pemberian salin hipertonik 3% selama kraniotomi pada pasien dengan ... · dengan cedera awal dan...

59
135 Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan Cedera Otak Traumatik Memberikan Relaksasi Otak yang Lebih Baik Dibandingkan dengan Manitol 20% Made Ayu Damayanthi*, I Ketut Sinardja*, I Nyoman Golden** * Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif ** Bagian Bedah/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Manitol telah dipakai secara luas sebagai pilihan osmoterapi untuk menurunkan masa otak baik itu akibat cedera otak maupun tumor. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salin hipertonik sama efektifnya bahkan lebih baik dalam menurunkan tekanan intrakranial maupun menurunkan masa otak intraoperatif. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik 3% dibandingkan dengan manitol 20% selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak traumatik. Subyek dan Metode: Empat puluh dua pasien dengan cedera otak traumatik yang memenuhi kriteria eligibilitas diikutsertakan dalam penelitian uji klinik prospektif ini. Keempatpuluhdua pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok A menerima 5 mL/kgBB salin hipertonik 3% dan kelompok B menerima 5 mL/kgBB mannitol 20% yang diberikan saat insisi kulit kepala selama 15 menit. Pada saat pembukaan duramater, dokter bedah saraf menilai relaksasi otak berdasarkan skala empat poin, selanjutnya data relaksasi otak dibagi menjadi data dikotom (favorable dan unfavorable). Analisis statistik dilakukan uji chi-kuadrat dan nilai p<0,05 dianggap signifikan. Hasil: Kondisi otak favorable didapatkan pada 19 pasien (90,5%) pada kelompok A dan 13 pasien (61,9%) pada kelompok B. Analisis statistik menyebutkan kondisi relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik 3% bermakna lebih baik dibandingkan dengan manitol 20% (uji chi-kuadrat), nilai p<0,05). Simpulan: Pemberian salin hipertonik 3% selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak traumatik memberikan relaksasi otak yang lebih baik dibandingkan manitol 20% Kata kunci: cedera otak traumatik, kraniotomi, manitol 20%, relaksasi otak, salin hipertonik 3% JNI 2013;2(3): 13539 Hypertonic Saline 3% Provide a Better Brain Relaxation During Craniotomy in Patients with Traumatic Brain Injury Compared to Mannitol 20% Abstract Background and Objective: Mannitol has been widely used as an osmotherapy agent to reduce brain mass caused either by brain injury or tumor. Many studies argued that hypertonic saline is as effective or even better in reducing intracranial pressure and intraoperative brain mass. The purpose of this study was to evaluate brain relaxation after administration of hypertonic saline 3% compared to mannitol 20% during craniotomy in patients with traumatic brain injury. Material and Methods: Forty two patients who met the eligibility criteria were enrolled into this prospective clinical trial. Patients were randomized into two groups, group A received 5 mL/kg of hypertonic saline 3% and group B received 5 mL/kg of mannitol 20% at scalp incision, infused in 15 minutes. After opening duramater, neurosurgeon assessed brain relaxation on four-point scale. Data were dichotomized into two points (favorable and unfavorable) and analyzed by chi-square test, p-value less than 0.05 was considered significant. Results: Favorable brain were observed in 19 patients (90.5%) in group A and 13 patients (61,9%) in group B. Statistical analysis showed that brain relaxation after administration of hypertonic saline 3% was significantly better compared to mannitol 20% (chi-square test, p-value less than 0.05). Conclusion: The present study demonstrated that administration of hypertonic saline 3% provides better brain relaxation during craniotomy in patients with traumatic brain injury compared to mannitol 20%. Keywords: brain relaxation, craniotomy, hypertonic saline 3%, mannitol 20%, traumatic brain injury JNI 2013;2(3): 13539

Upload: vominh

Post on 06-Mar-2019

260 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

135

Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan

Cedera Otak Traumatik Memberikan Relaksasi Otak yang Lebih Baik Dibandingkan

dengan Manitol 20%

Made Ayu Damayanthi*, I Ketut Sinardja*, I Nyoman Golden**

*Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif

**Bagian Bedah/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Manitol telah dipakai secara luas sebagai pilihan osmoterapi untuk menurunkan

masa otak baik itu akibat cedera otak maupun tumor. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salin hipertonik

sama efektifnya bahkan lebih baik dalam menurunkan tekanan intrakranial maupun menurunkan masa otak

intraoperatif. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik 3%

dibandingkan dengan manitol 20% selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak traumatik.

Subyek dan Metode: Empat puluh dua pasien dengan cedera otak traumatik yang memenuhi kriteria eligibilitas

diikutsertakan dalam penelitian uji klinik prospektif ini. Keempatpuluhdua pasien dibagi menjadi dua kelompok,

kelompok A menerima 5 mL/kgBB salin hipertonik 3% dan kelompok B menerima 5 mL/kgBB mannitol 20%

yang diberikan saat insisi kulit kepala selama 15 menit. Pada saat pembukaan duramater, dokter bedah saraf

menilai relaksasi otak berdasarkan skala empat poin, selanjutnya data relaksasi otak dibagi menjadi data dikotom

(favorable dan unfavorable). Analisis statistik dilakukan uji chi-kuadrat dan nilai p<0,05 dianggap signifikan.

Hasil: Kondisi otak favorable didapatkan pada 19 pasien (90,5%) pada kelompok A dan 13 pasien (61,9%) pada

kelompok B. Analisis statistik menyebutkan kondisi relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik 3%

bermakna lebih baik dibandingkan dengan manitol 20% (uji chi-kuadrat), nilai p<0,05).

Simpulan: Pemberian salin hipertonik 3% selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak traumatik

memberikan relaksasi otak yang lebih baik dibandingkan manitol 20%

Kata kunci: cedera otak traumatik, kraniotomi, manitol 20%, relaksasi otak, salin hipertonik 3%

JNI 2013;2(3): 135–39

Hypertonic Saline 3% Provide a Better Brain Relaxation During Craniotomy in Patients with Traumatic

Brain Injury Compared to Mannitol 20%

Abstract

Background and Objective: Mannitol has been widely used as an osmotherapy agent to reduce brain mass

caused either by brain injury or tumor. Many studies argued that hypertonic saline is as effective or even better

in reducing intracranial pressure and intraoperative brain mass. The purpose of this study was to evaluate brain

relaxation after administration of hypertonic saline 3% compared to mannitol 20% during craniotomy in patients

with traumatic brain injury.

Material and Methods: Forty two patients who met the eligibility criteria were enrolled into this prospective

clinical trial. Patients were randomized into two groups, group A received 5 mL/kg of hypertonic saline 3% and

group B received 5 mL/kg of mannitol 20% at scalp incision, infused in 15 minutes. After opening duramater,

neurosurgeon assessed brain relaxation on four-point scale. Data were dichotomized into two points (favorable

and unfavorable) and analyzed by chi-square test, p-value less than 0.05 was considered significant.

Results: Favorable brain were observed in 19 patients (90.5%) in group A and 13 patients (61,9%) in group B.

Statistical analysis showed that brain relaxation after administration of hypertonic saline 3% was significantly

better compared to mannitol 20% (chi-square test, p-value less than 0.05).

Conclusion: The present study demonstrated that administration of hypertonic saline 3% provides better brain

relaxation during craniotomy in patients with traumatic brain injury compared to mannitol 20%.

Keywords: brain relaxation, craniotomy, hypertonic saline 3%, mannitol 20%, traumatic brain injury

JNI 2013;2(3): 135–39

Page 2: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

136 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera otak traumatik merupakan penyebab utama

mortalitas dan morbiditas pada pasien dewasa

muda.1 Proses cedera otak ini menimbulkan cedera

otak primer dan sekunder. Cedera primer berkaitan

dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan

pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau

cedera saraf secara langsung. Cedera primer tidak

dapat dirubah dan dapat memicu sejumlah proses

yang menyebabkan cedera otak sekunder. Cedera

otak sekunder melibatkan perubahan-perubahan

yang disebabkan oleh penurunan aliran darah yang

bisa dicegah dengan melakukan resusitasi segera

untuk memperbaiki tekanan perfusi otak dan

mencegah cedera iskemik.2

Pasien dengan cedera otak traumatik seringkali

membutuhkan tindakan pembedahan baik itu untuk

evakuasi hematom intrakranial maupun untuk

menurunkan tekanan intrakranial. Dalam rangka

pembedahan tersebut, seorang dokter anestesi harus

mampu mengendalikan tekanan intrakranial dengan

tujuan agar otak tetap relaks selama tindakan

sehingga dokter bedah tidak membuat banyak

trauma dengan melakukan banyak retraksi otak. 3

Relaksasi otak selama tindakan kraniotomi

sangatlah penting, terutama pada pasien dengan

hipertensi intrakranial. Relaksasi otak ini telah

dianggap sebagai tolak ukur penilaian proteksi otak

oleh karena dapat menurunkan kompresi pada otak,

hipoperfusi lokal dan iskemia otak.3

Pemberian osmoterapi pada saat awal tindakan kraniotomi sebelum dilakukan membuka duramater

merupakan salah satu tindakan untuk menghasilkan

relaksasi otak. Sampai saat ini hanya 2 obat yang

dipakai untuk tujuan osmoterapi yaitu manitol dan

salin hipertonik. Infus manitol intravena disebut

sebagai standar baku terapi untuk penanganan

peningkatan tekanan intrakranial.4 Meskipun

manitol mendominasi pilihan osmoterapi selama

beberapa tahun, terdapat beberapa keterbatasan dari

manitol. Kejadian hiperosmolalitas sering terjadi

dan kadar osmolaritas serum >320 mOsmol/L

berhubungan dengan efek samping ginjal dan

sistem saraf pusat. Kejadian diuresis osmotik akibat

pemberian manitol dapat menyebabkan hipotensi

terutama pasien yang hipovolemia.5

Beberapa penelitian secara prospektif yang

membandingkan efek manitol dan salin hipertonik

pada tekanan intrakranial menyebutkan bahwa salin

hipertonik sama efektifnya, bahkan lebih baik

dibandingkan manitol dalam menurunkan tekanan

intrakranial.6-10

Sebagian besar penelitian tentang

perbandingan efek manitol dan salin hipertonik

untuk penanganan penurunan tekanan intrakranial

dilakukan di unit perawatan intensif. Sedangkan

penelitian yang membandingkan efek klinis kedua

obat tersebut pada pasien yang menjalani tindakan

bedah saraf belum banyak dilakukan.10

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi

relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik

3% dibandingkan dengan manitol 20% selama

kraniotomi pada pasien dengan cedera otak

traumatik.

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini merupakan uji klinik intervensional

yang dilakukan secara prospektif pada pasien yang

mengalami cedera otak traumatik dan menjalani

operasi bedah kraniotomi di Instalasi Rawat

Darurat RSUP Sanglah Denpasar. Empat puluh dua

pasien dengan cedera otak traumatik yang akan

menjalani operasi bedah kraniotomi diikutsertakan

pada penelitian ini. Data penelitian dikumpulkan

dari bulan November 2012 sampai April 2013.

Kriteria inklusi yaitu pasien dengan cedera otak

traumatik, usia 16-65 tahun, pada gambaran CT

scan kepala ditemukan adanya gambaran fokal lesi

berupa perdarahan subdural atau intraserebral yang

memerlukan tindakan kraniotomi, ditemukan

gambaran edema serebri atau midline shift pada

pembacaan CT scan kepala. Kriteria eksklusi

meliputi pasien dengan status fisik ASA V,

hiponatremia atau hipernatremia praoperasi

(natrium serum <135 atau >145 mEq/L),

mendapatkan terapi hiperosmoler baik manitol

maupun salin hipertonik pada 24 jam terakhir pra

operasi, riwayat gagal ginjal atau gagal jantung

kongestif. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi kemudian dirandomisasi untuk

menerima baik itu salin hipertonik 3% 5mL/kgBB

(osmolaritas=1024 mOsm/L disebut kelompok A)

atau manitol 20% 5 dengan dosis mL/kgBB

(1gr/kgBB, osmolaritas=1098 mOsm/L disebut

kelompok B). Cairan tersebut diberikan saat insisi

kepala selama 15 menit melalui infus vena perifer.

Pasien yang akan dijadikan sampel diperlakukan

sesuai pengelolaan pasien dengan cedera kepala.

Pasien diposisikan head up 30⁰ dan dipastikan tidak

ada obstruksi aliran vena jugularis kanan dan kiri.

Untuk pengelolaan jalan nafas dan ventilasi

dilakukan tindakan laringoskopi intubasi dengan

induksi fentanyl 2 mcg/kgBB, propofol 2

mg/kgBB, lidokain 1,5 mg/kgBB dan pelumpuh

otot vekuronium 0,1mg/kgBB. Pemeliharaan

anestesi dengan sevoflurane 1% dalam oksigen dan

compressed air serta propofol dengan rentang

dosis 3–4 mg/kg/jam; bolus fentanyl dan

vekuronium sesuai kebutuhan dokter anestesi.

Sebelum pembukaan duramater, end-tidal CO2

Page 3: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

137 Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien

dengan Cedera Otak Traumatik Memberikan Relaksasi Otak yang

Lebih Baik Dibandingkan dengan Manitol 20%

dipertahankan pada rentang 35–45 mmHg, saturasi

oksigen dipertahankan 100%, tekanan arteri rerata

dipertahankan kurang lebih 20% dari tekanan arteri

rerata basal dan kebutuhan cairan pemeliharaan

diberikan NaCl 0,9 %.

Penilaian relaksasi otak dilakukan oleh dokter

bedah saraf saat pembukaan duramater. Penilaian

didasarkan atas skala empat poin (1=otak sangat

relaksasi; 2=relaksasi otak cukup memuaskan; 3=

otak tegang tapi tidak membutuhkan penanganan

lanjutan; 4=otak sangat bengkak dan membutuhkan

penanganan lebih lanjut). Tindakan hiperventilasi

sampai rentang end-tidal CO2 30–35 mmHg

didasarkan pada penilaian awal dari relaksasi otak.

Pengelolaan pasca operasi didasarkan pada

penilaian kondisi GCS awal sebelum operasi dan

kondisi pasien selama operasi.

Semua data relaksasi otak kemudian dibagi menjadi

data dikotom (favorable = skala 1 dan 2 pada skala

empat poin; unfavorable= skala 3 dan 4 pada skala

empat poin). Perbandingan relaksasi otak dianalisis

dengan uji chi-kuadrat dan nilai p<0,05 dianggap

signifikan.

III. Hasil

Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kedua

kelompok berdasarkan umur, jenis kelamin, kadar

natrium pra-operasi, osmolaritas darah pra-operasi

dan kondisi GCS pra-operasi. Jumlah kondisi otak

yang favorable pada kelompok salin hipertonik 3%

sebesar 19 orang dan 13 orang pada kelompok

manitol 20%. Sedangkan kondisi orak unfavorable

sebesar 2 orang pada kelompok salin hipertonik 3%

dan 8 orang pada kelompok manitol 20%.

Tabel 1.Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik NaCl 3%

(A)

(n=21)

Manitol

20% (B)

(n=21)

P

Umur (tahun)

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

Berat Badan (kg)

IMT (kg/m2)

Kadar natrium pra-op

Osmolaritas pra-op

GCS

Cedera Kepala Berat

Cedera Kepala

Sedang

Cedera Kepala

Ringan

43,67±15,77

14(66,7%)

7(33,3%)

61,29±14,32

24,24±4,37

139,24±3,06

291,17±8,92

8(38,1%)

9(42,9%)

4(19%)

50,67±14,46

16(76,2%)

5(23,8%)

60,86±9,74

22,75±3,09

138,04±2,73

291,62±6,64

10(47,6%)

6(28,6%)

5(23,8%)

0,093a

0,495b

0,859c

0,216c

0,188c

0,428a

0,844d

Rerata±SD (numerik), % (kategorikal), aMann-Whitney

test, bChi-square, cT-test, dLinear by linear Association,

Signifikan p<0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi

relaksasi otak secara signifikan lebih baik setelah

pemberian salin hipertonik 3% dibandingkan

dengan kelompok manitol 20% (p<0,05) (Tabel 2).

Tabel 2. Kondisi Relaksasi Otak antara

Kelompok Salin Hipertonik 3%

dengan Manitol 20%

Kondisi Relaksasi Otak

p Favorable Unfavorable

Salin

Hipertonik

3%

19 (90,5%) 2 (9,5%) 0,03*

Manitol 20% 13 (61,9%) 8 (38,1%)

*Chi-Square, Signifikan p<0,05.

IV. Pembahasan

Kami membandingkan efek dari pemberian salin

hipertonik 3% dan manitol 20% pada relaksasi otak

selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak

traumatik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

bahwa relaksasi otak pada pasien dengan cedera

otak traumatik yang menjalani operasi bedah

kraniotomi, setelah pemberian salin hipertonik 3%

5 mL/kgBB secara statistik bermakna lebih baik

dibandingkan dengan pemberian manitol 20% 5

mL/kgBB.

Penelitian sebelumnya pada pasien dengan cedera

otak menunjukkan bahwa salin hipertonik lebih

efektif dibandingkan manitol untuk menurunkan

tekanan intrakranial. 8,10-13

Sebagian besar penelitian

tersebut dilakukan pada populasi pasien di ruang

perawatan intensif. Penelitian awal tentang efek

salin hipetonik dilakukan oleh Worthley dkk. yang

melaporkan bahwa dua pasien dengan cedera otak

traumatik yang mengalami peningkatan tekanan

intrakranial yang refrakter setelah pemberian

manitol dan diuretik, berhasil ditangani dengan

pemberian salin hipertonik.13

Kemudian Vialet

dkk. dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

NaCl 7,5% efektif untuk mengelola episode

hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera

kepala.8 Huang dkk. dalam penelitiannya pada

pasien dengan cedera kepala berat menyebutkan

bahwa infus cepat dosis tunggal salin hipertonik

berhasil menurunkan tekanan intrakranial.12

Harutjunyan dkk. yang melakukan penelitian

dengan membandingkan pemberian larutan NaCl

7,2%–hydroxyethyl starch 200/0,5 dengan manitol

15% menyebutkan bahwa pemberian salin

hipertonik lebih efektif untuk mempertahankan

tekanan intrakranial kurang dari 15 mmHg pada

pasien dengan resiko hipertensi intrakranial.10

Penelitian tentang efektifitas salin hipertonik dan

manitol pada operasi intrakranial mendapatkan

hasil yang bervariasi. Hasil yang sama dengan

penelitian kami didapatkan oleh Wu dkk. yang

Page 4: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

138 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

meneliti efek salin hipertonik pada operasi elektif

tumor otak supratentorial.14

Pada penelitian yang

dilakukan Wu dkk. menunjukkan bahwa salin

hipertonik 3% memberikan relaksasi otak yang

lebih baik dibandingkan dengan manitol 20%.

Walaupun dilakukan pada kondisi patologi otak

yang berbeda, kami asumsikan bahwa pemberian

salin hipertonik juga efektif untuk menghasilkan

relaksasi otak pada kondisi cedera otak traumatik.

Hasil yang berbeda didapatkan pada beberapa

penelitian. Rozet dkk., membandingkan efek

larutan ekuiosmolar manitol 20% dan NaCl 3%

pada relaksasi otak dan keseimbangan elektrolit

juga menyebutkan tidak adanya perbedaan yang

bermakna secara statistik pada kondisi relaksasi

otak. Penelitian yang dilakukan oleh Rozet dkk.

tersebut menilai kondisi relaksasi otak pada pasien

yang dilakukan kraniotomi oleh berbagai sebab

yang heterogen baik itu oleh sebab perdarahan non

trauma maupun tumor yang memerlukan drainase

cairan serebrospinal intraoperatif. Kondisi otak

yang heterogen akan memberikan kontribusi pada

efektifitas pemberian salin hipertonik atau manitol

dalam menghasilkan relaksasi otak.6

Mekanisme kerja utama manitol maupun salin

hipertonik dalam menurunkan tekanan intrakranial

tergantung pada integritas sawar darah otak,

koefisien refleksi dari larutan hiperosmoler dan

gradien osmotik yang tercipta.15

Mekanisme efek

osmotik dari salin hipertonik disebabkan oleh

perbedaan gradien osmotik yang tercipta dari

konsentrasi natrium yang lebih tinggi melewati

sawar darah otak.16

Sedangkan mekanisme kerja

manitol berasal dari efek peningkatan volume

plasma yang akhirnya menurunkan hematokrit dan

viskositas darah. Efek osmosis dari manitol

sebagian besar disebabkan oleh efek rheologi

sehingga efek manitol telambat 15–30 menit

sampai tercipta gradien osmotik antara sel dan

plasma.

Efektifitas dari larutan hiperosmoler juga

tergantung dari koefisien refleksi sawar darah otak

terhadap larutan. Natrium memiliki koefisien

refleksi 1 dan manitol 0,9 sehingga lebih tidak

permeabel dibandingkan manitol sehingga lebih

efektif sebagai larutan osmotik.6 Selain itu efek dari

manitol sehubungan dengan koefisien refleksi 0,9

yaitu potensial untuk terjadi gap pada celah sel dan

mengakibatkan terjadinya rebound phenomenon,

meski hal ini lebih sering terjadi pada pemberian

dosis manitol berulang dan jarang terjadi pada

pemberian manitol dosis tunggal. 17

Keamanan merupakan isu yang paling penting

dalam pemberian salin hipertonik dalam

menurunkan tekanan intrakranial baik intraoperatif

maupun saat pengelolaan pasien di ruang terapi

intensif. Komplikasi neurologis hubungan

utamanya dengan perubahan cepat dari osmolaritas

serum dan konsentrasi ion natrium, yang bisa

mengakibatkan terjadinya koma, kejang maupun

central pontine myelinolysis. 18

Insiden central

pontine myelinolysis setelah pemberian salin

hipertonik sangatlah jarang. Pada suatu penelitian

multisenter yang menilai sekuele neurologis setelah

terapi hiponatremia berat dengan salin hipertonik,

koreksi cepat dari hiponatremia kronik yang

menyebabkan lesi otak demielinisasi. Namun, lesi

ini ditemukan pada pasien dengan hiponatremia

ekstrim yang diberikan infus kontinyu selama 48

jam pertama.18

Salin hipertonik akan memicu

peningkatan progresif kadar natrium dan

osmolaritas plasma. Namun, kondisi hipernatremia-

hiperosmolaritas berat dilaporkan hanya terjadi bila

larutan ini diberikan berulang , yang menyebabkan

kadar natrium >160 mmol/L.19

Pada penelitian

kami kadar natrium paling tinggi 2 jam pasca

pemberian salin hipertonik 3% sebesar 157

mmol/L. Efek samping dari pemberian salin

hipertonik yang lain yaitu hiperkloremia. Hal ini

berkaitan dengan pemberian larutan yang

mengandung ion klorida yang berlebihan.

Hiperkloremia akan meningkatkan angka kejadian

ileus pascaoperasi dan gangguan homeostasis

biologis. Pemantauan ketat setelah pemberian salin

hipertonik penting untuk mencegah kondisi

hipernatremia dan hiperkloremia.20

V. Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat kami

simpulkan bahwa pemberian salin hipertonik 3%

selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak

traumatik memberikan relaksasi otak yang lebih

baik dibandingkan manitol 20%. Hal ini didasarkan

pada teori bahwa salin hipertonik 3% lebih tidak

permeabel terhadap sawar darah otak dibandingkan

manitol 20% sehingga lebih efektif sebagai larutan

osmotik.

Daftar Pustaka

1. Cantrambone J, He W, Prestigiacomo C. The

use of hypertonic saline in the treatment of

post-traumatic cerebral edema: a Review. Eur J

Trauma Emerg Surg. 2008;34:397–409.

2. Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate

and severe traumatic brain injury in adults.

Lancet Neurol. 2008;7:728–41.

3. Lian A. Anestesia pada cedera kepala akut.

Anestesia & Critical Care. 2004;22(2):176–9.

4. Raslan A, Bhardwaj A. Medical management

of cerebral edema. Neurosurg Focus.

2007;22(5):E12.

Page 5: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

139 Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien

dengan Cedera Otak Traumatik Memberikan Relaksasi Otak yang

Lebih Baik Dibandingkan dengan Manitol 20%

5. White H, Cook D, Venkantesh B. The use of

hypertonic saline for treating intracranial

hypertension after traumatic brain injury.

Anesth Analg. 2006;102:1836–46.

6. Rozet I, Tontisirin N, Muangman S, Vavilala

MS, Souter MJ, Lee LA, dkk. Effect of

equiosmolar solutions of mannitol versus

hypertonic saline on intraoperative brain

relaxation and electrolyte balance.

Anesthesiology. 2007;107(5):697–704.

7. Schwarz S, Geogiadis D, Aschoff A, Schwab

S. Effects of hypertonic (10%) saline in

patients with raised intracranial pressure after

stroke. Stroke. 2002;33(1):136–40.

8. Vialet R, Albanese J, Thomacot L, Antonini F,

Bourgouin A, Alliez B, dkk. Isovolume

hypertonic solutes (sodium chloride or

mannitol) in the treatment of refractory

posttraumatic intracranial hypertension: 2

mL/kg 7.5% saline is more effective than 2

ml/kg 20% mannitol. Crit Care Med.

2003;31(6):1683–87.

9. Battison C, Andrews PJ, Graham C, Petty T.

Randomized controlled trial on the effect of

20% mannitol solution and 7.5% saline/6%

dextran solution on increased intracranial

pressure after brain injury. Crit Care Med.

2005;33(1):196–202.

10. Harutjunyan L, Holz C, Rieger A., Menzel M,

Grond S, Soukup J. Efficiency of 7.2%

hypertonic saline hydroxyethyl starch 200/0.5

versus mannitol 15% in the treatment of

increased intracranial pressure in neurosurgical

patients-a randomized clinical trial. Crit Care.

2005;9(50;R530–40.

11. White H, Venkantesh B. Cerebral perfusion

pressure in neurotrauma: a review. Anesth

Analg. 2008;107(3):979–88.

12. Huang SJ, Chang L, Han YY, Lee YC, Tu YK.

Efficacy and safety of hypertonic saline

solutions in the treatment of severe head

injury. Surg Neurol. 2006;65(6):539–46

13. Worthley LI, Cooper DJ, Jones N. Treatment

of resistant intracranial hypertension with

hypertonic saline: report of two cases. J

Neurosurg. 1988;68:478–81.

14. Wu CJ, Chen LC, Kuo CP, Ju DT, Borel CO,

Cherng CH, Wong CS. A comparison of 3%

hypertonic saline and mannitol for brain

relaxation during elective supratentorial brain

tumor surgery. Anesth Analg. 2010;110(3):

903–7.

15. Boas W, Marques MB, Alves A.

Hydroelectrolytic balance and cerebral

relaxation with hypertonic isooncotic saline

versus mannitol 20% during elective

neuroanesthesia. Rev Bras Anesthesiol.

2011;61(4):456–68.

16. Boulard G, Marquinaud E, Sesay M. Osmotic

cerebral oedema: the role of plasma osmolarity

and blood brain barrier. Ann Fr. Anesth

Reanim. 2003;22(3):215–9.

17. Paczynsky RP. Osmotherapy: basic concepts

and controversies. Crti Care Clin.

1997;13(1):105–29.

18. Qureshi AI, Suarez JI. Use of hypertonic saline

solutions in treatment of cerebral edema and

intracranial hypertension. Crit Care Med.

2000;28(9): 3301–13.

19. Castillo LB, Bugedo GA, Paranhos JL.

Mannitol or hypertonic saline for intracranial

hypertension? A point of view. Crit Care

Resusc. 2009;11(2): 151–54.

20. Roquilly A, Mahe PJ, Latte DD, Loutrel O,

Champin P, Di Falco C, dkk. Continuous

controlled-infusion of hypertonic saline

solution in traumatic brain-injured patients: a

9-year retrospective study. Crit Care.

2011;15(5):R260.

Page 6: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

140

Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan Perdarahan Intraserebral (PIS)

Spontan akibat Hipertensi Emergensi: Serial Kasus

Lira Panduwaty, Dewi Yulianti Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Perdarahan intraserebral (PIS) mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang

tinggi. Hanya 20% individu yang bertahan dari penyakit ini dapat hidup dalam 6 bulan. Masih terdapat

kontroversi dalam tatalaksana PIS, seperti meregulasi tekanan darah, mencegah perluasan hematoma, edema

otak, dan mempertahankan perfusi serebral. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas prosedur tatalaksana

perioperatif PIS dengan hipertensi emergensi. Subjek dan Metode: Penelitian serial kasus dari 3 kasus dengan gangguan kesadaran (skor GCS ≤14),

didiagnosa PIS, akan dilakukan kraniotomi evakuasi hematoma. Dilakukan pengelolaan tekanan darah prabedah

dengan target tekanan darah rata-rata (TAR) 125–130 mmHg. Induksi dengan fentanyl 3 ug/kg, propofol 2,5

mg/kg, vecuronium 0,1 mg/kg, lidokain 1,5 mg/kg dan rumatan anestesi dengan O2, air, isoflurane 1–1,5 vol%.

Results: Pascabedah 2 kasus dirawat di ICU selama 2–3 hari dan satu kasus dirawat di neurocritical care unit

(NCCU) selama 3 hari dan terdapat perbaikan GCS menjadi 15. Setelah itu dipindahkan ke ruangan dan

mendapat perawatan selama 5–7 hari, dan dipulangkan setelah 7–15 hari.

Simpulan: Masih ada kontroversi tentang terapi PIS yang optimal terutama dalam pengendalian tekanan darah.

Tekanan darah yang tinggi dapat menimbulkan hematoma, tapi penurunan tekanan darah dapat menimbulkan

penurunan perfusi otak. The Intensive Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral Hemorrhage Trial

(INTERACT) menemukan bahwa penurunan tekanan darah yang segera akan mengurangi resiko perluasan

perdarahan tapi tidak mempunyai efek pada outcome, akan tetapi, pada ke 3 kasus tersebut menurunkan tekanan darah dalam waktu kurang dari 24 jam memberikan hasil yang baik.

Kata kunci: Perdarahan intraserebral, penanganan perioperatif.

JNI 2013;2(3): 140–46

Perioperative Anesthesia Management in Patients with Spontaneous Intracerebral

Haemorrhage (ICH) et causa Hypertensive Emergency: A Case Series

Abstract

Background and Objectives: Intracerebral hemorrhage (ICH) have a high rate of morbidity and mortality. Only

20% of individuals who survive ICH are independent at 6 months. Many issues need to be considered for the

optimal management of ICH, such as blood pressure (BP) control, prevention of hematoma growth, containing

brain edema, and preserving cerebral perfusion. The objective of this case series is to report perioperative

management procedure for ICH with hypertensive emergency.

Subject and Methods: A serial case study of three patients with decrease consciousness (score GCS ≤14), ICH, were

planned for craniotomy evacuation. Perioperative management of BP has been done to a targetted mean arterial pressure (TAR) of 125–130 mmHg. Induction with fentanyl 3 ug/kg, propofol 2.5 mg/kg, vecuronium 0.1 mg/kg,

lidocaine 1.5 mg/kg and maintain of anesthesia with O2, air, isoflurane 1–1.5 vol%.

Results: Two patients were admitted to the ICU post-operatively for 2–3 days, one patient were admitted to the

Neuro Critical Care Unit (NCCU) for three days, and had improvements of consciousness (GCS 15), then

transferred to the ward for another 5–7 days, and finally discharged after 7–15 days.

Conclusion: There are still controversies in the treatment of ICH, especially in the control of BP. High BP can

lead to hematoma, but decrease in BP can reduce cerebral perfusion. The Intensive Blood Pressure Reduction of

Acute Cerebral Hemorrhage Trial (INTERACT) found that early intensive BP management reduced the risk of

hematoma expansion but had no effect on outcomes. However in all three cases above, a reduction in BP within

24 hours have provided good results.

Keywords: Intracerebral hemorrhage, perioperative management.

JNI 2013;2(3): 140–46

Page 7: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

141 Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan

Perdarahan Intraserebral Spontan akibat Hipertensi

Emergensi: Serial Kasus

I. Pendahuluan

Perdarahan intraserebral (PIS) merupakan masalah

kesehatan yang serius di seluruh dunia. Sampai saat

ini belum ditemukan tatalaksana yang tepat untuk

mengatasi masalah ini, hal ini berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hanya

20% individu yang bertahan dari penyakit ini dapat

hidup secara fungsional dalam 6 bulan. Hipertensi,

angiopati amiloid serebral (cerebral amyloid

angiopathy) dan terapi antikoagulan diduga menjadi

penyebab perdarahan intraserebral.1

Masih banyak kontroversi dalam pemberian

tatalaksana yang optimal pada perdarahan

intraserebral, seperti meregulasi tekanan darah,

mencegah perluasan hematom, edema otak, dan

mempertahankan perfusi serebral.1 Tujuan

penelitian ini adalah untuk membahas prosedur tatalaksana perioperatif pada perdarahan

intraserebral dengan hipertensi emergensi pada tiga

orang pasien yang berbeda.

