pemberdayaan entrepreneurship: implementasi teori-u dalam

14
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship” Semarang, 20 Agustus 2016 Pendidikan Sains [1 - 14] 1 Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam Bioteknologi Praktis Berbasis Stem Prof. Dr. Nuryani Y. Rustaman, M.Pd. Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected] Abstrak Makalah ini membahas tentang pentingnya pembelajaran berorientasi entrepreneurship, khususnya praktek perkuliahan Bioteknologi yang interdisiplin dalam pendidikan sains. Teori-U ditawarkan untuk didampingkan dengan pendekatan Science-Technology-Engineering-Mathematics (STEM) dalam menghadapi pasar bebas dan masyarakat ekonomi asean (MEA). Kemiripan pandangan Teori-U dan pendekatan STEM yang menekankan Engineering practice dan cross-cutting concept-nya menginspirasi penulis untuk mengubah cara pandang pendidik calon guru dalam memberdayakan entrepreneurship. Teori U yang menekankan learning environment dan learning cycle yang lebih kontekstual dan mencakup Observing-Reflect-Plan-Act (ORPA) dipandang beririsan dengan prinsip pembelajaran berpendekatan STEM yang memfasilitasi pembelajaran sains dengan pikir-desain-buat-uji (PDBU). Penekanan Engineering practice design (praktek rancang rekayasa) diperkirakan lebih cocok mengarahkan Bioteknologi untuk menjadi Biorekayasa. Pendidikan STEM memfasilitasi pembelajaran inkuri yang mengintegrasikan scientific literacy, Technological and Engineering Literacy. Dalam makalah ini diungkap transisi entreprenership di kalangan saintis dan engineer, konsep dan tujuan pendidikan STEM, pola integrasi STEM, kesejalanan pendidikan STEM dengan Kurikulum 2013, karakteristik pembelajaran sains berbasis pendidikan STEM yang membedakannya dari pembelajaran dan penilaian konvensional. Teori-U di Indonesia membuka peluang mengarahkan generasi muda untuk menjadi dirinya sendiri dalam bidang pekerjaan yang diminatinya dan juga mengingatkan calon pemimpin (termasuk pendidik calon guru) untuk memberdayakan entrepreneurship secaca seimbang aspek mind- heart-act/will-nya. Dengan cara demikian ketergantungan masyarakat Indonesia menjadi PNS atau pekerja akan teratasi, selain pemberdayaan entrepreneurship yang membuka peluang untuk membuka lapangan kerja yang cukup menjanjikan. PENDAHULUAN Kondisi pendidikan, khususnya pendidikan Sains di Indonesia masih memprihatinkan. Sangat pesatnya perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), ditambah implementasi penyempurnaan kurikulum yang belum secara komprehensif dipahami oleh para pelaku pendidikan diperkirakan turut menjadi penyebab kondisi ini. Pembelajaran sains yang lebih menekankan penguasaan konsep tanpa pembekalan life- long learning, turut memperparah kondisi yang tidak menjanjikan meski memiliki ijazah pada pelbagai level (pendidikan dasar, menengah, tinggi) menantang para pendidik calon guru dan praktisi pendidikan untuk mencari solusinya. STEM yang merupakan akronim dari science, technology, engineering, dan mathematics, pertama kali diluncurkan oleh National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat pada tahun 1990-an sebagai sebagai tema gerakan reformasi pendidikan dalam keempat bidang disiplin tersebut untuk menumbuhkan angkatan kerja bidang- bidang STEM, serta mengembangkan warga negara yang melek STEM (STEM literate), serta meningkatkan daya saing global Amerika Serikat dalam inovasi iptek (Hanover Research, 2011).

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

Pendidikan Sains [1 - 14] 1

Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam Bioteknologi Praktis Berbasis Stem

Prof. Dr. Nuryani Y. Rustaman, M.Pd.

Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected]

Abstrak Makalah ini membahas tentang pentingnya pembelajaran berorientasi entrepreneurship, khususnya praktek perkuliahan Bioteknologi yang interdisiplin dalam pendidikan sains. Teori-U ditawarkan untuk didampingkan dengan pendekatan Science-Technology-Engineering-Mathematics (STEM) dalam menghadapi pasar bebas dan masyarakat ekonomi asean (MEA). Kemiripan pandangan Teori-U dan pendekatan STEM yang menekankan Engineering practice dan cross-cutting concept-nya menginspirasi penulis untuk mengubah cara pandang pendidik calon guru dalam memberdayakan entrepreneurship. Teori U yang menekankan learning environment dan learning cycle yang lebih kontekstual dan mencakup Observing-Reflect-Plan-Act (ORPA) dipandang beririsan dengan prinsip pembelajaran berpendekatan STEM yang memfasilitasi pembelajaran sains dengan pikir-desain-buat-uji (PDBU). Penekanan Engineering practice design (praktek rancang rekayasa) diperkirakan lebih cocok mengarahkan Bioteknologi untuk menjadi Biorekayasa. Pendidikan STEM memfasilitasi pembelajaran inkuri yang mengintegrasikan scientific literacy, Technological and Engineering Literacy. Dalam makalah ini diungkap transisi entreprenership di kalangan saintis dan engineer, konsep dan tujuan pendidikan STEM, pola integrasi STEM, kesejalanan pendidikan STEM dengan Kurikulum 2013, karakteristik pembelajaran sains berbasis pendidikan STEM yang membedakannya dari pembelajaran dan penilaian konvensional. Teori-U di Indonesia membuka peluang mengarahkan generasi muda untuk menjadi dirinya sendiri dalam bidang pekerjaan yang diminatinya dan juga mengingatkan calon pemimpin (termasuk pendidik calon guru) untuk memberdayakan entrepreneurship secaca seimbang aspek mind-heart-act/will-nya. Dengan cara demikian ketergantungan masyarakat Indonesia menjadi PNS atau pekerja akan teratasi, selain pemberdayaan entrepreneurship yang membuka peluang untuk membuka lapangan kerja yang cukup menjanjikan.

PENDAHULUAN

Kondisi pendidikan, khususnya

pendidikan Sains di Indonesia masih

memprihatinkan. Sangat pesatnya

perkembangan Ilmu pengetahuan dan

teknologi (Iptek), ditambah implementasi

penyempurnaan kurikulum yang belum

secara komprehensif dipahami oleh para

pelaku pendidikan diperkirakan turut

menjadi penyebab kondisi ini.

