pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......beliau memiliki gelar ph.d dalam bidang...

26

Upload: others

Post on 25-Nov-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder
Page 2: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

CIFOR and The East-West Center

Pembelajaran SosialDalam PengelolaanHutan Komunitas

EditorEva WollenbergDavid EdmundsLouise BuckJeff Fox

Sonja Brodt

Page 3: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas iii

PENGANTAR

Ketika membaca tulisan-tulisan dari buku ini, saya sepertimembaca berbagai persoalan dan tantangan yang sedang kitahadapi dalam mengembangkan program pengelolaan hutan

komunitas yang selama ini terjadi di Indonesia. Pada waktu itu per-nah kami diskusikan mengapa buku ini tidak dijadikan bacaan wajibbuat kawan-kawan dari kalangan LSM, perguruan tinggi dan penen-tu kebijakan di Indonesia. Permasalahannya adalah buku aslinya“pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas” ini berba-hasa Inggris, sehingga tidak banyak pihak yang dapat akses untukmempelajari buku ini. Inilah salah satu alasan mengapa LATIN ter-tarik untuk menerjemahkan dan menerbitkan buku ini.

Selain itu, tujuan dari buku ini seperti yang diungkapkan baikdalam pengantar maupun bab pendahuluannya sangat searahdengan misi yang sedang diperjuangkan LATIN, yaitu: mewujudkan“good forest governance” di tingkat kabupaten melalui praktek-praktek manajemen kolaborasi di kawasan konservasi dan kawasanhutan produksi. Pertama, bahwa isi dari buku ini banyakmenampilkan pandangan-pandangan tentang peran pembelajarandalam pendekatan-pendekatan kolaboratif; kedua, bahwa yang diba-has buku ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan kunci seperti“bagaimana harus mendorong pembelajaran bersama yang meningkat-kan kolaborasi dalam pengelolaan hutan?” dan “bagaimana kelembaga-an dan kesepakatan kolaboratif dapat dirancang untuk meningkat-kan pembelajaran bersama dalam pengelolaan hutan?”.

Melalui buku ini diharapkan dapat mempertajam cara pandangdan refleksi kita dalam melihat kerja-kerja kolaborasi yang telahdilaksanakan selama ini. Dari sini kita akan memperoleh banyakpelajaran tentang bagaimana fasilitasi dan platform dapat men-dukung kerja-kerja kolaborasi dalam pengelolaan hutan komunitas,bagaimana pola-pola pembelajaran dipraktekkan dan bagaimanaseharusnya memperbaharui metode-metode yang kita gunakanuntuk mendukung pembelajaran bersama secara kelembagaan

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitasii

Pembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas/editorEva Wollenberg, David Edmunds, Louise Buck, Jeff Fox, Sonja Brodt;penerjemah: Aisyah E. Sileuw dan Editor: Suporahardjo.

Judul Asli: Social Learning In Community Forest, Eva Wollenberg,David Edmunds, Louise Buck, Jeff Fox,Sonja Brodt editors, CIFORand The East-West Center. Copyright@2001 Eva Wollenberg, DavidEdmunds, Louise Buck, Jeff Fox,Sonja Brodt editors. Published byCIFOR, printed by SMK Grafika Desa Putera, Indonesia

Edisi pertama: November 2005Desain sampul dan lay-out: Agus Sumarno

Diterbitkan pertama kali ke dalam bahasa Indonesia oleh PustakaLATIN kerjasama dengan CIFOR atas bantuan dana dari MFP danIDRC

LATINJl. Sutera No. 21Desa Situ Gede,Bogor Barat 16115Telp. 0251 - 420523 - 24Fax: 0251-626593Email: [email protected]: www.latin.or.idPercetakan Mukti UtamaKebayoran Baru, Jakarta

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)Wollenberg, Eva et alPembelajaran Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Komunitas/David Edmunds,Louise Buck, [et al]. Cet. 1. - - Bogor : Pustaka Latin, 2005264 hlm.: ill; 13x21 cm

ISBN : 979 - 25 - 0785 - X

1. Judul I. Edmunds, DavidII. Buck, Louise

CIFORPO. Box 6596 JKPWB,Jakarta 10065, IndonesiaJl. Cifor, Situ Gede,Sindang BarangBogor Barat 16680, IndonesiaTelp: 62-251-622622Fax: 62-251-622100Email: [email protected]: http:/www.cifor.cgiar.org

Page 4: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitasiv

antara stakehoder yang terlibat kerja kolaborasi. Dengan belajar darikonseptualisasi pengalaman dari berbagai kasus yang terjadi dibeberapa negara Asia, Afrika dan Kanada tersebut, juga diharapkanakan memberikan “tambahan energi” kepada perjuangan para peng-giat “pengelolaan hutan komunitas” di Indonesia, karena dalambeberapa tahun terakhir kebijakan pemerintah yang mendukungpenguatan kelembagaan pengelolaan hutan komunitas secarakolaboratif semakin menurun dan menunjukkan kehilangan arah.

Mengapa kata “community forest” diterjemahkan mejadi “hutankomunitas”, di sini ingin menunjukkan bahwa kata “komunitas”lebih memberikan makna tentang pentingnya memberikan kedaulat-an dan kewenangan yang lebih besar kepada masyarakat lokal untukakses terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. Dan itulah tantangannyata yang dihadapi di lapangan dalam memperkuat praktekkolaborasi dan kebijakan pengelolaan hutan yang berbasis komunitas.

Bogor, 22 Oktober 2005.Suporahardjo

Editor edisi bahasa IndonesiaLembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas v

KATA PENGANTAR

Bab-bab dalam volume ini dihasilkan pada lokakarya penulisyang berjudul Berbagi Inovasi: Metode-metode untuk pen-gelolaan hutan komunitas oleh multipihak. East West Center

menjadi tuan rumah dari Lokakarya ini yang diselenggarakan diHawaii pada 26 Juli hingga 28 Augustus 1999. Lokakarya yangdirancang dan didukung melalui Center for International ForestryResearch (CIFOR) ini mengundang praktisi profesional dalam bidangcommunity forestry untuk mengartikulasikan pengalaman merekadalam pendekatan-pendekatan kolaboratif pada pengelolaan hutandan hubungan mereka dengan pembelajaran sosial.

CIFOR menginisiasi lokakarya tersebut sebagai bagian darisebuah proyek yang lebih besar mengenai Pengembangan Ruang bagiPengelolaan Hutan Lokal, yang dikoordinasikan oleh David Edmundsdan Eva Wollenberg. Proyek ini bertujuan untuk menilai dampakkebijakan devolusi hutan, yang juga menunjukkan arahan padadukungan masa depan untuk pengelolaan hutan lokal. Salah satuobservasi kami dalam pekerjaan ini adalah bahwa pengelolaan hutanlokal membutuhkan kolaborasi di antara kelompok-kelompok yangberbeda untuk bertukar pandangan dan informasi dan juga untukberadaptasi dengan perubahan kondisi. Oleh karenanya, kami ter-tarik untuk mendokumentasikan pendekatan-pendekatan inovatifyang mendorong pembelajaran di antara multistakeholder.

Hingga akhirnya, Eva Wollenberg dan David Edmunds menyeleng-garakan kompetisi global untuk mengidentifikasi orang-orang denganpengalaman dalam pembelajaran sosial, yang bisa datang bersama-sa-ma selama empat minggu untuk bertukar pengalaman, pemikiran-pemikiran terkini mengenai pembelajaran sosial dan mendokumen-tasikan pandangan mereka. Kami mengkompilasi sejumlah bacaanmengenai pembelajaran sosial dan kolaborasi stakeholder sebagai bahanlatar belakang yang kemudian didistribusikan kepada peserta terpilih.

Kami menyeleksi sembilan peserta melalui kompetisi. Parapelamar tersebut mewakili organisasi pemerintah dan non-pemerintah,universitas dan lembaga-lembaga penelitian. Meskipun kami ber-

Page 5: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitasvi Pembelajaran Sosial dalam

Pengelolaan Hutan Komunitas vii

dinegosiasikan menjadi penghargaan umum untuk dasar kontekstu-al dari jalan buntu tersebut. Disyaratkan adanya fasilitasi dan waktuuntuk mencapai pemahaman sedemikian, dan para peserta menun-jukkan kesabaran yang luar biasa, keingintahuan dan keinginanberhasil sebagai satu kelompok. Akhirnya, kami semua bisa mema-hami bahwa membentuk tulisan-tulisan tersebut merupakan bentukdari pembelajaran sosial, yang memberikan keuntungan pada mas-ing-masing tulisan sekaligus juga meningkatkan gambaran kelom-pok terhadap konsep-konsep utama.

Selain kegiatan kelompok, para peserta dipasangkan denganseorang penasihat yang memberikan bantuan harian dalam tugas-tugas mengkonseptualisasi dan menyusun tulisan. Sonja Brodt,Louise Buck, David Edmunds, dan Jeff Fox bekerja dengan masing-masing penulis satu per satu beberapa kali dalam seminggu untukmenghasilkan tulisan-tulisan mereka. Eva memberikan komentarpada tulisan dari Bogor. Louise, Eva dan David menulis artikel pen-gantar sebagai sintesis dari poin-poin utama yang muncul darilokakarya dan tulisan-tulisan tersebut. Tulisan-tulisan ini kemudiandiedit, pertama oleh Sonja untuk bahasa Inggris-nya, kemudian olehEva untuk isinya dan akhirnya oleh para penulisnya sendiri untukmereview perubahan dan terakhir oleh Sally Wellesley untukpenyuntingan salinan. Eva, dengan bantuan dari Dina Hubudin danGideon Suharyanto, kemudian mengkoordinasikan review olehBruce Campbell dan Niels Röling, revisi akhir dan publikasi.

Hasil dari usaha tim yang kreatif ini adalah satu set yang terdiridari 10 tulisan yang agak berbeda dari prosiding pada umumnya.Tulisan-tulisan ini mencerminkan pengembangan bersama dari piki-ran-pikiran dari empat belas rekan-rekan. Mereka berusaha sangatkeras untuk menghubungkan praktek dengan konsep dan denganmelakukan ini secara teliti meletakkan kerangka kerja yang munculuntuk pembelajaran sosial dengan pengalaman empiris. Merekabergeser di luar retorika dan ingin membagikan pandangan-pandan-gan praktis. Kami menyadari bahwa proyek ini menjadi inspirasiuntuk metode-metode yang disarankan, dan juga untuk pembela-jaran yang membuat kita terus-menerus maju.

Editor

tujuan untuk menarik para peserta dari latar belakang geografi yangberbeda, penulis studi kasus sebagian besar berasal dari Afrika danAsia. Semuanya aktif dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pro-gram-program yang berhubungan dengan konservasi. Peserta terpil-ih adalah mereka yang tampak mampu menawarkan pandangan-pandangan tentang peran pembelajaran dalam pendekatan-pen-dekatan kolaboratif, bukan karena pengalaman mereka dalamcommunity forestry yang sekedar menawarkan cerita-cerita keber-hasilan melalui ukuran-ukuran konvensional. Oleh karenanya,lokakarya tersebut mengangkat isu-isu yang berhubungan denganproses-proses pembelaharan ini yang didasarkan pada beragamnyaderajat dan kualitas dari pembelajaran sosial.

