peranan tim pengamat pemasyarakatan terhadap keberhasilan pembinaan narapidana di lembaga...
TRANSCRIPT
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan dalam bidang hukum khususnya hukum pidana, telah
sejak lama dilakukan di Indonesia. Hal ini dalam rangka untuk mewujudkan
hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini, khususnya hukum
pidana materiil mulai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional,
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI. Nomor:107 tahun 1958, dan
seterusnya sehingga sampai terbentuk rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana 2004. Upaya pembaharuan hukum pidana seharusnya meliputi tiga
bidang yaitu hukum pidana materil, hukum pidana formil dan pelaksanaan
hukum pidana, yang harus bekerja sama dalam satu keterkaitan yang erat guna
mewujudkan tujuan hukum pidana yang mengacu kepada pengayoman
masyarakat, penegakan hukum dan Rehabilitasi/Resosialisasi pada bekas
pelanggar hukum.
Pembaharuan pelaksanaan pidana penjara mengarah kepada upaya
Rehabilitasi dan Resosialisasi (pemidanaan) para pelanggar hukum, upaya ini
baru dimulai dan dilaksanakan pada bagian akhir dari Tata Peradilan Pidana
2
Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemasyarakatan yang berlaku
dewasa ini secara konseptual dan histories sangatlah berbeda dengan apa yang
berlaku zaman dahulu yang menempatkan tahanan, narapidana narkotika
dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapi bukan dengan
latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan.
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan
pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental
meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun sebagai warga negara
yang meyakini dirinya masih mempunyai potensi produktif bagi pembangunan
bangsa oleh karena itu mereka akan dididik (dilatih) untuk menguasai
keterampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan terlepas dari ketergantungan
dari narkoba dan dapat berpatisipasi dalam pembangunan.
Dengan bekal mental dan keterampilan yang mereka miliki, diharapkan
mereka dapat berhasil mengintegrasikan dirinya di dalam masyarakat. Di dalam
pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan itu maka oleh
Menteri Hukum dan ham melalui suatu surat Keputusan Menteri Hukum Dan
Ham RI No. M.02- PK 04.10 tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana,
tahanan dibentuk suatu Tim Pengamat Pemasyarakatan BAPAS dan Tim
pengamat Rutan, yang selanjutnya disingkat T.P.P.
Tim Pengamat Pemasyarakatan (T.P. P) ini masing-masing berperan
memberikan pertimbangan dalam tugas pengamatan terhadap pelaksanaan
3
pembinaan warga binaan masyarakat. Untuk mendayagunakan peranan T.P.P.
ini, maka keanggotaannya terdiri juga dari tokoh-tokoh masyarakat agar dapat
meningkatkan kualitas pembinaan.
Selama ini masyarakat umum atau orang banyak menganggap dalam
pelaksanaan kegiatan pemidanaan, di lembaga pemasyarakatan itu, para
narapidana hanya menjalani masa hukumannya yang telah diputus oleh sidang
pengadilan. Sedangkan tugas lembaga pemasyarakatan itu sendiri hanya
mengatur narapidana, dan lembaga pemasyarakatan merupakan tempat
melaksanakan hukuman narapidana yang diputuskan oleh sidang pengadilan.
Adapun narapidana-narapidana diberikan pekerjaan hanya dilakukan untuk
mengisi hari-hari mereka dalam menjalani masa hukumannya di lembaga
pemasyarakatan, juga orang banyak beranggapan bahwa lembaga
pemasyarakatan yang dipimpin oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan itu belum
mempunyai suatu usaha-usaha khusus atau suatu badan/tim khusus yang bertugas
menangani dalam pembinaan dan melakukan penilaian-penilaian secara khusus
terhadap narapidana sewaktu menjalani masa-masa hukumannya di Lembaga
Pemasyarakatan.
Dengan dikembangkannya pendekatan baru para Kalapas dibantu Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) akan berusaha untuk meningkatkan
kemampuan baik dibidang manajemen interen organisasi maupun dalam
4
melakukan terobosan yang mampu meningkatkan program-program yang dapat
memajukan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Disadari bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan bimbingan melalui
berbagai bentuk dan usaha tentunya menurut kemampuan, tanggung jawab dan
profesionalisme yang lebih besar dari Tim Pengamat Pemasyarakatan ini,
termasuk perlunya dukungan berupa sarana dan fasilitas yang memadai, tetapi
disadari bahwa sarana dan fasilitas selalu serba terbatas.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba untuk mengangkat
masalah ini kedalam karya ilmiah dalam bentuk Skripsi yang penulis beri judul
”PERANAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN TERHADAP
KEBERHASILAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A LUBUK LINGGAU”.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba untuk membahas
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah peranan Tim pengamat pemasyarakatan terhadap keberhasilan
pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A
Lubuk Linggau.
2. Apakah kendala yang dihadapi oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam
mengajukan narapidana ke sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.
C. Tujuan Penelitian
5
1. Untuk mencari data secara jelas pelaksanaan pengamatan terhadap
narapidana oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas II A Lubuk Linggau.
2. Untuk mencari data lebih jelas kendala Tim Pengamat Pemasyarakatan
dalam mengajukan narapidana ke sidang TPP.
D. Tinjauan pustaka
Didalam buku tentang pola pembinaan narapidana dan tahanan yang
dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Sekarang berobah menjadi
Departemen Hukum dan Ham tahun 1990 yang dimaksud dengan Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) adalah:”Tim yang bertugas memberi pertimbangan
kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan
pembinaan narapidana, anak, anak negara/sipil, dan klien pemasyarakatan”.
Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pemasyarakatan sebagai
wadah untuk menampung orang yang sudah dijatuhi hukuman sekaligus tempat
pembinaan bagi orang yang melanggar hukum.
Kemudian menurut Romli Atmasasmita dan R. Rahmad S.
Soemadipradja (1979 : 13-15) mengemukakan perinsip dasar pemasyarakatan,
yakni sebagai berikut :
1 Orang yang tersesat diayomi dengan cara memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2 Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.3 Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.
6
4 Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau jahat daripada sebelum ia masuk di lembaga pemasayrakatan.
5 Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.
6 Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan negara sewaktu saja.
7 Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.8 Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia telah tersesat.9 Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan.10 Perlu didirikan lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan
kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemsyarakatan.
Selanjutnya pembinaan narapidana mempunyai arti memerlukan
seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangunkan agar bangkit menjadi
orang yang baik.
Sehubungan dengan hal di atas, Romli Atmasmita dan R. Achmad S.
Somadipradja (1979 : 3) pembinaan narapidana dewasa ini dilaksanakan melalui
empat tahap, yang merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu,
sebagaimana disebut di bawah.
Tahap Pertama. Terhadap setiap narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ihwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebabnya melakukan pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, sikorban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani perkaranya.Tahap Kedua.Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya sepertiga dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut dewan pembina pemasyarakatan sudah cukup kemajuan antara lain menunjukan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana
7
yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada lembaga pemasyaraktan Medium Security.Tahap Ketiga.Jika diproses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani setengah dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat dewan pembina kemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik ataupun mental dan juga segi keterampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar, berolahraga bersama masyarakat luar, mengikuti pendidikan di sekolah umum, bekerja di luar, akan tetapi dalam pelaksanaanya tetap masih berada dibawah pengawasan dan bimbingan petugas.Tahap Keempat.Jika proses pembinaan telah dijalani dua pertiga dari masa pidana, maka pada narapidana yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat dan pengusulan lepas bersyarat ini ditetapkan oleh dewan pembina pemasyaraktan.
Kemudian Poernomo, Bambang (1986 : 188) mengemukakan cara
pelaksanaan sebagai berikut :
1. Bimbingan mental, yang diselenggarakan dengan pendidikan agama,
keperibadian dan budi pekerti, dan pendidikan umum yang diarahkan untuk
membangkitkan sikap mental baru sesdudah menyadari akan kesalahan masa
lalu.
2. Bimbingan sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan
pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada masa tertentu
diberikan kesempatan untuk asimilasi serta integarasi dengan masyarakat
luas.
3. Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai untuk hidup dengan
teratur dan belajar mentaati perturan.
8
4. Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan, seni
budaya dan sedapat-dapatnya diperkanalkan kepada segala aspek kehidupan
masyarakat dalam bentuk tiruan masyarakat kecil selaras dnegan lingkungan
sosial yang terjadi di luar.
Pada dasarnya kegiatan bimbingan dan pembinaan merupakan faktor
yang cukup penting dalam proses pemasyarakatan yang ditujukan kepada
pembinaan mental dan keperibadian narapidana, agar jangan sampai terulang lagi
kejahatan yang pernah dilakukannya, dan mentaati setiap peraturan hukum yang
berlaku.
Menurut Bambang Poernomo ( 1986:23) menyatakan peranan atau tugas
dan wewenang Hakim Wasmat dalam hal pengawasan dan pengamatan adalah:
”mengawasi dan mengamati pelaksanaan dari putusan hakim serta mengawasi
dan mengamati narapidana mengenai prilaku dan pengembangannya selama
menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan serta keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh narapidana”.
E. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan teori-teori yang ada, penulis mencoba
untuk mengambil kesimpulan sementara yang kebenarannya masih perlu
pembuktian pada penelitian lebih lanjut.