Pembelajaran sains yang lebih menekankan

penguasaan konsep tanpa pembekalan life-

long learning, turut memperparah kondisi

yang tidak menjanjikan meski memiliki

ijazah pada pelbagai level (pendidikan

dasar, menengah, tinggi) menantang para

pendidik calon guru dan praktisi

pendidikan untuk mencari solusinya. STEM

yang merupakan akronim dari science,

technology, engineering, dan mathematics,

pertama kali diluncurkan oleh National

Science Foundation (NSF) Amerika Serikat

pada tahun 1990-an sebagai sebagai tema

gerakan reformasi pendidikan dalam

keempat bidang disiplin tersebut untuk

menumbuhkan angkatan kerja bidang-

bidang STEM, serta mengembangkan

warga negara yang melek STEM (STEM

literate), serta meningkatkan daya saing

global Amerika Serikat dalam inovasi iptek

(Hanover Research, 2011).

Page 2: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

2 Pendidikan Sains [1 - 14]

Gerakan reformasi pendidikan STEM

ini didorong oleh laporan-laporan studi

yang menunjukkan terjadi kekurangan

kandidat untuk mengisi lapangan kerja

dalam disiplin-disiplin dalam STEM, tingkat

iliterasi sains dan literasi lainnya, serta

posisi capaian siswa sekolah menengah AS

dalam PISA (Roberts, 2012). Dewasa ini

komitmen AS dan Negara lainnya terhadap

gerakan pendidikan STEM diwujudkan

dalam bentuk dukungan yang bervariasi,

seperti dukungan anggaran dari

pemerintah, dukungan kepakaran dari

banyak perguruan tinggi, serta dukungan

teknis dari dunia industi (otomotif,

mainan), bagi pengembangan dan

implementasi pendidikan STEM.

Transisi ke arah Entrepreneurship

Visi saintis atau engineer sebagai

entrepreneur bukan sesuatu yang baru

dengan berbagai makna, tetapi regularitas

yang melibatkan pertukaran peserta didik

pada masa kini dengan pekerjaan-

pekerjaan yang terkait industri

menawarkan ketidak-pastian dan “chaos of

entre-preuneurship” yang perlu diwaspadai

(Allen, 2010). Pergesaran prilaku ini telah

menjadi sesuatu yang kecenderungan yang

menakutkan, karena akan mengendalikan

kehidupan mereka. Manusia seyogianya

tidak dijajah oleh bentuk lain yang

menempatkan manusia lebih menghargai

apa yang mereka lakukan daripada hal apa

yang menjadi mereka minati.

Tujuan para saintis dan enjineer

sebagai entrepreneur bukanlah

menempatkan manusia pada posisi yang

lebih esensi daripada sekedar

entrepreneur, melainkan membantu

mengembangkan suatu cara berpikir (a

way of thiking) dan piranti kritis yang

mereka perlukan untuk mengenali peluang

dan bekerja secara efektif dengan para

pebisnis yang akan mereka perlukan ketika

mereka membangun perusahaan

(companies). Suatu studi penting tentang

suatu “cohort” yang meletakkan dasar-

dasar akademi untuk perusahan-

perusahaan yang berdasarkan bioteknologi

dan resiko yang akan mereka tanggung

menjdi entrepreneur, telah memberikan

suatu cara pandang yang lebih jelas (a

clearer window) untuk memutuskan suatu

transisi menuju entrepreneurship dan

alasannya. Hasil studi Stuart & Ding’s

(2006) sebagaimana disitir oleh Allen

(2010) menunjukkan bahwa saintis yang

bekerja sama dengan saintis lain yang telah

memulai perusahaan, mereka cenderung

akan berubah menjadi entrepreneurs,

khususnya jika mereka bekerja di bidang

medis (kedokteran).

Hal ini mengingatkan kita semua

untuk membuka diri dan memikirkan ke

arah mana entre-preneurship ini akan

mengarahkan kita bekerja dtinjau dri segi

kemanusiaan dan pendidik yang

berkewajiban untuk memanusiakan

generasi muda melalui pendidikan yang

relevan. Tidaklah bijaksana apabila kita

tergiur dan terlena dengan keuntungan

yang akan diperoleh, tetapi melupakan

resiko besar yang menganga lebar di

hadapan kita, sehingga generasi muda kita

tidak lagi dapat menghindar dari

penjajahan bentuk baru.

Sejauh ini gerakan penerapan teori U

di Amerika mencoba mengimbangi gerakan

pendidikan STEM yang telah bergema di

berbagai negara, baik negara maju (Jepang,

Korea, Australia, United Kingdom) maupun

negara berkembang (Thailand, Singapura,

Malaysia), yang memandang pendidikan

Page 3: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

Pendidikan Sains [1 - 14] 3

STEM sebagai jalan keluar untuk masalah

kualitas SDM dan daya saing masing-

masing Negara (Rustaman, 2014). Oleh

sebab itu riset dan pengembangan

(Research & Development) dalam

pendidikan STEM menjadi tema yang

semakin mendominasi wacana dalam

konferensi dan publikasi ilmiah

internasional dalam bidang pendidikan.

Kesadaran akan pentingnya kesadaran

terkait bidang pekerjaan dan pendidikan

STEM telah mulai muncul di kalangan pakar

pendidikan di Indonesia, sehingga ada

kelompok studi yang mencoba melindungi

bumi sebagai rumah kita selain banyak

kelompok studi di perguruan tinggi yang

melakukan penelitian dan pengembangan

pendidikan STEM. Paparan selanjutnya

dalam makalah ini mengetengahkan cara

pandang teori U dengan konsep dan

pengembangan pembelajaran dengan

framework pendidikan STEM, serta

peluang penelitian dan pengembangan

dalam tema pendidikan STEM dalam

konteks Indonesia.

TEORI-U DAN PENDEKATAN STEM

a. Teori U

Teori U diperkenalkan oleh C. Otto

Charmer (t.t.). Menurut Charmer (2007)

terdapat dua sumber belajar (two different

sources of learning), yakni learning by

reflecting experience in the past, dan

learning by converting the emerges of the

present. Lebih jauh dikemukakan bahwa

terdapat dua pertanyaan utama pada diri

seseorang. Pertanyaan pertama, siapakah

diri saya? Pertanyaan kedua, apakah

pekerjaan saya? Selama pengalaman

belajar, mahasiswa diperkenalkan pada

pembelajaran yang sesungguhnya (engage

with real world) sebagai lingkungan belajar.

Selain memper-kenalkan learning

environment, teori U mencoba

memperkenalkan siklus belajar (learning

cycle) dengan menggabungkan observe,

reflect, plan and act dalam melakukan

transforming business, society dan self.

