pemberdayaan entrepreneurship: implementasi teori-u dalam
TRANSCRIPT
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
Pendidikan Sains [1 - 14] 1
Pemberdayaan Entrepreneurship: Implementasi Teori-U dalam Bioteknologi Praktis Berbasis Stem
Prof. Dr. Nuryani Y. Rustaman, M.Pd.
Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected]
Abstrak Makalah ini membahas tentang pentingnya pembelajaran berorientasi entrepreneurship, khususnya praktek perkuliahan Bioteknologi yang interdisiplin dalam pendidikan sains. Teori-U ditawarkan untuk didampingkan dengan pendekatan Science-Technology-Engineering-Mathematics (STEM) dalam menghadapi pasar bebas dan masyarakat ekonomi asean (MEA). Kemiripan pandangan Teori-U dan pendekatan STEM yang menekankan Engineering practice dan cross-cutting concept-nya menginspirasi penulis untuk mengubah cara pandang pendidik calon guru dalam memberdayakan entrepreneurship. Teori U yang menekankan learning environment dan learning cycle yang lebih kontekstual dan mencakup Observing-Reflect-Plan-Act (ORPA) dipandang beririsan dengan prinsip pembelajaran berpendekatan STEM yang memfasilitasi pembelajaran sains dengan pikir-desain-buat-uji (PDBU). Penekanan Engineering practice design (praktek rancang rekayasa) diperkirakan lebih cocok mengarahkan Bioteknologi untuk menjadi Biorekayasa. Pendidikan STEM memfasilitasi pembelajaran inkuri yang mengintegrasikan scientific literacy, Technological and Engineering Literacy. Dalam makalah ini diungkap transisi entreprenership di kalangan saintis dan engineer, konsep dan tujuan pendidikan STEM, pola integrasi STEM, kesejalanan pendidikan STEM dengan Kurikulum 2013, karakteristik pembelajaran sains berbasis pendidikan STEM yang membedakannya dari pembelajaran dan penilaian konvensional. Teori-U di Indonesia membuka peluang mengarahkan generasi muda untuk menjadi dirinya sendiri dalam bidang pekerjaan yang diminatinya dan juga mengingatkan calon pemimpin (termasuk pendidik calon guru) untuk memberdayakan entrepreneurship secaca seimbang aspek mind-heart-act/will-nya. Dengan cara demikian ketergantungan masyarakat Indonesia menjadi PNS atau pekerja akan teratasi, selain pemberdayaan entrepreneurship yang membuka peluang untuk membuka lapangan kerja yang cukup menjanjikan.
PENDAHULUAN
Kondisi pendidikan, khususnya
pendidikan Sains di Indonesia masih
memprihatinkan. Sangat pesatnya
perkembangan Ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek), ditambah implementasi
penyempurnaan kurikulum yang belum
secara komprehensif dipahami oleh para
pelaku pendidikan diperkirakan turut
menjadi penyebab kondisi ini.
Pembelajaran sains yang lebih menekankan
penguasaan konsep tanpa pembekalan life-
long learning, turut memperparah kondisi
yang tidak menjanjikan meski memiliki
ijazah pada pelbagai level (pendidikan
dasar, menengah, tinggi) menantang para
pendidik calon guru dan praktisi
pendidikan untuk mencari solusinya. STEM
yang merupakan akronim dari science,
technology, engineering, dan mathematics,
pertama kali diluncurkan oleh National
Science Foundation (NSF) Amerika Serikat
pada tahun 1990-an sebagai sebagai tema
gerakan reformasi pendidikan dalam
keempat bidang disiplin tersebut untuk
menumbuhkan angkatan kerja bidang-
bidang STEM, serta mengembangkan
warga negara yang melek STEM (STEM
literate), serta meningkatkan daya saing
global Amerika Serikat dalam inovasi iptek
(Hanover Research, 2011).
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
2 Pendidikan Sains [1 - 14]
Gerakan reformasi pendidikan STEM
ini didorong oleh laporan-laporan studi
yang menunjukkan terjadi kekurangan
kandidat untuk mengisi lapangan kerja
dalam disiplin-disiplin dalam STEM, tingkat
iliterasi sains dan literasi lainnya, serta
posisi capaian siswa sekolah menengah AS
dalam PISA (Roberts, 2012). Dewasa ini
komitmen AS dan Negara lainnya terhadap
gerakan pendidikan STEM diwujudkan
dalam bentuk dukungan yang bervariasi,
seperti dukungan anggaran dari
pemerintah, dukungan kepakaran dari
banyak perguruan tinggi, serta dukungan
teknis dari dunia industi (otomotif,
mainan), bagi pengembangan dan
implementasi pendidikan STEM.
Transisi ke arah Entrepreneurship
Visi saintis atau engineer sebagai
entrepreneur bukan sesuatu yang baru
dengan berbagai makna, tetapi regularitas
yang melibatkan pertukaran peserta didik
pada masa kini dengan pekerjaan-
pekerjaan yang terkait industri
menawarkan ketidak-pastian dan “chaos of
entre-preuneurship” yang perlu diwaspadai
(Allen, 2010). Pergesaran prilaku ini telah
menjadi sesuatu yang kecenderungan yang
menakutkan, karena akan mengendalikan
kehidupan mereka. Manusia seyogianya
tidak dijajah oleh bentuk lain yang
menempatkan manusia lebih menghargai
apa yang mereka lakukan daripada hal apa
yang menjadi mereka minati.
Tujuan para saintis dan enjineer
sebagai entrepreneur bukanlah
menempatkan manusia pada posisi yang
lebih esensi daripada sekedar
entrepreneur, melainkan membantu
mengembangkan suatu cara berpikir (a
way of thiking) dan piranti kritis yang
mereka perlukan untuk mengenali peluang
dan bekerja secara efektif dengan para
pebisnis yang akan mereka perlukan ketika
mereka membangun perusahaan
(companies). Suatu studi penting tentang
suatu “cohort” yang meletakkan dasar-
dasar akademi untuk perusahan-
perusahaan yang berdasarkan bioteknologi
dan resiko yang akan mereka tanggung
menjdi entrepreneur, telah memberikan
suatu cara pandang yang lebih jelas (a
clearer window) untuk memutuskan suatu
transisi menuju entrepreneurship dan
alasannya. Hasil studi Stuart & Ding’s
(2006) sebagaimana disitir oleh Allen
(2010) menunjukkan bahwa saintis yang
bekerja sama dengan saintis lain yang telah
memulai perusahaan, mereka cenderung
akan berubah menjadi entrepreneurs,
khususnya jika mereka bekerja di bidang
medis (kedokteran).