9
1. Bahwa Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan terhadap keberhasilan
pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A
Lubuk Linggau melalui tiga tahap, yaitu:
a. Memberikan saran mengenai bentuk, dan program pembinaan,
pengamanan dan pembimbingan terhadap narapidana dalam
melaksanakan sistem pemasyarakatan sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan
dan pembimbingan kepada setiapnarapidana di Lembaga
Pemasyarakatan.
c. Menerima keluhan dan pengaduan dari para narapidana yang harus
ditampung oleh petugas Tim Pengamat Pemasyarakatan secara bijak dan
adil.
d. Sebagai mitra kerja Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam penentuan
dan pengambilan kebijakan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di
Lembaga Pemasyarakatan.
2. Kendala yang dialami TPP dalam mengajukan narapidana ke sidang Tim
pengamat Pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
a. Ada kalanya saran, penilaian terhadap narapidana yang di sidang TPP tidak
sejalan dengan kebijakan dan keputusan yang diambil oleh Kepala Lembaga
Pemasyarakatan maksudnya penilaian dan saran Tim TPP untuk mengarahkan
10
narapidana di perbantukan pada suatu tempat (misalnya kebersihan, taman,
dapur) berbeda dengan pendapat Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang
menginginkan tersebutlebih dikeluarkan lagi penempatannya, sedangkan
keputusan mutlak untuk pembuatan SK penempatan kerja (pembantu kegiatan
Lembaga Pemasyarakatan).
b. Pengetahuan dan pengamatan anggota TPP terhadap narapidana yang akan
disidangkan kadang kala terbatas, sehingga dalam pemberian saran dan
penilaian penempatan kerja membantu kegiatan Lembaga Pemasyarakatan
tidak sesuai dengan bakat dan kemampuan narapidana.
c. Bahwa kadang kala narapidana yang disidangkan TPP proses pembinaan
kurang terpantau. Hal ini jelas mempengaruhi anggota Tim TPP dalam
pemberian saran dan penilaian.
F. Metodologi Penelitian.
Dalam suatu penelitian ilmiah kegiatan penelitian dilakukan secara
sistematis dengan diawali penentuan populasi, dan kemudian penentuan
sampel :
1. Teknik Penentuan Sampel.
a. Populasi.
Menurut Ronny Hanitidjo Soemitro (1988 : 44) populasi adalah:
11
”Seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh
kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti”.
Dari pengertian di atas, maka yang menjadi populasi penelitian
ini adalah Aparat penegak hukum yang terlibat dalam pembinaan dan
pengawasan pelepasan bersyarat terhadap narapidana di lembaga
pemasyarakatan Klas II A Lubuk Linggau yaitu Pegawai Lembaga
Pemasyarakatan Lubuk Linggau , Hakim Pengadilan Negeri Lubuk
Linggau, Jaksa di Kejaksaan Negeri Lubuk Linggau dan terpidana yang
mendapatkan pelepasan bersyarat.
b. Sampel.
J. Soepranto ( 1981 : 38 ) menyatakan :
”Sampling ialah suatu macam atau cara pengumpulan data yang
sifatnya tidak secara menyeluruh artinya tidak mencakup seluruh
obyek penyelidikan, akan tetapi hanya sebagian dari populasi saja,
yaitu mencakup sampel yang diambil dari populasi tersebut”.
Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini maka ditentukan
dengan metode provosive sampling, yaitu sampel yang sengaja dipilih
untuk mewakili seluruh populasi. Berdasarkan metode tersebut, maka
respondennya adalah sebagai berikut :
1) Ketua TPP Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Lubuk
Linggau.
12
2) Sekretaris TPP Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A
Lubuk Linggau.
3) 2 (dua) orang terpidana yang mendapatkan pelepasan bersyarat.
4) 2 (dua) orang HakimWasmat di Pengadilan Negeri Lubuk
Linggau.
2. Teknik Pengumpulan Data.
Didalam melakukan penelitian ini harus didukung oleh data-
data agar hasil penelitian ini sedapat mungkin mendekati
kesempurnaan, maka penulis akan berusaha untuk menentukan dan
mengumpulkan data-data dengan menggunakan teknik yaitu:
a. Data primer yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan
dengan cara-cara :
Interview, berarti terjun langsung kelapangan dan dengan me-
ngadakan wawancara dan tanya jawab kepada responden penelitian
untuk memperoleh keterangan yang lebih jelas atas data yang
diperoleh melalui angket yang dipandang meragukan.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui Library research
atau penelitian kepustakaan, dengan ini penulis berusaha menelusuri dan
mengumpulkan bahan tersebut dari buku-buku, Peraturan Perundang-
undangan dan publikasi lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan
penulisan skripsi.
13
3. Teknik Pengolahan Data.
Dalam penelitian ini pengolahan data yang diperlukan adalah
sebagai berikut :
a. Coding Data.
Adalah penyesuaian data yang diperoleh dalam penelitian,
kepustakaan maupun penelitian lapangan dengan pokok pangkal
bahasan masalah yang diteliti dengan cara memberi kode-kode
tertentu pada data-data tersebut.
b. Editing data.
Editing data dilakukan setelah selesai melakukan coding data yakni
pemeriksaan data hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
relevansi dan kesahihan data yang akan didiskripsikan dalam
menenmukan jawaban permasalahan.
4. Teknik analisa data.
Analisa data dilakukan dengan cara induktif kualitatif yaitu
membandingkan data primer dengan data sekunder lalu
diklasifikasikan kemudian dijabarkan dan disusun secara sistematis,
sehingga diperoleh suatu pengetahuan yang disusun dalam bentuk
skripsi.
G. Sistematika Penulisan
14
Dalam menyusun skripsi penulis susun secara sistematika penulisan
sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Dalam pembahasan Bab I ini, akan penulis bagi dalam beberapa hal
pokok yaitu Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian,
Tinjauan Pustaka, Hepotesis Metodologi Penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM
Dalam pembahasan Bab II ini, akan diuraikan : Teori-teori pemidanaan,
pengertian narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan, Tinjauan umum hakim
wasmat hubungangannya dengan Bapas dan tujuan pemidanaan.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada Bab III berisikan hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian
lapangan terdiri dari
1. Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan terhadap keberhasilan
pembinaan di Lembaga Pemsyarakatan Narkotika Klas II A Lubuk
Linggau.
2. Kendala yang dihadapi oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam
mengajukan narapidana ke sidang TPP.
15
B. Pembahasan
BAB IV P E N U T U P
Bab V Bab terakhir merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan
saran
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Teori-teori pemidanaan
Teori-teori pemidanaan adalah rumusan dari bagaimana pelaksanaan
pidana penjara berjalan dari waktu-kewaktu, teori ini tidak ada perubahan sesuai
dengan perkembangan ilmu hukum dan rasa keadilan masyarakat pada suatu
pihak, serta tanggung jawab bagaimana upaya penanggulangan tindak kriminal
secara universal pada pihak lain.
Menurut Andi Hamzah dan siti Rahayu (1983 :11-13) mengenai teori-
teori pemidanaan yaitu:
Teori-teori ilmu pemidanan, sebagaimana cabang-cabang ilmu sosiaol lainnya tidak mungkin dapat dievaluasi keberhasilannya melalui uji coba laboratorium dan perhitungan ekstra. Keberhasilan suatu teori hanya mungkin dapat dievaluasi keampuhannya setelah diterapkan dalam jangka waktu yang cukup lama. Keadaan ini memberikan dampak pada lambanya perkembangan ilmu tentang pemidanaan ini, disamping sebagai akibat dari keterbelakangannya ilmu tentang pelaksanaan pemidanaan itu sendiri sebelum ini, karena para ahli hukum pidana lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada upaya pembaruan hukum pidana formil sedangkan hukum pelaksanaan pidana masih dinomor duakan dalam pengkajiannya.
16
Dari berbagai buku yang dipergunakan sebagai patokan dalam
pembahasan teori pemidanaan ini, belum ditemukan suatu patokan yang tetap.
Apakah teori-teori pemidanaan yang pernah dilaksanakan pada berbagai negara
merupakan teori-teori yang dirumuskan terlebih dahulu justru pelaksanaan
pidananya yang terlebih dahulu jalan, baru kemudian dicari rumusan-rumusan
yang baku dalam suatu definisi guna memberi ciri pada suatu sistem pemidanaan.
Cara umum teori-tori ini dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu teori
absolut, relative dan teori gabungan..
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
teori ini mengatakan bahwa :“dasar pemidanaan adalah terjadi kejahtan,
sedangkan pemidanaan adalah pemberian imbalan terhadap orang yang telah
melakukan kejahatan. Ini dapat ditafsirkan bahwa dasar pembenaran suatu
pidana, menghendaki agar setiap perbuatan melanggar hukum harus dibalas.”
Bambang Pornomo dalam Kant (1994:27) mengemukakan bahwa”
kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan maka ia harus dibalas dengan
ketidakadilan pula. Karena pidana itu merupakan tuntutan mutlak dari hukum
dan kesusilaan, jalan pikiran ini melahirkan teori absulut dan dasar kesusilaan
yang dipegang teguh itu dapat dinamakan de Ethische Vergeldingstheorie”.
Melihat rumusan di atas, teori absolut memandang hukum sebagai
konsekuensi yang harus ada dalam hal terjadinya suatu pelanggaran hukum,
17
tidak adanya hukum dalam wujud pembalasan yang seimbang, justru akan
menimbulkan rasa ketidakadilan yang baru dalam masyarakat.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Dasar pemidanaan ini adalah untuk mempertahankan tata tertib serta
norma-norma yang berl;aku dalam suatu masyarakat, karena disini
pemidanaan ditujukan untuk menghindari atau mencegah (prevensi) agar
orang tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Teori ini sudah mulai melihat manusia-manusia pelaku tindak kejahtan
ini, sebagai individu-individu yang juga sebagai anggota dalam suatu
masyarakat. Pemberian pidana tidak semata-mata berorientasi pada pelaku
kejahatan belaka, tetapi unsur manfaat suatu pidana bagi sipelaku maupun
bagi masyarakat sudah mulai menjadi perhatian aliran ini.
Tentang pelaksanaan pidana ini andi Hamzah dan siti Rahayu (1983 :
19), mengatakan sebagai berikut :
Suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahtan, melainkan juga harus diperhatikan pula manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau si penjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga pada masa depan. Maka harus pula ada tujuan lebih dari pada hanya menjatuhkan pidana saja.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa pidana yang
dijatuhkan bukan hanya mempertimbnagkan perbuatan jahat yang dilakukan
18
seseorang, tetapi unsur manfaat yang akan dicapai dari pemidanaan itu perlu
pertimbangan, baik bagi sipelaku kejahatan, maupun bagi masyarakat.
Manfaat ini dapat dicapai melalui upaya pembinaan dan pemberian
pendidikan serta keterampilan, yang pada saat nanti dapat dipergunakan oleh
para pelaku kejahatan tadi untuk hidup layak dalam masyarakat serta
mengurangi ketergantungan pada orang lain.
Lebih lanjut Andi Hamzah dan Siti Rahayu (1983:34) yaitu:
Untuk mencapai tujuan “Prevensi” atau memperbaiki si penjahat, tidak hanya secara negatif maka tidaklah layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif dianggap baik bahwa pemerintah mengambil tindakan yang bersifat pidana. Tindakan ini misalnya mengawasi saja rindak-tanduk si penjahat atau menyerahkan kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial, untuk menampung orang-orang yang perlu didik menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Dengan demikian teori relative atau teori tujuan dalam pemidanaan
ini, mengandung tujuan pencegahan secara umum (General Prevensi).
Pencegahan secara umum ini bersifat murni, yaitu bahwa senua
pemidanaan harus ditujukan untuk menakut-nakuti orang banyak supaya
jangan melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Hal ini
dilakukan dengan cara perlakuan yang kejam seperti pemukulan yang diluar
batas-batas prikemanusiaan, penyiksaan sipelaku kejahatan dimuka umum dan
lain sebagainya agar orang lain menjadi takut untuk melakukan perbuatan
melanggar hukum.
19
Sedangkan pencegahan secara khusus dilaksanakan dengan cara
menakut-nakuti orang yang telah melaksanakan kejahatan itu sendiri, tanpa
melupakan upaya pembinaan serta bimbingan kepada sipelaku.
3. Teori Gabungan
Menurut Bambang Poernomo (1994:31) teori ini merupakan
kombinasi (gabungan) antara teori absolut dan teori relative (tujuan). Menurut
teori gabungan, pertimbnagan tentang pemidanaan itu disamping pembalasan,
harus pula dilihat kegunaan pidana bagi masyarakat. Terhadap teori gabungan
ini Bambang Pornomo dalam Vos (1994:31), menerangkan bahwa di dalam
teori gabungan terdapat tiga aliran yaitu :
1. Teori menggabungkan yang menitik beratkan pembalasan, tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi ketertiban hukum.
2. Teori menggabungkan yang menitik beratkan pada perlindungan ketertiban masyarakat.
3. Teori menggabungkan yang dititikberatkan sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat.
Pada umunya sudah sepatutnya seseorang yang telah melakukan suatu
perbuatan jahat itu dibalas dengan suatu pidana yang setimpal dengan
perbuatan yang dilakukan, dimana perbuatan yang dilakukan itu orang lain
merasa dirugikan kepentingan, akan tetapi pidana yang dijatuhkan itu
hendaknya tidak pula melampaui batas maksimum dari pidana yang
dijatuhkan, sehingga tidak pula merugikan kepentingan si terpidana. Jadi
tegasnya teori gabungan ini tegasnya disamping membalas perbuatan
20
seseorang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, juga ikut
mencegah agar orang lain tidak ikut melaklukan perbuatan yang melanggar
hukum pula.
B. Pengertian Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan
1. Pengertian Narapidana
Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan narapidana adalah:” terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan”.
Sedangkan menurut J.S.T Simorangkir Dkk ( 1997: 102)
“narapidana adalah orang tahanan, orang yang ditahan dalam lembaga
Pemasyarakatan”
Dengan demikian banyak sudah pendapat yang mengemukakan
tentang batasan pengertian narapidana. Namun demikian pada prinsipnya
batasan-batasan yang dikemukakan tadi memiliki makna yang sama bahwa
narapidana adalah orang yang sedang menjalani pidana hilang kemnerdekaan
selama kurun waktu tertentu di lembaga pemasyarakatan.
Akan dasar beberapa pernyataan yang dikemukakan di atas dapatlah
dirumuskan bahwa sesuai dengan perubahan dari sistem kepenjaraan menjadi
sistem kemasyarakatan maka istilah terhukum lebih diperhalus lagi dengan
sebutan “Narapidana”. Sedangkan istilah narapidana lebih tepat digunakan
21
pada mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kriminal dan sudah
mendapatkan putusan dari hakim serta mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Lembaga Pemasyarakatan
Pemasyarakatan adalah :
Bagian dari peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu (dilaksanakan bersama-sama dengan semua aparat penegak hukum) dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik (Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Tahun 1990).
Jadi lembaga pemasyarakatan (Lapas) adalah merupakan unit
pelaksanaan teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina
narapidana.
Batasan pokok pelaksanaan pemasyarakatan narapidana adalah 10
(sepuluh) prinsip pemasyarakatan, dan untuk lebih jelasnya tentang 10
(sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan tersebut Bambang Poernomo (1986:142)
merumuskan sebagai berikut:
1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat. Yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan materil, tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik, keahlian dan keterampilan hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik dan tidak melanggar hukum lagi dan berguna dalam pembangunan negara.
22
2. menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan atau penempatan. Satyu-satunya derita hanya dihilangkannya kemerdekaan.
3. tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberikan kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup bermasyarakat.
4. negara tidak berhak membuat lebih buruk/lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga. Karena itu harus diadakan pemisahan antara;
5. selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Menurut paham lama., pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat. Kini menurut sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “cultural”. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.
6. pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh mengiisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat ditujukan untuk pembnagunan national, karena mana harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembnagunan nasional.
7. bimbingan dan didikan harus didasarkan Pancasila pendidikan dan bimbingan harus diberikan azas-azas yang tercantum dalam Pancasila, kepada narapidana hatus diberikan kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegiiatan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberikan kesempatan kemungkinan mendapat pendidikan di luar lembaga
8. tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun telah tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa iadipandang dan diperlukan sebagai manusia.
9. narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan agar narapidana mendapat pencaharian untuk keluarganya dengan jalan menyediakan/memberikan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberikan kesempatan kemungkinan mendapat pendidikan diluar lembaga
23
10. perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.
Dari rumusan di atas dapat dipahami bahwa sistem pemasyarakatan
bukan saja sebagai cara perlakuan terhadap narapidana, tetapi juga sebagai
tujuan dari pembinaan itu sendiri.
C. Tinjauan umum Hakim Wasmat Hubungannya dengan Bapas
Selain Tim Pengamat Pemasyarakatan, terdapat juga instansi lain yang
langsung atau secara tidak langsung membantu di dalam pengawasan dan
pengamatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, yaitu :
1. Hakim Pengawas dan Pengamatan (Hakim Wasmat)
Hal-Hal yang diatur oleh KUHAP tentang Pengawas dan Pengamat
dalam BAB XX yaitu mengenai tugas-tugas Hakim Wasmat pada pasal
280 KUHAP adalah :
a. Hakim Pengawas dan Pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan dilaksanakan sebagaimana mestinya
b. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan, pengamatan untuk bahan penelitian yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari pelaku narapidana atau pembinaan Lembaga Pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidanannya.
c. Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat dua (2) tetap dilaksanakan setelah narapidana melaksanakan pidannya.
Sedangkan hakim pengawas dan pengamat ini juga diatur dalam
KUHAP yaitu dalam pasal 177 ayat :
24
1. Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu hakim dalam melakukan pengawasan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2. Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dijadikan sebgai hakim pengawas dan pengamat ditunjuk untuk palaing lama dua tahun.
Berdasarkan hal-hal di atas, hakim pengawas pengamatan hanya
sebagai hakim yang ditunjuk ketua pengadilan dan membantunya dalam
melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap seorang tahanan yang telah
diputuskan oleh pengadilan yang dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan
menjadi narapidana ini, yaitu melakukan penelitian bagaimana perlakuan
penjaga lembaga telah sesuai dengan konsep pemasyarakatan. Meminta
kepada lembaga pemasyarakatan mengenai prilaku narapidana selama berada
di lembaga pemasyarakatan itu.
2. Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengetasan Anak
Adalah unit pelaksana teknis pemasyaratan yang menangani
pembinaan klien pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana bersyarat
(dewasa dan anak), narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat dan
cuti mejelang bebas, serta anak negara yang mendapat pembebasan
bersyarat atau diserahkan kepada keluarga asuh, anak negara yang
mendapat cuti menjelang bebas serta anak negara yang oleh hakim diputus
dikembalikan kepada orang tuanya.
Berdasarkan hal di atas tugas Bispa adalah :
25
a. Menangani pembinaan klien pemasyarakatan yang terdiri dari terpidana bersyarat (dewasa dan anak).
b. Narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
c. Mengawasi anak negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau diserahkan ke keluarga asuh .
D. Tujuan Pemidanaan
Penjatuhan pidana kepada pelanggar hukum, merupakan reaksi
masyarakat yang terstruktur dan melanggar terhadap kejahatan yang telah
merusak keteraturan Norma yang dijunjung tinggi dalam masyarakat
Penjatuhan pidana selalu menimbulkan pertentangan antara dua pihak,
yakni memberi perlindungan kepada masyarakat dari tindak kejahatan akan tetapi
berakibat derita dan nestapa bagi yang dijatuhi pidana.
Sebagai salah satu akibat dari kamajuan peradapan manusia dan
semakin di junjung tinggi hak-hak asasi manusia maka pemikir hukum pidana
sejak lama mulai memikirkan tentang bagaimana memperlakukan para pelaku
kejahatan sehingga kesenjangan antara melindungi masyarakat di satu pihak dan
derita nestapa yang timbul akibat pidana di pihak lain tidak terlalu jauh.
Upaya memberi perlakuan yang lebih manusiawi terhadap narapidana
sudah sejak lama berkembang pada banyak negara. Hal ini dibuktikan dengan
dibentuknya Komisi Internasional Pidana dan Pelaksana Pidana (The
International Penal and Penitentiary Commission) yang bertugas merencanakan
26
dan menyusun “Standart minimum rules” bagi perlakuan terhadap para
narapidana (Hamzah dan Rahayu, 1983 : 26).
Penjatuhan pidana yang diarahkan kepada suatu tujuan tertentu sudah
dianut oleh berbagai negara didunia, termasuk Indonesia. Sebagaimana Andi
Hamzah menyatakan (1985:16), sebagai berikut:
“Tujuan juga masih di anggap kuno adalah penghapusan dosa atau retribusi
(retribution) yakni melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat untuk
menentukan balasan antara hak dan batil.” (Andi Hamzah, 1985 : 16)
pemikiran modern yang mengarah kepada dehumanisasi pemidanaan
baru berkembang sekitar abad ke-19. para ahli sudah mulai berpikir bahwa
pemberian pidana yang hanya berorientasi kepada pelaku kejahatan, tidak
menampakkan hasil sebagai sarana penggulangan kejahatan dan perlindungan
masyarakat, seperti apa yang dijelaskan oleh Andi Hamzah (1985:18) sebagai
berikut :
Yang dipandang tujuan yang berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang disebut terakhir yang paling modern dan popular dewasa ini. Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.
Tentang pemberian pidana sebagai upaya perlindungan masyarakat
terhadap tindak pidana dan usaha rehabilitasi terhadap pelaku kejahatan, Joko
Prakoso (1988 : 38), menulis sebagai berikut :”Hukum hendaknya dipertahankan
27
sebagai salah satu sarana untuk “sosial defence” dalam arti melindungi
masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali
(rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbnagan kepentingan
perorangan (pembuat) masyarakat”.
Upaya melindungi masyarakat terhadap tindak kejahatan dan menjatuhkan pidana terhadap para pelaku kejahatan itulah yang menjadi pertautan pola piker kebijaksanaan pemberian pidana yang harus mengacu kepada kedua kepentingan tersebut, sehingga pemberian pidana harus pula dipikirkan bagaimana mempersiapkan para plaku kejahtan tadi untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat dan dapat hidup berdampingan secara baik. Untuk itu pemberian pidana harus mengandung unsur pembinaan dan bimbingan, guna mengantisipasi dinamika hidup bermasyarakat (Hamzah, 1990 : 21).
Hal ini bertolak pangkal pada pandangan bahwa narapidana walaupun
sebagai orang yang sedang menjalani hukuman yang kemerdekaan bergeraknya
sedang dibatasi, akan tetapi diakui keberadaannya sebagai anggota masyarakat.
Oleh karena itu dalam pembinaan narapidana, masyarakat harus diikutsertakan
disamping petugas Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.
Bambang Pornomo (1986:23) menyatakan bahwah:
Keberadaan hukum dalam masyarakat yang beradab mutlak adanya, sebab hukum akan mampu menata seluruh aspek hidup manusia, sehingga akan menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam segala hal. Dari segi ini hukum akan menampakkan diri sebagai alat manusia untuk menciptakan tatanan masyarakat tertentu sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk hukum itu sendiri, sebagaimana Rescoe Pound mengatakan “Law as tool of social engineering”.
28
Hukum pidana diciptakan untuk mleindungi hak dan kewajiban
masyarakat dari gangguan pihak lain. Masyarakat menghendaki adanya aturan-
aturan yang jelas, akan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan serta
sanksi-sanksi perbuatan tersebut. Apabila hukum telah memberi aturan-aturan
yang jelas, maka masyarakat akan merasa terayomi baik jiweanya, raganya,
hartanya serta kepentingan lain.
Pembangunan hukum di Indonesia yang hidup dalam satu pedoman
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yaitu Pancasila adalah menciptakan
hukum nasional yang mantap dan hukum itu harus mengabdi kepada kepentingan
nasional, sebagaimana rumusan sasaran bidang hukum yang ingin dicapai dalam
pembangunan jangka panjang tahap kedua yaitu sasaran bidang hukum menuju
terbentuk serta berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap bersumberkan
Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum
yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian hukum, ketertiban hukum,
penegakkan hukum dan kebenaran nasional yang didukung oleh aparatur hukum,
sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar taat hukum.
Demikian luasnya jangkauan dan sasaran yang ingin dicapai oleh
pemerintah dalam nbidang hukum, dalam usaha mnciptakan manusia-manusia
Indonesia yang seutuhnya. Sedangkan menurut Bismar Siregar dalam Adi
Hamzah dan Siti Rahayu (1983:12) dalam bahasannya mengenai pembangunan
hukum yaitu : “ Dalam pembaharuan bidang hukum yang akan datang, baik
29
untuk menetapkan sesuatu perbutan pidana atau tidak, demikian pula sejauh mana
pertanggungjawaban dan hukuman/pidana apa sebaiknya ditetapkan, hukum adat
dan hukum agama sebagai sumber hukum yang tidak habis-habisnya, dengan
tetap berlandaskan Pancasila dan UUD 1945”.
Sistem-sistem yang pernah dilaksanakan tersebut dari waktu ke waktu
selalu menampakkan adanya perbedaan dan perkembangan. Hal ini menunjukan
bahwa sistem yang baku dan dapat diberlakukan secara universal belum pernah
ada, bahkan tidak pernah ada. Gejala ini secara eksplisit mencerminkan aspek
keunikan menusia, dimana setiap individu, setiap masyarakat bahkan setiap
negara mempunyai corak dan kepribadian yang berlainan satu sama lain yang
berkaitan langsung dengan paham serta budaya yang dianut. Akan tetapi
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa setiap sistem pelaksanaan
pidana yang dipakai dalam periode tertentu pada akhirnya selalu dihadapkan pada
evaluasi akan kemampuan sistem tersebut dalam upaya penanggulangan tindak
kriminal dan kegagalan suatu sistem ini akan memberi motivasi kepada para
teorisi dan praktisi hukum pidana untuk mencari sistem yang lain.
Di negara amerika serikat pernak dipakai sistem pelaksanaan pidana dengan cara penutupan terus-menerus secara sendiri-sendiri bagi setiap pelaku kejahatan dapat menghayati dan menginstropeksi diri akan perbuatan jahat yang pernah dilakukan yang lebih utama lagi ditujukan agar tidak terjadinya kontak antara narapidana yang satu dengan yang lainnya, sehingga terhindar dari salah satu ekses pelaksanaan pidana yaitu penularan cara-cara melakukan perbuatan pidana. Selanjutnya pada salah satu negara bagian ynag di amerika serikat pernah pula dipakai sistem penutupan pada malam hari saja, sedangkan pada siang hari mereka
30
dipekerjakan tanpa boleh berbicara satui sama lain. Kemudian di irlandia dipergunakan sistem penutupan terus-menerus pada permulaan pelaksanaan pidana, kemudian diberikan pekerjaan dan secara bertahap diberikan kelonggaran hingga habisnya masa pidana. (Bambang Pornomo, 1982 : 20).
Selanjutnya di bawah ini akan diuraikan sistem Pemasyarakatan yang
dipakai sebagai sistem perlakuan terhadap narapidana Indonesia.
Sistem adalah suatu totalitas yang terpadu dari komponen-komponen
atau unsur-unsur yang satu sama lain berbeda namun saling berkaitan, merupakan
suatu pola atau model yang mantap, sehingga dapat diterapkan secara dalam
pelaksanaan suatu tujuan.
Sistem pemasyarakatan merupakan sub sistem dalam tata peradilan
pidana di Indonesia. Sub-sub sistem tersebut terdiri dari penyidik, penuntut
umum, pengadilan negeri, dan lembaga pemasyarakatan.
Pengertian sistem pemasyarakatan menurut Pola Pembinaan
Narapidana dan Tahanan adalah : “Bagian dari tata peradilan pidana dari segi
pelayanan tahanan, pembinaan barapidana, anak negara dan bimbigan klien
pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu (dilaksanakan bersama-sama
dengan semua aparat penegak hukum) dengan tujuan agar mereka setelah
menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik.
Dalam koperensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang
Bandung yang dilaksanakan pada tanggal 27 April sampai dengan 7 mei 1964,
menghasilkan keputusan bahwa pemasyarakatan tidak hanya semata-mata
31
merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan juga merupakan suatu sistem
perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang
disebut sistem pemasyarakatan. Keputusan lain yang dihailkan pada koperensi
tersebut yaitu pada tanggal 27 April 1964 ditetapkan sebagai hari lahirnya
pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan merupakan perkembangan dari sejarah
perlakuan terhadap pelaku kejahatan di Indonesia, perkembangan mana
merupakan indikasi adanya ketidakpuasan para ahli hukum terhadap ketidak
berhasilan cara-cara perlakuan terdahulu dalam rangka penanggulangan tindak
kriminal.
Sistem pemasyarakatan menempatkan narapidana sebagai konsep
pembinaan, dimana pembinaan tersebut bertitik tolak dari terjadinya proses
tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh pendidikan (ilmu pengetahuan),
lingkungan dinama seseorang hidup serta kemampuan keterampilan (skill), guna
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan dilandasi oleh pemikiran demikian, maka pola pembinaan
narapidana diwujudkan dalam tiga (3) bentuk yaitu:
1. Pembinaan mental kerohanian, yang melihat aspek manusia sebagai mahluk pribadi (individu) yang berkebutuhan.
2. Pembinaan sosial kemasyarakatan, yang melihat aspek manusia sebagai individu yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain dalam masyarakat.
32
3. Pembinaan keterampilan kerja, yang melihat aspek manusia sebagai anggota masyarakat yang dalam hidupnya membutuhkan kemampuan dan keterampilan kerja guna mempertahankan hidupnya.
Ketiga macam bentuk pembinaan tersebut, dituangkan dalam pola
bentuk pembinaan narapidana selama ia beradadalam Lembaga Pemasyarakatan.
33
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan terhadap keberhasilan
pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II
A Lubuk Linggau
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Parid Wajdi Kasi
Binadik Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Lubuk Linggau Pada
tanggal 3 Juli 2006 menyatakan bahwa tugas-tugas Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) adalah sebagai berikut:
1. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dari bimbingan
dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan
2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan bimbingan
3. Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan pemasyarakatan.
Sedang menurut Bapak Surahmat Kasubsi Bimaswat Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Lubuk Linggau yang penulis wawancarai
pada tanggal 4 Juli 2006 menyatakan bahwa Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP) ini melakukan penilaian terhadap pembinaan narapidana yang bertujuan
34
agar mereka dapat menjadi manusia yang seutuhnya sebagaimana yang telah
menjadi arah pembangunan nasional. Yaitu melalui jalur pendekatan :
1. Memantapkan Iman (Ketahanan Mental) narapidana
2. Membina masyarakat agar mampu berintegrasi secara wajar di dalam
kehidupan kelompok selama dalamlembaga Pemasyarakatan dan kehidupan
yang lebih luas (masyarakat) setelah menjalani pidananya.
Pembinaan bagi narapidana ditujukan agar selama menjalani masa
pidananya, tugasnya yaitu :
1. Memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis untuk masa depannya.
2. Memberi pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.
3. Menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap prilakunya yang tertib serta mampu menggalang rasa kesetiaan.
Selain itu fungsi Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) adalah sebagai
berikut :
1. Melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pemasyarakatan
2. Melakukan pengawasan terhadap :
a. Pemberian makanan narapidana
b. Ketahanan narapidana
c. Kebersihan terhadap tempat atau sel narapidana/tahanan
d. Pemberian pakaian narapidana
e. Mengadakan rekreasi bagi narapidana
3. melakukan pengmatan terhadap keterampilan yang diberikan.
35
Dalam pasal 12 Sub a, Peraturan Menteri kehakiman Nomor
M.a.PE.10 tahun 1990, menyebutkan :Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada
lembaga pemasyarakatan setelah mendenngar pendapat anggota Tim serta
memperlajari laporan penelitian kemasyarakatan anggota tim serta mempelajari
laporan penelitian kemasyarakatan dari balai Bispa mengusulkan kepada Direktur
(Kepala) Lembaga Pemasyarakatan yang dituangkan pada formulir yang telah
ditetapkan untuk itu.
Dengan melihat bunyi pasal 12 sub a Peraturan Menteri Kehakiman
tersebut sesuai dengan tujuan pemasyarakatan yaitu untuk memperbaiki
pelanggar hukum (dalam usaha mengangkat harkat dan martabat manusia dalam
hal ini narapidana di lembaga pemasyarakatan, jadi menuju kearah rasionalisasi.
Oleh Surta Keputusan Direktorat Pemasyarakatan Nomor KP.10/3/7 tanggal 8
Februari 1965, bahwa pelaksanaan pemasyarakatan harus didasarkan asas
Perikemanusiaan, pengayoman dan tut wuri handayani.
Dalam sistem pemasyarakatan proses pembinaan narapidana tidak saja
dilakukan di dalam lembaga tetapi juga pembinaan dilakukan di luar lembaga.
Proses pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan yang
berperan
36
adalah TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) serta petugas lembaga lebih
menonjol daripada pembinaan yang dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan.
Surahmat selaku Kasubsi Bimaswat dan juga merupakan sekretaris
TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) di lembaga pemasyarakatan Narkotika
Klas II A Lubuk Linggau yang penulis wawancarai padatanggal 5 Juli 2006
mengatakan :
Proses pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Narkotika
Klas II A Lubuk Linggau dilaksanakan dengan berpedoman pada surat Edaran
Direktorat Pemasyarakatan Nomor Kp.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965, tentang
Pemasyarakatan sebagi proses, dimana pembinaan narapidana dilaksanakan
melalui 4 tahapan, yaitu :
1. Tahap Observasi/Maksimum Security
2. Tahap pembinaan/Medium Security
3. Tahap Asimilasi/Minimum Security
4. Tahap Integrasi/Menjelang Bebas
Selanjutnya Yuspachruddin selaku Anggota Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas II A Lubuk Linggau yang penulis wawancarai pada tanggal 6 Juli
2006 mejelaskan tahab-tahab pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Lubuk Linggau adalah sebagai berikut:
a. Tahap Observasi/Maksimum Security
37
tahap ini dilakukan terhadap narapidana yang baru masuk ke lembaga
pemasyarakatan, oleh TPP dilakukan suatu penilaian yaitu dengan jalan
mengadakan penelitian pada narapidana tersebut untuk mengetahui segala hal
ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia melakukan
kejahatan/pelanggaran dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat
diperoleh dari keluarganya, bekas majikan/atasannya, satuan informasi korban
dari perbuatannya serta petugas instansi lain yang telah menangani
perkaranya. Pada tahap ini pengamanan dilakukan amat ketat, maksimum
security diberikan pada narapidana yang status napinya dari 0 sampai 1/3
masa pemidanaannya.
b. Tahap Pembinaan /Medium Security
pada tahap ini proses pembinaan terhadap narapidana berlangsung 1/3
sampai ½ dari masa pidana yang sebenarnya, pada tahap ini narapidana sudah
boleh keluar dari sel tahanannya namun masih mendapat pengawalan dari
petugas. Seorang narapidana untuk dapat dokategorikan pada tahap ini sudah
menjalani 1/3 sampai ½ dari masa pidananya juga harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) atas
dasar kriteria sebagai berikut:
1. Narapidana tersebut telah menunjukan adanya kemajuan
38
2. Narapidana tersebut telah menunjukan adanya keinsyafan, perbaikan
disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga
pemasyarakatan.
c. Tahap Asimilasi / Minimum Security
pada tahap ini pembinaan pada narapidana yang telah menjalani ½
dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut TPP (Tim Pengamat
Pemasyarakatan) telah dicapai kemajuan baik secara fisik maupun mental dan
juga dari segi keterampilannya.
Dalam hal ini Surahmat mengatakan : “Narapidana yang telah
mencapai masa pembinaan ½ dari masa pidananya atau lebih maka
narapidana tersebut akan dipanggil ke sidang TPP (Tim Pengamat
Pemasyarakatan) untuk didengar dan diketahui bagaimana kemajuan
pembinaan terhadapnya. Hasil dari sidang tersebut diajukan ke Kalapas untuk
mempertimbangkan agar napi tesebut dapat diberikan Asimilasi dengan
masyarakat luar, antara lain:
a. Ikut beribadah bersama masyarakat
b. Berolah raga bersama
c. Mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum
d. Bekerja diluar
Akan tetapi pelaksanaannya masih dibawah pengawasan bimbingan petugas
lembaga, pada tahap ini narapidana tidak lagi mendapat pengawalan ketat.