II. Subjek dan Metode

Laporan kasus dari tiga pasien yang berbeda,

datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan

keluhan utama penurunan kesadaran (GCS <14),

pasien mempunyai riwayat hipertensi yang tidak

terkontrol, dengan tekanan darah yang terukur saat

datang rata-rata ≥ 200/100 mmHg (tekanan arteri

rata-rata/TAR >130 mmHg). Pasien kemudian direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi

evakuasi, namun dengan keadaan hipertensi

emergensi, manajemen perioperatif yang dilakukan

adalah menurunkan tekanan darah dengan target

sampai TAR 125–130 mmHg. Setelah target TAR

terpenuhi dalam waktu <24 jam, pasien kemudian

dilakukan operasi. Induksi dengan fentanyl 3 ug/kg,

propofol 2,5 mg/kg, vecuronium 0,1 mg/kg,

lidokain 1,5 mg/kg dan rumatan dengan O2, air,

isoflurane 1–1,5 vol%, pasien dioperasi selama ±

3,5–4 jam. Pascaoperasi pasien dirawat di ICU

selama ± 2–3 hari dan mengalami peningkatan kesadaran. Pasien kemudian pindah rawat ke

ruangan selama ± 5–7 hari, dan diijinkan pulang

pada hari perawatan ke 7–11 hari.

III. Hasil

Dua pasien dirawat di ICU pascabedah selama ±2–3

hari, satu pasien dirawat di neuro critical care unit

(NCCU) selama tiga hari, dan memiliki

peningkatan kesadaran (GCS 15), kemudian

dipindahkan ke ruang perawatan selama ± 5–7 hari,

dan pasien diijinkan pulang setelah 7–15 hari. Masih ada kontroversi dalam pengobatan optimal

perdarahan intraserebral, terutama dalam

mengontrol tekanan darah. Tekanan darah tinggi

dapat menyebabkan hematoma, tetapi secara drastis

menurunkan tekanan darah dapat mengurangi

perfusi otak. The Intensive Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral Hemorrhage Trial

(INTERACT) menemukan bahwa tatalaksana

penurunan tekanan darah secara intensif sejak awal

dapat mengurangi risiko perluasan hematoma tetapi

tidak mempengaruhi hasil operasi, tetapi dalam

ketiga kasus di atas, penurunan tekanan darah

dalam waktu kurang dari 24 jam telah menunjukkan

hasil yang baik.

Kasus 1.

Seorang wanita, usia 46 tahun datang ke IGD

dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak

10 jam yang lalu, disertai kelumpuhan ekstremitas

sebelah kiri, dan muntah non proyektil sebanyak 5

kali sehari, menurut keluarga pasien, sebelumnya 3

hari yang lalu pasien pernah mengeluh sakit kepala

hebat, keluhan tidak disertai dengan kejang dan

demam. Riwayat penyakit dahulu pasien

mempunyai riwayat darah tinggi sejak 2 tahun yang

lalu dengan riwayat berobat yang tidak teratur,

pasien pernah mengalami serangan stroke 1 tahun

yang lalu, dengan kelumpuhan ekstremitas sebelah kiri dan bicara rero. Saat ini pasien tidak

mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi atau obat

apa pun. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

kesadaran somnolen (GCS E3M6V5), tekanan

darah 220/110 mmHg (TAR 147 mmHg), laju

denyut jantung 70 kali/menit, pemeriksaan mata

didapatkan pupil bulat isokor, reflek cahaya

langsung dan tidak langsung +/+, dari pemeriksaan

motorik didapatkan hemiparese sinistra, dari foto

toraks didapatkan gambaran kardiomegali tanpa

bendungan paru, dari CT scan didapatkan gambaran kompresi sulkus dan girus, massa hiperdens di

fronto temporo parietal dextra, midline shift > 5 mm

ke kiri.

Pemeriksaan Fisik:

Kesadaran Somnolen (GCS E3M6V5 )

Tekanan darah 220/110 mmHg (TAR 147

mmHg)

Laju nadi 70 x/menit

Frekuensi nafas 20 x/menit

Suhu 36,50C

Saturasi 99% sungkup muka 5 L/menit

Pupil bulat, isokor, Ø 3 mm Refleks cahaya +/+

Motorik Hemiparese sinistra, refleks

patologis -/+

Page 8: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

142 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Pemeriksaan Laboratorium:

Kimia

Darah

Hb 15,7/Ht 45/ L 19.400/Tr 231.000

PT 12,8/INR 1,02/APTT 22,2

Ur 40/Cr 0,74

Na 140/K 3,0 GDS 135

EKG Irama sinus, 89 x/menit, T-Inverted

Lead V1-V6

Rontgen Kardiomegali

CT Scan Sulcus dan gyrus tertekan

Masa hiperdense pada frontotemporo parietal kanan, Midline shift > 5 mm

ke kiri.

Pemeriksaan CT-scan: PIS

Kasus 2.

Seorang laki-laki usia 69 tahun, datang ke IGD

dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 7

jam yang lalu, disertai muntah dan kelumpuhan

ekstremitas sebelah kanan, serta bicara rero, kejang

(-). Riwayat darah tinggi tidak diketahui sejak

kapan, pasien tidak pernah berobat secara teratur,

saat ini pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan apapun. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

kesadaran sopor (GCS E3M5V2), tekanan darah

200/100 mmHg (TAR 133mmHg), denyut nadi 78

kali/menit, pemeriksaan mata didapatkan pupil

bulat isokor, reflek cahaya langsung dan tidak

langsung +/+, dari pemeriksaan motorik didapatkan

hemiparese dekstra, dari foto toraks didapatkan

gambaran kardiomegali tanpa bendungan paru dan

atherosklerosis aorta, dari CT-scan didapatkan

gambaran kompresi sulkus dan girus, massa

hiperdens di regio parietal sinistra dengan edema perifokal, midline shift (-).

Pemeriksaan Fisik:

Kesadaran Sopor (GCS E3M5V2)

Tekanan darah 200/100 mmHg (TAR 133

mmHg)

Laju nadi 78 x/menit

Frekuensi

nafas

24 x/menit

Suhu 36,70C

Saturasi 98% sungkup muka 5 L/menit

Pupil bulat, isocor, Ø 3 mm

Refleks cahaya

+/+

Motorik Hemiparese dextra, refleks

patologik +/-

Pemeriksaan Laboratorium:

Kimia

darah

Hb 14,3/Ht 41/ L 12.400/Tr 181.000

Ur 45/Cr 0,95

Na 131/K 3,5 GDS 129

pH 7.42/pCO2 33/PO2 129/HCO3

21.6/BE -2.1/Sat O2 98.8%

EKG Irama sinus, 78 x/menit

Rontgen Kardiomegali, atherosklerosis aorta CT Scan Sulcus dan gyrus tertekan

Massa hiperdens di parietal kiri,

perifocal edema (+)

Midline shift (-)

Pemeriksaan CT-scan

Kasus 3.

Seorang wanita, usia 68 tahun datang ke IGD dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 4 jam

yang lalu, disertai kelumpuhan ekstremitas sebelah

kanan, tidak ada kejang dan muntah. Riwayat

Page 9: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

143 Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan

Perdarahan Intraserebral Spontan akibat Hipertensi

Emergensi: Serial Kasus

hipertensi diketahui sejak 5 tahun yang lalu, namun pasien tidak berobat secara teratur. Saat ini pasien

tidak mengkonsumsi obat apapun. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran sopor

(GCS E2M5V2), tekanan darah 210/110 mmHg

(TAR 143 mmHg), denyut nadi 92 kali/menit,

frekuensi nafas 28 kali/menit, pemeriksaan mata

didapatkan pupil bulat isokor, reflek cahaya

langsung dan tidak langsung +/+, dari pemeriksaan

motorik didapatkan hemiparese dextra, dari foto

toraks didapatkan gambaran kardiomegali tanpa

bendungan paru, dari CT scan didapatkan massa hiperdens di ganglia basalis sinistra, midline shift >

5 mm ke kanan; sulkus,girus dan fisura sylvian

tidak terkompresi.

Pemeriksaan Fisik:

Kesadaran Sopor (GCS E2M5V2) Tekanan darah 210/110 mmHg (TAR 143 mmHg) Laju nadi 92 x/menit

Frekuensi nafas 28 x/menit Suhu 36,60C Saturasi 97% sungkup muka 5 L/menit Pupil bulat, isokor, Ø 3 mm Refleks cahaya +/+ Motorik Hemiparese dekstra, refleks

patologik +/-

Pemeriksaan Laboratorium:

Kimia darah Hb 11,9/Ht 37/ L 13.800/Tr 351.000 Ur 26/Cr 0,63 Na 136/K 4,7, GDS 119

EKG Irama sinus, 90 x/menit

Rontgen Kardiomegali CT Scan Fissura Sylvian, sulkus dan girus

tidak tertekan Massa hiperdens pada ganglia basalis kiri, Midline shift > 5 mm ke kanan.

Pemeriksaan CT-scan

Manajemen Perioperatif

Pasien 1. Untuk regulasi tekanan darah, pasien

diberikan terapi nicardipin drip 0,3 ug/kg/menit

dengan target TAR 125–130 mmHg, pasien

mendapat terapi antihipertensi selama 24 jam

sebelum dilakukan kraniotomi evakuasi, tekanan

darah awal saat masuk ke kamar operasi 165/108

mmHg (TAR 127 mmHg), laju jantung 82 x/menit,

laju nafas 24x/menit, Sat O2 99% dengan bi nasal

kanul 3 L/menit. Dilakukan induksi dengan

fentanyl 200 ug, propofol 100 mg, lidokain 80 mg,

vecuronium 8 mg dan pengulangan dosis propofol 50 mg, pasien kemudian diintubasi dengan pipa

endotrakheal non kinking no 7,0, pasien diberikan

rumatan anestesi dengan O2+Air+Isoflurane 1 vol%

dengan propofol kontinyu 10–30 mL/jam, dan

vecuronium 2 mg/30 menit. Operasi berlangsung

selama 4 jam. Pascaoperasi pasien dipindahkan ke

ICU dan analgetik pascaoperasi diberikan morphine

10 ug/kg/menit.

Pemantauan Hemodinamik

Kasus 2. Untuk regulasi tekanan darah, pasien diberikan terapi klonidin drip 0,5 ug/kg/mnt dengan

target TAR 125–130 mmHg pasien mendapat terapi

antihipertensi selama 22 jam sebelum dilakukan

kraniotomi evakuasi. Tekanan darah awal saat

masuk ke kamar operasi 175/104 mmHg (TAR 127

mmHg), laju jantung 62 x/menit, laju nafas 22

x/menit, Sat O2 99% dengan sungkup muka 5

L/menit. Dilakukan induksi dengan fentanyl 150

ug, propofol 100 mg, lidokain 80 mg, vecuronium 8

mg and pengulangan dosis propofol 50 mg, pasien

kemudian diintubasi dengan pipa endotrakheal non kinking no 7,5, pasien diberikan rumatan anestesi

O2+Air+Isoflurane 1 vol% dengan propofol

kontinyu 10–30 mL/jam, dan vecuronium 2 mg/30

menit. Operasi berlangsung selama 3,5 jam.

Pascaoperasi pasien dipindahkan ke ICU dan

analgetik pascaoperasi diberikan morphine 10

ug/kg/menit.

0

50

100

150

200

SBP

DBP

HR

Page 10: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

144 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Pemantauan Hemodinamik

Kasus 3. Untuk regulasi tekanan darah, pasien

diberikan terapi nicardipin drip 0,3 ug/kg/menit

dengan target TAR 125–130 mmHg, pasien

mendapat terapi anti hipertensi selama 18 jam

sebelum dilakukan kraniotomi evakuasi, tekanan darah awal saat masuk ke kamar operasi 172/110

mmHg (TAR 130 mmHg), laju jantung 90 x/menit,

laju nafas 20 x/menit, Sat O2 97% dengan sungkup

muka 5 L/menit. Dilakukan induksi dengan

fentanyl 200 ug, propofol 100 mg, lidokain 80 mg,

vecuronium 8 mg and pengulangan dosis propofol

50 mg, pasien kemudian diintubasi dengan pipa

endotrakheal non kinking no 7,0, pasien diberikan

rumatan O2+Air+Isoflurane 1 vol% dengan

propofol kontinyu 10–30 mL/jam, dan vecuronium

2 mg/30 menit. Operasi berlangsung selama 4 jam. Pascaoperasi pasien dipindahkan ke ICU dan

analgetik pascaoperasi diberikan morphine 10

ug/kg/menit.

Pemantauan Hemodinamik

Hasil

Kasus 1. Pasien mendapat perawatan ICU

selama 2 hari, dipindah rawat ke

ruangan dengan GCS E4M6V5,

mendapat perawatan selama 6 hari, dan

diijinkan pulang pada hari perawatan

ke-8.

Kasus 2. Pasien mendapat perawatan di ICU

selama 2 hari, dipindah ke NCCU

dengan GCS E4M6V5, mendapat

perawatan selama 3 hari dan pindah ke

ruang rawat biasa pada hari ke-5, dan diijinkan pulang pada hari ke

perawatan ke-11.

Kasus 3. Pasien mendapat perawatan di ICU

selama 3 hari, pindah ke ruang rawat

dengan GCS E4M6V5, dan diijinkan

pulang pada hari perawatan ke-7.

Pembahasan

Masih terdapat kontroversi dalam hal terapi optimal

pada perdarahan intraserebral, terutama dalam pengendalian tekanan darah. Tingginya tekanan

darah dapat menyebabkan penambahan hematom,

namun penurunan tekanan darah yang terlalu drastis

dapat menurunkan perfusi serebral. Intensive Blood

Pressure Reduction Acute Cerebral Hemorrhage

Trial (INTERACT) menyatakan bahwa penanganan

intensif yang segera pada tatalaksana tekanan darah

dapat menurunkan resiko perluasan hematom

namun tidak memberikan pengaruh terhadap

hasilnya, tetapi pada ketiga kasus diatas, penurunan

tekanan darah dalam waktu kurang dari 24 jam ternyata memberikan hasil yang baik.2-5

Rekomendasi dan AHA/ASA untuk terapi

peningkatan tekanan darah pada PIS spontan

terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Pedoman rujukan AHA/ASA dalam

Penatalaksanaan Peningkatan Tekanan Darah

pada PIS

1. Jika tekanan darah sistolik >200 mmHg atau

tekanan arteri rerata >150 mmHg,

pertimbangkan penurunan tekanan darah secara

agresif dengan infus kontinyu, pemantauan

tekanan darah setiap 5 menit.

2. Jika tekanan darah sistolik >180 mmHg dan

terdapat tanda peningkatan intrakranial,

pertimbangkan pemantauan tekanan intrakranial (ICP) dan penurunan tekanan darah

secara intermiten atau kontinyu dengan

mempertahankan tekanan perfusi serebral

(CPP) ≥ 60 mmHg.

3. Jika tekanan darah sistolik >180 mmHg atau

tekanan arteri rerata > 130 mmHg, dan tidak

terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial

(ICP), pertimbangkan penurunan tekanan darah

perlahan (misalnya: tekanan arteri rerata 110

mmHg atau target tekanan darah 160/90

mmHg) dengan terapi intravena intermiten atau kontinyu, dilakukan pemantauan setiap 15

menit.

Dikutip dari: Wallace M, Joint Committee 7th. 6,7

0

50

100

150

200

SBP

DBP

HR

050

100150200

SBP

DBP

HR

Page 11: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

145 Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan

Perdarahan Intraserebral Spontan akibat Hipertensi

Emergensi: Serial Kasus

Tabel 2. Rujukan dari EUSI untuk

Tatalaksana Tekanan Darah pada PIS

Riwayat hipertensi (+)

Penurunan tekanan arteri rerata (TAR) < 120 tetapi > 84

mmHg; hindari penurunan TD > 20%. Tekanan darah dibatasi < 10/105 mmHg; target tekanan darah < 170/100 mmHg. Hindari penurunan TD >20%.

Riwayat hipertensi (-)

Penurunan tekanan arteri rerata (TAR) hingga 110 mmHg

Tekanan darah dibatasi < 160/95 mmHg; target TD <150/90 mmHg. Hindari penurunan TD > 20%.

Didapati peningkatan tekanan intrakranial

Target tekanan arteri rerata (TAR) atau tekanan darah disesuaikan dengan tekanan perfusi serebral (CPP) 60–70

mmHg.

Dikutip dari: Eiot J, dkk. 1

Keterangan: EUSI=the European Stroke Initiative

Pada ketiga kasus ini dilakukan pengelolaan

hipertensi prabedah dengan target TAR 125–130

mmHg.

Tabel 3. Skor PIS

Komponen Poin Skor PIS

Skor GCS

3-4 2

5-12 1

13-15 0

Volume PIS (cm3)

≥ 30 1

< 30 0

IVH

Ya 1 Tidak 0

PIS infratentorial

Ya 1

Tidak 0

Usia (thn)

≥80 1

<80 0

Total angka kematian dalam 30 hari :

5+ 100 %

4 97 %

3 72 % 2 26 %

1 13 %

0 0 % Dikutip dari: Hemphill J, dkk. 2

Tabel 4. Skor FUNC

Komponen Angka FUNC

Volume PIS (cm3) <30 4 30–60 2 >60 0 Usia (tahun) <70 2 70–79 1

>80 0 Lokasi PIS Lobar 2 Dalam 1 Infratentorial 0 Skor GCS ≥9 2 ≤8 0

Gangguan kognitif pre-PIS Ya 1 Tidak 0 Total skor FUNC 0–11

Dikutip dari: Hemphill J, dkk. 2

Tabel 5. Obat Antihipertensi untuk Perdarahan

Intraserebral Akut

Obat Mekanisme Dosis

Labetalol Antagonis reseptor α1, β1, β2

10–80 mg bolus setiap 10 menit, dapat ditingkatkan

sampai 300 mg 0,5–2 mg/mnt infus

Esmolol Antagonis reseptor β1

0,5 mg/kg bolus; 50–300 ug/kg/mnt

Nicardipine Calcium channel blocker tipe-L (dihydropyridine)

5–15 mg/jam infus

Enalapril ACE inhibitor 0,625 mg bolus; 1,25–5 mg tiap 6

jam Fenoldopam Antagonis

reseptor dopamine-1

0,1–0.3 ug/kg/mnt

Nitropruside Vasodilator (arteri dan vena)

0,25-10 ug/kg/mnt

Dikutip dari: Tuncel M, Cline D, Abdelwahab W.8-10

Simpulan

Masih ada kontroversi tentang terapi PIS optimal

terutama dalam pengendalian tekanan darah.

Tekanan darah yang tinggi dapat menimbulkan

hematoma, tapi penurunan tekanan darah dapat menimbulkan penurunan perfusi otak. The Intensive

Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral

Hemorrhage Trial (INTERACT) menemukan

bahwa penurunan tekanan darah yang segera akan

mengurangi resiko perluasan perdarahan tapi tidak

Page 12: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

146 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

mempunyai efek pada outcome, akan tetapi, pada ke 3 kasus tersebut menurunkan tekanan darah

dalam waktu kurang dari 24 jam memberikan hasil

yang baik.

Daftar Pustaka

1. Eiot J, Smith M. The acute management of

intracerebral hemorrhage: a clinical review.

Anesth Analg. 2010; 110(5):1419–27.

2. Hemphill J, Bonovich D, Besmertis L, Manley G, Johnston S. The ICH score, a simple

grading scale for intracerebral hemorrhage.

Stroke. 2001; 32: 891–7

3. Haas A, Marik P. Current diagnosis and

management of hypertensive emergency.

Semin Dial. 2006; 19(6): 502–12.

4. Link A, Selejan S, Walenta K, Reil J, Bohm M.

Treatment of peri-and postoperative

hypertensive emergencies. Dtsch Med

Wochenschr. 2009; 134(14): 701–7.

5. Bisri YD, Bisri T. Perioperative management of hemorrhagic stroke. JNI 2012; 1(1):59–66.

6. Wallace M, Haddadin A. Hypertensive Crises.

Dalam: Hines R, Marschall K, penyunting.

Stoelting's Anesthesia and Co-Existing

Disease. Philadelphia: Churchill Livingstone;

2008.

7. The Seventh Report of the Joint Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and

Treatment of High Blood Pressure. Bethesda:

National Heart, Lung, and Blood Institute, US

Department of Health and Human Services;

2004.

8. Tuncel M, Ram V. Hypertensive emergencies.

Etiology and management. Am J Cardiovasc

Drugs. 2003; 3(1): 21–31.

9. Cline D, Amin A. Drug treatment for hypertensive emergency. EMC reg. 2008; 1:1–

12.

10. Abdelwahab W, Landau A, Frishman W.

Management of hypertensive urgencies. J Clin

Pharmacol. 1995; 35(8):746–62.

Page 13: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

147

Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body dengan Posisi Duduk

Agus Baratha Suyasa

Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Kasih Ibu Hospital, Bali

Abstrak

Perkembangan teknik operasi mikro yang semakin baik serta perkembangan neuroanesthesia dan critical care

yang semakin canggih membuat reseksi tumor yang agresif menjadi pilihan untuk manajemen tumor regio pineal dan ventrikel III. Seorang laki laki 49 tahun dengan tumor pineal body pasca Ventriculo-Peritoneal shunt, akan

dilakukan operasi kraniotomi reseksi tumor dengan posisi duduk. Pasien mengeluh nyeri kepala hebat, berkurang

dengan obat tetapi sering kambuh. Sejak Maret 2013 penglihatan kabur, sempoyongan, mual muntah, dan telinga

terasa berdenging. Operasi dilakukan dengan posisi duduk dalam anestesi umum, menggunakan pipa endotrakeal

(ETT) no.7,5 non kinking, ventilasi kendali. Pipa nasogastrik (NGT) no.16 dipasang untuk dekompresi.

Premedikasi dengan midazolam 2 mg iv, deksametason 20 mg iv. Koinduksi menggunakan fentanyl 100 μg iv,

induksi dengan propofol 200 mg iv. Fasilitas intubasi dengan rokuronium 0,9 mg/KgBB. Pemeliharaan anestesi

dengan O2 + air + sevofluran dengan fraksi oksigen 50%. Propofol kontinyu 100–200 mg/jam, vekuronium

6mg/jam. Monitoring tanda vital (tekanan darah, nadi, SaO2, elektrokardiografi), etCO2, arteri line dan kateter

vena sentral (CVC). Reseksi tumor dilakukan selama 6 jam. Selama operasi hemodinamik relatif stabil, tekanan

darah sistolik berkisar 90–110 mmHg, tekanan darah diastolik 60-80mmHg, laju nadi 50–70 x/mnt, SaO2 99–100 %, etCO2 30 mmHg. Pascaoperasi pasien masih dengan ventilasi kontrol di rawat di ruang perawatan intensif.

Berbagai pendekatan bedah telah dikemukakan untuk tumor ventrikel III posterior dan regio pineal. Pilihan

pendekatan dipengaruhi oleh lokasi tumor, temuan patologi, dan kenyamanan dokter bedah serta pertimbangan

resiko komplikasi.

Kata kunci: tumor pineal body, posisi duduk

JNI 2013;2(3): 147–54

Management of Anesthesia for Pineal Body Tumor Resection in the Sitting Position

Abstract

The development of micro-surgery techniques are advancing and the development of neuroanesthesia and critical

care are growing increasingly sophisticated making aggressive tumor resection as an option for the management

of tumors located in the pineal and third ventricle region. A 49 years old male with a pineal body tumor after

Ventriculo-Peritoneal shunt, underwent a craniotomy tumor resection surgery conducted in a sitting position.

The patient complained of severe headache which was reduced by drugs, however relapsed again. Blurred vision, staggering, nausea, vomiting, ringing in the ears, were experienced in March 2013. Surgery performed

with general anesthesia in the sitting position, using non kinking endotracheal tube size 7.5 under controlled

ventilation. Nasogastric tube no.16 was inserted for decompression. Premedication with midazolam 2 mg iv,

dexamethasone 20 mg iv. Co induction using fentanyl 100 mcg iv, induced with propofol 200 mg iv. Facilities

intubation with rocuronium 0.9 mg/KgBW. Maintenance of anesthesia with sevoflurane + O2 + air with oxygen

fraction 50%. Continuous propofol 100–200 mg/hour, and vekuronium 6 mg/h were given. Monitoring vital

signs (BP, HR, SaO2, ECG), etCO2, arterial line and CVC. Tumor resection was performed in 6 hours. Relatively

stable hemodynamics during surgery, systolic blood pressure ranged within 90–110 mmHg, diastolic blood

pressure of 60-80 mmHg, heart rate 50–70 x/min, SaO2 99–100%, etCO2 30 mmHg. Postoperatively the patient

was managed in the ICU under controlled ventilation. Various surgical approaches have been put forward for the

posterior third ventricular tumor and pineal region. Choice of approach is influenced by the location of the tumor, pathological findings, surgeon comfort and risk of complications.

Keywords: Pineal body tumors, sitting position

JNI 2013;2(3): 147–54

Page 14: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

148 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I. Pendahuluan

Perkembangan teknik operasi mikro yang semakin

baik serta perkembangan neuroanesthesia dan

critical care yang semakin canggih membuat

reseksi tumor yang agresif menjadi pilihan untuk

manajemen tumor regio pineal dan ventrikel III.

Walaupun berbagai pendekatan untuk tumor pada

ventrikel III posterior telah dikenalkan, namun

hanya tiga pendekatan yang sering digunakan.

Pendekatan infratentorial-supraserebelar memberi

keuntungan berupa ruang yang alami antara

serebelum dan tentorium. Pendekatan supratentorial meliputi intrahemisfer-transcallosal dan occipital-

transtentorial. Memilih pendekatan pembedahan

yang optimal tergantung pada letak anatomi tumor

serta pemilihan dan pengalaman dokter bedah.

Perbaikan teknik pembedahan memberi dampak

perbaikan pula pada hasil pembedahan untuk tumor

yang jarang ini.1

II. Laporan Kasus

Anamnesis

Seorang laki-laki 49 tahun, berat badan 80Kg

dengan diagnosis Pineal body tumor post V-P

Shunt ec hidrocefalus non comunican, datang ke RS Kasih Ibu Denpasar Bali dengan keluhan nyeri

kepala hebat, berkurang dengan obat tetapi kambuh

lagi diikuti penglihatan kabur, sempoyongan, mual

muntah, telinga terasa berdenging sejak 4 bulan

yang lalu. Penderita sebelumnya diperiksa di

Rumah Sakit Umum Daerah Luwuk, Sulawesi

Tengah, dilakukan CT-Scan, ditemukan ada tumor

pada otak, serta pelebaran sistem ventrikel,

disarankan untuk operasi. Penderita kemudian

datang ke RS Kasih Ibu Denpasar, Bali. Dilakukan

pemasangan V-P Shunt cito. Riwayat asthma (-), allergi (-), hipertensi (-), sesak nafas (-).

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: Sadar, nyeri kepala, gangguan

pengelihatan, gangguan keseimbangan.

Survei Primer Airway Bebas, oksigenasi 3 L/menit O2 nasal

kanul Breathing Nafas spontan 18-20 x/menit, gerakan

dinding dada simetris (+)

Pola nafas torakoabdominal, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Circulation Tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi 76 x/menit, regular Bising (-), sianosis (-), ekstremitas hangat temperatur: 36o C

Disability Tingkat kesadaran: GCS = E4 M6 V5 = 15

Pupil isokor bulat 3 mm. Reflek cahaya +/+. Papil edema (-) Motorik 5 / 5 / 5 / 5, sensorik +/+/+/+

reflek fisiologis (+) Defisit neurologis lain pendengaran menurun

Survei Sekunder Kepala Tyromental distance 7 cm, gerakan

kepala bebas ke segala arah Leher Jugular venous pressure tidak

meningkat Thorak Bentuk dan gerakan dada simetris Abdomen Supel, bising usus (+),

Ekrstremitas Deformitas (-), hangat (+), capilary refill <2 detik Motorik 5/5 Sensorik +/+ 5/5 +/+

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium pre op ke-1 (05 Juni 2013) pkl:

09.11 Haemoglobin 14,5 gr/dL BUN 35,0 mg/dL Leukosit 8,43/mm3 Creatinin 0,89 mg/dL Eritrosit 5,25/mm3 SGOT 12 U/L Haematokrit 42,0% SGPT 15 U/L Trombosit 250 000/mm3 Bleeding

time 2,00

Clothing time 12,15

Gula Darah Puasa

105 mg/dL

Pemeriksaan Laboratorium pre op ke-2 (15 Juni

2013) pukul 10.56 Haemoglobin 12,5 gr/dL Leukosit 6,35/mm3 Eritrosit 4,48/mm3 Haematokrit 36,5% Trombosit 253 000/mm3

Foto Thorak

Paru : Corakan bronchovaskular normal, kedua sudut costofrenicus tajam

Jantung : Besar dan bentuk normal

Kesan : Foto thorak tak tampak kelainan

CT-Scan Kepala (pre op, RSUD Luwuk Sulawesi

Tengah)

Page 15: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

149 Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body

dengan Posisi Duduk

Tampak lesi isodens daerah ventrikel III dengan

dilatasi ventrikel lateralis kiri dan kanan, tidak

tampak midline shift.

Kesan: ependimoma dengan hidrocefalus

MRI kepala dengan kontras (post VP-Shunt)

Kesan:

Masa solid ukuran 2,66 x 2,99 x 3,28 cm di daerah

pineal body yang mendesak pons dan ventrikel IV,

disertai multipel nodul di pons sisi kanan, di lobus

occipital kanan dan di lobus parietal kiri.

Assessmen

Pineal Body Tumor post V-P shunt ec Hidrocefalus

non comunican

Rencana Tindakan (Reseksi Tumor dengan posisi duduk)

1. Persiapan operasi, infus NaCl 0,9%

24tts/menit

2. Puasa 6 jam preop, informed consent

3. Pemasangan kateter vena sentral dan arteri

line

4. Pemasangan pipa nasogastrik dan kateter

urine

5. Pascabedah pemantauan intensif dengan

ventilator

Pengelolaan anestesi dilakukan dengan anestesi umum dengan posisi duduk (sitting position)

menggunakan pipa endotrakeal no 7,5 non kinking,

ventilasi kendali. Pipa nasogastrik no.16 dipasang

untuk dekompresi. Premedikasi dengan midazolam

2 mg iv, dexamethasone 20 mg iv. Co induksi

menggunakan fentanyl 100 μg iv, induksi dengan

propofol 200 mg iv. Fasilitas intubasi dengan

rokuronium 0,9 mg/KgBB. Pemeliharaan anestesi

dengan O2 + air + sevofluran dengan fraksi oksigen

50%. Propofol diberikan kontinyu 100–200

mg/jam, vekuronium 6mg/jam. Monitoring tanda vital (tekanan darah, laju nadi, SaO2,

elektrokardiografi), ETCO2, arteri line dan kateter

vena sentral (CVC).

Reseksi tumor dilakukan selama 6 jam, dengan

posisi duduk. Selama operasi hemodinamik relatif

stabil, tekanan darah sistolik berkisar 90–110

mmHg, tekanan darah diastolik 60–80mmHg, laju

nadi 50–70 x/mnt, SaO2 99–100 %, ETCO2 30

mmHg. Pascaoperasi pasien dirawat di ruang

intensif dengan ventilasi kontrol.

Page 16: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

150 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Status Anestesi

Pengelolaan Pascabedah

Hari ke-0 (17.45)

KU : Dalam pengaruh obat, terpasang NGT, CVC,

arteri line

A : Bebas, ETT 7,5 non kinking; B : Ventilator

BIPAP 13, RR 12, PEEP 3, FiO2 50%; C : TD

114/67mmHg HR 52 x/menit SaO2 100 % ETCO2

30 mmHg; D: pupil isokor 3mm, RC +/+

Terapi :

Posisi terlentang kepala keatas 300, Infus (NaCl

100mL, asering 500 mL, tutofusin OPS@ 1000mL =

2500 mL/24 jam), analgetik fentanyl 200Ug + ketorolac 60 mg dalam 25 cc NaCl drip 3 cc/jam,

ceftriaxon 2x1 gram, ranitidin 2x1 amp,

dexamethason 3x1amp, catapres@ 0,2 ug/Kg/jam

titrasi, propofol 80mg/jam, vecuronium 6 mg/jam.

Periksa analisa gas darah (AGD).

Hari ke-1 (05.00)

KU : Ekstubasi, komposmentis

A : Bebas; B : RR 14 x/mnt vesikuler; C : TD

123/86mmHg HR 61x/menit SaO2 100 % ; D :

pupil isokor 3mm, RC +/+

Terapi :

Posisi terlentang kepala keatas 300, infus (NaCl 100mL, asering 500 mL, tutofusin OPS@ 1000mL =

2500 mL/24 jam), analgetik fentanyl 200Ug +

ketorolac 60 mg dalam 25 cc NaCl drip 3 cc/jam,

ceftriaxon 2x1 gram, ranitidin 2x1amp,

deksametason 3x1amp, catapres@ 0,2 ug/Kg/jam

titrasi, coba minum sedikit, diet cair

Hari Ke-2

KU : Komposmentis, Nyeri (-)

A : Bebas; B : RR 14 x/mnt vesikuler; C : TD

150/106 mmHg HR 50x/menit SaO2 100 % ; D:

pupil isokor 3mm, RC +/+

Terapi :

Posisi terlentang kepala keatas 300, Infus (NaCl

100mL, asering 500 mL, tutofusin OPS@ 1000mL =

2500 mL/24 jam), analgetik ketesse@ 3x50mg,

ceftriaxon 2x1 gram, ranitidin 2x1amp,

deksametason 3x1amp, catapres 0,2 ug/Kg/jam

titrasi, diet bubur, boleh pindah ruangan.