Siklus belajar melibatkan obervasi berulang

kali dan level bertahap, bergeser ke retreat

and reflect, lalu ke “plan” yang

memungkinkan terjadi perpindahan dari

kepala, ke hati dan akhirnya ke

tangan/tindakan dengan ungkapan moving

from the head to the heart and then to the

will or acts.

Dalam prosesnya dinyatakan ada

lima langkah yang diperlukan sebagai

berikut. Pertama, memulai dan

membangun niat umum bersama (co-

initiating). Kedua, merasakan bersama

melalui observasi berulang kali (co-

sensing). Ketiga, terhubung dengan sumber

inspirasi (presencing). Keempat, mencipta

bersama (co-creating). Kelima,

berkembang bersama (co-evolving) untuk

mewujudkan hal baru dalam ekosistem

yang memfasilitasi penglihatan dan

tindakan keseluruhan. Melalui proses ini

ada pesan yang ingin disampaikan oleh

Charmer, yaitu menentukan tujuan hidup

sendiri bersama dengan merealisasikannya

dalam berpikir, berempati dan bertindak

dari pikiran-hati-tangan dan keinginan.

Lebih jauh diungkapkan bahwa

diperlukan kapasitas tertentu untuk

menjadi seorang pemimpin dalam

mewujudkan Teknologi sosial Presencing

(Presence+Sensing). Ditawarkan tujuh

kapasitas kepemimpinan penting yang

hendaknya dimiliki oleh pemimpin atau tim

kecil yang sedang memimpin perubahan.

Tanpa mengembangkan kapasitas ini,

proses yang dijelaskan sebelumnya (lima

Page 4: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

4 Pendidikan Sains [1 - 14]

langkah) tidak akan mendatangkan hasil

yang diharapkan. Kapasitas-kapasitas

tersebut adalah: 1). Menciptakan ruang

istimewan untuk menemukan panggilan

hidup; 2). Observing: hadir dengan pikiran

terbuka; 3.) Sensing: berhubungan dengan

perasaan; 4) Presencing: berhubungan

dengan sumber terdalam dan kehendak;

5). Mengkristalkan: mengakses kekuatan

niat; 6). Membangun dasar:

mengintegrasikan kepala, hati, dan tangan;

7). mempresentasikan.

b. Pendekatan STEM

Sebagai komponen dari STEM, sains

adalah kajian tentang fenomena alam yang

melibatkan observasi dan pengukuran

sebagai wahana untuk menjelaskan secara

obyektif alam yang selalu berubah.

Terdapat beberapa domain utama dari

sains pada jenjang pendidikan dasar dan

menengah, yakni fisika, biologi, kimia, serta

ilmu pengetahuan bumi dan antariksa

(IPBA). Teknologi merujuk pada inovasi-

inovasi manusia yang digunakan untuk

memodifikasi alam agar memenuhi

kebutuhan dan keinginan manusia,

sehingga membuat kehidupan lebih

nyaman dan lebih aman. Teknologi

menjadikan manusia dapat melakukan

perjalanan secara cepat, berkomunikasi

langsung dengan orang di tempat yang

berjauhan, memperoleh makanan sehat,

dan alat-alat keselamatan. Rekayasa

(engineering) merupakan pengetahuan dan

keterampilan untuk memperoleh dan

mengaplikasikan pengetahuan ilmiah,

ekonomi, sosial, serta praktis untuk

mendesain dan mengkonstruksi mesin,

peralatan, sistem, material, dan proses

yang bermanfaat bagi manusia secara

ekonomis dan ramah lingkungan.

Selanjutnya, matematika berkenaan

dengan pola-pola dan hubungan-

hubungan, dan menyediakan bahasa untuk

teknologi, sains, dan rekayasa.

Tujuan Pendidikan STEM menjadi

bermakna pada penguatan praksis

pendidikan dalam bidang-bidang STEM

secara terpisah, dan sekaligus lebih

mengembangkan pendekatan pendidikan

yang mengintegrasikan sains, teknonogi,

rekayasa, dan matematika, dengan

memfokuskan proses pendidikan pada

pemecahan masalah nyata dalam

kehidupan sehari-hari ataupun kehidupan

profesi (National STEM Education Center,

2014; Kant, 2014). Dalam konteks

pendidikan dasar dan menengah,

pendidikan STEM bertujuan

mengembangkan peserta didik yang STEM

literate (Bybee, 2013), dengan rincian

sebagai berikut.

1) memiliki pengetahuan, sikap, dan

keterampilan untuk mengidentifikasi

pertanyaan dan masalah dalam situasi

kehidupannya, menjelaskan fenomena

alam, mendesain, serta menarik

kesimpulan berdasar bukti mengenai

isu-isu terkait STEM;

2) memahami karakteristik khusus disiplin

STEM sebagai bentuk-bentuk

pengetahuan, penyelidikan, dan desain

yang digagas manusia;

3) memiliki kesadaran bagaimana disiplin-

disiplin STEM membentuk lingkungan

material, intelektual dan kultural,

4) memiliki keinginan untuk terlibat dalam

kajian isu-isu terkait STEM (misalnya

efisiensi energi, kualitas lingkungan,

keterbatasan sumberdaya alam) sebagai

warga negara yang konstruktif, peduli,

serta reflektif dengan menggunakan

Page 5: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

Pendidikan Sains [1 - 14] 5

gagasan-gagasan sains, teknologi,

rekayasa, dan matematika.

Pendidikan STEM memberi pendidik

peluang untuk menunjukkan kepada

peserta didik betapa konsep, prinsip, dan

teknik dari STEM digunakan secara

terintegrasi dalam pengem-bangan produk,

proses, dan sistem yang digunakan dalam

kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena

itu, definisi pendidikan STEM diadopsi

sebagai pendekatan interdisiplin pada

pembelajaran (Reeve, 2013). Dalam

pembelajaran berbasis STEM peserta didik

menggunakan sains, teknologi, rekayasa,

dan matematika dalam konteks nyata yang

menghubungkan sekolah, dunia kerja, dan

dunia global guna mengembangkan literasi

STEM yang memungkinkan peserta didik

mampu bersaing dalam era ekonomi baru

yang berbasis pengetahuan, nmun tetap

menyadari posisinya sebagai penyeimbang

kegiatan manusia di bumi yang sudah

semakin terbatas memfasilitasi manusia di

masa yang akan datang.

Jika diharapkan para peserta didik

mempelajari STEM dengan baik, maka

harus dilakukan reduksi materi yang

sekarang ini tercakup dalam kurikulum.