Hal ini mengingatkan kita semua
untuk membuka diri dan memikirkan ke
arah mana entre-preneurship ini akan
mengarahkan kita bekerja dtinjau dri segi
kemanusiaan dan pendidik yang
berkewajiban untuk memanusiakan
generasi muda melalui pendidikan yang
relevan. Tidaklah bijaksana apabila kita
tergiur dan terlena dengan keuntungan
yang akan diperoleh, tetapi melupakan
resiko besar yang menganga lebar di
hadapan kita, sehingga generasi muda kita
tidak lagi dapat menghindar dari
penjajahan bentuk baru.
Sejauh ini gerakan penerapan teori U
di Amerika mencoba mengimbangi gerakan
pendidikan STEM yang telah bergema di
berbagai negara, baik negara maju (Jepang,
Korea, Australia, United Kingdom) maupun
negara berkembang (Thailand, Singapura,
Malaysia), yang memandang pendidikan
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
Pendidikan Sains [1 - 14] 3
STEM sebagai jalan keluar untuk masalah
kualitas SDM dan daya saing masing-
masing Negara (Rustaman, 2014). Oleh
sebab itu riset dan pengembangan
(Research & Development) dalam
pendidikan STEM menjadi tema yang
semakin mendominasi wacana dalam
konferensi dan publikasi ilmiah
internasional dalam bidang pendidikan.
Kesadaran akan pentingnya kesadaran
terkait bidang pekerjaan dan pendidikan
STEM telah mulai muncul di kalangan pakar
pendidikan di Indonesia, sehingga ada
kelompok studi yang mencoba melindungi
bumi sebagai rumah kita selain banyak
kelompok studi di perguruan tinggi yang
melakukan penelitian dan pengembangan
pendidikan STEM. Paparan selanjutnya
dalam makalah ini mengetengahkan cara
pandang teori U dengan konsep dan
pengembangan pembelajaran dengan
framework pendidikan STEM, serta
peluang penelitian dan pengembangan
dalam tema pendidikan STEM dalam
konteks Indonesia.
TEORI-U DAN PENDEKATAN STEM
a. Teori U
Teori U diperkenalkan oleh C. Otto
Charmer (t.t.). Menurut Charmer (2007)
terdapat dua sumber belajar (two different
sources of learning), yakni learning by
reflecting experience in the past, dan
learning by converting the emerges of the
present. Lebih jauh dikemukakan bahwa
terdapat dua pertanyaan utama pada diri
seseorang. Pertanyaan pertama, siapakah
diri saya? Pertanyaan kedua, apakah
pekerjaan saya? Selama pengalaman
belajar, mahasiswa diperkenalkan pada
pembelajaran yang sesungguhnya (engage
with real world) sebagai lingkungan belajar.
Selain memper-kenalkan learning
environment, teori U mencoba
memperkenalkan siklus belajar (learning
cycle) dengan menggabungkan observe,
reflect, plan and act dalam melakukan
transforming business, society dan self.
Siklus belajar melibatkan obervasi berulang
kali dan level bertahap, bergeser ke retreat
and reflect, lalu ke “plan” yang
memungkinkan terjadi perpindahan dari
kepala, ke hati dan akhirnya ke
tangan/tindakan dengan ungkapan moving
from the head to the heart and then to the
will or acts.
Dalam prosesnya dinyatakan ada
lima langkah yang diperlukan sebagai
berikut. Pertama, memulai dan
membangun niat umum bersama (co-
initiating). Kedua, merasakan bersama
melalui observasi berulang kali (co-
sensing). Ketiga, terhubung dengan sumber
inspirasi (presencing). Keempat, mencipta
bersama (co-creating). Kelima,
berkembang bersama (co-evolving) untuk
mewujudkan hal baru dalam ekosistem
yang memfasilitasi penglihatan dan
tindakan keseluruhan. Melalui proses ini
ada pesan yang ingin disampaikan oleh
Charmer, yaitu menentukan tujuan hidup
sendiri bersama dengan merealisasikannya
dalam berpikir, berempati dan bertindak
dari pikiran-hati-tangan dan keinginan.
Lebih jauh diungkapkan bahwa
diperlukan kapasitas tertentu untuk
menjadi seorang pemimpin dalam
mewujudkan Teknologi sosial Presencing
(Presence+Sensing). Ditawarkan tujuh
kapasitas kepemimpinan penting yang
hendaknya dimiliki oleh pemimpin atau tim
kecil yang sedang memimpin perubahan.
Tanpa mengembangkan kapasitas ini,
proses yang dijelaskan sebelumnya (lima
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
4 Pendidikan Sains [1 - 14]
langkah) tidak akan mendatangkan hasil
yang diharapkan. Kapasitas-kapasitas
tersebut adalah: 1). Menciptakan ruang
istimewan untuk menemukan panggilan
hidup; 2). Observing: hadir dengan pikiran
terbuka; 3.) Sensing: berhubungan dengan
perasaan; 4) Presencing: berhubungan
dengan sumber terdalam dan kehendak;
5). Mengkristalkan: mengakses kekuatan
niat; 6). Membangun dasar:
mengintegrasikan kepala, hati, dan tangan;
7). mempresentasikan.
b. Pendekatan STEM
Sebagai komponen dari STEM, sains
adalah kajian tentang fenomena alam yang
melibatkan observasi dan pengukuran
sebagai wahana untuk menjelaskan secara
obyektif alam yang selalu berubah.
