pembentukan budaya baru bagi perempuan indonesia di...
TRANSCRIPT
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
14
PEMBENTUKAN BUDAYA BARU BAGI PEREMPUAN
INDONESIA DI AUSTRALIA
Studi Kualitatif Deskriptif tentang Perempuan Indonesia dalam
Perkumpulan Pengajian dan Arisan di Brisbane Australia
Sri Seti Indriani
Ditha Prasanti
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Perempuan Indonesia yang tinggal di Australia sebagian besar tetap
melakukan kegiatan-kegiatan yang merupakan tradisi budaya
Indonesia, seperti membentuk kelompok-kelompok pengajian dan
arisan, namun melihat lingkungan hidup mereka yang hidup di
Australia bukan Indonesia, tentu membentuk sebuah budaya baru.
Budaya dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri, dari cara mereka
menjalankan kehidupannya, dari apa yang merupakan kebutuhan dan
dari informasi apa yang mereka dapatkan. Hubungan antara budaya dan
komunikasi memiliki hubungan yang saling berkaitan satu dengan
lainnya, tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling mempengaruhi.
Apa yang dikomunikasikan di antara mereka melalui interaksi simbolik
dipengaruhi budaya dan sebaliknya membentuk budaya. Sehingga
dalam penelitian ini, masalah penelitian ini difokuskan kepada dua
pertanyaan berikut ini: Bagaimana budaya yang terjadi dalam
perkumpulan perempuan Indonesia di Australia? Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
fenomenologi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian ini
menyatakan adanya bentuk komunikasi antar budaya yang baru sebagai
berikut: (1) Perkumpulan yang hanya didominasi oleh perempuan, (2)
Terbentuknya pola bahasa baru, (3) Tradisi membungkus makanan, dan
(4) Membereskan tempat potluck
Kata Kunci: Australia, Komunikasi Antar Budaya, Perempuan
Indonesia
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
15
ABSTRACT
Indonesian women that lives in Australia tend to keep their tradition of
Indonesian culture, one if them is to form groups of Al-Quran reading
and ‘arisan’ group, though as we see that these women do not live in
Indonesian land but in Australia, there should be a big chance that they
develop a new culture Culture itself is constructed by the society itself,
from how they live, from what they need and from informations that they
get from. The relation between culture and communication depend on
each other, they are two things that can not be separated, what is
communicated between them by symbolic interaction is influenced by
culture and also creates culture itself. This research focuses on two
main question; How is the new culture constructed inside these
Idonesia women groups (2). What are the main topics they talk about
in the group. In this study, researchers used a qualitative approach with
descriptive methods. Data collection techniques used were interviews,
observation and documentation. The result of this study ndicates the
culture that is developed in this Indonesian women group in Australia
are(1) Association dominated only by women, (2) Formation of new
language pattern, (3) Tradition of food wrapping, and (4) clearing
potluck place.
Key Words: Australia, Indonesian women, New Culture
PENDAHULUAN
Manusia tentu tidak lepas dari adanya peran budaya. Budaya
yang berkembang di suatu daerah akan mempengaruhi kebiasaan setiap
individu, khususnya dalam berinteraksi satu sama lain. Perempuan
Indonesia yang tinggal di Australia sebagian besar tetap melakukan
kegiatan-kegiatan yang merupakan tradisi budaya Indonesia, seperti
membentuk kelompok-kelompok pengajian dan arisan, namun melihat
lingkungan hidup mereka yang hidup di Australia bukan Indonesia,
tentu membentuk sebuah budaya baru.
Dalam penelitian ini, penulis melihat perkembangan Perempuan
Indonesia yang menikah dan tinggal di Australia, seringkali
mengadakan berbagai perkumpulan, ini diperuntukkan untuk
meningkatkan silahturahmi antara sesama perempuan Indonesia. Tidak
jarang alasan mereka adalah untuk mencari kenyamanan, karena
mereka yang tinggal di luar negeri terkadang mencari identitas diri,
identitas tersebut tentu didukung oleh lingkungan sekitar, sehingga
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
16
perempuan-perempuan tersebut yang berasal dari Indonesia, cenderung
mencari perkumpulan yang sama-sama berasal dari negara mereka
sendiri. Mereka akan merasa aman tentram karena berada dalam save
zone mereka.