Tujuan seyogianya dinyatakan sedemikian

sehingga ditemukan karakteristik apa yang

sesungguhnya dicari melalui pembelajaran

disiplin-disiplin STEM. Meskipun tujuan

untuk mengetahui, mendesain dan

melaksanakan dapat disajikan secara

terpisah, semua itu seharusnya dipelajari

bersamaan dengan secara utuh dengan

berbagai konteks agar dapat digunakan

secara bersamaan dalam kehidupan di luar

sekolah.

Inti kesamaan (common core) dari

mempelajari STEM seyogianya menjadi

esensi dari literasi STEM, bukan pada suatu

pengertian disiplin yang terpisah. Terlebih-

lebih, studi-studi inti seyogianya mencakup

keterkaitan antara sains, teknologi,

rekayasa dan matematika, dan antara area-

area tersebut dengan bidang seni, bidang

humanitas dan vokasional, dengan

menggunakan desain praktek rekayasa

(engineering practice design). Dalam isilah

pendidikan STEM, hal itu dkenal dengan

“cross cutting concepts” (NGSS Appendix

G, 2013). Cakupan Cross cutting concepts

didaftar sebagai berikut: pola (1), sebab

dan akibat (ii), skala, proportion (iv),

kuantitas (v), sistem dan pemodelan sistem

(vi), energy dan maeri (vii), stabilitas dan

perubahan (viii).

Gagasan utama dari desain rekayasa

melibatkan tiga komponen gagasan

(iterative cycle of engineering design)

(NGSS Appendix F, 2013). Ketiga komponen

gagasan tersebut adalah: defining and

delimiting engineering problems (i);

designing solutions to engineering

problems (ii); and optimizing the design

solution (iii), dikenal dengan DDO.

Sangatlah penting untuk memperhatikan

bahwa desain rekayasa seyogianya

dihubungkan dengan keberagaman peserta

didik (Rustaman, 2014).

c. Literasi Sains, Literasi Teknologi dan

Rekayasa, dan Literasi STEM

Seperti literasi sains (scientific

literacy) dalam PISA memiliki komponen-

komponennya sendiri, demikian pula

literasi Teknologi dan rekayasa (Technology

and Engineering Literacy), dan STEM

Literacy. Teknologi diartikan secara luas

sebagai modifikasi pada dunia alami untuk

memenuhi kebutuhan atau tuntutan

manusia, dan rekayasa sebagai pendekatan

Page 6: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

6 Pendidikan Sains [1 - 14]

sistematis dan berkesinambungan untuk

mendesain obyek, proses, dan sistem

untuk emmenuhi kebutuhan manusia.

Teknologi mencakup bukan hanya

produknya, juga pengetahuan dan proses

yang diperlukan untuk mencipta dan

mengo-perasikan produk-produk tersebut.

Kebanyakan teknologi modern merupakan

sutu produk dari sains dan rekayasa, dan

peralatan teknologi digunakan pada kedua

bidang tersebut. Adapun rekayasa

didefinisikan sebaai pengetahuan tentang

desain dan kreasi produk karya manusia

dan suatu proses untuk memecahkan

masalah pada kendala waktu, dana, materi,

dan peraturan lingkungan (Firman et al.,

2015). Rekayasa menggunakan konsep

dalam sains dan matematika sebagaimana

perangkat teknologi.

Teknologi dan rekayasa berbeda

tetapi saling berhubungan erat. Pembeda

antara teknologi dan rekayasa adalah

bahwa rekayasa dapat dipandang sebagai

suatu proses yang berkenaan dengan

mencipta atau mendesain, sedangkan

teknologi sebaliknya dapat dipandang

sebagai produk dari proses tersebut.

Kegiatan rekayasa menghasilkan suatu

transformasi materi, energy, atau

informasi, sedangkan teknologi dapat

dipandang sebagai hal-hal yang dihasilkan

dari rekayasa.

National Assessment and

Educational Progress (NAEP) mengartikan

literasi teknologi dan rekayasa (TEL)

sebagai kapasitas untuk menggunakan,

memahami, dan mengevaluasi teknologi

sebagaimana juga memahami prinsip dan

strategi teknologi yang diperlukan untuk

mengem-bangkan solusi dan mencapai

tujuan (Firman et al., 2015). Dalam TEL,

para peserta didik diharapkan mampu

menerapkan cara-cara khusus untuk

berpikir dan bernalar ketika melakukan

pendekatan terhadap suatu masalah. NAEP

merinci tiga area yang saling berhubungan

dari TEL.

Technology and Society: teknologi

melibatkan dampak terhadap

masyarakat dan dunia alami, juga

pertanyaan etis yang dimunculkan dari

semua efek tersebut.

Design and Systems: mencakup hakikat

teknologi, proses desain rekayasa yang

mengembagkan teknologi, dan prinsip-

prinsip dasar yang berkait dengan

teknologi sehari-hari, termasuk

memelihara dan mengatasi

kesulitannya.

Information and Communication

Technology: termasuk computer dan

perangkat lunak pembelajaran, sistem

jejaring dan protokol, peralatan digital,

dan teknologi lainnya untuk mengakses,

mencipta, dan mengkomunikasikan

informasi dan untuk memfasilitasi

ekspresi kreatif.

Merujuk pada konsep literasi

teknologi dan rekayasa (TEL) yang

disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa Literasi teknologi dan rekayasa

siswa di pendidikan dasar dan menengah

umum mencakup pengetahuan dan

keterampilan dasar dan menggunakan

literasi teknologi dan rekayasa yang

berhubungan, mengembangkan desain

untuk memecahkan masalah sebagaimana

kemampuan mengkomunikasikan dan

bekerja secara individual, atau dalam tim

dengan rekan-rekan dan para pakar arau

sumber daya lainnya.

Terkait dengan STEM literasi,

terdapat tiga dimensi untuk mendukung

Page 7: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

Pendidikan Sains [1 - 14] 7

kompetensi (Rustaman, 2015). Lebih

diungkapkan bahwa sebagaimana Literasi

sains melibatkan empat komponen

(pengetahuan konten, proses, konteks dan

attitude sebagai tiga dimensi terhadap

kompetensi (Kumano & Goto, 2015), maka

STEM literasi juga melibatkan cross cutting

concepts, core ideas of four discipline,

scientific and enginnering practice sebagai

konteksnya untuk mendukung kompetensi

dalam STEM.

INTEGRASI TEORI U DAN PENDIDIKAN

STEM DALAM PEMBELAJARAN SAINS

Dewasa ini teori U disebarkan di

kalangan praktisi seperti misalnya Green

peace, Paca Mama, Eco-camp, sedangkan

pendidikan STEM diadopsi oleh banyak

negara sebagai rambu-rambu inovasi

pendidikan, sehingga muncul sebagai

gerakan global untuk menjembatani

kesenjangan antara kebutuhan dan

ketersediaan kepakaran yang diperlukan

untuk pembangunan ekonomi di Abad ke-

21. Biro Statistika Tenaga Kerja AS pada

tahun 2011 menguraikan terjadinya

peningkatan lapangan pekerjaan sebelum

dan setelah diterapkan pembelajaran

berbasis STEM dalam lingkup global pada

satu dekade mendatang struktur lapangan

pekerjaan STEM lebih besar (17%)

dibandigkan lapangan pekerjaan non-STEM

(10%) (Kompas 12 Juli 2015). Bagaimana di

Indonesia?

Dalam menghadapi era persaingan

global, Indonesia pun perlu menyiapkan

sumberdaya manusia (SDM) yang handal

dalam disiplin-disiplin STEM secara kualitas

dan mencukupi secara kuantitas.

Sebagaimana dirilis dalam Surat Kabar

Kompas (Juli 2015). Indonesia mengalami

kendala kesenjangan antara kebutuhan

dan ketersediaan SDM. Merujuk data

Badan Pusat Statistik 2010, SDM Indonesia

yang berjumlah 88 juta masih didominasi

tenaga kerja kurang terampil, dan

diprediksi tahun 2020 akan ada 50%

kekurangan tenaga kerja untuk mengisi

lowongan jabatan di struktur lapangan

kerja. Namun, jalan untuk mengatasi

persoalan ini bukanlah perkara mudah.

Tanpa upaya mengembangkan

kemampuan dasar, soft skills (kolaborasi,

komunikasi, kreativitas, pemecahan

masalah), dan nilai-nilai prasyarat untuk

memasuki profesi STEM pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah, sangat

sulit untuk mengharapkan generasi muda

yang bermotivasi dan siap menekuni

bidang-bidang STEM.

Kurikulum 2013 yang baru saja

diluncurkan tidak akan dapat mengatasi

permasalahan kualitas dan kuantitas SDM

Indonesia yang berdaya saing global, jika

tidak secara sistematik mereka disiapkan

untuk mengembangkan pengetahuan,

keterampilan dan sikap yang

dipersyaratkan dunia kerja abad ke-21,

sebagaimana diwujudkan dalam

Pendidikan STEM. Untuk mengatasi hal

tersebut Pendidikan dengan pendekatan

STEM dapat menjadi kunci guna

menciptakan generasi penerus bangsa

yang mampu bersaing di kancah global.

Oleh sebab itu, pendidikan STEM perlu

menjadi kerangka-rujukan bagi proses

pendidikan di Indonesia ke depan.

Sebagaimana ditemukan dalam

Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum

2013 Jenjang Sekolah Menengah

Pertama/Madrasah Tsanawiyah

(Kemdikbud, 2013), bahwa kurikulum 2013

bertujuan untuk mempersiapkan manusia

Indonesia agar memiliki kecakapan hidup

Page 8: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

8 Pendidikan Sains [1 - 14]

sebagai pribadi dan warga negara yang

beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan

afektif serta mampu berkontribusi pada

kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

bernegara, dan peradaban dunia. Dalam

dokumen tersebut dinyatakan bahwa pola

pikir pembelajaran ilmu pengetahuan

tunggal (monodiscipline) menjadi

pembelajaran ilmu pengetahuan jamak

(multidiscipline) digunakan sebagai dasar

pengembangan Kurikulum 2013. Rumusan

tujuan dan pola pikir dalam pengembangan

Kurikulum 2013 tersebut mengisyaratkan

bahwa Kurikulum 2013 memberikan ruang

bagi pengembangan dan implementasi

pendidikan STEM dalam konteks

implementasi Kurikulum 2013, yang

mengutamakan integrasi S, T, E dan M

secara multi- dan trans-disiplin serta

pengembangan pemikiran kritis,

kreativitas, inovasi, dan kemampuan

memecahkan masalah. Dalam kurikulum

dianjurkan pembelajaran yang bervariasi

sebagai modifikasi dari 5M, seperti

pembelajaran berbasis proyek (PjBL),

inkuiri, pembelajaran kontekstual, dan

siklus belajar.

Khusus untuk PjBL, terdapat irisan

yang sangat besar antara PjBL yang regular

dengan PjBL berbasis STEM. terutama

dalam pentahapannya. Model PjBL

berbasis STEM mengintegrasikan model

PjBL dengan proses engineering untuk

dapat memingkatkan kemampuan

merancang (designing) peserta didik yang

dibutuhkan untuk pendidikan selanjutnya

dan sebagai bekal kelak dalam

pekerjaannya. Model PjBL berbasis STEM

diawali dengan masalah yang bersifat

konstekstual dan ill-define problem untuk

dicarikan solusinya dengan penguasaan

core concept dan wawasan materi STEM

dan materi lainnya sehingga dihasilkan

produk (well-define outcome). Tahapan

PjBL berbasis STEM adalah refleksi

(reflection), riset (research), penemuan

(discovery), aplkasi (application) dan

komunikasi (communication). Sementara

PjBL yang regular lebih pada tahapan-

tahapan: penentuan pertanyaan mendasar,

menyusun perencanaan proyek, menyusun

jadwal, monitoring, menguji hasil, dan

evaluasi pengalaman. PjBL berbasis STEM

mirip dengan creative design process (CDP)

menurut Doppelt (2005).

Proses engineering dalam PjBL

berbasis STEM ditandai dengan

perancangan (designing) produk dalam

bentuk sketsa, yang jika dalam tahap

proses pembuatan produk ataupun ujicoba

produk terdapat kukurangan, maka

perancangnya dapat mendesain ulang atau

memperbaiki rancangan agar produk yang

dihasilkan leih baik dari sebelumnya.

Engineering design process digambarkan

oleh Morgan et al. (2013: 29) berupa siklus

dengan tujuh langkah sebagai: identify

problem and constrains (i), research (ii),

idecto (iii) , analyze idea build (iv), test and

refine (v), communicate (vi) and reflect (vii).