Terdapat beberapa domain utama dari
sains pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, yakni fisika, biologi, kimia, serta
ilmu pengetahuan bumi dan antariksa
(IPBA). Teknologi merujuk pada inovasi-
inovasi manusia yang digunakan untuk
memodifikasi alam agar memenuhi
kebutuhan dan keinginan manusia,
sehingga membuat kehidupan lebih
nyaman dan lebih aman. Teknologi
menjadikan manusia dapat melakukan
perjalanan secara cepat, berkomunikasi
langsung dengan orang di tempat yang
berjauhan, memperoleh makanan sehat,
dan alat-alat keselamatan. Rekayasa
(engineering) merupakan pengetahuan dan
keterampilan untuk memperoleh dan
mengaplikasikan pengetahuan ilmiah,
ekonomi, sosial, serta praktis untuk
mendesain dan mengkonstruksi mesin,
peralatan, sistem, material, dan proses
yang bermanfaat bagi manusia secara
ekonomis dan ramah lingkungan.
Selanjutnya, matematika berkenaan
dengan pola-pola dan hubungan-
hubungan, dan menyediakan bahasa untuk
teknologi, sains, dan rekayasa.
Tujuan Pendidikan STEM menjadi
bermakna pada penguatan praksis
pendidikan dalam bidang-bidang STEM
secara terpisah, dan sekaligus lebih
mengembangkan pendekatan pendidikan
yang mengintegrasikan sains, teknonogi,
rekayasa, dan matematika, dengan
memfokuskan proses pendidikan pada
pemecahan masalah nyata dalam
kehidupan sehari-hari ataupun kehidupan
profesi (National STEM Education Center,
2014; Kant, 2014). Dalam konteks
pendidikan dasar dan menengah,
pendidikan STEM bertujuan
mengembangkan peserta didik yang STEM
literate (Bybee, 2013), dengan rincian
sebagai berikut.
1) memiliki pengetahuan, sikap, dan
keterampilan untuk mengidentifikasi
pertanyaan dan masalah dalam situasi
kehidupannya, menjelaskan fenomena
alam, mendesain, serta menarik
kesimpulan berdasar bukti mengenai
isu-isu terkait STEM;
2) memahami karakteristik khusus disiplin
STEM sebagai bentuk-bentuk
pengetahuan, penyelidikan, dan desain
yang digagas manusia;
3) memiliki kesadaran bagaimana disiplin-
disiplin STEM membentuk lingkungan
material, intelektual dan kultural,
4) memiliki keinginan untuk terlibat dalam
kajian isu-isu terkait STEM (misalnya
efisiensi energi, kualitas lingkungan,
keterbatasan sumberdaya alam) sebagai
warga negara yang konstruktif, peduli,
serta reflektif dengan menggunakan
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
Pendidikan Sains [1 - 14] 5
gagasan-gagasan sains, teknologi,
rekayasa, dan matematika.
Pendidikan STEM memberi pendidik
peluang untuk menunjukkan kepada
peserta didik betapa konsep, prinsip, dan
teknik dari STEM digunakan secara
terintegrasi dalam pengem-bangan produk,
proses, dan sistem yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena
itu, definisi pendidikan STEM diadopsi
sebagai pendekatan interdisiplin pada
pembelajaran (Reeve, 2013). Dalam
pembelajaran berbasis STEM peserta didik
menggunakan sains, teknologi, rekayasa,
dan matematika dalam konteks nyata yang
menghubungkan sekolah, dunia kerja, dan
dunia global guna mengembangkan literasi
STEM yang memungkinkan peserta didik
mampu bersaing dalam era ekonomi baru
yang berbasis pengetahuan, nmun tetap
menyadari posisinya sebagai penyeimbang
kegiatan manusia di bumi yang sudah
semakin terbatas memfasilitasi manusia di
masa yang akan datang.
Jika diharapkan para peserta didik
mempelajari STEM dengan baik, maka
harus dilakukan reduksi materi yang
sekarang ini tercakup dalam kurikulum.
Tujuan seyogianya dinyatakan sedemikian
sehingga ditemukan karakteristik apa yang
sesungguhnya dicari melalui pembelajaran
disiplin-disiplin STEM. Meskipun tujuan
untuk mengetahui, mendesain dan
melaksanakan dapat disajikan secara
terpisah, semua itu seharusnya dipelajari
bersamaan dengan secara utuh dengan
berbagai konteks agar dapat digunakan
secara bersamaan dalam kehidupan di luar
sekolah.
Inti kesamaan (common core) dari
mempelajari STEM seyogianya menjadi
esensi dari literasi STEM, bukan pada suatu
pengertian disiplin yang terpisah. Terlebih-
lebih, studi-studi inti seyogianya mencakup
keterkaitan antara sains, teknologi,
rekayasa dan matematika, dan antara area-
area tersebut dengan bidang seni, bidang
humanitas dan vokasional, dengan
menggunakan desain praktek rekayasa
(engineering practice design). Dalam isilah
pendidikan STEM, hal itu dkenal dengan
“cross cutting concepts” (NGSS Appendix
G, 2013). Cakupan Cross cutting concepts
didaftar sebagai berikut: pola (1), sebab
dan akibat (ii), skala, proportion (iv),
kuantitas (v), sistem dan pemodelan sistem
(vi), energy dan maeri (vii), stabilitas dan
perubahan (viii).
Gagasan utama dari desain rekayasa
melibatkan tiga komponen gagasan
(iterative cycle of engineering design)
(NGSS Appendix F, 2013). Ketiga komponen
gagasan tersebut adalah: defining and
delimiting engineering problems (i);
designing solutions to engineering
problems (ii); and optimizing the design
solution (iii), dikenal dengan DDO.