Lokakarya ini diselenggarakan di East West Center, di manaJeff Fox dan Sonja Brodt membawa banyaknya pengalaman merekadalam melaksanakan lokakarya penulisan dan penyuntingan. Sesi-sesi lokakarya meliputi diskusi dan pertukaran beragam aspek daripembelajaran sosial, kolaborasi dan pengelolaan adaptif. Seminarmingguan dikerangkakan sekitar bacaan-bacaan yang dipilih, kare-na mewakili pikiran-pikiran terkini mengenai tema-tema kunci darilokakarya tersebut. Sonja juga menyelenggarakan seminar tentangteknik penulisan. Louise Buck adalah seorang narasumber tematikselama lokakarya tersebut. Dia merancang seminar-seminar tematikdan memfasilitasi seminar tersebut untuk membantu peserta dalammenghubungkan praktek mereka dengan teori yang muncul melaluipresentasi-presentasi ringkasan dan refleksi mengenai bacaan-bacaan tersebut, dan juga melalui diskusi kelompok. Louise, David,Jeff dan Sonja bekerja erat sepanjang lokakarya untuk merancangprogram yang paling memenuhi kebutuhan para peserta.

Dalam perkembangan lokakarya tersebut, para peserta ditantanguntuk membagikan ide-ide mereka, karena ide-ide tersebut ber-kembang melalui format seminar. Setiap tulisan terbuka untukinput-input berkala dari kelompok itu. Perbedaan pendapat yangmenyangkut interpretasi dari konsep-konsep atau kejadian tertentukadang-kadang membuat marah. Sering perbedaan ini berhubungandengan perspektif yang berakar pada budaya atau iklim politik untukpengelolaan hutan. Akhirnya, sebagian besar perbedaan tersebut

Page 6: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas ixPembelajaran Sosial dalam

Pengelolaan Hutan Komunitasviii

DAFTAR ISI

Pengantar-Edisi Bahasa Indonesia....................................................... iii-Edisi Bahasa Inggris............................................................ v

Daftar Isi...................................................................................... ixDaftar Gambar...............................................................................xiDaftar Tabel dan Kotak..................................................................xiiiKontributor...................................................................................ivxUcapan Terimakasih......................................................................xix

Bab 1............................................................................................1PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM PENGELOLAAN KOLABO-RATIF HUTAN KOMUNITAS: Pelajaran Dari Lapangan

Louise E.Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds

Bab 2..........................................................................................29MEMFASILITASI KEMITRAAN YANG LAYAK DALAM PENGELO-LAAN HUTAN KOMUNITAS DI KAMERUN: Kasus KawasanHutan Pegunungan Kilum-Ijim

Christian A. Asanga

Bab 3..........................................................................................61PLATFORM-PLATFORM PEMBELAJARAN: PENGALAMAN PEM-BELAJARAN ADAPTIF PADA PROGRAM HUTAN KOMUNITASDI NEPAL

Ghanendra Kafle

Bab 4..........................................................................................85SEVA MANDIR: SEBUAH ORGANISASI YANG BELAJAR

Rukmini Datta

Bab 5.........................................................................................105KOLABORASI KELEMBAGAAN DAN SHARED LEARNINGUNTUK PENGELOLAAN HUTAN DI DISTRIK CHIVI, ZIMBABWE

Nontokozo Nemarundwe

Page 7: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas xiPembelajaran Sosial dalam

Pengelolaan Hutan Komunitasx

Bab 6.........................................................................................139PEMIKIRAN KEMBALI TENTANG KONSENSUS DALAM PLURAL-ISME: Belajar Dari Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas DiYunnan, Cina

Cao Guangxia dan Zhang LianminBab 7.........................................................................................161DONOR EKSTERNAL DAN PENGELOLAAN HUTAN MGORI BERBASIS

KOMUNITAS, TANZANIA: Apa Yang Terjadi Ketika DonorPergi?

Edward Massawe

Bab 8.........................................................................................191HUTAN MODEL: PENDEKATAN BERBASIS KEMITRAAN UNTUK

PENGELOLAAN LANSKAPRon D. Ayling

Bab 9.........................................................................................217BELAJAR BAGAIMANA UNTUK MENDELEGASIKAN: PROYEK PER-

HUTANAN SOSIAL, MALAKAND, PROPINSI FRONTIERNORTH-WEST, PAKISTAN

Haider Ali Khan

Bab 10.......................................................................................139MELAMPAUI KEBERHASILAN RETORIKAL: MEMAJUKAN POTENSI

PROGRAM HUTAN KOMUNITAS DI NEPAL UNTUK MENGATASIMASALAH KESETARAAN

Bishnu Upreti

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kawasan hutan Kilum-Iljim, Propinsi Utara-Barat,Kamerun................................................................35

Gambar 2.2 Anggota masyarakat dari salah satu desa yang dekatdengan hutan (Simonkoh) sedang melaksanakanpenelusuran api di sepanjang batas hutan mereka......38

Gambar 2.3 Latihan timeline sedang diselenggarakan dengan paralaki-laki di masyarakat Mboh....................................40

Gambar 3.1 Siklus belajar pengalaman NUKCFP............................66Gambar 3.2 Lokasi-lokasi proyek................................................69Gambar 3.3 Para perempuan terlibat dalam diskusi tentang

kebutuhan dan indikator-indikator hutan di masa depan............................................................................70

Gambar 4.1 Posisi Rajasthan di India dan posisi Udaipur di RajasthanGambar 4.2 Paraworkers yang sedang memfasilitasi penanaman

pohon....................................................................90Gambar 4.3 Pelatihan untuk para perempuan desa.......................92Gambar 5.1 Lokasi daerah catchment (“tangkapan”) Romwe di

Zimbabwe..............................................................99Gambar 5.2 Kerangka kerja kelembagaan untuk pengelolaan lahan

hutan di daerah catchment Romwe..........................115Gambar 5.3 Gully yang rusak yang siap direklamasi....................130Gambar 5.4 Rumput yang diberikan setelah kunjungan ke proyek

Kuturaya..............................................................131Gambar 5.5 Percobaan untuk mereklamasi gully dengan rumput vetiver

................................................................................131Gambar 6.1 Lokasi dari tiga wilayah di Propinsi Yunnan, China.....145Gambar 6.2 Hutan desa memenuhi berbagai kebutuhan penduduk

desa....................................................................148Gambar 6.3 Tempat sembahyang lokal di bawah bukit divine

di desa Tangdui.................................................... 152Gambar 7.1 Lokasi Hutan Mgori di wilayah Singida..................... 166Gambar 7.2 Tanda batas antara dua desa – Nduamughanga dan

Mughunga............................................................171Gambar 7.3 Pertemuan komite koordinasi hutan Mgori, termasuk

penasihat teknis proyek.........................................173

Page 8: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas xiiiPembelajaran Sosial dalam

Pengelolaan Hutan Komunitasxii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Karakteristik dan faktor-faktor yang mempromosikankolaborasi yang baik................................................75

Tabel 5.1 Women”s ranking of importance of institutions operatingin the Romwe catchment area ...............................117

Tabel 6.1 Informasi tentang lokasi, populasi dan hutan untuk tigadesa studi kasus di Propinsi Yunnan........................ 146

Tabel 9.1 Tahap-tahap kesepakatan kemitraan........................227Tabel 10.1 Tinjauan mengenai kekuatan, kelemahan, peluang dan

tantangan pada hutan komunitas di Nepal................245

DAFTAR KOTAK

Kotak 2.1 Bukti praktis dari tumpang tindih antara tujuanpenggunaan oleh masyarakat dan tujuan konservasipada kawasan Kilum-Ijim.........................................43

Kotak 3.1 Appreciate inquiry: A forward-looking approach..........73Kotak 4.1 Desa Shyampira......................................................95Kotak 4.2 Kampung Nayakheda...............................................97Kotak 5.1 Kasus Bapak Jonasi Dube.......................................123Kotak 5.2 Keberhasilan dan tantangan dari proyek Kuturaya.....129Kotak 7.1 Memperbaiki pengelolaan kebakaran di Hutan Mgori

..........................................................................177Kotak 7.2 Membangun forum untuk pengelolaan hutan berbasis

komunitas di Tanzania........................................... 185Kotak 8.1 Pengembangan Dewan Perwakilan untuk Hutan Model

Chihuahua, Meksiko...............................................204Kotak 8.2 Mencoba Kemitraan dalam membangun Hutan Model

Gassinski, Rusia....................................................207

Gambar 7.4 Patroli lokal dengan senjata tradisional mereka.........175

Gambar 8.1 Jaringan hutan model............................................195

Gambar 8.2 Kemitraan merupakan asosiasi yang kaya dengan banyak

kepribadian, dan merupakan hubungan yang dinamis dan

berkembang (Hutan Model Cree Waswanipi).............203

Gambar 8.3 Partisipasi publik dan berbagi informasi merupakan hal

yang penting pada sebuah hutan model yang efektif

(Hutan Model Western Newfoundland)..................... 205

Gambar 9.1 Proyek Perhutanan Sosial di Lembaga Malakand....... 223

Gambar 9.2 Perkebunan desa pada tanah perbukitan masyarakat

..........................................................................224

Gambar 9.3 Anggota WO juga berkontribusi dalam persiapan rencana

pengelolaan desa..................................................227

Gambar 9.4 Anggota VDC menyiapkan rencana pengelolaan desa

..........................................................................228

Gambar 10.1 Lokasi kawasan penelitian......................................244

Gambar 10.2 Hutan yang dikelola rakyat: harapan untuk masa depan

..........................................................................247

Gambar 10.3 Anggota masyarakat sedang merencanakan kegiatan

hutan komunitas...................................................250

Gambar 10.4 Perempuan merupakan pengguna utama dari sumber

daya hutan...........................................................252

Page 9: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas xvPembelajaran Sosial dalam

Pengelolaan Hutan Komunitasxiv

KONTRIBUTOR Louise Buck, adalah Associate Senior untuk CIFOR, berbasis diJurusan Sumberdaya Alam di Universitas Cornell, dan bergabungdengan Cornell International Institute for Food, Agriculture andDevelopment. Minat penelitiannya adalah strategi-strategi pembelaja-ran partisipatif dan pembelajaran sosial untuk pengelolaan kawasanlindung dan agroforestri. Beliau memperoleh gelar Ph.D dalamSumberdaya Alam dari Universitas Cornell dan memperolehMasternya dalam Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alamdari Universitas Negeri Colorado. Sebagian besar pekerjaannyadilakukan di Afrika Timur, Madagaskar dan Amerika Utara bagiantimur laut (northeast).

Cao Guangxia, adalah associate profesor pada InstitutMasyarakat dan Lingkungan Hidup, Kolej Kehutanan Southwest.Beliau adalah sarjana Botani dan Master dalam bidang Ekologi dariUniversitas Lanzhou. Beliau juga menerima sertifikat dalam bidangcommunity forestry dari Pusat Regional untuk pelatihan communityforestry di Bangkok pada tahun 1991. Beliau bekerja dengan isu-isutentang pengelolaan adaptif, konflik, negosiasi, pembelajaran partisi-patif dan pengembangan konsensus lokal dalam kehutanan masya-rakat. Beliau juga bekerja sebagai fasilitator untuk mempromosikanproyek-proyek pengelolaan kolaboratif berbasis komunitas diYunnan dan propinsi lain di Cina.