Perkumpulan ini ada berbagai macamnya, mulai dari komunitas
Indonesia yangmana mereka berkumpul dan membuat sebuat
organisasi agar dapat menyelenggarakan berbagai kegiata yang
bernuansa Indonesia, contohnya ketika akan merayakan kemerdekaan
Indonesia, merayakan hari lebaran bersama, dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang menonjolkan budaya Indonesia. Selain komunitas
Indonesia yang beranggota banyak, adapun perkumpulan yang
memiliki anggota yang lebih kecil, seperti kelompok yang dibangun
berdasarka kesepakatan untuk melakukan arisan.
Arisan merupakan salah satu budaya Indonesia yang sangat
dikenal, selain unuk meningkatkan silahturahmi, denga acara makan-
makan dan juga sekalian menabung. Arisan dilakukan setiap sebulan
sekali, dan tempat arisan ditentukan berdasarkan siapa yang menang.
Selain arisan, adapun kelompok perempuan Indonesia yang
lebih kecil yaitu kelompok pengajian, karena lebih terbatas pada
perempuan-perempuan Indonesia yang beragama islam dan mereka
yang memiliki keinginan kuat untuk meningkatkan kesolehannya,
melihat bahwa mereka tinggal di negara yang tidak memiliki
lingkungan islami, betul memang sukar untuk mempertahankan nilai-
nilai agama.
Penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik dalam
mengkaji makna simbol yang dipahami bersama dalam setiap kali
perempuan-perempuan Indonesia ini bekumpul. Pengalaman individu
dalam memahami sesuatu secara sama serta sejauhmana pemahaman
tersebut tertanam dalam setiap kali mereka berinteraksi satu dengan
lainnya melalui komunikasi verbal. Sesuai dengan premis-premis
interaksionisme simbolik: 1). individu merespon suatu situasi simbolik
2). makna adalah produk interaksi sosial 3). makna yang
diintepretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan
dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
mengangkat penelitian tentang “Pembentukan Budaya Baru bagi
Perempuan Indonesia dalam Perkumpulan Pengajian dan Arisan di
Australia”.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
17
Dalam penelitian ini, masalah penelitian ini difokuskan kepada
Bagaimana budaya yang terbentuk dalam perkumpulan perempuan
Indonesia di Australia?
Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antar budaya bisa terjadi ketika anggota dari satu
budaya tertentu memberikan pesan kepada anggoota dari anggota
lainnya. Komunikasi antar budaya melibatkan interaksi antara orang
orang yang mempunyai persepsi budaya dan sistem smbolnya cukup
berbeda dalam komunikasi. (Samovar, 2010:13)
Mulyana (2010) menegaskan bahwa budaya mempengaruhi
komunikasi dalam banyak hal, sama juga halnya mempengaruhi
budaya. Budaya juga yang menentukan waktu serta jadwal peristiwa
peristiwa antarpesonal, tempat untuk membicarakan topik tertentu jarak
yang memisahkan antara satu pembicara dengan pembicara lainnya.
Komunikasi antar budaya adalah komunikasi yang terjadi di
antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda
ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini).
Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh
sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi (Tubbs,
Moss:1996).
Komunikasi antar budaya memiliki akarnya dalam bahasa
(khususnya sosiolinguistik), sosiologi, antropologi budaya, dan
psikologi. Dari keempat disiplin ilmu tersebut, psikologi menjadi
disiplin acuan utama komunikasi lintas budaya, khususnya psikologi
lintas budaya. Pertumbuhan komunikasi antar budaya dalam dunia
bisnis memiliki tempat yang utama, terutama perusahaan – perusahaan
yang melakukan ekspansi pasar ke luar negaranya notabene negara –
negara yang ditujunya memiliki aneka ragam budaya.