Pengintegrasian S-T-E-M

Pengintegrasian sains, teknologi,

rekayasa dan matematika (sebagai salah

satu karakteristik pendidikan STEM)

diharapkan dapat bermanfaat untuk

memecahkan masalah nyata. Terdapat

beragam cara yang digunakan dalam

praktik untuk mengintegrasikan disiplin-

disiplin STEM, serta pola dan derajad

keterpaduannya bergantung pada banyak

faktor (Roberts, 2012). Pengajaran sains

yang terpisah dari matematika, teknologi

dan rekayasa dikenal sebagai “silo”

Page 9: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

Pendidikan Sains [1 - 14] 9

(Dugger, n.d; Bybee, 2013). Cara kedua

adalah mengajarkan masing-masing disiplin

STEM dengan lebih berfokus pada satu

atau dua dari disiplin-disiplin STEM. Cara

ketiga adalah mengintegrasikan satu ke

dalam tiga disiplin STEM, misalnya konten

rekayasa diintegrasikan ke dalam mata

pelajaran sains, teknologi, dan matematika.

Cara yang lebih komprehensif adalah

melebur keempat disiplin STEM dan

mengajarkannya sebagai mata pelajaran

terintegrasi, misalnya konten teknologi,

rekayasa dan matematika dalam sains.

Dalam konteks pendidikan dasar dan

menengah umum di banyak negara,

termasuk Indonesia, hanya mata-mata

pelajaran sains dan matematika yang

menjadi bagian dari kurikulum

konvensional, sementara mata pelajaran

teknologi dan enjiniring hanya bagian

minor atau bahkan tidak ada dalam

kurikulum. Oleh sebab itu Pendidikan STEM

lebih tertumpu pada sains dan

matematika. Dalam kaitan ini Bybee (2013)

mengkonseptualisasi suatu kontinum

keterpaduan STEM yang terdiri atas

sembilan pola keterpaduan, mulai dari

disiplin S-T-E-M sebagai “silo” (mata

pelajaran berdiri sendiri) hingga STEM

sebagai mata pelajaran transdisiplin.

Pengintegrasian yang lebih mendalam ke

dalam bentuk mata pelajaran transdisiplin

memerlukan restrukturisasi kurikulum

secara menyeluruh, sehingga relatif sulit

dilaksanakan dalam konteks struktur

kurikulum konvensional di Indonesia. Salah

satu pola intergasi yang mungkin

dilaksanakan tanpa melakukan

restrukturisasi kurikulum pendidikan dasar

dan menengah di Indonesia adalah

menginkorporasikan konten enjiniring,

teknologi, dan matematika dalam

pembelajaran sains berbasis STEM.

Pola integrasi bentuk “embedded

STM” lebih tepat diterapkan pada

pendidikan menengah dan pendidikan

tinggi dan relatif lebih memungkinkan

dilakukan pada pembelajaran bioteknologi.

Pendidikan STEM terwujud dalam situasi

tertentu ketika pembelajaran sains atau

matematika melibatkan akitivitas

pemecahan masalah otentik dalam konteks

sosial, kultural, dan fungsional (Roberts,

2012). Sains dan matematika dipandang

tepat untuk menjadi kendaraan untuk

membawa pendidikan STEM, sebab kedua

mata pelajaran ini merupakan mata

pelajaran pokok dalam pendidikan dasar

dan menengah, dan menjadi landasan bagi

peserta didik untuk memasuki karir dalam

disiplin-disiplin STEM (termasuk dalam

sains hayati atau life sciences), yang

dipandang fundamental untuk inovasi

teknologi dan produktivitas ekonomi.

PROSPEK PEMBELAJARAN SAINS HAYATI

BERORIENTASI ENTREPRENEURSHIP &

TEORI U

Terdapat fakta bahwa saintis dan

enjineers secara bertahap memasuki dunia

entrepreneur dengan keterampilan-

keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia

kerja secara tidak disadari menempatkan

entrepreneurship sebagai kepentingan

utama (Allen, 2010: Kant, 2014). Beberapa

alasan berikut dapat menjadi bukti

pentingnya mempertimbangkan

entrepreneurship (Allen, 2010). Pertama,

produk sains sekarang telah menjadi

komponen dari “complex enterprise”.

Kedua, para saintis dan enjineer sekarang

ini termotvasi untuk bekerja yang lebih

menjanjikan apabila mereka dapat

Page 10: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

10 Pendidikan Sains [1 - 14]

menunjukkan kontribusi kinerja dan

pemikiran baru pada solid projections for a

positive return on investment terhadap

perusahaan. Ketiga, dengan mempelajari

entrepreneurship para saintis dan enjineer

menjadi berpeluang berpengalaman untuk

terlibat bekerja dalam proses bisnis yang

kompleks dengan venture yang baru: “a

way of thinking that is opportunistic,

embraces uncertainty, is creative, and

capable of taking calculated risks”.

Keempat, mereka akan belajar membuat

trade-offs among product featurea and

benefits, price, market segments, and

operations to name a few of the many

trade-offs that face entrepreneurs, ketika

mereka menghasilkan sebuah perusahaan.

Kelima, mereka akan belajar mengelola

manusia- pegawai dan pelanggan- dan

mengelola dari hari ke hari isu operasional

yang menarik entrepreneurs secara teknis

menjauh dari “passionate” , yakni

teknologi.

Pelaku pembelajaran sains hayati

termasuk “bioteknologists” perlu

menyadari keterbatasan sains dan daya

dukung alam, termasuk daya dukung bumi.

Manusia hendaknya memperhatikan

perannya dalam kehidupan di bumi bagi

sesame makhluk hidup. Manusia

merupakan bagian dari alam, tidak berdaya

apabila ada bencana alam (tsunami,

gunung meletus) tetapi dapat berperan

serta mengurangi bahaya terkait bencana

alam dengan memikirkan dan berbuat yang

menjaga keseimbangan alam. Apa yang

diperoleh dari alam hendaknya

dikembalikan lagi kea lam secara

proporsional. Manusia perlu berperanserta

secara aktif mengembalikan komponen-

komponen dari alam secara seimbang

dengan menjadikan lingkungannya sebagai

microcosmos antara lain melalui

pemberdayaan proses-proses bioteknologi

(Henderson & . Dengan demikian sangat

dianjurkan lebih mengarahkan bioteknologi

menjadi bioenginnering atau biorekayasa.

Biorekayasa memungkinkan para pakar life

sciences, khususnya para biotechnologists

memusatkan perhatian dan upaya mereka

pada gerakan penyelematan bumi dengan

berasumsi semua itu sebagai modal, bukan

sebagai komoditi yang dapat dimanipulasi

semena-mena (Henderson & Knutton

1990).