III. Pembahasan

1.Pineal Body (Glandula Pineal)

Glandula Pineal sering disebut mata ketiga,

merupakan kelenjar endokrin kecil pada otak

vertebrata. Kelenjar pineal memproduksi serotonin

Page 17: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

151 Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body

dengan Posisi Duduk

(derivat melatonin), hormon yang mempengaruhi modulasi bangun dan tidur. Terletak di dekat titik

tengah otak diantara dua hemisfer di celah antara

kedua thalamus.1

Gambar 1. Glandula pineal Dikutip dari: Behari S et al 3

2. Patologi

Tumor yang berasal murni dari glandula pineal

sangat jarang, 50–70% berasal dari embryonik germ cells, sehingga disebut germinoma yang

sering berasal dari seminoma testis maupun ovarian

disgerminoma. Tumor glandula pineal secara

prinsip di bagi 3 yaitu germ sel tumor, pineal sel

tumor dan glial sel tumor. Sebagai tambahan tumor

glandula pineal dan ventrikel III posterior, termasuk

astrositoma thalamus, ependimoma, tumor pleksus

koroideus, craniopharyngioma dan meningioma

yang berasal dari velum interpositum dll. Tumor

pineal dapat menekan coliculus superior dan area

pretektal bagian dorsal otak tengah (midbrain),

menyebabkan sindroma Parinaud. Menekan aquaduktus serebri menyebabkan hidrochepalus.

Manifestasi klinis merupakan konsekuensi dari efek

penekanan berupa gangguan pengelihatan, sakit

kepala, gangguan mental serta kadang seperti

demensia. Jika lokasi tumor telah ditentukan maka

jalan terbaik adalah eksisi.1,2

2.1.Hidrocepalus

Sebagian besar pasien datang dengan hidrocepalus.

Sangat disarankan pemasangan V-P shunt 3 sampai

7 hari sebelum operasi tumor definitif untuk

dekompresi ventrikel. Walaupun pemasangan V-P shunt dapat menyebabkan penyebaran ke

peritoneum pada tumor yang maligna, namun

kejadianya sangat jarang.1,4,8-10

3.Teknik Pendekatan Bedah

Berbagai macam pendekatan bedah telah di coba

oleh para klinisi untuk kasus lesi pada glandula

pineal, ventrikel III posterior serta dorsal midbrain.

Semuanya membutuhkan presisi serta pengetahuan anatomi yang baik. Horsley merupakan orang

pertama yang melakukan pembedahan untuk lesi

regio pineal, namun pembedahan yang berhasil

pertama kali dilakukan oleh Krause pada tahun

1931 dengan menggunakan pendekatan

infratentorial supraserebelar, yang kemudian

pendekatan ini diperbarui oleh Stein pada tahun

1971. Pendekatan alternatif lain dilakukan oleh

Jamieson dan Poppen (pendekatan occipital

transtentorial), VanWagenen (pendekatan

transventrikuler posterior), dan Dandy (pendekatan transcallosal posterior).1-3,6,7

3.1.Keuntungan

Pendekatan lewat garis tengah untuk mencapai

tumor menghindari cedera pada kanal vena-vena

dalam (vena serebral interna yang bermuara pada

vena Galen yang bermuara pada sinus dan vena

basal Rosenthal) yang biasanya terletak di superior

lesi. Pendekatan ini memberikan paparan yang baik

dengan kerusakan minimal. Posisi duduk

memberikan paparan dan drainase yang baik darah

dan LCS dengan bantuan gravitasi.1-3,6,7

3.2.Kerugian

Jika lesi meluas sampai ke lateral dan keatas

trigonum ventrikel lateral atau lesi meliputi corpus

callosum maka sulit untuk melakukan reseksi

secara komplit dengan pendekatan infratentorial

sehingga membutuhkan pendekatan supratentorial.

Posisi duduk yang biasanya menjadi pilihan,

meningkatkan resiko emboli udara, tension

pneumochepalus dan cedera hiperfleksi yang

menyebabkan quadriplegia. 1-3,6,7

4.Tujuan Pembedahan

Tujuan pembedahan pada tumor ventrikel III posterior tergantung klinis dan situasi individual.

Tujuan pertama adalah untuk menegakan diagnosis

histologi. Pembedahan dapat di abaikan jika

ditemukan serumor pada cairan otak (CSF) α-

fetoprotein atau β-HCG (human chorionic

gonadotropin). Marker ini spesifik untuk elemen

germ cell maligna. Pasien dengan germ cell

maligna, biasanya dilakukan preoperatif dengan

radioterapi dan kemoterapi. Jika marker positif

tidak ditemukan, maka diperlukan sampel jaringan.

Reseksi tumor membuat pengurangan efek massa

dan meningkatkan respon terhadap terapi adjuvant untuk lesi maligna. Untuk tumor jinak, dapat

dilakukan reseksi total. 1-3

5.Posisi Pembedahan

Berbagai posisi pasien untuk pembedahan tumor

region pineal dan ventrikel III posterior telah

diperkenalkan. Masing-masing memiliki

Page 18: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

152 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

keuntungan dan kerugian tersendiri dalam hal kenyamanan operator, komplikasi, dan kesesuaian

dengan tujuan operasi.1,6

5.1.Posisi Duduk

Posisi duduk banyak dipilih untuk pendekatan

infratentorial-supraserebelar dan juga baik untuk

pendekatan occipital-transtentorial. Pada posisi

duduk, kepala difiksasi pada bagian temporal

menggunakan head pin, dokter bedah membantu

memposisikan kepala sehingga membentuk

konfigurasi C-Shaped antara kepala dan lutut. Kaki

pasien sedikit di tekuk untuk memberi ruang pada aliran vena. Leher difleksikan sehingga tentorium

sejajar dengan lantai namun tetap menyisakan jarak

2 jari antara dagu dan dada. Prinsip dari posisi

duduk adalah gravitasi membantu retraksi

serebelum dan diseksi tumor pada sistem vena

dalam. 1,6,7

Gambar 2. Posisi duduk 1

Dikutip dari : Lozier AP, Bruce JN 1

6. Anestesi dan Komplikasi

Komplikasi yang potensial terjadi pada posisi

duduk diantaranya (1) emboli udara, (2)

pneumochepalus, (3) perdarahan supratentorial, (4)

myelopati fleksi midservikal, dan (5) malfungsi shunting. Monitoring dengan precordial Doppler

dan ETCO2 dapat mendeteksi sejumlah kecil udara

yang masuk sebelum menjadi masalah yang besar.

Resiko emboli udara paling besar pada saat

kraniotomi dan membuka duramater. Tulang yang

terbuka harus di beri bone wax dan perdarahan

vena harus di kontrol sebelum melakukan diseksi

lebih dalam. Beberapa ahli anestesi melakukan

pemasanga central venous catheter (CVC) untuk

melakukan aspirasi udara pada atrium kanan.

Kebocoran liquor cerebrospinalis (LCS) dan perdarahan dapat terjadi pasca operasi. Hal ini

mungkin terjadi karena perdarahan pada sisa tumor

atau karena gravitasi yang menyebabkan kolapsnya

bridging vein pada posisi duduk. Infark hemoragik

vena juga dapat terjadi karena koagulasi pada

bridging vein. 1,3,5,6-10

7. Manajemen Tumor Intraoperatif

Untuk tumor pada regio pineal, harus dilakukan

biopsi dan frozen section (FZ) terlebih dahulu

untuk menegakan diagnosis. Jika hasilnya

menunjukkan suatu germinoma, maka reseksi agresif menjadi kontroversial, disarankan

pengambilan tumor secukupnya dan dilanjutkan

radioterapi. Jika ditemukan suatu tumor yang

invasif seperti glioma pada batang otak atau

thalamus, debulking harus dilakukan secara hati-

hati, karena banyaknya tumor yang diambil

berasosiasi dengan defisit neurologis yang timbul.

Tujuan yang rasional adalah mengembalikan aliran

LCS. Namun jika tumor yang ditemukan adalah

meningioma velum interpositum atau tentorium,

maka dianjurkan reseksi total.1,3,5-7

8.Manajemen Pascabedah

Masalah yang paling signifikan pascabedah meliputi perdarahan pada tumor bed, hidrosefalus,

malfungsi shunting, pneumochepalus dan subdural

hematom. Semua hal tersebut dapat diatasi dan

dideteksi segera dengan CT-scan. Perdarahan

sering terjadi pada tumor yang invasif dengan

reseksi parsial. Hidrosefalus dan malfungsi

shunting dapat terjadi karena debris yang

menyumbat pada ventrikel III. Pneumocefalus

sering terjadi pada posisi duduk dan menyebabkan

confusion pascabedah. Subdural hematom terjadi

karena shifting otak dan robeknya bridging vein,

memerlukan evakuasi segera. Pascabedah pasien harus tetap diberikan steroid dosis tinggi sampai

keadaan klinis stabil. Dianjurkan pemberian

dexamethason sampai 2 minggu kemudian di

tapering off, hal ini juga penting untuk menghindari

ventrikulitis. Jika pendekatan yang dipakai adalah

supratentorial maka disarankan memberikan

profilaksis anti kejang.1,3,5,7-10

9.Emboli Udara Vena (Venous Air Embolism/VAE)

Emboli udara vena (VAE) sering terjadi pada

pembedahan fossa posterior terutama pada posisi

duduk, karena tekanan subatmosfer pada saat vena

terbuka serta adanya vena yang tidak bisa kolaps (diploic vein, dural sinuses) menyebabkan udara

masuk kedalam sirkulasi. Udara yang masuk

mengikuti sirkulasi pulmonal, menimbulkan

obstruksi mekanik dan hipoksia sehingga memicu

reflek simpatis vasokontriksi. Gelembung udara

mikro mengaktivasi pelepasan mediator yang

menghasilkan pembentukan komplemen, pelepasan

sitokin, dan molekul O2 aktif. Manifestasinya

meliputi hipertensi pulmonal, gangguan pertukaran

gas, hipoksemia, retensi CO2, peningkatan

pulmonal dead space, serta penurunan ETCO2.

Iskemik miokard terjadi karena hipoksia yang lama. Blok oleh gelembung udara menyebabkan gagal

Page 19: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

153 Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body

dengan Posisi Duduk

jantung kanan akut, disritmia dan kolaps kardiovaskuler. Morbiditas dan mortalitas VAE

berhubungan dengan jumlah udara dan kecepatan

yang masuk kedalam sirkulasi. Angka kejadian

VAE 25%–60% pada posisi kepala lebih tinggi dari

jantung. Pemasangan kateter vena sentral sangat

berguna untuk aspirasi udara pada atrium kanan

jika terjadi VAE, juga untuk mengkonfirmasi

diagnosis VAE. 8-10

Table 1. Monitoring deteksi VAE 8,9

Monit

or

Keuntungan Kerugian

Doppler

Monitor non invasif paling sensitif Deteksi dini

Tidak kuantitatif Kesulitan pemasangan pada obesse, deformitas dinding dada, posisi telungkup atau miring. False negatif jika udara tidak melewati

gelombang ultrasonik dan tidak berguna jika menggunakan kauter Manitol intravena mirip seperti udara dalam intravaskuler

PA Kateter

Kuantitatif, sedikit lebih sensitif

daripada ETCO2 Tersedia luas Pemasanganya mudah bagi yang berpengalaman Dapat mendeteksi tekanan atrium kanan lebih baik

daripada tekanan wedge kapiler

Lumen kecil, sedikit udara yang dapat diaspirasi

Penempatan untuk aspirasi udara mungkin tidak dapat untuk mengukur tekanan wedge kapiler Tidak spesifik untuk udara

ETCO2 Non invasif Sensitif Kuantitatif Tersedia luas

Tidak spesifik untuk udara Kurang sensitif dibandingkan Doppler, kateter PA Akurasi dipengaruhi takipneu, kardiak output

yang rendah, COPD ETN2 Spesifik untuk

udara Mendeteksi udara lebih dini dibanding ETCO2

Tidak dapat mendeteksi emboli udara subklinik Dapat mengindikasikan clearance udara dari sirkulasi pulmonal secara premature Akurasi dipengaruhi hipotensi

TEE Paling sensitif untuk udara Dapat mendeteksi udara pada jantung kiri, aorta

Mahal Harus di lakukan observasi secara kontinyu Tidak kuantitatif Terganggu dengan ultrasonografi Doppler

Doppler, precordial Dopplerultrasonografi, PA,

pulmonary artery, TEE, transesophageal echocardiografi. Dikutip dari: Smith DS, Osborn I 8,9

Tabel 2. Penanganan VAE 8,9

Tujuan intraoperatif

1. Memberitahu dokter bedah segera

2. Stop N2O segera, naikan flow

O2 3. Modifikasi anestesi 4. Penuhi lapangan operasi

dengan air 5. Kompresi vena jugularis 6. Aspirasi udara lewat kateter

atrium kanan (CVC/RAC) 7. Suport kardiovaskular

8. Ubah posisi pasien

Tujuan postoperatif

1. Berikan suplemen oksigen 2. Lakukan EKG dan rontgen

thorak 3. Analisa gas darah serial 4. Kompresi hiperbarik jika

tersedia

Dikutip dari: Smith DS, Osborn I

8,9

IV. Simpulan

Berbagai pendekatan bedah telah di kemukakan

untuk tumor ventrikel III posterior dan regio pineal. Pilihan pendekatan dipengaruhi oleh lokasi tumor,

temuan patologi, dan kenyamanan dokter bedah

serta pertimbangan komplikasi yang mungkin

terjadi. Untuk sebagian besar tumor regio pineal

yang terletak di garis tengah di bawah sistem vena

dalam lebih dipilih pendekatan supraserebelar-

infratentorial dengan posisi duduk. Tumor regio

pineal biasanya dapat dilakukan reseksi total

disamping karena dibantu posisi dan gravitasi,

dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal.

Sisa lesi jika ada, biasanya berespon baik terhadap radioterapi dan kemoterapi.

Daftar Pustaka

1. Lozier AP, Bruce JN. Surgical approaches to

posterior third ventricular tumors. Neurosurg

Clin N Am 2003;14(4):527–45.

2. Macchi M, Bruce J. Human pineal physiology

and functional significance of melatonin.

Front Neuroendocrinol. 2004; 25 (3–4):177–

95.

3. Behari S, Garg P, Jaiswal S, Nair A, Naval R,

Jaiswal AK. Major surgical approaches to the posterior third ventricular region: A pictorial

review. J Pediatr Neurosci. 2010;5(2):97–101.

4. History. CNS Clinic - Neurosurgery – Jordan.

2005.

Page 20: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

154 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

5. Dinsmore J. Anesthesia for elective neurosurgery. Br J Anesth 2007; 99(1): 68–74.

6. Georghita E, Ciurea J, Balanescu B.

Consideration on anesthesia for posterior

fossa surgery. Romanian Neurosurgery

2012;XIX 3:183–92.

7. Bruce JN, Ogden AT. Surgical strategies for

treating patient with pineal region tumors. J

Neurooncol 2004;69:221–36.

8. Smith DS. Anesthetic management for

posterior fossa surgery. Dalam: Cotrell JE,

Young WL, penyunting. Neuroanesthesia, 5th ed, Philadelphia:Mosby; 2010, 203–17.

9. Smith DS, Osborn I. Posterior fossa:

anesthetic consideration. Dalam: Cotrell JE,

Smith DS, penyunting. Anesthesia and

neurosurgery. Philadelphia: Mosby; 2001,

335–51.

10. Goma H. Anesthetic considerations of brain

tumor surgery. Dalam: Abujamra AL,

penyunting. Diagnostic techniques and

surgical management of brain tumors. Egypt.

InTech; 2011,365–84.

Page 21: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

155

Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella dengan Pendekatan Supraorbita

Yudi Hadinata, M. Isngadi, Buyung Hartiyo L.

Departemen Anestesi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya–RSU Saiful Anwar, Malang.

Abstrak

Anestesi pada kasus meningioma memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan. Otak merupakan jaringan

yang tertutup oleh tulang kranium dan memiliki jaringan pembuluh darah yang banyak sehingga beresiko untuk

terjadinya pendarahan dan edema. Kondisi jaringan otak yang rileks dibutuhkan ketika akan dilakukan operasi

otak melalui insisi kecil supraorbita. Tanpa penanganan anestesi yang baik maka ahli bedah saraf akan kesulitan

untuk melakukan pendekatan pada tumor dan meningkatkan resiko edema otak karena manipulasi operasi. Pada kasus ini dilaporkan pasien wanita usia 44 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala hebat dan pusing dirasakan

sejak 8 bulan sebelum masuk rumahsakit, mengalami periode kejang selama 1–2 menit, terjadi kurang lebih

1x/bulan, penglihatan pada mata kanan buram. Pasien didiagnosa dengan meningioma suprasellar, dan

direncanakan dilakukan pembedahan dengan pendekatan subfrontal. Status fisik ASA 3 dengan riwayat asma,

riwayat sepsis karena pneumonia dan infeksi saluran kemih, riwayat Steven Johnson karena phenytoin,

leukositosis 10.570, defisit neurologis. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi. Induksi

dengan midazolam, fentanyl, lidokain, propofol, dan vecuronium. Operasi dengan pendekatan supraorbita

berlangsung selama 10 jam. Pascabedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU)

selama 2 hari sebelum pindah ruangan. Kontrol faktor fisiologi dan perlakuan anestesi yang dilakukan selama

operasi memiliki pengaruh kepada jaringan otak. Lebih lanjut lagi, seorang dokter anestesi harus memiliki

pengetahuan tentang berbagai macam efek obat untuk mencapai hal tersebut dan mengetahui kondisi premorbid pasien yang dapat mempengaruhinya.

Kata kunci: Anestesi umum, meningioma, suprasella

JNI 2013;2(3): 155–61

Anesthesia Management for Suprasella Meningioma Removal with Supraorbital

Approach

Abstract

Anesthesia for meningioma presents special considerations. The brain is enclosed in a rigid skull and the brain is

a highly vascular organ presenting potential for massive perioperative hemorrhage and edema. A slack brain is

necessary when treating neoplastic lesions through the small supraorbital approach. Without optimal anesthesia

care, the neurosurgeon can not reach the operative site and the risk of brain edema due to extensive brain

manipulation is increased. This case reports a 44 years old woman with severe headache and dizziness for 8

months prior to admission she suffers from 1–2 minutes periods of seizure once a month, and experienced a

blured vision on her right eye. She was diagnosed with suprasellar meningioma, which will be removed with

supraorbital surgical approach. ASA 3rd was confirmed with history of status asthmaticus, septic condition due to pneumonia and urinary tract infection, history of Steven-Johnson syndrome due to phenytoin, leucocytosis of a

count of 10.570, and neurological deficits general anesthesia was performed. Induction of anesthesia was done

using midazolam, fentanyl, lidocaine, propofol and vecuronium. The surgery for meningioma was conducted

within 10 hours. Patient was managed in the Intensive Care Unit post operatively for 2 days prior to ward

transfer. Physiologic and anesthetics factors controlled by the anesthesiologist have profound effects on the

brain. Furthermore, anesthesiologists are required knowledge of the effects of various drugs on the issues

mentioned above and patient conditions.

Keyword: General anesthesia, meningiomas, suprasella.

JNI 2013;2(3): 155–61

Page 22: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

156 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I. Pendahuluan

Meningioma merupakan tumor yang berasal dari

jaringan meningen. Insiden lebih banyak pada

wanita dibanding pria dengan rasio antara 1: 1,4–

2,8. Pada laporan di beberapa negara, disebutkan

bahwa neoplasma intrakranial berupa meningioma

berkisar 20% di Jepang dan 22% di Korea,

sementara di Serawak Malaysia meningioma

merupakan tumor otak yang umum dioperasi.1

Lokasi tersering untuk kejadian meningioma

intrakranial adalah di daerah parasagittal. Meningioma suprrasella memberikan kontribusi

sekitar 9% dari total meningioma intrakranial.

Kebanyakan meningioma suprasella berasal dari

lapisan dura tuberkulum sellae, dan lebih jarang

muncul dari diafragma sellae.2

Klasifikasi meningioma secara umum berdasarkan

kriteria WHO membagi meningioma dalam 3

kelompok sebagai berikut:

Tabel 1. Grading meningioma berdasarkan

kriteria WHO Benign meningioma (WHO Grade I)

Histological variant other than clear-cell, chordoid, papillary,

or rhabdoid

Lacks criteria of atypical and anaplastic meningioma

Atypical meningioma (WHO Grade II) (any of three criteria)

Mitotic index ≥ 4 mitoses/10

high-power fields (HPF)

At least 3 of 5 parameters: o Increase celullarity

o High nuclear/cytoplasmic ratio (small cells)

o Prominent nucleoli o Uninterupted patternless

or sheet-like growth

o Foci of spontaneous necrosis (ie, not induced by embolisation or

radiation)

Brain invasion

Anaplastic (malignant) meningioma (WHO Grade III) (either of two criteria)

Mitotic index ≥ 20 mitoses/10 HPF

Anaplasia (sarcoma or melanoma-like histology)

Sumber: Markus JR, Arie P, Guido R.2

Meningioma suprasella dibagi dalam 3 klasifikasi

berdasarkan letaknya dari diafragma sella. Tipe A

yaitu meningioma yang berasal dari bagian atas diafragma sellae dan terletak di pituitari anterior,

tipe B yaitu meningioma yang berasal dari bagian

atas diafragma sellae dan terletak di posterior dari

pituitari, sedangkan tipe C yaitu meningioma yang

berasal dari bagian inferior diafragma sellae.3

Penentuan jenis meningioma suprasella ini akan

menentukan jenis teknik operasi yang akan

dilakukan terhadap pasien. Pendekatan yang

mungkin dilakukan adalah pendekatan intrakranium

(kraniotomi frontotemporal, bifrontal, atau

subfrontal di atas atap orbita) serta pendekatan

transfenoidal.4

II. Kasus

Anamnesa

Pasien wanita usia 44 tahun datang dengan keluhan

nyeri kepala hebat dan pusing dirasakan sejak 8

bulan sebelum masuk rumah sakit, nyeri kepala saat

kambuh dirasakan pada daerah belakang kepala

sebelah kanan. Pasien juga mengalami kejang dan

kaku pada kedua tangan dan kaki, saat kejang mata

melirik keatas, mulut berbusa, mengompol, setelah

kejang sadar dan badan terasa lemas, periode

kejang berlangsung selama 1–2 menit, dan terjadi

kurang lebih 1x/bulan. Pasien juga mengalami penurunan penglihatan pada mata kanan, bila

melihat benda terlihat buram. Dari pemeriksaan,

didapatkan berat badan 45 kg, tinggi badan 145 cm,

dengan indeks masa tubuh 21. Status AMPLE

didapatkan (A) riwayat sindroma Steven Johnson

karena pemberian fenitoin (+) selama perawatan,

(M) pasien memiliki alat nebulizer pribadi dengan

pengobatan Farbiven (ipratropium bromide +

salbutamol sulfate), (P) pasien rutin berobat karena

asma, dengan serangan minimal 2x/bulan, reda

dengan obat nebulizer, pencetus udara berdebu dan infeksi, pasien sempat diintubasi karena gagal nafas

sesak saat kambuh asma dengan pencetus infeksi

pneumonia di unit gawat darurat. Pasien juga

sempat dirawat di ICU karena sepsis infeksi saluran

kemih dan infeksi lokasi pemasangan Central

Venous Catheter (CVC) pada vena subklavia

kanan. (L) Puasa dilakukan 8 jam sebelum tindakan

anestesi dan operasi. (E) Pusing, nyeri kepala sejak

8 bulan yang lalu. Kejang 1x/bulan. Penglihatan

mata kanan menurun.

Pemeriksaan fisik Nafas spontan dengan udara ruangan saturasi pulse

oxymetri (SpO2) 97%, buka mulut 3 jari,

Mallampati I, gigi atas tersisa 1 pada gigi seri kiri,

gigi palsu (-), pergerakan temporomandibular joint

baik, fleksi ekstensi leher baik, auskultasi wheezing

(-), ronki (-). Akral hangat, suhu aksila 36,20C, nadi

92x/menit, tekanan darah 100/70 mmHg, Capillary

Refill Test <2 detik, Allen test radialis

dekstra/sinistra <5 detik, auskultasi suara jantung

Page 23: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

157 Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella

dengan Pendekatan Supraorbita

S12 single, murmur (-), gallop (-). Kesadaran baik, kompos mentis, GCS 15 (4-5-6), paralisa N.

kranialis (-), motorik , sensorik ,

refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak

ditemukan. Pupil 3 mm/3mm, refleks cahaya

normal/normal. Miksi spontan tidak terpasang

kateter. Bising usus (+) normal. Tulang ekstremitas

dan tulang belakang dalam batas normal.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Darah:

Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan Keterangan

Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Natrium Kalium Klorida Ureum

Kreatinin SGOT SGPT

12.8 g/dl 41%

10.570/mm3 412.000//mm3

135 mEq/L 3.47 mEq/L 107 mEq/L 14.2 mg/dl

0.54 mg/dl 13 u/L 12 u/L

PT APTT Albumin GDS BGA pH PaCO2 PaO2

HCO3 BE Saturasi

11 ( kontrol 12) detik

31 (kontrol 26) detik

3.43 u/L

90 u/L

7.35

38.4 80.1 20.6 -5.4

94.7% (room air)

Foto toraks AP normal, tes faal paru obstruksi

ringan (VC 50%, rasio FEV1/FVC = 76,5%). EKG

irama sinus 89x/menit, aksis normal, tidak

ditemukan gangguan konduksi dan perubahan

segmen ST. Optalmoskopi OD papil atrofi (+),

visus 1/300, OS papil atrofi (-), visus 2/60. EEG

tidak ditemukan gelombang epileptik ataupun

perlambatan abnormal. Hasil CT-scan (gambar 1)

menunjukkan massa solid batas tegas, ukuran

40x40x34 mm, dengan edema perifokal di suprasella kanan, massa mendesak ventrikel kanan

hingga menyempit dan terjadi midline shift ke kiri

sejauh 5 mm.

Gambar1. CT-scan pasien

Pasien didiagnosa status fisik ASA 3 dengan

riwayat asma, riwayat sepsis karena pneumonia dan

infeksi saluran kemih, riwayat sindroma Steven

Johnson karena fenitoin, leukositosis 10,570,

dengan defisit neurologis. Pasien direncanakan

untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan

intubasi. Pengobatan asma tetap diberikan hingga

pagi hari menjelang operasi yaitu steroid

deksametason 5 mg dan farbiven bila diperlukan.

Kebutuhan cairan disesuaikan dengan kebutuhan

rumatan selama puasa (85 cc/jam).

Pengelolaan Anestesi

Pasien dilakukan induksi dengan pemberian

midazolam 2,5 mg, fentanyl 150 ug titrasi, lidokain

60 mg, propofol 90 mg titrasi, vecuronium 4,5 mg,

satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan

tambahan propofol 30 mg. Intubasi dilakukan

menggunakan laryngoscope Macintosh dengan

endotracheal tube (ETT) non kinking nomor 7,

kedalaman ETT 18 cm pada tepi bibir. Anestesi pemeliharaan diberikan sevoflurane dengan aliran

oksigen dan N2O (50:50), fentanyl kontinyu 1–2

μg/KgBB/jam dan vecuronium kontinyu 0,06

mg/KgBB/jam. Setelah intubasi dilakukan

pemasangan catheter vena central (CVC) subklavia

kanan dan arterial line pada arteri radialis kanan.

Monitoring durante operasi dilakukan evaluasi

terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, arteri

rata-rata, tekanan CVC, end tidal CO2, saturasi

oksigen, gelombang EKG, pemasangan stetoskop prekordial, produksi urin melalui kateter urin,

insersi pipa nasogastrik, analisa gas darah, evaluasi

osmolaritas plasma dan kondisi hematokrit darah.

Page 24: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

158 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Grafik1. Profil tanda vital dan monitoring selama

operasi

Hasil analisa gas darah selama operasi dengan pH

7,44, PCO2 33, PaO2 188, HCO3 24, BE -0.2, Sat

99%, FiO2 40%, volume tidal (VT) 360 cc, laju

nafas 12x/menit, positive end expiratory pressure

(PEEP) 0, ET CO2 30. Pemeriksaan osmolaritas

plasma durante operasi sebesar 286 mmol/L

dengan elektrolit natrium 135, kalium 2,82, klorida

109, ureum 8,5, kreatinin 0,5, gula darah sesaat 168 mg%.

Tabel 2. Estimasi cairan selama operasi

Cairan Keluar Cairan masuk Balans

cairan

Urin 3500 cc

Pendarahan 900 cc

NS 800 cc

Mannitol 300 cc

Defisit 1000 cc

Koloid 500 cc

PRC

250 cc

Rumatan (85 cc/jam)

NS 500 cc + RL 500 cc

Cairan operasi (2 cc/Kg/jam)

RL 500 cc + NS 500 cc

Dilakukan pembedahan selama 10 jam dengan

pendekatan subfrontal, saat periosteum dibuka dura

tidak tampak tegang, dan saat dura dibuka tampak

slack brain, dilakukan eksisi tumor dengan bantuan

mikroskop. Dilakukan penutupan duramater, tutup

lapis demi lapis dan operasi selesai. Satu jam sebelum operasi berakhir terjadi pendarahan dari

vaskuler otak di daerah dekat tumor dan dilakukan

hemostasis dengan tekanan pada lokasi pendarahan,

hal tersebut menyebabkan edema pada lokasi

tersebut dan menyebabkan kesulitan saat penutupan

duramater. Dilakukan pemberian mannitol dan akhirnya dura dapat ditutup primer.

Pascabedah

Pascabedah, pasien dirawat di Unit Perawatan

Intensif (Intensive Care Unit/ICU) selama 2 hari

sebelum pindah ruangan. Hari pertama di ICU,

pasien masuk ICU jam 20.00 malam dan dalam

kontrol ventilator (pressure control, FiO2 40%, RR

12x/menit, P-inspirasi 14, PEEP 3, Vt 270–320 cc,

Sat 99%) selama 6 jam dan dilakukan weaning bertahap serta ekstubasi jam 09.00 pagi. Selama di

ICU pasien mendapatkan sedasi dexmedetomidine

0,1–0,2µg /kg/jam dan fentanyl 25 µg/jam. Satu

jam sebelum ekstubasi, deksmedetomidine dan

fentanyl dihentikan. Terapi lain di ICU adalah

ceftriaxone, ranitidin, deksametason, meto-

clopramide, mannitol, asam tranexamin,

metamizole, phenobarbital dan vitamin C.

Tabel 3. Profil Pemeriksaan Laboratorium

pascabedah di ICU

Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan Keterangan

Hemoglobin

Hematokrit

Leukosit

Trombosit

Natrium

Kalium

Klorida

Ureum

Kreatinin

SGOT

SGPT

11.6 g/dl

35.4%

21.160/mm3

334.000//mm3

136 mEq/L

3.34 mEq/L

113 mEq/L

15.5 mg/dl

0.63 mg/dl

13 u/L

8 u/L

PT

APTT

Albumin

GDS

BJ Plasma

Osmolaritas

plasma

BGA

pH

PaCO2

PaO2

HCO3

BE

Saturasi

11 ( kontrol

11) detik

33 (kontrol

26) detik

3.3 u/L

142 u/L

1.025

288 mmol/L

7.39

38.4

140.8

25

+ 1.3

99% (Fi02

40%)

Hari kedua di ICU, pasien bernafas spontan,

kondisi hemodinamik stabil, status neurologis tidak

ada penurunan, pasien dipindahkan ke ruangan.

III. Pembahasan

Tehnik kraniotomi dengan pendekatan subfrontal

dan transfrontal pertama kali diperkenalkan oleh

Franscesco Durante tahun 1884 untuk operasi kasus olfactory groove meningioma, pada periode

pascabedah tidak diketemukan adanya defisit

neurologis. Harvey Chusing melakukan reseksi

komplet meningioma daerah tuberkulum sella

dengan pendekatan subfrontal pada tahun 1916.