Selain itu, makin banyak orang yang bepergian ke luar negeri
dengan beragam kepentingan mulai dari melakukan perjalanan bisnis,
liburan, mengikuti pendidikan lanjutan, baik yang sifatnya sementara
maupun dengan tujuan untuk menetap selamanya.Satelit komunikasi
telah membawa dunia menjadi semakin dekat, kita dapat menyaksikan
beragam peristiwa yang terjadi dalam belahan dunia,baik melalui layar
televisi, surat kabar, majalah, dan media on line. Melalui teknologi
komunikasi dan informasi, jarak geografis bukan halangan lagi kita
untuk melihat ragam peristiwa yang terjadi di belahan dunia.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
18
McLuhan juga pernah menyatakan bahwa dunia saat ini telah
menjadi “Global Village” yang mana kita mengetahui orang dan
peristiwa yang terjadi di negara lain hampir sama seperti layaknya
seorang warga negara dalam sebuah desa kecil yang menjadi tetangga
negara – negara lainnya.Perubahan sosial adalah hal lain yang
berpengaruh dalam komunikasi antar budaya adalah dengan makin
banyaknya perayaan - perayaaan budaya sebuah etnis dalam sebuah
negara.
Perbedaan budaya dalam sebuah negara menciptakan
keanekaragaman pengalaman, nilai, dan cara memandang dunia.
Keanekaragaman tersebut menciptakan pola – pola komunikasi yang
sama di antara anggota – anggota yang memiliki latar belakang sama
dan mempengaruhi komunikasi di antara anggota – anggota daerah dan
etnis yang berbeda.Perusahaan – perusahaan yang memiliki cabangnya
di luar negeri, tentunya merupakan syarat mutlak bagi para
karyawannya untuk memiliki bekal pengetahuan yang cukup mengenai
situasi dan kondisi budaya yang akan dihadapinya (intercultural
competence), salah – salah jika mereka gagal berkomunikasi dengan
budaya yang dihadapinya, perusahaan hanya akan bertahan dalam
jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Gudykunst and Kim (2003:17) mengkonsepkan fenmena
komunikasi antar budaya sebagai “... sebuah transaksional, proses
simbolik yang mencakup pertalian antar individu dari latar belakang
budaya yang berbeda.” Kata kuncinya adalah proses.
Dalam wacana orang Swedia istilah kulturmöte (literally
cultural encounter) seringkali diartikan pada beberapa singgungan (atau
pertentangan) antar budaya (seperti, dalam literatur, gaya komunikasi,
gaya manajemen, adat istiadat, dan orientasi nilai). Namun demikian,
beberapa pertemuan biasa dianalisis tanpa mempertimbangkan pada
karakter prosesnya. Komunikasi antar budaya seharusnya, dapat
dipandang dan dianalisa sebagai sebuah proses yang kompleks, bukan
sekedar sebuah pertemuan. Lebih lanjut, komunikasi antar budaya, oleh
beberapa ilmuwan sosial dilihat sebagai sebuah disiplin akademik –
data dikatakan, satu cabang dari ilmu komunikasi, berlabuh dalam
karakteristik ontologinya, epistemiologi dan asumsi – asumsi aksilogi.
Pada saat yang bersamaan, komunikasi antar budaya adalah sebuah
lingkup studi yang berhubungan dengan berbagai disi[lin ilmu lainnya
(seperti psikologi, psikologi sosial, sosiologi, pendidikan, studi media,
antropologi budaya dan manajemen). Bagi ilmu – ilmu tersebut,
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
19
komunikasi antar budaya dipandang sebagai sebuah objek studi atau
sebuah permasalahan dalam bidang disiplin ilmu – ilmu tersebut.