Rukmini Datta, saat ini bekerja dengan program DanaPembangunan Desa pada organisasi Seva Mandir, sebuah organisa-si non-pemerintah yang bekerja untuk peningkatan kesejahteraanmasyarakat di desa-desa adat di Udaipur, India. Beliau mendapatkanijazah pasca sarjana dari Institute of Rural Management di Anand,India dan Sarjana Sosiologi dari St.Xavier’s College, UniversitasBombay, Mumbai. Beliau lahir pada tahun 1973.

David Edmunds, adalah peneliti (yang disponsori olehYayasan Rockefeller) Pusat Penelitian Kehutanan Internasional(CIFOR) di Bogor, Indonesia. Beliau memiliki gelar Ph.D dalambidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama

Peserta Workshop tentang “Sharing Innovation: Methods for Multiple stakeholderManagement of Community Forest” di East-West, Honolulu, Hawai, tanggal 26 Juli –

20 Agustus 1999.

Christian Asanga, adalah Menteri Senior pada Kementrian Ling-kungan Hidup dan Counterpart Kehutanan serta Manajer Lokasi(Kilum) dari Proyek Hutan Kilum-Ijim di Kamerun. Dilahirkan padatahun 1962 di Bambili, Propinsi North-West, Kamerun, Asanga men-dapatkan Sarjana Kehutanan pada Universitas Wales di Bangor padatahun 1988 dan MSc dalam Pengelolaan Sumberdaya pada Universi-tas Edinburgh pada tahun 1989. Sekembalinya ke Kamerun, beliaubekerja sebagai staf kehutanan senior di kantor Konservasi Hutan,Propinsi South-West di Kamerun selama dua tahun sebelum menem-pati posisinya yang sekarang dengan proyek Hutan Kilum-Ijim.

Ron Ayling, adalah konsultan untuk pengelolaan sumberdayaterpadu, dengan fokus pada kehutanan dan agroforestri di negara-negara berkembang. Beliau adalah Sarjana Kehutanan dariUniversitas Toronto, Canada dan Ph.D dari Universitar NasionalAustralia di Canberra. Beliau telah bekerja selama lebih dari 20tahun secara internasional dalam bidang kehutanan dan pembangu-nan pedesaan, termasuk 15 tahun dengan Pusat PenelitianPembangunan Internasional Canada di Afrika Timur dan Afrikabagian Selatan, Asia Tenggara dan sebagian Amerika LATIN

Page 10: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas xviiPembelajaran Sosial dalam

Pengelolaan Hutan Komunitasxvi

au adalah peneliti associate pada Institute of Environmental Studies(Lembaga Studi Lingkungan Hidup) dan sedang melakukan peneliti-an mengenai dinamika kelembagaan pada pengelolaan lahan hutan.Beliau memiliki gelar Master dalam bidang Studi Sosial dariUniversitas Zimbabwe (1997). Beliau juga mengambil kursus satutahun dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam di UniversitasNegeri Oregon, Amerika Serikat pada tahun 199394. Beliau dilahir-kan di kota Plumtree, Zimbabwe bagian barat.

Edward L. Massawe, adalah pejabat kehutanan divisi hutanMgori dan Pejabat Liaison Hutan untuk Divisi Kehutanan danPemeliharaan Lebah Madu Tanzania, di mana beliau memfasilitasikehutanan berbasis komunitas di antara lima desa yang terletak diCagar Hutan Mgori sejak 1995. Dilahirkan pada tahun 1955 diWilayah Kilimanjaro Moshi di Tanzania, beliau bekerja denganBagian Penelitian Pemanfaatan Hutan Pemerintah Tanzania daritahun 1978 hingga 1980. Beliau menyelesaikan Kursus bersertifikattentang kehutanan di Olmotonyi Forestry Training Institute padatahun 1983 dan Sarjana Kehutanan pada tahun 1994. Pengalamancommunity forestri lainnya meliputi bekerja dari tahun 1984 hingga1992 di Ilongero dalam pengembangan desa dan hutan individu sertapenanaman pohon di Divisi Ilongero.

Bishnu Raj Upreti, adalah sosiolog dan penyuluh pertanianyang didapatkannya dari pelatihan dan telah bekerja dalam pengem-bangan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam di Nepal sela-ma 19 tahun terakhir ini. Beliau menyelesaikan Ph.D-nya tentangpengelolaan konflik dalam suumberdaya alam di UniversitasPertanian Wageningen, Belanda dan saat ini merupakan penelitipada Pusat Strategi Lingkungan Hidup, Universitas Surrey, Inggris.Beliau telah banyak membantu merancang dan mengevaluasiproyek-proyek pembangunan terpadu, studi dan action-researchserta bekerja di Departemen Irigasi, Bank Pembangunan Pertanian,Departemen Pertanian, UNDP, FAO, SNV, SDC dan UMN.

Eva (Lini) Wollenberg, adalah seorang peneliti di CIFOR, Bogor,Indonesia. Sebelum bergabung dengan CIFOR, beliau bekerja pada

lima tahun beliau bekerja di Uganda, Benin, dan RepublikDemokratic Congo (yang kemudian berubah nama menjadi Zaire)dalam bidang pengelolaan sumberdaya berbasis rakyat. Sekarangini beliau sedang mengembangkan berbagai proyek yang berhu-bungan dengan negosiasi multistakeholder dan kebijakan devolusi.

Ghanendra Kafle, adalah Penasehat Community Forestrypada Proyek Community Forestry Nepal/Inggris di Nepal. Beliautelah bekerja dalam bidang community forestry ini selama lebihdari satu dasawarsa, mengelola banyak proyek, memfasilitasikolaborasi dalam community forestry dan membantu untuk men-ciptakan lingkungan atau situasi yang kondusif pada tingkat pelak-sanaan dan kebijakan. Pengalaman kerjanya meliputi mengajaranak-anak sekolah menengah dan administrasi sekolah, surveisosial ekonomi dan kerja-kerja penelitian, action-research danmengajar bahasa Nepal sebagai bahasa asing bagi orang-orangyang tidak berbicara bahasa Nepal.

Haider Ali Khan, saat ini menjabat sebagai manajer organisasipendukung yang bekerja sangat erat dengan Proyek PerhutananSosial di Malakand dan kota Dir di Propinsi Frontier North-West,Pakistan. Beliau memiliki kesarjanaan dan Master dalam bidangKehutanan dari Universitas Peshawar (1978), dan menerima gelarMaster dari Universitas Missouri, Amerika Serikat pada tahun 1991dengan spesialisasi dalam bidang Perhutanan Sosial. Beliau memili-ki banyak pengalaman di bidang perhutanan sosial, organisasi masy-arakat dan perencanaan tata guna desa. Beliau adalah penulis tigabuku dan beberapa artikel yang berhubungan dalam bidang kehuta-nan.

Nontokozo Nemarundwe (née Nabane), adalah sosiolog, deng-an delapan tahun pengalaman di bidang pembangunan pedesaan,khususnya tentang permasalahan jender dan kelembagaaan dalampengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas. Beliau bekerjasebagai peneliti pada Pusat Pengetahuan Sosial Terapan (CASS) diUniversitas Zimbabwe selama enam tahun (1992-1997). Saat ini beli-

Page 11: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Hutan Komunitas xixPembelajaran Sosial dalam

Pengelolaan Hutan Komunitasxviii

UCAPAN TERIMA KASIH

Para editor mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepa-da siapapun yang membantu lokakarya penulisan dan pub-likasi ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih

kepada sembilan peserta lokakarya tersebut – Christian Asanga,Ghanendra Kafle, Rukmini Datta, Nontokozo Nemarundwe, CaoGuangzia, Edward Massawe, Ron Ayling dan Haider Ali Khan – danrekan-rekan mereka di negara mereka yang telah berkontribusi padainformasi untuk tulisan-tulisan ini. Louise Buck, David Edmunds,Sonja Brodt dan Jeff Fox dengan antusias bekerja bersama peserta diHonolulu untuk mengembangkan dan mengedit tulisan-tulisanmereka. Bruce Campbell dan Niels Röling mereview draft-draftsebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada DinaHubudin untuk bantuan tanpa lelahnya dalam menangani aspek-aspek administratif dari proyek ini dari Bogor, dan kepada JuneKuramoto, Mary Abo dan Glenn Dolcemascolo untuk bantuan mere-ka yang efisien di Hawaii. Sally Wellesley, Gideon Suharyanto, EkoPriyanto dan Dina Hubudin menyelesaikan sentuhan akhir untukpenyuntingan, perancangan sampul dan tata letak.

Pekerjaan ini didukung oleh hibah dari Dana Internasionaluntuk Pengembangan Pertanian, dengan kontribusi dari CIFOR danEast West Center.

Program Kemiskinan Pedesaan dan Sumberdaya Asia Ford Founda-tion. Beliau mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas California,Berkeley pada tahun 1991. Penelitian terbarunya berfokus padapembelajaran sosial di antara stakeholder dan sarana untuk mem-berdayakan masyarakat hutan, khususnya di daerah-daerah tropisdi Asia.

Zhang Lianmin, adalah asisten profesor pada SouthwestForestry College. Sekarang ini beliau sedang menyelesaikan gelarPh.D di Universitas Yunnan. Dalam studi Ph.D-nya, beliau melihattitik temu antara ekologi dan ekonomi lokal dan implikasinya padakebijakan konservasi di Propinsi Yunnan.

Fotografer: n David Edmunds and Louise, halaman xiv n ChristianA Asanga, halaman 38, 40 n Ghanendra Kafle, halaman 70 n

Rukmini Datta, halaman 92, 99 n Nontokozo Nemarundwe, halaman130, 131 n Cao Guangxia dan Zhang Lianmin, halaman 148, 152 n

Edward Massawe, halaman 171, 173, 175 n Model Forest Network,halaman 201, 203 n Haider Ali Khan, halaman 224, 227, 228 n

Bishnu Upreti, halaman 247, 250, 252

Page 12: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalamPengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan1

BBAABB 11

PPEEMMBBEELLAAJJAARRAANN SSOOSSIIAALL DDAALLAAMMPPEENNGGEELLOOLLAAAANN KKOOLLAABBOORRAATTIIFFHHUUTTAANN KKOOMMUUNNIITTAASS::Pelajaran Dari Lapangan

Louise E. Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds

Page 13: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan3

PPEEMMBBEELLAAJJAARRAANN SSOOSSIIAALL DDAALLAAMM PPEENNGGEELLOOLLAAAANN KKOOLLAABBOORRAATTIIFF

HHUUTTAANN KKOOMMUUNNIITTAASS::Pelajaran Dari Lapangan

Louise E.Buck, Eva Wollenberg and David Edmunds

AbstrakPengelolaan hutan rakyat di seluruh dunia memiliki keragaman

jenis dan tingkat kesuksesan dalam pembelajaran sosial, namunsedikit upaya telah dilakukan untuk menganalisis pengalaman-pengalaman ini dan menghubungkannya dengan teori pembelajaransosial yang muncul. Bab ini merupakan sintesis dari kontribusi parapeserta lokakarya untuk menunjukkan apa pembelajaran sosial itudan bagaimana pembelajaran sosial dapat diperbaiki. Kontribusi yangpaling berharga dari bab-bab tersebut adalah dalam membuat gejalapembelajaran menjadi lebih terlihat dan memberikan masyarakat de -ngan konsep dan label di mana mereka dapat menganalisis pengala-mannya. Pengaturan kelembagaan yang penting yang mendasaripembelajaran sosial adalah fasilitasi dan platform di mana parastakeholder bertemu dan saling belajar. Jenis-jenis pembelajaranyang berbeda, peluang-peluang untuk belajar dan faktor-faktor yangmempengaruhi pembelajaran ditinjau kembali. Setiap usaha untuk

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds2

Page 14: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan5

Pembelajaran bersama mengakui bahwa kelompok kepentinganmem bawa pengetahuan yang berbeda (termasuk nilai-nilai,kapasitas, perspektif, metode pembelajaran, tempat pengalamansejarah) pada proses kolaboratif tersebut. Pengetahuan dan peng -alam an ini dapat menjadi aset bagi penyelesaian masalah jika dibagi,dan sebaliknya dapat menjadi kerugian jika diabaikan. Pembelajaranbersama atau sosial juga mendorong persepsi saling ketergantungandan saling menghargai. Dengan demikian, pembelajaran sosial bisamemfasilitasi kerja sama untuk mencapai tujuan yang disepakati,menimbulkan keyakinan dalam usaha-usaha kolaborasi berikutnya.Penekanan pada pembelajaran juga membantu stakeholder meng -atasi dinamika sistem sosial dan lingkungan hidup.

Sebuah pertanyaan kunci untuk membuka potensi pengelolaanhutan oleh multistakeholder adalah: bagaimana harus mendorongpembelajaran bersama yang meningkatkan kolaborasi dalam pe -ngelolaan hutan? Pada gilirannya, bagaimana kelembagaan dankesepakatan kolaboratif dapat dirancang untuk meningkatkan pem-belajaran bersama dalam pengelolaan hutan? Buku ini membahaspertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengkaji ketergantunganantara pembelajaran dan kolaborasi dalam situasi pengelolaan hutanyang sangat majemuk.

Tujuan kami dengan buku ini adalah untuk memperluas idedan penerapannya dalam pembelajaran bersama dengan caramengembangkan pelajaran yang diperoleh dari inisiatif dalamkolaborasi dan dengan menghubungkan praktek sekarang dengankerangka kerja umum. Salah satu motivasi untuk mengembangkanbahan-bahan untuk publikasi ini adalah bahwa kami merasa adabanyak pengalaman yang relevan dalam community forestry olehmultistakeholder yang belum diakui dalam label pembelajaran sosial.Kami berharap bahwa pelajaran-pelajaran yang penting dapat ditarikdengan mengartikulasikan dan berbagi praktek lapangan. Kontribusikami dengan buku ini adalah menawarkan konsep dan label di manapihak lain dapat melakukan refleksi, evaluasi dan dokumentasi daripraktek yang ada saat ini dan yang sedang tumbuh. Kami berharapbahwa inovasi dan sintesis yang disajikan di sini merupakan setitiksumbangan dari banyaknya pengalaman dalam pembelajaran sosial.

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds4

belajar bersama harus dijajaki dan dilaksanakan dengan kepekaandan pemikiran strategies tentang yang bisa atau yang seharusnyaberpartisipasi dan bagaimana.

PENDAHULUANMempelajari bagaimana mengelola hutan untuk memenuhi

berbagai kepentingan – dari masyarakat lokal yang menyangkutmata pencaharian mereka hingga masyarakat yang jauh yang ter-tarik pada fungsi-fungsi ekologis dan pendapatan – merupakan tan-tangan yang penting saat ini. Hutan merupakan properti yang seringdipersengketakan di mana kelompok-kelompok yang berbeda ber -tujuan untuk mengambil manfaat hutan dengan cara yang tidaksesuai atau berjuang menjadi pihak pertama yang mendapatkanmanfaat dengan pasti. Untuk menyeimbangkan berbagai kepenting -an ini, terdapat banyak upaya untuk mengembangkan strategi danmekanisme yang mempromosikan kolaborasi di antara kelompokdengan perbedaan kepentingan dalam pengelolaan hutan (Andersonet al. 1999; Fox et al. 1997; Western 1994).

Namun pengelolaan hutan secara kolaboratif tidak mampu secaraefektif membawa pengetahuan dan kapasitas kelompok yang berbedatersebut. Koordinasi yang terjadi antara kelompok kepentingan lebihlemah daripada yang diharapkan. Bahkan, kelompok kepentinganmenjadi sangat terikat dengan perspektif parsial mereka yang terbatasdengan waktu (Saigal 1997, Kalyawongsa 1997). Kolaborasi yangdidasarkan pada kesepakatan atau kontrak untuk satu waktu seringkehilangan relevansinya, karena adanya perubahan kondisi. Asumsidan perspektif tentang aktor-aktor yang paling kuat sering berlaku.Kualitas dan polaritas statis dari kolaborasi seperti ini membawa padakeputusan yang tidak optimal dan cenderung mengabaikan potensipenyelesaian masalah yang kreatif dan hasil yang inovatif.

Pengelolaan kolaboratif bisa membaik jika kelompok kepenting -an mencoba untuk terlibat dalam proses yang berkembang danberkelanjutan untuk saling memahami pengetahuan, tujuan, ke -penting an, kapasitas dan aksi masing-masing. Kolaborasi juga dapatditingkatkan dengan menjamin bahwa tidak ada pandangan ataupengetahuan dari satu kelompok pun yang mendominasi proses ini.

Page 15: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan7

transformasi pemahaman setiap orang terhadap situasi permasalah -an. Pembelajaran sosial mengakui bahwa kelompok kepentinganmembwa pengetahuan yang berbeda pada proses pembelajaran, yangmeliputi pengetahuan dalam bentuk nilai-nilai, kapasitas, perspektif,metode dan tempat-tempat pengalaman sejarah. Pengetahuan danpengalaman seperti ini, yang secara efektif disebarkan, merupakanaset penting dalam menyelesaikan pengelolaan hutan dan masalah-masalah yang ditimbulkannya (Maarleveld dan Dangbégnon, 1999).Oleh karena itu, dimensi penting lainnya dalam pembelajaran sosialadalah penyebaran pengetahuan yang menekankan pada keragamandan sifat pelengkap dari pengetahuan kelompok sosial yang berbeda.

Sangat penting bagi aspek politik dan penyebaran pengetahuandalam pembelajaran sosial adalah ide bahwa interaksi yangkonstruktif di antara kelompok kepentingan dapat didorong dengancara menghilangkan penghambat pada komunikasi untuk membuat-nya lebih terbuka dan responsif (Steins dan Edwards 1999: 246).Pembelajaran sosial memfasilitasi penyelesaian masalah bersamadengan cara mendorong adanya persepsi tentang ketergantungan,kepercayaan dan saling menghargai. Ditunjukkan pada para aktorbahwa mereka dapat mengambil manfaat dari kerja sama itu untukmencapai tujuan yang disepakati bersama, dan menimbulkankeyakin an pada upaya-upaya kolaborasi berikutnya. Jadi, ada aspekpengembangan komunikasi dan hubungan dalam pembelajaransosial yang menyebabkan adanya penyebaran pengetahuan danmeningkatnya kapasitas untuk melakukan aksi-aksi.

Pembelajaran sosial juga dapat merujuk pada proses kolektifuntuk mengakumulasikan pengetahuan baru oleh sebuah kelompoksosial tertentu. Sebagai contoh, “pembelajaran masyarakat” memilikisuatu pendekatan untuk pendidikan dan pengembanganmasyarakat yang menekankan adanya kegiatan pengembangankapasitas yang partisipatif dan praktis (Steele et al. 1999: 153-180).Aspek kolektif dari pembelajaran sosial menekankan bagaimanapengetahuan itu dikembangkan dan disebarkan di antara kelompoktertentu untuk membantu membangun motif baru bagi aksi-aksi danpola-pola interaksi.

Kami menyarankan bahwa masing-masing dimensi pembelajar -

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds6

PEMBELAJARAN SOSIAL: SEBUAH KONSEPJadi, apakah pembelajaran bersama atau pembelajaran sosial

itu? Kami menggunakan kedua istilah itu bergantian, yang mengakuibahwa pembelajaran sosial telah digunakan lebih sering dalamliteratur, tetapi dengan memperhatikan bahwa pembelajaranbersama memiliki arti yang lebih intuitif dalam konteks hutan rakyat.Maarleveld dan Dangbégnon (1999) memberikan tinjauan terbaiktentang apa itu pembelajaran sosial dan literatur-literatur yangberkaitan. Mereka mencirikan pembelajaran sosial dalam pe -ngelolaan sumberdaya alam sebagai dialog yang berkelanjutan danrefleksi bagi ilmuwan, perencana, manajer dan pengguna untukmeng kaji masalah dan solusinya (hlm.269). Komunikasi yang ber sama -an dengan coba bisa menimbulkan adaptasi di antara aktor-aktor yangrelevan untuk menyesuaikan dan memperbaiki pengelolaan.

Kami mendefinisikan konsep pembelajaran sosial dengan me -nguji banyak dimensi dari hal yang bernama “sosial” tersebut. Lee(1993:8), sebagai contoh, menggambarkan pembelajaran sosial seba-gai kombinasi dari (1) pengelolaan yang adaptif, yang melibatkanpembelajaran secara sadar dari eksperimen kebijakan, dan (2) politik,yang didefinisikan sebagai konflik terikat antara pemangkukepenting an dari sumberdaya hutan. Daniels dan Walker (1999:42-48) juga menggunakan “pembelajaran kolaboratif” untuk merujukpada sebuah kerangka kerja untuk pengelolaan konflik kebijakanpublik dan pengambilan keputusan. Dengan menekankan proses-proses politik yang berhubungan dengan konflik pada kelompokkepentingan, interpretasi ini mencerminkan pentingnyabahwahubungan konflik dan kekuasaan bermain dalam diskusi-diskusitentang pengelolaan sumberdaya alam. Fokus pada politik sangatpenting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya tentangketidaksetaraan yang menonjol yang ada dalam stakeholder tersebutpada banyak situasi hutan rakyat. Namun demikian, aspek lain dariinteraksi di antara masyarakat saat mereka belajar bersama jugabisa menjadi penting.

Daniels dan Walkers (1999:38), misalnya, menggambarkankegiatan “saling belajar” sebagai proses untuk bertukar perspektifantara klien dan perencana atau pengelola profesional untuk men-

Page 16: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan9

sendiri; otoritas asing vs otoritas lokal. Perspektif ini menantangkami untuk fokus pada pengembangan sistem pengetahuan (Röling1994) yang membentuk “kecocokan” antara persepsi manusia danrealitas, dan untuk menawarkan kepemimpinan dalam mere -konstruksi hal ini di sekitar kepentingan ekologi, sosial dankelembaga an saat ini.

Konsep-konsep yang berhubungan dengan pembelajaran sosialmasih terlalu awal dan perlu pengujian dan pengembangan. Dengantujuan inilah kami sangat ingin mengetahui seperti apa pembelajar -an sosial itu di lapangan. Bab-bab dalam buku ini merupakan hasildari pencarian itu. Kami bertujuan untuk mendokumentasikanpeng alaman praktis yang akan menstimulasi pemahaman yang lebihdalam mengenai pembelajaran sosial dalam praktek, dan denganmelakukan hal tersebut, akan ada perkembangan lebih lanjut me -ngenai teori pembelajaran sosial.

‘BERBAGI INOVASI’: SEBUAH LOKAKARYA BAGI PARA PENULISPandangan-pandangan menuju pembelajaran sosial

Kontribusi yang paling luar biasa dan katalitis dari lokakaryatersebut dan tulisan-tulisan yang dihasilkan adalah “membuatsegala sesuatu menjadi terlihat”. Gejala yang cenderung tersembunyi,atau memang sudah terjadi, dibuat menjadi jelas. Bagi sebagianbesar para peserta, pembelajaran merupakan kegiatan nomor duayang terjadi sama sekali tanpa pikiran-pikiran substansial mengenaiapakah atau bagaimanakah pembelajaran itu terjadi dalam banyakproyek. Karena dibuat menjadi jelas, kekuatan pembelajaran danakibat dari cara pembelajaran yang berbeda mengenai pengelolaanlingkungan hidup dan perubahan sosial mulai menjadi nyata. Parapenulis mulai menghargai cara pembelajaran dilakukan danbagaimana mereka belajar akan mempengaruhi hasil perilaku,kelembagaan dan kebijakan.

Namun demikian, kelompok tersebut menemukan bahwasebagian besar dari kita kekurangan bahasa konseptual untukmenggambarkan pembelajaran sosial. Bahasa yang mencirikankolaborasi dan pembentukan kemitraan tentu sangatlah akrab.

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds8

an sosial ini sangat penting dalam pengelolaan hutan secarakolaboratif: pengurangan konflik dan pengambilan keputusanpolitik, inovasi dan penyelesaian masalah, pengembangankomunikasi dan pengembangan hubungan, serta pengembangankapasitas dan pengembangan masyarakat atau organisasi. Kita barusaja mulai memahami dengan lebih baik bahwa keempat aspek pem-belajaran sosial ini tidak mudah dipisahkan dan memerlukan inter-aksi di antara aspek-aspek itu juga. Dengan memasukkan keempatdimensi ini, pembelajaran sosial mulai mendapatkan sekumpulanproses mengenai kolaborasi yang transparan, aktif, dan demokratisdi antara stakeholder. Dalam usaha untuk memperbaiki pembelajar -an sosial, maka kami menggunakan keempat aspek dari pembelajar -an sosial itu sebagai satu kesatuan, dan bukannya terpisah satusama lain.

Keempat dimensi pembelajaran sosial dapat diperbaiki secarabersama-sama dengan mengembangkan strategi, mekanisme, dankondisi yang memampukan para aktor untuk secara aktifmengumpulkan, menganalisis informasi dan bertindak dengan infor-masi tersebut bersama-sama (Woodhill dan Röling 1998). Strategi,mekanisme, dan kondisi ini paling efektif jika mereka peka terhadapperbedaan kekuasaan antara stakeholders, membangun kelengkap -an dalam pengetahuan mereka dan dirancang untuk memperbaikiinteraksi. Röling dan Jiggens (1998) mengartikulasikan kebutuhanakan adanya platform baru dan proses komunikasi untuk men -fasilitasi pembelajaran sosial dalam jaringan yang kompleks daripara aktor yang saling terkait.

Pembelajaran sosial bisa juga lebih maju dengan cara lebihbanyak memahami proses pembelajaran itu sendiri. Maarleveld danDangbégnon (1999) mengidentifikasi loops pembelajaran, di manapembelajaran tidak saja mengenai fakta sosial dan lingkungan hidup(pembelajaran loop tunggal), namun juga tentang teori dan metodeuntuk mengamati dunia (pembelajaran loop ganda) dan yang lebihmendasar lagi, pentingnya pembelajaran di atas segalanya.Perspektif pelengkap ini menggambarkan ‘jalan keluar’ teoritis daridilema yang sering kali berakhir dengan polaritas dan jalan buntu:pembangunan vs konservasi, penggunaan oleh industri vs dipakai

Page 17: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan11

oleh pembelajaran bersama. Katalis untuk proses ini hilang.Di mana ada pembelajaran bersama, pembelajaran tersebut

sering terbatas pada dimensi biologis dan infrastruktur dari banyakproyek. Jarang sekali pembelajaran tersebut diperluas menjadihubungan kelembagaan atau dimensi manusia dari pengelolaan.Sering terdapat kegiatan monitoring bersama untuk tutupan-hutanmisalnya, namun jarang terdapat monitoring dan evaluasi utuk prosespengambilan keputusan dan hubungan antara stakeholder.Terbatasnya ruang lingkup pembelajaran bersama pada permasala-han biologis dan infrastruktural membuat kolaborasi menjadi rentanterhadap kesalahpahaman dan konflik dalam hubungan stakeholderyang terus berkembang.

Terbatasnya contoh-contoh pembelajaran bersama di antaraproyek dan kegiatan yang kita diskusikan tidak mengendurkansemangat para peserta lokakarya, namun malah menstimulasipemikir an bagaimana mengambil langkah konkret untuk memper-baiki praktek-praktek tersebut. Kami memberikan tambahan padapandangan para peserta di bawah ini.

PENGATURAN KELEMBAGAAN UNTUK MENGUMPULKANPARA KOLABORATOR BERSAMA-SAMA

Analisis kami terpusat pada dua tema. Pertama, kami meng kajijenis-jenis pengaturan kelembagaan seperti apa yang bisamengumpulkan para kolaborator bersama-sama dan mendasaripembelajaran sosial. Kami mengelompokkan hal ini secara luasdalam peran fasilitasi dan ‘platform’ atau peluang bagi kolaboratoruntuk datang bersama dan belajar. Analisis dari pengaturan inimemberikan pandangan tentang kelayakan dari berbagai jenis pem-belajaran sosial yang berbeda untuk berbagai jenis aktor yang berbedaserta peluang beberapa kelompok untuk mendominasi proses ini.

FasilitasiFasilitasi merupakan hal yang sangat vital dalam mem -

promosikan pembelajaran sosial, khususnya dalam hal kompetisiyang ketat atau konflik di antara para stakeholder, atau ketika para

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds10

Selama beberapa dekade yang lalu, istilah-istilah seperti negosiasi,kerja sama, akomodasi, pengaturan bersama, kesepakatan,pengembangan konsensus, dan pengambilan keputusan secarakolektif telah memasuki bahasa pada pengelola lingkungan hidup.Yang hilang adalah bahasa konseptual yang menggambarkan peranpembelajaran dalam kolaborasi. Bahasa-bahasa seperti inilah yangdiperkenalkan dalam lokakarya tersebut dan dibandingkan denganpengalaman kita. Konsep-konsep seperti kelompok pembelajaran,platform pembelajaran, kelompok penemuan, eksperimen kelompok,pembelajaran loop ganda, appreciative inquiry, fasilitasi proses-proses platform, sistem pengetahuan ekologi, pembelajaran kolektifdalam jaringan para aktornya dan yang lainnya membantu kamimenghargai bagaimana pembelajaran bisa dilakukan untuk men-dukung kolaborasi, dan bagaimana masyarakat melakukan pem -belajaran secara kolaboratif.

Melalui diskusi-diskusi kami, kami menemukan bahwa dalamprakteknya pembelajaran bersama tidak cukup dilakukan di antaralembaga-lembaga pengelolaan hutan rakyat. Sementara ada satulembaga menunjukkan kegiatan pembelajaran, biasanya melaluipelaporan proyek dari berbagai jenis, pembelajaran tersebutcenderung terjadi dengan tidak tergantung pada stakeholder lain.Pada saat yang sama, beberapa pengaturan kolaboratif – apakah itukesepakatan formal atau proses konsultasi informal – menunjukkanmekanisme yang jelas untuk pembelajaran kelompok. Berbagaipeluang untuk pembelajaran bersama sudah ada, namun biasanyaterabaikan atau tak terhindarkan.

Para peserta lokakarya membahas beberapa penjelasan untuktingkat pembelajaran sosial yang terbatas ini. Kurangnya ke percaya -an dan transparansi antar mitra diduga menjadi kendala umum ter-hadap pembelajaran sosial. Para peserta juga menyadari bahwa pem-belajaran bersama dan kolaborasi bisa menciptakan ancaman bagistruktur kekuasaan yang ada sekarang. Hingga ada insentif bagiorganisasi-organisasi besar untuk berubah, mereka mungkin akansulit diajak untuk belajar bersama. Akhirnya, potensi fasilitatoruntuk proses-proses pembelajaran multipihak menjadi tidak terlihatatau tidak bisa diakses oleh para aktor yang mungkin diuntungkan

Page 18: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan13

satu sama lain, kepentingan mereka yang berbeda dalam proseskolaboratif, gaya pembelajaran dan pengetahuan yang adasekarang. Fasilitator dapat menggunakan informasi ini untukmembuat rencana untuk kelompok apa bisa berkumpul bersama-sama dan kapan, serta fokus permasalahan pada setiap per -temuan. Fasilitator mungkin juga bisa membuat strukturpembelajar an bersama melalui beberapa langkah dan membangunkolaborasi menurut waktu, dengan rencana yang selalu direvisisebagai tanggapan dari hasil langkah pertama.

Tulisan Khan menunjukkan bahwa pengalaman pembelajaranyang efektif berasal dari proses fasilitasi keterlibatan sektor swastadengan lembaga publik, yang menghasilkan saat-saat ‘ah-ha’ (setuju)ketika stakeholder yang kuat menyadari bahwa pendekatan alternatifdapat bekerja lebih baik. Mempelajari stakeholder (analisis stakehold-er) membantu para pihak mengatur menurut peran dan tanggung-jawab yang baru. Khan menyarankan bahwa keterlibatanmasyarakat dalam proses-proses multistakeholder membutuhkannegosiasi dan kompromi internal yang konstan, dan demikian jugauntuk departemen kehutanan, karena tidak ada satu pun organisasiyang homogen. Bishnu Upreti menggambarkan bagaimana communityforestry di Nepal menjadi lebih sensitif terhadap masalah-masalahjender dan kesetaraan di antara stakeholder menurut waktu dantelah mencoba berhubungan dengan mereka secara langsung dalamproyek-proyeknya sekarang ini.

Kasus Asanga menunjukkan bagaimana fasilitasi memerlukanperlakuan bertahap untuk stakeholder-stakeholder yang berbeda.Dia mengembangkan bagaimana kepemimpinan kolektif dalamproyek pengelolaan hutan rakyat di Kamerun bisa mengkoordinasi -kan para aktor selama sepuluh tahun proyek tersebut. Berbagaiaktor dikumpulkan dalam berbagai acara pada waktu yang berbedauntuk membahas pengelolaan hutan. Proses tersebut sangat pekaterhadap ketidakpraktisan logistik dan politik untuk mendorongsemua stakeholder bertindak bersama-sama. Komitmen ke -pemimpin an kolektif terhadap daya tanggap dan riset aksi partisipatifmenjamin bahwa strategi untuk mengumpulkan para aktorbersama-sama berkembang menurut waktu.

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds12

stakeholder memiliki sistem pengetahuan yang sangat berbeda.Röling dan Jiggens (1998) juga menemukan dari pengalaman merekabahwa fasilitasi merupakan ‘faktor yang sangat krusial dalam pe -ngelolaan adaptif’. Fasilitator sering menjadi katalis dalampembelajar an bersama. Mereka membawa stakeholder tersebutbersama-sama dalam berbagai konfigurasi untuk berencana, ber -koordinasi, membuat batasan, memonitor, melakukan refleksi, danbelajar serta bertindak bersama-sama dengan cara lain.