Dalam kaitan dengan implementasi

Pendidikan STEM, Bybee (2013)

menyatakan bahwa dalam pembelajaran

STEM, peserta didik pada jenjang

pendidikan dasar perlu lebih didorong

untuk menghubungkan sains dan

enjiniring. Selanjutnya pada jenjang

pendidikan yang lebih tinggi perlu

diberikan tantangan untuk melakukan

tugas-tugas rekayasa otentik sebagai

komplemen dari pembelajaran sains

melalui kegiatan-kegiatan proyek yang

mengintegrasikan sains, rekayasa,

teknologi, dan matematika.

Pendidikan sains berbasis STEM

menuntut pergeseran modus proses

pembelajaran dari modus konvensional

yang berpusat pada pendidik (teacher

centered) yang mengandalkan transfer

pengetahuan ke arah modus pembelajaran

berpusat pada peserta didik (student

centered) yang mengandalkan keaktifan,

hands-on, dan kolaborasi peserta didik.

Pembelajaran sains berbasis STEM perlu

dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran

berbasis masalah (problem based learning),

yang di dalamnya peserta didik ditantang

secara kritis, kreatif, dan inovatif untuk

memecahkan masalah nyata, yang

Page 11: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

Pendidikan Sains [1 - 14] 11

melibatkan kegiatan kelompok (tim) secara

kolaboratif. Pembelajaran sains berbasis

STEM di kelas didesain untuk memberi

peluang bagi peserta didik mengaplikasikan

penge-tahuan akademik dalam dunia

nyata.

Pengalaman belajar sains berbasis

pendidikan STEM di beberapa sekolah

diharapkan dapat mengembangkan

pemahaman peserta didik terhadap konten

sains, kemampuan inovasi dan pemecahan

masalah, soft skills (antara lain komunikasi,

kerjasama, kepemimpinan). Dampak lebih

lanjut dari pembelajaran sains berbais

STEM adalah meningkatnya minat dan

motivasi peserta didik untuk melanjutkan

studi dan berkarir dalam bidang profesi

iptek, sebagaimana dibutuhkan negara saat

ini dan di masa datang. Namun sebelum

hal tersebut tersebar dan berkembang

sangatlah diinginkan agar aspek afektif juga

diperhatikan dan diperhitungkan.

Pengembangan literasi STEM bukan

perkara mudah. Paling sedikit diperlukan

satu dekade untuk mengembangkan

pendidikan STEM di suatu Negara (Bybee,

2010). Dua tahun pertama diperlukan

untuk menginisiasi reformasi pendidikan

STEM dengan tujuan mendesain,

mengembangkan, dan

mengimplementasikan model-model unit

pembelajaran STEM. Enam tahun

selanjutnya untuk memasukkan pendidikan

STEM ke dalam kurikulum. Dua tahun

berikutnya diperlukan untuk

memberlanjutkan reformasi STEM, yakni

membangun kapasitas sekolah dalam

melakukan peningkatan berkelanjutan

program pendidikan STEM.

Fase awal pengembangan

pendidikan STEM menuntut partisipasi

sivitas akademika perguruan tinggi,

khususnya untuk mendesain model-model

unit pembelajaran berbasis STEM yang

efektif implementasinya dalam setting

sekolah atau luar sekolah. Dalam kaitan ini,

tesis dan disertasi pascasarjana dalam

bidang pendidikan sains diharapkan

berkontribusi pada pengembangan model-

model unit pembelajaran sains berbasis

STEM dan peralatan pembelajaran

(teaching materials) yang teruji

efektivitasnya berdasarkan riset ilmiah

berbasis kelas (classroom-based scientific

research). Riset-riset tersebut meliputi dua

tahap penting, yakni tahap pengembangan,

dan tahap pengujian lapangan. Tahap

pengembangan mencakup analisis konten

materi pokok dalam kurikulum sains yang

berlaku, kemudian menggagas inovasi

pembelajaran konten tersebut yang

mengintegrasikan teknologi (T), rekayasa

(E), dan matematika (M) di dalamnya,

sehingga prospektif untuk mewujudkan

literasi STEM generasi muda. Tahap

pengujian melibatkan desain-desain

eksperimen untuk menguji keefektifan

unit-unit pembelajaran sains (termasuk

alat dan bahan pembelajaran) berbasis

STEM yang digagas dalam berbagai seting

sekolah.

Kontribusi perguruan tinggi pada

tahap selanjutnya dapat berupa

keterlibatannya dalam advokasi pentingnya

integrasi pendidikan STEM ke dalam

kebijakan kurikulum nasional, serta

pengembangan kompetensi pendidik untuk

menjamin efektivitas implementasi

pendidikan STEM sesuai kurikulum yang

berlaku. Dukungan riset ilmiah perguruan

tinggi dalam fase-fase tersebut diperlukan

untuk menginvestigasi efektivitas

implementasi pendidikan STEM pada skala

lebih makro, serta terlibat dalam

Page 12: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

12 Pendidikan Sains [1 - 14]

pengembangan kapasitas sekolah untuk

mengelola pendidikan STEM.

PENUTUP

Gerakan reformasi pendidikan

melalui pendekatan STEM merupakan

salah satu alternatif terbaik dari beragam

alternatif yang mungkin telah diajukan atau

dipertimbangkan (Kaniawati et al., 2015).

Pandangan teori U dan pendekatan

pendidikan STEM dalam pendidikan,

khususnya dalam pendidikan Sains dan

Matematika memungkinkan peserta didik

yang tidak memiliki interes dalam bidang

ilmu dasar dapat mengambil manfaat dari

pengalaman belajarnya dengan memilih

pekerjaan atau karir dalam bidang-bidang

STEM (Firman et al., 2015).

Beberapa hal yang dapat

disimpulkan dari pentingnya

mengimplementasikan pendidikan STEM

dalam sains hayati berorientas

entrepreneurship dikemukakan sebagai

berikut. Integrasi teori U dan pendekatan

STEM dalam sains hayati (khususnya

Bioteknologi) merupakan gerakan global

dalam praktik pendidikan yang

mengintegrasikan dengan berbagai pola

integrasi untuk mengembangkan kualitas

SDM yang sesuai dengan tuntutan

keterampilan abad ke-21. Pendekatan

STEM sebagai salah satu wujud dari

pendidikan STEM kompatibel dengan

sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia

masa kini.