39
d. Tahap Integrasi/Menjelang Bebas
pada tahap ini proses pembinaan telah dijalankan 2/3 dari masa pidana
yang sebenarnya, maka terhadap narapidana akan dipanggil lagi oleh TPP
(Tim Pengamat Pemasyarakatan) dan didalam sidang TPP (Tim Pengamat
Pemasyarakatan) ini narapidana yang akan diberikan CMB (Cuti Menjelang
Bebas) dan PB (Pembebasan bersyarat) ini akan dinilai terlebih dahulu apakah
napi-napi tersebut berhak untuk mendapatkan hak tersebut akan diusulkan ke
Kanwil Kehakiman untuk mendapatkan persetujuannya.
Adapun wujud pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga
Pemasyarakatan yaitu :
a. pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan.
b. Pembinaan di luar Lembaga Pemasayarakatan
Sebelum diajukan pembinaaan ke luar atau tetap di dalam lembaga
pemasyarakatan, maka dilakukan terlebih dahulu Litmas (penelitian
Masyarakat) untuk bahan sidang TPP sebagai bahan pertimbnagan, yang akan
penelitian ini diambil 5 sampel penelitian masyarakat, yaitu: a). 3 sampel
hasil Litmas untuk pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang
masing-masing yaitu :
1. Harjoni afriansyah
2. Sandi Umaya
3. Muslim bin bakar
40
Sedangkan 2 orang napi hasil Litmas untuk pembinaan di luar
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Lubuk Linggau , yaitu :
1. Lukman bin Rozali
2. Yudi bin Wancik
Adapun format Litamas yang terdiri dari informasi-informasi sebagai
berikut :
a. Identitas : yang terakhir dari identitas klien, indentitas isteri/suami klien
jika sudah beristri/bersuami, dan susunan keluarga klien
b. Masalah klien : yang isinya perkara yang dilakukan, penjatuhan hukuman
yang diberikan, nilai-nilai, serta hal-hal yang diberikan selamaia
melakukan hukuman, untuk bahan pertimbnagan
c. Perkembangan pembinaan klien selama di dalam lembaga pemasyarakatan
yaitu : pribadi klien, kesehatan klien, cita-cita dan harapan klien, hobby
klien, pendidikan dan keterampilan kerja yang diperoleh, hubungan sosial
terhadap petugas sesama penghuni dan keluarga.
d. Keadaan keluarga, yaitu Riwayat perkawinan klien, relasi sosial dalam
keluarga relasi sosial keluarga terhadap lingkungan, keadaan sosial
ekonomi keluarga, keadaan rumah.
e. Keadaan lingkungan masyarakat, yaitu : strata kehidupan sosial, keadaan
lingkungan masyarakat.
41
f. Tanggapan-tanggapan yaitu : tanggapan pihak keluarga, tanggapan pihak
keluarga korban, tanggapan pemerintah dan masyarakat setempat.
g. Kesimpulan dan saran.
Untuk sample pertama yaitu untuk pembinaan di luar yaitu :
1 Lukman Bin Rojali.
a. Kesimpulan
Bedasarkan dari data-data yang diperoleh dari petugas
Pemasyarakatan dan setelah dievaluasi, maka Petugas Kemasyarakatan dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
a. Klien baru pertama kali melakukan tindak pidana
b. Klien menyesali atas perbuatan yang dilakukannya dan berjanji tidak akan
mengulangi
c. Tanggapan pihak keluarga dan korban tidak dapat petugasPemasyarakatan
jelaskan karena tidak berhasil Petugas Kemasyarakatan
d. Pemerintah dan masyarakat setempat bersedia menerima kehadiran klien
ditengah-tengah mereka, apabila ada pihak keluarga klien yang menjamin
f. Perilaku klien dalam lapas cukup baik, patuh dan taat pada aturan yang
berlaku
g. Klien cukup taat mengerjakan sholat lima waktu
b. Saran
42
Berdasarkan kesimpulan di atas, Petugas kemasyarakatan
menyarankan agar klien tetap dibina di dalam lembaga pemasyarakatan,
karena tidak ada satupun pihak keluarga klien yang menjamin, bila klien
mendapatkan pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan.
a. Kesimpulan
Dari data yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut::
1. Klien baru pertama kali menjalani pidana di lapas, menyesali
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengeulanginya lagi.
2. Sikap dan perilaku klien selama dalam lembaga pemasyarakatan dapat
menyesuailkan diri dengan lingkungan
3. Ibu kandung klien bersedia menjamin baik moril maupun materil
4. Masyarakat dan pemerintah setempat bersedia menerima klien tersebut
sebagai warga mereka apabila memperoleh pembinaan luar kalapas dan
bersedia ikut serta membina dan mengawasi klien.
5. Kemungkinan tidak terjadi masalah apabila klien dibina di luas lapas
b. Saran:
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka TPP
menyarankan sebagai berikut :
1. Agar klien diberikan pendidikan keterampilan kerja untuk menambah
pengetahuan bila klien nantinya bebas
43
2. Bila telah memenuhi persyaratan/ketentuan yang berlaku TPP setuju
apabila klien diberikan pembinaan luar lapas terutama pembebasan
bersyarat atau cuti menjelang bebas.
Demikian pene;litian kemasyarakatan ini dibuat untuk dapat
digunakan sebagai bahan pembinaan klien selanjutnya.
Ad. 3). Sandi Umaya pasal 338 KUHP
a. Kesimpulan :
Dari hasil penelitian penulis dengan Petugas Kemasyarakatan
dilapangan serta data-data yang ada maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Klien baru pertama kali melakukan tindak pidana dan dinyatakan
bersalah melanggar pasal 338 KUHP, oleh pengadilan negeri manna
dijatuhi hukuman 8 tahun penjara
b. Sikap dan prilaku klien sebelum dan selama di dalam lapas cukup baik
serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya
c. Orang tua klien serta saudara-saudara klien yang lainnya bersedia
menjamin baik moril maupun materil dan sanggup membina serta
mengawasi klien.
d. Pihak korban berada di manna dan tidak diketahui alamatnya.
e. Masyarakat dan pemerintah setempat bersedia menerima kembali klien
sebagai warga mereka.
b. Saran
44
Berdasarkan hasil penelitian dan data-data yang diperoleh dan telah
diuraikan diatas maka pembimbing kemasyarakatan (PK) Balai
Pemasyarakatan Lubuk Linggau setuju klien diberikan pembebasan bersyarat
(PB) apabila setelah memenuhi persyaratan lainnya.
Demikianlah penelitian kemasyarakatan ini dibuat untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sedangkan dalam hal pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan
nama sampelnya yaitu :
1. Lukman bin Rozali
a. Kesimpulan
Berdasarkan dari data-adata yang diperoleh PK dan setelah dievaluasi,
maka PK dapat menyimpulkan sebagai berikut :
a. Klien baru pertama kali melakukan tindak pidana
b. Kilen menyesali atas perbuatan yang dilakukannya dan berjanji tidak
akan mengulanginya lagi
c. Tanggapan pihak keluarga dan korban tidak dapat PK jelaskan karena
tidak berhasil PK temui.
d. Pemerintah dan masyarakat setempat bersedia menerima kehadiran
klien ditengah-tengah mereka, apabila ada pihak keluarga klien yang
menjamin
45
e. Perilaku klien di dalam lapas cukup baik, patuh dan taat pada aturan
yang berlaku
f. Klien cukup taat mengerjakan sholat lima waktu
b. Saran
berdasarkan kesimpulan diatas, PK menyarankan agar klien tetap
dibina di luar lembaga pemasyarakatan, karena tidak ada satupun pihak
keluarga yang menjamin, bila klien mendapatkan pembinaan diluar lembaga
pemasyarakatan.
2. Yudi bin Wancik
a. Kesimpulan
Berdasarkan dari data-data yang telah dievaluasi, maka Pembimbing
kemasyarakatan berkesimpulan sebagai berikut :
1. Klien baru pertama kali melakukan tindak pidana
2. Selama menjalani hukumannya, prilaku klien cukup baik, patuh dan taat
pada peraturan yang berlaku, oleh karena itu klien mendapatkan remisi
sebanyak 2 tahun 5 bulan.
3. Pihak keluarga tidakdapat Pembimbing Kemasyarakatan jelaskan, karena
tidak berhasil pembimbing kemasyarakatan temui dan tidak dikerahui
identitasnya yang jelas sungguhpun ia telah pindah ke lubuk linggau
4. Pihak korban tidak menaruh dendam dan setuju bila klien mendapatkan
pembinaan di luar lembaga kemasyarakatan.
46
5. Pemerintah dan masyarakat setempat bersedia menerima kehadiran klien
ditengah-tengah mereka apabila ada pihak keluarga yang menjamin.
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, pembimbing kemasyarakatan
menyarankan agar klien tetap dibina di luar lembaga pemasyarakatan karena
tidak ada satupun keluarga klien yang menjamin, bila klien mendapatkan
pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan.