Tulisan Nontokozo Nemarundwe, Cao Guangxia dan ZhangLianmin, Edward Massawe, Christian Asanga, Ron Ayling danBishnu Upreti membahas fasilitasi secara panjang lebar, semen-tara masing-masing penulis mengakui pentingnya fasilitasi dalampembelajaran sosial. Satu permasalahan utama menyangkutkelayakan dan efektivitas fasilitasi oleh aktor internal, lokal vsaktor eksternal yang ‘didanai oleh proyek’. Tulisan Massawe danAsanga menunjukkan bahwa fasilitator eksternal bisa menjadilebih efektif dalam berhubungan dengan kendala-kendala tingkatmakro dalam kolaborasi, seperti kebijakan pemerintah formal ataupembiayaan proyek. Namun, pekerjaan Nemarundwe me nunjuk -kan bahwa fasilitator eksternal memiliki resiko mengabaikan atausalah menginterpretasi kepentingan aktor lokal yang penting dancenderung tidak berlanjut. Tulisan Cao dan Zhang menunjukkanpentingnya inisiatif adanya kepemimpinan lokal. Kesimpulan yangkita tarik dari pengalaman ini adalah bahwa fasilitasi internal daneksternal masing-masing berfungsi untuk tujuan yang berbeda,namun proses-proses lokal seharusnya menjadi lebih menonjolmenurut waktu melalui pelatihan, pengembangan kelembagaandan pembiayaan yang kreatif. Upreti berpendapat bahwa semuastakeholder dalam kehutanan masyarakat perlu mempelajarifasilitasi yang efektif.

Tulisan-tulisan tersebut (khususnya tulisan Asanga) jugamenunjukkan bahwa fasilitator, baik eksternal atau internal, perlumemiliki kepekaan terhadap dan berpikir strategis mengenaihubungan yang ada di antara para aktor. Kepekaan ini khususnyamerujuk pada aspek politik dari pembelajaran sosial. Ini berartipertimbangan hubungan historis yang dimiliki para stakeholder

Page 19: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan15

dipisahkan satu dengan lainnya dan kesepakatan kolaboratif dibagian yang satu bisa diabaikan oleh kegiatan di bagian lainnya.Perluasan pembelajaran bersama pada satu titik di mana keputusandibuat mengenai hutan sebagai lanskap harus membawa manfaatyang substansial bagi hutan dan stakeholder-nya. Namun, sebagai -mana yang ditunjukkan oleh Ayling, perluasan bisa mengintensifkanmasalah-masalah yang disebabkan oleh keterwakilan dan tanggung-jawab, yang menjembatani perbedaan antara sistem pengetahuan,dan mengatasi ketidaksetaraan dalam kekuasaan politik. Berdasarkasus dari Jaringan Hutan Model Internasional, dia menyarankanstrategi untuk mengatasi beberapa dari permasalahan ini, yangmeliputi kepemimpinan yang inovatif, mengambil resiko daninteraksi yang lebih informal secara langsung di antara para stake-holder tersebut.

POLA-POLA PEMBELAJARANTema kedua dari analisis kami adalah untuk mencirikan jenis

pembelajaran yang terjadi, cara-cara belajar dan faktor-faktor yangmempengaruhi pembelajaran. Kami mengkaji apa yang memicu pem-belajaran sosial dan apa yang memotivasi orang untuk terlibat dalamupaya-upaya dan biaya-biaya ekstra untuk belajar bersama-sama.Kami me-review keragaman cara-cara dan gaya-gaya yang berbedauntuk belajar dan potensi manfaat dari penggunaan berbagai caratersebut. Kami juga melihat bagaimana pembelajaran bisa terjadidalam pembelajaran bersama, atau apa sebenarnya yang disebutdengan pembelajaran loop ganda (Hamilton 1998: 186). Tema yangpaling penting di sini adalah kebutuhan akan gaya-gaya pembelajar -an dan pendekatan agar tanggap terhadap preferensi, budaya danperubahan stakeholder dalam kebutuhan pengelolaan. Berbagai pen-dekatan itu memang mungkin jika tujuannya adalah untuk mencapaisemua pihak yang penting dan menjadi relevan terhadap berubahnyakondisi menurut waktu.

Kondisi yang menstimulasi pembelajaranPembelajaran bersama biasanya terjadi secara tidak teratur,

dan tidak berlangsung pada situasi yang konsisten dan dapat

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds14

PlatformRuang metaforis, jika bukan merupakan ruang yang nyata,

perlu dibangun sehingga para stakeholder dapat berinteraksi danbelajar bersama. Röling dan Jiggins (1998:301) menyebut sebagaiplatform untuk negosiasi tentang manfaat sumberdaya. Platformdapat berupa pertemuan-pertemuan satu waktu, panitia yang terpilih,dewan atau bahkan lembaga pemerintah yang ditunjuk secara formal.Yang penting adalah bagaimana stakeholder utama terwakili dalamplatform tersebut dan bagaimana wakil-wakil tersebut tetap bertang-gungjawab kepada konstituen mereka. Masalah lain adalahbagaimana membuat diskusi terbuka dan bebas di antara banyakaktor tanpa membawa platform menemui jalan buntu (Röling danJiggins 1998:301). Akhirnya, bagaimana platform berinteraksidengan lembaga-lembaga pengambil keputusan perlu dikaji untukmenjamin bahwa platform tersebut memiliki legitimasi dan manfaat.

Tulisan-tulisan dalam buku ini menyoroti beragamnya platformyang muncul untuk melibatkan multipihak dalam pengelolaan hutankomunitas. Sejumlah proyek-proyek community forestry yang diwakilidalam lokakarya tersebut membentuk platform-platform sedemikian.

Ghanendra Kafle memberikan contoh-contoh dari pengalaman-nya di Nepal yang mencakup: jaringan kelompok pengguna hutanyang berkembang sendiri dan bersifat lepas; komite berbasis kelompokpengguna untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasipartisipatif; dan lokakarya-lokakarya yang meliputi perwakilan NGOlokal, federasi pengguna hutan, kantor distrik dari organisasiperempuan, dan pejabat dinas kehutanan. Kafle membahasbagaimana platform berkembang di sekitar permasalahan yangdihadapi oleh lembaga-lembaga yang peduli dengan permasalahanpengelolaan, atau yang diciptakan oleh proyek-proyek. Platform yangberkembang sendiri cenderung berkelanjutan.

Tulisan Ayling membahas beberapa potensi manfaat dari pe -rumusan platform pada skala yang lebih besar, dan juga beberapatantangan untuk melakukan hal ini. Para pengelola hutan semakinberpendapat bahwa hutan harus dikelola sebagai lanskap, danbukan sebagai bagian-bagian kecil di bawah pengawasan perusaha -an ataupun masyarakat. Bagian-bagian kecil tersebut tidak boleh

Page 20: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan17

Cara-cara pembelajaran bersamaStudi kasus oleh Rukmini Datta dari India menyoroti nilai dari

berbagai cara untuk belajar dan membiarkan cara-cara tersebutmemiliki ruang yang sah untuk berkembang. Cara-cara ini meliputipembelajaran dari: lapangan, dokumentasi proses, studi penelitian,program pelatihan, refleksi diri organisasi (umpan balik internal) daninteraksi dengan negara. Salah satu kesimpulan Datta adalah bahwaberbagai cara pembelajaran akan sangat bermanfaat bagi organisasi.Dia menunjukkan bahwa efisiensi pertukaran informasi kadang-kadang dibayar dengan tidak-sampainya informasi itu kepada orang-orang yang membutuhkannya. Strategi untuk menggunakan berbagaisaluran untuk belajar merupakan hal yang konsisten dengan Lee(1993:102) yang memelihara keragaman dengan mempercepat pem-belajaran di berbagai tempat yang berbeda, masing-masing didukungdengan cara yang berbeda, meningkatkan peluang di mana berbagaipelajaran dapat ditarik di mana pun.

Semua tulisan menyebutkan pentingnya belajar sambil bekerjasebagai cara utama untuk berubah. Pemikiran ini konsisten denganBorrini-Feyerabend dan rekan-rekannya (2000) yang menggambar -kan bagaimana jenis pembelajaran yang kita sebut sebagai pengelo-laan kolaboratif biasanya didasarkan pada pengalaman. Kasus-kasus tersebut menggambarkan bagaimana tindakan yang sederhanauntuk berbagi kegiatan kunci seperti pengembangan indikator untukmonitoring sendiri, melakukan pemetaan partisipatif atau mengevaluasipotensi peran dalam kolaborasi; dapat menghasilkan suatu pembela-jaran bersama. Apa yang dipelajari sering tidak jelas, namun – danoleh karenanya tidak disebarkan secara jelas – kecuali pendekatanyang lebih terstruktur diambil untuk mengevaluasi pengalamantersebut.

Penelitian partisipatif dapat menstimulasi pembelajaran sosialdengan cara membawa kelompok yang berbeda bersama-samamelalui siklus penyadaran dan kesengajaan untuk meminta,mengamati, merefleksikan, merencanakan dan bertindak.Pengalaman Nemarundwe di Zimbabwe dengan penelitian dan per-cobaan partisipatifnya oleh pemilik lahan menyoroti unsur-unsurpenting dan potensi hasil dari pendekatan ini. Para pemilik lahan

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds16

diprediksi. Biasanya konflik yang terikat, namun terus-menerus diantara stakeholder bisa memicu pembelajaran kolektif, yang kemudianberfokus pada negosiasi jalan keluar dari sebuah dilema (Lee 1993).Para penulis mengetengahkan berbagai contoh jalan buntu yangditemui sebelum para stakeholder melakukan pendekatan negosiasi.Namun, kejadian-kejadian satu waktu sering membawa pada prosesyang berkelanjutan, karena aktor-aktor kunci dalam sistempengelola an tersebut mengakui adanya nilai-nilai dalam negosiasi,yang diberikan oleh pembelajaran kolaboratif. Upaya-upaya awalpada pembelajaran kolaboratif sering menghendaki adanya fasilitasidari luar untuk mengatasi permasalahan ketidakpercayaan dankesalahpahaman di antara kelompok. Namun, keberlanjutankolaborasi tersebut tergantung pada stakeholder itu sendiri yangmeminta peran fasilitasi.

Khan menggambarkan sebuah kasus di Pakistan tentangpembelajar an, bagaimana membagi otoritas pengelolaan dari pemerin-tah ke kelompok sipil lokal. Serangkaian pengalaman pembelajaranberdasar pembicaraan yang kontinu antara stakeholder, yangdicirikan sebagai pembicaraan yang membingungkan penuh persaing -an, memampukan proyek tersebut untuk membuat kemajuan dalammengembangkan praktek-praktek pengelolaan kolaboratif antaradepartemen kehutanan, masyarakat dan organisasi non-pemerintah.

Upreti memberikan contoh lain dari pengalamannya denganProgram Community Forestry di Nepal. Dia menggambarkan sebuahstudi yang dilakukan untuk membantu memahami dan mengatasibatasan-batasan kesetaraan sosial dari program tersebut. Studitersebut menggambarkan bagaimana sebuah upaya oleh politisi yangberkuasa untuk mengendalikan sumberdaya umum yang telah adadalam waktu yang lama untuk kepentingan dia sendiri menstimulasipengguna sumberdaya itu untuk menganalisis masalah dan mem-bentuk Komite Perlindungan dalam menegosiasikan konflik dengancara menggunakan tekanan-tekanan sosial melalui orangtua, sekolahdan para sesepuh daripada jalur hukum. Proses fasilitasi sendirisecara jangka panjang muncul yang telah menjadikan hutan sebagaisimbol yang diakui secara lokal untuk pengelolaan hutan yangberkeadilan sosial.