Pembelajaran sains hayati dengan

pendekatan STEM merupakan

pembelajaran materi pokok sains yang di

dalamnya mengintegrasikan perancangan

desain-desain sistem, penggunaan

teknologi dan cross cutting concepts

dengan DDO-nya untuk pemecahan

masalah nyata. Implementasi pendekatan

STEM menuntut pergeseran modus

pembelajaran dari pembelajaran berpusat

pendidik ke pembelajaran berpusat peserta

didik (Kaniawati et al., 2015). Selain itu juga

terjadi dari pembelajaran individu ke arah

pembelajaan kolaboratif dan menekankan

aplikasi pengetahuan sains, kreativitas dan

pemecahan masalah.

Pembelajaran sains hayati dengan

fokus pada bioteknologi hendaknya

diarahkan pada upaya peduli lingkungan

dan memperbaiki lingkungan hidup (bumi

kita) dengan mengimplementasikan teori U

bersama-sama pendekatan STEM.

Pendekatan STEM memfasitasi

pengembangan kemam-puan merancang

melalui engineering process design.

Implementasi teori U mencoba membekali

pebisnis, saintis, engineers, pendidik dan

pemimpin untuk melakukan perubahan

yang esensi terkait dengan keberadaan

manusia di bumi yang makin terbatas daya

tampungnya apabila tidak ada upaya ekstra

dari manusia melibatkan diri memperbaiki

kualitas hidup. Bioteknologi yang

mengarah pada rekayasa atau

bioengineering (Biorekayasa) sudah

waktunya diberdayakan bersama

entrepreneurship yang ramah lingkungan

dan memberi kesempatan untuk

menentukan tujuan hidupnya. Bioteknologi

dalam bidang pertanian, dalam bidang

lingkungan dan bidang biota kelautan

masih terbuka lebih untuk diberdayakan

dengan bijaksana.

Implementasi integrasi teori U dan

pendekatan STEM juga menuntut

pergeseran metode pembelajaran dan

metode penilaian. Pergeseran terjadi dari

penilaian konvensional bertumpu pada

ujian ke arah penilaian otentik yang

Page 13: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

Pendidikan Sains [1 - 14] 13

menekankan penilaian kinerja dan produk

kerja dengan tujuan assessment for

learning dan sekaligus assessment as

learning daripada sekedar assessment of

learning.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, K. (2010). Entrepreneurship for Scientists and Engineers. Upper Saddle River, New Jersey, 07458: Pearson Education, Inc.

Budianta, E. (2007). Belajar pada Otto &

Idjah Soemarwoto: dari Berkeley ke Cimandiri. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.

Bybee, R. W. (2010). “Advancing STEM

education: A 2020 vision”. Technology and Engineering Teacher, 70 (1), 30-35.

Bybee, R. W. (2013). The case for STEM

education: Challenges and opportunity. Arlington, VI: National Science Teachers Association (NSTA) Press.

Scharmer, C. O. (2007). Theory U: Leading

from the Emerging Future As It Emerges. (The Social Technology of Presencing), Cambridge, MA: SoL Press.

Scharmer, C.O. (t.t.). Lectures from Otto.

MIT Sloan School of Management. [email protected],www.ottoscharmer.com

Doppelt, Y. (2005). Implementation and

Assessment of project based learning in a flexible environment”. International Journal of Technology and Design Educationn 13.page 255-272.

Dugger, Jr., W. E. (n.d.). Evolution of STEM in the United States. Retrieved July

20, 2015, from http://www.iteea.org/Resources/PressRoom/AustraliaPaper.pdf.

Firman, H., Rustaman, N., & Suwarma, R. I.

(2015). Development Technology and Engineering Literacy through STEM-Based Science Education Paper presented in The 1st International Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education with theme: “Sustainable Development for Engineering & Vocatioal Education” held in Bandung on November 14, 2015.

Hanover Research (2011). K-12 STEM

education overview. Henderson, J., & Knutton, S. (1990).

Biotechnology in schools: A Handbook for teachers.Milton Keynes, Philadelphia: Open University Press.

Kaniawati, I., Suwarma, R.I., Hasanah, L.,

Rustaman, N., & Nurelah, E. (2015). Challenges in Developing Engineering Class Design at Middle School Classroom to Improve Science, Technology, Engineering, And Mathematics (STEM) Education. Papar presented in The 1st International Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education with theme: “Sustainable Development for Engineering & Vocational Education” held in Bandung on November 14, 2015.

Kumano, Y. and Goto, M. (2015). Issues

Concerning Scientific Processes in Science Lessns Involving Outdoor and Indoor Activities: a Comparative Study of Scientific Processes in Japanese Science Classes and the Cronological Development of

Page 14: Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”

Semarang, 20 Agustus 2016

14 Pendidikan Sains [1 - 14]

Scientific Processes in the US through NGSS. Paper presented in USA, held in January, 2015.

Inovasi pendidikan tingkatkan daya saing

(2015, July 15). Kompas, p.12. Kant, K. (2014). Work and Careers in the

21st Century. Third edition. Singapore: McGraw-Hill Education (Asia).

Kemdikbud (2013). Lampiran Peraturan

menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Jakarta: Kemdikbud.

Morgan, J.R., Moon, A.M., Barroso, L.R.

(2013). Engineering better projects. Sense Publication. page 29-37.

Morrison, J.S. (2006). Attribute of STEM

Education. Washington DC.: National Academy of Engineering.

National STEM Education Center (2014).

STEM education network manual. Bangkok: The Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology.

Next Generation Science Standard (NGSS),

(2013), Appendix G: Cross-cutting Concept, Retrieved at March 17, 2013 from http://ngss.org

Next Generation Science Standard (NGSS), (2013), Appendix F: Engineering Practice, Retrieved at March 17, 2013 from http://ngss.org

Reeve, E. M. (2013) Implementing science,

technology, mathematics and engineering (STEM) education in Thailand and in ASEAN. Bangkok:

Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology (IPST).

Roberts, A. (2012). A justification for STEM

education. Technology and Engineering Teacher, 74 (8), 1-5.

Rustaman, N. Y. (2014). “The next

generation science standards and Science-Tehnology-Engineering-Mathematics education movement: The challenge (faced) in preparing reflective science teacher”. in The standardization of Teacher Education: Asian Qualification Framework. The 6th International Conference of Teacher Edication (UPI-UPSI) held in Bandung, 25-26 June 2014.

Rustaman, N.Y. (2015). Basic Scientific

Inquiry and its Assessment in relation to STEM ducation Movement. Paper presented in Graduate Science Education at Tsukuba University, February 6th , 2015, Tsukuba, Japan.