Demikian laporan penelitian kemasyarakatan ini dibuat agar dapat
berguna bagi pembinaan klien selanjutnya.
Hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) ini merupakan suatu
penilaian yang dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) terhadap
Napi agar dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB), pembebasan
bersyarat (PB), serta asimilasi napi tidak mengalami kesulitan dalam
menghadapi lingkungan dimana ia tinggal, sedangkan bagi narapidana yang
terlibat dalam tindakan pidana Subversi, pidana korupsi, penyelundupan,
perjudian dan narkotika yang mana banyak menimbulkan keresahan dan
menarik perhatian, dalam hal pembinaannya harus dilakukan melalui
perhatian khusus dan kepada mereka tidak diberikan asimilasi, pembebasan
bersyarat dan cuti menjelang bebas sesuai dengan peraturan meneteri
kehakiman RI.No.M.01-PK.04.10 tahun 1990.
47
Sistim pembinaan yang ada di lembaga pemasyarakatyan tidak
terlepas dari peranan TPP, baik di dalam maupun di luar lembaga
pemasyarakatan. Proses pembinaan napi itu dilaksanakan berdasarkan surat
edaran direktorat pemasyarakatan Nomor 13/3/1 tanggal 8 Februari 1965
tentang pemasyarakatan, yang dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu dari
narapidana itu masuk sampai menjelangbebas tidak terlepas dari penilaian
TPP.
Manusia bertingkah laku sesuai dengan sikap yang melekat di dalam
diri orang tersebut. Akantetapi hal ini bukan berarti bahwa sikap seseorang
tidak bisa dirubah. Demikian puala halnya dengan sikap narapidana yang
dibentuk selama menjalani narapidanannya, maka untuk kembali ke dalam
masyarakat membutuhkan rangsangan-rangsangan yang dapat merubah sikap
narapidana tersebut dalam bentuk kesiapan dirinya agar dapat hidup secara
wajar didalam kehidupan masyarakat.
Dalam konteks tersebut proses sosialisasi dalam kehidupan sosial
narapidana telah lama menjadi obyek studi ahli sosiologi di amerika yang
dulunya dikenal dengan “Prisonization” yang secara esensial berarti proses
sosialisasi didalam masyarakat bebas proses tersebut terjadi dengan
sendirinya yaitu dengan adanya interaksi sosial antara individu yang satu
dengan yang lainnya.
48
Berkenaan dengan sosialisasi terhadap narapidana Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) melakukan penilaian terlebih dahulu kepada para
narapidana yaitu diadakannya pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan.
Program pembinaan yang dilakukan didalam lembaga pemasyarakatan Lubuk
Linggau terhadap napi yaitu diberikannya pekerjaan atau suatu keahlian agar
mereka setelah selesai masa hukumannya mempunyai suatu pekerjaan.
Wujud pembinaan narapidana meliputi :
a. Pendidikan umum, pemberantasan tiga buta (aksara, angka, dan bahasa)
b. Pendidikan keterampilan, las, reparasi, radio, montir, menjahit, anyaman,
rekayasa pipa, ukir, pertukangan dan sebagainya.
c. Pembinaan mental spiritual, pendidikan agama, penataran P4 dan budi
pekerti
d. Sosial budaya, kunjungan keluarga, seni dan lain-lain.
e. Kegiatan rekreasi diarhakan pada pemupukan kesegaran jasmani dan
rohani melalui olahraga, membaca buku.
Pelaksanaan kegiatan ini secara teknis mendapat bimbingan dan
pengawasan langsung dari Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Supaya
narapidana yang telah selesai masa hukumannya tidak lagi melakukan
perbuiatan yang bertentangan dengan hukum.
49
Untuk pelaksanaan pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan Tim
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) mempunyai peranan dalam hal
menempatkan para narapidana yaitu dengan cara :
a. Narapidana yang akan diberikan pembinaan diluar dipanggil terlebih
dahulu oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di sidang untuk diberi
penilaian berhak atau tidaknya si napi diberikan pembinaan diluar
lembaga.. TPP mempunyai hak untuk menempatkan si napi di mana napi
itu akan dilakukan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan.
b. Apabila ada masalah di dalam maupun di luar lembaga pada waktu
dilakukan pembinaan, maka napi itu dapat
memberitahukan/menyampaikan permasalahannya kepada seorang wakil
yang ditunjuk dari TPP
c. Sebelum menempatkan napi tersebut Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP) melakukan Litmas (penelitian masyarakat) terlebih dahulu, apakah
keluarga atau masyarakat yang ada siap menerima napi tersebut.
Program pembinaan yang disarankan oleh TPP kepada LP dalam
upaya sosialisasi napi di masyarakat setelah mereka selesai menjalani masa
hukuman, menurut dua orang napi yang diambil sebagai sample untuk
mewakili dari 25 orang napi yang sudah melakukan pembinaan keluar
(asimilasi), yaitu :
50
1. Lukman Hakim Bin Rozali :
Selama ia mendapatkan binaan oleh LP merasakan telah mempunyai
keahlian dibidang pertukangan dan dalam hal membaca ia sudah bisa dan
pernah bekerja di tempat mebel.
2. Yudi Bin Wancik
Manfaat TPP yang saya rasakan yaitu diberikan kesempatan kepada saya
untuk bekerja di dalam LP yaitu dibidang kebersihan pasar”
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas penulis mempunyai kesimpulan
bahwa dalam hal ini TPP berperan sebagai :
1. Memberikan penilaian terhadap napi dalam hal akan dipekerjakannya
sesuai keahlian yang telah dimilikinya.
2. TPP mempunyai hak untuk menempatkan di mana seseorang napi akan
melakukan asimilasi.
3. Apabila seseorang napi mengalami kesulitan atau mendapatkan persoalan
dalam melaksanakan asimilasi mereka dsapat memberitahukan kepada
seorang wakil yang ditunjuk untuk mengawasi napi tersebut oleh TPP.
Demikian hal-hal yang dilakukan oleh TPP agar dalam sosialisasi,
napi tersebut tidak bingung dan diterima dalam masyarakat di mana mereka
akan ditempatkan.
Manfaat TPP dalam upaya sosialisasi napi, TPP memberikan penilaian
terhadap napi melalui asimilasi, yang dalam hal penempatannya dilakukan
51
terlebih dahulu penelitian masyarakat (litmas) serta mereka telah diberikan
pendidikan mental ketrampilan atau keahlian di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
2. Kendala yang dihadapi oleh TPP dalam mengajukan narapidana kesidang
TPP
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Surahmat
Kasubsi Bimaswat Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Lubuk
Linggau yang penulis wawancarai pada tanggal 6 Juli 2006 menyatakan bahwa,
kendala yang dihadapi oleh TPP dalam melaksanakan tugasnya diantaranya
masalah biaya, misalnya sebelum memberikan pembebasan bersyarat atau cuti
menjelang bebas kepada napi, napi tersebut harus dilitmas terlebih dahulu yaitu
dengan cara TPP mengutus anggotanya mendatangi tempat tinggal si Napi untuk
mengamati tentang keluarganya si napi, rumah tempat dia tinggal, lingkungan
sekitar, sanak keluarganya dan sebagainya. Tidak jarang Tim yang mengadakan
Litmas tersebut mendatangi tempat yang jauh hingga harus mengeluarkan biaya
yangbanyak, sedangkan biaya yang ada terbatas.
Selain itu masih ada hambatan yang dihadapi oleh TPP dalam
melaksanakan tugasnya, yaitu :
a. Napi tersebut tidak pernah dibesuk oleh keluarganya
b. Banyak keluarga napi yang tidak menyukai lagi si napi tersebut menjadi
bagian keluarganya
52
c. Tidak diketahui alamat yang pasti dari si napi karena tempatnya jauh di
perkampungan
Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka upaya yang dilakukan TPP
menurut sekretaris TPP adalah :
1. Terhadap napi yang tidak pernah dibesuk oleh keluarganya, maka napi
tersebut dipanggil ke sidang TPP untuk ditanyakan sebab ia tidak
dijenguk/dibesuk oleh keluarganya, apabila napi itu mengatakan rumah orang
tuanya jauh drai tempat/wilayah lembaga pemasyarakatan ini. Untuk itu maka
pihak LP akan mengambil inisiatif untuk mendatangi tempat tinggal si napi
tersebut atau TPP menanyakan apakah ada alamat keluarga/familinya yang
terdekat yang dapat dihubungi.
2. Banyak keluarga napi yang tidak mengakui lagi napi tersebut bukan bagian
dari keluarganya. Terhadap hal ini biasanya pihak TPP mengutus seseorang
untuk mendatangi keluarga dari napi tersebut untuk dapat diberi pengertian
agar/mau menerima napi tersebut kembali. Sedangkan apabila pihak TPP
sudah mendatangi keluarga dari napi tersebut dan tetap tidak mau menerima
maka terhadap napi tidak dapat diberi cuti menjelang bebas. Maka untuk itu
TPP mengambil kebijaksanaan bahwa napi tersebut tetap dipekerjakan
didalam menjelang habis masa hukumannya atau bebas.