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, penulis dapat
mendefinisikan komunikasi komunikasi antar budaya sebagai
“tindakan komunikasi yang dilakukan oleh setiap individu yang
diidentifikasikan dengan kelompok – kelompok yang menampilkan
variasi antar kelompok dalam bentuk pertukaran sosial dan budaya.
Pertukaran bentuk, ekspresi individu, adalah tujuan utama dalam hal
tatakrama, cara, dan arti – arti yang mana proses komunikatif
memberikan efek.
METODE
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Metode
deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok
manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran,
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat
deskipsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif.
“Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan
untuk mendekati problem dan mencari jawaban” (Mulyana, 2004: 145).
Menurut Sugiyono (2007: 1), metode penelitian kualitatif
merupakan suatu penelitian yang digunakan untuk meneliti pada objek
yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat
induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi.
Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi
perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih
mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif (Mulyana, 2004: 150).
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif dengan analisis data
kualitatif. Disebut sebagai metode deskriptif karena penelitian ini tidak
menggunakan hipotesis dan variabel melainkan hanya menggambarkan
dan menganalisis kejadian yang ada tanpa perlakuan khusus atas objek-
objek yang diteliti.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
20
Observasi yang peneliti lakukan yaitu penelitian berdasarkan
kondisi di lapangan, peneliti tidak terlibat dalam kegiatan tersebut
hanya mengamati gejala-gejala yang ada di lapangan yang kemudian
dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan
melakukan observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.
1) Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara
nonparticipant observation, terhadap objek yang diteliti
yaitu yang berkaitan dengan perubahan teknologi informasi
dalam komunikasi keluarga di era digital.
2) Wawancara
Wawancara yang dilakukan penulis dalam penelitian
dimaksudkan untuk mengetahui pandangan, kejadian,
kegiatan, pendapat, perasaan dari nara sumber (subjek
matter expert). Wawancara yang dilakukan yaitu untuk
mengetahui mengenai perubahan teknologi informasi yang
terjadi, media komunikasi yang digunakan, komunikasi
keluarga yang terjadi dalam keluarga perkotaan di era
digital. Penggunaan teknik ini sangat penting bagi penelitian
kualitatif, terutama untuk melengkapi data dan upaya
memperoleh data yang akurat dan sumber data yang tepat.
3) Studi Dokumentasi
Menurut Burhan Bungin (2007: 121), metode dokumenter
adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Dokumentasi dalam penelitian ini diperlukan
terutama untuk memperkaya landasan-landasan teoritis dan
mempertajam analisis penelitian yang berkaitan dengan
kajian perubahan teknologi informasi dalam komunikasi
keluarga di era digital. Dokumen yang dimaksud dapat
berupa buku-buku yang relevan dan sumber terkait lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive
sampling, yakni dengan mengambil informan sesuai dengan kebutuhan
peneliti. Dalam hal ini, peneliti mengambil informan perempuan
Indonesia yang aktif mengikuti perkumpulan Arisan dan Pengajian di
Brisbane, Australia. Peneliti mengambil 4 orang informan:
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
21
1. Linda, asal Jakarta, 30 tahun
2. Puspa, asal Sulawesi, 35 tahun
3. Sri, asal Jakarta, 52 tahun
4. Endang, asal Bogor, 57 tahun
5. Syam, asal Kalimantan, 45 tahun
PEMBAHASAN
Dalam penulisan ini, penulis fokus pada komunikasi verbal dan
interaksi simbolik yang dilakukan perempuan-perempuan Indonesia ini
ketika mereka sedang berkumpul. Mereka melakukan interaksi
simbolik yangmana antara mereka sebagai manusia yang aktif
memaknai sebuah simbol yang mereka bicarakan sama.
Penulis mendatangi dua perkumpulan pengajian pada saat
melakukan pengamatan di Brisbane Australia, kedua pengajian tersebut
berbeda satu dengan lainnya. Kelompok pengajian pertama berada pada
area South Brisbane, dimana perempuan Indonesia yang berkumpul
adalah mereka yang tinggal di daerah selatan Brisbane, dan pengajian
satu lagi berada di North Brisbane., mereka yang tinggal di daerah utara
Brisbane. Penulis juga melakukan pengamatan pada suatu kelompok
arisan yang berpusat pada daerah Caboolture dan sekitarnya.Pengajian
rutin perempuan Indonesia ini dilakukan pada hari-hari biasa,
kelompok pengajian pertama diselenggarakan pada hari selasa, dan
yang kedua pada hari jumat.Waktunya dimulai dari jam 10 pagi hingga
makan siang. Hal ini disebabkan untuk mengisi waktu mereka
menunggu anak-anak mereka yang sedang sekolah, dan suami yang
sdang bekerja.Sedangkan arisan yang dilakukan sebulan sekali ini
biasanya diselenggarakan pada hari minggu agar suami dan anak-anak
bisa ikut bergabung.
Pembentukan Budaya Baru yang berkembang dalam
perkumpulan pengajian
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan
penulis, budaya yang ada dalam kedua kelompok (arisan dan pengajian)
tersebut kurang lebih sama, penulis mendeskripsikan hal tersebut
menjadi beberapa budaya yang diterapkan pada perkumpulan tersebut
yang merupakan hasil daripada interaksi simbolik yang terjadi diantara
mereka:
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
22
1. Potluck
Potluck dalam bahasa Indonesia adalah kata benda yang
berarti makanan adanya, hasil pengamatan memperlihatkan
bahwa Potluck adalah keadaan dimana masing-masing peserta
perkumpulan tersebut membawa makanan yang kemudian
secara bersama diletakkan diatas meja untuk kemudian dimakan
bersama. Makanan tersebut kadang terkesan ‘seadanya’ dan
tidak ‘nyambung’ dengan makanan-makanan lainnya yang ada
diatas meja. Kadang dalam satu sesi perkumpulan, terdapat lima
makanan ‘lauk’, seperti ayam goreng, rending, ikan, dan
makanan berat lainnya. Tak jarang, makanan yang tersedia
berlebihan, dan terkesan ‘macam-macam’.Namun, itulah
keunikan dari budaya potluck.
Potluck yang merupakan budaya adopsi dari Amerika
bertujuan agar tuan rumah tidak kerepotan untuk masak
masakan dalam porsi besar. Tradisi ini dianggap sebagai suatu
kemudahan ketika mereka ingin berkumpul, tanpa memikirkan
beban si penerima tamu. Dari salah satu hasil pengamatan,
penulis melihat pada satu situasi seorang anak yang merayakan
ulang tahunnya dikelas mengundang teman-temannya, namun
setiap temannya membawa makanan bersama, dan bagi mereka
yang tidak membawa makanan yang bertujuan untuk dibagikan
tidak boleh ikut serta dalam perayaan ulang tahun tersebut.
Gambar 1.1
Tradisi Potluck bagi Perempuan Indonesia di Australia
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
23
Gambar diatas adalah tradisi potluck yang dilakukan
perempuan-perempuan Indonesia pada satu sesi perkumpulan
arisan. Makanan yang dibawa diletakkan di atas meja yang nanti
kemudian dapat disantap bersama-sama.
2. Kelompok tersebut didominasi oleh perempuan (bukan suami,
terlebih pada perkumpulan pengajian yang hanya diperuntukan
oleh para istri)
Budaya perkumpulan pengajian dan arisan memang
merupakan budaya yang lengket dengan ‘perempuan’, karena
merupakan salah satu cara untuk mengisi waktu sebagai ibu
rumah tangga. Selain mengisi waktu, mereka perempuan
Indonesia memerlukan waktu untuk berkumpul dengan yang
lainnya untuk eksistensi mereka, eksistensi identitas mereka
sebagai perempuan Indonesia. Mereka memerlukan teman
‘ngobrol’ yang selain memiliki bahasa yang sama, juga karena
memiliki ‘pola pikir’ yang sama karena sesama perempuan,
yang terkadang tidak bisa dibicarakan dengan suami mereka,
yang mana suami-suami mereka bukan orang Indonesia, tapi
orang Australia.
3. Pengunaan dua bahasa di Australia
Ketika perempuan Indonesia ini berkumpul, mereka
melakukan komunikasi verbal dengan dua bahasa, yaitu bahasa
Indonesia dengan bahasa Inggris. Hal ini membentuk suatu pola
bahasa yang baru, yang tidak terstruktur, mereka tidak
menggunakan struktur bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris
yang sebenarnya, yang mereka gunakan adalah struktur ‘baru’
yang meskipun tidak terstruktur dengan baik mereka saling
memahami secara bersama.
4. Tradisi membungkus makanan
Budaya membungkus makanan untuk dibawa pulang ke
masing-masing rumah memang terkesan suatu budaya yang
lumrah dilakukan baik di negara manapun, apalagi di Indonesia,
namun budaya membungkus makanan pada acara perkumpulan
antara perempuan-perempuan Indonesia di Australia ini begitu
unik. Karena mereka terkesan ‘rakus’ dan ‘tidak memikirkan’
orang lain, mereka secara berebutan dan cepat-cepat
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
24
membungkus makanan sebanyak mungkin untuk dibawa
pulang. Apalabila makanan potluck ada secara berlebih,
memang wajar untuk dibawa pulang, namun apabila tidak,
kadan tuan rumah berkata “ harap makanan dimakan disini,
sebelum dibungkus”.
Fenomena ini memang sangat unik, setelah pengamatan
yang lebih mendalam, ternyata banyak alasan mengapa hal itu
terjadi:
a. Masakan yang biasanya dibawa adalah makanan tradisional
khas Indonesia, yang mana sangat sulit untuk dibuat.
Perempuan Indonesia ‘kangen’ dengan makanan-makanan
Indonesia, karena mengingatkan kembali pada identitas
mereka sebagai orang Indonesia.
b. Seperti yang disebutkan diatas, memasak makanan
Indonesia yang ‘halal’ sulit, karena untuk mendapatkan
bumbu-bumbu masakan tersebut mereka harus pergi ke
sebuah toko atau tempat tertentu, memesan sebelumnya
karena kesulitan untuk mendapatkannya. Karena kesulitan
tersebu, kadang mereka ‘malas’ atau memang tidak
memungkinkan untuk masak masakan Indonesia.
c. Perempuan Indonesia yang bersuamikan orang Australia
terkadang tidak menyukai ‘bau’ yang disebabkan dari
proses memasak, contohnya ketika mengoreng terasi atau
ikan asin, tidak jarang mereka dapat keluhan dari suami
maupun tetangga-tetangganya.
d. Budaya memasak makanan Indonesia tidak lazim dilakukan
di Australia, karena ‘repot’, banyak hal yang harus
dipersiapkan, dan banyak alat-alat yang absen dalam dapur
yang kadang hanya bisa didapat di Indonesia, contoh:
ulekan. Suami-suami mereka yang orang Australia terbiasa
dengan makanan yang sederhana, yang hanya perlu
dipangang atau sekedar dimasukan ke dalam microwave.
Dari keempat poin di atas, maka dapat dipahami
mengapa membungkus makanan pada saat perkumpulan
dilakukan secara tergesa-gesa dan terkesan ‘rakus’. Karena
merupakan sebuah budaya yang identik dengan acara kumpul-
kumpul tersebut, tuan rumah selalu siap sedia dengan wadah-
wadah kosong dan plastik untuk keperluan tamunya ketika
mereka akan membungkus makanan.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
25
5. Setiap individu membereskan tempat secara serempak
Budaya membereskan segala sesuatu merupakan
sesuatu yang biasa dilakukan, tidak seperti di Indonesia yang
biasanya ada pembantu rumah tangga, atau tuan rumah yang
harus membereskan segala sesuatu setelah acara. Di Australia
yang kehidupan’mandiri’ dan ‘individualis’ yang tinggi
membuat perempuan-perempuan Indonesia ini bergotong
royang (yang juga merupakan ciri orang Indonesia)
membereskan segala sesuatu sampai tuntas dan bersih, mulai
dari mencuci piring bersama, meletakkan barang-barang pada
tempatnya hingga menyapu dan mengepal. Setelah acara gotong
royang membersihkan bersama tuntas, maka baru mereka
pulang.
Analisis Teori Interaksi Simbolik
Teori yang relevan digunakan untuk menganalisis penelitian ini
adalah teori interaksi simbolik. Esensi dari interaksi simbolik
menekankan pada suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana,
2004: 68). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan
bahwa individu sebagai manusia merupakan hal yang paling penting.
Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu
yang lain. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)
interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi
untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain,
menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk
perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk
makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self),
dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan akhir untuk
memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat
(Society) dimana individu tersebut menetap. Mind, Self and Society
merupakan judul buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi
simbolik, merefleksikan tiga konsep utama dari teori. Definisi singkat
dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, yaitu:
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
26
1. Pikiran (Mind)
Pikiran adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu
lain (West dan Turner, 2007 : 102). Simbol yang bermakna adalah
tindakan verbal berupa bahasa yang merupakan mekanisme utama
interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh
manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya
memunculkan pikiran (mind) yang memungkinkannya
menginternalisasi masyarakat. Jadi menurut Mead, pikiran
mensyaratkan adanya masyarakat; dengan kata lain masyarakat
harus lebih dulu ada sebelum adanya pikiran (Mulyana, 2004 : 84).
Dengan demikian pikiran adalah bagian integral dari dari proses
sosial, bukan sebaliknya proses sosial adalah produk pikiran.
Menurut Mead, lewat berfikir yang terutama ditandai degan
kesadaran,manusia mampu mencegah tindakannya sendiri untuk
sementara, menunda reaksinya terhadap suatu stimulus (Mulyana,
2004: 86). Manusia juga mampu mengambil suatu stimulus
diantara sekian banyak stimulus alih-alih bereaksi terhadap
stimulus yang pertama dan yang paling kuat. Manusia pun mampu
pula memilih suatu tindakan di antara berbagai tindakan yang
direncanakan atau dibayangkan.
2. Diri (Self)
Diri adalah kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri dari
sudut pandang atau pendapat orang lain. Disini diri tidak dapat
dilihat dari dalam diri seseorang melalui introspeksi diri. Bagi
Mead, diri hanya bisa berkembang melalui kemampuan
pengambilan peran, yaitu membayangkan diri dari pandangan
orang lain (West dan Turner, 2007 : 103). Konsep melihat diri dari
pandangan orang lain sebenarnya sebuah konsep yang pernah
disampaikan oleh Charles Cooley pada 1912. Konsepnya adalah
the looking glass self yaitu kemampuan melihat diri melalui
pantulan dari pandangan orang lain. Cooley meyakini bahwa ada
tida prinsip perkembangan sehubungan dengan the looking glass
self, yaitu (1) membayangkan penampilan kita di hadapan orang
lain, (2) membayangkan penilaian mereka terhadap penampilan
kita, dan (3) merasa sakit hati atau bangga karena perasaan diri.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
27
3. Masyarakat (Society)
Jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap
individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara
aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. Oleh
karena itu masyarakat terdiri dari individu-individu yang terbagi
kedalam dua bagian masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan
diri. Masyarakat yang pertama disebut Mead sebagai particular
others yang berisikan individu yang bermakna bagi individu yang
bersangkutan seperti anggota keluarga, teman dan rekan kerja,
sedangkan masyarakat yang kedua adalah generalized others yang
merujuk pada kelompok sosial dan budayanya secara keseluruhan.
Generalized others menyediakan informasi tentang peranan,
peraturan dan sikap yang digunakan bersama oleh komunitas,
sedangkan particular others memberikan perasaan diterima dalam
masyarakat dan penerimaan diri. Generalized others seringkali
membantu mengatasi konflik yang terjadi dalam particular others.