Selanjutnya tehnik ini banyak dikembangkan oleh

para ahli bedah saraf.5

Page 25: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

159 Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella

dengan Pendekatan Supraorbita

Sasaran dokter anestesiologi dalam bedah saraf selain memfasilitasi dilakukannya tindakan

pembedahan juga untuk mengendalikan tekanan

intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan

saraf dari cedera dan iskemia, serta mengurangi

terjadinya pendarahan selama berlangsungnya

pembedahan. Pendarahan dapat dikurangi dengan

cara menurunkan tekanan darah akan tetapi

penurunan tekanan darah harus diperhatikan karena

dapat mengakibatkan penurunan tekanan perfusi

otak dan menyebabkan iskemia pada jaringan otak

sehat maupun jaringan otak yang sudah iskemia karena tertekan tumor.6

Secara anatomi, jaringan yang terdapat dibawah

kranium terdiri dari 3 komponen, yaitu parenkim

otak (86%), darah (4%), dan cairan serebrospinal

(10%). Komposisi volume ketiga komponen

tersebut dapat berubah sesuai hukum Monroe

Kellie, akan tetapi volume totalnya selalu konstan karena volume intrakranial selalu sama, sehingga

perubahan salah satu komponen akan diikuti oleh

pergeseran komponen yang lain.6

Autoregulasi aliran darah ke otak pada kondisi

normal berkisar 50 cc/100gram/menit dengan

konsumsi basal oksigen otak 3,3 cc/100 gram/menit

dan konsumsi glukosa otak 4,5 mg/100 gram/menit,

hal tersebut dapat terjadi bila tekanan rata-rata

arteri (MAP) dijaga antara 50–150 mmHg.

Tekanan darah arteri rata-rata di bawah 50 mmHg

akan menyebabkan iskemia pada jaringan otak,

sementara tekanan di atas 150 mmHg akan

menyebabkan kerusakan sawar darah otak sehingga terjadi edema otak atau pendarahan yang lebih

buruk. Pada kasus pembedahan tumor otak maka

diharapkan target PaO2 antara 100–200 mmHg.

Pemberian kadar oksigen tinggi dengan PaO2 > 200

mmHg harus dihindari karena dapat terjadi

vasokontriksi serebral dan menyebabkan iskemi

jaringan otak. 6,8

Gambar 2. Hubungan tekanan perfusi dengan

aliran darah otak Sumber: Cottrell JE, Smith DS

8

Perubahan tekanan parsial CO2 pada arteri (PaCO2)

akan mengakibatkan perubahan aliran darah otak

karena CO2 merupakan vasodilator kuat pada pembuluh darah otak. Setiap perubahan 1 mmHg

PaCO2 antara 25–80 mmHg akan mengakibatkan

perubahan aliran darah sekitar 4%. Pada operasi

tumor otak PaCO2 dipertahankan antara 25–30

mmHg dengan tujuan unutk menurunkan aliran

darah otak. Tekanan PaCO2 di bawah 20 mmHg

harus dihindari karena dapat menyebabkan

vasokontriksi hebat dan menyebabkan iskemia

jaringan otak. 6,8

Induksi pada pasien ini dilakukan dengan pemberian midazolam sebagai koinduksi.

Pemberian midazolam untuk koinduksi dengan

dosis 30 ug/KgBB dapat mengurangi kebutuhan

obat anestesi lain untuk induksi dan memperdalam

induksi. 9

Sejak diperkenalkan tahun 1986, propofol semakin

banyak digunakan dalam induksi anestesi dan

sedasi di perawatan neurointensif. Beberapa

penelitian menunjukkan propofol memiliki efek

proteksi terhadap otak. Tekanan intrakranial, aliran

darah otak, dan metabolisme otak turun pada penggunaan propofol.7 Mekanisme kerja propofol

yaitu memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang

dimediasi oleh gamma-aminobutyric acid (GABA).

Pada pasien dengan tekanan intrakranial normal,

propofol akan menurunkan metabolisme otak 36%,

tekanan intrakranial 30% dan tekanan perfusi otak

10%. Propofol juga menurunkan tekanan

intraokular.11,14 Pada kasus ini digunakan propofol

titrasi 90 mg pada pasien dengan berat badan 45 kg.

Pemberian propofol pada sistem kardiovaskuler

dapat menyebabkan penurunan pada tekanan darah rata-rata 20% dan penurunan systemic vascular

resisten (SVR) sebesar 26% dan hasil akhirnya

adalah penurunan perfusi serebral, akan tetapi

penurunan tersebut dapat dicegah dengan

pemberian propofol secara titrasi dan pemberian

cairan sebelum induksi. Pada pasien ini diberikan

cairan ko-loading sebesar 10 cc/KgBB atau 450 cc.

Anestetika inhalasi yang digunakan dalam prosedur

ini adalah sevoflurane menggunakan aliran gas O2

dan N2O dengan perbandingan (40:60).

Penggunaan aliran oksigen 40% dilakukan dengan tujuan untuk mencegah tekanan PaO2 diatas 200

mmHg dan dilakukan konfirmasi dengan

pemeriksaan analisa gas darah. Penggunaan N2O

dipilih karena tidak tersedianya fasilitas gas

compress air. Penggunaan N2O dapat menyebabkan

vasodilatasi pembuluh darah otak secara langsung

dan meningkatkan aliran darah otak, akan tetapi

efek tersebut dapat dikurangi dengan tindakan

hiperventilasi (PaCO2 30–35 mmHg). Pada

beberapa penelitian penggunaan N2O tidak

Page 26: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

160 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

memiliki efek protektif terhadap neuron otak dan dapat menyebabkan vakuolisasi endoplasmik

retikulum serta mitokondria. N2O juga dapat

menyebabkan disinhibisi pada reseptor GABA

secara menyeluruh. Pada pasien dengan defisiensi

asam folat, penggunaan N2O dapat menyebabkan

degenerasi medula spinalis serta menghambat

pemulihan elektrofisiologis sel. Akan tetapi,

pengaruh negatif tersebut bervariasi bila N2O

digunakan bersama anestetika inhalasi lain, dengan

atau tanpa hipokapnia. 6,8

Sevoflurane digunakan dalam kasus ini karena efek

dari vasodilatasi serebral serta peningkatan aliran

darah otak yang paling rendah diantara semua gas

anestesi. Sevoflurane juga memiliki efek

neuroprotektif berupa antiapoptosis.6 Penurunan

curah jantung oleh sevoflurane juga lebih rendah

dibandingkan isoflurane ataupun halothane

sehingga menghindari pemberian cairan berlebih

atau penggunaan vasokonstriktor. Sevoflurane juga

aman digunakan pada kasus asma karena tidak

mengiritasi jalan nafas. Ekstubasi dini setelah

pemakaian sevoflurane memfasilitasi dilakukan pemeriksaan neurologis dini.10

Lidokain merupakan anestesi lokal golongan

amida. Lidokain dapat diberikan secara intravena

dengan dosis 1–1,5 mg/KgBB untuk mencegah

respon peningkatan hemodinamik dan jalan nafas

pada instrumentasi trakea saat intubasi. Onset yang

diperlukan agar lidokain dapat bekerja dengan baik

adalah 60–90 detik.9 Pada kasus ini digunakan

lidokain 60 mg intravena saat induksi dengan

harapan tidak terjadi gejolak hemodinamik yang dapat meningkatkan tekanan darah rata-rata dan

lidokain mempunyai efek proteksi otak.

Obat pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini

adalah vecuronium dengan dosis bolus 0,1

mg/kgBB dan dosis rumatan 0,06 mg/kg/jam.

Vecuronium dipilih pada kasus ini karena tidak

menyebabkan pelepasan histamin yang dapat

mencetuskan asma dan tidak meningkatkan aliran

darah ke otak yang dapat menyebabkan edema.6

Dexmedetomidine merupakan obat generasi kedua dari golongan alpha-2 agonis. Dexmedetomidine

memiliki selektifitas yang tinggi terhadap reseptor

alpha-2 yaitu sekitar 1600:1 dibandingkan terhadap

alpha–1, atau bila dibandingkan dengan klonidin

yang memiliki perbandingan sebesar 200:1.

Dexmedetomidine saat ini banyak digunakan pada

kasus perawatan intensif di ICU sebagai bagian dari

pemberian sedasi. 9,12 Efek utama dari obat ini yaitu

sebagai agonis pada reseptor alpha–2 yang dapat

menghambat pelepasan norepinepfrin yang

menyebabkan eksitasi sistem saraf pusat. Dexmedetomidine dapat memberikan efek sedasi,

anksiolisis, dan analgesia pada tingkat spinal

maupun supraspinal tanpa disertai depresi nafas.

Hal ini dapat memberi tempat untuk tindakan

ekstubasi tanpa menghentikan pemberiannya

dengan tujuan untuk sedasi pascabedah.

Keuntungan lain dari sedasi dengan obat ini bahwa

pasien dapat dibangunkan dan tetap memiliki

kemampuan kognitif yang normal, sehingga

penilaian status neurologik dapat dilakukan tiap

saat diperlukan. Sedasi tanpa gangguan kognitif dapat menjadi pilihan yang menguntungkan pada

beberapa kondisi, seperti pada kasus perawatan

pasien di ICU. Dosis awal dexmedetomidine

adalah 1 ug/KgBB intravena dengan kecepatan

pemberian lebih dari 10 menit. Dosis untuk sedasi

dan rumatan anestesi umum adalah 0,2–0,7

ug/KgBB/jam. Efek samping pemberian

dexmedetomidine berupa bradikardi, hipotensi dan

blok jantung.9 Tehnik total intravenous anesthesia

(TIVA) propofol atau dexmedetomidine disebut

sebagai tehnik brain protection dengan coupling

flow metabolism.13 Penggunaan dexmedetomidine juga mengurangi kejadian delirium setelah

penggunaan sedasi di ICU. Kejadian delirium

banyak didapatkan pada penggunaan opiat dan

benzodiazepine.7

Furosemid merupakan golongan loop diuretik yang

dapat digunakan dengan dosis 0,5–1 mg/KgBB dan

onset yang dibutuhkan adalah 30 menit. Mannitol

20% merupakan osmotik diuretik yang memiliki

osmolaritas 1086 mosm/L, dosis 0,25-0,5

gram/KgBB dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan cepat.6 Pada kasus ini digunakan kombinasi

keduanya. Pemberian mannitol yang pertama

dilakukan sebelum dilakukan kraniektomi untuk

mengurangi edema otak. Pemberian mannitol kedua

diberikan pada saat akhir operasi dengan tujuan

mengurangi edema otak terkait pendarahan dan

manipulasi otak oleh operator saat menghentikan

pendarahan yang terjadi pada saat 1 jam sebelum

operasi berakhir karena robeknya pembuluh darah.

Setelah edema berkurang maka penjahitan

duramater dapat dilakukan, dan luka operasi

ditutup.

Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk

mencegah peningkatan intakranial adalah dengan

mengatur posisi kepala pasien elevasi 15–30

derajat. Mencegah penekanan pada vena-vena

leher karena vena leher yang tertekan dapat

menyebabkan penurunan drenase vena jugularis

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial. Metode hipotermia ringan yaitu suhu

33–35 derajat celcius dapat menyebabkan

Page 27: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

161 Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella

dengan Pendekatan Supraorbita

penurunan aliran darah ke otak sekitar 5% pada setiap perubahan 1 derajat celcius. Mencegah

PEEP dengan menghindari penekanan pada daerah

abdomen dan toraks yang dapat meningkatkan

tekanan inspirasi puncak dan mempengaruhi aliran

darah ke jantung. 6 Selain itu pasien juga memiliki

riwayat asma dengan kemungkinan kambuh saat

operasi, monitoring kondisi asma selama operasi

dilakukan dengan pemasangan prekordial stetoskop

kanan dan kiri. Dilakukannya penundaan ekstubasi

karena operasi lama lebih dari 7 jam dan adanya

riwayat pembengkakkan otak selama operasi.10 Pada periode pascabedah, sedasi, analgesia dan

proteksi otak adalah hal-hal yang dapat menentukan

pencegahan terjadinya peningkatan tekanan

intrakranial.15 Pada kasus ini pascabedah telah

diberikan suplemen dexmedetomidine dan fentanyl

kontinyu dalam upaya mencakup ketiga hal diatas.

Pengelolaan cairan selama pembedahan dengan

memperhitungkan kebutuhan rumatan dan

pergantian cairan yang keluar melalui urin akibat

penggunaan diuretika. Cairan mengandung glukosa

dihindari selama empat jam pertama pembedahan dan target balans cairan adalah defisit ringan 500–

1000 cc.10 Pada pasien ini tercapai defisit 1000 cc.

IV. Simpulan

Pendekatan supraorbita pada kasus meningioma

suprasella membutuhkan kondisi otak pada area

operasi yang rileks. Hal tersebut dapat dicapai

dengan memposisikan pasien dengan baik dan manajemen neuroanestesi yang optimal dengan

mencapai parameter hemodinamik yang stabil serta

menjaga tekanan perfusi serebral dan komponen

metabolik dalam batas yang normal selama operasi.

Pemilihan obat-obatan yang akan digunakan untuk

anestesi juga harus mempertimbangkan kondisi

premorbid pasien seperti riwayat alergi dan asma,

sehingga dipilih obat yang berfungsi untuk menjaga

kestabilan hemodinamik dan perfusi serebral serta

menghindari efek samping obat yang dapat

mencetuskan asma pada kasus ini. Aplikasi tehnik anestesi yang tepat merupakan hal yang penting

untuk mendapatkan kondisi good brain relaxation,

sedangkan tujuan pemilihan tehnik operasi yang

tepat adalah minimal brain exposure dan brain

retraction.

Daftar Pustaka

1. Tan AK, Mallika PS, Aziz S, Asok T, Intan G. The importance of ophthalmic signs in the

diagnosis of suprasellar meningioma-a case report. Malaysian Family Physician 2009;4(1):26–9.

2. Markus JR, Arie P, Guido R. Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet Neurology 2006;5:1045–54.

3. Seung WC, Dong WP, Choong-Ki P, Young-Jun L, Seung RL, Ju YP. Pure intrasellar meningioma located under the pituitary gland: case report. Korean J Radiol 2013;14(2):321–3.

4. Chandler WF. Management of suprasellar meningioma.J Neuroophthalmol 2003;23(1):1–2.

5. Hafez MME, Bary THA, Ismail AS, Mohammed MAM. Frontolateral keyhole craniotomy approach to anterior cranial base. ZUMJ 2013; 1(19):6–8.

6. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi ke-2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008:1–74.

7. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic brain injury. Emergency Medicine Int 2012;2

8. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and neurosurgery. Edisi ke-4. St Louis: Mosby;2001,297–313.

9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill;2006,111–285.

10. Rao GSU. Anaesthetic management of supratentorial intracranial tumors. ISSN 2005;311(2):4–5.

11. Roosiati B, Yarlitasari D, Harahap S, Rahardjo S. TIVA pada kraniotomi pengangkatan tumor residif. JNI 2012;1(4):269–77.

12. Mani V, Morton NS. Overview of total intravenous anesthesia in children. Pediatric Anesthesia 2009:1–11.

13. Cole CD, Gottfried ON, Gupta DK, Couldwell WT. Total intravenous anesthesia: advantages for intracranial surgery. Neurosurgery 2007; 61:367–78.

14. Hemmings HC. The pharmacology intravenous anesthetic induction agent: the primer. Anesthesia 2010:6–7.

15. Gheorgita E, Ciurea J, Blanescu B. Consideration on anesthesia for posterior fossa surgery. Rumanian Neurosurgey 2012; 19(3):183–93.

Page 28: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

162

Pemanjangan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit (ICU) pada Pasien dengan

Tumor Glioma Batang Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor

Radian Ahmad Halimi, Tatang Bisri

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Kekerapan glioma batang otak mencapai 10–20% dari semua tumor primer sistem saraf pusat dan biasanya

terdiagnosa pada usia muda. Pada penanganan perioperatif perlu dipertimbangkan cara pengangkatan tumornya,

pemakaian steroid perioperatif, perencanaan ventilasi mekanik pascabedah dan fisioterapi. Seorang anak

berumur 11 tahun dengan diagnosa tumor batang otak, mengeluh tidak dapat berdiri, penglihatan ganda, afasia,

gangguan menelan. Pasien telah menggunakan kortikosteroid dalam waktu yang lama. Dilakukan operasi

pengangkatan massa tumor otak dengan lama operasi 10 jam. Pascabedah terjadi pemanjangan ventilasi

mekanik, Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada hari ke-4 dan perdarahan lambung pada hari ke-6 di

ICU. Teknik operasi sulit karena tumor berada di daerah yang sangat dekat dengan pusat pernapasan dan

hemodinamik. Diperlukan perencanaan yang matang mengenai penilaian kondisi pasien saat preoperatif,

pemantauan hemodinamik dan tekanan intrakranial, strategi perlindungan terhadap lambung, perencanaan

ventilasi mekanik, penilaian cepat perlunya trakheostomi, pemberian antibiotik untuk meningkatkan keluaran

yang lebih baik.

Kata kunci: batang otak, glioma, pascabedah, ventilasi mekanik

JNI 2013;2(3): 162–65

Prolonged Mechanical Ventilation on Postcraniotomy Tumor Removal on Brainstem

Glioma in the Intensive Care Unit

Abstract

Brain stem glioma makes 10–20% of primary central nervous system tumor and is diagnosed primarily in

children. In perioperative management, approach of tumor removal, steroid usage, mechanical ventilation

planning, good nursing care, and physioterapy, should be considered. The aim of this case report is to discuss

complications that may occur with prolonged mechanical ventilation after surgery. An 11-year old boy,

diagnosed with brain tumor, was admitted to hospital due to inability to stand, double-vision, aphasia,

swallowing disorder, with long–term corticosteroid treatment. He underwent a brain tumor removal surgery.

Surgery was conducted within 10 hours. After the surgery, he had prolonged mechanical ventilation in ICU. On

the fourth day, he suffered from ventilator associated pneumonia (VAP) and gastrointestinal bleeding on the

sixth day care in ICU. Patient presented to hospital with late onset symptoms of his condition. Operation

technique was difficult as the tumor is located within close proximity to the breathing and haemodynamic

centers. There are necessity for detailed perioperative assessment and planning, hemodynamic and intracranial

pressure monitoring, gastric protection strategy, mechanichal ventilation planning, quick assessment of

tracheostomy installment need and usage of proper antibiotic for a better outcome.

Keywords: brain stem, glioma, mechanical ventilation, postoperative

JNI 2013;2(3): 162–65

Page 29: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

163 Pemanjangan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit

(ICU) pada Pasien dengan Tumor Glioma Batang Otak

yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor

I. Pendahuluan

Kekerapan glioma batang otak 10 sampai 20% dari

semua tumor primer pada sistem saraf pusat dan

biasanya terdiagnosa pada usia muda.1 Glioma

batang otak merupakan tumor yang sangat

heterogen baik secara manifestasi klinis dan secara

bentuk patologiknya.2 Pada penanganan perioperatif

perlu dipertimbangkan berdasarkan dari cara pengangkatan tumornya, pemakaian steroid

perioperatif (methylprednisolone), perencanaan

ventilasi mekanik hingga pemulihan ventilasi dan

refleks batuk normal, pemasangan gastrostomi pada

pasien dengan gangguan menelan, asuhan

keperawatan yang baik dan fisioterapi.3 Pada cedera

batang otak pascaoperasi, sebagian besar bersifat

reversibel jika teknik bedah yang dilakukan telah

tepat. Terdapat beberapa komplikasi yang mungkin

terjadi setelah dilakukan operasi pengangkatan

tumor, diantaranya akan menyebabkan penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang dan perlunya

untuk dilakukan trakeostomi.

II. Kasus

Anamnesa

Pasien didiagnosa sebagai tumor otak sejak 4 tahun

sebelum masuk rumah sakit. Pada saat itu orang tua

pasien memutuskan untuk menggunakan obat-

obatan tradisional. Sejak 3 tahun yang lalu pasien

mengeluh tidak dapat berdiri, memiliki penglihatan

ganda, afasia, gangguan menelan dan kortikosteroid

telah diberikan kepada pasien sejak 1 bulan lalu. Tidak ada riwayat kejang. Kortikosteroid diberikan

sebelum operasi untuk mencegah terjadinya krisis

adrenal.

Pemeriksaan Fisik

Tekanan darah: 100/60 mmHg, nadi; 82x/menit,

laju napas: 16x/menit, SpO2: 99% (dengan 3L O2

melalui kanul binasal) dan suhu: 36,3oC. Status

neurologik: GCS - E4M5V - afasia, pupil isokor

dengan refleks pupil yang positif. Pemeriksaan

funduskopi menunjukkan atrofi sekunder pada

papil, gangguan pada saraf kranialis ke VII, dengan

tetraparesis dan disused atrofi.

Pemeriksaan Laboratorium

CT-scan:

• Sylvian fissure tertekan

• Temporal horn >2mm

• FH/ID=33%

• Evans= 22%

• Ventrikel 4 terdesak

• Ventrikel lateral dan ventrikel 3 melebar

• Edema periventrikel (+)

• Massa hipodens batas tegas di pons

Pengelolaan Anestesi

Induksi anestesia dilakukan dengan propofol 2

mg/kgBB, lidokain 1,5 mg/kgBB, fentanyl 3

ug/kgBB, dan vecuronium 0,1 mg/kgBB. Rumatan

anestesi dilakukan dengan isofluran 0,6–0,8 vol% dengan fresh gas flow menggunakan kombinasi

oksigen and air 3 L/menit dan propofol 50

ug/kgBB/menit. Hemodinamik stabil saat operasi

dan lama operasi adalah 10 jam.

Pascabedah

Pasien dipindahkan ke ruang perawatan ICU dan

dilakukan ventilasi mekanik. Dilakukan strategi

perlindungan terhadap otak. Antibiotik tetap

dilanjutkan dan diberikan proton pump inhibitor

dengan omeprazole. Hasil kultur darah pada awal

perawatan di ICU adalah negatif, tetapi pada kultur

darah hari ke 5, menunjukkan tanda positif terhadap staphylococcus aureus yang masih sensitif terhadap

antibiotik ceftazidime dan levofloksaxin.

Pada hari perawatan ke-4 skor Clinical Pulmonary

Infection Score (CPIS) adalah 9 dan suhu tubuh

mencapai 38,8oC dan PaCO2 menunjukkan 48

mmHg. Pada hari ke 6 perawatan, suhu tubuh

meningkat hingga 39,60C dan terjadi perdarahan

lambung dengan penurunan kadar konsentrasi

hemoglobin.Setelah perawatan hari ke-10 di ICU,

kondisi pasien semakin membaik dan faktor

pembekuan menunjukkan angka yang normal, tetapi pada hari ke-20 perawatan, haemodinamik

menjadi tidak stabil akibat perdarahan pada saluran

makan bagian atas. Kondisi pasien semakin hari

semakin memburuk dan meninggal pada hari ke-22

perawatan.

Page 30: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

164 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

III. Pembahasan

Pasien datang ke rumah sakit dalam tahap

pengobatan yang terlambat.Teknik operasi sulit

karena tumor berada di daerah yang sangat dekat

dengan pusat pengatur fungsi pernapasan, hemodinamik dan sistem organ lainnya.1,3-5

Lama operasi adalah 10 jam. Sedangkan suatu

operasi dengan durasi yang lama, dapat

menyebabkan pergeseran cairan antar kompartemen

cairan tubuh, mendepresi sistem imun tubuh,

merangsang aksis hipotalamus hipofisis adrenal dan

menyebabkan respon stres yang lebih berat.3-6

Keadaan ini dapat mempengaruhi status fisiologik

dan menyebabkan edema pada jaringan otak yang

dapat menyebabkan beberapa pusat pengatur organ

vital yang terletak pada daerah sekitar operasi menjadi terganggu fungsinya. Mengingat

kemungkinan komplikasi respirasi pascabedah

pada operasi yang berlangsung lebih dari 8 jam,

dilakukan perawatan di ICU dan dilakukan ventilasi

mekanik.2,3 Pasien ini menjalani operasi di daerah

batang otak dengan kemungkinan gangguan pusat

kardiovaskuler dan respirasi pascabedah akibat

cedera pembedahan atau terjadinya edema

intraoperatif dan pascabedah.3,4

Sebelum operasi, kortikosteroid telah diberikan

selama satu bulan, sedangkan pemberian

kortikosteroid selama lebih dari 2 minggu dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh yang

menyebabkan pasien sangat mudah terinfeksi dan

hilangnya perlindungan terhadap lambung akibat

habisnya sekresi prostaglandin pada mukosa

lambung.7-9

Sistem kardiovaskuler pasien relatif stabil sejak

dimulainya operasi dan juga di ICU, tetapi terjadi

pendarahan lambung pascaoperasi meskipun terapi

pencegahan menggunakan omeprazole dimulai

lebih awal.

Strategi perlindungan terhadap otak telah dilakukan sejak awal perawatan, tetapi ketika pasien mulai

terinfeksi ia terserang ventilator associated

pneumonia (VAP). Ventilator associated

pneumonia adalah suatu nosocomial pneumonia

(NP) yang berkembang pada pasien dalam waktu

48 jam atau lebih setelah intubasi endotrakeal.

Nosocomial pneumonia merupakan komplikasi

infeksi paling serius di rumah sakit, dan kejadiannya hanya di bawah infeksi saluran

kencing, terutama di ICU Bedah Saraf. 11

Ventilator associated pneumonia akibat pemakaian

ventilasi mekanik menyebabkan situasi menjadi

sangat sulit karena terjadi kenaikan suhu yang

meningkatkan metabolisme otak yang akan

menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak dan

peningkatan terhadap PaCO2. Kondisi tersebut

dapat mempengaruhi homeostasis otak dan pasien

sulit disapih dari ventilator.1,10,11 Pada saat terjadi

gagal nafas dan terjadi hipoksemia serta hiperkarbia akan menyebabkan peningkatan aliran darah otak

dan tekanan intrakranial serta memperberat edema

yang telah terjadi pada bagian otak yang menjalani

pembedahan.11 Pasien meninggal hari ke-22 setelah

perawatan di ICU.

Tabel 1. Faktor risiko untuk NP/VAP

Yang berhubungan dengan Pasien

Yang berhubungan dengan Intervensi

Aspirasi Intubasi endotrakeal

Kolonisasi bakteri

nasofaring

Ventilasi mekanik >24

jam

Koma, penurunan level

kesadaran

Penggunaan barbiturate

Usia tua Cedera otak traumatik

>30 tahun pada early

onset pneumonia

Obat penghambat

histamin tipe-2

>60 tahun pada late-

onset pneumonia

Pelumpuh otot

Serum albumin <2,2 Sedasi berlebihan

ARDS Penggantian sirkuit

ventilator yang sering

COPD Reintubasi/intubasi

yang diluar rencana

MODS Monitoring ICP

pH gaster tinggi Pipa nasogastrik/nutrisi

enteral

Sinusitis Nutrisi parenteral

uremia Transport pasien

Lama perawatan di ICU Dikutip dari: Rozet I.

11

Keterangan: COPD: chronic obstructive pilmonary disease,

MODS: multiorgans dysfunction syndrome, ARDS: adult

respiratory distress syndrome, ICP: intracranial pressure, ICU:

intensive care unit.

IV. Simpulan

Diperlukan perencanaan yang matang seperti

penilaian preoperatif terutama pada pasien yang

menggunakan kortikosteroid jangka panjang,

pemantauan hemodinamik saat operasi baik dengan

invasif ataupun non-invasif, perencanaan

penggunaan ventilasi mekanik untuk perlunya

pemasangan trakeostomi secara cepat hingga

Page 31: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

165 Pemanjangan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit

(ICU) pada Pasien dengan Tumor Glioma Batang Otak

yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor

pemberian antibiotik yang adekuat. Seluruh hal tersebut sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil

luaran yang lebih baik.

Daftar Pustaka

1. Stanislaw B. Recent clinical trials in diffuse

intrinsic brainstem glioma. Cancer Therapy

2007;5:379–90.

2. Polednak AP, Flannery BS. Brain, other central

nervous system and eye cancer. Cancer Supply

1995;75:330–37.

3. Smith DS. Anesthetic management for poaterior fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL,

penyunting. Cottrell and Young’s

Neuroanesthesia, edisi-5. USA: Mosby Elsevier;

2010,203–17.

4. Bruder NJ, Ravussin PA. Anesthesia for

supratentorial tumor. Dalam: Newfield P,

Cottrell JE, penyunting. Handbook of

neuroanesthesia, edisi-5. Philadelphia: Wolter

Kluwer Lippincott Wiliams & Wilkins;

2012,115–35.

5. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE.

Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, penyunting.

Clinical anesthesia, 5th ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins;2005,746–82.

6. Freeman CR, Farmer JP. Pediatric brainstem

gliomas: a review. Int J Radiat Oncol Biol Phys

1998;40:265–71.

7. Mehta VS, Chandra PS, Singh PK, Garg A,

Rath GK. Surgical considerations for ‘intrinsic’

brainstem gliomas: proposal of a modification

in classification. Neurology India. 2009;57(3).

8. Barnholtz-Sloan JS, Sloan AE, Schwartz AG.

Cancer of the brain and other central nervous

system. SEER survival monograph 2006;203–

15.

9. Weismann C. The metabolic response to stress: an overview and update. Anesthesiology

1990;73:308–27.

10. Tan JC, Banzon AG, Ayuyao F, Guia TD.

Comparison of CPIS (clinical pulmonary

infection score) and clinical criteria in the

diagnosis of ventilator-associated pneumonia in

ICU complex patients. Phil Heart Center J

2007;13(2):135–38.

11. Rozet I, Domino KB. Respiratory care of the

neurosurgical patient. Dalam: Newfield P,

Cottrell JE, penyunting. Handbook of

neuroanesthesia, edisi-5. Philadelphia: Wolter Kluwer Lippincott Wiliams & Wilkins;

2012,354–35.

Page 32: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

166

Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik dengan Penyakit Jantung Bawaan

(PJB) Sianotik: Masalah Hiperviskositas Darah

Agus Baratha Suyasa *), Nazaruddin Umar **), Bambang J. Oetoro ***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Kasih Ibu Hospital, Bali,**) Departemen Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Rumah Sakit Adam Malik-Medan

***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Mayapada Jakarta

Abstrak

Saat ini banyak penderita penyakit jantung bawaan (PJB) yang mampu bertahan sampai dewasa (15–25%).

Penderita PJB memiliki anatomi serta fisiologi yang kompleks dan spesifik dengan morbiditas dan mortalitas

perioperatif yang tinggi. Anak-anak dengan PJB meningkatkan resiko henti jantung serta mortalitas 30 hari

setelah pembedahan mayor maupun minor dibandingkan dengan anak-anak yang sehat. Cedera otak traumatik

merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa dan merupakan penyebab utama kecacatan serta kematian

pada dewasa dan anak-anak. Edema serebral sering ditemui dalam praktek klinis serta dapat menimbulkan

masalah besar termasuk iskemia serebral, yang memperburuk aliran darah otak regional dan global, pergeseran

kompartemen intrakranial akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sehingga menekan struktur vital otak.

PJB sianotik memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis

serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah merah dicurigai sebagai penyebab sindroma hiperviskositas

dimana kadar hematokrit selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark serebral. Terdapat hubungan yang

signifikan antara aliran darah otak dan kadar hematokrit namun belum jelas dinyatakan dalam literatur berapa

batas kadar hematokrit, dan kriteria untuk dilakukan phlebotomi. Namun beberapa argumentasi menyatakan

polisitemia (kadar hematokrit >60%) memiliki efek yang merugikan dan harus diturunkan dengan phlebotomi

karena kompensasi yang berlebihan akan mengganggu aliran darah regional serta aliran darah serebral.

Kata Kunci: Penyakit jantung bawaan sianotik, cedera otak traumatik, hiperviskositas darah

JNI 2013;2(3): 166–76

Anesthesia Implication in a Traumatic Brain Injury Patient with Cyanotic Congenital

Heart Disease (CHD): Blood hyperviscosity problem

Abstract

Many patients with congenital heart disease (CHD) survive to adulthood period (15–25%). Patients with CHD

have a complex and specific anatomy and physiology with high perioperative morbidity and mortality. Children

with congenital heart disease have an increased risk of cardiac arrest and 30 days mortality after both major and

minor surgeries compared to healthy children. Traumatic brain injury is one of a life-threatening conditions

which is the leading cause of disability and death in both adults and children. Cerebral edema is commonly

encountered in clinical practice which have potential to cause major problems including cerebral ischemia,

which was worsen the regional and global cerebral blood flow, intracranial compartment shift due to an increase

in intracranial pressure (ICP) therefore pressing the vital structures of the brain. Cyanotic congenital heart

disease patients have an increased hematocrit levels and this is assumed to be related to the risk of cerebral

thrombosis and stroke. Increased red blood cell mass is suspected as the cause of hyperviscosity syndrome in

which the hematocrit levels is a further risk factor for cerebral infarction is a significant relationship between

cerebral blood flow and hematocrit levels. However the haematocrit unit and criterias for phlebotomy has not

been explicitly stated in the literature. Some arguments stated that polycythemia (hematocrit levels >60%) had

an adverse effect and should be reduced by phlebotomi as excessive compensation would disrupt the regional

blood flow and cerebral blood flow.

Keywords: Cyanotic congenital heart disease, traumatic brain injury, blood hyperviscosity

JNI 2013;2(3): 166–76

Page 33: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

167 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik

dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah

Hiperviskositas Darah

I. Pendahuluan

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan

kelainan yang paling sering pada kelompok

kelainan bawaan, terjadi sekitar 8 dari 1000

kelahiran hidup. Mayoritas penderita kelainan PJB yang tidak mendapat penanganan, meninggal saat

masih bayi atau usia anak-anak dan hanya 15–25%

yang mampu bertahan sampai usia dewasa.

Beberapa dari penderita ini mungkin suatu saat

menjalani terapi pembedahan non jantung (salah

satunya bedah saraf) selama hidupnya. Penderita

dengan PJB menunjukkan anatomi serta fisiologi

yang kompleks dan spesifik. Morbiditas dan

mortalitas perioperatif meningkat pada penderita

PJB baik yang terkoreksi maupun yang tidak.

Namun belum ada studi mayor yang fokus meneliti

masalah ini. American College of Cardiology menganjurkan ada konsultasi yang baik antara

kardiologi dan anestesi.1

Anak-anak dengan PJB meningkatkan resiko henti

jantung serta mortalitas 30 hari setelah pembedahan

mayor maupun minor dibandingkan dengan anak-

anak yang sehat. Karenanya sebelum melakukan

anestesi pada penderita PJB harus memiliki pengetahuan tentang anatomi jantung yang spesifik,

fisiologi kardiorespirasi serta resiko potensial

terjadinya komplikasi pada kasus individu. Ahli

anestesi harus mengerti tentang interaksi kompleks

systemic vascular resistance (SVR) dan pulmonal

vascular resistance (PVR) serta berbagai faktor

yang mempengaruhinya, memahami empat

komplikasi mayor pada PJB dan mengetahui anak

mana yang dalam keadaan resiko tinggi.2

Cedera otak traumatik merupakan salah satu

kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada

korban kecelakaan, dan merupakan penyebab

utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan

anak-anak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami

cedera kepala traumatik setiap tahunnya di USA,

dan 50.000 orang diantaranya meninggal serta

80.000 sisanya mengalami kecacatan permanen.

Edema serebral sering ditemui pada praktek klinis

dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sakit kritis serta pasien

bedah saraf yang mengalami cedera otak akut.

Konsekuensi dari adanya edema serebri adalah

dapat menimbulkan masalah besar termasuk

iskemia serebral, yang memperburuk aliran darah

otak regional dan global, pergeseran kompartemen

intrakranial akibat dari peningkatan tekanan

intrakranial (TIK) sehingga menekan struktur vital

otak. 16

Sudah diketahui bahwa pasien dengan PJB sianotik

memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan

diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis

serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah

merah dicurigai sebagai penyebab sindroma

hiperviskositas dimana kadar hematokrit

selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark

serebral. Telah dilaporkan terdapat hubungan yang

signifikan antara aliran darah otak dan kadar

hematokrit.6

II. Epidemiologi

Sekitar 25% dewasa dengan PJB memilki tipe yang

ringan dari penyakitnya sehingga mampu bertahan

sampai usia dewasa tanpa intervensi pembedahan

maupun kateterisasi jantung. Mayoritas dewasa dengan PJB tampak sebagai pasien rawat jalan,

namun biasanya pasien ini telah menjalani prosedur

pembedahan maupun kateterisasi jantung. Lesi PJB

secara fungsional diklasifikasikan menjadi (1)

dengan shunting kiri ke kanan (acyanotic) (2)

dengan shunting dari kanan ke kiri (cyanotic).

Shunting dari kiri ke kanan terjadi jika darah yang

teroksigenasi dari atrium kiri, ventrikel kiri, serta

aorta, transit di atrium kanan, ventrikel kanan dan

arteri pulmonalis. Paru menerima darah yang tidak

teroksigenasi dari sirkulasi sistemik kemudian darah yang telah teroksigenasi mengalami shunting

melalui defek yang ada, sehingga terjadi volume

overload pada satu atau beberapa ruang jantung.

Jika defek yang ada besar dan non restriktif, maka

keduanya meningkatkan flow dan transmisi pada

pulmonary vascular bed mendekati tekanan darah

sistemik. Dalam jangka waktu lama kondisi ini

dapat merubah secara permanen struktur pulmonary

vascular bed, menyebabkan peningkatan PVR serta

berhubungan dengan hipertensi arteri pulmonal.

Jika tekanan arteri pulomonalis sama dengan

tekanan sistemik, dapat terjadi shunting dari kanan ke kiri atau bidirectional pada defek (Eisenmenger

Syndrome). Penyakit jantung bawaan sianotik

menyebabkan keterbatasan pada pulmonary blood

flow sehingga terjadi percampuran antara darah

yang teroksigenasi dengan yang tidak teroksigenasi.

Kondisi ini menurunkan oxygen content dan

menyebabkan sianosis.1

III. Fisiologi Kardiovaskular

Sirkulasi normal pada dewasa merupakan suatu

sirkulasi “seri” dimana kedua ventrikel memompa

seluruh curah jantung ke dalam sirkulasi pulmonal

dan sistemik. Sirkulasi pada anak-anak adalah

sirkulasi paralel, dimana darah yang teroksigenasi

mengalir melalui vena umbilikalis menuju fetus.

Sekitar 50% darah vena umbilikus melewati hati (bypass) melalui duktus venosus dan bercampur

dengan darah yang tidak teroksigenasi dari bagian

bawah tubuh pada vena cava inferior. Darah dari

Page 34: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

168 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

vena cava inferior mengalami shunting secara langsung melewati foramen ovale dan di ejeksikan

oleh jantung kiri menuju aorta ascenden.

Karenanya arteri koroner dan arteri serebral

diperfusi oleh darah yang memiliki tekanan oksigen

yang relatif tinggi. Vena cava superior yang kurang

teroksigenasi mengalir menuju ventrikel kanan

kemudian ke arteri pulmonalis dimana 90% aliran

mengalami shunting melewati duktus arteriosus

menuju aorta descending. Ventrikel kanan dominan

selama kehidupan fetus karena outputnya dua kali

ventrikel kiri.3

Bayi dan anak-anak yang menderita PJB memiliki

sistem kardiopulmonal yang imatur. Shunting

intrakardiak dan obstruksi sering menyebabkan

sianosis atau penyakit jantung kongestif (CHF).

Penyakit vaskuler pulmonal serta gagal jantung

kanan juga sering ditemukan. Pada kasus terjadinya

shunting kanan ke kiri, terjadi hipoksia arterial

yang berat, dimana keadaan ini menyebabkan polisitemia dengan peningkatan viskositas darah

serta koagulopati. Pada anak-anak yang normal

sirkulasi paralel fetus bertransformasi menjadi

sirkulasi seri dewasa. Perubahan normal ini

terganggu dengan adanya PJB. Singkatnya jika

hipoksia dan asidosis muncul karena PJB selama

masa neonatus dan infant, penurunan PVR normal

tidak terjadi, sehingga dapat terjadi paten duktus

arteriosus dan foramen ovale persisten.4

3.1. Sirkulasi ”Seri” Normal

Jantung normal memiliki sirkulasi pulmonal dan

sistemik yang bekerja bersama. Darah dipompakan

dalam tekanan yang berbeda ke paru-paru dan

seluruh tubuh. Tidak terdapat lubang sehingga tidak

terjadi percampuran antara darah yang teroksigenasi dan yang tidak teroksigenasi. Jika

terdapat PJB, maka terjadi percampuran antara

darah teroksigenasi dan yang tidak. Arah aliran

juga tergantung pada gradien tekanan. Shunting kiri

ke kanan menyebabkan aliran darah pulmonal yang

eksesif dan shunting kanan ke kiri menyebabkan

penurunan aliran darah pulmonal dan sianosis.

Perubahan SVR dan PVR karena anestesi memiliki

pengaruh yang besar pada defek unrestriktif yang

besar.2

Gambar 1. Sirkulasi seri normal2

Sumber : White MC 2

3.2. Sirkulasi Paralel atau Balans

Dalam hal percampuran darah yang teroksigenasi

dan yang tidak, terdapat hubungan antara intra dan

ekstra kardiak, dimana aliran darah menuju

sirkulasi sistemik dan pulmonal tergantung

resistensi masing masing lintasan dalam hal ini

tergantung pada SVR dan PVR. Aliran darah

pulmonal (pulmonary blood flow/PBF) yang

berlebihan menyebabkan edema paru serta perfusi sistemik yang tidak adekuat (nantinya berkaitan

dengan komplikasi perfusi koroner, ginjal dan

sphlanik yang jelek). Namun insufisiensi PBF juga

menyebabkan sianosis yang berat. Karena biasanya

PVR<SVR maka anak dengan PJB biasanya

memiliki PBF yang tinggi serta perfusi sistemik

yang buruk. Optimalisasi PVR dan SVR pada kasus

ini sangat sulit. Bagaimanapun, peningkatan PVR

dan penurunan SVR (yang dapat terjadi pada

induksi anestesi yang berlebihan serta hipoksia dan

hiperkarbia ringan) dapat menurunkan aliran shunting secara bermakna dan menyebabkan

penurunan curah jantung bahkan henti jantung.

Pada anak dengan ventricular septal defect (VSD)

yang besar juga dapat menunjukkan adanya

fisiologi sirkulasi balans. Anak ini predominan

dengan shunting dari kiri ke kanan. Pada saat

pemberian anestesi terjadi penurunan SVR

sehingga dapat mengubah arah shunting dan

menyebabkan desaturasi yang berat. Aliran darah

pulmonal yang berlebih pada shunting kiri ke kanan

juga menempatkan anak dalam resiko hipertensi pulmonal yang merupakan salah satu penyebab

desaturasi selama anestesi.2

Gambar 2. Sirkulasi paralel atau Balans Sumber : White MC 2

Gambar 3. Sirkulasi paralel atau balans 4

Sumber : Tempe DK 4

Page 35: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

169 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik

dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah

Hiperviskositas Darah

3.3. Sirkulasi Ventrikel Tunggal

BT-Shunt dilakukan sebelum koreksi total

(contohnya untuk tetralogy of fallot/ TOF),

sehingga merupakan tahap pertama dari sirkulasi

ventrikel tunggal. Tahap kedua adalah Glenn shunt

atau shunting cavopulmonari bidireksional. Pada

prosedur ini vena cava superior (SVC) langsung

dikoneksi ke arteri pulmonalis, dan vena cava

inferior masih bermuara pada atrium dan ventrikel

tunggal. Pada tahap ini anak akan tampak sianosis

dengan SaO2 75–85%. Tahap ketiga dikenal dengan

nama Fontane procedure dimana vena cava inferior terkoneksi pada arteri pulmonalis dan memisahkan

sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal. Sirkulasi

ventrikel tunggal memiliki satu ventrikel yang

memompa darah ke sirkulasi sistemik dan ke

sirkulasi pulmonal dimana aliran darah ke paru

bergantung pada tekanan pasif vena dari vena cava

superior dan inferior. Karenanya bergantung

seluruhnya pada gradient tekanan vena cava

superior/ vena cava inferior terhadap atrium kiri.

Pada sirkulasi ventrikel tunggal peningkatan PVR

dan tekanan positif intratorakal dapat menurunkan

PBF secara bermakna. Pada pembiusan kondisi ini sangat mempengaruhi strategi ventilasi. Perhatian

pada pemberian PEEP dan minimalisasi waktu

inspirasi serta tekanan inspirasi puncak

memaksimalkan PBF.2

Gambar 4. Sirkulasi ventrikel tunggal Sumber : White MC

2

IV. Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan (PJB)

Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan

dalam berbagai cara, salah satunya berdasarkan

percampuran darah (mixing), arah shunting,

obstruksi aliran darah atau adanya interaksi

komplek PVR dan SVR. Beberapa anak mungkin

memiliki lebih dari satu lesi sehingga masuk dalam

lebih dari satu katagori sehingga meningkatkan kejadian komplikasi.2

Tabel 1. Klasifikasi fisiologis Penyakit Jantung

Bawaan.2

1 Shunting kiri ke kanan “simple”: menyebabkan

peningkatan aliran darah pulmonal (PBF) a. Atrial Septal Defek

b. Ventrikuler Septal Defek c. Atrioventrikuler Septal Defek d. Patent Duktus Arteriosus (PDA) e. Aortopulmonari window

NB. Efek shunting pada ventrikel kanan terhadap fisiologi respiratori berbeda tergantung level dimana

shunting terjadi 2 Shunting kanan ke kiri “simple”: menyebabkan

penurunan aliran darah pulmonal (PBF) dengan sianosis

a. Tetralogi of Fallot. b. Atresia pulmonal c. Atresia Trikuspidal d. Anomali Ebstein’s

3 Shunt kompleks Menyebabkan percampuran aliran darah pulmonal

dan sistemik.Sianosis terjadi akibat interaksi kompleks antara systemic vascular resistance dan pulmonaty vascular resistance

a. Transposition of great arteries b. Truncus arteriosus c. Total anomalous pulmonary venous drainage d. Double outlet right ventricle (DORV)

e. Sindroma hipoplasi jantung kiri Semua kelainan diatas kecuali Total anomalous

pulmonary venous drainage adalah contoh sirkulasi parallel.

4 Lesi Obstruktif

a. Koartasio Aorta

b. Interupted aortic arch Sumber : White MC 2

V. Komplikasi Mayor pada Penyakit Jantung

Bawaan (PJB)

5.1. Aritmia

Kerusakan pada nodus sinus menyebabkan aritmia

atrial, seperti bradikardi, blok sinoatrial atau

supraventrikular takikardi. Hal ini dapat terjadi

asimptomatik atau berkaitan dengan kolaps

hemodinamik dan kematian yang mendadak. Kerusakan permanen biasanya terjadi setelah

perbaikan defek sinus venosus, ASD, atrial switch

procedure (Mustard atau Senning), serta

cavopulmonari anastomosis (Fontane Procedure).

Anak dengan prosedur diatas beresiko terhadap

kejadian disritmia atrial yang meningkat setiap

tahunya. Atrial takikardi perioperatif sering terjadi

pada anak dengan anomali Ebstein’s dan aritmia

maligna serta kematian mendadak sering ditemukan

pada saat saat pemasangan alat intrakardiak.

Kerusakan nodus atrioventrikuler serta bundle His

menyebabkan aritmia ventrikuler. Nekrosis dan fibrosis progresif yang meluas ke sistem konduksi

Page 36: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

170 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

diperkirakan menjadi penyebab terjadinya aritmia onset lambat. Aritmia menyebabkan kematian pada

30% pasien dengan single ventrikel. Anak dengan

koreksi TOF memiliki resiko yang meningkat

terjadinya kematian yang mendadak atau takikardi

ventrikel. Anak yang pernah mengalami blok

jantung, meningkatkan resiko 10 kali terjadinya

blok jantung setelah koreksi. Toleransi yang buruk

terhadap aktifitas fisik menunjukkan adanya gagal

jantung kanan dan hal ini merupakan resiko

terhadap kejadian takikardi ventrikel dan kematian

mendadak. Pada anak dengan resiko aritmia, faktor-faktor yang diketahui menurunkan ambang ektopik

ventrikel harus diperhatikan secara serius seperti

hiperkarbi, asidosis, hipoksia, dan penggunaan

lokal anestesi dosis besar serta epinefrin.1,2

5.2. Gagal Jantung

Gagal jantung muncul ketika jantung gagal

memompa darah untuk mencukupi kebutuhan

metabolik tubuh. Anak dengan cadangan jantung

(cardiac reserve) terbatas, harus diidentifikasi

karena mereka rentan terhadap terjadinya gagal

jantung selama anestesi. Tanda klinis dapat

bervariasi menurut umur. Takipneu, takikardi, akral dingin adalah gejala yang umumnya muncul pada

semua umur. Pada bayi biasanya ditemukan

hilangnya nafsu makan, gagal tumbuh kembang,

berkeringat serta hepatomegali. Induksi inhalasi

maupun intravena dapat dilakukan namun induksi

membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga

perlu kesabaran agar tidak terjadi pemberian obat

induksi anestesi yang berlebihan. Sevofluran 4%

lebih disukai daripada 8%, propofol memiliki efek

yang hebat terhadap tekanan darah dan curah

jantung sehingga kurang baik terhadap anak dengan PJB, ketamin lebih dipilih untuk kasus ini. Jika

gagal jantung telah terjadi, pemberian obat

vasoaktif seperti milrinone atau dobutamin

dianjurkan sebelum induksi serta monitor invasif

diperlukan walaupun untuk pembedahan minor.1,2

5.3. Sianosis, Perdarahan dan Resiko Trombosis

Sianosis kronis berkaitan dengan polisitemia dan

hemostasis abnormal. Polisitemia adalah respon

adaptif terhadap hipoksia dimana menyebabkan

pasokan oksigen sistemik yang normal tanpa

adannya peningkatan curah jantung. Pada saat

hematokrit meningkat, viskositas darah meningkat secara dramatis yang menyebabkan peningkatan

SVR dan PVR serta menurunkan perfusi arteri

koroner. Pada anak dengan PJB sianotik,

hiperviskositas berkaitan dengan trombosis vena

dan sinus intrakranial yang dapat menyebabkan

stroke. Anak dibawah 5 tahun berada pada tingkat

resiko tertinggi khususnya jika terdapat dehidrasi,

demam atau defisiensi besi. Sindroma

hiperviskositas ditandai dengan nyeri kepala, dizziness, pengelihatan kabur, kelelahan general,

kelemahan otot, myalgia, parestesia jari tangan,

kaki dan bibir, serta penurunan mentasi. Anak

dengan PJB sianotik harus selalu diperiksa kadar

Hb dan hematokrit. Terapi cairan preoperatif harus

dipertimbangkan pada kadar Hb >18 g/dL atau

hematokrit >60% untuk mencegah gejala

hiperviskositas serta trombosis. Puasa preoperatif

tidak boleh terlalu lama pada pasien ini.1,2,7,10, 23-25

Anak-anak dengan PJB sianotik, 20% diantaranya

memiliki tes laboratorium hemostasis yang abnormal. Pemanjangan PT dan APTT adalah yang

paling sering ditemukan, abnormalitas yang lain

termasuk trombositopenia, disfungsi trombosit,

hipofibrinogenemia dan peningkatan fibrinolisis.

Hemostasis abnormal ini tampaknya berkaitan

dengan tingkat sianosis serta eritrositosis,

mekanismenya masih belum jelas. Terkadang

walaupun hasil tes koagulasi normal, tidak menutup

resiko adanya perdarahan yang eksesif pascabedah.

Semua pasien dengan sianosis harus di asumsikan

dengan tingkat resiko perdarahan yang tinggi. Obat-

obatan seperti aspirin, NSAID dan heparin dapat menyebabkan koagulasi yang abnormal. Namun

jika pasien sudah dalam terapi aspirin untuk

menjaga patensi shunt, maka aspirin tetap

dilanjutkan karena resiko trombosis lebih besar

daripada perdarahan.1,2,7,10

Pada pasien yang sianotik, penggunaan premedikasi

sering ditemukan. Premedikasi meminimalisasi

distress sehingga menurunkan konsumsi oksigen

serta menjaga oksigenasi yang sudah terbatas.

Monitoring etCO2 biasanya memberikan nilai PCO2

yang lebih rendah karena adanya shunting dari kanan ke kiri. Pasien yang sianotik, respon ventilasi

terhadap hipoksia menjadi tumpul, karenanya

hipoksia yang terjadi tidak diikuti oleh respon

peningkatan ventilasi yang normal terutama jika

obat yang menekan pernafasan diberikan, seperti

opioid. Pascabedah pasien harus diawasi secara

ketat.1,2,7,10

5.4. Hipertensi Pulmonal.

Hipertensi Pulmonal didefinisikan sebagai

peningkatan tekanan rata-rata arteri pulmonalis

(PA) >25 mmHg pada saat istirahat atau >30

mmHg saat aktivitas. Dalam konteks pasien dengan PJB yang akan menjalani pembedahan non jantung,

ada 2 hal yang harus diperhatikan sehubungan

dengan resiko terjadinya hipertensi pulmonal. (1)

Adanya PBF yang eksesif karena shunting kiri ke

kanan, (2) Obtruksi pada drainase vena pulmonalis

atau paparan karena tingginya tekanan pada atrium

kiri. Hipertensi pulmonal terjadi lebih dini pada

pasien dengan lesi tertentu, contohnya

Page 37: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

171 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik

dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah

Hiperviskositas Darah

atrioventrikuler septal defek dan pada beberapa populasi pasien tertentu seperti pada sindroma

Down’s. Pada hipertensi pulmonal, vascular bed

berkaitan dengan perubahan struktur namun secara

bervariasi dipengaruhi beberapa faktor; asidosis,

hiperkarbia, hipoksia, hipotermia, peningkatan

stimulasi simpatis dan peningkatan tekanan jalan

nafas, semua faktor ini meningkatkan PVR.

Gambar 5. Faktor yang mempengaruhi

distribusi aliran darah antara sirkulasi sistemik

dan pulmonal Sumber: Cannesson M, Earing MG, Collange V, Kersten JR 1

Manajemen yang baik terhadap faktor tersebut

dapat menurunkan PVR memperbaiki fungsi ventrikel serta menurunkan derajat shunting dari

kanan ke kiri. Penanganan krisis hipertensi

pulmonal dipengaruhi oleh anatomi intrakardiak,

namun secara umum penanganan meliputi

menghilangkan penyebab yang menstimulasi

termasuk pemberian opioid atau mendalamkan

anestesi dan jika terdapat shunting intrakardiak, α-

agonis (penilefrin) harus diberikan. Suport

inotropik untuk ventrikel kanan mungkin juga

diperlukan.1,2,9

VI. Pertimbangan Umum Anestesi pada PJB

Pada saat melakukan anestesi terhadap pasien

dengan PJB, kita harus waspada terhadap adanya

kelainan bawaan lain, baik defek intrakardiak

maupun ekstrakardiak, efek perubahan

hemodinamik pada defek tersebut serta efek

kardiovaskular dari agen anestesi yang diberikan.

Patofisiologi utama pada PJB adalah shunting,

hipoksemia, gagal jantung, disritmia, edema paru

dan obstruksi pada saluran keluar (outflow tract

obstruction).5

Shunting: PBF yang eksesif karena adanya shunting

dapat menyebabkan gagal jantung, gangguan fungsi paru, obstruksi saluran nafas kecil, obstruksi

bronkus utama kiri, meningkatkan cairan paru

interstisial maupun alveoli, serta penyakit vaskular

obtruktif. Episode hipersianotik dapat terjadi pada

shunting intrakardiak. Arah shunting dapat berubah

(shunt reversal) karena SVR menurun dan PVR yang meningkat karena efek anestesi meningkatkan

tekanan jalan nafas. Episode hipersianotik selama

anestesi dapat terjadi karena stimulasi pembedahan,

obstruksi outflow ventrikel kanan, penurunan PBF

karena hipovolemia, peningkatan tekanan jalan

nafas serta penurunan SVR. Penanganan meliputi

meningkatkan volume intravaskular, oksigenasi,

menurunkan outflow tract obstruction dengan beta

bloker.5

Hipoksemia: sebagai respon terhadap hipoksemia

kronik, tubuh berusaha menormalisasi transport oksigen dengan cara: (1) Polisitemia, (2)

Meningkatkan volume darah, (3) Neovaskularisasi,

(4) Hiperventilasi alveoler. Konsekuensi dari

mekanisme adaptif ini termasuk penurunan

cadangan kardiopulmonal, peningkatan SVR karena

meningkatnya viskositas darah, trombosis renal dan

serebral terutama jika terjadi dehidrasi, serta

koagulopati. Gejala hiperviskositas diantaranya

nyeri kepala, fatique, parestesia, dizzines,

penurunan status mental biasanya pada hematokrit

>65%. Namun hemodilusi isovolemia tidak boleh

dilakukan hanya berdasarkan nilai hematokrit namun berdasarkan gejala yang ada. Resiko dari

polisitemia adalah trombosis pulmonal dan

serebral. Pada pasien yang hipoksik aliran darah

sistemik di redistribusikan ke otak, jantung dengan

penurunan perfusi ke organ splanik, kulit, otot dan

tulang. 5,18,19

Hipertensi Pulmonal: peningkatan PVR secara

permanen atau transien menjadi salah satu

komplikasi pada PJB. Peningkatan endothelin

(endothelin constricting factor) terjadi pada

hipertensi pulmonal karena PJB, diperkirakan karena peningkatan tekanan pada arteri pulmonalis.

Peningkatan densitas reseptor beta pada paru-paru

juga terjadi akibat peningkatan faktor VIII (von

Willebrand).5,18,19

Tabel 2. Faktor yang mempengaruhi PVR

Meningkatkan PVR Menurunkan PVR

Hipoksia Oksigen Hiperkarbia Hipokarbia

Asidosis Alkalosis Hiperinflasi FRC normal Pe ↑ hematokrit Pe ↓ hematokrit Stimulasi simpatis Blok simpatis

Sumber : Lake CL 5

Hiperventilasi merupakan cara paling diandalkan

untuk menurunkan PVR, namun adalah pH dan

bukan PCO2 yang mengontrol vasokonstriksi

pulmonal. Prostasiklin dan nitric oxide juga

menurunkan PVR pada pasien dengan PJB. Nitrous

oxide tidak meningkatkan PVR pada PJB, namun

Page 38: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

172 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

pada beberapa kasus ditemukan peningkatan PVR yang dramatis pada penggunaan nitrous oxide.5

VII. Cedera Otak Traumatik (Traumatic Brain

Injury)

Cedera otak traumatik di klasifikasikan menjadi

cedera primer dan sekunder. Cedera otak primer

adalah ireversibel, yang terjadi pada saat terjadinya

benturan, aselerasi-deselerasi dan menimbulkan

kerusakan pada tulang tengkorak, jaringan otak dan

jaringan saraf akibat axon yang putus (diffussed

axonal injury/DAI). Setelah kejadian cedera otak

primer, cedera sekunder muncul karena hipoksia, hiperkapnia, hipotensi, gangguan biokimia dan

hipertensi intrakranial, dimana semuanya

menyebabkan iskemik serebral. Cedera otak

sekunder dapat diatasi maupun dicegah dengan

intervensi medis yang baik. Indikasi dilakukan

pembedahan jika terjadi kompresi pada sisterna

basalis akibat karena resiko terjadinya herniasi. 1,2

7.1. Patofisiologi

7.1.1. Efek Sistemik

Respon kardiovaskular seringkali terlihat pada

stadium awal cedera otak, seperti hipertensi,

takikardi dan peningkatan curah jantung. Pada cedera otak yang berat, cedera sistemik multipel

dan kehilangan darah yang banyak, respon yang

muncul adalah hipotensi dan penurunan curah

jantung. Hipotensi (sistolik <90 mmHg) saat tiba di

rumah sakit meningkatkan mortalitas dan

morbiditas secara signifikan. Respon respirasi pada

cedera otak termasuk apnea, pola nafas abnormal,

hiperventilasi, aspirasi karena muntahan dan

central neurogenic pulmonary oedema. Regulasi

suhu tubuh juga terganggu, hipertermi dapat terjadi

dan memperberat cedera yang ada.2

7.1.2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral

Pada daerah cedera fokal, CBF dan CMRO2

menurun pada pusat cedera dan penumbra, dengan

area hipoperfusi di sekitarnya. Jika TIK meningkat

maka akan semakin hipoperfusi dan

hipometabolisme.2

7.1.3. Pembengkakan Otak Akut dan Odema

Serebral

Pembengkakan otak akut di sebabkan oleh

penurunan tonus vasomotor serta peningkatan

volume pada jaringan pembuluh darah serebral.

Pada keadaan ini peningkatan tekanan darah dapat dengan mudah menyebabkan pembengkakan otak

dan peningkatan TIK. Edema serebral seringkali

vasogenik atau sitotoksik karena kerusakan sawar

darah otak dan iskemia. Kedua keadaan diatas

dapat terjadi bersama dengan trauma kepala, jika

keadaan tersebut terjadi karena adanya hematoma intraserebral, maka TIK yang terjadi akan

menyebabkan penurunan aliran darah otak dan

iskemia. Jika tidak dilakukan penanganan segera

akan menyebabkan herniasi batang otak melalui

foramen magnum.2

7.1.4. Eksitotoksisitas, inflamasi sitokin dan

mediator

Cedera kepala menyebabkan pelepasan glutamat

dari neuron dan sel glia, meningkatkan konsentrasi

glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan

kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi phospolipase, protein kinase, protease, NO sintetase

dan enzim lainya yang memacu terbentuknya lipid

peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan

kereusakan DNA sehingga menyebabkan kematian

sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia

serebral. Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar

IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin setelah

TBI menstimulasi produksi radikal bebas, asam

arachidonat dan molekul adhesi yang mengganggu

mikrosirkulasi.2

VIII. Pertimbangan Umum pada Neuroanestesi

Evaluasi perioperatif fungsi paru-paru sangat penting. Hipoksia dan hiperkarbia intraoperatif

dapat menyebabkan otak bengkak sehingga

pembedahan menjadi sulit atau bahkan tidak

mungkin dilakukan, sehingga hal-hal yang

potensial menjadi penyebab harus ditangani

prabedah. Adanya penyakit penyerta

kardiovaskuler memiliki dampak penting pada

bedah saraf, sehingga pemeriksaan fungsi

kardiovaskuler menjadi sangat penting. Komplikasi

yang paling sering terjadi pada anestesi dan

pembedahan adalah iskemia serebral dan cedera saraf. Resiko terjadinya stroke dapat meningkat

pada keadaan tertentu. Adanya hipoksia dan

hipovolemia dapat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas. Keadaan tersebut dapat diterangkan dari

fisiologi otak, karena aliran darah otak diatur antara

lain oleh autoregulasi, PaCO2 dan PaO2. Selain itu

sistem simpatis, parasimpatis, suhu dan hematokrit

akan mempengaruhi aliran darah otak.11-13

8.1. Aliran Darah Otak

Aliran darah otak proporsional terhadap tekanan

perfusi otak. Pada pasien dengan cedera kepala,

tekanan perfusi otak < 50mmHg memiliki prognosa yang buruk. Aliran darah otak di atur oleh

autoregulasi, PaCO2 dan PaO2.

8.1.1. Autoregulasi

Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP

50–150 mmHg, pemgaturan ini disebut

autoregulasi. Berbagai keadaan dapat merubah

Page 39: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

173 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik

dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah

Hiperviskositas Darah

batas autoregulasi, misalnya hipertensi kronis, dimana autoregulasi bergeser ke kanan sehingg

mudah terjadi iskemia pada tekanan darah yang

dianggap normal. Iskemia serebral, infark serebral,

trauma kepala, hipoksia, abses otak, subdural

hematoma, arterosklerosis serebrovaskuler, obat

anestesi inhalasi juga mengganggu autoregulasi.12

8.1.2. PaCO2

Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95–1,75

mL/100gr/menit) setiap mmHg perubahan PaCO2

antara 25–80 mmHg. Jika dibandingkan dengan

keadaan normokapnea, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO2 80 mmHg dan setengahnya pada

PaCO2 20 mmHg. Karenanya hiperventilasi yang

berlebihan harus dihindari.12

8.1.3. PaO2

Bila PaO2 < 50 mmHg, akan terjadi vasodilatasi

serebral dan aliran darah otak yang meningkat.12

8.1.4. Hematokrit

Hematokrit mempengaruhi aliran darah otak secara

nyata. Bila hematokrit meningkat diatas normal,

maka aliran darah otak akan menurun karena ada

peningkatan viskositas darah.12,17,18

Otak hanya mampu menahan periode yang sangat singkat jika mengalami kekurangan pasokan darah

(iskemia). Ini karena neuron menghasilkan energi

(ATP) hampir seluruhnya oleh substrat dengan

metabolisme oksidatif termasuk glukosa dan badan

keton, dengan kapasitas sangat terbatas untuk

metabolisme anaerobik. Tanpa oksigen, energi yang

tergantung pada proses aerobik tersebut, berhenti

dan menyebabkan cedera selular ireversibel jika

darah tidak mengalir kembali dengan cepat (3

sampai 8 menit dalam berbagai situasi). Oleh

karena itu, aliran darah serebral yang memadai harus dipertahankan untuk menjamin pengiriman

konstan oksigen dan substrat serta untuk

membuang produk metabolisme.15,17,18

Aliran darah serebral (CBF) adalah tergantung pada

sejumlah faktor yang secara umum dapat dibagi

menjadi:

1. yang mempengaruhi tekanan perfusi serebral

2. yang mempengaruhi radius pembuluh darah

otak

Diameter pembuluh darah arteri otak, diatur oleh

empat faktor utama: 1. Metabolisme serebral, 2.

CO2, 3. Autoregulasi, 4. Faktor neurohumoral.

Diameter pembuluh arteri memiliki peran penting

karena juga berpengaruh pada CBF, diameter

dinaikkan (vasodilatasi) menyebabkan peningkatan

volume darah otak yang pada gilirannya

meningkatkan TIK dan mengurangi tekanan perfusi otak sehingga keseimbangan harus dijaga. Faktor–

faktor lain yang juga mempengaruhi aliran darah

otak adalah kekentalan darah yang berhubungan

langsung dengan hematokrit. Jika viskositas darah

menurun, maka CBF meningkat (Hukum Hagen-

Poiseuille). Namun, juga akan terjadi penurunan

kapasitas angkut oksigen dari darah. Hematokrit

yang optimal adalah dimana ada keseimbangan

antara aliran dan kapasitas, biasanya sekitar

30%.15,17-19

8.2. Pemilihan Obat Anestesi

Pada umumnya pemilihan obat anestesi

berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskuler,

tetapi pada pasien bedah saraf harus dipikirkan

efeknya terhadap aliran darah otak, volume darah

otak, tekanan intrakranial, cairan serebrospinal,

autoregulasi, dan respon terhadap CO2. Semua obat

anestesi intravena menurunkan aliran darah otak

kecuali ketamin yang meningkatkan aliran darah

otak.12

8.2.1. Ketamin

Merupakan vasodilator serebral, meningkatkan

aliran darah otak 60-80% dan menyababkan kenaikan tekanan intrakranial yang hanya bisa

dikurangi dengan hiperventilasi dan barbiturat.

Ketamin meningkatkan TIK secara hebat serta

peningkatan resistensi absorpsi cairan serebrospinal

yang akan meningkatkan TIK lebih dari yang

ditimbulkan oleh aliran darah otak saja. Ketamin

tidak dianjurkan untuk neuroanestesia terutama

pada pasien dengan peningkatan TIK atau

penurunan komplian intrakranial.12

8.2.2. Etomidate

Seperti halnya barbiturat etomidat menurunkan CBF, CMRO2 dan TIK. Hipotensi sistemik jarang

terjadi pada pemakaian etomidate, sehingga relatif

lebih aman digunakan pada pasien dengan

gangguan jantung. 16

8.3. Hiperventilasi

Hiperventilasi telah menjadi bagian dari

neuroanestesi dalam jangka waktu yang lama, tanpa

menyadari perubahan metabolisme dalam konteks

perubahan aliran darah otak. CBF berubah sekitar

4% untuk setiap mmHg perubahan PaCO2, dimana

pada nilai tertinggi (80mmHg) pembuluh darah

serebral dilatasi maksimal dan CBF meningkat dua kali lipat. Vasokonstriksi maksimal terjadi pada

nilai 20 mmHg dimana CBF menurun 40%.

Pemeriksaan kandungan oksigen vena jugularis

menunjukkan hiperventilasi menyebabkan

desaturasi oksigen vena serebral. Sebuah penelitian

menunjukan SjVO2 <50 % pada 40% pasien yang

Page 40: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

174 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

diperiksa. Pada studi lain tentang tekanan oksigen yang tinggi, hiperoksia yang terjadi akibat

hiperventilasi beresiko terjadinya iskemia

serebral.13

8.4. Hiperviskositas

Sudah diketahui bahwa pasien dengan PJB sianotik

memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan

diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis

serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah

merah dicurigai sebagai penyebab sindroma

hiperviskositas dimana kadar hematokrit

selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark serebral. Telah dilaporkan terdapat hubungan yang

signifikan antara aliran darah otak dan kadar

hematokrit. Pada polistemia rubra vera, sumbatan

vaskuler sering terjadi dan sebagian besar berupa

trombosis serebral, dan terdapat korelasi posistif

yang kuat antara kadar hematokrit dengan kejadian

sumbatan vaskular. Semua literatur mengatakan

bahwa pada PJB sianotik, kadar hematokrit terlalu

tinggi serta meningkatkan resiko trauma

serebrovaskular, sehingga sangat penting untuk

menurunkan kadar hematokrit. 6,17-19

Istilah ”terlalu tinggi” memang belum secara jelas dinyatakan berapa batas kadar hematokrit, dan

kriteria untuk dilakukan phlebotomi juga tidak

secara jelas dinyatakan dalam berbagai literatur.

Namun kemudian beberapa argumentasi

menyatakan polisitemia (kadar hematokrit >60%)

memiliki efek yang merugikan dan harus di

turunkan dengan phlebotomi karena kompenasi

yang berlebihan akan mengganggu aliran darah

regional serta aliran darah serebral. Pada kasus

dewasa dengan penurunan kesadaran karena

peningkatan kadar hematokrit, mengalami perbaikan setelah dilakukan phlebotomi. Pada

anak-anak, remaja dan dewasa muda dengan PJB

sianotik yang mengalami nyeri kepala, berkurang

setelah dilakukan phlebotomi. Hal yang perlu

diketahui adalah pada anak-anak dengan defisiensi

besi sianotik, kejadian sumbatan serebrovaskular

terjadi pada vena bukan arterial. Penelitian Golde

dkk, mengemukakan kehati-hatian dalam

menggunakan kadar hematokrit sebagai kriteria

untuk phlebotomi pada pasien dengan

eritrositosis.6,14,17-19

Terlepas dari apakah terdapat kompensasi terhadap eritrositosis atau tidak, tanda-tanda hiperviskositas

dipercaya berkaitan dengan sirkulasi serebral,

sehingga di asumsikan terdapat hubungan yang erat

antara kadar hematokrit, aliran darah serebral dan

cedera kepala. Penurunan kadar hematokrit

diasumsikan menurunkan resiko cedera kepala

khususnya stroke akibat trombosis arterial dengan

infark.6,14,17,19

Viskositas darah tidak hanya terdiri dari kadar hematokrit namun juga dari beberapa variabel

termasuk perubahan bentuk eritrosit, agregasi dan

dispersi elemen selular, kecepatan aliran, suhu,

kaliber pembuluh darah, integritas endotelial dan

viskositas plasma, dimana konsentrasi fibrinogen

menjadi determinan utama. Viskositas darah

memiliki sedikit efek pada aliran mikrosirkulasi

dimana kecepatan aliran tinggi, hal ini menyerupai

sirkulasi serebral dimana pembuluh darah arteri

memiliki kaliber yang kecil. Mekanisme kontrol

(autoregulasi) memiliki peran menjaga aliran darah walaupun terdapat hiperviskositas.6,14,17-19

8.5. Phlebotomi

Phlebotomi pada pasien PJB sianotik, dilakukan

berdasarkan asumsi bahwa eritrositosis yang terjadi

pada PJB sianotik merupakan predisposisi

terjadinya stroke karena trombosis arterial.

Phlebotomi kadang-kadang memiliki peranan terapi

yang penting namun jangan diasumsikan bahwa

dengan melakukan phlebotomi akan mengurangi

resiko trobosis arterial. Efek angka pendek

phlebotomi isovolumetrik terhadap eritrositosis

pada PJB sianotik diantaranya mengurangi viskositas darah yang selanjutnya menurunkan

resistensi vaskuler perifer, peningkatan volume

sekuncup (stroke volume), aliran darah sistemik,

dan transport oksigen arteri sistemik. Efek jangka

panjang phlebotomi berulang adalah defisiensi besi

dan mikrositosis dimana justru akan meningkatkan

viskositas darah secara keseluruhan. Defisiensi besi

menyebabkan tahanan yang besar pada sel darah

merah mikrospherotik untuk berubah bentuk pada

mikrosirkulasi, disamping juga menyebabkan

metabolisme anaerobik untuk kebutuhan energi sehingga produksi laktat meningkat.6,14

Karena berbagai alasan diatas, maka phlebotomi

tidak direkomendasi untuk pasien dengan

eritrositosis kompensata walaupun ketika kadar

hematorit mencapai >70% selama tanda-tanda

hiperviskositas serebral tidak ditemukan atau

ditemukan gejala ringan. Gejala hiperviskositas

serebral yang signifikan jarang ditemukan pada

kadar hematokrit <65%, namun jika ditemukan

gejala pada kadar hematokrit <65% maka

kecurigaan kita mengarah pada defisiensi besi. Jika

kita memberikan terapi besi, maka diberikan dengan dosis kecil (325 mg ferrous sulfate atau 65

mg elemental besi satu kali sehari). Pemberian

terapi besi dihentikan segera setelah ditemukan

peningkatan kadar hematokrit, biasanya dalam

waktu satu minggu.6,14,18

Indikasi yang paling kuat untuk melakukan

phlebotomi adalah jika ditemukan gejala dan tanda

hiperviskositas yang berat pada pasien dengan

Page 41: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

175 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik

dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah

Hiperviskositas Darah

kadar hematokrit >65% dimana dehidrasi bukan merupakan penyebabnya. Jumlah darah yang

dikeluarkan harus seminimal mungkin yang

dibutuhkan untuk mencapai tujuan jangka pendek

perbaikan gejala hiperviskositas. Phlebotomi

berulang harus dihindari.6,14,18

8.6. Mannitol

Telah banyak diketahui penggunaan manitol

sebagai osmoterapi pada kasus bedah saraf,

khususnya pada cedera kepala traumatik, namun

mannitol juga memiliki efek kerja non osmotik

pada hemodinamik dan sebagai antiviskositas serta membuang radikal bebas. Mannitol menurunkan

viskositas darah, tidak hanya dengan menurunkan

hematokrit tetapi juga dengan menurunkan volume,

rigiditas, serta kohesi membran sel darah merah,

sehingga menurunkan resistensi mekanis saat

melewati struktur mikrovaskular. Efek

hemodinamik mannitol adalah dengan menurunkan

SVR serta efek inotropik positif pada jantung.

Sehingga nantinya menyebabkan peningkatan curah

jantung dan penghantaran oksigen. Maninitol juga

diketahui mampu membuang radikal bebas, dengan

membuat aliran darah pada daerah yang memiliki perfusi yang buruk, juga diyakini memiliki peranan

pada fenomena no-reflow. Namun masih belum ada

data yang mendukung efek kerja manitol secara

independen terhadap radikal bebas ini.14,20

IX. Simpulan

Semakin banyaknya pasien PJB yang mampu

bertahan sampai dewasa meningkatkan

kemungkinan untuk mengalami pembedahan non

jantung. Anatomi dan fisiologi pada PJB sangat

komplek sehingga dibutuhkan pengetahuan yang

khusus terutama mengenai implikasi anestesi. Pasien dengan PJB yang sedang dan berat memiliki

resiko mortalitas yang tinggi, terutama pasien

dengan functional class yang buruk, hipertensi

pulmonal, gagal jantung kongestif dan sianosis.

Pasien dengan PJB sudah dalam keadaan

hipoksemia karena adanya shunting intrakardiak,

serta polisitemia karena kompensasi tubuh terhadap

keadaan hipoksemia. Kedua hal ini memiliki

dampak yang buruk pada operasi bedah saraf,

karena dapat mengganggu aliran darah otak,

sehingga dapat menyebabkan hipoksia serebral

serta memperburuk keadaan pada cedera kepala traumatik dimana sudah terjadi edema serebral

yang mengganggu aliran darah otak. PJB sianotik

memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan

diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis

serebral dan stroke. Terdapat hubungan yang

signifikan antara aliran darah otak dan kadar

hematokrit. Kadar hematokrit yang terlalu tinggi

serta meningkatkan resiko trauma serebrovaskular,

sehingga sangat penting untuk menurunkan kadar hematokrit. Indikasi yang paling kuat untuk

melakukan phlebotomi adalah jika ditemukan

gejala dan tanda hiperviskositas yang berat pada

pasien dengan kadar hematokrit >65% dimana

dehidrasi bukan merupakan penyebabnya.

Phlebotomi berulang harus dihindari. Mannitol

memiliki efek kerja non osmotik pada

hemodinamik dan sebagai antiviskositas serta

membuang radikal bebas. Mannitol menurunkan

viskositas darah, tidak hanya dengan menurunkan

hematokrit tetapi juga dengan menurunkan volume, rigiditas, serta kohesi membran sel darah merah,

sehingga menurunkan resistensi mekanis saat

melewati struktur mikrovaskular.

Daftar Pustaka

1. Cannesson M, Earing MG, Collange V,

Kersten JR. Anesthesia for noncardiac surgery

in adult with congenital heart disease. Dalam:

Riou B, penyunting. Anesthesiology 2009;

111, 432–40.

2. White MC. Anaesthetic implications of

congenital heart disease for Children

undergoing non-cardiac surgery. Dalam: Anesthesia and Intensive Care. Oxford:

Elsevier Ltd; 2009, 10:10.

3. Streitz SL, Hickey PR. Cardiovascular

physiology and pharmacology in children:

normal and diseased pediatric cardiovascular

system. Dalam: Cote CJ, Ryan JF, Todres ID,

Goudsouzian NG, penyunting. A practice of

anesthesia for infants and children. Edisi ke-2.

Philadelphia:WB Saunders; 1993, 271–90.

4. Tempe DK. Anesthesia for the management of

congenital heart defect. Dalam: Tempe DK. Clinical practice of cardiac anesthesia. Edisi

ke-2. New Delhi: Modern Publisher;2004,

143–75.

5. Lake CL. Anesthesia for noncardiac surgery in

children with congenital heart disease. Revista

exican de Anestesiologia 2004; 27, (1): 63–66.

6. Perloff JK, Marelli AJ, Miner PD. Risk of

stroke in adults with cyanotic congenital heart

disease. Circulation. 1993; 87 : 1954-59.

7. Hamid M, Khan MA, Akhtar MI, Saleemullah

H, Khalid S, Khan FH. Grown up congenital

heart disease patient presenting for non cardiac surgery: anesthetic implications. J Park Med

Assoc. Review Article 2010; 60 (11): 955–59.

Page 42: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

176 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

8. Colman JM. Noncardiac surgery in adult congenital heart disease. Dalam: Gatzoulis

MA, penyunting. Management and diagnosis

of adult congenital heart disease. London:

Elsevier Ltd; 2003, Chapter 12.

9. Berger J. Pulmonary hypertension in

congenital heart disease. Medscape Pulmonary

Medicine 2012.

10. Walker F, Mullen MJ, Wood SJ, Webb DG.

Acute effect of 40% oxygen supplementation

in adults with cyanotic congenital heart

disease. Heart 2004; 90: 1073–74.

11. Patel P. Brain protection-the clinical reality.

Anestesiologia 2007; 30 (Supl 1): 101–7.

12. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Bandung:

Saga Olahcitra; 2011.

13. Turner JM. Some general consideration in

neuroanesthesia. Dalam: Matta BF, Menon

DK. Turner JM. penyunting. Textbook of

neuroanesthesia and critical Care. London:

Greenwich Medical Media LTD; 2000, 171–9.

14. Puspitasari F, Harimurti GM. Hyperviscosity

in cyanotic congenital heart disease. Review

article. Jurnal Kardiologi Indonesia 2010; 31(1): 41–7.

15. Hill L, Gwinnutt C. Cerebral blood flow and intracranial pressure. Update in Anesthesia

2007.

16. Sakabe T, Bendo A. Anesthetic management of

head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE.

prnyunting. Handbook of neuroanesthesia.

Edisi ke–4. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins; 2007, 91–110.

17. Tomiyama Y, Brian JE, Todd MM. Plasma

viscosity and cerebral blood flow. Am J

Physiol Heart Circ Phisiol 2000; 279 (4):

1949–54.

18. Rose SS, Shah AA, Hoover DR, Saidi P.

Cyanotic congenital heart disease with

symptomatic erythrocytosis. J Gen Intern Med

2007; 22 (12): 1775–77.

19. De Filippis AP, LawK, Curtin S, Eckman JR.

Blood is thicker than water: the management of

hyperviscosity in adults with cyanotic

congenital heart disease. Cardiol Rev 2007; 15

(1): 31–4.

20. Diriger MN, Scalfani MT, Videen TO, Dhar R,

Powers WJ. Effect of mannitol on cerebral

blood volume in patients with head injury. Neurosurgery 2012; 70 (5): 1215–8.

Page 43: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

177

Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak Traumatik:

apakah masih diperlukan?

Dewi Yulianti Bisri

Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RS. Hasan Sadikin–Bandung

Abstrak

Angka kejadian cedera otak traumatika (COT) masih cukup tinggi berkisar 1,4 juta pertahun dengan angka

kematian 15–20%. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat sering terjadi setelah COT yang dihubungkan

dengan angka mortalitas dan morbiditas. Terapi hipertensi intrakranial harus dimulai bila tekanan intrakranial 20 mmHg atau lebih, karena makin tinggi kenaikan tekanan intrakranial makin tinggi mortalitas. Komplikasi

peningkatan TIK adalah terjadinya iskemia dan herniasi otak. Pada guideline terapi hipertensi intrakranial

dikenal first-tier therapy dan second-tier therapy. First-tier therapy adalah drenase cairan serebrospinalis,

hiperventilasi sedang mencapai PaCO2 30–35 mmHg, dan pemberian osmotik diuretik mannitol. Mannitol

mampu menurunkan volume otak dan TIK, mengurangi viskositas darah, meningkatkan aliran darah otak,

sehingga akan memperbaiki pasokan oksigen. Peningkatan deformabilitas eritrosit akan membantu menurunkan

TIK. Akan tetapi, Cochrane systematic review menemukan tidak cukup data untuk membuat rekomendasi

penggunaan mannitol untuk pengelolaan pasien cedera otak traumatik.Terapi diuretik dengan mannitol 0,25–1

g/kg diinfuskan dalam waktu lebih dari 10 menit sampai 20 menit dan diulang setiap 3–6 jam. Osmolaritas

plasma harus dipantau dan tidak boleh lebih dari 320 mOsm/L. Efek akan dimulai pada menit ke 15–30 setelah

pemberian dan menetap 90 menit sampai 6 jam. Simpulannya adalah karena dari guideline Brain Trauma Foundation yang menyebutkan bahwa mannitol digunakan untuk first-tier therapy, maka pada pekerjaan sehari-

hari dalam mengelola pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial kita tetap memberikan terapi

mannitol.

Kata kunci: cedera otak traumatik, hipertensi intrakranial, mannitol, osmotik diuretik.

JNI 2013;2(3): 177–87

Mannitol for Intracranial Hypertension in Traumatic Brain Injury: is it still needed?

Abstract

The incidence of traumatic brain injury (TBI) remains high, about 1.4 million per year with a mortality rate of

15–20%. Increased intracranial pressure (ICP) is very common after TBI. Increased ICP is associated with

incidence of mortality and morbidity. Intracranial hypertension therapy should be initiated when the ICP is 20

mmHg or more, as higher increase in ICP will increase mortality. Complications of elevated ICP include brain

ischemia and brain herniation. Intracranial hypertension treatment guidelines include first-tier and second-tier

therapy. First-tier therapy is cerebrospinal fluid drainage, hyperventilation, achieving PaCO2 30–35 mmHg, and

osmotic diuretic: mannitol administration. Mannitol can reduce brain volume and ICP, reduce blood viscosity, improve cerebral blood flow, therefore improving the supply of oxygen. Increased erythrocyte deformability will

help to reduce ICP. However, the Cochrane systematic review found insufficient data to make recommendations

on the use of mannitol for the management of TBI patients. Diuretic therapy with mannitol 0.25 to 1g/kg

infused in just over 10 minutes to 20 minutes and repeated every 3–6 hours. Plasma osmolarity should be

monitored and should not be more than 320 mOsm/L. Effect will begin 15–30 minutes after administration and

settled 90 minutes to 6 hours. Brain Trauma Foundation guidelines states that mannitol is used as first-tier

therapy, therefore we administer manitol as part of management of patients with severe head injury with

intracranial hypertension.

Keywords: intracranial hypertension, mannitol, osmotic diuretic, traumatic brain injury

JNI 2013;2(3): 177–87

Page 44: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

178 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

I. Pendahuluan

Angka kejadian cedera otak traumatik (COT) masih

cukup tinggi berkisar 1,4 juta pertahun dengan

angka kematian 15–20% pada populasi usia 5–35

tahun dan 1% pada dewasa muda. Di United

Kingdom setiap tahunnya hampir mendekati 1,4

juta orang mengalami cedera otak traumatik.

Sekitar 3500 pasien yang mengalami cedera otak

traumatik dilakukan perawatan di ruang perawatan

intensif (intensive care unit/ICU), dengan angka

kematian 23% pada cedera kepala traumatik berat

yang telah dilakukan resusitasi.1

Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat

sering terjadi setelah terjadinya cedera otak

traumatik yang erat dihubungkan dengan angka

mortalitas dan morbiditas. Pada periode setelah

terjadinya cedera otak traumatik dapat terjadi

hipertensi intrakranial, hipotensi sistemik, hipoksia,

hiperpireksia, hipokapnia dan hipoglikemia dimana

parameter ini dapat digunakan sebagai prediksi

memburuknya outcome setelah terjadinya cedera

otak traumatik.1-4

Salah satu kunci terapi untuk penatalaksanaan

edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial (hipertensi intrakranial) adalah terapi hiperosmolar.

Terapi hiperosmoler terutama diindikasikan untuk

hipertensi intrakranial akut. Larutan hiperosmoler

yang digunakan untuk terapi hipertensi intrakranial

adalah mannitol dan hipertonik salin. Mannitol 20%

merupakan suatu osmotik diuretik yang sering

digunakan sebagai terapi hipertensi intrakranial,

namun adanya beberapa data yang menunjukkan

nilai signifikan terhadap kerugian yang ditimbulkan

oleh pemberian mannitol maka direkomendasikan

penggunaan hipertonik salin sebagai pilihan lain.1-5

Kompartemen intrakranial setelah cedera terdiri

dari otak, cairan serebrospinal, darah dan dalam

kasus tertentu, lesi massa patologik. Volume dalam

tulang tengkorak yang kaku ini menghasilkan suatu

tekanan, yaitu tekanan intrakranial. Pentingnya

pengukuran TIK pada pasien cedera kepala berat

sangat ditekankan. Pertama, merupakan alat pantau

untuk identifikasi dini penambahan lesi massa pada

pasien yang paralisis dan disedasi, dimana

pemeriksaan neurologik dibatasi pada ukuran dan

respons pupil. Kedua, dapat mengukur tekanan

perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) dari rumus CPP=MAP–TIK. Walaupun banyak protokol

klinis ditujukan pada target CPP, tapi ada bukti

yang menunjukkan bahwa TIK merupakan faktor

independen untuk outcome. Sejumlah penelitian

retrospektif telah mengidentifkasi TIK 20–25

mmHg sebagai suatu faktor pemisahan antara

pasien dengan kemungkinan outcome baik atau

buruk. Nilai ini secara empirik sebagai satu ambang

patologik dan usaha tindakan harus dilakukan untuk menurunkan TIK dibawah limit ini.1-5

Iskemia serebral adalah faktor cedera sekunder

yang paling penting yang mempengaruhi outcome

setelah COT dan untuk mencegah hal tersebut,

pemeliharaan CPP menjadi pengelolaan sentral

pasien COT. Bukti pertama bahwa

mempertahankan CPP diatas target adalah

menguntungkan berasal dari penelitian Rosner dkk,

yang menunjukkan perbaikan bila CPP

dipertahankan >70 mmHg. Walaupun penelitian ini

bukan randomized clinical trial (RCT), tapi menimbulkan perubahan paradigma dalam

pengelolaan COT dan 70 mmHg telah diadopsi

sebagai target CPP pada Brain Trauma Foundation

(BTF) guidelines yang pertama yang dipublikasikan

tahun 1996.Walaupun peningkatan CPP merupakan

jalan yang berguna untuk meningkatkan pasokan

oksigen ke otak, tetapi tetap sesuatu yang harus

diperhitungkan.1

Hilangnya autoregulasi vaskuler pada otak yang

cedera adalah keadaan yang umum terjadi pada

COT dan menyebabkan disosiasi antara aliran darah

otak (cerebral blood flow/CBF) dan keperluan metabolik. Dalam keadaan ini, peningkatan CPP

dapat menimbulkan penambahan diameter

pembuluh darah, meningkatkan volume darah otak

(cerebral blood volume/CBV) dan TIK.

Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler

serebral dapat menimbulkan edema vasogenik,

yang juga akan meningkatkan TIK. Suatu

pendekatan alternatif adalah Protokol Lund, yang

menyarankan mengurangi target CPP ke level 50

mmHg untuk menghindari iskemia tapi juga tidak

menimbulkan cedera lebih lanjut. Lebih jauh lagi, menaikkan MAP dengan cairan dan inotrop untuk

mempertahankan CPP dihubungkan dengan

komplikasi kardiorespirasi. Target CPP 70 mmHg

dibandingkan dengan 50 mmHg menunjukkan

meningkatnya asupan cairan, inotropik, dan

penggunaan monitoring invasif dan 5 kali

terjadinya komplikasi ARDS. Jelas ada

keseimbangan antara perbaikan pasokan oksigen

ke otak dan menghindari komplikasi dari kenaikan

MAP. Situasi menjadi sulit dengan adanya

kenyataan bahwa setelah COT ada heterogenitas

metabolik dalam otak yang telah cedera, dimana beberapa daerah mungkin iskemia pada nilai CPP

dimana secara umum mencukupi. Baru-baru ini,

pada BTF guideline 2007 target CPP adalah 60

mmHg, jangan kurang dari 50 mmHg karena ada

resiko iskemia otak, tapi jangan lebih dari 70

mmHg karena ada resiko terjadinya ARDS. 1

Tekanan intrakranial dan CPP harus dikendalikan

melalui sejumlah cara, termasuk mengurangi

Page 45: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

179 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak

Traumatik: apakah masih diperlukan?

keperluan metabolik dengan menggunakan sedasi, hiperventilasi, terapi hiperosmoler, hipotermia, dan

pembedahan.

II. Patofisiologi Hipertensi Intrakranial

Cedera kepala merupakan penyebab utama

kematian dan kecacatan pada kelompok usia muda.

Angka terbesar kejadian cedera kepala disebabkan

oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala atau

cedera otak merupakan trauma yang paling serius

dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan

terapi yang cepat dan tepat untuk mendapatkan

outcome yang baik. Kerusakan otak pascatrauma ditentukan oleh kombinasi cedera primer dan

cedera sekunder.2,4,6

Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika

terjadinya trauma. Cedera primer merupakan

kerusakan yang diakibatkan oleh trauma mekanik

langsung dan aselerasi-deselerasi pada tulang

kepala yang dapat menimbulkan fraktur tulang

kepala, robekan difus, robeknya pembuluh darah

atau kerusakan neuron, akson, dendrit dan lesi

intrakranial pada jaringan otak. Cedera primer

akibat kekuatan mekanik pada tulang kepala dan

otak pada saat trauma, menyebabkan terjadinya cedera otak fokal atau difus. Cedera otak difus

dibagi atas dua kategori yaitu brain concussion dan

diffuse axonal injury (DAI). Brain concussion

adalah hilangnya kesadaran yang berakhir < 6 jam,

sedangkan DAI adalah koma traumatika yang

berakhir > 6 jam. Cedera otak fokal ada beberapa

tipe yaitu brain contusion, Epidural hematoma,

Subdural hematoma, intraserebral hematoma.

Cedera primer sudah terjadi ketika pasien dilihat

oleh tenaga medis/paramedis, karena itu cedera

primer tidak dapat dikurangi. 2,4,6

Sebaliknya dari cedera otak primer, cedera otak

sekunder berkembang sepanjang waktu dalam

menit, jam, atau hari dari cedera primer yang

mungkin terjadi pada periode perioperatif, sehingga

menimbulkan kerusakan pada jaringan saraf.

Penyebab cedera sekunder dapat sistemik atau

intrakranial. Pencetus umum dari cedera sekunder

adalah hipoksia serebral dan iskemia. Penyebab

sistemik adalah hipoksemia, hiperkapnia, arterial

hipotensi, anemia, hipoglikemia, hiponatremia, dan

imbalans osmotik, hipertemia, sepsis, koagulopati,

hipertensi. Cedera sekunder khas dengan adanya kaskade kompleks dari perubahan molekuler dan

biokimia yang membawa ke arah neuroinflamasi,

edema otak, dan kematian sel otak yang lambat.

Hipoksia dan hipotensi merangsang dan

mengekalkan iskemia serebral serta cedera

reperfusi, merupakan prediktor independen

terjadinya efek buruk setelah cedera kepala. Cedera

sekunder disebabkan oleh hal-hal berikut: a)

disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia), b) ketidakstabilan kardiovaskuler (hipotensi, curah

jantung yang rendah), c) peningkatan tekanan

intrakranial, serta d) kekacauan biokimia. 2,4,6

Peningkatan TIK >20 mmHg memegang peranan

utama untuk perburukan status neurologik melalui

gangguan perfusi otak. Dalam usaha mengurangi

intensitas dan lama peningkatan TIK, infus

mannitol telah direkomendasikan sebagai first-line

agent selama bertahun-tahun. Meningkatnya

ketertarikan penggunaan larutan salin hipertonik

pada setting klinis, merupakan tantangan bagi penggunaan mannitol. Efektivitas mannitol

terhadap mortalitas belum jelas, sebagaimana

diketahui dari review Cochrane. Menariknya, ada

keterbatasan penelitian RCT yang membandingkan

mannitol dan salin hipertonik tentang

kemampuannya menurunkan TIK. Pada beberapa

penelitian, volume infus tidak ekuimolar antara 2

cara pengobatan. Disebabkan karena besarnya

pengerutan otak bergantung pada besarnya gradien

antara plasma dan kompartemen jaringan otak,

maka perbandingan tentang efektivitas mannitol

dan salin hipertonik dalam mengurangi TIK sulit diinterpretasi. Masalah ini di alamatkan pada 2

penelitian crossover RCT, yang menunjukkan lebih

efektif pada TIK setelah infus salin hipertonik

dibanding mannitol. Pada 2 penelitian, laporan

lebih lama waktu berlangsungnya penurunan TIK

setelah salin hipertonik dibanding mannitol, akan

tetapi, kombinasi salin hipertonik dengan larutan

HES 6% atau dengan larutan dextran 6%.7,8

Herniasi transtentorial (HTT) adalah suatu

sindroma klinis yang terdiri dari dilatasi pupil dan

penurunan level kesadaran. Pada pasien dengan pemantauan TIK, HTT kebanyakan terjadi pada

pasien dengan peningkatan TIK, akan tetapi, dapat

juga terjadi pada pasien dengan TIK normal atau

rendah. HTT dapat juga didefinisikan secara

anatomi atau radiologik sebagai protrusi lobus

temporal medial melalui tentorium serebri, dengan

akibat penekanan batang otak, saraf kranial, dan

struktur pembuluh darah intrakranial utama. Kedua

sindroma HTT (tanpa atau dengan kenaikan TIK)

dan peningkatan TIK akut yang terus menerus

adalah satu emergensi medis yang memerlukan

tindakan segera dan efektif. Mortalitas akibat TTH adalah tinggi, tapi terapi medikal dan bedah yang

agresif dapat menyelamatkan nyawa dan pemulihan

neurologik yang berarti. Pengelolaan medikal pada

pemulihan TTH dan terapi peningkatan TIK telah

ditujukan pada beberapa intervensi termasuk

hiperventilasi, penekanan metabolik, posisi pasien,

dan obat hiperosmoler. Tujuan intervensi ini untuk

menurunkan volume isi ruangan intrakranial

termasuk CSF, darah, dan air otak dengan variasi

Page 46: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

180 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

mekanisme untuk mengakomodasi lesi patologik. Obat hiperosmoler merupakan cara terapi utama

dalam pengelolaan peningkatan TIK dan TTH.

Obat hiperosmoler seperti mannitol dan salin

hipertonik meningkatkan osmolaritas serum tapi

dikeluarkan dari otak karena adanya sawar darah

otak, menimbulkan perbedaan osmotik, dan air

didorong keluar dan mengurangi volume otak.9

Walaupun muncul bukti bahwa HS aman dan

efektif untuk terapi TTH, mekanisme kerja yang

mendasarinya masih perlu dijelaskan. Tambahan

pertanyaan sekitar peran diuresis dalam pengelolaan TIK dengan cairan hipertonik,

mengarah kepada pertimbangan tentang

penggunaan terapi hipertonik, mannitol dan HS,

pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik.9

III. Brain Trauma Foundation Guideline untuk

Pengelolaan Hipertensi Intrakranial

Hipertensi intrakranial terkait erat dengan angka

mortalitas sehingga berbagai cara dilakukan untuk

menurunkan hipertensi intrakranial, mulai tindakan

medis hingga dengan menggunakan obat-obatan.

