pemberdayaan komunitas

21
Program Penangananan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientsi Desa Oleh : Ryan Mardiyan 15010110141084 Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi

Upload: ryan-mardiyan

Post on 31-Jul-2015

132 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

Program Penangananan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi

Keluarga Berorientsi Desa

Oleh :

Ryan Mardiyan

15010110141084

Fakultas Psikologi

Program Studi Psikologi

Universitas Diponegoro

2012

Page 2: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang

dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 : 408).

Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan

perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM.

Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan

sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang

mengganggu keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks

dalam penanggulangannya.

Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu

berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan, 1993 :

179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal dari desa

dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung oleh

tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak

mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak

tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan

pengemis. Weinberg (1970 : 143-144) menggambarkan bagaimana gelandangan

dan pengemis yang masuk dalam kategori orang miskin di perkotaan sering

mengalami praktek diskriminasi dan pemberian stigma yang negatif. Dalam

kaitannya dengan ini, Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa

pemberian stigma negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat

normal.

Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke

kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan.

Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap

Page 3: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki

kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara

pemerintah kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak

mempunyai kartu identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa

menggunakan aturan dari pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul

kebo (living together out of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak

keturunan mereka menjadi generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte

kelahiran. Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan

kerabatnya di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh

dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi

anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial

(Rohman, 2004 : 72-74).

Page 4: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Komunitas

Komunitas adalah sekelompok orang yang saling peduli satu sama lain

lebih dari yang seharusnya, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi

yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest

atau values (Kertajaya Hermawan, 2008). Proses pembentukannya bersifat

horisontal karena dilakukan oleh individu-individu yang kedudukannya setara.

Komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun

dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional (Soenarno, 2002). Kekuatan

pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam

memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya yang biasanya, didasarkan atas

kesamaan latar belakang budaya, ideologi, sosial-ekonomi. Disamping itu secara

fisik suatu komunitas biasanya diikat oleh batas lokasi atau wilayah geografis.

Masing-masing komunitas, karenanya akan memiliki cara dan mekanisme yang

berbeda dalam menanggapi dan menyikapi keterbatasan yang dihadapainya serta

mengembangkan kemampuan kelompoknya

Pengertian Pengemis, Gelandangan, dan Anak Jalanan

Pengemis merupakan Orang-orang yang mendapatkan penghasilan

Dengan     meminta - minta   ditempat     umum  dengan     berbagai   cara   dan   

alasan   untuk   mendapatkan  belas kasihan orang lain. Dan anak jalanan

merupakan anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar

waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran dijalanan maupun ditempat-

tempat umum

Sedangkan, gelandangan menurut Departemen Sosial R.I (1992) adalah

orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma

kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat

Page 5: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di

tempat umum.

Gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau

berkelana (lelana). Gelandangan merupakan lapisan sosial, ekonomi dan budaya

paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota. Dengan strata demikian maka

gelandangan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau

rumah dan pekerjaan yang tetap atau layak, berkeliaran di dalam kota, makan-

minum serta tidur di sembarang tempat.

Terdapat tiga gambaran umum gelandangan yakni :

(1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya

(2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayakramai, dan

(3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan

keterasingan.

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk maka

gelandangan terbatas pada mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap,

atau tempat tinggal tetapnya tidak berada pada wilayah pencacahan. Karena

wilayah pencacahan telah habis membagi tempat hunian rumah tinggal yang lazim

maka yang dimaksud dengan gelandangan dalam hal ini adalah orang-orang yang

bermukim pada daerah-daerah bukan tempat tinggal tetapi merupakan konsentrasi

hunian orang-orang seperti di bawah jembatan, kuburan, pinggiran sungai, emper

toko, sepanjang rel kereta api, taman, pasar, dan konsentrasi hunian gelandangan

yang lain.

Pengertian gelandangan tersebut memberikan pengertian bahwa mereka

termasuk golongan yang mempunyai kedudukan lebih terhormat daripada

pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai pekerjaan tetapi tidak

memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah). Sebaliknya pengemis

Page 6: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak tertutup kemungkinan

golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap. Beberapa ahli

menggolongkan gelandangan dan pengemis termasuk ke dalam golongan sektor

informal. Keith Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan

memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja

sektor informal.

Di bedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota,

yaitu :

(1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan;

(2)kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan

modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan

(3)kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis.

Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di kota dunia ketiga. Ketiga

kelompok ini masuk ke dalam golongan pekerja sektor informal.

Page 7: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

BAB III

PEMBAHASAN

A. KASUS

Setiap Tahun Ada 400 Anak Jalanan Baru di Bandung

(Tya Eka Yulianti – detikBandung)

Bandung - Jumlah anak jalanan di Kota Bandung diindikasi terus bertambah setiap tahun. Kelompok Perempuan Mandiri (KPM) Dewi Sartika mencatat, ada 400 anak 'baru' turun ke jalan karena terdesak ekonomi maupun lingkungan.