Berdasarkan pemaparan tentang latar belakang pemikiran besar
tentang manusia yang mempengaruhi pemikiran George Herbert Mead
dan konsep dasar dari interaksi simbolik, maka dapat disimpukan
bahwa terdapat tiga tema konsep interaksi simbolik, yaitu :
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia, penulis
melihat adanya pentingnya makna bagi perilaku
manusia, dalam hal ini adalah perempuan Indonesia
dalam Perkumpulan Pengajian dan Arisan di Australia.
Mereka memaknai hal yang sama, sehingga
terbentuklah budaya baru yang berlaku di kalangan
mereka.
2. Pentingnya konsep mengenai diri, hal ini terlihat juga
pada pemaknaan individu, dalam penelitian ini adalah
perempuan Indonesia tersebut, yang memaknai hal yang
sama
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat, hal ini
juga terlihat pada interaksi para perempuan Indonesia
yang tinggal di Austaralia dengan perempuan asli
Australia.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
28
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan yang tertulis diatas, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan yang menarik:
1. Adanya pengabungan budaya dalam perkumpulan itu,
yaitu budaya Indonesia dan budaya Australia, seperti
potluck dan budaya membungkus bawa pulang, yang
sebenarnya merupakan kebiasaan orang Indonesia.
Sehingga membentuk suatu budaya campuran tersendiri.
Tradisi ‘gotong royong’ yang masih melekat jelas dalam
diri mereka ketika mereka bekerja sama membersihkan
kembali rumah tuan rumah seperti semula.
2. Adanya sebuah pola bahasa baru, yaitu dua bahasa yang
digabungkan, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yang
keduanya tidak terstruktur sebagaimana mestinya
namun dipahami secara bersama.
3. Perempuan Indonesia di Australia ini mengemari segala
sesuatu yang berkhas ‘Indonesia’, mulai dari makanan,
gossip selebriti, dan masalah-masalah yang ada di
Indonesia.
4. Acara kumpul bersama dinantikan oleh perempuan
Indonesia ini karena mereka sama-sama memaknai
sebuah simbol yang sama. Mereka memahami apa yang
dibincangkan antara mereka, apakah itu berupa
makanan Indonesia maupun masalah-masalah yang
terjadi di Indonesia.
Di dalam sebuah perkumpulan dimanapun kita berada, kita
harus memiliki kompetensi dalam berkomunikasi supaya apa yang
dikomunikasikan merupakan sesuatu yang positif dan bermanfaat bagi
kita semua. Perkumpulan yang dilakukan perempuan Indonesia ini
meskipun memiliki dampak positif seperti mempererat tali silahturahmi
dan mempertahankan budaya Indonesia yang telah ada, namun ada juga
dampak negatif seperti ‘gossiping’, yang bukanlah sesuatu yang baik
dilakukan melihat hal tersebut dapat memutuskan suatu hubungan
manusia.
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
29
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Guddykunst and Kim B. William. (2005). Theorizing About
Intercultutal Communication. California: Sage Publications,
Inc.
Mulyana, Deddy. (2010). Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
________________. (2004). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
________________. (2010). Komunikasi Lintas Budaya. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Rakhmat, Jalaludin. (2009). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
_______________. (2009). Psikologi Komunikasi. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Samovar, Porter, McDaniel. (2010) . Komunikasi Lintas Budaya (Edisi
7). Jakarta :
Salemba Humanika.
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kuantitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Tubbs, L. Stewart dan Sylvia, Moss. (1996). Human Communication :
Prinsip-Prinsip Dasar. Pengantar: Deddy Mulyana, Bandung :
Remaja Rosdakarya.
West, Richard. Lynn H.Turner. (2007). “Pengantar Teori Komunikasi”.
Jakarta: Salemba Humanika
Convergence (ISSN: 2528-648X) Vol. 1 No. 2, Januari 2017
30