Suatu penelitian retrospektif telah mengemukakan

bahwa apabila tekanan intrakranial >20–25 mmHg merupakan faktor yang akan mempengaruhi baik

buruknya outcome pasien. 1-5

Hipertensi intrakranial setelah cedera kepala berat

(CKB) terjadi pada 50–64% pasien yang koma

akibat CKB. Setelah evakuasi hematoma

intrakranial, hipertensi intrakranial masih terjadi

pada 50–70% pasien. Kejadian hipertensi

intrakranial lebih besar setelah evakuasi hematoma

intraserebral (71%) dibandingkan dengan setelah

evakuasi hematoma epidural (39%). Hubungan

antara beratnya hipertensi intrakranial dengan outcome yang buruk adalah bila TIK <15 mmHg

77% outcome baik, bila TIK >15 mmHg hanya

43%. Bila TIK <25 mmHg mortalitas 15%, dan bila

TIK >25 mmHg, mortalitas 69%. TIK 0–20

mortalitas 19%. TIK 21–40 mortalitas 28%, TIK

41–80 mortalitas 79%.6

Terapi hipertensi intrakranial harus dimulai bila

tekanan intrakranial 20 mmHg atau lebih, karena

makin tinggi kenaikan tekanan intrakranial makin

tinggi mortalitas. Komplikasi peningkatan tekanan

intrakranial adalah terjadinya iskemia otak

(CPP=MAP–TIK) dan herniasi otak. Pada guideline terapi hipertensi intrakranial dikenal first-tier

therapy dan second-tier therapy. First-tier therapy

dan second-tier therapy dilakukan setelah

dilakukan penguasaan jalan nafas dan tekanan

darah, lalu terapi dilanjutkan untuk mengendalikan

hipertensi intrakranial. Pengelolaan hipertensi

intrakranial merupakan suatu hal yang krusial

karena tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) langsung berhubungan dengan dua

unsur yaitu tekanan darah rata-rata dan tekanan

intrakranial.4

Pada tahun 1996 Brain Trauma Foundation (BTF)

mempublikasikan guidelines bahwa CPP

dipertahankan pada tekanan >70 mmHg, dengan

target untuk meningkatkan penghantaran oksigen

menuju otak. Pada BTF guideline tahun 2007,

target CPP adalah 50–70 mmHg. Tidak boleh <50

mmHg karena ada bahaya iskemia otak, tapi tidak

boleh >70 mmHg karena ada ancaman terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS).4-5

Berbagai manuver dan obat digunakan untuk

menurunkan tekanan intrakranial. Sebagai contoh,

pemberian diuretik, hiperventilasi, pengendalian

tekanan darah sistemik digunakan untuk

mengurangi edema serebral dan brain bulk, dengan

demikian menurunkan tekanan intrakranial. Pada

pasien dengan hipertensi intrakranial harus

dilakukan hal-hal berikut:4

Pasang monitor TIK

Pertahankan Tekanan Perfusi Otak 50–70 mmHg.

• Terapi First-tier: drenase ventrikel (bila tersedia), mannitol 0,25–1 g/kg (dapat diulang

bila osmolaritas serum <320 mOsm/L dan pasien euvolemik), hiperventilasi untuk

mencapai PaCO2 30–35 mmHg.

• Terapi Second-tier: Hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 <30 mmHg (dianjurkan

dipasang monitor SJO2, AVDO2, dan atau

CBF), dosis tinggi barbiturat, hipotermia,

terapi hipertensif, kraniektomi dekompresif.

Drenase cairan serebrospinal dilakukan apabila

diperlukan. Penarikan cairan serebrospinal

dilakukan sebanyak 3-5cc, dilakukan dengan

lambat, dan penarikan cairan serebrospinal secara

cepat tidak direkomendasikan. Tindakan

hiperventilasi harus dilakukan dengan pemasangan monitor endTidal CO2. Hiperventilasi yang

direkomendasikan adalah hiperventilasi sedang

dengan tujuan mencapai PaCO2 30-35 mmHg.

Hiperventilasi profilaksis sekarang sudah tidak

direkomendasikan lagi pada guideline tersebut pada

24 jam pertama setelah terjadinya cedera otak

traumatika. Tujuan dilakukannya hiperventilasi

pada keadaan hipertensi intrakranial adalah

menurunkan TIK dan memperbaiki CPP. Mannitol

dianggap terapi hiperosmolar standard dan

merupakan suatu rekomendasi untuk terapi first tier

sebagai first line hiperosmolar. 4

Pemberian dosis tinggi barbiturat dapat dilakukan

sebagai terapi hipertensi intrakranial. Dosis tinggi

Page 47: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

181 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak

Traumatik: apakah masih diperlukan?

barbiturat sering juga disebut sebagai koma barbiturat. Pemberian barbiturat bertujuan memblok

efluks K, Na, dan kalsium, pembentukan radikal

bebas, menghambat terjadinya kejang dan

menurunkan tekanan intrakranial. Untuk

melakukam pemberian dosis tinggi barbiturat dapat

dilakukan dengan cara:

• Eisenberg Pentobarbital Protocol: Loading dose pentobarbital 10 mg dalam 10 menit atau

5 mg/kg/jam untuk 3 jam, dan dosis rumatan 1

mg/kg/jam.

• Thiopental: loading dose 10–20 mg/kg bolus perlahan-lahan dilanjutkan dengan 3–5

mg/kg/jam.

• Thiopental: loading dose 5–11 mg/kg dilanjutkan dengan 4–6 mg/kg/jam.

• Pentobarbital dosis awal 10 mg/kg berikan dalam waktu 30 menit dilanjutkan dengan

bolus 5 mg/kg/jam selama 3 jam dan

kemudian infus 1–3 mg/kg/jam.

• Propofol: loading dose 1–2 mg/kg dilanjutkan dengan 2–10 mg/kg/jam.

Perlu diperhatikan dalam pemberian propofol, dapat menimbulkan propofol infusion syndrome.2

Sindroma infus propofol sangat jarang terjadi, akan

tetapi, merupakan sindroma yang mematikan akibat

dari metabolik asidosis, miokardiopati akut, dan

miopati skelet akibat pemberian infus propofol

yang lama (>48 jam) dosis besar (>5 mg/kg/jam).

Hal ini disebabkan karena kegagalan metabolisme

asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) sekunder

dari inhibisi masuknya FFA ke mitokondria dan

tempat khusus pada rantai respirasi. 2,10

Hipotermia yang dianjurkan menurunkan suhu hingga 35OC untuk mengurangi hipertensi

intrakranial. Hipotermia harus dilakukan sesegera

mungkin, bertolak belakang dengan rewarming

yang harus dilakukan secara lambat. Hipotermia

bertujuan untuk menurunkan laju metabolisme dan

selanjutnya pengosongan energi; mengurangi

pelepasan neurotransmitter eksitotoksik; mencegah

kerusakan sawar darah-otak dan selanjutnya

mengurangi pembentukan edema serebral;

mengurangi produksi radikal oksigen bebas akibat

gangguan fungsi mitokondria dan aktivasi sel-sel

inflamasi termasuk mikroglia, reaksi anti-inflamasi lain; penekanan jalur kematian sel tertentu atau

mekanisme upregulation kelangsungan hidup sel. 2,4,11

Dekompresif kraniektomi merupakan terapi

alternatif lain yang dapat dilakukan pada pasien

dengan keadaan edema otak difus untuk

memaksimalkan terapi secara medikasi. Menurunkan salah satu isi dari pada kepala untuk

menurunkan tekanan intrakranial. Secara luas dapat

dilakukan kraniektomi bilateral frontotemporal,

duratomi dan duraplasti mungkin dapat dilakukan.

Dekompresi kraniektomi dapat menurunkan

tekanan intrakranial, namun tidak menjamin

outcome neurologik. 2,4

IV. Osmotik Diuretik

Penurunan tekanan intrakranial yang cepat dapat

dicapai dengan pemberian diuretik. Dua macam

diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik mannitol dan loop diuretik furosemid.

Terapi hiperosmoler digunakan untuk terapi pasien

dengan edema serebral dan hipertensi intrakranial.

Larutan ini digunakan untuk terapi hipertensi

intrakranial melalui penambahan volume plasma

dengan optimalisasi hematokrit, viskositas darah,

volume darah serebral, dan adanya perbedaan

osmolaritas dapat menarik air dari jaringan otak ke

dalam pembuluh darah otak sehingga akan

mengurangi volume total otak.

Osmolaritas normal pada serum adalah 290

mOsm/L dan perbedaan osmotik sawar darah otak yang normal adalah 3 mOsm/L. Perbedaan ini

dipertahankan oleh sawar darah otak. Peningkatan

osmolaritas darah sebanyak 10 mOsm/L akan

memindahkan air sebanyak 100–500 mL dari

jaringan otak. Osmolaritas serum harus

dipertahankan antara 300–315 mOsm/L.

Osmolaritas di bawah 300 mOsm/L tidak akan

efektif, tetapi di atas 320 mOsm/L dapat terjadi

disfungsi renal dan neurologis. Bila osmolaritas

serum meningkat lebih dari 320 mOsm/L, semua

cairan hipertonik harus dihentikan dan bila perlu beri 2% dextrose–0,45% NaCl secara hati-hati

untuk menurunkan osmolaritas serum dan

menurunkan komplikasi hiperosmotik.4,6

Terapi hiperosmoler merupakan kunci intervensi

untuk pengelolaan edema serebral dan peningkatan

TIK setelah COT. Terutama indikasi untuk

peningkatan TIK secara akut karena terapi

hiperosmoler mempunyai efek yang cepat.

Mannitol, suatu osmotik diuretik, mempunyai efek

penambahan volume plasma dan memperbaiki

reologi darah disebabkan penurunan hematokrit.

Mannitol juga sebagai osmotic gradient antara plasma dan sel otak dan mengurangi edema otak

otak dengan menarik air di daerah dengan sawar

darah otak intact ke dalam intravaskular.

Pengulangan pemberian mannitol merupakan

masalah karena osmolaritas serum > 320 mOsm/L

dihubungkan adanya efek samping renal dan

neurologik. Kemungkinan komplikasi lainnya

Page 48: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

182 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

adanya pengosongan volume intravaskuler, hipotensi, hiperkalemia, dan kemungkinan rebound

peningkatan TIK. 1

Obat hipertonik harus diberikan secara hati-hati

pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Pada

pasien ini, peningkatan selintas volume

intravaskuler dapat memicu gagal jantung kiri.

Furosemid mungkin lebih baik untuk mengurangi

tekanan intrakranial pada pasien ini. Penggunaan mannitol jangka panjang dapat menyebabkan

dehidrasi, gangguan elektrolit, hiperosmolalitas,

dan gangguan fungsi ginjal. Hal ini terutama bila

serum osmolalitas meningkat diatas 320

mOsm/liter. 6

4.2 Mannitol

Mannitol digunakan oleh bedah saraf sejak tahun

1960an berkisar 3 dekade hingga saat ini. Mannitol

sangat luas digunakan untuk mengontrol hipertensi

intrakranial pada cedera otak traumatik. Mannitol

efektif untuk mengontrol hipertensi intrakranial

dengan dosis 0,25–1 gr/kgbb. Mannitol dosis

tunggal memiliki keuntungan karena sangat efektif

bila digunakan pada prosedur diagnostik (CT-scan)

atau untuk intervensi (pengangkatan tumor otak). Mannitol juga dapat digunakan dalam jangka waktu

lama sebagai terapi mengendalikan hipertensi

intrakranial. 5

Mannitol diberikan secara bolus intravena dengan

dosis 0,25–1 gr/kg BB. Bekerja dalam waktu 10–15

menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Mannitol

tidak menembus sawar darah-otak yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas darah relatif

terhadap otak, mannitol menarik air dari jaringan

otak ke dalam darah. Bila sawar darah-otak rusak,

mannitol dapat memasuki otak dan menyebabkan

rebound kenaikan tekanan intrakranial sebab ada

suatu perbedaan osmotik yang terbalik dimana

osmolaritas jaringan otak lebih tinggi dibanding

plasma sehingga air akan masuk ke dalam jaringan

otak. Akumulasi mannitol dalam otak terjadi pada

dosis besar dan pengulangan pemberian. 6,12,13

Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang

bergantung besarnya dosis dan kecepatan

pemberian. Vasodilatasi akibat mannitol dapat

menyebabkan peningkatan volume darah otak dan

tekanan intrakranial secara selintas yang simultan

dengan penurunan tekanan darah sistemik. Karena

mannitol pertama-tama dapat meningkatkan

tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara

perlahan (infus 20 menit) dan dilakukan bersama dengan manuver yang menurunkan volume

intrakranial (misalnya hiperventilasi).6

Mannitol telah digunakan secara luas dan

direkomendasikan dalam guideline cedera otak,

akan tetapi, ada beberapa efek buruk yang

dihubungkan dengan pemberian mannitol yaitu hipovolemia dan hipotensi. Bukti yang muncul

mendukung bahwa salin hipertonik mempunyai

keuntungan yang sebanding dengan mannitol dalam

mengurangi TIK dengan beberapa efek samping.

Hetastarch (HS) telah dievaluasi dalam penelitian

eksperimental dan setting klinis, termasuk COT,

stroke iskemik, dan ICH. Kemungkinan komplikasi

dari terapi HS adalah edema paru, aritmia jantung,

hipotensi, koagulopati, hemolisis dan rebound

kenaikan TIK. Salah satu penelitian dari

Neuroscience Critical Care Unit (NCCU) telah melaporkan keberhasilan terapi TTH pada 55

pasien yang diberikan bolus salin 23,4% 30–60 cc.

Ada beberapa efek buruk yang dihubungkan dengan

terapi ini. Beberapa penelitian membuktikan

keunggulan HS dibandingkan mannitol, tetapi

penelitian klinis yang dirancang dengan baik untuk

membandingkan mannitol dan HS pada pasien

dengan krisis TIK belum pernah dilakukan. 8,12,13

Mannitol bekerja dalam mengendalikan hipertensi

intrakranial yaitu dengan cara meningkatkan CPP

sebesar 18% dan penurunkan hipertensi intrakranial

sebesar 22% tanpa ada gangguan hemodinamik. 12

Mannitol menimbulkan perubahan reologi darah

dan peningkatan curah jantung, yang berguna untuk

memperbaiki oksigenasi otak dan menimbulkan

vasokontriksi arteri serebral dan sebagai

konsekuensinya akan menyebabkan penurunan

volume darah otak dan tekanan intrakranial. Selain

itu, mannitol juga dapat menimbulkan dehidrasi sedang setelah terapi hiperosmoler dengan tujuan

memperbaiki edema otak, pada dehidrasi yang berat

dapat menimbulkan keadaan hiperosmolar dan

gangguan pada ginjal. Mannitol mampu

menurunkan produksi cairan serebrospinal hingga

50% melalui Monro-Kellie serta dapat menurunkan

tekanan intrakranial dalam jangka waktu yang

lama. 12

Tabel 1. Osmolaritas dan dosis mannitol

Larutan Osmolaritas Dosis

Mannitol 15%

Mannitol 20%

1150

1400

0,5–2 gr/kg

0,25–1/2 gr/kg Dikutip dari: Castillo LB 14

Mannitol diberikan secara infus selama 15–20

menit. Selama pemberian infus mannitol terjadi

penurunan serum natrium, kalium, klorida,

bikarbonat, hemoglobin, hematokrit dan terjadi peningkatan osmolaritas serum, perubahan ini

terjadi lebih banyak sesuai dengan besarnya dosis

mannitol. 6

Osmolaritas normal pada serum 290 mOsm/lt dan

normal BBB osmotic gradient adalah 3 mOsm/L.

Gradient ini dipertahankan oleh BBB. Peningkatan

Page 49: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

183 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak

Traumatik: apakah masih diperlukan?

osmolaritas darah sebanyak 10 mOsm/L akan memindahkan air sebanyak 100–500 mL dari

jaringan otak. Serum osmolaritas harus

dipertahankan antara 300–315mOsm/L. Apabila

nilai osmolaritas kurang dari 300 mOsm/L tidak

akan efektif, akan tetapi apabila nilai osmolaritas

lebih dari 315 mOsm/L akan terjadi disfungsi renal

dan neurologis. 6

Suatu penelitian yang dilakukan pada hewan coba

anjing menunjukkan bahwa bila mannitol diberikan

dengan kecepatan 2 mL/kgbb/menit dengan dosis: 1

gr/kg terjadi peningkatan osmolaritas sebesar 40 mOsm/L, 0,75 gr/kg terjadi peningkatan 32

mOsm/L, 0,5 gr/kg terjadi peningkatan 21

mOsm/L, 0,25 gr/kg terjadi peningkatan 10

mOsm/L.

Efek mannitol yang lain adalah mengurangi

viskositas darah yang akan menimbulkan refleks

vasokonstriksi dan menurunkan TIK. Autoregulasi

viskositas ini tergantung pada intaknya

autoregulasi. Viskositas yang berkurang akan

mengakibatkan darah menjadi lebih encer dan

pengeluaran CO2 dari jaringan otak menjadi lebih

mudah. Mannitol yang bersifat osmotik diuretik mampu mengurangi produksi dari liquor cerebro

spinal (LCS). Pada daerah cedera otak, BBB

menjadi rusak, mannitol akan masuk sambil

membawa air dan meningkatkan edema otak. Efek

ini kemungkinan kecil terjadi dan lambat, akan

tetapi menjadi masalah pada pengulangan dosis

mannitol. 6,12,13

Mannitol merupakan obat terpilih dalam osmoterapi

untuk cedera otak sejak tahun 1960-an. Merupakan

obat yang mudah disiapkan dan digunakan, larutan

stabil, inert, tidak dimetabolisme, bebas melalui ginjal tanpa di reabsorpsi, dan rendah dalam

toksisitas. Efek mannitol pada SSP telah diuraikan

dengan baik, tapi mekanismenya masih belum

dimengerti dengan lengkap. Pemberian cepat

mannitol 15–20% menimbulkan efek yang sama

cepat, mencapai maksimum intensitas setelah 30–

45 menit, dan kembali ke nilai dasar setelah 2–12

jam. Osmolaritas meningkat 15–25 mOsm/L.

Koefisien refleksi sawar darah otak adalah 0,9.

Efek sistemik dan serebral ini disebabkan karena

mekanisme sirkulasi, diuretik, dan reologik.12-14

Pada infus akut 15–20% mannitol meningkatkan curah jantung dan filling pressure, dan secara cepat

tapi sementara meningkatkan tekanan arteri dan

CPP. Curah jantung meningkat 30%, meningkatkan

CBF. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

mannitol secara kuat mempengaruhi resistensi

vaskuler sistemik disebabkan efek reologiknya. Ini

meningkatkan transpor oksigen di level sistemik

dan serebral.14

Mannitol adalah scavenger radikal bebas dan mempunyai efek mikrosirkulasi yang kuat,

meningkatkan aliran darah kapiler. Efek-efek ini

telah diuraikan untuk sirkulasi serebral, dan selintas

serta berdasarkan pada peningkatan volume kapiler,

satu gambaran yang membedakan mannitol dari

molekul osmotik aktif lainnya, seperti urea dan

gliserol, yang sudah tidak digunakan lagi di klinis.14

Mannitol mengurangi TIK. Meskipun demikian,

diketahui adanya efek dual dan paradoksikal,

terutama bila ada kerusakan BBB yang nyata. Pada

konteks ini, ada resiko tinggi yang ekstrem dari suatu paradoksikal “reverse” gradient osmotik,

yang kemudian membawa ke arah peningkatan TIK

yang lambat. Satu penelitian klinis, mannitol

menimbulkan penurunan TIK 25%. Penelitian

klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa

setelah pemberian mannitol 15%, tekanan

intrakranial menurun 5 mmHg. Pada manusia, CPP

umumnya membaik setelah pemberian mannitol.

Osmolaritas dan kadar natrium yang tinggi

mengurangi efek ini. Air ditarik dari daerah yang

normal dan iskemia. Akan tetapi, laporan klinis

menunjukkan bahwa pengulangan dosis mannitol pada pasien dengan sawar darah otak rusak dapat

menimbulkan reverse osmotic gradient dan

peningkatan TIK, dan disebut paradoxical reverse

osmotic gradient. Selanjutnya, dalam beberapa

situasi klinis, terutama bila terdapat deviasi midline,

penggunaan mannitol yang tidak terkendali akan

memperburuk deviasi disebabkan peningkatan

dalam transhemispheric pressure gradient. Hal ini

sekunder terhadap penurunan tekanan intrakranial

yang lebih besar di hemisfer yang sehat dibanding

daerah abnormal. Fenomena ini terutama terlihat pada penyakit fokal dan tidak mengubah TIK rata-

rata.12-14

Mannitol digunakan untuk mengelola hipertensi

intrakranial dengan autoregulasi yang masih utuh

dan pola hipoperfusi. Juga untuk mengelola

emergensi bedah saraf dengan massa intraserebral

yang dapat dievakuasi, dimana operasi

direncanakan akan segera dilakukan.14 Keuntungan

mannitol untuk menurunkan TIK membawa kearah

penggunaannya yang luas dalam bedah saraf sejak

tahun 1960-an. Efek klasiknya adalah efek

hiperosmotik mannitol menyebabkan pengambilan air dari otak yang edematus, akan tetapi,

mekanisme ini telah dipertanyakan berdasarkan

beberapa pengamatan berikut:

a) TIK turun sebelum terjadi penurunan

kandungan air pada substantia alba otak.

b) Ketika TIK turun secara maksimal, tidak ada

perubahan yang nyata pada kandungan air di

substansia alba.

Page 50: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

184 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

c) TIK tetap tinggi walaupun ada pengurangan air di substansia alba dengan pemberian

albumin intravena.

Segera setelah pemberian mannitol, ada sedikit

peningkatan air di substansia alba diikuti dengan

penurunan secara bertahap dengan nilai terendah

terjadi setelah 60 menit dan levelnya secara nyata

lebih kurang daripada sebelum infus mannitol

(p<0,025). Pencatatan TIK secara simultan menunjukkan bahwa TIK turun 84% pada 11 menit

(ketika kandungan air pada substantia alba tidak

menurun). Pada 19 menit saat TIK pada titik

terendah, air pada substansia alba hanya hilang

33%. TIK kemudian naik pada menit ke 20 seraya

kandungan air pada substansia alba menurun

sampai <40%. TIK terus naik dan kandungan air

substansia alba terus menurun mencapai nilai

minimum pada 60 menit. 15

Banyak hipotesis untuk menerangkan mekanisme

penurunan TIK oleh mannitol. Salah satunya adalah

perubahan hemodinamik serebral akibat mannitol.

Mannitol telah terbukti dapat meningkatkan CPP

dan tekanan mikrosirkulasi. Penelitian oleh

Kirkpatrick dkk., mannitol meningkatkan CPP 18%

dan menurunkan TIK 21% tanpa mempengaruhi

tekanan darah arterial. Aliran velositas arteri serebri

media meningkat 15,6% dan maksimum pada akhir

infus dan kemudian menurun. Ada berbagai kemungkinan untuk menerangkan peningkatan

CBF: 1) meningkat karena meningkatnya CPP, 2)

vasodilatasi serebral, 3) perbaikan reologi yang

meningkatkan aliran. Diluar ini, reologi memegang

peran utama disebabkan karena turunnya resistensi

vaskular serebral secara nyata sekali mannitol

diinfuskan maka CBF akan meningkat, sebab itu

CPP sendiri tidak dapat menerangkan peningkatan

CBF. Bila vasodilatasi serebral merupakan

mekanisme utama dalam peningkatan CBF, maka

kemudian mannitol akan menyebabkan peningkatan TIK yang tidak selalu terlihat. Karena itu efek

utama mannitol mungkin mengurangi viskositas

yang menyebabkan peningkatan CBF dan pasokan

oksigen otak. Mekanisme autoregulasi yang intact

menyebabkan vasokonstriksi dengan penurunan

CBV dan TIK. Rosner dkk., menemukan bahwa

efek serebrovaskular mannitol lebih dalam pada

CPP yang lebih rendah dengan kemungkinan

reaktivitas vasokonstriksi yang lebih besar. Pada

CPP yang lebih rendah, ada substansial vasodilatasi

sebelum mannitol yang menyebabkan pemberian

mannitol lebih efektif menurunkan TIK melalui autoregulasi vasokonstriksi.15

Beberapa penelitian membandingkan efisiensi

mannitol dengan salin hipertonik untuk

menurunkan TIK. Banyak penelitian eksperimental

telah menemukan bahwa larutan salin hipertonik

ekuivalen dengan mannitol dalam menurunkan TIK. Freshman membandingkan 250 mL saline

7,5% dengan 250 mL mannitol 20% pada biri-biri,

keduanya menyebabkan penurunan TIK yang sama.

Vialet membandingkan mannitol 20% dengan salin

7,5% pada pasien dengan cedera kepala berat, dia

memberikan 2 mL/kgBB kedua larutan tersebut

untuk menurunkan TIK <25 mmHg. Mereka

menemukan bahwa salin hipertonik lebih baik

dibanding mannitol dalam menurunkan mortalitas.

Suarez menggunakan 30 mL saline 23,4% dan

menemukan sama efektifnya dengan 220 mL mannitol 20%. Mereka menemukan salin 23,4%

efektif sebagai rescue terapi pada pasien dengan

hipertensi intrakranial yang refrakter. Mereka

menganjurkan bahwa mannitol mungkin akan

kehilangan reputasinya oleh salin hipertonik

sebagai osmoterapi di garis depan. Paczynski dalam

review artikelnya tentang osmoterapi menguraikan

bahwa mannitol akan dicabut sebagai obat

osmoterapi ideal.15

Mannitol adalah cairan hipertonik dengan

osmolaritas 1098 mOsm/L. Diuretik merupakan

cara kedua terapi kenaikan tekanan intrakranial

dengan memberikan mannitol dan atau furosemid.

Efek utama mannitol mungkin dengan membuat

suatu perbedaan tekanan osmotik sehingga air

keluar dari intraseluler dan interstitiil dan masuk ke

intravaskuler. Mannitol lebih lambat menurunkan

tekanan intrakranial jika dibandingkan dengan

hiperventilasi. Mannitol dapat menurunkan tekanan intrakranial sebanyak 26% atau lebih dalam waktu

5 menit dan permulaan penurunan tekanan

intrakranial tidak bergantung pada adanya diuresis.

Selama infus mannitol terjadi penurunan serum

natrium, kalium, klorida, bikarbonat, haemoglobin,

hematokrit dan terjadi peningkatan osmolaritas

serum. Perubahan-perubahan ini terjadi lebih

banyak sesuai dengan besarnya dosis mannitol.

Pada pemakaian singkat misalnya di kamar operasi,

perubahan perubahan ini sudah kembali normal

begitu pasien tiba di ruang pemulihan. Pada

penggunaan yang lama, semua jenis osmotik diuretik dapat menyebabkan ketidakseimbangan

elektrolit. 6

Khasiat mannitol yang lain yaitu mengurangi

viskositas darah, yang akan menimbulkan refleks

vasokonstriksi dan menurunkan tekanan

intrakranial. Autoregulasi viskositas ini bergantung

pada autoregulasi. Juga, dengan mengurangi

viskositas darah, darah menjadi lebih encer dan pengeluaran CO2 dari jaringan otak akan lebih baik.

Demikian pula, osmotik diuretik akan mengurangi

volume cairan serebrospinal. Mannitol juga bekerja

sebagai pembersih radikal bebas. Hal ini telah

dipikirkan dalam menyebabkan ischemic brain

Page 51: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

185 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak

Traumatik: apakah masih diperlukan?

swelling. Pada daerah cedera otak, sawar darah otak menjadi rusak, mannitol akan masuk sambil

membawa air dan meningkatkan edema otak. Efek

ini kemungkinan kecil terjadi, dan terjadinya

lambat, tetapi akan menjadi masalah pada

pengulangan dosis mannitol.

Mannitol diberikan dalam konsentrasi 20%, dan

dosis bervariasi dari 0,25–1 gr/kgBB. Mannitol

diberikan perlahan-lahan selama 15–25 menit. Pada tekanan intrakranial yang menetap, mannitol dapat

diberikan dengan dosis 0,5 gr/kgBB, kemudian

diulangi bila perlu setiap 4 jam.

Masalah penggunaan Mannitol adalah:

1) Efeknya berkurang pada pengulangan dosis:

Mannitol menembus sawar darah otak yang

intact secara lambat, dan pada sawar darah otak

yang rusak akan lebih mudah menembus. Oleh

karena itu, perbedaan osmotik akan berkurang.

Selanjutnya, osmolaritas intraseluler akan

meningkat sebagai jawaban terhadap meningkatnya osmolaritas ekstraseluler dan

plasma. Dengan demikian, dibutuhkan kenaikan

plasma osmolaritas untuk mempertahankan

perbedaan tersebut.

2) Terjadi asidosis sistemik dan gagal ginjal

disebabkan peningkatan osmolaritas plasma.

Osmolaritas plasma harus diperiksa secara

reguler dan osmolaritas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L untuk menghindari

komplikasi ini. Umumnya, komplikasi gagal

ginjal terjadi bila osmolaritas 350–360

mOsm/L.

3) Rebound tekanan intrakranial bila mannitol

dihentikan:

Fenomena ini sering didiskusikan, tetapi jarang

menimbulkan masalah klinik. Secara teori, bila

pengobatan mannitol dihentikan, pengurangan tiba-

tiba osmolaritas plasma dan adanya peningkatan

osmolaritas pada cairan di dalam jaringan otak akan

menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Untuk

menghindari hal ini, mannitol diberikan dalam

dosis 0,25 gr/kg secara perlahan-lahan.6

4.3 NaCl hipertonis

Hipertonik salin pertama digunakan pada tahun

1988 oleh Worthley dkk., dimana salin hipertonik

digunakan pada 2 orang pasien yang tidak berespon

pada terapi mannitol. Sejak itulah hipertonik salin

direkomendasikan sebagai obat pilihan selain

mannitol untuk menurunkan hipertensi intrakranial.

NaCl hipertonik, lebih berguna pada pasien tertentu, misal hipertensi intrakranial refrakter atau

yang memerlukan pemulihan cepat dari volume

intravaskuler dan penurunan tekanan intrakranial. Kerugian utama dari NaCl hipertonik adalah

terjadinya hipernatremia. Pada suatu penelitian

pasien bedah saraf selama operasi elektif tumor

supratentorial, volume yang sama mannitol 20%

dan NaCl 7,5% dapat mengurangi brain bulk dan

tekanan cairan serebrospinal, tapi serum Na

meningkat selama pemberian NaCl hipertonik dan

mencapai puncak 150 meq/L. 6

Tabel 2. Osmolaritas dan dosis hipertonik salin

(HS)

Larutan Osmolaritas Dosis

Salin hipertonik 3%

Salin hipertonik 7,5%

Salin hipertonik 10%

Salin hipertonik 24%

1195

2560

3410

8008

1,4 ml/Kg

1,2 ml/kg

0,9 ml/kg

0,7 ml/kg

Dikutip dari: Castillo LB 14

Dosis pemberian salin hipertonik yang dianjurkan

sesuai dengan konsentrasi yang akan diberikan.

Pemberian 231 mL mannitol 20% dan 100 mL

salin hipertonik 7,45% memiliki nilai yang ekuimolar. Pemberian salin hipertonik hampir sama

dengan mannitol yaitu diberikan secara intravena

secara bolus lebih dari 20 menit. Salin hipertonik

selain digunakan sebagai terapi hipertensi

intrakranial digunakan juga untuk resusitasi pada

pasien syok.

Efek samping yang ditimbulkan oleh salin

hipertonik adalah miolisis pontin, tubular nekrosis akut, hipernatremia, edema pulmonal, rebound

edema serebral, dehidrasi, serta gangguan

koagulasi. Pada saat dilakukannya salin hipertonik

sebagai terapi harus diperhatikan mengenai

osmolaritas plasma dan kadar natrium karena

memiliki efek berbahaya.17

Tabel 3. Osmolitas dan kadar Sodium

Rentang fisiologis

Osmolalitas serum 270–295 mOsm/kg Sodium serum 136–145 mEq/kg

Level yang digunakan bila ada resiko hipertensi intrakranial

Osmolalitas serum 300–320 mOsm/kg Sodium serum 146–155 mEq/kg

Nilai yang berbahaya Osmolalitas serum 320–360 mOsm/kg Sodium serum 155–160 mEq/kg

Dikutip dari: Himmelseher.8

Larutan salin hipertonik dengan peningkatan

konsentrasi telah dimasukkan kembali ke dalam

pengelolaan pasien sejak lebih dari 20 tahun lalu, terutama untuk resusitasi pasien dengan cedera

Page 52: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

186 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

berat dan syok perdarahan. Dalam setting eksperimental dan klinis, larutan ini menyebabkan

peningkatkan osmolaritas plasma, dengan efek yang

sebanding dengan mannitol, dan pengurangan

kandungan air sekunder terhadap peningkatan tajam

sodium plasma, suatu efek yang menetap paling

sedikit 18–24 jam. Hal ini disebabkan fakta bahwa

level adekuat dari air intraserebral dan stabilitas

sirkulasi diatur dan dipertahankan oleh hemisfer

yang cedera dan tidak cedera.11 Penggunaan larutan

salin hipertonik dengan peningkatan konsentrasi

yang progresif (3%, 5%, 7,5%, 10% dan 23,5%), osmolaritas akan meningkat secara bertahap,

sehingga memerlukan pemberian dengan volume

yang menurun.16-17

NaCl hipertonik 3% adalah larutan garam yang

memiliki osmolaritas 1026 mOsm/L dengan

kandungan natrium 513 mEq/L dan klorida 513

mEq/L. Larutan NaCl hipertonik mungkin lebih

efektif dalam menurunkan TIK dan mempunyai

efek yang lebih lama daripada mannitol. Pemakaian

NaCl hipertonik (3–7,5%) seperti halnya mannitol,

mempunyai efek osmotik pada otak, dan akan

menurunkan tekanan intrakranial. NaCl hipertonik juga menurunkan produksi cairan serebrospinal,

akan tetapi adanya efek hipernatremia berefek

buruk pada miokardium, ginjal, dan fungsi

fisiologis lainnya. Sebagai tambahan, NaCl

hipertonik memberikan proteksi sawar darah otak

dan menguntungkan untuk melawan respons

inflamasi cedera otak. Seperti halnya mannitol,

NaCl hipertonik mempunyai efek menambah

volume plasma tapi tidak berhubungan dengan efek

sebagai osmotik diuresis. Kerugian NaCl hipertonik

adalah asidosis metabolik non-anion gap, konsentrasi Na serum >160 mmol/L akan

memperburuk outcome, dan belum diketahuinya

dosis optimal (telah digunakan NaCl 3%, 5%, 7,5%

dan 23%). 6,16,17

Penggunaan salin hipertonik meningkat sebagai

alternatif pemberian mannitol. Tersedia padarentan

konsentrasi 1,7%–29,2% membuat sulit mengambil

kesimpulan, berapa dosis optimal dan konsentrasi

berapa yang diperlukan untuk mengendalikan TIK.