Sangatlah penting untuk memperhatikan
bahwa desain rekayasa seyogianya
dihubungkan dengan keberagaman peserta
didik (Rustaman, 2014).
c. Literasi Sains, Literasi Teknologi dan
Rekayasa, dan Literasi STEM
Seperti literasi sains (scientific
literacy) dalam PISA memiliki komponen-
komponennya sendiri, demikian pula
literasi Teknologi dan rekayasa (Technology
and Engineering Literacy), dan STEM
Literacy. Teknologi diartikan secara luas
sebagai modifikasi pada dunia alami untuk
memenuhi kebutuhan atau tuntutan
manusia, dan rekayasa sebagai pendekatan
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
6 Pendidikan Sains [1 - 14]
sistematis dan berkesinambungan untuk
mendesain obyek, proses, dan sistem
untuk emmenuhi kebutuhan manusia.
Teknologi mencakup bukan hanya
produknya, juga pengetahuan dan proses
yang diperlukan untuk mencipta dan
mengo-perasikan produk-produk tersebut.
Kebanyakan teknologi modern merupakan
sutu produk dari sains dan rekayasa, dan
peralatan teknologi digunakan pada kedua
bidang tersebut. Adapun rekayasa
didefinisikan sebaai pengetahuan tentang
desain dan kreasi produk karya manusia
dan suatu proses untuk memecahkan
masalah pada kendala waktu, dana, materi,
dan peraturan lingkungan (Firman et al.,
2015). Rekayasa menggunakan konsep
dalam sains dan matematika sebagaimana
perangkat teknologi.
Teknologi dan rekayasa berbeda
tetapi saling berhubungan erat. Pembeda
antara teknologi dan rekayasa adalah
bahwa rekayasa dapat dipandang sebagai
suatu proses yang berkenaan dengan
mencipta atau mendesain, sedangkan
teknologi sebaliknya dapat dipandang
sebagai produk dari proses tersebut.
Kegiatan rekayasa menghasilkan suatu
transformasi materi, energy, atau
informasi, sedangkan teknologi dapat
dipandang sebagai hal-hal yang dihasilkan
dari rekayasa.
National Assessment and
Educational Progress (NAEP) mengartikan
literasi teknologi dan rekayasa (TEL)
sebagai kapasitas untuk menggunakan,
memahami, dan mengevaluasi teknologi
sebagaimana juga memahami prinsip dan
strategi teknologi yang diperlukan untuk
mengem-bangkan solusi dan mencapai
tujuan (Firman et al., 2015). Dalam TEL,
para peserta didik diharapkan mampu
menerapkan cara-cara khusus untuk
berpikir dan bernalar ketika melakukan
pendekatan terhadap suatu masalah. NAEP
merinci tiga area yang saling berhubungan
dari TEL.
Technology and Society: teknologi
melibatkan dampak terhadap
masyarakat dan dunia alami, juga
pertanyaan etis yang dimunculkan dari
semua efek tersebut.
Design and Systems: mencakup hakikat
teknologi, proses desain rekayasa yang
mengembagkan teknologi, dan prinsip-
prinsip dasar yang berkait dengan
teknologi sehari-hari, termasuk
memelihara dan mengatasi
kesulitannya.
Information and Communication
Technology: termasuk computer dan
perangkat lunak pembelajaran, sistem
jejaring dan protokol, peralatan digital,
dan teknologi lainnya untuk mengakses,
mencipta, dan mengkomunikasikan
informasi dan untuk memfasilitasi
ekspresi kreatif.
Merujuk pada konsep literasi
teknologi dan rekayasa (TEL) yang
disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa Literasi teknologi dan rekayasa
siswa di pendidikan dasar dan menengah
umum mencakup pengetahuan dan
keterampilan dasar dan menggunakan
literasi teknologi dan rekayasa yang
berhubungan, mengembangkan desain
untuk memecahkan masalah sebagaimana
kemampuan mengkomunikasikan dan
bekerja secara individual, atau dalam tim
dengan rekan-rekan dan para pakar arau
sumber daya lainnya.
Terkait dengan STEM literasi,
terdapat tiga dimensi untuk mendukung
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
Pendidikan Sains [1 - 14] 7
kompetensi (Rustaman, 2015). Lebih
diungkapkan bahwa sebagaimana Literasi
sains melibatkan empat komponen
(pengetahuan konten, proses, konteks dan
attitude sebagai tiga dimensi terhadap
kompetensi (Kumano & Goto, 2015), maka
STEM literasi juga melibatkan cross cutting
concepts, core ideas of four discipline,
scientific and enginnering practice sebagai
konteksnya untuk mendukung kompetensi
dalam STEM.
INTEGRASI TEORI U DAN PENDIDIKAN
STEM DALAM PEMBELAJARAN SAINS
Dewasa ini teori U disebarkan di
kalangan praktisi seperti misalnya Green
peace, Paca Mama, Eco-camp, sedangkan
pendidikan STEM diadopsi oleh banyak
negara sebagai rambu-rambu inovasi
pendidikan, sehingga muncul sebagai
gerakan global untuk menjembatani
kesenjangan antara kebutuhan dan
ketersediaan kepakaran yang diperlukan
untuk pembangunan ekonomi di Abad ke-
21. Biro Statistika Tenaga Kerja AS pada
tahun 2011 menguraikan terjadinya
peningkatan lapangan pekerjaan sebelum
dan setelah diterapkan pembelajaran
berbasis STEM dalam lingkup global pada
satu dekade mendatang struktur lapangan
pekerjaan STEM lebih besar (17%)
dibandigkan lapangan pekerjaan non-STEM
(10%) (Kompas 12 Juli 2015). Bagaimana di
Indonesia?
Dalam menghadapi era persaingan
global, Indonesia pun perlu menyiapkan
sumberdaya manusia (SDM) yang handal
dalam disiplin-disiplin STEM secara kualitas
dan mencukupi secara kuantitas.
Sebagaimana dirilis dalam Surat Kabar
Kompas (Juli 2015). Indonesia mengalami
kendala kesenjangan antara kebutuhan
dan ketersediaan SDM. Merujuk data
Badan Pusat Statistik 2010, SDM Indonesia
yang berjumlah 88 juta masih didominasi
tenaga kerja kurang terampil, dan
diprediksi tahun 2020 akan ada 50%
kekurangan tenaga kerja untuk mengisi
lowongan jabatan di struktur lapangan
kerja. Namun, jalan untuk mengatasi
persoalan ini bukanlah perkara mudah.
Tanpa upaya mengembangkan
kemampuan dasar, soft skills (kolaborasi,
komunikasi, kreativitas, pemecahan
masalah), dan nilai-nilai prasyarat untuk
memasuki profesi STEM pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, sangat
sulit untuk mengharapkan generasi muda
yang bermotivasi dan siap menekuni
bidang-bidang STEM.
Kurikulum 2013 yang baru saja
diluncurkan tidak akan dapat mengatasi
permasalahan kualitas dan kuantitas SDM
Indonesia yang berdaya saing global, jika
tidak secara sistematik mereka disiapkan
untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang
dipersyaratkan dunia kerja abad ke-21,
sebagaimana diwujudkan dalam
Pendidikan STEM. Untuk mengatasi hal
tersebut Pendidikan dengan pendekatan
STEM dapat menjadi kunci guna
menciptakan generasi penerus bangsa
yang mampu bersaing di kancah global.
Oleh sebab itu, pendidikan STEM perlu
menjadi kerangka-rujukan bagi proses
pendidikan di Indonesia ke depan.
Sebagaimana ditemukan dalam
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum
2013 Jenjang Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah
(Kemdikbud, 2013), bahwa kurikulum 2013
bertujuan untuk mempersiapkan manusia
Indonesia agar memiliki kecakapan hidup
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
8 Pendidikan Sains [1 - 14]
sebagai pribadi dan warga negara yang
beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia. Dalam
dokumen tersebut dinyatakan bahwa pola
pikir pembelajaran ilmu pengetahuan
tunggal (monodiscipline) menjadi
pembelajaran ilmu pengetahuan jamak
(multidiscipline) digunakan sebagai dasar
pengembangan Kurikulum 2013. Rumusan
tujuan dan pola pikir dalam pengembangan
Kurikulum 2013 tersebut mengisyaratkan
bahwa Kurikulum 2013 memberikan ruang
bagi pengembangan dan implementasi
pendidikan STEM dalam konteks
implementasi Kurikulum 2013, yang
mengutamakan integrasi S, T, E dan M
secara multi- dan trans-disiplin serta
pengembangan pemikiran kritis,
kreativitas, inovasi, dan kemampuan
memecahkan masalah. Dalam kurikulum
dianjurkan pembelajaran yang bervariasi
sebagai modifikasi dari 5M, seperti
pembelajaran berbasis proyek (PjBL),
inkuiri, pembelajaran kontekstual, dan
siklus belajar.
Khusus untuk PjBL, terdapat irisan
yang sangat besar antara PjBL yang regular
dengan PjBL berbasis STEM. terutama
dalam pentahapannya. Model PjBL
berbasis STEM mengintegrasikan model
PjBL dengan proses engineering untuk
dapat memingkatkan kemampuan
merancang (designing) peserta didik yang
dibutuhkan untuk pendidikan selanjutnya
dan sebagai bekal kelak dalam
pekerjaannya. Model PjBL berbasis STEM
diawali dengan masalah yang bersifat
konstekstual dan ill-define problem untuk
dicarikan solusinya dengan penguasaan
core concept dan wawasan materi STEM
dan materi lainnya sehingga dihasilkan
produk (well-define outcome). Tahapan
PjBL berbasis STEM adalah refleksi
(reflection), riset (research), penemuan
(discovery), aplkasi (application) dan
komunikasi (communication). Sementara
PjBL yang regular lebih pada tahapan-
tahapan: penentuan pertanyaan mendasar,
menyusun perencanaan proyek, menyusun
jadwal, monitoring, menguji hasil, dan
evaluasi pengalaman. PjBL berbasis STEM
mirip dengan creative design process (CDP)
menurut Doppelt (2005).
Proses engineering dalam PjBL
berbasis STEM ditandai dengan
perancangan (designing) produk dalam
bentuk sketsa, yang jika dalam tahap
proses pembuatan produk ataupun ujicoba
produk terdapat kukurangan, maka
perancangnya dapat mendesain ulang atau
memperbaiki rancangan agar produk yang
dihasilkan leih baik dari sebelumnya.
Engineering design process digambarkan
oleh Morgan et al. (2013: 29) berupa siklus
dengan tujuh langkah sebagai: identify
problem and constrains (i), research (ii),
idecto (iii) , analyze idea build (iv), test and
refine (v), communicate (vi) and reflect (vii).
Pengintegrasian S-T-E-M
Pengintegrasian sains, teknologi,
rekayasa dan matematika (sebagai salah
satu karakteristik pendidikan STEM)
diharapkan dapat bermanfaat untuk
memecahkan masalah nyata. Terdapat
beragam cara yang digunakan dalam
praktik untuk mengintegrasikan disiplin-
disiplin STEM, serta pola dan derajad
keterpaduannya bergantung pada banyak
faktor (Roberts, 2012). Pengajaran sains
yang terpisah dari matematika, teknologi
dan rekayasa dikenal sebagai “silo”
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
Pendidikan Sains [1 - 14] 9
(Dugger, n.d; Bybee, 2013). Cara kedua
adalah mengajarkan masing-masing disiplin
STEM dengan lebih berfokus pada satu
atau dua dari disiplin-disiplin STEM. Cara
ketiga adalah mengintegrasikan satu ke
dalam tiga disiplin STEM, misalnya konten
rekayasa diintegrasikan ke dalam mata
pelajaran sains, teknologi, dan matematika.
Cara yang lebih komprehensif adalah
melebur keempat disiplin STEM dan
mengajarkannya sebagai mata pelajaran
terintegrasi, misalnya konten teknologi,
rekayasa dan matematika dalam sains.
Dalam konteks pendidikan dasar dan
menengah umum di banyak negara,
termasuk Indonesia, hanya mata-mata
pelajaran sains dan matematika yang
menjadi bagian dari kurikulum
konvensional, sementara mata pelajaran
teknologi dan enjiniring hanya bagian
minor atau bahkan tidak ada dalam
kurikulum. Oleh sebab itu Pendidikan STEM
lebih tertumpu pada sains dan
matematika. Dalam kaitan ini Bybee (2013)
mengkonseptualisasi suatu kontinum
keterpaduan STEM yang terdiri atas
sembilan pola keterpaduan, mulai dari
disiplin S-T-E-M sebagai “silo” (mata
pelajaran berdiri sendiri) hingga STEM
sebagai mata pelajaran transdisiplin.
Pengintegrasian yang lebih mendalam ke
dalam bentuk mata pelajaran transdisiplin
memerlukan restrukturisasi kurikulum
secara menyeluruh, sehingga relatif sulit
dilaksanakan dalam konteks struktur
kurikulum konvensional di Indonesia. Salah
satu pola intergasi yang mungkin
dilaksanakan tanpa melakukan
restrukturisasi kurikulum pendidikan dasar
dan menengah di Indonesia adalah
menginkorporasikan konten enjiniring,
teknologi, dan matematika dalam
pembelajaran sains berbasis STEM.
Pola integrasi bentuk “embedded
STM” lebih tepat diterapkan pada
pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi dan relatif lebih memungkinkan
dilakukan pada pembelajaran bioteknologi.
Pendidikan STEM terwujud dalam situasi
tertentu ketika pembelajaran sains atau
matematika melibatkan akitivitas
pemecahan masalah otentik dalam konteks
sosial, kultural, dan fungsional (Roberts,
2012). Sains dan matematika dipandang
tepat untuk menjadi kendaraan untuk
membawa pendidikan STEM, sebab kedua
mata pelajaran ini merupakan mata
pelajaran pokok dalam pendidikan dasar
dan menengah, dan menjadi landasan bagi
peserta didik untuk memasuki karir dalam
disiplin-disiplin STEM (termasuk dalam
sains hayati atau life sciences), yang
dipandang fundamental untuk inovasi
teknologi dan produktivitas ekonomi.
PROSPEK PEMBELAJARAN SAINS HAYATI
BERORIENTASI ENTREPRENEURSHIP &
TEORI U
Terdapat fakta bahwa saintis dan
enjineers secara bertahap memasuki dunia
entrepreneur dengan keterampilan-
keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia
kerja secara tidak disadari menempatkan
entrepreneurship sebagai kepentingan
utama (Allen, 2010: Kant, 2014). Beberapa
alasan berikut dapat menjadi bukti
pentingnya mempertimbangkan
entrepreneurship (Allen, 2010). Pertama,
produk sains sekarang telah menjadi
komponen dari “complex enterprise”.
Kedua, para saintis dan enjineer sekarang
ini termotvasi untuk bekerja yang lebih
menjanjikan apabila mereka dapat
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
10 Pendidikan Sains [1 - 14]
menunjukkan kontribusi kinerja dan
pemikiran baru pada solid projections for a
positive return on investment terhadap
perusahaan. Ketiga, dengan mempelajari
entrepreneurship para saintis dan enjineer
menjadi berpeluang berpengalaman untuk
terlibat bekerja dalam proses bisnis yang
kompleks dengan venture yang baru: “a
way of thinking that is opportunistic,
embraces uncertainty, is creative, and
capable of taking calculated risks”.
Keempat, mereka akan belajar membuat
trade-offs among product featurea and
benefits, price, market segments, and
operations to name a few of the many
trade-offs that face entrepreneurs, ketika
mereka menghasilkan sebuah perusahaan.
Kelima, mereka akan belajar mengelola
manusia- pegawai dan pelanggan- dan
mengelola dari hari ke hari isu operasional
yang menarik entrepreneurs secara teknis
menjauh dari “passionate” , yakni
teknologi.
Pelaku pembelajaran sains hayati
termasuk “bioteknologists” perlu
menyadari keterbatasan sains dan daya
dukung alam, termasuk daya dukung bumi.
Manusia hendaknya memperhatikan
perannya dalam kehidupan di bumi bagi
sesame makhluk hidup. Manusia
merupakan bagian dari alam, tidak berdaya
apabila ada bencana alam (tsunami,
gunung meletus) tetapi dapat berperan
serta mengurangi bahaya terkait bencana
alam dengan memikirkan dan berbuat yang
menjaga keseimbangan alam. Apa yang
diperoleh dari alam hendaknya
dikembalikan lagi kea lam secara
proporsional. Manusia perlu berperanserta
secara aktif mengembalikan komponen-
komponen dari alam secara seimbang
dengan menjadikan lingkungannya sebagai
microcosmos antara lain melalui
pemberdayaan proses-proses bioteknologi
(Henderson & . Dengan demikian sangat
dianjurkan lebih mengarahkan bioteknologi
menjadi bioenginnering atau biorekayasa.
Biorekayasa memungkinkan para pakar life
sciences, khususnya para biotechnologists
memusatkan perhatian dan upaya mereka
pada gerakan penyelematan bumi dengan
berasumsi semua itu sebagai modal, bukan
sebagai komoditi yang dapat dimanipulasi
semena-mena (Henderson & Knutton
1990).
Dalam kaitan dengan implementasi
Pendidikan STEM, Bybee (2013)
menyatakan bahwa dalam pembelajaran
STEM, peserta didik pada jenjang
pendidikan dasar perlu lebih didorong
untuk menghubungkan sains dan
enjiniring. Selanjutnya pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi perlu
diberikan tantangan untuk melakukan
tugas-tugas rekayasa otentik sebagai
komplemen dari pembelajaran sains
melalui kegiatan-kegiatan proyek yang
mengintegrasikan sains, rekayasa,
teknologi, dan matematika.
Pendidikan sains berbasis STEM
menuntut pergeseran modus proses
pembelajaran dari modus konvensional
yang berpusat pada pendidik (teacher
centered) yang mengandalkan transfer
pengetahuan ke arah modus pembelajaran
berpusat pada peserta didik (student
centered) yang mengandalkan keaktifan,
hands-on, dan kolaborasi peserta didik.
Pembelajaran sains berbasis STEM perlu
dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran
berbasis masalah (problem based learning),
yang di dalamnya peserta didik ditantang
secara kritis, kreatif, dan inovatif untuk
memecahkan masalah nyata, yang
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
Pendidikan Sains [1 - 14] 11
melibatkan kegiatan kelompok (tim) secara
kolaboratif. Pembelajaran sains berbasis
STEM di kelas didesain untuk memberi
peluang bagi peserta didik mengaplikasikan
penge-tahuan akademik dalam dunia
nyata.
Pengalaman belajar sains berbasis
pendidikan STEM di beberapa sekolah
diharapkan dapat mengembangkan
pemahaman peserta didik terhadap konten
sains, kemampuan inovasi dan pemecahan
masalah, soft skills (antara lain komunikasi,
kerjasama, kepemimpinan). Dampak lebih
lanjut dari pembelajaran sains berbais
STEM adalah meningkatnya minat dan
motivasi peserta didik untuk melanjutkan
studi dan berkarir dalam bidang profesi
iptek, sebagaimana dibutuhkan negara saat
ini dan di masa datang. Namun sebelum
hal tersebut tersebar dan berkembang
sangatlah diinginkan agar aspek afektif juga
diperhatikan dan diperhitungkan.
Pengembangan literasi STEM bukan
perkara mudah. Paling sedikit diperlukan
satu dekade untuk mengembangkan
pendidikan STEM di suatu Negara (Bybee,
2010). Dua tahun pertama diperlukan
untuk menginisiasi reformasi pendidikan
STEM dengan tujuan mendesain,
mengembangkan, dan
mengimplementasikan model-model unit
pembelajaran STEM. Enam tahun
selanjutnya untuk memasukkan pendidikan
STEM ke dalam kurikulum. Dua tahun
berikutnya diperlukan untuk
memberlanjutkan reformasi STEM, yakni
membangun kapasitas sekolah dalam
melakukan peningkatan berkelanjutan
program pendidikan STEM.
Fase awal pengembangan
pendidikan STEM menuntut partisipasi
sivitas akademika perguruan tinggi,
khususnya untuk mendesain model-model
unit pembelajaran berbasis STEM yang
efektif implementasinya dalam setting
sekolah atau luar sekolah. Dalam kaitan ini,
tesis dan disertasi pascasarjana dalam
bidang pendidikan sains diharapkan
berkontribusi pada pengembangan model-
model unit pembelajaran sains berbasis
STEM dan peralatan pembelajaran
(teaching materials) yang teruji
efektivitasnya berdasarkan riset ilmiah
berbasis kelas (classroom-based scientific
research). Riset-riset tersebut meliputi dua
tahap penting, yakni tahap pengembangan,
dan tahap pengujian lapangan. Tahap
pengembangan mencakup analisis konten
materi pokok dalam kurikulum sains yang
berlaku, kemudian menggagas inovasi
pembelajaran konten tersebut yang
mengintegrasikan teknologi (T), rekayasa
(E), dan matematika (M) di dalamnya,
sehingga prospektif untuk mewujudkan
literasi STEM generasi muda. Tahap
pengujian melibatkan desain-desain
eksperimen untuk menguji keefektifan
unit-unit pembelajaran sains (termasuk
alat dan bahan pembelajaran) berbasis
STEM yang digagas dalam berbagai seting
sekolah.
Kontribusi perguruan tinggi pada
tahap selanjutnya dapat berupa
keterlibatannya dalam advokasi pentingnya
integrasi pendidikan STEM ke dalam
kebijakan kurikulum nasional, serta
pengembangan kompetensi pendidik untuk
menjamin efektivitas implementasi
pendidikan STEM sesuai kurikulum yang
berlaku. Dukungan riset ilmiah perguruan
tinggi dalam fase-fase tersebut diperlukan
untuk menginvestigasi efektivitas
implementasi pendidikan STEM pada skala
lebih makro, serta terlibat dalam
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
12 Pendidikan Sains [1 - 14]
pengembangan kapasitas sekolah untuk
mengelola pendidikan STEM.
PENUTUP
Gerakan reformasi pendidikan
melalui pendekatan STEM merupakan
salah satu alternatif terbaik dari beragam
alternatif yang mungkin telah diajukan atau
dipertimbangkan (Kaniawati et al., 2015).
Pandangan teori U dan pendekatan
pendidikan STEM dalam pendidikan,
khususnya dalam pendidikan Sains dan
Matematika memungkinkan peserta didik
yang tidak memiliki interes dalam bidang
ilmu dasar dapat mengambil manfaat dari
pengalaman belajarnya dengan memilih
pekerjaan atau karir dalam bidang-bidang
STEM (Firman et al., 2015).
Beberapa hal yang dapat
disimpulkan dari pentingnya
mengimplementasikan pendidikan STEM
dalam sains hayati berorientas
entrepreneurship dikemukakan sebagai
berikut. Integrasi teori U dan pendekatan
STEM dalam sains hayati (khususnya
Bioteknologi) merupakan gerakan global
dalam praktik pendidikan yang
mengintegrasikan dengan berbagai pola
integrasi untuk mengembangkan kualitas
SDM yang sesuai dengan tuntutan
keterampilan abad ke-21. Pendekatan
STEM sebagai salah satu wujud dari
pendidikan STEM kompatibel dengan
sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia
masa kini.
Pembelajaran sains hayati dengan
pendekatan STEM merupakan
pembelajaran materi pokok sains yang di
dalamnya mengintegrasikan perancangan
desain-desain sistem, penggunaan
teknologi dan cross cutting concepts
dengan DDO-nya untuk pemecahan
masalah nyata. Implementasi pendekatan
STEM menuntut pergeseran modus
pembelajaran dari pembelajaran berpusat
pendidik ke pembelajaran berpusat peserta
didik (Kaniawati et al., 2015). Selain itu juga
terjadi dari pembelajaran individu ke arah
pembelajaan kolaboratif dan menekankan
aplikasi pengetahuan sains, kreativitas dan
pemecahan masalah.
Pembelajaran sains hayati dengan
fokus pada bioteknologi hendaknya
diarahkan pada upaya peduli lingkungan
dan memperbaiki lingkungan hidup (bumi
kita) dengan mengimplementasikan teori U
bersama-sama pendekatan STEM.
Pendekatan STEM memfasitasi
pengembangan kemam-puan merancang
melalui engineering process design.
Implementasi teori U mencoba membekali
pebisnis, saintis, engineers, pendidik dan
pemimpin untuk melakukan perubahan
yang esensi terkait dengan keberadaan
manusia di bumi yang makin terbatas daya
tampungnya apabila tidak ada upaya ekstra
dari manusia melibatkan diri memperbaiki
kualitas hidup. Bioteknologi yang
mengarah pada rekayasa atau
bioengineering (Biorekayasa) sudah
waktunya diberdayakan bersama
entrepreneurship yang ramah lingkungan
dan memberi kesempatan untuk
menentukan tujuan hidupnya. Bioteknologi
dalam bidang pertanian, dalam bidang
lingkungan dan bidang biota kelautan
masih terbuka lebih untuk diberdayakan
dengan bijaksana.
Implementasi integrasi teori U dan
pendekatan STEM juga menuntut
pergeseran metode pembelajaran dan
metode penilaian. Pergeseran terjadi dari
penilaian konvensional bertumpu pada
ujian ke arah penilaian otentik yang
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
Pendidikan Sains [1 - 14] 13
menekankan penilaian kinerja dan produk
kerja dengan tujuan assessment for
learning dan sekaligus assessment as
learning daripada sekedar assessment of
learning.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, K. (2010). Entrepreneurship for Scientists and Engineers. Upper Saddle River, New Jersey, 07458: Pearson Education, Inc.
Budianta, E. (2007). Belajar pada Otto &
Idjah Soemarwoto: dari Berkeley ke Cimandiri. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.
Bybee, R. W. (2010). “Advancing STEM
education: A 2020 vision”. Technology and Engineering Teacher, 70 (1), 30-35.
Bybee, R. W. (2013). The case for STEM
education: Challenges and opportunity. Arlington, VI: National Science Teachers Association (NSTA) Press.
Scharmer, C. O. (2007). Theory U: Leading
from the Emerging Future As It Emerges. (The Social Technology of Presencing), Cambridge, MA: SoL Press.
Scharmer, C.O. (t.t.). Lectures from Otto.
MIT Sloan School of Management. [email protected],www.ottoscharmer.com
Doppelt, Y. (2005). Implementation and
Assessment of project based learning in a flexible environment”. International Journal of Technology and Design Educationn 13.page 255-272.
Dugger, Jr., W. E. (n.d.). Evolution of STEM in the United States. Retrieved July
20, 2015, from http://www.iteea.org/Resources/PressRoom/AustraliaPaper.pdf.
Firman, H., Rustaman, N., & Suwarma, R. I.
(2015). Development Technology and Engineering Literacy through STEM-Based Science Education Paper presented in The 1st International Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education with theme: “Sustainable Development for Engineering & Vocatioal Education” held in Bandung on November 14, 2015.
Hanover Research (2011). K-12 STEM
education overview. Henderson, J., & Knutton, S. (1990).
Biotechnology in schools: A Handbook for teachers.Milton Keynes, Philadelphia: Open University Press.
Kaniawati, I., Suwarma, R.I., Hasanah, L.,
Rustaman, N., & Nurelah, E. (2015). Challenges in Developing Engineering Class Design at Middle School Classroom to Improve Science, Technology, Engineering, And Mathematics (STEM) Education. Papar presented in The 1st International Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education with theme: “Sustainable Development for Engineering & Vocational Education” held in Bandung on November 14, 2015.
Kumano, Y. and Goto, M. (2015). Issues
Concerning Scientific Processes in Science Lessns Involving Outdoor and Indoor Activities: a Comparative Study of Scientific Processes in Japanese Science Classes and the Cronological Development of
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship III Tahun 2016 “Reorientasi Bioteknologi dan Pembelajarannya Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia Emas Berlandaskan Entrepreneurship”
Semarang, 20 Agustus 2016
14 Pendidikan Sains [1 - 14]
Scientific Processes in the US through NGSS. Paper presented in USA, held in January, 2015.
Inovasi pendidikan tingkatkan daya saing
(2015, July 15). Kompas, p.12. Kant, K. (2014). Work and Careers in the
21st Century. Third edition. Singapore: McGraw-Hill Education (Asia).
Kemdikbud (2013). Lampiran Peraturan
menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Jakarta: Kemdikbud.
Morgan, J.R., Moon, A.M., Barroso, L.R.
(2013). Engineering better projects. Sense Publication. page 29-37.
Morrison, J.S. (2006). Attribute of STEM
Education. Washington DC.: National Academy of Engineering.
National STEM Education Center (2014).
STEM education network manual. Bangkok: The Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology.
Next Generation Science Standard (NGSS),
(2013), Appendix G: Cross-cutting Concept, Retrieved at March 17, 2013 from http://ngss.org
Next Generation Science Standard (NGSS), (2013), Appendix F: Engineering Practice, Retrieved at March 17, 2013 from http://ngss.org
Reeve, E. M. (2013) Implementing science,
technology, mathematics and engineering (STEM) education in Thailand and in ASEAN. Bangkok:
Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology (IPST).
Roberts, A. (2012). A justification for STEM
education. Technology and Engineering Teacher, 74 (8), 1-5.
Rustaman, N. Y. (2014). “The next
generation science standards and Science-Tehnology-Engineering-Mathematics education movement: The challenge (faced) in preparing reflective science teacher”. in The standardization of Teacher Education: Asian Qualification Framework. The 6th International Conference of Teacher Edication (UPI-UPSI) held in Bandung, 25-26 June 2014.
Rustaman, N.Y. (2015). Basic Scientific
Inquiry and its Assessment in relation to STEM ducation Movement. Paper presented in Graduate Science Education at Tsukuba University, February 6th , 2015, Tsukuba, Japan.