"Anak jalanan terus meningkat setiap tahun. Pertambahannya 10 persen per tahun atau sekitar 400 anak," ujar Sekretaris Kelompok Perempuan Mandiri (KPM) Dewi Sartika, Daus Sapu Jagat saat ditemui di sela-sela Turnamen Futsal Anak Jalanan di Kampus Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, Jalan Ir Djuanda, Senin (2/7/2012).

Kelompok yang bergerak pada masalah miskin kota ini juga mencatat penyebab bertambahnya jumlah anak jalanan itu. Maraknya perilaku seks bebas di antara kaum miskin kota seperti gelandangan dan pengemis jadi salah satu pemicunya.

"Meningkatnya anak jalanan tidak lepas dari perilaku free sex. Sehingga mengakibatkan banyak bayi yang tidak jelas, yang ujungnya menjadi anak jalanan," tuturnya.

Ia mengatakan, banyak gelandangan, pengemis dan pemulung di Kota Bandung yang tak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka menempati sudut-sudut kota seperti di alun alun, jembatan penyeberangan, atau stasiun.

"Mereka banyak yang melakukan free sex di tempat mereka biasa berkumpul," kata Daus.

Bahkan, kata Daus, ada ibu-ibu gelandangan pengemis yang setiap tahun melahirkan. Anaknya kemudian turun ke jalanan. "Mereka bilang banyak anak banyak rezeki karena itu sumber pencarian mereka," jelasnya.

Page 8: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

Sulitnya Membersihkan Anjal dan Gepeng

SLEMAN- Anak jalanan (anjal) gelandangan dan gelandangan- pengemis (gepeng) bak memakan buah simalakama bagi pemerintah daerah. Bagaimana tidak, setiap kali diertibkan, alih-alih berkurang jumlahnya, keberadaan mereka justeru makin eksis dengan munculnya muka-muka baru. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya orang gila berkeliaran di lingkungan penduduk. Terbukti, tiap kali digelar razia, jumlah yang terjaring selalu memenuhi truk pengangkut.

Kemarin (13/6), tak kurang 74 gepeng, anjal, dan 19 orang gila terjaring dalam operasi penyakit masyarakat yang digelar serentak di kota/kabupaten se-DIJ. Jumlah yang terjaring di Bantul dan Sleman masing-masing 25 orang. Disusul Kota Jogja 24 orang. Sedangkan orang gila terbanyak di Kulonprogo 7 orang, disusul Kota Jogja 5 orang. 

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DIJ Sukamto mengatakan, operasi digelar secara serentak guna mencegah migrasi gepeng dan anjal. Sebab, selama ini tiap kali digelar razia di salah satu kabupaten/kota, para anjal dan gepeng hanya beringsut ke wilayah lain.’’Tujuannya demi menjaga ketertiban jalan raya,” ujar Sukamto mengenai latarbelakang digelarnya razia.

Page 9: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

Hampir selalu menjadi klausul diungkapkan petugas ketertiban, bahwa razia untuk memberi efek jera bagi gepeng dan anjal. Agar mereka kapok dan tak kembali turun ke jalan. Demikian pula yang disampaikan Sukamto. Faktanya, hampir tiap hari pengamen jalanan jathilan selalu beraksi di tiap perempatan sepanjang Jalan Ring Road Utara.

Diakui Sukamto, kantong-kantong gepeng dan anjal tersubur ada di tiga wilayah, yakni Kota Jogja, Sleman, dan Bantul. Sukamto menegaskan, salah satu upaya menekan jumlah gepeng dan anjal adalah dengan tidak memberi mereka uang receh. Untuk itu dibutuhkan kerjasama dari setiap pengendara kendaraan di jalan raya. Seperti tertera di berbagai papan peringatan bahwa beramal bukan dengan cara memberi uang kepada peminta-minta jalanan.

Sulitnya membina gepeng dan anjal diakui Kepala Seksi Operasional Ketenteraman dan Ketertiban (Trantib) Satpol PP Sleman Setiharno. Terutama pengamen jathilan yang tiap kali diangkut saat razia, keesokan harinya sudah mangkal lagi di lokasi tempat mereka dijaring petugas. “Mereka memang biasa ngepos di perempatan jalan,” katanya.

Menurut Setiharno, kesulitan menjaring semua pengamen jathilan karena mereka semua membawa alat komunikasi telepon seluler. Jadi, tiap kali ada kelompok dijaring, maka informasi segera tersebar kepada pengamen lain seprofesi. “Bahkan kerap operasi bocor. Kami khawatir kalau nantinya gepeng punya handphone, razia bisa sia-sia,” ungkap Setiharno.