3. Tidak diketahui alamat yang pasti dari Napi karena tempat tinggalnya jauh
diperkampungan. Terhadap hal ini biasanya napi tersebut tinggal sama orang
53
lain atau biasanya kost dan orang tuanya tinggal didaerah terpencil di
perkampungan, kalau dimungkinkan dikunjungi seseorang dari TPP diutus
mencari tempat tinggalnya tetapi kalau tidak diketahui secara pasti sedangkan
tempatnya jauh, maka TPP juga mengambil kebijaksanaan bahwa napi
tersebut tetap dipekerjakan didalam LP sehingga habis masa hukumannya.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan baik
melalui penelitian perpustakaan yaitu dilakukan dengan cara
menggali dan membaca buku-buku dan peraturan perundang-
undangan serta ditambah melakukan penelitian lapangan
kesemuanya ini akan penulis bahas dan dihubungkan dengan
penulisan skripsi yaitu bahwa peranan Tim Pengamat
Pemasyarakatan terhadap keberhasilan pembinaan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Lubuk Linggau
melalui empat tahap yaitu tahap kesatu memberikan saran
mengenai bentuk, dan program pembinaan pengamanan dan
bimbingan terhadap rarapidana dalam melaksanakan sistem
pemasyarakatan sesuai dengan prosedur yang berlaku kedua
membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan,
pengamanan dan bimbingan kepada setiapnara pidana di Lembaga
54
Pemasyarakatan, tahap ketiga menerima keluhan dan pengaduan
dari para narapidana yang harus ditampung oleh Tim Penagamat
Pemasyarakatan secara bijak dan adil dan tahap keempat
merupakan mitra kerja Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam
penentuan dan pengambilan kebijakan dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari di Lembaga Pemasyarakatan. dalam melaksanakan
tugasnya TPP mendapat hambatan yang berasal dari permasalahan
internal napi, seperti napi tidak dibesuk keluarga, tidak disukai
oleh keluarga serta tidak memiliki alamat yang pasti, diakibatkan
tingkat kepedulian yang rendah dari keluarga itu sendiri. Secara
psikologis mempengaruhi perilaku napi dan TPP tidak dapat
memberikan fasilitas dari penilaiannya terhadap napi, tanpa ada
keluarga yang tanggung jawab untuk memenuhi persyaratan
administratif yang diterapkan TPP, maka sebagai langkah
alternatif, TPP memberikan kebijakan kepada napi tersebut untuk
dipekerjakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Adapun fungsi Hakim Wasmat yaitu:
1. Melihat perkembangan pembinaan terhadap Napi. Tujuan dari pada
penjatuhan pidana tersebut kepada napi adalah untuk merubah perilaku napi
supaya menjadi orang yang baik
55
2. untuk melihat apakah hukuman yang dijatuhkan tersebut sudah efektif atau
belum, bermanfaat atau tidak
3. untuk melihat apakah hak-hak napi tersebut sudah diberikan hak-hak dari
napi tersebut antara lain, hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, hak
untuk mendapat remisi, hak untuk mendapatkan cuti menjelang bebas
(CMB), hak untuk dibesuk anggota keluarga.
4. untuk mengontrol Napi, apakah selama napi menjalankan masa hukumannya
di LP diperlakukan secara manusiawi atau tidak.
Antara Hakim Wasmat dengan anggota TPP itu harus saling
koordinasi satu sama lain terutama apabila ada kelainan-kelainan atau ada
masalah tertentu. Masalah tertentu dalam hal ini misalnya ada napi yang nakal
atau membuat onar di LP. Maka untuk mengantisipasi hal trsebut TPP bersama
Hakim Wasmat mengadakan pertemuan untuk mengatasi hal tersebut. Dari
wawancara penulis dengan HakimWasmat, dikatakan selama ini TPP dan Hakim
Wasmat jarang mengadakan pertemuan, lebih lanjut dijelaskan karena sampai
sejauh ini para napi tersebut tak pernah ada masalah, dan koordinasi antara
Hakim Wasmat dengan TPP berbentuk laporan bulanan dari hasil pembinaan
TPP di Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam laporannya (hasil rapat TPP), hakim wasmat memberikan
saran-asaran apa yang sebaiknya dilakukan. Saran tersebut dimasukkan kedalam
laporan TPP. Penilaian terhadap napi yang dilakukan oleh Hakim Wasmat dan
56
TPP dilakukan setiuap hari. Laporan hasil penilaian tersebut dilaporkan setiap 3
bulan sekali (Tri wulan), Januari, April, Juli dan Oktober. Dengan
adanya/keikutsertaan hakim wasmat dalam TPP, maka pembinaan trhadap napi
tersebut akan menjadi lebih serius. Maksudnya napi yang ada di LP tersebut
benar-benar dibina supaya tercapai tujuan yang diinginkan. Selama ini, setiap
ditanya apakah napi tersebut diberlakukan dengan baik, maka napi tersebut selalu
menjawab baik, demikian pula dengan petugas.
Hakim Wasmat memiliki peranan terhadap pembinaan, pemberlakuan
napi di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Hakim Wasmat dalam pembinaan napi
di dalam lembaga pemasyarakatan hanya sebatas memberikan saran/masukan ke
TPP bila ada permasalahan dalam proses pembinaan napi. Selain itu hakim
Wasmat mempunyai kewajiban untuk melihat langsung bagaimana napi
diperlakukan menjalani hukuman dan apakah napi sudah memperoleh hak-
haknya selama menjalani hukuman.
57
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan permasalahan-permasalahan pada bab-
bab sebelumnya, maka penulis mempunyai kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan terhadap keberhasilan
pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A
Lubuk Linggau melalui tiga tahap yaitu :
a. Memberikan saran mengenai bentuk, dan program pembinaan,
pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem
pemasyarakatan sesuai dengan proserdur yang berlaku.
b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan
dan bimbingan kepadasetiap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
58
c. Menerima keluhan dan pengaduan dan penanmpungan dari para
narapidana yang harus ditampung oleh para petugas Tim Pengamatan
Pemasyarakatan secara bijak dan adil.
d. Sebagai mitra kerja Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam penentuan
dan pengambilan kebijakan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di
Lembaga Pemsyarakatan.
2. Bahwa Kendala yang dialami oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)
dalam mengajukan narapidana ke sidang Tim Pemgamatan Pemasyarakatan
adalah sebagai berikut:
a. Ada kalanya saran, penilaian terhadap narapidana yang di sidang TPP
tidak sejalan dengan kebijakan dan keputusan yang diambil oleh Kepala
Lembaga Pemasyarakatan maksudnya penilaian dan saran Tim TPP untuk
mengarahkan narapidana di perbantukan pada suatu tempat (misalnya
kebersihan, taman, dapur) berbeda dengan pendapat Kepala Lembaga
Pemasyarakatan yang menginginkan hal tersebut lebih dikeluarkan lagi
penempatannya, sedangkan keputusdan mutlak untuk pembuatan SK
penempatan kerja (membantu kegiatan Lembaga Pemasyarakatan .
b. Penagatuhuan dan pengamatan anggota TPP terhadap narapidana yang
akan disidangkan kadang kala terbatas, sehingga dalam pemberian saran
dan penilaian penempatan kerja membantu kegiatan Lembaga
Pemasyarakatan tidak sesuai dengan bakat dan kemampuan narapidana.
59
c. Bahwa kadang kala narapidana yang disidamngkan TPP proses
pembinaan kurang terpantau. Halini jelas mempengaruhi anggota Tim
TPP dalam pemberian saran dan penilaian.
B. Saran-asaran
Sehubungan dengan kesimpulan di atas penulis ingin menyampaikan
untuk sebagai bahan pertimbnagan atau saran yang sebagai berikut :
1. Dilihat dari kendala-kendala yang dihadapi oleh TPP di atas kami
menyarankan supaya pihak TPP atau Lembaga Pemasyarakatan agar lebih
mendekatkan diri terhadap napi, serta pada saat-saat tertentu adanya
pemberian informasi atau penyuluhan kepada masyarakat agar apabila ada
seorang napi yang akan dibebaskan tidak lagi merasa dikucilkan.
2. untuk Hakim Wasmat kami menyarankan agar adanya penambahan karena
mengingat sudah banyaknya napi yang ada di Lembaga Pemasyarakatan pada
saat ini khususnya di Bengkulu, karena dengan adanya penambahan hakim
Wasmat itu pengawasan terhadap napi lebih terfokus dan untuk koordinasinya
dengan TPP agar dalam hal bekerjasama Hakim Wasmat harus lebih aktif.
60
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Atmasasmita, Romli dan R. Rahmad S. Soemodipradja, 1979, Sestem Pemasyarakatan Indonesia, Jakarta, Dira Cipta.
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty , Yogyakarta.
Hamzah, Andi dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia Akademi Presindo, Jakarta.
Hamzah, Andi, 1990. Sestem pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakaarta, Pradnya Paramita,
J. Sopranto, 1981, Metodelogi Penelitian Sosial, Media Cipta, Jakarta. Prakoso, Joko, 1988, Hukum Penieteinseir Indonesia, Yogyakarta, Liberty.
Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Renika Cipta. Ronny Hanitidjo,1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimateri, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Saleh, Roeslan, 1986, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru Yogyakarta.
61
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, Tentang Pemasyarakatan.