Page 21: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan19

pengaruhi bagaimana pembelajaran sosial dapat berlangsung. Alat-alat, platform dan mekanisme lain untuk memfasilitasi pembelajaransosial harus dikembangkan untuk mendukung gaya pembelajaranyang berbeda jika ingin kolaborasi itu efektif.

Cao dan Zhang menggambarkan poin tersebut dengan kasusmereka dari Yunnan, China. Mereka menunjukkan bahwa memotivasiketerbukaan perspektif individu, dan konflik yang mungkin muncul,tidak akan menghasilkan kolaborasi yang efektif di China seba-gaimana yang ditunjukkan oleh penulis lain (Lee 1993). Merekaberpendapat bahwa di Yunnan, kerukunan dan konsensus kelompokmengatur tahap untuk kolaborasi yang efektif, dan bahwa pe -ngembang an konsensus di balik layar merupakan hal penting.Dalam situasi seperti ini, pentingnya pimpinan lokal, yang membawaotoritas dan pengetahuan untuk membantu mengembangkankonsensus itu, lebih penting daripada kehadiran fasilitator dari luar.

Cao dan Zhang yakin bahwa bahkan masyarakat yang memilikikeragaman kepentingan dalam sumberdaya hutan dapat secaraefektif bersatu dalam nilai-nilai budaya umum, yang mencapaikonsensus untuk rencana aksi.

Ayling menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap gaya-gayayang berbeda tadi penting untuk mengakui perbedaan nilai di antarapara mitra dari berbagai budaya di Canada. Dia yakin bahwaperbeda an ini akan mempengaruhi keinginan dan kapasitas paraaktor untuk berkolaborasi, dan yang lebih penting lagi kelayakanuntuk mencapai konsensus, bentuk yang paling ideal dalampengambilan keputusan untuk Program Model Forest. Pendekatankomunikasi dan pendidikan yang membantu mendorong partisipasipara kolaborator, meliputi penggunaan komunikasi langsung, verbaldaripada media cetak atau elektronik, lokakarya, presentasi, inisiatifperencanaan strategis, konsultasi publik dan kegiatan lain yangmeningkatkan interaksi sosial. Studi tentang nilai-nilai sumberdayadi antara para aktor yang berbeda tersebut dilakukan juga, untukmembantu menjelaskan kemajuan dalam pengembangan kemitraan.Dalam beberapa proyek model forest sangat perlu untuk mengubahaturan pengambilan keputusan, sehingga konsensus bukan merupa -kan tujuan.

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds18

menyadari bahwa mereka perlu memahami dan berbagi pandanganmengenai dinamika lingkungan mereka. Kelompok tersebutmengguna kan percobaan pengelolaan sumberdaya yang membentukdasar untuk monitoring dan evaluasi bersama. Alat-alat lain untukpembelajaran bersama meliputi lokakarya masyarakat, kegiatanlapangan, penggunaan cerita dan legenda rakyat, dan kunjungankelompok untuk melihat dan belajar. Kunjungan ini berkembangmenjadi platform pembelajaran yang telah berakar dalam interaksidesa ke desa, yang meningkatkan kolaborasi lokal dengan ber -kembangnya rasa percaya dan memahami masalah yang dihadapioleh kelompok kepentingan yang berbeda. Pendekatan partisipatifmembantu menghasilkan cara-cara komunikasi dan pembelajaranyang layak untuk para kolaborator.

Cara-cara di mana pengalaman ini distrukturkan dapatmeningkatkan pembelajaran yang lebih efektif. Sebagai contoh,tulisan Khan mengingatkan kita pada pentingnya memperkenalkanpenerapan kegiatan program dalam skala kecil. Begitu terbuktiberhasil, kegiatan tersebut akan dilakukan dalam skala yang lebihluas. Jadi, proses pembelajaran yang kontinu dari keberhasilan dankegagalan pada tingkat intervensi berbiaya rendah memainkan peranpenting dalam devolusi pengelolaan hutan.

Satu kunci untuk membuat cara ini efektif dalam jangka panjangadalah dengan melembagakannya ke dalam sebuah proyek atauorganisasi. Asanga membahas penggunaan riset-aksi sebagai modelmendasar dari proyek community forestry Kilum-Ijim di Kamerun. Diamenggambarkan riset aksi sebagai metodologi yang sangat pentinguntuk pelaksanaan proyek. Penelitian itu sendiri bertujuan untukmembuat segalanya terlihat dan menciptakan pemahaman bersamatentang sumberdaya tersebut di antara para stakeholder.

Gaya Pembelajaran: Konsensus dan KonflikGaya pembelajaran dapat berbeda antara negara-negara dan

para stakeholder. Khususnya, cara di mana kelompok yang berbedamemperlakukan peran konsensus dan konflik, hak-hak individu dankerukunan kelompok, diskusi terbuka atau diplomasi tertutup dapatsangat berbeda dari tempat yang satu ke tempat lainnya, dan mem-

Page 22: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan21

DIMANA TEORI dan PRAKTEK BERTEMU – ARTI PEMBELAJARAN SOSIAL DALAM KEHUTANAN KOLABORATIF PADA SAAT INI

Kami sepakat dengan Parson dan Clark (1995) bahwa istilah‘pembelajaran sosial’ menyimpan keragaman yang besar dan bahwapenggunaan konsep tersebut oleh peneliti yang berbeda tidak meng -ungkapkan adanya perspektif teori yang umum (hlm.429). Dalammenghasilkan sintesis ini, kami telah mencoba membawa lebihbanyak koherensi pada konsep itu sebagai sebuah pendekatan danfilosofi yang berfokus pada proses-proses partisipatif dari perubahansosial (Woodhill dan Röling, 1998: 53). Meskipun teori pembelajaransosial belum lama berkembang, teori ini memberi kita dengan kerang-ka kerja yang wajib untuk berbagi pengalaman dan ide mengenaibagaimana memperbaiki kolaborasi dalam pengelolaan sumberdayaalam untuk meningkatkan adaptabilitas kelembagaan dan ke -berlanjutan ekologi. Sementara, pendekatan pembelajaran sosialtidak layak di mana pun dan pada situasi apa pun. Bahan-bahandalam buku ini menunjukkan bahwa pembelajaran sosial memilikipotensi yang tinggi untuk meningkatkan kolaborasi di antara lembaga-lembaga lokal (integrasi horisontal) dan hubungan vertikal antaradepartemen kehutanan, ORNOP dan kelompok masyarakat lokaltanpa kehilangan pandangan tentang masalah ketidaksetaraan yangberhubungan dengan jender, budaya atau kemiskinan.

Pembelajaran sosial merupakan hal yang khas. Oleh karenanyamemerlukan perhatian secara simultan tentang bagaimanamengumpulkan kelompok kepentingan bersama-sama, dan juga polapembelajaran apa yang diberlakukan. Titik temu dari kolaborasi danpembelajaran adalah apa yang membuat pembelajaran sosial iniberbeda dari pembelajaran biasa oleh satu aktor atau kolaborasi yangtidak melibatkan pembelajaran penyadaran. Implikasi yang palingpenting dari tumpang-tindih ini adalah bahwa setiap usaha untukbelajar bersama harus dijajaki dan dilakukan dengan sensitivitas danpemikiran strategis tentang siapa yang bisa atau yang seharusnyaberpartisipasi dan bagaimana. Untuk ini, perlu diperhatikan keempatdimensi pembelajaran sosial sebagaimana disebutkan di bagiandepan. Sensitivitas dan pemikiran strategis dibutuhkan dalam mem-

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds20

Upreti menunjukkan bahwa konflik tidak selamanya merusak,namun dapat membawa pada inovasi dan memiliki potensi transformasiyang penting. Studi kasusnya menggambarkan bagaimana konflikdan negosiasi merupakan bagian integral dari proses pengelolaanoleh masyarakat yang inklusif. Kunci menuju keberhasilan adalahproses fasilitasi dan perumusan platform yang mendorong keterlibatankelompok-kelompok yang terpinggirkan.

Pembelajaran Loop Ganda: Belajar bagaimana menggerakkan pembelajaran di antara para kolaborator

Dalam pengelolaan hutan, tidak ada satu cara atau alat untukpembelajaran bersama akan tetap valid dalam waktu yang lama.Metode-metode yang digunakan untuk mendukung pembelajaranbersama itu sendiri harus diperbarui secara reguler dalam hal peng -alaman dan para stakeholder-nya. Orang-orang yang berkolaborasidalam pengelolaan hutan harus secara berkala memperhatikanbagaimana mereka belajar, dan apa yang mereka pelajari. Inilah yangdikenal dengan proses pembelajaran loop ganda.

Pembelajaran loop ganda memasukkan masukan dari lapanganke dalam proses perencanaan untuk menguji asumsi-asumsi yangmendasar. Pembelajaran ini membutuhkan pengujian tujuan dariprogram dalam hal pencapaian dan kendalanya, sehingga nilaiasumsi teoritisnya bisa diklarifikasi (Lee 1993; Maarleveld danDagbégnon 1999). Melalui proses belajar dan kognisi yang kontinu,para aktor dapat menyesuaikan pengelolaannya dengan berubahnyasituasi lingkungan dan sosial. Datta menggunakan konseppembelajara an loop ganda untuk menggambarkan “organisasi pem-belajaran”, suatu organisasi yang memiliki refleksi sendiri mengenaibagaimana mereka mengumpulkan informasi tentang dunia disekitar nya. Kasus Nemarundwe dari Zimbabwe juga menunjukkanbahwa perumusan platform untuk pembelajaran loop ganda dapatmembantu lembaga beradaptasi dengan cara memfasilitasi evaluasiberkala dan sistematis dari prinsip-prinsip dan kebiasaan mendasardalam melakukan pekerjaan.

Page 23: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan23

Biaya pembelajaran harus dialokasikan dengan carasedemikian, sehingga dapat mengakui kapasitas relatif dan insentifbagi stakeholder yang berbeda yang mengeluarkan biaya tersebut.Dengan cara ini, pembelajaran tersebut lebih mungkin untuk ber -kelanjutan.

Refleksi mengenai peran fasilitator dan tujuan mereka sendiridalam mengumpulkan masyarakat bersama-sama untukpembelajar an dapat menunjukkan adanya bias antara pendekatanpembelajaran dan menunjukkan beberapa kolaborator tidak terlibatsecara efektif.

Pembelajaran sosial tentu tidak mungkin atau dikehendaki bisadalam segala situasi. Akan ada biaya dan batasan-batasan yangsignifikan. Faktor-faktor pembatas dalam pembelajaran sosial,berdasar pada pengalaman para peserta, adalah memenuhikomitmen waktu, mengembangkan kapasitas fasilitasi, bekerjadengan keragaman budaya, mengatasi hubungan kekuasaan danmembayar biaya. Pembelajaran sosial merupakan proses yangpanjang, banyak tahap yang bisa jadi mahal.

Pembelajaran pada skala yang lebih luas (seperti lanskap), yangbiasanya diperlukan dalam pengelolaan hutan, memiliki masalah ter-tentu, khususnya yang berhubungan dengan biaya-biaya transaksi,yang berhubungan dengan keragaman kelompok, pemberlakuanstrategi komunikasi yang layak, membangun dan memeliharakepercaya an dan sebagainya.