Meski bocor, tak kurang 25 gepeng dan anjal selalu terjaring tiap digelar razia. Jumlah itu menurut Setiharno termasuk kategori memprihatinkan. Apalagi mereka yang terjaring didominasi muka-muka lama. Di Sleman, titik-titik lokasi yang menjadi kantong anjal dan gepeng diantaranya tiap perempatan jalan dan kolong jembatan. Misalnya Pertigaan Janti, Jombor, Kentungan, Proliman Kalasan, dan Pasar Prambanan.(yog/din).

B. Program Penangananan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berorientsi Desa

Program ini adalah program yang komprehensif dalam penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara bersamaan, simultan, dan

Page 10: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji coba pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program ini ke depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.

A. Kegiatan Preventif

Kegiatan preventif dilakukan di tempat-tempat yang potensial menjadi daerah pengirim gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan. Kegiatan ini dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati. Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau wanita rawan sosial ekonomi.

1. Kampanye Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)

Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan statistik daerah asal gelandangan dan pengemis terbanyak di Jakarta. Adapun kegiatan dalam kampanye sosial meliputi :

Rapat koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.

Penyuluhan sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui lain :

Pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa

Penyebaran pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta bahaya merantau ke kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal

Gelar panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.

Penyuluhan sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada permasalahan gelandangan dan pengemis.

Temu duta anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.

Page 11: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

2. Pemberian Bantuan Langsung di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)

Kegiatan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.

3. Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung Peralatan Sekolah di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)

Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.

B. Kegiatan Dukungan

1. Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’

Pemilihan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ dapat dipilih atau ditentukan oleh Departemen Sosial di Jakarta. Diharapkan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis yang memiliki background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.

2. Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas Gelandangan dan Pengemis’

Penghargaan/trophy akan diberikan kepada kota-kota yang memiliki komitmen yang besar dalam penghapusan gelandangan dan pengemis di daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih Gelandangan dan Pengemis’ langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun sekali.

3. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’

Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh Presiden RI, Wakil Presiden RI, maupun Menteri Sosial RI disesuaikan dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati publik, terutama kalangan media baik cetak maupun elektronik.

Page 12: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

C. Kegiatan Rehabilitatif

Kegiatan rehabilitasi sosial selama ini dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, melalui panti-panti gelandangan pengemis milik Departemen Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan tetapi jumlah gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan ini sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di daerah asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan ketahanan ekonomi keluarga dan kontrol sosial masyarakat.

1. Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan Pengemis

Departemen Sosial bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI Jakarta sebagai pilot project) menyediakan alokasi dana untuk pemulangan gelandangan dan pengemis ke daerah asal. Gelandangan dan pengemis yang akan dipulangkan adalah hasil dari operasi yustisi yang dilakukan oleh Departemen Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI Jakarta. Dalam program ini, uji coba pemulangan dilakukan di 3 propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi di 3 propinsi pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah yang potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Departemen Sosial berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa. Pemulangan dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh masyarakat setempat. Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis malu atau jera. Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya diseminasi dan penyuluhan sosial yang sifatnya preventif untuk masa mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk menggugah kepedulian masyarakat mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk menerima kembali mantan gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi sosial).

2. Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desa’ (RKD)

Para gelandangan dan pengemis yang sudah dipulangkan kemudian mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan bakatnya di ’Rumah Kerja Desa’ (RKD) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda setempat (sharing

Page 13: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya.

3. Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan dan Pengemis

Setelah dipulangkan, mantan gelandangan dan pengemis yang yang tidak memungkinkan mengikuti pelatihan keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desa’ (RKD) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota akan mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.

4. Layanan Transmigrasi

Layanan ini diberikan pada mereka yang mempunyai mental kuat untuk mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai kerabat lagi di desa, dan membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih masuk dalam kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

5. Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku Sekolah

Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia. Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus untuk anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).

Page 14: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

BAB IV

PENUTUP

Demikianlah garis besar mengenai Program Penanganan Gelandangan,

Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi

Keluarga Berorientasi Desa. Selain berupaya menghapus gelandangan dan

pengemis di perkotaan, program ini juga dapat menumbuhkan kepedulian sosial

dan kontrol sosial dari pemerintah daerah dan masyarakat. Disamping itu,

program ini membuka peluang bagi para sarjana yang ingin kembali dan

mengabdi ke desa dapat bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa

bersinergi dengan program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun

Pusdaka (Pusat Pemberdayaan Keluarga).

Page 15: PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

DAFTAR PUSTAKA

http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/25198-sulitnya-membersihkan-anjal-dan-gepeng.html

http://bandung.detik.com/read/2012/07/02/181541/1955973/486/setiap-tahun-ada-400-anak-jalanan-baru-di-bandung

Rohman, Arif.2004 Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas Indonesia.

http://rarif.multiply.com/journal/item/201?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem