembinaan memerlukan waktu dan proses yang lama sehingga banyak warga binaan/Anak Didik Pemasyarakatan menjadi jenuh dan akhirnya tidak serius dalam melaksanakan kegiatan pembinaan.

2. Penunjukan petugas jaga dalam rangka melaksanakan kegiatan pembinaan tidak didasarkan pada kemampuan petugas jaga, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi terhambat karena petugas jaga yang bersangkutan kurang memahami tentang konsep pembinaan yang harus diterapkan, hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga ahli.

BAGIAN V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan di RUTAN Klas 1 A Bandung yang didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing Anak Didik Pemasyarakatan dengan tujuan agar Anak Didik Pemasyarakatan tersebut menjadi anak yang baik dan berguna tidak dapat dicapai dengan efektif dan efisien, karena dengan disatukannya Anak Didik Pemasyarakatan dengan Narapidana/tahanan dewasa, menyebabkan hak anak tidak dapat terpenuhi, yaitu mengenai hak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup. Anak dapat menjadi sasaran/objek tindak pidana yang dilakukan Narapidana/tahanan dewasa, yaitu misalnya dapat terjadi tindak pidana pencabulan, pemerasan, dan sebagainya, sehingga  hak anak atas perlindungan dari tindak pidana tidak dapat tercapai, keadaan yang demikian sangat bertentangan dengan tujuan kesejahteraan anak yaitu untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

2. Kendala yang dihadapi oleh RUTAN Klas I A Bandung dalam rangka mengayomi serta memasyarakatkan Anak Didik Pemasyarakatan sebagai warga binaan, yaitu kurangnya sarana dan prasarana dalam pelaksanaan pembinaan, kurangnya tenaga ahli, Sumber Daya Manusia yang kurang berkualitas, dan Fasilitas dana pengayoman serta pemasyarakatan (pembinaan warga binaan sangat terbatas), jumlah petugas jaga yang tidak sesuai dengan jumlah warga binaan.

B. Saran

Page 13: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut :

1. Sistem pemasyarakatan harus lebih ditekankan pada aspek pembinaan anak didik pemasyarakatan yang mempunyai ciri-ciri preventif, kuratif, rehabilitatif, dan edukatif.

2. Perlu adanya pemisahan Anak Didik Pemasyarakatan dan Narapidana/tahanan dilihat dari segi umur.

3. Mendidik dan melatih para petugas jaga yang akan bertugas dalam rangka pelaksanaan pembinaan sesuai dengan asas pengayoman.

Referensi

Sumber Buku :

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Hari Setia Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan beserta pengaturan Pelaksanaannya, Jakarta, 2000.

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta.

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.

Romli Atmasasmita, Problematika Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 1990.

_______________, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1984.

Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman, Rumah Pengayoman, Sukamiskin, Bandung, 1964.

Saparinah Padli, Persepsi Sosial mengenai Perilaku Menyimpang, Bulan Bintang, Jakarta, 1986.

Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana, Armico, Bandung, 1955.

Sumber Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Page 14: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

[1]) Romli Atmasasmita, Problematika Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 1990, hlm. 48.

[2]) Soerojo Wongjadipoetro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, 1987,             hlm. 12.

[3]) Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan Beserta Pengaturan Pelaksanaannya, Harfindo, Jakarta, 2000, hlm. 8.

[4]) Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, hlm. 12.

[5]) Ibid. hlm. 13.

[6]) Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,           hlm. 36.

[7]) Ibid. hlm. 100

Page 15: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Victimologi

BAB IPENDAHULUAN

A. Pengertian ViktimologiSecara etimologi, victimologi berasal dari kata “Victim” yang berarti korban dan “Logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Dalam pengertian terminology, victimologi adalah studi yang mempelajari tentang korban, penyebab terjadinya korban/timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan social. Yang dimaksud dengan korban dan yang menimbulkan korban dapat berupa individu, kelompok, korporasi, swasta atau pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan terhadap korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. Dan dalam kamus ilmu pengetahuan social disebutkan bahwa victimologi adalah studi tentang tingkah laku victim sebagai salah satu penentu kejahatan. Pendapat Arif Gosita mengenai pengertian victimologi ini sangat luas, sebab dan kenyataan sosial yang dapat disebut sebagai korban tidak hanya korban perbuatan pidana (kejahatan) saja tetapi dapat korban bencana alam, korban kebijakan pemerintah dan lain-lain.Perumusan ini membawa akibat suatu victimisasi yang harus dipahami sebagai berikut: a. Korban akibat perbuatan manusia, korban akibat perbuatan manusia dapat menimbulkan perbuatan kriminal misalnya: korban kejahatan perkosaan, korban kejahatan politik. Dan yang bukan bersifat kriminal (perbuatan perdata) misalnya korban dalam bidang Administratif, dan lain sebagainya;b. Korban di luar perbuatan manusia, korban akibat di luar perbuatan manusia seperti bencana alam dan lain sebagainya. B. Tujuan dan Manfaat VictimologiSebagaimana diketahui bahwa viktimologi juga merupakan sarana penanggulangan kejahatan/ mengantisipasi perkembangan kriminalitas dalam masyarakat. sehingga viktimologi sebagai sarana penanggulangan kejahatan juga masuk kedalam salah satu proses Kebijakan Publik.Antisipasi kejahatan yang dimaksud meliputi perkembangan atau frekuensi kejahatan, kualitas kejahatan, intensitas kejahatandan

Page 16: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

kemungkinan munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru. Konsekuensi logis dari meningkatnya kejahatan atau kriminalitas adalah bertambahnya jumlah korban, sehingga penuangan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan korban dan tanpa mengenyampingkan pelaku mutlak untuk dilakukan, sehingga studi tentang viktimologi perlu untuk dikembangkan.Adanya ungkapan bahwa seseorang lebih mudah membentengi diri untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum dari pada menghindari diri dari menjadi korban kejahatan. Dalam merespon arti pentingnya studi tentang korban telah dikembangkan setiap tiga tahun sekali symposium internasional tentang victimologi yaitu: Firs International symposium on victimologi. Tahun 1973 di Yerussalem adalah simpusium pertama, bahkan PBB telah menyelenggarakan beberapa kali konggres mengenai “The preventionof of crime and the treatment of offender” antara lain konggres keenam pada tahun 1980 di caracas.Selain kajian-kajian ilmiah di forum internasional telah pula dilakukan beberapa riset tentang korban di berbagai Negara dan pula telah dibentuk beberapa lembaga-lembaga atau klinik korban sebagai bentuk kepedulian terhadap korban seperti salah satu contoh di Malaysia (one shof center).Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:1. Dengan viktimologi akan dapat diketahui siapa korban, hal-hal yang dapat menimbulkan korban, viktimisasi dan proses viktimisasi;2. Viktimologi memberikan sumbangan pemikiran tentang korban, akibat tindakan manusia yang telah menimbulkan penderitaan fisik, mental dan social;3. melalui studi victimologi akan memberikan pemahaman kepada setiap individu mengenai hak dan kewajibannya dalam rangka mengantisipasi berbagai bahaya yang mengancamnya;4. viktimologi memberikan sumbangan pemikiran mengenai masalah viktimisasi tidak langsung, dampak social polusi industri, viktimisasi ekonomi, politik dan penyalahgunaan kewenangan.5. viktimologi memberikan dasar pemikiran dalam penyelesaian viktimisasi criminal atau factor victimogen dalam sistem peradilan pidana.Dari uraian di atas pada dasarnya ada tiga hal pokok berkenaan dengan manfaat studi tentang korban yaitu:1) manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hukumnya;

Page 17: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

2) manfaat yang berkenaan dengan penjelasan tentang peran korban dalam suatu tindak pidana, dan3) manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.

Peran Korban Dalam symposium victimologi yang pertama di Yerusalem tahun 1973 NAGEL melaporkan bahwa victimologi dewasa ini merupakan gagasan atau pemikiran baru dalam kriminologi, karena telah terjadi pergeseran pemikiran yang tidak lagi melihat kejahatan melalui studi “Factor Criminoligy” akan tetapi mengarah pada “Criminologi of Relationship”.

Untuk melihat peran, karateristik pelaku dan korban kejahatan, CARROL mengajukan rumus yang cukup popular dengan pendekatan rasional analitis. Menurutnya kejahatan adalah realisasi keputusan yang diambil dengan turut mempertimbangkan beberapa factor antara lain SU (Subyektife Utility), p(S)(Probability of Success), G (Gain), p(F) (Probability of Fail) dan L (Loss). Sehingga Carrol Menggambarkan dengan Rumus:

SU= (p(S)xG)-(p(F)xL)Dari rumus diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang yang akan melakukan kejahatan harus mempertimbangkan beberapa hal yang seanjutnya kan menghasilkan keputusan, apakah ia akan melakukan tindak pidana ataukah tidak. Inilah yang dimaksud dengan Subyektive Utility (SU)Hal-hal yang harus dipertimangkan adalah: p(S) = seberapa besar kemungkinan keberhasilan rencana kejahatan G (Gain) = seberapa besar keuntungan (materi/kepuasan)yang akan diperoleh; p(F) = seberapa besar kemungkinan gagalnya rencana kejahatan dan; L (Loss) = seberapa besar kerugian yang akan diderita manakala kejahatan yang dilakukan gagal dan tertangkap.

Jika rumus di atas dianalisis dengan optik korban, akan nampak bahwa factor p(S) dan p(F) sebagaian besar terletak pada korban artinya berhasil atau tidaknya rencana kejahatan tergantung pada keadaan diri ataupun tipologi calon korban.

Page 18: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Dengan meminjam istilah Manheim yang menggambarkan adanya laten Victim (Mereka yang cenderung menjadi korban dibandingkan orang lain,misalnya wanita, anak-anakdan manula) maka pelaku akan merasa optimis akan keberhasilan dari kejahatanya.

Sedangkan factor Gain terlihat pada sikap korban yang senang dengan gaya hidup mewah dan pamer materi yang lebih menjurus pada peningkatan daya tarik atau rangsang, sehingga pelaku kejahatan dengan cara dini sudah dapat memperkirakan besarnya keuntungan yang akan diperoleh.C. Sejarah Perkembangan ViktimologiD. Posisi Victimologi Dalam Hukum Pidana

Pengertian KorbanKorban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara social dan hukum . pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum.Bila hendak membicarakan mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno. Dalam peradaban tersebut, asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan, yaitu” mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki kekuasaan”. Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon, Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan kamus yaitu ”orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban”. Pemahaman seperti itu ditentang habis-habisan oleh kaum feminist sekitar tahun 1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu “setiap orang yang terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris disini yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan menimbulkan penderitaan yang panjang”. Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang,

Page 19: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bias berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi”.

Kamus umum bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai pengertian:”korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya)sendiri atau orang lain”. Pengertian korban menurut Arif Gosita adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Pengertian yang disampaikan oleh Arif Gosita tersebut sudah diperluas maknanya, tidak hanya untuk perorangan tetapi berlaku bagi subyek hukum yang lain, seperti badan hukum, kelompok masyarakat dan korporasi. Timbulnya korban erat kaitanya dengan kejahatan. Sahetapy memberikan pengertian korban tidak hanya dibatasi sebagai korban kejahatan saja, karena dari sebab timabulnya dan akibat yang ada mempunyai aspek yang luas dilihat dari beberapa segi, hal ini dapat dilihat pendapatnya mengenai korban yaitu:“korban adalah orang perorangan atau badan hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-bentuk kerugian lainnya yang dirasakan, baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Kerugian tersebut tidak hanya dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dilihat dari segi ekonomi, politik maupun social budaya. Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat dikarenakan kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung atau tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban.

Van Boven merujuk pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi korban Kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan (Declaration of basic Principle of justice for victim of crime and abuse of power) yang mendefinisikan korban adalah: Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik kerana tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).

Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut diatas, pengertian korban bukan hanya untuk manusia saja atau perorangan saja, akan tetapi dapat berlaku juga bagi badan hukum, badan usaha, kelompok

Page 20: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

organisasi maupun Negara. Perluasan pengertian subyek hukum tersebut karena badan hukum atau kelompok tersebut melaksanakan hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum atau dengan kata lain subyek hukum tersebut dapat merasakan penderitaan atau kerugian atas kepentingan yang dimiliki akibat perbuatan sendiri atau pihak lain seperti yang dirasakan oleh manusia.Rancangan Deklarasi dan Resolusi Konggres PBB ke-7 yang kemudian menjadi Resolusi MU-PBB 40/34, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.Perlu dicatat, bahwa pengertian kerugian (Harm) menurut Resolusi tersebut, meliputi kerugian fisik maupun mental (Physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss) atau perusakan substansial dari hak-hak asasi manusia mereka (substantial impairment of theirfundamental rights). Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dapat di pertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah sipelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara sipelaku dengan korban. 1. Macam-macam Korban KejahatanTelah disempaikan sebelumnya bahwa pengertian korban telah diperluas sehingga tidak saja mencakup korban dari kejahatan konvensional, tetapi juga korban non konvensional dan penyalahgunaan kekuasaan. Pada Kongres PBB kelima tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum (Jenewa, September 1957) telah dijadikan salah satu topic pembicaraan mengenai New forms and dimension of crime yang meliputi antara lain crime as business dan economic and social consequences of crime; new challenges for research and planning. Dalam Konggres tersebut telah dibicarakan masalah cost of crime yang dikatakan hit most severely the weaker members of society, permiting the powerful to commit crimes with impunity. Konggres PBB ketujuh telah mengelompokkan macam-macam korban sebagai berikut: 1. Korban kejahatan konvensional adalah korban yang diakibatkan oleh tindak pidana biasa atau kejahatan biasa misalnya, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan lain-lain;2. Korban non-konvensional adalah korban kejahatan yang diakibatkan oleh tindak pidana berat seperti terorisme, pembajakan, perdagangan

Page 21: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisir dan kejahatan computer;3. Korban kejahatan akibat penyalahgunaan kekuasaan (Ilegal abuses of power) terhadap hak asasi manusia alat penguasa termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya.Pengelompokan atas macam-macam korban tersebut didasarkan atas perkembangan masyarakat. Terhadap korban kategori ketiga adanya korban penyalahgunaan kekuasaan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia.Kemudian sejak viktimologi diperkenalkan sebagi suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji permasalahan korban serta segala aspeknya, maka wolfgang melalui penelitiannya menemukan bahwa ada beberapa macam korban yaitu: 1. Primary victimization, adalah korban individual/perorangan bukan kelompok;2. Secondary Victimization, korbannya adalah kelompok, misalnya badan hukum;3. Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas;4. Non Victimozation, korbannya tidak dapat segera diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan hasil peroduksi. Uraian mengenai macam-macam korban diatas maka dapat dipahami bahwa korban pada prinsipnya adalah merupakan orang yang mengalami penderitaan karena suatu hal yang dilakukan oleh orang lain, institusi atau lembaga dan structural. Yang dapat menjadi korban bukan hanya manusia saja, tetapi dapat pula badan hukum atau perusahaan, Negara, asosiasi, keamanan, kesejahteraan umum dan agama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siapa saja dapat menjadi korban, dengan kata lain semua orang berpotensi menjadi korban dan begitu pula sebaliknya semua orang berpotensi untuk menimbulkan korban.Tipologi KorbanUntuk memahami peran korban, harus dipahami pula tipologi korban yang dapat diidentifikasi dari keadaan dan status korban. Tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut:a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan korban, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku.b. Provocative Victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.

Page 22: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

c. Participating Victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.d. Biologically weak Victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan atau potensi untuk menjadi korban, misalnya orang tua renta, anak-anak dan orang yang tidak mampu berbuat apa-apa.e. Socially Weak Victims, Yaitu mereka yang memiliki kedudukan social yang lemah yang menyebabkan mereka menjadi korban, misalnya korban perdagangan perempuan, dan sebagainya.f. Self Victimizing, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, pengguna obat bius, judi, aborsi dan prostitusi.

Munculnya perhatian terhadap korban dapat dikatakan sebagai reaksi perimbangan terhadap perhatian yang selama ini selalu ditujukan kepada pelaku kejahatan (Offender Oriented), padahal bagaimanapun pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari masalah korban, yang secara etiologis korbanadalah pihak yang mengalami kerugian dan sekaligus korban dapat pula memberikan daya rangsang secara sadar ataupun tidak terhadap pelaku kejahatan.Kurangnya perhatian terhadap korban nampak jelas pada peran dan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana SPP. Padahal harus dipahami bahwa bergeraknya sistem peradilan pidana karena peranan korban juga. Melihat hal ini Mardjono Reksodiputro mengemukakan :“sistem peradilan pidana yang sekarang ini berlaku terlalu difokuskan pada pelaku (menangkap,Menyidik,mengadili dan menghukum pelau) dan kurang sekali memperhatikan korban. Yang acapkali terjadi adalah bahwa terlibatnya korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan ketidakberdayaannya serta prustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup.SPP yang sekarang ini memang terlalu Offender Centered, sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi koban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya kepuasan simbolik.”

Tahapan Proses Perlidungan KorbanTahap I (Masa Kejayaan/Keemasan hak korban)/ Golden EgeDalam tahap ini victim langsung berhadapan dengan offender (Pelaku) tetapi belum ada pembagian hukum, antara hukum pidana dan hukum perdata. (Victim Vs Offender)

Tahap II (Tahap Tanggungjawab Negara/Raja)

Page 23: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Dalam tahapan ini, melanggar hak korban berarti melanggar hak Negara sehingga konsepnya:Negara Vs Offender / Raja Vs Offender Artinya kepentingan korban diwakili oleh Negara/raja, korban berada diluar sistem.

Tahap III (Tahap memberi hak kepada korban untuk memberikan masukan kepada Negara sebagai wakilnya)Melanggar hukum pidana berarti melanggar hak Negara namun korban memiliki hak untuk memberi masukan kepada Negara demi kelancaran proses pembuktian,Victim + Negara Vs Offender

Tahap IV (Tahap pertanggungjawaban merata)Melanggar hukum pidana berarti melanggar hak korban, Negara sekaligus hak pelaku/offendernya sendiri.

TEORI PERLINDUNGAN KORBANTeori Perlindungan Korban ada dua model yaitu:1. Services Model (SM)2. Prosedural Right Model (PRM)

Ad.1. Services Model /SM (Model Pelayanan)Memiliki cirri-ciri sebagai berikut:1. Victim tidak terlibat dalam proses peradilan pidana2. polisi dan jaksa adalah aparat Negara yang melayani kepentingan masyarakat termasuk didalamnya adalah korban (Penegakan hukum)3. Negara bertanggungjawab terhadap rakyatnya/masyaraktnya termnasuk dalam menyantuni korban/rakyat.

Legal Reasoning, Kenapa Korban tidak dilibatkan ?1. Keterlibatan korban akan mengacaukan sistem pelayanan public, pelayanan terhadap korban adalah bagian dari pelayanan public kalau korban ikut akan ada kepentingan individu yang masuk2. bagian dari tugas polisi secara ekplisit adalah bagian dari layanan public.

Positif (keuntungan) model ini: mengurangi beban korban rasionalisasi reaksi terhadap kejahatan dapat berkurang

Page 24: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Negatif (Kerugian) Model ini: Tidak bisa empati terhadap terhadap penderitaan korban Ada alasan tindakan sewenang-wenang yang mengatasnamakan kepentingan public.

Ad.2. Procedural right model (PRM)Ciri-cirinya:1. Korban memiliki hak hukum dalam setiap tahapan proses peradilan.(hak bantuan hukum dan sebagainya)2. korban dapat terlibat langsung dalam proses peradilan3. kewajiban polisi +jaksa untuk memperhatikan mempertimbangkan hak-hak korban dan pemenuhannya.

Keuntungan (Positip): Korban mempunyai kesempatan untuk tampil Korban diberdayakan/ada pemberdayaan korban / tidak diluar sistem Meminimalisasi penyalahgunaan wewenang.

Kelemahan (Negatif): Mengacaukan SPP Memungkinkan korban memperjuangkan secara emosional karena diberi kesempatan untuk balas dendam Keadilan akan bersifat subyektif (individual justice)

Perlindungan Terhadap Korban perlindungan terhadap korban menurut Barda Nawawi dapat dilihat dari dua makna yaitu: 1. Perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana lagi (berarti perlindungan hak asasi manusia (HAM) atau kepentingn hukum seseorang);2. Perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan /kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana “(jadi identik dengan penyantunan korban)”. Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi) pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan permaafan), pemberian gantirugi (restitusi, kompensasi, jaminan/ santunan kesejahteraan sosial) dan sebagainya.Perlindungan hukum terhadap korban bukan hanya menjadi masalah nasional Perlindungan hukum diartikan sebagai pengakuan dan jaminan yang diberikan oleh hukum dalam hubungannya dengan hak-

Page 25: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

hak manusia. Perlindungan hukum merupakan “conditio sine quanon” penegakan hukum. Sedangkan penegakan hukum merupakan wujud dari fungsi hukum. Menurut Bisman Siregar dalam mengkaji perlindungan hukum tiada lain perlindungan hukum yang sesuai dengan keadilan. Mengkaji perlindungan hukum juga harus bersesuaian dengan KeTuhanan Yang Maha Esa, sila pertama pancasila, dasar Negara dan atas nama-NYA putusan diucapkan. Juga sila ke dua, kemanusiaan yang adil dan beradap. Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai keTuhanan, Kemanusiaan, persatuan/permusyawaratan serta keadilan social. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.Perlindungan hukum selain berfungsi untuk memenuhi hak-hak asasi pelaku juga memberikan perlindungan hukum terhadap korban secara adil. Sehingga hak-hak mereka dapat terlindungi dari tindakan sewenang-wenang para aparat hukum yang kadangkala melecehkan mereka yang menjadi korban.Perlindungan hukum dari segi macamnya dapat dibedakan antara pasif dan aktif. Perlindungan hukum yang pasif berupa tindakan-tindakan luar (selain proses peradilan) yang memberikan pengakuan dan jaminan dalam bentuk pengaturan atau kebijaksanaan berkaitan dengan hak-hak pelaku maupun korban. Sedangkan yang aktif dapat berupa tindakan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan hak-haknya. Perlindungan hukum aktif ini dapat dibagi lagi menjadi aktif prefentif dan aktif represif. Aktif preventif berupa hak-hak yang diberikan oleh pelaku, yang harus diterima oleh korban berkaitan dengan penerapan aturan hukum ataupun kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan aktif represif berupa tuntutan kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terhadap pengaturan maupun kebijaksanaan yang telah diterapkan kepada korban yang dipandang merugikan. Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh terjadinya tindak pidana sangat penting untuk dilindungi . Sehingga sistem peradilan pidana perlu melakukan langkah-langkah perlindungan yang konkrit terhadap korban yaitu dengan menjamin atau memberikan hak-hak kepada korban agar korban dapat membantu dalam pengungkapan

Page 26: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

perkaranya.

Hak-hak KorbanUntuk mendapatkan perlindungan yang maksimal, korban kejahatan memiliki hak yang harus diperhatikan. Adapun hak-hak korban tindak pidana menurut Arif Gosita adalah: a. Korban mendapat ganti kerugian atas penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut haruslah disesuaikan dengan kemampuan memberi kerugian dari pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut;b. Korban menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukan);c. Korban mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli earisnya, apabila pihak korban meninggal dunia karena tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku;d. Korban mendapat pembinaan dan rehabilitasi;e. Korban mendapatkan hak miliknya kembali;f. Korban mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melaporkan tindak pidana yang menimpa dirinya, dan apabila menjadi saksi atas tindak pidana tersebut;g. Korban mendapatkan bantuan hukum;h. Korban berhak mempergunakan upaya hukum.

Page 27: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI MENGENAI KASUS GANTI RUGI TANAH

Oleh : Dr. Ediwarman, SH. M.Hum(Dosen Kriminologi FH. USU dan Dosen S2 Magister Kenotariatan serta Dosen S2 dan S3 Ilmu

Hukum PPs USU)

A. Pendahuluan.

Pada awalnya orang mengkaji victimologi itu merupakan ilmu yang mempelajari korban kejahatan saja, namun dalam perkembangannya saat ini telah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan/wewenang dan HAM.

Menurut Separovic (1985 ; 29) dalam pendekatan victimologi itu ada 3 (tiga) fase perkembangan dalam mengkaji permasalahan korban dengan berbagai aspeknya, yaitu aspek pertama victimologi hanya memandang korban kejahatan saja, fase ini disebut sebagai "Penal or special victimology." Kemudian pada fase kedua victimologi tidak hanya mengkaji masalah kejahatan saja, tetapi juga meliputi korban kecelakaan, fase ini disebut sebagai "General Victimology." Fase ketiga victimologi telah berkembang lebih luas lagi yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan/wewenang dan HAM, fase ini disebut New Victimologi.

Korban dalam kasus ganti rugi tanah pada hakikatnya tidak hanya dialami oleh pihak yang berkepentingan dengan tanah, antara lain individu/masyarakat, badan hukum (pengusaha) dan instansi pemerintah serta BUMN. Tejadinya korban dalam ganti rugi tanah pada hakikatnya akibat adanya penyalahgunaan wewenang/kekuasaan dalam menerapkan hukum dan disamping itu juga peraturan yang ada belum melindungi kepentingan korban secara konkrit. Misalnya : kasus pembebasan tanah Bandara (Bandar Udara) Kuala Namu Kabupaten Deli Serdang, dalam Keppres No. 55/1993 pembebasan tanah harus dilakukan secara musyawarah, tetapi kenyataannya panitia sembilan yang melakukan pembebasan tanah lebih banyak melakukan dengan cara intimidasi, pemaksaan bahkan menakuti dengan maksud harga tanah lebih murah, hal ini jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.

Peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan terutama yang menyangkut ganti rugi tanah baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta, kurang akomodatif melindungi pemilik tanah dan yang membutuhkan tanah, karena belum menyentuh langsung kepada persoalan agraria yang sebenarnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan peraturan hukum yang ada lebih banyak memperkuat posisi pemerintah dalam melakukan pembebasan tanah.

Berdasarkan uraian di atas masalah pokok yang perlu diketahui dalam Perspektif viktimologi mengenai kasus ganti rugi tanah tersebut antara lain ; "Faktor-faktor apakah penyebab timbulnya korban dalam kasus ganti rugi tanah dan Siapa saja pihak yang menjadi korban dalam kasus ganti rugi tanah".

B. Faktor Penyebab Timbulnya Korban Dalam Kasus Ganti Rugi Tanah.

Dalam ganti rugi tanah ada beberapa faktor penyebab timbulnya korban antara lain :1. Penyimpangan Perilaku Hukum. 2. Disintegrasi dari Peraturan Hukum.3. Faktor Politik, Ekonomi, Sosbud, dan Kamtib.

ad.1. Penyimpangan Perilaku Hukum.

Page 28: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Dalam hal ini ada dua variable yang diperhatikan yaitu "penyimpangan perilaku" dan "hukum". Penyimpangan perilaku ini Donald Black (1976 ; 9) menyatakan :" Deviant behavior is a conduct that is subject to social control. In other words, social control defines what deviant is. And the more social control to which it is subject, the more deviant the conduct is. In this sense, the seriousness of deviant behavior is defined by the quantity of social control to which it is subject. The quantity of social control also defines the rate of deviant behavior. The style of social control even defines the style of deviant behavior. whether it is an offense to be punished, a debt to be paid, a condition in need of treatment, or a dispute in need of resolution. In short, deviant behavior is an aspect of social conrol".

Perilaku yang menyimpang adalah suatu tingkah laku yang tunduk kepada kontrol sosial. Dengan kata lain, kontrol sosial mendefinisikan apa yang dimaksud dengan yang menyimpang. Dan semakin banyak kontrol sosial ke mana tingkah laku itu harus tunduk, semakin banyak menyimpang tingkah laku itu. Dalam pengertian ini, keseriusan dari perilaku yang menyimpang itu dibatasi oleh kuantitas kontrol sosial ke mana tingkah laku itu tunduk. Kuantitas dari kontrol sosial juga mendefinisikan kadar dari perilaku yang menyimpang itu. Gaya dari kontrol sosial bahkan mendefinisikan gaya dari perilaku yang menyimpang, apakah itu suatu kejahatan yang harus dihukum, suatu hutang yang harus dibayar, suatu keadaan yang membutuhkan perlakuan, atau suatu perselisihan yang memerlukan penyelesaian. Dengan singkat, perilaku yang menyimpang adalah suatu segi dari kontrol sosial.

Istilah deviant pertama kali dipopulerkan oleh Lemert pada tahun 1948 istilah ini dipakai para ahli statistik untuk mengacu pada variasi dalam variabel kuantitatif. Para sosiolog tidak tertarik pada frekuensi statistik, kecuali pada konsekuensi sosial dari seorang yang dipandang sebagai deviant. Kemudian istilah deviant lalu dipakai untuk setiap tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku dari apa yang diharapkan, misalnya seorang yang tingginya 1 meter dipandang sebagai deviant tanpa dihubungkan dengan perilaku jahat istilah ini oleh para sosiolog "......are lumped indiscriminately together, for example as adverse reactions and used to reify the concept known as deviance (J.E. Sahetapy 1992 ; 35).

Menurut J.E. Sahetapy dalam teori "deviance" mencakup tingkah laku pembangkangan atau jahat (aberrant behavior) dan tingkah laku yang tidak patuh non-conforning behavior. jadi "deviance" atau pembangkangan haruslah diartikan sebagai tingkah laku yang melanggar norma-norma yang ada, norma-norma mana yang bisa diatur ataupun tidak dalam suatu Undang-undang. Tetapi pada umumnya "deviance" atau pembangkangan adalah pelanggaran terhadap hukum pidana dan Undang-undang lainnya (J.E. Sahetapy : 1992 ; 36).

Variable kedua mengenai hukum adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib mentaatinya, bagi pelanggar terdapat sanksi, demikian kata sarjana land (Yan Pramadya Purba : 1997 ; 419).

Penyimpangan perilaku hukum yang menyebabkan timbulnya korban (victim) dalam kasus ganti rugi tanah terjadi dalam bentuk :1. Lembaga (institution).2. Bersama-sama (collective).3. Individu.

Ad.1. Lembaga (institution)

Penyimpangan perilaku hukum dalam bentuk lembaga ini terdapat dalam :(a). Lembaga Legislatif.(b). Lembaga Eksekutif.(c). Lembaga Yudikatif.

Page 29: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Penyimpangan dalam lembaga legislatif tergambar dalam bentuk perencanaan hukum oleh pemerintah yang bekerja sama dengan DPR membuat suatu Undang-undang untuk kepentingan pemerintah yang berkuasa merugikan kepentingan rakyat, sebagaimana dalam bidang hukum pertanahan itu sendiri, antara lain UUPA. No.5 Tahun 1960 karena undang-undang ini hanya mengatur hal-hal yang pokok saja dan tidak ada sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku yang melanggar hukum, sedangkan sanksi pidana yang ada dalam Pasal 52 UUPA hanya merupakan pelanggaran/tindak pidana ringan saja.

Menurut Pasal 18 UUPA No.5 Tahun 1960 menyatakan : "untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang".Jika kita perhatikan ketentuan pasal tersebut diatas ada 2 (dua) perintah yang harus dilakukan oleh lembaga Legislatif yaitu : penyusunan Undang-undang pencabutan hak atas tanah dan penyusunan Undang-undang ganti rugi tanah yang layak.

Mengenai Undang-undang pencabutan hak atas tanah telah diatur di dalam Undang-undang No.20 Tahun 1961, namun Undang-undang ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena setiap pencabutan hak atas tanah oleh instansi yang membutuhkan tanah harus melalui presiden, jika setiap pencabutan hak untuk kepentingan umum harus melalui presiden maka hal ini akan memakan waktu yang cukup lama, sehingga dapat menggangu kelancaran proyek pembangunan yang jangka waktu penyelesaian sudah ditentukan.

Pada masa orde baru Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR lebih banyak bernuansa politis, sehingga kepentingan pemilik tanah selalu dipihak yang lemah. Akibatnya ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan cita-cita hukum yang diatur dalam Pasal 33 (3) UUD 1945. Contohnya, Keppres No.55 Tahun 1993 satu-satunya peraturan yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang masih berlaku sampai saat ini yang dibuat pada masa orde baru, selalu istilah kepentingan umum itu disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari pengadaan tanah.

Penyimpangan perilaku hukum dalam lembaga eksekutif terjadi akibat dalam pelaksanaan hukum yang menyimpang dari ketentuan Undang-undang misalnya dalam proses pelaksanaan pembebasan dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun swasta. Penyimpangan ini terjadi oleh panitia yang mencari keuntungan pribadi, sehingga proses musyawarah yang dilakukannya lebih menitikberatkan kepada intimidasi agar pembayaran ganti rugi dapat ditekan serendah mungkin untuk mendapat keuntungan yang lebih besar dari pemilik tanah.

Di samping hal tersebut di atas timbulnya korban dalam kasus ganti rugi tanah ini juga tidak terlepas dari manajemen BPN yang sangat lemah, sehingga timbul surat-surat tanah ganda dan aspal (asli tapi palsu) dan adanya lembaga yang tidak berwenang mengeluarkan surat-surat tanah, misalnya camat/lurah mengeluarkan surat keterangan tanah yang akibatnya timbul surat-surat tanah yang ganda pula dalam satu lokasi.

Penyimpangan perilaku hukum yang dilakukan oleh lembaga yudikatif ini terjadi dalam penegakan hukum di pengadilan yang disebabkan oleh:

1. Faktor hukum itu sendiri.Semakin baik suatu peraturan hukum yang ada akan semakin memungkinkan penegakannya. Sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah penegakannya. Sekarang bagaimana peraturan hukum yang baik mengenai ganti rugi tanah ? Secara umum peraturan yang baik itu adalah peraturan hukum yang berlaku secara juridis, sosiologis dan filosofis. Peraturan hukum secara juridis menurut Hans Kelsen apabila peraturan hukum tersebut penentuannya dibuat berdasarkan kaidah-kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berhubungan dengan teori "Stufenbau" dari Hans Kelsen. Dalam hal ini perlu diperhatikan apa

Page 30: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

yang dimaksud dengan efektivitas kaidah hukum yang dibedakan dengan berlakunya kaidah hukum, oleh karena efektivitas merupakan fakta (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto : 1978 ; 114).

Stufenbau teori dari Hans Kelsen ini sesuai dengan sumber tertib hukum RI. dan tata urutan peraturan perundangan RI. sebagaimana tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Jo. Ketetapan MPR No. V/MPR/1973. Setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya (Ridwan Syahrani : 1999 ; 205). Tetapi dalam kenyataannya masih ada ketentuan peraturan hukum yang bertentangan dengan ketentuan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, misalnya Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak, pencabutan hak ini harus melalui izin Presiden, tetapi didalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, ganti rugi tanah dapat dilakukan secara musyawarah tanpa melalui izin Presiden, sehingga dalam praktek Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tersebut sulit untuk diterapkan dan dalam praktek banyak mengacu kepada ketentuan Keppres No. 55 Tahun 1993. Menurut Penulis baik Undang-undang No. 20 Tahun 1961 maupun Keppres No. 55 Tahun 1993 ini perlu ditinjau kembali.

Selanjutnya menurut W.Zevenbergen menyatakan bahwa suatu peraturan hukum mempunyai kekuatan berlaku juridis jika peraturan hukum tersebut terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1978 : 114). Misalnya UUPA No.5 Tahun 1960 dibentuk oleh presiden dengan persetujuan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 5 (1) .

Kemudian suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis bilamana peraturan tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan/diberlakukan, demikian menurut "Anerkennungstheorie", "The recognition theory. Teori ini bertolak belakang dengan Machttheorie, Pawer theory yang menyatakan bahwa peraturan hukum mempunyai kelakukan sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1978 : 117).Teori yang disebut pertama di atas lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia.

Suatu hukum berlaku secara filosofis apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechts idee) sebagai nilai positif yang tertinggi. Di Indonesia cita-cita hukum positif yang tertinggi adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan khusus yang menyangkut ganti rugi tanah belum diatur di dalam Undang-undang tersendiri, tetapi dalam peraturan lain belum memberikan perlindungan secara konkrit terhadap pemilik tanah maupun yang membutuhkan tanah. Hal ini disebabkan tidak adanya sanksi pidana yang tegas dalam ganti rugi tanah, sehingga perlindungan hukum bagi korban hanya bersifat abstrak, yang seharusnya peraturan perundang-undangan itu dapat mengacu pada perlindungan yang bersifat konkrit dengan menerapkan sanksi penal dan nonpenal. Sanksi penal berupa hukuman badan (penjara), sedangkan nonpenal dapat berupa pembayaran denda atau kompensasi. Sehingga kasus-kasus ganti rugi tanah yang diproses melalui peradilan secara pidana tidak perlu dilanjutkan lagi dengan gugatan perdata. Sementara kasus-kasus yang menyangkut kejahatan dalam ganti rugi tanah untuk penegakan hukumnya masih mengacu kepada pasal-pasal yang ada dalam KUHPidana.

2. Faktor penegak hukum. Faktor penegak hukum yang terkait langsung dalam proses penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pengacara dan notaris yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberhasilan penegakan hukum dalam masyarakat. Penegakan hukum dapat dilakukan apabila para penegak hukum tersebut mempunyai profesionalisme, bermental tangguh dan mempunyai integritas moral yang tinggi.

Page 31: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Para penegak hukum di dalam masyarakat masih banyak yang tidak mempunyai integritas moral yang tinggi yaitu : kejujuran, tidak konsisten dalam menegakkan hukum, mentalitas penegak hukum yang rusak, sehingga tidak dapat menahan diri dari godaan-godaan kebendaan mengakibatkan keputusan-keputusan hukum mencerminkan keadilan yang responsif yaitu suatu keadilan yang benar-benar didasari pertimbangan-pertimbangan yang adil sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berkepentingan akan tanah atau pemilik tanah.

3. Faktor sarana.Tanpa adanya sarana yang memadai terhadap penegakan hukum maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lain-lain. Jika hal ini tidak terpenuhi mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Misalnya proses pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan sangat lamban, apalagi kalau pemeriksaan suatu perkara sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan karena jumlah hakim di pengadilan yang tidak sebanding dengan jumlah perkara yang harus diperiksa dan diputuskan serta masih kurangnya sarana atau fasilitas lain untuk menunjang pelaksanaan peradilan yang baik. Demikian pula pihak kepolisian belum mempunyai peralatan yang canggih untuk mendeteksi kriminalitas dalam masyarakat. Ketiadaan peralatan modern mengakibatkan banyak kejahatan dalam masyarakat yang belum terberantas misalnya dalam pemalsuan surat-surat tanah. Untuk membuktikan secara pasti suatu tanda tangan palsu pihak kepolisian belum dapat mellakukannya karena tidak mempunyai peralatan yang cukup sehingga terpaksa dikirim ke Jakarta.

Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa faktor sarana sangat menentukan dalam penegakan hukum, sebab tanpa sarana yang memadai penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak akan mungkin menjalankan peranannya dengan baik.

4. Faktor masyarakat.Faktor masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Dalam hal ini yang penting adalah kesadaran hukum masyarakat, semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, semakin baik pula penegakan hukum. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka semakin sulit melaksanakan penegakan hukum yang baik.

Yang dimaksud dengan kesadaran hukum itu antara lain adalah pengetahuan tentang hukum, penghayatan fungsi hukum, ketaatan terhadap hukum (Ridwan Syahrani, 1999 : 214). Kesadaran hukum merupakan pandangan hukum dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan itu berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu agama, ekonomi, politik dan sebagainya. Pandangan itu selalu berubah oleh karena hukum itu selalu berubah juga (Ridwan Syahrani, 1999 : 215). Masyarakat yang tidak mengetahui hukum pertanahan khususnya mengenai ganti rugi sebagaimana yang diatur di dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 dan Keppres No. 55 Tahun 1993 dan seperangkat peraturan pelaksanaannya, tidak mempunyai kesadaran hukum yang memadai, sehingga dengan mudah menimbulkan ketidak-adilan jika tanah milik yang dipakai untuk kepentingan umum atau swasta hanya diberi dengan ganti rugi Rp. 4.500 setiap meter persegi sama dengan harga sebungkus rokok kretek filter.

Beberapa putusan atas kasus-kasus hukum mengenai ganti rugi tanah oleh masyarakat dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena putusan-putusan itu hanya memenuhi syarat-syarat formalnya saja. Oleh karena itu aparat penegak hukum jangan hanya mengandalkan interpretasi yang formal akan ketentuan hukum melainkan juga harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Secara naluriah masyarakat mempunyai rasa keadilan. Rasa keadilan itu adalah sesuai dengan prinsip negara hukum dan asas hukum yang harus dikembangkan dijabarkan dan disalurkan lewat hukum. Oleh karena itu diperlukan kesadaran dan pengetahuan hukum, itulah latar belakang gerakan memasyarakatkan hukum.

Page 32: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

5. Faktor budaya.Faktor budaya pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, maka budaya Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat banyak. Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang dibentuk oleh pemerintah. Hukum itu harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum itu dapat berjalan secara efektif.

Di samping itu budaya mempengaruhi perilaku para penegak hukum dalam penegakan hukum itu sendiri. Misalnya adanya budaya yang kurang baik dalam penegakan hukum di pengadilan berupa pemberian uang siluman di dalam memutuskan suatu perkara baik pidana maupun perdata. Budaya ini sudah merupakan suatu penyakit kronis yang sulit untuk diperbaiki.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin banyak persesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan budaya masyarakat maka akan semakin mudah menegakan hukum itu sendiri, sebaliknya apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan budaya masyarakat, maka semakin sulit untuk melaksanakan atau menegakan peraturan hukum dimaksud.

(2). Bersama-sama (collective).

Penyimpangan perilaku hukum secara bersama-sama (collective) dapat menimbulkan korban dalam ganti rugi tanah yang tergambar dalam masyarakat :(a). Pembentukan hukum baru.(b). Penerapan hukum.(c). Masyarakat yang dirugikan atau diuntungkan karena dengan adanya aturan tertentu/kebijakan.(d). Kesadaran hukum masyarakat yang kurang.

Dalam pembentukan hukum baru mengenai pencabutan hak atas tanah, pembebasan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta khususnya dalam Undang-undang No.20 Tahun 1961 dan Keppres No.55 Tahun 1993, mengakibatkan ada masyarakat yang dirugikan dan diuntungkan. Masyarakat yang dirugikan menjadi korban akibat pembentukan hukum itu, sedangkan yang diuntungkan di sini adalah pihak-pihak yang membutuhkan tanah. Misalnya kasus pembebasan tanah Bandara Kuala Namu Kabupaten Deli Serdang dimana pemilik tanah yang digusur umumnya dibayar ganti rugi yang sangat rendah, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat. Kasus ini sampai sekarang belum ada penyelesiannya

(3). Individu.

Penyimpangan perilaku individu terdapat beberapa faktor antara lain :

(a). Adanya unsur-unsur hukum yang berubah.(b). Kesungguhan dan kemampuan para penegak hukum yang melakukan fungsinya tidak berjalan dengan baik.(c). Kepatuhan hukum yang menyangkut kaidah-kaidah, kewajiban maupun perilaku tertentu sangat lemah.

Penyimpangan perilaku hukum individu ini berubah karena adanya unsur-unsur hukum baru, misalnya dahulu berdasarkan PMDN No.15 Tahun 1975 besarnya ganti rugi yang diberikan kepada pemilik tanah harus diperhatikan lokasi dan faktor-faktor strategis yang dapat mempengaruhi harga tanah. Jika terdapat perbedaan yang dipergunakan maka harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota. Kemudian dengan keluarnya Keppres No.55 Tahun 1993

Page 33: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

perhitungan ganti rugi tanah didasarkan atas nilai nyata atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi dan bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

ad.2. Disintegrasi dari Peraturan Hukum.

Disintegrasi dari peraturan hukum dalam bidang pertanahan khususnya yang menyangkut ganti rugi tanah terjadi akibat :

(1). Keabsahan Cenderung Goyah.

Kurang absahnya suatu hukum baru di bidang pertanahan mengenai ganti rugi tanah disebabkan karena penyusunan dan penjabarannya peraturan perundang-undangan yang ada tidak mencantumkan pasal-pasal pengecualian dan sanksi-sanksi pidana yang efektif agar sumber peraturan tersebut dalam implementasinya tidak goyah.

Keruwetan yang sering terjadi di sini tidak dapat menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi yang membincangkan hukum pertanahan. Kontradiksi-kontradiksi ini akan merugikan integritas hukum pertanahan, keserasian hukum dengan asas-asasnya sendiri serta bagi kehormatan terhadap hukum secara keseluruhan. Ini semua terjadi karena hukum baru diciptakan adalah untuk memperbaiki kedudukan kelompok-kelompok tertentu dengan cara memberikan hak-hak lebih besar pada mereka yang berkepentingan dengan pengadaan tanah sedemikian rupa tanpa membawa akibat-akibat buruk, sedangkan kedudukan sosial bagi mereka yang masih rendah kenyataannya tidak berubah, contoh :

1. Undang-undang No. 20 Tahun 1961, tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya Jo. PP. No. 39 Tahun 1973, tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, serta Inpres No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pembebasan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, ketentuan-ketentuan peraturan ini tidak berjalan dengan baik, karena setiap pembebasan harus melalui presiden sedangkan untuk kebutuhan pembangunan diberikan waktu yang sudah ditentukan, sehingga hal ini dapat memberikan gejolak yang tidak baik dalam masyarakat.

2. PMDN No. 15 Tahun 1975, PMDN No. 2 Tahun 1976, PMDN No.2 Tahun 1985 tidak dapat diterapkan dalam masyarakat, karena PMDN-PMDN tersebut di atas saling bertentangan dengan UUPA No.5 Tahun 1960, karena PMDN tersebut yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri yang sifatnya mengatur secara umum. Apabila ingin menerapkan secara umum harus diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri, bukan dalam bentuk PMDN. Akhirnya berdasarkan Keppres No.55 Tahun 1993 ketentuan PMDN di atas tidak berlaku lagi.

(2). Efektifitas Hukum yang Lemah.

Efektifitas hukum yang lemah mengakibatkan kurangnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan disamping itu banyak masyarakat yang tidak tahu akan hukum.

Lemahnya penegakan hukum dalam ganti rugi tanah antara lain disebabkan belum dilaksanakannya pembangunan hukum di bidang pertanahan secara komprehensif, karena intensitas peningkatan produk peraturan perundang-undangan dan peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum serta sarana dan parasarana hukum pada kenyataannya tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalitas aparat penegak hukum. Kesadaran dan mutu pelayanan publik di bidang hukum kepada masyarakat. Akibatnya kepastian keadilan dan jaminan hukum tidak tercipta dan akhirnya melemahkan penegakkan supremasi hukum.

Page 34: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Efektivitas hukum yang lemah terutama dalam penerapan asas musyawarah, dan penentuan besar dan bentuknya ganti rugi sehingga tidak adanya asas keseimbangan dan kepatutan dalam pembebasan dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun swasta, karena tidak diatur dengan tata cara yang jelas dalam undang-undang sehingga tidak lagi efektif untuk diterapkan.Misalnya Undang-undang No.20 Tahun 1961, PMDN No.15 Tahun 1975, PMDN No.2 Tahun 1976 dan PMDN No.2 Tahun 1985, yang akhirnya sekarang diterapkan Keppres No.55 Tahun 1993.

Keppres No.55 Tahun 1993 ini lebih banyak bernuansa politik ketimbang perlindungan hukum bagi korban dalam kasus-kasus pertanahan. Hal ini tercermin dalam substansi Keppres No.55 Tahun 1993 tersebut terutama mengenai istilah kepentingan umum tidak diatur secara jelas sehingga istilah kepentingan umum tersebut selalu disalahgunakan oleh pihak yang membutuhkan tanah dan begitu juga mengenai musyawarah yang dikehendaki tidak diatur secara tegas, sehingga dalam praktik musyawarah yang terjadi lebih banyak bersifat ntimidasi bahkan ada dengan paksaan.

(3). Bobot Hukum yang Merosot.

Bobot hukum yang merosot erat kaitannya dengan penyimpangan oleh penegak hukum dalam menerapan hukum di masyarakat. Misalnya penyalahgunaan wewenang/kekuasaan oleh seorang hakim dalam menangani kasus ganti rugi tanah dimana hakim dalam menerapkan hukum selalu melindungi kepentingan para pihak yang membutuhkan tanah, sehingga menimbulkan ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Akibatnya bobot hukum yang diterapkan hakim menjadi merosot seperti kasus pembebasan tanah PT Victor Jaya Raya di Kelurahan Mangga dan Kelurahan Kuala Bekala. Sebelum perusahaan tersebut melakukan pembebasan tanah, pertama-tama diberikan izin lokasi seluas ± 264 Ha. pada hal seharusnya menurut hukum, perusahan terlebih dahulu harus membebaskan tanah-tanah masyarakat dengan memberikan ganti rugi, tetapi ganti rugi yang diberikan terlalu rendah. Bagi masyarakat yang tidak bersedia menerima ganti rugi, maka uangnya di konsignyasikan ke pengadilan, sedangkan masyarakat selaku pemilik tanah tetap tidak mau tahu atas putusan konsignyasi pengadilan tersebut pada hal ketentuan konsignyasi hanya diberikan jika ada menyangkut hutang piutang antara kreditur dengan debitur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata. Sementara konsinyasi yang dilaksanakan oleh PT Victor Jaya Raya ini secara juridis tidak ada relevansinya dengan ketentuan Pasal 1404 KUHPerdata, sehingga bobot putusan tersebut tidak mempunyai arti apa-apa serta tidak memberikan perlindungan hukum terhadap korban selaku pemilik tanah maupun yang berkepentingan dengan tanah.

ad.3. Faktor Politik, Ekonomi, Sosbud, dan Kamtib.

Faktor ketiga yang menyebabkan timbulnya korban dalam kasus-kasus pertanahan adalah : 1. Faktor Politik, 2. Faktor Economic, 3. Faktor Sosbud, 4. Faktor Kamtib.

a. Faktor Politik.Perubahan rezim yang dramatis membawa perubahan strategis politik dari populisme menjadi otoritarisme, komplik dan kekerasan politik masa orde lama memberikan trauma yang mendalam bagi penguasa baru. Politik orde baru yang berpokok otoriter ini berakar dari trauma. pada masa rezim Soekarno menonjolkan mobilisasi (political mobilization) atau mengikut sertakan kekuatan politik masyarakat pada program agraria, seperti tercermin pada program landreform yang merupakan amanat UUPA No.5 Tahun 1960, sedangkan otoritarianisme di wujudkan dengan menghilangkan kekuatan politik masyarakat dan memusatkan kekuatannya pada rezim yang berkuasa.

Page 35: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam menyusun berbagai kebijakan di bidang pertanahan terlalu mementingkan kepentingan pemerintah dan kurang mengakomodasi kepentingan masyarakat misalnya ; kebijakan Politik Agraria yang dibangun oleh orde baru itu sebagai realisasi dari pemerintahan otoritarianisme yaitu :

(1). Menjadikan masalah landreform hanya sebagai teknis belaka dari penguasa (pemerintah) dan tidak menjadikan tanah itu sebagai sumber kemakmuran rakyat.UUPA No. 5 Tahun 1960 selama ini yang dianggap sumber dari segala sumber hukum agraria. Dalam kenyataan saat ini tidak mungkin lagi dipertahankan, karena dari Undang-undang yang timbul belakangan sering bertentangan dengan UUPA No. 5 Tahun 1960 itu sendiri seperti Undang-undang No.1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang No.5 Tahun 1965 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan.

(2). Menghapuskan semua legitimasi organisasi petani di dalam program landreform dengan cara mencabut peraturan lama dan menggantinya dengan peraturan baru, dua peraturan itu adalah :a. Undang-undang No.7 Tahun 1970 berisi penghapusan pengadilan landreform yang merupakan badan tertinggi pengambilan keputusan mengenai peruntukan tanah-tanah objektif landreform. Jadi pengadilan ini merupakan representasi dari negara dan organisasi-organisasi massa petani dalam menentukan tanah-tanah objek landreform.

b. Keputusan Presiden RI. No.55 Tahun 1980 berisi dan tata kerja penyelenggaraan landreform. Panitia landreform yang merupakan partisipasi organisasi petani dihapuskan dan diganti dengan panitia baru yang didominasi oleh birokrasi seperti organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) suatu organisasi boneka pemerintah. Jadi panitia Landreform diambil oleh birokrasi orde baru, mulai tingkat menteri hingga lurah/kepala desa, hasilnya landreform berada dalam kontrol birokrasi (Mochtar Mas'oed : 1997 : 121).

c. Kebijakan pertanahan lebih cenderung bercorak kapitalis sementara dasar acuan kebijakan pertanahan yang ada masih diakui adalah UUPA No. 5 Tahun 1960 yang bercorak neo-populasi, maka terjadilah inkonsistensi kebijakan. Di satu pihak pemerintah secara juridis mengacu pada UUPA No. 5 Tahun 1960, sementara substansi dari kebijakan yang diambil pemerintah berbeda bahkan bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA No. 5 Tahun 1960 itu sendiri, karena jiwa UUPA No. 5 Tahun 1960 secara tegas memihak kepentingan rakyat, sementara jiwa dan semangat kebijakan pertanahan saat ini bersifat kapitalis.

b. Faktor Ekonomi.

Kemajuan di bidang ekonomi yang meningkat turut juga meningkatnya harga tanah, sehingga terjadi perebutan terhadap tanah yang akibatnya timbullah konflik kepentingan di dalam perolehan tanah. Misal ; penyediaan lahan kawasan industri. Meningkatnya kebutuhan industri terhadap tanah berakibat meningkatnya harga tanah, sehingga pemilik tanah dalam satu sisi menginginkan harga tanah lebih tinggi sedangkan pada sisi yang lain pihak yang membutuhkan tanah menginginkan harga tanah lebih murah. Oleh karena adanya dua kepentingan yang berbeda maka berbagai cara dilakukan oleh pihak yang membutuhkan untuk mendapatkan tanah, yang pada akhirnya menimbulkan korban.

Untuk merespon kebutuhan tanah kepentingan penanaman modal, upaya pertama yang dilakukan adalah mengatur tata cara penyediaan tanah sebagaimana yang diatur dalam Permendagri No.12 Tahun 1984 tentang Tata Cara Penyediaan Tanah dan Pemberian Izin Bangunan Serta Izin Undang-undang Gangguan Bagi Perusahaan-perusahaan yang Mengadakan Penanaman Modal. Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1967 dan Undang-undang No.6 Tahun 1968. Permendagri ini jelas memberikan berbagai kemudahan bagi perusahaan-perusahaan baik PMA maupun PMDN untuk mendapatkan tanah.

Page 36: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Kemudian sejalan dengan perkembangan ekonomi sebagai dampak dari deregulasi ekonomi yang telah mampu mendorong penanaman modal baik dalam negeri maupun penanaman modal asing, relokasi industri, permintaan terhadap tanah untuk kepentingan industri semakin besar. Pada saat yang bersamaan fenomena ini menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta, sedangkan institusi untuk mengatasi persoalan tersebut sangat terbatas daya jangkaunya.

Misalnya antara departemen yang mempunyai kaitan masalah pertanahan dalam hal ini sulit dilakukan koordinasi dalam upaya mengurangi tumpang tindih persoalan.

Untuk merangsang investasi, terutama untuk menarik relokasi industri dari negara industri maju lainnya, pemerintah mengeluarkan Keppres No.53 Tahun 1989, tentang Kawasan Industri yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan industri, memberikan kemudahan bagi kegiatan industri. Pembangunan kawasan industri ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas industri yang lengkap baik menyangkut imfrastruktur maupun fasilitas industri lainya. Seperti Kawasan Industri Medan (KIM) yang dilengkapi berbagai fasilitas yang dilakukan oleh pihak swasta.

Sebagai akibat pengalokasian tanah untuk kepentingan swasta pada saat bersamaan pemerintah pun memerlukan pengadaan tanah terutama untuk memfasilitas kebutuhan swasta yang menyangkut pembangunan imfrastruktur seperti jalan raya. Hal ini telah mendorong terjadinya kasus tanah antara masyarakat dengan pemerintah. Fenomena ini kemudian memunculkan pandangan tentang peraturan sebagai penyebab, karena ketidakmampuan peraturan tersebut dalam mengakomodasikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat. Banyak korban karena tanahnya digusur. Perdebatan ini menyangkut aspek yuridis dan materiel dari peraturan tersebut yang dianggap cacat hukum. Akhirnya pemerintah mengeluarkan Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang secara bersamaan mencabut PMDN No. 15 Tahun 1975, PMDN No.2 Tahun 1976 dan PMDN No.2 Tahun 1985.

c. Faktor Sosbud.

Faktor sosial budaya memerlukan penataan kembali (restrukturisasi) sesuai dengan nilai-nilai dan asas-asas kehidupan nasional yang kini disebar luaskan melalui pemasyarakatan Pancasila, sehingga setiap nilai dan unsur pemecah dapat dieleminir, baik yang berbentuk issue kelompok suku, agama, ras, dan adat istiadat maupun unsur feodal dan neofeodalisme. Kelompok-kelompok batas dibina sebagai sarana sosial menuju kesatuan bangsa (M. Solly Lubis : 1988 ; 54).

Berdasarkan pendapat M. Solly Lubis di atas faktor sosial budaya juga dapat menimbulkan salah satu penyebab terjadinya korban dalam kasus-kasus pertanahan, karena nilai-nilai sosial dalam konsep pendekatan ini bisa saja mapan, bisa juga untuk sementara labil dengan berbagai pengaruh lingkungan sosial itu sendiri. Pertumbuhan kepadatan penduduk yang meningkat secara tajam, kesempatan kerja yang terbatas serta pola penguasaan dan pemilikan tanah tersebut tidak adil dalam kaitan dengan stratifikasi masyarakat.

Dalam kenyataannya rakyat petani yang telah bertahun-tahun menguasai tanah dan kekayaan alam secara produktif, tidak memperoleh jaminan kepastian hukum. Suatu fakta yang sulit dipertanggung jawabkan adalah tidak berfungsinya UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai induk Undang-undang yang berasas pro-petani, dalam menguatkan hak masyarakat atas tanah. Kebijakan pemerintah justru memberi kemudahan bagi pemilik modal besar untuk memperoleh tapak tanah bagi industri mereka, walaupun harus beroperasi pada tanah-tanah dan kekayaan alam yang produktif telah dikuasai, digarap dan dikelola rakyat.

Page 37: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Pembebasan tanah secara massal, sering pemilik tanah antara satu dengan pemilik yang lain mudah dipecah belah oleh pihak yang berkepentingan dengan tanah tersebut, sehingga antara pemilik tanah yang satu dengan pemilik tanah yang lainnya pada lokasi yang sama menerima ganti rugi tanah yang berbeda nilainya permeter. Misalnya : kasus pembebasan tanah PT Victor Jaya Raya di Kelurahan Mangga dan Kelurahan Kuala Bekala masyarakat dalam menerima ganti rugi ada yang menerima Rp.4.500/M2 dan ada Rp.7.500/M2 dan ada juga Rp.10.000/M2, pada hal lokasinya sama. Hal ini disebabkan pendidikan masyarakat yang rendah sehingga mempunyai sifat yang labil dan masyarakatnya mudah terpengaruh akibat kondisi sosialnya yang mendorong masyarakat itu menerima ganti rugi.

Pendekatan sosial budaya ini sangat penting untuk menghindarkan timbulnya korban dalam kasus-kasus pertanahan, umumnya disebabkan pendekatan sosial budaya yang tidak dilaksanakan dengan baik, bahkan dalam masyarakat untuk mendapatkan kesepakatan mengenai besar dan bentuk ganti rugi tanah lebih banyak mengarah kepada sifat intimidasi dan paksaan dengan maksud untuk mendapatkan tanah dengan untung yang banyak sehingga sifat kekeluargaan sudah tidak ada lagi bagi pihak yang berkepentingan dengan tanah akibat hilangnya budaya malu.

Terlepas dari faktor budaya malu ini dalam konteks kriminologi dapat mengakibatkan bumerang tersendiri dalam permasalahan kejahatan pertanahan khususnya dalam ganti rugi tanah.

Dalam kaitan dengan budaya Frank pernah berbicara tentang "The doctrine of individual responsibility" yang dapat dialihkan menjadi "The doctrine of cultural responsebility". Jika pemikiran ini dirujuk pada budaya orang Indonesia yang katanya adalah kekeluargaan, maka sangat menarik untuk memperhatikan analisis Frank bahwa "Until the culture makes the conservation of human values the dominant theme, the individual cannot, or will not, find his fulfilment." (JE. Sahetapy : 1992 ; 76).Budaya membuat perlindungan akan nilai-nilai manusia thema yang dominan, perorangan tidak bisa atau tidak akan memperoleh penyelesaiannya. Nilai-nilai sosial dan aspek budaya akan selalu dinamis dalam mencari faktor penyebab timbulnya korban dalam kasus ganti rugi tanah.

d. Faktor Kamtib.

Pembebasan dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun swasta jika dikaitkan dengan masalah Kamtib merupakan faktor yang penting, karena pembebasan dan pengadaan tanah tidak akan sukses dengan baik jika keamanan dan ketertiban dalam masyarakat terganggu atau diganggu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Perusahaan asing tidak akan mau menanamkan modalnya jika Kamtib tidak terjamin atau tidak ada yang bertanggung jawab terhadap modal-modal yang ditanamkan di Indonesia.

Salah satu faktor Kamtib yang sangat mempengaruhi pembebasan tanah misalnya kasus yang terjadi di Desa Ramunia Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang masyarakat menjadi korban, karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan kesepakatan semula. Masyarakatnya dipaksa menerima uang dalam bentuk bantuan komando (karena yang menempati tanah tersebut terdiri dari para pensiunan ABRI) dan kemudian harus keluar dari areal kebun small holder tersebut. Sisa tanah yang belum diganti rugi tidak dapat diambil kembali, karena faktor Kamtib tidak dapat menjadi pelindung masyarakat yang menjadi korban dalam kasus pembebasan pertanahan tersebut. Perusahaan asing tidak akan mau menanam modalnya jika faktor Kamtib di dalam negeri tidak terjamin. Demikian pula pihak yang membutuhkan tanah jika tanah yang sudah diganti rugi tidak dapat menikmatinya karena situasi ketertiban dan keamanan itu sendiri.

C. Pihak-Pihak yang Menjadi Korban dalam Kasus Ganti Rugi Tanah.

Page 38: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Pihak-pihak yang menjadi korban tidak selalu perorangan, tetapi dapat juga terjadi pada suatu kelompok, badan hukum (pengusaha), instasi pemerintah dan BUMN.

Menurut Arif Gosita (1993 ; 101) korban itu timbul sebagai interaksi akibat adanya interrelasi antara fenomena-fenomena yang ada dan saling mempengaruhi dan dapat dimengerti pihak korban merupakan salah satu yang menderita akibat dalam pembebasan tanah baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta yang dilakukan tanpa adanya musyawarah atau kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pihak pemilik tanah.

Berdasarkan hal tersebut di atas ada 2 (dua) pihak yang menjadi korban dalam kasus-kasus pertanahan antara lain :1. Pemilik tanah.2. Pihak yang berkepentingan dengan pengadaan tanah.

1. Pemilik tanah.

Pemilik tanah terdiri atas perorangan dan masyarakat adat. Pada umumnya pemilik tanah perorangan maupun masyarakat hukum adat menjadi korban akibat dari pihak-pihak yang membutuhkan tanah atau pihak yang berkepentingan dengan tanah, tidak berpedoman kepada ketentuan peraturan hukum yang ada, sehingga proses ganti rugi yang dilaksanakan menyimpang dari ketentuan hukum.

Dalam ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional No.508.2-5568-D.III tanggal 6 Desember 1990 dan Surat Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.22 Tahun 1993 tanggal 4 Desember 1993 menyatakan : Pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan swasta dapat dilakukan secara musyawarah langsung dengan masyarakat dengan mengikutsertakan BPN dan anggota-anggota lainnya seperti : Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota dan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan/Perkebunan Daerah Tk.II serta camat setempat sebagai anggota. Tetapi kenyataan di lapangan ketentuan tersebut di atas tidak pernah diikutkan dan mereka baru diikutsertakan setelah timbulnya masalah atau keributan. Pembebasan tanah tersebut hanya dilaksanakan oleh perusahaan sendiri dengan panitianya, sehingga proses pelaksanaan ganti rugi tanah yang dilakukan oleh panitia ini, musyawarah yang dilakukan dengan iktikad yang kurang baik dengan cara penekanan dan intimidasi (Ediwarman : 1999 ; 45). Misalnya : Kasus pembebasan tanah Bandara Kuala Namu atas tanah kebun small holder seluas ± 351 Ha. dan surat-surat (sertifikat tanah) diterbitkan atas nama Puskopad. Pada hakikatnya kebun tersebut bukan milik dari 250 keluarga yang kesemuanya terdiri atas pensiunan ABRI, yang dibayar ganti rugi permeter Rp. 8.448, sawit per-batang Rp.8.100 dan kayu jati Rp.15.000 oleh PT Angkasa Pura kepada Puskopad.

Pembayaran ganti rugi berikut dengan tanaman yang ada di atasnya telah dibayar langsung oleh PT Angkasa Pura kepada Puskopad, namun Puskopad hanya memberikan ganti rugi kepada yang mengusahai kebun small holder bukan ganti rugi tanah tetapi ganti rugi tanaman. Menurut Puskopad tanah tersebut merupakan miliknya yang pembayarannya sesuai dengan tabel di atas, karena pihak Puskopad selaku penerima ganti rugi. Jauh sebelumnya telah ada pernyataan para pensiunan ABRI selaku pihak pemilik tanaman telah menerima uang ganti rugi, akan tetapi setelah menerima uang ganti rugi para pensiunan tidak mengakui tanah tersebut milik Puskopad dan ganti rugi yang diterima bukan ganti rugi tanah, tetapi bentuk bantuan komando, sehingga akibatnya para pensiunan ABRI menuntut lagi kepada PT Angkasa Pura maupun Puskopad agar sisa ganti rugi tanah dapat dibayar lagi kepada mereka .

Berdasarkan uraian di atas kerugian yang dirasakan oleh pemilik tanah bagi korban kasus ganti rugi adalah :

Page 39: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

1. Dalam bentuk material yaitu : harga tanah dibayar terlalu rendah dan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada.2. Dalam bentuk immateril yaitu : a. Tidak diperhitungkan kerugian kepindahan ke tempat lain, b. Kehilangan mata pencarian di tempat yang lama, c. Kehilangan kenikmatan disebabkan perbuatan orang lain, d. Kehilangan keserasian di tempat semula, e. Putusnya hubungan yang terbina selama ini di tempat semula, f. Tidak adanya sanksi hukum pidana yang tegas terhadap pelanggaran hukum dalam ganti rugi tanah, g. Tidak adanya jaminan hukum terhadap pihak yang telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum.

2. Pihak yang Berkepentingan dengan Pengadaan Tanah.

Pihak yang berkepentingan dengan pengadaan tanah ini dapat berupa :a. Badan Hukum (pengusaha) .b. Instansi Pemerintah dan BUMN.

ad.a. Badan Hukum (pengusaha).

Berdasarkan hasil penelitian badan hukum (pengusaha) menjadi korban dalam pembebasan dan pengadaan tanah mempunyai karateristik yang berbeda-beda misalnya :

1. Korban PT Taman Malibu Indah.Badan Hukum (pengusaha) menjadi korban akibat tidak adanya perlindungan hukum dari instansi pemerintah (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional) selaku instansi yang mengeluarkan hak-hak atas tanah.

PT. Taman Malibu Indah pada mulanya telah melakukan transaksi jual beli hak atas tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan. Setelah jual beli dilaksanakan kemudian dilanjutkan dengan pembangunan perumahan. Ahli waris Sultan Deli menyatakan tanah yang dibeli oleh perusahaan tersebut adalah milik sultan sesuai dengan grant sultan yang dimiliki. Perusahaan tidak mau memperpanjang masalah, maka dicari jalan penyelesaiannya dengan pendekatan kekeluargaan dan musyawarah yang akhirnya diperoleh kesepakatan, dimana pengusaha dibebankan untuk membayar ganti rugi tanah kepada pemilik grant sultan. Setelah ganti rugi dibayar, muncul lagi tuntutan dari pihak keluarga Sultan yang lain menyatakan tanah yang dibayar ganti rugi itu adalah tanah mereka. Tetapi tuntutan tersebut tidak ditanggapi oleh perusahaan, maka keluarga Sultan membawa persoalan ini ke Pengadilan TUN Medan hingga sampai proses perkaranya ke MARI. dan di MARI. memutus dengan pembatalan sertifikat yang dikuasai oleh perusahaan. Perusahaan menjadi korban akibat adanya penerapan hukum yang tidak menjamin pengusaha sebagai pembeli yang beriktikad baik yang telah menempuh prosedur kepemilikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

2. Korban PT Victor Jaya Raya.

Perusahaan ini menjadi korban akibat besarnya ganti rugi melebihi harga dasar yang ditentukan dalam Surat Keputusan Walikota/Bupati Kepala Daerah setempat.

PT Victor Jaya Raya menjadi korban, karena adanya permainan calo di dalam perusahaan yang bekerja sama dengan panitia. Menurut perusahaan besarnya ganti rugi yang dikeluarkan sebesar Rp. 40.000/M2, sedangkan yang diterima pemilik tanah bervariasi dari Rp.4.200/M2 s/d Rp.10.000/M2. Selain itu perusahaan juga menanggung kerugian yang cukup besar akibat rusaknya sarana dan prasarana perusahaan dari amukan masa yang berpangkal dari kecilnya ganti rugi yang mereka

Page 40: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

terima.3. Korban PT Sinar Deli Indah.

Korbannya perusahaan PT Sinar Deli Indah, karena adanya 2 (dua) buah surat tanah dalam satu lokasi yang sama.

Pihak pengusaha dalam pembebasan tanah telah memberikan uang ganti rugi berdasarkan musyawarah yang telah disepakati antara pemilik tanah dengan pengusaha yang disaksikan oleh camat setempat.

Setelah seluruh uang ganti rugi dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang hak atas tanah, selanjutnya pengusaha mengajukan permohonan hak atas tanah kepada BPN, sehingga terbitlah sertifikat hak atas tanah atas lokasi yang dimohonkan tersebut. Setelah pembangunan perumahan selesai 40 (empat puluh) unit rumah timbul masalah yaitu adanya pihak ketiga yang menyatakan bahwa di atas tanah yang telah di bangun rumah tersebut adalah kepunyaan mereka dengan memperlihatkan sertifikat yang dikeluarkan tahun 1961. Penyelesaiannya secara musyarawah dengan kesepakatan perusahaan membayar kembali uang ganti rugi tanah kepada mereka yang memiliki sertifikat yang diterbitkan tahun 1961 tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas tergambar adanya suatu kelalaian aparatur pemerintah, yang memberikan informasi atau keterangan yang salah atas tanah sehingga terjadi transaksi atas tanah milik orang lain, akibatnya perusahaan terpaksa membayar ganti rugi dua kali atas lokasi yang sama, hal ini disebabkan adanya surat keterangan tanah yang dikeluarkan oleh lurah, camat dan BPN sehingga perusahaan menjadi korban atas kecerobohan mereka.

Kerugian yang diderita oleh badan hukum (pengusaha) adalah: 1). Dalam bentuk material yaitu : harga tanah dibayar terlalu tinggi, karena adanya KKN dengan oknum perantara (calo) dalam pembebasan tanah. 2). Kerugian dalam bentuk immateril yaitu : a). Tidak adanya kepastian hukum terhadap hak yang dimiliki oleh korban, b). Masih lemahnya sistem manajemen BPN yang menerbitkan hak-hak atas tanah yang dimohonkan sehingga adanya dua sertifikat atas lokasi yang sama, c). Kurang tegasnya penerapan hukum oleh lembaga yudikatif, d). Adanya permainan calo di dalam proses ganti rugi tanah, e). Tidak adanya sanksi hukum yang tegas untuk melindungi badan hukum (pengusaha) selaku pihak yang menjadi korban.

b. Instansi Pemerintah dan BUMN.

Instansi Pemerintah dan BUMN yang menjadi korban dalam kasus pertanahan di Kota Medan dan Kapubaten Deli Serdang antara lain :

1. Pemda Kota Medan.2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

ad.1. Korban Pemda Kota Medan.

Korban Pemda Kota Medan terjadi dalam kasus pembebasan tanah untuk kepentingan umum dalam pelebaran Jalan Lingkar Selatan Kota Medan. Dalam kasus ini adanya permainan dari panitia IX (sembilan) mengenai pembayaran harga tanah terhadap pemiliknya. Pembayaran nilai tanah yang dibayar dalam pelebaran jalan Rp.8.000/M2 sedangkan alokasi yang disediakan oleh pemerintah Rp.44.000/M2.

Dalam pandangan kriminologi panitia pembebasan tanah ini telah melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang/kekuasaan secara juridis dapat dituntut melakukan perbuatan tindak

Page 41: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

pidana korupsi. Para panitia pembebasan tanah tidak mempunyai integritas yang baik dalam melaksanakan tugasnya, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi.

ad.2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ada beberapa karakteristik yang berbeda mengenai korban dalam kasus pembebasan tanah untuk kepentingan BUMN di Medan dan Kabupaten Deli Serdang antara lain :a. Korban PT Angkasa Pura Medan.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini telah melakukan pembebasan tanah untuk proyek pembangunan Bandara Kuala Namu. Dalam pembebasan tersebut Badan Usaha Milik Negara ini telah menjadi korban akibat adanya permainan panitia di dalam pembebasan tanah. Setelah dilakukan penelitian PT Angkasa Pura secara langsung tidak merasa dirugikan atau korban, namun pada hakikatnya secara tidak langsung mengalami banyak korban di dalam hal pembayaran ganti rugi yang telah dikeluarkan oleh BUMN kepada panitia pembebasan tanah. Kerugian ini antara lain dalam memberikan ganti rugi tanah harga tanah yang dibayar oleh pihak yang berkepentingan berbeda dengan harga yang ditentukan oleh pemilik tanah dan kemudian ganti rugi tanaman yang dibayar antara tanaman yang produktif dengan tanaman yang tidak produktif disamakan pembayaran ganti ruginya. Bahwa kesemua tersebut di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :(1). Integritas panitia pembebasan tanah yang tidak baik.(2). Legal culture yang rusak.(3). Tidak adanya asas keseimbangan dan kepatutan.(4). Perilaku panitia pembebasan tanah yang kurang baik..

b. Korban Kasus PTPN II di Kabupaten Deli Serdang.

Kasus yang dialami oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PTPN.II) selaku pihak yang menjadi korban terjadi akibat tidak adanya kepastian hukum yang bagi pemegang hak atas tanah dan hal ini adalah sebagai pengaruh pembebasan tanah dalam era reformasi.

Tidak adanya kepastian hukum sebagai pengaruh perubahan pada era reformasi mengakibatkan adanya tindakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum, hal ini terjadi dalam kasus pengambilan lahan PTPN. II di Bandar Klipah dan Kelurahan Marindal Kabupaten Deli Serdang. Perusahaan menjadi korban karena lahan perkebunan diambil oleh masyarakat dengan dalih dahulu tanah PTPN. II adalah tanah hak ulayat (masyarakat adat melayu). Pada hal secara juridis tanah hak ulayat tersebut tidak ada lagi di Kabupaten Deli serdang, sebab tanah hak ulayat mempunyai ciri-ciri antara lain : faktor teritorial, faktor geneologis dan faktor campuran (Mahadi : 1991 ; 61).

Dalam faktor teritorial itu terdapat ciri adanya persekutuan hukum yang berbentuk daerah, federasi desa-desa. Di dalam bentuk desa, ada batas-batas tertentu, dalam batas-batas ini ada desa inti dusun-dusun dan tidak berdiri sendiri, artinya Kepala Desa dan pejabat-pejabat desa lainnya semuanya tinggal di Desa induk.

Persekutuan hukum dalam bentuk daerah banyak persamaan dengan gambaran seperti di atas, tetapi dusun-dusun telah berkembang sedemikian rupa, sehingga mempunyai penguasa dusun sendiri. Dusun itu bersama-sama dengan desa induk merasa tergabung dalam satu daerah, mempunyai batas-batas tertentu, mempunyai kepala dan fungsionaris sendiri serta hak ulayat atas hutan-hutan tua.

Kemudian dalam federasi desa-desa ada sejumlah desa masing-masing berdiri sendiri, desa itu mengadakan ikatan untuk mengurus kepentingan bersama.

Page 42: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Jika dianalisis, secara juridis pengambil alihan tanah ulayat di atas tidak ada dasar hukumnya bagi masyarakat dan individu untuk mengambil tanah PTPN. II tersebut. PTPN. II menjadi korban dalam kasus pertanahan, karena adanya sekelompok masyarakat dan individu yang menyatakan tanah ulayat mereka diambil oleh PTPN. II pada zaman orde baru. Pada hal tidak ada bukti dan dasar hukumnya, kasus PTPN.II ini belum mendapat perlindungan hukum secara konkrit dari pemerintah.

D. Penutup.

Berdasarkan uraian di atas perspektif viktimologi mengenai kasus ganti rugi tanah yang terjadi ada beberapa faktor penyebab timbulnya korban antara lain faktor penyimpangan prilaku hukum, disintegrasi dari peraturan hukum, faktor politik, ekonomi sosbud dan kamtib. Sedangkan pihak yang menjadi korban dalam kasus ganti rugi tanah terdiri dari pemilik tanah dan pihak yang berkepentingan dengan pengadaan tanah, misalnya badan hukum (pengusaha) dan instansi pemerintah dan BUMN.

Untuk menghindari timbulnya korban dalam kasus ganti rugi tanah, maka upaya yang harus dilakukan dalam proses pelaksanaannya perlu adanya azas iktikad baik dan transparansi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan tanah.

Sedangkan untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan beberapa peraturan yang ada mengenai ganti rugi tanah dapat dibuat suatu undang-undang khusus seperti misalnya "tindak pidana korupsi, tindak pidana seversi dan tindak pidana ekonomi, mengingat ganti rugi tanah menyangkut hajat hidup orang banyak. Undang-undang khusus mengenai ganti rugi yang diharapkan itu perlu mengembangkan suatu konsep hukum yang victimologi dimana dalam komponen substansinya mencantumkan suatu sanksi penal dan non-penal yang dapat dijatuhkan secara kumulatif dalam rangka penegakkan hukum yang berkeadilan responsif.

Kemudian dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah No. 22/1999, maka undang-undang ganti rugi tanah yang berlaku secara nasional di Indonesia nantinya pada masing-masing daerah otonomi diberikan pula wewenang untuk membuat konsep peraturan daerah mengenai ganti rugi tanah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerahnya masing-masing di Indonesia.

Daftar Pustaka

A. Buku.

Black, Donald, The Behavior Of Law, Academic Prees, New York, San Fransisco, London, 1976.

Ediwarman, Victimologi, Kaitannya Dengan Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah, CV. Mandar Maju, 1999.

Gosita, Arif, Relevansi Victimologi, Indhill-Co, Jakarta, 1987.

------, Masalah Perlindungan Anak, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1989.

------, Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan, Akademika Prssindo, Jakarta, 1993.

------, Victimologi dan KUHAP Yang Mengatur Ganti Rugi Pihak Korban, Akademika Pressindo, Jakarta, 1995.

Page 43: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Kusnadi, Mohammad, Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum. UI, Jakarta Cet. II, 1983.

Lubis, M, Solly, Sistem Nasional, USU Pres, Medan, 1988.

------, Serba Serbi Politik dan Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 1989.

------, Dimensi-Dimensi manajemen Pembangunan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1996.

------, Politik dan Hukum di Era Reformasi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000.

Mas'oed, Mochtar, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.

Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni bandung, 1991,

Purbacaraka, Purnadi, Soerjono soekanto, Perihal Kaedah-kaedah Hukum, Alumni Bandung, Cetakan-I, 1978.

Sahetapy, J.E, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologik, Alumi Bandung, 1981.

------, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987.

------, Kriminologi Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

------, Teori Kriminologi, Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1992.

------, Bunga Rampai Viktimisasi, PT. Erisco, Bandung, 1995.

Separovic, Paul, Zvonirmeir, Victimology Studies of Victim, Zegrig, 1985.

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

B. Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-undang .No.20 Tahun 1961, tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di atasnya.

Peraturan Pemerintah No.39 Tahun 1973, tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di atasnya.

Instruksi Presiden Republik Indonesia No.9 Tahun 1973, tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di atasnya.

Peraturan Menteri dalam Negeri No.5 Tahun 1974, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Swasta.

Page 44: PEMBINAAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN

Peraturan Menteri dalam Negeri No.15 Tahun 1975, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

Peraturan Menteri dalam Negeri No.2 Tahun 1976, tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.

Peraturan Menteri dalam Negeri No.2 Tahun 1985, tentang Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 580.2-5568-D.III Tgl. 06-12-1990, tentang Tim Pengawas dan Pengendalian Tanah untuk Keperluan Swasta.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.1 tahun 1994 tanggal 14-6-1994, tentang Ketentuan Pel1aksanaan Keputusan Presiden No.55 tahun 1993, tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.