Selain masalah-masalah praktis seperti biaya, waktu dankreativitas, ada batasan-batasan pada peran di mana pembelajarandan kolaborasi dapat meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjut -an. Untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu, pola-pola negosiasikonflik dan kompromi secara tak-terhindarkan lagi harus dibiarkanuntuk memberikan jalan pada otoritas dan aturan yang dimandat -kan secara hukum. Dalam beberapa situasi tertentu, mungkin akanada strategis untuk merangkul perbedaan, dan bahkan sepertidalam konflik terbatas, di antara stakeholder daripada mencobamenetralkan perbedaan itu melalui kolaborasi. Mengetahui kapandan bagaimana menerapkan strategi itu perlu pengetahuan politikdari stakeholder, teori intervensi baik dan menyeluruh serta keahlian

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds22

pertimbangkan hubungan politik dan konflik antar-aktor, dalammempertimbangkan bagaimana membawa pengetahuan pelengkapbersama-sama, dalam mengembangkan interaksi yang bisa mem-bangun kepercayaan dan dalam memutuskan bagaimana membuatpemahaman kolektif.

Oleh karena itu pembelajaran sosial menunjukkan kebutuhanakan fasilitator dengan kepekaan yang kuat mengenai hubunganantara kelompok kepentingan dan sebuah daftar berbagai platformdan cara pembelajaran untuk memenuhi beragamnya gayapembelajar an dan preferensi dari kelompok kepentingan yang berbe-da. Berbagai platform dan cara diperlukan supaya mampu untukbekerja dengan jenis stakeholder atau kelompok stakeholder yangberbeda. Berbagai cara juga diperlukan untuk mengatasi jenis per-masalahan yang berbeda yang akan muncul menurut waktu diantara kelompok stakeholder yang berbeda. Menentukan jenis tipepembelajaran yang mana yang akan digunakan untuk masyarakatyang mana dan di mana serta ketika membentuk seni fasilitasi pem-belajaran sosial yang efektif. Belajar dari pengalaman studi kasus ini,kita dapat membuat pengamatan awal berikut ini untuk membantumengarahkan proses itu.

Strategi jangka panjang untuk penyebaran informasi merupa -kan hal penting yang sesuai untuk semua para kolaborator utama.

Harus ada alat untuk merekam pelajaran yang diperoleh danalasan mengapa tindakan selanjutnya diambil untuk menjaminmemori kelembagaan. Rekaman ini harus tersedia untuk semuastakeholder dalam bentuk dan tempat yang bisa diakses.

Cara dan platform pembelajaran perlu disesuaikan dengankebutuhan masyarakat yang melaksanakan kegiatan itu yang adauntuk mengambil manfaat dari pelajaran tersebut. Cara-cara inisering kali memiliki banyak langkah dan konstelasi stakeholder yangberbeda yang berinteraksi dalam waktu yang berbeda.

Perhatian yang strategis perlu diberikan pada pengaturan cara-cara dan platform pembelajaran dengan cara yang memampukanpengetahuan dan kapasitas dari stakeholder yang lemah, agar di -dengar oleh yang kuat dan untuk mengembangkan sinergi yangmemampukan penyelesaian masalah.

Page 24: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan25

menciptakan hubungan kolaboratif yang positif. Upreti merefleksi -kan upaya-upaya di Nepal untuk mengatur program communityforestry menjadi lebih setara.

Secara bersamaan, bab-bab tersebut menunjukkan banyaknyadimensi hubungan sosial yang dilibatkan dalam pengelolaan hutankomunitas dan kesulitan untuk meningkatkan pembelajaran di se -panjang hubungan tersebut. Mereka menggambarkan situasi yangberantakan, kompleks dan tidak selalu berhasil. Mereka menunjuk -kan di mana teori sangat sulit diterapkan. Pengalaman-pengalamanseperti inilah yang kita harapkan akan memajukan perkembangankonsep tentang pembelajaran sosial dan akhirnya, prakteknyasekaligus.

Pembelajaran sosial dalam kehutanan masyarakat oleh multi-stakeholder menawarkan pendekatan untuk menghasilkan generasiinisiatif baru yang berakar dalam hubungan kolaboratif. Kasus-kasus yang kami sajikan di sini, semuanya adalah pekerjaan-pekerja an yang masih sedang berlangsung. Tidak ada kesimpulanmengenai efek-efek dari proses pembelajaran sosial pada tujuan pe -ngelolaan hutan komunitas. Sebagian dari kekuatan pembelajaransosial terlihat dalam rasa optimisme di mana situasi dapat di per baikidengan memodifikasi perspektif, mencoba pendekatan baru, melihatapa yang bekerja dan mencobanya lagi. Karena kita dapat men -jelaskan dari pengalaman kolektif kita melalui bab-bab ini, suatuperspektif pembelajaran sosial dapat memunculkan aktor sosial darihabitat yang lama untuk memungkinkan lahirnya inovasi yang luarbiasa.

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds24

komunikasi yang luar biasa. Kombinasi tekanan politik eksternal dantuntutan kinerja internal seharusnya memperingatkan kita, agardapat menempatkan harapan dan keyakinan pada tingkat yangrealistis dalam pendekatan pembelajaran sosial untuk menyelesai -kan dilema pengelolaan hutan.

PENGORGANISASIAN BAB-BABUntuk menyampaikan pengalaman dari studi kasus ini, tetapi

juga menarik tema yang dibahas di atas, kami telah mengatur bab-bab dengan cara berikut. Tiga bab pertama oleh Asanga, Kafle danDatta, memberikan pengantar pada pendekatan umum untukmeningkatkan pembelajaran sosial. Ketiga penulis ini mengkaji,secara berturut-turut, tiga unsur dasar dari pembelajaran sosial:pengembangan kemitraan yang strategis, penggunaan platform multi-stakeholder, dan pembelajaran organisasi (loop ganda). Melaluipenceritaan kembali pengalaman mereka sendiri dalam pengelolaanhutan komunitas di Kamerun, Nepal dan India, setiap penulis mem-berikan serangkaian teknik yang digunakan dan kekuatan sertakelemahan mereka atau kelayakan teknik pada berbagai kondisi.

Enam bab berikutnya menyoroti isu-isu spesifik yangberhubungan dengan praktek pembelajaran sosial. Nemarundwememunculkan masalah mengenai bagaimana prinsip-prinsipperancang an kelembagaan untuk pengelolaan common propertydapat dengan sendirinya fleksibel dan disesuaikan dengan kondisiperubahan di Zimbabwe. Cao dan Zhang mempertanyakan pikiran-pikiran dalam teori pluralisme mengenai ketidakmungkinan dankeengganan akan konsensus. Mereka menunjukkan bahwa dalamprakteknya, konsensus sangat dinilai di China dan sangat pentinguntuk memahami proses-proses multistakeholder. Di Tanzania,Massawe menunjukkan biaya dan keahlian yang diperlukan untukmemfasilitasi pembelajaran sosial dan memunculkan permasalahanpraktis mengenai bagaimana pembelajaran sosial dapat dilanjutkansetelah donor pergi. Ayling melihat hutan yang lebih luas di Kanadauntuk menyoroti kesulitan dalam melakukan pembelajaran sosialdengan skala yang lebih besar. Khan menggambarkan kesulitan yangdiatasi oleh pemerintah Pakistan dalam mencapai organisasi lain dan

Page 25: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas:

Pembelajaran dari Lapangan27Louise E. Buck, Eva

Wollenberg and David Edmunds26

BAHAN RUJUKAN Anderson, J., Clemant, J. and Crowder, L. V. 1999. “Pluralism in sustainable forestry

and rural development: an overview of concepts, approaches and future steps.” In:“FAO. Pluralism an d Sustainable Forestry and Ruaral Development.” Proceedings of anInternational Workshop, 17-28. Food and Agriculture Organization, Rome.Borrini-Feyerabend, G., Farvar, M. T., Nguinguiri, J. C. and Ndangang, V. A. 2000. Co-

management of natural resources: organizing, negotiating, and learning-by-doing.GTZ and IUCN, Heidelberg, Germany.Daniels, S. and Walker, G. 1999. “Rethinking public participation in natural resources

management: concept from pluralism and five emerging approaches.” In: FAO.“Pluralism and Sustainable forestry and Rural Development.” Proceedings of anInternational Workshop, 9-12 December 1997, 29-48. Food and AgricultureOrganization, Rome.Fox, J., Fisher, L. and Cook, C. (eds.) 1997. Conflict and Collaboration: Eighth

Workshop on Community Management of Forest Lands. Program on Environment,East-West Center, Honolulu, Hawaii.Hamilton, G., 1998. “Co-learning tools: powerful instruments of change in Southern

Queensland, Australia.” In: Röling, N. G. and Wagemakers, M. A. E. (eds.) FacilitatingSustainable Agriculture, 172-190. Cambridge University Press, Cambridge.Lee, K. N. 1993. Compass and gyroscope: Integrating science and politics for the

environment. Island Press, Washington D.C., USA.Maarleveld, M. and Dangbégnon, C. 1999. “Managing natural resources: A social

learning perspective.” Agriculture and Human Values 16: 267-280.Parson, E. A. and Clark, W. C. 1995. “Sustainable development as social learning:

theoretical perspectives and practical challenges for the design of a research program.”In : Gunderson, L. H., Holling, C. s. and Light, S. S. (eds.) Barriers and Bridges to theRenewal of Ecosystems and Institutions, 428-459. Columbia University Press, NewYork, NY.Röling, N. G. 1994. “Communication support for sustainable natural resources man-

agement.” In : Davis, S. (ed.) “Knowledge is Power? The Use and Abuse of Informationin Development.” IDS Bulletin, Vol. 25 (2): 125-133.Röling, N. G. and Jiggins, J. 1998. “The ecological knowledge system.” In: Röling, N.

G. and Wagemakers, M. A. E. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture, 281-307.Cambridge University Press, Cambridge.Saigal, S. 1997. “Beyond experimentation: emerging issues and conflicts over joint

forest management in India.” In : Fox, J., Fisher, L. and Cook. C. (eds.) Conflict andCollaboration: Eighth Workshop on Community Management of Forest Lands, 1-26Program on Environment, East-West Center, Honolulu, Hawaii.Steele, R., Nielson, E. and Mboji, E. 1999. “Community learning and education in a

pluralistic environment: implication for sustainable forestry, agriculture and ruraldevelopment.” In: “FAO. Pluralism and Sustainable Forestry and Ruaral Development.”Proceedings of an International Workshop, 153-180. Food and AgricultureOrganization, RomeSteins, N. A. and Edwards, V M. 1999. “Platforms for collective action in multiple use

common-pool resources.” Agriculture and Human Values 16: 241-255.Western, D. 1994. Natural Connections. Perspectives in Community-Based

Conservation. Island Press, Washington D.C., USA.Woodhill, J. and Röling, N. G. 1998. “The second wing of the eagle: the human

dimension in learning our way to more sustainable futures.” In: Röling, N. G. andWagemakers, M. A. E. (eds.) Facilitating Sustainable Agriculture, 46-71. CambridgeUniversity Press, Cambridge.

Page 26: Pembelajaran sosial dalam pengelolaan hutan komunitas ......Beliau memiliki gelar Ph.D dalam bidang Geografi dari Clark University pada tahun 1977. Selama PesertaWorkshoptentang “SharingInnovation:MethodsforMultiplestakeholder

Louise E. Buck, EvaWollenberg and David Edmunds28