Salin hipertonik menimbulkan penurunan edema

serebral dengan memindahkan air keluar sel,

mengurangi tekanan jaringan dan ukuran sel menghasilkan penurunan TIK. Efek yang baik pada

kandungan air otak setelah pemberian salin

hipertonik telah ditunjukkan dengan pengurangan

pergeseran lateral pada serial CT-scan pasien COT.

Salin hipertonik memperbaiki CBF, dan secara

tidak langsung TIK, dengan menurunkan volume

sel endotel, meningkatkan diameter lumen kapiler,

dan mengurangi ukuran eritrosit sehingga akan

memperbaiki reologi darah.

Selanjutnya, salin hipertonik mempunyai keuntungan dalam mengendalikan TIK yang

refrakter terhadap mannitol. Keuntungan lain dari

salin hipertonik yang melebihi mannitol adalah

efektif sebagai volume ekspander tanpa

hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal.1

V. Apakah Mannitol masih perlu digunakan

dalam terapi hipertensi intrakranial?

Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat

menunjukan keuntungan dan kerugian pemberian

mannitol dan salin hipertonik. Penelitian pemberian

larutan hiperosmotik ini dilakukan pada pasien ataupun hewan coba dengan cedera otak traumatika

ataupun pada tumor otak. The Brain Trauma

Foundation tahun 1997 Evidence base guideline

untuk terapi hipertensi intrakranial dengan

menggunakan mannitol 0,25–1 gr/kg sebagai dosis

efektif.

Miski dkk., melakukan penelitian yang

membandingkan mannitol 20% dengan salin

hipertonik 23,4% dengan kontrol NaCl 0,9%. Hasil

salin hipertonik lebih efektif dalam menurunkan

hipertensi intrakranial. Task pada tahun 1999 yang

merupkan gabungan dari The Brain Trauma Foundation guideline, the American Association of

Neurological Surgeons dan Join Section in

Neurotrauma and Critical Care menganjurkan

menggunakan mannitol pada hipertensi intrakranial.

Pada tahun 2008 Francony dkk., melakukan

penelitian pada manusia yang mengalami cedera

otak traumatika berat dan stroke. Pada penelitian ini

dibandingkan pemberian mannitol 20% dengan

salin hipertonik 7,45%. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa mannitol lebih menurunkan

TIK, lebih mengontrol TIK dibandingkan dengan salin hipertonik.

Battison dkk. di tahun 2005 membandingkan

pemberian mannitol 20% dan salin hipertonik 3%

pada pasien dengan cedera otak traumatik berat

dengan menggunakan parameter penurunan tekanan

intrakranial dan kontrol tekanan intrakranial.

Penelitian ini menunjukan hasil tidak berbeda

nyata. Bhardwaj A melakukan penelitian pada

cedera kepala berat yang diberikan mannitol 20%

dan salin hipertonik 3% menunjukan hasil

hipernatremia dan kejadian miolisis pontin pada

salin hipertonik 3%. Murphy dkk., melakukan suatu penelitian yang membandingkan antara

pemberian mannitol dan salin hipertonik

menimbulkan rebound edema cerebri.

VI. Simpulan

Berdasarkan The Brain Trauma Foundation

mannitol tetap digunakan sebagai terapi utama

Page 53: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

187 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak

Traumatik: apakah masih diperlukan?

dalam pengelolaan hipertensi intrakranial, tetapi salin hipertonik dapat digunakan sebagai obat

pilihan atau alternatif pada hipertensi intrakranial

yang menetap setelah pemberian mannitol.

Setelah operasi pengangkatan space-occupying

lessions (SOL) obat yang paling banyak digunakan

untuk menurunkan tekanan intrakranial adalah

mannitol. Hampir 83% RS pusat di US

menggunakan osmotik diuretik pada lebih dari 50%

pasien dengan cedera kepala berat. Satu penelitian

di UK menunjukkan bahwa semua pusat bedah

saraf menggunakan mannitol untuk pasien dengan kenaikkan TIK. Sejumlah penelitian gagal

menunjukkan efektifitas mannitol dalam

menurunkan mortalitas pada cedera kepala. Akan

tetapi, efektifitas mannitol untuk cedera kepala

pada kondisi kritis sudah pasti tanpa membutuhkan

penelitian RCT lagi.

Daftar Pustaka

1. Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care management. Br J Anaesth 2007; 99:32–42

2. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2012,98–114.

3. Manoach S, Labaze GI, Charchaflieh JG.

Traumatic brain injury, stroke, and brain death. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2012,418–36.

4. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier;2010,317–25.

5. Bullock MR, Povlishock JT. Journal of Neurotrauma 2007; vol 24, supp 1.

6. Bisri T. Pengelolaan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;2012,143–66,187–208.

7. Francony G, Fauvage B, Falcon D, Canet C,

Dilou H, Lavagne P, dkk. Equimolar doses of mannitol and hypertonic saline in the treatment

of increased intracranial pressure. Crit Care Med. 2008;36:795–800.

8. Seppelt I. Intracranial hypertension after

traumatic brain injury. Indian J Crit Care Med. 2004;8(2):120–26.

9. Hirsch KG, Spock T, Koenig MA, Geocadin

RG. Treatment of elevated intracranial pressure with hyperosmolar therapy in patients with renal failure. Neurocrit Care. 2012;17:388–94

10. Davies NJH, Cashman JN. Lee’s synopsis of

anesthesia, edisi ke-13. United Kingdom: Elsevier Butterworth Heinemann;2006:161

11. Polderman KH. Mechanisms of action,

physiological effect, and complication of hypothermia. Crit Care Med 2009;37(S):186–202.

12. Wakai A, Roberts IG, Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain injury (Review). The Cochrane Library 2008, Issue 4

13. Myburgh JA, Lewis SB. Mannitol for resuscitation in acute head injury: effects on cerebral perfusion and osmolality. Critical Care and Resuscitation 2000;2:14–18

14. Castillo LB, Bugedo GA, Paranhos JL. Mannitol or hypertonic saline for intracranial hypertension? A point of view. Crit Care Resusc 2009;11:151–54

15. Wani AA, Ramzan AU, Nizami F, Malik NK, Kirmani AR, Bhatt AR, Singh S. Controversy in use of mannitol in head injury. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2008;5(1):11–13

16. Himmelseher S. Hypertonic saline solutions for treatment of intracranial hypertension. Current Opinion in Anaesthesiology. 2007;20:414–26

17. Kamel H, Navi BB, Nakagawa K, Hemphill III JC, Ko NU. Hypertonic saline versus mannitol for the treatment of elevated intracranial pressure: a meta-analysis of randomized clinical trials. Crit Care Med. 2011; 39:554–59

18. Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A,

Griessenauer CJ, Shoja MAM, Tubbs RS, Fisher W. Hypertonic saline for treating raised intracranial pressure: literature review with

meta-analysis. J Neurosurg. 2012;116:210–21.

Page 54: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

188

Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat untuk Menangani Hipertensi

Intrakranial?

M. Sofyan Harahap

Bagian Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

RSUP. Dr. Kariadi Semarang

Abstrak

Hipertensi intrakranial dapat menyebabkan cedera otak sekunder dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas.

Untuk mempertahankan tekanan intrakranial agar senantiasa dalam batas normal, maka cairan serebrospinal dan darah mempunyai kemampuan untuk mengurangi volume intrakranial sampai 30%. Hipertensi intrakranial

didefinisikan sebagai tekanan intrakranial di atas 20 mmHg yang menetap lebih dari 20 menit pada dewasa.

Pada otak yang sedang mengalami proses patologis, autoregulasi akan terganggu dan interaksi antara tekanan

arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP) dan aliran darah otak sangat bergantung pada derajat kerusakan

yang ada. Perubahan MAP akan mengakibatkan perubahan aliran darah otak (ADO) walaupun MAP masih pada

rentang normal. Pengelolaan hipertensi intrakranial terdiri dari terapi umum yaitu optimalisasi drenase vena

serebral, pengelolaan jalan nafas, sedasi dan analgesia, mengatasi demam, mengelola hipertensi, anemia dan

mencegah kejang. Terapi spesifik adalah pemberian sedasi dan paralisis, terapi hiperosmolar, hiperventilasi,

koma barbiturat, hipotermia dan pemberian steroid (hanya untuk tumor otak). Tiopental menurunkan ADO dan

metabolisme otak yang setara dengan keadaan isoelektrik pada rekaman electro encephalo graphy (EEG).

Pelumpuh otot menghambat kontraksi otot sehingga akan mengurangi kebutuhan energi, mengurangi produksi

CO2, memperbaiki perfusi otak, dan mempertahankan TIK

Kata kunci: barbiturat, hipertensi intrakranial, tekanan arteri rata-rata

JNI 2013;2(3):188–93

Barbiturates and Neuromuscular Blocking Agent: Still Valuable to Treat Intracranial

Hypertension?

Abstract

Intracranial hypertension may cause secondary brain injury and have the potential to increase morbidity and

mortality. In keeping the intracranial pressure within normal limit, cerebrospinal liquor and also the blood have

the ability to reduce intracranial volume to 30%. Intracranial hypertension is defined as intracranial pressure

above 20 mmHg for more than 20 min in adult patients. During the pathological process caused by various

aetiologies, autoregulation process is impaired and interaction between mean arterial pressure (MAP) and

cerebral blood flow will depend on the severity of impairement. Meaning that changes of mean arterial pressure within normal autoregulation range will influence the cerebral blood flow accordingly. Management of

Intracranial hypertension consist of general and specific approaches. General approach includes optimal cerebral

venous drainage, airway management, sedation and analgesia, fever, anemia and hypertension treatment and

seizure prevention. Specific approach includes paralysis and sedation, hyperosmolar therapy, hyperventilation,

barbiturate coma, hypothermia and steroid for tumor cases only. Tiopental decreases CBF and cerebral

metabolism which is equivalent to an isoelectric electro encephalo graphy (EEG). Muscle relaxant prevents

muscle contraction therefore reducing energy consumption, CO2 production, improve cerebral perfusion, and

maintain ICP.

Keywords: barbiturate, intracranial hypertension, mean arterial pressure

JNI 2013;2(3):188–93

Page 55: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

189 Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat

untuk Menangani Hipertensi Intrakranial ?

I. Pendahuluan

Hipertensi intrakranial dapat disebabkan oleh

kelainan pada sistem saraf pusat atau karena

kelainan sistemik. Hipertensi intrakranial

merupakan masalah penting karena dapat

menyebabkan cedera otak sekunder, dan

menyebabkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas.

Rongga tengkorak adalah suatu tempat yang

volumenya tetap dan terdiri dari 85% jaringan otak,

10% cairan serebrospinal dan 5% darah. Monro Kelly menyebutkan hipotesisnya bahwa isi rongga

tengkorak (60% air dan 40% padat) selalu dalam

keadaan tetap dan tidak dapat diperkecil/dikurangi,

sehingga peningkatan salah satu komponen di

dalamnya walaupun kecil, akan mengakibatkan

peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Tekanan

intrakranial normal adalah 0–10 mmHg, dan jika

tekanan intrakranial di atas 20 mmHg disebut

hipertensi intrakranial. Peningkatan TIK ini terjadi

pada 15%–40% penderita cedera kepala berat (GCS

< 8). 1,2

Strategi pengelolaan meliputi hal yang mendasar mengikuti kaidah resusitasi Airway, Breathing,

Circulaton (resusitasi ABC), dan dilanjutkan

dengan beberapa metode terapi baik yang bertujuan

mengurangi peningkatan TIK atau mencegah

peningkatan lebih lanjut.1

Peranan dokter spesialis anestesi dalam mengelola

TIK khususnya selama anestesi berlangsung dan

dalam terapi intensif adalah sangat penting,

sehingga perlu dipahami beberapa pengaruh obat

anestesi terhadap kondisi tersebut.

II. Patofisiologi

Cedera otak primer adalah cedera yang dapat

disebabkan oleh trauma pada jaringan otak, atau

merupakan akibat iskemia pada otak dengan kausa

yang sangat bervariasi dari suatu kelainan ringan

sampai yang ireversibel. Cedera otak sekunder

adalah akibat dari respons biokimia dan seluler

setelah terjadinya cedera primer, hal ini dapat

diperberat dengan adanya kelainan sistemik,

terutama hipoksia dan hipotensi. Setelah trauma

akan terjadi rangkaian kejadian yang akan berujung

pada edema otak difus. Kerusakan ini meliputi

hilangnya “autoregulasi” pembuluh darah otak, ruptur sawar otak, edema intraseluar (cytotoxic) dan

edema ekstraseluler (vasogenic) serta lesi iskemia

otak. 3

Untuk mempertahankan tekanan intrakranial agar

selalu ada dalam batas normal, sangat tergantung

pada kemampuan mempertahankan volume

intrakranial. Jika terjadi penambahan volume dari

satu komponen intrakranial maka harus ada

komponen lain yang berkurang volumenya jika

tidak ingin terjadi kenaikan tekanan intrakranial.

Sekitar 30% kemampuan untuk mengurangi volume

intrakranial ada pada cairan serebrospinal (liquor

cerebro spinal, LCS) dan darah, sehingga saat

terjadi kenaikan tekanan intrakranial maka LCS

dapat bergeser ke ruang lain. Jika mekanisme

kompensasi ini telah habis digunakan semua, maka

akan terjadi kenaikan tekanan intrakranial, gambar 1.3

Tekanan intrakranial yang tinggi pada gilirannya

akan menurunkan perfusi jaringan dan dapat

merusak sel karena iskemia, selanjutnya dapat

terjadi kematian otak. 3

Gambar1. Hubungan antara volume dan tekanan

Intrakranial.

Dikutip dari Castillo 7

Nilai normal TIK masih berbeda diantara beberapa

penulis, dan bervariasi sesuai usia, angka 8–10

mmHg dianggap masih normal untuk bayi, dan

nilai dibawah 15 mmHg normal untuk anak lebih

besar dan dewasa. Hipertensi intrakranial didefinisikan jika TIK diatas 20 mmHg dan

menetap lebih dari 20 menit pada dewasa.3 Jika

tekanan intrakranial melebihi 30 mmHg, maka

aliran darah otak (ADO) akan sangat menurun

bersamaan dengan makin beratnya iskemia dan

terjadi edema otak yang makin parah, hal ini akan

semakin meningkatkan tekanan intrakranial.

III. Interaksi antara TIK dan Aliran Darah

Otak (ADO)

Perfusi jaringan otak sangat tergantung pada

tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/ CPP), yang merupakan hasil pengurangan antara

tekanan arteri rata-rata (mean arterial

pressure/MAP) dengan tekanan intrakranial

(intracranial pressure/ICP), jadi CPP=MAP–ICP.

Page 56: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

190 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

Aliran darah otak diatur melalui proses autoregulasi, sehingga ADO dipertahankan pada

aliran yang konstan walaupun terjadi perubahan

MAP, dan pada otak sehat autoregulasi berjalan

baik maka ADO tetap konstan pada perubahan

MAP antara 50–150 mmHg. Namun pada otak

yang sedang mengalami proses patologis,

autoregulasi akan terganggu dan interaksi antara

MAP dan ADO sangat bergantung pada derajat

kerusakan yang ada. Pada daerah dengan

autoregulasi yang terganggu, perubahan MAP akan

mengakibatkan perubahan ADO walaupun MAP masih pada rentang normal, sehingga dikatakan

ADO secara pasif mengikuti perubahan MAP yang

terjadi. 3,4

Pada saat MAP berada dalam rentang normal (50–

150 mmHg), autoregulasi otak juga akan

mempengaruhi repons TIK terhadap perubahan

MAP, sedangkan bila autoregulasi normal

penurunan MAP akan mengakibatkan dilatasi

pembuluh darah otak sehingga ADO tidak berubah.

Namun vasodilatasi ini akan meningkatkan TIK,

yang dalam waktu lama akan mengakibatkan

penurunan tekanan perfusi otak. Demikian pula jika terjadi peningkatan MAP maka akan diikuti

vasokonstriksi pembuluh serebral sehingga TIK

menurun. 4

IV. Efek beberapa Obat Anestesia terhadap

TIK

Barbiturat

Tiopental menurunkan ADO dan metabolisme otak

yang setara dengan keadaan isoelektrik pada

rekaman electro encephalo graphy (EEG). Secara

umum barbiturat menurunkan tekanan intrakranial

dengan menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen (sampai 50%) dan efek pada tonus

pembuluh darah, oleh karena laju metabolisme

mempunyai kaitan dengan aliran darah otak dan

volume darah otak (VDO), maka penurunan

metabolisme juga akan menurunkan ADO dan

VDO. Efek barbiturat pada sistem saraf pusat

adalah terjadi vasokonstriksi arteri serebral normal,

membuang radikal bebas, stabilisasi membran,

menurunkan CPP, dan antikonvulsan. 5

Pelumpuh Otot

Pelumpuh otot menghambat kontraksi otot sehingga

akan mengurangi kebutuhan energi, mengurangi produksi CO2, memperbaiki perfusi otak, dan

mempertahankan TIK. Pelumpuh otot non

depolarisasi pankuronium dan vekuronium tidak

mempengaruhi ADO, laju metabolisme terhadap

oksigen dan tekanan intrakranial. Pankuronium

meningkatkan tekanan darah dan laju nadi,

sehingga tidak menguntungkan pada penderita hipertensi. Vekuronium tidak menyebabkan

pelepasan histamin dan tidak meningkatkan tekanan

darah dan laju nadi. Atrakurium mempunyai efek

terhadap ADO, CMRO2 atau TIK. Metabolitnya

(laudanosin) dapat melalui sawar otak dan dapat

menyebabkan kejang, namun kadar laudanosin

dalam darah setelah pemberian dosis klinis terbukti

tidak memberi efek buruk (kejang). Dosis besar

atrakurium dapat menyebabkan pelepasan histamin,

namun potensi tersebut jauh lebih kecil dibanding

dengan d-tubokurarin.6 Cisatrakurium suatu pelumpuh otot baru tipe intermediate acting

menghasilkan dan melepas lebih sedikit laudanosin

dan histamin dibanding atrakurium.

Data yang mendukung penggunaan pelumpuh otot

dalam mengendalikan tekanan intrakranial, masih

sangat sedikit. Belum ada penelitian prospektif acak

dengan kontrol yang membandingkan antara pasien

yang mendapat pelumpuh otot dengan plasebo,

terhadap pengendalian tekanan intrakranial

dibanding dengan terapi lain. Rekomendasinya

adalah penggunaan pelumpuh otot diindikasikan

pada keadaan untuk memfasilitasi ventilasi mekanik, pengendalian tekanan intrakranial dan

untuk mengatasi spasme otot serta untuk

menurunkan konsumsi oksigen bila cara/terapi lain

mengalami kegagalan. Rekomendasi untuk jenis

pelumpuh otot yang digunakan adalah

pankuronium, untuk mayoritas kasus di ICU,

namun jika ada kelainan jantung dapat dipilih

pelumpuh otot lain, sedangkan atrakurium dan

sisatrakurium direkomendasikan untuk pasien

dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar.6

Kerugian atau efek yang tidak diinginkan dari pelumpuh otot adalah adanya pelepasan histamin

yang menimbulkan hipotensi dan takikardi,

sedangkan metabolit atrakurium yaitu laudanosin

menyebabkan efek eksitatori pada susunan saraf

pusat.

V. Pengelolaan Hipertensi Intrakranial.

Penyebab HI sangat bervariasi (tabel.1) yang dapat

terjadi secara tunggal ataupun kombinasi. 4 Sebelum

mengatasi hipertensi intrakranial yang refrakter,

beberapa hal yang secara umum dan spesifik dapat

meminimalkan atau mengurangi hipertensi

intrakranial. Terapi umum dilaksanakan secara bersamaan dengan terapi spesifik.

Terapi Umum

Optimalkan aliran vena serebral, atasi gagal nafas,

sedasi dan analgesia, atasi demam, pengendalian

hipertensi, anemia, dan pencegahan kejang.

Page 57: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

191 Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat

untuk Menangani Hipertensi Intrakranial ?

Terapi Spesifik

Sedasi dan paralisis: Paralisis untuk pasien bedah

saraf bukanlah hal rutin yang harus selalu

dilakukan, namun adanya agitasi, batuk, gelisah

dapat menyebabkan peningkatan TIK yang

semuanya dapat dicegah dengan sedasi dan

pelumpuh otot non depolarisasi yang tepat.

Sedangkan yang dapat digunakan adalah sedasi

dengan morfin dan golongan benzodiasepin dan

vekuronium atau cisatrakurium sebagai pelumpuh

otot. 7

Koma barbiturat: Koma barbiturat hanya dilakukan pada penderita dengan hipertensi intrakranial

refrakter, karena ada beberapa komplikasi yang

dapat terjadi akibat barbiturat dosis tinggi,

disamping itu terjadi hambatan untuk menilai

fungsi neurologis. Barbiturat digunakan untuk

menekan metabolisme otak seperti yang telah

dijelaskan di atas, walaupun ada kontroversi karena

masih sedikit penelitian tentang hasil akhir klinis

pada penggunaan koma barbiturat.

Efek lain dari pemberian barbiturat dosis besar

adalah terjadinya gangguan hemodinamik, depresi

sistem imun atau leukopenia, sehingga harus dihindari over dosis barbiturat. Target pemberian

barbiturat adalah terjadinya burst suppression pada

gelombang EEG. Berdasarkan penelitian

eksperimental, depresi metabolik otak akan

menunjukkan grafik plateu/menetap, setelah

pemberian barbiturat mencapai burst suppression

pada EEG, sehingga penambahan lebih lanjut

barbiturat tidak akan menurunkan metabolisme

oksigen otak dan ADO lebih lanjut, tetapi justru

akan menurunkan tekanan darah arterial dan curah

jantung. 6,8

Untuk terapi hipertensi intrakranial akibat cedera

otak traumatik pada pasien pediatri, belum ada

panduan maupun standar, yang ada adalah opsi:

“barbiturat dosis tinggi dapat dipertimbangkan

untuk pasien dengan trauma kepala berat disertai

hipertensi intrakranial refrakter, dan keadaan

hemodinamik stabil”, jika akan diberikan barbiturat

dosis tinggi maka diperlukan monitor hemodinamik

yang baik dan menjaga fungsi kardiovaskuler. 9

Dosis yang digunakan ada beberapa macam:

menurut Brain Trauma Foundation (BTF) tahun

2000, pentobarbital 10 mg/kgBB dilanjutkan 5 mg/kgBB/jam selama tiga jam. Dosis rumatan 1–2

mg/kg/jam, sampai EEG menunjukkan supresi

gelombang. Dosis menurut Norsby dan Nesbakken:

dosis awal 10–20 mg/kgBB, rumatan: 3–5

mg/kg/jam, dosis diturunkan jika tekanan darah

menurun atau TIK ≤ 25 mmHg. 9

Walaupun penelitian penggunaan rutin barbiturat pada penderita yang tidak terseleksi belum

menunjukkan hasil yang konsisten untuk

menurunkan morbiditas dan mortalitas pascacedera

otak, namun suatu penelitian multi pusat lain

tentang penggunaan koma barbiturat pada penderita

dengan hipertensi intrakranial refrakter

menunjukkan kemampuan mengendalikan TIK dua

kali lebih besar. 7

Tabel 1. Penyebab Hipertensi Intrakranial (HI)

Intrakranial

(primer)

Tumor, trauma (SDH, EDH, kontusio)

Perdarahan intraserebral non trauma Stroke iskemik, hidrosefalus Hipertensi intrakranial idiopatik/benigna

Lain-lain (pseudotumor, pneumosefalus, abses)

Ekstrakranial

(sekunder)

Obstruksi jalan nafas, hipoksia, hiperkarbia Hipertensi (batuk, nyeri), hipotensi Postur tubuh, hiperpireksia,

kejang, obat-obat.

Pascaoperasi Lesi massa (hematoma, edema)

Vasodilatasi, gangguan aliran LCS

Dikutip dari: Castillo 7

VI. Beberapa studi klinik tentang Barbiturat

Penelitian pada 27 anak dengan cedera otak berat

dengan tekanan intrakranial 30 mmHg, dan tidak

respons dengan terapi lain menunjukkan bahwa 14

anak (52%) dapat diturunkan TIK nya menjadi 20

mmHg dengan pemberian barbiturat, 6 anak (22%)

meninggal dalam 48 jam setelah terapi dan 7 anak

tetap dengan TIK 35 mmHg, tiga dari 7 anak ini

dapat sembuh dengan baik. Tidak ada kesimpulan

penting yang dapat diambil dari penelitian ini yang

berhubungan dengan kemampuan menurunkan TIK dari pentobarbital dengan luaran neurologis, karena

hal tersebut tidak dilaporkan. 9 Penelitian hipertensi

intrakranial buatan pada hewan coba, kemudian

dibandingkan terapi antara hiperventilasi saja

dibanding hiperventilasi dan barbiturat

menunjukkan bahwa terjadi penurunan TIK dan

ADO secara bermakna pada kelompok hewan yang

mendapat hiperventilasi saja, penambahan

barbiturat selain dengan hiperventilasi

menunjukkan penurunan lebih lanjut dari ADO

namun tidak terjadi penurunan lebih lanjut TIK

Page 58: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

192 Jurnal Neuroanestesia Indonesia

dibandingkan dengan kelompok dengan hiperventilasi saja. Tekanan perfusi serebral tetap

normal pada semua kelompok, walaupun terjadi

penurunan ADO. Kesimpulan dari penelitian ini

menunjukkan bahwa pemberian barbiturat pada

model hewan coba dengan hipertensi intrakranial,

tidak efektif untuk menurunkan TIK, dibanding

hiperventilasi saja. 10

Penelitian selama 10 tahun pada 92 pasien koma

atau semi koma dengan GCS kurang dari 7 dengan

peningkatan TIK karena edema otak sekunder

akibat cedera/trauma, menunjukkan bahwa terapi koma barbiturat menghasilkan Glasgow Outcome

Score (GOS) yang baik (GOS 4–5) pada 27,5%

penderita setelah 3 bulan, dibandingkan 5,8% pada

kelompok kontrol (tanpa terapi koma barbiturat).

One year survival rate adalah 35,9% pada

kelompok barbiturat dan 12,5% pada kelompok

kontrol (tabel 3). Sehingga disimpulkan bahwa

terapi koma barbiturat adalah efektif untuk pasien

dengan peningkatan TIK, untuk mendapatkan

angka survival dan GOS yang baik, khususnya pada

pasien usia muda. (37,1±14,9). 11

Tabel 2. Skor GOS 3 bulan setelah cedera

Outcome Grup BCT (%)

Grup kontrol (%)

Jumlah kasus 40 52

Skor GOS 1 25 (62,5) 43 (82,7) 2 1 (2,5) 2 (3,8) 3 3 (7,5) 4 (7,7) 4 3 (7,5) 2 (3,8) 5 8 (20) 1 (1,9) Mean skor GOS (SD)

2,2±1,7* 1,4 ±0,9

Good outcome (GOS4,5)

11/40 (27,5)* 3/52 (5,8)

*p<0,01, BCT: Barbiturate Coma Group

Dikutip dari: Kim YL11

Pada penelitian ini disebutkan bahwa komplikasi

tersering dari penggunaan metode koma barbiturat

adalah hipotensi, sehingga diperlukan stabilitas

hemodinamik sebelum diputuskan untuk

melakukan koma barbiturat (tabel 4).10

Penggunaan barbiturat dalam anestesi bedah saraf

masih mempunyai tempat bahkan sebagai proteksi

otak (brain protection). Barbiturat masih

merupakan “standar emas” dengan melalui berbagai

mekanisme yang telah banyak diteliti.

Tabel 3. Kejadian Komplikasi akibat Koma

Barbiturat

Komplikasi BCT

groups (%)

Control

group (%)

P-value

Hipernatremi 33 (82,5) 36 (69,2) 0,145 Hipocalcemia 20 (50) 24 (46,2) 0,714 Hipotensi 17 (42,5) 10 (19,2) 0,296 Azotemia 14 (35) 13 (25) 0,296 Hipokalemia 14 (35) 11 (21,2) 0,139

Pneumonia 12 (30) 12 (23) 0,453 Disfungsi hepal 1 (2,5) 0 (0) 0,435 Keterangan: BCT: Barbiturate Coma Group

Dikutip dari: Louis PT 10

Prinsip proteksi otak khususnya pada kasus cedera

dimulai dengan metode dasar yaitu pengelolaan

airway, breathing dan circulation, kemudian

melalui mekanisme pengaturan ADO yang

bertujuan mengendalikan TIK digunakan golongan

barbiturat. Penggunaan barbiturat sebagai proteksi

otak dapat diberikan selama anestesi atau sebagai

sedasi di ICU dengan dosis yang tidak sebesar dosis

pada koma barbiturat. 11

VII. Simpulan

Tekanan intrakranial normal adalah 0–10 mmHg, dan tekanan intrakranial yang menetap di atas 20

mmHg, lebih dari 20 menit pada dewasa disebut

hipertensi intrakranial. Hipertensi intrakranial (HI)

terjadi pada 15%–40% penderita cedera kepala

berat (GCS ≤8).

Jika tekanan intrakranial melebihi 30 mmHg, maka

ADO akan sangat menurun bersamaan dengan

makin buruknya iskemia dan terjadi edema otak

yang makin parah, hal ini akan makin

meningkatkan tekanan intrakranial.

Barbiturat dan pelumpuh otot masih digunakan dalam pengelolaan hipertensi intrakranial,

walaupun efek samping masing-masing yang dapat

timbul dan memperburuk keadaan penderita dengan

cedera kepala berat, sehingga diperlukan

kewaspadaan dan monitor yang sesuai.

Mengatasi masalah hipertensi intakranial tidak

hanya dengan menggunakan barbiturat dan

pelumpuh otot, namun harus sudah dimulai sejak

awal dengan memperhatikan prinsip-prinsip

proteksi otak.

Daftar Pustaka

1. Hodgkinson V, Mahajan RP. The management

of raised intracranial pressure. Bulletin The

Royal College of Anesthetist 2000,May: 27–

31.

Page 59: Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan ... · dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau cedera saraf

193 Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat

untuk Menangani Hipertensi Intrakranial ?

2. Turner JM. Intracranial pressure. Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, penyunting.

Textbook of Neuroanesthesia and Critical

Care. London: GMM;2000,53–5.

3. Giugno K, Maia TR. Treatment of intracranial

hypertension. J Pediatr 2003;79 (4): 288–94.

4. Castillo LR, Gopinath S, Robertson CS.

Management of intracranial hypertension.

Neurol Clin 2008;26(2):522–26.

5. Hickey R. Effect of anesthesia on cerebral and

spinal cord physiology. Dalam: Cottrell JE, Newfield P, penyunting. Handbook of

Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincot

Williams Wilkins,2007:31–3.

6. Sakabe T, Nakakimura K. Dalam: Cottrell JE,

Smith DS, penyunting. Anesthesia and

Neurosurgery. Missouri: Mosby,2001:131–7.

7. Cotenceau V, Petit L, Masson F, Guehl D,

Asselineau J. The use of bispectral index to

monitor barbiturate coma in severe brain

injured patients with refractory intracranial

hypertension. Anest Analg 2008;107(5):1676–

8.

8. Society of critical care medicine and world

federation of pediatric intensive and critical

care society. The use of barbiturate in the

control of intracranial hypertension in severe

pediatric traumatic brain injury. Pediatr Crit

Care Med 2003;3(4).Suppl:49–50.

9. Louis PT, Goddard-Finegold J, Fishman MA,

Griggs JR, Stein F, Laurent JP. Barbiturate and

hyperventilation during intracranial

hypertension. Crit Care Medicine.1993;21(8):

120–4.

10. Kim YL, Park SW, Nam TK, Park YS, Min BK, Hwang SN. The effect of barbiturate coma

therapy for paients with severe intracranial

hypertension: a 10-year experience. J Korean

Neurosurg Soc.2008;44; 141–3.

11. Menon G, Nair S, Bhattachrya RN. Cerebral

protection-current concept. Indian Journal of

Neurotrauma. 2005;2(2):71–2.